g6pd
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase
Samuel Wiratama
10-2009-142
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
E-mail: [email protected]
Pendahuluan
Glukosa merupakan bahan metabolik utama untuk sel darah merah dan didapatkan
melalui glikolisis dan jalur HMP shunt. Jalur HMP shunt memetabolisme 10% glukosa yang
digunakan oleh sel darah merah, dan diperlukan dalam melindungi sel dari jejas oksidan.
Mutasi pada gen pengkode G6PD yang menyebabkan tidak terproduksinya
enzim G6PD yang berfungsi untuk memetabolisme sejumlah kecil glukosa
untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi membran
eritrosit dan hemoglobin dari oksidan.
Defisiensi G6PD tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis (Afrika,
Eropa Selatan, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Perkiraan konservatif
menyebutkan paling sedikit 400 juta orang memiliki gen defisiensi G6PD. Di
beberapa daerah di area tropis maupun subtropis, frekuensi gen defisiensi
G6PD bisa mencapai 20% atau lebih. G6PD sendiri merupakan contoh terbaik
dari polimorfisme gen manusia. Penelitian lapangan dan in vitro
menunjukkan adanya kecenderungan penyakit malaria oleh Plasmodium
falciparum untuk tidak menjadi letal jika menyerang host yang defisiensi
G6PD.
1
Anamnesis
Apakah merasakan berdebar - debar
Apakah sering merasa pusing
Apakah merasa gelap saat bangun dari tidur atau dari posisi duduk
Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali.
Jika sebelum ini pernah mengalami hal yang sama, apakah ada faktor tertentu yang
menurut pasien memicu kondisi tersebut
Riwayat penggunaan obat - obatan
Riwaya keluarga dengan penyakit yang sama
Apakah baru saja mendapatkan transfusi darah
Apakah baru saja mengalami kecelakaan/ pendarahan
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat diperiksa :
Tanda - tanda anemia pada konjunctiva, mukosa, serta ujung kuku.
Pembesaran hepar dan limpa (schuffner)
Nyeri kuadran kanan atas abdomen mungkin menunjukkan cholelithiasis
(bilirubin batu empedu) dan penyakit kandung empedu.
Pemeriksaan Penunjang
1. Complete Blood Count (CBC)
Pemeriksaan CBC atau darah lengkap meliputi :
Angka sel darah merah : jumlah SDM, hemoglobin, hematokrit
Kadar Hb Hematokrit Jumlah Eritrosit
Pria dewasa 14 - 17 g/dL 42 - 53 % 4,6 - 6,2 juta/µL
Wanita dewasa 12 - 15 g/dL 38 - 46 % 4,2 - 5,4 juta/µL
Anak - anak (3 10 - 14,5 g/dL 31 - 43 % 3,8 - 5,8 juta/µL
2
bulan - 13 tahun)
Tabel 1. Nilai normal pemerksaan darah lengkap
Pada wanita hamil, terdapat penurunan Hb sampai 11 - 12 g/dL pada trimester
kedua dan ketiga, penurunan ini disebabkan oleh ekspansi volume plasma dan tidak
merepresentasikan anemia. Pada bayi baru lahir, hemoglobin rata - rata berkisar
antara 17 g/dL dengan hematokrit 52 %.
Nilai eritrosit rata - rata :
o MCV - Mean Corpuscular Volume, nilai rujukan 82 - 92 fL
o MCH - Mean Corpuscular Hemoglobin, nilai rujukan 27 - 31 pg
o MCHC - Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration, nilai rujukan 32 -
37 %
Jumlah trombosit
Hitung jenis leukosit dan morfologi
Morfologi darah : ukuran sel, hemoglobinisasi, anisositosis, poikilositosis,
polikromasi
Hitung retikulosit : indeks produksi retikulosit, normal berkisar antara 0,5 - 1,5 %
Apabila pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan secara otomatis, maka red
cell distribution width (RDW) juga dapat ditentukan. Normalnya adalah 11.5-14.5
coefficient of variation. Peningkatan RDW menunjukkan anisositosis yang
merujuk pada anemia hemolitik.
Laju endap darah (LED): pria (0-15 mm/jam); wanita (0-20 mm/jam)
2. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan meliputi morfologi sel, selularitas, precursor hematopoietik, dan cadangan
besi (pewarnaan Prussian blue)
3. Test of iron supply
3
a. Serum iron level (SI), merupakan pemeriksaan untuk menilai jumlah besi yang
terikat pada transferin. Nilai normal berkisar antara 50 - 150 µg/dL. Pembuatan
eritrosit dan hemoglobin pada sumsum tulang dipengaruhi oleh besi serum.
b. Total iron binding capacity (TIBC), mengukur jumlah besi yang dapat diikat oleh
transferin. Nilai normal 300 - 360 µg/dL.
c. Serum ferritin, nilai normal pada laki - laki dewasa 50 - 150 µg/L.
4. Permeriksaan untuk mencari penyebab pada hemolitik anemia :
a. Hemoglonin elektroforesis (hemoglobinopati)
b. Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit (AIHA)
Direct Antiglobulin Test (direct Coomb’s test): sel eritrosit pasien dicuci dari
protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi
monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen, terutama
IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan
Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.
Indirect Antiglobulin Test (indirect Coomb’s test): untuk
mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan
dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat
pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan
terjadinya aglutinasi.
c. Titer agglutinin tipe dingin / cold agglutinin titer (AIHA)
d. Level haptoglobin (hemolisis)
e. Serum / urin hemosiderin (intravascular hemolisis)
f. Fragilitas osmotik (sferositosis herediter)
g. G6PD screening
h. Heat/isopropanol denaturation test (hemoglobin tidak stabil)
5. Pemeriksaan laju dekstruksi sel darah merah dapat terlihat melalui pemeriksaan :
4
a. Indeks produksi retikulosit, jika pada pemeriksaan menunjukkan angka 3x dari
normal, dapat diasumsikan bahwa dekstruksi sel darah merah juga 3x dari normal.
b. Laktat dehidrogenase dan bilirubin indirek untuk penilaian kualitatif, pada laju
dekstruksi yang signifikan, LDH akan naik sampai 1000 IU (normal
103-333IU/L) dan indirek bilirubin pada 1-3 mg/dL (normal 0,2 - 0,7 mg/dL).
Untuk mendeteksi hemolisis intravaskular :
Plasma hemoglobin level, pada angka di atas 50 mg/dL mengindikasikan adanya
intravaskular hemolisis. Ketika melewati 150 - 200 mg/dL, juga akan terjadi
hemoglobinuria
Hemoglobin urin
Hemosiderin urin
Serum haptoglobin (normal 50 - 200 mg/dL)
Methemalbumin, merupakan heme yang terikat pada albumin.
Tes untuk menunjang diagnosis G6PD :
Heinz bodies dapat dilihat menggunakan pewarnaan supravital dengan menggunakan
perwarnaan basic tertentu sepertu chrystal violet. Heinza bodies akan terlihat sebagai
badan ikulisi kecil berwarna ungu (1-5 um).
Methemoglobin reduction test dan asrcorbate-cyanide test, G6PD defisiensi gagal
mereduksi methemoglobin pada penambahan methylene blue. Pada ascorbat-cyanide test,
yang mengukur denaturasi perioxidative haemoglobin tidak spesifik pada G6PD
defisiensi.
Fluorescent spot test dan tes spesifik G6PD hanya positif pada G6PD defisiensi. Ketika
campuran glukosa 6 fosfat, NADP, saponin, dan buffer dicampur dengan darah dan
diletakkan pada kertas penyaring, G6PD merubah NADP menjadi NADPH. Ketika kertas
5
penyaring diamati di bawah lampur fluorescent, eritrosit yang tidak dapat mengkonversi
NADP Ke NADPH akan menunjukkan sedikit fluorescent.
Test kuntitatif G6PD didasarkan pada pengukuran rasio reduksi NADP menjadi NADPH
yang diukur pada 340 nm. G6PD varian diidentifikasi menggunakan metode
elektroforesis. Diagnosis defisiensi G6PD pada episode hemolitik akut akan sulit
ditegakkan karena eritrosit muda yang memiliki jumlah G6PD lebih banyak akan
menggantikan eritrosit tua dengan defisiensi G6PD yang telah hancur.
Diagnosis Kerja
Anemia defisiensi G6PD
Merupakan anemia yang disebabkan oleh defisiensi enzim glukosa 6 fosfatase
dehidrogenase, yang berfungsi dalam melindungi eritrosit dari produo – produk oksidan.
Defisiensi ini merupakan suatu penyakit genetik x-linked resesif, yang lebih banyak menyerang
laki – laki.
Sebagian besar manusia dengan defisiensi G6PD tetap asimtomatik selama hidupnya,
akan tetapi mereka semua beresiko tinggi mengalami neonatal jaundice dan anemia hemolitik
akut. Pada bayi dengan defisiensi G6PD, neonatal jaundice dapat menjadi berat, yang jika tidak
diatasi dengan tepat dapat menyebabkan kernikterus dan kerusakan saraf yang permanen.
Anemia hemolitik akut pada pasien yang defisiensi G6PD biasanya dipicu oleh fava
beans, infeksi, dan obat-obatan. Biasanya, serangan hemolitik diawali dengan malaise,
kelemahan, dan nyeri abdominal atau lumbal. Kemudian dalam beberapa jam atau 2-3 hari,
pasien mengalami jaundice dan sering kali menghasilkan urin berwarna gelap akibat
hemoglobinuria. Onsetnya bisa tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Anemia yang terjadi bisa
ringan sampai berat. Anemia biasanya normositik dan normokrom karena hemolisis yang terjadi
intravaskular. Oleh sebab itu, muncul hemoglobinuria, hemoglobinemia, LDH (Laktat
dehidrogenase) yang tinggi dan plasma haptoglobin yang rendah atau tidak ada sama sekali. Dari
pemeriksaan darah, ditemukan hemighosts (sel darah merah dengan hemoglobin tidak merata)
6
dan bite cells atau blister cells (sel darah merah yang tampak seperti digigit) yang merupakan ciri
khas dari anemia hemolitik akut.
Diagnosis Banding
1. Intoksifikasi Naftalene (kapur barus)
Naftalena mudah diserap ke dalam sirkulasi sistemik melalui inhalasi, menelan
atau paparan kulit.
Gejala akut keracunan naftalena dapat menyebabkan mual, muntah, sakit perut,
diare, sakit kepala, kebingungan, berkeringat, demam, takikardia, takipnea dan agitasi
yang dapat menyebabkan kejang-kejang dan koma.
Paparan naftalena juga dapat menyebabkan hemolisis akut, terutama pada
individu dengan defisiensi G6PD, yang disertai dengan anemia, demam, leukositosis,
hematuria, penyakit kuning, disfungsi ginjal dan hati yang mungkin dapat berakibat fatal
Paparan kulit untuk naftalena menyebabkan iritasi kulit ringan dan pada beberapa
individu yang sensitif dapat menyebabkan dermatitis. Paparan ocular naftalena dapat
menyebabkan iritasi mata, kerusakan kornea, kekeruhan lensa dan katarak. Serangan
oksidatif dari metabolit naftalene menyebabkan hemolisis dan methemoglobinemia.
2. Sferositosis herediter
Jika pada anamnesis ditemukan bahwa ada keluarga dekat pasien yang di
diagnosis menderita sferosit herediter, maka diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan
mudah. Akan tetapi, jika tidak ada kejelasan tetang riwayat penyakit keluarga, maka
diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan terhadap morfologi sel darah merah dan
uji osmotic-fragility. Hasil uji osmotic-fragility pada darah pasien sferosit herediter akan
didapati penurunan daya tahan osmotik sel darah merah, karena sel darah sferosit mudah
lisis walaupun sudah menggunakan larutan yang isotonis.
7
Selain itu, diagnosis sferosit herediter dapat dicapai dengan membedakan sel
sferosit yang juga ada pada anemia hemolitik autoimun melalui uji Coombs. Pada anemia
hemolitik autoimun, uji Coombs direk akan positif (abnormal), sedangkan pada sferosit
herediter, hasilnya negatif (normal).
Gejala klinis mayor sferosis herediter adalah anemia, splenomegali, dan ikterus.
Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat anak
masih kecil. Akibat peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit,
sering terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan pada masa kanak-kanak.
Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi
melalui perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak jarang terjadi
eritropoiesis ekstra meduler di para vertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto
toraks.
Kompensasi sumsum tulang tersebut terkadang mengalami gangguan akibat
keadaan hipoplasia eritroid yang dipicu adanya infeksi terutama oleh Parvovirus.
Splenomegali merupakan hal yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat
perlahan selama terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa.
Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk
bulat dengan bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun.
MCHC meningkat sampai 350-400 g/dl. Untuk mengetahui secara kuantitatif sferodisitas
dilakukan pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan
hipoosmotik.
3. Sickle Cell Anemia
Sickle cell anemia terjadi karena terdapat pergantian asam amino valin dengan
glutamate pada posisi 6 rantai globin beta. Pada penderita dengan homozigot, terjadi pada
awal kehidupan dengan anemia hemolisis yang parah. Anak yang terkena pada awalnya
mengeluh krisis nyeri rekuren yang terasa pada tulang dan sendi, yang tidak diasosiasikan
dengan penyakit lain. Terdapat kegagalan organ karena vasooklusi pada sumsum tulang,
limpa, ginjal, dan sistem saraf pusat.. infark limpa terjadi dalam decade pertama,
kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan lama - kelamaan hilang, dan pasien dapat
8
mengalami gross hematuri. Dapat juga ditemukan ulkus pada kaki pasien akibat
terhalangnya peredaran darah.
Anemia sel sabit adalah gangguan resesif autosomal yang disebabkan pewarisan
dua salinan gen hemoglobin defektif, masing-masing satu dari orang tua. Hemoglobin
yang cacat tersebut, yang disebut hemoglobin S (HbS), menjadi kaku dan membentuk
konfigurasi seperti sabit jika terpajan oksigen berkadar rendah. Tekanan oksidatif juga
memicu produksi hasil akhir glikasi yang masuk ke dalam sirkulasi, sehingga
memperburuk proses patologi vaskular pada individu yang mengidap anemia sel sabit.
Sel darah merah pada anemia sel sabit ini kehilangan kemampuan untuk bergerak dengan
mudah melewati pembuluh yang sempit dan akibatnya terperangkap di dalam
mikrosirkulasi. Hal ini menyebabkan penyumbatan aliran darah ke jaringan di bawahnya,
akibatnya timbul nyeri karena iskemia jaringan.
Meskipun bentuk sel sabit ini bersifat reversible atau dapat kembali ke bentuk
semula jika saturasi hemoglobin kembali normal, sel sabit sangat rapuh dan banyak yang
sudah hancur di dalam pembuluh yang sangat kecil, sehingga menyebabkan anemia. Sel-
sel yang telah hancur disaring dan dipindahkan dari sirkulasi ke dalam limpa; kondisi ini
mengakibatkan limpa bekerja lebih berat. Jaringan parut dan kadang-kadang infark (sel
yang sudah mati) dari berbagai organ, terutama limpa dan tulang, dapat terjadi. Disfungsi
multiorgan sering terjadi setelah beberapa tahun.
Kondisi-kondisi yang dapat menstimulasi sel sabit antara lain hipoksia, ansietas,
demam, dan terpajan dingin. Karena limpa merupakan organ imun yang penting, infeksi,
terutama yang disebabkan bakteri, umumnya dan sering menstimulasi krisis sel sabit.
Morfologi sel darah merah Normositik normokromik, sampai sedikit
mikrositik, bentuk sell abnormal (sickle sell,
target sell, dll)
Polikromasia Ada
Sel darah merah dengan inti Ada, setelah infark limpa
Indeks retikulosit > 3 - 5
9
Rasio E/G sumsum tulang > 1 : 1
Bilirubin / LDH Meningkat
Besi serum (SI)/ TIBC Normal - meningkat
Serum ferritin > 100 µg/dL
Tabel 2. Profil eritropoietik hemoglobinopati
Pemeriksaan elektrofiresis hemoglobin juga dilakukan untuk membantu diagnosis.
Etiologi
Gen yang mengekspresikan G6PD terletak pada kromosom X (pita X q28). Defisiensi
enzim diekspresikan pada laki – laki membawa gen yang bervariasi (XY), sedangkan pada
wanita yang dapat terjadi kekurang enzim seperti laki – laki pada gen homozigot XX, dan yang
memiliki gen heterozigot (XX) dapat bervariasi dari normal sampai kekurangan seperti pada laki
– laki XY. win,har
Gambar. Pedigree penurunan genetik x-linked resesif
10
Terdapat beberapa varian G6PD yang telah ditemukan, seperti G6PD B, G6PD A+, G6PD
A- (kelas III), G6PD Mediterranian (kelas II), dan G6PD Canton. win
WHO mengklasifikasikan defisiensi G6PD berdasarkan keparahan defisiensi enzim serta
hemolisis yang terjadi : win
Kelas I : defisiensi enzim parah (<10-20% dari normal) dan anemia hemolitik kronik
Kelas II : defisiensi enzim parah (<10-20% dari normal) dan anemia hemolitik intermiten
Kelas III : defisiensi enzim sedang (10 – 60% dari normal) dengan hemolisis intermiten
yang disebabkan oleh infeksi atau obat
Kelas IV : tidak ada kekurangan enzim dan hemolisis
Kelas V : efektivitas enzim yang meningkat
Epidemiologi
G6PD merupakan defisiensi enzim sel darah merah yang paling sering terjadi di dunia,
diperkirakan terdapat lebih dari 400 juta penderita. Walaupun terdistribusi secara global,
defisiensi G6PD terbanyak terdapat pada zona tropis dan subtropis pada hemisfer timur. win
Prevalensi pada laki – laki Asia, didapatkan 14% di Kamboja, 5.5% di Cina selatan, 2.6%
di India, dan <0.1% di Jepang. Di Cina, frekuensi G6PD pada laki – laki berkisar antara 0 –
17.4%, dengan angka yang tertinggi terdapat pada kelompok etnik yang secara geografi
berhubungan dengan malaria. win
Gejala Klinik win, har
1. Anemia hemolitik akut : Lemah, malaise, pucat, dengan atau tanpa nyeri abdomen atau
punggung, pada serangan akut. Setelah beberapa jam atau 2-3 hari, pasien mengalami
jaundice dan urin gelap, karena hemoglobinuria. Anemia yang terjadi ringan sampai
sedang, biasanya normositik normokrom. Dan diasosiasikan dengan hemoglobinemia,
hemoglobinuria, LDH yang meningkat, dan menurunnya haptoglobin karena hemolisis
intravascular. Juga ditemukan meningginya bilirubin tidak terkonjugasi akibat hemolisis
ekstravaskular yang terjadi.
11
Terjadi penurunan Hb 3-4 g/dl. Pada sediaan hapus darah tepi dapat ditemukan
anisositosis, polikromasi, sferosit, dan bite cell. Terjadi kenaikan retikulosit 5 hari, atau
maksimal 7 – 10 hari setelah hemolisis. Pada pewarnaan methyl violet dapat ditemukan
Heinz body.
Walaupun pemberian obat dilanjutkan, hemolisis akut terhenti secara spontan setelah
kurang lebih 1 minggu, dan konsentrasi hemoglobin kembali seperti semula. Anemia
yang terjadi self-limited karena eritrosit tua diganti dengan eritrosit muda dengan G6PD
yang lebih cukup. Umur eritrosit pada waktu pemberian darah menurun, tetapi
dikompensasi oleh produksi sumsum tulang.
Drug-induced hemolisis
Infection-induced hemolisis : Salmonella, E.coli, beta-hemolitik streptokokus, hepatitis.
2. Dapat ditemukan batu empedu dan splenomegali
3. Favism, yaitu reaksi hemolitik akibat mengkonsumsi fava beans
4. Neonatal hiperbilirubinemia
Puncak gejala klinik terjadi pada hari ke 2 – 3, dan kebanyakan anemia yang terjadi tidak
berat. Tetapi jaundice berat dapat terjadi pada bayi dengan defisiensi berat, terutama pada
bayi yang premature, terinfeksi, atau yang terpapar pada faktor lingkungan (seperti kapur
barus yang digunakan pada baju dan sprei bayi).
5. Chronic nonsferosit hemolitik anemia, keadaan anemia kronik pada penderita defisiensi
G6PD.
12
Gambar 2. Zat yang menginduksi hemolisis pada defisiensi G6PD
13
Patofisiologi
HMP shunt merupakan satu – satunya sumber NADPH dalam sel darah merah, yang
digunakan sebagai kofaktor penting dalam metabolisme glutation. Di dalam sel darah merah
terdapat konsentrasi tinggi glutation yang tereduksi (GSH), yang berfungsi sebagai agen
pereduksi untuk melindungi sel dari jejas oksidan. Okisidan, seperti anion superoksida dan
hidrogen peroksida dikeluarkan oleh faktor eksogen (obat, infeksi) dan juga dari dalam sel darah
merah sebagai konsekuensi bersatunya hemoglobin dengan oksigen.
Tetapi ketika oksidan – oksidan tersebut terakumulasi dalam sel darah merah,
hemoglobin dan protein teroksidasi sehingga menyebabkan menurunnya fungsi SDM dan
berujung pada kematian sel. Pada keadaan normal, ini tidak terjadi karena GSH menginaktifasi
oksidan – oksidan ini. Dalam proses detoksifikasi oksidan, GSH berubah menjadi glutation yang
teroksidasi (GSSG), dan konsentrasi GHS menurun. win
Untuk mempertahankan mekanisme tersebut, konsentrasi GSH harus dipertahankan, dan
ini dilakukan oleh glutation reduktase (GSSG-R), yang mengkatalisasi reduksi GSSG menjadi
GSH. Reaksi ini memerlukan NADPH yang dihasilkan uleh glukosa-6-fosfat dehidrogenase
(G6PD), proses enzimatik pertama dari HMP shunt. Karena itu, jalur HMP shunt serta
metabolisme glutation sangat berperan dalam melindungi protein intraselular dari bahan
oksidatif. win
14
Gambar 3. Jalur metabolism oksidan oleh enzim G6PD
Saat SDM menua, aktivitas G6PD menurun. Enzim normal (G6PD B) memiliki waktu
half-life 62 hari pada in-vivo. Walaupun terdapat kekurangan ini pada aktifitas enzim, SDM tua
normal memiliki aktivitas G6PD yang cukup untuk memproduksi NADPH sehingga dapat
mempertahankan konsentrasi GSH untuk mengatasi oksidan. Sedangkan, G6PD varian yang
diasosiasikan dengan hemolisis sangat tidak stabil dan memiliki half-life yang lebih singkat.
Aktivitas G6PD A- pada retikulosit tergolong normal, tetapi setelah itu menurun drastis sampai
mencapai half-life 13 hari. Pada G6PD Mediterranian, penurunan lebih drastis, sampai hanya
beberapa jam. Ini menyebabkan hemolisis pada G6PD A- ringan, dan hanya terbatas pada
eritrosit yang tua, sedangkan pada G6PD Mediterranian hemolisis lebih parah dan dapat
mengenai semua eritrosit. win
Eritrosit dengan defisiensi G6PD yang terpapar dengan oksidan (infeksi, obat, fava
beans) menjadi kekurangan GSH. Oksidasi sulfhidril pada hemoglobin menyebabkan
pembentukan formasi globin yang terdenaturasi atau sulfhemoglobin. Sehingga menyebabkan
massa tidak larut yang menempel pada membran eritrosit, yang disebut sebagai Heinz body.
Hasil akhirnya berupa eritrosit yang kaku sehingga rentan terhadap stagnansi dan destruksi oleh
makrofag retikuloendotelial di limpa dan hepar. Hemolisis terjadi pada intravaskular dan
15
ekstravaskular, pada hemolisis intravaskular menyebabkan meningkatnya hemoglobinemia dan
hemoglobinuria. win
Tatalaksana
1. Tidak ada penanganan khusus kecuali menghindari zat – zat yang memicu terjadinya
hemolisis
2. Transfusi darah pada keadaan anemia hemolisis berat
3. Jika terdapat gagal ginjal akut, dapat dilakukan hemodialisis
4. Single IM dose of Sn-mesoporphyrin, pada bayi dengan jaundice berat sebagai inhibitor
heme oksigenase, tetapi belum tersedia secara klinik win
Pencegahan
Mencegah faktor pencetus hemolisis seperti stress, obat-obatan, dan infeksi. Skrining tes
perlu dilakukan untuk deteksi dini sehingga pasien dapat menjaga makanan, obat-obatan, dan
pola hidupnya.
Karena G6PD merupakan penyakit genetic, maka munculnya tidak bisa dicegah. Dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan genetic orang tua. Apabila didapatkan seorang bayi
menderita G6PD, maka dokter harus memberikan penyuluhan seperti :
- memberitahu orang tua bayi bahwa anak mereka mengalami defisiensi G6PD
- menjelaskan secara garis besar tentang defisiensi G6PD
- menjelaskan agen-agen oksidan yang dapat menyebabkan anak mengalami
pucat/lemas/pingsan
- menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh orang tua bila didapatkan gejala-gejala
defisiensi G6PD
Komplikasi
Acute renal failure akibat hemolisis yang terjadi.
Prognosis
Baik
16
Daftar Pustaka
1. Fauci AS, et al. Harrison’s principles of internal medicine.Edisi 18. USA:
McGraw-Hill Companies; 2011. Hal. 872-86.
2. wintrobe
3. Vinay K, Abbas A, Fausto N. Robins & cotran dasar patologis penyakit. Edisi 7.
Jakarta;EGC:2005. Hal 645-6.
4.
17