g6pd

23
Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase Samuel Wiratama 10-2009-142 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510 E-mail: [email protected] Pendahuluan Glukosa merupakan bahan metabolik utama untuk sel darah merah dan didapatkan melalui glikolisis dan jalur HMP shunt. Jalur HMP shunt memetabolisme 10% glukosa yang digunakan oleh sel darah merah, dan diperlukan dalam melindungi sel dari jejas oksidan. Mutasi pada gen pengkode G6PD yang menyebabkan tidak terproduksinya enzim G6PD yang berfungsi untuk memetabolisme sejumlah kecil glukosa untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi membran eritrosit dan hemoglobin dari oksidan. Defisiensi G6PD tersebar luas di daerah tropis dan sub- tropis (Afrika, Eropa Selatan, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Perkiraan konservatif menyebutkan paling sedikit 400 juta orang 1

Upload: dwita-permatasari-jacob

Post on 05-Dec-2015

214 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Page 1: G6PD

Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase

Samuel Wiratama

10-2009-142

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510

E-mail: [email protected]

Pendahuluan

Glukosa merupakan bahan metabolik utama untuk sel darah merah dan didapatkan

melalui glikolisis dan jalur HMP shunt. Jalur HMP shunt memetabolisme 10% glukosa yang

digunakan oleh sel darah merah, dan diperlukan dalam melindungi sel dari jejas oksidan.

Mutasi pada gen pengkode G6PD yang menyebabkan tidak terproduksinya

enzim G6PD yang berfungsi untuk memetabolisme sejumlah kecil glukosa

untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi membran

eritrosit dan hemoglobin dari oksidan.

Defisiensi G6PD tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis (Afrika,

Eropa Selatan, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Perkiraan konservatif

menyebutkan paling sedikit 400 juta orang memiliki gen defisiensi G6PD. Di

beberapa daerah di area tropis maupun subtropis, frekuensi gen defisiensi

G6PD bisa mencapai 20% atau lebih. G6PD sendiri merupakan contoh terbaik

dari polimorfisme gen manusia. Penelitian lapangan dan in vitro

menunjukkan adanya kecenderungan penyakit malaria oleh Plasmodium

falciparum untuk tidak menjadi letal jika menyerang host yang defisiensi

G6PD.

1

Page 2: G6PD

Anamnesis

Apakah merasakan berdebar - debar

Apakah sering merasa pusing

Apakah merasa gelap saat bangun dari tidur atau dari posisi duduk

Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali.

Jika sebelum ini pernah mengalami hal yang sama, apakah ada faktor tertentu yang

menurut pasien memicu kondisi tersebut

Riwayat penggunaan obat - obatan

Riwaya keluarga dengan penyakit yang sama

Apakah baru saja mendapatkan transfusi darah

Apakah baru saja mengalami kecelakaan/ pendarahan

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat diperiksa :

Tanda - tanda anemia pada konjunctiva, mukosa, serta ujung kuku.

Pembesaran hepar dan limpa (schuffner)

Nyeri kuadran kanan atas abdomen mungkin menunjukkan cholelithiasis

(bilirubin batu empedu) dan penyakit kandung empedu.

Pemeriksaan Penunjang

1. Complete Blood Count (CBC)

Pemeriksaan CBC atau darah lengkap meliputi :

Angka sel darah merah : jumlah SDM, hemoglobin, hematokrit

Kadar Hb Hematokrit Jumlah Eritrosit

Pria dewasa 14 - 17 g/dL 42 - 53 % 4,6 - 6,2 juta/µL

Wanita dewasa 12 - 15 g/dL 38 - 46 % 4,2 - 5,4 juta/µL

Anak - anak (3 10 - 14,5 g/dL 31 - 43 % 3,8 - 5,8 juta/µL

2

Page 3: G6PD

bulan - 13 tahun)

Tabel 1. Nilai normal pemerksaan darah lengkap

Pada wanita hamil, terdapat penurunan Hb sampai 11 - 12 g/dL pada trimester

kedua dan ketiga, penurunan ini disebabkan oleh ekspansi volume plasma dan tidak

merepresentasikan anemia. Pada bayi baru lahir, hemoglobin rata - rata berkisar

antara 17 g/dL dengan hematokrit 52 %.

Nilai eritrosit rata - rata :

o MCV - Mean Corpuscular Volume, nilai rujukan 82 - 92 fL

o MCH - Mean Corpuscular Hemoglobin, nilai rujukan 27 - 31 pg

o MCHC - Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration, nilai rujukan 32 -

37 %

Jumlah trombosit

Hitung jenis leukosit dan morfologi

Morfologi darah : ukuran sel, hemoglobinisasi, anisositosis, poikilositosis,

polikromasi

Hitung retikulosit : indeks produksi retikulosit, normal berkisar antara 0,5 - 1,5 %

Apabila pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan secara otomatis, maka red

cell distribution width (RDW) juga dapat ditentukan. Normalnya adalah 11.5-14.5

coefficient of variation. Peningkatan RDW menunjukkan anisositosis yang

merujuk pada anemia hemolitik.

Laju endap darah (LED): pria (0-15 mm/jam); wanita (0-20 mm/jam)

2. Pemeriksaan sumsum tulang

Pemeriksaan meliputi morfologi sel, selularitas, precursor hematopoietik, dan cadangan

besi (pewarnaan Prussian blue)

3. Test of iron supply

3

Page 4: G6PD

a. Serum iron level (SI), merupakan pemeriksaan untuk menilai jumlah besi yang

terikat pada transferin. Nilai normal berkisar antara 50 - 150 µg/dL. Pembuatan

eritrosit dan hemoglobin pada sumsum tulang dipengaruhi oleh besi serum.

b. Total iron binding capacity (TIBC), mengukur jumlah besi yang dapat diikat oleh

transferin. Nilai normal 300 - 360 µg/dL.

c. Serum ferritin, nilai normal pada laki - laki dewasa 50 - 150 µg/L.

4. Permeriksaan untuk mencari penyebab pada hemolitik anemia :

a. Hemoglonin elektroforesis (hemoglobinopati)

b. Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit (AIHA)

Direct Antiglobulin Test (direct Coomb’s test): sel eritrosit pasien dicuci dari

protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi

monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen, terutama

IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan

Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.

Indirect Antiglobulin Test (indirect Coomb’s test): untuk

mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan

dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat

pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan

terjadinya aglutinasi.

c. Titer agglutinin tipe dingin / cold agglutinin titer (AIHA)

d. Level haptoglobin (hemolisis)

e. Serum / urin hemosiderin (intravascular hemolisis)

f. Fragilitas osmotik (sferositosis herediter)

g. G6PD screening

h. Heat/isopropanol denaturation test (hemoglobin tidak stabil)

5. Pemeriksaan laju dekstruksi sel darah merah dapat terlihat melalui pemeriksaan :

4

Page 5: G6PD

a. Indeks produksi retikulosit, jika pada pemeriksaan menunjukkan angka 3x dari

normal, dapat diasumsikan bahwa dekstruksi sel darah merah juga 3x dari normal.

b. Laktat dehidrogenase dan bilirubin indirek untuk penilaian kualitatif, pada laju

dekstruksi yang signifikan, LDH akan naik sampai 1000 IU (normal

103-333IU/L) dan indirek bilirubin pada 1-3 mg/dL (normal 0,2 - 0,7 mg/dL).

Untuk mendeteksi hemolisis intravaskular :

Plasma hemoglobin level, pada angka di atas 50 mg/dL mengindikasikan adanya

intravaskular hemolisis. Ketika melewati 150 - 200 mg/dL, juga akan terjadi

hemoglobinuria

Hemoglobin urin

Hemosiderin urin

Serum haptoglobin (normal 50 - 200 mg/dL)

Methemalbumin, merupakan heme yang terikat pada albumin.

Tes untuk menunjang diagnosis G6PD :

Heinz bodies dapat dilihat menggunakan pewarnaan supravital dengan menggunakan

perwarnaan basic tertentu sepertu chrystal violet. Heinza bodies akan terlihat sebagai

badan ikulisi kecil berwarna ungu (1-5 um).

Methemoglobin reduction test dan asrcorbate-cyanide test, G6PD defisiensi gagal

mereduksi methemoglobin pada penambahan methylene blue. Pada ascorbat-cyanide test,

yang mengukur denaturasi perioxidative haemoglobin tidak spesifik pada G6PD

defisiensi.

Fluorescent spot test dan tes spesifik G6PD hanya positif pada G6PD defisiensi. Ketika

campuran glukosa 6 fosfat, NADP, saponin, dan buffer dicampur dengan darah dan

diletakkan pada kertas penyaring, G6PD merubah NADP menjadi NADPH. Ketika kertas

5

Page 6: G6PD

penyaring diamati di bawah lampur fluorescent, eritrosit yang tidak dapat mengkonversi

NADP Ke NADPH akan menunjukkan sedikit fluorescent.

Test kuntitatif G6PD didasarkan pada pengukuran rasio reduksi NADP menjadi NADPH

yang diukur pada 340 nm. G6PD varian diidentifikasi menggunakan metode

elektroforesis. Diagnosis defisiensi G6PD pada episode hemolitik akut akan sulit

ditegakkan karena eritrosit muda yang memiliki jumlah G6PD lebih banyak akan

menggantikan eritrosit tua dengan defisiensi G6PD yang telah hancur.

Diagnosis Kerja

Anemia defisiensi G6PD

Merupakan anemia yang disebabkan oleh defisiensi enzim glukosa 6 fosfatase

dehidrogenase, yang berfungsi dalam melindungi eritrosit dari produo – produk oksidan.

Defisiensi ini merupakan suatu penyakit genetik x-linked resesif, yang lebih banyak menyerang

laki – laki.

Sebagian besar manusia dengan defisiensi G6PD tetap asimtomatik selama hidupnya,

akan tetapi mereka semua beresiko tinggi mengalami neonatal jaundice dan anemia hemolitik

akut. Pada bayi dengan defisiensi G6PD, neonatal jaundice dapat menjadi berat, yang jika tidak

diatasi dengan tepat dapat menyebabkan kernikterus dan kerusakan saraf yang permanen.

Anemia hemolitik akut pada pasien yang defisiensi G6PD biasanya dipicu oleh fava

beans, infeksi, dan obat-obatan. Biasanya, serangan hemolitik diawali dengan malaise,

kelemahan, dan nyeri abdominal atau lumbal. Kemudian dalam beberapa jam atau 2-3 hari,

pasien mengalami jaundice dan sering kali menghasilkan urin berwarna gelap akibat

hemoglobinuria. Onsetnya bisa tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Anemia yang terjadi bisa

ringan sampai berat. Anemia biasanya normositik dan normokrom karena hemolisis yang terjadi

intravaskular. Oleh sebab itu, muncul hemoglobinuria, hemoglobinemia, LDH (Laktat

dehidrogenase) yang tinggi dan plasma haptoglobin yang rendah atau tidak ada sama sekali. Dari

pemeriksaan darah, ditemukan hemighosts (sel darah merah dengan hemoglobin tidak merata)

6

Page 7: G6PD

dan bite cells atau blister cells (sel darah merah yang tampak seperti digigit) yang merupakan ciri

khas dari anemia hemolitik akut.

Diagnosis Banding

1. Intoksifikasi Naftalene (kapur barus)

Naftalena mudah diserap ke dalam sirkulasi sistemik melalui inhalasi, menelan

atau paparan kulit.

Gejala akut keracunan naftalena dapat menyebabkan mual, muntah, sakit perut,

diare, sakit kepala, kebingungan, berkeringat, demam, takikardia, takipnea dan agitasi

yang dapat menyebabkan kejang-kejang dan koma.

Paparan naftalena juga dapat menyebabkan hemolisis akut, terutama pada

individu dengan defisiensi G6PD, yang disertai dengan anemia, demam, leukositosis,

hematuria, penyakit kuning, disfungsi ginjal dan hati yang mungkin dapat berakibat fatal

Paparan kulit untuk naftalena menyebabkan iritasi kulit ringan dan pada beberapa

individu yang sensitif dapat menyebabkan dermatitis. Paparan ocular naftalena dapat

menyebabkan iritasi mata, kerusakan kornea, kekeruhan lensa dan katarak. Serangan

oksidatif dari metabolit naftalene menyebabkan hemolisis dan methemoglobinemia.

2. Sferositosis herediter

Jika pada anamnesis ditemukan bahwa ada keluarga dekat pasien yang di

diagnosis menderita sferosit herediter, maka diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan

mudah. Akan tetapi, jika tidak ada kejelasan tetang riwayat penyakit keluarga, maka

diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan terhadap morfologi sel darah merah dan

uji osmotic-fragility. Hasil uji osmotic-fragility pada darah pasien sferosit herediter akan

didapati penurunan daya tahan osmotik sel darah merah, karena sel darah sferosit mudah

lisis walaupun sudah menggunakan larutan yang isotonis.

7

Page 8: G6PD

Selain itu, diagnosis sferosit herediter dapat dicapai dengan membedakan sel

sferosit yang juga ada pada anemia hemolitik autoimun melalui uji Coombs. Pada anemia

hemolitik autoimun, uji Coombs direk akan positif (abnormal), sedangkan pada sferosit

herediter, hasilnya negatif (normal).

Gejala klinis mayor sferosis herediter adalah anemia, splenomegali, dan ikterus.

Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat anak

masih kecil. Akibat peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit,

sering terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan pada masa kanak-kanak.

Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi

melalui perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak jarang terjadi

eritropoiesis ekstra meduler di para vertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto

toraks.

Kompensasi sumsum tulang tersebut terkadang mengalami gangguan akibat

keadaan hipoplasia eritroid yang dipicu adanya infeksi terutama oleh Parvovirus.

Splenomegali merupakan hal yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat

perlahan selama terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa.

Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk

bulat dengan bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun.

MCHC meningkat sampai 350-400 g/dl. Untuk mengetahui secara kuantitatif sferodisitas

dilakukan pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan

hipoosmotik.

3. Sickle Cell Anemia

Sickle cell anemia terjadi karena terdapat pergantian asam amino valin dengan

glutamate pada posisi 6 rantai globin beta. Pada penderita dengan homozigot, terjadi pada

awal kehidupan dengan anemia hemolisis yang parah. Anak yang terkena pada awalnya

mengeluh krisis nyeri rekuren yang terasa pada tulang dan sendi, yang tidak diasosiasikan

dengan penyakit lain. Terdapat kegagalan organ karena vasooklusi pada sumsum tulang,

limpa, ginjal, dan sistem saraf pusat.. infark limpa terjadi dalam decade pertama,

kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan lama - kelamaan hilang, dan pasien dapat

8

Page 9: G6PD

mengalami gross hematuri. Dapat juga ditemukan ulkus pada kaki pasien akibat

terhalangnya peredaran darah.

Anemia sel sabit adalah gangguan resesif autosomal yang disebabkan pewarisan

dua salinan gen hemoglobin defektif, masing-masing satu dari orang tua. Hemoglobin

yang cacat tersebut, yang disebut hemoglobin S (HbS), menjadi kaku dan membentuk

konfigurasi seperti sabit jika terpajan oksigen berkadar rendah. Tekanan oksidatif juga

memicu produksi hasil akhir glikasi yang masuk ke dalam sirkulasi, sehingga

memperburuk proses patologi vaskular pada individu yang mengidap anemia sel sabit.

Sel darah merah pada anemia sel sabit ini kehilangan kemampuan untuk bergerak dengan

mudah melewati pembuluh yang sempit dan akibatnya terperangkap di dalam

mikrosirkulasi. Hal ini menyebabkan penyumbatan aliran darah ke jaringan di bawahnya,

akibatnya timbul nyeri karena iskemia jaringan.

Meskipun bentuk sel sabit ini bersifat reversible atau dapat kembali ke bentuk

semula jika saturasi hemoglobin kembali normal, sel sabit sangat rapuh dan banyak yang

sudah hancur di dalam pembuluh yang sangat kecil, sehingga menyebabkan anemia. Sel-

sel yang telah hancur disaring dan dipindahkan dari sirkulasi ke dalam limpa; kondisi ini

mengakibatkan limpa bekerja lebih berat. Jaringan parut dan kadang-kadang infark (sel

yang sudah mati) dari berbagai organ, terutama limpa dan tulang, dapat terjadi. Disfungsi

multiorgan sering terjadi setelah beberapa tahun.

Kondisi-kondisi yang dapat menstimulasi sel sabit antara lain hipoksia, ansietas,

demam, dan terpajan dingin. Karena limpa merupakan organ imun yang penting, infeksi,

terutama yang disebabkan bakteri, umumnya dan sering menstimulasi krisis sel sabit.

Morfologi sel darah merah Normositik normokromik, sampai sedikit

mikrositik, bentuk sell abnormal (sickle sell,

target sell, dll)

Polikromasia Ada

Sel darah merah dengan inti Ada, setelah infark limpa

Indeks retikulosit > 3 - 5

9

Page 10: G6PD

Rasio E/G sumsum tulang > 1 : 1

Bilirubin / LDH Meningkat

Besi serum (SI)/ TIBC Normal - meningkat

Serum ferritin > 100 µg/dL

Tabel 2. Profil eritropoietik hemoglobinopati

Pemeriksaan elektrofiresis hemoglobin juga dilakukan untuk membantu diagnosis.

Etiologi

Gen yang mengekspresikan G6PD terletak pada kromosom X (pita X q28). Defisiensi

enzim diekspresikan pada laki – laki membawa gen yang bervariasi (XY), sedangkan pada

wanita yang dapat terjadi kekurang enzim seperti laki – laki pada gen homozigot XX, dan yang

memiliki gen heterozigot (XX) dapat bervariasi dari normal sampai kekurangan seperti pada laki

– laki XY. win,har

Gambar. Pedigree penurunan genetik x-linked resesif

10

Page 11: G6PD

Terdapat beberapa varian G6PD yang telah ditemukan, seperti G6PD B, G6PD A+, G6PD

A- (kelas III), G6PD Mediterranian (kelas II), dan G6PD Canton. win

WHO mengklasifikasikan defisiensi G6PD berdasarkan keparahan defisiensi enzim serta

hemolisis yang terjadi : win

Kelas I : defisiensi enzim parah (<10-20% dari normal) dan anemia hemolitik kronik

Kelas II : defisiensi enzim parah (<10-20% dari normal) dan anemia hemolitik intermiten

Kelas III : defisiensi enzim sedang (10 – 60% dari normal) dengan hemolisis intermiten

yang disebabkan oleh infeksi atau obat

Kelas IV : tidak ada kekurangan enzim dan hemolisis

Kelas V : efektivitas enzim yang meningkat

Epidemiologi

G6PD merupakan defisiensi enzim sel darah merah yang paling sering terjadi di dunia,

diperkirakan terdapat lebih dari 400 juta penderita. Walaupun terdistribusi secara global,

defisiensi G6PD terbanyak terdapat pada zona tropis dan subtropis pada hemisfer timur. win

Prevalensi pada laki – laki Asia, didapatkan 14% di Kamboja, 5.5% di Cina selatan, 2.6%

di India, dan <0.1% di Jepang. Di Cina, frekuensi G6PD pada laki – laki berkisar antara 0 –

17.4%, dengan angka yang tertinggi terdapat pada kelompok etnik yang secara geografi

berhubungan dengan malaria. win

Gejala Klinik win, har

1. Anemia hemolitik akut : Lemah, malaise, pucat, dengan atau tanpa nyeri abdomen atau

punggung, pada serangan akut. Setelah beberapa jam atau 2-3 hari, pasien mengalami

jaundice dan urin gelap, karena hemoglobinuria. Anemia yang terjadi ringan sampai

sedang, biasanya normositik normokrom. Dan diasosiasikan dengan hemoglobinemia,

hemoglobinuria, LDH yang meningkat, dan menurunnya haptoglobin karena hemolisis

intravascular. Juga ditemukan meningginya bilirubin tidak terkonjugasi akibat hemolisis

ekstravaskular yang terjadi.

11

Page 12: G6PD

Terjadi penurunan Hb 3-4 g/dl. Pada sediaan hapus darah tepi dapat ditemukan

anisositosis, polikromasi, sferosit, dan bite cell. Terjadi kenaikan retikulosit 5 hari, atau

maksimal 7 – 10 hari setelah hemolisis. Pada pewarnaan methyl violet dapat ditemukan

Heinz body.

Walaupun pemberian obat dilanjutkan, hemolisis akut terhenti secara spontan setelah

kurang lebih 1 minggu, dan konsentrasi hemoglobin kembali seperti semula. Anemia

yang terjadi self-limited karena eritrosit tua diganti dengan eritrosit muda dengan G6PD

yang lebih cukup. Umur eritrosit pada waktu pemberian darah menurun, tetapi

dikompensasi oleh produksi sumsum tulang.

Drug-induced hemolisis

Infection-induced hemolisis : Salmonella, E.coli, beta-hemolitik streptokokus, hepatitis.

2. Dapat ditemukan batu empedu dan splenomegali

3. Favism, yaitu reaksi hemolitik akibat mengkonsumsi fava beans

4. Neonatal hiperbilirubinemia

Puncak gejala klinik terjadi pada hari ke 2 – 3, dan kebanyakan anemia yang terjadi tidak

berat. Tetapi jaundice berat dapat terjadi pada bayi dengan defisiensi berat, terutama pada

bayi yang premature, terinfeksi, atau yang terpapar pada faktor lingkungan (seperti kapur

barus yang digunakan pada baju dan sprei bayi).

5. Chronic nonsferosit hemolitik anemia, keadaan anemia kronik pada penderita defisiensi

G6PD.

12

Page 13: G6PD

Gambar 2. Zat yang menginduksi hemolisis pada defisiensi G6PD

13

Page 14: G6PD

Patofisiologi

HMP shunt merupakan satu – satunya sumber NADPH dalam sel darah merah, yang

digunakan sebagai kofaktor penting dalam metabolisme glutation. Di dalam sel darah merah

terdapat konsentrasi tinggi glutation yang tereduksi (GSH), yang berfungsi sebagai agen

pereduksi untuk melindungi sel dari jejas oksidan. Okisidan, seperti anion superoksida dan

hidrogen peroksida dikeluarkan oleh faktor eksogen (obat, infeksi) dan juga dari dalam sel darah

merah sebagai konsekuensi bersatunya hemoglobin dengan oksigen.

Tetapi ketika oksidan – oksidan tersebut terakumulasi dalam sel darah merah,

hemoglobin dan protein teroksidasi sehingga menyebabkan menurunnya fungsi SDM dan

berujung pada kematian sel. Pada keadaan normal, ini tidak terjadi karena GSH menginaktifasi

oksidan – oksidan ini. Dalam proses detoksifikasi oksidan, GSH berubah menjadi glutation yang

teroksidasi (GSSG), dan konsentrasi GHS menurun. win

Untuk mempertahankan mekanisme tersebut, konsentrasi GSH harus dipertahankan, dan

ini dilakukan oleh glutation reduktase (GSSG-R), yang mengkatalisasi reduksi GSSG menjadi

GSH. Reaksi ini memerlukan NADPH yang dihasilkan uleh glukosa-6-fosfat dehidrogenase

(G6PD), proses enzimatik pertama dari HMP shunt. Karena itu, jalur HMP shunt serta

metabolisme glutation sangat berperan dalam melindungi protein intraselular dari bahan

oksidatif. win

14

Page 15: G6PD

Gambar 3. Jalur metabolism oksidan oleh enzim G6PD

Saat SDM menua, aktivitas G6PD menurun. Enzim normal (G6PD B) memiliki waktu

half-life 62 hari pada in-vivo. Walaupun terdapat kekurangan ini pada aktifitas enzim, SDM tua

normal memiliki aktivitas G6PD yang cukup untuk memproduksi NADPH sehingga dapat

mempertahankan konsentrasi GSH untuk mengatasi oksidan. Sedangkan, G6PD varian yang

diasosiasikan dengan hemolisis sangat tidak stabil dan memiliki half-life yang lebih singkat.

Aktivitas G6PD A- pada retikulosit tergolong normal, tetapi setelah itu menurun drastis sampai

mencapai half-life 13 hari. Pada G6PD Mediterranian, penurunan lebih drastis, sampai hanya

beberapa jam. Ini menyebabkan hemolisis pada G6PD A- ringan, dan hanya terbatas pada

eritrosit yang tua, sedangkan pada G6PD Mediterranian hemolisis lebih parah dan dapat

mengenai semua eritrosit. win

Eritrosit dengan defisiensi G6PD yang terpapar dengan oksidan (infeksi, obat, fava

beans) menjadi kekurangan GSH. Oksidasi sulfhidril pada hemoglobin menyebabkan

pembentukan formasi globin yang terdenaturasi atau sulfhemoglobin. Sehingga menyebabkan

massa tidak larut yang menempel pada membran eritrosit, yang disebut sebagai Heinz body.

Hasil akhirnya berupa eritrosit yang kaku sehingga rentan terhadap stagnansi dan destruksi oleh

makrofag retikuloendotelial di limpa dan hepar. Hemolisis terjadi pada intravaskular dan

15

Page 16: G6PD

ekstravaskular, pada hemolisis intravaskular menyebabkan meningkatnya hemoglobinemia dan

hemoglobinuria. win

Tatalaksana

1. Tidak ada penanganan khusus kecuali menghindari zat – zat yang memicu terjadinya

hemolisis

2. Transfusi darah pada keadaan anemia hemolisis berat

3. Jika terdapat gagal ginjal akut, dapat dilakukan hemodialisis

4. Single IM dose of Sn-mesoporphyrin, pada bayi dengan jaundice berat sebagai inhibitor

heme oksigenase, tetapi belum tersedia secara klinik win

Pencegahan

Mencegah faktor pencetus hemolisis seperti stress, obat-obatan, dan infeksi. Skrining tes

perlu dilakukan untuk deteksi dini sehingga pasien dapat menjaga makanan, obat-obatan, dan

pola hidupnya.

Karena G6PD merupakan penyakit genetic, maka munculnya tidak bisa dicegah. Dapat

diketahui dengan melakukan pemeriksaan genetic orang tua. Apabila didapatkan seorang bayi

menderita G6PD, maka dokter harus memberikan penyuluhan seperti :

- memberitahu orang tua bayi bahwa anak mereka mengalami defisiensi G6PD

- menjelaskan secara garis besar tentang defisiensi G6PD

- menjelaskan agen-agen oksidan yang dapat menyebabkan anak mengalami

pucat/lemas/pingsan

- menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh orang tua bila didapatkan gejala-gejala

defisiensi G6PD

Komplikasi

Acute renal failure akibat hemolisis yang terjadi.

Prognosis

Baik

16

Page 17: G6PD

Daftar Pustaka

1. Fauci AS, et al. Harrison’s principles of internal medicine.Edisi 18. USA:

McGraw-Hill Companies; 2011. Hal. 872-86.

2. wintrobe

3. Vinay K, Abbas A, Fausto N. Robins & cotran dasar patologis penyakit. Edisi 7.

Jakarta;EGC:2005. Hal 645-6.

4.

17