fuad ar - study kelayakan industri pengolahan rumput laut di provinsi ntb

50
KONSULTAN PERIKANAN BUDIDAYA, PENANGANAN PASCA PANEN & PENGOLAHAN FUAD ANDHIKA RAHMAN, S.Pi, M.Sc Riwayat Pendidikan 1. SDN 8 Mataram (1988 - 1994) 2. SMPN 1 Mataram (1994 – 1997) 3. SMAN 1 Mataram (1997 – 2000) 4. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya (2000 – 2005) 5. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (2007 – 2009) Riwayat Magang dan Pelatihan 1. Magang Pembenihan Kerapu Tikus : Balai Budidaya Air Payau Situbondo (Agustus 2001) 2. Magang Pengalengan Ikan : PT Blambangan Muncar Banyuwangi (Februari – Maret 2002) 3. Magang Pembenihan Udang Windu : Balai Budidaya Air Payau Jepara (Juli – Agustus 2002) 4. Magang Pembenihan Udang Galah : Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi (15 Juli – 04 Agustus 2003) 5. International Symposium On Ecology And Health Safety Aspects Of Genetically Modified Agricultural Products (Brawijaya University, Malang 20 May 2002) 6. Pelatihan Pengukuran Kualitas Air (Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya 11 – 12 Mei 2002) 7. Pelatihan Best Management Practices Budidaya Udang Vanamei (BBAP Situbondo, 4 – 9 Juni 2007) Riwayat Organisasi 1. Presiden Junior Achievement International (JAI) Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Periode 2003 – 2004 2. KaDiv Litbang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Periode 2003 – 2004 3. Ketua Forum Pemberdayaan Mahasiswa dan Masyarakat Perikanan (FPMMP) Periode 2004 – 2005 4. Ko. Asisten Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Periode 2004 – 2005 Riwayat Publikasi dan Karya Tulis 1. Gynogenesis, Menciptakan Koi Seperti Indukan (Tabloid IndoFish Edisi 15/Oktober 2004) 2. Mengantisipasi Saat Virus Mewabah (Tabloid IndoFish Edisi18/Januari 2005) 3. Kumpulan e-book Rumput Laut (18 Buku) : akses di www.scribd.com / www.slideshare.com /www.jasuda.net 4. Skripsi : Pengaruh Umur Bibit dan Frekuensi Perendaman ZPT Agrogibb Yang Berbeda Terhadap Laju Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma cottonii Dengan Menggunakan Metode Rakit Apung (2005) 5. Tesis : Perancangan Klaster Aquabisnis Rumput Laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Lombok Timur (2009) Head Office : Perumahan Puncang Hijau Blok R-06 Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat NTB Telp. (0370) 634234 – HP. 08175774979 Email/FB : [email protected] Instansi : 1. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB (2005 – 2010) 2. Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Bakorluh) Provinsi NTB (2010 – sekarang)

Upload: fuad-andhika-rahman-spi-msc

Post on 26-Jun-2015

3.728 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

KONSULTAN PERIKANANBUDIDAYA, PENANGANAN PASCA PANEN & PENGOLAHANFUAD ANDHIKA RAHMAN, S.Pi, M.ScRiwayat Pendidikan 1. SDN 8 Mataram (1988 - 1994) 2. SMPN 1 Mataram (1994 – 1997) 3. SMAN 1 Mataram (1997 – 2000) 4. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya (2000 – 2005) 5. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (2007 – 2009) Riwayat Magang dan Pelatihan 1. Magang Pembenihan Kerapu Tikus : Balai Budidaya Air Payau Situbondo (Agustus 2001) 2. Magang Pengalengan Ikan : PT Blambangan

TRANSCRIPT

Page 1: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

KONSULTAN PERIKANAN

BUDIDAYA, PENANGANAN PASCA PANEN & PENGOLAHAN

FUAD ANDHIKA RAHMAN, S.Pi, M.Sc

Riwayat Pendidikan

1. SDN 8 Mataram (1988 - 1994)

2. SMPN 1 Mataram (1994 – 1997)

3. SMAN 1 Mataram (1997 – 2000)

4. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya (2000 – 2005)

5. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (2007 – 2009)

Riwayat Magang dan Pelatihan

1. Magang Pembenihan Kerapu Tikus : Balai Budidaya Air Payau Situbondo (Agustus 2001)

2. Magang Pengalengan Ikan : PT Blambangan Muncar Banyuwangi (Februari – Maret 2002)

3. Magang Pembenihan Udang Windu : Balai Budidaya Air Payau Jepara (Juli – Agustus 2002)

4. Magang Pembenihan Udang Galah : Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi (15 Juli – 04 Agustus 2003)

5. International Symposium On Ecology And Health Safety Aspects Of Genetically Modified Agricultural Products

(Brawijaya University, Malang 20 May 2002)

6. Pelatihan Pengukuran Kualitas Air (Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya 11 – 12 Mei 2002)

7. Pelatihan Best Management Practices Budidaya Udang Vanamei (BBAP Situbondo, 4 – 9 Juni 2007)

Riwayat Organisasi

1. Presiden Junior Achievement International (JAI) Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Periode 2003 – 2004

2. KaDiv Litbang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Periode 2003 – 2004

3. Ketua Forum Pemberdayaan Mahasiswa dan Masyarakat Perikanan (FPMMP) Periode 2004 – 2005

4. Ko. Asisten Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Periode 2004 – 2005

Riwayat Publikasi dan Karya Tulis

1. Gynogenesis, Menciptakan Koi Seperti Indukan (Tabloid IndoFish Edisi 15/Oktober 2004)

2. Mengantisipasi Saat Virus Mewabah (Tabloid IndoFish Edisi18/Januari 2005)

3. Kumpulan e-book Rumput Laut (18 Buku) : akses di www.scribd.com / www.slideshare.com /www.jasuda.net

4. Skripsi : Pengaruh Umur Bibit dan Frekuensi Perendaman ZPT Agrogibb Yang Berbeda Terhadap Laju

Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma cottonii Dengan Menggunakan Metode Rakit Apung (2005)

5. Tesis : Perancangan Klaster Aquabisnis Rumput Laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Lombok Timur (2009)

Head Office : Perumahan Puncang Hijau Blok R-06 Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat NTB

Telp. (0370) 634234 – HP. 08175774979

Email/FB : [email protected]

Instansi :

1. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB (2005 – 2010)

2. Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Bakorluh) Provinsi NTB (2010 – sekarang)

Page 2: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu dari 7 (tujuh) Provinsi pemasok

rumput laut nasional. Kondisi NTB yang merupakan Provinsi kepulauan sangat prospektif

untuk dijadikan daerah penghasil rumput laut, mengingat dari total luas wilayah NTB,

59,13% total wilayah berupa perairan. Adapun potensi tersebut hingga saat ini belum seratus

persen dimanfaatkan atau dikelola dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari seluruh areal potensi

rumput laut yaitu 25.883 hektar, baru 7.812,88 hektar yang dimanfaatkan.

Areal rumput laut tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota se - NTB, baik di Pulau

Lombok maupun di Pulau Sumbawa. Kondisi ini merupakan sebuah peluang sekaligus

tantangan untuk pengolahan rumput laut yang lebih baik dari sebelumnya. Namun

pemanfaatan dan pengolahan rumput laut itu belum maksimal. Untuk itu pemerintah Provinsi

NTB melalui program PIJAR (Sapi, Jagung, dan Rumput Laut) akan memaksimalkan semua

potensi yang ada untuk dikelola dengan baik. Sehingga NTB menargetkan diri menjadi salah

satu pemasok kebutuhan rumput laut baik domestik maupun ekspor. Secara nasional, NTB

menempati urutan kedua setelah Maluku Utara dan NTT menempati urutan ketiga.

Komoditas rumput laut makin menarik karena pemanfaatannya makin meluas. Dari

27 marga rumput laut dapat dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk komersil mulai

dari agar-agar, pakan ternak, makanan olahan, obat-obatan atau farmasi, kosmetik, kertas,

tekstil, hingga pelumas untuk sumur pengeboran.

Ekspor rumput laut masih berupa bahan primer (mentah) sehingga harga jualnya

rendah. Meskipun demikian, angka produksi rumput laut kering NTB dari tahun ke tahun

terus mengalami peningkatan. Peningkatan produksi ini juga berimbas pada peningkatan nilai

ekonomi rumput laut nasional termasuk NTB. Berdasarkan data statistik, ekspor nasional

rumput laut sebesar 95.588 ton, dengan nilai sebesar 49.586.226 dollar U$. Pada tahun 2008,

nilai ekspor rumput laut dalam bentuk bahan primer bernilai 30 riliun. Produksi nasional

rumput laut terbanyak saat ini diraih oleh NTT, kemudian NTB diurutan kedua dan Maluku

Utara menempati posisi ketiga.

Dari semua potensi tersebut, hanya berkutat pada industri hulu (budidaya) sehingga

rumput laut yang diekspor masih berupa bahan primer. Untuk itu perlu pengembangan kearah

industri hilir (olahan). Kondisi indutri hilir rumput laut masih tergolong minim dan

terkonsentrasi di kota-kota besar saja seperti Surabaya dan jakarta. Minimnya industri hilir

Page 3: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 2

dinilai merugikan terutama bagi industri hulu (budidaya) yang banyak tersebar di Kawasan

Timur Indonesia (KTI). Akselerasi industri hulu harus diimbangi dengan industri hilir

sehingga merubah orientasi pemasaran dalam bentuk bahan mentah menjadi bahan jadi atau

setengah jadi. Dengan demikian dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi

daerah yang mengembangkan iklim investasi industri hilir rumput laut.

NTB sebagai daerah pemasok kebutuhan rumput laut nasional semestinya merubah

orientasi pemasaran rumput laut dengan mengembangkan industri hilir rumput laut. Sehingga

potential loss PAD dapat diminimalisir dan membuka peluang bagi pembudidaya untuk

menikmati nilai tambah.

Di Indonesia baru terdapat 12 (dua belas) pabrik pengolahan rumput laut. Direktorat

Industri, Agro dan Kimia pada Kementerian Perindustrian menyarankan agar Pemerintah

Provinsi Nusa Tenggara Barat melakukan studi kelayakan terhadap potensi industri rumput

laut. Untuk itu, sangatlah beralasan apabila NTB menjemput bola untuk mengembangkan

industri hilir (olahan) rumput laut. Sehubungan dengan itu, Pemerintah Provinsi NTB

melakukan Studi Kelayakan (Feasibility Study) Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi

NTB sebagai upaya sistematis dan berkelanjutan untuk menjawab tantangan sekaligus

peluang pengembangan rumput laut di NTB.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan pelaksanaan Studi Kelayakan (Feasibility Study) Industri Pengolahan Rumput

Laut Provinsi NTB adalah adanya kajian atau studi kelayakan dan memberikan berbagai

rekomendasi teknis terkait industri pengolahan rumput laut di NTB.

Sedangkan manfaat pelaksanaan Studi Kelayakan (Feasibility Study) Industri

Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB adalah adanya kajian khusus yang dapat dijadikan

kerangka acuan terhadap industri pengolahan rumput laut di NTB.

1.3 Output Kegiatan

Output dari kegiatan ini adalah dihasilkannya suatu Studi Kelayakan (Feasibility

Study) Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB yang berisi rencana implementasi

pasca Studi Kelayakan (Feasibility Study) Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB.

Page 4: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 3

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Study Kelayakan

Studi kelayakan merupakan suatu kebutuhan tentang ketersediaan dan persediaan

akan keunggulan dan kelemahan suatu sistem. Studi kelayakan dilakukan dengan survei yang

menghasilkan dokumen-dokumen kebutuhan. Berdasarkan dokumen kebutuhan dan studi

kelayakan, dapat disusun persyaratan perangkat lunak. Menentukan kemungkinan

keberhasilan solusi yang diusulkan. Berguna untuk memastikan bahwa solusi yang diusulkan

tersebut benar-benar dapat dicapai dengan sumberdaya dan dengan memperhatikan kendala

yang terdapat pada perusahaan serta dampak terhadap lingkungan sekeliling. Analis sistem

melaksanakan penyelidikan awal terhadap masalah dan peluang bisnis yang disajikan dalam

usulan proyek pengembangan sistem.

2.2 Aspek-Aspek Study Kelayakan

Kelayakan suatu proyek biasanya diukur dengan dua macam kelayakan, yaitu :

kelayakan teknis serta kelayakan ekonomi dan finansial. Kelayakan teknis berkaitan dengan

pertanyaan apakah secara teknis, proyek tersebut dapat dilaksanakan. Contoh : apakah

jembatan yang diusulkan dapat menahan beban lalu lintas yang akan terjadi diatasnya?

Sedangkan kelayakan ekonomi dan finansial berkaitan dengan biaya dan keuntungan.

2.2.1 Kelayakan Teknis

Dua kriteria prinsip yang termasuk dalam kategori teknis adalah : efektivitas dan

ketercukupan (adequacy). Efektif berarti proyek dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Cara paling langsung dan cepat untuk memprediksi kelayakan teknis adalah dengan cara

melihat apakah proyek seperti itu secara teknis dapat dilaksanakan di tempat lain.

Beberapa dimensi dalam keefektivitasan meliputi : langsung atau tidak langsung,

jangka panjang atau jangka pendek, bisa dikuantitatifkan atau tidak, mencukupi atau tidak.

Proyek dikatakan berpengaruh langsung bila pengaruh tersebut memang menjadi tujuan

proyek tersebut. Pengaruh tidak langsung merupakan pengaruh ikutan, yang sebenarnya

bukan menjadi tujuan proyek tersebut. Kategori pengaruh menjadi jangka panjang dan jangka

pendek tergantung macam program.

Seberapa jauh jangka panjang tersebut, sangat relatif, berbeda dari satu program ke

program lain. Sebagai rumus umum, jangka panjang berarti jauh ke masa depan, sedangkan

jangka pendek adalah waktu yang segera tiba. Beberapa pengaruh dapat diukur secara

Page 5: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 4

kuantitatif, sedangkan sisanya perlu dicari dengan cara lain. Contoh : perubahan harga tanah

bisa dikuantitatifkan, sedangkan perubahan estetika lingkungan sulit untuk dikuantitatifkan.

Dalam hal ketercukupan, proyek mungkin tidak dapat mencukupi hal-hal yang

menjadi tujuan atau tidak cukup mengatasi permasalahan. Contoh : proyek tidak dapat

membiayai secara penuh semua kegiatan yang diperlukan, jadi harus dipilih kegiatan -

kegiatan utamanya saja (yang taktis).

2.2.2 Kelayakan Ekonomi dan Finansial

Tiga konsep yang sering dijumpai dalam kelayakan ekonomi, yaitu : kriteria yang

terlihat dan yang tidak terlihat, dapat atau tidak dapat diukur secara moneter, dan langsung

atau tak langsung diukur dengan analisis biaya - keuntungan (cost benefit analysis). Secara

umum, biaya dan keuntungan yang terlihat (tangible) adalah yang bisa dihitung dengan jelas.

Biaya dan keuntungan yang dapat diukur secara moneter (moneterizable) bahkan lebih jauh

lagi, yaitu dapat dinyatakan dalam ukuran satuan uang. Hal ini dimungkinkan karena kita

dapat mengukurnya di pasaran. Dalam hal langsung atau tidak langsung, tergantung pada

tujuan utama proyek. Keuntungan yang menjadi tujuan utama merupakan pengaruh langsung.

Cara yang populer untuk mengukur efisiensi adalah analisis perbandingan biaya

lawan keuntungan (cost - benefit analysis). Proyek dinilai efisien, apabila nilai keuntungan

yang (dapat) diperoleh melebihi nilai biaya yang (akan) dikeluarkan. Profitabilitas

(profitability) merupakan salah satu ukuran yang dipakai Pemerintah Daerah dalam mengkaji

usulan proyek atau program. Ukuran ini memperlihatkan selisih antara pendapatan yang akan

diterima Pemerintah, dikurangi biaya yang harus dikeluarkan berkaitan dengan proyek yang

diusulkan. Efektivitas biaya merupakan ukuran lain, yang berarti dapat mencapai tujuan

dengan biaya yang minimal. Salah satu yang paling sedikit memerlukan biaya itulah yang

paling tinggi efektif biayanya.

2.3 Minapolitan Rumput Laut

Minapolitan diartikan sebagai kota perikanan atau kota di daerah lahan perikanan atau

perikanan di daerah kota. Jadi minapolitan adalah kota perikanan yang tumbuh dan

berkembang karena berjalannya sistem dan usaha perikanan serta mampu melayani,

mendorong, menarik dan menghela kegiatan pembangunan ekonomi daerah sekitarnya.

Minapolitan berada dalam kawasan pemasok hasil perikanan (sentra produksi perikanan)

yang mana kawasan tersebut dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap mata

pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya.

Page 6: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 5

Program pengembangan kawasan minapolitan adalah program pembangunan

perekonomian yang berbasis perikanan di kawasan agribisnis yang dirancang dan

dilaksanakan dengan cara mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong

berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan,

berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh

Pemerintah. Kawasan minapolitan diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan

perekonomian wilayah dalam sektor perikanan serta mampu mencukupi kebutuhan ikan

dalam skala regional dan nasional. Minapolitan rumput laut dapat didefinisikan menjadi suatu

kawasan pengembangan ekonomi berbasis perikanan yang dikembangkan secara bersama

oleh pemerintah, swasta dan organisasi non pemerintah di suatu wilayah atau kawasan yang

ditetapkan untuk mengembangkan bisnis rumput laut, untuk menciptakan kondisi yang lebih

baik, meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal dan penciptaan lapangan kerja.

Program minapolitan rumput laut merupakan salah satu bentuk program percepatan

(acceleration) dengan tujuan untuk mencapai populasi, produksi dan produktivitas rumput

laut secara optimal sesuai dengan daya dukung sumberdaya lahan yang tersedia di NTB.

Program percepatan tersebut berangkat dari capaian kinerja program reguler beberapa tahun

terakhir yang tercermin pada kondisi 2008 (existing conditioner).

Tujuan minapolitan rumput laut NTB diharapkan dapat tercapai pada tahun 2013 atau

selama 5 (lima) tahun anggaran (2009 – 2013). Sasaran pengembangan adalah terbentuknya

sentra – sentra bisnis rumput laut yang disebut sebagai “kawasan minapolitan rumput laut”,

yang memiliki komponen budidaya dan pasar yang lengkap (terdapat produsen dan

pengumpul/konsumen yang terbentuk karena adanya produksi). Tahapan pelaksanaannya

adalah adanya areal target yang diyakini sesuai untuk ditanami rumput laut dan dapat

diterapkan teknik budidaya rumput laut dengan pilihan metode budidaya tertentu. Selanjutnya

dilaksanakan kegiatan sosialisasi, karena sifat laut yang common properties dan open acces,

sehingga harus ada penetapan para pembudidaya dan pelaku bisnis, sehingga dapat

memobilisasi penduduk secara non permanen. Setelah ada para pembudidaya yang permanen

dan pelaku bisnis yang lengkap, maka selanjutnya difasilitasi menjadi kawasan minapolitan

rumput laut (Blue Print Minapolitan Rumput Laut, 2009).

2.4 Rumput Laut Euchuema Cottonii

2.4.1 Taksonomi dan Morfologi

Menurut Meiyana et.al. (2001), taksonomi dari Eucheuma cottonii dapat diklasifikasikan

sebagai berikut :

Page 7: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 6

Phylum : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Family : Soliericeae

Genus : Eucheuma

Species : Eucheuma cottonii Lin

Menurut Meiyana et.al. (2001), rumput laut jenis Eucheuma sp tergolong dalam kelas

Rhodophyceae (alga merah). Ciri-ciri umum antara lain : terdapat tonjolan-tonjolan (nodules) dan

duri (spines), thallus berbentuk silindris atau pipih, bercabang-cabang tidak teratur, berwarna

hijau kemerahan bila hidup dan bila kering berwarna kuning kecoklatan.

Gambar 1. Rumput Laut Eucheuma cottonii

2.4.2 Ekologi dan Daerah Penyebaran

Rumput laut Eucheuma cottonii mempunyai habitat yang khas, yaitu daerah yang

memperoleh aliran air laut yang tetap dan mempunyai variasi suhu harian yang kecil. Alga jenis

ini tumbuh mengelompok dan bersimbiosis terutama dalam penyebaran spora (Aslan, 1991).

Tabel 1. Daerah Penyebaran Rumput Laut Kelas Rhodophyceae di Indonesia

Jenis Lokasi Acanthophora sp. Kep. Kangean, Lombok, Sumatera Utara, Kep. Seribu, Bawean Corallopsis minor Bali Eucheuma cottonii Bali, Maluku, Sulawesi Tengah, Selat Alas, Sumba

Eucheuma edule Kep. Seribu, Jawa Tengah, Bali, Madura, Sumatera Utara, Riau, Sulawesi, Maluku, Lombok, P. Komodo

Eucheuma muricatum Seram, P. Komodo, Bali, Sulawesi, Kep. Seribu

Eucheuma spinosum Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kep. Seribu, Maluku, Jawa Tengah, Bali, NTT, NTB

Eucheuma striatum Kep. Seribu Gracillaria lichenoides Bangka, Maluku, NTB Gelidium sp. Jawa, Ambon, Riau, Sumatera Utara, Bali, NTB, NTT Gracillaria coronopifolia Sumatera Utara, Jawa Tengah Gracillaria sp Pantai Selatan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur

Page 8: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 7

Rumput laut jenis Eucheuma cottonii berasal dari perairan Sabah (Malaysia) dan

Kepulauan Sulu (Filipina). Kemudian dikembangkan ke berbagai negara sebagai tanaman

budidaya. Penyebarannya hampir merata di seluruh Indonesia khususnya di daerah Lampung,

Maluku, dan Selat Alas.

2.4.3 Perkembangbiakan

Meiyana et.al., (2001) menjelaskan, reproduksi rumput laut dapat terjadi melalui dua

cara yaitu :

a. Reproduksi Generatif

Pada peristiwa perbanyakan secara generatif, rumput laut yang diploid (2n) menghasilkan

spora yang haploid (n). Spora ini kemudian menjadi dua jenis rumput laut yaitu jantan

dan betina yang masing-masing bersifat haploid (n) yang tidak mempunyai alat gerak.

Selanjutnya rumput laut jantan akan menghasilkan sperma dan rumput laut betina akan

menghasilkan sel telur. Apabila kondisi lingkungan memenuhi persyaratan akan

menghasilkan suatu perkawinan dengan terbentuknya zygot yang tumbuh menjadi

tanaman rumput laut.

b. Reproduksi Vegetatif

Proses perbanyakan secara vegetatif berlangsung tanpa melalui perkawinan, dimana

perkembangbiakannya dapat dilakukan dengan cara stek/memotong cabang-cabang

rumput laut dengan syarat : potongan rumput laut tersebut merupakan thallus muda,

masih segar, berwarna cerah dan mempunyai percabangan yang banyak, tidak tercampur

lumut atau kotoran, serta bebas atau terhindar dari penyakit.

2.4.4 Kandungan dan Manfaat

Karaginan biasanya diproduksi dalam bentuk garam Na, K, Ca. Tingkat

pemanfaatannya diestimasi mencapai hampir 80%, terutama dalam bidang industry makanan,

farmasi dan kosmetik. Pada industri makanan, karaginan dipergunakan sebagai stabilizer,

emulsifier serta bahan pengental. Selain itu juga berfungsi sebagai bahan tambahan makanan

dalam pembuatan coklat, saos tomat, sup, susu, puding, makanan kaleng dan bakery. Di

bidang farmasi, karaginan kerap dipergunakan sebagai pengsuspensi, pengemulsi serta

penstabil pada produk pasta gigi, obat-obatan dan minyak alami (Istini dkk, 2007).

Kandungan utama rumput laut Eucheuma cottonii adalah kappa karaginan. Iota karaginan

diperoleh dari Eucheuma spinosum, sedangkan lambda karaginan diperoleh dari Eucheuma

striatum, Gigartina dan Chondrus crispus.

Page 9: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 8

Karaginan merupakan senyawa polisakarida yang tersusun dari unit D-galaktosa dan

Lgalaktosa 3,6 anhidrogalaktosa yang dihubungkan oleh ikatan 1-4 glikosidik Setiap unit

galaktosa mengikat gugusan sulfat. Kappa karaginan tersusun dari (1 - > 3) D-galaktosa-4 sulfat

dan (1 - > 4) 3,6 anhydro-D-galaktosa. Iota karaginan mengandung 4-sulfat ester pada setiap

residu D-galaktosa dan gugusan 2 sulfat ester pada setiap gugusan 3,6 anhydro-D-galaktosa.

Sedangkan lambda karaginan memiliki sebuah residu disulphated (1-4) D-galaktosa (Istini dkk,

2007). Struktur kimia kappa, iota dan lambda karaginan ditunjukkan gambar 2 berikut :

Gambar 2. Struktur Kimia Kappa, Iota dan Lambda Karaginan

2.5 Karakteristik Mutu Rumput Laut Eucheuma cottonii

2.5.1 Kadar Air

Kadar air menyatakan jumlah air serta bahan-bahan volatil yang terkandung dalam

rumput laut. Tinggi rendahnya nilai kadar air ditentukan oleh kondisi pengeringan,

pengemasan serta cara penyimpanan. Kondisi penyimpanan, pengeringan dan pengemasan

Page 10: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 9

yang kurang rapat berpotensi meningkatkan kandungan air sehingga mutu rumput laut yang

dihasilkan menjadi menurun (Syamsuar, 2006).

Rumput laut kering dengan kadar air yang tinggi akan lebih mudah rusak. Rumput

laut bersifat higroskopis sehingga penyimpanan pada tempat yang lembab akan menyebabkan

kerusakan menjadi lebih cepat terjadi. Standard kadar air rumput laut Eucheuma cottonii

berdasarkan SNI 01-02690-1992, ditetapkan maksimum 35% (Syamsuar, 2006).

2.5.2 Kandungan Rumput Laut Bebas Benda Asing/Salt Free Dry Matter (SFDM) dan Salt And Sand (SS) Salt Free Dry Matter (SFDM) didefinisikan sebagai jumlah (%) material rumput laut

kering yang bebas dari benda asing, setelah dibersihkan dari kotoran berupa garam, pasir,

plastik, kaca dan benda-benda asing lainnya, termasuk Eucheuma spinosum (Neish, 2007).

Kadar SFDM yang dipersyaratkan industri pengolahan (processor) minimal sebesar 34%

(b/b) (Anonymousm, 2008).

Salt didefinisikan sebagai material yang hilang/larut setelah direndam dan dicuci.

Sedangkan Sand adalah material yang tidak hilang/larut setelah direndam dan dicuci (Neish,

2007). Salt And Sand (SS) adalah jumlah (%) benda asing yang terikut pada rumput laut yang

harus dihilangkan. Benda asing tersebut dihitung sebagai bagian dari pasir (termasuk pula

didalamnya kotoran dan material tanaman) (Neish, 2007). Kadar SS yang dipersyaratkan

industri pengolahan (processor) maksimal 28% (b/b) (Anonymousm, 2008).

2.5.3 Sand Determination (SD)

Sand Determination (SD) adalah penentuan berat substrat pada rumput laut kering

tanpa garam yang merupakan berat total yang dihitung sebagai bagian dari pasir (termasuk

pula didalamnya kotoran dan material tanaman) yang terdapat dalam sampel (Neish, 2007).

Kadar SD yang dipersyaratkan industri pengolahan (processor) berkisar antara 2-5% (b/b)

(Anonymousm, 2008).

2.5.4 Kadar Karaginan

Kadar karaginan menyatakan kandungan total polisakarida yang terkandung dalam

rumput laut merah (Rhodopyceae) kering, melalui proses ekstraksi dengan menggunakan air

panas (hot water) atau larutan alkali pada suhu tinggi (Anonymousm, 2008).

Karaginan merupakan getah (mucillages) rumput laut yang terdapat dalam dinding sel

rumput laut atau matriks intraselulernya. Karaginan merupakan bagian penyusun yang besar

dari berat kering rumput laut dibandingkan dengan komponen yang lain (Hellebust dan

Cragie, 1978). Kadar karaginan yang dipersyaratkan industri pengolahan (processor) minimal

sebesar 25% (b/b) (Anonymousm, 2008).

Page 11: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 10

2.6 Karakteristik Mutu Karaginan

2.6.1 Gel Strength

Gel strength (kekuatan gel) merupakan salah satu parameter kualitas yang

menentukan harga karaginan di pasaran. Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah

suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga

terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau

mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat

pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada

jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.

Kappa karaginan dan iota karaginan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel

dalam air dan bersifat reversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali

jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan

gel akan mengakibatkan polimer karaginan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila

suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda).

Gambar 3. Pembentukan Gel Pada Karaginan

Apabila penurunan suhu terus dilanjutkan maka polimer-polimer ini akan terikat

silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat

yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel. Jika diteruskan, kemungkinan proses

pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air (syneresis)

(Anonymousm, 2008). Kemampuan pembentukan gel pada kappa karaginan dan iota

karaginan terjadi pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin karena mengandung

gugus 3,6-anhydrogalaktosa. Adanya perbedaan jumlah, tipe dan posisi gugus sulfat akan

mempengaruhi proses pembentukan gel (Anonymousm, 2008).

Kappa karaginan dan iota karaginan akan membentuk gel hanya dengan adanya

kation-kation tertentu seperti K+, Rb+ dan Cs+. Kappa karaginan sangat sensitif terhadap ion

kalium dan membentuk gel kuat dengan adanya garam kalium, sedangkan iota karaginan

Page 12: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 11

akan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca2+, akan tetapi lambda karaginan

tidak dapat membentuk gel (Anonymousm, 2008).

Potensi membentuk gel dan viskositas larutan karaginan akan menurun dengan

menurunnya pH, karena ion H+ membantu proses hidrolisis ikatan glikosidik pada molekul

karaginan (Angka dan Suhartono 2000). Gel strength dipengaruhi beberapa faktor antara lain

jenis dan tipe karaginan, konsistensi, adanya ion-ion serta pelarut yang menghambat

pembentukan hidrokoloid (Towle, 1973).

2.6.2 Viskositas

Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Viskositas suatu

hidrokoloid dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu konsentrasi karaginan, suhu, jenis

karaginan, berat molekul dan adanya molekul-molekul lain (Anonymousm, 2008). Viskositas

larutan karaginan terutama disebabkan oleh sifat karaginan sebagai polielektrolit. Gaya

tolakan (repulsion) antar muatan-muatan negative sepanjang rantai polimer yaitu gugus

sulfat, mengakibatkan rantai molekul menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer tersebut

dikelilingi oleh molekul- molekul air yang terimobilisasi, sehingga menyebabkan larutan

karaginan bersifat kental. Nilai viskositas berbanding lurus dengan kandungan sulfat namun

berbanding terbalik dengan nilai gel strength (Anonymousm, 2008).

Viskositas karaginan meningkat secara logaritmik pada kenaikan konsentrasi. Adanya

garam-garam yang terlarut cenderung menurunkan muatan bersih sepanjang rantai polimer.

Penurunan muatan ini menyebabkan penurunan gaya tolakan (repulsion) antar gugus-gugus

sulfat, sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah dan menyebabkan viskositas larutan

menurun (Anonymousm, 2008).

Peningkatan suhu menyebabkan penurunan viskositas akibat depolimerisasi yang

dilanjutkan oleh degradasi karaginan. Waktu ekstraksi yang pendek akan menghasilkan

larutan karaginan yang encer. Pada konsentrasi 1,5% dan suhu 75oC, nilai viskositas

karaginan berkisar 5 - 800 cP (Anonymousm, 2008). Adapun nilai viskositas minimal

karaginan yang dipersyaratkan menurut standard Uni Eropa dan Cina yakni sebesar 5 cP

(Anonymousm, 2008).

2.6.3 Kadar Abu

Rumput laut merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan mineral yang cukup

tinggi seperti Na, K, Cl dan Mg. Kadar abu tidak begitu memberikan pengaruh nyata

terhadap lama ekstraksi karaginan (Anonymousm, 2008). Abu adalah zat anorganik sisa hasil

pembakaran bahan organik. Kadar abu suatu bahan adalah kadar residu hasil pembakaran

semua komponen–komponen organik di dalam bahan. Kadar abu tidak selalu mewakili kadar

Page 13: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 12

mineral dalam bahan karena sebagian mineral rusak dan menguap atau saling bereaksi satu

dengan lainnya selama proses pengabuan pada suhu amat tinggi (Sudarmadji, 1996). Kadar

abu karaginan yang dipersyaratkan Uni Eropa dan Cina berkisar antara 15 – 40%

(Anonymousm, 2008).

2.6.4 Kadar Sulfat

Kadar sulfat merupakan parameter yang digunakan untuk membedakan berbagai jenis

polisakarida hasil ekstraksi rumput laut merah. Polisakarida ini merupakan galaktan yang

mengandung ester asam sulfat antara 20 - 30% dan saling berikatan dengan ikatan (1,3) : β

(1,4) D glikosidik, dengan bentuk susunan berselang seling.

Menurut deMan (1989), untuk dapat diklasifikasikan sebagai karaginan, polisakarida

harus mengandung setidaknya 20% sulfat berdasarkan berat kering. Dilanjutkan oleh Doty

(1987), berdasarkan kandungan sulfatnya, karaginan dibedakan menjadi dua fraksi yaitu

kappa karaginan (kandungan sulfat < 28%) dan iota karaginan (kandungan sulfat > 30%).

Kandungan sulfat pada rumput laut Eucheuma cottonii dipengaruhi oleh jenis bahan

baku, umur panen serta metode ekstraksi (Syamsuar, 2006). Kadar sulfat karaginan yang

dipersyaratkan Uni Eropa dan Cina berkisar antara 15 – 40% (Anonymousm, 2008).

Page 14: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 13

BAB III

METODOLOGI

3.1 Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan ini adalah menganalisa kelayakan pembangunan industri

pengolahan rumput laut di 3 (tiga) calon lokasi yaitu di Pengantap (Kabupaten Lombok

Barat), Gerupuq (Kabupaten Lombok Tengah) dan Teluk Ekas (Kabupaten Lombok Timur).

3.2 Jenis Data

3.2.1 Data Primer

Data primer untuk sektor budidaya diperoleh melalui survei terhadap 41 responden

(pembudidaya rumput laut) secara purposive sampling, masing-masing 15 pembudidaya

rumput laut di Pengantap, 15 pembudidaya rumput laut di Gerupuq dan 11 pembudidaya

rumput laut di Teluk Ekas.

3.2.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh melalui bahan publikasi yang diterbitkan oleh dinas/instansi

terkait maupun sumber lain yang berhubungan langsung dengan pembangunan industri

rumput laut.

3.3 Metode Pengambilan Data

3.3.1 Kuisoner

Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan daftar

pertanyaan yang terstruktur dan sistematis terhadap responden. Responden ditetapkan sebagai

pembudidaya rumput laut, pedagang pengumpul dan pedagang besar.

3.3.2 Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang berkompeten terkait perancangan

industri pengolahan rumput laut, seperti : dinas/instansi pemerintah, tokoh masyarakat (tokoh

adat), pembudidaya rumput laut, pedagang pengumpul dan pedagang besar.

Page 15: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 14

3.4 Analisis Aspek-Aspek Dalam Study Kelayakan

3.4.1 Analisis Kelayakan Sektor Budidaya

Meliputi sertifikasi Cara Budidaya Yang Baik (CBYB), profil pembudidaya, profil

usaha budidaya rumput laut, pendapatan, tingkat pendapatan dan taraf hidup, margin

pemasaran

3.4.2 Analisis Pasar dan Pemasaran

Meliputi segmentasi dan deskripsi produk, nilai tambah produk, kebutuhan pasar

nasional, kompetitor, spesifikasi produk

3.4.3 Analisis Teknik Produksi

Meliputi penentuan lokasi, kapasitas perancangan produksi, teknologi proses, layout,

peralatan dan kebutuhan utilitas

3.4.4 Analisis Manajemen dan SDM

Meliputi jadwal dan komposisi pekerja, badan hukum

3.4.5 Analisis Kelayakan Finansial

Meliputi modal investasi, modal kerja, modal investasi total, sumber modal, biaya

produksi total, proyeksi pendapatan

3.4.6 Analisis Kelayakan Kinerja Finansial

Meliputi Profit Margin PM), Break Even Point (BEP), Return On Investment (ROI),

Pay Back Period (PBP), Net Present Value (NPV), Internal Rate Of Return (IRR),

Profitability Index (PI)

Page 16: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 15

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Aspek Budidaya

4.1.1 Penilaian Pedoman dan Daftar Isian Sertifikasi Cara Budidaya Yang Baik (CBYB)

Hasil penilaian Form Pedoman dan Daftar Isian Sertifikasi Cara Budidaya Yang Baik

(CBYB), menunjukkan bahwa sektor budidaya rumput laut di Pengantap, Gerupuq dan Teluk

Ekas, berada pada pada tingkat IV, dengan definisi tidak lulus sertifikasi. Untuk lebih

jelasnya diterangkan pada tabel 2 berikut :

Tabel 2. Tabulasi Jumlah Ketidaksesuaian Pada Sektor Budidaya Rumput Laut

Penilaian CBYB dilakukan untuk mengetahui kondisi kesiapan peran sektor budidaya

di ketiga lokasi, sebagai industri komponen penunjang bagi industri pengolahan rumput laut.

Selain itu, guna mengetahui kondisi riil serta permasalahan-permasalahan yang terjadi,

khususnya terkait teknik budidaya dan penanganan pasca panen. Hal ini penting untuk

ditelaah, mengingat keberlangsungan industri pengolahan rumput laut kedepan, sangat

No Parameter Kesesuaian Ketidaksesuaian Minor Mayor Serius Kritis

1. Lokasi 2 0 0 0 1 2. Tata Letak 2 0 0 0 1 3. Kebersihan Fasilitas 3 1 1 0 4 4. Persiapan Media Budidaya 2 0 0 0 0 5. Air Laut 1 0 3 0 1 6. Pemilihan dan Pengangkutan Bibit 0 1 0 0 3 7. Identifikasi Jenis Rumput Laut 2 0 0 0 1 8. Penanaman 1 0 0 0 1 9. Perawatan 0 0 0 2 0 10. Pemanenan 0 0 0 0 1 11. Pengangkutan Hasil Panen 1 0 0 0 0 12. Sortasi 4 0 0 0 2 13. Pengeringan 0 0 0 0 3 14. Pengepresan/Pengepakan 1 0 0 0 0 15. Pelabelan dan Keutuhan Kemasan 2 0 0 0 2 16. Verifikasi Alat Timbang 1 0 0 0 1 17. Penyimpanan (Penggudangan) 0 0 0 0 3 18. Pengangkutan 3 0 0 0 0 19. Penggunaan Green Tonik/ZPT 9 0 0 0 0 20. Bahan Kimia, Biologi dan Obat-Obatan Ikan 11 0 1 0 0 21. Tindakan Perbaikan 0 0 0 0 1 22. Pencatatan/Dokumentasi 0 0 0 0 4 23. Pelatihan 0 0 1 0 0 24. Kebersihan Personil 0 7 0 0 0

Jumlah 45 9 6 2 29

Page 17: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 16

bergantung pada kontinuitas jumlah dan mutu bahan baku rumput laut kering yang

dihasilkan.

Mengacu pada konsep klaster sebagaimana tercantum dalam booklet PIJAR (Sapi,

Jagung dan Rumput Laut) Provinsi NTB, sektor budidaya merupakan komponen industri

yang terkait langsung dengan proses peningkatan nilai tambah (value adding production

chain). Dalam sasaran jangka panjang, diharapkan main point dalam perancangan

minapolitan dapat tercapai, yakni dihasilkannya produk dengan kualitas dan daya saing

tinggi, serta memiliki tingkat produksi yang stabil.

Kondisi sektor budidaya rumput laut di ketiga lokasi yang berada pada tingkat IV,

lebih disebabkan tingginya ketidaksesuaian pada kategori kritis. Ketidaksesuaian yang tinggi

pada kategori ini, mayoritas disebabkan oleh penerapan Standard Operational Procedures

(SOP) yang menyimpang, yakni sebesar 88%. Sedangkan parameter air laut, tata letak dan

lokasi masing-masing berkontribusi sebesar 4%.

Gambar 4. Kontribusi Standard Operational Procedures (SOP) Terhadap Jumlah Ketidaksesuaian Pada Kategori Kritis

Standard Operational Procedures (SOP) yang mengalami penyimpangan meliputi :

kebersihan fasilitas (14%), pemilihan dan pengangkutan bibit (10%), identifikasi jenis rumput

laut (4%), penanaman (3%), pemanenan (3%), sortasi (7%), pengeringan (10%), pelabelan

Page 18: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 17

dan keutuhan kemasan (7%), verifikasi alat timbang (3%), penyimpanan/penggudangan

(10%), tindakan perbaikan (3%) serta pencatatan/dokumentasi (14%).

4.1.2 Struktur Pendapatan Pembudidaya

4.1.2.1 Profil Pembudidaya

Variabel yang dipergunakan dalam melihat profil pembudidaya rumput laut antara

lain : umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengalaman budidaya dan luas

usaha. Hal ini terkait dengan keterampilan manajemen usaha, yang pada akhirnya

mempengaruhi kuantitas dan kualitas bahan baku yang dihasilkan. Untuk lebih jelasnya

seperti tertera pada tabel 3 berikut :

Tabel 3. Profil Pembudidaya Rumput Laut

No Uraian Pengantap Gerupuq Teluk Ekas Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1. Umur Petani a. < 30 Tahun 13 86,7 1 6,7 2 18,2 b. 31 – 40 Tahun 2 13,3 6 40,0 7 63,6 c. 41 – 45 Tahun 0 - 6 40,0 1 9,1 d. 51 – 60 Tahun 0 - 2 13,3 1 9,1 e. > 60 Tahun 0 - 0 - 0 -

2. Tingkat Pendidikan a. SD/Tidak Sekolah 11 73,3 14 93,3 4 36,4 b. SLTP 3 20,0 0 - 2 18,2 c. SLTA 1 6,7 1 6,7 3 27,3 d. Diploma 0 - 0 - 2 18,2 e. Sarjana 0 - 0 - 0 -

3. Tanggungan Keluarga a. < 3 Jiwa 8 53,3 2 13,3 4 36,4 b. 3 – 6 Jiwa 7 46,7 11 73,3 7 63,6 c. > 6 Jiwa 0 - 2 13,3 0 -

4. Sumber Pendapatan a. Rumput Laut 14 93,3 13 86,7 10 90,9 b. Rumput Laut dan Usaha Lain 1 6,7 2 13,3 1 9,1

5. Σ Petani Berdasarkan Luas Usaha a. 1 Unit 1 6,7 0 - 0 - b. 2 – 5 Unit 0 - 4 26,7 0 - c. 6 – 9 Unit 2 13,3 2 13,3 2 18,2 d. > 10 Unit 12 80,0 9 60,0 9 81,8

Mayoritas pembudidaya rumput laut di ketiga lokasi, berada pada kisaran umur

produktif (30 – 45 tahun), dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau tidak sekolah,

berada pada persentase tertinggi (93,3%). Sedangkan aspek pengalaman budidaya, memiliki

persentase tertinggi pada kisaran 10 – 15 tahun. Terkait hal tersebut, terdapat beberapa hal

yang patut dicermati, diantaranya :

Page 19: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 18

a. Tingkat pendidikan yang rendah, berdampak pada lemahnya kemampuan mengadopsi

teknologi dan informasi. Dari hasil kuisioner diketahui bahwa, pembudidaya di ketiga

lokasi mengaku melakukan penjualan rumput laut kering berdasarkan mutu, dengan

persentase mencapai 100% (Pengantap dan Gerupuq) serta 90,9% (Teluk Ekas).

Kondisi ini pada dasarnya mencerminkan kurangnya pemahaman pembudidaya terhadap

standard mutu itu sendiri. Mengingat kondisi di lapangan sangat bertolak belakang,

dimana proses budidaya hingga penanganan pasca panen, dilakukan tanpa mengindahkan

Standard Operational Procedure (SOP) yang berlaku, seperti umur panen muda (30 – 40

hari), sortasi (pemurusan), pengeringan (pasir, waring, alas terpal), penggudangan (tanpa

alas kayu, bercampur dengan bahan lain) hingga pengangkutan.

Dalam konteks pembangunan industri, diperlukan peran penyuluh, baik penyuluh

swadaya (penyuluh pabrik) maupun penyuluh Pemerintah, dalam melakukan pembinaan

menyangkut teknis budidaya dan penanganan pasca panen, hingga mampu menghasilkan

bahan baku (rumput laut kering) dengan kualifikasi mutu yang sesuai.

b. Pengalaman budidaya yang cukup lama, mengindikasikan adanya pola usaha secara

turun temurun, sekaligus mencerminkan stagnansi usaha, mengingat pembudidaya

memiliki luas areal usaha ≤ 0,1 ha. Terkecuali di Teluk Ekas, dengan rata-rata

kepemilikan mencapai 0,15 ha (1 rakit = 10 x 10 m). Luas areal usaha yang dimiliki

pembudidaya di ketiga lokasi, belum memenuhi kriteria ekonomis (≥ 0,5 ha),

sebagaimana diatur dalam Revitalisasi Perikanan DKP RI Tahun 2005 – 2009.

Kondisi tersebut terutama disebabkan oleh tingginya jumlah anggota keluarga

pembudidaya. Dari hasil kuisioner diketahui bahwa, jumlah anggota keluarga di

Pengantap < 3 jiwa (53,3%), relatif lebih kecil dibandingkan Gerupuq dan Teluk Ekas,

yang berada pada kisaran 3 – 6 jiwa, dengan persentase berturut-turut sebesar 73,3% dan

63,6%.

Jumlah anggota keluarga menyatakan banyaknya orang yang berada dalam manajemen

rumah tangga, diluar kepala keluarga. Dalam jumlah yang tinggi, akan mempengaruhi

alokasi biaya untuk kegiatan budidaya akibat kebutuhan konsumsi sehari-hari, yang pada

akhirnya akan mempengaruhi aspek pendapatan bersih (net income).

Disisi lain, budidaya rumput laut sebagai sumber penghasilan utama (Pengantap 100,0%

; Gerupuq 86,7% ; Teluk Ekas 90,9%), sangat rentan terhadap fluktuasi produksi, akibat

Page 20: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 19

kondisi alam yang sulit diprediksi maupun kegagalan panen. Sedangkan alternatif

pendapatan lain, hanya bersumber dari kegiatan penangkapan ikan/kepiting, toko

kelontong maupun buruh bangunan. Hal tersebut menyebabkan pada kondisi musim

tertentu, pola ijon (hutang) menjadi alternatif dalam memenuhi kebutuhan konsumsi

keluarga.

4.1.2.2 Profil Usaha Budidaya Rumput Laut

Profil usaha budidaya rumput laut seperti tertera pada tabel 4 berikut :

Tabel 4. Profil Usaha Budidaya Rumput Laut (Per Rakit/Tahun)

No Uraian Pengantap Gerupuq Teluk Ekas Fisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp)

1. Rata-Rata Kepemilikan Rakit (Buah) 10 - 10 - 15 - 2. Sarana Produksi a. Bibit (Kg Basah) 313 625.000 360 720.000 445 890.000 b. Perawatan 5 25.000 6 60.000 6 40.000 c. Komunikasi 5 50.000 6 60.000 6 60.000 d. Karung Plastik (Buah) 15 15.000 18 18.000 16 16.000 e. Pengangkutan 5 225.000 6 240.000 6 140.000

3. Maintenace Alat (10% Per Tahun) 1 1.636.500 1 1.642.250 1 3.309.102 4. Penyusutan 1 5.895.835 1 5.280.000 1 10.103.502 5. Tenaga Kerja (Orang/Rakit/Tahun) 2 150.000 2 180.000 2 240.000

TOTAL 8.622.335 8.200.250 14.798.604

Kepemilikan rakit rumput laut menggambarkan tingkat kesejahteraan pembudidaya.

Semakin tinggi jumlah kepemilikan rakit, semakin tinggi tingkat produksi dan pendapatan

yang diterima. Sarana produksi merupakan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh pembudidaya

untuk membeli bibit, perawatan, komunikasi, karung plastik, pengangkutan dan tenaga kerja.

Penggunaan sarana produksi oleh petani tidak jauh berbeda pada ketiga lokasi,

dikarenakan harga dan jumlah sarana produksi yang relatif sama. Khusus untuk tenaga kerja

lebih banyak digunakan untuk kegiatan panen dan pasca panen dengan menggunakan sistem

sewa.

Biaya pengadaan peralatan dipengaruhi oleh jumlah kepemilikan rakit. Hal ini

mempengaruhi nilai maintenance alat dan penyusutan, yang merupakan komponen terbesar

dari biaya investasi total, mencapai Rp. 7.532.335 atau 87,36% (Pengantap), Rp. 6.922.250

atau 84,42% (Gerupuq) dan 13.412.604 atau 90,63% (Teluk Ekas). Dilihat dari segi efisiensi,

pengadaan peralatan budidaya di Gerupuq lebih efisien dibandingkan Pengantap dan Teluk

Ekas.

Page 21: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 20

4.1.2.3 Aspek Pendapatan

Pendapatan merupakan penghasilan bersih yang diterima pembudidaya, yang dihitung

dari selisih antara penerimaan dengan sarana produksi, maintenance alat dan penyusutan.

Penerimaan diukur dari rata-rata produksi yang dihasilkan, kemudian dikonversi sesuai

dengan harga jual yang berlaku setempat. Untuk lebih jelasnya seperti tertera pada tabel 5

berikut :

Tabel 5. Rata-Rata Produksi, Pendapatan/Tahun dan Pendapatan Sampingan/Tahun

No Uraian Pengantap Gerupuq Teluk Ekas

1. Produksi (Kg) 4.000 4.800 7.200

2. Nilai (Rp) 32.000.000 33.600.000 57.600.000

3. Biaya Produksi (Rp/Tahun) 10.900.000 12.780.000 20.790.000

4. Pendapatan (Rp/Tahun)

a. Rumput Laut 13.567.665 13.897.750 23.397.396

b. Sampingan - 1.350.000 2.400.000

Total Pendapatan 13.567.665 15.247.750 25.797.396

5. B/C Ratio 1,2 1,1 1,1

Harga rata-rata rumput laut kering di Pengantap mencapai Rp. 8.000/kg, dengan

produksi rata-rata 10 rakit selama 5x musim tanam, mencapai 4.000 kg/tahun. Sehingga

pendapatan bersih pembudidaya sebesar Rp. 13.567.665/tahun, dengan nilai B/C ratio 1,2.

Harga rata-rata rumput laut kering di Gerupuq mencapai Rp. 7.000/kg, dengan

produksi rata-rata 10 rakit selama 6x musim tanam, mencapai 4.800 kg/tahun. Sehingga

pendapatan bersih pembudidaya sebesar Rp. 13.897.750/tahun, dengan nilai B/C ratio 1,1.

Harga rata-rata rumput laut kering di Teluk Ekas mencapai Rp. 8.000/kg, dengan

produksi rata-rata 10 rakit selama 6x musim tanam, mencapai 7.200 kg/tahun. Sehingga

pendapatan bersih pembudidaya sebesar Rp. 23.397.396/tahun, dengan nilai B/C ratio 1,1.

Berdasarkan nilai B/C ratio lebih besar dari satu (B/C > 1) maka usaha budidaya

rumput laut di ketiga lokasi tersebut, dapat memberikan keuntungan sehingga dikategorikan

layak untuk dikembangkan.

Terkecuali di Pengantap, pembudidaya memiliki usaha sampingan dari kegiatan

penangkapan ikan/kepiting, toko kelontong dan buruh bangunan. Rata-rata pendapatan usaha

Page 22: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 21

sampingan yang diperoleh pembudidaya di Gerupuq sebesar Rp. 1.350.000 atau 8,85% dari

total pendapatan. Sedangkan pembudidaya di Teluk Ekas sebesar Rp. 2.400.000 atau 9,30%

dari total pendapatan. Hal ini diatas mengindikasikan bahwa pendapatan dari usaha budidaya

rumput laut merupakan pendapatan utama.

4.1.2.4 Tingkat Pendapatan dan Taraf Hidup Pembudidaya

Dalam analisa usaha, pendapatan pembudidaya digunakan sebagai indikator penting,

karena merupakan sumber utama dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil

analisis tingkat pendapatan dan pendapatan per kapita per tahun tertera pada tabel 6 berikut :

Tabel 6. Tingkat Pendapatan dan Pendapatan Per Kapita/Tahun

No Uraian Pengantap Gerupuq Teluk Ekas

1. Pendapatan/Tahun (Rp) 13.567.665 15.247.750 25.797.396

2. Tanggungan Keluarga (Orang) 2,3 4,5 3,0

3. Pendapatan/Kapita/Tahun

a. Nilai (Rp) 5.898.985 3.388.389 8.599.132

b. Setara Kg Beras *) 787 452 1.147

Keterangan Tidak Miskin Nyaris Miskin Tidak Miskin

*) Asumsi Harga Beras = Rp. 7.500/Kg

Tingkat pendapatan pembudidaya di Teluk Ekas sebesar Rp. 25.797.396 atau setara

dengan 1.147 kg beras, dengan tanggungan keluarga rata-rata 3 (tiga) orang. Nilai ini 1,46

dan 2,54 kali lebih tinggi dibandingkan pembudidaya Pengantap dan Gerupuq. Pembudidaya

Gerupuq pada dasarnya memiliki pendapatan yang lebih tinggi (Rp. 15.247.750),

dibandingkan pembudidaya Pengantap (Rp. 13.567.665 ; setara 787 kg beras). Namun

tanggungan keluarga yang lebih tinggi (rata-rata 4,5 orang), menyebabkan penurunan

pendapatan, hingga hanya setara dengan 452 kg beras.

Mengacu hasil tersebut, kehidupan pembudidaya di Pengantap dan Teluk Ekas

berada diatas garis kemiskinan. Sebaliknya, pembudidaya Gerupuq berada dibawah garis

kemiskinan. Dengan kata lain, usaha budidaya rumput laut di Gerupuq, belum mampu secara

optimal memperbaiki taraf hidup pembudidaya.

4.1.3 Farmer Share

Bagian harga yang diterima pembudidaya (farmer share) merupakan perbandingan

harga yang diterima oleh pembudidaya dengan harga di tingkat lembaga pemasaran yang

Page 23: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 22

dinyatakan dalam persentase. Farmer Share untuk ketiga lokasi ditunjukkan pada gambar 5

dan gambar 6 berikut :

Gambar 5. Farmer Share Pembudidaya Rumput Laut di Pengantap dan Teluk Ekas

Dari gambar diatas diketahui bahwa, nilai farmer share relatif merata terhadap

pedagang pengumpul dan pedagang besar, berturut-turut sebesar 90,91% dan 80,00%. Hal ini

diakibatkan rendahnya margin pemasaran (biaya pemasaran dan selisih keuntungan) yang

didapatkan keduanya.

Sedangkan nilai farmer share eksportir Bali relatif sedang (64%), mengingat adanya

biaya tambahan berupa biaya pengiriman rumput laut kering dari lokasi budidaya hingga

lokasi eksportir berada.

Yang patut dicermati adalah nilai farmer share pembudidaya terhadap processor RC

selaku industri pengolahan rumput laut. Rendahnya nilai farmer share (10,00%),

mengindikasikan bahwa peningkatan nilai tambah yang didapatkan processor kurang

tertransmisikan ke tingkat pembudidaya. Akibatnya, harga di tingkat pembudidaya rendah

dan kurang memberikan insentif bagi perkembangan kinerja usaha.

Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa penguasaan teknologi pengolahan rumput

laut (karaginan), masih sepenuhnya menjadi dominasi pihak processor. Sehingga nilai tawar

komponen pemasaran lokal (pembudidaya, pedagang pengumpul dan pedagang besar)

menjadi lemah.

Hal ini semakin menegaskan perlunya dibangun industri pengolahan rumput laut di

Provinsi NTB, guna mendongkrak harga beli rumput laut dari pembudidaya hingga mencapai

level ideal bagi pekembangan usaha pembudidaya kedepan.

Page 24: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 23

Gambar 6. Farmer Share Pembudidaya Rumput Laut di Gerupuq

Hal serupa didapatkan di Gerupuq, dimana nilai farmer share untuk pedagang

pengumpul, pedagang besar, eksportir Bali dan processor RC berturut-turut sebesar 89,74% ;

77,78% ; 60,87% dan 8,75%. Adanya perbedaan lebih disebabkan harga beli rumput laut

kering dari pembudidaya yang lebih rendah dibandingkan Pengantap dan Teluk Ekas.

4.2 Aspek Pasar dan Pemasaran

4.2.1 Segmentasi dan Deskripsi Produk

Produk intermediate olahan rumput laut memiliki banyak ragam, namun umumnya

yang beredar di pasaran meliputi 3 (tiga) produk utama yaitu :

4.2.1.1 ATC (Alkali Treated Chip)

Produk ini sering pula disebut chip rumput laut. Didapatkan melalui proses

pengolahan yang relatif sederhana, dimulai dari pencucian dan pemasakan rumput laut

dengan menggunakan larutan alkali (NaOH, KOH, KCl) pada suhu < 80oC selama 2 (dua)

jam. Kemudian dicuci dengan air tawar dan dipotong dengan ukuran sekitar 3 – 5 cm.

4.2.1.2 SRC (Semi Refined Carrageenan)

Produk ini sering pula disebut karaginan setengah murni, dikodekan dengan EU407/a.

Dikatakan demikian karena pada proses pengolahannya, karaginan di dalam rumput laut

diupayakan tidak larut, melalui manipulasi pH dan suhu. Sedangkan komponen yang

diupayakan larut adalah selulosa, yang notabene merupakan lapisan luar. Kendati demikian,

kandungan selulosa pada produk akhir, umumnya masih tinggi. Hal ini yang menyebabkan

Page 25: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 24

produk SRC lebih banyak dipergunakan pada produk non-pangan seperti cat tembok,

kosmetik, pengharum ruangan, pelapis keramik, hingga makanan hewan.

Proses pembuatan SRC diawali dengan perendaman pada larutan alkali (NaOH, KOH,

KCl) pada suhu 30 – 35oC. Kemudian dikeringkan dan dimasak kembali menggunakan

larutan alkali selama 2 (dua) jam pada suhu < 80oC (dibawah titik leleh karaginan).

Selanjutnya dibilas dengan air tawar dan dipotong dalam keadaan basah (ukuran 3 – 5 cm).

Potongan rumput laut dikeringkan hingga kadar airnya menjadi < 20% dan dihaluskan

menggunakan mesin giling (grinder/crusher) hingga menjadi tepung.

4.2.1.3 RC (Refined Carrageenan)

Produk ini sering pula disebut karaginan murni, dikodekan dengan EU407.

Perbedaan utama dengan SRC adalah karaginan dan selulosa rumput laut, diproses dalam

suhu tinggi sehingga larut dalam larutan alkali, untuk kemudian dipisahkan melalui proses

penyaringan. Karena tidak mengandung selulosa, produk RC banyak dipergunakan pada

produk pangan seperti susu kental manis, jelly, pasta ikan, kecap, saus dan lain sebagainya.

Proses pengolahannya diawali dengan pemasakan rumput laut dalam larutan alkali

selama 2 (dua) jam pada suhu > 80oC (diatas titik leleh karaginan), sembari dilakukan

pengadukan hingga terbentuk pasta. Pasta kemudian disaring dengan mesin penyaring untuk

menghilangkan ampas (selulosa) hingga didapatkan filtrat (sari) karaginan. Selanjutnya filtrat

karaginan dikurangi kadar airnya melalui beberapa cara :

a. Pembekuan pada suhu <15oC, sehingga hasilnya berupa jelly kaku

b. Penambahan KCl sehingga hasilnya berupa jelly

c. Penambahan alkohol yang hasilnya berupa serat

Jelly/serat tersebut kemudian dikeringkan hingga terbentuk pellet/serat pada suhu 60 –

70oC (tray dryer) dan dihancurkan menggunakan mesin giling (grinder/crusher) hingga

menjadi tepung karaginan kasar. Tepung karaginan kasar kemudian diayak hingga

menghasilkan tepung karaginan halus dengan ukuran yang seragam.

4.2.2 Nilai Tambah Produk

Pengembangan komoditas unggulan dengan berbasis industri hulu (budidaya) semata,

pada dasarnya merugikan. Mengingat nilai tambah (adding value) dari rumput laut justru

Page 26: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 25

berada pada industri hilir (pengolahan). Kondisi tersebut apabila dibiarkan berlarut, dapat

mengakibatkan hilangnya peluang stokeholders terkait terutama pembudidaya, untuk

menikmati nilai tambah produk. Adapun estimasi nilai tambah produk olahan rumput laut di

ketiga lokasi ditunjukkan pada tabel 7 dan tabel 8 berikut :

Tabel 7. Estimasi Nilai Tambah Produk Olahan Rumput Laut di Gerupuq

Tabel 8. Estimasi Nilai Tambah Produk Olahan Rumput Laut di Pengantap dan Teluk Ekas

Dari data diatas, diketahui bahwa produk olahan rumput laut Semi Refined

Carrageenan (SRC), hanya memberi nilai tambah sebesar 285,7% (Gerupuq) dan 250%

(Pengantap dan Teluk Ekas). Sedangkan produk Refined Carrageenan (RC), dengan tingkat

teknologi produksi yang lebih kompleks, memberi nilai tambah 2,4 kali lebih tinggi dari SRC

(674,3% ; Gerupuq serta 590% ; Pengantap dan Teluk Ekas). Mengacu pada estimasi nilai

Produk Rata-Rata Rendemen

Harga (Rp/Kg)

Biaya Bahan Mentah Per Kg Produk Akhir

(Rp)

Nilai Tambah

(%) Rumput Laut

Kering 12%

(dari RL Basah) 7.000 - -

ATC Chip (Industrial Grade)

31,5% (dari RL Kering)

60.000 22.222 270,0

ATC Powder (Industrial Grade)

28,5% (dari RL Kering)

65.000 24.561 264,6

SRC (Food Grade)

25% (dari RL Kering)

80.000 28.000 285,7

RC (Food Grade)

23,6% (dari RL Kering)

200.000 29.661 674,3

Karaginan Kertas

25% (dari RL kering)

95.000 28.000 339,3

Produk Rata-Rata Rendemen

Harga (Rp/Kg)

Biaya Bahan Mentah Per Kg Produk Akhir

(Rp)

Nilai Tambah

(%) Rumput Laut

Kering 12%

(dari RL Basah) 8.000 - -

ATC Chip (Industrial Grade)

31,5% (dari RL Kering)

60.000 25.397 236,3

ATC Powder (Industrial Grade)

28,5% (dari RL Kering)

65.000 28.070 231,6

SRC (Food Grade)

25% (dari RL Kering)

80.000 32.000 250,0

RC (Food Grade)

23,6% (dari RL Kering)

200.000 33.898 590,0

Karaginan Kertas

25% (dari RL kering)

95.000 32.000 296,9

Page 27: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 26

tambah diatas, jenis industri pengolahan rumput laut yang diusulkan untuk didirikan adalah

pengolahan Refined Carrageenan (RC) kategori Food Grade.

4.2.3 Kebutuhan Pasar Nasional

Menurut Rahman (2009), proyeksi produksi karaginan Indonesia pada tahun 2009

diperkirakan sebesar 4.572,93 ton (trend kenaikan 2,92% per tahun). Dari jumlah produksi

tersebut, Indonesia masih mengalami ketergantungan impor sebesar 80% atau equivalen

dengan 18.291,70 ton.

Berdasarkan angka ketergantungan impor tersebut, dapat diprediksi jumlah impor

karaginan oleh industri hilir nasional berdasarkan tingkat penggunaannya, seperti ditunjukkan

pada tabel 9 berikut :

Tabel 9. Prediksi Jumlah Ketergantungan Impor Industri Hilir Nasional Berdasarkan Tingkat Penggunaan

No Produk Tingkat Pemakaian (%) Tingkat Pemakaian (Ton) 1. Tekstil 15 2.743,76 2. Kosmetik 15 2.743,76 3. Es Krim 10 1.829,17 4. Sherbets 3 548,75 5. Flavor 12 2.195,00 6. Meat Products 12 2.195,00 7. Pasta Ikan 10 1.829,17 8. Produk Saus 10 1.829,17 9. Industri Sutera 10 1.829,17 10. Lain-lain 3 548,75

TOTAL 100 18.291,70 Dalam konteks pembangunan indutri pengolahan rumput laut di Provinsi NTB,

terdapat peluang pasar yang cukup tinggi bagi pemasaran produk karaginan (ATC/SRC/RC).

Mengingat kebutuhan karaginan industri hilir nasional seperti tertera pada tabel diatas, masih

sepenuhnya mengandalkan impor.

4.2.4 Kompetitor

Di Indonesia, saat ini terdapat beberapa industri pengolahan karaginan yang

berpeluang menjadi kompetitor, diantaranya : PT Gumindo Perkasa, PT Galic Artha Eahar,

PT Bantimururik Indah, PT Seamatec, PT. Surya Indoalgas, PT. Cahaya Cemerlang. Industri-

industri tersebut memiliki data resmi kapasitas produksi karaginan, seperti tertera pada tabel

10 berikut :

Page 28: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 27

Tabel 10. Kapasitas Produksi Industri Karaginan di Indonesia

No Perusahaan Kapasitas (Ton/Bulan) Produk 1. PT. Gumindo 3.000 SRC 2. PT. Galic Artha Eahar 1.600 Petfood, RC 3. PT. Bantimururik Indah 1.000 ATC 4. PT. Seamatec 720 Petfood, ATC 5. PT. Surya Indoalgas 600 RC, Jelly 6. PT. Cahaya Cemerlang 500 ATC

Sedangkan beberapa industri kompetitor lain seperti : PT Amarta Sarilestari, PT

Indonusa Algaemas Prima, PT Giwang Citra Laut, PT Indo Marina Alga, PT Seatech

Carageenan dan PT Bina Makmur Sejahtera, belum mencantumkan kapasitas produksi

karaginan secara resmi.

Dari tabel 10 diatas terlihat bahwa, kompetitor produk ATC dan SRC relatif tinggi

dengan kapasitas berkisar antara 500 – 3.000 ton per bulan. Sedangkan produk RC relatif

rendah dengan kisaran antara 600 – 1.600 ton per bulan. Perlu dicatat bahwa, kapasitas RC

merupakan kapasitas gabungan dengan produk turunan RC seperti jelly dan petfood.

Sehingga kapasitas produksi riil RC, diestimasi lebih rendah dari kapasitas yang tercantum.

Mengacu pada kondisi tersebut, diusulkan agar industri pengolahan rumput laut yang akan

didirikan, mengambil segmen produk Refined Carrageenan (RC).

4.2.5 Spesifikasi Produk

Adapun spesifikasi produk Refined Carrageenan (RC) yang berlaku di pasaran,

sebagaimana mengacu pada standar yang dirilis oleh SEA-Plant berikut :

Tabel 11. Spesifikasi Produk Refined Carrageenan (RC)

No Parameter Satuan Nilai Sifat Fisik dan Fungsional 1. Kadar Air % ≤ 12 2. Viskositas (1,5% ; @ 75oC ; Brookfield LVT) cps ≥ 5 3. pH Larutan - 7 – 10 4. Ukuran Partikel MS 120/160 5. Tanpa Penambahan Gula, Penampakan Halus, Warna Putih, Larut Air Panas

Kemurnian Kimiawi 1. Sulfat (SO4

2-) % db 15 – 40 2. Alkohol % 0,1 3. Kadar Abu (@ 550oC) % db 15 – 40 4. Kadar Abu Tidak Larut Asam % db ≤ 1 5. Bahan Tidak Larut Asam % db ≤ 2 6. Arsen (As) ppm ≤ 3 7. Timbal (Pb) ppm ≤ 5

Page 29: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 28

8. Merkuri (Hg) ppm ≤ 1 9. Kadmium (Cd) ppm ≤ 1 10. Logam Berat (sebagai Pb) ppm ≤ 20 Kemurnian Mikrobiologi 1. Total Viable Count (TVC) cfu/gr ≤ 5.000 2. Total Yeast And Mould Count cfu/gr ≤ 300 3. E. Coli (@ 5 gr) cfu/gr 0 4. Salmonella (@ 25 gr) cfu/gr 0 5. Staphaureus (@10 gr) cfu/gr 10 6. Total Enterobacteriaceae Count cfu/gr ≤ 100 7. Kemasan : 25 kg net (multiply paper sack with moisture barrier/polythene inner)

4.3 Aspek Teknis Produksi

4.3.1 Penentuan Lokasi

Penentuan lokasi industri pengolahan rumput laut dilakukan dengan

mempertimbangkan beberapa faktor, yang terbagi menjadi 2 (dua) yaitu :

4.3.1.1 Faktor Primer

Faktor ini merupakan faktor yang berkontribusi secara langsung terhadap tujuan

utama pembangunan industri pengolahan rumput laut, yang meliputi produksi dan distribusi

produk. Yang termasuk dalam faktor utama adalah :

a. Letak Pasar

Konsumen/pasar produk karaginan adalah industri hilir di pulau Jawa, sehingga

kedekatan akses dengan infrastruktur transportasi baik darat, laut maupun udara

(Pelabuhan Lembar di Kabupaten Lombok Barat, Pelabuhan Internasional Labuhan Haji

di Kabupaten Lombok Timur dan Bandara Internasional Lombok di Kabupaten Lombok

Tengah) menjadi vital. Industri yang letaknya dekat dengan pasar, relatif lebih cepat

dalam hal pelayanan konsumen, biaya pengangkutan lebih rendah serta terkait dengan

pemantauan perubahan keinginan pasar. Hasil akhir produk karaginan dapat dipasarkan

langsung ke pulau Jawa ataupun dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan produk

turunan karaginan seperti dodol dan soft jelly, yang telah berkembang di NTB.

b. Bahan Baku

Karakteristik bahan baku yang diamati meliputi sumber, mutu, kapasitas, transportasi,

harga, alternatif dan keberadaan spekulan. Mutu bahan baku dapat diketahui berdasarkan

level sertifikasi CBYB yang diterapkan pembudidaya. Kapasitas lebih didasarkan pada

data produksi riil di tingkat pendagang pengumpul. Transportasi mencakup tingkat

kerusakan jalan pada jalur utama pasokan. Harga didasarkan pada harga pembelian

Page 30: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 29

tingkat processor di Surabaya. Sedangkan alternatif didasarkan pada keberadaan

pembudidaya didaerah sekitar dan diluar lokasi, guna mengantisipasi kelangkaan bahan

baku akibat spekulasi maupun kegagalan panen.

Rumput laut dalam kondisi kering dan pengemasan yang baik, tahan terhadap kerusakan

serta tidak mengalami penyusutan berat/volume secara drastis selama penyimpanan. Daya

simpan rumput laut kering (kadar air 20 - 30%) berkisar antara 2 - 3 tahun, sehingga

proses pengolahannya tidak harus dilakukan dengan segera. Oleh karena itu, lokasi

industri yang jauh dari sumber bahan baku, tidak terlalu mempengaruhi proses produksi.

Namun jauhnya sumber bahan baku dapat berimplikasi pada beberapa hal diantaranya :

penambahan biaya produksi berupa biaya pengangkutan dan biaya penyimpanan, resiko

terjadinya kerusakan selama pengangkutan akibat kondisi jalan yang banyak mengalami

kerusakan, serta kemungkinan terjadinya kelangkaan bahan baku akibat kompetisi dengan

spekulan.

Oleh karena itu, faktor monitoring secara periodik harus diperhitungkan, mengingat

spekulan umumnya memiliki jaringan pemasaran yang luas dan pada kondisi tertentu

berani memberi penawaran harga yang lebih tinggi langsung kepada pembudidaya.

c. Fasilitas Pengangkutan

Ketersediaan fasilitas pengangkutan baik untuk bahan baku maupun produk akhir, dapat

dilakukan dengan menggunakan angkutan darat (truk), angkutan laut maupun udara.

d. Tenaga Kerja

Pengolahan rumput laut lebih banyak membutuhkan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled

labour) dibandingkan tenaga kerja terdidik (skilled labour). Tenaga kerja terdidik

merupakan jenis tenaga kerja dengan jenis pekerjaan (job description) yang bersifat

kualitatif, terutama pada aspek-aspek yang berkaitan dengan manajerial, pengendalian

mutu, pengendalian proses maupun pemasaran (marketing). Sedangkan tenaga kerja tidak

terdidik lebih ditekankan pada jenis pekerjaan yang bersifat kuantitatif seperti tenaga

sortasi, petugas ekstraksi, pengawas (mandor) maupun keamanan (satpam).

Dalam konteks diatas, penempatan industri pengolahan rumput laut sebaiknya

memperhitungkan ketersediaan tenaga kerja produktif, dalam artian turut

memperhitungkan karakteristik budaya, mata pencaharian pokok serta kebiasaan hidup

masyarakat sekitar yang heterogen sehingga dapat mengeliminir terjadinya inefisiensi

yang dapat mempengaruhi kelancaran proses produksi.

Page 31: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 30

e. Infrastruktur Penunjang

Infrastruktur penunjang meliputi jaringan listrik dan jaringan telepon. Kebutuhan listrik

yang tinggi dapat dipenuhi dari PLN maupun generator diesel (untuk mengantisipasi

kondisi pemadaman), sehingga kedekatan dengan sumber bahan bakar (SPBU) menjadi

vital. Selain itu, akses informasi (telepon/internet) patut diperhitungkan terutama dalam

akses komunikasi dan pemantauan pasar.

4.3.1.2 Faktor Sekunder

Faktor ini merupakan faktor yang berkontribusi secara tidak langsung, diantaranya :

a. Harga Tanah dan Gedung

Harga tanah dan gedung terkait dengan perencanaan industri jangka panjang. Harga yang

murah, memungkinkan untuk mendapatkan luasan tanah yang lebih luas guna

mengakomodir kemungkinan perluasan areal produksi kedepan. Harga gedung terkait

dengan tinggi rendahnya biaya investasi yang harus dikembalikan selama kurun waktu

produksi tertentu.

b. Kemungkinan Perluasan

Kondisi lahan yang luas serta ada tidaknya industri lain di sekitar lokasi, menjadi bahan

pertimbangan dalam menentukan solusi bagi perluasan areal produksi. Pada lokasi sempit

dan padat, alternatif yang dimunculkan adalah perluasan pada lokasi lain. Sebaliknya

pada lokasi yang relatif luas, perluasan dapat dilakukan menyatu dengan bangunan utama.

c. Fasilitas Servis

Fasilitas servis yang dimaksud meliputi : perbengkelan, rumah sakit, sekolah, tempat

ibadah, olahraga dan rekreasi. Perbengkelan terutama ditujukan apabila industri

pengolahan rumput laut tidak memiliki bengkel dan tenaga mekanik sendiri. Outsourcing

untuk aspek ini dimungkinkan selama mampu diakomodir dalam biaya investasi.

Sedangkan fasilitas lain lebih ditujukan sebagai daya tarik bagi pekerja, guna menjaga

kondisi kesehatan fisik dan mental sehingga efisiensi kerja dapat dipertahankan.

d. Fasilitas Finansial

Fasilitas finansial yang dimaksud meliputi bank, koperasi maupun lembaga keuangan

lain. Termasuk didalamnya kemudahan yang diberikan oleh Pemda setempat dalam akses

mendapatkan pinjaman.

Page 32: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 31

f. Ketersediaan Air

Pengolahan karaginan membutuhkan air tawar dalam jumlah banyak terutama pada

proses pencucian dan ekstraksi. Selain digunakan pula untuk non operasional seperti

pencucian peralatan, kebutuhan domestik rumah tangga pekerja hingga laboratorium.

Suplai air tawar dapat dipasok dari sungai, tandon air hujan maupun sumur artesis dengan

mengandalkan pemompaan. Ketersediaan air bersih akan lebih terjamin apabila disuplai

dari PAM.

g. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten, harus mendukung

perkembangan industri dilihat dari aspek kebijakan, hukum, teknis maupun kemudahan

permodalan.

h. Respon Masyarakat

Respon masyarakat turut menentukan keberlanjutan pabrik kedepan terkait keselamatan

dan keamanan produksi, potensi konflik menyangkut rekruitment tenaga kerja hingga

social cost yang kerap muncul terutama pada era otonomi daerah seperti saat ini.

i. Iklim Lokasi

Industri pengolahan rumput laut membutuhkan kestabilan iklim ditinjau dari segi teknis.

Frekuensi hujan dan kemarau cenderung tidak memfluktuasikan suhu. Hal ini

berhubungan dengan proses pengolahan, penyimpanan bahan baku dan produk akhir.

Pada kondisi tertentu, kondisi ekstrem (hujan, kelembaban tinggi) dapat dimanipulasi

dengan perlakuan tertentu pada gedung dan peralatan. Namun berdampak terhadap

adanya tambahan biaya operasional. Disamping itu, kondisi iklim juga dapat

mempengaruhi gairah dan keaktifan pekerja.

j. Keadaan Tanah

Sifat-sifat mekanik tanah dan tempat pembangunan pabrik harus diketahui. Hal ini

berhubungan dengan rencana pondasi untuk alat-alat, bangunan gedung dan bangunan

pabrik.

k. Perumahan

Fasilitas perumahan bagi pekerja dapat diakomodir sendiri oleh industri pengolahan

rumput laut. Namun dukungan perumahan di sekitar lokasi, tetap diperlukan guna

meringankan biaya investasi.

Page 33: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 32

Adapun kuantifikasi terhadap faktor primer dan sekunder tesebut diatas, dituangkan

dalam bentuk skoring terhadap 3 (tiga) alternatif lokasi industri pengolahan rumput laut yakni

Pengantap (Kabupaten Lombok Barat), Gerupuq (Kabupaten Lombok Tengah) dan Teluk

Ekas (Kabupaten Lombok Timur), seperti ditunjukkan pada tabel 12 berikut :

Tabel 12. Skoring Penilaian Pemilihan Lokasi Industri Pengolahan Rumput Laut

No Parameter Bobot Nilai Pengantap Gerupuq Teluk Ekas

A. Faktor Primer 70 42 43 47 1 Letak Pasar (Pulau Jawa Jalur Darat) 14.0 14.0 14.0 14.0 2 Bahan Baku 14.0 7.0 8.0 8.0 a. Lokasi Sumber Bahan Baku 2.0 2.0 2.0 2.0 b. Mutu Bahan Baku 2.0 0.0 0.0 0.0 c. Kapasitas Bahan Baku 2.0 2.0 2.0 2.0 d. Transportasi Bahan Baku 2.0 0.0 1.0 0.0 e. Harga Bahan Baku 2.0 1.0 1.0 1.0 f. Alternatif Bahan Baku 2.0 1.0 1.0 2.0 g. Keberadaan Spekulan 2.0 1.0 1.0 1.0 3 Fasilitas Pengangkutan 14.0 7.0 7.0 7.0 4 Tenaga Kerja 14.0 14.0 14.0 14.0 a. Kuantitas Tenaga Kerja 7.0 7.0 7.0 7.0 b. Upah Minimum Daerah 7.0 7.0 7.0 7.0 5 Pembangkit Tenaga Listrik (Pabrik) 14.0 0.0 0.0 3.5 a. PLN 7.0 0.0 0.0 0.0 b. SPBU 7.0 0.0 3.5 3.5

B. Faktor Sekunder 30 21.0 21.0 23 6 Harga Tanah dan Gedung 3.0 3.0 1.5 3.0 7 Kemungkinan Perluasan 3.0 3.0 3.0 3.0 8 Fasilitas Servis 3.0 0.0 1.5 1.5 9 Fasilitas Finansial 3.0 0.0 0.0 0.0 10 Ketersediaan Air 3.0 1.5 1.5 1.5 11 Peraturan Daerah 3.0 3.0 3.0 3.0 12 Respon Masyarakat 3.0 3.0 3.0 3.0 13 Iklim Lokasi 3.0 3.0 3.0 3.0 14 Keadaan Tanah 3.0 3.0 3.0 3.0 15 Perumahan 3.0 1.5 1.5 1.5

TOTAL 100 63.0 67.5 69.0 Keterangan

• 80 – 100 : Sangat Layak • 70 – 79 : Layak • 60 – 69 : Layak dengan perbaikan pada parameter-parameter yang kurang baik • < 60 : Tidak layak

Berdasarkan skoring penilaian lokasi diatas didapatkan bahwa, Teluk Ekas memiliki

tingkat kesesuaian tertinggi dibandingkan Gerupuq dan Pengantap, dengan nilai skoring

berturut-turut sebesar 69,0 ; 67,5 dan 63,0. Perlu digarisbawahi bahwa, kondisi skoring

kumulatif untuk ketiga lokasi berada level 60 - 69. Dengan kata lain, ketiga lokasi layak

dipergunakan sebagai lokasi pembangunan industri rumput laut, dengan terlebih dahulu

dilakukan perbaikan pada beberapa parameter yang kurang baik.

4.3.2 Teknologi Proses

Pada prinsipnya, metode pengolahan karaginan terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu

metode kimiawi dan metode fisikawi. Perbedaan keduanya terletak pada proses untuk

Page 34: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 33

menghasilkan karaginan. Metode kimiawi menggunakan pelarut non polar tertentu untuk

mengendapkan karaginan secara cepat pada kondisi suhu kamar. Gel yang terbentuk akan

terkoagulasi (mengendap) dan dapat dipisahkan dari air melalui proses penyaringan. Fungsi

utama pelarut non polar tersebut adalah memutus kontak antara medium terdispersi

(karaginan) dengan medium pendispersi (air). Penamaan metode ini mengikuti jenis pelarut

yang dipergunakan, yakni metode presipitasi IPA (untuk semua jenis karaginan) dan metode

presipitasi KCl (khusus untuk jenis kappa karaginan).

Sedangkan metode fisikawi merupakan pemisahan dengan memanfaatkan

kemampuan pembentukan gel karaginan pada suhu rendah. Penggunaan suhu dan kecepatan

pembentukan gel (berbanding terbalik), serta adanya rangkaian proses tambahan pasca

pembentukan gel, turut mempengaruhi penamaan metode.

Metode freeze thaw merupakan metode pembentukan gel dengan pembekuan pada

kisaran suhu antara (-30oC) – (-20oC), dan diikuti proses penguapan (sublimasi dari fase

padat – uap). Metode press merupakan metode pembentukan gel pada kisaran suhu -10oC ≤ t

≤ 6oC, diikuti dengan proses pengepresan (pemberian tekanan untuk mengeluarkan air dari

gel) dan pengeringan. Sedangkan metode gantung merupakan metode pembentukan gel pada

kisaran suhu antara -10oC ≤ t ≤ 34oC, diikuti pengeluaran air dengan memanfaatkan gravitasi,

dan dilanjutkan dengan pengeringan.

Tabel 13. Perbandingan Metode Pengolahan Karaginan

Parameter IPA KCl Freeze-Thaw Press Gantung Tipe Kimiawi Kimiawi Fisikawi Fisikawi Fisikawi

Kesesuaian Semua Tipe Kappa Semua Tipe Semua Tipe Semua Tipe Metode

(Karaginan) Presipitasi (Titrasi)

Presipitasi (Titrasi)

Titik Gel-Sublimasi

Titik Gel-Tekanan-Pengeringan

Titik Gel-Sublimasi-Gravitasi-Pengeringan

Tingkat Kesulitan Tinggi Tinggi Sedang Rendah Rendah Penjedalan Cepat Cepat Sedang-Cepat Sedang Lambat

Kecepatan Produksi Tinggi Tinggi Sedang-Tinggi Lambat-Sedang Lambat-Sedang Suhu Kamar Kamar (-30oC) – (-20oC) -10oC ≤ t ≤ 6oC -10oC ≤ t ≤ 34oC

Bentuk Antara Serat Jelly Gel Padat (Beku) Lembar Basah Pellet Efisiensi Recovery 80% - - - -

Jenis Alat Bantu

Manual-Mekanis

Manual-Mekanis

Manual - Mekanis

Manual - Semi Mekanis

Manual - Semi Mekanis

Aspek Mutu

Umumnya Standar

Kadar Abu Tinggi

Umumnya Standar

Umumnya Standar

Umumnya Standar

Investasi (Relatif) Mahal Sedang Mahal Rendah-Sedang Rendah Scale Up Industri Besar Besar Besar RT-Besar RT-Besar

Berdasarkan pertimbangan diatas, metode pengolahan rumput laut yang diusulkan

untuk diterapkan adalah metode press. Kelebihan utama metode ini yakni dapat diterapkan

mulai dari skala rumah tangga (teknologi sederhana dan tepat guna) hingga industri besar.

Page 35: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 34

Selain itu, dibandingkan metode kimiawi (presipitasi IPA/KCl) metode ini tidak

membutuhkan kemampuan (skill) yang tinggi, kebutuhan daya (listrik untuk proses

pendinginan) relatif lebih rendah dibandingkan metode Freeze Thaw, jenis peralatan yang

dipergunakan mayoritas manual dan semi-mekanis, serta nilai investasi relatif sedang.

Kekurangan metode ini terletak pada rangkaian proses yang lebih panjang, kecepatan

produksi yang lebih lambat (namun lebih cepat dibandingkan metode gantung), serta adanya

penambahan peralatan pendukung (cetakan gel, pendingin, mesin press lembar karaginan

basah). Namun semua kekurangan tersebut dapat diminimalisir melalui manajemen waktu

produksi serta modifikasi bentuk-bentuk peralatan sederhana yang relatif murah dan

terjangkau dari sudut investasi.

Perlu digarisbawahi bahwa, selain dipengaruhi oleh pemilihan metode, kualitas

maupun kuantitas karaginan sangat dipengaruhi oleh teknik pengolahan. Dalam konteks

industri, tidak terdapat acuan yang seragam terkait teknik pengolahan. Hal ini dipengaruhi

oleh trial and error, efisiensi produksi, kapasitas pengolahan maupun kapasitas permodalan.

4.3.3 Kapasitas Perancangan Produksi

Dasar penentuan kapasitas pabrik adalah prediksi jumlah ketergantungan impor

industri hilir nasional tahun 2009 sebagaimana ditunjukkan pada tabel 14 berikut :

Tabel 14. Prediksi Jumlah Ketergantungan Impor Industri Hilir Nasional Pada Tahun 2009 Berdasarkan Tingkat Penggunaan

No Produk Tingkat Pemakaian (%) Tingkat Pemakaian (Ton) 1. Tekstil 15 2.743,76 2. Kosmetik 15 2.743,76 3. Es Krim 10 1.829,17 4. Sherbets 3 548,75 5. Flavor 12 2.195,00 6. Meat Products 12 2.195,00 7. Pasta Ikan 10 1.829,17 8. Produk Saus 10 1.829,17 9. Industri Sutera 10 1.829,17 10. Lain-lain 3 548,75

TOTAL 100 18.291,70

Ketergantungan impor karaginan oleh industri es krim/pasta ikan/produk saus (tingkat

pemakaian 10%) diketahui sebesar 1.829,17 ton. Dalam konteks mengurangi ketergantungan

impor, pada tahap awal ditargetkan market share sebesar 1%. Oleh karena itu, industri

pengolahan rumput laut yang akan didirikan harus mampu menghasilkan 18,29 ton

karaginan. Industri hilir es krim/pasta ikan/produk saus dipilih dengan pertimbangan bahwa,

Page 36: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 35

produk Refined Carrageenan (RC) lebih sesuai untuk diaplikasikan pada produk hilir

kategori pangan (food grade), terkait minimnya kandungan selulosa.

Dengan asumsi bahwa metode press mampu menghasilkan rendemen sebesar 25%,

sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Departemen Perindustrian (1989), maka

sektor budidaya harus mampu menyediakan bahan baku rumput laut Eucheuma cottonii

sebesar 73,17 ton (berat kering).

Nilai rasio berat kering : berat basah sebesar 1 : 6. Atau didapatkan nilai konversi

sebesar 439,02 ton rumput laut Eucheuma cottonii (berat basah). Dengan asumsi umur panen

30 hari dan 8 (delapan) kali musim tanam per tahun, maka dibutuhkan 30 klaster petani

dengan tingkat produksi masing-masing klaster sebesar 1,83 ton/30 hari (berat basah). Nilai

ini equivalen dengan 0,31 ton rumput laut Eucheuma cottonii kering/hari, yang sekaligus

merupakan kapasitas pengolahan industri pengolahan rumput laut. Nilai ini equivalen dengan

93 ton rumput laut kering/tahun (asumsi 300 hari kerja).

Produktivitas budidaya dengan menggunakan bibit strain Tembalang diketahui

sebesar 0,67 ton/ha/hari. Sehingga untuk memproduksi rumput laut Eucheuma cottonii

sebesar 1,83 ton/klaster/30 hari (berat basah), dibutuhkan lahan seluas 2,73 ha/kluster.

Berdasarkan regulasi yang diatur dalam Renstra DKP RI Tahun 2005 - 2009, luasan

areal budidaya rumput laut maksimal yang diizinkan tanpa IUP, baik kepada badan usaha

atau perorangan, adalah sebagai berikut :

a. Metode patok dasar : ≤ 20 unit (1 unit = 100 m2)

b. Metode rakit apung : ≤ 20 unit (1 unit = 20 rakit ukuran 2,5 x 5 m/rakit)

c. Metode longline : ≤ 40 unit (1 unit = 20 longline ukuran 100 m x 0,20 m/longline)

Atau jika disederhanakan seperti terlihat pada tabel 15 berikut :

Tabel 15. Luasan Areal Budidaya Rumput Laut Maksimal Tanpa IUP

No Metode Budidaya

Unit Usaha

Luas Lahan/Unit Usaha (m2)

Equivalensi Luas Lahan (Ha)

1. Patok Dasar 20 100 0,2 2. Rakit Apung 400 12,5 0,5 3. Longline 800 20 1,6

Page 37: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 36

Mengacu pada regulasi tersebut, maka jumlah lahan dan petani yang dibutuhkan dapat

dikalkulasi seperti ditunjukkan pada tabel 16 berikut :

Tabel 16. Kebutuhan Lahan dan Petani

No Metode Budidaya

Equivalensi Luas Lahan

(Ha)

Kebutuhan Lahan/Klaster

(Ha)

Jumlah Klaster Petani

Total Kebutuhan Lahan (Ha)

Kebutuhan Petani/Klaster

(Orang)

Total Kebutuhan

Petani (Orang) 1. Patok Dasar 0,2 2,73 10 27,3 14 140 2. Rakit Apung 0,5 2,73 10 27,3 6 60 3. Longline 1,6 2,73 10 27,3 2 20

TOTAL 30 81,90 22 220

4.3.4 Design Process

Gambar 7. Skema Teknologi Proses Pengolahan Karaginan Metode Press

4.3.5 Lay Out

Perancangan tata letak (lay out) bangunan dan peralatan membutuhkan lahan seluas

35 m x 15 m, dengan komponen penyusun meliputi : ruang gudang bahan baku (5 x 4) m,

ruang gudang produk (5 x 4) m, kantor (4 x 3,5) m, musholla (4 x 2) m, toilet (4 x 2,25) m,

kantin (4 x 2,5) m, laboratorium uji (4 x 2,75) m, bengkel (4 x 2) m, ruang genset (4 x 3) m,

Page 38: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 37

serta ruang alat dan mesin (± 35 x 11) m. Untuk lebih jelasnya ditunjukkan pada gambar 8

berikut :

Gambar 8. Layout Industri Pengolahan Karaginan Kapasitas 93 Ton/Tahun

Keterangan : 1. Mesin Pencuci (Drum Washing) 10. Alat Press Karaginan (Static Press) 2. Meja Sortasi 11. Meja Pembungkusan 3. Mesin Pengering Rumput Laut (Dryer Box) 12. Mesin Pengering Karaginan (Tray Dryer) 4. Mesin Penepung Rumput Laut (Grinder) 13. Mesin Penepung Karaginan (Grinder) 5. Tangki Ekstraksi (Mixing and Cooking Tank) 14. Meja Pengayakan 6. Tangki Pemanas (Heater Tank) 15. Meja Pengemasan 7. Mesin Penyaring (Catridge Filter) A. Tangki KOH 8. Mesin Pendingin (Freezer) B. Tandon Air 9. Cetakan Gel

4.3.6 Peralatan dan Kebutuhan Utilitas

Berikut ini adalah tabel-tabel yang menunjukkan spesifikasi peralatan dan kebutuhan

utilitas pabrik pengolahan karaginan :

Tabel 17. Tabulasi Peralatan Pengolahan Karaginan

Proses Jenis Alat Waktu Operasional

Per Hari (Jam)

Kebutuhan Daya Per Hari (kWh)

Kebutuhan BBM/Minyak Tanah

Per Hari (Liter) Peralatan Utama Pencucian

Pompa Air 5 0,44 - Tandon Air 10 Ton 8 - - Mesin Semprot 4 - 3,20 Drum Washing 4 - -

Pengeringan Dryer Box (With Fan) 23 51,45 69*) Penepungan Grinder 8 5,97 - Ekstraksi Mixing dan Cooking Tank 18 268,56 - Pengontrolan Suhu Heater Tank 4 29,84 -

Page 39: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 38

Penyaringan Catridge Filter 8 10,08 - Air Compressor 8 - 6,40

Pencetakan Cetakan Gel 6 - - Pendinginan Freezer 1 PK 6 36,00 - Pembungkusan Kain Maribi 6 - - Pengepresan Static Press 8 - - Pengeringan Tray Dryer 14 123,20 - Penepungan Grinder 8 5,97 - Pengayakan Manual Siever 8 - - Pengemasan Manual Hand Sealer 8 3,20 - Genset 290 DuroPower 60 kWh 24 - 201,85 Peralatan Pendukung Laboratorium

Viscometer VT-03 1 0,03 - Manual Texture Analyzer 1 0,4 - Komputer 10 2,5 - Hot Plate 2 0,6 -

TOTAL 539,99 211,45 Keterangan : *) Minyak Tanah Industri

Tabel 18. Perhitungan Utilitas Pengolahan Karaginan

Utilitas Kebutuhan Per Hari Per Bulan Per Tahun

Daya (kWh) 539,99 13.499,75 161.997,00 Solar (Liter) 201,85 5.046,19 60.554,25 Bensin (Liter) 9,60 240,00 2.880,00 Minyak Tanah (Liter) 69,00 1.725,00 20.700,00 Air (Untuk Proses) 14.432,02 360.800,50 4.329.606,00

4.3.7 Jadwal dan Komposisi Pekerja

Tabel 19. Jadwal Kerja dan Komposisi Pekerja

Tenaga Kerja Jam Kerja Istirahat I Istirahat II Jumlah (Orang) MANAJER 1 PROSES Pencucian 21.30 – 05.30 00.30 – 00.45 03.30 – 03.45 1 Sortasi 21.30 – 05.30 00.30 – 00.45 03.30 – 03.45 1 Pengeringan 22.30 – 06.30 01.30 – 01.45 04.30 – 04.45 1 Penepungan 11.30 – 19.30 17.30 – 17.45 20.30 – 20.45 1 Ekstraksi 15.30 – 23.30 18.30 – 18.45 21.30 – 21.45 1 Pra Penyaringan 15.30 – 23.30 18.30 – 18.45 21.30 – 21.45 1 Pengontrolan Suhu 16.30 – 00.30 19.30 – 19.45 22.30 – 22.45 1 Penyaringan 16.30 – 00.30 19.30 – 19.45 22.30 – 22.45 1 Pencetakan 17.30 – 01.30 20.30 – 20.45 23.30 – 23.45 1 Pendinginan 17.30 – 01.30 20.30 – 20.45 23.30 – 23.45 1 Pembungkusan 23.30 – 07.30 02.30 – 02.45 05.30 – 05.45 1 Pengepresan 23.30 – 07.30 02.30 – 02.45 05.30 – 05.45 1 Pengeringan 12.30 – 20.30 15.30 – 15.45 18.30 – 18.45 1 Penepungan 02.30 – 10.30 05.30 – 05.45 08.30 – 08.45 1 Formulasi dan Pengayakan 03.30 – 11.30 06.30 – 06.45 09.30 – 09.45 1 Pengemasan 04.30 – 12.30 07.30 – 07.45 10.30 – 10.45 1 KEAMANAN Shift I 07.30 – 15.30 10.30 – 10.45 13.30 – 13.45 1 Shift II 15.30 – 23.30 18.30 – 18.45 21.30 – 21.45 1 Shift III 23.30 – 07.30 02.30 – 02.45 05.30 – 05.45 2 ANALIS Laboratorium Mutu 07.30 – 15.30 10.30 – 10.45 13.30 – 13.45 1 Laboratorium R&D 07.30 – 15.30 10.30 – 10.45 13.30 – 13.45 1 MEKANIK Shift I 07.30 – 15.30 10.30 – 10.45 13.30 – 13.45 1 Shift II 15.30 – 23.30 18.30 – 18.45 21.30 – 21.45 1 Shift III 23.30 – 07.30 02.30 – 02.45 05.30 – 05.45 1

TOTAL 26

Page 40: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 39

4.4 Aspek Badan Hukum

Dalam mendirikan industri pengolahan rumput laut, terdapat beberapa alternatif badan

hukum yang umum dipraktikkan di Indonesia, diantaranya : Perusahaan Perorangan,

Persekutuan dengan Firma, Persekutuan Komanditer (CV), Perseroan Terbatas (PT),

Koperasi, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah.

Mengacu pada program PIJAR provinsi NTB, maka bentuk badan hukum industri

pengolahan rumput laut yang akan didirikan adalah koperasi, khususnya koperasi produksi.

Bentuk koperasi dipilih mengingat kelembagaan ini dijalankan melalui kemitraan dengan

azas saling menguntungkan, akibat adanya feedback secara materi dalam bentuk Sisa Hasil

Usaha (SHU), sesuai dengan persentase kepemilikan saham pembudidaya terhadap industri

pengolahan rumput laut, sebagaimana diatur dalam PP 33/1998. Bentuk Koperasi juga

dianggap representatif dalam mengatasi permasalahan terkait kesenjangan kesejahteraan yang

tinggi (farmer share) antara pembudidaya dan industri pengolahan.

Terkait bentuk badan hukum, diperlukan adanya produk regulasi setingkat Perda guna

mengatur pewajiban Koperasi sebagai bentuk badan hukum investasi dalam minapolitan

rumput laut. Mengingat dalam kondisi riilnya, bentuk badan hukum Koperasi relatif jarang

dipergunakan dalam industri, khususnya industri pengolahan rumput laut. Sejauh ini, baru

Kabupaten Malang yang mempergunakan model Koperasi dalam pengembangan komoditas

unggulan daerahnya (pengolahan susu sapi). Selain itu, didalam Perda juga diatur mengenai :

a. Peran industri pengolahan sebagai avalis/penjamin modal dari lembaga permodalan

kepada pembudidaya

b. Persentase proporsional kepemilikan saham pembudidaya dengan mengacu pada PP

33/1998 tentang Penyertaan Modal Koperasi

c. Hubungan tripartit antara Pemda, Koperasi dan Perguruan Tinggi. Didalamnya mengatur

mengenai komponen pengurang pajak, ppH khusus bagi Koperasi, hingga kontribusi

silang ketiga komponen tersebut

d. Standar harga bahan baku dan standar mutu. Didalamnya meliputi revisi terhadap SNI

Rumput Laut Kering Tahun 1992 serta mekanisme pemantauan harga nasional.

e. Regulasi-regulasi tambahan seperti dana bergulir (KUR), penggratisan perijinan

Koperasi, hingga insentif-insentif khusus.

Page 41: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 40

Terkait pendanaan (investasi) dalam pembangunan industri pengolahan rumput laut,

dapat menggunakan 2 (dua) alternatif skema yakni BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) dan

BOT (Built Operate Transfer). Dalam sistem BUMD, investasi dan operasionalisasi

sepenuhnya mengandalkan dana APBD/APBN. Dalam pelaksanaannya, dapat dikelola

sendiri oleh Pemerintah Daerah ataupun dilakukan privatisasi oleh pihak swasta yang

berkompeten, menggunakan sistem bagi hasil.

Sementara dalam sistem BOT, kontribusi pemerintah lebih banyak pada aspek

investasi fisik seperti penyediaan lahan. Sedangkan pembangunan gedung, penyediaan

peralatan hingga operasionalisasi, mengandalkan kontribusi pihak swasta. Untuk itu, perlu

dibentuk konsorsium antara pihak swasta dengan pihak Pemerintah Daerah.

4.6 Aspek Finansial

4.5.1 Modal Investasi/Capital Investment (CI)

Modal investasi total adalah seluruh modal untuk mendirikan industri pengolahan

rumput laut mulai dari menjalankan usaha hingga mampu menarik hasil penjualan. Modal

investasi meliputi modal yang diperlukan untuk pengadaan infrastruktur (tanah, bangunan,

peralatan utama, peralatan pendukung) serta modal yang diperlukan pada saat pendirian

pabrik (construction overhead) berlangsung, termasuk didalamnya import peralatan dan

instalasi. Dari hasil perhitungan seperti tertera pada lampiran 10, diperoleh modal investasi

sebesar Rp. 10.475.627.200,-.

4.5.2 Modal Kerja/Working Capital (WC)

Modal kerja adalah modal yang diperlukan untuk memulai usaha hingga mampu

menarik keuntungan dari hasil penjualan dan memutar keuangan. Jangka waktu pengadaan

modal kerja umumnya antara 3 – 4 bulan, namun tidak tertutup kemungkinan lebih lama (1

tahun), jika skema badan usaha yang dipilih adalah BUMD (Badan Usaha Milik Daerah).

Jika skema terakhir yang dipilih, maka besarnya modal kerja sama dengan biaya produksi

tahunan yaitu Rp. 2.871.314.633,43,-.

4.5.3 Modal Investasi Total/Total Capital Investment (TCI)

Berdasarkan perhitungan pada lampiran, maka Modal Investasi Total dihitung sebagai

berikut :

Total Modal Investasi = Modal Investasi + Modal Kerja

= Rp. 10.475.627.200 + Rp. 2.871.314.633,43

Page 42: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 41

= Rp. 13.346.941.833,43,-.

4.5.4 Sumber Modal

Untuk skema BUMD maupun BOT, modal investasi total seperti tertera diatas dapat

berasal dari modal pribadi atau APBD/APBN dengan proporsi modal 60 : 40 dengan pihak

perbankan, dengan perhitungan sebagai berikut :

a. Modal Pribadi/APBD/APBN (60%) = 60/100 x Rp. 13.346.941.833,43

= Rp. 8.008.165.100,06,-

b. Pinjaman Bank (40%) = 40/100 x Rp. 13.346.941.833,43

= Rp. 5.338.776.733,37

4.5.5 Biaya Produksi Total/Total Cost (TC)

4.5.5.1 Biaya Tetap/Fixed Cost (FC)

Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung pada jumlah produksi. Dari

hasil perhitungan pada lampiran 10, didapatkan biaya tetap sebesar Rp. 1.072.923.083,-

4.5.5.2 Biaya Variabel/Variabel Cost (VC)

Biaya variabel adalah biaya yang jumlahnya tergantung pada jumlah produksi. Dari

hasil perhitungan pada lampiran 10, didapatkan biaya variabel sebesar Rp. 1.798.391.550,-

Biaya Produksi Total = Biaya Tetap (FC) + Biaya Variabel (VC)

= Rp. 1.072.923.083 + Rp. 1.798.391.550

= 2.871.314.633,43

4.5.6 Proyeksi Pendapatan

Pendapatan diperoleh dari hasil penjualan produk karaginan dengan nilai sebesar Rp.

8.602.500.000,-. Sehingga laba penjualan adalah :

Laba = Pendapatan – Biaya Produksi

= Rp. 8.602.500.000 - 2.871.314.633,43

= Rp. 5.731.185.367,- (tanpa risk)

Sedangkan laba penjualan dengan risk (asumsi total produksi terjual 90%), didapatkan

sebesar Rp. 4.296.672.440,-. Perlu dicatat bahwa laba penjualan, sudah mencakup biaya

produksi tak terduga sebesar 12%.

Page 43: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 42

4.6 Aspek Kinerja Finansial

4.6.1 Profit Margin (PM)

Profit Margin adalah persentase perbandingan antara keuntungan sebelum pajak

penghasilan (PPh) terhadap total penjualan.

PM = Laba Sebelum Pajak x 100%

Total Penjualan

PM = Rp. 5.731.185.367 x 100%

Rp. 8.602.500.000

PM = 66,62%

4.6.2 Break Even Point (BEP)

Break Even Point adalah kondisi produksi pada saat hasil penjualan hanya dapat

menutupi biaya produksi. Dalam keadaan ini, dikatakan titik impas (tidak untung dan tidak

rugi).

BEP = Biaya Tetap x Total Penjualan

Total Penjualan – Biaya Variabel

BEP = Rp. 1.072.923.083 x Rp. 8.602.500.000

Rp. 8.602.500.000 – Rp. 1.798.391.550

BEP = Rp. 1.356.507.012,- (Rupiah)

BEP = 6.783 kg (produksi/tahun)

BEP = 22,61 kg (produksi/hari)

4.6.3 Return On Investment (ROI)

Return On Investment adalah besarnya persentase pengembalian modal tiap tahun dari

penghasilan bersih.

ROI = Laba Setelah Pajak x 100%

Modal Investasi Total

ROI = Rp. 4.153.747.628 x 100%

Rp. 13.346.941.833,43

ROI = 31,12%

Page 44: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 43

Analisa ini dilakukan untuk mengetahui laju pengembalian modal investasi total

dalam pendirian industri pengolahan rumput laut. Kategori resiko pengembalian modal

adalah :

a. Resiko pengembalian modal rendah : ROI ≤ 15%

b. Resiko pengembalian modal rata-rata : 15 ≤ ROI ≤ 45%

c. Resiko pengembalian modal tinggi : ROI ≥ 45%

Dari hasil perhitungan diperoleh nilai ROI sebesar 31,12% yang artinya industri

pengolahan rumput laut yang akan didirikan, tergolong resiko pengembalian modal rata-rata.

4.6.4 Pay Back Period (PBP)

Metode Payback Period (PP) merupakan teknik penilaian terhadap jangka waktu

(periode) pengembalian investasi suatu proyek atau usaha. Berdasarkan hasil perhitungan

didapatkan bahwa modal akan kembali setelah 5 tahun operasional.

4.6.5 Net Present Value (NPV)

Net Present Value merupakan metode analisis keuangan yang memperhatikan adanya

perubahan nilai uang karena faktor waktu. Proyeksi cash flow dapat dinilai sekarang (periode

awal investasi) melalui pemotongan nilai dengan faktor pengurang yang dikaitkan dengan

biaya modal (persentase bunga). Adapun kriteria penilaian NPV adalah :

a. Jika NPV > 0, maka investasi layak

b. Jika NPV < 0, maka investasi tidak layak

Dari perhitungan didapatkan bahwa nilai NPV sebesar Rp. 576.420.216,-. NPV ini

bernilai positif dan nilainya > 0, sehingga rencana pembangunan industri pengolahan rumput

laut dikategorikan layak.

4.6.6 Internal Rate Of Return (IRR)

Internal Rate Of Return adalah persentase yang menggambarkan keuntungan rata-rata

bunga per tahun dari semua pengeluaran dan pemasukan. Adapun kriteria penilaian IRR

adalah :

a. Jika IRR > dari suku bunga yang telah ditetapkan, maka investasi layak

b. Jika IRR < dari suku bunga yang telah ditetapkan, maka investasi tidak layak

Page 45: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 44

Dari hasil pehitungan diperoleh nilai IRR sebesar 16,81%, sehingga secara ekonomi

menguntungkan karena lebih besar dari bunga deposito bank (14 – 16%).

4.6.7 Profitability Index (PI)

Indeks profitabilitas adalah rasio atau perbandingan antara jumlah nilai sekarang arus

kas selama umur ekonomisnya dan pengeluaran awal proyek. Adapun kriteria untuk PI

adalah :

a. Dinilai layak jika PI > atau = 1,00

b. Dinilai tidak layak jika PI < 1,00

Dari hasil perhitungan didapatkan nilai PI sebesar 1,04. Berarti bahwa pembangunan

industri pengolahan rumput laut layak dilakukan atau diterima karena nilai PI > 1.

4.7 Rencana Implementasi

1. Tahap Pra Minapolitan (Tahun ke-1)

Tahap pra minapolitan merupakan tahap pembentukan payung hukum dalam

implementasi minapolitan rumput laut. Lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan

tahap pra minapolitan adalah 12 (dua belas) bulan.

Pada rentang waktu tersebut, pihak-pihak yang berkedudukan sebagai Pembina,

seperti Dinas Koperasi, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindustrian, Biro Hukum

serta lembaga lain yang ditunjuk, berperan sebagai konseptor dan fasilitator, meliputi

beberapa langkah diantaranya :

a. Penyusunan, pembahasan dan pengesahan Perda terkait pewajiban Koperasi sebagai

bentuk badan hukum minapolitan rumput laut, dengan mengacu pada PP 33/1998

tentang Penyertaan Modal Koperasi

b. Proses mediasi dengan sumber-sumber pembiayaan dengan perbankan maupun

lembaga keuangan lainnya terkait skema pembiayaan minapolitan

Tabel 20. Time Schedule Tahap Pra-Minapolitan

No Kegiatan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1. Penyusunan Perda Koperasi (mengacu pada PP 33/1998)

2. Pembahasan Perda Koperasi 3. Pengesahan Perda Koperasi 4. Proses mediasi sumber

pembiayaan dengan lembaga keuangan terkait

Page 46: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 45

2. Tahap Awal Minapolitan (Tahun ke-2)

Tahap awal minapolitan meliputi penyiapan komponen-komponen yang terlibat dalam

minapolitan rumput laut. Lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tahap ini adalah

12 (dua belas) bulan, meliputi beberapa langkah diantaranya :

a. Penyusunan studi kelayakan

b. Penyusunan business plan

c. Identifikasi, verifikasi dan penetapan Kelompok Pembudidaya tingkat pemula dan

Koperasi Primer yang akan dilibatkan dalam minapolitan

d. Pembahasan Juklak dan Juknis Dana Penyertaan (DPM) yang akan dipergunakan

Koperasi Primer selaku perwakilan Kelompok Pembudidaya, dalam pembelian saham

Koperasi Sekunder/Produksi

Tabel 21. Time Schedule Tahap Awal Minapolitan

No Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1. Penyusunan Studi Kelayakan

2. Penyusunan Business Plan

3. Identifikasi Kelompok

Pembudidaya dan Koperasi

Primer

4. Verifikasi Data Kelompok

Pembudidaya dan Koperasi

Primer

5. Penetapan Kelompok

Pembudidaya dan Koperasi

Primer Minapolitan

6. Penyusunan Juklak Juknis

Dana Penyertaan Modal

3. Tahap Operasional Minapolitan (Tahun ke-3)

Pada tahap operasional minapolitan, terdapat beberapa kegiatan yang berjalan secara

beriringan (paralel) pada tingkat Kelompok Pembudidaya, Koperasi Primer dan Koperasi

Sekunder selaku komponen utama minapolitan rumput laut.

Page 47: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 46

Kegiatan pada Kelompok Pembudidaya berupa persiapan pengaturan pola tanam

sesuai dengan asumsi perancangan kapasitas pengolahan industri pengolahan rumput laut.

Dalam hal ini perlu dibentuk minimal 30 (tiga puluh) klaster dengan pola tanam bergilir.

Gambar 9. Model Pengaturan Pola Tanam

Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa, diperlukan 30 (tiga puluh) klaster

Kelompok Pembudidaya yang terdiri dari 10 klaster rakit apung, 10 klaster patok dasar dan

10 klaster longline, dengan tingkat produksi minimal 0,31 ton rumput laut kering/30

hari/klaster. Setiap 10 klaster bernaung pada 1 (satu) Koperasi Primer sehingga dibutuhkan 3

(tiga) Koperasi Primer dengan kapasitas penampungan 3,1 ton/bulan.

Rumput laut kering yang ditampung dalam gudang bahan baku milik Koperasi

Primer, baru dapat didistribusikan kepada Koperasi Sekunder/Produksi apabila telah

mencapai batas minimal pengolahan yakni 60% kapasitas equivalen = 55,8 ton rumput laut

kering, dengan total waktu yang dibutuhkan 6 (enam) musim tanam per Koperasi Primer.

Selama kurun waktu tersebut, pengucuran Dana Penyertaan Modal (DPM) dan

pembelian bahan baku kepada Koperasi Primer dapat mulai dilakukan, guna mencegah

spekulasi maupun penjualan kepada pihak lain. Koperasi Primer sebagai Gabungan

Kelompok Pembudidaya, berperan sebagai penampung bahan baku sekaligus memberi nilai

tambah melalui perbaikan mutu (sortasi ulang, pengeringan kembali dan pengepresan).

Pembangunan unit usaha dan gudang bahan baku Koperasi Primer diperkirakan memakan

waktu selama 4 (empat) bulan.

Page 48: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 47

Pembangunan Koperasi Sekunder/Produksi selaku industri pengolahan rumput laut

hingga siap dioperasikan, diperkirakan memakan waktu 12 (dua belas) bulan. Selama rentang

waktu tersebut dilakukan proses trial error terhadap design process maupun peralatan untuk

mencapai efisiensi produksi yang diinginkan.

Tabel 22. Time Schedule Tahap Operasional Minapolitan

No Kegiatan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1. Penyaluran DPM 2. Kelompok Pembudidaya 3. Koperasi Primer a. Pembangunan gudang b. Penampungan bahan baku

4. Koperasi Sekunder/Produksi a. Pembelian bahan baku b. Pemesanan mesin c. Penyiapan lahan d. Pembangunan gedung e. Konstruksi pabrik f. Produksi percobaan (trial error) g. Produksi komersil

Page 49: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 48

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan

a. Berdasarkan hasil penilaian terhadap aspek pemasaran, teknis, manajemen

operasional dan kinerja finansial, diperoleh bahwa pendirian industri pengolahan

rumput laut Eucheuma cottonii di Provinsi NTB dikategorikan LAYAK. Sedangkan

dilihat dari kesiapan sektor budidaya dalam menerapkan sertifikasi CBYB,

dikategorikan TIDAK LAYAK

b. Industri pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii, diusulkan dibangun di Teluk

Ekas (Kabupaten Lombok Timur), dengan didahului perbaikan pada aspek sertifikasi

CBYB, akses transportasi, fasilitas finansial dan pembangkit tenaga listrik

(PLN/SPBU)

c. Karakteristik industri pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii yang akan dibangun

meliputi : pabrik Refined Carrageenan (RC) ; metode press ; kapasitas bahan baku 93

ton rumput laut kering/tahun : market share 1% ; bentuk badan hukum Koperasi

Produksi ; skema pembangunan model BUMD/BOT ; total modal investasi Rp.

13.346.941.833,43,- (rasio modal : bank = 60/40) ; tenaga kerja 26 orang

d. Nilai tambah pembangunan industri rumput laut Eucheuma cottonii bagi

pembudidaya berupa : penyerapan tenaga kerja utama 220 orang ; peningkatan harga

beli bahan baku pada kisaran 56,3% - 78,6% ; feedback berupa Sisa Hasil Usaha

(SHU) sesuai dengan persentase kepemilikan saham

e. Kelayakan kinerja finansial industri pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii yang

akan dibangun meliputi : PM = 66,62% ; BEP (Rp) = Rp.1.356.507.012,- ; BEP (Kg)

= 6.783 per tahun ; ROI = 31,12% ; PBB = 5 tahun ; NPV = Rp.576.420.216,- ; IRR =

16,81% dan PI = 1,04

5.2 Rekomendasi

a. Pembangunan industri pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii agar segera

dilaksanakan dengan mengacu pada rencana implementasi dan rencana anggaran yang

telah disusun

b. Dalam proses pembangunan industri pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii,

disarankan untuk lebih selektif dalam mengeluarkan biaya investasi guna menjaga

Page 50: Fuad AR - Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Di Provinsi NTB

Laporan Akhir Sementara

Study Kelayakan Industri Pengolahan Rumput Laut Provinsi NTB 49

kelayakan neraca, mengingat nilai IRR (16,81%) mengindikasikan tingkat sensitivitas

usaha yang cukup tinggi

c. Pemerintah Provinsi NTB disarankan untuk segera menyusun Peraturan Daerah

(Perda) sebagai payung hukum dalam derivatisasi penjabaran teknis, terkait pewajiban

bentuk badan hukum Koperasi bagi implementasi minapolitan rumput laut

d. Untuk mensuplai bahan baku secara kontinyu, menghindari intervensi spekulan dan

praktik ijon, disarankan untuk merekrut pembudidaya tingkat pemula melalui sistem

kemitraan berbasis Koperasi

e. Perlu dilakukan studi kelayakan lanjutan dan berkala diantaranya : survey kelayakan

industri pengolahan rumput laut segmen RC dengan metode IPA dan KCl, survey

kelayakan industri pengolahan rumput laut segmen ATC dan SRC, analisa tingkat

partisipasi kemitraan pembudidaya rumput laut dan Koperasi Sekunder/Produksi,

analisa penyertaan modal pembudidaya rumput laut, analisa dampak sosial ekonomi

pembangunan industri pengolahan rumput laut, AMDAL (Analisis Masalah Dampak

Lingkungan) serta struktur pendapatan pembudidaya pasca pembangunan industri

pengolahan rumput laut