fraktur os mastoid
DESCRIPTION
juTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. DEFINISI
Fraktur tulang mastoid adalah diskontinuitas tulang mastoid yang seringkali
terjadi akibat trauma. Mastoid merupakan tulang yang terdiri dari bagian yang
berselula atau bagian aerasi. Tulang ini dibatasi pada bagian anterior oleh fossa
kranialis media dan pada posterior oleh fossa kranialis posterior. Mastoid
merupakan bagian dari tulang temporal sehingga trauma pada tulang temporal akan
mengakibatkan cedera pada mastoid. Mastoid merupakan tulang yang dapat
melindungi struktur vital yang berada ditulang temporal dari mekanisme cedera.
Tulang temporal merupakan struktur tulang yang membentuk tulang kepala pada
bagian lateral dan juga merupakan bagian struktur yang membentuk basis cranii..
Fraktur tulang temporal adalah kelainan yang sering dikonsultasikan
pada spesialis THT (Telinga, Hidung, Tengorok) dalam keadaan darurat.
Pengetahuan tentang anatomi struktur vital dalam tulang temporal sangat penting
untuk mendiagnosa dan penanganan cedera dengan cepat dan tepat. Dengan
evaluasi yang tepat, pada trauma ini dapat diperhitungkan derajat keparahan dari
trauma yang terjadi dan dengan mngidentifikasi gejala-gejala yang timbul pada
telinga dapat diperkirakan adannya keterlibatan struktur vital yang cedera akibat
trauma tulang temporal.1,2,3,7
I.2. EPIDEMIOLOGI
Cedera pada tulang temporal mencapai angka kejadian yang berkisar 30%
sampai 70% kasus yang melibatkan trauma tumpul kepala. Sekitar 4% pasien
dengan cedera kepala mengalami fraktur dan 14% sampai 22% dari pasien tersebut
menderita fraktur tulang temporal. Kebanyakan fraktur yang terjadi bersifat
unilateral dengan laporan kasus fraktur temporal bilateral hanya sekitar 9% sampai
20% kasus. Paling sering terjadi pada orang dewasa dan pada anak-anak kasus ini
timbul dengan angka kejadian sekitar 8% sampai 22%. Meskipun langkah-langkah
1
keamanan seperti sabuk pengaman, airbag dan helm sepeda motor dapat membantu
mengurangi jumlah kecelakaan kendaraan yang mengakibatkan trauma kepala,
namun kecelakaan tetap menjadi menjadi penyebab yang paling umum terjadinya
cedera tulang temporal. Tiga penyebab tersering adalah kecelakaan dengan
kendaraan dan sepeda motor (45%), jatuh (32%) dan karena tindakan kekerasan
atau perampokan (11%). Luka tembakan pada kepala merupakan penyebab yang tidak sering
tetapi meningkatkan frekuensi kejadian trauma kepala dan lebih dari setengah pasien ini menderita
trauma intrakranial oleh karena itu trauma tulang temporal juga sering dikaitkan dengan terjadinya
cedera otak berat. Luka pada arteri karotis lebih sering meningkatkan angka kematian
dibandingkan pada trauma tumpul. Fraktur yang terjadi pada tulang temporal dapat
mengakibatkan fraktur yang melibatkan komponen penyusunnya yaitu salah satunya adalah
tulang mastoid. 1,3,10
2
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. ANATOMI
Tulang temporal merupakan tulang yang membentuk cavum cranii
dan terletak pada aspek lateral, berbatasan dengan tulang parietal
dibagian superior, tulang sphenoid dibagian anterior dan tulang oksipital
dibagian posterior. Tulang temporal membentuk bagian tulang dari fossa
kranialis media dan fossa kranialis posterior serta berkontribusi dalam
membentuk basis cranii.1,4,10
Tulang temporal terbagi atas lima komponen tulang yaitu pars
squamosa, pars tympanica, styloid, mastoid, dan petrosus. Pars
squamosa merupakan bagian os temporal yang terletak dibagian superior
dan anterior dan terutama menyusun dinding lateral fossa kranialis
3
Gambar 1. Gambar dua sisi tulang temporal pada tulang tengkorak manusia. (A) Dilihat dari sisi anterior, (B) Dilihat dari sisi lateral (C) dilihat dari inferior, (D) Dilihat dari bagian dasar tulang.1
tengkorak.1
medial, pars squamosa juga berkontribusi dalam pembentukan atap
tulang dari meatus akustikus eksternus. Pars tympanica dari os temporal
membentuk meatus akustikus eksternus yang berfungsi untuk melindungi
membran timpani. Prosessus styloideus muncul pada pars timpani dan
memberikan tempat untuk melekatnya ligament stylohyoid dan
stylomandibular. Pars mastoid membentuk batas posterior dari os
temporal dan merupakan tulang yang memiliki banyak rongga-rongga
didalamnya yang disebut dengan mastoid cell , pars mastoid juga
merupakan tempat bermuaranya kanal fallopian, sinus sigmoid dan
ossicles. Pars petrous dari os temporal merupakan tulang yang berbentuk
piramida dan memiliki puncak yang terletak pada tulang basis cranium
diantara tulang sphenoid dan occipital. 1,4
Struktur vital yang berada di mastoid dan temporal merupakan struktur yang
berada ditelinga tengah. Di bagian inferior pars squamosa dari tulang temporal
terdapat struktur berupa membran timpani dan ossicula auditori. Bagian yang
paling sering mengalami keterlibatan pada fraktur adalah kapsula otik yaitu bagian
yang tepat di inferior dari struktur ini terdapat tulang-tulang pendengaran dan juga
4
Gambar 2. (A) Gambar tulang temporal kiri dilihat dari sisi lateral. Tulang skuamosa,styloid, dan mastoid yang terlihat. Garis bagian tympani, meatus akustikus eksternus dan tulang petrosa
adalah struktur inferior dan tidak terlihat dari pandangan lateral. (B) Gambar tulang temporal kiri dilihat dari sisi medial, struktu pars petrosa dapat terlihat dari aspek ini.1
A B
corda timpani (kanalis dari percabangan saraf fasialis). Selain itu struktur telinga
tengah juga dibentuk oleh pars tympanica dari tulang temporal pada bagian inferior,
struktur ini juga berbatasan langsung dengan membran timpani dan tulang-tulang
pendengaran. Pars mastoid dari tulang temporal merupakan tulang yang menyusun
dinding posterior dari telinga tengah pada tulang ini terdapat aditus yang
menghubungkan telinga tengah dengan rongga-rongga yang ada pada tulang
mastoid. Pars petrous tulang temporal berhubungan erat dengan struktur vital yang
berada pada telinga dalam yaitu koklea, kanalis semisirkularis dan meatus akustikus
internus (tempat muara dari nervus VII dan nervus VIII). Didalam tulang temporal
juga terdapat jalur dari saraf fasialis mulai dari kanalis akustikus internus, corda
timpani, hingga keluar melalui foramen stylomastoideus sehingga fraktur yang
terjadi dapat mengakibatkan kerusakan dari struktur vital tersebut dan memberikan
gejala yang sesuai dari stuktur yang terlibat cedera.4,8,11
II.2. ETIOLOGI
Cedera tulang temporal paling sering diakibatkan oleh trauma tumpul dan
sangat jarang oleh trauma tajam atau penetrasi yang kerusakan karena trauma ini
5
Gambar 3. (A) Struktur vital yang terdapat pada tulang temporal dilihat dari arah superior. (B) struktur vital dan perjlanan saraf fasialis pada tulang temporal dilihat dari arah anterior.11
A B
lebih parah. Trauma tumpul pada tulang temporal dapat disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor (12%-47%), penganiayaan (10% -37%), jatuh
(16% -40%), trauma penetrasi biasanya diakibatkan oleh luka tembak (3%-33%).
Dengan perbaikan teknologi keselamatan mobil, kejadian patah tulang akibat
kecelakaan kendaraan bermotor dapat mengalami penurunan. Disisi lain,
peningkatan kasus cedera tulang temporal justru terjadi akibat kejahatan dan
kekerasan.3,6
II.3. KLASIFIKASI
Fraktur temporal secara klasik dibagi atas dua macam fraktur yaitu fraktur longitudinal
dengan angka kejadian sekitar 80% dari seluruh fraktur temporal dan fraktur tranversal dengan
angka kejadian 20% berdasarkan studi yang dilakukan pada tahun 1940. Fraktur longitudinal
terjadi akibat adanya trauma yang mengenai tulang temporoparietal dan struktur yang paling
sering terlibat antara lain membran timpani, atap dari telinga tengah dan bagian anterior dari apex
petrous. Sekitar 15-20% dapat melibatkan cedera pada saraf fasialis. Onset dari terjadinya paralisis
saraf fasialis biasanya timbul lambat, keterlibatan dari struktur seperti koklea dan vestibular
biasanya sangat jarang. Fraktur ini dapat berjalan dari anterior atau posterior (mastoid atau meatus
acusticus eksternus ) yang akan mengikuti bagian tulang yang paling lemah menuju koklea dan
kapsula labirin lalu membentuk garis fraktur petrosquamos yang berujung di anterior ke kapsula
otik serta dapat juga berakhir di dekat foramen spinosum atau pada air mastoid cell. Keterlibatan
dari struktur pada telinga tengah dapat menyebabkan hemotimpanum dan cedera ossicula
sehingga akan menghasilkan tuli konduktif.1,3,5,6,9,12
6
Fraktur transversal terjadi akibat adanya trauma yang mengenai tulang fronto-occipital yang
menghasilkan gaya sepanjang axis anterior-posterior dan menimbulkan garis fraktur yang tegak
lurus pada axis panjang piramid petrous. Garis fraktur berasal dari foramen magnum melalui
fossa posterior lalu ke piramid petrous termasuk ke kapsula otik dan fossa kranialis medial
sehingga sangat sering menimbulkan tuli sensorineural ataupun vertigo. Keterlibatan cedera saraf
fasialis lebih sering (50%) dibandingkan dari fraktur longitudinal. Kapsula otik dan meatus
acustikus internus seringkali terlibat cedera. Fraktur transversal biasanya menyebabkan
struktur koklea dan vestibular hancur, sehingga dapat mengakibatkan sensorineural
hearing loss (SNHL) dan vertigo yang berat. Intensitas vertigo akan berkurang
setelah 7-10 hari kemudian terus menurun selama 1-2 bulan berikutnya, dan hanya
menyisakan perasaan goyah yang berlangsung sekitar 3-6 bulan, sampai akhirnya
terjadi kompensasi.1,3,5,6,9,12
Tabel 1. Perbandingan fraktur longitudinal dan fraktur transversal.6
Gambaran Fraktur longitudinal Fraktur Transversal
Insiden 80% 20%
Mekanisme Trauma dari os temporal atau Trauma dari os frontal atau
7
Gambar 4. Garis fraktur longitudinal yang dapat terbentuk digambarkan pada garis hitam dan garis biru terhadap gambar.3
Gambar 5. Garis fraktur transversal yang dapat terbentuk digambarkan pada garis hitam dan garis merah terhadap gambar.3
parietal occipital
Otore CSF Sering Jarang
Perforasi membran
timpani
Sering Jarang
Kerusakan N.
Fascialis
20% ( Tidak menetap dan onset
lambat )
50% ( Berat, menetap dan onset
immediate )
Hearing loss Sering ( Tipe konduktif dan
sensorineural pada nada tinggi )
Sering ( Sensorineural atau
campuran )
Hemotimpanum Sering Jarang
Nistagmus Sering (Spontan, intensitas
rendah atau tergantung posisi )
Sering (Spontan, intensitas tinggi )
Otore Sering Jarang
Vertigo Sering ( kurang intens ) Sering ( lebih intens, terjadi pada
fase akut dengan disertai gejala
mual dan muntah )
Bagaimanapun sistem klasifikasi fraktur secara klasik ini jarang berdiri sendiri, sehingga
gejala dari kedua tipe fraktur tidak dapat membedakan apakah fraktur yang terjadi adalah fraktur
longitudinal atau transversal, telah dilaporkan bahwa 90% trauma tumpul pada temporal akan
mengakibatkan fraktur campuran dari kedua tipe fraktur klasik atau fraktur oblique. Sekarang ini,
dikembangkan sebuah kategori baru dalam klasifikasi fraktur temporal yang dibagi atas dua tipe
yaitu fraktur tulang temporal otic capsule sparing (OCS) dan otic capsule disruption (OCD).
Sistem klasifikasi ini ternyata memberikan korelasi yang lebih baik dengan klinis pasien. Fraktur
OCS lebih banyak terjadi (90%) dari pada OCD dan juga memiliki insidensi yang lebih tinggi
terhadap terjadinya kerusakan saraf fasialis (30-50%), SNHL, dan CSF leak (2-4 kali lebih tinggi
dbandingkan OCD ).3,6,12
8
Tabel 2. Perbandingan fraktur otic capsule sparing (OCS) dengan otic capsule disruption
(OCD).6
Gambaran OCS OCD
Insiden 95% 5%
Mekanisme Trauma tulang temporal atau
parietal
Trauma occipital
Jalur Pars squamosa os temporal,
dinding posterior dari meatus
acusticus eksternus, tulang
mastoid
Foramen magnum, kapsula otik,
pyramid petrous, foramen jugular,
foramen lacerum,
Kerusakan N.
Fascialis
Jarang Sering
Hearing loss Tipe konduktif atau campuran Tipe sensorineural
CSF leak Jarang 2-4 kali lebih sering
Dari tipe-tipe fraktur ini, keterlibatan fraktur mastoid sangatlah sering terjadi. Hal ini
dikarenakan tulang mastoid diyakini merupakan tulang yang berfungsi sebagai penyerap energi
trauma karena tulang ini terdiri dari rongga-rongga atau yang disebut air cell mastoid dan dalam
9
Gambar 6. Garis fraktur transversal yang dapat terbentuk digambarkan pada garis hijau garis fraktur longitudinal diwakili pada garis yang dibundari sedangkan garis fraktur
transversal pada garis fraktur yang diberkan garis bawah.3
beberapa literature menyebutkan istilah pneumatization. Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa
dengan adanya efek absorsi energi trauma dari tulang mastoid maka fraktur yang terjadi akan
lebih ringan sehingga struktur-struktur vital yang terletak ditulang temporal dapat dilindungi.7
II.4. MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan fraktur tulang mastoid dapat dijumpai dengan otore, laserasi
pada bagian tulang temporal atau hematom serta memar pada mastoid (battle sign).
Secara umum, gejala yang ditimbulkan oleh fraktur tulang mastoid bergantung dari
kerusakan stuktur vital yang terlibat. Gejala subjektif dari penderita dapat berupa
penurunan pendengaran, vertigo, tinitus, autofoni, kelemahan otot-otot wajah atau
sekret pada telinga. Terjadinya gejala-gejala tersebut akan dijelaskan dibawah ini.1,5
1. Penurunan pendengaran.
Penurunan pendengaran adalah gejala yang paling sering didapatkan pada
fraktur tulang temporal. Beberapa studi menyebutkan bahwa lebih dari
setengah jumlah pasien fraktur tulang temporal yang mengalami penurunan
pendengaran. Penurunan pendengaran dapat disertai adanya tinitus, namun
ada atau tidaknya tinitus tidak mempengaruhi prognosis pasien. Derajat
parahnya penurunan pendengaran pada pasien sangat ditentukan dari
kekuatan trauma dan lokasi terjadinya garis fraktur. Pada fraktur transversal
yang melibatkan kapsula otik dan meatus acustikus internus akan
menyebabkan penurunan pendengaran yang bersifat sensorineural atau tuli
sensorineural, sedangkan pada fraktur longitudinal lebih sering
menyebabkan gangguaan berupa tuli konduksi atau tuli campuran. Dislokasi
dari sendi incudostapedial merupakan penyebab paling umum terjadinya tuli
konduksi pada fraktur tulang temporal.1,4,7
2. Hemotimpanum, post auricular ekimosis dan periorbital ekimosis
Cedera pada tulang temporal dan mukosa telinga tengah serta mastoid
sangat sering memicu terjadinya akumulasi dari darah atau cairan
10
serosanguinos di rongga telinga tengah. Darah atau cairan pada telinga
tengah dalam jumlah yang banyak akan mencerminkan adanya cedera yang
luas dan juga telah terjadi gangguan fungsi dari tuba eustachia. Jika cedera
yang terjadi sudah sangat berat atau drainase dari tuba eustachia terhenti
total maka rongga telinga tengah akan terisi banyak darah yang dalam
pemeriksaan fisik membran timpani akan terlihat lebih kehitaman. Selain itu
tanda penting curiga adanya fraktur tulang temporal yaitu ditemukan tanda
berupa post auricular ekimosis (battle’s sign) atau periorbital ekimosis
(raccoon eye) bila terlibat sampai fraktur fossa kranialis anterior.1,4
3. Otore
Otore terjadi bila membran timpani mengalami ruptur, cairan yang
sebelumnya terakumulasi di rongga telinga tengah akan keluar melalui
meatus acustikus eksterna. Cairan atau sekret ini dapat berupa darah,
eksudat, cairan serebrospinal atau campuran dari ketiga jenis sekret tersebut.
Otore akan segera terjadi pada fraktur tulang temporal dan dapat menjadi
tanda patognomonis, namun sebagian kasus tidak terjadi otore akibat
adanya drainase cairan ke tuba eustachia. Cairan sebrerospinal dapat
mengalir ke tuba eustachia dan bermanifestasi sebagai rhinorrhea. Hal ini
11
Gambar 7. Manifestasi klinis yang didapatkan pada fraktur tulang temporal (A) hemotimpanum, (B) Postaurikular ekimosis (battle sign’s), (c) periorbital hematom
( raccoon eyes ).1
dapat terjadi dengan atau tanpa cedera pada membran timpani.
Adanyacairan serebrospinal menandakan bahwa terjadi destruksi dari
lapisan duramater akibat fraktur sehingga terjadinya kebocoran dari CSF.
Hal ini sering terjadi bila fraktur yang terjadi melibatkan cedera pada
kapsula otik. Setelah trauma, otore cairan serebrospinal biasanya serous dan
dapat salah interpretasi bila telah bercampur dengan darah. Cairan yang
dicurigai cairan serebrospinal harus diperiksa kadar beta-2-transferin, bila
tinggi maka mengindikasikan otore merupakan cairan serebrospinal.3,4
4. Vertigo
Gejala ini sangat rumit dievaluasi pada pasien dengan trauma temporal yang
berat. Namun pada cedera yang mengenai kapsula otik dapat menimbulkan
cedera berat pada sturuktur vestibuler yang ditandai dengan adanya
nistagmus. Nistagmus perifer seringkali terlihat dan biasanya horizontal
atau rotatoar. Namun biasanya kelainan akan hilang dengan spontan setelah
6-12 bulan setelah trauma akibat adanya mekanisme adaptasi sentral.4,7,12
5. Cedera saraf fasial
12
Gambar 8. Otore cairan serebrospinal pada pasien dengan fraktur temporal kiri dsiertai ruptur dari membran timpani.1
Angka kejadian terjadinya cedera saraf fasial diperkirakan 15-20% pada
fraktur longitudinal dan 50% pada fraktur transversal. Saraf fasialis
intratemporal dapat mengalami cedera akibat kompresi, teregang, tertarik
atau terputus akibat adanya trauma tulang temporal. Saraf ini berjalan
didalan saluran yang terdiri dari meatus acustikus internus dan kanalis
fasialis (fallopian). Saraf fasialis terbagi atas beberapa segmen yang terbagi
atas segmen meatus akustikus internus, labirin, genikulatum, timpani dan
segmen mastoid. Tempat yang paling penting dari saraf fasialis pada region
perigenikulatum, pada bagian ini saraf fasialis seringkai mengalami
penyempitan saluran akibat fraktur tulang temporal.1,3,8,12
II.5. DIAGNOSIS
Diagnosis fraktur tulang temporal dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang penting pada
pasien adalah adanya riwayat trauma yang dialami pasien, serta mekanisme trauma
juga penting untuk diketahui agar dapat diperkirakan berat-ringannya trauma yang
terjadi serta menentukan apakah trauma merupakan multiple trauma. Pada
pemeriksaan fisis pasien dengan trauma penting untuk menilai kesadaran pasien
dengan memakai glasgow coma scale, tanda-tanda perdarahan dan syok. Bila
pasien masuk dengan multiple trauma maka sebaiknya segera dilakukan
13
Gambar 9. Parese saraf fasialis kanan pada pasien yang menderita trauma tulang temporal kanan.8
pemasangan cervical spine untuk mengamankan tulang servikal sebelum
pemeriksaan lainnya dilakukan. Pasien dengan fraktur tulang temporal pada
pemriksaan fisis yang penting untuk ditemukan adalah adanya otore yang berupa
cairan serebrospinal, darah atau keduanya. Selain itu fungsi saraf fasialis,
penurunan pendengaran dan gangguan vestibuler juga dapat didapatkan. Tanda
patognomonis yaitu berupa hemotimpanum, fraktur kanalis eksterna, ekimosis serta
ruptur dari membrane timpani dapat dilihat melalui pemeriksaan otoskopi dan bila
ada tanda-tanda fraktur yang melibatkan basis cranii maka akan didapatkan tanda
berupa battle sign atau raccoon eyes.3,4,5
Pemeriksaan fisis untuk gangguan pendengaran yang terjadi dapat dilakukan
dengan tes garpu tala yang terdiri dari pemeriksaan tes rinne dan weber serta dapat
juga dilakukan pemeriksaan audiogram jika keadaan pasien memungkinkan untuk
lebih menilai tipe dan derajat ketulian yang lebih akurat. Pemeriksaan audiogram
ini sebaiknya dilakukan secepatnya, bila ditemukan adanya tuli sensorineural atau
tuli campuran maka dipertimbangkan untuk pemberian steroid pada pasien.
Pemeriksaan lainnya dapat berupa pemeriksaan keseimbangan atau vestibuler,
pasien dengan cervical spine harus dilepaskan terlebih dahulu sebelum
mengevaluasi fungsi vestibuler. Dinilai apakah ada nistagmus, gaya berjalan yang
abnormal, fistula tes positif, serta bila perlu dilakukan tes Dix-Hallpike untuk
evaluasi bening paroxysmal positional vertigo (BBPV). Vertigo dapat terjadi pada
pasien dengan fraktur os mastoid yang melibatkan kapsula otik atau organ
vestibuler yang berada didekatnya.1,3,4
Pemeriksaan fisis lainnya yang dapat dilakukan adalah mengevaluasi saraf
fasialis. Assesment awal adanya cedera saraf fasialis sangat penting dan adanya
cedera yang melibatkan saraf tersebut harus segera diketahui. Menentukan adanya
cedera pada saraf fasialis sangat rumit dan hanya bisa dilakukan pada pasien
dengan trauma tulang temporal yang kooperatif sehingga pada pasien yang tidak
kooperatif, tidak sadar atau dalam keadaan tersedasi salah satu metode yang dapat
14
dilakukan adalah dengan memberikan rangsang nyeri dengan harapan pasien akan
meringis sehingga dapat dilihat kontraksi dari otot-otot wajah. Namun hal ini tidak
dapat selalu dapat memberikan hasil yang akurat.3,4
Beratnya kerusakan saraf fasialis dapat dinilai secara klinis menurut grading
sistem dari House-Brackmaan.3
Tabel 3. Grading derajat kerusakan saraf fasialis menurut House-Brackmann
GRADE KARAKTERISTIK
I Normal Fungsi otot-otot fasial normal
II Mild Kelemahan ringan pada otot wajah,
simetris
III Moderate Masih dapat menutup mata secara
sempurna, asimetris saat kontraksi,
kelemahan nyata, kelemahan
ringan pada otot-otot dahi
IV Moderately Severe Tidak dapat menutup mata secara
sempurna, tidak ada kontraksi otot-
otot dahi, asimetris saat kontraksi.
V Severe Asimetris saat istirahat
VI Total Tidak ada kontraksi pada otot-otot
wajah
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengakkan diagnosis
adanya fraktur tulang temporal adalah dengan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan
radiologi sederhana seperti foto konvensional skull anteroposterior atau lateral akan
memperlihatkan daerah tulang mastoid yang lebih opaq atau bila garis fraktur jelas
akan membentuk garis yang lusen, namun hal ini jarang didapatkan pada foto
konvensional. Diagnosis fraktur tulang temporal tidak dapat hanya dengan
15
menggunakan foto konvensional karena biasanya akan memberikan hasil yang
negatif palsu.6
Sebagai pemeriksaan gold standar maka digunakan pencitraan dengan HRCT
(High Resolution CT Scan) dengan potongan axial dan coronal. Pemeriksaan ini
menyediakan gambaran yang lebih baik terhadap anatomi tulang dan garis fraktur
yang lusen akan terihat lebih jelas serta dengan pemeriksaan HRCT dapat
dievaluasi struktur-sturktur penting seperti intaknya tulang-tulang pendengaran,
kapsula otik, kanalis karotis dan fossa kranialis media. Fraktur longitudinal
membentuk garis fraktur yang berasal dari lateral kearah medial. Paling sering
mengenai pars squamosa tulang temporal serta tulang parietal. Hal ini diakibatkan
karena fraktur ini paling sering terjadi akibat trauma pada begian tulang temporal
atau tulang parietal.1,3,6
Fraktur transversal membentuk garis fraktur yang tegak lurus pada axis panjang pyramid
petrous. Garis fraktur ini dapat berasal dari foramen magnum melalui fossa posterior lalu ke
pyramid petrous termasuk ke kapsula otik dan fossa kranialis medial.1,6
16
Gambar 10. CT-Scan potongan axial memperlihatkan fraktur longitudinal pada tulang temporal. 6
Gambar 11. CT-Scan potongan axial memperlihatkan fraktur ltransversal pada tulang temporal.6
Fraktur campuran membentuk garis fraktur berupa fraktur transversal dan
fraktur longitudinal atau fraktur oblique.1,6
Pemeriksaan radiologi lainnya seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI)
tidak dapat terlalu memberikan gambaran adanya fraktur, pada MRI mungkin
didapatkan adanya bayangan cairan pada rongga mastoid. Walaupun demikian,
pemeriksaan MRI memiliki sensitivitas dan spesifitas rendah dalam mendiagnosa
adanya fraktur tulang temporal.6
II.6. PENATALAKSANAAN
Intervensi darurat pada fraktur tulang temporal harus segera dilakukan bila
ditemukan dua keadaan yaitu adanya herniasi otak yang nyata dan cedera
melibatkan telinga tengah, mastoid atau meatus acustius eksternus membutuhkan
penanganan segera oleh ahli saraf atau bedah saraf. Kondisi kedua bila ditemukan
adanya perdarahan masif dari arteri karotis intratemporal yang harus segera
ditangani, saat ini intervensi radiologi dengan balon oklusi untuk menghentikan
perdarahan umumnya akan lebih cepat dibandingkan dengan tindakan operatif
seperti ligasi arteri karotis.1
17
Gambar 12. CT-Scan potongan axial memperlihatkan fraktur tranasversal pada tulang temporal (panah panjang) dan fraktur longitudinal (panah pendek).6
Pasien dengan gejala adanya parese pada saraf fasialis harus dilakukan
intervensi berupa operasi bila ditemukan derajat parese yang berat atau berdasarkan
hasil CT-Scan terbukti adanya pergeseran atau kerusakan berat dari saraf fasialis.
Pendekatan transmastoid biasanya dilakukan pada lesi saraf fasialis yang terletak
sebelah distal dari ganglion geniculatum. Pasien yang tidak membutuhkan
intervensi operasi atau hanya konservatif bila cedera saraf fasialis (1) Adanya
perbaikan dari parese fasialis yang dievaluasi setelah trauma, (2) parase inkomplit
yang menetap dan tidak berkembang menjadi parese komplit, dan (3) Degenerasi
saraf yang kurang 95% bedarasarkan hasil pemeriksaan elektroneurografi (EnoG).
Penanganan pada parese komplit masih controversial. Fisch merekomendasikan
keputusan untuk intervensi operasi berdasarkan onset terjadinya parese
komplit,serta keparahan dan degenerasi saraf berdasarkan hasil EnoG. Tercatat
bahwa outcome yang jelek terlihat pada pasien dengan degenerasi saraf
berdasarkan hasil EnoG yang lebih 90%. Chang dan Cass menyarankan untuk
melakukan intervensi operasi berupa dekompresi saraf fasialis dilakukan dalam
kurun waktu 14 hari setelah terjadinya trauma untuk mencegah degenerasi saraf
yang lebih berat.1,3
Saat prosedur operasi, ketika saraf fasialis telah terlihat maka harus dinilai
kerusakan pada saraf apakah berupa penarikan saraf, kompresi, laserasi atau putus.
Jika saraf masih dalam keadaan intak maka dilakukan dekompresi lapisan epineural
dari proksimal ke distal. Saraf fasialis yang mengalami robekan parsial dapat
dijahit, namun bagian yang robek ini harus diganti dengan axon saraf yang lain dan
biasanya graft diambil dari axon saraf nervus auricularis yang terbesar. Pada pasien
yang mengalami cedera saraf yang terletak di proksimal dari ganglion geniculatum
dan tidak ditemukan adanya gangguan tuli sensorineural, maka pendekatan melalui
fossa cranii media lebih dipertimbangkan namun pada pasien yang disertai dengan
tuli sensorineural maka intervensi pendekatan secara transmastoid-translabyrinthine
lebih dipilih.1,3
18
Bila pasien memiliki gejala berupa otore carian serebrospinal maka penanganan
dimulai dengan konservatif termasuk berupa elevasi kepala, istirahat total, pencahar
dan pada pasien-pasien tertentu dapat dipasang drain lumbal. Resolusi secara
spontan dapat ditemukan pada 95% sampai 100% pasien yang memiliki otore
cairan serebrospinal. Rata-rata gejala akan berhenti dalam 7 hari dan lebih lama 8
hingga 14 hari. Penggunaan antibiotik untuk profilaksis terjadinya infeksi masih
kontroversial, walaupun dengan adanya kebocoran dari cairan serebrospinal lebih
dari 7 hari dapat meningkatkan angka terjadinya meningitis pada pasien. Intervensi
operasi lebih direkomendasikan pada pasien yang memiliki kebocoran cairan
serebrospinal lebih dari 14 hari setelah trauma. Intervensi operasi dapat dilakukan
dengan pendekatan fossa cranii media yang dikombinasikan dengan pendekatan
transmastoid.1,3
Gejala lain berupa tuli konduktif akibat adanya hemotimpanum tidak
membutuhkan intervensi khusus dan akan hilang secara spontan bila
hemotimpanum telah hilang. Namun pasien harus dievaluasi kembali 1-2 bulan
pasca trauma untuk menyingkirkan tuli konduktif akibat adanya dislokasi atau
fraktur pada tulang-tulang pendengaran, bila didapatkan demikian maka sebaiknya
dilakukan ossiculoplasty. Namun operasi tidak dapat dilakukan setelah 3 bulan
pasca trauma karena diharapkan proses inflamsi seperti edema dan perdarahan telah
berhenti serta perbaikan jaringan telah sempurna pada 3 bulan pertama setelah
trauma. Tuli sensorineural yang terjadi akibat fraktur os mastoid yang melibatkan
meatus akustikus internus pada pasien akan mengalami perbaikan namun beberapa
kasus akan persisten dan refrakter terhadap pengobatan. Kortikosteroid secara
intravena terkadang untuk menangani gejala tuli sensorineural dan juga cedera saraf
fasialis pada fraktur tulang temporal. Pada pasien yang refrakter dan memiliki tuli
senorineural derajat sedang sampai berat maka penggunaan alat bantu dengar
diindikasikan. Pada tuli sensorineural yang terjadi unilateral penanganan dengan
alat bantu dengar yang dapat dipasang ditelinga memperlihatkan hasil outcome
19
yang memuaskan. Selain itu penanganan tuli sensorineual bilateral dengan
menggunakan implant koklea juga memperlihatkan hasil outcome yang baik1,3
Gejala berupa vertigo akan menghilang tanpa adanya intervensi khusus. Benign
Paroxysmal positional vertigo (BPPV) dapat terjadi beberapa hari hingga beberapa
minggu dan akan hilang secara spontan. Supresor vestibular terbukti efektif,
droperidol yang diberikan secara intravena memperlihatkan bukti bahwa gejala
lebih cepat menghilang.1,3
20
BAB III
KESIMPULAN
Tulang mastoid merupakan bagian dari tulang temporal sehingga trauma
pada tulang temporal akan mengakibatkan cedera pada mastoid. Mastoid
merupakan tulang yang dapat melindungi organ-organ dalam dibagian temporal
dari mekanisme cedera. Tulang temporal merupakan struktur tulang yang
membentuk tulang kepala pada bagian lateral dan juga merupakan bagian struktur
yang membentuk basis cranii. Fraktur tulang temporal terjadi pada sekitar 14-22%
dari semua cedera tengkorak. Sebagian besar patah tulang unilateral dan fraktur
bilateral dilaporkan sekitar 20%. Penyebab fraktur tulang temporal paling sering
adalah trauma pada tulang tersebut dapat berupa akibat kecelakaan lalulintas (45%),
jatuh dari ketinggian (32%) serta kekerasan atau perampokan (11%).
Fraktur tulang temporal diklasifikasikan secara klasik menjadi fraktur
longiudinal dan fraktur transversal, adapun klasifikasi terbaru karena klasifikasi ini
kurang relevan dengan gejala klinik yang timbul antara lain fraktur campuran atau
fraktur oblique serta fraktur otic capsule sparing dan fraktur otic capsule disruption.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis adanya fraktur tulang mastoid
atau temporal selain dari gejala klinis berupa penurunan pendengaran,
hemotimpanum, otore, sampai komplikasi berupa parese saraf fasialis dan vertigo
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang antara lain foto polos kepala, CT-scan
serta MRI. Namun yang masih menjadi gold standar untuk penentuan diagnosis
yaitu dengan menggunakan pemeriksaan CT-Scan kepala potongan axial dan
coronal. Penatalaksaan dari fraktur tulang mastoid atau temporal adalah
berdasarkan gejala klinis yang timbul, namun secara umum penanganan pada
fraktur tulang mastoid bila memberikan gejala yang berat maka intervensi berupa
operasi harus segera dilakukan.
21