foto-foto: mi/sumaryanto dedikasi tanpa batas negara filemasyarakat lokal membuat pupuk kompos dan...

1
PEREMPUAN berkebangsaan Jerman, Annette Horschmann, 44, telah berkelana ke penjuru dunia sejak kuliah. Dalam perjalanannya di Thailand, Bali (Indone- sia), dan Selandia Baru, Annette selalu dibayang-bayangi keindahan Danau Toba di Sumatra Utara. Semua orang membicarakannya seolah tempat itu me- rupakan sebuah keajaiban alam yang tiada dua. Karena penasaran, ia pun tak ragu untuk langsung berkunjung ke sana. “Pertama kali melihatnya, saya seperti jatuh cinta,” kenangnya. Sayangnya, rasa takjub Annette terganggu oleh ba- nyaknya sampah di sekitaran danau. Ia kemudian memu- tuskan untuk melakukan aksi bersih danau. Ia mengajak tetangganya, seorang turis Belanda, untuk bekerja sama membersihkan danau dari sampah dan eceng gondok. Annette juga mengerahkan penduduk lokal membantu misi yang diberi nama Save Lake Toba itu. “Saya menyisir sampah setiap hari. Banyak yang melihat saya seperti orang gila. Buat apa kau bersihkan, besok pasti kotor lagi,” kisah Annette. Namun, cibiran masyarakat tak membuatnya gen- tar. Kalau ada sampah keesokan harinya, ia tak ragu untuk membersihkannya lagi. Danau Toba, kata An- nette, bukanlah tempat sampah yang bisa diperlakukan seenaknya. Sampah eceng gondok yang dikumpulkan Annette dan rekan-rekan pun tak dibuang begitu saja. Ia mengajak masyarakat lokal membuat pupuk kompos dan kerajinan tangan dari eceng gondok. Masyarakat setempat bisa menghasilkan 2 ton pupuk kompos yang diperuntukkan petani-petani lokal. Selain itu, Annette aktif berbisnis wisata dengan mendi- rikan Tabo Cottages di Tuktuk, sebuah resor yang terke- nal sampai Eropa. Annette yang fasih berbahasa Batak ini juga menikah dengan pria Batak, Anthony Silalahi. Mereka dikaruniai tiga anak. Ia kemudian diberi nama baru, yaitu Annette Boru Siallagan. (Cef/M-3) KISAH hidup Andre Graf, 54, terbilang penuh inspirasi. Pria berkebangsaan Prancis ini meninggalkan pekerjaan- nya sebagai pilot dan guru, juga bisnis pesawat balon gas miliknya, untuk hidup dan membuat sumur di pelosok Nusa Tenggara Timur (NTT). Petualangannya bermula saat ia terkena penyakit berat bernama Lyme disease yang berpotensi merusak sistem saraf dan kerja otak. Setelah kesehatannya membaik, Graf memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Indonesia, khususnya ke Bali dan NTT. “Dulu saya pernah ke Bali dan merasa ingin kembali ke sana. Setelah itu, saya berkesempatan berkeliling NTT dan memotret di sana,” ujarnya. Begitu kembali ke Prancis, Andre melihat hamparan foto NTT yang ia cetak. Saat itu pula ia tergerak kembali dan membantu kehidupan masyarakat yang kesulitan air di NTT. “Selama ini saya belum pernah melakukan apa- apa untuk orang lain, sementara itu, kapan pun dengan penyakit ini, saya pasti akan meninggal,” akunya. Dengan tekad kuat, Andre kembali ke NTT dan me- netap di Desa Waru Wora. Di sana, ia membuat sumur untuk membantu masyarakat yang kesulitan air. Meski sempat disepelekan beberapa pihak, sumur pertama Andre akhirnya menghasilkan air bersih. Ia pun membuat dua sumur lagi yang biayanya ditanggung tabungan pribadi. Berlanjut dari proyek pertamanya tersebut, ia membentuk kelompok penggali sumur bi- naan yang diberi nama Gorong-Gorong Waru Wora. Pada 2006, Andre Graf kemudian mendirikan lem- baga Pilot Project Waru Wora (PPWW) yang bertujuan membuat sumur lebih banyak. PPWW banyak mendapat bantuan dari turis hingga pemerintah. Saat ini PPWW telah membuat enam sumur yang terse- bar di desa-desa di Sumba Barat. Setiap sumur dinikmati rata-rata 180 kepala keluarga. “Bagi saya sumur itu se- perti anak. Tiap sumur punya sejarah, karakter, dan masa depannya sendiri,” kata Andre. (Cef/M-3) CHRISTINE FRANCISKA G OOD morning, Ka- limantan,” kata pria kebangsaan Prancis, Aurelien Brule, 32, dengan lantang. Di Indo- nesia, dia biasa dipanggil Chanee-- bahasa Thailand, berarti ‘owa’ atau dikenal juga ‘wau-wau’, primata suku Hylobatidae tanpa ekor. Dalam Kick Andy episode Ku- tambatkan Hati di Indonesia, Chanee menirukan kebiasaannya saat siaran di Radio Kalaweit yang ber- pusat di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. “Ingat bahwa owa merupakan peliharaan ilegal dan sebaiknya dilepaskan di hutan. Jika ada kera- bat atau kenalan yang memiliki owa, jangan ragu untuk meng- hubungi kami,” lanjutnya. Sejak kecil, Chanee punya ke- tertarikan khusus terhadap jenis primata tersebut. Di usia 18 ta- hun, ia terbang ke Thailand untuk mengamati primata di kebun bina- tang. Pada 1998, atas saran orang di sekitarnya, ia nekat ke Indonesia untuk menemukan habitat asli owa. Berbekal bahasa Indonesia pas-pasan, Chanee singgah lalu menetap di Palangkaraya. Dengan misi menyelamatkan primata dan hewan-hewan yang terancam punah akibat kebakaran hutan, perburuan, dan perdagang- an hewan langka, Chanee mendi- rikan Yayasan Kalaweit Gibbon dan Program Konservasi Siamang Primata Langka pada 2003. Kini, pusat rehabilitasi Yayasan Kalaweit Gibbon yang berbasis di Pararawan, Palangkaraya, itu dihuni 130 owa, 6 beruang, dan 2 buaya. Chanee juga melakukan kampa- nye lewat radio untuk menyadar- kan masyarakat agar tak lagi me- melihara hewan yang dilindungi. “Menurut saya ini adalah cara yang cukup seksi untuk menyampaikan pesan kepada anak muda. Rasanya menyenangkan untuk berkampa- nye sambil mendengarkan musik,” kata dia. Radio Kalaweit terbilang sukses dengan jumlah pendengar lebih dari 1.500 dan menjadi radio terbe- sar kedua di Palangkaraya. “Kami ingin memberikan kesempatan kedua bagi hewan-hewan yang di- tangkap untuk hidup bebas di alam liar. Saat ini ada 6.000 primata jenis owa yang dipelihara orang. Kami berusaha untuk membujuk mereka untuk melepasnya, tapi tentu tidak gampang.” Sayangnya, hutan Kalimantan kini dalam kondisi mencemaskan. Banyak hutan dibabat habis untuk membuka lahan kelapa sawit. Tak hanya berdampak buruk bagi lingkungan, hilangnya hutan juga mengancam habitat hewan-hewan langka. “Hutan punya suara dan kehidup an. Mengerikan sekali ketika saya melihat tempat itu berubah jadi perkebunan yang sunyi,” lanjut Chanee. Selama hidup lebih dari 10 tahun di sana, Chanee tak melulu meng- urus primata. Ia menikah dengan Nur Kadawatih, perempuan asli Dayak dan dikaruniai dua anak. “Sejak punya keluarga, saya P EO PLE 9 MINGGU, 11 DESEMBER 2011 Gali Sumur untuk Waru Wora Dianggap Gila Bersihkan Toba Tanpa memandang batas negara, perbedaan warna kulit, dan kelas ekonomi, mereka mengabdi di tanah Indonesia. Dedikasi tanpa Batas Negara FOTO-FOTO: MI/SUMARYANTO KUTAMBATKAN HATI DI INDONESIA Mereka bule yang memiliki cinta dan kepedulian pada masalah-masalah yang terjadi di negeri ini. SAKSIKAN DI METRO TV Minggu, 11 Desember 2011 pukul 15.30 WIB memiliki semangat yang kuat un- tuk berjuang, karena mereka selalu mendukung,” kata Chanee. Ia sa- ngat berharap bisa menjadi warga negara Indonesia, tapi tampaknya peraturan yang berbelit-belit dan kurang jelas menghambatnya memperoleh status tersebut. “Se- pertinya lebih mudah menda- patkan status WNI kalau saya jadi pemain bola,” candanya. Sahabat yang telantar Selain di hutan, banyak pula hewan yang perlu diselamatkan di kota. Karin Franken, 38, perem- puan asal Belanda yang telah menjadi warga negara Indonesia, khawatir dengan banyaknya kasus penelantaran hewan peliharaan di kota besar seperti Jakarta. Bersama Famke dan Natalie Stewart asal Kanada, Karin beri- nisiatif mendirikan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) pada 2008. Melalui lembaga tersebut, ratusan anjing dan kucing liar diselamatkan dari jalan, dan kemudian ditempat- kan di rumah yang nyaman. “Saya suka sekali dengan bina- tang. Satu saat saya melihat ada an- jing yang telantar dalam keadaan kurus seperti tinggal tulang saja. Saya ambil, beri makan, dan cari- kan pengadopsi. Dari situ mulailah kita bergerak,” jelas Karin. Walau melakukan penyelamatan hewan, JAAN memprioritaskan kampanye edukasi bagi pemilik binatang. JAAN, lanjut Karin, bukanlah tempat penampungan yang bisa dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab untuk mem- buang anjing mereka. “Beberapa kasus yang sangat memprihatinkan pasti kita bantu. Tapi utamanya, ingin menyadar- kan orang bahwa hewan bukanlah furnitur. Mereka punya kebutuhan dan perasaan. Banyak orang me- melihara anjing karena alasan yang salah,” ucap Karin. Bagi yang ingin membantu, JAAN memiliki program adopsi agar anjing yang diselamatkan memiliki rumah. Rata-rata ada 20- 30 anjing yang bisa diadopsi per bulan. Namun, aturan untuk men- jadi pengadopsi terbilang ketat. Selain mengisi formulir dan administrasi, petugas JAAN akan meninjau pemeliharaan untuk mencegah kasus yang sama teru- lang. Untuk mengontrol populasi anjing dan kucing liar, JAAN juga mengadakan program sterilisa- si agar hewan liar tak beranak pinak. Karin yang tinggal di Indonesia sejak usia 16 tahun mengaku sudah mencintai Kota Jakarta seperti rumahnya sendiri. Di Jakartalah ia menemukan panggilan hidup untuk berjuang demi kesejahteraan hewan. Kini, ia telah menikah de- ngan pria Indonesia, Elmo Hillya- wan, dan memperoleh hak sebagai warga negara Indonesia. Karin berharap semua orang sadar bahwa memelihara hewan merupakan sebuah komitmen yang panjang. “Makanya, jangan ikuti tren, cari tahu dulu segala sesuatu tentang memelihara binatang dan sesuaikan kebutuhan,” tutupnya. (M-3) [email protected] Andre Graf Annette Horschmann Aurelien Brule Karin Franken

Upload: buikiet

Post on 19-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PEREMPUAN berkebangsaan Jerman, Annette Horschmann, 44, telah berkelana ke penjuru dunia sejak kuliah. Dalam perjalanannya di Thailand, Bali (Indone-sia), dan Selandia Baru, Annette selalu dibayang-bayangi keindahan Danau Toba di Sumatra Utara.

Semua orang membicarakannya seolah tempat itu me-rupakan sebuah keajaiban alam yang tiada dua. Karena penasaran, ia pun tak ragu untuk langsung berkunjung ke sana. “Pertama kali melihatnya, saya seperti jatuh cinta,” kenangnya.

Sayangnya, rasa takjub Annette terganggu oleh ba-nyaknya sampah di sekitaran danau. Ia kemudian memu-tuskan untuk melakukan aksi bersih danau. Ia mengajak tetangganya, seorang turis Belanda, untuk bekerja sama membersihkan danau dari sampah dan eceng gondok. Annette juga mengerahkan penduduk lokal membantu misi yang diberi nama Save Lake Toba itu.

“Saya menyisir sampah setiap hari. Banyak yang melihat saya seperti orang gila. Buat apa kau bersihkan, besok pasti kotor lagi,” kisah Annette.

Namun, cibiran masyarakat tak membuatnya gen-tar. Kalau ada sampah keesokan harinya, ia tak ragu untuk membersihkannya lagi. Danau Toba, kata An-nette, bukanlah tempat sampah yang bisa diperlakukan seenaknya.

Sampah eceng gondok yang dikumpulkan Annette dan rekan-rekan pun tak dibuang begitu saja. Ia mengajak masyarakat lokal membuat pupuk kompos dan kerajinan tangan dari eceng gondok. Masyarakat setempat bisa menghasilkan 2 ton pupuk kompos yang diperuntukkan petani-petani lokal.

Selain itu, Annette aktif berbisnis wisata dengan mendi-rikan Tabo Cottages di Tuktuk, sebuah resor yang terke-nal sampai Eropa. Annette yang fasih berbahasa Batak ini juga menikah dengan pria Batak, Anthony Silalahi. Mereka dikaruniai tiga anak. Ia kemudian diberi nama baru, yaitu Annette Boru Siallagan. (Cef/M-3)

KISAH hidup Andre Graf, 54, terbilang penuh inspirasi. Pria berkebangsaan Prancis ini meninggalkan pekerjaan-nya sebagai pilot dan guru, juga bisnis pesawat balon gas miliknya, untuk hidup dan membuat sumur di pelosok Nusa Tenggara Timur (NTT).

Petualangannya bermula saat ia terkena penyakit berat bernama Lyme disease yang berpotensi merusak sistem saraf dan kerja otak. Setelah kesehatannya membaik, Graf memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Indonesia, khususnya ke Bali dan NTT.

“Dulu saya pernah ke Bali dan merasa ingin kembali ke sana. Setelah itu, saya berkesempatan berkeliling NTT dan memotret di sana,” ujarnya.

Begitu kembali ke Prancis, Andre melihat hamparan foto NTT yang ia cetak. Saat itu pula ia tergerak kembali dan membantu kehidupan masyarakat yang kesulitan air di NTT. “Selama ini saya belum pernah melakukan apa-apa untuk orang lain, sementara itu, kapan pun dengan penyakit ini, saya pasti akan meninggal,” akunya.

Dengan tekad kuat, Andre kembali ke NTT dan me-netap di Desa Waru Wora. Di sana, ia membuat sumur untuk membantu masyarakat yang kesulitan air.

Meski sempat disepelekan beberapa pihak, sumur pertama Andre akhirnya menghasilkan air bersih. Ia pun membuat dua sumur lagi yang biayanya ditanggung tabungan pribadi. Berlanjut dari proyek pertamanya tersebut, ia membentuk kelompok penggali sumur bi-naan yang diberi nama Gorong-Gorong Waru Wora.

Pada 2006, Andre Graf kemudian mendirikan lem-baga Pilot Project Waru Wora (PPWW) yang bertujuan membuat sumur lebih banyak. PPWW banyak mendapat bantuan dari turis hingga pemerintah.

Saat ini PPWW telah membuat enam sumur yang terse-bar di desa-desa di Sumba Barat. Setiap sumur dinikmati rata-rata 180 kepala keluarga. “Bagi saya sumur itu se-perti anak. Tiap sumur punya sejarah, karakter, dan masa depannya sendiri,” kata Andre. (Cef/M-3)

CHRISTINE FRANCISKA

“GOOD morning, Ka-limantan,” kata pria kebangsaan Prancis, Aurelien

Brule, 32, dengan lantang. Di Indo-nesia, dia biasa dipanggil Chanee--bahasa Thailand, berarti ‘owa’ atau dikenal juga ‘wau-wau’, primata suku Hylobatidae tanpa ekor.

Dalam Kick Andy episode Ku-tambatkan Hati di Indonesia, Chanee menirukan kebiasaannya saat siaran di Radio Kalaweit yang ber-pusat di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

“Ingat bahwa owa merupakan peliharaan ilegal dan sebaiknya dilepaskan di hutan. Jika ada kera-bat atau kenalan yang memiliki owa, jangan ragu untuk meng-hubungi kami,” lanjutnya.

Sejak kecil, Chanee punya ke-tertarikan khusus terhadap jenis primata tersebut. Di usia 18 ta-hun, ia terbang ke Thailand untuk mengamati primata di kebun bina-tang. Pada 1998, atas saran orang di sekitarnya, ia nekat ke Indonesia untuk menemukan habitat asli owa. Berbekal bahasa Indonesia pas-pasan, Chanee singgah lalu menetap di Palangkaraya.

Dengan misi menyelamatkan primata dan hewan-hewan yang terancam punah akibat kebakaran hutan, perburuan, dan perdagang-an hewan langka, Chanee mendi-rikan Yayasan Kalaweit Gibbon dan Program Konservasi Siamang Primata Langka pada 2003.

Kini, pusat rehabilitasi Yayasan Kalaweit Gibbon yang berbasis

di Pararawan, Palangkaraya, itu dihuni 130 owa, 6 beruang, dan 2 buaya.

Chanee juga melakukan kampa-nye lewat radio untuk menyadar-kan masyarakat agar tak lagi me-melihara hewan yang dilindungi. “Menurut saya ini adalah cara yang cukup seksi untuk menyampaikan pesan kepada anak muda. Rasanya menyenangkan untuk berkampa-nye sambil mendengarkan musik,” kata dia.

Radio Kalaweit terbilang sukses dengan jumlah pendengar lebih dari 1.500 dan menjadi radio terbe-sar kedua di Palangkaraya. “Kami ingin memberikan kesempatan kedua bagi hewan-hewan yang di-tangkap untuk hidup bebas di alam liar. Saat ini ada 6.000 primata jenis owa yang dipelihara orang. Kami berusaha untuk membujuk mereka untuk melepasnya, tapi tentu tidak gampang.”

Sayangnya, hutan Kalimantan kini dalam kondisi mencemaskan. Banyak hutan dibabat habis untuk membuka lahan kelapa sawit. Tak hanya berdampak buruk bagi lingkungan, hilangnya hutan juga mengancam habitat hewan-hewan langka.

“Hutan punya suara dan kehidup an. Mengerikan sekali ketika saya melihat tempat itu berubah jadi perkebunan yang sunyi,” lanjut Chanee.

Selama hidup lebih dari 10 tahun di sana, Chanee tak melulu me ng-urus primata. Ia menikah dengan Nur Kadawatih, perempuan asli Dayak dan dikaruniai dua anak.

“Sejak punya keluarga, saya

PEOPLE 9MINGGU, 11 DESEMBER 2011

Gali Sumur untuk Waru Wora

Dianggap Gila Bersihkan Toba

Tanpa memandang batas negara, perbedaan warna kulit, dan kelas ekonomi, mereka mengabdi di tanah Indonesia.

Dedikasi tanpa Batas Negara

FOTO-FOTO: MI/SUMARYANTO

KUTAMBATKAN HATI DI INDONESIA

Mereka bule yang memiliki cinta dan kepedulian pada masalah-masalah yang terjadi di negeri ini.

SAKSIKAN DI METRO TV Minggu, 11 Desember 2011 pukul 15.30 WIB

memiliki semangat yang kuat un-tuk berjuang, karena mereka selalu mendukung,” kata Chanee. Ia sa-ngat berharap bisa menjadi warga negara Indonesia, tapi tampaknya peraturan yang berbelit-belit dan kurang jelas menghambatnya memperoleh status tersebut. “Se-pertinya lebih mudah menda-patkan status WNI kalau saya jadi pemain bola,” candanya.

Sahabat yang telantarSelain di hutan, banyak pula

hewan yang perlu diselamatkan di kota. Karin Franken, 38, perem-puan asal Belanda yang telah menjadi warga negara Indonesia, khawatir dengan banyaknya kasus penelantaran hewan peliharaan di kota besar seperti Jakarta.

Bersama Famke dan Natalie Stewart asal Kanada, Karin beri-nisiatif mendirikan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) pada 2008. Melalui lembaga tersebut, ratusan anjing dan kucing liar diselamatkan dari jalan, dan kemudian ditempat-kan di rumah yang nyaman.

“Saya suka sekali dengan bina-tang. Satu saat saya melihat ada an-jing yang telantar dalam keadaan kurus seperti tinggal tulang saja. Saya ambil, beri makan, dan cari-kan pengadopsi. Dari situ mulailah kita bergerak,” jelas Karin.

Walau melakukan penyelamatan hewan, JAAN memprioritaskan kampanye edukasi bagi pemilik binatang. JAAN, lanjut Karin, bukanlah tempat penampungan yang bisa dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab untuk mem-buang anjing mereka.

“Beberapa kasus yang sangat memprihatinkan pasti kita bantu. Tapi utamanya, ingin menyadar-kan orang bahwa hewan bukanlah furnitur. Mereka punya kebutuhan dan perasaan. Banyak orang me-melihara anjing karena alasan yang salah,” ucap Karin.

Bagi yang ingin membantu, JAAN memiliki program adopsi agar anjing yang diselamatkan memiliki rumah. Rata-rata ada 20-30 anjing yang bisa diadopsi per bulan. Namun, aturan untuk men-jadi pengadopsi terbilang ketat.

Selain mengisi formulir dan administrasi, petugas JAAN akan meninjau pemeliharaan untuk mencegah kasus yang sama teru-lang. Untuk mengontrol populasi anjing dan kucing liar, JAAN juga mengadakan program sterilisa-si agar hewan liar tak beranak pinak.

Karin yang tinggal di Indonesia sejak usia 16 tahun mengaku sudah mencintai Kota Jakarta seperti rumahnya sendiri. Di Jakartalah ia menemukan panggilan hidup untuk berjuang demi kesejahteraan hewan. Kini, ia telah menikah de-ngan pria Indonesia, Elmo Hillya-wan, dan memperoleh hak sebagai warga negara Indonesia.

Karin berharap semua orang sadar bahwa memelihara hewan merupakan sebuah komitmen yang panjang. “Makanya, jangan ikuti tren, cari tahu dulu segala sesuatu tentang memelihara binatang dan sesuaikan kebutuhan,” tutupnya. (M-3)

[email protected]

Andre Graf Annette Horschmann

Aurelien Brule

Karin Franken