formulasi tablet teoflin dengan eksipin nanopartikel kitosan(1)
DESCRIPTION
farmasetTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Banyak senyawa aktif yang dikembangkan untuk obat merupakan senyawa
yang sukar larut dalam air, hal ini dapat menyebabkan masalah dalam absorpsinya
setelah pemberian secara oral sehingga dapat menghasilkan ketersediaan hayati
yang rendah dan atau bervariasi. Disamping itu, beberapa senyawa aktif bersifat
iritan pada saluran cerna atau sangat sensitif terhadap kondisi saluran cerna
sehingga menyulitkan dalam pengembangan formulasinya terutama untuk sediaan
oral. Salah satu pendekatan inovatif yang sekarang banyak diteliti adalah
penerapan nanoteknologi untuk menghasilkan partikel atau sistem pembawa
berukuran nanometer (1-1000 nm). Nanopartikel dalam bidang farmasi
mempunyai dua pengertian yaitu senyawa obat melalui suatu cara tertentu
berukuran nanometer dan senyawa obat dienkapsulasi dalam suatu sistem
pembawa tertentu berukuran nanometer (Darmawan, 2007).
Nanopartikel dari bahan polimer alam kitosan yang bersifat ionik, telah
banyak diaplikasikan pada sistem penghantaran obat karena sifat-sifatnya yang
istimewa seperti biokompatibel, biodegradabel, mukoadhesif dan meningkatkan
permeasi. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis nanopartikel Salbutamol
Sulfat dengan metode gelasi ionik (Agnihotri, Mallikarjuna dan Aminabhavi,
2004).
Salbutamol sulfat (SS) merupakan obat yang sering digunakan dalam
terapi asma dan penyakit paru obstruktif kronis. Obat ini memiliki tempat
absorpsi khusus di lambung dan usus halus bagian atas. Salbutamol sulfat akan
mengalami sulfonasi di usus halus bagian bawah dan degradasi di kolon
sehingga akan menghasilkan bioavailabilitas 40% jika diberikan secara oral.
Untuk mengatasi masalah ini, strategi yang dapat dilakukan adalah dengan
meningkatkan absorpsi salbutamol sulfat di lambung. Peningkatan absorpsi dapat
dicapai dengan memformulasikan salbutamol sulfat dalam bentuk sediaan
nanopartikel. Bentuk sediaan nanopartikel dipilih karena dapat meningkatkan
luas permukaan kontak sediaan dengan lambung, dan juga karena ukurannya
yang kecil, maka sediaan akan dapat melewati halangan sterik dari lapisan mukus
pada dinding lambung untuk dapat menuju ke tempat absorpsi. Untuk dapat
melewati halangan sterik yang berasal dari lapisan mukus, ukuran nanopartikel
yang dibuat maksimal berukuran 500 nm (Lai, 2009).
Pada penelitian sebelumnya, salbutamol sulfat dikembangkan dalam
bentuk tablet mukoadhesif. Namun, tablet yang dihasilkan hanya mampu
bertahan di lambung selama 6 jam akibat ukuran sediaan yang besar sehingga
luas permukaan kontak dengan lambung menjadi kecil. Untuk mengatasi
masalah ini, pada penelitian selanjutnya, salbutamol sulfat dikembangkan dalam
bentuk sediaan nanopartikel yang memiliki ukuran 296.3 nm, tapi efisiensi
penjeratannya masih 49.62 % sehingga pada penelitian ini, dilakukan optimasi
formulasi untuk menurunkan ukuran partikel dan meningkatkan efisiensi
penjeratan dari sediaan nanopartikel salbutamol sulfat. Penelitian ini bertujuan
untuk membuat sediaan salbutamol sulfat nanopartikel yang lebih baik dari
segi ukuran partikel, indeks polidispersitas, potensial zeta, dan efisiensi
penjeratan zat aktif.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dibuat rumusan masalah yaitu:
1. Apakah formulasi nanopartikel Salbutamol Sulfat dapat mencapai kondisi
optimal dengan tingkat keseragaman ukuran yang baik?
2. Apakah formulasi nanopartikel Salbutamol Sulfat dapat mencapai efisiensi
enkapsulasi yang baik?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimal preparasi
nanopartikel Salbutamol Sulfat pada ukuran kurang dari 200 nm dengan tingkat
keseragaman ukuran dan stabilitas yang baik.
D. Manfaat Penelitian
1. Menambah pengetahuan penulis tentang formulasi nanopartikel
Salbutamol Sulfat.
2. Bagi D3 Farmasi Poltekkes diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai teknologi farmasi nanopartikel Salbutamol Sulfat.
3. Bagi RS. Bhayangkara diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber
informasi mengenai teknologi farmasi nanopartikel Salbutamol Sulfat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Preformulasi
Bahan-bahan yang digunakan dalam membuat nanopartikel antara lain adalah
salbutamol sulfat, kitosan, polietilen oksida, polivinil alkohol, karbopol, dan
poloxamer.
1. Salbutamol Sulfat
Gambar 1
Salbutamol sulfat memiliki rumus molekul (C13 H21 NO3 )2 .H2SO4
dengan berat molekul 576.7. Salbutamol sulfat berupa serbuk kristalin putih, larut
dalam air (1 bagian dalam 4 bagian air), dan praktis tidak larut dalam etanol.
Senyawa ini memiliki titik lebur pada 151o C, dan memiliki pKa 9.3 (gugus amin)
dan 10.3 (gugus fenol). Dengan menggunakan spektrofotometri ultraviolet,
salbutamol sulfat memberikan panjang gelombang serapan maksimum pada 276
nm dalam medium asam, dan serapan maksimum pada 245 nm dan 295 nm dalam
medium basa.
Salbutamol sulfat merupakan obat yang diabsorpsi secara cepat melalui
rute oral dan memiliki tempat absorpsi khusus di lambung dan usus halus
bagian atas. Namun, bioavailabilitas salbutamol sulfat hanya dapat mencapai
40% jika diberikan secara oral akibat terjadinya sulfonasi di usus halus, hati,
dan terdegradasi di kolon. Obat ini tereliminasi 60-90% lewat urin dalam 24
jam dalam bentuk salbutamol sulfat dan 4’-O-sulfat salbutamol, dan tereliminasi
12% lewat feses (Rao, 2009 ; Moffat, 2003, Özyazici, 2003).
Konsentrasi maksimum plasma dari salbutamol sulfat dicapai dalam waktu
kira-kira 2.5 jam dan waktu paruh obat ini antara 2.5-7 jam. Studi lain
mengindikasikan bahwa waktu paruh salbutamol sulfat adalah 4 jam (Sonar,
2009 ; AHFS Drug Information, 2008).
2. Kitosan
Gambar 2 Struktur molekul kitosan
Kitosan memiliki sinonim 2-amino-2-deoksi-(1,4)-b-D-glukopyranan,
kitin terdeasetilasi, deasetilkitin. Nama kimianya adalah poli-b-(1,4)-2-amino-2-
deoksi-D-glukosa (Rowe, 2009).
Nilai pH dari larutan kitosan dalam air adalah 4-6 (1% dalam larutan air).
Kitosan memiliki massa jenis 1.35-1.40 g/cm3 dan temperatur transisi gelas pada
203oC. Kitosan sedikit larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol (95%),
pelarut organik, dan larutan netral atau basa dengan pH di atas kira-kira 6.5.
Kitosan larut dalam larutan encer ataupun pekat dari banyak larutan asam organik
dan beberapa larutan asam anorganik, kecuali asam fosfat dan asam sulfat (Rowe,
2009).
Kitosan telah digunakan sebagai penyalut, penghancur (disintegran),
pembentuk lapisan film, agen mukoadhesif, pengikat tablet, dan peningkat
viskositas sediaan. Dalam formulasi farmasetika, kitosan berguna dalam
mengendalikan pemberian obat sebagai penyusun sediaan mukoadhesif, sediaan
lepas cepat, penghantaran peptida, penghantaran obat di kolon, dan penghantaran
gen (Rowe, 2009).
Kitosan merupakan polimer kationik dengan muatan listrik yang tinggi
pada pH <6.5, sehingga adhesif dengan permukaan bermuatan negatif dan
mengkhelat ion logam. Gugus hidroksil dan amino yang reaktif pada kitosan
berperan dalam reaksi kimia dan pembentuka garam. Gugus amino
memungkinkan interaksi kitosan dengan sistem anionik, yang menghasilkan
perubahan karakteristik fisikokimia dari kombinasi-kombinasi tersebut (Rowe,
2009).
Hampir semua sifat-sifat fungsional kitosan bergantung kepada panjang
rantai molekul, kepadatan muatan, dan distribusi muatan. Bentuk garam, berat
molekul, derajat deasetilasi, dan pH penggunaan kitosan, akan berpengaruh
terhadap kinerja kitosan (Rowe, 2009).
Selama disolusi, gugus amin pada kitosan akan terprotonasi, menghasilkan
kitosan bermuatan positif dan garam kitosan (klorida, glutamat, dan lain-lain)
yang larut dalam air. Kelarutan kitosan dipengaruhi oleh derajat deasetilasi, dan
ada tidaknya garam lain dalam larutan. Jika konsentrasi garam dalam larutan
semakin tinggi, maka kelarutan kitosan akan menurun sehingga akan terjadi
salting out yang akan mengakibatkan presipitasi dari kitosan dalam larutan.
Ketika kitosan berada dalam larutan, peristiwa tolak-menolak antara unit
terdeasetilasi dengan unit glukosamin yang berdekatan mengakibatkan kitosan
berada dalam konformasi yang diperluas. Penambahan elektrolit akan mengurangi
gaya tolak-menolak ini sehingga mengakibatkan molekul kitosan berada dalam
konformasi yang lebih acak dan bergulung (Rowe, 2009).
3. Polietilen Oksida (PEO)
Gambar 3 Struktur molekul PEO
Polietilen oksida merupakan homopolimer nonionik dari etilen oksida
dengan formula (CH2CH2O)n. Lambang “n” merepresentasikan jumlah rata-rata
dari gugus oksietilen (Lieberman, 1998). Polietilen oksida berupa serbuk putih
atau putih pudar yang memiliki sedikit bau amonia (Rowe, 2009).
4. Polivinil Alkohol (PVA)
Gambar 4 Struktur molekul PVA
Polivinil alkohol memiliki sinonim Celvol, Airvol, Elvanol. Polivinil
alkohol merupakan polimer sintetik larut air yang memiliki formula (C2H4O)n.
Polivinil alkohol sering digunakan sebagai penyalut, lubrikan, penstabil, dan
peningkat viskositas. Dalam melarutkan polivinil alkohol, diperlukan pemanasan
dalam air sampai suhu 90oC selama 5 menit (Rowe, 2009).
Polivinil alkohol sering digunakan sebagai penstabil nanopartikel.
Penstabil bekerja dengan menempel pada nanopartikel untuk mencegah terjadinya
aglomerasi dari nanopartikel (Pimpang, 2008).
5. Poliasam akrilat (PAA)
Gambar 5 Struktur molekul PAA
Poliasam akrilat memiliki sinonim karbomer, karboksipolimetilen,
karbopol. Poliasam akrilat mengandung antara 52-68% gugus karboksilat pada
basis kering. Poliasam akrilat berupa serbuk higroskopik, bersifat asam, putih
dengan bau khas lemah. Poliasam akrilat mengembang dalam air dan gliserin, dan
etanol (di etanol setelah netralisasi). Dalam bidang farmasi, digunakan sebagai
agen bioadhesif, pengendali pelepasan obat, pengemulsi, pemodifikasi rheologi,
suspending agent, dan pengikat tablet (Rowe, 2009).
Interaksi PAA dengan kitosan akan menghasilkan kompleks polielektrolit.
Kompleks ini terbentuk dari interaksi elektrostatik antara gugus amin terprotonasi
pada kitosan (muatan positif) dan gugus karboksilat terionisasi pada karbopol
(muatan negatif) (Hu, 2002).
6. Poloxamer
Gambar 6 Struktur molekul poloxamer
Poloxamer memiliki sinonim poloxalkol, poloxamera, kopolimer
polietilen-polipropilen glikol. Poloxamer merupakan blok kopolimer dari
polietilen oksida dan polipropilen oksida dengan formula umum
HO(C2H4O)a(C3H6O)b(C2H4O)aH. Poloxamer digunakan sebagai pendispersi,
pengemulsi, pensolubilisasi, lubrikan tablet, dan pembasah.
Poloxamer merupakan polimer nonionik yang sering digunakan sebagai
penstabil sediaan nanopartikel karena sifatnya yang dapat menghalangi interaksi
elektrostatik (Owens, 2005).
B. Lambung
Gambar 7 Skema dinding lambung (Lai, 2009)
Lambung merupakan salah satu organ pencernaan yang berguna untuk
mencerna makanan secara fisik (gerakan peristaltik) dan kimia (enzim, asam
klorida). Salbutamol sulfat memiliki tempat absorpsi khusus di lambung dan usus
halus bagian atas. Pada lambung terdapat lapisan mukosa yang dapat menghalangi
sediaan untuk berkontak dengan tempat absorpsi. Lapisan mukus terdiri dari
benang-benang musin yang memiliki ukuran antara 100-500 nm. Oleh karena itu,
untuk dapat menembus lapisan mukus ini, sediaan harus memiliki ukuran partikel
pada rentang 100-500 nm (Lai, 2009).
Pada lapisan mukosa lambung, terdapat dua lapisan, yaitu lapisan mukus
luminal (luminal mucus layer) dan lapisan mukus adheren (adherent mucus
layer). Lapisan mukus luminal memiliki sifat mudah mengalami pembersihan
mukosa (clearance), sedangkan lapisan mukus adheren tidak mudah mengalami
pembersihan mukosa (Lai, 2009).
C. Nanopartikel
Nanopartikel adalah partikel koloidal dengan ukuran kurang dari 1
mikrometer. Zat aktif dalam nanopartikel dapat dilarutkan, dijerat/dienkapsulasi,
atau diadsorpsi pada permukaan pembawa koloidal (Bodmeier, Maincent, 1998).
1. Pembuatan nanopartikel
Metode untuk membuat nanopartikel meliputi penggunaan polimer larut
air dan polimer tidak larut air yang berasal dari sintesis, semisintesis, ataupun
alami. Dispersi koloidal polimer dalam air lebih sering dipakai karena dapat
menghindari penggunaan pelarut organik selama proses pembuatan nanopartikel
(Liebermann et al 1998).
Nanopartikel dapat diperoleh melalui penyatuan zat aktif selama atau
setelah proses pembuatan dispersi polimer. Pemilihan metode pembuatan dan
polimer yang dipakai bergantung kepada karakteristik fisikokimia obat, pelepasan
yang diinginkan, rute pemberian, dan tingkat biodegradabilitas dan
biokompabilitas dari pembawa yang dipakai (Bodmeier, Maincent, 1998).
a. Gelasi ionotropik
Metode ini dapat digunakan untuk membuat nanopartikel. Metode ini
berdasarkan kemampuan suatu polielektrolit untuk membentuk ikatan silang
dengan kehadiran suatu ion yang muatannya berlawanan membentuk hidrogel.
Anion-anion tersebut membentuk jaringan dengan bergabung dengan kation dari
polielektrolit dan menginduksi gelasi. Penggunaan kitosan dan bahkan sel dengan
metode gelasi ionotropik telah digunakan secara luas untuk tujuan penjeratan obat.
Hidrogel terbentuk dengan meneteskan larutan anion ke dalam larutan
polielektrolit dan obat membentuk jaringan tiga dimensi (Patil, 2010).
b. Kompleks polielektrolit
Metode ini dapat digunakan untuk membuat nanopartikel. Metode ini
berdasarkan kemampuan polielektrolit-polielektrolit yang berbeda muatannya
(positif dan negatif) untuk berinteraksi secara elektrostatik untuk membentuk
kompleks (Hess, 2004).
c. Evaporasi pelarut menggunakan polimer tidak larut air dan pelarut yang tidak
bercampur dengan air
Dalam metode ini, obat dan polimer didispersikan atau dilarutkan dalam
pelarut organik yang mudah menguap dan tidak bercampur dengan air. Larutan
atau dispersi ini lalu diemulsifikasi dalam fase luar air yang mengandung
emulgator menggunakan homogenizer kecepatan tinggi untuk membentuk emulsi
minyak dalam air. Nanopartikel akan terbentuk setelah pelarut terdifusi ke dalam
fase air dan evaporasi pada antarmuka air/minyak akan mengakibatkan presipitasi
obat dan polimer. Proses penghilangan pelarut dapat dipercepat melalui
pemanasan dan penggunaan alat vakum (Bodmeier, Maincent, 1998).
Tanpa pengikat spesifik, obat yang larut air tidak dapat terjerat dalam
sistem nanopatikel karena semua zat terpartisi ke dalam fase luar (air) selama
proses emulsifikasi. Ini akan berujung pada kristalisasi obat dalam fase luar
setelah pelarut dihilangkan, terutama jika jumlah obat banyak (Bodmeier,
Maincent, 1998).
d. Evaporasi pelarut menggunakan polimer tidak larut air dan pelarut yang
bercampur dengan air
Metodenya mirip dengan evaporasi pelarut yang dijelaskan sebelumnya,
hanya saja pelarut yang tidak bercampur dengan air diganti dengan pelarut yang
bercampur dengan air. Larutan polimer-obat lalu dituangkan ke dalam fase luar
(air) mengandung emulgator untuk membentuk globul. Nanopartikel terbentuk
setelah penghilangan pelarut. Namun, hanya larutan sangat encer dari polimer
(khususnya polimer tanpa gugus penstabil) yang dapat digunakan karena
presipitasi polimer akan terjadi pada konsentrasi yang lebih tinggi (Bodmeier,
Maincent, 1998).
e. Emulsifikasi air/minyak menggunakan polimer larut air
Nanopartikel dari polimer hidrofilik dapat dibuat dengan emulsifikasi
air/minyak. Pada dasarnya, suatu larutan polimer dalam air diemulsifikasi ke
dalam fase luar yang tidak bercampur dengan air, seperti minyak atau pelarut
organik, lalu diikuti dengan homogenisasi. Setelah penghilangan air, droplet
polimer akan memadat (Bodmeier, Maincent, 1998).
Obat dapat ditambahkan sebelum emulsifikasi atau dapat diadsorpsi ke
nanopartikel setelah pemisahan dan pemurnian. Obat larut air dapat dijerat dan
diikat dalam polimer, contohnya dengan mekanisme pertukaran ion (Bodmeier,
Maincent, 1998).
Ikatan silang dengan menggunakan zat pembentuk ikatan silang atau
dengan denaturasi pada temperatur yang ditingkatkan dapat membantu dalam
pembuatan nanopartikel yang tidak larut dengan membuat polimer manjadi
keras/tidak larut (Bodmeier, Maincent, 1998).
Untuk memperoleh efisiensi enkapsulasi yang tinggi, obat harus tidak larut
dalam fase luar. Oleh karena itu, nanopartikel polimer hidrofilik yang dibuat
dengan emulsifikasi air/minyak hanya terbatas pada obat yang larut dalam air
(Bodmeier, Maincent, 1998).
Kekurangan dari metode ini adalah pemakain minyak dalam jumlah yang besar
sebagai fase luar yang nantinya harus dihilangkan dengan menggunakan pelarut
organik, stabilitas obat terhadap panas, kemungkinan interaksi antara obat dengan
zat pembentuk ikatan silang, dan distribusi ukuran partikel yang buruk (Bodmeier,
Maincent, 1998).
Gambar 8 Skema nanopartikel kitosan-sodium tripolifosfat (Keawchaoon,
Rangrong, 2011)
Gambar 9 Skema nanopartikel kitosan-poliasam akrilat (Hu et al, 2002)
f. Pemisahan fase air
Pemisahan fase dari makromolekul yang larut air seperti gelatin atau
albumin dapat diinduksi melalui perubahan pH atau penambahan zat pendesolvasi
seperti garam (contoh, sodium sulfat atau amonium sulfat) atau pelarut organik
yang bercampur dengan air. Penggunaan metode ini dapat menghindari
penggunaan minyak sebagai fase luar (Bodmeier, Maincent, 1998). Dalam metode
ini, obat dapat dilarutkan dalam fase air sebelum pembentukan nanopartikel atau
dapat ditambahkan ke nanopartikel kosong dengan menggunakan zat pembentuk
ikatan silang. Larutan obat dalam pelarut organik diemulsifikasi ke dalam larutan
gelatin atau albumin sambil disobikasi. Larutan dari zat pembuat dehidrasi
ditambahkan untuk menginduksi koaservasi di sekeliling globul (Bodmeier,
Maincent, 1998).
Nanopartikel salbutamol sulfat dalam penelitian ini dibuat dengan metode
gelasi ionotropik dan metode pembentukan kompleks polielektrolit. Proses
pembuatan nanopartikel menggunakan gelasi ionotropik akan dilakukan antara
kitosan (CS) dan sodium tripolifosfat (STPP), sedangkan untuk proses pembuatan
nanopartikel menggunakan pembentukan kompleks polieletrolit akan dilakukan
antara kitosan (CS) dan karbopol (PAA).
a) Karakterisasi nanopartikel
Parameter yang umum digunakan untuk mengkarakterisasi nanopartikel
meliputi ukuran partikel, morfologi, muatan listrik permukaan, efisiensi
penjeratan zat aktif, profil pelepasan zat aktif, kondisi fisikokimia polimer dan zat
aktif, berat molekul pembawa polimer, dan biodegradasi in vitro (Bodmeier,
Maincent, 1998).
a. Ukuran partikel, morfologi, dan muatan listrik permukaan
Nanopartikel secara umum dikarakterisasi dengan menggunakan diameter
partikel rata-rata, distribusi ukuran, dan muatannya. Parameter-parameter ini
memengaruhi stabilitas fisik dan distribusi in vitro dari nanopartikel. Muatan
listrik nanopartikel memengaruhi stabilitas fisik dan redispersibilitas dari dispersi
polimer dan daya guna in vivo-nya (Bodmeier, Maincent, 1998).
b. Efisiensi penjeratan zat aktif
Penjeratan obat dalam nanopartikel didefinisikan sebagai jumlah obat yang
terjerat dalam polimer (biasanya mol obat per mg polimer atau mg obat per mg
polimer), dapat juga dinyatakan dalam persentase berdasarkan polimernya
(Bodmeier, Maincent, 1998).
Efisiensi penjeratan zat aktif merujuk kepada perbandingan antara jumlah
obat yang terjerat terhadap jumlah obat teoritis yang digunakan. Efisiensi
penjeratan dapat dinyatakan oleh penjeratan obat (mg obat per ml dispersi polimer
(Bodmeier, Maincent, 1998).
D. Metodelogi Penelitian
Studi ini meliputi identifikasi bahan-bahan, pembuatan larutan stok bahan,
pembuatan dan karakterisasi nanopartikel. Identifikasi dilakukan untuk memeriksa
kecocokan antara karakteristik bahan dengan spesifikasi yang diberikan oleh
penyedia bahan. Identifikasi material dilakukan menurut monografi bahan aktif
dan juga eksipien. Nanopartikel salbutamol sulfat dibuat dengan menggunakan
metode gelasi ionotropik antara kitosan (CS) yang bermuatan positif dengan
sodium tripolifosfat (STPP) yang merupakan senyawa mengandung anion dan
metode pembentukan kompleks polielektrolit antara kitosan dengan poliasam
akrilat (PAA) yang merupakan polimer anionik.
Optimasi nanopartikel dilakukan dengan menggunakan dua tipe polimer
yaitu polimer nonionik (polivinil alkohol) dan polimer anionik (poliasam akrilat)
yang dikombinasikan dengan sistem nanopartikel kitosan. Polivinil alkohol
dikombinasikan dengan formula yang mengandung kitosan, polietilen oksida, dan
sodium tripolifosfat dengan menggunakan metode gelasi ionotropik. Sedangkan
poliasam akrilat dikombinasikan dengan kitosan menggunakan metode
pembentukan kompleks polielektrolit berdasarkan muatannya (kitosan bermuatan
positif, poliasam akrilat bermuatan negatif).
1. Alat dan Bahan
a. Alat
Alat timbang (Mettler Toledo), magnetic stirrer (79-1 with heater), vortex,
pH meter (Mettler Toledo), mikropipet (Socorex), DelsaTM Nano C particle
Analyzer (Beckman Coulter), pengocok orbital (Thermostated Shacker, GFL
1092), spektrofotomete UV (Beckman DU®650i), syringe 5 ml, alat sentrifuga
(Hettich Zentrifugen), sonikator (5510 BRANSON), dan alat-alat gelas yang
umum dipakai di laboratorium.
b. Bahan
Salbutamol sulfat BP2004 (PT Dankos Farma), kitosan (CS), PEO WSR
303 (PT Kalbe Farma), Polivinil alkohol (Sigma Aldrich), sodium tripolifosfat
(Sigma Aldrich), asam asetat,karbopol (Sigma Aldrich), poloxamer
(Synperonic®P84) aqua deion, aquades, pepsin, sodium taurokholat, lesitin,
sodium klorida, asam klorida (HCl).
2. Pembuatan Larutan Stok
Bahan-bahan disiapkan dalam bentuk larutan stok. Salbutamol sulfat (100
mg) dilarutkan dalam 100 ml asam asetat 1%, kitosan (100 mg) dilarutkan dalam
25 ml asam asetat 1%, polietilen oksida (100 mg) dilarutkan dalam 25 ml aqua
deionisasi, tripolifosfat (40 mg) dilarutkan dalam 20 ml aqua deionisasi.
3. Pembuatan Nanopartikel
Dalam pembuatannya, kitosan (CS) digunakan dengan kadar 1 mg/ml
(larutan akhir), polietilen oksida (PEO) 1 mg/ml (larutan akhir), sodium
tripolifosfat 0.4 mg/ml (larutan akhir), dan polivinil alkohol (PVA) digunakan
dengan kadar yang berbeda-beda (0.4, 0.8, 1.2, 1.6, dan 2.0 mg/ml dalam larutan
akhir). Cara pembuatannya adalah dengan melarutkan PVA dalam jumlah sesuai
kebutuhan dalam air bersuhu 90oC selama 5 menit sambil diaduk di magnetic
stirrer, biarkan larut dan mendingin. Setelah dingin, larutan salbutamol sulfat
dimasukkan ke dalam larutan PVA sambil terus diaduk.Kemudian tambahkan
larutan CS dan PEO, dan yang terakhir, tambahkan larutan TPP tetes per tetes
untuk membentuk nanopartikel, aduk larutan selama 10 menit. Nanopartikel
kemudian disonikasi selama 10 menit (Fauzi, 2011).
BAB III
Hasil dan Pembahasan
Nanopartikel salbutamol sulfat dibuat dalam 4 formula. Sebanyak 4
formula menggunakan metode gelasi ionotropik dengan perbedaan kadar polivinil
alkohol pada masing-masing formula.
Tabel 1. Hasil Karakterisasi Nanopartikel SS Metode Gelasi Ionotropik
Pada pembentukan nanopartikel dengan gelasi ionotropik, konsentrasi
PVA berpengaruh terhadap ukuran nanopartikel. Pada konsentrasi terendah yaitu
0.4 mg/ml, ukuran partikel berada pada 299 nm. Lalu pada konsentrasi PVA 0.8
mg/ml sampai 2.0 mg/ml, konsentrasi mengalami peningkatan dari 179 nm ke
283.1 nm. Ini terjadi kemungkinan karena PVA yang menempel di nanopartikel
menjadi semakin banyak sehingga ukuran partikel meningkat.
Gambar 10 Hubungan konsestrasi PVA dengan diameter partikel
Efisiensi penjeratan zat aktif merupakan parameter yang penting dalam
formulasi nanopartikel salbutamol sulfat terkait dengan jumlah zat aktif yang
dapat terjerat dalam formula dan jumlah sediaan nanopartikel yang diberikan.
Gambar 11 Kurva kalibrasi salbutamol sulfat di medium asam asetat 1%
Gambar 12 Hubungan konsentrasi PVA dengan efisiensi efisiensi penjeratan
Salbutamol sulfat yang bermuatan positif dan kitosan yang bermuatan
positif akan mengalami tolak-menolak dalam larutan sehingga akan menghasilkan
efisiensi penjeratan yang kecil. Dengan penambahan PVA yang bersifat nonionik,
PVA yang menempel di kitosan diharapkan dapat mengurangi gaya tolak menolak
antara salbutamol sulfat dengan kitosan sehingga efisiensi penjeratan yang lebih
tinggi dapat diperoleh (Pimpang et al, 2008).
Dari hasil yang didapatkan, teramati bahwa efisiensi penjeratan salbutamol
sulfat mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya konsentrasi PVA. Hal
ini mungkin terjadi karena peningkatan PVA pada saat gelasi pembentukan
nanopartikel membuat salbutamol sulfat terlarut agak sulit memasuki/terjerat
dalam nanopartikel dibandingkan pada saat jumlah PVA dalam larutan masih
sedikit. Kemungkinan ini terjadi akibat pada jumlah yang terlalu banyak, PVA
menempel pada nanopartikel dan mengisi tempat/ruang salbutamol untuk terjerat
dalam nanopartikel sehingga akan mengakibatkan jumlah salbutamol sulfat yang
terjerat menjadi lebih sedikit.
Dalam jumlah sedikit, PVA yang menempel pada nanopartikel akan
sedikit pula sehingga masih menyisakan ruang untuk penjeratan salbutamol sulfat.
Sedangkan pada jumlah yang terlalu banyak, ruang untuk penjeratan salbutamol
sulfat akan menjadi lebih sedikit sehingga kemungkinan akan mengakibatkan
menurunnya jumlah salbutamol sulfat yang dijerat dalam nanopartikel.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Formula sediaan nanopartikel salbutamol sulfat berhasil dioptimasi dan
memiliki ukuran nanopartikel berhasil diturunkan antara 178-300 nm.
Efisiensi enkapsulasi berhasil ditingkatkan hingga 85% dengan penggunaan
polimer nonionik.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan polimer lain, optimasi
produksi skala lebih besar, dan studi pelepasan salbutamol sulfat dari
nanopartikel.
Daftar Pustaka
Keawchaoon, L., R. Yoksan, 2011, Preparation Characterization and In Vitro
Release Study of Carvacrol-Loaded Chitosan Nanoparticles, Colloids and
Surface B: Biointerfaces 84(2011): 163-171.
Fauzi, M., 2011, Preparation and Characterization of Salbutamol Sulphate
Gastroretentive Mucoadhesive Nanoparticles, Skripsi, Sains dan Teknologi
Farmasi, Sekolah Farmasi, ITB.
Pimpang, P., W. Sutham, N. Mangkorntong, P. Mangkorntong, S. Choopun, 2008,
Effect of Stabilizer on Prepration of Silver and Gold Nanoparticle Using Grinding
Method, Chiang Mai J.Sci., 35(2) : 250-257.
Chandiran, I. S., B. P. Kumar, V. Narayan, 2010, Formulation and In Vitro
Evaluation of Floating Drug Delivery System For Salbutamol Sulphate, Int J
Pharm Biomed Sci, 1(1), 12-15.
Rowe, R.C., P. J. Sheskey, M. E. Quinn, 2009, Handbook of Pharmaceutical
Excipients 6th ed, Pharmaceutical Press : London, 110-113, 506-509, 564-565, .
Gao, L., D. Zhang, and M. Chen, 2008, Drug nanocrystals for formulation of
poorly soluble drugs and its application as potential drug delivery system, J.
Nanopart Res, vol 10. 845 – 862.
Lai, S.K., Y. Y. Wang, J. Hanes, 2009, Mucus Penetrating Nanoparticles For
Drug and Gene Delivery to Mucosal Tissues, Adv Drug Deliv Rev, 61 (2): 158-
171.
Hu, Y., X. Jiang, Y. Ding, H. Ge, Y. Yuan, C. Yang, 2002, Synthesis and
Characterization of Chitosan-Poly(acrylic acid) Nanoparticles, Biomaterials,
3194, 3196.
Hess, M., R. G. Jones, J. Kahovec, T. Kitayama, P. KratochvPl, P. Kubisa, W.
Mormann, R. F. T. Stepto, D. Tabak, J. VohlPdal, E. S. Wilks, 2004, Terminology
of Polymers Containing Ionizable or Ionic Groups of Polymers Containing Ions,
Macromolecular Division Commision on Macromolecular Nomenclature and
Subcommitee on Macromolecular Terminology, 7.
Lieberman, H.A., M. Rieger, G.S. Sanker, 1998, Pharmaceutical Dosage Form,
Disperse System, Vol 3, New York: Marcel Dekker, 279-280.