fix complete

175
1 | Page

Upload: andialfinaulandari

Post on 30-Nov-2015

147 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

nbnbnbnbnb

TRANSCRIPT

Page 1: Fix Complete

1 | P a g e

Page 2: Fix Complete

Sikap Nelayan Terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup di Pesisir

Oleh

Nama : Khalisha AzisNIM : 121 444 1 009Kelas : ICP A Biologi

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

20132 | P a g e

Page 3: Fix Complete

LEMBAR PENGESAHAN

Makalah mata kuliah Pengetahuan Lingkungan dengan judul “Sikap Nelayan Terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup di Pesisir” yang disusun oleh:

Nama : Khalisha Azis

NIM : 121 444 1 009

Kelas : ICP A Biologi

Telah diperiksa dan dikonsultasikan kepada Asisten, maka makalah ini dinyatakan diterima.

Makassar, Juni 2013

Mengetahui,Dosen Penanggungjawab Asisten,

Drs. Muhammad Nur Zakariah Leo, M.Si Syahreni, S.Pd

3 | P a g e

Page 4: Fix Complete

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena kemurahan kasih, rahmat, taufik dan

hidayah-Nya yang begitu besar sehingga penulisan makalah ini telah selesai disusun

penulis. Shalawat dan salam juga dipanjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW

sebagai pembawa risalah atas kebenaran-Nya.

Dalam penulisan makalah Pengetahuan Lingkungan ini, penulis banyak

menerima bantuan, bimbingan, dan nasehat dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini,

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta,

teman-teman, dosen, asisten, dan semua pihak yang terkait selama proses pembuatan

makalah yang berjudul “Sikap Nelayan Terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup di

Pesisir” ini bisa diselesaikan sebagaimana mestinya.

Penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh

karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik agar pembuatan makalah berikutnya

bisa mendekati kesempurnaan.

Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan

sumbangan pikiran yang berguna dan juga kesadaran lebih untuk menjaga lingkungan

sekitar.

Makassar, Juni 2013

Penulis

4 | P a g e

Page 5: Fix Complete

DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………………………………………. i

Lembar Pengesahan ………………………………………………………………………….. ii

Kata Pengantar ………………………………………………………………………………... iii

Daftar Isi ……………………………………………………………………………………...... iv

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………………………… 1

B. Rumusan Masalah …………………………………………………………………….…. 2

C. Tujuan Penulisan …………………………………………………………………….…… 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA …………………………………………………………….….…. 3

A. Kebudayaan Masyarakat Nelayan ……………………………………………….…….. 3

B. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir ………………………………………………….… 7

C. Sejarah Terjadinya Pencemaran Wilayah Pesisir …………………………………… 29

D. Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut akibat Aktifitas Manusia ……… 51

E. Aktifitas Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Pesisir ……………….…... 60

BAB III PEMBAHASAN

A. Pengelolaan Masyarakat Nelayan Terhadap Kelestarian Wilayah Pesisir …..….. 72

B. Kegiatan dan Tingkat Sosial-Ekonomi Masyarakat Wilayah Pesisir ……………… 79

C. Pemanfaatan Pengelolaan Wilayah Pesisir …………………………………………. 83

D. Peranan Nelayan Terhadap Rehabilitasi Ekosistem Hutan Bakau …………….... 95

E. Pandangan dan Sikap Nelayan terhadap Kerusakan Wilayah Pesisir …...……… 101

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………………………..… 110

B. Saran ………………………………………………………………………………….... 110

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………... 111

5 | P a g e

Page 6: Fix Complete

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan

berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial

masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari

konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di

kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan.

Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya

bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan,

kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas

kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan (Ginkel, 2007).

Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan

kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber

daya pesisir dan kelautan. Konstruksi masyarakat nelayan dengan mengacu pada

konteks pemikiran di atas, yaitu suatu konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial

budayanya dipengaruhi secara signifikan oleh eksistensi kelompok-kelompok sosial

yang kelangsungan hidupnya bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya

kelautan dan pesisir. Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi

lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial,

masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-

satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan

dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang

hidup di daerah perkotaan.

Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau

sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola

kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai

berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69). Setiap

gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan

masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama.

Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau

penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya.

Pesisir merupakan salah satu wilayah kegiatan ekonomi yang sangat penting

pada saat ini. Hal ini disebabkan karena sekitar 80% kegiatan ekonomi di Indonesia

terkait dengan wilayah ini, seperti perikanan, industry, kepariwisataan, dan

6 | P a g e

Page 7: Fix Complete

pertambangan. Selain itu, sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki mata

pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan cara memanfaatkan

sumberdaya alam di wilayah pesisir baik sebagai petani sawah maupun nelayan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Resosudarmo et.al., (1987), sebanyak 90%

produksi ikan nasional dihasilkan oleh usaha perikanan rakyat, pengusaha tambak,

pengembangan budidaya kerang-kerangan, rumput laut, dan berbagai jenis ikan

termasuk udang.

Pertumbuhan penduduk wilayah pesisir yang sangat pesat dan lebih besar

dari pada rata-rata nasional dengan tingkat pendidikan yang rata-rata rendah, tingkat

penguasaan teknologi yang rendah pada pemanfaatan sumber daya alam yang

cepat ditambah dengan peningkatan pembangunan oleh pemerintah hampir di

semua sektor, telah memberikan tekanan pada lingkungan wilayah pesisir. Akibat

tekanan tersebut telah terjadi berbagai kerusakan lingkungan, antara lain

pencemaran perairan pesisir, seperti terumbu karang, hutan Mangroove, abrasi

(erosi) pantai, dan kemiskinan yang terus melilit sebagian besar wilayah pesisir,

menunjukkan kondisi yang telah mengancam pembangunan ekonomi pesisir secara

berkelanjutan.

Berangkat dari permasalahan dan kecenderungan negative yang diuraikan di

atas, maka suatu studi mengenai potensi sumberdaya di wilayah pesisir yang

mendalam dan tajam tentang bagaimana mengembangkan potensi sosial-ekonomi

masyarakat pesisir yang berkelanjutan penting untuk dilakukan. Berbagai potensi

ekonomi sumberdaya wilayah pesisir yang dapat dikembangkan ternyata tidak hanya

terdapat pada pertanian rakyat, perikanan laut, tambak, melainkan juga pada

perdagangan, transportasi dan pariwisata.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang mendasari latar belakang di atas, yaitu:

1. Bagaimana upaya pemberdayaan lingkungan di wilayah pesisir seperti estuaria?

2. Bagaimana pengoptimalisasian pemanfaatan ekosistem di wilayah pesisir?

C. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi upaya-upaya dan sikap masyarakat

pesisir utamanya nelayan dalam pelestarian lingkungan hidup serta pemanfaatan

wilayah pesisir itu sendiri.

.

7 | P a g e

Page 8: Fix Complete

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

A. Kebudayaan Masyarakat Nelayan

Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan

berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial

masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari

konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di

kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan2.

Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya

bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan,

kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas

kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan (Ginkel, 2007).

Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan

kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan

sumber daya pesisir dan kelautan. Dalam tulisan ini, saya memahami konstruksi

masyarakat nelayan dengan mengacu pada konteks pemikiran di atas, yaitu suatu

konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi secara

signifikan oleh eksistensi kelompok – kelompok sosial yang kelangsungan hidupnya

bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir. Dengan

memperhatikan struktur sumber daya ekonomi lingkungan yang menjadi basis

kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial, masyarakat nelayan memiliki

identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-satuan sosial lainnya, seperti

petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok

masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah

perkotaan. Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan

atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-

pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai

berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69).

Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam

kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang

tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau

penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu

pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan

dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang

disepakati secara social. Perspektif antropologis untuk memahami eksistensi suatu

8 | P a g e

Page 9: Fix Complete

masyarakat bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara

manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Karena itu, dalam beragam lingkungan

yang melingkupi kehidupan manusia, satuan sosial yang terbentuk melalui proses

demikian akan menmpilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Dengan

demikian, sebagai upaya memahami masyarakat nelayan, khususnya di Provinsi

Jawa Tengah, berikut ini akan dideskripsikan beberapa aspek antropologis yang

dipandang penting sebagai pembangun identitas kebudayaan masyarakat nelayan,

seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola eksploitasi sumber daya

perikanan, dan kepemimpinan social (Kluckhon, 1984:85, 91).

Pekerjaan-pekerjaan di laut, seperti melakukan kegiatan penangkapan,

menjadi ranah laki-laki karena karakteristik pekerjaan ini membutuhkan kemampuan

fisik yang kuat, kecepatan bertindak, dan berisiko tinggi. Dengan kemampuan fisik

yang berbeda, kaum perempuan menangani pekerjaan-pekerjaan di darat, seperti

mengurus tanggung jawab domestik, serta aktivitas sosial-budaya dan ekonomi.

Kaum perempuan memiliki cukup banyak waktu untuk menyelesaikan tangung

jawab pekerjaan tersebut. Sebagian besar aktivitas perekonomian di kawasan

pesisir melibatkan kaum perempuan dan sistem pembagian kerja tersebut telah

menempatkan kaum perempuan sebagai “penguasa aktivitas ekonomi pesisir”.

Dampak dari sistem pembagian kerja ini adalah kaum perempuan mendominasi

dalam urusan ekonomi rumah tangga dan pengambilan keputusan penting di rumah

tangganya (Kusnadi, 2001).

Dengan demikian, kaum perempuan tidak berposisi sebagai ”suplemen”

tetapi bersifat ”komplemen” dalam menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya.

Persepsi masyarakat nelayan terhadap perempuan yang bekerja di sektor publik

terbagi menjadi tiga, yaitu: persepsi konservatif, moderat bersyarat, dan kontekstual

dinamis (Kusnadi, et.al., 2006:67-76). Jika persepsi ”konservatif” dan pandangan

”moderat bersyarat” dianut oleh sebagian kecil masyarakat nelayan, sebaliknya

pandangan ”kontekstual-dinamis” dianut oleh sebagian besar warga masyarakat

nelayan. Persepsi kontekstual-dinamis lebih rasional dalam menilai perempuan

pesisir yang bekerja sesuai dengan kebutuhan dan kondisi-kondisi sosial ekonomi

lokal. Persepsi ini memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk terlibat aktif

dalam kegiatan publik dengan tidak mengorbankan tanggung jawab domestiknya.

Dalam rumah tangga nelayan miskin, kaum perempuan, isteri nelayan,

mengambil peranan yang strategis untuk menjaga integrasi rumah tangganya.

Modernisasi perikanan yang berdampak serius terhadap proses pemiskinan telah

menempatkan kaum perempuan sebagai penanggung jawab utama kelangsungan

9 | P a g e

Page 10: Fix Complete

hidup rumah tangga nelayan (Kusnadi, 2003:69-83). Jika pemerintah menggagas

program-program pemberdayaan untuk mengatasi kemiskinan nelayan, kaum

perempuan dapat ditempatkan sebagai subjek pemberdayaan sosial-ekonomi.

Dengan demikian, upaya untuk mencapai tujuan pemberdayaan dapat ditempuh

secara tepat dan efisien.

Masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang spesifik dan

terbangun melalui proses evalusi yang panjang. Ciri-ciri kebudayaan di atas, seperti

sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola perilaku dalam mengeksploitasi sumber

daya perikanan, serta kepemimpinan sosial tumbuh karena pengaruh kondisi-

kondisi dan karakteristik-karakteristik yang terdapat di lingkungannya. Sebagai

bagian dari suatu masyarakat yang luas, yang sedang bergerak mengikuti arus

dinamika sosial, masyarakat nelayan dan kebudayaan pesisir juga akan terkena

dampaknya. Kemampuan beradaptasi dan keberhasilan menyikapi tantangan

perubahan sosial sangat menentukan kelangsungan hidup dan integrasi sosial

masyarakat nelayan.

Deskripsi singkat tentang beberapa aspek antropologis masyarakat nelayan

di atas diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan bekal umum bagi

para peserta “Jelajah Budaya Tahun 2010” yang akan melakukan kunjungan/kerja

lapangan pada masyarakat nelayan di Pantai Utara Jawa. Tentu saja, masih banyak

aspek-aspek kebudayaan lainnya yang perlu dipahami agar wawasan pengetahuan

kita tentang masyarakat nelayan semakin komprehensif.

Sebagai suatu kesatuan sosial-budaya, masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri

perilaku sosial yang dipengaruhi oleh karakteristik kondisi geografis dan

matapencaharian penduduknya. Sebagian dari ciri-ciri perilaku sosial tersebut

adalah sebagai berikut :

1. Etos kerja tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran.

2. Kompetitif dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan.

3. Apresiasi terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian.

4. Terbuka dan ekspresif, sehingga cenderung “kasar”.

5. Solidaritas sosial yang kuat dalam menghadapi ancaman bersama atau

membantu sesama ketika menghadapi musibah.

6. Kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi.

7. Bergaya hidup “konsumtif “.

8. Demonstratif dalam harta-benda (emas, perabotan rumah, kendaraan, bangunan

rumah, dan sebagainya) sebagai manifestasi “keberhasilan hidup”.

9. ”Agamis”, dengan sentimen keagamaan yang tinggi.

10 | P a g e

Page 11: Fix Complete

10. ”Temperamental”, khususnya jika terkait dengan ”harga diri”.

Salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan

sikap temperamental dan harga diri tersebut dapat disimak dalam pernyataan

antropolog Belanda di bawah ini (Boelaars, 1984:62):

“Orang pesisir memiliki orientasi yang kuat untuk merebut dan meningkatkan

kewibawaan atau status sosial. Mereka sendiri mengakui bahwa mereka cepat

marah, mudah tersinggung, lekas menggunakan kekerasan, dan gampang

cenderung balas-membalas sampai dengan pembunuhan. Orang pesisir memiliki

rasa harga diri yang amat tinggi dan sangat peka. Perasaan itu bersumber pada

kesadaran mereka bahwa pola hidup pesisir memang pantas mendapat

penghargaan yang tinggi.“

Ciri-ciri perilaku sosial di atas memiliki relevansi dengan ciri-ciri

kepemimpinan sosial masyarakat pesisir. Berdasarkan kajian filologis atas naskah-

naskah klasik (kuno) yang banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, seperti

Kitab Sindujoyo Pesisiran dan Babad Gresik Pesisiran, syarat-syarat pemimpin di

kalangan masyarakat pesisir adalah sebagai berikut (Widayati, 2001:3):

1. Siap menolong siapa saja yang meminta bantuan.

2. Mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.

3. Dermawan kepada semua orang.

4. Selalu menuntut ilmu dunia dan akhirat untuk keseimbangan kehidupan.

5. Tidak berambisi terhadap jabatan atau kedudukan walaupun banyak berjasa.

6. Rendah hati (tidak sombong), tetapi tidak rendah diri.

7. Sangat benci penindasan dan berbuat adil kepada siapa saja.

8. Rajin bekerja dan beribadah, khususnya shalat lima waktu.

9. Sabar dan bijaksana.

10. Berusaha membahagiakan orang lain.

Sebagian nilai-nilai perilaku sosial di atas merupakan modal sosial yang

sangat berharga jika didayagunakan untuk membangun masyarakat nelayan atau

masyarakat pesisir. Demikian juga, syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinan

masyarakat pesisir memiliki relevansi yang baik untuk merekonstruksi

kepemimpinan bangsa dan negara Indonesia. Penjelajahan terhadap nilai-nilai

budaya kepesisiran ini tentu saja memiliki kontribusi yang sangat strategis untuk

membangun masa depan bangsa yang berbasis pada potensi sumber daya

kemaritiman nasional.

11 | P a g e

Page 12: Fix Complete

B. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan

kelompok masyarakat yang lain. Sebagaimana lazimnya, suatu komunitas memiliki

nilai budaya tersendiri yang dipahami oleh masyarakatnya dalam membentuk

tindakan sehari-hari. Faktor ekologi sangat berpengaruh terhadap tindakan yang

dilakukan sehari-hari. Selain itu, faktor nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok

masyarakat pesisir ini akan berpengaruh pada pemahaman mereka terhadap

pendidikan. Kondisi inilah yang akan menjadi dasar dalam membangun model

pendidikan yang harus dilakukan.

Dalam konteks sosiologis, penduduk atau masyarakat yang menghuni

kawasan pesisir, ditilik dari besaran populasi, perbedaan mata pencaharian dan

sumber penghidupan dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis satuan sosial

yang kerapkali menjadi satuan administrasi pemerintahan, yaitu: (1) desa pesisir

tipe bahan makanan, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh

penduduknya bermatapencaharian sebagai petani sawah; (2) desa pesisir tipe

tanaman industri, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya

bermatapencaharian sebagai petani tanaman industri; (3) desa pesisir tipe

nelayan/empang/tambak, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh

penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, dan pembudidaya

perairan; dan (4) desa pesisir tipe niaga dan transportasi, yaitu desa-desa yang

sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai pedagang

antar pulau dan penyedia jasa transportasi antar wilayah (laut)

(Hasanuddin,1985:108).

Dengan demikian, masyarakat pesisir dalam realitasnya menunjukkan

perbedaan-perbedaan sebagai suatu kesatuan sosial yang disebut sebagai

masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan sebagaimana diketahui hidup, tumbuh,

dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial

masyarakat di kawasan pesisir, dikenal sebagai masyarakat nelayan yang

merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak

semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian

sebagai nelayan. Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar

penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya

perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas

kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan.

Dalam kehidupan masyarakat pada umumnya kerap dikenal sebagai

masyarakat nelayan, dengan berbagai sebutan baik nelayan, petambak, maupun

12 | P a g e

Page 13: Fix Complete

pembudidaya perairan merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung

berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan.Untuk

menguraikan hal ihwal yang terkait dengan masyarakat pesisir sebagaimana

dimaksudkan dalam konsepsi ini, tidak dapat dilepaskan dari konsep konstruksi

masyarakat nelayan dengan mengacu pada konteks pemikiran di atas.

Masyarakat pesisir sebagai masyarakat miskin memiliki persoalan yang

kompleks. Pertama, faktor miskin secara ekonomi, terpinggir secara sosial, dan

terlupakan secara fungsi dan martabat. Penyebab kemiskinan nelayan secara

umum adalah pendidikan dan keterampilan yang rendah. Hal ini yang menyebabkan

nelayan tidak memiliki alternatif pekerjaan lain yang layak pada musim paceklik dan

nelayan tidak dapat mengoptimalkan manfaat dari hasil usaha penangkapan ikan,

baik dari sisi volume produksi maupun dari harga jual karena mutunya yang rendah.

Panduan memuat konsepsi dan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir agar

menghasilkan model yang komprehensif sekaligus mampu menjawab kebutuhan

pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan dan pengorganisasian di

masyarakat pesisir.

Suatu konsep tentang konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial

budayanya dipengaruhi oleh keberadaan kelompok–kelompok sosial yang

melangsungkan kehidupannya dan bergantung pada usaha pemanfaatan sumber

daya kelautan dan pesisir. Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi

lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial,

masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-

satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan

dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya

yang hidup di daerah perkotaan. Dalam konteks itu, bagi masyarakat nelayan,

kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi

sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai

sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di

lingkungannya. Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional

dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu

yang tidak lama.

Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau

penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu

pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan

dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang

disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984:85,91). Dalam perspektif antropologis dan

13 | P a g e

Page 14: Fix Complete

sosiologis untuk memahami eksistensi suatu masyarakat bertitik tolak dan

berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia, lingkungan, dan sosial

budayanya. Karena itu, dalam beragam lingkungan yang melingkupi kehidupan

manusia, satuan social yang terbentuk melalui proses demikian akan menampilkan

karakteristik budaya yang berbeda-beda. Karakteristik masyarakat pesisir dapat

dilihat dari beberapa aspek diantaranya, aspek pengetahuan, kepercayaan

(teologis), dan posisi nelayan sosial.

Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan

dari warisan nenek moyangnya, misalnya mereka untuk melihat kalender dan

penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi bintang. Sementara, dilihat dari

aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memilki

kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau

sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak

percaya terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka melakukan ritual

tersebut hanya untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi sosial nelayan,

pada umumnya nelayan tergolong kasta rendah.

Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal

struktur sosial yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam relasi pasar

pada usaha perikanan. “Biasanya patron memberikan bantuan berupa modal

kepada klien. Hal tersebut merupakan taktik bagi patron untuk mengikat klien

dengan utangnya sehingga bisnis tetap berjalan” (Satria, 2002). Dari masalah utang

piutang tersebut sering terjadi konflik, namun konflik yang mendominasi adalah

persaingan antar nelayan dalam memperebutkan sumberdaya ikan yang jumlahnya

terbatas. Oleh karena itu, sangatlah penting adanya pihak yang dapat

mengembangkan sumberdaya laut dan mengatur pengelolaannya. Peran

pemerintah mulai tingkat lokal hingga tingkat pusat sangat penting dalam

menciptakan aturan bagi kelangsungan kehidupan masyarakat pesisir dan

keberlanjutan (sustainabilitas) sumberdaya alamnya. Ini perlu ditekankan karena

sebagaimana sumberdaya alam lainnya, sifatnya yang bisa hancur dan menjadi

langka bila tidak dikelola dengan bijak akan menimbulkan konflik di masa

mendatang.

Peraturan dengan demikian sangat penting termasuk untuk memastikan hak

pemanfaatan sumberdaya alam bagi masyarakat lokal. Selain pemerintah, lembaga

non pemerintah dan berbasis masyarakat seperli Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) sangat membantu dalam mengarahkan strategi pemberdayaan dan

pemanfaatan potensi yang ada dan diperlukan masyarakat pesisir serta menunjang

14 | P a g e

Page 15: Fix Complete

pengelolaan sumberdaya lingkungan laut di sekitar tempat tinggal mereka, misalnya

budidaya perikanan. Pengelolaan ini dilakukan dengan kegiatan nyata yang sesuai

dengan warna dari kultur masyarakat setempat. Untuk itu, LSM harus mampu

memberikan masukan dan atas pemikiran kritis bagi strategi pengembangan dan

pengelolaan kawasan pesisir dan masyarakatnya. Masyarakat pesisir secara umum

dipahami sebagai masyarakat dengan matapencaharian utama nelayan. Ini bisa

dimaklumi karena nelayan menjadi matapencaharian utama kelompok masyarakat

yang hidup di sekitar pantai ini. Yang perlu dicermati pada masyarakat pesisir

adalah masalah yang berkaitan dengan peran dan matapencaharian mereka

sebagai nelayan.

Berbagai kebijakan yang dilakukan belum mampu mengangkat kerangkeng

kemiskinan para nelayan. Kebijakan pembangunan kelautan selama ini, cenderung

lebih mengarah kepada kebijakan “produktivitas” dengan memaksimalkan hasil

eksploitasi sumber daya laut tanpa ada kebijakan memadai yang

mengendalikannya. Akibat dari kebijakan tersebut telah mengakibatkan beberapa

kecenderungan yang tidak menguntungkan dalam aspek kehidupan, seperti:

a. Aspek ekologi, overfishing penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan

telah cenderung merusak ekologi laut dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau,

dan sebagainya). Akibat dari ini adalah menyempitnya wilayah dan sumber daya

tangkapan, sehingga sering menimbulkan konflik secara terbuka baik bersifat

vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan, nelayan dengan masyarakat sekitar

dan antara nelayan dengan pemerintah).

b. Aspek sosial ekonomi, akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara

pengusaha besar dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan

kemiskinan bagi nelayan tradisional. Akibat dari kesenjangan tersebut

menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya menjadi

buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar.

c. Aspek sosio kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut

menyebabkan ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/tradisional terhadap

pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara pherphery terdapat

center, antara masyarakat dengan pemerintah. Hal ini menimbulkan penguatan

terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan.

Arah modernisasi di sektor perikanan yang dilakukan selama ini, hanya

memberi keuntungan kepada sekelompok kecil yang mempunyai kemampuan

ekonomi dan politik, sehingga diperlukan alternatif paradigma dan strategis

pembangunan yang holistik dan terintegrasi serta dapat menjaga keseimbangan

15 | P a g e

Page 16: Fix Complete

antara kegiatan produksi. Selain sebagai nelayan, pada kondisi pesisir tertentu,

yaitu adanya perubahan kecenderungan pola kerja nelayan, maka beragam

matapencaharian lainnya bisa dikerjakan oleh masyarakat pesisir, termasuk oleh

kelompok perempuan. Menjadi petani garam sebagaimana ditemukan di banyak

wilayah NTB (Sumbawa) dan Madura.

Kehidupan mereka dalam mengelola sumberdaya alam menjadi garam, juga

tidak lepas dari kultur dan relasi yang mereka bangun dengan alam, serta tenik

keterampilan yang mereka kuasai. Dalam perjalanan sebagai petani garam, terkait

dengan alur ekonomi lainnya, maka kehidupan masyarakat pesisir dalam hal ini

petani garam juga tidak luput dari pasang surut, termasuk yang paling mutakhir

terjadi adalah kebijakan harga dan impor garam yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ini sekali lagi memberikan bukti bahwa kehidupan masyarakat pesisir membutuhkan

perhatian penuh dalam pemberdayaannya. Yang perlu diperhatikan sebagai

matapencaharian utama lainnya masyarakat pesisir adalah petambak dan petani

rumput laut.

Kegiatan terakhir ini sebagaimana ditemui di wilayah Jeneponto, Sulawesi

Selatan banyak melibatkan anggota keluarga termasuk perempuan. Perkembangan

budidaya rumput laut yang dalam dekade sebelumnya pernah mencapai harga

puncak telah berkontribusi pada pola pencaharian masyarakat pesisir dari nelayan

tradisional menjadi petani budidaya rumput laut. Namun sebagaimana kelompok

masyarakat pesisir petani garam, petani rumput laut juga dihadapkan pada fluktuasi

pasar dan perubahan ekosisistem yang berpotensi pada rendahnya kesinambungan

penghidupan ini. Tentu kerentanan ini membutuhkan proteksi kebijakan pemerintah

yang kuat. Demikian juga di level masyarakat, antisipasi dengan pola

pemberdayaan lewat pendidikan menjadi salah satu alternatif mekanisme

mengurangi kerentanan tersebut.

Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan

mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang

kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun

demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan

perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi

kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang

pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan

yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Robinson (1994)

menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu

pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreativitas dan kebebasan bertindak.

16 | P a g e

Page 17: Fix Complete

Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada

kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa),

kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Sedangkan Payne (1997)

menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu

klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan

dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut,

termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Orang-

orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya,

bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka

sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam

rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan

eksternal.

Pranarka dan Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses

pemberdayaan” mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan

yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan,

kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya.

Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari

makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan

sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi

individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa

yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:

a. Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi

kondisi perubahan ke depan)

b. Mampu mengarahkan dirinya sendiri

c. Memiliki kekuatan untuk berunding

d. Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang

saling menguntungkan, dan

e. Bertanggungjawab atas tindakannya.

Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan

masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham termotivasi,

berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu

berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu

mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi.

Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang

17 | P a g e

Page 18: Fix Complete

diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan

partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari

pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat

menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan

mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan

suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan

memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi

mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan

daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah

kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya

yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan

kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang

dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif

merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada

perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif

adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat

diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan

psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai

upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.

Tidak ada program pemberdayaan yang berkelanjutan tanpa partisipasi

berarti dari masyarakat itu sendiri. Pihak luar hanya berfungsi sebagai katalisator

dan fasilitator. Dengan demikian masyarakat yang akan mengambil keputusan dan

risiko dari kegiatan yang mereka rancang. Program yang tidak berkesinambungan

seringkali diakibatkan oleh rendahnya partisipasi ini, karena masyarakat tidak

merasa memiliki kegiatan yang dilakukannya, dan lepas tanggung-jawab. Program

demikian biasanya tidak didasari pada kajian kebutuhan dan potensi masyarakat

bersama masyarakat sendiri. Selain itu, pentingnya partisipasi kelompok sasaran ini

didasarkan pada kesadaran bahwa proses pemberdayaan merupakan aksi yang

akan dilakukan oleh kelompok dalam masyarakat sendiri, sementara pihak luar

merupakan fasilitator yang mempermudah proses. Juga, partisiapsi dimaksudkan

agar inisiatif awal yang dilakukan oleh fasilitator luar akan ditindak-lanjuti oleh

kelompok masyarakat sendiri sebagai sebab indikasi keberlanjutan yang dikehendai

dalam program dan pendidikan pemberdayaan.

Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat

serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor

18 | P a g e

Page 19: Fix Complete

pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3) adanya

kesempatan untuk berpartisipasi. Selama ini, kemauan dan kemampuan

berpartisipasi lebih berasal dari masyarakat yang dalam hal ini dimaksudkan

sebagai badan dunia dan lembaga swadaya masyarakat, sedangkan kesempatan

berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi kesempatan, yang dimaksud ini

adalah pihak pemerintah. Apabila ada kemauan tetapi tidak ada kemampuan dari

pihak luar yang dalam hal ini masyarakat, sungguhpun telah diberi kesempatan oleh

negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi tidak akan terjadi.

Demikian juga, jika ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau

kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka

tidak mungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi.

Chambers membagi tingkat partisipasi dalam beberapa level, mulai dari

yang terendah, sebagai berikut:

a. Partisipasi dengan mobilisasi, yakni suatu partisipasi semu karena keterlibatan

masyarakat digerakkan oleh sebuah instruksi, dan bukan menjadi kesadaran atau

kebutuhan.

b. Partisipasi karena menerima manfaat, yakni masyarakat berpartisipasi karena

ada suatu yang mereka dapatkan dari proses ini.

c. Partisipasi program yang dilaksanakan pihak lain, yakni pada dasarnya

masyarakat tidak terlibat merancang dan melakukan perencanaan terhadap

kegiatan, namun melakukan kegiatan pihak lain.

d. Partisipasi konsultatif, yakni biasanya dilakukan antara pemrakarsa dan

pelaksana

e. Partisipasi pemberdayaan atau pengalihan kemampuan. Ini dikembangkan

dengan asumsi bahwa selama ini masyarakat tidak dilibatkan karena anggapan

bahwa mereka memiliki kemampuan yang belum memadai sehingga membutuhkan

pendampingan hingga mereka mandiri untuk menyusun rencana mereka sendiri.

Pihak luar merupakan fasilitator yang melakukan transformasi pengetahuan yang

dibutuhkan masyarakat.

f. Partisipasi dengan cara menganalisis, merencanakan, melakukan dan

mengevaluasi kegiatan bersama. Ini merupakan partisipasi tertinggi dari sebuah

kegiatan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan tujuannya.

Kerusakan Lingkungan Wilayah Pesisir

Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi

sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan

19 | P a g e

Page 20: Fix Complete

memberikan sumbangan yang berarti, baik bagi peningkatan taraf hidup masyarakat

maupun sebagai penghasil devisa negara yang sangat penting. Aktifitas

perkonomian yang dilakukan di kawasan pesisir di antaranya adalah kegiatan

perikanan (tangkap dan budidaya), industri dan pariwisata. Selain dimanfaatkan

untuk kegiatan perekonomian, wilayah pesisir juga digunakan sebagai tempat

membuang limbah dari berbagai aktifitas manusia, baik dari darat maupun di

kawasan pesisir itu sendiri. Kegiatan ini memberikan dampak yang tidak diharapkan

dari kondisi biofisik pesisir yang dikenal sangat peka terhadap perubahan

lingkungan. Salah satu jenis perairan yang akan terkena dampak adalah perairan

estuaria. Estuaria merupakan suatu habitat yang bersifat unik karena merupakan

tempat pertemuan antara perairan laut dan perairan darat. Namun wilayah pesisir

juga kerap mendapat tekanan ekologis berupa pencemar yang bersumber dari

aktifitas manusia. Melimpahnya bahan pencemar tersebut di wilayah pesisir

merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian perikanan laut.

Menurut Dahuri (1996) akumulasi limbah yang terjadi di wilayah pesisir,

terutama diakibatkan oleh tingginya kepadatan populasi penduduk dan aktifitas

industri. Estuaria merupakan badan air tempat terjadinya percampuran massa air

laut yang dipengaruhi oleh pasang surut dengan air tawar yang berasal dari

daratan. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya air payau dengan salinitas yang

meningkat kearah mulut sungai. Pada musim kemarau volume air sungai berkurang

dan air laut dapat masuk sampai ke arah hulu sehingga salinitas di wilayah estuaria

meningkat, sebaliknya pada musim penghujan volume air tawar dari sungai sangat

besar dan mengalir ke wilayah estuaria sehingga salinitas menjadi rendah. Wilayah

estuaria meliputi muara sungai dan delta-delta besar, hutan mangrove dekat

estuaria dan hamparan lumpur dan pasir yang luas. Wilayah ini dapat dikatakan

sebagai wilayah yang sangat dinamis karena terjadi proses dan perubahan pada

lingkungan fisik, kimia dan biologi (Supriadi, 2001).

Menurut UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER

16/MEN/2008 pasal 1 menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan

antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Menurut undang-undang ini perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan

daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang

menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuaria, teluk, perairan dangkal, rawa,

payau dan laguna.

20 | P a g e

Page 21: Fix Complete

Kawasan yang berada di kawasan pesisir ini tak luput dari pengembangan

dan pembangunan kota. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan ekosistem

estuaria dan munculnya konflik kepentingan. Sebagai contoh di beberapa wilayah di

Indonesia terjadi konflik antara konservasi dengan pengembang reklamasi pantai di

Manado (Sulawesi Utara), konflik antara industri dan masyarakat pesisir atau konflik

antara lahan konservasi mangrove dengan pembangunan perumahan di Pantai

Indah Kapuk, Jakarta. Kerusakan ekosistem yang mungkin ditimbulkan dari adanya

konflik kepentingan tersebut adalah meningkatnya konsentrasi limbah yang masuk

ke perairan, volume sedimen, penurunan biomassa dan keanekaragaman hayati.

Pencemaran pantai dan laut telah menjadi penyebab utama perubahan struktur dan

fungsi dari fitoplankton, zooplankton, bentos dan komunitas ikan pada area yang

luas, termasuk dampak terhadap kesehatan masyarakat, khususnya pada

perikanan dan penggunaan komersil habitat pantai dan laut (Tanaka, 2004).

Beberapa kasus pencemaran yang terjadi di muara sungai di Indonesia telah

dilaporkan seperti pencemaran bahan organik dan anorganik di perairan di perairan

pesisir Semarang (Sulardiono, 1997). Menurunnya kualitas perairan pantai Jakarta,

Semarang, dan Jepara akibat limbah domestik (Suhartono, 2004).

Berdasarkan hal tersebut di atas, untuk menekan ancaman terhadap

keberlanjutan fungsi perairan ini perlu dibuat rancangan model pengelolaan

lingkungan estuaria yang melibatkan semua elemen yang terkait berdasarkan

simulasi model kualitas air yang dapat diprediksi beberapa tahun ke depan,

sehingga diharapkan dapat menjadi arahan bagi kebijakan pemerintah daerah

dalam upaya pelestarian lingkungan perairan pada masa yang akan datang. Untuk

dapat merancang strategi pengelolaan berkelanjutan pada perairan estuaria,

terdapat beberapa permasalahan yang perlu dirumuskan yaitu;

- Bagaimana kondisi terkini lingkungan di estuaria dan berapa besar dampak

lingkungan serta tekanan yang muncul akibat menurunya kualitas perairan di

wilayah ini.

- Mengidentifikasi bahan polutan yang masuk ke lingkungan sungai sebagai

masukan model.

- Bagaimana model hidrodinamika perairan estuaria dan perubahan kondisi

lingkungan perairan Estuaria Tallo berdasarkan model kualitas air.

- Bagaimana kondisi kualitas perairan estuaria pada musim barat dan musim timur

dengan skenario yang berbeda (kondisi pasang dan surut) .

- Bagaimana strategi pengelolaan lingkungan estuaria berdasarkan model kualitas

perairan .

21 | P a g e

Page 22: Fix Complete

Pengelolaan lingkungan perairan Estuaria perlu memperhatikan kondisi

kualitas perairan. Semakin meningkatnya beban limbah yang dibuang ke sungai

dapat mengakibatkan perubahan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan.

Perubahan tersebut tentunya lambat laun akan mengganggu kestabilan ekosistem

estuaria. Terganggunya kestabilan ekosistem estuaria dapat mengakibatkan

terganggunya ekosistem pesisir dan laut. Untuk dapat memprediksi beberapa tahun

kedepan mengenai kondisi kualitas perairan estuaria, diperlukan suatu simulasi

model matematik yang diharapkan mampu memberikan gambaran kondisi ke depan

agar dapat dijadikan pertimbangan dalam merumuskan strategi pengelolaan. Hasil

model matematis dibandingkan dengan baku mutu perairan yang berlaku. Upaya

pengelolaan lingkungan perairan estuaria merupakan suatu masalah kompleks dan

melibatkan berbagai komponen dan stakeholders terkait. Metode pendekatan

sistem merupakan salah satu metode yang dapat digunakan sebagai dasar dalam

penyelesaian masalah pengelolaan lingkungan estuaria. Penyusunan skenario

untuk melihat berbagai fenomena kondisi perairan yang akan terjadi di masa depan

didasarkan pada hasil simulasi model dengan program MIKE 21. Hasil ini kemudian

akan dijadikan rekomendasi sebagai dasar menyusun strategi pengelolaan yang

akan diterapkan. Bantuan pakar (expert judgment) juga ditentukan untuk menyusun

strategi pengelolaan yang dilaksanakan saat ini dan pada masa yang akan datang.

Bahan pencemar yang masuk ke muara sungai dan estuari akan tersebar

dan akan mengalami proses pengendapan, sehingga terjadi penyebaran zat

pencemar. Besar kecilnya nilai kisaran dari parameter terukur tergantung dari

volume air pengencer, toksisitas/intensitas bahan pencemar, iklim, kedalaman, arus,

topografi dan geografi, sehingga terjadi perubahan sifat fisik, kimia dan biologi dan

ketiganya akan saling berinteraksi. Apabila salah satu factor terganggu atau

mengalami perubahan akan berdampak pada ekologi perairan. Penyebaran bahan

pencemar terutama logam berat dalam perairan dengan proses pengendapan akan

mempengaruhi siklus hidup dari hewan perairan terutama ikan. Dengan terjadinya

proses pengendapan bahan pencemar di dasar perairan akan memberikan dampak

terakumulasinya bahan pencemar dalam tubuh organisme melalui rantai makanan.

Limbah pabrik yang masuk ke perairan sungai dan mengalir ke perairan

muara mengakibatkan perubahan kualitas perairan dan mengganggu kehidupan

organisme perairan, bahkan dapat menyebabkan kematian bagi organisme (ikan).

Hal ini disebabkan organisme perairan akan mengakumulasi bahan pencemar yang

masuk ke dalam tubuhnya. Pada suatu saat konsentrasinya akan melebihi ambang

batas, sehingga mengakibatkan kerusakan organ bahkan dapat menyebabkan

22 | P a g e

Page 23: Fix Complete

kematian bagi organisme tersebut. Kerusakan organ yang terkena dampak/akibat

dari limbah, terutama logam berat yang pertama kali adalah insang, karena insang

merupakan organ pernafasan yang berinteraksi langsung dengan air untuk

mendapatkan oksigen. Selain organ insang yang memperlihatkan reaksi terhadap

masuknya bahan pencemar ke dalam tubuh, organ ginjal juga memberikan reaksi

terhadap bahan pencemar karena sesuai dengan fungsinya ginjal berfungsi

menetralisir racun (bahan pencemar) yang telah masuk ke dalam tubuh. Sesuai

dengan fungsi kedua organ tersebut kiranya perlu melihat kerusakan kedua organ

tersebut menggunakan analisis histopatologi.

Limbah dari aktifitas pabrik yang membuang limbah cairnya ke sungai

umumnya berupa limbah cair yang mengandung logam berat. Diketahui bahwa sifat

logam berat tersebut mudah mengendap di dasar perairan dan berikatan dengan

komponen kimia lainnya, sehingga kemungkinan terjadinya pengakumulasian logam

berat tersebut di dasar perairan juga menjadi lebih besar (Riani, 2004).

Berbagai aktifitas yang dilakukan oleh manusia memberikan hasil akhir

berupa limbah yang merupakan sisa-sisa dari aktifitas yang dilakukan. Aktifitas yang

dilakukan oleh manusia adalah kegiatan industri, pertanian dan rumah tangga. Sisa

dari kegiatan tersebut jika tidak dikelola dengan baik, akan memberikan dampak

yang negatif dan dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Salah satu ekosistem

yang menerima limbah buangan tersebut adalah ekosistem perairan, bahkan

ekosistem perairan merupakan ekosistem yang sering dijadikan tempat

pembuangan akhir dari aktifitas tersebut, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Aliran sisa buangan yang dilakukan oleh berbagai aktifitas tersebut

pertama kali akan memasuki ekosistem perairan sungai, selanjutnya akan masuk ke

perairan estuaria dan berakhir di laut lepas. Selama perjalanannya, bahan

pencemar yang masuk ke perairan akan mengalami perubahan atau mengalami

suatu proses penguraian. Di lain pihak bahan pencemar juga bisa merusak

ekosistem perairan tersebut, karena bahan pencemar ini akan mengakibatkan

terjadinya perubahan pada kualitas perairan, yang pada akhirnya akan

menyebabkan perubahan atau terjadinya gangguan terhadap organisme yang hidup

di dalamnya dan juga bisa menyebabkan munculnya dampak atau efek yang tidak

kecil bagi manusia yang memanfaatkan perairan tersebut, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Dengan mengetahui sumber pencemar dan alirannya serta

efek yang ditimbulkan oleh bahan pencemar dari berbagai aktifitas manusia yang

terkait terhadap organisme perairan dan kualitas perairan akan memberikan suatu

23 | P a g e

Page 24: Fix Complete

gambaran pengelolaan ekosistem perairan secara baik demi keberlanjutannya

dimasa yang akan datang.

Konsep Kurikulum Pemberdayaan

Kurikulum pendidikan yang harus dikembangkan dalam upaya

pemberdayaan masyarakat pesisir harus menyesuaikan dengan aspek sosial

ekonomi dan sosio kultural yang ada pada masyarakat pesisir. Kurikulum yang

dikembangkan bukanlah kurikulum sebagaimana yang berlaku di sekolah formal.

Konsep kurikulum yang dikembangkan adalah kurikulum yang fleksibel dan selalu

siap melakukan perubahan-perubahan disesuaikan dengan situasi dan kondisi

masyarakat nelayan. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan konsep kurikulum

yang harus dikembangkan pada masyarakat pesisir yang meliputi:

a. Landasan Filosofis Pendidikan

Pendidikan mengandung dua pengertian/makna yang dapat dipisahkan.

Pertama adalah pengertian pendidikan sebagai disiplin ilmu. Kedua adalah

pengertian pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh negara,

masyarakat, keluarga atau individu tertentu (S. Hamid Hasan, 1995 : 2).

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat pesisir landasan pendidikan yang

hendak kita pegang adalah pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh

Negara, masyarakat, keluarga atau individu tertentu. Pengertian ini kita ambil

karena pemberdayaan masyarakat pesisir akan melibatkan negara, masyarakat,

keluarga atau individu tertentu dalam hal ini mereka yang hidup di pesisir dan

matapencahariannya sangat tergantung pada apa yang ada di pesisir. Kurikulum

yang dikembangkan bagi pemberdayaan masyarakat hendaknya melibatkan seluruh

komponen masyarakat yang ada di masyarakat pesisir. Strata sosial yang ada di

masyarakat hendaknya menjadi individu-individu atau kelompok yang terlibat dalam

perumusan dan pelaksanaan kurikulum pendidikan.

Masyarakat pesisir sudah lama hidup dengan pekerjaan yang dimilikinya,

khususnya pekerjaan sebagai nelayan. Mereka sudah memiliki keterampilan-

keterampilan yang mengakar dari generasi ke generasi. Pengetahuan yang mereka

miliki dari pekerjaannya bersumber dari pengalaman. Oleh sebab itu, landasan

filosofis yang digunakan dalam pengembangan kurikulum adalah pendidikan

bersumber dari pengalaman. Landasan filosofis yang berkenaan dengan hal ini

adalah filsafat dari John Dewey yang menyatakan bahwa konsepsinya dunia yang

selalu berubah,mengalir atau on going-ness. Pandangan filsafat ini berimplikasi

pada pandangan tentang pentingnya pengalaman sebagai sumber pengetahuan.

Kaitan pengalaman dengan pendidikan menurut John Dewey bahwa pendidikan

24 | P a g e

Page 25: Fix Complete

merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan dari pengalaman (Nana

Syaodih Sukmadinata, 1998 : 40-41).

b. Landasan Sosial Budaya

Kurikulum merupakan suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan akan

menggambarkan apa yang hendak dilakukan dalam pendidikan tersebut dan apa

tujuan yang hendak dicapai. Landasan sosial budaya sangat berkaitan dengan

konsep pendidikan dan masyarakat. Ada tiga sifat penting pendidikan, pertama

pendidikan mengandung nilai dan memberikan pertimbangan nilai. Hal itu

disebabkan karena pendidikan diarahkan pada pengembangan pribadi anak agar

sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan diharapkan masyarakat. Karena tujuan

pendidikan mengandung nilai, maka isi pendidikan harus memuat nilai. Kedua,

pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam masyarakat. Pendidikan bukan hanya

untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk kehidupan dalam masyarakat.

Generasi muda perlu mengenal dan memahami apa yang ada dalam masyarakat,

memiliki kecakapan-kecakapan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat

sebagai warga maupun dunia kerja. Ketiga, pelaksanaan pendidikan dipengaruhi

dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung.

Kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap proses pendidikan, karena

pendidikan sangat melekat dengan kehidupan masyarakat. Dalam konteks

pengembangan kurikulum pada masyarakat pesisir haruslah menjadikan nilai-nilai

sosial budaya yang hidup dalam masyarakat pesisir dijadikan landasan kurikulum.

Nilai-nilai sosial budaya yang terbentuk berdasarkan hubungan sosial menciptakan

pola hubungan dan strata sosial sehingga membentuk suatu hubungan patron klien.

Hal lain yang berkenaan dengan nilai-nilai sosial budaya adalah sistem

kepercayaan dan religi yang dimiliki masyarakat. Sistem kepercayaan biasanya

terbentuk dalam kaitan antara hubungan manusia dengan alam. Dalam hubungan

ini akan membentuk pengetahuan manusia terhadap gejala alam. Misalnya pada

masyarakat nelayan berdasarkan pada pengetahuan terhadap alam, mereka akan

mengetahui kapan saatnya musim ikan.

Sebagaimana pendekatan pemberdayaan masyarakat pada umumnya,

pendekatan untuk masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh pandangan atau

paradigma yang S digunakan. Namun dalam keseluruhan, pendekatan

pemberdayaan masyarakat pesisir berangkat dari pandangan bahwa masyarakat

pesisir, baik laki-laki maupun perempuan, diperlukan karena posisi mereka yang

sangat rentan akan perubahan dan berada dalam kondisi marginal. Seperti

dikemukakan di depan, posisi pheryphery menunjukkan tingkat terpinggirnya

25 | P a g e

Page 26: Fix Complete

kelompok masyarakat pesisir dibanding kelompok masyarakat lainnya. Mereka

semakin terpinggir bila kerentanan yang mereka hadapi tidak memiliki mekanisme

antisipasi (copying mechanism) yang disebabkan oleh kondisi alam, sosial maupun

kebijakan eksternal. Pendekatan yang umumnya digunakan dalam pembedayaan

masyarakat terpinggirkan, termasuk masyarakat pesisir adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Sosio Karitatif:

Pendekatan ini menempatkan dan menganggap masyarakat pesisir tidak

berdaya/marjinal, miskin, menderita dan tidak mampu mengenali dan memecahkan

masalahnya sendiri atau mereka dianggap tidak mampu. Bentuk yang sering kita

lihat adalah: santunan-santunan kepada komunitas miskin, pemberian beasiswa,

bantuan kesehatan, dan lain sebagainya.

2. Pendekatan Sosio Ekonomis:

Pendekatan ini berangkat dari anggapan apabila pendapatan masyarakat pesisir

meningkat, kebutuhan ekonominya terpenuhi, dengan sendirinya segala persoalan

kehidupan lainnya juga terpecahkan. Misalnya bentuk-bentuk penguatan usaha

perekonomian, beternak secara komunal, koperasi nelayan, dan lain sebagainya.

3. Pendekatan Sosio Reformis:

Pendekatan ini hanya sekedar untuk mengembalikan keadaan menjadi

sebagaimana keadaan semula sebelum terjadinya permasalahan/kesulitan. Model

ini tepat digunakan pada komunitas yang baru mengalami bencana alam, bencana

peperangan maupun bencana kerusuhan sosial.

4. Pendekatan Sosio Transformatif:

Pendekatan ini dasarnya adalah perubahan pandangan pemikiran, sikap, dan

tingkah laku bersama menuju pada keswadayaan dan kemandirian, mulai dari arah

pengenalan masalah, menentukan rencana kegiatan untuk penyelesaian masalah

hingga pada evaluasinya. Memang ada sedikit permasalahan pada pendekatan ini,

yaitu banyak pihak yang tidak bisa bersabar terhadap prosesnya yang

mengutamakan membangun kesadaran akan kehidupan mendatang yang lebih

baik.

Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat pesisir di lapangan yang

dilakukan sesuai konteks kebutuhan sasaran, tidak semua aksi yang dipilih memiliki

dampak pemberdayaan yang berkesinambungan. Beberapa pilihan pendampingan

yang ada adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan Proyek:

Mengorganisir masyarakat pesisir pada kegiatan-kegiatan proyek alternatif, yang

bertujuan agar mereka dapat mandiri (self-reliance), misalnya: program penyehatan

26 | P a g e

Page 27: Fix Complete

masyarakat pesisir dan koperasi untuk meningkatkan ekonomi keluarga.

Pendekatan ini biasanya dilakukan secara parsial untuk menjawab sebagian atau

salah satu sektor yang ditangani untuk pemberdayaan. Pendekatan ini tidak

berkesinambungan karena bergantung pada proyek yang dibatasi sumberdaya dan

waktu dengan target yang terukur. Sementara pemberdayaan masyarakat pesisir

membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif, berkesinambungan dan

pemandirian sumberdaya lokal.

2. Pendekatan Aksi Politik:

Memfokuskan pada aksi bersama, dimulai dari memahami persoalan-persoalan

yang mereka hadapi, sampai kepada melakukan tuntutan-tuntutan terhadap pihak

yang berkuasa. Cara-cara yang dilakukan dapat berupa: petisi, negosiasi, dan unjuk

rasa. Pendekatan ini bukan merupakan pemberdayaan yang utuh. Namun dipilih

untuk tujuan tuntutan perubahan kebijakan yang mendesak. Pendekatan ini

dilakukan bila masyarakat atau kelompok sasaran telah memiliki kemandirian yang

kuat dari proses pendampingan yang panjang, serta kemampuan berfikir kritis

sehingga mampu diorganisir untuk aksi politik.

3. Pendekatan untuk Pemandirian:

Aksi-aksi pencerahan dan penyadaran sosial melalui aktivitas pendidikan

masyarakat pesisir. Dalam pendekatan ini, aktivitas pada sektor-sektor tertentu

(misalnya: pemberdayaan kemampuan perekonomian, advokasi, dan lain-lain)

merupakan entrypoint bagi proses pembelajaran yang sesungguhnya. Dalam

proses pendekatan ini, diawali dengan pengorganisasian kelompok sasaran untuk

mengidentifikasi aspirasi dan kebutuhan, menyatukan potensi untuk perubahan ke

arah perbaikan kondisi dan posisi masyarakat pesisir, hingga kemampuan untuk

melakukan negosiasi atau dialog dengan lembaga formal lainnya. Dengan demikian

pendekatan ini membutuhkan jangka waktu panjang hingga tumbuhnya kesadaran

dari kelompok sasaran untuk memobilisasi dirinya atau kelompoknya bagi

perubahan yang lebih baik untuk kehidupan mereka.

Pada paragraph sebelumnya telah dikemukakan, strategi pemberdayaan

masyarakat pesisir dilakukan melalui pendidikan dan pemberdayaan sosial

ekonomi. D Bagaimana strategi ini dilakukan menjadi penting untuk dikaji agar

mencapai tujuan yang dimaksud. Disini koherensi antara tujuan dan strategi atau

cara yang digunakan penting untuk ditekankan. Sebagaimana ditekankan dalam

tujuan, pemberdayaan masyarakat pesisir dari keterbatasan atau partikuralisme

dialami dan membatasi mereka menuju kondisi dan posisi yang lebih baik melalui

pengembangan kurikulum pendidikan nonformal yang membebaskan atau

27 | P a g e

Page 28: Fix Complete

emansipatoris. Pengembangan kurikulum di sini dijadikan sarana pembebasan atau

emansipasi dan karena itu perlu kita tempatkan dalam posisi utama atau posisi

sentral. Selain itu, sebagai pendukung, pengorganisasian sosial dilakukan untuk

menjalankan pemberdayaan masyarakat pesisir. Bagaimana pengorganisasian

sosial di sini dilakukan mengikuti strategi pengelolaan kegiatan dalam organisasi

dan kelembagaan sosial, sebagaimana berlaku dalam pengorganisasian

kelembagaaan sosial pada umumnya, yaitu mengikuti tahapan-tahapan sebagai

berikut: (1) penentuan kebutuhan dan kepentingan; (2) artikulasi kepentingan dan

kebutuhan dan akses pada sumberdaya sosial dan politik; (3) struktur relasi

kekuasaan dengan segala keterbatasan dan peluang yang ada; (4) partisipasi dan

pengorganisasian sosial; (5) menumbuhkan kemandirian, kontrol dan penguasaan

atas sumberdaya.

Bagan berikut menggambarkan alur proses strategi pemberdayaan yang dilakukan

melalui pengembangan kurikulum dalam logika alur proses pemberdayaan dalam

organisasi dan lembaga sosial.

Bagan 1. Strategi Pemberdayaan melalui Pengembangan Kurikulum

Bagan di atas menggambarkan alur proses strategi pemberdayaan yang dilakukan

melalui pengembangan kurikulum pendidikan dengan mengikuti logika

pengorganisasian sosial. Dimulai dari penentuan kebutuhan dan kepentingan,

tahapan ini mengidentifikasi kepentingan dan kebutuhan pemberdayaan masyarakat

28 | P a g e

Page 29: Fix Complete

pesisir dalam konteks sosial beragam di masyarakat. Selanjutnya, berdasar

kepentingan dan kebutuhan terumuskan, artikulasi dan pembukaan akses pada

sumberdaya dilakukan menuju relasi sosial penuh kesetaraan. Strategi ini penting

dijadikan acuan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pendidikan,

pengembangan kurikulum dan pengorganisasian sosial. Strategi ini merupakan

strategi pendidikan responsif kebutuhan masyarakat pesisir bertujuan untuk

memberdayakan dengan mengintegrasikan pertimbangan relasi sosial masyarakat

pesisir dengan pemangku kepentingan lainnya ke dalam kebijakan pendidikan,

pengembangan kurikulum dan pengembangan kelembagaan sosial. Hal itu

dilakukan dengan mengarusutamakan atau memasukkan cara pandang, atau

perspektif kebutuhan masyarakat pesisir, dalam kebijakan dan penyelenggaraan

pendidikan, pengembangan kurikulum dan pengorganisasian sosial.

Mengarusutamakan dan responsif pada kebutuhan masyarakat pesisir, dalam hal ini

tidak hanya sekedar mengintergrasikan permasalahan mereka kedalam pendidikan,

tetapi juga mencakup upaya mengubah arus utama pemikiran dan menjadikan

pemikiran responsif kebutuhan lokal/spesifik sebagai realitas sosial. Hal itu penting

dilakukan untuk memastikan agar masyarakat pesisir memperoleh akses,

berpartisipasi dan memiliki kontrol serta memperoleh manfaat yang setara dan adil

dalam proses dan kegiatan pembangunan (Mohanty, 1991).

Penyelenggaraan pendidikan respontif kebutuhan masyarakat pesisir sendiri

mencakup baik pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis dalam dunia

pendidikan. Pemenuhan kebutuhan meliputi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan

masyarakat pesisir untuk memperbaiki kondisi mereka agar mereka dapat menjalani

kehidupan dan peran-peran sosial secara bermartabat. Untuk menuju ke sana,

selain diperlukan pendekatan jangka pendek mengatasi masalah hidup sehari-hari,

di bidang sosial-ekonomi, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan sebagainya,

juga diperlukan pendekatan strategis jangka panjang untuk pemberdayaan dan

perbaikan masyarakat pesisir dalam memperbaiki posisi dan meningkatkan posisi

tawar mereka baik di masyarakat, negara maupun pasar, atau dalam dunia kerja.

Tahap Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum pendidikan pemberdayaan kelompok masyarakat pesisir

dilakukan dengan beberapa tahap kegiatan pengembangan yang secara garis

besarnya terdiri dari dua tahap yaitu ; (1) Tahap identifikasi, dan (2) tahap

pengembangan kurikulum. Jabaran dari masing-masing tahap sebagai berikut :

1. Tahap Identifikasi

29 | P a g e

Page 30: Fix Complete

Tahap identifikasi merupakan tahap awal dari kegiatan pengembangan yang

dilakukan untuk memperoleh gambaran, masalah, potensi dan kebutuhan yang

perlu diperhatikan dan dikembangkan pada masyarakat sasaran. Kegiatan yang

dilakukan pada tahap identifikasi tediri dari 5 tahap yaitu : (a) analisis konteks, (b)

penentuan subyek sasaran, (c) identifikasi kebutuhan dan masalah sasaran, (d)

identifikasi tantangan dan peluang, dan (e) pemetaan dan klasifikasi kapsitas yang

dikembangkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan atau digali dalam masing-masing

tahap kegiatan identifikasi sebagai berikut :

a. Analisis Konteks

Identifikasi ragam-ragam sosial budaya dari masyarakat sasaran yang

berkaitan dengan etnis, agama, tingkat pendidikan masyarakat sasaran dan

aspek lain yang relevan. Ini dibutuhkan mengingat bahwa setiap keragaman

faktor sosial yang ada akan memberikan dampak atau implikasi pada peran

dan posisi masyarakat pesisir serta model relasi mereka dengan pemegang

kepentingan lainnya dalam struktur masyarakat.

Elaborasi kekhususan/keunikan masing-masing kelompok sosial yang ada di

masyarakat sasaran. Hal ini diarahkan untuk melihat secara mendalam relasi

antara masyarakat pesisir dan kelompok masyarakat lainnya termasuk

pemegang kepentingan masing-masing aspek sosial yang menonjol. Misalnya

dalam budaya lokal, bagaimana peran masyarakat pesisir, model kekerabatan

dan masyarakat secara umum.

Elaborasi ikatan-ikatan sosial dalam bentuk nilai atau institusi (misalnya nilai

apa aja yang bisa mengikat mereka yang berbeda tersebut, isu-isu

publik/kepentingan bersama: seperti akte lahir, musyawarah, dan lain-lain).

Atau dengan kata lain, dalam hal apa, misalnya perempuan menganggap

suatu hal menjadi persoalan bersama kaumnya, dan bukan persoalan

individual. Contohnya: apakah mendapatkan kredit bagi perempuan petani

mejadi kepentingan (atau kesulitan) yang umum mereka rasakan.

b. Penentuan Subyek Sasaran

Penentuan subyek sasaran dilakukan dengan memperhatikan dan memilah

kelompok-kelompok yang akan menjadi sasaran utama pengembangan.

Menentukan kelompok antara yang akan dilayani dalam kegiatan

pengembangan.

Penentuan kelompok-kelompok masyarakat dan lembaga yang menjadi mitra

dalam kegiatan pengembangan yang akan dilakukan.

c. Identifkasi Masalah dan Kebutuhan Sasaran

30 | P a g e

Page 31: Fix Complete

Masalah yang dimaksudkan adalah kondisi dan hambatan yang dihadapi

kelompok sasaran dalam kaitannya dengan penetapan harga ikan hasil

tangkapan. Penentuan masalah ini dapat dlakukan dengan melakukan

wawacara, penyebaran kuesioner, Focus Group Discussion (FGD/diskusi

terfokus) secara partisipatif tentang kedudukan dan posisi dan masalah yang

dihadapi masyarakat pesisir.

Kebutuhan kelompok sasaran adalah hal-hal yang diperlukan oleh kelompok

sasaran dalam menyelesaikan masalah dan membantu kelompok sasaran

membangun dan mengembangkan kapasitasnya atau kemampuan yang

dimiliki.

d. Identifikasi Tantangan dan Peluang

Peluang yang dimaksudkan dapat berupa kegiatan, kesempatan dan hal-hal

lain yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok sasaran sesuai dengan

kapasitas dan kemampuan yang dimiliki baik secara individu maupun

kelompok.

Tantangan yang dimaksudkan adalah apa yang dapat dilakukan untuk

mengembangkan atau meningkatkan kapasitas dan kemampuan dalam

mengisi dan memanfaatkan peluang yang ada bagi kelompok sasaran.

Peluang dan tantangan bagi kelompok sasaran mencakup bidang ekonomi

(menyangkut akses yang dimiliki dan peluang pengembangannya), sosial

(misalnya ikatan juragan dan pekerja dalam masyarakat nelayan, atau ikatan

sosial lainnya yang bisa dipengaruhi oleh adanya ikatan modal yang

eksploitatif), hukum (terutama perubahan dan struktur kebijakan yang

berimplikasi pada kehidupan masyarakat pesisir) dan ekologi (lingkungan

sumberdaya alam terutama kerentanan dan kecenderungan perubahan) dan

pendidikan teknis pengembangan matapencaharian lainnya atau disesuaikan

dengan bidang pemberdayan yang akan dilakukan.

e. Pemetaan dan Klasifikasi Kapasitas yang Dikembangkan

Bila telah terpetakan kompetensi, kemampuan, masalah dan kebutuhan dari

kelompok sasaran, selanjutnya dilakukan pengelompokan tentang masalah

yang perlu diselesaikan, kapasitas dan kemampuan yang dapat dan perlu

dkembangkan agar dapat mengatasi masalah, memenuhi kebutuhan

kelompok sasaran, serta mengisi peluang dan tantangan dalam bidang

pemberdayaan yang dilakukn.

Pengelompokan yang dilakukan didasarkan pada tahapan atau proses

kegiatan pengembangan mulai dari pengenalan diri.

31 | P a g e

Page 32: Fix Complete

Pengelompokan ini merupakan dasar untuk merumuskan kompetensi atau

kemampuan yang akan dikembangkan atau hendak dicapai pada kelompok

sasaran

2. Tahap Pengembangan Kurikulum

Kurikulum pemberdayaan kelompok masyarakat pesisir paling tidak

berisikan tentang standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang

hendak dicapai melalui kegiatan pemberdayaan, pengalaman yang perlu

diperoleh oleh kelompok sasaran pemberdayaan dan materi kegiatan

pemberdayaan. Adapun tahapan yang dapat dilakukan adalah (a) merumuskan

standar kompetensi dan kompetensi dasar, (b) merumuskan indikator capaian,

(c) menentukan pengalaman yang harus diperoleh, (d) menentukan materi

kegiatan.

a. Merumuskan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Standar kompetensi merupakan kemampuan yang hendak dicapai dalam

kegiatan pemberdayaan sesuai dengan kelompok masalah, kebutuhan

kelompok sasaran yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Bila

kemampuan tersebut dimiliki maka kelompok sasaran telah berdaya atau

dapat melakukan aktivitas sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi

kemampuan yang dirumuskan dalam standar kompetensi masih umum

sifatnya, sehingga perlu dijabarkan kedalam beberapa kompetensi dasar,

yang sesungguhnya merupakan tahapan kemampuan dan atau beberapa

kemampuan sebagai dasar untuk mencapai standar kompetensi yang telah

ditetapkan.

b. Merumuskan Indikator Capaian

Indikator capaian merupakan jabaran capaian dari kompetensi dasar.

Indikator capaian ini dijabarkan secara spesifik dan bertahap mulai dari yang

paling bersifat kognitif sampai ke tingkat aplikatif dan atau kemampuan nyata

yang dapat diamati, diukur serta jelas ukurannya atau cirinya.

c. Pengalaman yang Diperoleh

Untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah

ditetapkan, perlu ada pengalaman belajar yang diperoleh oleh kelompok

sasaran, sehingga penguasaan dan kemampuan dan atau kompetensi yang

dimiliki bersifat aplikatif dan kontekstual sesuai dengan kondisi dan

permasalahan kelompok sasaran. Dengan perolehan pengalaman ini

kelompok sasaran dapat menerapkan kemampuan yang dimilikinya dalam

kehidupan nyata berkaitan dengan pemberdayaan yang dilakukan.

32 | P a g e

Page 33: Fix Complete

d. Penentuan Materi

Indikator capaian dan kompetensi akan dapat dicapai bila dalam kegiatan

pemberdayaan jelas materi atau bahan pembelajaran yang akan diberikan

dan dibahas dalam kegiatan pemberdayaan. Dari materi ini kelompok sasaran

memperoleh pengetahuan, pengalaman dan sebagainya untuk

pengembangan kapasitas dan kemampuannya baik secara individu maupun

kelompok.

Kompetensi yang Dikembangkan Dalam Kurikulum

Pengembangan kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir mencakup

empat (4) kompetensi. Keempat kompetensi yang dimaksud adalah (1) Kompetensi

pengenalan diri; (2) Kompetensi pengenalan kesempatan dan peluang; (3)

Kompetensi pengembangan potensi dan kemampuan diri membangun

matapencaharian yang berkelanjutan; (4) Kompetensi membangun relasi

kekuasaan yang setara dengan pemegang kepentingan lainnya dalam struktur

pengambilan keputusan di masyarakat, baik oleh lembaga informal maupun

lembaga formal. Keempat kompetensi ini perlu dibangun dan dikembangkan pada

subyek sasaran yakni masyarakat pesisir, perempuan dan laki-laki yang hendak

diberdayakan. Pengembangan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan

sampai kelompok sasaran mampu untuk membangun kondisi penghidupan yang

lebih baik pada unit yang terkecil, yakni keluarga sampai pada lingkup sosial

masyarakat yang lebih luas, termasuk relasi dengan pengambil kebijakan.

Kompetensi pengenalan diri merupakan kompetensi yang paling mendasar

atau awal yang perlu dikembangkan pada kelompok sasaran dengan maksud agar

kelompok sasaran mengenal tentang kebutuhan dan kepentingannya dalam

pemberdayaan masyarakt pesisir, termasuk cita-cita dan harapannya. Disamping

itu, juga ditumbuhkan kemampuan untuk memetakan potensi dan kemampuan diri

serta komunitas (kolektif) dan sumberdaya yang dimiliki berkait dengan nilai,

pengetahuan, keterampilan, motivasi, spirit dan kepercayaan diri dan kolektif dalam

pemberdayaan masyarakat pesisir. Kompetensi pengenalan kesempatan dan

peluang dimaksudkan mengembangkan kemampuan kelompok sasaran dalam

memetakan dan melihat peluang dan tantangan yang ada serta menentukan

strategi dan cara untuk mengisi dan memanfaatkan peluang yang ada.

Kompetensi pengembangan potensi dan kemampuan diri dan kolektif

dimaksudkan upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kemampuan,

pengetahuan, keterampilan yang berkait dengan potensi dan kemampuan yang

33 | P a g e

Page 34: Fix Complete

dimiliki sehingga mampu menentukan dan mengambil keputusan guna memperbaiki

penghidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat pesisir secara individu, keluarga

dan kolektif. Kompetensi membangun relasi adalah kemampuan yang dimiliki

individu, keluarga dan kolektif masyarakat pesisir dalam struktur pengambilan

keputusan dalam masyarakat oleh lembaga informal dan lembaga formal yang

berimplikasi pada kehidupan mereka.

Panduan pengembangan kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir

menjadi acuan dalam pemberdayaan melalui pendidikan nonfomal. Pengembangan

kurikulumhendaknya memperhatikan beberapa aspek penting, yaitu sosial

masyarakat yang beragam, partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat pesisir

dan kapasitas yang berorientasi produktif untuk mengatasi partikularisme dan

ketimpangan dalam masyarakat. Panduan ini ditujukan kepada institusi/lembaga

yang hendak melakukan pemberdayaan masyarakat pesisir untuk dijadikan sebagai

rambu-rambu dan acuan dalam penyusunan kurikulumnya. Pengembangan

kurikulum pemberdayaan ini selain mengacu pada panduan juga tetap

memperhatikan kebutuhan, kepentingan, potensi dan peluang yang ada pada

kelompok sasaran masing-masing yang spesifik.

C. Sejarah Terjadinya Pencemaran Wilayah Pesisir

Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi

sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan

memberikan sumbangan yang berarti, baik bagi peningkatan taraf hidup masyarakat

maupun sebagai penghasil devisa negara yang sangat penting. Aktifitas

perkonomian yang dilakukan di kawasan pesisir diantaranya adalah kegiatan

perikanan (tangkap dan budidaya), industri dan pariwisata.

Selain dimanfaatkan untuk kegiatan perekonomian, wilayah pesisir juga

digunakan sebagai tempat membuang limbah dari berbagai aktifitas manusia, baik

dari darat maupun di kawasan pesisir itu sendiri. Kegiatan ini memberikan dampak

yang tidak diharapkan dari kondisi biofisik pesisir yang dikenal sangat peka

terhadap perubahan lingkungan. Salah satu jenis perairan yang akan terkena

dampak adalah perairan estuaria. tempat pertemuan antara perairan laut dan

perairan darat. Namun wilayah pesisir juga kerap mendapat tekanan ekologis

berupa pencemar yang bersumber dari aktifitas manusia. Melimpahnya bahan

pencemar tersebut di wilayah pesisir merupakan ancaman yang serius terhadap

kelestarian perikanan laut. Menurut Dahuri (1996) akumulasi limbah yang terjadi di

wilayah pesisir, terutama diakibatkan oleh tingginya kepadatan populasi penduduk

34 | P a g e

Page 35: Fix Complete

dan aktifitas industri. Kondisi seperti ini disinyalir juga terjadi di perairan muara

Sungai Kampar.

Muara Sungai Kampar merupakan gabungan dari beberapa aliran sungai

besar dan anak sungai yang terdapat di Provinsi Riau. Aliran air yang masuk ke

muara Sungai Kampar mengindikasikan banyak mengandung bahan pencemar. Hal

ini terjadi karena di sepanjang sungai yang mengalir ke muara Sungai Kampar

terdapat banyak pabrik-pabrik atau kegiatan industri yang beroperasi dan

membuang limbahnya ke sungai. Pabrik yang paling besar masuk ke aliran Sungai

Kampar adalah jenis pabrik kertas yaitu PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper).

Masuknya bahan pencemar ke dalam perairan muara sungai ini akan

mengakibatkan terjadinya kerusakan pada berbagai organ tubuh, bahkan bukan

tidak mungkin dapat mengakibatkan kematian serta mengakibatkan spesies tertentu

yang rentan terhadap bahan pencemar menjadi hilang/punah sehingga spesies ikan

yang dijumpai menjadi berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahuri dan

Arumsyah (1994) bahwa masuknya bahan pencemar ke dalam perairan dapat

mempengaruhi kualitas perairan. Apabila bahan yang masuk ke perairan melebihi

kapasitas asimilasinya, maka daya dukung lingkungan akan menurun. Sehingga

menurun pula nilai perairan dan peruntukan lainnya.

Bahan pencemar yang masuk ke muara sungai dan estuari akan tersebar

dan akan mengalami proses pengendapan, sehingga terjadi penyebaran zat

pencemar. Besar kecilnya nilai kisaran dari parameter terukur tergantung dari

volume air pengencer, toksisitas/intensitas bahan pencemar, iklim, kedalaman, arus,

topografi dan geografi, sehingga terjadi perubahan sifat fisik, kimia dan biologi dan

ketiganya akan saling berinteraksi. Apabila salah satu faktor terganggu atau

mengalami perubahan akan berdampak pada ekologi perairan.

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan

batas kearah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang

masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut,

perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas. Wilayah pesisi

juga merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau

dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir memeliki dua macam batas

(boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak lurus

terhadap garis pantai (crossshore).

Batas wilayah pesisir kearah laut mencakup bagian atau batas terluar

daripada daerah paparan benua (continental shelf) dimana cirri-ciri perairan ini

masih dipengaruhi oleh prose salami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan

35 | P a g e

Page 36: Fix Complete

aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat

seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Bila diperhatikan batasan wilayah

pesisir terbagi menjadi dua subsistem, yaitu daratan pesisir (shoreland), dan

perairan pesisir (coastal water), keduanya berbeda tetapi saling berinteraksi.

Secara ekologis daratan pesisir sangat kompleks dan mempunyai nilai

sumberdaya yang tinggi. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah sistem

perairan pesisir dan pengaruhnya terhadap daya dukung (carrying capacity)

ekosistem wilayah pesisir. Pengaruh daratan pesisir terhadap perairan pesisir

terutama terjadi melalui aliran air (runoff).

Perairan pesisir secara fungsional terdiri dari perairan estuaria (estuaria

regime), perairan pantai (nearshore regime), dan perairan samudera (oceanic

regime). Perairan estuaria adalah suatu perairan pesisir yang semi tertutup, yang

berhubungan bebas dengan laut, sehingga dengan demikian estuaria dipengaruhi

oleh pasang surut, dan terjadi pula percampuran yang masih dapat diukur antara air

laut dengan air tawar yang bersal dari drainase daratan (Odum, 1971). Perairan

pantai meliputi laut mulai dari batas estuaria kea rah laut sampai batas paparan

benua atau batas territorial. Sedangkan perairan samudera, semua perairan ke arah

laut terbuka dari batas paparan benua atau batas territorial.

Klasifikasi wilayah pesisir menurut komunitas hayati yaitu (1) ekosistem

litoral yang terdiri dari pantai pasir dangkal, pantai batu, pantai karang, pantai

lumpur, (2) hutan payau, (3) vegetasi terna rawa payau, (4) hutan rawa air tawar,

dan (5) hutan rawa gambut.

Wilayah pesisir adalah wilayah interaksi antara laut dan daratan yang

merupakan 15 % daratan bumi. Wilayah ini sangat potensial sebagai modal dasar

pembangunan Indonesia sebagai tempat perdagangan dan transportasi, perikanan,

budidaya perairan, pertambangan serta pariwisata.. Wilayah pesisir Indonesia

sangat potensial pula untuk dikembangkan bagi tercapainya kesejahteraan umum

apabila pengelolaannya dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan,, dengan

memperhatikan faktor-faktor yang berdampak terhadap lingkungan pesisir.

Diposaptono (2001:8-14) membagi penyebab kerusakan pesisir menjadi

dua, yaitu: kerusakan karena faktor alam dan kerusakan akibat antropogenik

• Kerusakan karena Faktor Alam

Kerusakan yang diakibatkan oleh wilayah pesisir yaitu faktor alam adalah

gempa, tsunami, badai, banjir, el-Nino, pemanasan, predator, erosi. Kerusakan

yang diakibatkan oleh faktor alam dapat terjadi secara alami ataupun akibat campur

tangan manusia hingga mengakibatkan bencana alam. Bencana alam berupa

36 | P a g e

Page 37: Fix Complete

tsunami sering memakan korban yang tidak sedikit dan menimbulkan kerusakan di

daerah pesisir akibat gelombang laut yang ditimbulkan oleh suatu gangguan

impulsif yang terjadi pada medium laut.

Masalah banjir di Indonesia lebih sering disebabkan oleh manusia. Contoh-

contoh penyebabnya, yaitu: pengembangan kota yang tidak mampu atau tidak

sempat membangun sarana drainase, adanya bangunan-bangunan liar di sungai,

sampah yang dibuang di sungai, penggundulan di daerah hulu dan perkembangan

kota di daerah hulu. Masalah erosi yang terjadi dapat pula disebabkan oleh proses

alami, aktivitas manusia ataupun kombinasi keduanya.

• Kerusakan Akibat Antropogenik

Perilaku manusia banyak dipengaruhi oleh etika antroposentrisme.

Antroposentrisme ini merupakan simbol kerakusan manusia yang tidak hanya

bersifat individual tetapi dapat bersifat kolektif. Seiring dengan berkembangnya ilmu

pengetahuan maka muncul indutrialisasi yang kini marak dilakukan. Manusia tidak

hanya memanfaatkan alam sebatas keperluannya tetapi kini manusia telah

memanfaatkannya melebihi yang dibutuhkannya. Hal ini berarti manusia

mengeksploitasi alam dan lingkungan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-

banyaknya tanpa berpikir panjang terhadap dampak yang akan terjadi. Dampak

akibat aktivitas tersebut dapat merusak sumber daya alam khususnya dalam hal ini

ekosistem pesisir.

Aktivitas manusia pun dapat menimbulkan pencemaran yang mengancam

ekosistem. Pencemaran-pencemaran tersebut dapat menimbulkan kerusakan fisik

yang fatal di daerah pesisir. Miller (2004) dalam Mukhtasor (2007:7),“pencemaran

adalah sebarang penambahan pada udara, air dan tanah, atau makanan yang

membahayakan kesehatan, ketahanan atau kegiatan manusia atau organisme

hidup lainnya”. Undang-Undang No.23 Tahun 1997 dalam Mukhtasor (2007:7),

“pencemaran adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,

dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga

kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tersebut

tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya”. Hal ini berarti, pencemaran tidak

hanya dapat merusak tatanan ekosistem pesisir tetapi juga dapat membahayakan

kesehatan manusia serta dapat mematikan makhluk hidup yang memanfaatkan

sumber daya pesisir yang telah tercemar tersebut.

Pertumbuhan jumlah penduduk yang mendiami wilayah pesisir dan

meningkatnya kegiatan pariwisata juga akan meningkatkan jumlah sapah dan

kandungan bakteri yang dapat menyebabkan berbagai kerugian bagi lingkungan

37 | P a g e

Page 38: Fix Complete

pesisir. Penggunaan pupuk untuk menyuburkan areal persawahan di sepanjang

Daerah Aliran Sungai yang berada di atasnya serta kegiatan-kegiatan industri di

darat yang membuang limbahnya ke dalam badan sungai yang kemudian terbawa

sampai ke laut melalui wilayah pesisir. Hal ini akan menperbesar tekanan ekologis

wilayah pesisir. Sumber pencemaran yang berasal dari limbah industri dan kapal-

kapal di sepanjang wilayah pesisir umumnya mengandung logam berat. Kandungan

logam berat diperairan diperkirakan akan terus meningkat dan akan mengakibatkan

terjadinya erosi dan pencucian tanah, masuknya sampah industri dan pembakaran

bahan baker fosil ke perairan dan atmosfer, serta pelepasan sedimentasi logam dari

lumpur aktif secara langsung.

Selain hal-hal di atas, dengan semakin besar dan banyaknya aktivitas

perekonomian yang dilakukan di wilayah pesisir dan lautan, seringkali pula

menimbulkan pengaruh dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungan wilayah

pesisir misalnya (Dahuri 2001):

• Perkapalan dan transportasi: tumpahan minyak, air ballast limbah padat

dan kecelakaan.

• Pengilangan minyak dan gas : tumpahan minyak, pembongkaran bahan

pencemar, konversi kawasan pesisir.

• Perikanan: overfishing, destruksi habitat, pencemaran pesisir, pemasaran

dan distribusi, modal dan tenaga/ keahlian

• Budidaya perairan : ekstensifikasi dan konversi mangrove.

• Kehutanan: penebangan dan konversi hutan.

• Pertambangan: penambangan pasir dan terumbu karang

• Industri: reklamasi dan pengerukan tanah.

• Pariwisata: pembangaunan infrastruktur dan pencemaran.

Sejarah terjadinya pencemaran keanekaragaman hayati

Sejarahnya dimulai ketika bagian benua selatan Gondwana retak dan

terapung ke utara pada sekitar 140 juta tahun yang lalu (tyl) (ujung Yura).

Tumbuhan berbunga telah mulai berevolusi pada saat Benua Gondwana

terdisintegrasi. Baik flora maupun fauna dapat mencapai Nusantara tanpa perlu

menyeberangi air melalui tiga rute : Laurasia, Gondwana via Australia, atau

Gondwana via India kemudian diikuti migrasi ke tenggara. Beberapa kelompok

fauna pada saat itu pun bisa terisolasi dan tetap keadaannya seperti ditemukan

sekarang. Pada 55 juta tahun yang lalu (Eosen), pecahan fragmen Gondwana

membentur Laurasia. Sekitar 40 juta tyl, fragmen Asia Tenggara (Daratan Sunda)

38 | P a g e

Page 39: Fix Complete

telah mencapai khatulistiwa dan menempati posisi yang sama dengan yang

sekarang.

Migrasi flora dan fauna Laurasia bisa terjadi di Daratan Sunda tanpa

menyeberangi masa air. Migrasi yang sama terjadi juga di zaman Kuarter saat

glasiasi menurunkan muka laut sampai 180 meter. Pada 40 juta tyl itu, juga

benturan fragmen benua Gondwana dan kerak samudera di Lautan Pasifik telah

mengangkat Pegunungan Tengah Papua dan memperluas wilayah Papua. Tentu,

ini akan mempengaruhi spesiasi flora dan fauna.

Benturan berikutnya terjadi pada 15 juta tahun yang lalu (Miosen Tengah)

saat fragmen-fragmen benua Australia/Niugini membentur Sulawesi. Pada masa itu,

fragmen-fragmen Australia membawa flora dan fauna Gondwana dan membentur

flora dan fauna Sulawesi Barat yang telah banyak dikolonisasi biota Laurasia. Garis

batas Wallace (Selat Lombok ke Selat Makasar) adalah salah satu batas

zoogeografi di Bumi yang paling tajam dan paling dramatik yang membatasi zone

kontak antara fauna-fauna Laurasia dan Gondwana. Posisi strategis kewilayahan

Indonesia yang terbagi dalam tiga garis hipotetik berdasarkan kemiripan flora dan

fauna yang direka atas dasar asumsi persamaan asal-usul tipologi kewilayahan,

yakni garis Wallacea-Weber (meliputi daratan Indonesia Bagian Barat dengan flora

dan fauna yang sama dengan Benua Asia), Garis Wallacea (meliputi daratan

Indonesia Bagian Tengah (Sulawesi) yang berbeda dengan wilayah lainnya), dan

Garis Lyedekker (meliputi Indonesia Bagian Timur dengan flora dan fauna yang

sama dengan benua Australia).

Ketiga tipologi kewilayahan tersebut telah menjadikan Negara Indonesia

dikaruniai kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dengan dimilikinya

sekitar 90 tipe ekosistem, 40.000 spesies tumbuhan dan 300.000 spesies hewan,

yang menjadikan Negara Indonesia menduduki perangkat kelima keanekaragaman

hayati di dunia. Dengan potensi keanekaragaman hayati yang melimpah tersebut

merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan ekonomi nasional

dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selama periode Plistosen, semua

pulau di sebelah barat Garis Wallace dihubungkan oleh daratan sampai Asia. Oleh

karenanya pulau2 ini memiliki jenis fauna yang sama. Papua dan Aru di sebelah

timur Garis Wallace berhubungan dengan Australia dengan fauna yang khas

Australia. Di daerah Wallace, yaitu Maluku, Sulawesi dan pulau-pulau Nusa

Tenggara tidak mempunyai hubungan dengan benua-benua di sekitarnya. Maka

daerah Wallace miskin fauna dan flora, tetapi tingkat endemisitasnya (kekhasan)

39 | P a g e

Page 40: Fix Complete

tinggi. Di samping itu, terdapat perpaduan antara biota Asia (Laurasia) dan Australia

(Gondwana).

Kekayaan spesies melalui proses spesiasi dan tingkat endemik flora-fauna

akan ditentukan oleh ukuran pulau, ketinggian, habitat, dan lokasi geografi. Jumlah

spesies di sebuah pulau akan ditentukan oleh luas pulau dan angka perimbangan

kepunahan lokal dan migrasi. Pulau besar punya spesies lebih banyak, pulau

terisolasi punya spesies lebih sedikit. Tingkat endemisitas banyak dipengaruhi oleh

faktor isolasi geografik. Semakin terisolasi semakin endemik. Ketinggian juga

mempengaruhi kelimpahan spesies.

Semakin tinggi spesies semakin berkurang. Dengan menerapkan prinsip-

prinsip di atas dan memahami sejarah geologi (tektonik) suatu wilayah, maka dapat

dipahami dan diprediksi bagaimana kekayaan keanekaragaman hayati wilayah

tersebut. Sejarah geologi akan menentukan jumlah unit biogeografi. Manusia

merupakan salah satu komponen yang dapat mempengaruhi ekosistem. Manusia

dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan produksi komponen biotik

ekosistem, tetapi sebaliknya ulah manusia juga dapat mengganggu keseimbangan

ekosistem. Berikut ini adalah kegiatan-kegiatan manusia yang dapat menurunkan

keanekaragaman hayati. Tingginya keanekargaman hayati yang dimiliki Indonesia

memang dinilai sangat menguntungkan karena banyak di antara jenis hayati yang

ada memiliki manfaat sebagai bahan obat, bahan bangunan, bahan dasar industri,

maupun bahan-bahan lain yang sangat diperlukan baik oleh Indonesia sendiri

maupun oleh negara lain. Jenis-jenis lain yang secara langsung tidak atau kurang

bermanfaat bagi kehidupan manusia pun ternyata sangat penting untuk mendukung

kehidupan jenis hayati yang diperlukan oleh manusia. Keanekaragaman hayati yang

tinggi juga menyebabkan banyak di antara jenis hayati Indonesia memiliki populasi

yang kecil atau daerah sebarannya sangat terbatas (endemis) sehingga menjadi

rawan punah. Selain itu terdapat pula jenis pemangsa puncak, jenis megaherbivora,

jenis-jenis yang berbiak dalam kelompok, dan jenis-jenis yang melakukan migrasi.

- Pengaruh Pembukaan hutan terhadap keanekaragaman hayati

Posisi strategis kewilayahan Indonesia yang terbagi dalam tiga garis

hipotetik berdasarkan kemiripan flora dan fauna yang direka atas dasar asumsi

persamaan asal-usul tipologi kewilayahan, yakni garis Wallacea-Weber (meliputi

daratan Indonesia Bagian Barat dengan flora dan fauna yang sama dengan Benua

Asia), Garis Wallacea (meliputi daratan Indonesia Bagian Tengah (Sulawesi) yang

berbeda dengan wilayah lainnya), dan Garis Lyedekker (meliputi Indonesia Bagian

Timur dengan flora dan fauna yang sama dengan benua Australia). Ketiga tipologi

40 | P a g e

Page 41: Fix Complete

kewilayahan tersebut telah menjadikan Negara Indonesia dikaruniai kekayaan

keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dengan dimilikinya sekitar 90 tipe

ekosistem, 40.000 spesies tumbuhan dan 300.000 spesies hewan, yang menjadikan

Negara Indonesia menduduki perangkat kelima keanekaragaman hayati di dunia.

Dengan potensi keanekaragaman hayati yang melimpah tersebut merupakan

potensi yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan ekonomi nasional dan

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Orang utan terpaksa tidak lagi hidup di

kanopi hutan, tetapi tergusur dari habitat aslinya dan hidup di permukaan tanah

yang sangat kurang akan bahan makanan. Kakinya yang tidak dirancang untuk

berjalan pun terpaksa digunakannya untuk menapak di lantai hutan.

Pembukaan hutan, seperti untuk lahan pertanian, perumahan,

pertambangan dan industri yang disebabkan pertambahan populasi manusia akan

berakibat terhadap keseimbangan ekosistem hutan. Terjadinya penggundulan hutan

akan mengakibatkan banjir. Kegiatan pembukaan hutan akan menghilangkan

beribu-ribu spesies asli yang ada di hutan karena habitatnya telah rusak.

Contohnya, semakin langkanya jalak putih bali karena habitatnya tergusur, dan

menurunnya populasi harimau jawa akibat habitatnya menyempit.

- Pengaruh Eksploitasi sumber daya alam hayati yang berlebihan terhadap

keanekaragaman hayati

Pertambahan populasi manusia yang sangat cepat mengakibatkan

pengambilan sumber daya alam hayati oleh manusia dapat melebihi batas

regenerasi dan reproduksi dari organisme tersebut. Kenyataan semacam itu

menyebabkan kepunahan pada berbagai jenis makhluk hidup, sehingga

menurunkan keanekaragaman hayati. Contohnya perburuan orangutan untuk

membuat obat, gading gajah untuk dikoleksi, perburuan beruang dan ular atau

buaya untuk pembuatan tas maupun jaket kulit.

- Pengaruh Pencemaran lingkungan terhadap keanekaragaman hayati

Peningkatan jumlah pemukiman dan industri akan membawa konsekuensi

terciptanya limbah yang akan mencemari lingkungan baik air, tanah atau udara.

Pencemaran merupakan perubahan lingkungan akibat ulah manusia. Perubahan

lingkungan ini akan memberikan tekanan terhadap makhluk hidup yang akan sangat

membahayakan kelangsungan biodiversitas atau keanekaragaman hayati di

permukaan bumi. Contohnya semakin langkanya jenis-jenis ikan air tawar yang ada

di sungai Ciliwung akibat pencemaran limbah industri, matinya ribuan ikan laut di

Pantai Teluk Jakarta akibat pencemaran limbah industri.

41 | P a g e

Page 42: Fix Complete

- Budidaya monokultur dan dampak negatif rekayasa genetik

Sistem pertanian monokultur yang bertujuan untuk meningkatkan

produktivitas pangan, berpengaruh negatif terhadap jenis-jenis tumbuhan yang

kurang bersifat unggul karena menjadi kurang dibudidayakan sehingga hilang dari

lingkungan dan pada akhirnya menjadi punah. Selain itu, pemanfaatan bibit unggul

yang tahan hama dan penyakit hasil rekayasa genetika juga dapat menyebabkan

erosi plasma nuftah bagi tanaman yang tidak tahan terhadap hama dan penyakit.

Kegiatan-kegiatan yang berdampak negatif ini dapat membahayakan

ekosistem. Contohnya, jika perburuan liar marak terjadi hingga melenyapkan satu

spesies makhluk hidup, predator atau konsumen tingkat tinggi, seperti harimau atau

elang, keseimbangan ekosistem daerah tersebut akan terganggu. Populasi

konsumen tingkat pertama seperti banteng, rusa, dan kelinci akan meningkat.

Bahkan dapat merusak vegetasi hutan karena populasinya tidak terkendali.

Bayangkan, apa yang terjadi jika hutan-hutan di Indonesia habis.

Sejarah terjadinya pencemaran mangrove

Setiap tahun keadaan hutan mangrove di Indonesia semakin lama semakin

mengkhawatirkan. Jika ini dibiarkan terus menerus maka hutan mangrove kita tidak

akan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Dari data yang ada, dapat

digambarkan bahwa kondisi hutan mangrove di Indonesia sedang mengalami

tekanan yang hebat oleh berbagai bentuk kegiatan sehingga menyebabkan

hilangnya hutan mangrove dalam jumlah yang besar. Hal ini tentu sangat merugikan

mengingat hutan mangrove merupakan pelindung pantai dari terjadinya abrasi.

Salah satu kawasan yang terkena dampak dari hilangnya hutan mangrove adalah

kawasan utara pantai Jawa. Kawasan ini mengalami abrasi yang hebat akibat

hilangnya hutan mangrove yang disebabkan oleh berbagai aktifitas manusia.

Sebagian hutan mangrove telah berubah statusnya menjadi lahan-lahan

yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan aspek lingkungan sama sekali.

Salah satu contoh yang paling ironis terjadi di kawasan hutan mangrove yang

sangat terkenal di kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Kawasan yang ditetapkan

sebagai “Suaka Margasatwa” sejak pemerintahan Belanda. dengan nama “Karang

Gading” mempunyai luas sekitar 9.520 Ha. Karang Gading merupakan habitat

berbagai jenis mamalia, burung, reptil, ikan dan hewan tingkat rendah lainnya dan

kawasan ini juga kaya dengan berbagai jenis kerang-kerangan, kepiting, udang dan

berbagai jenis burung. Akan tetapi sekarang kondisinya sudah sangat berbeda,

sebagian kawasan ini hamper gundul akibat penebangan liar dan pembukaan

42 | P a g e

Page 43: Fix Complete

lahan-lahan pertanian. Sekitar 2.000 Ha dari kawasan ini telah berubah menjadi

tambak udang. Ekosistem mangrove merupakan kelompok jenis tumbuhan yang

tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi

istimewa disuatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa

pantai dengan reaksi tanah anaerob.

Menurut Zamroni dan Immy (2008), dalam satu hektar hutan mangrove

berdasarkan kerapatan vegetasi terdapat 480 pohon yang terdiri dari berbagai

macam spesies mangrove dan vegetasi yang lainnya. Luasan hutan mangrove

yang ditemukan di wilayah pesisir pantai Teluk Pising utara Pulau Kabaena adalah

152,128 ha. Hutan mangrove yang ditemukan dilokasi tersebut relatif masih baik

dan didominasi oleh Rhizophora apiculata (Tarigan, 2008) .

Belum ada hutan mangrove yang di lindungi pemerintah, seperti halnya

disampaikan Setyawan dan Kusumo (2006a) dari 20 lokasi hutan mangrove yang di

survei ternyata tidak ada satupun yang sudah ditetapkan sebagai hutan lindung.

Karena kawasan ekosistem mangrove tidak dilindungi pemerintah maka hutan

mangrove sekarang sudah banyak terjadi kerusakan akibat aktivitas masyarakat

sekitar pesisir pantai, seperti pertambangan udang, ikan dan garam, penebangan

vegetasi mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi. Konversi

ekosistem mangrove menjadi tambak merupakan faktor utama penyebab hilangnya

hutan mangrove dunia (Setyawan dan Kusumo, 2006a),

Wetland mangrove di Sidoarjo memiliki tipe dataran pantai yang

merupakan jalur sempit memanjang pantai yang didominasi jenis Rhizopora sp,

Avicennia Sp dan Excoecaria Sp. Untuk area wetland seluas 7.762 m2 frekuensi

kehadiran tertinggi kategori pohon, sapling dan seedling berada di dalam wetland

berkisar 0.45 – 0.55 %. Species yang berada di dalam wetland adalah Avicennia Sp

dengan Kerapatan 64 Ind/Ha dan Basal area 289.65 m2 (Kusumastuti, 2009).

Pada ekosistem alamiah, tegakan mangrove membentuk zonasi sesuai

dengan habitatnya (lumpur berpasir), salinitas dan fluktuasi pasang surut air laut.

Pada masing-masing zonasi dicirikan oleh tumbuh jenis tertentu, yang umumnya

mulai dari pantai hingga kedaratan; daerah yang paling dekat dengan laut, dengan

substrat agak berpasir, sering ditumbuhi Avecennia sp, lebih ke arah darat, hutan

mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai

Bruguiera sp. dan Xylocarpus spp. zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera

sp.zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa

ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya (Waryono,

2002 dan Rochana, 2001 ).

43 | P a g e

Page 44: Fix Complete

Mangrove Sumatera Selatan yang luas kawasannya 558 ribu ha dan non

kawasannya 495 ribu ha, dengan kondisi ± 75 % dalam keadaan rusak berat hingga

rusak ringan (Anwar, 2004), dan realisasi penanaman mangrove selama lima tahun

(1999-2003) hanya mencapai 200 ha.

Terjadi degradasi lingkungan antar lain dalam bentuk abrasi dan akresi

yang mengakibatkan perubahan garis pantai yang di Desa Tanggultlare, Desa

Bulakbaru, dan Desa Panggung. Pengaruh faktor manusia sangat berperan dalam

hal ini karena kegiatan perusakan ekosistem mangrove guna perluasan tambah.

Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem mempunyai berbagai fungsi/

peranan yang dapat dikategorikan kedalam tiga jenis kelompok fungsi, yakni:

(1) fungsi fisik, (2) fungsi biologis/ekologis, dan (3) fungsi ekonomis, yang secara

komprehensif diuraikan dibawah ini.

1. Fungsi Fisik dari Ekosistem Mangrove

• Mengendalikan abrasi pantai

Pengendalian abrasi pantai oleh ekosistem mangrove terjadi melalui

mekanisme pemecahan energi kinetik gelombang air laut dan pengurangan

jangkauan air pasang ke daratan, seperti telah dibuktikan oleh penelitian yang

dilakukan Suryana (1998) di pantai utara pulau Jawa yang mana abrasi pantai relatif

tidak terjadi pada lokasi yang ditumbuhi mangrove dengan lebar ³ 100 m

• Mengurangi tiupan angin kencang dan terjangan gelombang laut

Keberadaan tegakan mangrove secara signifikan dapat mengurangi

kecepatan tiupan angin dan kecepatan arus gelombang air laut (Aksornkoae, 1993).

Dalam hal ini Suryana (1998) melaporkan bahwa daya jangkauan air pasang

berkurang sampai lebih dari 60% pada lokasi dengan lebar hutan mangrove 100 m.

Hasil pengujian model di laboratorium oleh Puslitbang PU (1996) seperti

yang dikutip oleh Istianto, Utomo dan Suranto (2003) menginformasikan bahwa

adanya pengurangan limpasan sebesar 2 % – 5% pada model setara dengan

rumpun prototipe yang memiliki diameter pohon 50 cm dan jarak antara 2.5 m.

Selain itu, diinformasikan bahwa jarak tanam dengan susunan selang-seling

memberikan redaman yang lebih baik dibandingkan dengan susunan kolom baris.

Selanjutnya diinformasikan pula bahwa rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan,

meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam

perubahan tinggi gelombang ketika menjalar melalui rumpun tersebut (Thaha, 2001

dalam Istiyanto, Utomo dan Suranto, 2003). Hasil ini dipertegas oleh penelitian

Pratikto et al. (2002) di Teluk Grajagan, Banyuwangi yang menunjukkan bahwa

keberadaan ekosistem mangrove di daerah tersebut mampu mereduksi energi

44 | P a g e

Page 45: Fix Complete

gelombang sebesar 73 % dan tinggi gelombang sebesar 75 % pada jumlah pohon

sekitar 120 individu.

Fakta menunjukkan bahwa tsunami tidak memberikan kerusakan yang

berarti pada daerah yang memiliki hutan pantai dan hutan mangrove yang lebat di

NAD dan Nias, sedangkan kerusakan berat terjadi pada daerah yang tidak memiliki

hutan mangrove dan hutan pantai yang baik (Onrizal, 2005). Desa Moawo dan

Desa Pasar Lahewa yang terletak di pantai utara Nias merupakan contoh daerah

yang selamat dari terjangan tsunami. Kedua daerah tersebut memiliki hutan

mangrove yang sangat rapat, dimana kerapatannya sekitar 17.000 – 20.700

individu per hektar untuk tumbuhan mangrove berdiameter > 2 cm dan tinggi > 1,5

m dengan lebar mangrove antara pemukiman dan pantai sekitar 200 m atau lebih.

Masyarakat di kedua desa tersebut meyakini bahwa desa mereka selamat dari

tsunami karena terlindung oleh hutan mangrove meskipun pada saat tsunami rumah

mereka terendam air sekitar 2 – 3 m namun airnya tenang.

Pada sisi lain daerah Manrehe dan Sirombu di pantai barat Nias yang

daerahnya telah dikonversi menjadi kebun kelapa dengan jarak tanamnya sekitar 6

x 6 m dan berupa lahan kosong; kerusakannya sangat berat. Hasil survey WI-IP

(2005) dalam Onrizal (2005) mengemukan bahwa di NAD kerusakan berat terjadi

pada pesisir pantai yang tidak memiliki hutan mangrove dan hutan pantai yang

rapat, namun kerusakan sangat sedikit pada daerah yang memiliki hutan pantai

dan hutan mangrove yang lebat. Salah satu contoh adalah desa Ladang Tuha,

Aceh Selatan yang selamat dari terjangan tsunami karena memiliki hutan pantai

yang didominasi oleh pohon cemara yang lebat.

• Menyerap dan mengurani bahan pencemar (polutan) dari badan air baik melalui

penyerapan polutan tersebut oleh jaringan anatomi tumbuhan mangrove maupun

menyerap bahan polutan yang bersangkutan dalam sedimen lumpur (IUCN & E/P

Forum, 1993).

Kemampuan vegetasi mangrove dalam menyerap bahan polutan (dalam

hal ini logam berat) telah dibuktikan oleh Darmiyati et al. (1995), yang mana jenis

Rhizophora mucronata dapat menyerap lebih dari 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, dan 15

ppm Cu. Begitu pula Saepulloh (1995) membuktikan bahwa pada daun Avicennia

marina ditemukan akumulasi Pb sebesar ³ 15 ppm, Cd³ 0,5 ppm, dan Ni ³ 2,4 ppm.

• Mempercepat laju sedimentasi yang akhirnya menimbulkan tanah timbul

sehingga daratan bertambah luas.

Hasil analisis sedimentologi menunjukkan bahwa pada habitat Rhizophora

spp. dan Avicennia spp. kandungan lumpur mencapai 61 %, sedangkan sisanya

45 | P a g e

Page 46: Fix Complete

berupa pasir dan kerikil (Sediadi, 1990). Selanjutnya Suryana (1998) melaporkan

bahwa tanah timbul di pantai utara pulau Jawa hanya dijumpai didepan hutan

mangrove dengan fenomena semakin lebar mangrove semakin lebar pula tanah

timbulnya dengan perimbangan ratio rataan sekitar 5 m tanah timbul per 1 m lebar

mangrove.

• Mengendalikan intrusi air laut

Fungsi ini terjadi melalui mekanisme sebagai berikut :

- Pencegahan pengendapan CaCo3 oleh badan eksudat akar.

- Pengurangan kadar garam oleh bahan organik hasil dekomposisi serasah.

- Peranan fisik susunan akar mangrove yang dapat mengurangi daya jangkauan air

pasang ke daratan.

- Perbaikan sifat fisik dan kimia tanah melalui dekomposisi serasah.

Hilmi (1998) melaporkan bahwa percepatan intrusi air laut di pantai Jakarta

meningkat drastis dari 1 km pada hutan mangrove selebar 0,75 m menjadi 4,24 km

pada lokasi tanpa hutan manrove. Secara teoritis diperkirakan percepatan intrusi air

laut meningkat 2 – 3 kali pada lokasi tanpa hutan mangrove.

2. Fungsi Biologis dari Ekosistem Mangrove

• Tempat tumbuh berbagai jenis tumbuhan dan fauna

Umali et al (1987) dalam Kusmana (1997)melaporkan adanya sekitar 130

jenis tumbuhan yang idup d habitat mangrove, baik berupa major component of

mangrove, minor component of mangrove maupun mangrove associates. Secara

umum hutan mangrove di kawasan Asia-Pasifik didominasi oleh genera Rhizophora,

Bruguiera, Avicennia, dan Sonneratia.

Fauna yang hidup di ekosistem mangrove terdiri atas fauna daratan dan

fauna laut. Fauna daratan, baik yang bersifat temporari maupun permanen menetap

di mangrove, terdiri atas : (a) burung (Anhinga anhinga, Egretta spp, dll), (b)

amphibia (Rana spp), (c) reptilia (Crocodilus porosus, Varanus salvator, dll), (d)

mamalia (Nasalis larvatus, Macaca irus, Presbytis cristus, dll), dan (e) serangga

(Aedes spp, Anopheles spp, Culicoides spp)

Fauna laut terdiri atas : (a) infauna yang hidup di lobang-lobang dalam

tanah yang didominasi oleh Crustaceae dan Bivalvia, (b) epifauna yang

mengembara diatas permukaan tanah yang didominasi oleh Moluska (kerang-

kerangan, Gastropoda) dan kepiting.

• Sebagai tempat asuban (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding

ground) bagi berbagai jenis ikan, krustase dan moluska.

46 | P a g e

Page 47: Fix Complete

Mangrove (disamping padang lamun) merupakan penyedia sumber

makanan (food source) utama bagi berbagai jenis ikan, udang, dan kepiting yang

idup di ekosistem pesisir melalui guguran serasah dari tumbuhan mangrove

(terutama daun) yang mati. Sebagian kecil serasah yang jatuh di lantai hutan akan

langsung dimakan oleh kepiting dan sebagian besar akan didekomposisi menjadi

detritus oleh mikroba yang menjadi sumber makanan bagi detrivora, yang

selanjutnya detrivora tersebut menjadi sumber makanan bagi karnivora. Secara

normal produktivitas mangrove berkisar antara 10,00 ton/ha/th sampai 14,00

ton/ha/th yang mana sekitar 50 % dari serasah tersebut diekspor ke perairan pantai

lepas (Department of Forestry, 1997) dan sekitar 90 % masuk kedalam jaring-jaring

pangan (UNEP, 1985).

Pentingnya mangrove dan padang lamun bagi produktvitas perairan pantai

telah dilaporkan oleh Adam et al (1973) bahwa 75 – 90 % dari berbagai jenis ikan

bergantung pada habitat estuaria untuk menyelesaikan paling sedikit sebagian dari

penyelesaian siklus hidupnya, yang mana sebagian besar food source dari estuaria

tersebut berasal dari mangrove dan padang lamun.

3. Fungsi Ekonomis dari Ekosistem Mangrove

• Fungsi ekonomis dari ekosistem mangrove berasal dari Kayu

Dalam skala komersial, berbagai jenis kayu mangrove dapat digunakan

sebagai : (a) chips, terutama jenis Rhizophora spp dan Bruguiera spp, (b) penghara

industri papan dan plywood terutama jenis Bruguiera spp dan Heritiera littoralis, (c)

scalfold terutama jenis Rhizophora apiculata, Bruguiera spp dan Ceriops spp, dan

(d) kayu bakar dan arang yang berkualitas tinggi terutama dari Rhizophora spp.

• Hasil hutan bukan kayu, seperti madu, obat-obatan, tanin, minuman.

Ikan/udang/kepiting, dll

• Rekreasi seperti halnya hutan rekreasi mangrove di Cilacap, Jawa Tengah.

Sebagai ilustrasi besarnya manfaat ekonomis dari ekosistem mangrove,

pada Tabel 1 disajikan manfaat langsung dari ekosistem mangrove di Batu Ampar

Kalimantan Barat. Tabel 1 menunjukkan bahwa masyarakat lokal mendapatkan

manfaat (pendapatan) yang cukup besar dari ekosistem mangrove dengan efisiensi

usaha diatas 70 % tanpa merusak hutan.

Menghadapi lingkungan yang ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan

beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove

menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan

kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis. Tegakan

47 | P a g e

Page 48: Fix Complete

api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan akar napas yang muncul ke atas lumpur

pantai.

Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona

terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya

gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.)

menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur

untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai

akar lutut (knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar

papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya

pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya.

Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel, lubang

pori pada pepagan untuk bernapas.

Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan

garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti

Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus

air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari

kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang

sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan

terbuang bersama gugurnya daun. Mangrove (disamping padang lamun)

merupakan penyedia sumber makanan (food source) utama bagi berbagai jenis

ikan, udang, dan kepiting yang idup di ekosistem pesisir melalui guguran serasah

dari tumbuhan mangrove (terutama daun) yang mati. Sebagian kecil serasah yang

jatuh di lantai hutan akan langsung dimakan oleh kepiting dan sebagian besar akan

didekomposisi menjadi detritus oleh mikroba yang menjadi sumber makanan bagi

detrivora, yang selanjutnya detrivora tersebut menjadi sumber makanan bagi

karnivora.

Secara normal produktivitas mangrove berkisar antara 10,00 ton/ha/th

sampai 14,00 ton/ha/th yang mana sekitar 50 % dari serasah tersebut diekspor ke

perairan pantai lepas (Department of Forestry, 1997) dan sekitar 90 % masuk

kedalam jaring-jaring pangan (UNEP, 1985).

Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar,

vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam

tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya

penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan mulut

daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga

mengurangi evaporasi dari daun.

48 | P a g e

Page 49: Fix Complete

Sejarah terjadinyan pencemarn terumbu karang

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang amat penting

bagikeberlanjutan sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan, dan

umumnyatumbuh di daerah tropis, serta mempunyai produktivitas primer yang tinggi

(10 kgC/m2/tahun). Tingginya produktivitas primer di daerah terumbu karang ini

menyebabkanterjadinya pengumpulan hewan-hewan yang beranekaragam seperti;

ikan, udang, mollusca,dan lainnya. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan

ditemukan kelompok karang hard coraldengan berbagai tipe yaitu : branching,

tabulate, sub massif, dan lainnya. Jenis ikan karangditemukan sekitar 26 famili

diantaranya famili Chaetodontidae, Pomacentridae dan Labridae.

Aktivitas manusia dalam memanfaatkan potensi sumberdaya terumbu

karang seringtumpang tindih dan bahkan banyak diantara aktivitas tersebut

menyebabkan kerusakanterumbu karang. Pembukaan hutan mangrove sering

menyebabkan penggelontoran sedimenyang tinggi ke perairan karang, lalu lintas

kapal diatas perairan karang dapat menyebabkansmashing karang, demikian pula

aktivitas pariwisata sering menimbulkan dampak terhadapkehidupan karang.

Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka dikhawatirkan ekosistemterumbu

karang akan musnah.

indonesia dikenal sebagai pusat distribusi terumbu karang untuk seluruh

Indo-Pasifik. Terumbu karang yang hidup di perairan Indonesia mencapai 284.300

km2 dan terumbu karang Indonesia mencapai 18 persen terumbu karang di dunia.

Jenis terumbu karang tersebut lebih kurang 354 jenis yang terbagi ke dalam 75

marga. Fakta lain menyebutkan, pendapatan terumbu karang Indonesia mencapai

US$1,6 milyar/tahun, dan pendapatan pelayanan dan sumber dayanya mencapai

61,9 milyar/tahun. Dari 132 jenis ikan yang bernilai ekonomi di Indonesia, 32 jenis di

antaranya hidup di terumbu karang.

Terumbu karang yang sehat menghasilkan 3-10 ton ikan per kilometer

persegi per tahun. Keindahan terumbu karang sangat potensial untuk wisata bahari

Indonesia. Masyarakat di sekitar terumbu karang dapat memanfaatkan hal ini

dengan mendirikan pusat-pusat penyelaman, restoran dan penginapan, sehingga

pendapatan mereka bertambah.@Lihat saja Raja Ampat di Papua, daerah tersebut�

begitu terkenal dan dikunjungi para wisatawan karena terumbu karangnya yang

indah.

Sayangnya, karena ketidakpedulian masyarakat akan pentingnya terumbu

karang bagi kehidupan manusia, sekitar 30 persen terumbu karang di lautan

Indonesia mengalami kerusakan. Tidak hanya di Indonesia, terumbu karang

49 | P a g e

Page 50: Fix Complete

merupakan salah satu ekosistem yang paling terancam rusak di dunia. Perkiraan

terakhir menunjukkan bahwa 10 persen dari terumbu karang dunia telah mengalami

degradasi atau kerusakan.

Beberapa faktor rusaknya terumbu karang di Indonesia disebabkan karena

aktivitas manusia, di antaranya adalah

• Terumbu karang yang hidup di dasar laut merupakan sebuah

pemandangan yang cukup indah. Banyak wisatawan melakukan penyelaman hanya

untuk melihatnya. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka menyentuh bahkan

membawa pulang terumbu karang tersebut. Padahal, satu sentuhan saja dapat

membunuh terumbu karang.

• Membuang sampah ke laut dan pantai yang dapat mencemari air laut.

• Mungkin tidak banyak yang sadar, penggunaan pupuk dan pestisida

buatan pada lahan pertanian turut merusak terumbu karang di lautan. Karena

meskipun jarak pertanian dan bibir pantai sangat jauh, residu kimia dari pupuk dan

pestisida buatan pada akhirnya akan terbuang ke laut melalui air hujan yang jatuh di

lahan pertanian.

• Boros menggunakan air, karena semakin banyak air yang digunakan

semakin banyak pula limbah air yang dihasilkan dan akhirnya mengalir ke laut.

Limbah air tersebut biasanya sudah mengandung bahan kimia.

• Terumbu karang merupakan tujuan wisata yang sangat diminati. Kapal

akan lalu lintas di perairan. Membuang jangkar pada pesisir pantai secara tidak

sengaja akan merusak terumbu karang yang berada di bawahnya.

• Penambangan pasir atau bebatuan di laut dan pembangunan pemukiman

di pesisir turut merusak kehidupan terumbu karang. Limbah dan polusi dari aktifitas

masyarakat di pesisir secara tidak langsung berimbas pada kehidupan terumbu

karang. Selain itu, sangat banyak yang pengambilan karang untuk bahan bangunan

dan hiasan akuarium.

• Masih banyak yang menangkap ikan di laut dengan menggunakan bom

dan racun sianida. Ini sangat mematikan terumbu karang.

• Selain karena kegiatan manusia, kerusakan terumbu karang juga berasal

dari sesama mahkluk hidup di laut. Siput drupella salah satu predator bagi terumbu

karang.

Tidak sedikit yang berjuang untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang,

baik lembaga pemerintah, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat, dengan

cara pemasangan terumbu karang buatan. Terumbu karang buatan adalah bentuk

bangunan atau benda yang diturunkan ke dasar perairan sehingga dapat

50 | P a g e

Page 51: Fix Complete

menyerupai atau berfungsi sebagai habitat ikan. Selain itu, hal terpenting adalah

setiap insan menyadari betapa pentingnya kehidupan terumbu karang untuk kita.

Banyak masyarakat menggantungkan hidupnya dari sana. Dengan demikian kita

bersama-sama menjaga kehidupan terumbu karang. Pemetaan zona penangkapan

ikan harus segera diberlakukan, tidak menggunakan alat peledak dan racun ketika

menangkap ikan, dan mengurangi algae yang hidup bebas di dalam air.

Kerusakan yang diakibatkan oleh manusia itulah yang coba diminimalkan

saat ini. Itu dengan akan diusulkannya regulasi tentang overfishing dan juga akan

diusulkan satu daerah yang mana tidak dibolehkan nelayan menangkap ikan.

Seperti yang diungkapkan Sekretaris Eksekutif Coral Reef Rehabilitation and

Management Program II (COREMAP II), Jamaluddin Jompa. Dikatakannya, saat ini

pihaknya tengah bekerja keras guna meminimalisir pengrusakan terumbu karang

akibat ulah manusia. Upaya ini dilakukan dengan harapan kekayaan laut ini bisa

terjaga dengan baik.

“ Tentunya hal itu dilakukan dengan pendekatan dan juga penegakan

hukum. Dan khusus untuk overfishing, ini akan kita perjuangkan agar juga nantinya

ada regulasi yang bisa mengatur,” ujarnya kepada Indonesia Maritime Magazine.

Jamaluddin menyebutkan bahwa kerusakan karang di Indonesia sangat

jelas. Menurut data Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Tahun 2009 saja,

tercatat kalau luas terumbu karang Indonesia 70.000 kilo meter persegi yang masih

dalam kondisi sangat baik hanya 5,5 persennya saja. Hal itu menunjukkan

penurunan yang signifikan dari 2000 lalu yang mana pada tahun itu terumbu karang

yang kondisinya sangat baik mencapai 6,2 persen.

“Data LIPI 2009 juga me¬nye¬but¬kan kalau terumbu karang yang

kondisinya baik mencapai 26 persen, cukup baik 37 persen dan yang sudah

mengalami kehancuran sebanyak 31,5 persen. Kenyataan itulah yang nampak saat

ini dan diprediksikan bakal akan terjadi lagi kerusakan-kerusakan pada terumbu

karang ke depannya,” bebernya.

Di samping ulah jahil tangan manusia, tutur Jamaluddin, yang menjadi

ancaman terum¬bu karang ke depannya adalah pemanasan global yang

berdam¬pak pada perubahan iklim atau yang disebut dengan climate change dan

juga ancaman lainnya seperti sidemantasi, pencemaran laut, serta sampah.

Padahal, kerusakan terumbu karang saat ini yang mencapai 31,5 persen sangat

sulit untuk dilakukan pemulihan. Apalagi pertumbuhan karang sangat lambat dan

areal yang hancur sangat luas.

51 | P a g e

Page 52: Fix Complete

“Dalam pemulihan kembali sekaitan dengan karang itu tak bisa dilakukan

penanaman ulang seperti layaknya hutan. Karena pertumbuhan karang sangat

lambat,” tuturnya. Untuk itu, lanjut Jamaluddin, saat ini COREMAP II mengupayakan

untuk mempertahankan terumbu karang yang kondisinya masih sangat baik.

Sementara adanya ide untuk penanaman baru karang tak menjadi program mereka,

di mana hal itu membutuhkan biaya yang cukup tinggi.

“Kalau ada yang menginginkan agar dilakukan saja penanaman kembali

terumbu karang, itu hal yang sangat sulit. Tapi, kita biarkanlah karang yang rusak itu

tumbuh kembali dengan sendirinya oleh proses alam. Itu lebih baik ketimbang jika

hendak dilakukan penanaman karang,” katanya.

Tindakan penyelamatan juga tengah dilakukan Komisi IV DPR. Salah

satunya, dengan menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan yang

nantinya diharpakan akan mengatur sanksi hukum terkait pengrusakan ekosistem

laut dan juga tingkah nelayan Indonesia yang sangat gemar melakukan

penangkapan ikan secara berlebih, serta pengambilan karang untuk bahan

bangunan. Berbagai kegiatan manusia seringkali menjadi faktor-faktor yang

mengancam kelestarian terumbu karang. Dengan mempelajari setiap dampak yang

mingkin timbul, kita dapat mencegah atau menghindari kegiatan semacam itu.

Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di

perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22oC), memiliki kadar CaCO3

(Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan

karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh

organisme karang (filum Scnedaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia),

alga berkapur, dan organisme lain yang mengeluarkan CaCO3 (Guilcher, 1988).

Arah perkembangan terumbu organik dikontrol oleh keseimbangan ketiga

faktor yaitu hidrologis, batimetris, dan biologis. Jika ketiga faktor

seimbang, terumbu berkembang secara radial dan akan terbentuk terumbu paparan

dan apabila pertumbuhan ini berlanjut akan terbentuk terumbu pelataran bergoba.

Namun jika perkembangan radial dibatasi oleh kondisi batimetri akan terbentuk

terumbu paparan lonjong. Terumbu yang terakhir ini tidak membentuk lagun yang

benar dan depresi menyudut merupakan penyebaran pasir. Sedangkan terumbu

paparan dinding terbentuk pada kondisi batimetris dan hidrologis tidak simetris, di

mana perkembangan terumbu terbatas pada satu atau dua arah. Kondisi ini akan

menghasilkan perkembangan terumbu secara linier, dan membentuk terumbu

dinding berupa terumbu dinding tanduk dan terumbu dinding garpu. Terbentuknya

52 | P a g e

Page 53: Fix Complete

terumbu dinding garpu ini menunjukkan adanya arus pasang surut yang kuat.

(Zuidam, 1985).

Terumbu karang dapat berkembang dan membentuk suatu pulau kecil.

Dari lima jenis pulau yaitu Pulau Benua (Continental Islands), Pulau Vulkanik

(Volcanic Islands), Pulau Daratan Rendah (Low Islands) , Pulau Karang Timbul

(Raised Coral Islands), dan Pulau Atol (Atolls), dua yang terakhir terbentuk dari

terumbu karang. Di sisi lain, dari sepuluh jenis bentuklahan (Zuidam, 1985, dan F-G

UGM & Bakosurtanal, 2000), terumbu karang adalah salah satunya. Bentuklahan

(landforms) ini adalah bentuklahan organik yaitu berupa binatang. Bentuk lain yang

berhubungan dengan terumbu karang adalah bentuklahan karst, yaitu terbentuk

melalui proses karstifikasi pada batuan kalsium karbonat. Namun bentuklahan karst

ini terbentuk secara alami melalui proses eksogenik dan endogenik dan

berlangsung pada skala besar (Thornbury, 1954). Sedangkan terumbu karang

terbentuk secara organik dan relatif perlahan sehingga lebih dimungkinkan adanya

campur tangan manusia dalam pertumbuhannya. Hasil identifikasi bentuklahan

mencerminkan karakteristik fisik lahan dan untuk mendapatkannya dengan melalui

analisis geomorfologis. Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan

dan proses-proses yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan

timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan

keruangan (Zuidam, 1985).

Trumbu karang mempunyai fungsi yang amat penting bagi kehidupan

laut. Fungsi-fungsi tersebut diantaranya:

1. Sebagai Spawning Ground dan Nursery Ground. Secara alami, terumbu

karang merupakan habitat bagi banyak spesies laut untuk melakukan pemijahan,

peneluran,

pembesaran anak, makan dan mencari makan (feeding & foraging), terutama

bagi sejumlah spesies yang memiliki nilai ekonomis penting.

2. Sebagai pelindung sempadan pantai, dan ekosistem pesisir lain

(padang lamun dan hutan mangrove) dari terjangan arus kuat dan gelombang

besar.

Kerusakan terumbu karang memang dapat diakibatkan faktor alam.

Misalnya hempasan ombak yang mematahkan karang atau berbagai jenis ikan dan

hewan laut yang memangsa karang. Akan tetapi, regenerasi dan pertumbuhan

karang yang sehat dapat menggantikan kerusakan ini.

Faktor yang dapat merusak terumbu karang diantaranya adalah :

a. Pengendapan kapur

53 | P a g e

Page 54: Fix Complete

Pengendapan kapur dapat berasal dari penebangan pohon yang dapat

mengakibatkan pengikisan tanah (erosi) yang akan terbawa kelaut dan menutupi

karang sehingga karang tidak dapat tumbuh karena sinar matahari tertutup oleh

sedimen.

b. Aliran air tawar

Aliran air tawar yang terus menerus dapat membunuh karang, air tawar

tersebut dapat berasal dari pipa pembuangan, pipa air hujan ataupun limbah pabrik

yang tidak seharusnya mengalir ke wilayah terumbu karang.

c. Berbagai jenis limbah dan sampah

Bahan pencemar bisa berasal dari berbagai sumber, diantaranya adalah

limbah pertanian, perkotaan, pabrik, pertambangan dan perminyakan.

d. Pemanasan suhu bumi

Pemanasan suhu bumi dikarenakan pelepasan karbon dioksida (CO2) ke

udara. Tingginya kadar CO2 diudara berpotensi meningkatan suhu secara global.

yang dapat mengakibatkan naik nya suhu air laut sehingga karang menjadi memutih

(bleaching) seiring dengan perginya zooxanthelae dari jaringan kulit karang, jika

terjadi terus menerus maka pertumbuhan terumbu karang terhambat dan akan mati.

e. Uji coba senjata militer

Pengujian bahan peledak dan nuklir di laut serta kebocoran dan buangan

reaktor nuklir menyebabkan radiasi di laut, bahan radio aktif tersebut dapat bertahan

hingga ribuan tahun yang berpotensi meningkatkan jumlah kerusakan dan

perubahan genetis (mutasi) biota laut.

f. Penambangan dan pengambilan karang

Pengambilan dan penambangan karang umumnya digunakan sebagai

bahan bangunan. Penambangan karang berpotensi menghancurkan ribuan meter

persegi terumbu dan mengubah terumbu menjadi gurun pasir bawah air.

g. Penambatan jangkar dan berjalan pada terumbu

Nelayan dan wisatawan seringkali menambatkan jankar perahu pada

terumbu karang. Jangkar yang dijatuhkan dan ditarik diantara karang maupun

hempasan rantainya yang sangat merusak koloni karang.

h. Serangan bintang laut berduri

Bintang laut berduri adalah sejenis bintang laut besar pemangsa karang

yang permukaanya dipenuhi duri. Ia memakan karang dengan cara manjulurkan

bagian perutnya ke arah koloni karang, untuk kemudian mencerna dan

membungkus polip-polip karang dipermukaan koloni tersebut.

i. Pemanfaatan sumber daya laut secara berlebihan.

54 | P a g e

Page 55: Fix Complete

Adanya beberapa jenis biota laut diterumbu bisa jadi merupakan faktor

penentu kesehatan dan faktor penentu kesehatan dan kelangsungan hidup koloni

karang.

Terumbu karang, selain berfungsi untuk kembangbiak ikan, pelindung

pantai dari erosi dan abrasi, juga bermanfaat untuk sektor pariwisata. Terumbu

karang merupakan sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir dan 60

persen penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir.

Indonesia dikenal sebagai pusat distribusi terumbu karang untuk seluruh

Indo-Pasifik. Terumbu karang yang hidup di perairan Indonesia mencapai 284.300

km2 dan terumbu karang Indonesia mencapai 18 persen terumbu karang di dunia.

Jenis terumbu karang tersebut lebih kurang 354 jenis yang terbagi ke dalam 75

marga. Fakta lain menyebutkan, pendapatan terumbu karang Indonesia mencapai

US$1,6 milyar/tahun, dan pendapatan pelayanan dan sumber dayanya mencapai

61,9 milyar/tahun. Dari 132 jenis ikan yang bernilai ekonomi di Indonesia, 32 jenis di

antaranya hidup di terumbu karang.

Terumbu karang yang sehat menghasilkan 3-10 ton ikan per kilometer

persegi per tahun. Keindahan terumbu karang sangat potensial untuk wisata bahari

Indonesia. Masyarakat di sekitar terumbu karang dapat memanfaatkan hal ini

dengan mendirikan pusat-pusat penyelaman, restoran dan penginapan, sehingga

pendapatan mereka bertambah.@Lihat saja Raja Ampat di Papua, daerah tersebut�

begitu terkenal dan dikunjungi para wisatawan karena terumbu karangnya yang

indah.

Sayangnya, karena ketidakpedulian masyarakat akan pentingnya

terumbu karang bagi kehidupan manusia, sekitar 30 persen terumbu karang di

lautan Indonesia mengalami kerusakan. Tidak hanya di Indonesia, terumbu karang

merupakan salah satu ekosistem yang paling terancam rusak di dunia. Perkiraan

terakhir menunjukkan bahwa 10 persen dari terumbu karang dunia telah mengalami

degradasi atau kerusakan. Beberapa faktor rusaknya terumbu karang di Indonesia

disebabkan karena aktivitas manusia, di antaranya adalah:

1. Terumbu karang yang hidup di dasar laut merupakan sebuah pemandangan yang

cukup indah. Banyak wisatawan melakukan penyelaman hanya untuk melihatnya.

Sayangnya, tidak sedikit dari mereka menyentuh bahkan membawa pulang terumbu

karang tersebut. Padahal, satu sentuhan saja dapat membunuh terumbu karang.

2. Membuang sampah ke laut dan pantai yang dapat mencemari air laut.

3. Mungkin tidak banyak yang sadar, penggunaan pupuk dan pestisida buatan pada

lahan pertanian turut merusak terumbu karang di lautan. Karena meskipun jarak

55 | P a g e

Page 56: Fix Complete

pertanian dan bibir pantai sangat jauh, residu kimia dari pupuk dan pestisida buatan

pada akhirnya akan terbuang ke laut melalui air hujan yang jatuh di lahan pertanian.

4. Boros menggunakan air, karena semakin banyak air yang digunakan semakin

banyak pula limbah air yang dihasilkan dan akhirnya mengalir ke laut. Limbah air

tersebut biasanya sudah mengandung bahan kimia.

5. Terumbu karang merupakan tujuan wisata yang sangat diminati. Kapal akan lalu

lintas di perairan. Membuang jangkar pada pesisir pantai secara tidak sengaja akan

merusak terumbu karang yang berada di bawahnya.

6. Penambangan pasir atau bebatuan di laut dan pembangunan pemukiman di

pesisir turut merusak kehidupan terumbu karang. Limbah dan polusi dari aktifitas

masyarakat di pesisir secara tidak langsung berimbas pada kehidupan terumbu

karang. Selain itu, sangat banyak yang pengambilan karang untuk bahan bangunan

dan hiasan akuarium.

7. Masih banyak yang menangkap ikan di laut dengan menggunakan bom dan

racun sianida. Ini sangat mematikan terumbu karang.

8. Selain karena kegiatan manusia, kerusakan terumbu karang juga berasal dari

sesama mahkluk hidup di laut. Siput drupella salah satu predator bagi terumbu

karang.

D. Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut akibat Aktifitas Manusia

Wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan pesisir sangat penting

artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini bukan hanya merupakan

sumber pangan yang di usahakan melalui kegiatan perikanan dan pertanian, tetapi

merupakan pula lokasi bermacam sumber daya alam, seperti mineral, gas dan

minyak bumi serta pemandangan alam yang indah, yang dapat di manfaatkan untuk

kesejahteraan manusia, perairan pesisir juga penting artinya sebagai pelayaran

(Pagoray, 2003). Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup.

Komponen yang ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak

kehidupan bagi manusia.

Lingkungan hidup inilah yang menyediakan berbagai sumber daya alam

yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya.

Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam yang berguna bagi

dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya

keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup

(Syahputra, 2007). Sumber daya pesisir merupakan unsur-unsur hayati dan

56 | P a g e

Page 57: Fix Complete

nonhayati yang terdapat di wilayah laut, dimana unsur hayati terdiri atas ikan,

mangrove, terumbu karang, padang lamun dan biota lain beserta ekosistemnya.

Unsur nonhayati terdiri dari sumberdaya di lahan pesisir, permukaan air, di

dalam airnya dan di dasar laut seperti: minyak dan gas, pasir kuarsa, timah dan

karang mati. Sumberdaya hayati yang dimanfaatkan dapat diperbaharui selama laju

regenerasi sumberdayanya masih layak untuk berkembang secara alami. Sedang

substitusi sumberdaya tersebut untuk menggantikan fungsinya (Idris, 2001).

Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin parah, dan dampak dari pola

pengelolaan lingkungan yang salah dan eksploitasi alam yang tidak bertanggung

jawab membuat kondisi semakin memprihatinkan.

Hampir setiap hari berbagai cerita duka akibat rusaknya lingkungan hidup

mewarnai media masa, seperti bencana banjir, tanah longsor, kabut asap, tragedi

lumpur lapindo, dan lain-lain. Seiring dengan itu, muncul pula berita terungkapnya

pembalakan liar, pembakaran hutan, dan pembangunan gedung-gedung atau

proyek lain yang tidak mengindahkan tata letak dan prosedur perizinan dan masih

banyak lagi perilaku yang tidak terpuji yang menyebabkan pencemaran dan

kerusakan lingkungan hidup (Garnasih, 2008).

Masih dalam Garnasih, (2008) Namun ironisnya, permasalahan

penanganan dan penegakan hukum atas perusakan lingkungan hidup justru sangat

lemah. Hukum lingkungan Hidup nyaris tumpul tidak berdaya menghadapi berbagai

perkara kejahatan lingkungan. Permasalahan lingkungan hidup adalah makhluk

hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah

kesatuan ruang dengan sebuah benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,

termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan

perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Bapedal, 1997

dalam Pagoray, 2003).

Kerusakan lingkungan dapat terjadi karena adanya kegiatan (aktivitas)

yang dilakukan oleh menusia maupun karena pengaruh alam. Salah satu akibat

samping dari kegiatan pembangunan di berbagai sektor dan daerah adalah di

hasilkannya limbah yang semakin banyak, baik jumlah maupun jenisnya. Limbah

tersebut telah menimbulkan pencemaran yang merusak fungsi lingkungan hidup

(Tandjung, 1991 dalam Pagoray, 2003).

Kerusakan Lingkungan yang Terjadi di Wilayah pesisir

Jenis Kerusakan Kerusakan yang sangat tampak jelas di wilayah pesisir

Pantai Tambakrejo karena disebabkan akibat dari: Rusaknya ekosistem wilayah

pesisir yang mengakibatkan terumbu karang dan ekosistem diperairan rusak

57 | P a g e

Page 58: Fix Complete

sebagai salah satu akibat yang ditimbulkan dari adanya penggunaan alat tangkap

kompresor. Pembangunan pelabuhan yang berada dekat PPI (Pangkalan

Pendaratan Ikan) yang mengakibatkan habitat ikan, dampak negatif dari

pembangunan pelabuhan salah satunya adalah berkurangnya jenis ikan yang biasa

hidup di perairan pergi karena pembangunan pelabuhan yang mengganggu

perkembangbiakan ikan tersebut. Kurangnya kesadaran masyarakat setempat

didalam menjaga ekosistem perairan khususnya hutan mangrove yang berperan

sangat penting didalam suatu perairan, apabila tidak dijaga kelestariannya dapat

menyebabkan abrasi pantai yang terjadi di suatu perairan.

Penyebab Kerusakan Berdasarkan penelitian, penyebab kerusakan yang

terjadi di wilayah pesisir Pantai Tambakrejo disebabkan antara lain: (1) Faktor Alam,

Penumpukan sampah-sampah berupa ranting pohon di pinggir pantai ketika musim

penghujan tiba diakibatkan karena faktor alam. (2) Aktivitas Manusia, Pengerukan

pasir, yang di lakukan oleh masyarakat dapat menyebabkan penyempitan kawasan

wilayah pesisir Pantai Tambakrejo itu sendiri.

Alasan yang Mendasari Nelayan Merusak Sumber Daya Pesisir Faktor

Ekonomi yang Mendasari Nelayan Merusak Sumber Daya Pesisir Tingkat

perekonomian yang kurang mapan/rendah karena rendahnya tingkat pendidikan

nelayan, sehingga dalam memenuhi kehidupan sehari-hari mengakibatkan nelayan

tidak menyadari telah melakukan kerusakan di lingkungan wilayah pesisirnya. Sifat

dasar nelayan yang boros didalam membelanjakan kebutuhan sehari-hari yang

tidak dipikirkan penting tidaknya barang tersebut dibeli sehingga menyebabkan

pengeluaran yang banyak, hal tersebut mengakibatkan tidak adanya simpanan atau

tabungan untuk kehidupan yang akan datang hal ini juga harus di pahami karena

tingkat pendidikan rendah oleh sebagian besar para nelayan. Masalah ekonomi

yang mendesak nelayan melakukan penangkapan di daerah wilayah pesisir lain

juga menjadi salah satu tuntutan dalam hidup, karena semakin mahalnya kebutuhan

pokok dalam hal ini makanan, pendidikan mau tidak mau harus dipenuhi oleh

kepala rumah tangga.

Apabila nelayan melakukan penangkapan di daerah wilayah pesisir

lainnya, ditakutkan hal tersebut dapat menyebabkan hubungan antara nelayan

wilayah pesisir yang satu dengan yang wilayah pesisir lainnya akan berdampak

tidak baik karena nelayan pendatang yang dirasa melakukan penangkapan di

wilayah pesisirnya mengambil daerah kekuasaan nelayan asli.

Kurangnya Kesadaran Masyarakat Menjaga Lingkungan Wilayah Pesisir

58 | P a g e

Page 59: Fix Complete

Pemakaian kompresor dan alat-alat tangkap yang dapat merusak

sumberdaya laut di Desa Tambakrejo kini sangat memprihatinkan hal tersebut

disebabkan kurangnya kesadaran didalam penjagaan lingkungan wilayah pesisir

dari nelayan karena tingkat pendidikan sebagian besar nelayan sangat rendah,

sehingga dapat mengakibatkan kurang dapat mengendalikan penangkapan yang

ramah lingkungan didalam pengambilan hasil laut yang berlebihan. Kurangnya

kesadaran masyarakat yang memperhatikan pentingnya hutan mangrove didalam

keseimbangan ekosistem di kawasan wilayah pesisir pantai dan dapat juga

mencegah dampak dari terjangan ombak laut yang besar sebagai pemecah ombak.

Kondisi sifat atau watak dari nelayan yang pada dasarnya keras juga

karena nelayan yang masih muda mengenal minum-minuman keras sehingga dari

sifatnya yang keras serta pengaruh dari alkohol yang ada di minuman keras

menambah masalah di Desa Tambakrejo karena dari kebiasaan nelayan yang

masih muda tersebut mengakibatkan terjadinya tawuran antar nelayan. Perilaku

atau aktivitas pada individu atau organisasi tidak timbul dengan sendirinya, tetapi

sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme yang bersangkutan baik

stimulus eksternal maupun stimulus internal. Perilaku individu dapat mempengaruhi

induvidu itu sendiri, di samping itu perilaku juga berpengaruh pada lingkungan.

Demikian pula lingkungan dapat mempengaruhi individu, demikian sebaliknya. Oleh

sebab itu, dalam perspektif psikologi, perilaku manusia (human behaviour)

dipandang sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks

(Bandura, 1977; Azwar, 2003).

Kurangnya kesadaran nelayan karena sibuk mencari nafkah untuk

memenuhi kebutuhan keluarga yang menyebabkan apapun akan dilakukan demi

untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dan kebutuhan keluarga dapat

terpenuhi. Sampai-sampai nelayan tidak menyadari kalau dalam menangkap ikan

menggunakan alat tangkap yang dapat menyebabkan kerusakan dalam

sumberdaya laut terutama pantai Tambakrejo. Pengetahuan Masyarakat Terhadap

Undang- Undang dan Nilai-Nilai Religi Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pengetahuan Masyarakat Terhadap Undang- Undang.

Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan masyarakat di Desa

Tambakrejo terhadap Undang-Undang tentang pemahaman masyarakat terhadap

Undang-Undang disebabkan antara lain:

(1) Meskipun pemerintah dan masyarakat setempat telah berusaha untuk

menjalankan hukum-hukum dari pemerintah tapi ada sebagian nelayan yang masih

tetap menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dalam melakukan

59 | P a g e

Page 60: Fix Complete

penangkapan ikan dan mengambil secara paksa hasil sumberdaya laut. Hal

tersebut sangat meresahkan dalam kelangsungan hidup masyarakat di Desa

Tambakrejo itu sendiri karena makin berkurangnya kekayaan sumberdaya laut yang

dibanggakan terutama di bagian Pantai Selatan Kabupaten Blitar.

(2) Kurangnya kesadaran nelayan dalam keikutsertaan apabila ada penyuluhan dari

pemerintah jawa timur atau Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) karena kegiatan

tersebut sangat penting diketahui bagi nelayan agar mengetahui keuntungan dan

kerugian dalam menjaga kelestarian lingkungan wilayah pesisir. Mungkin tidak

semua perundang-undangan seperti Undang-Undang Tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya diberikan penyuluh kepada nelayan

tetapi hanya yang dianggap penting saja yang diberikan, tapi pada intinya penyuluh

menyampaikan berita tentang pentingnya menjaga wilayah pesisir dan tidak boleh

melakukan penangkapan ekosistem perairan menggunakan alat tangkap yang tidak

ramah lingkungan dan menangkap hasil laut yang berlebihan.

Pengetahuan Masyarakat Terhadap Nilai-Nilai Religi

Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan masyarakat di Desa

Tambakrejo tentang nilai-nilai religi dapat disebabkan antara lain:

(1) Pada dasarnya setiap manusia yang beragama pasti tidak setuju

dengan kebiasaan masyarakat di Desa tersebut yang mengharuskan membuang

sesajen atau mengadakan peringatan 1 Syuro karena hal tersebut dapat

menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dirasakan secara nyata tapi untuk masa

yang akan datang berupa pencemaran laut, walaupun peringatan 1 Syuro ini hanya

adat yang selalu diadakan di pantai-pantai pada umumnya. Selain akan

mempengaruhi lingkungan sumberdaya wilayah pesisir tetapi juga akan menambah

biaya pengeluaran bagi nelayan yang akan digunakan dalam peringatan 1 Syuro,

karena setiap peringatan tersebut yang mempunyai alat tangkap sekoci dikenai

pungutan biaya Rp 200.000,- dalam 1 kapal yang biaya tersebut dipakai untuk

kelangsungan acara peringatan 1 Syuro.

(2) Peringatan 1 Syuro dari tahun ketahun mengalami penurunan karena

ketiadaan dana dalam melaksanakan peringatan tersebut, kebanyakan masyarakat

juga melaksanan peringatan tersebut karena adat pada umumnya di wilayah pantai

dan juga hanya bertujuan untuk membersihkan desa saja. Walaupun di Desa

Tambakrejo ini mempunyai kegiatan keagamaan tetapi yang dibahas hanya

mengenai hubungan antara manusia dan Tuhan dan makhluk yang sudah

meninggal. Pergaulan anak-anak muda di Desa Tambakrejo ini juga perlu

diperhatikan karena maraknya minum-minuman keras sehingga membuat resah

60 | P a g e

Page 61: Fix Complete

para orangtua, sehingga menimbulkan inisiatif dari orangtua untuk menyekolahkan

ke pondok pesantren yang diharapkan agar anak-anaknya tidak melakukan

perbuatan yang dilarang oleh Agama berupa minum-minuman keras. Shalat sangat

penting dan bermanfaat bagi pengontrol ketika kita ingin melakukan perbuatan yang

dilarang oleh Agama. Mendapatkan Rizki yang banyak tidak bisa di lihat apakah kita

melaksanakan peringatan 1 Syuro atau tidak, karena hanya Allah saja yang memiliki

kekuasaan dalam memberikan Rizki yang banyak tergantung pada tingkat kerja

keras manusia itu sendiri dalam mendapatkan Rizki yang halal dan dengan cara

yang baik pula.

(3) Walaupun masyarakat Desa Tambakrejo mengetahui bahwa

sebenarnya Rizki hanya Allah saja yang mengatur tetapi karena sudah menjadi

kebiasaan bagi masyarakat untuk melaksanakan peringatan tersebut sehingga

sebagai masyarakat mesti mau tidak mau harus melaksanakan karena sudah

sangat melekat dipikiran setiap masyarakat di Desa Tambakrejo. Ciri khas religi

animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan roh-roh dan daya-daya gaib

yang bersikap aktif. Prinsip roh aktif artinya kepercayaan animisme mengajarkan

bahwa roh- roh orang mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa

berbuat aktif mencelakakan atau sebaliknya, membantu menyelamatkan dan

menyejahterahkan manusia atau masyarakat umat manusia. Sedangkan yang

terjadi pada masyarakat Desa Tambakrejo sendiri meyakini bahwa adanya

penunggu laut yang harus diberi sesajen pada peringatan 1 syuro, apabila tidak

diberi sesajen maka akan terjadi bencana di Desa tersebut.

(4) Masalah peringatan 1 Syuro ini sudah sangat kental sekali bagi

masyarakat wilayah pesisir terutama di Desa Tambakrejo ini karena hal tersebut

sudah menjadi kebiasaan jadi kalau tidak melaksanakannya malah kelihatan aneh

di pandang masyarakat lainnya, hasil tangkapan yang diperoleh dari melautpun

sama saja tidak bisa di ukur apakah orang itu melaksanakan peringatan 1 Syuro

apa tidak.

Analisis Regresi Berganda

Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan pada bagian metodelogi

penelitian, beberapa variabel yang diduga berpengaruh terhadap kerusakan

lingkungan wilayah pesisir dalam model regresi yaitu pengetahuan masyarakat

terhadap Undang-Undang, pengetahuan masyarakat terhadap Agama dan alasan

masyarakat merusak lingkungan. Dari analisis regresi berganda menggunakan

61 | P a g e

Page 62: Fix Complete

SPSS, berdasarkan hasil analisis statistika SPSS di peroleh hasil regresi sebagai

berikut:

Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + e

Y = 7,693 + 0,051 X1 + 0,174 X2 – 0,218 X3 + e

Dimana:

Y = kerusakan lingkungan

X1 = pengetahuan masyarakat terhadap Undang- Undang

X2 = pengetahuan masyarakat terhadap Agama

X3 = alasan atau motivasi masyarakat merusak lingkungan

Koefisien Determinasi (R2) merupakan besaran yang dipakai untuk

menunjukkan seberapa besar variasi dependent dijelaskan oleh variable

independent. Nilai R2 di dapat 0,276 hasil ini menunjukkan 27,6 % variable terikat

dalam hal ini kerusakan lingkungan yang terjadi di Desa Tambakrejo dapat

dijelaskan oleh variabel pengetahuan masyarakat terhadap Undang-Undang,

pengetahuan masyarakat terhadap Agama dan alasan merusak lingkungan.

Sisanya yaitu 27,4 % di pengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam

model seperti referensi atau pengaruh dari orang lain Dari hasil analisa model

regresi berganda dengan 3 variabel bebas yang telah dipilih dalam penelitian, maka

akan dibahas masing-masing pengaruh variabel terikat (Y) kerusakan lingkungan.

Berikut akan diuraikan seberapa besar pengaruh dari masing-masing variabel

bebas terhadap pemeliharaan lingkungan khususnya wilayah pesisir.

Konsistensi pengelolaan lingkungan pesisir yang terdapat dalam undang-

undang dan Al-Qur’an Didalam konsistensi pengelolaan lingkungan pesisir

terutama: (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup Pasal 10 dan Pasal 34, (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004

Tentang Perikanan Pasal 8 dan Pasal 84, (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990

Tentang Konservasi Sumberdaya Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 3 dan

Pasal 37, (4) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 5 dan Pasal 35, (5) Q.s. Ar-Rum (30): 41, (6)

Q.s. Al-A’raf (7): 56, dan (7) Q.s. Asy- Su’aara (26): 152. Tentang hukum-hukum

perundang-undangan yang diatur dan dibuat oleh pemerintah dan dalam Kitab Suci

Agama Islam yaitu Al-Qur’an.

Hubungan manusia dengan lingkungan merupakan suatu keniscayaan.

Artinya, antara manusia dengan lingkungan terdapat keterhubungan, keterkaitan

dan keterlibatan timbal balik yang tidak dapat ditawar. Lingkungan dan manusia

62 | P a g e

Page 63: Fix Complete

terjalin sedemikian eratnya hubungan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga

manusia tanpa keterjalinannya dengan lingkungan tidak dapat dibayangkan dan

tidak dapat pula dipikirkan bahkan tidak ada. Hukum dalam Kitab suci Al-Qur’an

yang telah diatur oleh Allah dan diturunkan ke bumi melalui wahyu-wahyu yang

disampaikan kepada para Nabi untuk kesejahteraan manusia di bumi: diantara

isinya agar manusia tidak melakukan kerusakan lingkungan di darat dan di laut dan

melakukan perbaikan di bumi.

Sebagai makhluk Khalifah (pemimpin) di bumi, manusia mempunyai

tanggung jawab besar terhadap bumi untuk tidak membuat kerusakan di bumi dan

menjaga keseimbangan di darat dan di bumi. Karena sesungguhnya kerusakan

yang terjadi di bumi diakibatkan karena tangan manusia itu sendiri dan manusia

tidak menyadarinya dan diharapkan agar manusia berdo’a kepada-Nya dengan rasa

takut dan penuh harap. Peran pemerintah dalam menjadikan lingkungan khususnya

wilayah pesisir tetap terpelihara kekayaan sumberdaya lautnya, antara lain meliputi;

melakukan pembinaan dimasyarakat, memberikan penyuluhan terhadap

masyarakat, menyampaikan informasi tentang pentingnya menjaga lingkungan

wilayah pesisir, dan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan agar

sumberdaya laut tetap ada sampai anak cucu kita kelak.

Menggerakkan kesadaran peran serta dari masyarakat setempat tentang

pentingnya menjaga lingkungan wilayah pesisir dan pengelolaan sumberdaya laut

yang ramah lingkungan tanpa merusak, melalui pendidikan dan penyuluhan;

menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan

tanggung jawab masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup khususnya wilayah

pesisir dan diharapkan dengan diadakan kegiatan tersebut masyarakat dapat lebih

mengetahui peranan penting lingkungan khususnya wilayah pesisir. Adapun peran

serta masyarakat meliputi; menjaga kelestarian dan perlindungan terhadap

sumberdaya lingkungan; dalam menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan,

memelihara kelestarian fungsi dari lingkungan hidup itu sendiri dan menanggulangi

pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dengan cara memberikan informasi

yang baik dan sesuai dengan tingkat pendidikan dalam menyampaikannya agar

dapat diterima dan di terapkan oleh masyarakat setempat.

Adapun proses dalam membantu penyadaran pada pemerintah dan

masyarakat ini tidak hanya dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan saja

tetapi harus dilakukan dengan cara masyarakat memahami dan lebih tertarik serta

terkesan agar tidak mudah dilupakan oleh aparat pemerintah dan masyarakat,

misalnya dengan cara diberikan pemutaran film yang di dalamnya menjelaskan

63 | P a g e

Page 64: Fix Complete

tentang betapa pentingnya menjaga lingkungan dan beserta dampak yang

ditimbulkan apabila terjadi kerusakan lingkungan. Selain itu juga, perlu diciptakan

dari diri masyarakat tersebut norma dan nilai hukum tentang pemanfaatan

sumberdaya khususnya wilayah pesisir sehingga hukum yang sudah ada tidak

dapat di pandang dari segi sangsinya saja.

Agar pembangunan dapat berhasil dan merata, maka harusnya adanya

hubungan yang baik antara Alllah sebagai pencipta seluruh alam, manusia, dan

lingkungan sekitar. Sehingga di harapkan agar masyarakat dapat memahami

konsep-konsep dalam Al-Qur’an bahwasannya tidak boleh mengadakan kerusakan

lingkungan dan menjaga keseimbangan lingkungan di darat dan di laut. Selain

ditekankan pemahaman terhadap Al-Qur’an tentang penyebab kerusakan

lingkungan di sebabkan sebagian besar dari tangan manusia, masyarakat juga

harus dapat menerapkan dan memahami dari peraturan yang telah dibuat oleh

pemerintah di dalam menjaga lingkungan khususnya wilayah pesisir dalam hal

pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hayati.

Faktor timbulnya perusakan lingkungan wilayah pesisir di akibatkan salah

satunya karena tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya pengetahuan

penduduk terutama nelayan tentang pentingnya menjaga lingkungan wilayah

pesisir. Pemahaman Agama yang kurang juga mempengaruhi sifat dari masyarakat

yang lebih memilih merusak lingkungan wilayah pesisir daripada menjaga,

walaupun adanya kegiatan keagamaan di Desa Tambakrejo hanya terfokus pada

hubungan antara Tuhan dan manusia bukan terhadap Tuhan, manusia dan kepada

lingkungan sekitar. Faktor lainnya yaitu peran pemerintah dalam pelestarian

lingkungan wilayah pesisir telah baik dalam membuat peraturan dan kebijakan yang

isinya penjagaan lingkungan wilayah pesisir, namun sebaiknya pemerintah juga

mengikut sertakan peran masyarakat terutama nelayan dalam kegiatan tersebut

agar masyarakat mengetahui sangat pentingnya menjaga wilayah pesisir dengan

baik.

Di dalam pemahaman masyarakat setempat terhadap faktor Agama

mempengaruhi kerusakan secara langsung yang ada di Pantai Tambakrejo tersebut

sehingga diharapkan untuk Tokoh Agama setempat dapat memberikan penyuluhan

kepada masyarakat desa pada saat Khutbah jum’at berlangsung dan dari kegiatan

tersebut dapat mengurangi tingkat kerusakan yang terjadi di wilayah Pantai

Tambakrejo sendiri. Alasan masyarakat merusak lingkungan karena kurang

kesadaran dan pemahaman tentang Undang-undang terhadap masyarakat

setempat tentang lingkungan wilayah pesisir, hal tersebut dapat diakibatkan karena

64 | P a g e

Page 65: Fix Complete

tingkat pendidikan mayoritas nelayan yang rendah dan watak dari nelayan keras

serta karena biaya hidup yang semakin lama semakin mahal sehingga dapat

mengakibatkan nelayan melakukan perusakan lingkungan yang dapat

mengakibatkan rusaknya ekosistem sumberdaya hayati di wilayah tersebut.

E. Aktifitas Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Pesisir

Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam,

wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay and Alder,

1999)1. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari

berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan

dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat

produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia..

Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan

sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan

terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik

pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut ke arah

darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih

dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air

asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh

proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,

maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan

hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001). Berdasarkan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan dan Perikanan Nomor:

KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan PEsisir

Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem

darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai

untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk

kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota. Kedua definisi

wilayah pesisir tersebut di atas secara umum memberikan gambaran besar, betapa

kompleksitas aktivitas ekonomi dan ekologi terjadi di wilayah ini. Kompleksitas

aktivitas ekonomi seperti perikanan, pariwisata, pemukiman, perhubungan, dan

sebagainya memberikan tekanan yang cukup besar terhadap keberlanjutan ekologi

wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang.

Tekanan yang demikian besar tersebut jika tidak dikelola secara baik akan

menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir.

65 | P a g e

Page 66: Fix Complete

Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian

terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan pesisir dan

laut.

Kualitas lingkungan itu diukur dengan indeks kualitas lingkungan, yang

meliputi 3 hal yaitu penutupan lahan, kualiatas air dan kualitas lahan (Taridala,

S.A.A, 2010). Semestinya semua warga masyarakat menyadari bahwa tanggung

jawab pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab kita semua. Sebagaimana

tercantum dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Pasal 7 ayat (1): Masyarakat mempunyai kesempatan yang

sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup; ayat

(2): pelaksanaan ketentuan pada ayat 1, dilakukan dengan cara: meningkatkan

kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan; menumbuhkembangkan

kemampuan dan kepeloporan masyarakat; menumbuhkan ketanggapsegeraan

masyarakat untuk melakukan pengawasan social; memberikan saran pendapat;

menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

Kenyataan yang ada saat ini, apa yang diamanatkan dalam undang-undang

tersebut, belum benar-benar diterapkan baik oleh pemerintah maupun oleh

masyarakat itu sendiri. kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungannya

masih sangat rendah. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

adalah upaya dari pemerintah untuk membangun kesadaran dan memberdayakan

masyarakat. Pemberdayaan tidak hanya diperuntukkakn bagi masyarakat atau

kelompok saja, melainkan juga individu. Keberdayaan individu tidak meliputi

kemampuan seseorang untuk berpikir positif, kreatif, inovatif, mandiri dan dapat

mendayagunakansemua pengetahuan yang dimiliki sehingga mampu membangun

diri dan lingkungannya (Darwanto, H, 2009).

Di masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat

perkotaan dan pertanian pedalaman, sedangkan masyarakat pesisir kurang

diperhatikan. Sudah saatnya memang paradigma tersebut dirubah dengan

memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir karena mereka juga

adalah warga negara Indonesia. Konsekuensinya, justru masyarakat pesisir perlu

mendapatkan perhatian khusus karena ketertinggalan mereka akibat paradigma

masa lampau. Yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat pesisir..

Karenanya, arah kebijakan sekarang ini untuk pemberdayaan masyarakat,

umumnya bukan lagi ditekankan pada pembangunan (development) dalam arti

memberikan barang atau uang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan dan

66 | P a g e

Page 67: Fix Complete

pendampingan selama beberapa waktu - perlu waktu bertahun- tahun - agar

masyarakat mempunyai kemampuan manajemen (pengelolaan).

Pengelolaan Berbasis Masyarakat atau biasa disebut Community Based

Management (CBM) menurut Nikijuluw (1994) merupakan salah satu pendekatan

pengelolaan sumberdaya alam, misalnya perikanan, yang meletakkan pengetahuan

dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya.

Pengelolaan Berbasis Masyarakat dapat diartikan sebagai sustu sistem pengelolaan

sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut

terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung

di dalamnya Di Indonesia Pengelolaan Sumberdaya berbasis Masyarakat

sebenarnya telah di tetapkan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang

menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan

negara atas sumberdaya alam khususnya sumberdaya pesisir dan lautan diarahkan

kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan sekaligus

memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa pantai..

Dalam Implementasinya, pola pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan

yang selama ini sangat bertentangan dengan apa yang telah digariskan dalam pasal

tersebut, pelaksanaannya masih bersifat top down, artinya semua kegiatan

pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan mulai dari membuat kebijakan,

perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring dilakukan sepenuhnya oleh

pemerintah tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal, padahal apabila dilihat

karakteristik wilayah pesisir dan lautan baik dari segi sumberdaya alam maupun dari

masyarakatnya sangat kompleks dan beragam, sehingga dalam pengelolaan

wilayah pesisir dan lautan seharusnya secara langsung melibatkan masyarakat

lokal Atas dasar tersebut dan dengan adanya kebijakan pemerintah Republik

Indonesia tentang Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam pengelolaan

sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, maka sudah semestinya bila pengelolaan

dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara langsung melibatkan partisipasi

masyarakat lokal baik dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi,

sehingga mampu menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat

lokal serta kelestarian pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut. Menurut

Harbinson dan Myers2 dalam bukunya Manpower and Education : Country Studies

in Economic Development menyatakan bahwa In the final analysis, the wealth of a

67 | P a g e

Page 68: Fix Complete

country is based upon its power to develop and to effectively utilize the innate

capacities of its people.

Merujuk dari asumsi tersebut dalam rangka mengantisipasi penyelenggaraan

Otonomi Daerah yang mandiri dan bertanggung jawab, maka diperlukan

masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mendayagunakan secara efektif

kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Dalam kaitan ini, pengembangan

masyarakat pantai merupakan bagian integral dari pengelolaan sumber pesisir dan

laut bagi kemakmuran masyarakatnya, sehingga perlu digunakan suatu pendekatan

dimana masyarakat sebagai obyek sekaligus sebagai subyek pembangunan. [3] .

Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat dengan Mengupayakan

Pengembangan Masyarakat Pantai. Strategi pengembangan masyarakat pantai

dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, yang bersifat struktural dan non

struktural. Pendekatan struktural adalah pendekatan makro yang menekankan pada

penataan sistem dan struktur sosial politik. Pendekatan ini mengutamakan peranan

instansi yang berwewenang atau organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan

pesisir laut. Dalam hal ini peranan masyarakat sangat penting tetapi akan kurang

kuat karena aspek struktural biasanya lebih efektif bila dilakukan oleh pihak-pihak

yang mempunyai kewenangan, paling tidak pada tahap awal.

Dilain pihak pendekatan non struktural adalah pendekatan yang subyektif.

Pendekatan ini mengutamakan pemberdayaan masyarakat secara mental dalam

rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam

pengelolaan dan persoalan pesisir laut. Kedua pendekatan tersebut harus saling

melengkapi dan dilaksanakan secara integratif.

1. Pendekatan struktural

Sasaran utama pendekatan struktural adalah tertatanya struktur dan sistem

hubungan antara semua komponen dan sistem kehidupan, baik di wilayah pesisir

dan laut maupun komponen pendukung yang terkait, termasuk komponen sosial,

ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek struktural, diharapkan masyarakat

mendapatkan kesempatan lebih luas untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam

secara berkelanjutan. Selain itu penataan struktur dan sistem hubungan sosial dan

ekonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk

ikut serta melindungi sumber daya alam dari ancaman yang datang baik dari dalam

maupun dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan

masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara terus

menerus menempatkan masyarakat (lokal) pada posisi yang sulit. Pendekatan

struktural membutuhkan langkah-langkah strategi sebagai berikut :

68 | P a g e

Page 69: Fix Complete

a. Pengembangan Aksesibilitas Masyarakat pada SumberDaya alam

Aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya alam adalah salah satu isu penting

dalam rangka membangun perekonomian masyarakat. Langkah tersebut

diharapkan dapat membantu masyarakat untuk dapat menikmati peluang

pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan (sustainable).

b. Pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap proses pengambilan

keputusan.

Keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan pesisir

dan laut sangat tergantung pada ketepatan kebijakan yang diambil. Kebijakan yang

dikembangkan dengan melibatkan dan memperhatikan kepentingan masyarakat

dan menjamin keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan wilayah.

Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan karena akan menghasilkan kebijakan

yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan

yang berbasis pada potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat

dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain itu juga

memberikan keuntungan ganda : pertama, dengan mengakomodasi aspirasi

masyarakat maka pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat sehingga

akan mempermudah proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi

masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain itu

yang lebih penting lagi adalah adanya upaya untuk meningkatkan kepentingan

hakiki masyarakat yaitu kesejahteraan.

c. Peningkatan aksebilitas masyarakat terhadap informasi.

Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat

pantai sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut. Kesediaan informasi

mengenai potensi dan perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya

sangat berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah

tersebut.

d. Pengembangan kapasitas kelembagaan.

Untuk meningkatkan peran masyarakat dalam perlindungan wilayah dan sumber

daya alam, diperlukan kelembagaan sosial, untuk mendorong peranan masyarakat

secara kolektif. Semangat kolektif akan mendorong upaya pemberdayaan

masyarakat untuk melindungi wilayahnya dari kerusakan yang dapat mengancam

perekonomian. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga sosial

diharapkan untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menjalankan fungsi

manajemen wilayah pesisir dan laut

e. Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat.

69 | P a g e

Page 70: Fix Complete

Keberadaan sistem pengawasan yang efektif merupakan syarat utama keberhasilan

pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan

laut. Sistem pengawasan tersebut harus mampu menjalankan fungsinya dengan

cara memobilisasi semua unsur terkait. Salah satu pendekatan yang efektif adalah

pengembangan sistem pengawasan berbasis pada masyarakat. Sistem

pengawasan yang berbasis pada masyarakat adalah suatu sistem yang dilandasi

oleh kepentingan, potensi dan peranan masyarakat lokal. Untuk itu, sistem

pengawasan yang berbasis pada masyarakat tersebut selain memberikan peluang

bagi masyarakat untuk ikut mengawasi sumber daya alam dan wilayah tempat

mereka tinggal dan mencari makan, juga memperkuat rasa kebersamaan

masyarakat dalam mengembangkan potensi daerahnya. Hal ini dapat dilakukan

melalui lembaga sosial masyarakat pantai (nelayan).

f. Pengembangan jaringan pendukung. Pengembangan koordinasi tersebut

mencakup pembentukan sistem jaringan manajemen yang dapat saling membantu.

Koordinasi melibatkan seluruh unsur terkait (stakeholders), baik jaringan

pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha.

2. Pendekatan Subyektif

Pendekatan subyektif (non struktural) adalah pendekatan yang

menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk

berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi

bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya

dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam

disekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat

lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah

dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk

berbuat sesuatu demi melindungi sumber daya alam. Pengetahuan dan

keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya

penanggulangan masalah kerusakan sumberdaya alam tetapi juga hal-hal yang

berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat

dengan usaha ekonomi alternatif sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain

yaitu :

a. Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan.

b. Pengembangan keterampilan masyarakat

c. Pengembangan kapasitas masyarakat.

d. Pengembangan kualitas diri

e. Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperanserta

70 | P a g e

Page 71: Fix Complete

f. Penggalian & pengembangan nilai tradisional masyarakat.

Kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pentingnya menjaga

kelestarian lingkungan hidup, menjadi salah satu penyebab semakin tingginya

pemanasan global, cuaca ekstrim, bencana alam seperti banjir, longsor, dll

(Republika Newsroom, 2009). Kesadaran yang rendah ini, dapat dilihat dari perilaku

masyarakat kita sehari-hari, misalnya kebiasaan membuang sampah sembarangan,

kebiasaan membakar sampah, menebang pohon sesukanya tanpa ada upaya

penanaman kembali, pengambilan pasir pantai dan penambangan bahan galian

golongan C lainnya secara besar-besaran yang menyebabkan tingkat abrasi sangat

tinggi, dll. Masyarakat dalam mengelola lahan juga sering melakukan tindakan di

luar batas-batas yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Misalnya, mereka yang

punya lahan disepanjang daerah aliran sungai, mereka akan membuka lahan

sampai pada bibir sungai (sempadan sungai) yang semestinya tidak boleh dibuka.

Demikian juga disepanjang sempadan pantai. Hal ini tentu akan memperparah

kerusakan lingkungan.

Membangun kesadaran masyarakat memang tidak segampang

membalikkan telapak tangan. Perlu kerja sama dari semua pihak, baik masyarakat,

pemerintah maupun perusahaan (Widagdo, B, 2011). Perlu waktu yang cukup

panjang untuk pelan-pelan membangun kesadaran itu. Perlu contoh dan tauladan

yang positif dan konsisten dari pihak-pihak pengambil kebijakan. Dari sisi para

pengambil kebijakan dalam hal ini pihak pemerintah, tentunya juga harus

mengambil kebijakan yang sebijak-bijaknya. Seyogyanya, kebijakan yang diambil

tidak hanya menghitung keuntungan ekonomi sesaat, tapi juga harus

memperhitungkan kepentingan sosial dan lingkungan. Karena bila menghitung

kerugian yang akan diderita akibat tidak memperhitungkan aspek sosial dan

lingkungan, kadang-kadang keuntungan ekonomi yang akan diperoleh tidak

sebanding dengan kerugian yang akan diderita.

Kebijakan yang ada selama ini, selalu bersifat Top Down tanpa melibatkkan

masyarakat setempat. Sehingga sering kali kebijakan yang ada bukanlah hal yang

dibutuhkan oleh masyarakat. Selanjutnya setelah program tersebut selesai,

masyarakat juga tidak tahu fungsi dan manfaat serta keuntungannya. Akibatnya,

bangunan, atau hasil dari program tersebut hanya terbengkalai begitu saja.

Masyarakat juga tidak mau terlibat dalam pemeliharaannya. Oleh karena itu sudah

selayaknya kebijakan saat ini harus dibalik menjadi kebijakan yang bersifat bottom

up, yaitu dengan melibatkan masyakarat lokal dari mulai perencanaan, pelaksanaan

dan pemeliharaan. Dengan system ini diharapkan program yang dilaksanakan

71 | P a g e

Page 72: Fix Complete

benar-benar sesuai dengan kebutuhan atau dengan kondisi masyarakat. Tentu

dengan melibatkan langsung mereka dalam perencanaan, pelaksanaan dan

pemeliharaan, masyarakat akan merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap

program.

Menurut Mikkelsen, system partisipatif atau pendekatan dari bawah (bottom

up) memiliki beberapa keuntungan: (1) data dikumpulkan, dikaji dan dicoba secara

langsung oleh pemakai; (2) pemecahan masalah sendiri langsung dapat dicoba

selama berlangsung proses itu sendiri; (3) menjadi meningkat penghargaan atas

masalah yang dihadapi para stakeholder, konteks kebudayaan serta perubahan

kondisi; (4) kelemahan dan kekuatan langsung dipahami oleh mereka yang ikut

dalam proses; dan (5) semakin meningkat motivasi masyarakat untuk berpartisipasi

dalam pengambilan keputusan, karena mereka sendiri memahami masalah yang

dihadapi. Banyak juga program-program penghijauan yang sudah dilakukan oleh

pemerintah, namun bibit tanaman kurang sejalan dengan keinginan masyarakat.

Yang ada di masyarakat, hanya terkesan bagi-bagi bibit. Tidak ada tindak lanjut

apakah bibit tersebut ditanam atau tidak, tumbuh atau tidak. Masyarakat yang

merasa tidak membutuhkan bibit yang diberikan, tentu akan membiarkan bibit

tersebut begitu saja. Sehingga tingkat keberhasilan dari program seperti ini

sangatlah kecil. Jika masyarakat dilibatkan secara aktif, akan lebih mudah untuk

memasukkan muatan penyadaran tentang pelestarian lingkungan kepada

masyarakat itu sendiri. Jika sudah lebih banyak masyakarat yang sadar bahwa

memelihara dan melestarikan lingkungannya, sedikit banyak tentu akan berdampak

positif pada pengurangan pemanasan global.

Dari sisi perusahaan, sudah seharusnya perusahaan-perusahaan itu

mengutamakan keseimbangan antara keuntungan dan komitmen menjaga

pelestarian lingkungan untuk keberlangsungan lingkungan itu sendiri. Konsep

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah konsep wajib dilakukan perusahaan

sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial dimana

perusahaan itu beroperasi (Widagdo, B. 2011). Realisasinya bisa berupa beasiswa

bagi siswa berprestasi, training kewirausahaan bagi masyarakat dan pelaksanaan

program penghijauan. CSR merupakan konsep yang ideal untuk menciptakan

perusahaan yang tidak hanya berorientasi keuntungan semata tetapi mempunyai

konsekuensi social dan lingkungan yang berkelanjutan. Untuk menjaga lingkungan,

kita bisa mulai dari diri dan keluarga kita masing-masing, misalnya dengan

membiasakan memisahkan sampah organik dan anorganik dan membuang sampah

tersebut pada tempatnya. Tidak membakar sampah, yang biasanya dianggap

72 | P a g e

Page 73: Fix Complete

sebagai cara paling praktis pada sebagian besar masyarakat. Menyediakan tempat

sampah di mobil sehingga tidak perlu membuang sampah di sepanjang jalan, serta

menyediakan tempat sampah ditempat-tempat umum lainnya.

Hal lain yang juga sangat mudah untuk dilaksanakan adalah dengan

membiasakan menanam dan memelihara tanaman di sekitar tempat tinggal kita.

Tidak harus tanaman besar, tapi juga tanaman kecil dan semak seperti bunga-

bungaan dan tanaman pagar. Bisa dibayangkan jika semua rumah punya ruang

terbuka hijau, berapapun ukurannya (tentu juga disesuaikan dengan ukuran tanah

yang dimiliki) tentu akan memberikan dampak positif pada bumi kita ini. Pemanasan

global pasti berkurang! Seperti pepatah lama ‘sedikit-demi sedikit, lama-lama jadi

menjadi bukit’ rasanya masih cukup relevan. Saya yakin dan percaya, jika kita

semua menyadari pentingnya melestarikan lingkungan hidup kita, maka pemanasan

bumi ini, akan sedikit diperlambat.

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS MASYARAKAT

Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan,

apabila ditinjau dari garis pantai wilayah pesisir memiliki dua macam batas yaitu

batas sejajar garis pantai dan batas tegak lurus garis pantai (Dahuri et all, 2008).

Salah satu tujuan pengelolaan suatu wilayah pesisir adalah untuk mengendalikan

erosi (abrasi) pantai. Menurut Nurmalasari (2002), pengelolaan wilayah berbasis

masyarakat dapat diartikan sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di

suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam

pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Arah kebijakan

pemerintah dimasa lalu yang lebih memprioritaskan pembangunan masyarakat

perkotaan dan pembangunan pertanian pedalaman, menyebabkan masyarakat

pesisir kurang diperhatikan. Arah kebijakan saat ini seharusnya adalah memberikan

perhatian yang sama pada masyarakat pesisir, dengan cara memberdayakan

masyarakat pesisir. Pemberdayaan masyarakat, bukan atau tidak ditekankan pada

pemberian uang atau barang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan-pelatihan

dan pendampingan tentang pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian

lingkungan. Pendampingan dan pelatihan yang terus menerus dilakukan secara

konsisten akan menambah kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya

alam dan melestarikan lingkungannya secara mandiri.

Kebijakan yang ada selama ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut

mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dilakukan

sepenuhnya oleh pemerintah, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal.

73 | P a g e

Page 74: Fix Complete

Sehingga rasa memiliki serta pemahaman tentang kegunaan dan pelestarian

hampir tidak ada sama sekali pada masyarakat setempat. Padahal apabila dilihat

dari karakteristik masyarakat wilayah pesisir dan lautan sangatlah kompleks dan

beragam, sehingga dalam pengelolaan wilayah pesisir sudah seharusnya

melibatkan masyarakat setempat. Selain masalah kebijakan yang tidak melibatkan

masyarakat lokal, berbagai krisis sumberdaya alam dan konflik yang terjadi di

wilayah pesisir dan juga pulau-pulau kecil berakar dari ketidakjelasan aturan sampai

penegakan hukum (Damayanti, E, 2004). Kebanyakan disebabkan oleh

ketidakjelasan aturan daerah, karena pengaturan wilayah laut sejauh 4 Mil menjadi

wewenang pemerintah kabupaten/kota. Terkadang ada persoalan yang tidak

memiliki solusi karena kemudian aturan daerah juga tidak memiliki aturan yang

jelas.

Menurut Nikijuluw dalam Nurmalasari (2002) pengelolaan berbasis

masyarakat atau sering disebut Community Based Management (CBM), merupakan

salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam, yang meletakkan

pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai pengelolanya.

Dengan melibatkan masyarakat lokal secara aktif, mulai dari perncanaan,

pelaksanaan, evalusai dan monitoring kegiatan diharapkan masyarakat lebih peduli

dan merasa memiliki program tersebut. Tentu tidak serta merta masyrakat akan

sadar dan tahu tentang pentingnya pengelolaan tersebut. Untuk itu dibutuhkan

pendampingan baik dari pihak-pihak yang peduli / pemerhati lingkungan dan juga

SKPD terkait seperti Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan dan perikanan,

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Masyakarat dan Desa, dll.

Kerjasama dan integrasi dalam pembangunan tentunya akan saling mendukung dan

menguatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat lokal. Dalam upaya

mengurangi tekanan terhadap ekosistem pesisir perlu di lakukan pola pengelolaan

sumber daya pesisir dan lautan yang terintegrasi dan berwawasan lingkungan,

sehingga pemanfaatannya telah memperhitungkan kemampuan regenerasi dan

daya pulih sumber daya pesisir.

Tanaman yang Tepat untuk Wilayah Pantai

Menurut Mile (2007), pembangunan jalur hijau hutan pantai merupakan hal

yang penting dan strategis untuk dilaksanakan dalam rangka perlindungan kawasan

pantai dari abrasi, gelombang pasang dan tsunami. Guna mendukung program

pembangunan jalur hijau hutan pantai tersebut, dapat dilakukan juga

pengembangan sumberdaya perbenihan untuk menghasilkan benih unggul yang

74 | P a g e

Page 75: Fix Complete

berkualitas untuk tanaman pantai serta untuk meningkatkan pendapatan

masyarakat melalui berbagai potensi manfaat yang terus dikembangkan.

Mengingat pantai-pantai disepanjang Kecamatan Lais adalah pantai berpasir

kering atau berbatu, maka tanaman yang cocok ditanam untuk jalur hijau hautan

pantai antara lain adalah cemara laut (Casuarina equisetifolia) dan ketapang

(Terminalia catappa L). Sesuai dengan habitat tanaman ini, cemara umumnya

tumbuh di pinggir pantai berpasir, biasanya dari 0-100 m dpl, pohonnya toleran

terhadap air masin, tanah berkapur dan agak alkali dan sangat mudah adaptasi

pada tanah kurang subur (Nurahmah Y, et all.,2007). Ketapang, cocok dengan iklim

berpasir dan dataran rendah hingga ketinggian sekitar 400 m dpl; curah hujan

antara 1000-3500 mm pertahun, dan bulan kering hingga 6 bulan. Tanaman ini

toleran terhadap tanah masin dan tahan terhadap percikan air laut, sangat tahan

terhadap angin dan menyukai sinar matahari penuh atau naungan sedang.

Cemara laut berguna mengamankan pantai dari berbagai ancaman bencana

alam sangat tinggi, apabila tanaman tumbuh besar, maka tumbuhan ini akan

memiliki fungsi strategis bagi pengamanan kawasan pantai. Tanaman iini akan

menjadi benteng pertahanan jika suatu waktu terjadi bencana alam gempa bumi

yang diikuti tsunami. Pohon cemara laut akan berperan penting untuk menahan air

laut sehingga dapat mengurangi dampak buruk tsunami, pemecah ombak, menahan

aktivitas abrasi pantai serta akan berperan mempercantik kawasan pesisir,

sehingga akan mendorong pengembangan kawasan pariwisata pantai. Pemilihan

tanaman cemara dan ketapang untuk pengelolaan kawasan pantai di Kecamatan

Lais, juga didasarkan karena beberapa tempat sudah dijadikan tempat wisata alam

bagi masyakarat local. Tanaman cemara khususnya tentu akan memberikan nilai

estetika yang lebih untuk pengembangan kawasan wisata pantai di masa depan.

Tanaman cemara adalah salah satu tanaman hutan pantai yang memiliki

keunggulan sebagai tanmaan yang mempunyai potensi sebagai tanaman campuran

dengan jenis tanaman hutan lainnya. Karena tahan terhadap angin, cemara laut

digunakan secara luas untuk menstabilkan bukit pasir di pantai, serta penahan

angin untuk melindungi perkebunan. Pada beberapa system agroforestry dataran

rendah di daerah tropis, cemara laut ditanam di perkebunan bersama tanaman kopi,

jambu mete, kelapa, kacang tanah, wijen dan legume berbiji lainnya. Selain itu juga

sering ditanam untuk mempercantik daerah perkotaan, taman dan tempat

peristirahatan di tepi laut. Karena itu cemara dapat dikategorikan sebagai jenis

pohon serba guna atau Multi Purpose Tree Species (Syamsuwida, 2005 dalam

Nurahmah Y, dkk., 2007).

75 | P a g e

Page 76: Fix Complete

Pengelolaan wilayah pesisir, harus dilakukan secara terpadu dengan

melibatkan masyarakat lokal, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi,

agar kegiatan dapat berjalan berkesinambungan. Wilayah pantai yang relative

berpasir kering dan berbatu, cocok ditanami cemara laut dan ketapang, karena

tanaman ini sangat baik untuk menahan angin, memecah gelombang dan menjaga

kestabilan pantai. Pengelolan wilayah pesisir berbasis masyarakat diharapkan dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.

BAB IIIPEMBAHASAN

A. Aktifitas dan Pengelolaan Masyarakat Nelayan Terhadap Kelestarian

Ekosistem Pesisir

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia,

wilayah perairan Indonesia mencakup: laut territorial Indonesia adalah jalur laut

selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia, Perairan

Kepulauan adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus

76 | P a g e

Page 77: Fix Complete

kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai, Perairan

Pedalaman adalah semua peraiaran yang terletak pada sisi darat dari garis air

rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya semua bagian dari

perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup. Wilayah laut dan

pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pengembangan

ekopainomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi

nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan beberapa ahli dalam

berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut

antara lain adalah :

- Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60%

dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis

pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal

perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan dating.

- Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten

berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing

daerah otonomi tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam

pengolahan dan pemanfaatan wilayah pesisir.

- Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar

mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai

asset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi

dan financial yang sangat besar.

- Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi

terhadap pembentuka PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu,

pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future

resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini

belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini

baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.

Wilyah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen

(exporter) sekaligus sebagi simpul transportasi laut di Wilayah Asia Pasifik. Hal ini

menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-produk sektor

industri Indonesia yang tumbuh cepat (4%-9%). Selanjutnya, wilayah pesisir juga

kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan lauatan yang potensial dikembangkan

lebih lanjut meliputi (a) pertambangan dengan diketahuinya 60% cekungan minyak,

(b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik

penangkapan ikan di dunia, (c) pariwisata bahari yang diakui duniadengan

77 | P a g e

Page 78: Fix Complete

keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi

(natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan “ecotaurism”.

Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity

laut tripis dunia kerena hamper 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia

terdapat di Indonesia. Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan

kawasan perbatasan antar Negara maupun antar daerah yang sensitive dan

memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI).

Karakteristik Ekosistem Pesisir

Karakteristik dari ekosistem pesisir adalah mempunyai beberapa jumlah

ekosistem yang berada di daerah pesisir. Contoh ekosistem lain yang ikut kedalam

wilayah ekosistem pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun (seagrass)

dan ekosistem terumbu karang. Dari ekosistem pesisir ini, masing masing

ekosistem mempunyai sifat-sifat dan karakteristik yang berbeda beda. Berikut

merupakan penjelasan dari ekosistem pesisir dan faktor pendukungnya:

Pasang Surut

Daerah yang terkena pasang surut itu brmacam – macam antara lain gisik,

rataan pasang surut. Lumpur pasang surut, rawa payau, delta, rawa mangrove, dan

padang rumput (sea grass beds). Rataan pasut adalah suatu mintakat pesisir yang

pembentukannya beraneka, tetapi umumnya halus, pada rataan pasut umumnya

terdapat pola sungai yang saling berhubungan dan sungai utamanya halus, dan

masih labil. Artinya Lumpur tersebut dapat cepat berubah apabila terkena arus

pasang. Pada umumnya rataan pasut telah bervegetasi tetapi belum terlalu rapat,

sedangkan lumpur pasut belum bervegetasi.

Estuaria

Menurut kamus (Oxford) eustaria adalah muara pasang surut dari sungai

yang besar. Batasan yang umum digunakan saat sekarang, eustaria adalah suatu

tubuh perairan pantai yang semi tertutup, yang mempunyai hubungan bebas

dengan laut terbuka dan didalamnya ait laut terencerkan oleh air tawar yang berasal

dari drainase daratan. Eustaria biasanya sebagai pusat permukiman berbagai

kehidupan. Fungsi dari eustaria cukup banyak antara lain : merupakan daerah

mencari ikan, tempat pembuangan limbah, jalur transportasi, sumber keperluan air

untuk berbagai industri dan tempat rekreasi.

Hutan Mangrove

78 | P a g e

Page 79: Fix Complete

Hutan mangrove dapat diketemukan pada daerah yang berlumpur seperti

pada rataan pusat, Lumpur pasut dan eustaria, pada mintakat litoral. Agihannya

terutama di daerah tropis dan subtropis, hutan mangrove kaya tumbuhan yang

hidup bermacam – macam, terdiri dari pohon dan semak yang dapat mencapai

ketinggian 30 m. Species mangrove cukup banyak 20 – 40 pada suatu area dan

pada umumnya dapat tumbuh pada air payau dan air tawar. Fungsi dari mangrove

antara lain sebagai perangkap sedimen dan mengurangi abrasi.

Padang Lamun (Sea Grass Beds)

Padang lamun cukup baik pada perairan dangkal atau eustaria apabila sinar

matahari cukup banyak. Habitanya berada terutama pada laut dangkal.

Pertumbuhannya cepat kurang lebih 1.300 – 3.000 gr berat kering/m2/th. Padang

lamun ini mempunya habitat dimana tempatnya bersuhu tropis atau subtropics. Ciri

binatang yang hidup di padang lamun antara lain:

a. hidup di daun lamun

b. makan akar canopy daun

c. bergerak di bawah canopy daun

d. berlindung di daerah padang lamun

Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem dengan tingkat

keanekaragaman tinggi dimana di Wilayah Indonesia yang mempunyai sekitar 18%

terumbu karang dunia, dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (lebih dari

18% terumbu karang dunia, serta lebih dari 2500 jenis ikan, 590 jenis karang batu,

2500 jenis Moluska, dan 1500 jenis udang-udangan) merupakan ekosistem yang

sangat kompleks.Dapat hidup pada kedalaman hingga 50 meter, memerlukan

intensitas cahaya yang baik untuk dapat melakukan proses fotosintesis, salinitas 30-

35ppt merupakan syarat batas untuk terumbu karang dapat hidup disuatu perairan.

Selain berfungsi sebagai tempat tinggal banyak biota, letaknya yang berada

diujung/bibir pantai juga bermanfaat sebagai pemecah gelombang alami.

Keindahannya dengan warna-warni ikan dan karang membuat terumbu karang

dapat menjadi obyek wisata air, baik snorkeling ataupun selam.

Pengertian Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Menurut Sain dan Krecth Pengelolaan Pesisir Terpadu adalah proses yang

dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan

tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya

pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah perancangan

79 | P a g e

Page 80: Fix Complete

proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang dapat diterima

secara politis.

Pengelolaan Pesisir Secara Berkelanjutan

Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan

secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan

secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat

membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital (capital maintenance),

dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara

ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan

integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber

daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan

pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara

sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat

menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial,

partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (dekratisasi), identitas sosial,

dan pengembangan kelembagaan (Wiyana, 2004).

Darah pesisir di Indonesia sebenarnya telah mendapat persetujuan dalam

mengatur, mengelola, atau memberdayakan daerahnya masing masing, seperti

dibahas pada Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di

wilayah laut adalah eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan

laut sebatas wilayah laut tersebut.

Pemanfaatan dan Pengelolaan Potensi Pesisir Daerah di Indonesia

Dari pengalaman pengalaman yang sudah berjalan sampai sekarang,

daerah pesisir di Indonesia yang kebanyakan ditinggali oleh para nelayan,

merupakan daerah yang belum sepenuhnya digali potensinya, hal ini berkaitan

dengan para nelayan itu sendiri sekedar memanfaatkan hasil dari laut berupa ikan,

rumput laut, terumbu karang, lamun, dan sebagainya hanya untuk memenuhi

kebutuhan harian mereka. Sehingga secara garis besar, potensi pesisir yang

diberdayakan oleh para masyarakat sekitar hanya terbatas untuk memenuhi

kebutuhan harian untuk hidup mereka. Sedangkan pemanfaatan potensi daerah

pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis

dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak

80 | P a g e

Page 81: Fix Complete

dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru

dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada

umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak disektor

pariwisata dan sudah mempunyai kesadaran yang lebih dibandingkan dengan

daerah lain yang belum mempunyai pengolahan seperti ini.

Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang

kelautan yang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru

bagi daerah maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya

dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau kota yang berada di pesisir. Jadi belum

semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir.

Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat

maupun daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya

alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi

dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi kondisi daerah

pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan sumber daya alam

di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.

Kebijakan reklamasi yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak

lingkungan pada beberapa daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem dipesisir.

Perizinan pengembangan usaha bagi kelangan dunia usaha selama ini sebagian

besar menjadi kewenangan pusat. Kadangkala dalam hal ini pemberian izin tersebut

tanpa memperhatikan kepentingan daerah dan masyarakat setempat. Jika kita

perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan

pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

- Pemanfaatan dan pengelolaan daerah belum diatur dengan peraturan

perundang-ungan yang jelas, seingga daerah mengalami kesulitan dalam

menetapkan sesuatu kebijakan.

- Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cendrung bersifat sektoral,

sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain.

- Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep

daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh

wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik

kepentingan antar daerah.

Kewenangan daerah dalam rangka otonomi daerah belum dipahami secara

komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap daerah dan setiap

sector timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam

pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.

81 | P a g e

Page 82: Fix Complete

Peran dan Partisipasi Aktif Untuk Melestarikan Ekosistem Pesisir

Dalam upaya menjaga dan merawat kelestarian ekosistem pesisir, bukan

hanya warga masyarakat pesisir saja yang hanya merawat dan melestarikan

ekosistem pesisir. Melainkan hal ini membutuhkan banyak sokongan dan upaya dari

pemerintah serta semua elemen masyarakat. Hal ini bisa dilakukana dengan

menggunakan beberapa tahapan baik secara strukturak maupun non-struktural.

Tetapi pada hal ini, sepertinya pendekatan dengan cara non-struktural atau lebih

dikatakan dengan pendekatan subyektif. Pendekatan ini adalah pendekatan yang

menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk

berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi

bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya

dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam sekitarnya.

Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam

pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan

meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk ebrbuat

sesuatu demi melindungi sumber daya alam.

Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung

dengan upaya-upaya penanggulangan masalah kerusakan sumber daya alam tetapi

juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka

membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternative sehingga tidak merusak

lingkungan, antara lain yaitu :

1. Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan

2. Pengembangan keterampilan masyarakat

3. Pengembangan kapasitas masyarakat

4. Pengembangan kualitas diri

5. Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperan serta

6. Penggalian dan pengembangan nilai tradisional masyarakat

Oleh karena itu, pelestarian ekosistem pesisir bukan hanya tugas dan keawajiban

dari masyarakat wilayah pesisir, melainkan semua aspek masyarakat yang ada.

Masyarakat umum harus mulai disadarakana bagaimana pentingnya ekosistem

pesisir bagi keberlanjutan kehidupan bagi umat manusia. Meskipun, untuk kejadian

proses alam lingkungan sekitar dan interaksi antara faktor abiotik dan biotik serta

perubahan ekologis hanya bisa di pahami oleh ilmuwan dan pakar lingkungan, basis

data yang didapat dari mereka bisa digunakan untuk sumber informasi untuk

disebarkan lebih luas agar semua masyarakat dapat ikut melestarikan dan menjaga

82 | P a g e

Page 83: Fix Complete

ekosistem pesisir sehingga proses pengelolaan ekosistem pesisir bisa berjalan tidak

hanya untuk jangka pendek, melainkan bisa hingga jangka panjang.

Cara Perlindungan dan Pelestarian Ekosistem Pesisir

Banyak elemen masyarakat yang sekarang masih kurang peka akan

kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya ekosistem pesisir, hal ini apabila tidak di

tanggapi secara serius akan menimbulkan dampak yang cukup berbahaya ke

depannya. Kita tidak mungkin juga hanya bisa menikmati keindahan suatu tempat

tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya bagi generasi penerus. Berikut

merupakan tahapan yang dapat digunakan untuk perlindungan maupun pelestarian

ekosistem pesisir, diantaranya adalah :

1. Restorasi, dimaksudkan sebagai upaya untuk menata kembali kawasan pesisir

sekaligus melakukan aktivitas penghijuan. Untuk melakukan restorasi perlu

memperhatikan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah.

2. Reorientasi, dimaksudkan sebagai sebuah perencanaan pembangunan yang

berparadigma berkelanjutan sekaligus berwawasan lingkungan. Sehingga motif

ekonomi yang cenderung merusak akan mampu diminimalisasi

3. Responsivitas, dimaksudkan sebagai sebuah upaya dari pemerintah yang peka

dan tanggap terhadap problematika kerusakan ekosistem pesisir. Hal ini dapat

ditempuh melalui gerakan kesadaran pendidikan dini, maupun advokasi dan

riset dengan berbagai lintas disiplin keilmuan\

4. Rehabilitasi, gerakan rehabilitasi dimaksudkan sebagai upaya untuk

mengembalikan peran ekosistem pesisir sebagai penyangga kehidupan biota

laut. Salah satu wujud kongkrit pelaksanaan rehabilitasi yaitu dengan

menjadikan kawasan pesisir sebagai area konservasi yang berbasis pada

pendidikan (riset) dan ekowisata

5. Responsibility, dimaksudkan sebagai upaya untuk menggalang kesadaran

bersama sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat.

6. Regulasi, dalam hal ini setiap daerah pasti mempunyai Perda yang telah diatur

secara jelas dan gambling. Maka dari itu, perlu kesadaran dan kewajiban untuk

memenuhi perda yang telah ada dan telah dibuat. Ini bisa dijadikan sebuah

punishment apabila tidak dijalankan secara serius. Punishment harus dijalankan

guna membentuk sikap yang sadar akan Perda yang telah diatur demi

keberlangsungan ekosistem pesisir di masa depan.

B. Kegiatan dan Tingkat Sosial-Ekonomi Masyarakat Wilayah Pesisir

83 | P a g e

Page 84: Fix Complete

Kebijakan pembangunan kelautan dalam skala ekonomi nasional selama

ini selalu terpinggirkan. Perekonomian daratan menjadi primadona pemerintah

dalam kebijakan pembangunan ekonomi. Isu kemiskinan sangat lekat dalam

kehidupan nelayan, utamanya nelayan tradisional dan nelayan buruh yang hidup di

desa-desa pesisir dengan kondisi perairan overfishing. Masyarakat pesisir sebagai

masyarakat miskin memiliki persoalan yang kompleks. Pertama, faktor miskin

secara ekonomi, terpinggir secara sosial, dan terlupakan secara fungsi dan

martabat.

Di wilayah pesisir terdapat berbagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan

dalam kegiatan social-ekonomi masyarakat. Sumberdaya tersebut tidak hanya

terbatas pada usaha-usaha perikanan (tangkap dan budidaya) dan usaha tanaman

pangan, melainkan juga usaha jasa perdagangan dan pelabuhan serta usaha

rumah tangga, seperti industry pengolahan ikan dalam skala kecil. Usaha perikanan

laut maupun tambak di kedua daerah khusus oenelitian ditunjang oleh peningkatan

teknologi penangkapan berupa motorisasi maupun modifikasi alat tangkap dan

teknologi pembenihan udang (hatchery), jugadidukung oleh kebijakan pemerintah

yang membantu peningkatan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan

sumberdaya manusia.

Penyebab kemiskinan nelayan secara umum adalah pendidikan dan

keterampilan yang rendah. Hal ini yang menyebabkan nelayan tidak memiliki

alternatif pekerjaan lain yang layak pada musim paceklik dan nelayan tidak dapat

mengoptimalkan manfaat dari hasil usaha penangkapan ikan, baik dari sisi volume

produksi maupun dari harga jual karena mutunya yang rendah. Upaya untuk

mendorong kemandirian nelayan dengan meningkatkan kapasitas individu dan

kelompok sangat mendesak dilakukan. Untuk itu, tim peneliti dan perkayasa dari

Pusat Kurikulum dan Perbukuan berkepentingan mengembangkan model kurikulum

pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis ekonomi produktif. Pemberdayaan

mempunyai makna sebagai pengembangan potensi dan kapasitas, baik individu

maupun kelompok.

Pemberdayaan masyarakat diawali dengan membangun dari yang mereka

miliki dan butuhkan serta kemampuan mereka dalam menjangkau perubahan untuk

pemberdayaan tersebut. Inilah yang disebut dengan partisipasi untuk masyarakat

pesisir hendaknya dikembangkan dengan berpijak pada kebutuhan nyata di

masyarakat, berdasar kebutuhan, kapasitas dan dinamika lokal dalam rangka

pengembangan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat. Model kurikulum

menekankan pada penguatan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran. Model

84 | P a g e

Page 85: Fix Complete

kurikulum ini dilengkapi dengan panduan pengembangan kurikulum yang nantinya

diharapkan menjadi acuan bagi daerah/wilayah atau tempat sasaran yang

mempunyai budaya, kondisi sosial ekonomi dan potensi serta kemampuan

kelompok nelayan yang tidak sama antar daerah/wilayah. Meskipun demikian,

panduan ini diperlukan sebagai acuan agar pemberdayaan masyarakat pesisir

menjadi terarah dan dapat dipantau dalam rangka pembinaan dan

pengembangannya lebih lanjut.

Panduan memuat konsepsi dan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir

agar menghasilkan model yang komprehensif sekaligus mampu menjawab

kebutuhan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan dan pengorganisasian di

masyarakat pesisir. Sedangkan model kurikulum ini mengambil contoh masyarakat

pesisir di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dan Kabupaten Jeneponto, Sulawesi

Selatan. Pengembangan model kurikulum pemberdayaan ini terkait pada 3 isu, yaitu

(1) dinamika yang menyebabkan tumbuhnya mobilitas sosial; (2) transformasi sosial

yang dapat membentuk kelompok-kelompok sosial baru di kalangan masyarakat

pesisir; dan (3) terciptanya program pembangunan kepada kelompok sasaran yang

sejalan dengan realitas sosial, budaya dan ekonomi mereka.

Di wilayah pesisir terdapat berbagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan

dalam kegiatan social-ekonomi masyarakat. Sumberdaya tersebut tidak hanya

terbatas pada usaha-usaha perikanan (tangkap dan budidaya) dan usaha tanaman

pangan, melainkan juga usaha jasa perdagangan dan pelabuhan serta usaha

rumah tangga, seperti industry pengolahan ikan dalam skala kecil. Usaha perikanan

laut maupun tambak di kedua daerah khusus oenelitian ditunjang oleh peningkatan

teknologi penangkapan berupa motorisasi maupun modifikasi alat tangkap dan

teknologi pembenihan udang (hatchery), jugadidukung oleh kebijakan pemerintah

yang membantu peningkatan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan

sumberdaya manusia.

Perahu dan alat tangkap yang tradisional serta kondisi alam yang kurang

menguntungkan akan membatasi gerak serta kegiatan nelayan, sehingga berakibat

pada produksi dan pendapatan yang rendah. Demikian juga jenis alat tangkap yang

digunakan mempengaruhi pola penggunaan waktu, jumlah tenaga, modal dan

produksiyang dihasilkan. Dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa

nelayan dari kedua daerah penelitian diperoleh informasibahwa mereka selalu

berganti alat tangkap sesuai dengan waktu dan sasaran tangkapan. Pergantian

jenis alat tangkapan yang dilakukan nelayan untuk mengantisipaso keadaan di

mana ikan sulit diperoleh pada saat-saat tertentu. Misalnya, selama bulan Oktober

85 | P a g e

Page 86: Fix Complete

sampai dengan bulan Januari saat air deras, gelombang keras, angin kencang

maka alat tangkap (bubu) tidak dipakai, mereka beralih menggunakan alat lain

sepertipancing.

Krisis ekonomi yang menimpa bangsa Indonesia juga mempengaruhi

usaha perikanan, misalnya luas pengusahaan tambak di Sulawsi Selatan yang

memperlihatkan kecenderungan menurun untuk petani tambak yang mengusahakan

lebih dari 2 hektar. Petani tambak mula-mula mempunyai ketergantungan kepada

kelompok masyarakat lainnya seperti nelayan penyeser benur. Dengan makin

luasnya lahan tambak, lebih banyak bibit yang dibutuhkan, dan oleh karena itu pada

saat ini teknologi hatchery sangat membantu, karena mampu menghasilkan benur

untuk memenuhi kebutuhan petani tambak yang semakin besar.

Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi

sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan

danmemberikan sumbangan yang berarti, baik bagi peningkatan taraf hidup

masyarakat maupun sebagai penghasil devisa negara yang sangat penting. Aktifitas

perkonomian yang dilakukan di kawasan pesisir diantaranya adalah kegiatan

perikanan (tangkap dan budidaya), industri dan pariwisata. Selain dimanfaatkan

untuk kegiatan perekonomian, wilayah pesisir juga digunakan sebagai tempat

membuang limbah dari berbagai aktifitas manusia, baik dari darat maupun di

kawasan pesisir itu sendiri. Kegiatan ini memberikan dampak yang tidak diharapkan

dari kondisi biofisik pesisir yang dikenal sangat peka terhadap perubahan

lingkungan. Salah satu jenis perairan yang akan terkena dampak adalah perairan

estuaria.

Estuaria merupakan suatu habitat yang bersifat unik karena merupakan

tempat pertemuan antara perairan laut dan perairan darat. Namun wilayah pesisir

juga kerap mendapat tekanan ekologis berupa pencemar yang bersumber dari

aktifitas manusia. Melimpahnya bahan pencemar tersebut di wilayah pesisir

merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian perikanan laut. Menurut

Dahuri (1996) akumulasi limbah yang terjadi di wilayah pesisir, terutama diakibatkan

oleh tingginya kepadatan populasi penduduk dan aktifitas industri. Kondisi seperti ini

disinyalir juga terjadi di perairan muara Sungai Kampar. Muara Sungai Kampar

merupakan gabungan dari beberapa aliran sungai besar dan anak sungai yang

terdapat di Provinsi Riau. Aliran air yang masuk ke muara Sungai Kampar

mengindikasikan banyak mengandung bahan pencemar.

Hal ini terjadi karena di sepanjang sungai yang mengalir ke muara Sungai

Kampar terdapat banyak pabrik-pabrik atau kegiatan industri yang beroperasi dan

86 | P a g e

Page 87: Fix Complete

membuang limbahnya ke sungai. Pabrik yang paling besar masuk ke aliran Sungai

Kampar adalah jenis pabrik kertas yaitu PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper).

Masuknya bahan pencemar ke dalam perairan muara sungai ini akan

mengakibatkan terjadinya kerusakan pada berbagai organ tubuh, bahkan bukan

tidak mungkin dapat mengakibatkan kematian serta mengakibatkan spesies tertentu

yang rentan terhadap bahan pencemar menjadi hilang/punah sehingga spesies ikan

yang dijumpai menjadi berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat

Dahuri dan Arumsyah (1994) bahwa masuknya bahan pencemar ke dalam

perairan dapat mempengaruhi kualitas perairan. Apabila bahan yang masuk ke

perairan melebihi kapasitasasi milasinya, maka daya dukung lingkungan akan

menurun. Sehingga menurun pula nilai perairan dan peruntukan lainnya. Bahan

pencemar yang masuk ke muara sungai dan estuari akan tersebar dan akan

mengalami proses pengendapan,sehingga terjadi penyebaran zat pencemar. Besar

kecilnya nilai kisaran dari parameter terukur tergantung dari volume air pengencer,

toksisitas/intensitas bahan pencemar, iklim, kedalaman, arus, topografi dan

geografi, sehingga terjadi perubahan sifat fisik, kimia dan biologi dan ketiganya akan

saling berinteraksi. Apabila salah satu factor terganggu atau mengalami perubahan

akan berdampak pada ekologi perairan. Penyebaran bahan pencemar terutama

logam berat dalam perairan dengan proses pengendapan akan mempengaruhi

siklus hidup dari hewan perairan terutama ikan.

Dengan terjadinya proses pengendapan bahan pencemar di dasar perairan

akan memberikan dampak terakumulasinya bahan pencemar dalam tubuh

organisme melalui rantai makanan. Ikan baung salah satu jenis ikan yang hidup di

dasar perairan Sungai Kampar dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat setempat,

padahal ikan baung baik secara langsung maupun tidak langsung, terkena dampak

dari bahan pencemar yang berada di dasar perairan atau dengan kata lain akan

terkontaminasi bahan pencemar. Mengingat ikan baung banyak hidup di dasar

perairan Sungai Kampar yang sudah tercemar, namun masih belum ada informasi

mengenai hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terhadap kandungan bahan

pencemar terutama logam pada ikan baung.

C. Pemanfaatan Pengelolaan Wilayah Pesisir

Melihat keterbatasan sumberdaya alam darat, sudah saatnya melirik dan

memanfaatkan potensi sumberdaya lautan. Didalam lautan terkandung sumber

pangan yang sangat besar yakni ikan dan rumput laut. Sumberdaya laut lainnya

adalah bahan tambang lepas pantai yang berperan penting untuk menyuplai energi,

87 | P a g e

Page 88: Fix Complete

serta masih banyak lagi potensi sumberdaya hayati dan non hayati laut lainnya

sehingga peranan sumberdaya pesisir dan laut semakin penting untuk memicu

pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.

Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia . Karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan

kepulauan Nusantara yang terbentang dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Dua

pertiga dari luas wilayah Indonesia terdiri dari laut sehingga laut mempunyai arti dan

fungsi strategis bagi bangsa dan negara Indonesia . Laut juga memberikan

kehidupan secara langsung bagi jutaan rakyat Indonesia dan secara tidak langsung

memberikan kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika berbicara laut maka satu hal yang tidak dilupakan adalah “pesisir”.

Pesisir juga tidak dapat dipisahkan dari laut sebagaimana daratan. Bahkan pesisir

mempunyai arti dan fungsi tersendiri, karena pesisir merupakan wilayah yang

membatasi antara laut dan darat. Jadi boleh dikatakan disini bahwa yang menjadi

perekat dan pemersatu antara lautan dan daratan adalah pesisir. Pesisir merupakan

transisi antara ekosistem kehidupan laut dengan ekosistem kehidupan darat.

Selama ini pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir di Daerah belum

dilaksanakan oleh Daerah secara optimal karena hal ini sangat berhubungan

dengan kewenangan yang dimiliki oleh Daerah. Berbagai kewenangan yang

berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan kelautan dan pesisir berada di

tangan Pusat.

Saat ini Indonesia memasuki era baru dalam hal pengelolaan pemerintahan

yaitu era desentralisasi atau lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah dimana

masing-masing daerah (region) memiliki wewenang (otoritas) dan tanggung jawab

dalam hal pemberdayaan dan pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam yang

dimilikinya. Konsep desentralisasi ini tidak hanya terfokus pada urusan

pemerintahan semata, namun juga sampai pada sistem dan tata cara atau

pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah pemerintahan daerah

(regional). Dengan digulirkannya Undang-undang otonomi daerah ini (UU No.22 Th

1999), maka penjabaran Pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang menyangkut aspek

pengelolaan sumberdaya alam kini di desentralisasikan kepada tingkat regional atau

daerah yang mana sebelumnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah pusat atau

lebih bersifat sentralistis.

Lahirnya otonomi daerah di wilayah pesisir melalui Undang-Undang No. 22

tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), telah memberi kewenangan

bagi Pemerintah Provinsi untuk mengelola dan mengkoordinasikan pemanfaatan

88 | P a g e

Page 89: Fix Complete

sumberdaya pesisir sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut.

Pasal 10 UU NO. 22/1999 memberikan kewenangan kepada Daerah

Kabupaten/Kota untuk mengelola sumberdaya pesisir sepertiga dari wilayah laut

Daerah Propinsi. Kewenangan ini meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, tata ruang, administrasi dan

bantuan penegakan hukum, serta bantuan penegakan kedaulatan negara.

Namun sayangnya selama ini konsep desentralisasi atau otonomi daerah

yang digulirkan selama ini selalu kita fahami sebagai otonomi darat semata,

sehingga sebagian besar dari kebijakan-kebijakan pengelolaan yang dikeluarkan

oleh institusi pemerintahan difokuskan hanya pada pengelolaan sumberdaya

daratan, padahal untuk Propinsi, Kabupaten dan Kota tertentu khususnya yang

memiliki  wilayah pesisir dan laut, terlebih lagi  Propinsi, Kabupaten dan Kota yang

berbentuk kepulauan sebagai contoh, NTB, NTT, Maluku, Kabupaten Sumbawa,

Kabupaten Kepulauan Seribu dan Kabupaten Kepulauan Karimunjawa, esensi

otonomi ekonomi juga berada di wilayah laut. Otonomi dalam konteks ini bukan

hanya mengkavling darat adalah sebagai bahagian utama pembangunan, tetapi

juga menyertakan wilayah laut dalam memetakan lokasi aktivitas eksplorasi dan

eksploitasi baik di dalam perut bumi, dasar laut, laut dalam dan permukaan laut.

1. Pengelolaan Perairan Pesisir

Perairan pesisir adalah bagian integral dari wilayah pesisir yang merupakan

daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan, dimana secara biofisik batas

dari wilayah pesisir ke arah darat masih dipengaruhi oleh berbagai aktivitas lautan,

seperti intrusi air laut, pasang surut, dan angin laut. Sementara ke arah laut masih

dipengaruhi oleh aktivitas daratan seperti; aliran sungai, sedimentasi akibat

penggundulan hutan, pencemaran limbah dari aktivitas pertanian, industri dan

lainnya. Sehingga perairan pesisir sangat berhubungan erat dengan sistem sungai

(daerah aliran sungai) yang merupakan penghubung ekosistem darat (up land)

dengan ekosistem lautan.

Batas perairan pesisir sebenarnya hanya berupa garis khayal, karena

tergantung karakter biofisik suatu daerah, sehingga pada tiap-tiap daerah akan

sangat berbeda, karena batas wilayah perairan pesisir bisa masuk sampai ke hulu

sungai dimana aktivitas lautan masih mempengaruhinya, begitu pula batas perairan

pesisir akan semakain jauh menuju laut lepas dimana masih dipengaruhi berbagai

aktivitas daratan baik secara alami maupun oleh aktivitas antropogenik yang dibawa

oleh aliran sungai.    

89 | P a g e

Page 90: Fix Complete

Untuk itu, dalam melakukan pengelolaan perairan pesisir harus

mengutamakan 3 prinsip keterpaduan; Prinsip-1, yaitu keterpaduan antar ekosistem

darat dan laut, dimana harus mempertimbangkan berbagai dampak biofisik dan

sosial-ekonomi yang terkait antara ekosistem darat dan lautan, karena merupakan

satu kesatuan ekologi yang tidak bisa dilepas pisahkan. Artinya ancaman dan

kerusakan terhadap ekosistem daratan akan berimplikasi negatif terhadap

ekosistem lautan, begitu pula sebalinya.

Prinsip ke-2, yaitu keterpaduan antar sektor dan atau stakeholder, karena

berbagi sektor yang terkait dengan pengelolaan perairan pesisir tidak bisa berjalan

sendiri-sendiri dalam melakukan aktivitasnya, apalagi perairan pesisir merupakan

pusat pemanfaatan dan kegiatan dari berbagai sektor yang berhubungan dengan

daratan maupun lautan, seperti jasa transportasi laut, industri galangan kapal,

perikanan, pertambangan, pariwisata, kehutanan, pertanian, dan  industri

manufaktur di daratan. Sehingga dibutuhkan kerjasama dan koordinasi untuk

menghindari arogansi masing-masing sektor dalam mengimplementasikan program

pembangunannya. Selain itu stakeholder terkait seperti pihak pemerintah, swasta,

akademisi, LSM dan masyarakat perlu diakomodir bersama-sama dalam penentuan

kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan perairan pesisir, laut dan pulau-

pulau kecil untuk penyamaan persepsi.

Prinsip ke-3, yaitu Keterpaduan antar level pemerintahan, baik pusat

maupun daerah, dimana harus  ada komunikasi 2 arah dan kerjasama yang

harmonis antar level pemerintahan, agar tidak terjadi kesalahan dan ketidak

akuratan dalam melakukan perencanaan dan pengimplementasian berbagai

program pembangunan.

Tanpa adanya penataan dan pengelolaan kawasan perairan pesisir dan

lautan secara terpadu, maka akan memberikan ekses negatif bagi keberlanjutan

kawasan perairan pesisir dan laut beserta sumberdaya alamnya di masa-masa yang

akan datang.

2. Kewenangan Daerah di Bidang Kelautan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi

msyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat

(2) UU Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut

adalah :

90 | P a g e

Page 91: Fix Complete

- Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas

wilayah laut tersebut.

- Pengaturan kepentingan administratif.

- Pengaturan tata ruang.

- Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang

dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah.

- Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.

Yang termasuk wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil

laut yang diukur dari garis pantai arah laut lepas dan atau ke arah perairan

kepulauan. Sedangkan wilayah laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga

dari wilayah laut Daerah Propinsi. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut maka

daerah pesisir merupakan kewenangan dari Daerah Kabupaten dan Kota .

Daerah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem laut

berada dalam kewenangan Daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan UU 22/1999

yang menyatakan bahwa wilayah laut dari Kabupaten/Kota adalah sepertiga dari

wilayah laut Propinsi berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari garis pantai, maka

wilayah pesisir berada dalam kewenangan Daerah Kabupaten atau Kota setempat.

Sejalan dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakatnya, maka Daerah akan mengelola dan memanfaatkan

daerah pesisir untuk digunakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat

Daerah. Untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam

mewujudkan kesejahteraan rakyat di Daerah maka seluruh potensi sumber daya

yang tersedia di Daerah akan dimanfaatkan seoptimal mungkin. Salah satu potensi

sumber daya yang dimiliki Sebagian Daerah adalah potensi daerah pesisir.

a. Prinsip-prinsip penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil

1. Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan

Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang

mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta

dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil,

sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif

terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman

masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan

kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di

dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena

menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain

91 | P a g e

Page 92: Fix Complete

kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam

pelaksanaannya.

2. Kompensasi

Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk

menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap

konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat

diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya

dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.

3. Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang

kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar

prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi

setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan

bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan

evaluasi pada semua bidang. Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah

diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal

keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu

sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam

merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang

berlaku secara umum.

4. Penentuan Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif

Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang

dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan

pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan

intensif dan konservasi sebagai berikut :

Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik

baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi banjir, namun

daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan pembangunan yang

dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya mangrove, rawa yang produktif

dan bernilai bagi masyarakat pesisir.

Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun,

daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang

kecil.

Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis

untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi

dan daerah pemanfaatan intensif.

92 | P a g e

Page 93: Fix Complete

5. Penentuan Sektor Unggulan

Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada

zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria,

yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.

6. Penentuan Struktur Tata Ruang

Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat

kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi

pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal

kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan

faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki

eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun

terhadap perubahan bentang alam, dll.

7. Tata Ruang Sistem Wilayah Aliran Sungai

Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem

wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah

aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan

sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah

pesisir.

8. Jarak antar Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif

Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang

mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dll.) ditentukan

berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :

St   =   Vt x t

St   =   Jarak tempuh pencemardari sumbernya

Vt  =    Kecepatan sebar pencemar

t     =    Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut

9. Musyawarah dan Hak Adat/ Tradisional

Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang

yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan

musyawarah, dan media partisipatif lainnya.

Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak

adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem

tatanan sosial setempat. Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang

bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam

kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial

93 | P a g e

Page 94: Fix Complete

fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah

administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu.

Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan

ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu

memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :

Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku

pembangunnan di dalam penyusunan rencana

Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada

tingkat makro

Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku

pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas)

Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum

Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang

ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya

dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.

Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan,

sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi

dituntut peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga

perencanaan dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku

pembangunan.

b. Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut.

Dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui undang-undang No.

22/1999, provinsi diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan

mengkoordinasikan penggunaan sumberdaya pesisir dalam batas 12 mil laut

perairan wilayah Indonesia. Isi dari undang-undang yang terdapat pada pasal 10

yaitu memberikan wewenang untuk melakukan ekplorasi, eksploitasi, konservasi

dan mengatur sumberdaya alam seperti melakukan penyusunan rencana tata

ruang, mengatur dan menyediakan bantuan kepada pemerintah pusat dalam

pelaksanaan undang-undang dan kedaulatan nasional.

Berdasarkan keputusan Menteri No. 10/2002 wilayah pesisir didefinisikan

sebagai wilayah peralihan antar ekosistem daratan dan laut yang ditentukan oleh 12

mil batas wilayah kearah perairan dan batas kabupaten atau kota kearah

pedalaman. Lokasi zona pesisir ini merupakan focus dari kegiatan perencanaan

dalam proyek MCRM (Marine and Coastal Resources Management). Kewenangan

untuk pengelolaan laut dan sumberdaya pesisir yang terbentang antara 12 mil batas

94 | P a g e

Page 95: Fix Complete

wilayah perairan sampai dengan 200 mil ZEE Indonesia tetap berada di pemerintah

pusat dan diserahkan kepada DKP.

Otonomi daerah, diasumsikan bahwa pemerintah kabupaten akan menjadi

sasaran pokok dan yang memperoleh manfaat terbesar dari program ICZM.

Rencana ICZM berbasis pada perencanaan untuk wilayah taman nasional dan

konservasi, tetapi hal ini dapat disesuaikan untuk tingkat cakupan wilayah provinsi,

kabupaten/kota atau daerah prioritas. Rencana strategis biasanya disiapkan untuk

wilayah yang luas (Provinsi), tapi dalam prakteknya dapat juga disusun untuk tingkat

kabupaten/kota karena mandat pengelolaan sumberdaya alam yang diberikan

dalam Undang-undang 22/1999. Dalam proyek MCRM, Rencana Zonasi, Rencana

pengelolaan dan Rencana Aksi diharuskan di tingkat kabupaten, namun boleh juga

dilakukan pada tingkat provinsi agar prakarsa pembangunannya dapat terfokus dan

memiliki prioritas.

ICZM adalah suatu proses pemerintahan yang melibatkan penyusunan

rencana-rencana strategis, zonasi, pengelolaan dan aksi, terstruktur menurut

hirarkinya. Rencana-rencana ini seharusnya disiapkan dengan partisipasi

Pemangku Kepentingan yang paling terpengaruh oleh keputusan pengelolaan

sumberdaya. Manfaat menyiapkan dokumen Rencana Strategis, Rencana Zonasi,

dan Rencana Aksi hanya dapat dirasakan jika kemauan dan kemampuan

kelembagaan tersedia untuk melaksanakannya.

Rencana pengelolaan harus mendukung hakikat penegakan hokum,

peraturan-peraturan dan proses-proses administrasi yang berlaku dengan

menyediakan pedoman yang rinci untuk pejabat pemerintah dan pengelola

sumberdaya. Tujuan khusus Rencana Pengelolaan adalah untuk :

1. Membangun kerjasama kemitraan diantara pemerintah, pengusaha dan

masyarakat.

2. Menyediakan dasar yang disepakati bersama untuk peninjauan proposal

(usulan) pembangunan secara sistematik.

3. Mengidentifikasi proses untuk mengawasi, mengevaluasi dan memperbaiki

rencana ICZM.

4. Mengkoordinasikan dengan inisiatif-inisiatif perencanaan lain.

Rencana Pengelolaan (RP) harus meyakinkan bahwa

Adanya kebijakan dan prosedur untuk pelaksanan arahan pemanfaatan wilayah

dan persetujuan penggunaan sumberdaya dan izin-izin pembangunan.

Peninjauan arahan pemanfaatan wilayah dan perizinan yang terkait dengannya

dilakukan secara sistematik

95 | P a g e

Page 96: Fix Complete

Terbentuknya buku registrasi public meliputi keseluruhan arahan pemanfaatan

wilayah dan izin penggunaannya.

Hasil konsultasi publik dipertimbangkan dalam penentuan atau perbaikan

arahan pemanfaatan wilayah dan pengeluaran izinnya.

Catatan resmi publik terawat dan dapat diakses.

Mekanisme pelaporan pengelolaan dilaksanakan.

Pelatihan dan dukungan terhadap instansi pemerintah dalam pelaksanaan

kebijakan dan prosedur tersedia.

Pengelolaan sumberdaya pesisir telah didelegasikan kepada yang

berwenang di daerah berdasarkan UU 22/1999. Oleh karena itu penyelenggara

pemerintah local harus diperkuat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan

pengelolaan seperti inventarisasi sumberdaya alam, perencanaan untuk

perlindungan sumberdaya dan kesinambungan produksi dan penyelesaian konflik.

Struktur rencana pengelolaan merupakan bagian dari sejumlah rencana ICZM yang

saling melengkapi. Rencana ICZM dimaksudkan untuk menjadi dokumen”hidup”

dan oleh karena itu harus diperbaiki secara berkala, sejalan dengan pengalaman

yang diperoleh dari pelaksanaannya.

c. Pemanfaatan dan Pengelolaan Potensi Pesisir di Daerah

Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh

masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri

dari nelayan. Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan,

rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada umumnya potensi pesisir dan kelautan yang dimanfaatkan oleh para nelayan

baru terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.

Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk

mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan

pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir

untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten

dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi

pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak di sektor pariwisata.

Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah

berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga

memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan

perekonomian masyarakat di Daerah.

96 | P a g e

Page 97: Fix Complete

Mengingat kewenangan Daerah untuk melakukan pengelolaan bidang

kelautan yang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru

bagi Daerah maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya

dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau Kota yang berada di pesisir. Jadi belum

semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir.

d. Permasalahan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pesisir

Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh

masyarakat maupun Daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan

sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh

terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi

kondisi daerah pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan

sumber daya alam di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.

Kebijakan reklamasi pantai yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak

lingkungan pada beberapa Daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem di pesisir.

Perizinan pengembangan usaha bagi kalangan dunia usaha selama ini sebagian

besar menjadi kewenangan Pusat. Kadangkala dalam hal pemberian izin tersebut

tanpa memperhatikan kepentingan Daerah dan masyarakat setempat.

Jika kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan

dan pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum diatur dengan peraturan

perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah mengalami kesulitan dalam

menetapkan suatu kebijakan.

Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cenderung bersifat sektoral,

sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain.

Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep

daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh

wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik

kepentingan antar Daerah.

Kewenangan Daerah dalam rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara

komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap Daerah dan setiap

sektor timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam

pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.

Sedangkan isu penting yang perlu segera diluruskan dalam pemanfaatan dan

pengelolaan daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu :

97 | P a g e

Page 98: Fix Complete

Adanya kesan bahwa sebagian Daerah melakukan pengkaplingan wilayah laut

dan pantainya. Untuk itu perlu ditetapkan oleh Pusat pedoman bagi

pelaksanaan kewenangan Daerah di bidang kelautan.

Pemahaman Daerah terhadap daerah pesisir sebagai suatu kesatuan

ekosistem yang tidak dibatasi oleh batas wilayah administratif pemerintahan.

Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir secara lestari dan berkelanjutan.

e. Terobosan Baru Pengelolaan Wilayah Pesisir :

Lahirnya Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU-PWP3K) patut diberikan apresiasi positif, karena

ini menandakan adanya niat baik dari semua pihak, terutama legislatif dan eksekutif

untuk memperhatikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai potensi

unggulan yang selama ini termarjinalkan. UU-PWP3K diharapkan menjadi payung

hukum bagi semua stakeholder yang memanfaatkan kawasan perairan pesisir dan

pulau-pulau kecil agar terhindar dari konflik pemanfaatan yang berkepanjangan.

Hal yang menarik dari UU-PWP3K ini yaitu; akan adanya pemberlakuan Hak

Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) di seluruh provinsi dan kabupaten kota di

Indonesia yang memiliki potensi laut, dan dapat diberikan kepada perseorangan,

badan usaha atau masyarakat adat, dimana HP3 meliputi pengusahaan atas

permukaan laut dan kolom air sampai dengan dasar laut dengan tetap

mempertimbangkan kelestarian ekosistemnya.

Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) merupakan suatu terobosan baru

dan sangat penting dalam bidang coastal resources management di Indonesia, dan

akan mulai diberlakukan setelah setiap daerah telah selesai melakukan penataan

ruang pesisir dan laut secara jelas dengan mengakomodir semua sektor terkait,

untuk menghindari overlaping dan meminimalisir konflik pemanfaatan perairan

pesisir. Adapun pengecualian dalam upaya pemberian HP3 nantinya adalah tidak

boleh diberikan pada kawasan konservasi, suaka perikanan, pelabuhan, pantai

umum dan alur pelayaran.

Selain itu, perlu kehati-hatian dalam pemanfaatannya, karena perairan

pesisir sangat berbeda dengan wilayah daratan, baik dari aspek biofisik-kimia

maupun sosial-ekonomi. Secara biologis kawasan ini kaya akan keanekaragaman

sumberdaya hayati yang rentan terhadap faktor eksternal berupa tekanan

eksploitasi yang berlebihan, karena akan menyebabkan over eksploitasi. sedangkan

secara fisik kawasan perairan pesisir beserta sumberdaya alamnya sangat rentan

terhadap aktivitas manusia yang merusak, seperti destruktif fishing, penambangan

karang dan pasir, yang akan menyebabkan degradasi dan menurunkan mutu

98 | P a g e

Page 99: Fix Complete

lingkungan perairan pesisir. Sementara secara kimiawi kawasan ini juga rawan

terhadap bahaya pencemaran, seperti tumpahan minyak dari kapal dan buangan

limbah kimia berbahaya yang mengandung logam berat dari berbagai aktivitas

manusia di daratan, karena dapat memberikan dampak yang besar terhadap

menurunnya kualitas perairan pesisir.

Dari aspek sosial-ekonomi, perairan pesisir sangat rentan konflik

pemanfaatan ruang antar berbagai sektor dan atau stakeholder terkait. Apalagi

kedepan akan adanya perubahan yang sangat fundamental terhadap status

kepemilikan perairan pesisir beserta sumberda alamnya, yang tadinya dapat

dimanfaatkan oleh semua orang (open access) karena milik bersama (common

property resources), namun dengan pemberlakuan HP3 akan berubah status

menjadi milik pribadi (private property resources) walaupun dalam batas wilayah

dan rentang waktu tertentu, karena hak-hak masyarakat secara umum berupa hak

akses maupun hak pemanfaatan akan dibatasi bahkan hilang.

f. Pengelolaan Pesisir Tidak Terarah Setiap Tahun 200.000 Hektar Hutan

Bakau Rusak

Pengelolaan wilayah pesisir tidak terarah. Hingga kini, pemerintah pusat

belum menerbitkan aturan tentang panduan perencanaan pengelolaan wilayah

pesisir. Hal ini menghambat upaya pemerintah kabupaten/kota dalam upaya

membangun wilayah pesisir. Hal itu dikemukakan Direktur Riset dan Kajian

Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria, Selasa (9/9) di Jakarta. Menurut Arif,

belum dibuatnya aturan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir menunjukkan

bahwa pemerintah pusat belum berpihak pada pelestarian dan pengelolaan

kawasan pesisir.

Dijelaskan, pada Juli 2007, pemerintah menerbitkan Undang- Undang (UU)

Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

UU itu menugaskan agar dibuat peraturan menteri (permen) kelautan dan perikanan

paling lambat Oktober 2007 untuk menjabarkan UU No 27/2007 itu. ”Namun, hingga

kini belum ada permen yang disahkan,” kataArif. Setidaknya 11 draf permen

kelautan dan perikanan terkait pengelolaan pesisir telah selesai disusun tahun

2007, tetapi hingga kini belum ada yang disahkan.

Rancangan permen itu antara lain tentang perencanaan pengelolaanpesisir,

pemberdayaan masyarakat, konservasi pesisir, mitra bahari, pemanfaatan pulau

kecil, pengawasan, dan akreditasi. ”Kelambatan penerbitan aturan turunan

merupakan langkah mundur pemerintah. Ini menghambat kabupaten/kota dalam

perencanaan pengelolaan wilayah pesisir,” ujar Arif.

99 | P a g e

Page 100: Fix Complete

Menurut Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil DKP

Syamsul Maarif, tertundanya pengesahan permen pengelolaan pesisir karena ada

hambatan administrasi. Syamsul mengakui, tidak adanya aturan yang jelas telah

menyebabkan pengelolaan wilayah pesisir tidak terarah dan berpotensi merusak

lingkungan. Menurut Syamsul, meski belum ada panduan dari pemerintah pusat,

pemerintah kabupaten/kota dapat menyusun perda pengelolaan pesisir tanpa harus

menunggu permen. ”Silakan pemda berkonsultasi dengan pemerintah pusat tentang

perda pengelolaan pesisir. Sepanjang isinya tidak bertentangan dengan undang-

undang, maka dimungkinkan,” katanya. Tidak adanya panduan tentang pengelolaan

pesisir, kata Arif, membuat pemda kerap membuat aturan tata ruang sendiri yang

acapkali tidak  memerhatikan kelestarian lingkungan.

g. Hutan bakau rusak

Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, laju

kerusakan hutan bakau sekitar 200.000 hektar per tahun, yakni terjadi di

Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa. Luas hutan bakau di seluruh Tanah Air

kini diperkirakan hanya tinggal 1,2 juta hektar karena sebagian sudah beralih

menjadi tambak, permukiman, dan kawasan industri. Padahal, luas wilayah pesisir

Indonesia dua pertiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau

terpanjang kedua di dunia.

D. Peranan Nelayan Terhadap Rehabilitasi Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove)

Fungsi hutan bakau di wilayah pesisir bukan hanya penting sebagai

pelindung fisik tetapi juga sebagai bagian terintegrasi dari eksositem wilayah pesisir

lainnya, seperti ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun. Di

Sulawesi Utara, hutan bakau sebagian besar telah rusak karena dikonversi menjadi

lahan tambak dan pemukiman. Selain itu, pengambilan kayu bakau oleh masyarakat

sekitar, untuk dijadikan kayu bakar merupakan penyebab lain kerusakan hutan

bakau. Dengan demikian, berbagai aktivitas manusia memberi dampak pada

kerusakan bakau. Usaha rehabilitasi hutan bakau di beberapa daerah, baik di pulau

Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah berulangkali dilakukan, namun

hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan

oleh pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah kurang keterlibatan dan peran

serta masyara- kat dalam pengembangan wilayah, khusus- nya rehabilitasi hutan

bakau; dan masyara- kat masih cenderung dijadikan obyek dan bukan subyek

dalam upaya pembangunan (Subing, 1995).

100 | P a g e

Page 101: Fix Complete

Rehabilitasi hutan bakau merupakan langkah perlindungan yang ramah

lingkungan. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi atau perbaikan

ekosistem bakau penting untuk menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggung

jawab dalam menjaga sumberdaya alam di sekitar tempat tinggalnya. Pelibatan

masyarakat dalam melestarikan hutan bakau ini perlu dimulai dari pelatihan

mengenai teknik-teknik rehabilitasi untuk mendukung program konservasi hutan

bakau. Dengan demikian semua proses rehabilitasi dan reboisasi hutan bakau yang

dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh

masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai

pekerja melainkan ada rasa kepemilikan terhadap hutan bakau tersebut, karena

mereka merasa ikut punya andil dalam perencanaan penanaman dan lain-lain,

sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan

pemilik.

Ekosistem hutan bakau memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang

penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian,

kondisi hutan bakau di Indonesia terus mengalami keru- sakan dan pengurangan

luas lahan dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun. Sementara

laju penambahan luas areal rehabilitasi bakau yang dapat terealisasi masih jauh

lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu hanya sekitar 1.973

ha/tahun atau 0,4 %/tahun dari total kecepatan kerusakan hutan bakau. Di Sulawesi

Utara, bakau tumbuh hampir di sepanjang pantai Molas, Wori serta pantai Utara dan

Timur Kecamatan Likupang. Taman Nasional Bunaken (TNB) memiliki luas total

sekitar 1.800 Ha yaitu 20% terdiri dari hutan bakau dengan rincian mengelilingi

pulau Mantehage (±1.435 Ha), pulau Bunaken (±75 Ha), pulau Manado Tua (± 7,7

Ha), Pulau siladen dan pulau Nain (± 7 Ha).

Di pesisir bagian utara Malalayang dan Wori 235 Ha dan Arakan

Wawontulap seluas 933 Ha (Anonimous, 2005). Hutan bakau Desa Tiwoho

Kecama- tan Wori Kabupaten Minahasa Utara memiliki luas 62,5 Ha. Oleh karena

itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk memulihkan kembali hutan bakau yang

rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya bagi kesejahteraan manusia dan

mendukung pembangunan wilayah pesisir. Keikutsertaan masyarakat dalam upaya

merehabilitasi dan pengelolaan bakau dapat menjadi kunci keberhasilan pelestarian

bakau. Terutama nelayan, dimana nelayan dalam aktifitas sehari-hari berhubungan

langsung dengan ekosistem hutan bakau. Jadi nelayanlah yang secara langsung

merasakan manfaat dari ekosistem hutan bakau. Untuk itu, kegiatan pemberdayaan

101 | P a g e

Page 102: Fix Complete

masyarakat pesisir melalui kajian pengetahuan nelayan dan bagaimana respon

nelayan terhadap rehabilitasi ekosistem hutan bakau.

Observasi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang lokasi

penelitian, keadaan lingkungan, ekosistem bakau dan kegiatan yang dilakukan

masyarakat dan pe- merintah yang terkait dalam pengelolaan ekosistem bakau.

Data sekunder diperoleh dari literatur serta bahan bacaan dan lembaga atau

institusi terkait dalam penelitian ini (Singarimbun, M. dan S. Effendi, 1989). Analisa

data yang dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dan deskripsi kuantitatif.

Analisa deskriptif kualitatif adalah pengolahan data yang dilakukan melalui

beberapa pertimbangan logika dengan bahasa penulis yang sistematis, sedangkan

analisa data kuantitatif merupakan pengolahan data dengan mengunakan

perhitungan matematis sederhana seperti penjumlahan, persentase, angka rata-rata

dan sebagainya (Kartono, 2000).

Keadaan Umum Desa Desa Tiwoho termasuk dalam wilayah kecamatan

Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Jumlah penduduk

sebanyak 1.116 jiwa dengan mata pencarian sebagian besar adalah petani (38%)

dan nelayan (16%). Tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya sekolah dasar

dengan nilai persentasenya 63,3% dan yang tidak mengecap pendidikan sebanyak

2 (dua) orang atau 6,7%. Jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti sekolah

menengah umum maupun perguruan tinggi sulit dijangkau karena terbentur dengan

keterbatasan ekonomi. Selain itu, tidak adanya sarana pendidikan lanjut di desa

Tiwoho menjadi penghambat karena semakin jauh sekolah semakin menambah

biaya sekolah. Posisi desa mempunyai ketinggian 0-100 meter dari permukaan laut

dan me- miliki kondisi permukaan tanah berpasir yang datar dan berbukit.

Pemukiman dan garis pantai dibatasi oleh tanggul sepan- jang ±200 m dan bakau.

Luas wilayah desa adalah 556.485 Ha dengan hutan bakau 62,5 Ha (11,2 %).

Sejarah Rehabilitasi Hutan Bakau Sejak dahulu masyarakat Tiwoho

terbiasa memanfaatkan hutan bakau sebagai sumber penghidupan, diantaranya:

tempat mencari kayu bakar, bahan baku pembuatan atap rumah, sumber obat-

obatan tradisional, tempat mencari ikan, katang (kepiting), biak (kerang) dan hewan

buruan lainnya. Kebiasaan ini telah berlangsung turun-temurun hingga pada suatu

ketika di akhir 1989 sebuah perusahaan bernama Wori Mas membuat usaha

tambak udang dan bandeng. Sekitar 25 hektar hutan bakau dikonversi menjadi

kolam-kolam pembudidayaan udang dan bandeng. Akibatnya berkurangnya jumlah

ikan, kerang dan kepiting karena kehilangan tempat bertelur dan memijah, tidak

adanya penahan ombak dan angin. Pada tahun 1991 pemerintah melalui

102 | P a g e

Page 103: Fix Complete

Departemen Kehutanan menetapkan wila- yah hutan bakau Desa Tiwoho masuk ke

dalam wilayah Taman Nasional Bunaken (TNB).

Sebagai tindak-lanjutnya penanaman bakau dilakukan pada bagian garis

pantai untuk menghindari terjadinya abrasi. Jenis bakau setempat yang ditanam

adalah Sonneratia sp. dan Avicennia alba dengan mengambil benih dari sekitar

hutan bakau yang masih sehat. Penanaman bakau terkonsentrasi pada lahan bekas

tambak. Sampai saat ini masyarakat yang bekerjasama dengan yayasan KELOLA

masih melakukan penanaman bakau.

Sejarah Rehabilitasi Hutan Bakau Sejak dahulu masyarakat sudah terbiasa

memanfaatkan hutan bakau sebagai sumber penghidupan, diantaranya: tempat

mencari kayu bakar, bahan baku pem- buatan atap rumah, sumber obat-obatan

tradisional, tempat mencari ikan, katang (kepiting), biak (kerang) dan hewan buruan

lainnya. Kebiasaan ini telah berlangsung turun-temurun hingga pada suatu ketika di

akhir 1989 sebuah perusahaan bernama Wori Mas membuat usaha tambak udang

dan bandeng. Sekitar 25 hektar hutan bakau dikonversi menjadi kolam-kolam

pembudidayaan udang dan bandeng. Akibatnya berkurangnya jumlah ikan, kerang

dan kepiting karena kehilangan tempat bertelur dan memijah, tidak adanya penahan

ombak dan angin. Pada tahun 1991 pemerintah melalui Departemen Kehutanan

menetapkan wilayah hutan bakau Desa Tiwoho masuk ke dalam wilayah Taman

Nasional Bunaken (TNB). Sebagai tindaklanjutnya penanaman bakau dilakukan

pada bagian garis pantai untuk menghindari terjadinya abrasi. Jenis bakau setempat

yang ditanam adalah Sonneratia sp. dan Avicennia alba dengan mengambil benih

dari sekitar hutan bakau yang masih sehat. Penanaman bakau terkonsentrasi pada

lahan bekas tambak. Sampai saat ini masyarakat yang bekerjasama dengan

yayasan KELOLA masih melakukan penanaman bakau.

Peran Kelembagaan

1. Pemerintah

Mengacu pada PERDA No. 38 tahun 2003 tentang pengelolaan wilayah

pesisir dan laut terpadu berbasis masyarakat dalam pasal 14, masyarakat lokal

dalam hal ini pemerintah desa berkewajiban me- nyusun peraturan desa untuk

menjaga dan mempertahankan objek-objek yang bernilai ekonomi dan bernilai

ekologis dari lingkungan hidup sumberdaya wilayah pesisir dan laut, juga

memberikan informasi yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah

pesisir yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal.

Hasil penelitian di lapangan, masyarakat desa juga mengeluhkan

keterlibatan pemerintah daerah dalam hal pelestarian bakau. Selama ini pemerintah

103 | P a g e

Page 104: Fix Complete

daerah hanya sekali terlibat langsung dalam reha- bilitasi hutan bakau. Selain itu

juga bibit yang mereka tanam hampir seluruhnya mati. Hal ini disebabkan

ketidakcocokan bibit dengan lahan yang ditanami. Sementara itu, pemerintah desa

yang menjadi perpan- jangan tangan pemerintah pusat dan dae- rah belum

membuat peraturan desa yang secara tertulis dalam hal pengelolaan dan

pemanfaatan ekosistem bakau.

2. Lembaga Swadaya Masyarakat

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO (Non-Governmental

Organization) memiliki peran yang sangat besar dalam rehabilitasi hutan bakau.

Hasil wawancara dengan nelayan ternyata, mereka banyak mendapatkan

pengetahuan tantang bakau karena keterlibat- an dari Yayasan KELOLA yang ada

di desa Tiwoho. Yayasan ini juga mengajarkan warga bagaimana cara menanam

bakau yang baik, selain itu mereka melakukan pengamatan secara langsung

terhadap rehabilitasi ekosistem bakau di desa Tiwoho.

3. Kelompok Masyarakat

Usaha pelestarian hutan bakau desa Tiwoho tidak terlepas juga dari peran

ke- lompok masyarakat yang ada di sana. Kelompok masyarakat seperti kelompok

tani, kelompok nelayan dan kelompok agama yang ada melibatkan diri dalam usaha

pelestarian ekosistem hutan bakau. Kelompok ini juga rutin melakukan penanaman

bakau, ada yang dilakukan tiap tiga bulan sekali ada juga yang melakukan tiap

bulan sekali. Peran kelompok masyarakat nelayan menilai peran kelompok

masyarakat berperan dalam rehabilitasi hutan bakau (47%).

4. Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan memiliki peran untuk mengembangkan bantuan

teknis dan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam hal ini pelertarian

ekosestem bakau. Lembaga pendidikan yang ada di desa Tiwoho memberikan

kewajiban kepada setiap siswa untuk menanam 1 pohon bakau dan mengawasi

bakau tersebut sampai tumbuh. Lembaga ini juga memberikan kurikulum khusus

yang disebut muatan lokal yang mengajarkan tentang bakau dan kegunaannya.

Proses rehabilitasi ekosistem bakau di desa Tiwoho telah berlangsung

selama 18 tahun dan selama ini masyarakat terutama nelayan telah mengetahui

bagaimana cara menanam dan memelihara ekosistem bakau. Pengetahuan tentang

bakau banyak diketahui melalui DPTNB (Dewan Pengelola Taman Nasional

Bunaken), serta peran swasta yang senantiasa selalu memberikan penyuluhan atau

juga pelatihan tentang bakau itu sendiri. Nelayan memiliki peran yang cukup baik

dalam kegiatan rehabilitasi hutan bakau. Mereka terlibat langsung dalam rehabilitasi

104 | P a g e

Page 105: Fix Complete

bakau tanpa ada paksaan dan bayaran dari pihak manapun, karena mereka

berpendapat rehabilitasi bakau bukan hanya untuk dinikmati saat ini, tetapi sebagai

warisan untuk anak cucu mereka.

Penanaman dan pemeliharaan bakau di desa Tiwoho tidak mendapatkan

perlakuan yang istimewa, seperti: memberi pagar dan pupuk. Penanaman dilakukan

dengan cara melihat lokasi yang kosong dan layak ditanami bakau lalu mengambil

bibit yang tersedia di alam yang dianggap sudah layak untuk dipindahkan kemudian

menanam bibit tersebut. Hal ini dikarenakan dari hasil pengamatan dan pelatihan

yang mereka dapatkan bahwa bakau akan lebih cepat tumbuh jika dibiarkan tumbuh

secara alami. Dari hasil pengamatan di lapangan, setelah nelayan menanam bakau

tidak dibiarkan begitu saja. Bakau yang ditanam, beberapa minggu kemudian akan

dimonitor pertumbuhannya, apakah bakau yang me- reka tanam ini telah bertumbuh

atau mati dan ada juga yang telah terbawa arus saat air pasang. Jika bibit tersebut

telah mati atau terbawa arus maka mereka akan mengganti dengan tanaman baru.

Manfaat Rehabilitasi Ekosistem Hutan Bakau

Ekosistem bakau adalah salah satu ekosistem yang memiliki peran yang

sangat penting bagi kehidupan nelayan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian

sebelumnya, ekosistem bakau bermanfaat seca- ra ekologis dan ekonomis.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti melihat nelayan desa Tiwoho juga merasakan

manfaat dari ekosistem ini. Pada tabel berikut bisa dilihat manfaat apa saja dari

ekosistem bakau yang diketahui oleh nelayan desa Tiwoho.

Menurut Manik (2003), dalam pemanfaatan setiap sumberdaya alam terjadi

suatu proses yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik dampak negatif

maupun positif. Sebaliknya, kualitas lingkungan juga akan menentukan kelangsung-

an suatu usaha atau kegiatan. Artinya, lingkungan yang rusak menyebabkan suatu

usaha tidak dapat beroprasi. Misalnya, pemanfaatan sumberdaya alam hutan bakau

untuk usaha tambak udang. Pembangunan tambak udang seharusnya tidak

menebang habis hutan bakau, karena hutan bakau merupakan sabuk hijau pesisir

antara lain berfungsi untuk mencegah terjadinya abrasi dan intrusi gelombang air

laut. Dalam uraian sebelumnya masyarakat desa Tiwoho telah merasakan dampak

negatif dari pemanfaatan hutan bakau sebagai lahan tambak.

Dari hasil pengamatan di lapangan, saat ini masyarakat lebih khususnya

nelayan telah merasakan dampak positif dari rehabilitasi bakau. Mereka dapat tidur

dengan tenang pada saat musim gelombang tinggi, mereka yakin gelombang tinggi

tersebut tidak akan menghanyutkan perahu mereka dan membanjiri kompleks

pemukiman. Hal ini dikarenakan gelombang yang datang telah terhalang

105 | P a g e

Page 106: Fix Complete

pepohonan bakau yang ada. Nelayan juga memanfaatkan biota-biota yang hidup di

daerah ekosistem hutan bakau apalagi jika tiba musim gelombang tinggi sehingga

mereka tidak bisa melaut. Jadi mereka hanya mencari ikan, udang dan kepiting

bakau di sekitar bakau. Jadi, menurut nelayan bakau juga menjadi salah satu

sumber pendapatan mereka.

E. Pandangan dan Sikap Nelayan terhadap Kerusakan Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling rentan terkena dampak

perubahan iklim. Untuk itu perlu segera dilakukan upaya-upaya tertentu dalam

mencegah terjadinya degradasi lingkungan lebih lanjut di daerah tersebut. Ada dua

cara penanganan pelestarian lingkungan pesisir yaitu secara stuktural dan secara

non struktural. Secara stuktur (fisik) artinya pemecahan masalah penanggulan

degradasi lingkungan di wilayah pesisir dilakukan dengan membuat perlidungan

tertentu baik secara alami maupun buatan. Secara alami misalnya dengan

penanaman kembali mangrove, pembuatan terumbu karang, dan pembuatan bukit

pasir pantai (sand dune). Sedangkan secara buatan misalnya membuat breack

water, tembok laut, tanggul, maupun konstruksi pelindung lainnya.

Upaya penanggulangan masalah Bencana Banjir secara non struktur

artinya dilakukan dalam bentuk bukan pembangunan fisik, namun dalam bentuk

tindakan non fisik, misalnya pembuatan peta rawan bencana banjir dan abrasi,

pemberian sistem peringatan dini, informasi publik dan penyuluhan, serta

penyusunan tata ruang. Dalam sepuluh tahun terakhir, telah terjadi pergeseran

paradigma dalam menangani masalah abrasi, yaitu: bekerjasama dengan proses-

proses alami (cooperation with nature) dibandingkan dengan melawan alam

(against the natural processes), mendalami (understanding) terhadap proses-proses

alami di pantai yang selanjutnya ‘bekerjasama’ dengan proses-proses tersebut.

Untuk itu di perlukan penyelesaian yang menyeluruh dan komprehensif melalui

pendekatan pengelolaan pesisir yang terpadu yang salah satunya adalah dengan

pendekatan sel sedimen (Subandono, 2007).

Sel sedimen adalah satuan panjang pantai yang mempunyai keseragaman

kondisi fisik dengan karakteristik dinamika sedimen dalam wilayah pergerakannya

tidak mengganggu keseimbangan kondisi pantai yang berdekatan. Sehubungan

dengan sifat dinamis dan keterkaitan ekologis dari ekosistem pesisir, maka

pemanfaatan ruang pesisir selain berdasarkan pada kesesuaian biofisik, harus pula

memperhatikan keterkaitan dampak antara kegiatan yang berada di kawasan pesisir

dan keserasian (compatibility) antar kegiatan di sekitarnya (S. Budi Prayitno, 2005).

106 | P a g e

Page 107: Fix Complete

Setiap kegiatan pembangunan (industri, pertanian, budidaya perikanan,

permukiman, dan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada

lokasi yang secara biofisik sesuai, sehinga membentuk suatu mozaik yang sesuai.

Dalam kaitannya dengan sifat dinamis dan keterkaitan ekologis dari ekosistem

pesisir, maka penataan pemanfaatan ruang pesisir selain berdasarkan pada

kesesuaian biofisik, harus pula memperhatikan keterkaitan dampak antar kegiatan

yang berada di kawasan pesisir dan keserasian (compatibility) antar kegiatan di

sekitarnya. Pendekatan pembangunan berbasis masyarakat pada hakekatnya sama

dengan pembangunan berpusat pada manusia. Pembangunan sosial mempunyai

tujuan untuk membangun manusia seutuhnya. Menurut UN-ESCAP (2008)

dijelaskan bahwa pada dasarnya pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf

hidup manusia atau development of the well-being of the people.

Penekanan pada pembangunan sosial pada dasarnya adalah pendekatan

pembangunan yang berpusat pada manusia atau people centered development

sehingga terlihat kesamaan pola gerak dari pembangunan sosial dan pembangunan

yang berpusat pada manusia, yaitu pada upaya meningkatkan taraf hidup

masyarakat dengan memfokuskan pada pemberdayaan dan pembangunan

manusia itu sendiri. Pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia

memandang bahwa tidak selayaknya manusia menghabiskan sumberdaya alam

yang sangat terbatas pada satu generasi saja, sehingga generasi selanjutnya tidak

dapat memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Pendekatan people centered

development pada intinya bahwa pentingnya sinkronisasi antara pembangunan

yang memfokuskan ekonomi, ekologi, serta keadilan. Di dalamnya juga terdapat

unsur partisipasi, demokrasi, dan transparansi yang merupakan bagian yang

sedang dikembangkan di Indonesia sekarang.

Goulet (1995) memberikan asumsi yang harus diperhatikan dalam

pembangunan yang memfokuskan pada manusia , yaitu terkait dengan nilai-nilai

dasar yang dianggap universal, antara lain partisipasi (participation),

kesinambungan (sustainability), integrasi sosial (social integration), dan hak-hak dan

kemerdekaan asasi manusia (human right and fundamental freedoms).

Hogan (2000) menggambarkan proses pemberdayaan yang

berkesinambungan sebagai suatu siklus terdiri dari lima tahapan yaitu

menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan, mendiskusikan alasan,

mengidentifikasi suatu masalah, mengindentifikasi basis daya, dan

mengembangkan rencana-rencana aksi serta mengimplementasikannya.

Masyarakat akan diajak untuk berpartisipasi yang pada akhirnya diharapkan ada

107 | P a g e

Page 108: Fix Complete

perubahan sikap dan perilaku. Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat

baik secara kualitatif dan kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari

perubahan sikap dan perilaku tersebut. Pada akhirnya masyarakat akan mampu

melakukan berbagai aktivitas pada tingkat lokal secara mandiri dan

berkesinambungan dan tidak lagi tergantung pada stimulan atau bantuan pihak lain.

Sutomo (2008) memberikan gambaran proses keberlanjutan sebagai suatu

siklus dan mekanisme tersebut diharapkan menghasilkan suatu proses yang

bersifat kumulatif. Dengan demikian, dalam proses terkandung penguatan

keberlanjutan sosial melalui penguatan institusi sosial yang mendukung

keberlanjtuan aktivitas bersama, penguatan keberlanjutan ekonomi berupa

dipertahankan bahkan bertambahnya kemanfaatan ekonomis yang dirasakan oleh

warga masyarakat, serta penguatan keberlanjutan sumber alam dalam bentuk

semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk memelihara kelestarian sumber

daya alam dan lingkungan hidup. Kesemuanya bermuara pada peningkatan kualitas

hidup masyarakat.

Pantai yang terbentuk oleh proses di laut akibat erosi gelombang,

pengendapan sedimen, dan material organik. Material yang menyusun pantai

tersebut biasanya terdiri dari pasir bercampur batu , yang umumnya berasal dari

daratan, yang selain dibawa oleh aliran sungai ataupun yang berasal dari daratan di

belakang pantai tersebut. Di samping berasal dari daratan, material yang menyusun

pantai ini juga dapat berasal dari berbagai jenis biota laut yang ada di daerah pantai

itu sendiri. Pantai tipe ini mudah berubah bentuk, mengalami deformasi, dan

tererosi/abrasi.

Tipe pantai yang yang diteliti sedang mengalami kejadian abrasi yang parah.

Berdasarkan hasil interpretasi dengan citra satelit ALOS hasil pemotretatan tahun

2006, dapat diketahui dengan jelas lahan yang mengalami abrasi. Bentuk pantai di

lokasi ini sudah berubah menjadi teluk kecil yang menjorok ke daratan hingga 1,85

km. Permukiman di kedua wilayah tersebut juga sudah terancam terkena abrasi.

Apalagi dengan semakin tinggi ROB yang terjadi di daerah tersebut maka semakin

parah akibat yang ditimbulkan oleh gabungan antara Abrasi dan Rob. Pada peta

penggunaan lahan yang merupakan gabungan hasil interpretasi citra multi temporal

(1994 dan 2006), tampak jelas bahwa sebaran permukiman di kedua desa tersebut

sudah berada di bibir pantai. Bahkan di desa Bedono sudah ada warga satu dusun

yang di pindah ke wilayah yang lebih aman, yaitu menempati tanah irigasi milik

kantor Pekerjaan Umum (Kantor PU kabupaten Demak).

108 | P a g e

Page 109: Fix Complete

Kantor tersebut sudah hamper terkena air pantai, peritiwa ini terjadi akibat

terkikisnya garis pantai yang terjadi selama sekitar 10 tahun terakhir ini. Semula

mereka membangun rumah dengan jarak dari garis pantai sekitar 500 meter, namun

saat ini posisinya sudah berada di garis pantai (in front) sehingga akses untuk

menuju ke rumah dibuat jembatan darurat dari bahan kayu. Dari hasil wawancara

dengan penduduk, kondisi ini diperparah dengan semakin naiknya rob, yang

menurut informasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan cenderung naik rata-rata 12

cm setiap tahun. Dengan demikian, bila tidak dilakukan upaya pencegahan yang

serius dari pemerintah, tidak tertutup kemungkinan ROB ini akan menggenangi jalan

raya sehingga akan mengganggu aktifitas ekonomi di Jalur Utara Propinsi Jawa

Tengah.

Respon dan Upaya Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Abrasi

1) Respon Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Abrasi

Berdasarkan hasil pengamatan secara mendalam dan hasil wawancara yang

telah dilaksanakan, sebagian besar masyarakat di daerah terkena dampak abrasi

sangat responsif dalam menghadapi bencana abrasi. Respon masyarakat yang

dilakukan ada berbagai cara dan bentuk. Bagi masyarakat yang berbukim didaerah

yang sudah parah atau abrasi masuk sampai ke dalam rumah, maka mereka akan

selalu mencari tahu bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi

masalah tersebut. Sebagian besar dari mereka selalu mengikuti penjelasan atau

kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak luar dalam rangka mengatasi abrasi.

Respon mereka,selain mau mengikuti kegiatan, mereka juga memahami bahwa

abrasi yang datang saat sekarang merupakan masalah bersama. Bahkan ada

sebagian masyarakat yang bersedia untuk direlokasikan.

Respon lain yang ada dari masyarakat adalah berupa kesediaan dan

menerima setiap orang luar masuk ke daerah mereka dengan senang hati dan

penerimaan yang baik. Hal ini diwujudkan dengan selalu dilayaninya dengan baik

dan rasa senang dalam menerima tim peneliti setiap datang ke lokasi. Selain itu,

pada saat dilaksanakan diskusi terfokus, misalnya, semua warga yang diundang

untuk mengikuti kegiatan hadir semua. Bahkan tidak hanya warga setempat yang

terkena dampak yang ikut hadir, tetapi dari unsur masyarakat, perangkat, kepala

Kantor Kecamatan, dinas terkait seperti Bappeda, Kelautan dan Perikanan,

pemberdayaan masyarakat juga memberikan respon positip terhadap kegiatan yang

terkait dengan abrasi. Semua pihak tidak pernah berhenti dan putus asa dalam

upaya mengatasi abrasi.

2) Upaya Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Abrasi

109 | P a g e

Page 110: Fix Complete

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dapat diketahui beberapa upaya

masyarakat di dalam menghadapi bencana Abrasi, Upaya tersebut meliputi tindakan

pencegahan (mitigasi) secara Struktur yang berupa penanaman Mangrove,

pembuatan bangunan penahan gelombang, dan membangun rumah panggung.

Serta upaya mitigasi yang bersifat non Struktur meliputi penyuluhan dari berbagai

instansi, serta berupaya mengangkat issue peristiwa abrasi di daerah ini ketingkat

Nasional hingga Internasional.

a. Penanaman Mangrove di Daerah Abrasi

Tumbuhan mangrove memiliki ciri-ciri (i) tumbuhan berpembuluh

(vaskuler), (ii) beradaptasi pada kondisi salin, dengan mencegah masuknya

sebagian besar garam dan mengeluarkan atau menyimpan kelebihan garam,

(iii) beradaptasi secara reproduktif dengan menghasilkan biji vivipar yang tumbuh

dengan cepat dan dapat mengapung, serta (iv) beradaptasi terhadap kondisi tanah

anaerob dan lembek dengan membentuk struktur pneumatofor (akar napas) untuk

menyokong dan mengait, serta menyerap oksigen selama air surut. Komunitas

mangrove terdiri dari tumbuhan, hewan, dan mikrobia, namun tanpa kehadiran

tumbuhan mangrove, kawasan tersebut tidak dapat disebut ekosistem mangrove

(Jayatissa et al., 2002).

Hutan mangrove alami membentuk zonasi tertentu. Bagian paling luar

didominasi Avicennia, Sonneratia, dan Rhizophora, bagian tengah didominasi

Bruguiera gymnor- rhiza, bagian ketiga didominasi Xylocarpus dan Heritieria, bagian

dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea, dan

Lumnitzera, sedangkan bagian transisi didominasi Cerbera manghas. Pada masa

kini pola zonasi ini jarang ditemukan karena tingginya laju perubahan habitat

akibat penebangan hutan, sedimentasi/ reklamasi, dan pencemaran lingkungan,

meskipun masih dapat dirujuk pada pola zonasi tersebut (Supriharyono, 2007).

Sebelum terjadinya abrasi, daerah penelitian adalah merupakan wilayah

pertambakan yang dikelilingi dengan tanaman mangrove. Dengan demikian,

berdasarkan tingkat kesesuaian lahannya, maka daerah penelitian sesbenarnya

cocok untuk tanaman mangrove. Hal ini didukung dengan kajian lapangan, yaitu

bahwa jenis tanahnya merupakan tanah aluvial hidromorf, dengan tekstur halus.

Dengan berdasarkan pengalaman penduduk setempat bahwa akibat

penebangan vegetasi mangrove maka menyebabkan abrasi semakin meningkat,

timbulah kesadaran akan pentingnya menanam mangrove. Kondisi ini mendapat

dukungan sepenuhnya dari pemerintah seperti dari Dinas Kelautan dan Perikanan

Demak. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah.

110 | P a g e

Page 111: Fix Complete

b. Pembuatan Bangunan Pelindung Gelombang dan Arus Laut

Enegi potensial yang ditimbulkan gelombang secara teoritis dapat dikurangi

dengan berbagai cara, misalnya dengan membuat bangunan pelindung pantai

berupa tembok pemecah gelombang maupun pembuatan bangunan pelindung

lainnya. Sedangkan untuk mengurangi pengaruh arus laut dapat dibuat groin-groin

dari tumpukan batuan maupun tripot. Namun demikian upaya untuk mengurangi

energi gelombang dengan cara tersebut membutuhkan biaya yang tinggi. Hal ini

tidak mungkin dilakukan tanpa bantuan dari pemerintah. Upaya masyarakat yang

telah dilakukan untuk mengurangi abrasi, disamping menanam mangrove, adalah

dengan membuat penahan gelombang dari trucuk-trucuk bambu. Akan tetapi upaya

ini tidak berhasil, bahkan oleh masyarakat sebagai tindakan yang sia-sia. Oleh

karena itu kegiatan pembuatan penahan gelombang dengan trucuk bambu tidak lagi

dilakukan masyarakat. Namun demikian, untuk di daerah pantai yang berbatasan

dengan daratan, masyarakat masih menggunakan bambu untuk menahan erosi

masih banyak dilakukan dengan bambu. Sisa-sisa hasil pembuatan penahan

gelombang dari trucuk bambu dapat dilihat pada gambar 5 di atas.

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah berupaya banyak untuk membantu

membuat bangunan permanen penahan abrasi dalam bentuk tanggul dan jalan.

Pembangunan dalam bentuk tanggul umumnya dilakukan untuk melindungi

ekosistem mangrove seperti yang tampak pada gambar berikut ini. Pada bangunan

tanggul ini tampak jelas secara terbuka berfungsi untuk menahan energi

gelombang. Hanya saja bangunan seperti diatas ini seharusnya dibangun dengan

konstruksi yang kuat, sesuai dengan standar bangunan di lepas pantai. Kenyataan

di lapangan bangunan ini dibuat pada tahun 2007 namun di beberapa bagian sudah

retak, dan rentan mengalami kerusakan. Namun demikian adanya bangunan ini

paling tidak membantu tanaman mangrove untuk dapat tumbuh subur dengan

akumulasi substrat sedimen yang cukup memadai.

Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah membangun kembali jalur

jalan yang menghubungkan desa Surodadi – desa Bedono – desa Sriwulan – ke

Semarang. Karena adanya abrasi dan Rob maka jalan tersebut menjadi rusak berat

dan tidak dapat difungsikan secara optimal. Untuk Tahun Anggaran 2009 ini

pemerintah Kabupaten telah menganggarkan dana sebanyak lima milyard rupiah

untuk merehabilitasi dan meninggikan jalur jalan tersebut setinggi 0.75 meter.

Fungsi ganda dari jalur jalan ini adalah disamping menghidupkan kembali

aksesibilitas antar daerah setempat, juga berfungsi sebagai penanggulangan Abrasi

dan Rob. Gambar di bawah ini adalah situasi jalan yang sedang dilakukan

111 | P a g e

Page 112: Fix Complete

peninggian sehingga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi dan Rob di daerah

setempat.

c. Pembuatan Rumah Ramah Bencana Abrasi

Rumah penduduk baik di desa Sriwulan maupun desa Bedono merupakan

rumah tinggal biasa dengan ketinggian dasar pondasi yang sama dengan jalan.

Kualitas rumah bervariasi mulai dari rumah yang terbuat dari tembok, rumah terbuat

campuran tembok dengan kayu, dan rumah yang terbuat dari kayu. Kualitas bahan,

luas rumah biasanya berkaitan erat dengan tingkat ekonomi masyarakat setempat.

Saat ini, akibat adanya Abrasi dan Rob, maka sebagian besar dari mereka

berupaya meninggikan pondasi rumah tinggal mereka agar air tidak masuk ke

dalam rumah. Namun bagi penduduk dengan kondisi perekonomian yang terbatas

hanya akan membuat tanggul disekitar rumah. Namun effektifitas pembuatan

tanggul ini kurang baik, karena air masih bisa masuk ke dalam rumah. Pada

umumnya penduduk masih bertahan oleh karena berkaitan dengan alasan dekat

dengan tempat pekerjaan (sebagai pencari ikan, kerang) dan lagi pula tidak

mempunyai biaya pindah serta membangun rumah baru.

d. Upaya Non Struktural

Berbagai upaya yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah,

dalam rangka penanggulangan Abrasi dan Rob telah banyak dilakukan. Kerjasama

pemerintah dengan LSM dalam rangka membangun kesadaran masyarakat akan

manfaat mangrove sebagai penahan abrasi sering dilakukan. Masyarakat sendiri

juga sudah membuat kelompok tani yang peduli mangrove dengan fokus kegiatan

pada penanaman, dan pemeliharaan mangrove. Hasilnya adalah di pantai sebelah

timur Bedono (pantai Morodemak) telah berhasil di tanami mangrove dengan

kondisi yang subur. Dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang

diselenggarakan oleh Tim Peneliti di desa Bedono pada tanggal 10 Juli 2009

berhasil diungkap rencana pemerintah untuk menjadikan hutan mngrove di

Morodemak ini sebagai daerah tujuan wisata. Rencana ini perlu didukung

masyarakat setempat karena akan ada multiplier effeck di bidang ekonomi

masyarakat. Dengan adanya daerah tujuan wusata Mangrove diharapkan

masyarakat dapat terlibat dalam hal penyediaan konsumsi, souvenir, guide.

Hal lain yang terungkap dalam kegiatan FGD ini adalah upaya pemerintah

untuk mengangkat issue abrasi dan rob ini ke tingkat nasional dan internasional. Hal

ini beralasan karena penanganan bencana Abrasi memerlukan dana yang sangat

besar sehingga pemerintah daerah Demak sendiri tidak mampu mengatasinya.

Upaya ini memang tidak serta merta dapat respon balik dari pihak pendonor dana,

112 | P a g e

Page 113: Fix Complete

namun paling tidak sudah menjadi referensi bagi negara pendonor tersebut bahwa

sudah ada desa yang terkena dampak Abrasi dan Rob akibat pemanasan global.

Saat ini ada lembaga asing non Pemerintah dari Jepang yang sudah mulai peduli

terhadap bencana Abrasi di desa Bedono, yaitu OISCA. Lembaga OISCA

kepanjangan dari Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement

(organisasi bagi Kemajuan di bidang Industri, Spiritual dan Budaya), merupakan

lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan hidup dari Jepang.

Lembaga ini melakukan bantuan langsung ke lapangan dengan

merehabilitasi SD Bedono yang rusak karena abrasi, dan saat ini sedang

membangun tembok pemecah gelombang untuk melindungi SD tersebut.

Disamping bantuan tersebut OISCA juga memberikan bantuan tanaman mangrove

untuk merehabilitasi pantai bedono. Peran serta OISCA dalam ikut menanggulangi

abrasi di desa Bedono diharapkan menjadi embrio munculnya bantuan asing

lainnya. Model Pelestarian Lingkungan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat

Menghadapi Bencana Abrasi Upaya paling dasar dalam pelestarian lingkungan

pantai akibat bencana abrasi adalah dengan menanam kembali mangrove

sebanyak mungkin. Pengetahuan dan pelajaran bahwa mangrove dapat melawan

hantaman ombak perlu ditanamkan dalam setiap individu dan masyarakat setempat.

Untuk itu maka kegiatan penanaman dan pemeliharaan mangrove harus

menjadi kewajiban dan tanggungan bersama. Untuk menjaga mangrove dari

kerusakan akibat ulah oknum anggota masyarakat perlu ada sangsi yang dibuat dan

disepakati secara bersama. Hal ini karena pemerintah daerah belum membuat

peraturan daerah yang berkaitan dengan pemberian sangsi bagi perusak mangrove.

Selama ini Pemerintah Kabupaten Demak khususnya yang terkait dengan

pelestarian hutan mangrove yang berada di sepanjang pesisir Demak belum ada

peraturan yang tertulis. Hanya himbauan dan larangan kepada siapa saja tentang

manfaat dan akibat jika mangrove ada dan tidak ada di daerah pesisir pantai yang

disampaikan lewat penyuluh-penyuluh yang diselenggarakan pada setiap daerah

pesisir Demak.

Untuk mendukung pelestarian hutan mangrove berbasis masyarakat maka

perlu dilakukan pelatihan Mangrove yang berkaitan dengan pembibitan,

penanaman, dan perawatan mangrove. Untuk itu maka perlu dukungan yang serius

dari dinas yang terkait, dalam hal ini adalah Dinas Kelautan dan Perikanan, serta

Kantor Lingkungan Hidup. Dalam hal penanaman Mangrove, sebaiknya Dinas yang

terkait membimbing dan memotivasi warga untuk menanam tanaman mangrove

sacara swadaya di daerah-daerah yang dapat menjadi benteng wilayah daratan di

113 | P a g e

Page 114: Fix Complete

sekitar desa tersebut. Untuk itu maka pemerintah sebaiknya sesegera mungkin

menggerakkan warganya (terutama yang berlokasi/bertempat tinggal di daerah

pesisir) untuk lebih aktif dalam penanaman dan penyemaian bibit mangrove/bakau

secara swadaya di daerah mereka tanpa harus menunggu bantuan dan kuncuran

dana pihak lain.

Keberhasilan rehabilitasi pantai lewat penanaman mangrove diharapkan

akan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Hal ini karena adanya potensi

yang terkandung di dalam ekosistem mangrove, yaitu dapat dijadikan lokasi wisata

(ecowisata) hutan mangrove baik untuk pendidikan maupun untuk umum. Effek

berantai adanya kegiatan pariwisata ini nantinya adalah meningkatkan

perekonomian masyarakat setempat misalnya dengan berjualan makanan dan

minuman di sekitar obyek wisata.

Berikut gambaran model empiris pelestarian lingkungan wilayah pesisir

berbasis masyarakat dalam menghadapi bencana abrasi akibat perubahan iklim di

Sayung.

114 | P a g e

Page 115: Fix Complete

BAB IVPENUTUP

115 | P a g e

Page 116: Fix Complete

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari karya tulis ini, yaitu:

a. Kerusakan lingkungan hidup khususnya di wilayah pesisir ditegarai akibat

adanya kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan.

Beberapa kerusakan lingkungan di wilayah ini seperti pencemaran, rusuknya

terumbu karang, hilangnya sumber makanan ikan karena pencemaran, abrasi

pantai, pendangkalan, alih fungsi, dan lain-lain. Permasalahan yang terjadi di

wilayah pesisir pantai pada umumnya meliputi terjadinya abrasi dan akresi

pantai, kerusakan dan berkurangnya luasan mangrove dan terumbu karang.

b. Proses pengolahan lingkungan pesisir dan laut, sebaiknya dilakukan dengan

lebih memandang situasi dan kondisi local agar pendekatan pengelolaannya

dapat disesuaikan dengan kondisi local daerah yang akan dikelola.

Pengelolaan Berbasis Masyarakat dapat diartikan sebagai sustu sistem

pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di

tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya

alam yang terkandung di dalamnya.

c. Upaya Masyarakat menghadapi abrasi di daerah dilakukan dengan cara

penanaman mangrove, peninggian lantai rumah, membuat rumah pangggung.

Pengelolaan wilayah pesisir, harus dilakukan secara terpadu dengan

melibatkan masyarakat local, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi, agar kegiatan dapat berjalan berkesinambungan

B. Saran

1. Bagi nelayan, seharusnya tidak lagi menggunakan alat penangkap ikan yang

dapat merusak laut/ pantai (bom), tetapi menggunakan alat yang lebih ramah

lingkungan.

2. Bagi pemerintah adalah membuat rehabilitasi jalur jalan, pembuatan tembok

pelindung gelombang, rehabilitasi pantai dan relokasi penduduk.

DAFTAR PUSTAKA

116 | P a g e

Page 117: Fix Complete

Bengen, DG. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS). Artikel dalam buku Interaksi Daratan dan Lautan Pengaruhnya terhadap Sumberdaya dan lingkungan, editor: Wahyu Budi Setyawan, dkk. LIPI.

Budi, S. (2008). Kemiskinan dan Perlawanan Kaum Nelayan. Malang: Laskbang Mediatama.

Departemen Kehutanan, 2006. Inventarisasi dan Klasifikasi Mangrove. Balai Pengelolaan DAS Pemali Jratun, Semarang.

Ginkel, Rob van. 2007. Coastal Cultures: An Anthropology of Fishing and Whaling Traditions. Apeldoorn: Het Spinhuis Publishers.

Hasanudin, Basri.1985. ”Beberapa Hal Mengenai Struktur Ekonomi Masyarakat Pantai”, dalam A.S. Achmad dan S.S. Acip (Peny.). Komunikasi dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hal. 105-110.

Idris, I. 2001. Kebijakan Pengelolaan Pesisir Terpadu Di Indonesia. Prosiding. Graha Sucofindo. Jakarta

KAI. 2003. Kemitraan Air Indonesia. http://www.inawater.com/news-Berita KAI. Diakses Pada 1 Juni 2013 Pukul 10.58 WITA

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga.

Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press.

Kusnadi, (2000). Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press.

Kusnendi. (2008). Model-model Persamaan Struktural, Satu Multigoup Sampel dengan Lisrel. Bandung: Penertbit Alfabeta.

Manik, K.E.S. 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan, Jakarta.

Moh. Manshur Hidayat & Surochiem As, Artikel Maritim : Pokok-Pokok Strategi Pengembangan Masyarakat Pantai Dalam Mendorong Kemandirian Daerah, Ridev Institute Surabaya

Muflikhati, I. (2010). Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga: Kasus di Wilayah Pasisir Jawa Barat. Jurnal Ilmu Keluarga, 2-10.

Purnomo, Gatot Sugeng. 2005. Strategi Bertahan Hidup: Respons Nelayan terhadap Perubahan Kondisi Daerah Penangkapan Ikan di Selat Madura. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.

Rudy C Tarumingkeng,, (2001) Pengelolaan Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan, http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/grp_paper01/kel1_012.htm,

Satria, A. (2002). Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo.

Singarimbun, M. dan S. Effendi (editor). 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta. LP3S. Supriharyono, M.S. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah pesisir tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Subing, Z. 1995.

117 | P a g e

Page 118: Fix Complete

Pengembangan Wilayah Pantai Terpadu dalam Rangka Pembangunan Daerah. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove. Jember, 3-6 Agustus 1994.

Supriharyono, 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Syahputra, B. 2007. Ramah Lingkungan Dalam Pandangan Islam. http://bennysyah.edublogs.org/2007/01/ 06/ramah-lingkungan-dalam-pandangan- islam/. Diakses Pada 3 Juni 2013 pukul 02:23 WITA

118 | P a g e