fiskal luar negeri

44
Fiskal Luar Negeri Aditya T. Handoko Bwoga - Prime Consulting, 18 Juli 2007 Bagi anda yang biasa berpergian ke luar negeri, tentu tidak asing dengan istilah ini : tarif fiskal. Tetapi belum tentu memahami siapa saja yang terkena tariff tersebut. Fiskal Luar Negeri (FLN) adalah pajak penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Di bawah ini, sedikit ringkasan tentang hal – hal yang mesti diperhatikan dari fiskal luar negeri. Pembayaran dan Pengkreditan FLN 1. Tarif fiskal luar negeri adalah : Rp. 1,000,000 untuk setiap kali penerbangan dengan menggunakan pesawat udara. Rp. 500,000 untuk setiap kali perjalanan dengan mengguakan kapal laut. 2. Dilaksanakan dengan menggunakan Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBPFLN) di Unit Pelaksanan Fiskal Luar Negeri (UPFLN) di bandara udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri, maupun tempat lain yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak. 3. Untuk anggota keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, TBPFLN diisi dengan nama/identitas anggota keluarga yang bertolak ke luar negeri, dan NPWP yang dicantumkan adalah NPWP kepala keluarga. 4. Pembayaran FLN oleh wajib pajak orang pribadi (WP OP) dalam negeri merupakan pembayaran PPh pasal 25 yang dapat

Upload: vanshuri

Post on 06-Aug-2015

92 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fiskal Luar Negeri

Fiskal Luar NegeriAditya T. Handoko Bwoga - Prime Consulting, 18 Juli 2007

   Bagi anda yang biasa berpergian ke luar negeri, tentu tidak asing dengan istilah ini : tarif fiskal. Tetapi belum tentu memahami siapa saja yang terkena tariff tersebut. Fiskal Luar Negeri (FLN) adalah pajak penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Di bawah ini, sedikit ringkasan tentang hal – hal yang mesti diperhatikan dari fiskal luar negeri.

 

Pembayaran dan Pengkreditan FLN

1. Tarif fiskal luar negeri adalah :

Rp. 1,000,000 untuk setiap kali penerbangan dengan menggunakan pesawat udara.

Rp. 500,000 untuk setiap kali perjalanan dengan mengguakan kapal laut.

2. Dilaksanakan dengan menggunakan Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBPFLN) di Unit Pelaksanan Fiskal Luar Negeri (UPFLN) di bandara udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri, maupun tempat lain yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak.

3. Untuk anggota keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, TBPFLN diisi dengan nama/identitas anggota keluarga yang bertolak ke luar negeri, dan NPWP yang dicantumkan adalah NPWP kepala keluarga.

4. Pembayaran FLN oleh wajib pajak orang pribadi (WP OP) dalam negeri merupakan pembayaran PPh pasal 25 yang dapat dikreditkan dengan PPh yang terutang pada SPT tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan.

5. Pembayaran FLN oleh WP OP yang tidak mempunyai NPWP dapat dikreditkan dengan PPh terutang dengan syarat WP OP tersebut mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP serta menyampaikan SPT tahunan PPh ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat domisili WP.

6. Pembayaran FLN oleh karyawan yang bertolak keluar negeri tidak dapat dikreditkan dengan PPh pasal 21.

7. Pembayaran FLN bagi karyawan (tidak termasuk istri dan anak) yang ditanggung pemberi kerja merupakan angsuran PPh pasal 25 bagi pemberi kerja yang dapat dikreditkan terhadap PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh badan Pemberi Kerja untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Page 2: Fiskal Luar Negeri

 

Pengecualian Fiskal Luar Negeri

   Orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri dikecualikan dari pembayaran FLN dengan cara sebagai berikut :

Pembebasan langsung, diberikan oleh pejabat Direktorat Jendral Pajak yang Berwenang. Pembebasan melalui Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN) diterbitkan

oleh Unit Fiskal Luar Negeri (UPFLN) DJP.

 

Pembebasan Langsung

   Beberapa pembebasan langsung diantaranya :

1. Anggota korps dilplomat, pegawai perwakilan negara asing. Staf dari badan- badan Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) dan sebagainya.

2. Pejabat negara, anggota TNI, POLRI atau PNS yang bertolak ke Luar Negeri dalam rangka dinas yang menggunakan paspor dinas.

3. Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha, dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

4. Orang pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah kerjasama ekonomi sub regional Asean yang bertolak ke Luar negeri dalam daerah kerjasama melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerjasama tersebut.

 

Pembebasan Melalui Pemberian SKBFLN

   Beberapa pembebasan melalui pemberian SKBFLN diantaranya :

1. Anggota TNI, POLRI, atau PNS yang bertugas di bidang keamanan dan pelayanan pemerintah di daerah perbatasan yang melaksanakan dinas ke luar negeri dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan.

2. Tenaga kerja warga negara asing, pendatang yang bekerja di Pulau Batam, Pulau Bintan, Pulau Karimun sepanjang Mereka telah dipotong PPh pasal 21/26 oleh pemberi kerja, SKBFLN di terbitkan oleh UPFLN DJP di daerah setempat.

3. Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bertempat tinggal atau tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong PPh pasal 26 oleh pemberi penghasilan.

Page 3: Fiskal Luar Negeri

4. Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan penelitian di Bidang Ilmu pengetahuan dan kebuadayaan di bawah koordinasi lembaga resmi pemerintah, sepanjang tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

 

Cara Memperoleh SKBFLN

 

1. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jendral Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat keberangkatan di luar negeri.

2. Bila permohonan disetujui, maka akan diberikan rekomendasi pembebasan FLN. 3. Berdasarkan rekomendasi tersebut, UPFLN dipelabuhan laut atau bandar udara tempat

pemberangkatan akan menerbitkan SKBFLN. 4. Bagi WP luar negeri yang berkerja di Indonesia untuk kepentingan kantor perwakilan

wilayah perusahaan asing, permohonan pembebasan kewajiban membayar FLN diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai unit pelaksana FLN dimana kantor perwakilan wilayah perusahaan asing tersebut berkedudukan sebagai pengganti SKBFLN.

Demikian Sekilas mengenai Fiskal Luar Negeri

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL LUAR NEGERI

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1.Latar Belakang Masalah

Warga Negara Indonesia (WNI) yang hendak bepergian ke luar negeri dikenai kewajiban

untuk membayar Fiskal Luar Negeri (FLN). FLN merupakan salah satu dari sekian banyak

kebijakan pemerintah berkenaan dengan pelaksanaan fungsi budgetair dan fungsi regulerren.

Fungsi budgetair dalam hal ini adalah berkenaan dengan peranan FLN sebagai salah satu pos

penerimaan negara, dan fungsi regulerren berkenaan dengan upaya pemerintah untuk mengatur

dan atau membatasi WNI yang hendak bepergian ke luar negeri.

Ketentuan berkenaan dengan FLN ini banyak menimbulkan kritik dari banyak kalangan

karena dinilai memberatkan dan cenderung dianggap membatasi hak warga negara untuk

Page 4: Fiskal Luar Negeri

berkunjung ke luar negeri. Disamping itu sudah banyak Negara lain (bahkan di kawasan Asia

Tenggara) yang menghapuskan kebijakan ini. Dengan beberapa pertimbangan tersebut, banyak

pihak memberikan masukan kepada pemerintah untuk menghapuskan kebijakan FLN. Wacana

untuk menghapuskan FLN tersebut akhirnya berujung pada lahirnya kebijakan pemerintah untuk

menghapus FLN secara bertahap yang akan mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009

mendatang.

Dasar hukum berkenaan dengan penghapusan FLN (secara bertahap) terdapat pada

ketentuan Pasal 25 ayat (8) Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat

atas Undang Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa:

“Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 (dua

puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur

dengan Peraturan Pemerintah”, yang secara a contrario berarti bahwa FLN tidak wajib dibayar

oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan bertolak ke luar negeri dan telah

memiliki NPWP atau belum berusia 21 tahun. Ketentuan tersebut merupakan penyempurnaan

atau perubahan ketentuan dalam Pasal 25 ayat (8) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000

tentang perubahan ketiga Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang

menyebutkan bahwa: “Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri wajib

membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Peraturan Pemerintah

yang dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2000

tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri

khususnya ketentuan pasal 1 dan pasal 2 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap orang

pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar Pajak Penghasilan (Fiskal Luar Negeri)

sebesar Rp. 1.000.000,- jika menggunakan pesawat udara, Rp. 500.000,- jika menggunakan

kapal laut, dan Rp. 200.000,- jika melalui perjalanan darat.

Dengan diberlakukannya UU Pajak Penghasilan yang baru (UU 36/2008) maka perlakuan

mengenai Fiskal Luar Negeri juga mengalami penyesuaian. Jika dulu setiap orang yang hendak

bepergian ke luar negeri diharuskan membayar fiskal luar negeri yang besarnya satu juta rupiah

jika menggunakan pesawat udara (lewat udara) dan lima ratus ribu jika menggunakan kapal laut

dan atau perjalanan darat, maka dengan ketentuan yang baru orang pribadi yang telah memiliki

NPWP atau belum berumur 21 tahun dibebaskan dari kewajiban tersebut. Ketentuan ini akan

Page 5: Fiskal Luar Negeri

mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009 hingga akhir 2010. Selanjutnya mulai 01 Januari 2011

setiap orang yang akan bepergian keluar negeri dibebaskan dari kewajiban untuk membayar

fiskal luar negeri.

 

 

 

1.2.Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam

penulisan ini adalah:

Bagaimanakah ketentuan normatif mengenai Kebijakan Fiskal Luar Negeri

yang ada di Indonesia?

Bagaimana dampak pemberlakuan kebijakan pembebasan Fiskal Luar

Negeri di Indonesia?

 

1.3.Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana

ketentuan normatif Kebijakan Fiskal Luar Negeri yang ada di Indonesia, dan bagaimana dampak

kebijakan tersebut.

 

1.4.Manfaat Penulisan

Manfaat praktis dari penulisan ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak

kebijakan pembebasan Fiskal Luar Negeri bagi Penerimaan Pajak dan apa saja manfaatnya

dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

 

Page 6: Fiskal Luar Negeri

 

 

 

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1. Definisi Kebijakan Publik

Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud

dengan kebijakan publik (public policy) dalam literatur-literatur ilmu politik. Masing-masing

definisi tersebut memberikan penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena

masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara disisi yang lain,

pendekatan dan model yang digunakan oleh para ahli akhirnya juga akan menentukan bagaimana

kebijakan publik tersebut hendak didefinisikan. Kebijakan publik dalam perspektif penulis secara

garis besar dipahami sebagai: (1) kebijakan publik yang menjalankan fungsi sebagai decision

making process; (2) kebijakan publik sebagai sebuah proses managerial, yaitu kebijakan publik

sebagai rangkaian kerja pejabat publik dalam membuat dan menerapkan sebuah kebijakan; (3)

kebijakan publik dikategorikan sebagai bentuk intervensi pemerintah; dan (4) kebijakan publik

merupakan sarana interaksi antar negara dan rakyatnya.

            Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert Eyestone yang

mengatakan bahwa: secara luas, kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu

unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep Eyestone ini mengandung pengertian yang

sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik mencakup

banyak hal. Thomas R. Dye mengatakan bahwa: kebijakan publik adalah apapun yang dipilih

oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Walaupun batasan yang diberikan oleh

Dye ini agak tepat, namun batasan ini tidak cukup memberikan pembedaan yang jelas antara apa

yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan. Konsep

ini bisa mencakup hal-hal yang bersifat privat yang sebenarnya sudah berada diluar domain

kebijakan publik seperti KTUN (Keputusan Tata Usaha Negara). Richard Rose, seorang pakar

Page 7: Fiskal Luar Negeri

ilmu politik, menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan

yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang

bersangkutan dari pada suatu keputusan yang tersendiri. Definisi ini bersifat ambigu namun

berguna karena kebijakan dipahami sebagai suatu arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar

suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Carl Friedrich memandang kebijakan sebagai suatu

arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu

lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap

kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu

tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu. Definisi yang diberikan oleh

Friedrich ini menyangkut dimensi yang sangat luas karena kebijakan tidak hanya dipahami

sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok dan individu. Point

pentingnya adalah kebijakan dilihat sebagai suatu perilaku (arah tindakan) yang mempunyai

maksud dan tujuan.

Chandler dan Plano menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan pemanfaatan

strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik.

Menurutnya, kebijakan publik merupakan bentuk intervensi negara untuk melindungi

kepentingan masyarakat (kelompok) yang kurang beruntung. Definisi Chandler dan Plano tersebut

menunjukkan bahwa kebijakan publik masuk dalam lapis pemaknaan kebijakan publik sebagai

intervensi dari pemerintah.

Easton berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan pengalokasian  nilai-nilai 

kekuasaan  untuk  seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup

pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut

merupakan bentuk  dari  sesuatu  yang  dipilih  oleh  pemerintah  yang  merupakan  bentuk  dari

pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Dalam hal ini kebijakan  publik  merupakan  proses 

pengambilan keputusan (decision making). Berdasarkan definisinya, sebuah kebijakan publik

akan efisien ketika berada dalam ranah pemerintahan. Artinya, kekuasaan negara dalam

kebijakan publik ini sangat besar.

Anderson mengungkapkan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan-kebijakan yang

dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu

adalah;

Page 8: Fiskal Luar Negeri

kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai

tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;

kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;

kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan;

kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan

tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam

arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;

kebijakan publik pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif

didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Amir Santoso dengan menggunakan metode komparasi dari berbagai definisi kebijakan

publik yang ada, membedakan kebijakan publik sebagai: (1) kebijakan publik sebagai tindakan-

tindakan pemerintah, yang mencakup tahap-tahap tertentu seperti perumusan kebijakan,

pelaksanaan kebijakan, dan penilaian atau evaluasi, dan (2) kebijakan publik sebagai suatu

pelaksanaan kebijakan yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan

pemerintah yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu, dan kebijakan publik diangap sebagai

suatu yang dapat diramalkan akibatnya.

Selanjutnya Arief Ramelan Karseno, MA.,Ph.D. menyatakan bahwa kebijakan publik

dipahami sebagai kebijakan, baik politik, ekonomi, dan sosial yang diambil secara kolektif, demi

kepentingan/keuntungan masyarakat secara bersama-sama  (kolektif). Kebijakan  Publik  itu 

bisa  berbentuk “aturan  atau  rambu-rambu” perdagangan dalam hubungan ekonomi antara

anggota masyarakat; bisa berbentuk pembuatan atau penyediaan barang yang akan dipakai

bersama  (disebut barang publik) atau bahkan, bisa berbentuk hukum dan kode etik hubungan

antara manusia sebangsa yang sering kita sebut dengan budaya yang diterima   secara umum

dalam masyarakat itu.

Dari berbagai pendapat tersebut, berkaitan dengan konteks penulisan kali ini dengan

objek penulisan kebijakan publik di bidang Fiskal Luar Negeri, maka penulis berpendapat bahwa

Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti government

yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh berbagai

bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, maupun masyarakat (baik sebagai individu

Page 9: Fiskal Luar Negeri

maupun kelompok). Dalam tahap perumusan kebijakan, memang dalam hal ini pemerintah

mempunyai peranan yang besar dalam ‘mempositifkan’ berbagai macam kebijakan, namun hal

ini tidak berarti terlepas dari dunia diluar pemerintahan (masyarakat) itu sendiri karena kita tahu

berbagai macam bentuk kebijakan yang ada pada dasarnya harus ‘mengikuti kehendak pasar’ dan

demi kepentingan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat (tujuan tertinggi pembentukan

suatu negara). Dalam tahap implementasi dan evaluasi, kebijakan publik yang telah digulirkan

oleh pemerintah sebagai suatu pola perilaku yang mempertimbangkan arah tindakan dan sasaran-

sasaran tertentu yang ingin dicapai, tidak akan terlepas dari peran masyarakat (baik itu kelompok

maupun individu). Dengan kalimat lain dapat dijelaskan bahwa masyarakat berperan sebagai

‘kepanjangan tangan’ bagi pemerintah ketimbang sebagai objek baik dalam perumusan,

pelaksanaan, maupun dalam tahap evaluasi kebijakan. Lebih lanjut, kebijakan pada intinya

merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur

pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan

publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat, atau warga negara. Kebijakan merupakan

hasil dari adanya sinergi, kompromi, atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori,

ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara. Dengan

demikian ciri-ciri dari kebijakan publik adalah adanya peran dasar pemerintah, bersentuhan

dengan kepentingan publik, berorientasi kepada kepentingan publik, dan melalui mekanisme

positivisme hukum (apapun instrumen yang digunakan, baik itu produk hukum maupun produk

politik), dan dalam koridor APBN atau dalam kerangka pola umum pembangunan berjangka

(yang terencana) dari suatu negara.

 

2.2. Landasan Teori

Untuk memahami kebijakan publik setidaknya ada enam pendekatan/teori yang bisa

dipakai. Pendekatan ini berdasarkan pada konstruksi silogisme (bagaimana cara memperoleh

data dan membuat kesimpulan-kesimpulan), dan berdasarkan unit analisis yang menjadi obyek

penulisan. Silogisme dibedakan menjadi dua, yaitu metode deduktif dan induktif. Metode

Deduktif merupakan pendekatan atau cara berfikir untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang

berangkat dari hal-hal yang bersifat umum (premis mayor) dan diakhiri dengan hal-hal yang

bersifat khusus (premis minor). Metode Induktif bersifat sebaliknya, berangkat dari premis minor

Page 10: Fiskal Luar Negeri

(hal-hal khusus) menuju ke premis mayor (general). Sedangkan pendekatan berdasarkan unit

analisis, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: individu, kelompok, dan institusi.

            Apabila kita menggunakan pendekatan metode: deduktif dengan unit analisis: individu,

maka akan dikenal teori pertama untuk memahami kebijakan publik, yaitu: Rational Choice

Theory (Public Choice). Rational Choice Theory berangkat dari asumsi bahwa individu-

individu mempunyai kepentingan untuk memaksimalkan keuntungan-keuntungan pribadi

(maximizing their own benefit). Public Choice sebagai sebuah analisis untuk memahami

kebijakan publik meyakini bahwa manusia adalah individu-individu yang rasional, yang

mengejar keuntungan-keuntungan untuk kemakmuran pribadi. Rational Choice Theory

memandang: kebijakan publik digunakan untuk merespon kekuatan-kekuatan eksternal untuk

mensupport mekanisme pasar, mengatasi market inefficiency, dan untuk mengatasi monopoli.

Point penting dalam public choice adalah adanya regulatory policy, dimana kebijakan publik

dibuat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan hukum-hukum ekonomi pasar,

dengan ciri-ciri adanya competitive regulatory policy yang menjamin adanya persaingan yang

sehat diantara pelaku-pelaku ekonomi sehingga tidak dimungkinkan terjadi monopoli, dan

adanya proteksi terhadap kelompok-kelompok lemah.

            Teori yang kedua adalah Marxisme, dimana usaha pemahaman policy making process

menggunakan pendekatan metode deduktif dengan unit analisis kelompok. Marxisme

memandang ekonomi atau material sebagai faktor utama bagi bergeraknya suatu masyarakat.

Pergerakan masyarakat sangat dipengaruhi oleh mode of production (sistem produksi) yang

nantinya akan menentukan pola-pola hubungan produksi (relationship of production) yang ada di

masyarakat dan alat-alat produksi (means of production). Hal tersebut akan memunculkan

adanya dua kelompok besar masyarakat dalam marxisme, yaitu kelompok yang menguasai

faktor-faktor produksi (kelompok borjuis) dan kelompok yang menjadi alat produksi (kelompok

proletar). Kebijakan publik merupakan hasil dari interaksi antar klas yang di dalamnya ada

ordinant dan sub ordinant.

            Neo Institusionalisme merupakan teori yang ketiga untuk memahami kebijakan publik

yang menggunakan metode deduktif dengan unit analisis institusi. Neo Institusionalisme

mengkaji bagaimana hubungan lembaga-lembaga negara dengan individu, tidak hanya

bagaimana hubungan antar lembaga negara dan bagaimana konstitusi mengaturnya sebagaimana

Page 11: Fiskal Luar Negeri

dalam paradigma old institusionalisme. Lebih dari itu, dalam neo institusionalisme terdapat

semacam ‘transaksi politik’ antara penguasa dengan individu. Kebijakan publik yang lahir bukan

semata-mata karena elit (penguasa) punya otoritas, akan tetapi kebijakan publik bersifat

transaksional, dan bersifat saling menguntungkan satu sama lain.

            Teori yang keempat adalah Welfare Economic, dengan metode induktif dan individu

sebagai unit analisis. Welfare Economic merupakan suatu pendekatan yang dipakai untuk

memahami kebijakan publik yang berkaitan dengan keputusan-keputusan sosial dan

kesejahteraan rakyat. Terdapat dua mainstream pemikiran ekonomi, yang pertama adalah

Kapitalisme (manifesto non komunism), kedua adalah Sosialisme (manifesto komunism). Dalam

kapitalisme, pasar sangat berperan dalam membentuk suatu kondisi equilibrium. Peran negara

sangat diminimalisir karena yang berjalan adalah mekanisme pasar. Dalam welfare state,

kebijakan publik berperan sebagai suatu solusi untuk mengatasi masalah market failure, dan

berperan dalam mengkoreksi pasar, dengan tujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sebaliknya dalam sosialisme, peranan negara menjadi sangat dominan dan malah menjadi

determinant dalam mengupayakan kesejahteraan rakyat melalui berbagai macam kebijakan-

kebijakannya.

            Selanjutnya teori yang kelima adalah Pluralisme atau Corporatisme yang merupakan

upaya memahami kebijakan publik dengan menggunakan metode induktif dengan unit analisis

kelompok. Corporatisme menekankan adanya peran kelompok-kelompok dominan sebagai yang

berkepentingan atas kebijakan tertentu. Hal semacam ini dapat terjadi apabila sebagian besar

faktor-faktor produksi yang ada di suatu negara ‘dikuasai’ oleh sekelompok atau beberapa

kelompok atau golongan tertentu. Kepentingan kelompok-kelompok tersebut yang akan

menentukan arah kebijakan yang seperti apa yang akan diambil oleh negara.

            Teori yang keenam adalah Stateisme yang menggunakan metode induksi dengan intsitusi

sebagai unit analisis. Pendekatan ini sangat memperhatikan aspek-aspek pembentukan kebijakan,

konfigurasi dari institusi (negara), dan kekuatan sistem ekonomi dan politik suatu negara. Negara

dianggap sebagai suatu alat untuk melayani masyarakat melalui kebijakan yang dibuatnya.

Seakan-akan tugas mendasar dari suatu negara adalah membuat kebijakan. Faktor yang dominan

dari pembuatan kebijakan adalah adanya ‘kepentingan’ dari  negara itu sendiri.

Page 12: Fiskal Luar Negeri

            Di antara keenam teori tersebut, apabila merujuk pada penerapan kebijakan di bidang

Fiskal Luar Negeri di Indonesia, maka pendekatan yang paling relevan menurut penulis adalah

sesuai dengan teori Neo Institusionalisme (dengan menggunakan metode deduktif dengan unit

analisis institusi). Ciri khas dari Neo Institusionalisme adalah kebijakan publik menjadi semacam

hasil kesepakatan politik antara negara (penguasa) dengan rakyat (masyarakat), dan kebijakan

publik bersifat transaksional (saling menguntungkan satu sama lain). Dalam konteks kebijakan

berkaitan dengan pembebasan Fiskal Luar Negeri secara bertahap sebagaimana ketentuan dalam

pasal 25 ayat (8) UU No 36 Tahun 2008, maka sifat transaksional ini dapat terlihat dari

keberlakuan kebijakan dalam kurun waktu 01 Januari 2008 s/d 31 Desember 2010. Bagi Wajib

Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) yang telah memiliki NPWP diberikan

pembebasan dari kewajiban membayar FLN, dengan begitu Pemerintah berharap Subyek Pajak

yang belum berNPWP dapat tergerak hatinya untuk mendaftarkan diri guna memperoleh NPWP.

2.3. Metode Pencarian Data

Metode Pencarian Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode ‘snow ball

effect rolling up’. Penulis menelusuri keberlakuan peraturan perundang-undangan dari mulai

yang terbaru, kemudian dengan memperhatikan konsideran-konsideran dari peraturan tersebut

penulis menelusuri ke belakang. Instrument yang digunakan untuk melakukan penelusuran

peraturan adalah search engine yang ada di situs Direktorat Jenderal Pajak www:pajak.go.id

yang dapat diakses oleh semua pihak. Keyword yang digunakan adalah Fiskal Luar Negeri.

Keterbatasan instrument menjadi kendala tersendiri karena situs tersebut hanya menyediakan

data sampai dengan tahun 1983.

Kendala lain yang dihadapi oleh penulis adalah keterbatasan akses data berkaitan dengan

realisasi penerimaan pajak dari sektor Fiskal Luar Negeri dari tahun ke tahun, berapa WP yang

mengkreditkan pembayaran FLN sebagai pajak masukan, dan berapa jumlah NPWP baru yang

dilatarbelakangi oleh adanya kebijakan pembebasan FLN mulai 01 Januari 2009 kedepan. Hal ini

karena sifat kerahasiaan data, disamping karena memang data yang dibutuhkan oleh penulis

tidak tersaji. Beberapa data yang disajikan berkaitan dengan realisasi penerimaan FLN

didapatkan dari sumber eksternal DJP.

 

Page 13: Fiskal Luar Negeri

 

 

 

 

 

 

 

BAB 3

ANALISIS

 

3.1. Pengertian Fiskal Luar Negeri

Fiskal Luar Negeri (FLN) adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri.

Pembayaran dan Pengkreditan FLN

1.      Tarif Fiskal Luar Negeri adalah :Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan

menggunakan pesawat udara atau melalui bandara;Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan

dengan menggunakan kapal laut atau melalui pelabuhan laut;Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan

dengan menggunakan sarana transportasi darat.2.      Dilaksanakan dengan menggunakan Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri

(TBFLN) di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri maupun tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak;

3.      Anggota keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, TBPFLN diisi dengan nama/identitas anggota keluarga yang bertolak ke luar negeri, dan NPWP yang dicantumkan adalah NPWP kepala keluarga.

4.      Pembayaran FLN bagi Wajib Pajak Orang Pribadi  (WPOP) Dalam Negeri merupakan pembayaran PPh pasal 25 yang dapat dikreditkan dengan PPh yang terutang pada SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan;

5.      Pembayaran FLN bagi WPOP yang tidak mempunyai NPWP dapat dikreditkan dengan PPh terutang dengan syarat WPOP tersebut mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP

Page 14: Fiskal Luar Negeri

serta menyampaikan SPT Tahunan PPh ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)  tempat domisili WP;

6.      Pembayaran FLN bagi karyawan yang bertolak ke Luar Negeri tidak dapat dikreditkan dengan PPh Pasal 21 oleh karena merupakan pembayaran PPh Pasal 25.

7.      Pembayaran FLN bagi karyawan (tidak termasuk isteri dan anak), yang ditanggung pemberi kerja merupakan angsuran PPh pasal 25 bagi pemberi kerja yang dapat dikreditkan terhadap PPh terutang dalam SPT Tahunan Pemberi Kerja untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Pengecualian Fiskal Luar Negeri

Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri dikecualikan dari pembayaran FLN dengan cara sebagai berikut :

pembebasan langsung, diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang;

pembebasan melalui pemberian Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN) diterbitkan Unit Fiskal Luar Negeri (UPFLN) DJP.

Pembebasan Langsung:

a.      Anggota Korps Diplomatik, Pegawai Perwakilan Negara Asing. staf dari Badan-Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). tenaga ahli dalam rangka kerja sama teknik dan staf dari Badan/ Organisasi internasional yang mendapat persetujuan Pemerintah RI, sepanjang mereka bukan Warga Negara Indonesia (WNI) dan disamping jabatan resminya tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha di Indonesia beserta anggota keluarga dan pembantu rumah tangganya yang bukan WNI. 

b.      Pejabat negara, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polisi Republik Indonesia (POLRI)  dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertolak ke luar negeri dalam rangka dinas yang menggunakan Paspor Dinas, dan dilengkapi dengan surat tugas/perjalanan dinas ke luar negeri  untuk setiap kali keberangkatan. Dalam hal keberangkatannya ke Luar Negeri dalam rangka penempatan di luar negeri, pembebasan diberikan juga kepada isteri dan anak-anaknya.

c.       Anggota TNI atau POLRI yang mendapat tugas sebagai pasukan PBB atau dalam rangka latihan bersama dengan pasukan negara lain di luar negeri.

d.      Petugas imigrasi yang melakukan tugas pemeriksaan keimigrasian dalam  pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional atau kapal laut perusahaan pelayaran nasional. 

e.      Jemaah haji yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Departemen Agama dan petugas pelaksana pemberangkatan haji yang pembiayaannya dibebankan pada dana ONH.

f.        Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah RI dengan mempergunakan Pas Lintas Batas sesuai  dengan perjanjian lintas batas dengan negara terkait;

g.      Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha, dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. 

h.      Orang asing yang karena sesuatu hal diperintahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk meninggalkan wilayah Republik Indonesia.

Page 15: Fiskal Luar Negeri

i.        Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub regional ASEAN yang bertolak ke luar negeri dalam daerah kerja sama melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerjasama.

j.        Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub regional Indonesia-Australia (AIDA) yang bertolak ke Australia melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri  dalam daerah kerjasama kecuali Bali.

 

Pembebasan melalui pemberian SKBFLN:

a.      Anggota TNI atau POLRI  dan PNS yang bertugas dibidang keamanan dan pelayanan pemerintahan di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke luar negeri dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan;

b.      Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di Pulau Batam yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang di pulau tersebut, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan atau telah terdaftar sebagai wajib pajak dan telah memenuhi kewajiban Pajak penghasilannya pada Kantor Pelayanan Pajak Batam.  

c.       Tenaga Kerja Warga Negara Asing pendatang yang bekerja di pulau Batam, pulau Bintan ,pulau Karimun, sepanjang mereka telah dipotong PPh Pasal 21/26 oleh pemberi kerja, SKBFLN diterbitkan oleh UPFLN Direktorat Jenderal Pajak di daerah setempat;

d.      Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bertempat tinggal atau tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari (seratus delapan puluh tiga) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong PPh pasal 26 oleh pemberi penghasilan. 

e.      Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dari pimpinan sekolah atau perguruan tinggi yang bersangkutan dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari  Indonesia.

f.        Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan penulisan dibidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dibawah koordinasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau lembaga resmi Pemerintah lainnya serta Departemen Pendidikan Nasional, sepanjang tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari  Indonesia.

g.      Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka pelaksanaan program kerjasama teknik dengan mendapat persetujuan Sekretariat Kabinet serta tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. 

h.      Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan tugas sebagai anggota misi keagamaan dibawah koordinasi Departemen Agama dan misi kemanusiaan dibawah koordinasi Departemen terkait. 

i.        Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial termasuk 1 (satu) orang pendamping dengan persetujuan Menteri Kesehatan

j.        Anggota Korps Diplomatik, Pegawai Perwakilan Negara Asing, staf dari Badan-Badan Perserikatan Bangsa Bangsa, tenaga ahli dalam rangka kerja sama teknik dan staf dari Badan/ Organisasi internasional beserta isteri dan anak-anaknya yang merupakan anggota keluarga  seperti yang dimaksud dalam angka 1 huruf a; 

Page 16: Fiskal Luar Negeri

k.       Anak-anak yang berangkat ke Luar Negeri sepanjang umurnya tidak melebihi 12 tahun berdasarkan Bukti Surat kependudukan atau paspor yang bersangkutan.

l.        Orang pribadi yang berasal dari bekas propinsi Timor Timur yang berada di Indonesia dalam status pengungsi, yg telah memutuskan menjadi Warga Negara bekas Propinsi Timor Timur dan akan kembali Ke Timor Timur, berdasarkan rekomendasi Palang Merah Indonesia .

m.    WNI yang akan bekerja di Luar Negeri dalam rangka program pengiriman TKI dengan persetujuan Menteri Tenaga Kerja.

n.      Awak pesawat terbang dan awak kapal laut yang beroperasi di jalur internasional atau yang melakukan penerbangan, pelayaran, dan operasi berdasarkan perjanjian carter angkutan.

o.      Anggota misi kesenian, misi Olah raga dan misi keagamaan serta misi dagang atau pameran yang mewakili pemerintah RI di luar negeri.

p.      Mahasiswa atau pelajar Indonesia yang pergi ke Luar Negeri serta guru Indonesia dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa atau pelajar atau guru yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Badan Asing dengan persetujuan Menteri terkait.

q.      WNI yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki tanda pengenal resmi sebagai penduduk luar negeri tersebut dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia sepanjang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan pembebasan tersebut hanya diberikan untuk 4 (empat) kali dalam masa 1 (satu) tahun takwim.

r.       Orang Pribadi WNA yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Catatan :huruf e, f, g, h, o, dan p tidak berlaku bagi isteri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya. 

 

Cara memperoleh SKBFLN

1.      Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat keberangkatan ke luar negeri.

2.      Bila permohonan disetujui, maka akan diberikan rekomendasi pembebasan FLN.3.      Berdasarkan rekomendasi tersebut, unit FLN di pelabuhan laut atau bandar udara

tempat pemberangkatan akan menerbitkan SKBFLN.4.      Bagi WP luar negeri yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan kantor perwakilan

wilayah perusahaan asing, permohonan pembebasan kewajiban membayar FLN diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai unit pelaksana FLN dimana kantor perwakilan wilayah perusahaan asing tersebut berkedudukan, sebagai pengganti SKBFLN.

 

3.2. Landasan Hukum Penerapan Kebijakan Fiskal Luar Negeri

Page 17: Fiskal Luar Negeri

Sejarah berlakunya ketentuan mengenai Fiskal Luar Negeri di Indonesia dimulai ketika

dilaksanakannya reformasi di bidang perpajakan pada Tahun 1983, dimana pada saat itu DPR

menyetujui paket Rancangan Undang Undang Perpajakan yang diajukan Pemerintah untuk

disahkan menjadi Undang Undang meliputi:

Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan;Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; danUndang Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam ketentuan Pasal 25 ayat (8) UU 7/1983 diatur mengenai kewajiban Wajib Pajak yang

akan bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya akan diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Landasan hukum berkaitan dengan kewajiban membayar FLN sebelum reformasi UU

Perpajakan Tahun 1983 adalah Keppres 84/1982, dimana menurut ketentuan tersebut setiap

WPOPDN yang akan bertolak ke luar negeri dibebani dengan kewajiban membayar FLN sebesar

Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). Ketentuan ini berlaku sampai dengan tanggal 05 Oktober

1986 sampai dengan ditanda tanganinya KMK 828 dan 830 Tahun 1986 yang mengatur

mengenai tarif FLN sebesar Rp. 250.000,- dan subyek pajak FLN WPOPDN dengan usia lebih

dari 12 Tahun. Namun demikian KMK ini tidak membedakan antara subyek pajak yang

menggunakan sarana kapal laut ataupun kapal udara untuk bepergian ke luar negeri. Walaupun

demikian KMK ini terlihat cukup lama bertahan karena baru dilakukan penyesuaian pada 14 Juli

1990 dengan dikeluarkannya KMK 768/1990 yang membedakan tarif antara yang menggunakan

kapal udara dengan kapal laut sebagai sarana bertolak ke luar negeri. Untuk WPOPDN yang

bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara berlaku tarif 250 ribu untuk setiap

keberangkatan, sedangkan yang menggunakan kapal laut dikenai kewajiban FLN sebesar 100

ribu rupiah.

            Periode berikutnya adalah masa keberlakuan PP 46/1994 yang merupakan ketentuan

pelaksana dari amanat pasal 25 ayat(8) UU 7/1983. Dalam ketentuan pasal 1 dan pasal 2 PP

46/1994 disebutkan bahwa Orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri diwajibkan

membayar Pajak Penghasilan, dan besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar oleh orang

pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah :

Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) bagi setiap orang untuk

setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara;

Page 18: Fiskal Luar Negeri

Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) bagi setiap orang untuk setiap kali

bertolak ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut;

Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) bagi setiap orang untuk setiap kali

bertolak ke luar negeri melalui darat.

PP 46/1994 ini mulai diberlakukan pada 01 Januari 1995 sampai dengan diterbitkannya PP

42/2000 pada tanggal 23 Juni 2000 yang memperbaruhi tarif FLN menjadi:

Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak

ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara;

Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali

bertolak ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut; dan

Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) untuk setiap kali perjalanan dengan

menggunakan sarana transportasi darat.

 

Ketentuan dalam PP 42/2000 tersebut sampai sekarang masih berlaku.

Periode berikutnya adalah masa keberlakuan UU Pajak Penghasilan yang baru (UU

36/2008). Dengan berlakunya UU 36/2008 maka perlakuan mengenai Fiskal Luar Negeri juga

mengalami penyesuaian. Jika pada periode sebelumnya setiap orang yang hendak bepergian ke

luar negeri diharuskan membayar fiskal luar negeri yang besarnya satu juta rupiah jika

menggunakan pesawat udara (lewat udara) dan lima ratus ribu jika menggunakan kapal laut dan

atau perjalanan darat, maka dengan ketentuan yang baru orang pribadi yang telah memiliki

NPWP atau belum berumur 21 tahun dibebaskan dari kewajiban tersebut. Ketentuan ini akan

mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009 hingga akhir 2010. Selanjutnya mulai 01 Januari 2011

setiap orang yang akan bepergian keluar negeri dibebaskan dari kewajiban untuk membayar

fiskal luar negeri. Tabel berikut ini akan menunjukkan bagaimana keberlakuan kebijakan Fiskal

Luar Negeri di Indonesia dari tahun ke tahun.

 

Tabel 1

Page 19: Fiskal Luar Negeri

Kebijakan Fiskal Luar Negeri di IndonesiaKurun Waktu Dasar Hukum Subyek Pajak Objek Pajak Tarif FLNSebelum Reformasi UU Perpajakan 

n/a n/a n/a n/a

06 Okt 86 s/d 13 Jul 90 

Kepres 84/1982KMK 828 dan 830/1986 

WPOPDN Pergi ke luar negeri 

250 rb

14 Jul 90 s/d 31 Des 94 

Kepres 28/90KMK 768/90 

WPOPDN Pergi ke luar negeri 

250 rb100 rb

01 Jan 1995 s/d 22 Jun 00 

PP 46/1994 SE-49/PJ.41/99 tgl 27 Okt 99

WPOPDN 12 Tahun Keatas 

Pergi ke luar negeri 

250 rb100 rb50 rb 

23 Jun 00 s/d 31 Des 08 

PP 42/2000 

WPOPDN 12 Tahun Keatas 

Pergi ke luar negeri 

1 jt500 rb200 rb

01 Jan 2009 s/d 31 Des 2010 

UU 36/2008Pasal 25 ayat (8)PP/KMK/SE???

WPOPDN Non NPWP & 21 Tahun Keatas 

Pergi ke luar negeri 

2,5 jt1 jt200 rb

01 Jan 2011 s/d dst 

UU 36/2008pasal 25 ayat (8a)

WPOPDN Pergi ke luar negeri 

FREE

 

3.3. Analisis Dampak Kebijakan Pembebasan Fiskal Luar Negeri

Selama ini FLN merupakan salah satu sumber pemasukan negara dari sektor pajak. Jika

kita lihat dari besarannya, dari tahun ke tahun penerimaan dari sektor FLN selalu mengalami

peningkatan yang signifikan (tabel 2).

Tabel 2Realisasi Penerimaan Fiskal Luar Negeri

Uraian JumlahFiskal Luar Negeri 2005 Rp. 0,8 TFiskal Luar Negeri 2006 Rp. 1,2 TFiskal Luar Negeri 2007 Rp. 2,5 TFiskal Luar Negeri 2008*) Rp. 2,8 T (Target 3,3 T)

*) Data sampai dengan Oktober 2008

Page 20: Fiskal Luar Negeri

 

Anggito Abimanyu (Kepala BKF Depkeu) dalam suatu kesempatan menyampaikan

bahwa kebijakan pembebasan FLN yang akan diberlakukan secara bertahap mulai 01 Januari

2008 akan membawa konsekuensi logis berupa potensial loss lebih dari 3,3 T di tahun 2009. Jika

pernyataan ini ditinjau dari paradigma konsep penyusunan RAPBN, memang benar ada loss

harus ditanggung oleh pemerintah di tahun 2009 dst sebagai akibat berlakunya kebijakan

pembebasan FLN ini. Pos pemasukan Negara dari sektor pembayaran FLN yang pada tahun

2008 (data s/d Oktober 2008) mencapai 2,8 T yang diperkirakan pada 2009 dapat meningkat

menjadi lebih dari 3,3 T akan hilang pada RAPBN 2009.

Namun apabila kita mencermati lebih jauh, substansi dari pembayaran FLN sebenarnya

merupakan bagian dari PPh Orang Pribadi yang dibayarkan pada saat ia hendak bertolak ke luar

negeri dalam bentuk Fiskal Luar Negeri. FLN berlaku sebagai kredit pajak, sehingga pada akhir

tahun (ketika melakukan pelaporan pajak) WP dapat  mengkreditkan FLN yang telah dibayar

sebagai pajak masukan, atau jika PPh Pasal 29nya nihil dapat dimintakan restitusi. Jadi apabila

diasumsikan bahwa semua orang yang pergi ke luar negeri sudah punya NPWP, maka FLN yang

dibayarkan akan berfungsi sebagai setoran PPh Pasal 25 dan nantinya akan menjadi bagian dari

perhitungan PPh Pasal 29 orang tersebut. Beberapa kemungkinan yang terjadi berkenaan dengan

pelaksanaan kebijakan FLN pada masa keberlakuan UU 7/1983 dapat digambarkan pada bagan 1

berikut:

 

Bagan 1Perhitungan Riil Potential Loss

  

Pada masa keberlakuan UU 36/2008 (untuk kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31

Desember 2010), ketika orang yang sudah ber NPWP dan berusia dibawah 21 tahun dibebaskan

dari kewajiban membayar FLN, maka potential income pemerintah dari sektor ini praktis hanya

berasal dari WPOPDN yang bertolak ke luar negeri dan belum mempunyai NPWP dan sudah

berusia diatas 21 tahun. Kebijakan ini jelas sekali bertujuan untuk mendorong WPOPDN yang

sering atau paling tidak akan bepergian ke luar negeri untuk mendaftakan diri guna memperoleh

Page 21: Fiskal Luar Negeri

NPWP. Jadi tujuan utama dari kebijakan ini adalah dalam rangka Ekstensifikasi Wajib Pajak

atau guna memperluas basis Subyek Pajak. Bagan 2 berikut ini akan memperjelas bagaimana

potential income yang seharusnya menjadi perhitungan potential loss FLN di tahun 2009 dan

2010.

Bagan 2Potential Incoma FLN 2009 dan 2010

  

Pemberlakuan FLN sendiri dalam tataran administrative terkendala dengan beberapa

hambatan atau terdapat bias of purposes. Sebagai contoh adalah terhadap WPOP yang sumber

penghasilannya berasal dari satu pemberi kerja dan tidak mempunyai penghasilan lain diluar itu.

Ketika ia lapor SPT, maka kedudukannya akan menjadi LB (lebih bayar) sebagai akibat

pembayaran FLN. Jika ia meminta restitusi, maka ini akan menjadi beban pekerjaan yang

tersendiri bagi DJP. Tentu saja hal ini merupakan inefisiensi karena hanya memutar-mutar uang

yang sebenarnya tidak berguna atau justru memberatkan kedua belah pihak baik bagi WP

maupun DJP. Nah dalam keadaan yang demikian maka timbul pertanyaan apakah sebenarnya

yang menjadi tujuan diterapkannya ketentuan mengenai FLN? Apakah untuk mendongkrak

tingkat pendapatan (fungsi budgetair)?  Jika ini yang menjadi pertimbangan maka hal tersebut

tidak tepat, karena bagi orang yang bepergian ke luar negeri dan telah memiliki NPWP maka

pembayan FLNnya berlaku sebagai kredit pajak yang bersifat mengurangi PPh terutang di

perhitungan PPh Pasal 29-nya. Lalu ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa

pemberlakuan FLN merupakan suatu upaya dari pemerintah untuk membatasi warganya yang

akan pergi ke luar negeri. Harapan dari pemerintah adalah untuk meminimalisir capital drain di

dalam negeri. Nah, jika yang menjadi alasan adalah dalam menjalankan fungsi regulerren, maka

kritik yang timbul adalah bahwa bepergian ke luar negeri merupakan bagian dari hak dasar

manusia sebagai makhluk sosial, oleh karena itu negara tidak boleh membatasi warganya yang

akan bepergian ke luar negeri (dengan berbagai keperluan). Jika yang menjadi alasan adalah

capital drain, maka ini hanyalah merupakah phobia belaka dari pemerintah, karena justru

semakin mobile pengusaha ia akan semakin banyak mendapatkan relasi, sehingga usahanya

dapat berkembang sejalan dengan mobilitasnya. Maka yang harus dilakukan pemerintah adalah

memperbaiki iklim investasi dan bukan membatasi warganya yang akan bepergian ke luar

Page 22: Fiskal Luar Negeri

negeri. Dengan adanya kenyataan-kenyataan regulasi berkaitan dengan fiskal luar negeri, maka

yang nampak dari kacamata penulis, apakah sebenarnya yang ada dibalik pemberlakuan

kebijakan mengenai fiskal luar negeri ini secara adalah:

Kurun waktu 01 Januari 1984 s/d 31 Desember 2008

FLN berfungsi lebih sebagai alat politik dari penguasa untuk membatasi rakyatnya yang akan

bepergian ke luar negeri dengan membebaninya dengan kewajiban pembayaran pajak (atau lebih

tepatnya mungkin bisa disebut dengan bea) dari pada sebagai alat untuk menambah kas negara.

Lebih tepat disebut dengan bea? Ya, jika ini terjadi pada orang pribadi yang belum memiliki

NPWP. FLN yang sebenarnya berlaku sebagai kredit pajak tidak bisa ‘dimanfaatkan’ oleh orang

yang membayarnya jika ia tidak atau belum memiliki NPWP. Bukan sebagai alat untuk

menambah kas negara? Ya, karena FLN berlaku sebagai kredit pajak bagi mereka yang

mempunyai NPWP. Jadi jika diasumsikan semua orang yang membayar FLN memiliki NPWP,

maka FLN bukan merupakan alat untuk menambah kas negara.

01 Januari 2009 s/d 31 Desember 2010

Pemberlakuan ketentuan pembebasan FLN, yaitu pembebasan FLN bagi orang yang telah

memiliki NPWP dan berusia dibawah 21 tahun. Hal ini merupakan propaganda dari DJP untuk

meningkatkan ratio kepemilikan NPWP. Upaya ini dikenal sebagai Ekstensifikasi Wajib Pajak.

Kritik dari penulis adalah, pemberlakuan FLN ini merupakan iming-iming DJP terhadap orang

pribadi yang memiliki tingkat kesaradaran pajak yang rendah (yang dibuktikan dengan belum

memiliki NPWP) namun memiliki potensi yang tinggi untuk membayar pajak (yang dibuktikan

dengan kemampuan ekonomisnya dengan melakukan perjalanan ke luar negeri). Hal ini mungkin

akan efektif apabila diterapkan pada orang pribadi yang pemahaman tentang administrasi

perpajakannya rendah. Namun kebijakan ini tidak akan berlaku efektif terhadap orang yang

memiliki pemahaman yang baik tentang administrasi perpajakan, yang mengetahui bagaimana

cara menghitung pph, apa itu kredit pajak, bagaimana cara mengkreditkan FLN, dsb, sedangkan

tingkat kesadaran pajaknya rendah. Ia akan berfikiran bahwa apabila ia ‘memanfaatkan’

kebijakan ini, dalam arti ia mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP (dengan tujuan

memperolah bebas fiskal jika ia pergi ke luar negeri), maka ia akan dihadapkan pada

konsekuensi untuk mengisi SPT, menghitung pajak, membayar pajak, dan melaporkan SPTnya

Page 23: Fiskal Luar Negeri

ke DJP. Dengan kalkulasi ini maka ia akan berfikir ulang, mana yang lebih menguntungkan

buatnya. Apakah mendaftarkan diri untuk memperolah NPWP dengan segala konsekuensinya,

atau tidak mendaftarkan diri dengan konsekuensi membayar FLN jika bepergian ke Luar Negeri.

Kritik dari penulis adalah, kebijakan FLN yang berlaku di kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31

Desember 2010 merupakan propaganda yang bersifat ‘menjebak’ bagi masyarakat dengan tujuan

untuk meningkatkan jumlah WP. Apabila DJP ingin melaksanakan ekstensifikasi wajib pajak

maka seyogianya menggunakan cara-cara yang lebih elegan. Misalnya meningkatkan

pemahaman masyarakat akan arti penting pajak, keuntungan-keuntungan yang didapatkan

apabila memiliki NPWP, meningkatkan mutu pelayanan, dsb. Namun demikian cara-cara seperti

ini (Esktensifikasi Wajib Pajak dengan sasaran WPOPDN yang sering ataupun akan pergi ke luar

negeri akan tetapi belum memiliki NPWP dan sudah berusia 21 tahun) menurut penulis sah-sah

saja dan kebijakan pembebasan FLN bagi WPOPDN yang sudah berNPWP ini cukup fair karena

dinilai saling menguntungkan baik bagi masyarakat maupun DJP (pemerintah).

01 Januari 2011 dst

Pembebasan FLN bagi siapa saja yang hendak bepergian ke Luar Negeri. Hal ini merupakan

kebijakan yang ideal yang sebenarnya telah diterapkan sejak lama di banyak negara. Dengan

asumsi bahwa setiap WPOPDN yang bepergian ke luar negeri adalah orang dengan penghasilan

diatas PTKP, dan oleh karenanya mereka sudah memiliki NPWP, dan karena FLN itu sendiri

berfungsi sebagai kredit pajak, maka kebijakan pembebasan FLN ini secara rasional kebijakan

ini seharusnya tidak akan berdampak terhadap penerimaan pajak. Bepergian ke Luar Negeri

merupakan hak dari setiap warga negara, dan negara wajib menjamin kebebasan ini dan

hendaknya berfungsi sebagai fasilitator. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan justru iklim

investasi akan meningkat sejalan dengan dipermudahnya orang untuk keluar masuk ke luar

negeri atau ke dalam negeri. Kritik penulis, ketentuan ini selayaknya didukung oleh kebijakan di

bidang pelayanan perpajakan yang memuaskan bagi seluruh Wajib Pajak, dan juga upaya

merubah paradigma masyarakat dari pajak merupakan suatu beban menjadi pajak sebagai

kehormatan dalam menjalankannya.

 

 

Page 24: Fiskal Luar Negeri

BAB 4

PENUTUP

 

4.1. Simpulan

Warga Negara Indonesia (WNI) yang hendak bepergian ke luar negeri dikenai kewajiban untuk membayar Fiskal Luar Negeri (FLN).

Fiskal Luar Negeri (FLN) adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri dengan tarif Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan pesawat udara atau melalui bandara; Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan kapal laut atau melalui pelabuhan laut; dan Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan sarana transportasi darat.

Ketentuan berkenaan dengan FLN ini banyak menimbulkan kritik dari banyak kalangan karena dinilai memberatkan dan cenderung dianggap membatasi hak warga negara untuk berkunjung ke luar negeri. Disamping itu sudah banyak negara lain (bahkan di kawasan Asia Tenggara termasuk Malaysia dan Singapura) yang menghapuskan kebijakan ini.

Wacana untuk menghapuskan FLN tersebut akhirnya berujung pada

lahirnya kebijakan pemerintah untuk menghapus FLN secara bertahap yang akan

mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009 mendatang dengan perlakuan sebagai

berikut: kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31 Desember 2010, WPOPDN yang sudah

mempunyai NPWP dan belum berusia 21 tahun dibebaskan dari kewajiban membayar

FLN; kurun waktu 01 Januari 2011 semua WPOPDN yang hendak bepergian ke luar

negeri bebas dari kewajiban membayar FLN.

Dampak kebijakan FLN dalam kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31

Desember 2010 secara matematis memang menghilangkan potensi penerimaan pajak

dari sektor FLN sebesar lebih dari Rp. 3,3 T di tahun 2009 dan diatas Rp. 4 T di tahun

2010. Namun demikian hal ini bukan berarti DJP akan menderita kerugian yang

besar, karena sifat pembayaran FLN itu sendiri yang berfungsi sebagai kredit pajak

bagi yang membayarnya.

Dengan asumsi bahwa FLN dibayar oleh WPOPDN yang sudah berNPWP, maka kebijakan pembebasan FLN ini tidak akan berdampak besar pada sisi penerimaan pajak.

Kebijakan pembebasan FLN lebih banyak bertujuan untuk menjaring NPWP baru dengan sasaran WPOPDN yang sering atau merencanakan bepergian ke luar negeri di tahun 2009 s/d 2010 dan belum berNPWP. Hal ini dibuktikan dengan

Page 25: Fiskal Luar Negeri

pengenaan tarif yang lebih besar pada 2009-2010 yaitu 2,5 jt melalui bandara dan 1 jt melalui pelabuhan laut.

Efektifitas keberlakuan kebijakan pembebasan FLN ini jika memang tujuannya untuk melakukan Ekstensifikasi Wajib Pajak, maka akan dapat terlihat dengan meneliti seberapa besar peningkatan jumlah NPWP baru.

4.2. Saran

Kebijakan FLN merupakan salah satu diantara sedikit kebijakan

pemerintah yang bersifat win win solution baik bagi warga masyarakat maupun bagi

pemerintah. Ini dapat terlihat dengan terakomodasinya kepentingan kedua belah

pihak. Masyarakat membutuhkan pembebasan FLN karena dinilai tidak efisien (bagi

yang sudah berNPWP) dan bersifat membatasi kebebasan warga Negara untuk

bepergian ke luar negeri. Sedangkan dari sisi pemerintah (dalam hal ini DJP)

kebijakan ini berpeluang untuk menambah jumlah Wajib Pajak terdaftar. Saran dari

penulis adalah, untuk meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar DJP seyogianya

menggunakan cara-cara yang lebih komprehensif seperti meningkatkan mutu

pelayanan dan terus aktif berupaya meningkatkan kesadaran perpajakan warga

masyarakat. Dengan cara ini diharapkan tanpa adanya ketentuan pembebasan luar

negeri bertahap pun (kurun waktu 01 Januari 1009 s/d 31 desember 2010)

masyarakat yang sudah memenuhi ketentuan normatif untuk mempunyai NPWP

akan berbondong-bondong menuju KPP setempat untuk mendaftarkan diri guna

memperoleh NPWP.

Untuk mengetahui sejauh mana dampak kebijakan pembebasan

FLN ini, dan untuk mengetahui efektivitas keberhasilannya sehubungan dengan

upaya menambah jumlah WP baru pada kurun waktu 2009-2010, penulis

menghadapi kendala berkaitan dengan data-data riil penerimaan FLN dari tahun ke

tahun, dan penambahan jumlah WP terdaftar dengan tujuan untuk ‘memanfaatkan’

kebijakan ini. Dengan demikian disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut

untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan ini berkaitan dengan penambahan

jumlah WP terdaftar.

Tata cara pembebasan fiskal LN

Page 26: Fiskal Luar Negeri

Sebagaimana kita ketahui bahwa aturan mengenai Fiskal Luar Negeri sejak 1 Januari 2009 telah mengalami perubahan dimana tidak semua orang yang ke luar negeri harus bayar Fiskal Luar Negeri. Berikut ini akan dibahas mengenai tata cara agar mendapatkan pembebasan Fiskal Luar Negeri sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 1/PJ/2009 Tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 53/PJ/2008 Tentang Tata Cara Pembayaran, Pengecualian Pembayaran Dan Pengelolaan Administrasi Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Yang Akan Bertolak Ke Luar Negeri.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang memiliki NPWP

Wajib Pajak atau penumpang tujuan luar negeri menyerahkan fotokopi Kartu NPWP/ SKT/ SKTS, fotokopi paspor, dan boarding pass ke petugas UPFLN. Dalam hal Kartu NPWP atas nama/dimiliki oleh Kepala Keluarga, maka anggota keluarga yang ke Luar Negeri dari:

Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) atau berstatus sebagai Warga Negara Asing (WNA) dan memiliki Kartu Keluarga harus melampirkan:

1. fotokopi Kartu Keluarga; dan/atau2. Surat Pernyataan Me3. nanggung Sepenuhnya Orang Tua yang tidak terdaftar dalam Kartu

Keluarga oleh orang pribadi yang memiliki NPWP (contoh surat pernyataan pada Lampiran IV.6).

Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya berstatus sebagai Warga Negara Asing (WNA) yang:

1. tidak memiliki Kartu Keluarga harus melampirkan fotokopi Surat Keterangan Susunan Keluarga Pendatang (SKSKP) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SKSKP yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.

2. namanya tidak tercantum dalam susunan Kartu Keluarga atau memiliki Kartu Keluarga yang terpisah dengan anggota keluarganya yang disebabkan perbedaan kewarganegaraan harus melampirkan fotokopi dokumen lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.

 

Petugas UPFLN menerima dan meneliti fotokopi Kartu NPWP/SKT/SKTS, fotokopi paspor, dan boarding pass serta fotokopi Kartu Keluarga atau surat pernyataan atau fotokopi SKSKP atau dokumen lain, kemudian menginput NPWP pada aplikasi yang tersedia.

Page 27: Fiskal Luar Negeri

NPWP dinyatakan valid apabila:

NPWP telah terdaftar sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum hari keberangkatan.

Dalam hal NPWP telah terekam dalam database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak.

Nama Wajib Pajak pada paspor sesuai dengan nama pada database Wajib Pajakpada Direktorat Jenderal Pajak, dengan mengabaikan perbedaan tulisan/ejaandengan ketentuan apabila nama Wajib Pajak lebih dari 2 (dua) kata, minimum 2 (dua)kata harus sesuai antara paspor dan database Wajib Pajak pada Direktorat JenderalPajak.

Dalam hal NPWP belum terekam dalam database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak.

1. Aplikasi check digit NPWP menunjukkan bahwa NPWP tersebut adalah benar.

2. Nama Wajib Pajak pada paspor sesuai dengan nama pada fotokopi Kartu3. NPWP/SKT/SKTS, dengan mengabaikan perbedaan tulisan/ejaan dengan

ketentuan apabila nama Wajib Pajak lebih dari 2 (dua) kata, minimum 2 (dua) kata harus sesuai antara paspor dan database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak.

4. Menginput nama Wajib Pajak sesuai yang tertera pada fotokopi NPWP/SKT/SKTS pada aplikasi.

 

Apabila NPWP dinyatakan valid, maka petugas UPFLN menempelkan stiker Bebas Fiskal (contoh pada Lampiran IV.5) pada bagian belakang boarding pass yang ditujukan untuk penumpang.

Penumpang menyerahkan boarding pass yang telah ditempel stiker Bebas Fiskal kepada petugas konter pengecekan FLN untuk diteliti.

Penumpang tujuan luar negeri tetap wajib membayar FLN apabila:

1. NPWP terdaftar kurang dari 3 (tiga) hari sebelum hari keberangkatan;2. Tidak dapat menyerahkan fotokopi Kartu NPWP/SKT/SKTS; atau3. Menyerahkan fotokopi kartu NPWP/SKT/SKTS namun check digit menyatakan

tidak valid; atau4. Menyerahkan fotokopi kartu NPWP/SKT/SKTS yang dimiliki oleh Kepala

Keluarga tetapi tidak melampirkan fotokopi Kartu Keluarga/SKSKP/dokumen lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, atau melampirkan fotokopi kartu keluarga/SKSKP/dokumen

Page 28: Fiskal Luar Negeri

lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi yang

5. berwenang tetapi nama penumpang tidak tercantum dalam susunan Kartu Keluarga/SKSKP/dokumen lain tersebut atau tidak melampirkan surat pernyataan bagi orang tua yang tidak terdaftar dalam Kartu Keluarga.

Bagi Wajib Pajak lainnya yang dikecualikan.

Dibebaskan secara langsungPengecualian dari kewajiban pembayaran FLN oleh orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri yang diberikan secara langsung hanya terbatas pada angka 1 s.d. angka 7 huruf a Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, termasuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang berusia kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun dengan cara sebagai berikut:

1. Penumpang tujuan luar negeri menyerahkan paspor dan boarding pass ke petugas konter pengecekan FLN.

2. Petugas konter pengecekan FLN menerima dan meneliti paspor dan boarding pass, apabila pemohon memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam angka 1 s.d. angka 7 huruf a Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berusia kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, maka petugas konter pengecekan FLN membebaskan secara langsung orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri tersebut.

3. Pemohon yang tidak memenuhi syarat untuk dibebaskan dari kewajiban membayar FLN, wajib membayar FLN.

Dibebaskan melalui penerbitan SKBFLNPengecualian dari kewajiban pembayaran FLN orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri yang diberikan melalui penerbitan SKBFLN hanya terbatas pada angka 7 huruf b s.d. angka 13 Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan cara sebagai berikut:

1. Pemohon mengisi Formulir Permohonan SKBFLN yang telah disediakan dan data pendukungnya untuk diserahkan ke UPFLN Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri atau KPP yang melaksanakan pengelolaan FLN (contoh Formulir Permohonan SKBFLN pada Lampiran IV.3).

2. Petugas UPFLN menerima dan meneliti surat permohonan pada angka 1 serta mencocokkan formulir tersebut dengan data pendukung. Apabila pemohon memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka Petugas menerbitkan SKBFLN serta menyerahkan lembar 1 dan 2 kepada pemohon dan lembar 3 sebagai arsip (contoh SKBFLN pada Lampiran IV.4).

3. Petugas konter pengecekan FLN memberikan stempel tanggal saat digunakan pada SKBFLN saat penumpang akan menuju gerbang imigrasi.

Page 29: Fiskal Luar Negeri

4. Pemohon yang tidak memenuhi syarat untuk dibebaskan dari kewajiban membayar FLN, wajib membayar FLN.

5. Petugas UPFLN membuat laporan penerbitan SKBFLN berdasarkan lembar 3 beserta surat permohonan dan data pendukung sebagai arsip.