fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/proceding seminar nasional... ·...
TRANSCRIPT
5
Eksistensi Kader KB Desa dalam Meningkatkan Kesertaan Laki-laki dalam
Program KB di Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga
Dyah R. Puspita, Rin Rostikawati, Lilis SS
FISIP Unsoed Purwokerto
Salah satu pihak yang dalam era desentralisasi KB ini sangat berperan dalam
penyuluhan KB adalah para kader KB yang meskipun tenaga suka rela, akan
tetapi mempunyai tugas yang cukup berat. Untuk itulah, dalam kondisi di mana
banyak peluang pekerjaan yang digaji, banyaknya keluarga beralih peran
gender, tingginya perceraian dan masih rendahnya akseptor laki-laki, perlu dikaji
bagaimana (1) profil kader KB dan (2) proses penyuluhan yang dilakukan.
Melalui wawancara dan diskusi terarah dengan para kader KB Desa diperoleh
hasil bahwa: pertama, pada umumnya mereka adalah para “kader senior”. Kedua,
penyuluhannya masih berorientasi pada kelompok istri dengan materi penyuluhan
terbatas. Untuk itulah disarankan: (1) peningkatan dan keberlanjutan pemberian
penghargaan (reward) bagi para kader, termasuk pemberian pelatihan, (2)
perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan
tokoh masyarakat (pengurus masjid setempat) untuk menjadi kader KB.
Kesamaan gender mereka diharapkan lebih mampu meningkatkan pemahaman
laki-laki tentang issue keluarga dan meningkatkan kesertaan ber-KB.
Kata kunci: kader KB, pekerjaan sosial, penyuluhan berperspektif gender
A. Latar Belakang
Desentralisasi program KB dimaksudkan agar program KB (terutama
penyuluhannya) dilaksanakan sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan
keluarga setempat (suami dan istri). Dalam kenyataannya, semenjak
didesentralisasikan, program ini pada umumnya tidak menjadi prioritas
kabupaten/kota. Hal ini tampak dari sedikitnya anggaran dan berkurangnya
jumlah Penyuluh KB (PKB). Akibatnya pelaksanaan penyuluhannya juga
menurun. Di sinilah kader KB (yang merupakan tenaga sukarela tidak digaji)
semakin berperan untuk terus melembagakan nilai-nilai ber-KB.
Di sisi lain, tuntutan peningkatan kualitas pelayanan KB meningkat,
karena program KB dianggap belum mampu meningkatkan kepedulian laki-laki
terhadap urusan domestik. Hal ini antara lain tampak dari sedikitnya akseptor laki-
laki, rendahnya kontribusi dalam urusan pengasuhan dan pendidikan anak serta
banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Di Kabupaten Purbalingga, program KB dilaksanakan dengan visi
“Penduduk tumbuh seimbang tahun 2015 serta mewujudkan kesetaraan gender
6
dan perlindungan anak”. Hingga tahun 2010 kesertaan KB-nya masih didominasi
perempuan. Jumlah akseptor laki-laki (MOP dan kondom) baru sebanyak 4.667
orang atau 3,16% dari total peserta KB (BPS Kabupaten Purbalingga, 2011).
Di samping itu, kasus perceraiannya tinggi dan terus meningkat, dari 1.707
(tahun 2009) menjadi 2.097 kasus (tahun 2011). Kebanyakan inisiatif
pengajuannya berasal dari pihak istri/cerai gugat (Pengadilan Agama Kabupaten
Purbalingga, 2012). Hal ini dimungkinkan terjadi karena ketidakseimbangan
lapangan pekerjaan. Tahun 2012, terdapat 32 perusahaan rambut yang menyerap
32.261 pekerja. Sebagian besar dari mereka (88,8 persen atau 28.853 orang)
adalah perempuan (Dinsosnakertrans Kabupaten Purbalingga, 2012).
Kecamatan Purbalingga menjadi lokasi perusahaan rambut terbanyak
dengan jumlah pekerja perempuan terbanyak. Sebanyak 17 perusahaan berdiri di
kecamatan ini dan menyerap 22.746 pekerja di mana 90,95%nya (20.687 orang)
adalah perempuan (Dinsosnakertrans Kabupaten Purbalingga, 2012). Angka
perceraiannya juga tinggi yakni 43 kasus (BPS Kabupaten Purbalingga, 2010). Di
kecamatan ini banyak keluarga yang mengalami peralihan peran gender yang
dikenal dengan akronim “pamong praja” (Papa momong mama bekerja).
Kebanyakan suaminya adalah pekerja serabutan atau bahkan menganggur.
Mereka sangat membutuhkan penyuluhan KB (Puspita dkk., 2012).
Jumlah akskeptor laki-laki juga masih sedikit, yakni 6,92% dari total 4.667
akseptor Metode Operasi Pria/MOP dan kondom tingkat kabupaten). Bahkan
jumlah peserta MOP-nya paling sedikit yakni 37 orang (BPS Kabupaten
Purbalingga, 2010). Di sisi lain, para kader KB-nya (terutama di tingkat desa)
pada umumnya sudah berusia lanjut. Untuk itulah perlu dikaji eksistensi mereka.
Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini mengkaji: (1) bagaimana
profil para Kader KB Desa dan (2) bagaimana cara pemotivasian KB yang
dilakukan.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diketahui: (1) umur, “masa kerja”, tingkat
pendidikan, jenis tugas, motivasi dan penghargaan yang diterima para kader, serta
(2) metode, sasaran dan materi pemotivasiannya.
Penelitian ini bermanfaat memperkuat bangunan teori pelembagaan
7
pembangunan. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi
para pembuat kebijakan program KB dalam upaya: (1) meningkatkan
penghargaan (reward) terhadap para pekerja sosial, (2) menumbuhkan kader KB
laki-laki serta (3) meningkatan kesertaan laki-laki dalam program KB.
C. Tinjauan Pustaka
1. Penyuluhan Berperspektif Gender
Penyuluhan KB adalah kegiatan penyampaian informasi untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dan masyarakat guna
mewujudkan keluarga berkualitas (BKKBN, 2004). Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE) adalah proses penyampaian dan penerimaan pesan dalam rangka
meningkatkan dan memanfaatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat,
dan mendorongnya agar secara sadar menerima program KB (Pusat Pelatihan
Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan - BKKBN, 2007).
KIE yang responsif gender berarti “penyampaian dan penerimaan
pesannya memperhatikan kepentingan laki-laki dan perempuan. Tujuannya
adalah: (1) mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang, keluarga dan
masyarakat agar mempunyai pemahaman tentang adanya kepentingan antara laki-
laki dan perempuan; (2) mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender,
(3) mengurangi atau menghilangkan segala bentuk diskriminasi gender yang
berkembang di masyarakat, dan (4) mendorong tersusunnya
kebijakan/program/peraturan yang responsif gender.
Teknik penyuluhan lainnya adalah konseling, yakni “proses di mana
seseorang membantu orang lain dalam membuat keputusan atau mencari jalan
untuk mengatasi masalah, melalui pemahaman tentang fakta-fakta dan perasaan-
perasaan yang terlibat di dalamnya” (BKKBN, 2006b).
Baik KIE maupun konseling merupakan upaya untuk memotivasi PUS
agar mau dan mampu secara mandiri merencanakan keluarga agar terwujud
keluarga berkualitas. Upaya ini perlu menerapkan perspektif gender yang
terjabarkan dalam penentuan kelompok sasaran dan materi yang diberikan.
Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara pengetahuan ber-
KB suami dengan tingkat partisipasi mereka. Kajian Imroni et al. (2009)
menemukan bahwa adanya dukungan suami ikut mempengaruhi tingkat
penggunaan implant ibu-ibu di desa Parit, kecamatan Indralaya Utara Kabupaten
8
Ogan. Di Turkey (Vural, 1999), pelibatan laki-laki/suami dalam urusan KB
(khususnya penentuan jumlah anak dan metode kontrasepsi yang akan digunakan)
serta peningkatan pendidikan suami terbukti meningkatkan partisipasi laki-laki
dalam ber-KB. Adapun di Malawi, rendahnya tingkat partisipasi KB dan
tingginya kehamilan beresiko disebabkan karena tidak dilibatkannya para suami
dalam penyuluhan. Padahal, merekalah pengambil keputusan dalam keluarga,
termasuk penentuan jumlah anak (Kishindo, 1994).
2. Peran Kader KB dalam Penyuluhan KB
Salah satu pihak yang membantu penyuluhan KB adalah Kader KB.
Mereka adalah anggota masyarakat yang secara sukarela membantu pelaksanaan
program KB (BKKBN, 2001).
Meskipun tenaga sukarela, tugas mereka tidak ringan yakni berperan
dalam hal: “pengorganisasian, pertemuan rutin KIE dan konseling, pencatatan dan
pendataan: memanfaatkan data untuk pelayanan dan pembinaan di wilayahnya,
pelayanan kegiatan dan mengupayakan kemandirian dalam pelaksanaan kegiatan”
(BKKBN, 2001). Di tingkat desa dikenal Kader KB Desa yang bertugas
mengoordinir kegiatan program KB di tingkat desa.
Pada umumnya mereka adalah perempuan. Hal ini memperkuat stereotipe
gender bahwa urusan KB adalah urusan perempuan. Di samping sebagai kader
KB, biasanya mereka juga menjadi kader kesehatan. Yang sering terjadi adalah
bahwa mereka diperlakukan sebagai ”bawahan/staf” dari pengelola program KB
tingkat kecamatan, para Penyuluh KB/PKB (yang merupakan tenaga penyuluh
formal) dan petugas Puskesmas (Puspita, 2000).
D. Metodologi
Sasaran utama penelitian ini adalah para Kader KB Desa se-kecamatan
Purbalingga (13 orang) yang secara “resmi” mendapat tugas membantu PKB.
Sasaran pendukungnya adalah para pejabat BKBPP Kabupaten serta para PKB
dan sebagian PUS di kecamatan Purbalingga. Data diperoleh melalui wawancara
mendalam dan diskusi terarah yang selanjutnya dianalisis dengan model analisis
data interaktif Miles dan Huberman (1992).
9
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Profil Kader KB Desa di Kecamatan Purbalingga
Semua kader KB Desa di Kecamatan Purbalingga adalah perempuan yang
sudah “senior”, baik dari usia maupun “masa kerja” sebagai kader KB. Mereka
berusia antara 40 – 65 tahun dengan mayoritas (8 orang atau 61,54%) berusia di
atas 50 tahun. Adapun “masa kerja” mereka berkisar antara 10-25 tahun di mana
mayoritas sudah membantu selama 15-20 tahun. Bahkan empat orang di antaranya
telah membantu selama hampir 25 tahun. Hampir semuanya tidak mengalami DO,
dalam arti mereka mengerjakan pekerjaan ini secara terus-menerus dan tidak
pernah berhenti. Pada umumnya mereka hanya berpendidikan SMP dan bahkan
ada juga yang SD. Hanya 3 orang (23,08%) yang berpendidikan SMA.
Eksistensi mereka sebagai kader KB Desa didukung dengan Surat
Keputusan dari Kepala Desa. Dengan demikian, mereka “setingkat lebih tinggi”
dibandingkan dengan kader-kader di tingkat RW dan RT. “Atasan” mereka adalah
Kepala Unit Pelaksana Tugas/UPT BKBPP Kecamatan dan Penyuluh KB/PKB di
desa/kelurahan mereka serta Kepala Desa setempat. Karena mereka juga menjadi
kader kesehatan, maka “atasan” mereka bertambah yakni Kepala Puskesmas
Kecamatan dan Bidan Desa setempat.
Sebagai kader KB, tugas mereka adalah: memotivasi para PUS (pasangan
usia subur) di sekitar mereka untuk ber-KB, melakukan pendataan (baik bersifat
rutin yakni pendataan Keluarga Sejahtera maupun data insidental apabila diminta
PKB), mengingatkan ibu yang baru hamil untuk segera menggunakan
alatkontrasepsi. Adapun sebagai Kader KB Desa, mereka bertugas mengoordinir
pertemuan kader KB di desa/kelurahan tersebut dan menginformasikan tugas-
tugas yang diberikan oleh Kepala UPT BKBPP Kecamatan. Sementara itu,
sebagai kader kesehatan, mereka juga diminta membantu pelaksanaan program
kesehatan di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan tersebut.
Dari uraian tugas tersebut tampak bahwa tugas para pekerja sosial di
bidang KB dan kesehatan tersebut tidaklah ringan. Mereka harus sering datang ke
kantor desa, kecamatan dan Puskesmas baik untuk mengadakan rapat koordinasi,
menyerahkan tugas pendataan, membawa calon akseptor yang akan mendapat
pelayanan gratis dan sebagainya. Dengan aktivitas ini mereka tampak seperti
pegawai formal di instansi tersebut.
10
Tugas mereka semakin berat semenjak tahun 2006 tidak ada lagi
penggantian PKB yang pensiun dan purna-tugas yang membuat rata-rata PKB
mempunyai 4 desa binaan. Tambahan beban tugas terutama dirasakan pada saat
pendataan yang dilaksanakan setiap akhir tahun.
Atas perannya sebagai Kader KB Desa, beberapa desa/kelurahan memberi
“gaji” baik berupa tanah bengkok 100 ubin maupun uang tunai. Besarnya uang
tunai yang berkisar antara Rp200.000,- - Rp500.000,- per tahun. Biasanya
uangnya diterima sekaligus beberapa bulan sekali. Sementara itu, penghargaan
dari BKBPP setelah desentralisasi KB nyaris tidak ada. Baru pada tahun 2012
mereka mendapat bantuan uang transport Rp. 30.000/bulan yang diterima 3 bulan
sekali. Tidak diketahui pasti keberlanjutannya untuk tahun-tahun berikutnya.
Bertahannya para perempuan kader “senior” tersebut pada umumnya
disebabkan karena sulitnya mencari pengganti. Di samping karena pekerjaan ini
tidak digaji, juga karena banyaknya peluang kerja yang digaji (terutama sebagai
pekerja pembuat bulu mata dan wig, baik di perusahaan maupun di rumah).
Namun demikian, mereka mengakui kondisi umur dan kesehatan mereka tidak
sesuai dengan tuntutan pekerjaan tersebut. Di samping itu, kebertahanan mereka
juga disebabkan karena adanya sejumlah manfaat yang dirasakan dari pekerjaan
sosial ini, antara lain: banyak teman, mendapat ilmu serta menjadi sarana berbuat
amal. Hal ini memperkuat temuan Puspita (2000) dan beberapa penelitian lain.
2. Pelaksanaan penyuluhan KB
Dalam memberikan penyuluhan KB, mereka menggunakan beberapa
bentuk metode penyuluhan seperti komunikasi personal dan komunikasi
kelompok. Komunikasi personal dilakukan dengan cara mendatangi PUS dan
calon pengantin untuk memberikan penjelasan tentang KB. Adapun komunikasi
kelompok dilakukan dengan memanfaatkan forum pertemuan PKK di tingkat dasa
wisma, RT dan RW serta pengajian dan Posyandu. Pada umumnya mereka
memberikan penyuluhan minimal satu kali dalam sebulan dengan waktu sekitar
15-30 menit. Kadang-kadang, penyuluhan juga diberikan kepada para remaja
secara personal.
Meskipun mereka memahami bahwa sasaran penyuluhan KB adalah PUS
yang berarti istri dan suami, akan tetapi dalam kenyataannya pihak yang biasanya
11
dimotivasi adalah para istri. Alasannya adalah karena lebih mudah diajak
berkomunikasi dan lebih banyak sarana/forum komunikasinya. Di samping itu
juga karena masih adanya anggapan bahwa KB adalah urusan kaum ibu.
Keengganan kader memotivasi kaum bapak (secara berkelompok) juga
karena waktu pertemuannya hampir semuanya malam hari, sehingga merasa tidak
pas untuk bergabung. Terlebih lagi karena mereka sudah cukup lanjut usia,
sehingga energinya berkurang. Menurut mereka, pihak yang lebih tepat
memotivasi kaum bapak adalah PKB laki-laki maupun para tokoh masyarakat
setempat. Mereka mengusulkan agar para pengurus RT dan RW serta pemuka
agama setempat diberi pembekalan KB agar juga dapat menjadi kader.
Materi motivasian mereka pada umumnya lebih terfokus pada upaya
penjaringan akseptor KB. Adapun penyuluhan tentang relasi gender dalam
keluarga, tumbuh kembang anak dan berbagai issu keluarga lainnya nyaris tidak
pernah diberikan. Padahal, di sekitar mereka banyak keluarga yang mengalami
peralihan peran gender di mana suami lebih mempunyai waktu luang untuk
mengurus rumah tangga dan mengasuh anak, akan tetapi banyak yang belum
melaksanakannya dengan optimal dan bahkan tidak peduli. Hal ini disebabkan
karena para bapak tersebut tidak pernah mendapatkan informasi topik-topik inni.
Dalam memotivasi KB, mereka cenderung mengarahkan akseptor/calon
akseptor untuk beralih kepada metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP),
terutama IUD, MOW dan MOP. Namun demikian, mereka kurang mampu
menjelaskan kelebihan metode-metode tersebut.
Terlebih lagi untuk metode MOP yang masih sangat jarang dipilih.
Disamping kurangnya kemampuan untuk menjelaskan keunggulan metode ini,
juga karena masih adanya persepsi keliru di kalangan suami. Misalnya, MOP
dianggap haram dan merupakan upaya “pengebirian laki-laki”. Penolakan juga
kadang datang dari pihak istri karena khawatir suaminya akan menjadi
menyeleweng dan “bebas” berganti pasangan karena merasa tidak punya resiko
menghamili. Hal inilah yang kemudian menyebabkan angka kesertaan ber-KB
laki-laki masih sangat rendah.
Bentuk penyuluhan KB yang lebih berorientasi pada upaya pengubahan
perilaku pemilihan jenis MKJP (yang berarti (KB dalam arti sempit) dengan fokus
sasaran lebih kepada kelompok perempuan tersebut tidak terlepas dari penugasan
12
“atasan” para kader KB. Di hampir semua acara rakor dengan PKB, pemberian
tugas itulah yang lebih sering dikedepankan. Adapun pemberian materi untuk
meningkatkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan kader untuk melakukan
konseling KB sangat jarang diberikan. Akibatnya, target pencapaian akseptor
MOP masih sangat rendah.
Kesadaran untuk memperluas topik penyuluhan KBnya dengan
mengaitkannya sesuai permasalahan dan kebutuhan masyarakat (misalnya tentang
issu gender dalam keluarga , tumbuh kembang anak serta remaja) masih rendah.
Untuk itulah agar penyuluhan KB lebih “membumi” (sesuai dengan kebutuhan
dan permasalahan setempat) dan sekaligus meningkatkan kesertaan laki-laki
dalam ber-KB, maka perlu dikaji kembali pendekatan penyuluhannya.
E. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
(1) Kader KB Desa di Kecamatan Purbalingga didominasi oleh perempuan
yang sudah “senior” dilihat dari umur dan “masa kerja” mereka.
Kebertahanan mereka disebabkan karena sulitnya mencari pengganti dan
sekaligus adanya manfaat sosial dan spiritual yang diterima.
(2) Upaya pemotivasian mereka masih berorientasi sempit, yakni hanya
memfokuskan pada pencapaian akseptor MKJP. Namun demikian, karena
keterbatasan kemampuan dan kelompok sasaran yang didekati (hanya
istri), maka belum mampu meningkatkan partisipasi laki-laki dalam ber-
KB, khususnya jenis MOP.
2. Saran
(1) Adanya kemanfaatan sosial dan spiritual yang dirasakan para kader
“senior” yang membuat mereka bersedia bertahan membantu penyuluhan
KB, perlu diimbangi oleh Pemerintah Kabupaten dengan memberikan
penghargaan yang memadai dalam bentuk: insentif yang memadai dan
berkelanjutan, sarana kerja yang memadai, pembekalan materi (refreshing)
yang mencukupi serta hubungan kerja yang lebih egaliter.
(2) Bentuk pembekalan yang perlu diberikan kepada para kader adalah yang
terkait dengan topik: gender dalam keluarga (terutama dari perspektif
13
agama), tumbuh kembang anak, permasalahan remaja serta teknik
pemotivasian/konseling.
(3) Perlu lebih diaktifkannya penyuluhan oleh para PKB laki-laki di kalangan
kelompok laki-laki.
(4) Perlu dirintisnya penciptaan kader laki-laki dari kalangan pengurus
RT/RW dan pengurus masjid setempat, agar dapat secara lebih aktif
masuk ke dalam forum-forum pertemuan laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
BKKBN. 2004. Buku Pegangan Penyuluh Keluarga Berencana. Jakarta:
BKKBN.
. 2006. Pedoman Tekhnis Komunikasi Interpersonal/Konseling KB.
Jakarta: BKKBN.
Imroni M, Fajar N.A., Febry F. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Penggunaan Implan di Desa Parit Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten
Ogan Ilir Tahun 2009. Upm.fkm.unsri.ac/id/uploads/files/u_Absrk3.doc.
[3 Oktober 2010].
Kishindo P. 1994. Family Planning and the Malawian Male. Journal of Social
Development in Africa. 1994, 9, 2, p. 61-69. http://archive.lib.msu/DMC/
African%20Journals/pdfs/social%20development/vol9no2/jsda0092008.
Pdf. [30 Mei 2010].
Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan – BKKBN. 2007.
Desain Komunikasi Gender dalam Program Keluarga Berencana
Nasional. Program Pembinaan Jarak Jauh Pengarusutamaan Gender
(PJJ-PUG). Jakarta: BKKBN.
Puspita, Dyah Retna. 2000. “Analisis Kehidupan Kader Posyandu dalam Masa
Krisis Ekonomi (Studi Kasus di Desa Cipayung, Kecamatan Ciputat,
Kabupaten Tangerang, Jawa Barat)”. Tesis. Program Pascasarjana,
Universitas Indonesia.
Puspita, Dyah Retna. Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani. 2012. Revitalisasi
Penyuluhan KB (Model Penyuluhan KB Berbasis Gender dalam Upaya
Meningkatkan Ketahanan Keluarga di Kabupaten Purbalingga).
Purwokerto: LPPM Unsoed.
Vural BF, Vural, J. Diker dan I. Yucesoy. 1999. Factors Affecting Contraseptive
Use and Behavior in Kocaeli, Turkey. Journal “Advance in
Contraceptive”. Volume 15, Number 4/ December, 1999. ISSN: 0267-
4874. http://www.springerlink.com/content/g711165118413702/. [28 Mei 2010].