fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/proceding seminar nasional... ·...

13

Upload: doankhue

Post on 03-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat
Page 2: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat
Page 3: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat
Page 4: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat
Page 5: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat

5

Eksistensi Kader KB Desa dalam Meningkatkan Kesertaan Laki-laki dalam

Program KB di Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga

Dyah R. Puspita, Rin Rostikawati, Lilis SS

FISIP Unsoed Purwokerto

Salah satu pihak yang dalam era desentralisasi KB ini sangat berperan dalam

penyuluhan KB adalah para kader KB yang meskipun tenaga suka rela, akan

tetapi mempunyai tugas yang cukup berat. Untuk itulah, dalam kondisi di mana

banyak peluang pekerjaan yang digaji, banyaknya keluarga beralih peran

gender, tingginya perceraian dan masih rendahnya akseptor laki-laki, perlu dikaji

bagaimana (1) profil kader KB dan (2) proses penyuluhan yang dilakukan.

Melalui wawancara dan diskusi terarah dengan para kader KB Desa diperoleh

hasil bahwa: pertama, pada umumnya mereka adalah para “kader senior”. Kedua,

penyuluhannya masih berorientasi pada kelompok istri dengan materi penyuluhan

terbatas. Untuk itulah disarankan: (1) peningkatan dan keberlanjutan pemberian

penghargaan (reward) bagi para kader, termasuk pemberian pelatihan, (2)

perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan

tokoh masyarakat (pengurus masjid setempat) untuk menjadi kader KB.

Kesamaan gender mereka diharapkan lebih mampu meningkatkan pemahaman

laki-laki tentang issue keluarga dan meningkatkan kesertaan ber-KB.

Kata kunci: kader KB, pekerjaan sosial, penyuluhan berperspektif gender

A. Latar Belakang

Desentralisasi program KB dimaksudkan agar program KB (terutama

penyuluhannya) dilaksanakan sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan

keluarga setempat (suami dan istri). Dalam kenyataannya, semenjak

didesentralisasikan, program ini pada umumnya tidak menjadi prioritas

kabupaten/kota. Hal ini tampak dari sedikitnya anggaran dan berkurangnya

jumlah Penyuluh KB (PKB). Akibatnya pelaksanaan penyuluhannya juga

menurun. Di sinilah kader KB (yang merupakan tenaga sukarela tidak digaji)

semakin berperan untuk terus melembagakan nilai-nilai ber-KB.

Di sisi lain, tuntutan peningkatan kualitas pelayanan KB meningkat,

karena program KB dianggap belum mampu meningkatkan kepedulian laki-laki

terhadap urusan domestik. Hal ini antara lain tampak dari sedikitnya akseptor laki-

laki, rendahnya kontribusi dalam urusan pengasuhan dan pendidikan anak serta

banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Di Kabupaten Purbalingga, program KB dilaksanakan dengan visi

“Penduduk tumbuh seimbang tahun 2015 serta mewujudkan kesetaraan gender

Page 6: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat

6

dan perlindungan anak”. Hingga tahun 2010 kesertaan KB-nya masih didominasi

perempuan. Jumlah akseptor laki-laki (MOP dan kondom) baru sebanyak 4.667

orang atau 3,16% dari total peserta KB (BPS Kabupaten Purbalingga, 2011).

Di samping itu, kasus perceraiannya tinggi dan terus meningkat, dari 1.707

(tahun 2009) menjadi 2.097 kasus (tahun 2011). Kebanyakan inisiatif

pengajuannya berasal dari pihak istri/cerai gugat (Pengadilan Agama Kabupaten

Purbalingga, 2012). Hal ini dimungkinkan terjadi karena ketidakseimbangan

lapangan pekerjaan. Tahun 2012, terdapat 32 perusahaan rambut yang menyerap

32.261 pekerja. Sebagian besar dari mereka (88,8 persen atau 28.853 orang)

adalah perempuan (Dinsosnakertrans Kabupaten Purbalingga, 2012).

Kecamatan Purbalingga menjadi lokasi perusahaan rambut terbanyak

dengan jumlah pekerja perempuan terbanyak. Sebanyak 17 perusahaan berdiri di

kecamatan ini dan menyerap 22.746 pekerja di mana 90,95%nya (20.687 orang)

adalah perempuan (Dinsosnakertrans Kabupaten Purbalingga, 2012). Angka

perceraiannya juga tinggi yakni 43 kasus (BPS Kabupaten Purbalingga, 2010). Di

kecamatan ini banyak keluarga yang mengalami peralihan peran gender yang

dikenal dengan akronim “pamong praja” (Papa momong mama bekerja).

Kebanyakan suaminya adalah pekerja serabutan atau bahkan menganggur.

Mereka sangat membutuhkan penyuluhan KB (Puspita dkk., 2012).

Jumlah akskeptor laki-laki juga masih sedikit, yakni 6,92% dari total 4.667

akseptor Metode Operasi Pria/MOP dan kondom tingkat kabupaten). Bahkan

jumlah peserta MOP-nya paling sedikit yakni 37 orang (BPS Kabupaten

Purbalingga, 2010). Di sisi lain, para kader KB-nya (terutama di tingkat desa)

pada umumnya sudah berusia lanjut. Untuk itulah perlu dikaji eksistensi mereka.

Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini mengkaji: (1) bagaimana

profil para Kader KB Desa dan (2) bagaimana cara pemotivasian KB yang

dilakukan.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diketahui: (1) umur, “masa kerja”, tingkat

pendidikan, jenis tugas, motivasi dan penghargaan yang diterima para kader, serta

(2) metode, sasaran dan materi pemotivasiannya.

Penelitian ini bermanfaat memperkuat bangunan teori pelembagaan

Page 7: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat

7

pembangunan. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi

para pembuat kebijakan program KB dalam upaya: (1) meningkatkan

penghargaan (reward) terhadap para pekerja sosial, (2) menumbuhkan kader KB

laki-laki serta (3) meningkatan kesertaan laki-laki dalam program KB.

C. Tinjauan Pustaka

1. Penyuluhan Berperspektif Gender

Penyuluhan KB adalah kegiatan penyampaian informasi untuk

meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dan masyarakat guna

mewujudkan keluarga berkualitas (BKKBN, 2004). Komunikasi, Informasi dan

Edukasi (KIE) adalah proses penyampaian dan penerimaan pesan dalam rangka

meningkatkan dan memanfaatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat,

dan mendorongnya agar secara sadar menerima program KB (Pusat Pelatihan

Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan - BKKBN, 2007).

KIE yang responsif gender berarti “penyampaian dan penerimaan

pesannya memperhatikan kepentingan laki-laki dan perempuan. Tujuannya

adalah: (1) mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang, keluarga dan

masyarakat agar mempunyai pemahaman tentang adanya kepentingan antara laki-

laki dan perempuan; (2) mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender,

(3) mengurangi atau menghilangkan segala bentuk diskriminasi gender yang

berkembang di masyarakat, dan (4) mendorong tersusunnya

kebijakan/program/peraturan yang responsif gender.

Teknik penyuluhan lainnya adalah konseling, yakni “proses di mana

seseorang membantu orang lain dalam membuat keputusan atau mencari jalan

untuk mengatasi masalah, melalui pemahaman tentang fakta-fakta dan perasaan-

perasaan yang terlibat di dalamnya” (BKKBN, 2006b).

Baik KIE maupun konseling merupakan upaya untuk memotivasi PUS

agar mau dan mampu secara mandiri merencanakan keluarga agar terwujud

keluarga berkualitas. Upaya ini perlu menerapkan perspektif gender yang

terjabarkan dalam penentuan kelompok sasaran dan materi yang diberikan.

Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara pengetahuan ber-

KB suami dengan tingkat partisipasi mereka. Kajian Imroni et al. (2009)

menemukan bahwa adanya dukungan suami ikut mempengaruhi tingkat

penggunaan implant ibu-ibu di desa Parit, kecamatan Indralaya Utara Kabupaten

Page 8: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat

8

Ogan. Di Turkey (Vural, 1999), pelibatan laki-laki/suami dalam urusan KB

(khususnya penentuan jumlah anak dan metode kontrasepsi yang akan digunakan)

serta peningkatan pendidikan suami terbukti meningkatkan partisipasi laki-laki

dalam ber-KB. Adapun di Malawi, rendahnya tingkat partisipasi KB dan

tingginya kehamilan beresiko disebabkan karena tidak dilibatkannya para suami

dalam penyuluhan. Padahal, merekalah pengambil keputusan dalam keluarga,

termasuk penentuan jumlah anak (Kishindo, 1994).

2. Peran Kader KB dalam Penyuluhan KB

Salah satu pihak yang membantu penyuluhan KB adalah Kader KB.

Mereka adalah anggota masyarakat yang secara sukarela membantu pelaksanaan

program KB (BKKBN, 2001).

Meskipun tenaga sukarela, tugas mereka tidak ringan yakni berperan

dalam hal: “pengorganisasian, pertemuan rutin KIE dan konseling, pencatatan dan

pendataan: memanfaatkan data untuk pelayanan dan pembinaan di wilayahnya,

pelayanan kegiatan dan mengupayakan kemandirian dalam pelaksanaan kegiatan”

(BKKBN, 2001). Di tingkat desa dikenal Kader KB Desa yang bertugas

mengoordinir kegiatan program KB di tingkat desa.

Pada umumnya mereka adalah perempuan. Hal ini memperkuat stereotipe

gender bahwa urusan KB adalah urusan perempuan. Di samping sebagai kader

KB, biasanya mereka juga menjadi kader kesehatan. Yang sering terjadi adalah

bahwa mereka diperlakukan sebagai ”bawahan/staf” dari pengelola program KB

tingkat kecamatan, para Penyuluh KB/PKB (yang merupakan tenaga penyuluh

formal) dan petugas Puskesmas (Puspita, 2000).

D. Metodologi

Sasaran utama penelitian ini adalah para Kader KB Desa se-kecamatan

Purbalingga (13 orang) yang secara “resmi” mendapat tugas membantu PKB.

Sasaran pendukungnya adalah para pejabat BKBPP Kabupaten serta para PKB

dan sebagian PUS di kecamatan Purbalingga. Data diperoleh melalui wawancara

mendalam dan diskusi terarah yang selanjutnya dianalisis dengan model analisis

data interaktif Miles dan Huberman (1992).

Page 9: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat

9

E. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Profil Kader KB Desa di Kecamatan Purbalingga

Semua kader KB Desa di Kecamatan Purbalingga adalah perempuan yang

sudah “senior”, baik dari usia maupun “masa kerja” sebagai kader KB. Mereka

berusia antara 40 – 65 tahun dengan mayoritas (8 orang atau 61,54%) berusia di

atas 50 tahun. Adapun “masa kerja” mereka berkisar antara 10-25 tahun di mana

mayoritas sudah membantu selama 15-20 tahun. Bahkan empat orang di antaranya

telah membantu selama hampir 25 tahun. Hampir semuanya tidak mengalami DO,

dalam arti mereka mengerjakan pekerjaan ini secara terus-menerus dan tidak

pernah berhenti. Pada umumnya mereka hanya berpendidikan SMP dan bahkan

ada juga yang SD. Hanya 3 orang (23,08%) yang berpendidikan SMA.

Eksistensi mereka sebagai kader KB Desa didukung dengan Surat

Keputusan dari Kepala Desa. Dengan demikian, mereka “setingkat lebih tinggi”

dibandingkan dengan kader-kader di tingkat RW dan RT. “Atasan” mereka adalah

Kepala Unit Pelaksana Tugas/UPT BKBPP Kecamatan dan Penyuluh KB/PKB di

desa/kelurahan mereka serta Kepala Desa setempat. Karena mereka juga menjadi

kader kesehatan, maka “atasan” mereka bertambah yakni Kepala Puskesmas

Kecamatan dan Bidan Desa setempat.

Sebagai kader KB, tugas mereka adalah: memotivasi para PUS (pasangan

usia subur) di sekitar mereka untuk ber-KB, melakukan pendataan (baik bersifat

rutin yakni pendataan Keluarga Sejahtera maupun data insidental apabila diminta

PKB), mengingatkan ibu yang baru hamil untuk segera menggunakan

alatkontrasepsi. Adapun sebagai Kader KB Desa, mereka bertugas mengoordinir

pertemuan kader KB di desa/kelurahan tersebut dan menginformasikan tugas-

tugas yang diberikan oleh Kepala UPT BKBPP Kecamatan. Sementara itu,

sebagai kader kesehatan, mereka juga diminta membantu pelaksanaan program

kesehatan di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan tersebut.

Dari uraian tugas tersebut tampak bahwa tugas para pekerja sosial di

bidang KB dan kesehatan tersebut tidaklah ringan. Mereka harus sering datang ke

kantor desa, kecamatan dan Puskesmas baik untuk mengadakan rapat koordinasi,

menyerahkan tugas pendataan, membawa calon akseptor yang akan mendapat

pelayanan gratis dan sebagainya. Dengan aktivitas ini mereka tampak seperti

pegawai formal di instansi tersebut.

Page 10: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat

10

Tugas mereka semakin berat semenjak tahun 2006 tidak ada lagi

penggantian PKB yang pensiun dan purna-tugas yang membuat rata-rata PKB

mempunyai 4 desa binaan. Tambahan beban tugas terutama dirasakan pada saat

pendataan yang dilaksanakan setiap akhir tahun.

Atas perannya sebagai Kader KB Desa, beberapa desa/kelurahan memberi

“gaji” baik berupa tanah bengkok 100 ubin maupun uang tunai. Besarnya uang

tunai yang berkisar antara Rp200.000,- - Rp500.000,- per tahun. Biasanya

uangnya diterima sekaligus beberapa bulan sekali. Sementara itu, penghargaan

dari BKBPP setelah desentralisasi KB nyaris tidak ada. Baru pada tahun 2012

mereka mendapat bantuan uang transport Rp. 30.000/bulan yang diterima 3 bulan

sekali. Tidak diketahui pasti keberlanjutannya untuk tahun-tahun berikutnya.

Bertahannya para perempuan kader “senior” tersebut pada umumnya

disebabkan karena sulitnya mencari pengganti. Di samping karena pekerjaan ini

tidak digaji, juga karena banyaknya peluang kerja yang digaji (terutama sebagai

pekerja pembuat bulu mata dan wig, baik di perusahaan maupun di rumah).

Namun demikian, mereka mengakui kondisi umur dan kesehatan mereka tidak

sesuai dengan tuntutan pekerjaan tersebut. Di samping itu, kebertahanan mereka

juga disebabkan karena adanya sejumlah manfaat yang dirasakan dari pekerjaan

sosial ini, antara lain: banyak teman, mendapat ilmu serta menjadi sarana berbuat

amal. Hal ini memperkuat temuan Puspita (2000) dan beberapa penelitian lain.

2. Pelaksanaan penyuluhan KB

Dalam memberikan penyuluhan KB, mereka menggunakan beberapa

bentuk metode penyuluhan seperti komunikasi personal dan komunikasi

kelompok. Komunikasi personal dilakukan dengan cara mendatangi PUS dan

calon pengantin untuk memberikan penjelasan tentang KB. Adapun komunikasi

kelompok dilakukan dengan memanfaatkan forum pertemuan PKK di tingkat dasa

wisma, RT dan RW serta pengajian dan Posyandu. Pada umumnya mereka

memberikan penyuluhan minimal satu kali dalam sebulan dengan waktu sekitar

15-30 menit. Kadang-kadang, penyuluhan juga diberikan kepada para remaja

secara personal.

Meskipun mereka memahami bahwa sasaran penyuluhan KB adalah PUS

yang berarti istri dan suami, akan tetapi dalam kenyataannya pihak yang biasanya

Page 11: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat

11

dimotivasi adalah para istri. Alasannya adalah karena lebih mudah diajak

berkomunikasi dan lebih banyak sarana/forum komunikasinya. Di samping itu

juga karena masih adanya anggapan bahwa KB adalah urusan kaum ibu.

Keengganan kader memotivasi kaum bapak (secara berkelompok) juga

karena waktu pertemuannya hampir semuanya malam hari, sehingga merasa tidak

pas untuk bergabung. Terlebih lagi karena mereka sudah cukup lanjut usia,

sehingga energinya berkurang. Menurut mereka, pihak yang lebih tepat

memotivasi kaum bapak adalah PKB laki-laki maupun para tokoh masyarakat

setempat. Mereka mengusulkan agar para pengurus RT dan RW serta pemuka

agama setempat diberi pembekalan KB agar juga dapat menjadi kader.

Materi motivasian mereka pada umumnya lebih terfokus pada upaya

penjaringan akseptor KB. Adapun penyuluhan tentang relasi gender dalam

keluarga, tumbuh kembang anak dan berbagai issu keluarga lainnya nyaris tidak

pernah diberikan. Padahal, di sekitar mereka banyak keluarga yang mengalami

peralihan peran gender di mana suami lebih mempunyai waktu luang untuk

mengurus rumah tangga dan mengasuh anak, akan tetapi banyak yang belum

melaksanakannya dengan optimal dan bahkan tidak peduli. Hal ini disebabkan

karena para bapak tersebut tidak pernah mendapatkan informasi topik-topik inni.

Dalam memotivasi KB, mereka cenderung mengarahkan akseptor/calon

akseptor untuk beralih kepada metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP),

terutama IUD, MOW dan MOP. Namun demikian, mereka kurang mampu

menjelaskan kelebihan metode-metode tersebut.

Terlebih lagi untuk metode MOP yang masih sangat jarang dipilih.

Disamping kurangnya kemampuan untuk menjelaskan keunggulan metode ini,

juga karena masih adanya persepsi keliru di kalangan suami. Misalnya, MOP

dianggap haram dan merupakan upaya “pengebirian laki-laki”. Penolakan juga

kadang datang dari pihak istri karena khawatir suaminya akan menjadi

menyeleweng dan “bebas” berganti pasangan karena merasa tidak punya resiko

menghamili. Hal inilah yang kemudian menyebabkan angka kesertaan ber-KB

laki-laki masih sangat rendah.

Bentuk penyuluhan KB yang lebih berorientasi pada upaya pengubahan

perilaku pemilihan jenis MKJP (yang berarti (KB dalam arti sempit) dengan fokus

sasaran lebih kepada kelompok perempuan tersebut tidak terlepas dari penugasan

Page 12: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat

12

“atasan” para kader KB. Di hampir semua acara rakor dengan PKB, pemberian

tugas itulah yang lebih sering dikedepankan. Adapun pemberian materi untuk

meningkatkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan kader untuk melakukan

konseling KB sangat jarang diberikan. Akibatnya, target pencapaian akseptor

MOP masih sangat rendah.

Kesadaran untuk memperluas topik penyuluhan KBnya dengan

mengaitkannya sesuai permasalahan dan kebutuhan masyarakat (misalnya tentang

issu gender dalam keluarga , tumbuh kembang anak serta remaja) masih rendah.

Untuk itulah agar penyuluhan KB lebih “membumi” (sesuai dengan kebutuhan

dan permasalahan setempat) dan sekaligus meningkatkan kesertaan laki-laki

dalam ber-KB, maka perlu dikaji kembali pendekatan penyuluhannya.

E. Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

(1) Kader KB Desa di Kecamatan Purbalingga didominasi oleh perempuan

yang sudah “senior” dilihat dari umur dan “masa kerja” mereka.

Kebertahanan mereka disebabkan karena sulitnya mencari pengganti dan

sekaligus adanya manfaat sosial dan spiritual yang diterima.

(2) Upaya pemotivasian mereka masih berorientasi sempit, yakni hanya

memfokuskan pada pencapaian akseptor MKJP. Namun demikian, karena

keterbatasan kemampuan dan kelompok sasaran yang didekati (hanya

istri), maka belum mampu meningkatkan partisipasi laki-laki dalam ber-

KB, khususnya jenis MOP.

2. Saran

(1) Adanya kemanfaatan sosial dan spiritual yang dirasakan para kader

“senior” yang membuat mereka bersedia bertahan membantu penyuluhan

KB, perlu diimbangi oleh Pemerintah Kabupaten dengan memberikan

penghargaan yang memadai dalam bentuk: insentif yang memadai dan

berkelanjutan, sarana kerja yang memadai, pembekalan materi (refreshing)

yang mencukupi serta hubungan kerja yang lebih egaliter.

(2) Bentuk pembekalan yang perlu diberikan kepada para kader adalah yang

terkait dengan topik: gender dalam keluarga (terutama dari perspektif

Page 13: fisip.unsoed.ac.idfisip.unsoed.ac.id/sites/default/files/Proceding Seminar Nasional... · perintisan pembentukan kader laki-laki dari kalangan pengurus RT/RW) dan tokoh masyarakat

13

agama), tumbuh kembang anak, permasalahan remaja serta teknik

pemotivasian/konseling.

(3) Perlu lebih diaktifkannya penyuluhan oleh para PKB laki-laki di kalangan

kelompok laki-laki.

(4) Perlu dirintisnya penciptaan kader laki-laki dari kalangan pengurus

RT/RW dan pengurus masjid setempat, agar dapat secara lebih aktif

masuk ke dalam forum-forum pertemuan laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA

BKKBN. 2004. Buku Pegangan Penyuluh Keluarga Berencana. Jakarta:

BKKBN.

. 2006. Pedoman Tekhnis Komunikasi Interpersonal/Konseling KB.

Jakarta: BKKBN.

Imroni M, Fajar N.A., Febry F. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan

Penggunaan Implan di Desa Parit Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten

Ogan Ilir Tahun 2009. Upm.fkm.unsri.ac/id/uploads/files/u_Absrk3.doc.

[3 Oktober 2010].

Kishindo P. 1994. Family Planning and the Malawian Male. Journal of Social

Development in Africa. 1994, 9, 2, p. 61-69. http://archive.lib.msu/DMC/

African%20Journals/pdfs/social%20development/vol9no2/jsda0092008.

Pdf. [30 Mei 2010].

Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan – BKKBN. 2007.

Desain Komunikasi Gender dalam Program Keluarga Berencana

Nasional. Program Pembinaan Jarak Jauh Pengarusutamaan Gender

(PJJ-PUG). Jakarta: BKKBN.

Puspita, Dyah Retna. 2000. “Analisis Kehidupan Kader Posyandu dalam Masa

Krisis Ekonomi (Studi Kasus di Desa Cipayung, Kecamatan Ciputat,

Kabupaten Tangerang, Jawa Barat)”. Tesis. Program Pascasarjana,

Universitas Indonesia.

Puspita, Dyah Retna. Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani. 2012. Revitalisasi

Penyuluhan KB (Model Penyuluhan KB Berbasis Gender dalam Upaya

Meningkatkan Ketahanan Keluarga di Kabupaten Purbalingga).

Purwokerto: LPPM Unsoed.

Vural BF, Vural, J. Diker dan I. Yucesoy. 1999. Factors Affecting Contraseptive

Use and Behavior in Kocaeli, Turkey. Journal “Advance in

Contraceptive”. Volume 15, Number 4/ December, 1999. ISSN: 0267-

4874. http://www.springerlink.com/content/g711165118413702/. [28 Mei 2010].