final draft
TRANSCRIPT
A. Berpikir
Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka
dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Siswono (2007)
berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan
menurut proses atau jalannya. Proses berpikir itu pada pokoknya terdiri dari 3
langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan
kesimpulan. Pandangan ini menunjukkan bahwa jika seseorang dihadapkan pada
suatu situasi, maka dalam berpikir, orang tersebut akan menyusun hubungan antara
bagian-bagian informasi yang direkam sebagai pengertian-pengertian. Kemudian
orang tersebut membentuk pendapat-pendapat yang sesuai dengan pengetahuannya.
Setelah itu, ia akan membuat kesimpulan yang digunakan untuk membahas atau
mencari solusi dari situasi tersebut.
Ruggiero (1998) mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas mental untuk
membantu memformulasikan atau menyelesaikan suatu masalah, membuat suatu
keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand).
Pendapat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merumuskan suatu masalah,
menyelesaikan masalah, ataupun ingin memahami sesuatu, maka ia melakukan suatu
aktivitas berpikir. Berpikir sebagai suatu kemampuan mental seseorang dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain berpikir logis, analitis, sistematis,
kritis, dan kreatif.
Berpikir logis dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir mahasiswa untuk
menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika dan dapat membuktikan bahwa
kesimpulan itu benar (valid) sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya
yang sudah diketahui. Berpikir analitis adalah kemampuan berpikir mahasiswa untuk
menguraikan, memperinci, dan menganalisis informasi-informasi yang digunakan
untuk memahami suatu pengetahuan dengan menggunakan akal dan pikiran yang
logis, bukan berdasar perasaan atau tebakan. Berpikir sistematis adalah kemampuan
berpikir mahasiswa untuk mengerjakan atau menyelesaikan suatu tugas sesuai dengan
urutan, tahapan, langkah-langkah, atau perencanaan yang tepat, efektif, dan efesien.
Ketiga jenis berpikir tersebut saling berkaitan. Seseorang untuk dapat dikatakan
berpikir sistematis, maka ia perlu berpikir secara analitis untuk memahami informasi
yang digunakan. Kemudian, untuk dapat berpikir analitis diperlukan kemampuan
berpikir logis dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu situasi.
Menurut Crawford & Brown (2002) berpikir tingkat tinggi (higher order thinking)
merupakan gabungan dari berpikir kritis, berpikir kreatif, dan berpikir pengetahuan
dasar. Thomas, Thorne & Small (2001) menyatakan bahwa berpikir tingkat tinggi
menempatkan aktivitas berpikir pada jenjang yang lebih tinggi dari sekedar
menyatakan fakta. Dalam berpikir tingkat tinggi, yang menjadi perhatian adalah apa
yang akan dilakukan terhadap fakta. Kita harus memahami fakta, menghubungkan
fakta satu dengan fakta yang lain, mengkategorikan, memanipulasi, menggunakannya
bersama dalam situasi yang baru dan menerapkannya dalam mencari penyelesaian
baru terhadap masalah baru. Thomas, Thorne & Small (2001) juga menyatakan
delapan aspek yang berasosiasi dengan berpikir tingkat tinggi, yaitu (1) tidak ada
seorangpun yang dapat berpikir sempurna atau tidak dapat berpikir sepanjang waktu,
(2) mengingat sesuatu tidak sama dengan berpikir tentang sesuatu itu, (3) mengingat
sesuatu dapat dilakukan tanpa memahaminya, (4) berpikir dapat diwujudkan dalam
kata dan gambar, (5) terdapat tiga tipe intelegensi dan berpikir yaitu analitis, kreatif
dan praktis, (6) ketiga intelegensi dan cara berpikir tersebut berguna dalam kehidupan
sehari-hari, (7) keterampilan berpikir dapat ditingkatkan dengan memahami proses
yang terlibat dalam berpikir, serta (8) metakognisi (berpikir tentang berpikir) adalah
bagian berpikir tingkat tinggi.
Berpikir kritis dan berpikir kreatif merupakan perwujudan dari berpikir tingkat
tinggi (higher order thinking). Hal tersebut karena kemampuan berpikir tersebut
merupakan kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai mahasiswa di kelas.
Berpikir kritis dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir mahasiswa untuk
membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar
dengan informasi yang dimiliki. Bila terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia
akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk mendapatkan
penjelasan. Berpikir kritis sering dikaitkan dengan berpikir kreatif. Siswono (2007)
memberi batasan bahwa berpikir kreatif (pemikiran kreatif) adalah suatu rangkaian
tindakan yang dilakukan orang dengan menggunakan akal budinya untuk
menciptakan buah pikiran baru dari kumpulan ingatan yang berisi berbagai ide,
keterangan, konsep, pengalaman, dan pengetahuan. Pengertian ini menunjukkan
bahwa berpikir kreatif ditandai dengan penciptaan sesuatu yang baru dari hasil
berbagai ide, keterangan, konsep, pengalaman, maupun pengetahuan yang ada dalam
pikirannya.
B. Berpikir Kritis
Asal mula berpikir kritis dapat ditelusuri kembali pada awal abad filosofi Plato
dan Aristoteles dan Sokrates dalam mengajar di Yunani. Pentingnya berpikir kritis
menjadi jelas pada awal era pendidikan modern berkat Dewey yang menggambarkan
kemampuan berpikir kritis sebagai cara untuk menemukan pengertian di dunia
dimana manusia hidup.
Langkah pertama dalam memahami pergerakan berpikir kritis adalah menemukan
karakteritik penting dari berpikir kritis. Pendukung pergerakan berpikir kritis
mengungkapkan sejumlah alasan untuk mengajarkan berpikir kritis. Alasan yang
umum adalah refleksi perubahan pola-pola ekonomi yang meninggalkan peradaban
masyarakat industrial menuju peradaban yang mengharuskan tenaga kerja
menyelesaikan masalah-masalah kompleks (Bloom, 1956; Reich, 1992; Paul, 1993;
Nickerson, 1987 dalam Reece, 2002). Alasan yang lain adalah keterampilan berpikir
kritis diperlukan dalam kehidupan manusia sehari-hari dalam segala bidang.
Berpikir kritis tidak efektif diajarkan dalam lingkungan sekolah tradisional yang
mengandalkan peran memorisasi dan metode mengajar didaktis (Kennedy, 1991;
Paul, 1993;Schrag, 1988; Nickerson, 1987 dalam Reece, 2002). Oleh karena itu, para
pendukung pergerakan berikir kritis mengembangkan beragam program untuk
mengajarkan berpikir kritis.
Tema umum dalam pergerakan berpikir kritis adalah keterampilan berpikir kritis
melibatkan kemampuan mengambil keputusan yang bernalar dalam situasi yang
kompleks. Pergerakan ini menekankan pada ”knowing how” daripada ”knowing
what”. Oleh karena itu, usaha membantu individu memperoleh kemampuan tersebut
membutuhkan kesadaran diri sebagai bagian usaha dari pendidik untuk menggali
berpikir kritis dengan memanfaatkan metode daripada peran sederhana memorisasi
dan pengajaran didaktik.
Bloom dan koleganya (1956) mengidentifikasi 6 kategori utama keterampilan
kognitif yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi
(application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Salah
satu alasan konstruksi ini adalah keterampilan yang lebih rendah dibutuhkan agar
kterampilan yang lebih tinggi dapat digunakan. Pemahaman membutuhkan
pengetahuan. Berpikir kritis dalam pandangan Bloom adalah memperoleh penguasaan
keterampilan-keterampilan kognitif tersebut dan memilih teknik yang tepat ketika
menghadapi situasi yang baru.
Kekuatan utama taksonomi Bloom adalah taksonomi tersebut logis dan hierarkis,
membimbing pendidik dalam proses menumbuhkan keterampilan kognitif yang
paling ederhana menuju keterampilan kognitif yang paling kompleks. Selain itu,
Taksonomi Bloom mudah dalam mengevaluasi penguasaan keterampilan kognitif
tersebut karena keterampilan kognitif telah dijabarkan dalam perilaku khusus.
Taksonomi Bloom tidak lepas dari kelemahan. Menurut Paul (dalam Reece, 2002)
secara historis, banyak guru yang menggunakan Taksonomi Bloom seperti buku
panduan memasak tanpa mempraktekkan keterampilan berpikir kritis pada diri
mereka. Paul juga mengkritisi Taksonomi Bloom karena terlalu memberikan
perhatian yang lebih pada pengingatan dan meminta adanya kenetralan. Paul
mempercayai bahwa berpikir kritis dapat digunakan untuk mencapai nilai
pengambilan keputusan yang penting. Kelemahan selanjutnya adalah Taksonomi
Bloom mengabaikan berpikir kritis yang dinamis.
Berpikir kritis tidak hanya kumpulan keterampilan tetapi juga karakteristik
tertentu untuk menggunakan keterampilan kognitif. Karakteristik tidak dapat
diajarkan seperti keterampilan, tetapi karakteristik hanya dapat digali melalui
sejumlah aktivitas. Sejumlah pendukung berpikir kritis mengelompokkan kemampuan
dan karakteristik yang diperlukan dalam berpikir kritis.
Penelitian tentang berpikir kritis merupakan hal yang khusus karena melibatkan 3
tradisi berpikir yaitu pendidikan, filsafat, dan psikologis. Salah satu pakar berpikir
kritis yang ahli dalam ketiga bidang tersebut adalah Dewey.
1. Tradisi Filsafat.
Dewey merupakan pakar filsafat pergerakan berpikir kritis modern, Plato dan
Aristoteles merupakan perintis pergerakan berpikir kritis pada masa kuno.
Sedangkan para pakar filsafat pergerakan berpikir kritis pada masa kini adalah
Ennis, Lipman, dan Paul yang memberikan perhatian lebih untuk memahami
dasar-dasar berpikir kritis.
Para ahli filsafat memfokuskan perhatian terhadap kemampuan berpikir kritis
tidak di dalam kelas tetapi dalam sistem formal logis. Pertama, dikarenakan
kemampuan sistem formal logis tidak perlu berhubungan dengan kemampuan
siswa di dalam situasi kelas. Sebagai contoh resolusi logis menyediakan metode
yang kuat untuk mmbuktikan teorema logis namum mungkin tidak ada seorang
pakar yang dapat mengklaim bahwa anak menggunakan resolusi logis secara
spontan ataupun jika ada yang menggunakan resolusi logis secara spontan, hal ini
terjadi setelah adanya latihan yang intensif. Kedua, kemampuan sistem logis
merupakan berpikir yang lebih baik dalam memberikan model kompetensi
daripada model kinerja bagi berpikir manusia. Aturan-aturan logis dapat
memberikan gambaran kepada kita bagaimana manusia berpikir kritis dalam
lingkungan yang terbatas dalam hal proses informasi.
2. Tradisi Psikologis
Pakar psikologis tentang berpikir kritis seperti Bransford (1984), Bruner
(1960,1961), Feuerstein (1980), dan Sternberg (1985) memfokuskan pada
karakteristik berpikir kritis yang muncul dalam keterbatasan lingkungan dan
manusia. Feuerstein mengkaji bagaimana berpikir kritis yang ditunjukkan oleh
orang yang terbelakang dengan orang normal; Sternberg dan Davidson
membandingkan berpikir kritis orang normal dengan orang yang berbakat. Para
pakar ini menunjukkan bagaimana berpikir kritis manusia dalam kekurangan
informasi, waktu yang tidak terbatas, memori sempurna, dan sebagainya. Untuk
mengevaluasi teori brpikir kritis para pakar psikologi ini terdapat dua hal yang
perlu diperhatikan. Pertama, teori psikologis tentang berpikir kritis muncul dari
dan diteskan dalam lingkungan laboratorium, dan tidak ada jaminan bahwa orang
akan mendemonstrasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan khususnya di kelas
dengan cara yang sama dengan apa yang mereka lakukan dalam laboratorium.
Kedua, adanya keterbatasan dalam teori yang dapat diteskan secara empiris
menggunakan standar berarti percobaan psikologis terkadang menghasilkan
penyederhanaan secara berlebihan terhadap analisis berpikir kritis.
3. Tradisi pendidikan
Para pakar dalam tradisi ini antara lain Bloom (1956), Gagne (1965), Perkins
(1981), dan Renzulli (1976) berteori tentang keterampilan yang dibutuhkan siswa
di kelas untuk menyelesaikan masalah, membuat keputusan, dan belajar konsep.
Bloom (1956) terkenal dengan Taksonomi keterampilan kognitif dan Gagne
(1965) terknal dengan hirarki keterampilan belajar yang tersebar luas dalam
aplikasi di dalam kelas. Teori yang dihasilkan para pakar ini, menggambarkan
pengamatan kelas, analisis teks, analisis proses berpikir di kelas untuk
membimbing pemikiran tentang berpikir kritis.
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan teori dalam tradisi
pendidikan ini. Pertama, teori pendidikan sering tidak mnjelaskan status
epistemologis yang merupakan karakteristik teori filsafat dan psikologis sehingga
membuatnya menjadi sulit dalam mengevaluasi dan menggunakan teori pendidikan
ini. Teori filsafat cenderung menjadi teori kompetensi yang menentukan apa yang
dapat dilakukan seseorang, teori pikologis cenderung menjadi teori kinerja yang
menentukan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, dan teori pendidikan
menggabungkan keduanya. Kedua, teori berdasarkan pendidikan cenderung tidak
memiliki pokok persoalan yang dites pada derajat yang sama yang dikarakteristikan
oleh tes teori psikologi dan teori filsafat.
Sternberg (1986) menyatakan berpikir kritis sebagai suatu proses mental, strategi,
dan representasi untuk menyelesaikan masalah, membuat keputusan, dan belajar
sesuatu yang baru. Penelitian-penelitian tentang berpikir kritis melibatkan bidang
pendidikan, filsafat, dan tradisi psikologi berpikir. Taksonomi filsafat Ennis
menyatakan bahwa berpikir kritis dihasilkan berdasarkan interaksi sejumlah
karakteristik berpikir kritis dengan sejumlah kemampuan berpikir kritis, Taksonomi
psikologis Sternberg mendefinisikan 3 keterampilan yang terlibat dalam berpikir
kritis yaitu metakomponen (metacomponent), komponen performans/kinerja
(performance component), dan komponen kemahiran pengetahuan (knowledge-
acquisition component). Sedangkan Taksonomi pendidikan Bloom menjenjangkan
aspek kognitif dalam 6 jenjang dimulai dari yang paling bawah yaitu pengetahuan,
diikuti pemahaman, aplikas, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Sternberg (1986) menyatakan beberapa taksonomi keterampilan berpikir kritis
dalam tradisi filsafat, tradisi psikologi, dan tradisi pendidikan.
1. Taksonomi dalam tradisi filsafat.
Ennis menyatakan bahwa berpikir kritis dihasilkan dari interaksi sejumlah
karakteristik berpikir kritis dengan sejumlah kemampuan berpikir kritis.
Karakteristik berpikir kritis Ennis antara lain mencari pernyataan yang jelas dari
suatu pertanyaan, mencari penalaran, mncoba menjadi informan yang baik,
mencoba tetap relevan dengan pokok yang utama. Ide yang mendasari daftar
karakteristik berpikir kritis Ennis adalah prasyarat berpikir kritis adalah motivasi
untuk berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis Ennis adalah kemampuan
melakukan klarifikasi, membrikan dukungan dasar, penyimpulan, klarifikasi
lanjut, strategi dan taktik.
Ennis (1993) memberikan definisi berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang
berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan
harus dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, maka kemampuan berpikir kritis
menurut Ennis terdiri atas 12 komponen, yaitu (a) merumuskan masalah, (b)
menganalisis argumen, (c) menanyakan dan menjawab pertanyaan, (d) menilai
kredibilitas sumber informasi, (e) melakukan observasi dan menilai laporan hasil
observasi, (f) membuat deduksi dan menilai deduksi, (g) membuat induksi dan
menilai induksi, (h) mengevaluasi, (i) mendefinisikan dan menilai definisi, (j)
mengidentifikasi asumsi, (k) memutuskan dan melaksanakan, serta (l) berinteraksi
dengan orang lain. Kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan oleh Komite
Berpikir Kritis Antar-Universitas (Intercollege Committee on Critical Thinking),
yaitu (a) kemampuan mendefinisikan masalah, (b) kemampuan menyeleksi
informasi untuk penyelesaian masalah, (c) kemampuan mengenali asumsi-asumsi,
(d) kemampuan merumuskan hipotesis, dan (e) kemampuan menarik kesimpulan
(Muslimin, 2007) .
2. Taksonomi dalam tradisi psikologi
Sternberg menyusun suatu taksonomi berpikir kritis yang tidak brasal dari
sesuatu yang logis tetapi berasal dari analisis psikologis berpikir kritis. Menurut
Sternberg ada tiga jenis keterampilan yang terlibat dalam berpikir kritis yaitu
metakomponen (metacomponent), komponen performans/kinerja (performance
component), dan komponen pengetahuan-kemahiran (knowledge-acquisition
component).
Metakomponen adalah proses pelaksana (eksekutif) tingkat yang lebih tingi
yang digunakan untuk merencanakan apa yang akan dilakukan, memonitor pada
waktu seseorang mengerjakannya, dan mengevaluasinya setelah dikerjakan.
Metakomponen melibatkan pengakuan bahwa ada masalah, mendefinisikan sifat
dasar masalah, memutuskan sejumlah langkah menylesaikan masalah, menyajikan
langkah-langkah ke dalam strategi yang koheren, memutuskan bentuk
representasi mental informasi, mengalokasikan waktu dan sumber dalam
mnyelsaikan masalah, memonitor penyelesaikan yang dilakukan seseorang
terhadap masalah yang diselesaikan, memberikan umpan balik problem solving.
Taksonomi yang sama dikembangkan oleh Brown (1978) dan Bransford (1984).
Komponen performans/kinerja berada di bawah metakomponen adalah suatu
proses noneksekutif yang igunakan untuk melaksanakan instruki metakomponen
dan memberikan umpan balik terhadap metakomponen. Komponen
performans/kinerja beragam berdasarkan domain kinerja seperti penalaran
induktif, pnalaran deduktif, visualisasi spatial, membaca, dan sebagainya. Sebagai
contoh komponen performans/kinerja induksi meliputi mengkodekan stimulus,
membandingkan stimulus, menyimpulkan hubungan antar stimulus, memetakan
hubungan antar relasi, menerapkan relasi dari satu domain ke domain lain,
membenarkan respon yang potensial, dan merespon.
Komponen pengetahuan-kemahiran adalah proses yang digunakan untuk
belajar konsep atau prosedur. Komponen pengetahuan-kemahiran ini mempunyai
3 komponen yaitu pengkodean selektif, kombinasi selektif, dan perbandingan
selektif. Pengkodean selektif melibatkan penyaringan informasi yang relevan dari
informasi yang tidak relevan. Kombinasi selektif melibatkan menggunakan secara
bersamaan informasi yang relevan dalan cara yang koheren dan terorganisasi.
Perbandingan selektif melibatkan menghubungkan informasi yang telah diketahui
dengan informasi baru, tentang informasi yang akan dipelajari.
3. Taksonomi dalam tradisi pendidikan
Bloom menyusun taksonomi yang dikenal dengan Taksonomi Bloom.
Taksonomi Bloom merupakan penjenjangan terhadap proses kognitif informasi.
Urutan Taksonomi Bloom dari yang paling bawah adalah pengetahuan,
pemahaman, aplikasi, analisis, sintsis, dan evaluasi. Setiap tingkat yang lebih
tinggi mensyaratkan tingkat yang lebih rendah seperti pemahaman mensyaratkan
adanya pengetahuan.
Ketiga taksonomi yang disajikan Sternberg berbeda. Meskipun taksonomi
keterampilan berpikir kritis ini berbeda, namun para pakar taksonomi ini
mempercayai pentingnya belajar, pemahaman, penalaran induktif, dan penalaran
deduktif.
Johnson (2000) menjelaskan bahwa berpikir kritis mengorganisasikan proses yang
digunakan dalam aktifitas mental seperti penyelesaian masalah, pengambilan
keputusan, meyakinkan, menganalisis asumsi-asumsi dan penemuan ilmiah. Berpikir
kritis adalah suatu kemampuan untuk bernalar (to reason) dalam suatu cara yang
terorganisasi. Berpikir kritis juga merupakan suatu kemampuan untuk mengevaluasi
secara sistematik kualitas pemikiran diri sendiri dan orang lain.
Taksonomi Bloom menggunakan jenjang keterampilan berpikir tingkat tinggi
untuk menghubungkan berpikir kritis dan kreatif. Lamb (2006) menyatakan bahwa
berpikir kritis melibatkan berpikir logis dan penalaran sedangkan berpikir kreatif
melibatkan menciptakan (create) sesuatu yang baru atau sesuatu yang lain; berpikir
kritis dapat diajarkan dengan lebih banyak menggunakan otak kiri sedangkan berpikir
kreatif banyak menggunakan otak kanan; ketika berbicara tentang HOTS “higher-
order thinking skills” maka yang dimaksud adalah tiga jenjang yang paling atas dari
taksonomi Bloom yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi.
Huitt (1998) mengklasifikasikan 2 teknik berpikir yang digunakan dalam problem
solving dan membuat keputusan berkaitan dengan adanya dikotomi antara berpikir
kritis dan berpikir kreatif. Teknik yang pertama lebih bersifat linier dan serial, lebih
terstruktur, rasional, analitis, dan berorientasi tujuan. Teknik ini adalah bagian dari
berpikir kritis. Teknik berpikir yang kedua bersifat holistik dan paralel, emosional
dan intuitif, kreatif, visual, kinestetik. Teknik ini adalah bagian dari berpikir kretaif.
Pembagian ini berhubungan dengan apa yang terkadang disebut sebagai berpikir
menggunakan otak kiri (analitik, serial, logis, objektif) dan berpikir menggunakan
otak kanan (global, paralel, emosional, subjektif).
Menurut Mason (2008) terdapat lima ahli filsafat pendidikan yang memberikan
kontribusi yang besar terhadap konsep berpikir kritis yaitu Robert Ennis, Richard
Paul, John McPeck, Harvey Siegel, dan Jane Roland Martin.
Ennis mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut
“critical thinking is reasonable reflective thinking focused on deciding what to
believe or do.”
Definisi ini menggabungkan karakteristik dan kemampuan berpikir kritis.
Berdasarkan kutipan di atas, Ennis (1996) menyatakan konsep tentang berpikir
kritis terutama berdasarkan keterampilan khusus seperti mengamati, menduga,
menggeneralisasi, penalaran, dan mengevaluasi penalaran. Menurutnya keterampilan
yang berasosiasi dengan berpikir kritis dapat dipelajari dan dapat ditransfer dari satu
disiplin ilmu ke disiplin ilmu yang lain. Ennis menekankan pada prinsip dan
keterampilan bernalar kritis yang subjek-netral, yaitu prinsip logis yang tidak hanya
berlaku untuk suatu disiplin tertentu tetapi dapat diterapkan secara universal.
Pengakuan terhadap kompetensi minimum tertentu pada suatu disiplin ilmu
merupakan hal yang penting untuk dapat menerapkan keterampilan berpikir kritis
pada disiplin tersebut. Proses berpikir kritis adalah deduktif, yang meliputi penerapan
prinsip dan keterampilan berpikir kritis pada disiplin ilmu tertentu.
Untuk mengevaluasi berpikir kritis, Ennis menciptakan The Cornell Critical
Thinking Test, sebuah alat mengevaluasi yang terkenal untuk mengukur brpikir kritis
berdasarkan taksonomi kemampuan berpikir kritis yang dibuatnya. Sedangkan
karakteristik berpikir kritis agak sukar untuk diukur.
Senada dengan Ennis, Paul (1993) mendefinisikan berpikir kritis berdasarkan
kemampuan dan karakteristik berpikir kritis, namun Paul lebih menekankan pada
aktivitas pemikir daripada berpikir itu sendiri. Paul (1987) mendefinisikan berpikir
kritis sebagai berikut.
critical thinking as a “unique kind of purposeful thinking in which the thinker systematically and habitually imposes criteria and intellectual standards upon the thinking; taking charge of the construction of thinking; guiding the construction of thinking according to the standards; and assessing the effectiveness of the thinking according to the purpose, the criteria, and the standards”
Selain itu, Paul (2008) mendefinisikan brpikir kritis sebagai berikut.
“ Critical thinking is that mode of thinking - about any subject, content, orproblem - in which the thinker improves the quality of his or her thinkingby skillfully taking charge of the structures inherent in thinking andimposing intellectual standards upon them.”
Berdasarkan kutipan di atas, berpikir kritis adalah tindakan yang langsung
dilakukan sendiri, disiplin diri, monitor sendiri, dan berpikir yang dikoreksi sendiri.
Berpikir kritis mensyaratkan persetujuan terhadap standar mutu yang tepat dan
perintah sadar penggunaannya. Berpikir kritis memerlukan komunikasi yang efektif
dan kemampuan problem solving sebaik komitmen untuk mengatasi egosentris dan
sosiosentris.
Paul (1982) menegaskan keterampilan dan proses yang berasosiasi dengan
berpikir kritis. Paul membedakan berpikir kritis pada pengertian yang lemah dengan
berpikir kritis pada pengertian yang kuat. Dalam pengertian yang lemah, berpikir
kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang posisi sesuatu
dibandingkan posisi sesuatu yang lain sedangkan dalam pengertian yang kuat,
berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang posisi, argumen,
asumsi, dan sudut pandang sesuatu dengan baik. Pemikir kritis yang kuat akan dapat
memahami gambaran besar secara holistik, dan melihat perbedaan sudut pandang
terhadap dunia daripada hanya mengkritik langkah-langkah seseorang dalam
berargumen. Berdialog dengan orang lain yang berbeda dalam latar belakang
kebudayaan dan pandangan terhadap dunia akan sangat penting dalam berpikir kritis.
Hal ini karena kita belajar melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda-beda dalam
mengkontekstualkan pandangan dunia kita dalam gambaran yang lebih besar.
Berpikir kritis ini adalah berpikir yang bertujuan untuk mengatasi egosentrik dan
sosiosentrik berpikir.
McPeck (1981) menyatakan berpikir kritis bersifat spesifik. Definisi berpikir
kritis McPeck sebagai berikut.
“critical thinking is specific to a particular discipline, and that it depends on a thorough knowledge and understanding of the content and epistemology of the discipline.”
Menurutnya, berpikir kritis tidak dapat diajarkan dengan bebas pada subjek
bidang tertentu. Untuk menjadi pemikir yang kritis dalam bidang nuklir akan sangat
sukar apabila seseorang hanya memiliki pengetahuan yang sedikit tentang bidang
tersebut. Pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap suatu disiplin ilmu
merupakan faktor penting dan bukan pada apakah seseorang memiliki keterampilan
dan karakteristik berpikir kritis. Hal ini berarti berpikir kritis menyatakan secara
tidak langsung tentang pengetahuan disiplin ilmu dimana seseorang bekerja, isi dan
epistemologi disiplin tersebut, apa yang merupakan dasar kebenaran dan validitas
argumen pada disiplin ilmu tersebut, serta bagaimana seseorang menerapkannya.
McPeck menekankan pentingnya prinsip dan keterampilan berpikir kritis yang
bersifat subjek-spesifik, yang berarti prinsip yang diterapkan hanya pada disiplin
tertentu seperti menerapkan estetika dalam menilai suatu hasil seni. Menurut McPeck,
proses berpikir kritis adalah induktif: yang meliputi penggeneralisasian prinsip
berpikir kritis dari isi dan struktur disiplin ilmu.
Pendapat McPeck di atas berdasarkan pengertian yang dibangunnya bahwa
berpikir adalah suatu aktivitas untuk memikirkan sesuatu, oleh karena itu setiap jenis
berpikir adalah tergantung pada bidang kajian yang dipikirkan (subject dependent).
Menurutnya, bidang kajian yang berbeda akan memiliki perbedaan epistemologis,
dan ide-ide berpikir kritis memiliki perbedaan pengertian antara bidang yang satu
dengan bidang yang lain. Oleh karena itu, McPeck (dalam Reece, 2002)
mendefinisikan ulang berpikir kritis sebagai berikut.
“Critical thinking is the analysis of good reasons for belief, understanding the various kinds of reason involves understanding complex meanings of field-dependent concepts and evidence”
Pendapat McPeck ini berdampak sangat besar diantaranya meniadakan klaim
bahwa terdapat standar intelektual universal dalam berpikir yang bernalar, berpikir
kritis hanya dapat diajarkan dalam bidang tertentu dan membuat tidak berlaku
pelatihan-pelatihan berpikir kritis yang sudah ada, dan adanya klaim bahwa berpikir
kritis hanya berlaku khusus pada bidang kajian meniadakan semua klaim bahwa
keterampilan berpikir kritis dapat ditransfer dari satu bidang kajian ke bidang kajian
yang lain.
Pandangan McPeck bahwa berpikir kritis bersifat spesifik, ditentang oleh Perkins.
Perkins (dalam Reece, 2002) menemukan bahwa keterampilan berpikir kritis dapat
ditransfer. Perkins menyatakan tiga tahap perkembangan keterampilan berpikir kritis
yaitu kemahiran (acquisition), otomatisasi (making it automotic), dan transfer.
Kebanyakan program berpikir kritis hanya fokus pada kemahiran saja, namun Perkins
menyatakan bahwa berpikir kritis cenderung tetap dalam konteks pelatihan. Perkins
menyatakan 2 tipe transfer yaitu high-road transfer dan low-road transfer. High-road
transfer adalah transfer yang disengaja dari suatu kerangka atau taktik berpikir kritis
dari satu lingkungan belajar ke lingkungan belajar yang lain. Instruktur harus
menciptakan latihan yang membantu pebelajar mencapai tipe transfer ini karena
transfer ini tidak bersifat otomatis. Sedangkan low-road transfer terjadi lebih spontan
karena pebelajar akan menerapkan keterampilan berpikir kritis dalam lingkungan
baru tanpa adanya instruksi untuk mentransfernya.
Siegel (1990) menekankan konsep hubungan yang kuat antara berpikir kritis
dengan rasionalitas. Siegel mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut.
“critical thinking means to be ‘appropriately moved by reasons’, and to be rational is to ‘believe and act on the basis of reasons’.”
Dalam pandangan ini, berpikir kritis didasari oleh berpikir, sedikitnya dalam prinsip
netral, konsistensi, ketidaksewenang-wenangan dan kejujuran.
Konsepsi Siegel tentang berpikir kritis mempertahankan komponen penilaian
penalaran (reason assessment component) dan komponen sikap kritis (critical
attitude component). Pemikir kritis yang memiliki komponen penilaian penalaran
harus dapat menilai penalaran dan kemampuan mereka dalam membenarkan
kepercayaan, klaim dan tindakan dengan tepat. Oleh karena itu, pemikir kritis harus
memiliki pemahaman yang baik, kemampuan memanfaatkan prinsip subjek-spesifik
dan subjek-netral (logis) yang berpengaruh dalam menilai penalaran. Seseorang yang
memiliki komponen sikap kritis akan memiliki karakter tertentu yang sama baiknya
dengan keterampilan tertentu: karakter dimana seseorang cenderung mencari tahu
sesuatu yang mendasari keputusan dan tindakan; karakter yang tidak memihak dan
tidak sewenang-wenang, karakter untuk menilai objektif terhadap fakta-fakta yang
relevan; karakter bernilai aspek-aspek berpikir kritis seperti kejujuran intelektual,
keadilan, simpatik, objektifitas. Oleh karena itu, keterampilan dan prinsip-prinsip
berpikir kritis merupakan hal yang penting bagi para pemikir kritis.
Martin (1992) menekankan pada karakteristik yang berasosiasi dengan berpikir
kritis dan menyatakan bahwa berpikir kritis dimotivasi dan ditemukan dalam
perspektif moral dan nilai tertentu. Seseorang yang mampu mencapai suatu
kesimpulan tertentu dengan cara-cara bernalar yang kritis bukan berarti bahwa moral
orang tersebut dapat diterima. Tujuan berpikir kritis didasarkan pada moral. Berpikir
kritis dilakukan seseorang hanya untuk mengembangkan dunia yang lebih baik.
Berdasarkan lima pandangan utama tentang berpikir kritis di atas, Mason (2008)
menyatakan ada 3 aspek penting berpikir kritis, yaitu (1) keterampilan bernalar kritis
(seperti kemampuan untuk menilai suatu penalaran dengan tepat), (2) karakter, yaitu
(a) sikap kritis (skeptisisme, kecenderungan menanyakan pertanyaan penyelidikan)
dan komitmen untuk mengekspresikan sikap tersebut, serta (b) orientasi moral yang
memotivasi berpikir kritis, (3) pengetahuan substansial dalam bidang tertentu, yaitu
(a) konsep berpikir kritis (syarat cukup dan syarat perlu), dan (b) disiplin tertentu,
dimana seseorang mampu berpikir kritis.
Akibat munculnya beragam definisi berpikir kritis adalah munculnya pendekatan-
pendekatan yang berbeda untuk mengajarkan berpikir kritis. Pendekatan umum
melibatkan mengajar keterampilan berpikir kritis yang tergeneralisasi dalam pelatihan
berpikir kritis. Pendekatan infusi mensyaratkan adanya kesadaran diri mengajarkan
keterampilan berpikir kritis dalam pelatihan bidang kajian tertentu. Metode imersi
(immersion method) berasumsi bahwa pebelajar akan memperoleh keterampilan
berpikir kritis bidang tertentu melalui pelatihan yang diadakan dalam bidang tersebut.
Metode campuran (mixed-method) mengkombinasikan pelatihan umum dengan salah
satu pendekatan infusi atau metode imersi.
Karakteristik berpikir kritis Ennis (2005) antara lain mencari penjelasan
pertanyaan, mencari penalaran, mencoba menjadi sumber informasi yang baik,
menggunakan dan menyebutkan sumber informasi yang kredibel, mencari alternatif,
berpikir terbuka, sensitif terhadap perasaan dan pengetahuan. Facione (2009)
menyebutkan karakteristik berpikir kritis antara lain memiliki rasa ingin tahu,
bijaksana, mencari kebenaran, percaya diri dalam bernalar, berpikir terbuka, analitis,
dan sistematis.
Seringkali berpikir kritis dikacaukan dengan problem solving dan berpikir tingkat
tinggi. Beberapa pakar menggunakan istilah yang sama untuk menggambarkan
komponen berpikir kritis, problem solving dan berpikir tingkat tinggi, namun konsep
berpikir kritis adalah konsep yang unik. Hedges (1991) membedakan antara berpikir
kritis dengan problem solving. Menurut Hedges, problem solving adalah proses linier
evaluasi, sedangkan berpikir kritis adalah kumpulan kemampuan yang membolehkan
orang yang melakukan penemuan memfasilitasi setiap tahap proses linier problem
solving. Berikut ini tabel hubungan antara berpikir kritis dan problem solving
menurut Hedges.
No Berpikir kritis Problem Solving1 Kemampuan mengidentifikasi dan
membuat formula masalah sebaik kemampuan untuk menyelesaikannya
Mengenal situasi masalah
2 Kemampuan mengenal dan menggunakan penalaran induktif sebaik kemampuan menyelesaikan masalah
Mendefinisikan masalah
3 Kemampuan menggambarkan kesimpulan yang bernalar berdasarkan informasi yang diperoleh dari beragam sumber baik tertulis, lisan, tabel, grafik, dan mempertahankan ksimpulan yang diperoleh dengan cara yang rasional
Kemampuan untuk memahami, mengembangkan, dan menggunakan konsep dan generalisasi
4 Kemampuan untuk memahami, mengembangkan, dan menggunakan konsep dan generalisasi
Mengecek hipotesis dan memperoleh data
5 Kemampuan membedakan fakta dan opini
Memperbaiki hipotesis dan mengecek hipotesis yang sudah diperbaiki atau hipotesis baru
6 - Membuat kesimpulanTabel 1
Hubungan berpikir kritis dengan problem solving (Hedges, 1991)Ennis (1993) memberikan definisi berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang
berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan harus
dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, maka kemampuan berpikir kritis menurut
Ennis terdiri atas 12 komponen, yaitu (1) merumuskan masalah, (2) menganalisis
argumen, (3) menanyakan dan menjawab pertanyaan, (4) menilai kredibilitas sumber
informasi, (5) melakukan observasi dan menilai laporan hasil observasi, (6) membuat
deduksi dan menilai deduksi, (7) membuat induksi dan menilai induksi, (8)
mengevaluasi, (9) mendefinisikan dan menilai definisi, (10) mengidentifikasi asumsi,
(11) memutuskan dan melaksanakan, serta (12) berinteraksi dengan orang lain.
Kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan oleh Komite Berpikir Kritis Antar-
Universitas (Intercollege Committee on Critical Thinking), yaitu (1) kemampuan
mendefinisikan masalah, (2) kemampuan menyeleksi informasi untuk penyelesaian
masalah, (3) kemampuan mengenali asumsi-asumsi, (4) kemampuan merumuskan
hipotesis, dan (5) kemampuan menarik kesimpulan (Muslimin, 2007) .
Pascarella & Terenzini (1991) menyatakan bahwa berpikir kritis dapat
didefinisikan dengan beragam cara dan diukur dengan sejumlah cara, tetapi pada
dasarnya berpikir kritis melibatkan kemampuan individu untuk mengidentifikasi
persoalan pokok dan asumsi dalam suatu argumen, mengakui hubungan yang penting,
membuat kesimpulan yang tepat berdasarkan data-data yang ada, mendeduksi
kesimpulan dari informasi atau data yang disediakan, menginterpretasi apakah
kesimpulan dijamin data yang diberikan, dan mengevaluasi fakta atau otoritas.
Beyer (dalam Burris, 2005) mengidentifikasi keterampilan yang dibutuhkan agar
berpikir kritis menjadi lebih efektif, yaitu (1) membedakan antara fakta-fakta yang
dapat dibuktikan dan menilai klaim, (2) membedakan informasi, klaim, dan bernalar
yang relevan dan tidak relevan, (3) menentukan ketelitian faktual suatu pernyataan,
(4) menentukan kredibilitas sumber, mengidentifikasi klaim atau argumen yang
ambigu, (5) mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan, (6) mendeteksi bias, (7)
(8) mengidentifikasi ketidakkonsistenan logis dalam bernalar, (9) mengakui
ketidakkonsistenan logis dalam bernalar, serta (10) menentukan kekuatan argumen
atau klaim.
Brookfield (dalam Marrapodi, 2003) mendefinisikan lima aspek dan empat
komponen berpikir kritis. Menurutnya, berpikir kritis terdiri dari aspek-aspek, yaitu
berpikir kritis adalah aktivitas yang produktif dan positif, berpikir kritis adalah proses
bukan hasil, perwujudan berpikir kritis sangat beragam tergantung dari konteksnya,
berpikir kritis dapat berupa kejadian yang positif maupun negatif, dan berpikir kritis
dapat bersifat emosional dan rasional. Sedangkan komponen berpikir kritis, yaitu (1)
identifikasi dan menarik asumsi adalah pusat berpikir kritis, (2) menarik pentingnya
konteks adalah penting dalam berpikir kritis, (3) pemikir kritis mencoba
mengimajinasikan dan menggali alternatif, dan (4) mengimajinasikan dan menggali
alternatif akan membawa pada skeptisisme reflektif.
Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu modal dasar atau modal
intelektual yang sangat penting bagi setiap orang dan merupakan bagian yang
fundamental dari kematangan manusia (Liliasari, 2000). Oleh karena itu,
pengembangan keterampilan berpikir kritis menjadi sangat penting bagi mahasiswa di
setiap jenjang pendidikan. Keterampilan berpikir kritis menggunakan dasar berpikir
menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap interpretasi
untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, kemampuan
memahami asumsi, memformulasi masalah, melakukan deduksi dan induksi serta
mengambil keputusan yang tepat. Keterampilan berpikir kritis adalah potensi
intelektual yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran. Setiap manusia
memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pemikir yang kritis karena
sesungguhnya kegiatan berpikir memiliki hubungan dengan pola pengelolaan diri
(self organization) yang ada pada setiap makhluk di alam termasuk manusia sendiri
(Liliasari, 2001; Johnson, 2000).
Untuk menilai apakah seseorang termasuk kategori pemikir kritis yang baik
ataukah pemikir kritis yang kurang, dapat dilihat dari apakah orang tersebut mampu
menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi dan menyimpulkan, dapat menjelaskan
apa yang dipikirkannya dan bagaimana orang tersebut membuat keputusan, dapat
menerapkan kekuatan berpikir kritis pada dirinya sendiri dan meningkatkan
kemampuan berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat yang dibuatnya. Facione
(2009) mengungkapkan tentang keterampilan kognitif yang merupakan inti dari
berpikir kritis yaitu interpretasi (interpretation), analisis (analysis), evaluasi
(evaluation), penyimpulan (inference), penjelasan (explanation), dan regulasi diri
(self-regulation).
Pott (1994) menyatakan 3 kemampuan berpikir kritis yaitu menemukan analogi
dan jenis hubungan yang lain antara beragam informasi, menentukan informasi yang
relevan dan valid untuk menyelesaikan masalah, menemukan dan mengevaluasi
penyelesaian atau penyelesaian alternatif suatu masalah. Kemampuan-kemampuan
tersebut dapat dilaksanakan dalam pembelajaran yaitu dengan cara, yaitu (1)
Mendorong interaksi antara pebelajar dalam belajar, (2) Memberikan pertanyaan
open-ended yang mendorong pebelajar untuk berpikir tanpa takut memberikan
jawaban yang salah, (3) memberikan waktu yang cukup kepada pebelajar untuk
merefleksikan pertanyaan atau masalah yang diajukan, dan (4) memberikan
kesempatan kepada pebelajar untuk melihat aplikasi keterampilan berpikir kritis pada
situasi yang lain dan pengalaman pebelajar itu sendiri.
Menurut Elder dan Paul (2008) manfaat berpikir kritis, yaitu mahasiswa mampu
(1) menyatakan serta menjelaskan tujuan dan maksudnya, (2) menjelaskan pertanyaan
yang dibutuhkan untuk menjawab dan masalah yang dibutuhkan untuk dipecahkan,
(3) mendapatkan serta mengorganisasi informasi dan data, (4) menilai pengertian dan
informasi penting yang diberikan kepadanya, (5) mendemonstrasikan pemahaman
konsep, (6) mengidentifikasi asumsi, mempertimbangkan implikasi dan konsekuensi,
menguji sesuatu menggunakan beragam sudut pandang, menyatakan pernyataannya
dengan jelas, menguji dan mengecek ketepatan, serta (7) mengaitkan kekompleksan
masalah dan isu-isu, menyatakan pikirannya secara logis, berpikir dengan beragam
sudut pandang, membedakan masalah-masalah yang penting dan masalah yang tidak
penting.
Menurut Bessick (2008) terdapat beberapa alat ukur yang digunakan untuk
menilai berpikir kritis yaitu Academic Profile (A. Profile), Collegiate Assessment of
Academic Proficiency (CAAP), California Critical Thinking Dispositions Inventory
(CCTDI), CAAP Critical Thinking Assessment Inventory, California Critical
Thinking Skills Test (CCTST), Cornell Critical Thinking Test (CCTT), College
Outcomes Measures Program – Objective Test (COMP), ETS Tasks in Critical
Thinking (ETS TASKS), Measure of Intellectual Development (MID), Problem
Solving Inventory (PSI), Reflective Judgment Inventory (RJI), Watson-Glaser Critical
Thinking Appraisal (WGCTA).
Evaluasi terhadap berpikir kritis merupakan hal yang penting bukan hanya
menjawab pertanyaan tentang kemampuan menggeneralisasi tetapi juga menilai
kekuatan dan kelemahan program dan untuk mengatasi kelemahan tersebut. Baron
(dalam Reece, 2002) mengidentifikasi 4 dimensi dalam evaluasi program mengajar
keterampilan berpikir kritis yaitu formatif-summatif, produk-proses, kualitatif-
kuantitatif, dan eksperimental-quasi eksperimental. Evaluasi formatif bertujuan untuk
meningkatkan program sedangkan evaluasi summatif bertujuan untuk melihat
keefektifan program. Evaluasi produk mempunyai fokus pada apa yang dihasilkan
oleh pebelajar sedangkan evaluasi proses menekankan pada bekerjanya pengajaran
berpikir kritis dan kegiatan berpikir pebelajar. Evaluasi kualitatif dan kuantitatif
merupakan alat untuk menangkap pengalaman seseorang dalam program. Evaluasi
eksperimental dan quasi eksperimental merupakan cara lain untuk mengetes
keefektivan program.
Menurut Burris (2005) berpikir kritis dapat juga dipengaruhi oleh strategi
pembelajaran dalam proses belajar mengajar. Lundy, Irani, Ricketts, Eubanks, Rudd,
Gallo-Meagher, and Fulford (dalam Burris, 2005) meneliti kemampuan berpikir kritis
mahasiswa sebagai hasil pelatihan bioteknologi. Mereka membandingkan
kemampuan dan karakteristik berpikir kritis mahasiswa pria dan mahasiswa wanita,
kemudian mengukurnya menggunakan The California Critical Thinking
Dispositional Inventory (CCTDI). Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa
semua mahasiswa tanpa memandang jenis kelamin dan status akademik menunjukkan
adanya karakteristik berpikir kritis. Lundy, dkk (dalam Burris, 2005) menyimpulkan
bahwa berpikir kritis merupakan keterampilan yang dapat dikuasai dan
dikembangkan semua mahasiswa dengan menerapkan teknik-teknik pembelajaran
berpikir kritis. Mabie dan Baker (dalam Burris, 2005) meneliti dampak strategi
pembelajaran dalam perkembangan keterampilan proses sains. Keterampilan proses
sains seperti mengamati, berkomunikasi, membandingkan, menghubungkan,
dianggap sebagai bangunan penyusun berpikir kritis. Berdasarkan penelitian mereka,
ditmukan bahwa terdapat peningkatan siswa yang mengembangkan kterampilan
proses sains.
Menurut Burris (2005) aktivitas belajar eksprimen akan meningkatkan keterapilan
berpikir kritis. Burbach, Matkin, dan Fritz (dalam Burris, 2005) menggunakan The
Watson-Glaser Critical Thinking Appraisal® (WGCTA®) untuk menguji
kemampuan berpikir kritis 80 orang mahasiswa yang terlibat dalam latihan
kepemimpinan di kampus. Pelatihan didesain untuk mengajarkan berpikir kritis
dengan menggabungkan menulis jurnal reflektif, layanan belajar, kelompok kecil,
skenario, studi kasus, dan pertanyaan. Berdasarkan pre-tes dan post-tes diperoleh
indika bahwa strategi blajar aktif yang dilaksanakan dalam pelatihan akan
meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Oty, McArthur, dan Clark (dalam Burris,
2005) menggunakan WGCTA® membandingkan kemampuan berpikir kritis
mahasiswa yang menerapkan aljabar terintegrasi latihan sains dengan latihan aljabar
tradisional. Matematika/sains terintegrasi didesain menggunakan contoh-contoh
ilmiah untuk menyediakan latar belakang kontekstual dalam operasi matematika.
Mahasiswa yang menerapkan aljabar terintegrasi akan memperoleh skor WGTCA®
yang lebih tinggi. Berdasarkan hal ini diperoleh kesimpulan bahwa pendekatan
terintegrasi akan meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
C. Model Berpikir Kritis Paul & Elder
Menurut Paul dan Elder (Paul, 2008) ada 3 komponen berpikir kritis yaitu elemen
bernalar, standar intelektual bernalar, dan karakter intelektual bernalar. Berikut ini
gambar model berpikir kritis Paul & Elder.
Gambar 1Model berpikir kritis Paul & Elder (Paul, 2008)
Menurut Paul dan Elder (2008) serta Paul (2009), terdapat 8 elemen bernalar
yaitu:
1. Tujuan (purpose)
Penalaran harus memiliki tujuan. Untuk memahami beberapa hal, seseorang harus
dapat mendefinisikan tujuan dengan jelas seperti apakah tujuannya membujuk,
menginformasikan dan sebagainya.
2. Pertanyaan (question)
Penalaran adalah usaha menjawab pertanyaan yang menjadi masalah, dapat
dilakukan dengan cara menggambarkan sesuatu, menetapkan pertanyaan dan
menyelesaikan masalah. Hal yang penting dalam mengidentifikasi pertanyaan-
pertanyaan adalah untuk memahami tujuan.
3. Asumsi (assumption)
Penalaran harus berdasarkan asumsi. Berpikir efektif mencoba mengidentifikasi
asumsi dengan jelas dan menentukan apakah asumsi tersebut dapat
dipertanggungjawabkan, serta bagaimana asumsi tersebut membentuk sudut
pandang.
4. Sudut pandang (point of view)
Penalaran dibuat dengan memperhatikan beragam sudut pandang dalam hal ini
beragam alternatif penyelesaian.
5. Informasi (information)
Penalaran berdasarkan informasi yaitu data dan fakta. Berpikir mencoba
mengidentifikasi informasi, meyakinkan bahwa informasi yang digunakan jelas,
dan relevan dengan pertanyaan yang menjadi pokok masalah.
6. Konsep dan ide (concept and idea)
Penalaran dinyatakan dan dibentuk berdasarkan konsep dan ide yaitu definisi,
teori, prinsip, aturan, dan model. Hal yang penting untuk mengidentifikasi konsep
penting dan menjelaskan konsep tersebut dengan jelas.
7. Penyimpulan (inference)
Penalaran terdiri dari penarikan kesimpulan atau interpretasi yang
menggambarkan kesimpulan dan memberi pengertian dari data.
8. Implikasi (implication)
Penalaran akan memiliki implikasi dan konsekuensi. Suatu hal yang penting
untuk menemukan implikasi dan konsekuensi dari suatu penalaran seseorang,
mencari implikasi negatif dan positifnya, dan mempertimbangkan konsekuensi-
konsekuensi yang mungkin.
Berikut ini adalah gambar elemen bernalar
Gambar 2Elemen bernalar (Paul dan Elder, 2008)
Standar intelektual bernalar digunakan untuk menentukan kualitas elemen
bernalar. Berpikir kritis yang baik membutuhkan standar intelektual. Tujuan
utamanya adalah sebagai standar bernalar agar dapat ditanamkan pada segala aktivitas
berpikir sehingga membimbing adanya bernalar yang lebih baik lagi. Menurut Paul
dan Elder (2008) serta Paul (2009) terdapat sejumlah standar intelektual, namun
berikut ini hanya dituliskan standar intelektual yang paling penting yaitu:
1. Kejelasan (clarity)
Kejelasan adalah pintu gerbang standar intelektual. Elemen bernalar dan
pengertian dapat dipahami. Jika suatu pernyataan tidak jelas, maka tidak dapat
ditentukan apakah pernyataan tersebut akurat atau relevan. Hal ini dikarenakan
tidak diketahui apa yang dikatakan pernyataan tersebut sehingga tidak dapat
diceritakan lebih jauh tentang pernyataan tersebut. Pertanyaan yang membantu
mengetahui kejelasan bernalar seseorang, yaitu apakah elemen bernalar tersebut
jelas, apakah tujuannya jelas, apakah informasinya jelas, apakah pernyataan
tersebut ambigu, apakah dapat diberikan contoh, dan dapatkah dibuat
illustrasinya.
2. Ketepatan (accuracy)
Yaitu elemen bernalar bebas dari kesalahan atau distorsi, dan mengandung
kebenaran. Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui ketepatan bernalar
seseorang, yaitu apakah elemen bernalar (misalnya informasi) benar, bagaimana
mengecek kebenaran elemen bernalarnya, dan bagaimana kita dapat mengetahui
bahwa elemen bernalar tersebut benar.
3. Ketelitian (precision)
Yaitu elemen bernalar menjelaskan sesuatu dengan tepat. Pertanyaan yang dapat
membantu mengetahui ketelitian bernalar seseorang, yaitu apakah elemen
bernalar tersebut memiliki ketelitian, dapatkah dijelaskan dengan rinci, dan
dapatkah penalaran yang dibuat lebih spesifik.
4. Relevansi (relevance)
Yaitu berhubungan dengan pokok masalah yang dihadapi. Pertanyaan yang dapat
membantu mengetahui relevansi bernalar seseorang, yaitu apakah elemen bernalar
tersebut relevan, bagaimana elemen bernalar tersebut berhubungan dengan
pertanyaan, apakah elemen benalar tersebut mengandung pokok-pokok masalah,
dan baagaimana elemen bernalar tersebut membantu mengatasi pokok
permasalahan.
5. Kedalaman (depth)
Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui kedalaman bernalar seseorang,
yaitu apakah elemen bernalar cukup dalam atau sangat dangkal, bagaimana
menjawab kekompleksan pertanyaan, apakah dapat dicari sejumlah masalah dari
suatu pertanyaan, dan faktor-faktor apa yang membuat bernalar menjadi sukar.
6. Keluasan (breadth)
Yaitu elemen bernalar mengandung beragam sudut pandang. Pertanyaan yang
dapat membantu mengetahui keluasan bernalar seseorang, yaitu apakah perlu
dicari/diduga sudut pandang yang lain, apakah terdapat cara lain untuk melihat
pertanyaan, apakah bernalar ini seperti terlihat sebagai sudut pandang yang
konservatif, bagaimana kita melihat bernalar ini dari sudut pandang yang lain, dan
apakah elemen berpikir ini cukup luas atau apakah perlu dicari data yang lebih
luas.
7. Logis (logic)
Ketika berpikir, kita membawa sejumlah pikiran dalam satu waktu. Ketika
kombinasi berpikir mendukung satu sama lain dan membuat pengertian dalam
kombinasi, maka berpikir menjadi logis. Ketika kombinasi tidak mendukung satu
sama lain, terdapat kontradiksi dalam beberapa pengertian, atau tidak dapat
membuat suatu pengertian maka kombinasi berpikir tersebut tidak logis.
Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui kelogisan bernalar seseorang, yaitu
apakah elemen bernalar tersebut membuat suatu pengertian, apakah ada dampak
dari apa yang disampaikan, dan bagaimana dampaknya.
Karakter intelektual bernalar berhubungan dengan kebiasaan intelektual yang
memungkinkan pebelajar menjadi lebih disiplin dan meningkatkan fungsi mental.
Dosen perlu menanamkan dalam pikiran bahwa berpikir kritis dapat melayani 2 hal
yang bertentangan yaitu berpusat pada diri sendiri atau berprasangka baik terhadap
pikiran orang lain. Ketika pebelajar belajar bagaimana mengakui kesalahan dalam
bernalar, kebanyakan dari mereka akan melihat kesalahan bernalar orang lain tetapi
tidak siap menjelaskan penalaran yang dibuatnya. Mereka akan sangat menyukai
menunjukkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain dan mengembangkan
beberapa kecakapan agar apa yang dipikirkan oleh orang lain terlihat sangat tidak
tepat, tetapi mereka tidak mampu menggunakan pemahaman kesalahan tersebut untuk
menganalisis dan menilai bernalarnya sendiri. Hal ini berarti pebelajar hanya
berkembang menjadi seorang pemikir saja tetapi belum menjadi seorang pemikir
yang terbuka (open-minded). Pemikir yang baik akan berusaha untuk menjadi terbuka
sehingga mereka akan mengembangkan karakter intelektual bernalar berpikir seperti
kerendahan hati intelektual (intellectual humility), keberanian intelektual (intellectual
courage), empati intelektual (intellectual empathy), integritas intelektual (intellectual
integrity), ketekunan intelektual (intellectual perseverance), percaya diri dengan
penalarannya (faith in reason), dan berpikir terbuka (faith-mindedness) (Paul, 2008).
1. Kerendahan hati intelektual (intellectual humility)
Adalah pengetahuan tentang hal yang tidak diketahui, sensitivitas terhadap apa
yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Menyadari keterbatasan
pengetahuan seseorang, termasuk sensitivitas terhadap egosentris seseorang,
sensitivitas terhadap bias, prasangka, dan terbatas dengan sudut pandang
seseorang. Kerendahan hati intelektual bergantung pada penghargaan bahwa
seseorang tidak dapat menuntut pada apa yang benar-benar diketahui seseorang.
Hal ini berdampak pada berkurangnya kesombongan intelektual.
2. Keberanian intelektual (intellectual courage)
Adalah kecenderungan untuk menanyakan sesuatu kepercayaan yang dirasakan
benar. Menyadari kebutuhan untuk menghadapi dan memusatkan perhatian pada
ide, kepercayaan, atau sudut pandang. Keberanian ini berhubungan dengan
pengakuan bahwa ide mempertimbangkan bahaya atau kemustahilan yang
terkadang dibenarkan secara rasional (dalam keseluruhan atau sebagian) dan
bahwa kesimpulan dan kepercayaan ditanamkan pada kita terkadang salah atau
menyesatkan. Keberanian intelektual diperlukan karena dapat terjadi kebenaran
muncul dari ide-ide yang dianggap berbahaya atau mustahil, dan menyimpang
atau kesalahan dari beberapa ide yang dipegang teguh oleh kelompok sosial.
3. Empati intelektual (intellectual empathy)
Adalah kesadaran akan kebutuhan untuk mempunyai pandangan-pandangan yang
berbeda dengan pandangan yang dimiliki seseorang. Menyadari kebutuhan
imajinatif menempatkan seseorang pada pikiran orang lain untuk memahami
pikiran orang lain tersebut dengan sungguh-sungguh, yang membutuhkan
kesadaran kecenderungan egosentris untuk mengidentifikasi kebenaran dengan
penglihatan pikiran yang sudah lama ada secara langsung. Karakter ini
berhubungan dengan kemampuan merekonstruksi sudut pandang dan bernalar
orang lain dengan tepat, dan bernalar dari premis, asumsi, dan ide-ide orang lain
daripada bernalar dari premis, asumsi, dan ide-ide diri sendiri.
4. Integritas intelektual (intellectual integrity)
Pengakuan kebutuhan kebenaran pikiran seseorang, konsisten dengan standar
intelektual yang diterapkan seseorang, menerapkan apa yang dianjurkan orang
lain, dan jujur mengakui ketidaksesuaian dan ketidakkonsistenan pikiran dan
tindakannya sendiri.
5. Ketekunan intelektual (intellectual perseverance)
Adalah kecenderungan untuk terus bekerja dengan cara yang dipilih meskipun
muncul suatu perasaan frustasi dalam mengerjakannya. Menyadari kebutuhan
menggunakan pengertian mendalam intelektual dan kebenaran meskipun sukar,
terdapat hambatan, dan frustasi; menegaskan ketaatan terhadap prinsip rasional
meskipun dianggap irasional oleh orang lain; pengertian kebutuhan berjuang
dengan pertanyaan yang membingungkan dan tidak tentu selama beberapa lama
untuk mendapatkan pemahaman atau pengertian mendalam yang lebih.
6. Percaya diri dengan penalarannya (faith in reason).
Kepercayaan bahwa minat tinggi seseorang dapat dilayani dengan cara
mendorong orang untuk membuat kesimpulannya sendiri, dengan
mengembangkan kecakapan rasionalnya sendiri, percaya bahwa dengan dorongan
sejati dan perkembangan, orang dapat belajar berpikir untuk dirinya sendiri,
membentuk sudut pandang yang rasional, menggambarkan kesimpulan yang
bernalar, berpikir secara koheren dan logis, mengajak orang lain dengan penalaran
dan menjadi pribadi yang bernalar, meskipun terdapat halangan mendalam dalam
karakter asli pikiran manusia dan dalam masyarakat.
7. Berpikir terbuka (faith-mindedness).
Menyadari kebutuhan membahas beragam sudut pandang, tanpa referensi dari
perasaan orang lain atau minat pribadi, atau perasaan atau minat pribadi orang
lain, komunitas, atau bangsa, mengakibatkan ketaatan terhadap standar intelektual
tanpa referensi terhadap manfaat seseorang atau manfaat sekelompok orang.
D. Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis
Pembelajaran dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis
mahasiswa. Melatih berpikir kritis kepada pebelajar tidak serta merta dapat langsung
diketahui hasilnya. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, mahasiswa
harus melalui proses tahapan perkembangan berpikir kritis. Kebanyakan orang tidak
sadar adanya tingkatan-tingkatan perkembangan intelektual yang dilalui untuk
meningkatkan kemampuan berpikirnya.. Menurut Elder dan Paul (2008) ada 6
tingkatan kemampuan berpikir kritis sebagai berikut.
1. Berpikir yang tidak direfleksikan (unreflective thinking)
Para pemikir pada tingkat ini pada umumnya tidak menyadari bahwa peran
berpikir yaitu berpikir berperan penting dalam kehidupannya dan banyak masalah
berpikir menyebabkan masalah dalam kehidupannya. Pemikir kurang mampu
menilai secara eksplisit pemikirannya untuk kemudian meningkatkannya;
kekurangan pengetahuan bahwa berpikir yang berkualitas membutuhkan praktek
teratur dalam pengambilan berpikir terpisah, menilainya secara akurat, dan
meningkatkan kemampuan berpikir secara aktif. Akibatnya adalah gagal untuk
menghargai berpikir sebagai aktivitas yang melibatkan elemen bernalar. Mereka
tidak menyadari standar yang tepat untuk penilaian berpikir yaitu kejelasan,
ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan. Pemikir pada tahap ini
mengembangkan beragam kemampuan berpikir tanpa menyadarinya.
Kemampuan-kemampuan tersebut tidak diterapkan secara konsisten karena
kurang adanya monitor individu terhadap pikirannya.
2. Berpikir yang menantang (challenged thinking)
Pemikir pada tingkat ini bergerak ke tingkatan menantang ketika mereka
menjadi sadar akan peran menentukan dari berpikir yaitu bahwa berpikir berperan
dalam kehidupan mereka, dan fakta bahwa masalah dalam berpikir menyebabkan
mereka serius. Pemikir menyadari bahwa berpikir yang berkualitas membutuhkan
berpikir reflektif yang disengaja tentang berpikir (untuk meningkatkan
kemampuan berpikir) dan menyadari bahwa berpikirnya sering kekurangan tetapi
tidak dapat mengidentifikasikan dimana kekurangannya. Mereka
mengembangkan kesadaran awal berpikir seperti membutuhkan konsep, asumsi,
kesimpulan, implikasi, sudut pandang dan membutuhkan standar penilaian
berpikir yaitu kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan meskipun
mereka hanya punya pemahaman awal dari standar-standar tersebut dan apa yang
akan didalaminya. Pemikir mengembangkan beberapa pemahaman peran
penipuan diri sendiri dalam berpikir meskipun pemahamannya terbatas. Pada
tingkat ini mereka mengembangkan beberapa kesadaran reflektif bagaimana
berpikir bekerja secara benar atau salah.
Pemikir pada tingkat ini memiliki kemampuan berpikir yang terbatas.
Meskipun seperti pemikir pada tingkatan pertama, mereka telah mengembangkan
beragam kemampuan berpikir tanpa menyadarinya dan kemampuan-kemampuan
ini bisa menjadi halangan bagi mereka untuk berkembang. Dengan beberapa
kemampuan berpikir kritis yang implisit akan mudah bagi mereka untuk
membohongi dirinya sendiri dengan mempercayai bahwa berpikirnya adalah lebih
baik daripada yang sebenarnya, membuatnya sulit untuk menyadari masalah yang
melekat pada berpikir yang lemah. Menerima tantangan pada tingkat ini
mensyaratkan pemikir yang mendapatkan pengetahuan ke dalam fakta bahwa
kemampuan intelektual apapun yang dimilikinya diterapkan secara tidak
konsisten dalam kehidupannya. Sifat intelektual dasar pada tahap ini adalah
intelektual kerendahan hati dalam melihat masalah yang melekat pada salah satu
berpikirnya.
3. Berpikir permulaan (beginning thinking)
Para pemikir pada tingkat ini mengakui bahwa mereka mempunyai masalah
dasar dalam berpikirnya dan melakukan usaha awal untuk memahami dengan baik
bagaimana mereka dapat memerintah dan meningkatkannya. Berdasarkan
pemahaman awal ini, pemikir pemula mulai memodifikasi beberapa kemampuan
berpikirnya, tetapi memiliki wawasan terbatas dalam tingkatan mendalam dari
masalah yang melekat dalam pikirannya. Mereka kurang memiliki perencanaan
yang sistematis untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya, karena usaha
mereka bersifat untung-untungan.
Pemikir pemula menjadi sadar bukan hanya tentang berpikirnya saja tetapi
juga peran berpikir konsep, asumsi, kesimpulan implikasi, sudut pandang.
Pemikir pemula pada beberapa tingkatan awal mengakui tidak hanya bahwa ada
standar penilaian berpikir yaitu kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi,
kelogisan tetapi juga adanya suatu kebutuhan untuk mengaplikasikannya dalam
berpikir. Mereka memiliki pemahaman awal tentang peran berpikir egosentrik
dalam hidupnya.
Pemikir dapat menyadari tinjauan kekuatan berpikirnya, mempunyai
kemampuan yang cukup untuk mulai memonitor pemikirannya sendiri dan mulai
mengakui berpikir egosentrik terhadap mereka dan yang lain. Kunci karakter
intelektual yang dibutuhkan pada tingkatan ini adalah beberapa derajat
kerendahan hati intelektual pada awalnya untuk menghargai masalah yang
melekat di pikiran. Pemikir harus mempunyai beberapa derajat kepercayaan
intelektual bernalar, suatu ciri yang memberikan dorongan untuk menerima
tantangan dan mulai proses perkembangan aktif sebagai pemikir kritis, meskipun
ada pemahaman terbatas tentang apa artinya melakukan penalaran berkualitas
tinggi. Pemikir pemula memiliki ketekunan intelektual yang cukup untuk
berjuang dengan masalah-masalah berpikir yang serius sementara kekurangan
solusi yang jelas terhadap masalah tersebut (dengan kata lain pada tingkatan ini
pemikir mengakui masalah-masalah dalam pikirannya tetapi belum menemukan
cara yang sistematis untuk menyelesaikannya).
4. Berpikir latihan (practicing thinking)
Pemikir pada tingkatan ini memiliki penghargaan terhadap kebiasaan yang
dibutuhkan untuk mengembangkan dan menuntut pikirannya. Mereka tidak hanya
mengakui bahwa masalah ada dalam pikiran, tetapi juga mengakui kebutuhan
memecahkan masalah secara sistematis dan menyeluruh. Berdasarkan rasa
kebutuhan untuk menerapkan secara teratur, pemikir menganalisis pemikirannya
secara aktif dalam sejumlah bidang. Namun karena pemikir pada tingkatan ini
hanya mulai mendekati kemajuan berpikirnya secara sistematis, mereka masih
mempunyai wawasan terbatas dalam tingkatan berpikir yang mendalam, dan
dalam tingkatan mendalam menyimpan masalah dalam pikiran.
Pemikir tidak seperti pemikir pemula, menjadi orang yang berpengetahuan
banyak tentang apa yang akan dilaksanakan untuk memonitor peran dalam
berpikir tentang konsep, asumsi, kesimpulan, implikasi, sudut pandang dan
sebagainya. Mereka juga lebih berpengetahuan tentang apa yang akan
dilaksanakan untuk menilai pikirannya secara teratur terhadap kejelasan,
ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan dan sebagainya. Mereka mengakui
kebutuhan berpikir kritis yang sistematis dan internasionalisasi mendalam ke
dalam kebiasaan. Mereka mengakui kecenderungan alami pikiran manusia untuk
ikut serta dalam berpikir egosentrik dan kecurangan diri sendiri dengan jelas.
5. Berpikir lanjut (advanced thinking)
Pemikir tingkat ini telah mampu membentuk kebiasaan berpikir yang baik.
Berdasarkan kebiasaannya pemikir tidak hanya aktif menganalisis pikirannya
dalam setiap hal kehidupannya saja tetapi juga telah memiliki pengetahuan yang
penting tentang masalah pada tingkat berpikir yang mendalam. Namun ternyata
mereka belum mampu berpikir pada tingkat yang lebih tinggi secara konsisten
pada semua dimensi kehidupannya. Pemikir mempunyai perintah umum yang
baik dalam sifat egosentriknya. Mereka berusaha untuk tidak berat sebelah,
namun terkadang kehilangan egosentrisme dan penalaran pada satu sisi.
Untuk memulai mengembangkan pemahaman mendalam tidak hanya
kebutuhan praktek berpikir yang sistematis tetapi juga pengetahuan tingkat
berpikir masalah yang dalam; pengakuan yang konsisten, contohnya berpikir
egosentrik dan sosiosentrik, kemampuan mengidentifikasi ketidaktahuan dan
prasangka dan kemampuan mengembangkan kebiasaan mendasar berpikir
berdasarkan nilai-nilai yang telah dilaksanakannya.
Pemikir sangat aktif dan berhasil melaksanakan monitoring peranan berpikir
konsep, asumsi, kesimpulan, implikasi, sudut pandang secara sistematis dan
memiliki pengetahuan yang baik dalam berusaha. Mereka juga banyak
pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan untuk menilai pemikirannya dalam
hal kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan. Mereka menilai
internalisasi berpikir kritis dalam kebiasaannya sehari-hari secara mendalam dan
sistematis. Mereka juga memiliki ketajaman pengetahuan terhadap peran
egosentrisme dan sosiosentrisme dalam berpikir sebaik hubungan antara berpikir,
perasaan dan hasrat. Mereka memiliki pemahaman yang baik terhadap peran
berpikir dalam kehidupannya, memahami bahwa berpikir egosentrik akan
berperan dalam pikirannya tetapi mereka juga dapat mengontrol kekuatan
egosentrisme dalam pikiran dan kehidupannya.
Pemikir pada tingkat ini meninjau dan meningkatkan perencanaan yang dibuat
secara teratur untuk mempraktekkannya secara sistematis. Mereka secara teratur
meninjau pikirannya sendiri, mempunyai pengetahuan untuk menyampaikan
kekuatan dan kelemahan berpikirnya, mempunyai pengetahuan tentang kualitas
berpikirnya, secara konsisten mampu mengidentifikasi kapan berpikirnya diatur
oleh sifat egosentrisme, dan menggunakan sejumlah strategi yang efektif untuk
mengurangi kekuatan dari berpikir egosentrisnya.
6. Berpikir yang unggul (master thinking)
Pemikir pada tingkat ini tidak hanya memerintah pikirannya secara sistematis
tetapi juga memonitor, meninjau kembali, dan berpikir ulang strategi-strategi
untuk meningkatkan berpikirnya secara kontinu. Mereka menginternalisasi secara
mendalam kemampuan dasar berpikir, sehingga berpikir kritis bagi mereka
dilakukan secara sadar dan menggunakan intuisi yang tinggi. Menurut Piaget,
pemikir pada tingkat ini meningkatkan berpikirnya secara teratur ke tahap
realisasi kesadaran. Dengan pengalaman yang luas dan praktek dalam penilaian
sendiri, mereka tidak hanya aktif menganalisis berpikirnya dalam setiap aspek
kehidupannya tetapi juga mengembangkan pengetahuan baru terhadap masalah-
masalah pada tingkat berpikir yang lebih dalam. Mereka berusaha berpikir secara
tidak berat sebelah dan memiliki tingkat berpikir yang tinggi walaupun tidak
sempurna dalam mengontrol sifat egosentrisnya. Prinsip tantangan adalah
membangun tingkatan tertinggi intuisi berpikir kritis dalam setiap segi
kehidupannya, menginternalisasi berpikir kritis yang efektif antar disiplin ilmu
dan praktek.
Pemikir tidak hanya memonitor peran berpikir tentang konsep, asumsi,
kesimpulan, implikasi, sudut pandang tetapi juga meningkatkan praktek
kemampuan tersebut. Mereka tidak hanya memiliki derajat pengetahuan berpikir
yang tinggi tetapi juga derajat praktek pengetahuan yang tinggi. Mereka menilai
pikiran tentang kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi dan kelogisan secara
intuitif. Mereka juga memiliki pengetahuan mendalam terhadap internalisasi
berpikir kritis secara sistematis dalam kebiasaannya, memahami peran berpikir
egosentrik dan sosiosentrik dalam kehidupan manusia sebaik hubungan antara
berpikir, emosi, dan tingkah laku.
Pemikir meninjau dan meningkatkan penggunaan berpikir dalam kehidupan
sehari-hari secara teratur dan efektif, menyampaikan kekuatan dan kelemahan
dalam berpikirnya. Pengetahuan mereka tentang kualitas berpikirnya sangat baik,
meskipun mereka menyadari kekurangan (karena harus berperang melawan
egosentriknya), mereka berpikir kritis secara konsisten dan efektif dalam
kehidupannya.
E. Berpikir Matematis
Berpikir matematis merupakan hal yang penting karena berpikir matematis
merupakan tujuan sekolah yang penting, berpikir matematis penting dalam cara
belajar matematika, berpikir matematis penting untuk mengajarkan matematika.
Berpikir matematis merupakan aktivitas sangan sangat kompleks, dan terdapat 2
pasang proses dalam berpikir matematis yaitu mengkhususkan (specialising)-
menggeneralisasi (generalising), dan menduga (conjecturing)-meyakinkan
(convincing). Menurut Stacey (2008), berpikir matematis membantu guru dalam
menyelesaikan masalah matematika yang mensyaratkan penggunaan luas
keterampilan dan kemampuan matematika yaitu pengetahuan matematis yang
mendalam, kemampuan bernalar, pengetahuan strategi heuristik, sikap dan
kepercayaan yang berguna (seperti pandangan bahwa matematika akan sangat
berguna), atribut pribadi seperti kepercayaan diri, tekun, dan organisasi, dan
keterampilan untuk mengkomunikasikan penyelesaian. Pengetahuan matematis yang
mendalam, kemampuan bernalar, pengetahuan strategi heuristik merupakan bagian
berpikir matematis.
Beberapa pakar mendeskripsikan berpikir matematis yang memusatkan pada
problem solving (Polya, 1962; Feuerstein, 1980; Mason et al ,1982; Schoenfeld,
1984; Romberg,1993 dalam Watson, 2001) sedangkan pakar yang lain mengaitkan
perkembangan pemahaman konseptual dalam matematika (Krutetskii, 1976; Tall,
1991 dalam Watson, 2001). Menurut Choi-Koh & Jung, terdapat tiga tipe berpikir
matematis yaitu berpikir induktif, berpikir deduktif, dan berpikir kreatif. Burton
(dalam Choi-Koh & Jung) mengidentifikasi 4 proses kognitif dalam berpikir
matematis yaitu mengkhususkan (specializing), menggeneralisasi (generalization),
menduga (conjecturing), dan meyakinkan (convincing). Hal ini senada dengan
pernyataan Mason, Burton, & Stacey (dalam Stacey, 2008) yang mengidentifikasi 4
proses dasar berpikir matematis yaitu mengkhususkan (mencoba kasus-kasus khusus),
menggeneralisasi (mencari pola dan hubungan), menduga (memprediksi hubungan
dan hasil), dan meyakinkan (mencari dan mengkomunikasikan bernalar terhadap
sesuatu adalah benar).
Burton menyatakan bahwa berpikir adalah sarana yang digunakan manusia untuk
meningkatkan pemahamannya. Pernyataaannya adalah sebagai berikut.
“Thinking is the means used by humans to improve their understanding of, and exert some control over, their environment".
Menurut Burton, berpikir matematis bersifat matematis bukan karena merupakan
berpikir tentang matematika tetapi karena operasinya bergantung pada operasi-operasi
matematis. Kunci mengenal dan menggunakan berpikir matematis terletak pada
menciptakan atmosfer yang membangun kepercayaan diri untuk bertanya, menantang
dan merefleksikan karena merupakan pengakuan atas kebutuhan sejumlah asumsi,
negosiasi pengertian, membuat pertanyaan, membuat dugaan, mencari pembenaran
dan menyatakan argumen, mengecek dan memodifikasi, dan menyadari beberapa
pendekatan yang berbeda.
Berpikir deduktif dan induktif memegang peran yang penting dalam aktivitas
eksplorasi. Induksi meliputi menggambar kesimpulan untuk menghasilkan hipotesis
yang meluaskan pengetahuan (Holyyork & Nisbett dalam Choi-Koh & Jung).
Penarikan kesimpulan dilakukan sebagai proses menggeneralisasi pola. Kemampuan
mengidentifikasi, menganalisis, menggambarkan, dan menggeneralisasi pola adalah
aktivitas eksplorasi dasar. Sebagai contoh pada proses eksplorasi, penggunaan
kalkulator sangat berguna dalam mengolah sejumlah bilangan hingga bilangan yang
multi digit seperti 1000000000. Berkaitan dengan pola dalam bilangan, pengukuran,
dan geometri, generalisasi pola dihasilkan dalam melengkapi formula dan membantu
siswa memahami hubungan antara beragam topik-topik matematis. Hubungan ini
mengembangkan perkembangan berpikir kreatif karena siswa menguatkan sejumlah
tipe berpikir matematis yang merupakan dasar ide-ide matematis yang abstrak.
Berpikir deduktif adalah suatu proses yang sistenatis dengan tujuan
menggambarkan validnya konsekuensi dari suatu pernyataan yang diberikan. Sebagai
contoh, deduksi digunakan untuk menginterpretasikan dan memformulasi
pembelajaran, merencanakan tindakan, aturan, dan prinsip-prinsip umum. Berpikir
deduktif dapat pula digunakan untuk menilai data, menentukan konsekuensi asumsi
dan hipotesis dan memutuskan ide-ide yang berkompeten. Pada kebanyakan aktivitas
eksplorasi, ahli matematika memberikan situasi masalah, siswa mencari variabel dan
membangun, serta membuktikan formula berdasarkan relasi diantaranya. Pada
kegiatan ini berpikir analitis dimanfaatkan.
Stacey menganggap berpikir matematis sebagai suatu proses. Banyak cara untuk
memandang berpikir matematis. Stacey (2005) memberikan kajian bagaimana
berpikir matematis dibicarakan dalam kurikulum Australia, Inggris, dan Amerika.
Schoenfield (dalam Stacey, 2008) merupakan salah seorang ahli yang bekerja dengan
problem solving matematis mengutarakan 4 hal penting yaitu adanya sumber
pengetahuan matematis dan keterampilan yang siswa bawa ketika mengerjakan tugas,
strategi heuristik yang dapat digunakan siswa untuk menyelesaikan masalah,
monitoring dan kontrol yang digunakan siswa dalam proses problem solving untuk
membimbing mereka mencapai tujuan, dan kepercayaan bahwa siswa menguasai
matematika meskipun mereka dapat atau tidak dapat menyelesaikan masalah.
McLeod (dalam Stacey, 2008) melengkapi pandangan ini dengan menjelaskan secara
rinci pengaruh penting berpikir matematis dalam problem solving matematis.
Mampu menggunakan berpikir matematis dalam menyelesaikan masalah adalah
salah satu tujuan mendasar mengajarkan matematika tetapi juga merupakan tujuan
yang paling sukar untuk dipahami. Hal ini merupakan tujuan pokok mengajar dimana
siswa dapat melakukan investigasi matematis sendiri dan mampu mengidentifikasi
penggunaan matematika yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Menurut
Paul Halmos (dalam Stacey) problem solving adalah jantung matematika.
Kemampuan berpikir secara matematis dan menggunakan berpikir matematis
untuk menyelesaikan masalah merupakan tujuan penting di sekolah. Hal ini karena
berpikir matematis akan mendukung pengetahuan alam, teknologi, kehidupan
ekonomi, dan perkembangan ekonomi. Pemerintah mnegakui bahwa kehidupan
ekonomi yang baik dalam suatu negara ditandai adanya melek matematis (PISA, 2006
dalam Stacey, 2008). Melek matematis adalah suatu program OECD PISA yaitu
program asesmen terhadap siswa berusia 15 tahun. Melek matematis adalah
kemampuan mnggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam dunia
kerja. Asesmen PISA menyajikan sejumlah masalah dalam konteks yang nyata
kepada siswa. Kerangka yang digunakan PISA menunjukkan bahwa melek matematis
melibatkan banyak komponen dalam berpikir matematis termask bernalar,
memodelkan dan membuat hubungan antar ide-ide matematis. Jelas bahwa berpikir
matematis merupakan hal penting dalam pengukuran besar karena melengkapi siswa
kemampuan menggunakan matematika dan merupakan keluaran yang penting
bersekolah. Sekolah perlu memberikan siswa rasa petualangan intelektual yang dapat
diberikan dalam matematika.
Morony, Hogan, & Thornton, 2004; Willis, 1998 (dalam Hurst) menyatakan
bahwa terdapat 3 cara (mode) berpikir sebagai berikut.
1. Pengetahuan matematis, yaitu keterampilan, teknik dan konsep yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah kuantitatif yang dihadapi dalam konteks
nyata.
2. Pengetahuan kontekstual, yaitu kesadaran dan pengetahuan bagaimana
konteks mempengaruhi matematika yang digunakan.
3. Pengetahuan strategi, yaitu kepercayaan diri, karakteristikdan
keterampilan untuk mencari apa yang perlu diketahui untuk menyelesaikan
masalah
Berikut ini indikator perilaku siswa untuk masing-masing cara berpikir di atas.
Indikator
Pengetahuan matematis Pengetahuan kontekstual Pengetahuan strategi
1. Menyebutkan atau mengidentifikasi item-item khusus
1. Interpretasi data khusus yang memuat konteks
1. Memprediksi bagaimana data digunakan untuk mengembangkan
informasi matematis.2. Mengenal
dan mengulangi pernyataan contoh informasi matematis
3. Menggunakan informasi statistis untuk menampilkan oprasi matematis
4. Proses bertanya yang mesyaratkan penggunaan operasi matematis.
dan/atau pertanyaanyang mensyaratkan adanya interpretasi data matematis tertentu.
2. Menggambarkan ide-ide matematis yang mmuat informasi kontekstual.
3. Menambahkan atau meramalkan berdasarkan aspek-aspek data.
4. Proses bertanya yang menyarankan adanya hubungan antara aspek-aspek data yang berbeda dan menggunakan data untuk menjelaskan hubungan tersebut.
ide-ide baru.2. Mengembang
kan skema atau metode merepresentasikan data.
3. Mengevaluasi aspek data untuk menjelaskan isu-isu yang berkaitan dan membuat keputusan.
4. Proses atau respon bertanya yang mensyaratkan evaluasi aspek data.
Livne, Livne, & Wight (2008) menyatakan bahwa terdapat 2 jenis berpikir
matematis sebagai berikut.
1. Berpikir akademik
Berpikir akademik merujuk pada standar, kemampuan analitik bernalar matematis
yang logis secara konsisten.
2. Berpikir kreatif
Berpikir kreatif merujuk pada kemampuan merasakan pola yang kompleks dan
hubungan dalam cara asli, menggeneralisasi ide yang menghasilkan beragam
penyelesaian masalah matematis, dan mengevaluasi kualitas penyelesaian.
Berpikir kreatif diukur dengan banyaknya cara penyelesaian atau banyaknya
selesaian dimana terdapat satu selesaian standar dan elesaian yang lain adalah
alternatif. Fakta empiris menunjukkan berpikir matematis kreatif siswa
diwujudkan dalam beragam cara penyelesaian terhadap masalah open-ended.
Menurut Har terdapat tiga aspek berpikir matematis yaitu visualisasi, membuat
pola, dan pengertian bilangan. Visualisasi adalah kemampuan pikiran bekrja dengan
ide-ide abstrak untuk menganalisis dan mensintesis ide. Membuat pola adalah
kemampuan pikiran untuk melihat tren dan mengidentifikasi hubungan di atara 2 atau
lebih variabel. Sedangkan pengertian bilangan adalah kemampuan pikiran dalam
membuat generalisasi berdasarkan kasus tertentu yang dikrjakan.
F. Berpikir Kritis dalam Matematika
Pada KTSP dijelaskan bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar peserta
didik memiliki kemampuan, yaitu (1) memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes,
akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan penalaran
pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3)
memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4)
mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel diagram, atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah, serta (5) memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat
dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah (Depdiknas, 2006).
Kemampuan matematika yang harus dimiliki oleh siswa pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah harus dimiliki pula oleh mahasiswa matematika. Committee on
the Undergraduate Program in Mathematics (CUPM, 2004) memberikan 6
rekomendasi dasar untuk jurusan, program dan semua mata kuliah dalam matematika.
Salah satu rekomendasinya menerangkan bahwa setiap mata kuliah dalam
matematika hendaknya merupakan aktivitas yang akan membantu mahasiswa dalam
pengembangan analitis, penalaran kritis, pemecahan masalah dan keterampilan
komunikasi.
Glazer (2001) memberikan definisi berpikir kritis dalam matematika sebagai
berikut.
“Critical thinking in mathematics is the ability and disposition to incorporate prior knowledge, mathematical reasoning, and cognitive strategies to generalize, prove, or evaluate unfamiliar mathematical situations in a reflective manner.”
Sedangkan Rochaminah (2008) mendefinisikan kemampuan berpikir kritis matematis
diartikan sebagai serangkaian kemampuan berpikir non prosedural yakni berupa
kemampuan menemukan analogi, analisis, evaluasi, memecahan masalah tidak rutin
dan membuktian. Pada saat proses pembelajaran, dosen melibatkan mahasiswa dalam
pembelajaran dan menciptakan situasi dan kondisi yang membuat mahasiswa mampu
mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis matematis pembelajaran harus difokuskan pada
pemahaman konsep dengan berbagai pendekatan daripada keterampilan prosedural
(Furner & Robinson , 2004).
Pott (1994) menyatakan ada tiga strategi spesifik untuk pembelajaran kemampuan
berpikir kritis, yakni membangun kategori, mencari masalah, dan menciptakan
lingkungan yang mendukung (fisik dan intelektual).
1. Strategi membangun kategori
Strategi membangun kategori merupakan penalaran induktif yang membantu
mahasiswa mengkategorikan informasi dengan penemuan aturan dibandingkan
hanya dengan mengingat. Mahasiswa membangun pemahaman suatu konsep
melalui pengamatan sifat-sifat bersama yang dimiliki dan sifat-sifat yang tidak
dimiliki. Pembelajaran aktif seperti itu menghasilkan pemahaman konsep yang
baik dan bertahan lama dan lebih memungkinkan untuk mengaitkan materi
dibandingkan dengan metode pengajaran langsung.
2. Strategi mencari masalah
Salah satu keterampilan berpikir praktis yang penting adalah pengetahuan
bagaimana mengidentifikasi masalah. Strategi mencari masalah adalah suatu cara
menyusun tugas sehingga pebelajar menggunakan keterampilan yang sama
dengan keterampilan yang digunakan dalam memecahkan masalah yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari. Tugas dikembangkan dalam bentuk masalah yang
tidak menyatakan secara eksplisit variabel atau aspek masalah yang akan dicari.
Untuk mencapai suatu pemahaman konsep, identifikasi masalah dapat membantu
menciptakan suasana berpikir bagi peserta didik. Keberhasilan dalam
pembelajaran ini ditentukan pula oleh terciptanya keadaan pada saat proses
pembelajaran yang menyenangkan.
3. Strategi menciptakan lingkungan yang mendukung.
Berpikir kritis dalam kelas difasilitasi oleh lingkungan fisik dan intelektual yang
mendorong semangat untuk menemukan. Salah satu lingkungan fisik yang
mendukung berpikir kritis dalam kelas adalah susunan tempat duduk mahasiswa.
Bila tempat duduk mahasiswa disusun sedemikian sehingga mahasiswa dapat
saling berinteraksi dengan mahasiswa yang lain dan dengan dosen ini membantu
mahasiswa untuk berpikir kritis.
Upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis difokuskan pada pemberian
kesempatan mahasiswa untuk membangun pengetahuan secara aktif artinya
pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh mahasiswa baik secara
individu maupun kelompok dengan menggunakan belajar kooperatif. Hal ini
dikarenakan pendidikan merupakan proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa
adanya interaksi antar mahasiswa. Aktivitas belajar dan bekerja secara kooperatif
dalam kelompok kecil dapat mengakomodasi perkembangan kemampuan berpikir
kritis matematis.
Menurut Marcut (2005), matematika adalah disiplin ilmu yang berdasarkan pada
berpikir rasional, jelas, merupakan bahasa dan perhatian dalam teknik pengambilan
keputusan yang digunakan untuk menggambarkan kesimpulan. Berpikir kritis dalam
matematika akan menjadikan pebelajar mampu mengorganisasi dan menggabungkan
berpikir matematis melalui komunikasi, mengkomunikasikan berpikir matematisnya
secara koheren dan jelas kepada pebelajar yang lain, guru, dan orang lain,
menganalisis dan mengevaluasi berpikir matematis dan strategi, menggunakan bahasa
matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematis dengan tepat.
G. Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis dalam Matematika
Bloom dan koleganya pada tahun 1956 menghasilkan suatu dokumen yang
bernama The Taxonomy of The Cognitive Domain yang menyatakan bahwa
pengetahuan disusun dalam 6 jenjang yang hirarkis yaitu pengetahuan (knowledge),
pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis
(synthesis), dan evaluasi (evaluation). Seddon (dalam Huitt, 1998) menyatakan bahwa
lebih dari 40 tahun para peneliti telah menemukan bahwa empat jenjang yang pertama
berurutan, mulai dari yang paling bawah yaitu pengetahuan dilanjutkan jenjang di
atasnya yang lebih sukar yaitu pemahaman, dilanjutkan aplikasi, dan analisis;
sedangkan sintesis dan evaluasi dapat menjadi satu kesatuan, dapat terpisahkan,
ataupun dapat ditukar urutannya. Dalam taksonomi ini, khususnya sintesis dan
evaluasi berhubungan dengan berpikir tingkat tinggi yaitu berpikir kritis dan berpikir
kreatif. Huitt (1998) menyatakan sebagai berikut.
“‘Synthesis and evaluation are two types of thinking that have much in common (the first four levels of Bloom's taxonomy), but are quite different in purpose. Evaluation (which might be considered equivalent to critical thinking as used in this document) focuses on making an assessment or judgment based on an analysis of a statement or proposition. Synthesis (which might be considered more equivalent to creative thinking) requires an individual to look at parts and relationships (analysis) and then to put these together in a new and original way.”
Selanjutnya taksonomi ini lebih dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom
mengklasifikasikan tingkat berpikir ke dalam enam tingkat, yaitu: pengetahuan
(knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis
(analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Salah satu alasan konstuksi
ini adalah bahwa keterampilan yang lebih rendah diperlukan untuk dapat
menggunakan keterampilan yang lebih tinggi. Keterampilan pemahaman memerlukan
syarat dipenuhinya keterampilan pengetahuan. Taksonomi ini membimbing proses
berpikir dari keterampilan kognitif yang sederhana hingga keterampilan kognitif yang
lebih kompleks.
Pada tahun 1999, Anderson mempublikasikan Taksonomi Bloom yang direvisi.
Menurut Anderson & Krathwohl (2001), Forehand (2008) serta Pohl (2000),
taksonomi Bloom yang direvisi ini adalah mengingat (remembering), memahami
(understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analysis), mengevaluasi
(evaluation), dan mencipta (creating).
a. Mengingat (remembering).
Mengingat ini terdiri dari mengenali dan mengingat informasi yang relevan dari
memori jangka panjang. Sub keterampilan dari mengingat ini adalah mengenali,
mendaftar, dan menggambarkan informasi.
b. Memahami (understanding).
Memahami adalah membuat pengertian sendiri terhadap material pendidikan yaitu
konsep dan ide. Sub keterampilan dari memahami ini adalah interpretasi,
klasifikasi, membandingkan, menjelaskan, dan meringkas ide atau konsep.
c. Menerapkan (applying).
Menerapkan merujuk pada menggunakan prosedur yang dipelajari pada situasi
baru atau situasi yang sudah dikenal.
d. Menganalisis (analysis)
Pada jenjang ini, informasi dipecah ke dalam bagian untuk menggali pemahaman
dan hubungan. Sub keterampilan analisis antara lain membandingkan,
mengorganisasi, dekonstruksi, menginterogasi, dan menemukan informasi.
e. Mengevaluasi (evaluation).
Pada taksonomi asli, evaluasi merupakan jenjang yang tertinggi. Pada jenjang ini,
dilakukan penilaian terhadap keputusan yang dibuat. Sub keterampilan evaluasi
antara lain mengecek, membuat hipotesis, mengkritisi, dan menilai.
f. Mencipta (creating).
Mencipta tidak termasuk di dalam taksonomi asli, dan pada taksonomi revisi ini
merupakan komponen yang tertinggi. Keterampilan ini melibatkan penggunaan
beberapa hal untuk menciptakan sesuatu yang baru. Pebelajar pada jenjang ini
dapat menggeneralisasi, merencanakan, dan menghasilkan suatu produk.
Way (2003) membagi level pemahaman (comprehension) Taksonomi Bloom yang
diterapkan dalam matematika menjadi dua kategori yaitu: translasi (translation) dan
interpretasi (interpretation), sehingga tingkatan berpikir yang digunakan dalam
matematika menjadi tujuh level seperti berikut.
1. Pengetahuan (knowledge) atau ingatan (recall) atau komputasi (computation).
Pada jenjang ini pebelajar dituntut untuk mampu menggali atau mengingat
kembali (memory) pengetahuan yang telah disimpan di dalam skemata struktur
kognitifnya. Hal-hal yang termasuk ke dalam jenjang kognitif ini adalah berupa
pengetahuan tentang fakta dasar, terminologi (peristilahan), atau manipulasi yang
sifatnya sudah rutin (algoritma).
2. Pemahaman (comprehension).
Pemahaman (comprehension) merepresentasikan jenis pemahaman atau
pengertian dimana individu mengetahui apa yang dapat dikomunikasikan dan
dapat menggunakan material atau ide yang dikomunikasikan tanpa perlu
menghubungkannya dengan material lain atau melihat kesempurnaan
implikasinya. Translasi adalah kemampuan pebelajar untuk mengubah informasi
ke dalam simbol atau bahasa yang berbeda. Sedangkan interpretasi adalah
kemampuan pebelajar untuk mencari hubungan antara definisi, fakta, konsep,
prinsip, aturan, generalisasi, nilai, dan keterampilan.
3. Penerapan (application).
Penerapan (application) adalah kemampuan untuk memilih, menggunakan, dan
menerapkan dengan tepat suatu teori atau cara pada situasi baru. Mahasiswa
dalam menyelesaikan masalah membutuhkan identifikasi masalah, memilih dan
menggunakan generalisasi dan keterampilan yang tepat. Jenjang aplikasi ini
melibatkan sejumlah respon. Respon tersebut ditransfer ke dalam situasi baru
yang berarti konteksnya berlainan. Bloom dan kawan-kawan membagi ke dalam
empat bagian, yaitu: kemampuan untuk menyelesaikan masalah rutin;
kemampuan untuk membandingkan; kemampuan untuk menganalisis data, dan
kemampuan untuk mengenal pola, isomorfisma dan simetri.
4. Analisis (analysis).
Analisis (analysis) adalah kemampuan untuk merinci atau menguraikan suatu
masalah (soal) menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (komponen) serta mampu
untuk memahami hubungan diantara bagian-bagian tersebut. Pada jenjang ini,
mahasiswa menyelesaikan masalah dengan pengetahuan yang disadari sebagai
bagian bentuk berpikir. Kemampuan mahasiswa untuk memecahkan masalah non
rutin termasuk ke dalam jenjang ini, yaitu kemampuan untuk mentransfer
pengetahuan matematika yang telah dipelajari terhadap konteks baru.
Penyelesaian masalah bisa berupa menguraikan suatu masalah menjadi bagian-
bagian atau kesatuan kemudian mengkaji, serta menyusun kembali bagian-bagian
tersebut menjadi suatu kesatuan sehingga merupakan penyelesaian akhir. Tahap
analisis ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: analisis terhadap elemen, analisis
terhadap hubungan dan analisis terhadap aturan.
5. Sintesis (synthesis).
Sintesis (synthesis) adalah kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari
suatu proses analisis. Sintesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-
bagian atau unsur-unsur secara logis sehingga menjadi suatu pola terstruktur atau
bentuk baru. Pada jenjang ini, mahasiswa menyelesaikan masalah yang
membutuhkan kemampuan berpikir kreatif dan orisinal. Kemampuan untuk
menemukan hubungan, kemampuan menyusun pembuktian, dan kemampuan
berpikir kritis termasuk kemampuan ini.
6. Evaluasi (evaluation).
Evaluasi (evaluation) adalah kemampuan seseorang untuk dapat memberikan
pertimbangan terhadap suatu situasi, ide, metode berdasarkan suatu patokan atau
kriteria. Pada jenjang ini, mahasiswa membuat keputusan baik/buruk, benar/salah
berdasarkan standar nilai. Setelah memberikan pertimbangan dengan matang
dilanjutkan dengan memberikan suatu kesimpulan.
Taksonomi Bloom menggunakan jenjang keterampilan berpikir tingkat tinggi
untuk menghubungkan berpikir kritis dan kreatif. Lamb (2003) menyatakan bahwa
berpikir kritis melibatkan berpikir logis dan penalaran sedangkan berpikir kreatif
melibatkan menciptakan (create) sesuatu yang baru atau sesuatu yang lain, berpikir
kritis dapat diajarkan dengan lebih banyak menggunakan otak kiri sedangkan berpikir
kreatif banyak menggunakan otak kanan, serta ketika berbicara tentang HOTS
“higher-order thinking skills” maka yang dimaksud adalah tiga jenjang yang paling
atas dari taksonomi Bloom yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi. Tingkat berpikir
pengetahuan dan pemahaman dianggap sebagai tingkat berpikir yang rendah
sedangkan aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai berpikir tingkat tinggi
(Burris, 2005). Sedangkan menurut Crawford (2002) jenjang yang berasosiasi dengan
HOTS adalah jenjang sintesis dan evaluasi.
Peneliti seperti Ennis dan Facione menyatakan bahwa meskipun berpikir kritis
mencakup aspek-aspek berpikir tingkat tinggi namun kedua konsep tidak dapat
disamakan. Menurut Facione (1990), berpikir kritis, problem solving, berpikir kreatif,
dan membuat keputusan adalah satu kesatuan yang berhubungan erat dengan berpikir
tingkat tinggi. Ennis (1993) juga menyatakan bahwa berpikir kritis dapat digabung
dengan berpikir tingkat tinggi.
Untuk menilai apakah seseorang termasuk kategori pemikir kritis yang baik
ataukah pemikir kritis yang kurang, dapat dilihat dari apakah orang tersebut mampu
menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi dan menyimpulkan, dapat menjelaskan
apa yang dipikirkannya dan bagaimana orang tersebut membuat keputusan, dapat
menerapkan kekuatan berpikir kritis pada dirinya sendiri dan meningkatkan
kemampuan berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat yang dibuatnya. Facione
(2009) mengungkapkan tentang keterampilan kognitif yang merupakan inti dari
berpikir kritis yaitu interpretasi (interpretation), analisis (analysis), evaluasi
(evaluation), penyimpulan (inference), penjelasan (explanation), dan regulasi diri
(self-regulation).
a. Interpretasi (interpretation).
Interpretasi adalah memahami dan menyatakan pengertian atau signifikansi dari
beragam pengalaman, situasi, data, peristiwa, keputusan, konvensi, kepercayaan,
aturan, prosedur atau kriteria. Interpretasi memiliki sub keterampilan yaitu
mengkategorisasi, menguraikan arti, dan menjelaskan pengertian. Beberapa
contoh pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan
interpretasi, yaitu bagaimana mengakui adanya suatu masalah dan
menggambarkan masalah dengan jelas tanpa menimbulkan bias, bagaimana
mengkonstruksi pengkategorian sementara atau cara mengorganisasi sesuatu yang
dipelajari, serta apa yang sesungguhnya dipelajari dari suatu topik matematika
tertentu.
b. Analisis (analysis).
Analisis adalah mengidentifikasi hubungan antara pernyataan, pertanyaan,
konsep, deskripsi atau bentuk lain dari representasi yang diharapkan untuk
mengungkapkan kepercayaan, keputusan, pengalaman, alasan, informasi atau
opini. Analisis ini memiliki sub keterampilan yaitu menguji ide, mendeteksi
argumen, dan menganalisis argumen. Beberapa contoh pertanyaan yang
mendorong keterampilan analisis adalah bagaimana mengidentifikasi persamaan
dan perbedaan dua atau lebih pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan
suatu masalah, bagaimana mengidentifikasi asumsi yang belum diungkapkan,
bagaimana mengkonstruksi suatu cara untuk merepresentasikan kesimpulan dan
beragam alasan yang diberikan untuk mendukung atau mengkritiknya.
c. Evaluasi (evaluation).
Evaluasi adalah menilai kredibilitas dari suatu pernyataan atau representasi lain
yang dilaporkan atau deskripsi dari persepsi, pengalaman, situasi, keputusan,
kepercayaan, atau opini dari seseorang; dan menilai kekuatan logis dari hubungan
antara pernyataan, deskripsi, pertanyaan dan bentuk representasi yang lain. Sub
keterampilan evaluasi adalah menilai argumen dan menilai klaim. Contoh
pertanyaan yang dapat dikembangkan untuk mengasah keterampilan evaluasi
adalah bagaimana menilai kredibilitas seseorang, bagaimana kekuatan dan
kelemahan interpretasi alternatif, bagaimana menentukan kredibilitas sumber
informasi, bagaimana menjelaskan dua pernyataan yang saling kontradiktif.
d. Penyimpulan (inference).
Penyimpulan adalah mengidentifikasi dan menjamin elemen yang dibutuhkan
untuk menggambarkan kesimpulan yang bernalar, membentuk dugaan
(conjecture) dan hipotesis, mempertimbangkan informasi yang relevan. Sub
keterampilan dari penyimpulan adalah mendaftar fakta-fakta dan dugaan
alternatif, dan menggambarkan kesimpulan. Sebagai contoh dari penyimpulan
adalah memprediksi sesuatu berdasarkan informasi yang ada, mensintesis ide-ide
yang berhubungan dengan perspektif yang koheren, mengembangkan beberapa
alternatif pemecahan masalah dari suatu masalah yang muncul berdasarkan data-
data.
e. Penjelasan (explanation).
Yaitu mampu untuk menyampaikan cara berpikir seseorang dengan cara yang
meyakinkan dan koheren. Hal ini berarti mampu menyatakan dan memberikan
penilaian terhadap bernalar secara jelas, konseptual, metodologis, kriteriologis,
dan kontekstual serta mampu menyatakan penalaran seseorang dalam bentuk
argumen yang jelas. Sub keterampilan dari penjelasan ini adalah menggambarkan
metode dan hasil, menilai prosedur, menyampaikan dan mempertahankan
pendapat dengan penalaran yang logis, menyampaikan argumen yang menyeluruh
dan bernalar dalam hal mendapatkan pemahaman yang terbaik. Beberapa
contohnya adalah mengkonstruksi chart yang mengorganisasi hasil temuan
seseorang, menyatakan hasil penelitian dan menggambarkan metode dan kriteria
yang digunakan untuk mendapatkan hasil tersebut, mendesain display grafis yang
merepresentasikan hubungan subordinat dan superordinat di antara konsep dan
ide dengan tepat, menyebutkan fakta-fakta yang mendukung untuk menyetujui
atau menolak suatu kesimpulan.
f. Regulasi diri (self-regulation).
Adalah suatu kesadaran diri untuk memonitor aktivitas kognitif seseorang, elemen
yang digunakan dalam aktivitas tersebut, dan hasil yang didapatkan, khususnya
dengan menerapkan keterampilan analisis dan evaluasi terhadap keputusan yang
diambil seseorang dengan maksud bertanya, mengkonfirmasi, memvalidasi atau
memeriksa penalaran seseorang. Sub keterampilan dari regulasi diri ini adalah
pengujian sendiri dan koreksi sendiri. Contohnya adalah mengecek diri sendiri
ketika mendengarkan penjelasan orang lain untuk meyakinkan pemahamannya
sendiri, memonitor bagaimana diri sendiri terlihat memahami sesuatu,
mengingatkan diri sendiri untuk memisahkan antara pendapat pribadi dengan
pendapat orang lain terhadap sesuatu, mengecek ulang sendiri hasil suatu
pengerjaan untuk melihat ada tidaknya suatu kesalahan yang dibuat,
mempertimbangkan kembali interpretasi dan keputusan dengan analisis yang
lebih lanjut terhadap fakta-fakta.
Seseorang yang mampu melakukan interpretasi, analisis dan evaluasi dianggap
telah menjadi pemikir kritis. Tetapi tentu saja kemampuan berpikir kritisnya berada di
bawah seseorang yang selain mampu melakukan interpretasi, analisis dan evaluasi,
juga mampu menjelaskan apa yang dipikirkan dan bagaimana memperoleh keputusan
dan mampu menerapkan kekuatan berpikir kritisnya dalam kehidupannya dan
meningkatkan kemampuan berpendapatnya sebelumnya (penjelasan dan regulasi
diri). Dengan demikian jenjang kemampuan berpikir kritisnya berada di bawah orang
yang mampu menerapkan keenam keterampilan kognitif tersebut.
Gotoh (2004) mengungkapkan penjenjangan kemampuan berpikir matematis
dalam memecahkan masalah terdiri 3 tingkat yang dinamakan aktivitas empiris
(informal), algoritmis (formal) dan konstruktif (kreatif). Dalam tingkat pertama,
berbagai teknik atau aplikasi praktis dari aturan dan prosedur matematis digunakan
untuk memecahkan masalah tanpa suatu kesadaran yang pasti/tertentu, sehingga
masih dalam coba-coba. Dalam tingkat kedua, teknik-teknik matematis digunakan
secara eksplisit untuk menuju operasi, penghitungan, manipulasi dan penyelesaian
masalah. Pada tingkat ketiga, pengambilan keputusan yang non algoritmis
ditunjukkan dalam memecahkan masalah non-rutin seperti suatu masalah penemuan
dan pengkonstruksian beberapa aturan.
Stage 1: Emperical (informal) activity.In this stage, some kind of technical or practical application of mathematical rules and procedures are used to solve problems without a certain kind of awareness.Stage 2: The algoritmic (formal) activity.In this stage, mathematical techniques are used explicitly for carrying out mathematical operations, calculating, manipulating and solving.Stage 3: The constructive (creative) activity.In this stage, a non-algoritmic decision making is performed to solve non-routine problem such as a problem of finding and constructing some rule.
Tabel 1 Tingkat Berpikir Matematis dari Gotoh (2004)
Krulik & Rudnick (1995) membuat penjenjangan penalaran yang merupakan
bagian dari berpikir yaitu pengingatan (recall), berpikir dasar (basic), berpikir kritis
(critical) dan berpikir kreatif. Tingkat terendah dari berpikir adalah pengingatan
(recall) yang memasukkan keterampilan-keterampilan berpikir yang hampir otomatis
dan refleksif (tanpa disadari), seperti mengingat operasi-operasi dasar matematika
atau mengingat alamat atau nomor telepon. Tingkat berikutnya adalah dasar, yaitu
pemahaman dan pengenalan konsep-konsep matematika seperti penjumlahan atau
pengurangan dan aplikasinya dalam masalah-masalah. Tingkat dasar bagi seseorang
mungkin merupakan tingkat ingatan bagi orang lain. Tingkat berikutnya adalah
berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan berpikir yang melibatkan menguji,
menghubungkan dan mengevaluasi semua aspek sebuah situasi atau masalah.
Termasuk dalam berpikir kritis adalah mengumpulkan, mengorganisasikan,
Creative
Critical
Basic
Recall
R
E
A
S
O
N
I
N
G
mengingat dan menganalisis informasi. Berpikir kritis juga merupakan kemampuan
untuk membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi-materi yang
diperlukan. Selain itu merupakan kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari
sekumpulan data yang diberikan dan menentukan inkosistensi dan kontradiksinya.
Berpikir kritis bersifat analitis dan refleksif. Tingkat tertinggi adalah berpikir kreatif.
Berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat keaslian, dan reflektif serta
menghasilkan suatu produk yang komplek. Berpikir tersebut melibatkan sintesis ide-
ide, membangun ide-ide dan menerapkan ide-ide tersebut. Juga melibatkan
kemampuan untuk menemukan dan menghasilkan produk yang baru. Tabel 5 berikut
ini tentang karakteristik Tingkat Penalaran (berpikir) Krulik & Rudnick.
Basic• Understanding of concepts• Recognizing a concept when it appears in a settingCritical• Examining, relating, and evaluating all aspects of a situation or problem.• Focusing on parts of a situation or problem.• Gathering and organizing information.• Validating and analyzing information.• Remembering and associating previously learned information.• Determininng reasonableness of an answer.• Drawing valid conclusions.• Analytical and reflexive in nature.
Creative• Original, effective, and produces a complex product.• Inventive.• Synthesizing ideas.• Generating ideas.• Applying ideas.
Tabel 2Tingkat Penalaran (Berpikir) dari Krulik & Rudnick (1995)
Krulik & Rudnick (1995) mengatakan bahwa kriteria tingkatan itu sering sekali
bergerak menuju tingkat lebih rendah di antara tingkat-tingkat tersebut. Dengan
demikian memungkinkan terjadi tumpang tindih tingkat berpikir mahasiswa apakah
termasuk dalam tingkat berpikir kritis atau kreatif. Kesulitan dalam membedakan
tingkat ini merupakan tantangan untuk diatasi dengan mencari pendekatan lain dalam
membuat tingkatan itu.
Wood, Williams, & Mc Neal (2006) mendefinisikan berpikir matematis sebagai
aktivitas mental yang melibatkan abstraksi dan generalisasi ide-ide matematis.
Selanjutnya pada tahun 2000, Williams membuat hirarkhi aktivitas kognitif siswa
yang menggambarkan berpikir matematis ketika memecahkan masalah matematis.
Hirarkhi ini dimulai dengan memahami (comprehending), menerapkan (applying),
menganalisis (analyzing), menganalisis sintetik (synthetic-analyzing), menganalisis-
evaluasi (evaluate-analyzing), mensintesis (synthesizing), dan mengevaluasi
(evaluating) (Williams, 2003). Tingkat berpikir selain memahami dan menerapkan
merupakan tingkat berpikir yang tinggi dalam matematika.
a. Memahami (comprehending).
Adalah suatu proses identifikasi konteks yang bersifat abstrak atau mengenali
prosedur yang akan diterapkan pada konteks yang baru. Menurut Wood,
Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah memahami
konsep yang terdapat pada strategi/ide yang telah dipelajari/diketahui.
b. Menerapkan (applying).
Adalah menerapkan sesuatu yang abstrak pada konteks yang telah diketahui,
menerapkan prosedur yang telah dipelajari sebelumnya. Menurut Wood,
Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah
menerapkan ide-ide matematis dalam strategi berpikir.
c. Menganalisis (analyzing).
Adalah menerapkan sesuatu yang abstrak pada konteks yang baru, membangun
ide yang telah diketahui untuk menyelesaikan masalah yang agak rumit, mengenal
kebutuhan akan informasi yang lebih. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal
(2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah menerapkan prosedur matematis
yang diketahui pada konteks baru, menyelesaikan masalah non-rutin,
membiasakan diri dengan masalah yang menggunakan contoh-contoh numeris
khusus, dan sistematisasi hasil numeris dan mencari pola.
d. Menganalisis-sintetis (synthetic-analyzing).
Adalah mencari hubungan antara 2 cara penyelesaian yang berbeda yang memiliki
tujuan yang sama, bekerja terbalik, menggunakan lebih dari satu cara
penyelesaian, menjelaskan kebutuhan informasi yang lebih ketika hanya ada
sejumlah informasi yang disediakan untuk menyelesaikan masalah. Menurut
Wood, Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah
membedakan dan membandingkan 2 metode penyelesaian; menghubungkan
beragam representasi, operasi dan asumsi; menggunakan lebih dari satu cara
untuk menyelesaikan masalah; menghasilkan generalisasi yang independen
(penemuan kecil); analisis satu kasus/membentuk prinsip yang memberi petunjuk
untuk membentuk aturan baru.
e. Menganalisis-evaluasi (evaluate-analyzing).
Adalah melihat hasil dari beragam perspektif yang berbeda untuk menilai
penalaran pada hasil tersebut. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal (2006)
aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah menghubungkan cara penyelesaian
dengan tujuan identifikasi kekuatan dan kelemahan argumen, menggunakan ide-
ide secara bersama untuk membuat suatu keputusan, mengevaluasi apakah
metode/hasil yang diperoleh bernalar dan efisien.
f. Mensintesis (synthesizing).
Adalah proses yang mengintegrasikan hal-hal yang abstrak untuk
mengembangkan pengertian mendalam matematis baru, mengkombinasikan
konsep untuk menciptakan konsep yang original. Menurut Wood, Williams, &
Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah memformulasi argumen
matematis untuk menjelaskan pola yang ditemukan, menggali masalah dari
beragam perspektif daripada hanya fokus pada penyelesaian tertentu,
menggabungkan konsep-konsep untuk menciptakan pikiran/ide baru, dan
menggali masalah untuk mengembangkan pengertian mendalam baru secara
berkelanjutan.
g. Mengevaluasi (evaluating).
Adalah pengecekan terhadap kekonsistenan hasil penemuan, mencari batasan
pendekatan yang digunakan dan mengenal konteks yang lain untuk menerapkan
ide-ide baru. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada
tingkat ini adalah merefleksikan situasi sebagai suatu keseluruhan dengan tujuan
mengenali informasi yang tidak konsisten/mencari penyelesaian lain yang lebih
baik, merefleksikan proses penyelesaian masalah dengan tujuan mengenali
batasan dan aplikasi pada konteks yang lain, dan merefleksikan cara penyelesaian
yang dikembangkan dan memungkinkan adanya kontribusi pada proses matematis
secara umum di masa depan.
Dreyfus, Hershkowitz, & Schwarz (2001b) membuat konstruksi pengetahuan
matematis yang terdiri dari 3 tindakan epistemik (tindakan yang berhubungan dengan
pengetahuan yang diperoleh) yang dapat diamati dan terjadi selama proses kognitif
abstraksi dan generalisasi adalah RBC yaitu recognizing, building-with, constructing.
a. Mengenal (recognizing).
Adalah mengenali struktur matematis yang familiar terjadi ketika pebelajar
menyadari bahwa struktur melekat pada situasi matematis yang diberikan. Proses
ini melibatkan pertimbangan dengan hasil tindakan sebelumnya dan menyatakan
bahwa keduanya sama dengan analogi.
b. Membangun (building-with).
Terdiri dari kombinasi artefak yang ada untuk memenuhi tujuan seperti
menyelesaikan masalah atau membenarkan suatu pernyataan. Pada proses ini,
tujuan dicapai dengan menggunakan pengetahuan yang sudah diperoleh
sebelumnya atau yang telah dikonstruksi. Pada building-with, pebelajar tidak
diperkaya dengan struktur pengetahuan baru yang lebih kompleks tetapi
menggunakan struktur pengetahuan yang tersedia dalam berhubungan dengan
masalah. Tingkatan ini akan terlihat jelas ketika pebelajar terlibat dalam tugas-
tugas aplikasi atau membuat hipotesis atau membenarkan suatu pernyataan.
c. Mengkonstruksi (constructing).
Adalah suatu proses membangun struktur yang lebih kompleks dari struktur yang
sederhana. Tingkatan ini melibatkan reorganisasi elemen matematika sehingga
muncul struktur yang lebih halus. Mengkonstruksi (constructing) terdiri dari
penyusunan pengetahuan untuk menghasilkan struktur baru agar dikenali oleh
pebelajar. Dalam tindakan ini, prosesnya sendiri disebut sebagai konstruksi atau
menstruktur ulang pengetahuan yang menjadi tujuan aktivitas. Kontruksi ini
sangat diperlukan untuk mencapai tujuan yaitu memecahkan masalah. Pada tahap
mengkonstruksi, pebelajar menggunakan struktur matematis baru untuk mencapai
tujuannya (memecahkan masalah) sedangkan pada tahap membangun
(building-with), tujuan diperoleh dengan mengkombinasikan struktur-struktur
yang ada.
Pada model ini, mengkonstruksi menggabungkan dua tindakan epistemik lainnya
dalam arti tindakan membangun diperlukan dalam tindakan mengkonstruksi dan
tindakan mengenali diperlukan dalam membangun dan mengkonstruksi. Selanjutnya,
William (2003) menggabungkan aktivitas kognitifnya sebagai subkategori dalam
pandangan Dreyfus, Hershkowitz, dan Schwarz sebagai berikut.
a. Mengenal (recognizing) meliputi memahami (comprehending).
b. Membangun (building-with) meliputi menerapkan (applying),
menganalisis (analyzing), menganalisis-sintetik (synthetic-analyzing), dan
menganalisis-evaluasi (evaluate-analyzing).
c. Mengkonstruksi (constructing) meliputi mensintesis (synthesizing),
dan mengevaluasi (evaluating).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat penjenjangan tingkat kemampuan
berpikir kritis dalam matematika. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat
kemampuan berpikir kritis (TKBK) dalam memecahkan masalah matematika
merupakan suatu jenjang kemampuan berpikir yang hirarkhis dengan dasar
pengkategoriannya berupa proses dan produk bernalar dalam berpikir kritis untuk
memecahkan masalah matematika. Kemampuan di sini diartikan sebagai kecakapan
atau keterampilan mahasiswa dalam memecahkan masalah matematika dengan tepat
sekaligus berdasarkan kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan,
kedalaman, dan keluasan berpikir kritisnya.
H. Tahap Berpikir Kritis dalam Matematika
Terdapat beberapa ahli yang mengungkapkan tahap berpikir kritis. Diantaranya
Newman, Webb & Cochrane; Garrison, Anderson & Ancher; Bullen, Ennis, dan
Perkins & Murphy. Newman, Webb & Cochrane (1995) membagi berpikir kritis
menjadi 5 tahap yaitu klarifikasi dasar (elementary clarification), klarifikasi
mendalam (in-depth clarification), penyimpulan (inference), pengambilan keputusan
(judgement), dan formasi strategi (strategies formation).
a. Tahap pertama: klarifikasi dasar (elementary clarification).
Berdasarkan motivasi awal untuk belajar, peristiwa pencetus (triggering event)
menimbulkan dan menyokong minat dan rasa ingin tahu yang distimulus dengan
interaksi dengan teman yang lain. Pebelajar mengamati atau belajar suatu
masalah, mengidentifikasi elemen-elemennya, dan mengamati hubungan diantara
elemen-elemen tersebut sebagai dasar pemahaman.
b. Tahap kedua: klarifikasi mendalam (in-depth clarification).
Pada tahap ini, terjadi penyusunan masalah dan pendekatan penyelesaiannya
menggunakan pengalaman. Pembelajar menganalisis masalah, kepercayaan,
asumsi yang mendasari pernyataan masalah.
c. Tahap ketiga: penyimpulan (inference).
Pada tahap ini, pebelajar mendapatkan pengertian yang mendalam (insight) dan
pemahaman berdasarkan belajar mandiri dan belajar kelompok. Keterampilan
yang diperlukan dalam tahap ini adalah induksi dan deduksi, mengakui atau
menyetujui ide yang berhubungan dengan proposisi yang sudah diakui benar.
d. Tahap keempat: pengambilan keputusan (judgement).
Pada tahap ini, terjadi evaluasi penyelesaian alternatif dan ide-ide baru dalam
konteks sosial. Pada tahap ini diperlukan keterampilan pertimbangan dalam
membuat keputusan, pernyataan, penghargaan, evaluasi, kritik atau berpendapat.
e. Tahap kelima: formasi strategi (strategies formation).
Mengemukakan tindakan selaras untuk mengaplikasikan penyelesaian, mengikuti
pilihan atau keputusan. Pada tahap ini menggambarkan adanya pengetahuan
personal yang kemudian divalidasi di dalam kelompok. Tahap ini adalah tahap
dimana penyelesaian berlatar belakang dunia nyata.
Menurut Garrison, Anderson & Archer (2004), berpikir kritis adalah proses dan
hasil. Dalam perspektif proses, diasumsikan bahwa berpikir kritis dapat diperoleh
dengan bantuan pemahaman terhadap proses. Sebagai hasil, berpikir kritis lebih baik
untuk dipahami sebagai perspektif individual, yaitu kemahiran pendalaman dan
pemahaman bermakna sebaik kemampuan keterampilan, dan penempatan inquiry
kritis. Menilai kualitas berpikir kritis sebagai hasil dalam konteks pendidikan khusus
adalah tanggung jawab dosen sebagai ahli pedagogis dan isi. Sebagai hasil, berpikir
kritis lebih baik dinilai melalui penugasan pendidikan individual. Kesulitan menilai
berpikir kritis sebagai hasil adalah berpikir kritis sangat kompleks dan (hanya secara
tidak langsung) dapat mencapai proses kognitif.
Menurut Garrison, Anderson & Archer (2004) berpikir kritis berhubungan dengan
kreativitas, problem solving, intuisi dan pengertian mendalam. Mereka
mengkonstruksi model berpikir kritis yaitu model inquiry praktis (practical inquiry
model)yang mempertimbangkan nilai tertentu dalam belajar konteks pendidikan
formal. Model inquiry praktis ini meliputi 4 tahap penting untuk memahami dan
menggambarkan inquiry kritis dalam konteks pendidikan.
a. Tahap pertama: peristiwa pencetus (triggering events).
Pada tahap ini, isu-isu, dilema, atau masalah yang muncul dari pengalaman
diidentifikasi. Biasanya dosen menyampaikan tantangan belajar atau tugas secara
eksplisit yang menjadi peristiwa pencetus. Peran dosen adalah memprakarsai,
membentuk dan dalam kasus tertentu menghilangkan peristiwa pencetus yang
potensial menjadi pengecoh sehingga fokus pada pencapaian pendidikan yang
diinginkan.
b. Tahap kedua: eksplorasi (exploration).
Pada tahap ini, pebelajar beralih dari dunia pribadi yang merefleksikan dunia
individual pebelajar ke eksplorasi sosial ide-ide. Awalnya, pada tahap ini
pebelajar perlu untuk merasa atau memahami sifat masalah kemudian menggali
informasi yang relevan. Eksplorasi ini terjadi dalam komunitas inquiry dengan
berurutan bergerak antara dunia pribadi dan dunia bersama- yaitu antara refleksi
kritis dan ceramah. Pada akhir tahap ini, pembelajar mulai memilih hal-hal yang
relevan dengan isu atau masalah. Tahap ini adalah tahap divergen yang bercirikan
pengilhaman (branstorming), bertanya, dan bertukar informasi.
c. Tahap ketiga: integrasi (integration).
Pada tahap ini bercirikan pengkonstruksian pengertian dari ide-ide yang
dihasilkan pada tahap eksplorasi. Selama transisi dari tahap eksplorasi,
pembelajar mulai menilai penerapan ide dalam hal bagaimana ide tersebut
berhubungan dan menggambarkan secara baik dengan isu atau peristiwa yang
sedang dipertimbangkan. Fakta-fakta dari ide-ide integrasi dan pengkonstruksian
pengertian diduga dari komunikasi dalam komunitas inquiry. Tahap ini
membutuhkan aktivitas mengajar aktif untuk mendiagnosis miskonsepsi,
menyediakan pertanyaan penyelidikan, komentar, informasi tambahan dalam
upaya memastikan keberlanjutan perkembangan kognitif dan untuk memodelkan
proses berpikir kritis
d. Tahap keempat: resolusi (resolution).
Resolusi ini berarti tindakan. Tindakan ini merupakan hasil berpikir kritis
terhadap suatu masalah. Dalam bidang non pendidikan, pada tahap ini
dilaksanakan penerapan penyelesaian atau pengetesan hipotesis dengan aplikasi
praktis. Dalam bidang pendidikan, biasanya dilakukan tes melalui eksperimen dan
konsensus yang dibangun dalam komunitas inquiry.
Model inquiry praktis ini merefleksikan proses berpikir kritis dan merupakan
sarana untuk menciptakan kehadiran kognitif yaitu inquiry praktis. Kehadiran kognitif
dioperasionalisasi melalui proses inquiry praktis. Kehadiran kognitif didefinisikan
sebagai tingkat dimana pembelajar dapat mengkonstruksi dan memperkuat pengertian
melalui refleksi dan percakapan dalam komunitas inquiry kritis secara terus-menerus
(Garrison, Anderson, dan Archer, 2004).
Bullen (1997) yang menjelaskan bahwa berpikir kritis terjadi dalam 4 tahap
sebagai berikut.
a. Tahap pertama: klarifikasi (clarification).
Pada tahap ini, dilakukan upaya menilai dan memahami sifat dasar masalah, isu,
atau dilema. Termasuk pula memahami sudut pandang yang berbeda dalam suatu
masalah.
b. Tahap kedua: asesmen bukti (assessing evidence).
Sebagai dasar untuk pengambilan kesimpulan maka fakta-fakta yang digunakan
untuk mendukung kesimpulan dinilai terlebih dahulu. Termasuk dalam hal ini
adalah menilai kredibilitas sumber informasi, membuat dan memutuskan
kredibilitas pengamatan.
c. Tahap ketiga: membuat dan memutuskan kesimpulan (making and
judging inferences).
Kesimpulan deduktif dan induktif dan nilai keputusan dilibatkan dalam membuat
keputusan tentang apa yang akan dilakukan atau dipercayai. Berpikir kritis
melibatkan kemampuan menduga kesimpulan dan membuat kesimpulan yang
tepat. Pada tahap ini, juga digunakan fakta-fakta yang mendukung argumen.
d. Tahap keempat: menggunakan strategi dan taktik yang tepat (using
appropriate strategies and tactics).
Berpikir kritis bukan masalah mengikuti suatu prosedur atau langkah-langkah
tetapi menggunakan beberapa strategi yang dapat berguna dalam membimbing
berpikir .
Ennis (2005) mendefinisikan tahap-tahap berpikir kritis menjadi lima yaitu
klarifikasi dasar (elementary clarification), dukungan dasar (basic support),
penyimpulan (inferences), klarifikasi lanjut (advanced clarification), strategi dan
taktik (strategy and tactics).
a. Klarifikasi dasar (elementary clarification).
Tahap ini meliputi kegiatan fokus pada masalah, menganalisis argumen, bertanya
dan menjawab pertanyaan untuk klarifikasi/menantang. Permasalahan yang
menjadi fokus bisa terdapat dalam kesimpulan sebuah argumen.
b. Dukungan dasar (basic support).
Tahap ini meliputi kegiatan menilai kredibilitas sumber, mengamati dan menilai
laporan pengamatan.
c. Penyimpulan (inferences).
Pada tahap ini meliputi kegiatan deduksi dan menilai deduksi, induksi dan menilai
induksi, membuat dan menilai hasil keputusan.
d. Klarifikasi lanjutan (advanced clarification)
Pada tahap ini meliputi kegiatan mendefinisikan pola, menilai definisi,
mengidentifikasi asumsi.
e. Strategi dan taktik (strategy and tactics)
Tahap ini meliputi kegiatan memutuskan tindakan yang akan dilaksanakan, dan
berinteraksi dengan yang lain.
Perkins & Murphy (2006) membagi tahap-tahap berpikir kritis menjadi 4 tahap
sebagai berikut.
a. Tahap klarifikasi (clarification).
Tahap ini merupakan tahap menyatakan, mengklarifikasi, menggambarkan (bukan
menjelaskan) atau mendefinisikan masalah. Aktivitas yang dilakukan adalah
menyatakan masalah, menganalisis pengertian dari masalah, mengidentifikasi
sejumlah asumsi yang mendasari, mengidentifikasi hubungan di antara pernyataan
atau asumsi, mendefinisikan atau mengkritisi definisi pola-pola yang relevan.
b. Tahap asesmen (assessment).
Tahap ini merupakan tahap menilai aspek-aspek seperti membuat keputusan pada
situasi, mengemukakan fakta-fakta argumen atau menghubungkan masalah
dengan masalah yang lain. Pada tahap ini digunakan beragam fakta yang
mendukung atau menyangkal. Aktivitas yang dilakukan adalah menyediakan atau
bertanya apakah penalaran yang dilakukan valid, penalaran yang dilakukan
relevan, menentukan kriteria penilaian seperti kredibilitas sumber, membuat
penilaian keputusan berdasarkan kriteria penilaian atau situasi atau topik,
memberikan fakta bagi pilihan kriteria penilaian.
c. Tahap penyimpulan (inference).
Tahap ini menunjukkan hubungan di antara sejumlah ide, menggambarkan
kesimpulan yang tepat dengan deduksi dan induksi, menggeneralisasi,
menjelaskan (bukan menggambarkan) dan membuat hipotesis. Aktivitas yang
dilakukan antara lain membuat deduksi yang tepat, membuat kesimpulan yang
tepat, membuat generalisasi, mendeduksi hubungan di antara sejumlah ide-ide.
d. Tahap strategi (strategy).
Tahap ini merupakan tahap mengajukan, mengevaluasi sejumlah tindakan yang
mungkin. Aktivitas yang dilakukan antara lain melakukan tindakan,
menggambarkan tindakan yang mungkin, mengevaluasi tindakan, dan
memprediksi hasil tindakan.
Secara ringkas, tahap berpikir kritis menurut para pakar tersebut dapat dilihat
dalam Tabel 3 berikut ini.
TAHAP
PAKARNewman, Webb & Cochrane (1995)
Garrison, Anderson & Archer, (2004)
Bullen (1997)
Ennis (2005)
Perkins & Murphy (2006)
Tahap 1 elementary clarification
triggering events
clarification elementary clarification
clarification
Tahap 2 in-depth clarification
exploration assessing evidence
basic support
Assessment
Tahap 3 Inference integration making and judging inferences
inferences Inference
Tahap 4 Judgement Resolution using appropriate strategies and tactics
advanced clarification
Strategi
Tahap 5 strategies formation
- - strategy and tactics
Tabel 3Tahap berpikir kritis menurut beberapa pakar
Peristiwa pencetus (triggering events) model Garrison, Anderson & Archer
merupakan bagian dari klarifikasi yaitu fokus pada masalah dari model Ennis. Pada
model Ennis terdapat 2 kategori klarifikasi yaitu klarifikasi dasar dan klarifikasi
lanjutan dan pada model Newman, Webb & Cochrane terdapat dua kategori
klarifikasi yaitu klarifikasi dasar dan klarifikasi mendalam kemudian pada model
Bullen dan Perkins & Murphy kedua kategori tersebut dijadikan satu kategori yaitu
klarifikasi. Tahap dukungan dasar model Ennis sama dengan tahap asesmen bukti
model Bullen dan tahap asesmen model Perkins & Murphy. Tahap penyimpulan
yang dimaksud kelima model tersebut sama. Tahap penyimpulan dapat dilakukan
dengan cara berpikir deduksi dan berpikir induksi. Menurut Gubbin (Sternberg,
1986), berpikir deduksi meliputi penggunaan logika, meninjau pernyataan yang
kontradiktif, menganalisis silogisme, menyelesaikan masalah spasial. Sedangkan
berpikir induksi meliputi menentukan sebab dan akibat, menganalisis masalah open-
ended, bernalar dengan analogi, membuat kesimpulan, menentukan informasi yang
relevan, mengenali hubungan, menyelesaikan masalah pengertian yang mendalam.
Tahap strategi model Bullen merujuk pada sejumlah strategi berpikir seperti
penggunaan algoritma, model dan mengubah fokus. Tahap strategi yang dimaksud
model Garrison, Anderson & Archer adalah tahap resolusi yang berarti tindakan.
Strategi ini adalah bertindak sebagai hasil berpikir kritis terhadap suatu masalah.
Tahap strategi pada model Newman, Webb & Cochrane disebut sebagai formasi
strategi yang menggambarkan tindakan yang dilakukan untuk mengaplikasikan
penyelesaian, mengikuti pilihan/keputusan. Sedangkan tahap strategi pada Perkins &
Murphy berarti rencana tindakan dan bukan cara untuk menganalisis masalah.
I. Penelitian yang Berkaitan dengan Berpikir Kritis Matematika
dilakukan oleh Durr, C. R., Lahart, T.E., & Maas, R. M
Berikut ini akan dijelaskan tentang suatu penelitian tindakan yang dilakukan oleh
Durr, C. R., Lahart, T.E., & Maas, R. M yang menggambarkan suatu program untuk
mengembangkan dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis remaja untuk
mempersiapkan mereka belajar sepanjang hayat. Populasinya adalah siswa sekolah
menengah atas pada mata pelajaran matematika dan sosial dari 2 komunitas kelas
menengah di Illinois utara. Data kekurangan keterampilan berpikir kritis mahasiswa
diperoleh dari guru, siswa, orang tua, dan the Cornell ritical Thinking Test-Level X.
Analisis terhadap data menyatakan bahwa guru mempercayai bahwa mereka telah
mengajarkan keterampilan berpikir kritis kepada siswanya. Data dari siswa juga
diperoleh bahwa siswa juga telah diminta untuk berpikir kritis di dalam kelas. Namun
data dari the Cornell ritical Thinking Test-Level X menunjukkan bahwa siswa
kekurangan kemampuan berpikir kritis. Kajian terhadap literatur menyatakan bahwa
banyak guru yang tidak terlatih mengajar dan menilai berpikir kritis meskipun mereka
meyakini bahwa sudah terlatih. Kajian terhadap strategi penyelesaian disarankan oleh
para ahli berpikir kritis, untuk mengkombinasikan dan melakukan analisis terhadap
berpikir kritis dengan lingkungan masalah akan menghasilkan materi, bahasa, dan
aktivitas belajar yang merangsang kebiasaan berpikir kritis dalam pelajaran
matematika dan sosial.
1. Latar Belakang
Berpikir kritis merupakan hal yang penting dalam belajar yang efektif dan
kehidupan yang produktif. Menurut Paul (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999)
terdapat dua hal yang penting dalam mendefinisikan berpikir kritis yaitu:
1. berpikir kritis bukan hanya berpikir, tetapi berpikir yang memerlukan
peningkatan diri (self-improvement), dan
2. peningkatan ini berasal dari keterampilan dalam menggunakan standar
untuk menilai berpikir dengan tepat.
Pada kebanyakan sekolah lanjutan tingkat pertama pada saat ini, penelitian
menunjukkan bahwa kekurangan keterampilan berpikir kritis siswa todak hanya
terjadi di dalam klas. Kebanyakan guru memberikan tekanan yang kompleks pada isi
kurikulum mereka dan merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Slain itu, banyak guru yang menghindari
mengajarkan keterampilan berpikir kritis yang sederhana karena mereka merasa tidak
cukup persiapan untuk melakukannya. Pada Nation at Risk pada tahun 1983, The
National Commission on Excellence in Education merekomendasikan pembelajaran
formal keterampilan berpikir kritis yang terintegrasi pada kurikulum di semua jenjang
pendidikan. Rekomendasi ini didasarkan pada laporan pada sekolah nasional yang
menyatakan bahwa banyak siswa yang tidak mampu menunjukkan keterampilan
intelektual tingkat tinggi dan tidak dapat menyelesaikan masalah matematika. Berikut
ini kutipan laporan tersebut.
“Many 17-year-olds do not possess the “higher order” intellectual skills we should expect of them. Nearly 40 percent cannot draw inferences from written material; only one-fifth can write a persuasive essay; and only one-third can solve a mathematics problem requiring several steps”.
Untuk mempersiapkan setiap anggota masyarakat kemampuan berkompetisi dan
siap kerja maka siswa harus diberikan kesempatan untuk mendapatkan tujuan
pembelajaran melalui strategi berpikir kritis. Sebanyak 80% guru memberikan suara
dalam Gallup Poll of Teachrs’ Attitudes Toward the Public Schools tahun 1989
menyatakan bahwa mengajarkan keterampilan berpikir kritis harus menjadi prioritas
dalam pembelajaran di kelas. Namun guru bukan satu-satunya pihak yang
memperhatikan kekurangan keterampilan berpikir kritis siswa. Sejumlah CEO pada
korporasi “Fortune 500” menyatakan bahwa mengajarkan keterampilan problem
solving, analitis, logis, tingkat tinggi, dan konseptual adalah penting agar negara siap
menghadapi tantangan global (Nidds & Mc Gerald, dalam Durr, Lahart, & Maas,
1999).
Peneliti pendidikan menyatakan banwa manusia tidak dilahirkan dengan
keterampilan berpikir kritis tetapi diajarkan untuk berpikir kritis. Berdasarkan sejarah,
terdapat dua pendekatan dalam mengajarkan keterampilan berpikir kritis, yaitu
mengajarkan berpikir secara terpisah dengan bidang ilmu atau mengajarkan berpikir
kritis yang terpadu pada bidang ilmu. Menurut Perkins (dalam Durr, Lahart, & Maas,
1999), cara yang menguntungkan untuk menyiapkan siswa berpikir kritis adalah
menanamkan keterampilan berpikir kritis terpadu dalam bidang ilmu. Oleh karena itu,
guru harus dilatih untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis kepada siswa dalam
bidang ilmu mereka. Sebagai contoh, mereka harus menantang siswa untuk belajar
tidak hanya isi bidang ilmu tetapi juga keterampilan yang diperlukan dalam proses
dan transfer informasi. Hal ini berdasarkan fakta yang diperoleh yaitu bahwa siswa
yang memasuki dunia kerja saat ini kekurangan keterampilan berpikir tingkat tinggi,
kemampuan mendiagnosis dan menyelesaikan masalah, kemampuan menerapkan
keterampilan mereka terhadap masalah baru dan tidak familiar, dan kemampuan
bekerja secara efektif dalam kelompok (Nidds & Mc Gerald, dalam Durr, Lahart, &
Maas, 1999).
2. Penelitian Pendahuluan
Durr, Lahart, & Maas (1999) mengumpulkan data tentang kekurangan
keterampilan berpikir kritis siswa sekolah menengah atas pada mata pelajaran
matematika dan sosial yang diperoleh dari guru, siswa, orang tua siswa dan tes yaitu
the Cornell Critical Thinking Test-Level X. The Cornell Critical Thinking Test-Level
X dipilih karena merupakan salah satu tes terstandar yang dapat digunakan untuk
menilai keterampilan berpikir kritis siswa sekolah menengah atas dan dapat menilai
keterampilan berpikir kritis secara keseluruhan. Tes ini memfokuskan pada 4 bidang
berpikir kritis yaitu induksi, kredibilitas, deduksi, dan identifikasi asumsi. Pada
bagian induksi, siswa diharapkan menilai apakan sejumlah fakta yang diberikan
mendukung atau tidak hipotesis yang diberikan. Pada bagian kredibilitas, siswa
ditanya untuk memutuskan mana diantara dua pernyataan yang diberikan yang dapat
dipercaya. Pada bagian deduksi, siswa harus memutuskan apa yang harus dilakukan
terhadap sejumlah informasi yang dianggap benar. Pada bagian identifikasi asumsi,
siswa harus memutuskan ide-ide apa yang dapat dicari dari suatu pernyataan. Ennis
dan Millman (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) mengindikasikan bahwa idealnya,
tes berpikir kritis umum akan memunculkan sikap pemikir kritis seperti terbuka, dan
hati-hati.
Hasil penelitian awal dari sisi siswa adalah 64% siswa memberikan respon
terhadap pertanyaan yang membutuhkan penalaran induktif, 75% siswa memberikan
respon terhadap pertanyaan yang membutuhkan penalaran deduktif, namun hanya
53% siswa yang mampu menilai kredibilitas pernyataan dan 51% siswa yang mampu
mengidentifikasi asumsi yang bernalar. Selain itu juga diperoleh fakta bahwa siswa
yang dikategorikan sebagai siswa berkemampuan tinggi secara konsisten memberikan
respon yang yang lebih tinggi pada masing-masing bagian The Cornell Critical
Thinking Test daripada siswa yang berkemampuan rendah atau dikelompokkan
heterogen. Berdasarkan data tersebut, Durr dkk mengindikasikan bahwa siswa lebih
mampu dalam bernalar induktif dan deduktif (penalaran yang meminta siswa
membuat kesimpulan yang bernalar berdasar sejumlah fakta). Siswa kesulitan dalam
tes yang meminta mereka mmbuat penilaian terhadap kredibilitas pernyataan yang
diberikan dan menemukan asumsi-asumsi pada pernyataan yang diberikan.
Hasil penelitian awal dari sisi guru adalah 86% guru menyatakan bahwa mreka
telah mengajarkan keterampilan berpikir kritis secara khusus dalam pembelajaran di
kelas atau dalam kesehariannya, dan 75% guru merasa telah mempersiapkan diri
untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Namun ketika diminta untuk
memberikan contoh bagaimana mereka mengajarkan atau mengkombinasikan
berpikir kritis dalam pelajaran hanya 20% guru yang mampu melakukannya.
Berdasarkan contoh yang diberikan guru, hanya setengahnya yang memberikan
contoh berpikir kritis menggunakan definisi Paul. Berdasarkan fakta tersebut, peneliti
menyimpulkan bahwa guru tidak memahami apa itu keterampilan berpikir kritis dan
bagaimana mengajarkannya.
Hasil penelitian awal dari sisi orang tua siswa adalah 42% orang tua menyatakan
bahwa anak mereka belajar di rumah dalam suasana yang tenang. Namun sebanyak
90% orang tua menyatakan bahwa terdapat TV, radio, atau telepon di dalam ruang
belajar anaknya dan lebih dari 86% orang tua menyatakan bahwa sedikitnya salah
satu dari barang-barang tersebut digunakan anak pada saat belajar. Hampir 50% orang
tua selalu menanyakan anaknya tentang tugas rumah yang diberikan guru namun
hanya 36% diantaranya yang secara rutin meminta anak untuk menjelaskan apa yang
telah dikerjakan. Berdasarkan fakta, peneliti mengindikasikan bahwa kebanyakan
siswa belajar pada lingkungan yang mana mereka akan terganggu setiap saat dan
jarang diantara siswa yang memanfaatkan orang tua sebagai sumber dalam
mengerjakan tugas.
Peneliti membandingkan fakta-fakta yang diperoleh dengan definisi berpikir kritis
Paul mempercayai bahwa guru dan siswa yang disurvei menganggap sebarang
berpikir adalah berpikir kritis, dan mereka salah memahami apa yang dimaksud
berpikir kritis.
3. Alasan Mengajarkan Keterampilan Berpikir Kritis
Berikut ini beberapa hal yang mendasari perlunya mengajar keterampilan berpikir
kritis.
1. Brookfield (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) menyatakan bahwa
manusia setiap saat terlibat dalam aktivitas berpikir kritis baik mereka menyadari
atau tidak. Contoh aktivitas berpikir kritis sehari-hari adalah menyatakan
pendapat, membuat keputusan, bertindak berdasarkan asumsi yang dianggap
benar. Para pakar filsafat seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles biasa
menggunakan pendekatan induktif untuk memperoleh suatu kebenaran universal.
Menurut Fillinger (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999), metode Sokrates yaitu
bertanya masih digunakan sampai saat ini untuk membantu mengembangkan
keterampilan berpikir kritis siswa. Metode ini meminta siswa untuk terlibat dalam
dialog dalam mnginvestigasi masalah dan menyusun mengetes hipotesis yang
logis.
2. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan kemampuan berpikir
siswa. Piaget (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) menyatakan bahwa tujuan
utama pendidikan adalah mengembangkan pikiran yang kreatif, kritis, dan
berdaya cipta; pikiran yang dapat menguji informasi dan tidak mudah menerima
segala sesuatu yang diterima.
3. Menurut Swartz & Perkins (dalam Durr, Lahart, & Maas,
1999),beberapa program ujian nasional di Amerika Serikat menyatakan bahwa
kualitas siswa sekolah dasar dan sekolah lanjutan di bawah standar dalam
menyelesaikan masalah matematis, menulis kritis dan kreatif, membaca. Akibat
dari fakta kekurangan keterampilan berpikir tingkat tinggi ini adalah posisi AS
dalam kompetisi di dunia dalam penguasaan teknologi tinggi di masa depan.
4. Penyebab Kurangnya Keterampilan Berpikir Kritis Berdasar Kajian
Pustaka
Beberapa literatur menyebutkan masalah yang mendasari kurangnya keterampilan
berpikir kritis siswa sekolah menengah saat ini. Yildirim (dalam Durr, Lahart, &
Maas, 1999) menemukan bahwa kebanyakan guru yang disurveinya menyadari
bahwa salah satu tanggung jawab utama sebagai pendidik adalah mendorong berpikir
kritis siswa. Namun menurut Supon (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) hanya 50%
guru yang merasa siap mengajarkan keterampilan brpikir kritis sedangkan 14% guru
merasa tidak siap. Banyak guru yang tidak mau mengubah gaya mengajar dari
pemberian ceramah menjadi diskusi dan dialog karena menganggap mengajar
menggunakan metode tersebut merupakan tugas yang berat. Pembelajaran dengan
menggunakan diskusi dan dialog membutuhkan guru yang meluangkan banyak waktu
untuk menciptakan pelajaran “berpikir penuh” (thought-full) yang melibatkan siswa
berpikir kritis. Namun hal ini akan menghabiskan waktu yang banyak padahal materi
pada kurikulum juga harus diajarkan. Padahal guru juga ditekan untuk meningkatkan
skor tes standar siswa. Akibatnya banyak guru yang mengabaikan mengajar berpikir
kritis (Bergeson dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999).
Selanjutnya, berdasarkan survei nasional di AS diperoleh fakta bahwa sekolah
hanya memfokuskan pada berpikir individual daripada membuat keputusan
kolaboratif, guru jarang mendorong siswa bertanya satu dengan lain, bertanya kepada
guru, atau menanyakan informasi dari buku. Pertanyaan tingkat tinggi jarang muncul,
siswa tidak ditantang untuk menilai proses berpikirnya, belajar pasif yang dilakukan
di dalam kelas membuat siswa tidak siap berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial
dimana mereka tinggal (Adams & Hamm, Newmann, Durr, Lahart, & Maas, 1999).
Menurut Beyer (Durr, Lahart, & Maas, 1999), banyak guru yang tidak jelas
bagaimana menggunakan strategi yang tepat untuk mengajarkan berpikir kritis.
Sebagai ganti memodelkan bagaimana menyajikan keterampilan berpikir yang
khusus, guru menyediakan situasi dimana siswa harus menerapkan keterampilan, dan
berbuat sesuatu, menganggap siswa telah memiliki keterampilan yang diperlukan dan
dapat mentransfer penggunaannya dalam situasi yang lain. Dampaknya adalah siswa
menjadi frustasi dan akan meningkatkan ketidakakuratan penerapan keterampilan.
Menurut Durr, Lahart, & Maas, beberapa penyebab di atas didasari oleh
kurangnya pelatihan keterampilan berpikir kritis guru sehingga banyak guru yang
tidak memahami keterampilan apa yang dibutuhkan agar siswa dapat berpikir kritis
dan tidak mengetahui bagaimana keterampilan-keterampilan tersebut diajarkan.
5. Strategi Penyelesaian Berdasarkan Kajian Pustaka
Berikut ini kajian tentang strategi penyelesaian berdasarkan kajian pustaka.
Kecenderungan tren pendidikan saat ini adalah mempersiapkan siswa menghadapi
abad 21 dengan beragam keterampilan berpikir kritis. Hannel & Hannel (dalam Durr,
Lahart, & Maas, 1999) menyatakan terdapat 2 hambatan dalam membantu siswa
menjadi pemikir kritis yaitu luasnya salah diagnonis tentang mengapa siswa gagal
menjadi pemikir kritis dan kurangnya strategi pembelajaran praktis untuk
mengajarkan keterampilan berpikir kritis di dalam kelas.
Salah satu langkah perbaikan yang diusulkan dalam Breaking Rank, suatu
penelitian yang dilakukan oleh National Association of Secondary School Principals
adalah memberikan kesempatan kepada guru sekolah menengah atas untuk mengajari
siswa bagaimana mengembangkan kemampuan menggambarkan kesimpulan,
membuat keputusan yang dapat diinformasikan, menerapkan bernalar yang logis, dan
menyelesaikan masalah dunia nyata. Sejumlah pengetahuan diperlukan sebagai dasar
untuk berpikir kritis, tetapi titik tekan dalam mengajar di sekolah menengah atas
adalah aplikasi dan mahir terhadap fakta dalam berpikir dan problem solving. Oleh
karena itu, siswa harus belajar mengidentifikasi informasi apa yang dibutuhkan dalam
menyelesaikan masalah dan bagaimana mereka mendapatkan informas tersebut
(Buletin NASSP dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999).
Penelitian tersebut mengindikasikan sejumlah pendekatan untuk membantu
mmperbaiki kekurangan keterampilan berpikir kritis siswa sekolah menengah atas.
Ian Wright (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) menyatakan ada 3 model
mengajarkan berpikir kritis yaitu memisahkan unit/bagian dengan kegiatan yang
berkaitan dengan keterampilan berpikir kritis, memasukkan keterampilan berpikir
kritis pada kurikulum yang sudah ada, dan strategi yang mengkombinasikan kedua
model yang lain.
Wright menjelaskan bahwa dalam menggunakan model unit/bagian yang terpisah,
guru dapat memanfaatkan materi siap pakai, yaitu bahan-bahan yang dikreasikan oleh
para ahli di bidangnya dan mudah diperoleh. Menggunakan bahan-bahan siap pakai
ini disertai petunjuk guru dan instruksi kepada siswa yang jelas dan dapat dipahami.
Model ini memaksimalkan belajar bagi guru dan siswa. Manfaat lain adalah
pendekatan ini membantu perkembangan sikap kritis karena didesain untuk
mendorong brpikir kritis daripada hanya membantu belajar pada isi materi tertentu.
Dengan kata lain, dengan menggunakan model ini, pengetahuan keterampilan
berpikir kritis spesifik diperoleh tanpa melalui transfer dalam kurikulum.
Kelemahannya adalah menggabungkan latihan berpikir kritis yang terpisah akan
memerlukan tambahan waktu.
Model lain yang digunakan untuk mengajar keterampilan berpikir kritis adalah
infusi (infusion). Pada metode ini, keterampilan berpikir kritis yang akan diajarkan
sudah ada dalam materi pelajaran. Wright menyatakan bahwa dalam menggunakan
metode ini, siswa dapat belajar keterampilan berpikir kritis dengan menerapkannya
secara langsung dalam isi pelajaran/pelatihan yang dipelajari, dengan begitu akan
menghilangkan kebutuhan akan adanya waktu tambahan dalam pelaksanaan
pembelajaran di sekolah. Model ini memiliki kelemahan yaitu ketika diterapkan,
semua guru harus kompeten dalam memahami apa itu keterampilan berpikir kritis
bagaimana cara terbaik untuk mengajarkannya, selain itu mengajarkan keterampilan
berpikir kritis melalui metode infusi dapat menimbulkan kekurangan sejumlah
kebutuhan penguasaan materi pelajaran.
Menurut Wright akan lebih tepat apabila mengkombinasikan kedua model
tersebut dengan pertimbangan akan diperoleh manfaat dari keduanya dan kelemahan
dapat diminimalisir. Keuntungan menggunakan kedua model secara bersamaan antara
lain:
1. transfer (secara teoritis) terjamin dapat dilakukan,
2. memisahkan unit dalam keterampilan berpikir kritis dapat diajarkan oleh
ahli pada bidang khususnya,
3. siswa dapat memunculkan beragam jenis standar berpikir kritis dalam
kurikulum K-12, dan
4. program yang didesain ahli dapat diadaptasi pada kondisi lokal yang tepat.
Menurut Wright, pelaksanaan metode ini tidak mempunyai kelemahan, tetapi peneliti
lain masih mempercayai bahwa faktor waktu adalah krusial, dan perlu personal
tambahan diperlukan untuk melatih guru.
Menurut Collins, 1989; Paul, 1995, Sanders, 1998; Sutton, 1997 (dalam Durr,
Lahart, & Maas, 1999) terdapat cara lain untuk meningkatkan keterampilan berpikir
kritis siswa yaitu adanya kolaborasi komitmen antara guru, administrator, siswa, dan
orang tua dalam bekerja sama menciptakan atmosfer agar berpikir kritis menjadi
bernilai dan dapat didorong. Administrator perlu meningkatkan pemahaman mereka
tentang strategi yang diperlukan untuk mengajarkan berpikir kritis, menyediakan
kesempatan tanpa henti kepada guru bagaimana menrapkan strategi-strategi tersebut
di dalam kelas, mendukung guru ketika mereka berusaha menerapkan strategi yang
dipelajari, dan memberikan siswa tanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan
berpikirnya. Administrator juga harus menciptakan iklim yang baik bagi guru dan
siswa dalam pembelajaran, menampakkan minat terhadap apa yang diperoleh guru
dan siswa, serta mengimplementasikan program yang membawa pesan ”setiap orang
diharapkan berhasil”. Administrator yang mendemonstrasikan dukungan dan
kepemimpinan akan menginspirasi guru mengajar, siswa belajar,orang tua menjadi
partner aktif dalam pendidikan anaknya (Collins 1989; Johnson, 1997, dalam Durr,
Lahart, & Maas, 1999).
Guru perlu mendorong berpikir kritis melalui modeling dan aktivitas terstruktur
yang mendorong dan membantu siswa berpikir. Sejumlah strategi dapat digunakan
untuk mengajar berpikir kritis, kebanyakan yang berhasil adalah aktivitas belajar
kooperatif, tingkat tinggi, pertanyaan open-ended, waktu tunggu yang cukup
(sufficient wait-time), dan sejumlah kesempatan transfer (Potts, 1994 dalam Durr,
Lahart, & Maas, 1999). Aktivitas yang dilakukan antara lain membuat grafik,
meringkas, menginterpretasi, mengklasifikasi, membandingkan, meneliti,
mengevaluasi, mengidentifikasi fakta atau pendapat, menggeneralisasi,
menggambarkan kesejajaran, mengoreksi-diri, dan membuat hipotesis (Tener, 1995
dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999). Guru juga harus menciptakan lingkungan yang
bebas resiko dimana nilai-nilai berpikir kritis diakui dan didorong. Menurut Paul,
Binker, Martin, & Adamson (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999), peran guru dalam
kelas agar berpikir kritis memiliki nilai antara lain: (1) membantu memecahkan
pertanyaan/tugas yang kompleks menjadi bagian yang lebih kecil, bagian yang dapat
diatur, (2) menciptakan lingkungan yang bermakna agar belajar menjadi bernilai bagi
siswa, (3) membantu siswa menjelaskan apa yang mereka pikirkan dengan
memparaprase atau memberikan pertanyaan, (4) mengajukan pikiran-
membangkitkan pertanyaan, (5) membantu agar dalam diskusi, siswa tetap fokus, (6)
mendorong siswa menjelaskan sesuatu ke teman yang lain, (7) dan membantu siswa
mencari apa yang perlu diketahui dengan memberi saran dan menunjukkan
bagaimana menggunakan sumber.
Siswa harus mengembangkan sikap positif terhadap belajar dan mengadaptasi
metode pembelajaran yang berbeda secara sukarela. Siswa harus tekun dalam
berpikir. Agar menjadi pebelajar yang efektif, siswa harus memiliki rasa ingin tahu
dan selalu bertanya. Mereka harus mencari sendiri tantangan dan menyukai setiap
belajarnya. Siswa harus menjadi pebelajar yang independen, yang banyak akal,
fleksibel, dan tetap tekun menyelesaikan tugas. Pemikir kritis harus berani mengambil
resiko yang tidak takut gagal karena menyadari bahwa kesuksessan dapat diperoleh
dari beberapa usaha yang gagal. Mereka mengakui bahwa kegagalan adalah bagian
penting dalam problem solving dan bukan refleksi kelemahan seseorang. Untuk
memperoleh keterampilan tersebut, siswa harus belajar menjadi sistematis dan
terorganisir dalam mengerjakan tugas-tugas yang berbeda. Mereka harus berpikir
sebelum bertindak dan sadar akan proses berpikirnya (Casey & Tucker dalam Durr,
Lahart, & Maas, 1999).
Costa & Lowery mendaftar sejumlah indikator pemikir yang kreatif, efisien, dan
produktif yaitu (1) tekun dalam menyelesaikan masalah, (2) memperoleh sejumlah
informasi sebelum mengerjakan tugas, (3) menyediakan waktu untuk merefleksikan
jawaban, (4) meyakini bahwa mereka memahami tujuan sebelum mengerjakan tugas,
(5) mendengarkan sudut pandang yang berbeda, memahami, dan memberikan empati,
(6) merencanakan strategi menyelesaikan masalah, (7) memparaprase sudut pandang
yang lain, (8) memberikan beberapa metode menyelesaikan masalah yang sama dan
mengevaluasi masing-masing metode yang digunakan, (9) mengkomunikasikan
proses berpikir dengan bahasa yang jelas dan tepat secara tertulis maupun lisan, (10)
mengecek jawaban, (11) menanyakan pertanyaan tingakt tinggi, (12) menggambarkan
pengetahuan awal dan pengalaman untuk mendukung, menjelaskan atau
menyelesaikan tantangan baru, (13) mentransfer pengetahuan yang di dapat di
sekolah ke dunia nyata dan ke isi pelajaran yang diajarkan, (14) berani mngambil
resiko, dan (15) menghasilkan ide dan produk yang kreatif, baru, banyak akal, dan
imajinatif.
Orang tua harus suportif dan mendorong anak berjuang mengembangkan
keterampilan berpikir kritisnya. Meskipun sudah di tingkat lanjutan, orang tua terlibat
dan mendorong aktivitas berpikir kritis adalah penting agar siswa berhasil di sekolah.
Jeremy Finn (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) mengidentifikasi ada hal dorongan
orang tua di rumah yang berasosiasi dengan performans sekolah yaitu mengorganisasi
dan memonitor waktu anak secara aktif, membantu tugas-tugas pekerjaan rumah, dan
berdiskusi kejadian yang terjadi di sekolah dengan anak. Orang tua, khususnya bagi
anak di sekolah lanjutan perlu membantu anak memprioritaskan tanggung jawab agar
berhasil dalam hal akademik, meskipun mereka tidak familiar dengan tugas yang
diberikan guru ke anaknya, mereka dapat memberikan pertanyaan dan mengecek
apakah tugas yang dikerjakan anak telah lengkap. Orang tua harus membantu
menyadari bahwa berjuang adalah normal dan terjadi pada waktu belajar konsep
baru. Mereka harus mendorong anak untuk bertanggung jawab terhadap belajarnya
sendiri (Halpern, 1997; Sutton, 1997; Sanders, 1998 dalam Durr, Lahart, & Maas,
1999).
6. Tujuan dan Proses Projek
Untuk melihat peningkatan kemampuan siswa sekolah menengah atas
menggunakan keterampilan berpikir kritis matematika dan sosial digunakan The
Cornell ritical Thinking Test-Level X, tes buatan guru, projek, penugasan, dan
portofolio.
Untuk mengerjakan tujuan projek, proses yang diperlukan antara lain (1) bahan-
bahan dan bahasa yang mendorong berpikir kritis matematika dan sosial
dikembangkan, (2) sejumlah aktivitas belajar yang merangsang berpikir kritis
dikembangkan dalam bidang studi matematika dan sosial, (3) dan hal-hal yang
merefleksikan keputusan dikonstruksi.
7. Rencana Tindakan Projek
Setelah memperoleh sejumlah informasi yang berkaitan dengan berpikir kritis,
Durr, Lahart, & Maas menggabungkan strategi dan aktivitas untuk mengembangkan
dan mningkatkan keterampilan berpikir kritis siswanya. Bahasa menjadi pusat
perkembangan kognitif siswa, maka penliti sengaja menggunakan bahasa ”berpikir
penuh” setiap hari di kelas. Maksud penggunaan bahasa adalah menantang siswa
berpikir setiap hari. Pada awalnya, peneliti menyediakan daftar kosa kata yang
digunakan pemikir kritis dan menyediakan waktu untuk menjelaskan masing-masing
istilah kepada siswa karena siswa harus memahami bahasa untuk mmfasilitasi
perkembangan kognitif mereka.
Membaca adalah kecakapan hidup yang penting dan merupakan komponen proses
berpikir kritis. Berdasarkan fakta bahwa banyak siswa mengalami kesulitan
memahami apa yang mereka baca, peneliti akan memodelkan membaca untuk
memahami dengan cara meminta siswa membaca keras di depan kelas kemudian
menginterpretasikan apa yang telah dibacanya. Mengajak siswa untuk menyatakan
ulang suatu pernyataan, menterjemah, dan memparaprase apa yang telah dibaca
secara konsisten akan menjadikan siswa pendengar yang baik terhadap berpikirnya
sendiri.
Karena siswa sering tidak memikirkan jawaban pertama yang keluar dari
pikirannya, maka peneliti menggunakan sejumlah teknik bertanya dan pertanyaan
open-ended dan mengkombinasikannya.Hal ini akan mendorong siswa menyediakan
waktu merefleksikan jawaban sebelum merespon, serta menurunkan frekuensi
kesegeraan mereka dan meningkatkan jumlah jawaban/respon yang benar.
Peneliti menerapkan belajar kooperatif, aktivitas dijadwal, meluaskan perspektif
siswa sehingga menjadi lebih fleksibel dalam berpikir. Siswa ditanya tentang sudut
pandang alternatif, mengasimilasi dan menginternalisasi sejumlah sumber informasi
secara bersamaan, menyelesaikan tugas yang sama lebih dari satu kali, dan
menyelesaikan ulang konflik dengan kompromi. Sejumlah usaha sadar yang
dilakukan peneliti untuk menggabungkan sejumlah ntelegensi akan membuat iswa
merasa nyaman dengan isi pelajaran sehingga akan meningkatkan kesukarelaan
mereka unuk berpikir.
Siswa sekolah menengah atas lebih menyukai terlibat secara aktif dalam proses
problem solving ketika masalah yang disajikan berkaitan dengan situasi yang familiar
bagi mereka.Setiap usaha yang dilakukan akan menggabungkan sejumlah informasi
dari kehidupan siswa ke dalam masalah yang didiskusikan di kelas. Hal ini akan
meningkatkan minat siswa, dan memperluas kemampuan mereka mentransfer
pengetahuan yang telah dipelajari di sekolah ke dalam situasi dunia nyata.
Pada akhirnya, siswa diminta untuk menuliskan jurnal reflektif. Penggunaan
jurnal akan mendorong siswa mensintesis pikiran dan tindakan mereka, membuat
mereka melokalikasi proses berpikir yang mnyimpang dan membuat perubahan jika
memungkinkan, menterjemah ide ke dalam bahasa tulis. Strategi ini akan membuat
siswa berpikir tentang pikiran mereka, salah satu karakteristik pemikir kritis.
8. Metode Asesmen
Untuk menilai pengaruh intervensi, The Cornell ritical Thinking Test-Level X
diadministrasikan. Sebagai tambahan tes buatan guru, projek, aktivitas berpikir kritis
dikembangkan
Tujuan penelitian adalah meningkatkan penggunaan keterampilan berpikir kritis
siswa sekolah lanjutan pada mata pelajaran matematika dan ilmu sosial. Implementasi
struktur belajar kooperatif, penggunaan bahasa yang jelas dan tepat, analisis dan
membaca kritis, justifikasi proses berpikir, pertanyaan Sokratik, menulis reflektif, dan
beragam aktivitas belajar dilaksanakan dengan harapan dapat merangsang berpikir
kritis. Peneliti memulai kegiatan penelitian dengan mengadakan pretes menggunakan
The Cornell Critical Thinking Test-Level X yang terbagi dalam 4 bagian yaitu
induksi, kredibilitas, deduksi, dan asumsi. Penelitian dilaksanakan pada 3 kelas
dengan melaksanakan kelompok belajar kooperatif. Siswa diber kesempatan untuk
memilih sendiri teman dalam 1 kelompoknya, meskipun tetap ada kelompok yang
dibentuk oleh peneliti.
Pada saat belajar kelompok, peneliti memusatkan perhatian pada mengajarkan
keterampilan berpikir kritis. Siswa diberikan ringkasan kosakata “thought-full”,
dijelaskan pengertian dan penggunaan masing-masing kata sebaik kebutuhan
penggunaan bahasa yang tepat dan jelas ketika berbicara dan menulis sehingga
diharapkan mereka memahami dan menggunakan kosakata tersebut dengan tepat
dalam menulis reflektif.
Intervensi dilaksanakan selama 5 bulan, seluruh siswa didorong untuk melakukan
aktivitas berpikir kritis yang mengembangkan kemampuan analisis, justifikasi proses
berpikir, bertanya Sokratik, menulis reflektif, dan berpikir tingkat tinggi. Tes the
Cornell Critical Thinking Test-Level X difokuskan pada 4 bidang berpikir kritis,
sehingga peneliti mengembangkan aktivitas-aktivitas yang menekankan pada bidang-
bidang tersebut. Untuk mendorong dan mengembangkan bernalar induktif, siswa
diberikan sejumlah masalah bilangan yaitu mencari pola atau generalisasi bilangan
pada masing-masing masalah, siswa melakukan discovery yang membolehkan
mereka bernalar dari fakta yang diamati secara khusus ke pernyataan umum, serta
siswa meneliti isu-isu tertentu untuk mengembangkan keputusan yang bernilai benar.
Untuk memotivasi siswa membenarkan kredibilitas suatu situasi, siswa disajikan
masalah dimana mereka harus menduga kredibilitas jawaban dan menjelaskan
penalaran mereka dengan bahasa yang jelas dan tepat. Peneliti juga menggunakan
pertanyaan Sokratik untuk membimbing siswa menganalisis validitas jawaban
mereka.
Penggunaan the Cornell Critical Thinking Test-Level X mengindikasikan bahwa
keterampilan bernalar deduktif pada siswa yang menjadi target adalah berkembang
dengan pesat sehingga peneliti tinggal mengembangkan dan mempertinggi
keterampilan tersebut. Hal ini ditandai dengan siswa telah menyelesaikan persamaan
dan pertidaksamaan dan membenarkan tiap proses langkah pengerjaannya, siswa
mampu bernalar secara logis dalam pembuktian, serta mampu membuat kesimpulan
berdasarkan penggunaan silogisme.
Untuk membantu siswa mengembangkan lebih lanjut kemampuan mereka untuk
mengenali validitas asumsi yang dibuat, siswa diberi masalah agar mereka
menganalisis, menyatakan ulang dengan bahasa sendiri, menyelesaikan, dan
membenarkan solusi masalah yang mereka buat. Siswa diminta menganalisis
sejumlah masalah untuk memutuskan asumsi apa yang dapat atau tidak dapat dibuat
berdasarkan informasi atau diagram yang diberikan. Siswa juga diminta membaca
beberapa perspektif yang berbeda dari kejadian yang sama dan membuat asumsi
berdasarkan apa yang mereka baca tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Pada akhirnya, the Cornell Critical Thinking Test-Level X digunakan kembali
sebagai post-tes. The Cornell Critical Thinking Test-Level X digunakan untuk menilai
pengaruh belajar kooperatif dan aktivitas berpikir tingkat tinggi siswa pada akhir
intervensi. Berdasarkan tes diperoleh data bahwa respon siswa terhadap pertanyaan
yang mensyaratkan bernalar induktif siswa naik 1% menjadi 65% dari pretes
meskipun respon siswa terhadap pertanyaan yang membutuhkan bernalar deduktif
turun 2% menjadi 73%. Persentase siswa yang mampu menilai kredibilitias 52%
turun 1% dari pretes, persentase siswa yang mampu mengidentifikasi asumsi yang
bernalar adalah 49% turun 2% dari pretes. Hal ini disebabkan karena beberapa siswa
tidak serius pada saat dilaksanakan tes, pelaksanaan pretes dan postes terlalu singkat
sehingga siswa tidak mampu membaca berulang pertanyaan yang ada, serta
pendeknya peride intervensi sehingga tidak ada waktu yang cukup bagi beberapa
siswa menginternalisasi dan mentransfer keterampilan berpikir. Secara umum, hasil
postes lebih rendah dari pretes, namun sebesar 30% siswa mampu meningkatkan skor
pada masing-masing bidang yang diuji. Secara umum peneliti puas terhadap
peningkatan aktivitas berpikir kritis siswa sehingga berencana meneruskan
mengintegrasikan mengajarkan keterampilan berpikir kritis dalam kurikulum reguler
karena mereka percaya bahwa jika guru meningkatkan keterampilan mengajarkan
berpikir kritis maka kemampuan berpikir kritis siswa juga akan meningkat.
Pada penelitian ini, peneliti menemukan sejumlah perilaku khusus siswa yang
tidak diteskan dalam the Cornell Critical Thinking Test-Level X yang
mengindikasikan pemikir kritis yaitu siswa meningkatkan ketekunan ketika
menghadapi masalah yang menantang, siswa meningkatkan waktu untuk membaca
dan mengklarifikasi tujuan sebelum memulai mengerjakan tugas, siswa meningkatkan
kesadaran mendengarkan sudut pandang alternatif, meningkatkan keterampilan
komunikasi lisan dan tertulis, meningkatkan keinginan mengambil resiko,
meningkatkan kualitas kerja, dan meningkatkan kesadaran bertanya.
J. Penelitian yang Berkaitan dengan Berpikir Kritis Matematika
dilakukan oleh Bessick
Berikut ini akan dibahas hasil penelitian yang dilakukan oleh Bessick (2008) tentang
upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis sebagai hasil pembelajaran langsing
(direct instruction) dan hubungannya terhadap prestais akademik. Penelitian eksperimen
ini menguji mengaruh pembelajaran langsung (direct instruction) berpikir kritis pada
kemampuan berpikir kriti dan prestasi akademik mahasiswa tingkat awal yang diberikan
tutor dalam pelatihan brulang di Universitas Pensilvania. Penelitian ini menggunakan the
Thinker Guide berdasarkan model berpikir kritis Richard Paul, the Rationale Argument
Mapping Program, berdasarkan penelitian Tim van Gelder.
Kemampuan bernalar abstrak dan problem solving diukur menggunakan the
Category Test: Computer Version – Research Edition (CAT:CV). Keterampilan berpikir
kritis subjek penlitian diukur pada saat pra- dan setelah pembelajaran menggunakan The
California Critical Thinking Skills Test – Form 2000 (CCTST – 2000). Data dianalisis
untuk menentukan kemampuan The CAT:CV dan The CCTST-2000 post tes. Skor
peringkat total digunakan untuk mmprediksi peningkatan ketrampilan berpikir kritis dan
prestasi akademik subjek setelah diberikan pembelajaran. Data juga dianalisis untuk
menentukan pengaruh pembelajaran langsung menggunakan The Thinker Guide atau
Rationale Argument Mapping Program untuk mengetahui peningkatan keterampilan
berpikir kritis subjek. Pada akhirnya, data dianalisis untuk menentukan hubungan antara
jenis kelamin dan peningkatan berpikir kritis dan prestasi akademik. Jenis klamin bukan
faktor penting dalam penelitian Bessick ini.
Siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi langsung setelah
menyelesaikan sekolah menengah atas, tetapi hanya 23% siswa yang menunjukkan
tingkat berpikir kritis yang tinggi (Piro & Iorio dalam Bessick, 2008). Institusi
pendidikan tinggi juga tidak lebih baik.Halpern (dalam Bessick, 2008) melaporkan bahwa
pengaruh perguruan tinggi terhadap kemampuan berpikir kritis lulusannya terbatas.
Pada tahun 1992, Departemen Pendidikan Amerika mensponsori penelitian keterampilan
berpikir kritis orang dewasa. Tujuan penelitian ini adalah mengirimkan pesan ke lembaga
pendidikan tinggi belajar dan mengajar apa yang diharapkan. Penelitian ini juga
mengirimkan pesan ke mahasiswa tingkat awal perguruan tinggi agar mereka
meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Greenwood, dalam Bessick 2008). Facione,
Sanchez, dan Facione melaporkan konsensus yang para pakar berpikir kritis yang
menyarankan bahwa tujuan pendidikan adalah menyiapkan individu khususnya pada
tingkat perguruan tinggi menguasai dan terapil dalam brpikir kritis. Mskipun terdapat
harapan umum terhadap mahasiswa perguruan tinggi agar dibekali keterampilan berpikir
kritis dan mengetahui bagaimana menggunakannya, banyak peneliti yang melaporkan
bahwa kebanyakan mahasiswa menunjukkan tingkat berpikir kritis yang kurang (Tsui,
dalam Bessick, 2008). Mnurut Facione (dalam Bessick, 2008) pendidik
merekomendasikan bahwa siswa K-12 dan pendidikan tinggi menerima pembelajaran
berpikir kritis sebagai praktek dalam kurikulum pendidikan untuk mngembangkan dan
menggunakan keterampilan berpikir kritis.
Tujuan penelitian Bessick adalah mnliti pengaruh pembelajaran langsung
terhadap keterampilan berpikir kritis pada tingkat brpikir kritis mahasiswa dan presta
akademik lulusan mahasiswa. Semua mahasiswa diberi tutor dalam latihan yang diulang-
ulang. Penelitian Bessick ini merupakan perluasan penlitian awal yang ilakukan oleh
Facione (2002), Halpern (1994, 1995, 1998, 19999, 2001), Halpern & Hakel (2003),
Giarcarlo & Facione (2001), Paul & Nosich (1992), Paul, R. (1993), Paul & Elder (1996,
1997), Ewell (2002), Gazella & Ginther (1996), dan Van Gelder (2001- 2005) untuk
menilai keterampilan berpikir kritis mahasiswa dan menentukan apakah pembelajaran
langsung akan memberikan pengaruh positif berpikir kritis dan prestasi akademik
mahasiswa. Tutor dianggap sebagai sarana yang bermanfaat untuk membantu mahasiswa
pada tingkat perguruan tinggi. The Thinker's Guides dan Rationale Argument Mapping
Program digunakan sebaik 2 ukuran penilaian lain yaitu the Category Test Computer
Version – Research Edition (CAT:CV) and the California Critical Thinking Test - Form
2000. Penelitian ini juga mempunyai beberapa tujuan tambahan yaitu menginvestigasi
hubungan antara skor kesalahan siswa pada CAT:CV dan skor pada pre-tes dan post-tes
The California Critical Thinking Skills Test – Form 2000 (CCTST-2000). Hubungan
antara CAT:CV dan tingkat akhir mahasiswa juga diinvestigasi. Hubungan antara
CAT:CV dan subskala CCTST-2000 diinvestigasi untuk menentukan apakah ada suatu
daerah peningkatan keterampilan kognitif yang diidentifikasi oleh CCTST-2000.
Akhirnya, hubungan antara jenis kelamin, keterampilan berpikir kritis siswa dan tingkat
akhir juga dinilai.
Jika mahasiswa dapat mengembangkan dan meningkatkan keterampilan berpikir
kritis melalui pembelajaran yang bukan merupakan latihn khusus, hal ini akan
menghasilkan beberapa perubahan positif bagi mereka dan universitas yaitu
meningkatkan keterampilan berpikir kritis potensial menurunkan banyaknya latihan
ulangan mahasiswa, mengurangi angka keluar universitas atau pindah jurusan,
meningkatkan banyaknya lulusan, meningkatkan prestasi akademik, memaksimalkan
pengalaman tutor, meningkatkan kemampuan penelitian, mmbantu mahasiswa mengenali
bahwa mengembangkan berpikir kritis adalah harapan pendidikan tinggi, membuat
mahaiswa menyadari tanggung jawab prestasi akademiknya. Universitas akan
mendapatkan keuntungan dari mahasiswa yang meningkatkan keterampilan berpikir
kritisnya yaitu universitas akan meningkatkan retensi semua mahasiswanya,
meningkatkan ketekunan dan rata-rata lulusannya, meningkatkan asuransi publik yang
mngharapkan akuntabilitas kemajuan mahasiswa, dan memperluas komunitas
kepercayaan universitas menghasilkan mahasiswa yang dapat menjadi anggota produktif
dalam masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Bessick menguji pengaruh pembelajaran langsung
terhadap berpikir kritis mahasiswa dan prestas akademiknya. Intervensi program
menggunakan The Thinker berdasarkan model berpikir kritis Richard Paul dan program
Rational Argument Mapping berdasarkan Tim Van Gelder menunjukkan tidak ada
peningkatan signifikan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Namun The Thinker
Guide menunjukkan peningkatan tingkat akhir mahasiswa. Pembelajaran yang
dilaksanakan baik menggunakan strategi pembelajaran langsung atau belajar independen
dengan tambahan adanya totur sebaya merupakan faktor yang mmbrikan kontribusi
peningkatan prestasi akademik mahasiswa. Namun, karena sampel dan ukuran
pengaruhnya kecil, kesimpulan ini harus diuji lagi dengan cara mengulang penelitian
untuk melihat apakah benar terdapat pengaruh pembelajaran langsung terhadap prestasi
akademik dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. CAT:CV menunjukkan hubungan
yang signifikan tingkat akhir mahasiswa.
Menurut Clifford, Boufal, & Kurtz (dalam Bessick, 2008) tujuan dasar pendidikan
di perguruan tinggi adalah melanjutkan mengembangkan keterampilan brpikir kritis
mahasiswa. Survey yang dilakukan oleh The Chronicle of Higher education tahun 2000
brkaitan apa yang paling diinginkan orang Amerika terhadap pendidikan tinggi dalam
mempersiapkan pekerjaan adalah bahwa keterampilan umum yang dipelajari dalam
berpikir kritis lebih penting daripada keterampilan penggunaan komputer atau
keterampilan kerja spesifik lainnya. Survey ini juga mneyatakan 81% responden
menempatkan berpikir kritis sebagai hal yang paling penting dalam bekerja. Menurut
Vance (dalam Bessick, 2008) lapangan pekerjaan di Amerika telah berubah dan banyak
lulusan perguruan tinggi yang tidak dipersiapkan untuk bersaing dalam ekonomi global
yang mengharapkan seorang individu terampil dalam problem solving dan berpikir kritis.
Ketidakmampuan menyadari tujuan pendidikan dan karir menjadi tambahan konsekuensi
negatif brpikir kritis yang miskin. Pada lembaga perguruan tinggi, mahasiswa yang
terbatas berpikir kritis beresiko tertunda lulus karena miskinnya prestasi akademik,
mngulang banyak mata kuliah, pindah jurusan, kehilangan bantuan finansial, dan yang
paling parah adalah mahasiswa tidak lulus kuliah (DO). Institusi perguruan tinggi
mengharapkan siswa yang memasuki perguruan tinggi mampu mengembangkan berpikir
kritis, namun kenyataannya tidak demikian. Kebutuhan meningkatkan keterampilan
berpikir kritis di perguruan tinggi berdasarkan sejumlah hasil penelitian yang menyatakan
siswa kurang dalam berpikir kritis. Para peneliti berharap adanya peningkatan bernalar
dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa di Amerika agar siap menghadapi dunia kerja.
Sejumlah pakar berpikir kritis pembelajaran dan penilaian berpikir kritis
menggunakan metode Delphi untuk membentuk panel interaktif ydan mendiskusikan
keterampilan kognitif dan karakteristik afektif yang berhubungan dengan berpikir kritis.
Menurut Facione, panel ini mengutarakan analisis berpikir kritis dengan mengidentifikasi
inti elemen kognitif berpikir kritis yang diharapkan yaitu interpretasi, analisis, evaluasi,
penyimpulan, penjelasan, dan regulas diri. Selain Facione, Richard Paul memperluas
elemen berpikir kritis yang diidentifikasi yaitu pertanyaan, tujuan, informasi, asumsi,
konsep, sudut pandang, dan implikasi. Linda Elder, seorang peneliti berpikir kritis juga
memberikan kontribusi faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan
keterampilan berpikir kritis ini pada pebelajar di jenjang perguruan tinggi.
Paul dan Elder menyusun elemen kognitif berpikir kritis dan karakteristik pemikir
kritis yang baik dari projek penelitian pendahuluan, termasuk laporan Delphi (the Delphi
Report), dan meluaskannya agar dapat menempatkan kebutuhan berpikir kritis siswa pada
semua jenjang. Paul dan Elder mngembangkan sejumlah sarana yang diberi nama “The
Thinker Guides” untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis di perguruan tinggi.
Peneliti Tim van Gelder melaporkan bahwa siswa harus didorong berpikir kritis daripada
hanya belajar tentang brpikir kritis karena hanya belajar tentang berpikir kritis tidak akan
meningkatkan keterampilan ini. Van Gelder merasa bahwa dorongan aktif untuk latihan
berpikir kritis menggunaan pemetaan argumen (argument mapping) memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menjadi pemikir kritis yang lebih baik. Pemetaan
penalaran melalui penggunaan peta argumen mengijikan siswa memonitor penalaran
yang dibuatnya, mengidentifikasi isu-isu dan asumsi penting dan akan lebih mudah
mengklarifikasi pengertian mendalam mereka.
The Rationale Argument Mapping Program yaitu program komputer yang dapat
digunakan sebagai pendekatan interaktif dalam membangun dan mengevaluasi argumen
siswa. Program menyediakan petunjuk dalam mengembangkan argumen, scaffolding,
umpan balik, dan motivasi untuk mentransfer dan mnggunakan keterampilan berpikir
kritis. Program ini digunakan pada mahasiswa yang diberikan pre-tes dan post-tes
menggunakan the California Critical Thinking Skills Test.Menurut van Gelder (dalam
Bessick, 2008) hasil tes ini adalah menghasilkan kenyataan bahwa mahasiswa
menunjukkan peningkatan keterampilan berpikir kritis dengan kira-kira satu standar
deviasi ketika dibandingkan dengan metode langsung mengajarkan keterampilan berpikir
kritis lain.
Tujuan penelitian Bessick ini adalah untuk menentukan apakah pembelajaran
langsung keterampilan berpikir kritis dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan
prestasi akademik mahasiswa tingkat pertamavyang mengulang latihan. Tutor di
perguruan tinggi dilaporkan oleh Bessick sebagai sarana keberhasilan mahasiswa. Subjek
penelitian adalah mahasiswa Universita Pensilvania yang mengulangi latihan lebih dari
satu kali. Sebanyak 143 mahasiswa sukarela menjadi subjek penelitian ini. Berdaarkan
kriteria yang ditetapkan peneliti dipilih 129 mahasiswa. The Computer Version of the
Category Test digunakan dalam bernalar abstrak dan keterampilan problm solving
mahasiswa dan the california ritical Thinking Skills Test (CCTST) Form 2000 digunakan
sebagai pengukuran pre-tes dan post-tes. The Thinker Guide Paul dan Rationale
Argument Mapping Program digunakan sebagai intervensi perlakuan selama 13 minggu.
Tingkat akhir subjek yang mengulangi latihan digunakan untuk menentukan prestasi
akademik setelah diberikan perlakuan. Data dianalisis menggunakan ANCOVA,
MANOVA, MANCOVA, dan regresi linier ganda untuk menentukan perbedaan
signifikan yang terjadi pada keseluruhan post-tes CCTST, skor subskala CTST, dan
tingkat akhir berdasarkan intervensi perlakuan dan jenis kelamin. Analisis data juga
dilakukan dalam menentukan kemampuan skor kesalahan kategori tes untuk memprediksi
tingkat akhir mahasiswa.
Analisis penelitian ini menguji pengaruh pembelajaran langsung terhadap
keterampilan berpikir kritis dan prestasi akademik mahasiswa Universitas Pennsylvania
yang diberi tutor dalam pelatihan yang diulangnya. Hubungan jenis kelamin subjek
dengan keterampilan berpikir kritis dan prestasi akademik juga diuji.
Pada penelitian ini juga terjadi pengurangan subjek penelitian sebanyak 20 orang
termasuk diantaranya mahasiswa yang tidak penuh hadir selama penelitian. Pengurangi
ini menghasilkan ukuran sampel yang lebih kecil yaitu 78. Desain blok digunakan secara
acak untuk menugasi mahasiswa mendemonstrasikan pengaruh ukuran yang menyatakan
mahasiswa tidak sama kemampuan berpikir kritisnya pada awal penelitian ini. SPSS,
16.0,2007 digunakan untuk menganalisisdata penelitian.
MANCOVA digunakan untuk menentukan pengaruh intervensi kelompok
(Thinker’s Guide atau Rationale) terhadap skor post-tes berpikir kritis berdasarkan
CCTST-2000 dan prestasi akademik yang diukur dengan tingkat akhir terhadap pelatihan
yang diulang. Menguji Wilk’s Lambda, MANCOVA mengungkapkan bahwa intervensi
kelompok bukan faktor sokr post-tes berpikir kritis mahasiswa, F (2, 70) = 43; p = .652.
Namun intervensi kelompok mnunjukkan hubungan signifikan secara statistik diantara
subjek pada tingkat akhir, F (2, 70) = 7.73; p = .001. Kekuatan analisis
menampakkan .94 kekuatan yang diamati tetapi pengaruh ukuran kcil ( .18). Pemberian
tutor bukan satu-satunya faktor yang berkontribusi terhadap tingkat akhir mahasiswa.
Regresi Linier ganda digunakan untuk menguji tingkat yang mana skor peringkat
total CAT:V dan CCTST-2000 dapat memprediksi tingkat akhir mahasiswa. Analisis
regresi menyatakan hubungan CAT:CV dan CCTST-2000 skor peringkat total yang
signifikan. Menggunakan R kuadrat ( .366), 36,6% variasi tingkat akhir dapat dijelaskan
dengan suatu model kekuatan observasi .99. Berdasarkan CAT:CV dan post-tes CCTST-
2000 diperoleh hubungan yang signifikan dengan tingkat akhir. Hasil CAT:CV dengan
beta = - .425, t = 3.71, p = .000 lebih signifikan daripada CCTST – Form 2000 post tes
skor peringkat total dengan beta = .267, t = 2.34, p = .022.
MANOVA disusun untuk menentukan kelompok mana yang mendapat pengaruh
signifikan berdasarkan CCTST-2000 skor subskala peringkat total. Hipotesisnya adalah
kelompok 1 (Thinker’s Guides) dapat mendemonstrasikan pengaruh yang lebih signifikan
daripada kelompok 2 (Rationale) atau klompok 3 (Kontrol). Hasil MANOVA tidak
menunjukkan sebarang hubungan yang signifikan. Data selanjutnya dianalisis
menggunakan ANCOVA, MANCOVAdan ANOVA untuk menentukan pengaruh jenis
kelamin pada CCTST-2000 post-tes skor peringkat akhir, CCTST-2000 post-tes skor
subskala peringkat, dan tingkat akhir. Hasil analisis menyatakan tidak ada pngaruh
signifikan jenis kelamin meskipun pria dihipotesiskan menunjukkan performans berikir
kritis yang lebih dibandingkan wanita.
Berikut ini kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Bessick. Tujuan
penelitian ini adalah menguji pengaruh pembelajaran langsung terhadap keterampilan
berpikir kritis dan prestasi akademik mahasiswa. Program intervensi menggunakan The
Thinker’Guide berdasarkan model berpikir kritis Richard Paul dan The Rational
Argument Mapping Program model Tim van Gelder menunjukkan tidak ada peningkatan
signifikan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Namun, The Thinker Guide
menunjukkan peningkatan mahasiswa tingkat akhir tetapi mahasiswa menggunakan
segala bahan seperti pada kelompok kontrol dalam berpikir kritis. Faktanya,
ipembelajaran berpikir kritis, apakah disampaikan melalui pembelajaran langsung atau
belajar independen pada kelompok kontrol dengan tambahan totur dapat mnjadi faktor
yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan prestasi akademik mahasiswa. Namun
karena sampel dan ukuran pengaruh kecil, kesimpulan ini harus diinterpretasi dengan
hati-hati. Mengulangi penelitian dengan peningkatan ukuran sampel dapat menjadi salah
satu metode untuk menentukan kebenaran pengaruh pembelajaran langsung terhadap
keterampilan berpikir kritis dan prestasi akademik mahasiswa.
CAT:CV juga mnyatakan adanya hubungan yang signifikan dengan tingkat akhir mahasiswa. Meskipun sedikit sekali penelitian yang mengkaji kemampuan CAT:CV memprediksi tingkat akhir mahasiswa, CAT:CV menunjukkan hubungan dengan tingkat akhir.
Pemikiran peneliti terhadap kurangnya peningkatan yang signifikan keterampilan
berpikir kritis adalah hubungan pembelajaran keterampilan berpikir kritis dengan
pelatihan strategi belajar karena komponen metakognitif melekat pada kedua intervensi
pembelajaran. Seseorang harus bertanya apakah strategi belajar dapat atau tidak dapat
mentransfer pertumbuhan berpikir kritis seseorang yang direfleksikan pada tingkat akhir.
Mungkin saja salah satu alasan peningkatan signifikan tingkat akhir mahasiswa yang
diobservasi terbuka terhadap berpikir kritis tetapi tidak cocok meningkatkan berpikir
kritis seperti diukur dengan CCTST-2000 hanya strategi blajar tertentu yang ditransfer
sementara keseluruhan ketrampilan brpikir kritis dan metakognitf tidak meningkat.
Har, Y. N. Mathematical Thinking Big Ideas in Elementary School Mathematics
http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/.../Yeap%20Ban%20Har%20ppt.pdf diakses tanggal 2 September 2009
Hurst, C. 2008. Using Task-Based Interviews to Assess Mathematical Thinking of Primary School Students. In M. Goos, R. Brown, & K. Makar (Eds.). Proceedings of the 31st Annual Conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia © MERGA Inc. http://www.merga.net.au/publications/counter.php?pub=pub_conf&id. diakses tanggal 5 Agustus 2009
Livne, N. L, Livne, O. E, & Wight, C.A. 2008. Enhancing Mathematical Creativity Through Multiple Solutions to Open-Ended Problems Online http://www.iste.org/Content/NavigationMenu/Research/.../Livne.pdf diakses tanggal 6 Agustus 2009
Stacey, K. 2008. What is Mathematical Thinking and Why is it Important?. Psychology of Mathematics Education. http:// marsigitpsiko.blogspot.com/ diakses tanggal 3 Maret 2009