final draft

135
A. Berpikir Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Siswono (2007) berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya. Proses berpikir itu pada pokoknya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan kesimpulan. Pandangan ini menunjukkan bahwa jika seseorang dihadapkan pada suatu situasi, maka dalam berpikir, orang tersebut akan menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang direkam sebagai pengertian- pengertian. Kemudian orang tersebut membentuk pendapat- pendapat yang sesuai dengan pengetahuannya. Setelah itu, ia akan membuat kesimpulan yang digunakan untuk membahas atau mencari solusi dari situasi tersebut. Ruggiero (1998) mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau menyelesaikan suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand). Pendapat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merumuskan suatu masalah, menyelesaikan masalah, ataupun ingin memahami sesuatu, maka ia melakukan suatu aktivitas berpikir. Berpikir sebagai suatu kemampuan mental seseorang dapat dibedakan menjadi

Upload: eka-prastiyanto

Post on 10-Aug-2015

146 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Final Draft

A. Berpikir

Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka

dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Siswono (2007)

berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan

menurut proses atau jalannya. Proses berpikir itu pada pokoknya terdiri dari 3

langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan

kesimpulan. Pandangan ini menunjukkan bahwa jika seseorang dihadapkan pada

suatu situasi, maka dalam berpikir, orang tersebut akan menyusun hubungan antara

bagian-bagian informasi yang direkam sebagai pengertian-pengertian. Kemudian

orang tersebut membentuk pendapat-pendapat yang sesuai dengan pengetahuannya.

Setelah itu, ia akan membuat kesimpulan yang digunakan untuk membahas atau

mencari solusi dari situasi tersebut.

Ruggiero (1998) mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas mental untuk

membantu memformulasikan atau menyelesaikan suatu masalah, membuat suatu

keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand).

Pendapat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merumuskan suatu masalah,

menyelesaikan masalah, ataupun ingin memahami sesuatu, maka ia melakukan suatu

aktivitas berpikir. Berpikir sebagai suatu kemampuan mental seseorang dapat

dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain berpikir logis, analitis, sistematis,

kritis, dan kreatif.

Berpikir logis dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir mahasiswa untuk

menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika dan dapat membuktikan bahwa

kesimpulan itu benar (valid) sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya

yang sudah diketahui. Berpikir analitis adalah kemampuan berpikir mahasiswa untuk

menguraikan, memperinci, dan menganalisis informasi-informasi yang digunakan

untuk memahami suatu pengetahuan dengan menggunakan akal dan pikiran yang

logis, bukan berdasar perasaan atau tebakan. Berpikir sistematis adalah kemampuan

berpikir mahasiswa untuk mengerjakan atau menyelesaikan suatu tugas sesuai dengan

urutan, tahapan, langkah-langkah, atau perencanaan yang tepat, efektif, dan efesien.

Ketiga jenis berpikir tersebut saling berkaitan. Seseorang untuk dapat dikatakan

berpikir sistematis, maka ia perlu berpikir secara analitis untuk memahami informasi

Page 2: Final Draft

yang digunakan. Kemudian, untuk dapat berpikir analitis diperlukan kemampuan

berpikir logis dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu situasi.

Menurut Crawford & Brown (2002) berpikir tingkat tinggi (higher order thinking)

merupakan gabungan dari berpikir kritis, berpikir kreatif, dan berpikir pengetahuan

dasar. Thomas, Thorne & Small (2001) menyatakan bahwa berpikir tingkat tinggi

menempatkan aktivitas berpikir pada jenjang yang lebih tinggi dari sekedar

menyatakan fakta. Dalam berpikir tingkat tinggi, yang menjadi perhatian adalah apa

yang akan dilakukan terhadap fakta. Kita harus memahami fakta, menghubungkan

fakta satu dengan fakta yang lain, mengkategorikan, memanipulasi, menggunakannya

bersama dalam situasi yang baru dan menerapkannya dalam mencari penyelesaian

baru terhadap masalah baru. Thomas, Thorne & Small (2001) juga menyatakan

delapan aspek yang berasosiasi dengan berpikir tingkat tinggi, yaitu (1) tidak ada

seorangpun yang dapat berpikir sempurna atau tidak dapat berpikir sepanjang waktu,

(2) mengingat sesuatu tidak sama dengan berpikir tentang sesuatu itu, (3) mengingat

sesuatu dapat dilakukan tanpa memahaminya, (4) berpikir dapat diwujudkan dalam

kata dan gambar, (5) terdapat tiga tipe intelegensi dan berpikir yaitu analitis, kreatif

dan praktis, (6) ketiga intelegensi dan cara berpikir tersebut berguna dalam kehidupan

sehari-hari, (7) keterampilan berpikir dapat ditingkatkan dengan memahami proses

yang terlibat dalam berpikir, serta (8) metakognisi (berpikir tentang berpikir) adalah

bagian berpikir tingkat tinggi.

Berpikir kritis dan berpikir kreatif merupakan perwujudan dari berpikir tingkat

tinggi (higher order thinking). Hal tersebut karena kemampuan berpikir tersebut

merupakan kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai mahasiswa di kelas.

Berpikir kritis dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir mahasiswa untuk

membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar

dengan informasi yang dimiliki. Bila terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia

akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk mendapatkan

penjelasan. Berpikir kritis sering dikaitkan dengan berpikir kreatif. Siswono (2007)

memberi batasan bahwa berpikir kreatif (pemikiran kreatif) adalah suatu rangkaian

tindakan yang dilakukan orang dengan menggunakan akal budinya untuk

menciptakan buah pikiran baru dari kumpulan ingatan yang berisi berbagai ide,

Page 3: Final Draft

keterangan, konsep, pengalaman, dan pengetahuan. Pengertian ini menunjukkan

bahwa berpikir kreatif ditandai dengan penciptaan sesuatu yang baru dari hasil

berbagai ide, keterangan, konsep, pengalaman, maupun pengetahuan yang ada dalam

pikirannya.

B. Berpikir Kritis

Asal mula berpikir kritis dapat ditelusuri kembali pada awal abad filosofi Plato

dan Aristoteles dan Sokrates dalam mengajar di Yunani. Pentingnya berpikir kritis

menjadi jelas pada awal era pendidikan modern berkat Dewey yang menggambarkan

kemampuan berpikir kritis sebagai cara untuk menemukan pengertian di dunia

dimana manusia hidup.

Langkah pertama dalam memahami pergerakan berpikir kritis adalah menemukan

karakteritik penting dari berpikir kritis. Pendukung pergerakan berpikir kritis

mengungkapkan sejumlah alasan untuk mengajarkan berpikir kritis. Alasan yang

umum adalah refleksi perubahan pola-pola ekonomi yang meninggalkan peradaban

masyarakat industrial menuju peradaban yang mengharuskan tenaga kerja

menyelesaikan masalah-masalah kompleks (Bloom, 1956; Reich, 1992; Paul, 1993;

Nickerson, 1987 dalam Reece, 2002). Alasan yang lain adalah keterampilan berpikir

kritis diperlukan dalam kehidupan manusia sehari-hari dalam segala bidang.

Berpikir kritis tidak efektif diajarkan dalam lingkungan sekolah tradisional yang

mengandalkan peran memorisasi dan metode mengajar didaktis (Kennedy, 1991;

Paul, 1993;Schrag, 1988; Nickerson, 1987 dalam Reece, 2002). Oleh karena itu, para

pendukung pergerakan berikir kritis mengembangkan beragam program untuk

mengajarkan berpikir kritis.

Tema umum dalam pergerakan berpikir kritis adalah keterampilan berpikir kritis

melibatkan kemampuan mengambil keputusan yang bernalar dalam situasi yang

kompleks. Pergerakan ini menekankan pada ”knowing how” daripada ”knowing

what”. Oleh karena itu, usaha membantu individu memperoleh kemampuan tersebut

membutuhkan kesadaran diri sebagai bagian usaha dari pendidik untuk menggali

berpikir kritis dengan memanfaatkan metode daripada peran sederhana memorisasi

dan pengajaran didaktik.

Page 4: Final Draft

Bloom dan koleganya (1956) mengidentifikasi 6 kategori utama keterampilan

kognitif yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi

(application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Salah

satu alasan konstruksi ini adalah keterampilan yang lebih rendah dibutuhkan agar

kterampilan yang lebih tinggi dapat digunakan. Pemahaman membutuhkan

pengetahuan. Berpikir kritis dalam pandangan Bloom adalah memperoleh penguasaan

keterampilan-keterampilan kognitif tersebut dan memilih teknik yang tepat ketika

menghadapi situasi yang baru.

Kekuatan utama taksonomi Bloom adalah taksonomi tersebut logis dan hierarkis,

membimbing pendidik dalam proses menumbuhkan keterampilan kognitif yang

paling ederhana menuju keterampilan kognitif yang paling kompleks. Selain itu,

Taksonomi Bloom mudah dalam mengevaluasi penguasaan keterampilan kognitif

tersebut karena keterampilan kognitif telah dijabarkan dalam perilaku khusus.

Taksonomi Bloom tidak lepas dari kelemahan. Menurut Paul (dalam Reece, 2002)

secara historis, banyak guru yang menggunakan Taksonomi Bloom seperti buku

panduan memasak tanpa mempraktekkan keterampilan berpikir kritis pada diri

mereka. Paul juga mengkritisi Taksonomi Bloom karena terlalu memberikan

perhatian yang lebih pada pengingatan dan meminta adanya kenetralan. Paul

mempercayai bahwa berpikir kritis dapat digunakan untuk mencapai nilai

pengambilan keputusan yang penting. Kelemahan selanjutnya adalah Taksonomi

Bloom mengabaikan berpikir kritis yang dinamis.

Berpikir kritis tidak hanya kumpulan keterampilan tetapi juga karakteristik

tertentu untuk menggunakan keterampilan kognitif. Karakteristik tidak dapat

diajarkan seperti keterampilan, tetapi karakteristik hanya dapat digali melalui

sejumlah aktivitas. Sejumlah pendukung berpikir kritis mengelompokkan kemampuan

dan karakteristik yang diperlukan dalam berpikir kritis.

Penelitian tentang berpikir kritis merupakan hal yang khusus karena melibatkan 3

tradisi berpikir yaitu pendidikan, filsafat, dan psikologis. Salah satu pakar berpikir

kritis yang ahli dalam ketiga bidang tersebut adalah Dewey.

Page 5: Final Draft

1. Tradisi Filsafat.

Dewey merupakan pakar filsafat pergerakan berpikir kritis modern, Plato dan

Aristoteles merupakan perintis pergerakan berpikir kritis pada masa kuno.

Sedangkan para pakar filsafat pergerakan berpikir kritis pada masa kini adalah

Ennis, Lipman, dan Paul yang memberikan perhatian lebih untuk memahami

dasar-dasar berpikir kritis.

Para ahli filsafat memfokuskan perhatian terhadap kemampuan berpikir kritis

tidak di dalam kelas tetapi dalam sistem formal logis. Pertama, dikarenakan

kemampuan sistem formal logis tidak perlu berhubungan dengan kemampuan

siswa di dalam situasi kelas. Sebagai contoh resolusi logis menyediakan metode

yang kuat untuk mmbuktikan teorema logis namum mungkin tidak ada seorang

pakar yang dapat mengklaim bahwa anak menggunakan resolusi logis secara

spontan ataupun jika ada yang menggunakan resolusi logis secara spontan, hal ini

terjadi setelah adanya latihan yang intensif. Kedua, kemampuan sistem logis

merupakan berpikir yang lebih baik dalam memberikan model kompetensi

daripada model kinerja bagi berpikir manusia. Aturan-aturan logis dapat

memberikan gambaran kepada kita bagaimana manusia berpikir kritis dalam

lingkungan yang terbatas dalam hal proses informasi.

2. Tradisi Psikologis

Pakar psikologis tentang berpikir kritis seperti Bransford (1984), Bruner

(1960,1961), Feuerstein (1980), dan Sternberg (1985) memfokuskan pada

karakteristik berpikir kritis yang muncul dalam keterbatasan lingkungan dan

manusia. Feuerstein mengkaji bagaimana berpikir kritis yang ditunjukkan oleh

orang yang terbelakang dengan orang normal; Sternberg dan Davidson

membandingkan berpikir kritis orang normal dengan orang yang berbakat. Para

pakar ini menunjukkan bagaimana berpikir kritis manusia dalam kekurangan

informasi, waktu yang tidak terbatas, memori sempurna, dan sebagainya. Untuk

mengevaluasi teori brpikir kritis para pakar psikologi ini terdapat dua hal yang

perlu diperhatikan. Pertama, teori psikologis tentang berpikir kritis muncul dari

dan diteskan dalam lingkungan laboratorium, dan tidak ada jaminan bahwa orang

akan mendemonstrasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan khususnya di kelas

Page 6: Final Draft

dengan cara yang sama dengan apa yang mereka lakukan dalam laboratorium.

Kedua, adanya keterbatasan dalam teori yang dapat diteskan secara empiris

menggunakan standar berarti percobaan psikologis terkadang menghasilkan

penyederhanaan secara berlebihan terhadap analisis berpikir kritis.

3. Tradisi pendidikan

Para pakar dalam tradisi ini antara lain Bloom (1956), Gagne (1965), Perkins

(1981), dan Renzulli (1976) berteori tentang keterampilan yang dibutuhkan siswa

di kelas untuk menyelesaikan masalah, membuat keputusan, dan belajar konsep.

Bloom (1956) terkenal dengan Taksonomi keterampilan kognitif dan Gagne

(1965) terknal dengan hirarki keterampilan belajar yang tersebar luas dalam

aplikasi di dalam kelas. Teori yang dihasilkan para pakar ini, menggambarkan

pengamatan kelas, analisis teks, analisis proses berpikir di kelas untuk

membimbing pemikiran tentang berpikir kritis.

Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan teori dalam tradisi

pendidikan ini. Pertama, teori pendidikan sering tidak mnjelaskan status

epistemologis yang merupakan karakteristik teori filsafat dan psikologis sehingga

membuatnya menjadi sulit dalam mengevaluasi dan menggunakan teori pendidikan

ini. Teori filsafat cenderung menjadi teori kompetensi yang menentukan apa yang

dapat dilakukan seseorang, teori pikologis cenderung menjadi teori kinerja yang

menentukan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, dan teori pendidikan

menggabungkan keduanya. Kedua, teori berdasarkan pendidikan cenderung tidak

memiliki pokok persoalan yang dites pada derajat yang sama yang dikarakteristikan

oleh tes teori psikologi dan teori filsafat.

Sternberg (1986) menyatakan berpikir kritis sebagai suatu proses mental, strategi,

dan representasi untuk menyelesaikan masalah, membuat keputusan, dan belajar

sesuatu yang baru. Penelitian-penelitian tentang berpikir kritis melibatkan bidang

pendidikan, filsafat, dan tradisi psikologi berpikir. Taksonomi filsafat Ennis

menyatakan bahwa berpikir kritis dihasilkan berdasarkan interaksi sejumlah

karakteristik berpikir kritis dengan sejumlah kemampuan berpikir kritis, Taksonomi

psikologis Sternberg mendefinisikan 3 keterampilan yang terlibat dalam berpikir

kritis yaitu metakomponen (metacomponent), komponen performans/kinerja

Page 7: Final Draft

(performance component), dan komponen kemahiran pengetahuan (knowledge-

acquisition component). Sedangkan Taksonomi pendidikan Bloom menjenjangkan

aspek kognitif dalam 6 jenjang dimulai dari yang paling bawah yaitu pengetahuan,

diikuti pemahaman, aplikas, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Sternberg (1986) menyatakan beberapa taksonomi keterampilan berpikir kritis

dalam tradisi filsafat, tradisi psikologi, dan tradisi pendidikan.

1. Taksonomi dalam tradisi filsafat.

Ennis menyatakan bahwa berpikir kritis dihasilkan dari interaksi sejumlah

karakteristik berpikir kritis dengan sejumlah kemampuan berpikir kritis.

Karakteristik berpikir kritis Ennis antara lain mencari pernyataan yang jelas dari

suatu pertanyaan, mencari penalaran, mncoba menjadi informan yang baik,

mencoba tetap relevan dengan pokok yang utama. Ide yang mendasari daftar

karakteristik berpikir kritis Ennis adalah prasyarat berpikir kritis adalah motivasi

untuk berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis Ennis adalah kemampuan

melakukan klarifikasi, membrikan dukungan dasar, penyimpulan, klarifikasi

lanjut, strategi dan taktik.

Ennis (1993) memberikan definisi berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang

berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan

harus dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, maka kemampuan berpikir kritis

menurut Ennis terdiri atas 12 komponen, yaitu (a) merumuskan masalah, (b)

menganalisis argumen, (c) menanyakan dan menjawab pertanyaan, (d) menilai

kredibilitas sumber informasi, (e) melakukan observasi dan menilai laporan hasil

observasi, (f) membuat deduksi dan menilai deduksi, (g) membuat induksi dan

menilai induksi, (h) mengevaluasi, (i) mendefinisikan dan menilai definisi, (j)

mengidentifikasi asumsi, (k) memutuskan dan melaksanakan, serta (l) berinteraksi

dengan orang lain. Kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan oleh Komite

Berpikir Kritis Antar-Universitas (Intercollege Committee on Critical Thinking),

yaitu (a) kemampuan mendefinisikan masalah, (b) kemampuan menyeleksi

informasi untuk penyelesaian masalah, (c) kemampuan mengenali asumsi-asumsi,

(d) kemampuan merumuskan hipotesis, dan (e) kemampuan menarik kesimpulan

(Muslimin, 2007) .

Page 8: Final Draft

2. Taksonomi dalam tradisi psikologi

Sternberg menyusun suatu taksonomi berpikir kritis yang tidak brasal dari

sesuatu yang logis tetapi berasal dari analisis psikologis berpikir kritis. Menurut

Sternberg ada tiga jenis keterampilan yang terlibat dalam berpikir kritis yaitu

metakomponen (metacomponent), komponen performans/kinerja (performance

component), dan komponen pengetahuan-kemahiran (knowledge-acquisition

component).

Metakomponen adalah proses pelaksana (eksekutif) tingkat yang lebih tingi

yang digunakan untuk merencanakan apa yang akan dilakukan, memonitor pada

waktu seseorang mengerjakannya, dan mengevaluasinya setelah dikerjakan.

Metakomponen melibatkan pengakuan bahwa ada masalah, mendefinisikan sifat

dasar masalah, memutuskan sejumlah langkah menylesaikan masalah, menyajikan

langkah-langkah ke dalam strategi yang koheren, memutuskan bentuk

representasi mental informasi, mengalokasikan waktu dan sumber dalam

mnyelsaikan masalah, memonitor penyelesaikan yang dilakukan seseorang

terhadap masalah yang diselesaikan, memberikan umpan balik problem solving.

Taksonomi yang sama dikembangkan oleh Brown (1978) dan Bransford (1984).

Komponen performans/kinerja berada di bawah metakomponen adalah suatu

proses noneksekutif yang igunakan untuk melaksanakan instruki metakomponen

dan memberikan umpan balik terhadap metakomponen. Komponen

performans/kinerja beragam berdasarkan domain kinerja seperti penalaran

induktif, pnalaran deduktif, visualisasi spatial, membaca, dan sebagainya. Sebagai

contoh komponen performans/kinerja induksi meliputi mengkodekan stimulus,

membandingkan stimulus, menyimpulkan hubungan antar stimulus, memetakan

hubungan antar relasi, menerapkan relasi dari satu domain ke domain lain,

membenarkan respon yang potensial, dan merespon.

Komponen pengetahuan-kemahiran adalah proses yang digunakan untuk

belajar konsep atau prosedur. Komponen pengetahuan-kemahiran ini mempunyai

3 komponen yaitu pengkodean selektif, kombinasi selektif, dan perbandingan

selektif. Pengkodean selektif melibatkan penyaringan informasi yang relevan dari

informasi yang tidak relevan. Kombinasi selektif melibatkan menggunakan secara

Page 9: Final Draft

bersamaan informasi yang relevan dalan cara yang koheren dan terorganisasi.

Perbandingan selektif melibatkan menghubungkan informasi yang telah diketahui

dengan informasi baru, tentang informasi yang akan dipelajari.

3. Taksonomi dalam tradisi pendidikan

Bloom menyusun taksonomi yang dikenal dengan Taksonomi Bloom.

Taksonomi Bloom merupakan penjenjangan terhadap proses kognitif informasi.

Urutan Taksonomi Bloom dari yang paling bawah adalah pengetahuan,

pemahaman, aplikasi, analisis, sintsis, dan evaluasi. Setiap tingkat yang lebih

tinggi mensyaratkan tingkat yang lebih rendah seperti pemahaman mensyaratkan

adanya pengetahuan.

Ketiga taksonomi yang disajikan Sternberg berbeda. Meskipun taksonomi

keterampilan berpikir kritis ini berbeda, namun para pakar taksonomi ini

mempercayai pentingnya belajar, pemahaman, penalaran induktif, dan penalaran

deduktif.

Johnson (2000) menjelaskan bahwa berpikir kritis mengorganisasikan proses yang

digunakan dalam aktifitas mental seperti penyelesaian masalah, pengambilan

keputusan, meyakinkan, menganalisis asumsi-asumsi dan penemuan ilmiah. Berpikir

kritis adalah suatu kemampuan untuk bernalar (to reason) dalam suatu cara yang

terorganisasi. Berpikir kritis juga merupakan suatu kemampuan untuk mengevaluasi

secara sistematik kualitas pemikiran diri sendiri dan orang lain.

Taksonomi Bloom menggunakan jenjang keterampilan berpikir tingkat tinggi

untuk menghubungkan berpikir kritis dan kreatif. Lamb (2006) menyatakan bahwa

berpikir kritis melibatkan berpikir logis dan penalaran sedangkan berpikir kreatif

melibatkan menciptakan (create) sesuatu yang baru atau sesuatu yang lain; berpikir

kritis dapat diajarkan dengan lebih banyak menggunakan otak kiri sedangkan berpikir

kreatif banyak menggunakan otak kanan; ketika berbicara tentang HOTS “higher-

order thinking skills” maka yang dimaksud adalah tiga jenjang yang paling atas dari

taksonomi Bloom yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi.

Huitt (1998) mengklasifikasikan 2 teknik berpikir yang digunakan dalam problem

solving dan membuat keputusan berkaitan dengan adanya dikotomi antara berpikir

kritis dan berpikir kreatif. Teknik yang pertama lebih bersifat linier dan serial, lebih

terstruktur, rasional, analitis, dan berorientasi tujuan. Teknik ini adalah bagian dari

Page 10: Final Draft

berpikir kritis. Teknik berpikir yang kedua bersifat holistik dan paralel, emosional

dan intuitif, kreatif, visual, kinestetik. Teknik ini adalah bagian dari berpikir kretaif.

Pembagian ini berhubungan dengan apa yang terkadang disebut sebagai berpikir

menggunakan otak kiri (analitik, serial, logis, objektif) dan berpikir menggunakan

otak kanan (global, paralel, emosional, subjektif).

Menurut Mason (2008) terdapat lima ahli filsafat pendidikan yang memberikan

kontribusi yang besar terhadap konsep berpikir kritis yaitu Robert Ennis, Richard

Paul, John McPeck, Harvey Siegel, dan Jane Roland Martin.

Ennis mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut

“critical thinking is reasonable reflective thinking focused on deciding what to

believe or do.”

Definisi ini menggabungkan karakteristik dan kemampuan berpikir kritis.

Berdasarkan kutipan di atas, Ennis (1996) menyatakan konsep tentang berpikir

kritis terutama berdasarkan keterampilan khusus seperti mengamati, menduga,

menggeneralisasi, penalaran, dan mengevaluasi penalaran. Menurutnya keterampilan

yang berasosiasi dengan berpikir kritis dapat dipelajari dan dapat ditransfer dari satu

disiplin ilmu ke disiplin ilmu yang lain. Ennis menekankan pada prinsip dan

keterampilan bernalar kritis yang subjek-netral, yaitu prinsip logis yang tidak hanya

berlaku untuk suatu disiplin tertentu tetapi dapat diterapkan secara universal.

Pengakuan terhadap kompetensi minimum tertentu pada suatu disiplin ilmu

merupakan hal yang penting untuk dapat menerapkan keterampilan berpikir kritis

pada disiplin tersebut. Proses berpikir kritis adalah deduktif, yang meliputi penerapan

prinsip dan keterampilan berpikir kritis pada disiplin ilmu tertentu.

Untuk mengevaluasi berpikir kritis, Ennis menciptakan The Cornell Critical

Thinking Test, sebuah alat mengevaluasi yang terkenal untuk mengukur brpikir kritis

berdasarkan taksonomi kemampuan berpikir kritis yang dibuatnya. Sedangkan

karakteristik berpikir kritis agak sukar untuk diukur.

Senada dengan Ennis, Paul (1993) mendefinisikan berpikir kritis berdasarkan

kemampuan dan karakteristik berpikir kritis, namun Paul lebih menekankan pada

aktivitas pemikir daripada berpikir itu sendiri. Paul (1987) mendefinisikan berpikir

kritis sebagai berikut.

Page 11: Final Draft

critical thinking as a “unique kind of purposeful thinking in which the thinker systematically and habitually imposes criteria and intellectual standards upon the thinking; taking charge of the construction of thinking; guiding the construction of thinking according to the standards; and assessing the effectiveness of the thinking according to the purpose, the criteria, and the standards”

Selain itu, Paul (2008) mendefinisikan brpikir kritis sebagai berikut.

“ Critical thinking is that mode of thinking - about any subject, content, orproblem - in which the thinker improves the quality of his or her thinkingby skillfully taking charge of the structures inherent in thinking andimposing intellectual standards upon them.”

Berdasarkan kutipan di atas, berpikir kritis adalah tindakan yang langsung

dilakukan sendiri, disiplin diri, monitor sendiri, dan berpikir yang dikoreksi sendiri.

Berpikir kritis mensyaratkan persetujuan terhadap standar mutu yang tepat dan

perintah sadar penggunaannya. Berpikir kritis memerlukan komunikasi yang efektif

dan kemampuan problem solving sebaik komitmen untuk mengatasi egosentris dan

sosiosentris.

Paul (1982) menegaskan keterampilan dan proses yang berasosiasi dengan

berpikir kritis. Paul membedakan berpikir kritis pada pengertian yang lemah dengan

berpikir kritis pada pengertian yang kuat. Dalam pengertian yang lemah, berpikir

kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang posisi sesuatu

dibandingkan posisi sesuatu yang lain sedangkan dalam pengertian yang kuat,

berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang posisi, argumen,

asumsi, dan sudut pandang sesuatu dengan baik. Pemikir kritis yang kuat akan dapat

memahami gambaran besar secara holistik, dan melihat perbedaan sudut pandang

terhadap dunia daripada hanya mengkritik langkah-langkah seseorang dalam

berargumen. Berdialog dengan orang lain yang berbeda dalam latar belakang

kebudayaan dan pandangan terhadap dunia akan sangat penting dalam berpikir kritis.

Hal ini karena kita belajar melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda-beda dalam

mengkontekstualkan pandangan dunia kita dalam gambaran yang lebih besar.

Berpikir kritis ini adalah berpikir yang bertujuan untuk mengatasi egosentrik dan

sosiosentrik berpikir.

Page 12: Final Draft

McPeck (1981) menyatakan berpikir kritis bersifat spesifik. Definisi berpikir

kritis McPeck sebagai berikut.

“critical thinking is specific to a particular discipline, and that it depends on a thorough knowledge and understanding of the content and epistemology of the discipline.”

Menurutnya, berpikir kritis tidak dapat diajarkan dengan bebas pada subjek

bidang tertentu. Untuk menjadi pemikir yang kritis dalam bidang nuklir akan sangat

sukar apabila seseorang hanya memiliki pengetahuan yang sedikit tentang bidang

tersebut. Pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap suatu disiplin ilmu

merupakan faktor penting dan bukan pada apakah seseorang memiliki keterampilan

dan karakteristik berpikir kritis. Hal ini berarti berpikir kritis menyatakan secara

tidak langsung tentang pengetahuan disiplin ilmu dimana seseorang bekerja, isi dan

epistemologi disiplin tersebut, apa yang merupakan dasar kebenaran dan validitas

argumen pada disiplin ilmu tersebut, serta bagaimana seseorang menerapkannya.

McPeck menekankan pentingnya prinsip dan keterampilan berpikir kritis yang

bersifat subjek-spesifik, yang berarti prinsip yang diterapkan hanya pada disiplin

tertentu seperti menerapkan estetika dalam menilai suatu hasil seni. Menurut McPeck,

proses berpikir kritis adalah induktif: yang meliputi penggeneralisasian prinsip

berpikir kritis dari isi dan struktur disiplin ilmu.

Pendapat McPeck di atas berdasarkan pengertian yang dibangunnya bahwa

berpikir adalah suatu aktivitas untuk memikirkan sesuatu, oleh karena itu setiap jenis

berpikir adalah tergantung pada bidang kajian yang dipikirkan (subject dependent).

Menurutnya, bidang kajian yang berbeda akan memiliki perbedaan epistemologis,

dan ide-ide berpikir kritis memiliki perbedaan pengertian antara bidang yang satu

dengan bidang yang lain. Oleh karena itu, McPeck (dalam Reece, 2002)

mendefinisikan ulang berpikir kritis sebagai berikut.

“Critical thinking is the analysis of good reasons for belief, understanding the various kinds of reason involves understanding complex meanings of field-dependent concepts and evidence”

Page 13: Final Draft

Pendapat McPeck ini berdampak sangat besar diantaranya meniadakan klaim

bahwa terdapat standar intelektual universal dalam berpikir yang bernalar, berpikir

kritis hanya dapat diajarkan dalam bidang tertentu dan membuat tidak berlaku

pelatihan-pelatihan berpikir kritis yang sudah ada, dan adanya klaim bahwa berpikir

kritis hanya berlaku khusus pada bidang kajian meniadakan semua klaim bahwa

keterampilan berpikir kritis dapat ditransfer dari satu bidang kajian ke bidang kajian

yang lain.

Pandangan McPeck bahwa berpikir kritis bersifat spesifik, ditentang oleh Perkins.

Perkins (dalam Reece, 2002) menemukan bahwa keterampilan berpikir kritis dapat

ditransfer. Perkins menyatakan tiga tahap perkembangan keterampilan berpikir kritis

yaitu kemahiran (acquisition), otomatisasi (making it automotic), dan transfer.

Kebanyakan program berpikir kritis hanya fokus pada kemahiran saja, namun Perkins

menyatakan bahwa berpikir kritis cenderung tetap dalam konteks pelatihan. Perkins

menyatakan 2 tipe transfer yaitu high-road transfer dan low-road transfer. High-road

transfer adalah transfer yang disengaja dari suatu kerangka atau taktik berpikir kritis

dari satu lingkungan belajar ke lingkungan belajar yang lain. Instruktur harus

menciptakan latihan yang membantu pebelajar mencapai tipe transfer ini karena

transfer ini tidak bersifat otomatis. Sedangkan low-road transfer terjadi lebih spontan

karena pebelajar akan menerapkan keterampilan berpikir kritis dalam lingkungan

baru tanpa adanya instruksi untuk mentransfernya.

Siegel (1990) menekankan konsep hubungan yang kuat antara berpikir kritis

dengan rasionalitas. Siegel mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut.

“critical thinking means to be ‘appropriately moved by reasons’, and to be rational is to ‘believe and act on the basis of reasons’.”

Dalam pandangan ini, berpikir kritis didasari oleh berpikir, sedikitnya dalam prinsip

netral, konsistensi, ketidaksewenang-wenangan dan kejujuran.

Konsepsi Siegel tentang berpikir kritis mempertahankan komponen penilaian

penalaran (reason assessment component) dan komponen sikap kritis (critical

attitude component). Pemikir kritis yang memiliki komponen penilaian penalaran

harus dapat menilai penalaran dan kemampuan mereka dalam membenarkan

Page 14: Final Draft

kepercayaan, klaim dan tindakan dengan tepat. Oleh karena itu, pemikir kritis harus

memiliki pemahaman yang baik, kemampuan memanfaatkan prinsip subjek-spesifik

dan subjek-netral (logis) yang berpengaruh dalam menilai penalaran. Seseorang yang

memiliki komponen sikap kritis akan memiliki karakter tertentu yang sama baiknya

dengan keterampilan tertentu: karakter dimana seseorang cenderung mencari tahu

sesuatu yang mendasari keputusan dan tindakan; karakter yang tidak memihak dan

tidak sewenang-wenang, karakter untuk menilai objektif terhadap fakta-fakta yang

relevan; karakter bernilai aspek-aspek berpikir kritis seperti kejujuran intelektual,

keadilan, simpatik, objektifitas. Oleh karena itu, keterampilan dan prinsip-prinsip

berpikir kritis merupakan hal yang penting bagi para pemikir kritis.

Martin (1992) menekankan pada karakteristik yang berasosiasi dengan berpikir

kritis dan menyatakan bahwa berpikir kritis dimotivasi dan ditemukan dalam

perspektif moral dan nilai tertentu. Seseorang yang mampu mencapai suatu

kesimpulan tertentu dengan cara-cara bernalar yang kritis bukan berarti bahwa moral

orang tersebut dapat diterima. Tujuan berpikir kritis didasarkan pada moral. Berpikir

kritis dilakukan seseorang hanya untuk mengembangkan dunia yang lebih baik.

Berdasarkan lima pandangan utama tentang berpikir kritis di atas, Mason (2008)

menyatakan ada 3 aspek penting berpikir kritis, yaitu (1) keterampilan bernalar kritis

(seperti kemampuan untuk menilai suatu penalaran dengan tepat), (2) karakter, yaitu

(a) sikap kritis (skeptisisme, kecenderungan menanyakan pertanyaan penyelidikan)

dan komitmen untuk mengekspresikan sikap tersebut, serta (b) orientasi moral yang

memotivasi berpikir kritis, (3) pengetahuan substansial dalam bidang tertentu, yaitu

(a) konsep berpikir kritis (syarat cukup dan syarat perlu), dan (b) disiplin tertentu,

dimana seseorang mampu berpikir kritis.

Akibat munculnya beragam definisi berpikir kritis adalah munculnya pendekatan-

pendekatan yang berbeda untuk mengajarkan berpikir kritis. Pendekatan umum

melibatkan mengajar keterampilan berpikir kritis yang tergeneralisasi dalam pelatihan

berpikir kritis. Pendekatan infusi mensyaratkan adanya kesadaran diri mengajarkan

keterampilan berpikir kritis dalam pelatihan bidang kajian tertentu. Metode imersi

(immersion method) berasumsi bahwa pebelajar akan memperoleh keterampilan

berpikir kritis bidang tertentu melalui pelatihan yang diadakan dalam bidang tersebut.

Page 15: Final Draft

Metode campuran (mixed-method) mengkombinasikan pelatihan umum dengan salah

satu pendekatan infusi atau metode imersi.

Karakteristik berpikir kritis Ennis (2005) antara lain mencari penjelasan

pertanyaan, mencari penalaran, mencoba menjadi sumber informasi yang baik,

menggunakan dan menyebutkan sumber informasi yang kredibel, mencari alternatif,

berpikir terbuka, sensitif terhadap perasaan dan pengetahuan. Facione (2009)

menyebutkan karakteristik berpikir kritis antara lain memiliki rasa ingin tahu,

bijaksana, mencari kebenaran, percaya diri dalam bernalar, berpikir terbuka, analitis,

dan sistematis.

Seringkali berpikir kritis dikacaukan dengan problem solving dan berpikir tingkat

tinggi. Beberapa pakar menggunakan istilah yang sama untuk menggambarkan

komponen berpikir kritis, problem solving dan berpikir tingkat tinggi, namun konsep

berpikir kritis adalah konsep yang unik. Hedges (1991) membedakan antara berpikir

kritis dengan problem solving. Menurut Hedges, problem solving adalah proses linier

evaluasi, sedangkan berpikir kritis adalah kumpulan kemampuan yang membolehkan

orang yang melakukan penemuan memfasilitasi setiap tahap proses linier problem

solving. Berikut ini tabel hubungan antara berpikir kritis dan problem solving

menurut Hedges.

No Berpikir kritis Problem Solving1 Kemampuan mengidentifikasi dan

membuat formula masalah sebaik kemampuan untuk menyelesaikannya

Mengenal situasi masalah

2 Kemampuan mengenal dan menggunakan penalaran induktif sebaik kemampuan menyelesaikan masalah

Mendefinisikan masalah

3 Kemampuan menggambarkan kesimpulan yang bernalar berdasarkan informasi yang diperoleh dari beragam sumber baik tertulis, lisan, tabel, grafik, dan mempertahankan ksimpulan yang diperoleh dengan cara yang rasional

Kemampuan untuk memahami, mengembangkan, dan menggunakan konsep dan generalisasi

4 Kemampuan untuk memahami, mengembangkan, dan menggunakan konsep dan generalisasi

Mengecek hipotesis dan memperoleh data

5 Kemampuan membedakan fakta dan opini

Memperbaiki hipotesis dan mengecek hipotesis yang sudah diperbaiki atau hipotesis baru

Page 16: Final Draft

6 - Membuat kesimpulanTabel 1

Hubungan berpikir kritis dengan problem solving (Hedges, 1991)Ennis (1993) memberikan definisi berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang

berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan harus

dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, maka kemampuan berpikir kritis menurut

Ennis terdiri atas 12 komponen, yaitu (1) merumuskan masalah, (2) menganalisis

argumen, (3) menanyakan dan menjawab pertanyaan, (4) menilai kredibilitas sumber

informasi, (5) melakukan observasi dan menilai laporan hasil observasi, (6) membuat

deduksi dan menilai deduksi, (7) membuat induksi dan menilai induksi, (8)

mengevaluasi, (9) mendefinisikan dan menilai definisi, (10) mengidentifikasi asumsi,

(11) memutuskan dan melaksanakan, serta (12) berinteraksi dengan orang lain.

Kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan oleh Komite Berpikir Kritis Antar-

Universitas (Intercollege Committee on Critical Thinking), yaitu (1) kemampuan

mendefinisikan masalah, (2) kemampuan menyeleksi informasi untuk penyelesaian

masalah, (3) kemampuan mengenali asumsi-asumsi, (4) kemampuan merumuskan

hipotesis, dan (5) kemampuan menarik kesimpulan (Muslimin, 2007) .

Pascarella & Terenzini (1991) menyatakan bahwa berpikir kritis dapat

didefinisikan dengan beragam cara dan diukur dengan sejumlah cara, tetapi pada

dasarnya berpikir kritis melibatkan kemampuan individu untuk mengidentifikasi

persoalan pokok dan asumsi dalam suatu argumen, mengakui hubungan yang penting,

membuat kesimpulan yang tepat berdasarkan data-data yang ada, mendeduksi

kesimpulan dari informasi atau data yang disediakan, menginterpretasi apakah

kesimpulan dijamin data yang diberikan, dan mengevaluasi fakta atau otoritas.

Beyer (dalam Burris, 2005) mengidentifikasi keterampilan yang dibutuhkan agar

berpikir kritis menjadi lebih efektif, yaitu (1) membedakan antara fakta-fakta yang

dapat dibuktikan dan menilai klaim, (2) membedakan informasi, klaim, dan bernalar

yang relevan dan tidak relevan, (3) menentukan ketelitian faktual suatu pernyataan,

(4) menentukan kredibilitas sumber, mengidentifikasi klaim atau argumen yang

ambigu, (5) mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan, (6) mendeteksi bias, (7)

(8) mengidentifikasi ketidakkonsistenan logis dalam bernalar, (9) mengakui

Page 17: Final Draft

ketidakkonsistenan logis dalam bernalar, serta (10) menentukan kekuatan argumen

atau klaim.

Brookfield (dalam Marrapodi, 2003) mendefinisikan lima aspek dan empat

komponen berpikir kritis. Menurutnya, berpikir kritis terdiri dari aspek-aspek, yaitu

berpikir kritis adalah aktivitas yang produktif dan positif, berpikir kritis adalah proses

bukan hasil, perwujudan berpikir kritis sangat beragam tergantung dari konteksnya,

berpikir kritis dapat berupa kejadian yang positif maupun negatif, dan berpikir kritis

dapat bersifat emosional dan rasional. Sedangkan komponen berpikir kritis, yaitu (1)

identifikasi dan menarik asumsi adalah pusat berpikir kritis, (2) menarik pentingnya

konteks adalah penting dalam berpikir kritis, (3) pemikir kritis mencoba

mengimajinasikan dan menggali alternatif, dan (4) mengimajinasikan dan menggali

alternatif akan membawa pada skeptisisme reflektif.

Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu modal dasar atau modal

intelektual yang sangat penting bagi setiap orang dan merupakan bagian yang

fundamental dari kematangan manusia (Liliasari, 2000). Oleh karena itu,

pengembangan keterampilan berpikir kritis menjadi sangat penting bagi mahasiswa di

setiap jenjang pendidikan. Keterampilan berpikir kritis menggunakan dasar berpikir

menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap interpretasi

untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, kemampuan

memahami asumsi, memformulasi masalah, melakukan deduksi dan induksi serta

mengambil keputusan yang tepat. Keterampilan berpikir kritis adalah potensi

intelektual yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran. Setiap manusia

memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pemikir yang kritis karena

sesungguhnya kegiatan berpikir memiliki hubungan dengan pola pengelolaan diri

(self organization) yang ada pada setiap makhluk di alam termasuk manusia sendiri

(Liliasari, 2001; Johnson, 2000).

Untuk menilai apakah seseorang termasuk kategori pemikir kritis yang baik

ataukah pemikir kritis yang kurang, dapat dilihat dari apakah orang tersebut mampu

menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi dan menyimpulkan, dapat menjelaskan

apa yang dipikirkannya dan bagaimana orang tersebut membuat keputusan, dapat

menerapkan kekuatan berpikir kritis pada dirinya sendiri dan meningkatkan

Page 18: Final Draft

kemampuan berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat yang dibuatnya. Facione

(2009) mengungkapkan tentang keterampilan kognitif yang merupakan inti dari

berpikir kritis yaitu interpretasi (interpretation), analisis (analysis), evaluasi

(evaluation), penyimpulan (inference), penjelasan (explanation), dan regulasi diri

(self-regulation).

Pott (1994) menyatakan 3 kemampuan berpikir kritis yaitu menemukan analogi

dan jenis hubungan yang lain antara beragam informasi, menentukan informasi yang

relevan dan valid untuk menyelesaikan masalah, menemukan dan mengevaluasi

penyelesaian atau penyelesaian alternatif suatu masalah. Kemampuan-kemampuan

tersebut dapat dilaksanakan dalam pembelajaran yaitu dengan cara, yaitu (1)

Mendorong interaksi antara pebelajar dalam belajar, (2) Memberikan pertanyaan

open-ended yang mendorong pebelajar untuk berpikir tanpa takut memberikan

jawaban yang salah, (3) memberikan waktu yang cukup kepada pebelajar untuk

merefleksikan pertanyaan atau masalah yang diajukan, dan (4) memberikan

kesempatan kepada pebelajar untuk melihat aplikasi keterampilan berpikir kritis pada

situasi yang lain dan pengalaman pebelajar itu sendiri.

Menurut Elder dan Paul (2008) manfaat berpikir kritis, yaitu mahasiswa mampu

(1) menyatakan serta menjelaskan tujuan dan maksudnya, (2) menjelaskan pertanyaan

yang dibutuhkan untuk menjawab dan masalah yang dibutuhkan untuk dipecahkan,

(3) mendapatkan serta mengorganisasi informasi dan data, (4) menilai pengertian dan

informasi penting yang diberikan kepadanya, (5) mendemonstrasikan pemahaman

konsep, (6) mengidentifikasi asumsi, mempertimbangkan implikasi dan konsekuensi,

menguji sesuatu menggunakan beragam sudut pandang, menyatakan pernyataannya

dengan jelas, menguji dan mengecek ketepatan, serta (7) mengaitkan kekompleksan

masalah dan isu-isu, menyatakan pikirannya secara logis, berpikir dengan beragam

sudut pandang, membedakan masalah-masalah yang penting dan masalah yang tidak

penting.

Menurut Bessick (2008) terdapat beberapa alat ukur yang digunakan untuk

menilai berpikir kritis yaitu Academic Profile (A. Profile), Collegiate Assessment of

Academic Proficiency (CAAP), California Critical Thinking Dispositions Inventory

(CCTDI), CAAP Critical Thinking Assessment Inventory, California Critical

Page 19: Final Draft

Thinking Skills Test (CCTST), Cornell Critical Thinking Test (CCTT), College

Outcomes Measures Program – Objective Test (COMP), ETS Tasks in Critical

Thinking (ETS TASKS), Measure of Intellectual Development (MID), Problem

Solving Inventory (PSI), Reflective Judgment Inventory (RJI), Watson-Glaser Critical

Thinking Appraisal (WGCTA).

Evaluasi terhadap berpikir kritis merupakan hal yang penting bukan hanya

menjawab pertanyaan tentang kemampuan menggeneralisasi tetapi juga menilai

kekuatan dan kelemahan program dan untuk mengatasi kelemahan tersebut. Baron

(dalam Reece, 2002) mengidentifikasi 4 dimensi dalam evaluasi program mengajar

keterampilan berpikir kritis yaitu formatif-summatif, produk-proses, kualitatif-

kuantitatif, dan eksperimental-quasi eksperimental. Evaluasi formatif bertujuan untuk

meningkatkan program sedangkan evaluasi summatif bertujuan untuk melihat

keefektifan program. Evaluasi produk mempunyai fokus pada apa yang dihasilkan

oleh pebelajar sedangkan evaluasi proses menekankan pada bekerjanya pengajaran

berpikir kritis dan kegiatan berpikir pebelajar. Evaluasi kualitatif dan kuantitatif

merupakan alat untuk menangkap pengalaman seseorang dalam program. Evaluasi

eksperimental dan quasi eksperimental merupakan cara lain untuk mengetes

keefektivan program.

Menurut Burris (2005) berpikir kritis dapat juga dipengaruhi oleh strategi

pembelajaran dalam proses belajar mengajar. Lundy, Irani, Ricketts, Eubanks, Rudd,

Gallo-Meagher, and Fulford (dalam Burris, 2005) meneliti kemampuan berpikir kritis

mahasiswa sebagai hasil pelatihan bioteknologi. Mereka membandingkan

kemampuan dan karakteristik berpikir kritis mahasiswa pria dan mahasiswa wanita,

kemudian mengukurnya menggunakan The California Critical Thinking

Dispositional Inventory (CCTDI). Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa

semua mahasiswa tanpa memandang jenis kelamin dan status akademik menunjukkan

adanya karakteristik berpikir kritis. Lundy, dkk (dalam Burris, 2005) menyimpulkan

bahwa berpikir kritis merupakan keterampilan yang dapat dikuasai dan

dikembangkan semua mahasiswa dengan menerapkan teknik-teknik pembelajaran

berpikir kritis. Mabie dan Baker (dalam Burris, 2005) meneliti dampak strategi

pembelajaran dalam perkembangan keterampilan proses sains. Keterampilan proses

Page 20: Final Draft

sains seperti mengamati, berkomunikasi, membandingkan, menghubungkan,

dianggap sebagai bangunan penyusun berpikir kritis. Berdasarkan penelitian mereka,

ditmukan bahwa terdapat peningkatan siswa yang mengembangkan kterampilan

proses sains.

Menurut Burris (2005) aktivitas belajar eksprimen akan meningkatkan keterapilan

berpikir kritis. Burbach, Matkin, dan Fritz (dalam Burris, 2005) menggunakan The

Watson-Glaser Critical Thinking Appraisal® (WGCTA®) untuk menguji

kemampuan berpikir kritis 80 orang mahasiswa yang terlibat dalam latihan

kepemimpinan di kampus. Pelatihan didesain untuk mengajarkan berpikir kritis

dengan menggabungkan menulis jurnal reflektif, layanan belajar, kelompok kecil,

skenario, studi kasus, dan pertanyaan. Berdasarkan pre-tes dan post-tes diperoleh

indika bahwa strategi blajar aktif yang dilaksanakan dalam pelatihan akan

meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Oty, McArthur, dan Clark (dalam Burris,

2005) menggunakan WGCTA® membandingkan kemampuan berpikir kritis

mahasiswa yang menerapkan aljabar terintegrasi latihan sains dengan latihan aljabar

tradisional. Matematika/sains terintegrasi didesain menggunakan contoh-contoh

ilmiah untuk menyediakan latar belakang kontekstual dalam operasi matematika.

Mahasiswa yang menerapkan aljabar terintegrasi akan memperoleh skor WGTCA®

yang lebih tinggi. Berdasarkan hal ini diperoleh kesimpulan bahwa pendekatan

terintegrasi akan meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

C. Model Berpikir Kritis Paul & Elder

Menurut Paul dan Elder (Paul, 2008) ada 3 komponen berpikir kritis yaitu elemen

bernalar, standar intelektual bernalar, dan karakter intelektual bernalar. Berikut ini

gambar model berpikir kritis Paul & Elder.

Page 21: Final Draft

Gambar 1Model berpikir kritis Paul & Elder (Paul, 2008)

Menurut Paul dan Elder (2008) serta Paul (2009), terdapat 8 elemen bernalar

yaitu:

1. Tujuan (purpose)

Penalaran harus memiliki tujuan. Untuk memahami beberapa hal, seseorang harus

dapat mendefinisikan tujuan dengan jelas seperti apakah tujuannya membujuk,

menginformasikan dan sebagainya.

2. Pertanyaan (question)

Penalaran adalah usaha menjawab pertanyaan yang menjadi masalah, dapat

dilakukan dengan cara menggambarkan sesuatu, menetapkan pertanyaan dan

menyelesaikan masalah. Hal yang penting dalam mengidentifikasi pertanyaan-

pertanyaan adalah untuk memahami tujuan.

3. Asumsi (assumption)

Penalaran harus berdasarkan asumsi. Berpikir efektif mencoba mengidentifikasi

asumsi dengan jelas dan menentukan apakah asumsi tersebut dapat

dipertanggungjawabkan, serta bagaimana asumsi tersebut membentuk sudut

pandang.

4. Sudut pandang (point of view)

Penalaran dibuat dengan memperhatikan beragam sudut pandang dalam hal ini

beragam alternatif penyelesaian.

5. Informasi (information)

Penalaran berdasarkan informasi yaitu data dan fakta. Berpikir mencoba

mengidentifikasi informasi, meyakinkan bahwa informasi yang digunakan jelas,

dan relevan dengan pertanyaan yang menjadi pokok masalah.

6. Konsep dan ide (concept and idea)

Penalaran dinyatakan dan dibentuk berdasarkan konsep dan ide yaitu definisi,

teori, prinsip, aturan, dan model. Hal yang penting untuk mengidentifikasi konsep

penting dan menjelaskan konsep tersebut dengan jelas.

7. Penyimpulan (inference)

Page 22: Final Draft

Penalaran terdiri dari penarikan kesimpulan atau interpretasi yang

menggambarkan kesimpulan dan memberi pengertian dari data.

8. Implikasi (implication)

Penalaran akan memiliki implikasi dan konsekuensi. Suatu hal yang penting

untuk menemukan implikasi dan konsekuensi dari suatu penalaran seseorang,

mencari implikasi negatif dan positifnya, dan mempertimbangkan konsekuensi-

konsekuensi yang mungkin.

Berikut ini adalah gambar elemen bernalar

Gambar 2Elemen bernalar (Paul dan Elder, 2008)

Standar intelektual bernalar digunakan untuk menentukan kualitas elemen

bernalar. Berpikir kritis yang baik membutuhkan standar intelektual. Tujuan

utamanya adalah sebagai standar bernalar agar dapat ditanamkan pada segala aktivitas

berpikir sehingga membimbing adanya bernalar yang lebih baik lagi. Menurut Paul

dan Elder (2008) serta Paul (2009) terdapat sejumlah standar intelektual, namun

berikut ini hanya dituliskan standar intelektual yang paling penting yaitu:

1. Kejelasan (clarity)

Kejelasan adalah pintu gerbang standar intelektual. Elemen bernalar dan

pengertian dapat dipahami. Jika suatu pernyataan tidak jelas, maka tidak dapat

ditentukan apakah pernyataan tersebut akurat atau relevan. Hal ini dikarenakan

tidak diketahui apa yang dikatakan pernyataan tersebut sehingga tidak dapat

Page 23: Final Draft

diceritakan lebih jauh tentang pernyataan tersebut. Pertanyaan yang membantu

mengetahui kejelasan bernalar seseorang, yaitu apakah elemen bernalar tersebut

jelas, apakah tujuannya jelas, apakah informasinya jelas, apakah pernyataan

tersebut ambigu, apakah dapat diberikan contoh, dan dapatkah dibuat

illustrasinya.

2. Ketepatan (accuracy)

Yaitu elemen bernalar bebas dari kesalahan atau distorsi, dan mengandung

kebenaran. Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui ketepatan bernalar

seseorang, yaitu apakah elemen bernalar (misalnya informasi) benar, bagaimana

mengecek kebenaran elemen bernalarnya, dan bagaimana kita dapat mengetahui

bahwa elemen bernalar tersebut benar.

3. Ketelitian (precision)

Yaitu elemen bernalar menjelaskan sesuatu dengan tepat. Pertanyaan yang dapat

membantu mengetahui ketelitian bernalar seseorang, yaitu apakah elemen

bernalar tersebut memiliki ketelitian, dapatkah dijelaskan dengan rinci, dan

dapatkah penalaran yang dibuat lebih spesifik.

4. Relevansi (relevance)

Yaitu berhubungan dengan pokok masalah yang dihadapi. Pertanyaan yang dapat

membantu mengetahui relevansi bernalar seseorang, yaitu apakah elemen bernalar

tersebut relevan, bagaimana elemen bernalar tersebut berhubungan dengan

pertanyaan, apakah elemen benalar tersebut mengandung pokok-pokok masalah,

dan baagaimana elemen bernalar tersebut membantu mengatasi pokok

permasalahan.

5. Kedalaman (depth)

Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui kedalaman bernalar seseorang,

yaitu apakah elemen bernalar cukup dalam atau sangat dangkal, bagaimana

menjawab kekompleksan pertanyaan, apakah dapat dicari sejumlah masalah dari

suatu pertanyaan, dan faktor-faktor apa yang membuat bernalar menjadi sukar.

6. Keluasan (breadth)

Page 24: Final Draft

Yaitu elemen bernalar mengandung beragam sudut pandang. Pertanyaan yang

dapat membantu mengetahui keluasan bernalar seseorang, yaitu apakah perlu

dicari/diduga sudut pandang yang lain, apakah terdapat cara lain untuk melihat

pertanyaan, apakah bernalar ini seperti terlihat sebagai sudut pandang yang

konservatif, bagaimana kita melihat bernalar ini dari sudut pandang yang lain, dan

apakah elemen berpikir ini cukup luas atau apakah perlu dicari data yang lebih

luas.

7. Logis (logic)

Ketika berpikir, kita membawa sejumlah pikiran dalam satu waktu. Ketika

kombinasi berpikir mendukung satu sama lain dan membuat pengertian dalam

kombinasi, maka berpikir menjadi logis. Ketika kombinasi tidak mendukung satu

sama lain, terdapat kontradiksi dalam beberapa pengertian, atau tidak dapat

membuat suatu pengertian maka kombinasi berpikir tersebut tidak logis.

Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui kelogisan bernalar seseorang, yaitu

apakah elemen bernalar tersebut membuat suatu pengertian, apakah ada dampak

dari apa yang disampaikan, dan bagaimana dampaknya.

Karakter intelektual bernalar berhubungan dengan kebiasaan intelektual yang

memungkinkan pebelajar menjadi lebih disiplin dan meningkatkan fungsi mental.

Dosen perlu menanamkan dalam pikiran bahwa berpikir kritis dapat melayani 2 hal

yang bertentangan yaitu berpusat pada diri sendiri atau berprasangka baik terhadap

pikiran orang lain. Ketika pebelajar belajar bagaimana mengakui kesalahan dalam

bernalar, kebanyakan dari mereka akan melihat kesalahan bernalar orang lain tetapi

tidak siap menjelaskan penalaran yang dibuatnya. Mereka akan sangat menyukai

menunjukkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain dan mengembangkan

beberapa kecakapan agar apa yang dipikirkan oleh orang lain terlihat sangat tidak

tepat, tetapi mereka tidak mampu menggunakan pemahaman kesalahan tersebut untuk

menganalisis dan menilai bernalarnya sendiri. Hal ini berarti pebelajar hanya

berkembang menjadi seorang pemikir saja tetapi belum menjadi seorang pemikir

yang terbuka (open-minded). Pemikir yang baik akan berusaha untuk menjadi terbuka

sehingga mereka akan mengembangkan karakter intelektual bernalar berpikir seperti

kerendahan hati intelektual (intellectual humility), keberanian intelektual (intellectual

Page 25: Final Draft

courage), empati intelektual (intellectual empathy), integritas intelektual (intellectual

integrity), ketekunan intelektual (intellectual perseverance), percaya diri dengan

penalarannya (faith in reason), dan berpikir terbuka (faith-mindedness) (Paul, 2008).

1. Kerendahan hati intelektual (intellectual humility)

Adalah pengetahuan tentang hal yang tidak diketahui, sensitivitas terhadap apa

yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Menyadari keterbatasan

pengetahuan seseorang, termasuk sensitivitas terhadap egosentris seseorang,

sensitivitas terhadap bias, prasangka, dan terbatas dengan sudut pandang

seseorang. Kerendahan hati intelektual bergantung pada penghargaan bahwa

seseorang tidak dapat menuntut pada apa yang benar-benar diketahui seseorang.

Hal ini berdampak pada berkurangnya kesombongan intelektual.

2. Keberanian intelektual (intellectual courage)

Adalah kecenderungan untuk menanyakan sesuatu kepercayaan yang dirasakan

benar. Menyadari kebutuhan untuk menghadapi dan memusatkan perhatian pada

ide, kepercayaan, atau sudut pandang. Keberanian ini berhubungan dengan

pengakuan bahwa ide mempertimbangkan bahaya atau kemustahilan yang

terkadang dibenarkan secara rasional (dalam keseluruhan atau sebagian) dan

bahwa kesimpulan dan kepercayaan ditanamkan pada kita terkadang salah atau

menyesatkan. Keberanian intelektual diperlukan karena dapat terjadi kebenaran

muncul dari ide-ide yang dianggap berbahaya atau mustahil, dan menyimpang

atau kesalahan dari beberapa ide yang dipegang teguh oleh kelompok sosial.

3. Empati intelektual (intellectual empathy)

Adalah kesadaran akan kebutuhan untuk mempunyai pandangan-pandangan yang

berbeda dengan pandangan yang dimiliki seseorang. Menyadari kebutuhan

imajinatif menempatkan seseorang pada pikiran orang lain untuk memahami

pikiran orang lain tersebut dengan sungguh-sungguh, yang membutuhkan

kesadaran kecenderungan egosentris untuk mengidentifikasi kebenaran dengan

penglihatan pikiran yang sudah lama ada secara langsung. Karakter ini

berhubungan dengan kemampuan merekonstruksi sudut pandang dan bernalar

orang lain dengan tepat, dan bernalar dari premis, asumsi, dan ide-ide orang lain

daripada bernalar dari premis, asumsi, dan ide-ide diri sendiri.

Page 26: Final Draft

4. Integritas intelektual (intellectual integrity)

Pengakuan kebutuhan kebenaran pikiran seseorang, konsisten dengan standar

intelektual yang diterapkan seseorang, menerapkan apa yang dianjurkan orang

lain, dan jujur mengakui ketidaksesuaian dan ketidakkonsistenan pikiran dan

tindakannya sendiri.

5. Ketekunan intelektual (intellectual perseverance)

Adalah kecenderungan untuk terus bekerja dengan cara yang dipilih meskipun

muncul suatu perasaan frustasi dalam mengerjakannya. Menyadari kebutuhan

menggunakan pengertian mendalam intelektual dan kebenaran meskipun sukar,

terdapat hambatan, dan frustasi; menegaskan ketaatan terhadap prinsip rasional

meskipun dianggap irasional oleh orang lain; pengertian kebutuhan berjuang

dengan pertanyaan yang membingungkan dan tidak tentu selama beberapa lama

untuk mendapatkan pemahaman atau pengertian mendalam yang lebih.

6. Percaya diri dengan penalarannya (faith in reason).

Kepercayaan bahwa minat tinggi seseorang dapat dilayani dengan cara

mendorong orang untuk membuat kesimpulannya sendiri, dengan

mengembangkan kecakapan rasionalnya sendiri, percaya bahwa dengan dorongan

sejati dan perkembangan, orang dapat belajar berpikir untuk dirinya sendiri,

membentuk sudut pandang yang rasional, menggambarkan kesimpulan yang

bernalar, berpikir secara koheren dan logis, mengajak orang lain dengan penalaran

dan menjadi pribadi yang bernalar, meskipun terdapat halangan mendalam dalam

karakter asli pikiran manusia dan dalam masyarakat.

7. Berpikir terbuka (faith-mindedness).

Menyadari kebutuhan membahas beragam sudut pandang, tanpa referensi dari

perasaan orang lain atau minat pribadi, atau perasaan atau minat pribadi orang

lain, komunitas, atau bangsa, mengakibatkan ketaatan terhadap standar intelektual

tanpa referensi terhadap manfaat seseorang atau manfaat sekelompok orang.

D. Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis

Page 27: Final Draft

Pembelajaran dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis

mahasiswa. Melatih berpikir kritis kepada pebelajar tidak serta merta dapat langsung

diketahui hasilnya. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, mahasiswa

harus melalui proses tahapan perkembangan berpikir kritis. Kebanyakan orang tidak

sadar adanya tingkatan-tingkatan perkembangan intelektual yang dilalui untuk

meningkatkan kemampuan berpikirnya.. Menurut Elder dan Paul (2008) ada 6

tingkatan kemampuan berpikir kritis sebagai berikut.

1. Berpikir yang tidak direfleksikan (unreflective thinking)

Para pemikir pada tingkat ini pada umumnya tidak menyadari bahwa peran

berpikir yaitu berpikir berperan penting dalam kehidupannya dan banyak masalah

berpikir menyebabkan masalah dalam kehidupannya. Pemikir kurang mampu

menilai secara eksplisit pemikirannya untuk kemudian meningkatkannya;

kekurangan pengetahuan bahwa berpikir yang berkualitas membutuhkan praktek

teratur dalam pengambilan berpikir terpisah, menilainya secara akurat, dan

meningkatkan kemampuan berpikir secara aktif. Akibatnya adalah gagal untuk

menghargai berpikir sebagai aktivitas yang melibatkan elemen bernalar. Mereka

tidak menyadari standar yang tepat untuk penilaian berpikir yaitu kejelasan,

ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan. Pemikir pada tahap ini

mengembangkan beragam kemampuan berpikir tanpa menyadarinya.

Kemampuan-kemampuan tersebut tidak diterapkan secara konsisten karena

kurang adanya monitor individu terhadap pikirannya.

2. Berpikir yang menantang (challenged thinking)

Pemikir pada tingkat ini bergerak ke tingkatan menantang ketika mereka

menjadi sadar akan peran menentukan dari berpikir yaitu bahwa berpikir berperan

dalam kehidupan mereka, dan fakta bahwa masalah dalam berpikir menyebabkan

mereka serius. Pemikir menyadari bahwa berpikir yang berkualitas membutuhkan

berpikir reflektif yang disengaja tentang berpikir (untuk meningkatkan

kemampuan berpikir) dan menyadari bahwa berpikirnya sering kekurangan tetapi

tidak dapat mengidentifikasikan dimana kekurangannya. Mereka

mengembangkan kesadaran awal berpikir seperti membutuhkan konsep, asumsi,

kesimpulan, implikasi, sudut pandang dan membutuhkan standar penilaian

Page 28: Final Draft

berpikir yaitu kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan meskipun

mereka hanya punya pemahaman awal dari standar-standar tersebut dan apa yang

akan didalaminya. Pemikir mengembangkan beberapa pemahaman peran

penipuan diri sendiri dalam berpikir meskipun pemahamannya terbatas. Pada

tingkat ini mereka mengembangkan beberapa kesadaran reflektif bagaimana

berpikir bekerja secara benar atau salah.

Pemikir pada tingkat ini memiliki kemampuan berpikir yang terbatas.

Meskipun seperti pemikir pada tingkatan pertama, mereka telah mengembangkan

beragam kemampuan berpikir tanpa menyadarinya dan kemampuan-kemampuan

ini bisa menjadi halangan bagi mereka untuk berkembang. Dengan beberapa

kemampuan berpikir kritis yang implisit akan mudah bagi mereka untuk

membohongi dirinya sendiri dengan mempercayai bahwa berpikirnya adalah lebih

baik daripada yang sebenarnya, membuatnya sulit untuk menyadari masalah yang

melekat pada berpikir yang lemah. Menerima tantangan pada tingkat ini

mensyaratkan pemikir yang mendapatkan pengetahuan ke dalam fakta bahwa

kemampuan intelektual apapun yang dimilikinya diterapkan secara tidak

konsisten dalam kehidupannya. Sifat intelektual dasar pada tahap ini adalah

intelektual kerendahan hati dalam melihat masalah yang melekat pada salah satu

berpikirnya.

3. Berpikir permulaan (beginning thinking)

Para pemikir pada tingkat ini mengakui bahwa mereka mempunyai masalah

dasar dalam berpikirnya dan melakukan usaha awal untuk memahami dengan baik

bagaimana mereka dapat memerintah dan meningkatkannya. Berdasarkan

pemahaman awal ini, pemikir pemula mulai memodifikasi beberapa kemampuan

berpikirnya, tetapi memiliki wawasan terbatas dalam tingkatan mendalam dari

masalah yang melekat dalam pikirannya. Mereka kurang memiliki perencanaan

yang sistematis untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya, karena usaha

mereka bersifat untung-untungan.

Pemikir pemula menjadi sadar bukan hanya tentang berpikirnya saja tetapi

juga peran berpikir konsep, asumsi, kesimpulan implikasi, sudut pandang.

Pemikir pemula pada beberapa tingkatan awal mengakui tidak hanya bahwa ada

Page 29: Final Draft

standar penilaian berpikir yaitu kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi,

kelogisan tetapi juga adanya suatu kebutuhan untuk mengaplikasikannya dalam

berpikir. Mereka memiliki pemahaman awal tentang peran berpikir egosentrik

dalam hidupnya.

Pemikir dapat menyadari tinjauan kekuatan berpikirnya, mempunyai

kemampuan yang cukup untuk mulai memonitor pemikirannya sendiri dan mulai

mengakui berpikir egosentrik terhadap mereka dan yang lain. Kunci karakter

intelektual yang dibutuhkan pada tingkatan ini adalah beberapa derajat

kerendahan hati intelektual pada awalnya untuk menghargai masalah yang

melekat di pikiran. Pemikir harus mempunyai beberapa derajat kepercayaan

intelektual bernalar, suatu ciri yang memberikan dorongan untuk menerima

tantangan dan mulai proses perkembangan aktif sebagai pemikir kritis, meskipun

ada pemahaman terbatas tentang apa artinya melakukan penalaran berkualitas

tinggi. Pemikir pemula memiliki ketekunan intelektual yang cukup untuk

berjuang dengan masalah-masalah berpikir yang serius sementara kekurangan

solusi yang jelas terhadap masalah tersebut (dengan kata lain pada tingkatan ini

pemikir mengakui masalah-masalah dalam pikirannya tetapi belum menemukan

cara yang sistematis untuk menyelesaikannya).

4. Berpikir latihan (practicing thinking)

Pemikir pada tingkatan ini memiliki penghargaan terhadap kebiasaan yang

dibutuhkan untuk mengembangkan dan menuntut pikirannya. Mereka tidak hanya

mengakui bahwa masalah ada dalam pikiran, tetapi juga mengakui kebutuhan

memecahkan masalah secara sistematis dan menyeluruh. Berdasarkan rasa

kebutuhan untuk menerapkan secara teratur, pemikir menganalisis pemikirannya

secara aktif dalam sejumlah bidang. Namun karena pemikir pada tingkatan ini

hanya mulai mendekati kemajuan berpikirnya secara sistematis, mereka masih

mempunyai wawasan terbatas dalam tingkatan berpikir yang mendalam, dan

dalam tingkatan mendalam menyimpan masalah dalam pikiran.

Pemikir tidak seperti pemikir pemula, menjadi orang yang berpengetahuan

banyak tentang apa yang akan dilaksanakan untuk memonitor peran dalam

berpikir tentang konsep, asumsi, kesimpulan, implikasi, sudut pandang dan

Page 30: Final Draft

sebagainya. Mereka juga lebih berpengetahuan tentang apa yang akan

dilaksanakan untuk menilai pikirannya secara teratur terhadap kejelasan,

ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan dan sebagainya. Mereka mengakui

kebutuhan berpikir kritis yang sistematis dan internasionalisasi mendalam ke

dalam kebiasaan. Mereka mengakui kecenderungan alami pikiran manusia untuk

ikut serta dalam berpikir egosentrik dan kecurangan diri sendiri dengan jelas.

5. Berpikir lanjut (advanced thinking)

Pemikir tingkat ini telah mampu membentuk kebiasaan berpikir yang baik.

Berdasarkan kebiasaannya pemikir tidak hanya aktif menganalisis pikirannya

dalam setiap hal kehidupannya saja tetapi juga telah memiliki pengetahuan yang

penting tentang masalah pada tingkat berpikir yang mendalam. Namun ternyata

mereka belum mampu berpikir pada tingkat yang lebih tinggi secara konsisten

pada semua dimensi kehidupannya. Pemikir mempunyai perintah umum yang

baik dalam sifat egosentriknya. Mereka berusaha untuk tidak berat sebelah,

namun terkadang kehilangan egosentrisme dan penalaran pada satu sisi.

Untuk memulai mengembangkan pemahaman mendalam tidak hanya

kebutuhan praktek berpikir yang sistematis tetapi juga pengetahuan tingkat

berpikir masalah yang dalam; pengakuan yang konsisten, contohnya berpikir

egosentrik dan sosiosentrik, kemampuan mengidentifikasi ketidaktahuan dan

prasangka dan kemampuan mengembangkan kebiasaan mendasar berpikir

berdasarkan nilai-nilai yang telah dilaksanakannya.

Pemikir sangat aktif dan berhasil melaksanakan monitoring peranan berpikir

konsep, asumsi, kesimpulan, implikasi, sudut pandang secara sistematis dan

memiliki pengetahuan yang baik dalam berusaha. Mereka juga banyak

pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan untuk menilai pemikirannya dalam

hal kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan. Mereka menilai

internalisasi berpikir kritis dalam kebiasaannya sehari-hari secara mendalam dan

sistematis. Mereka juga memiliki ketajaman pengetahuan terhadap peran

egosentrisme dan sosiosentrisme dalam berpikir sebaik hubungan antara berpikir,

perasaan dan hasrat. Mereka memiliki pemahaman yang baik terhadap peran

berpikir dalam kehidupannya, memahami bahwa berpikir egosentrik akan

Page 31: Final Draft

berperan dalam pikirannya tetapi mereka juga dapat mengontrol kekuatan

egosentrisme dalam pikiran dan kehidupannya.

Pemikir pada tingkat ini meninjau dan meningkatkan perencanaan yang dibuat

secara teratur untuk mempraktekkannya secara sistematis. Mereka secara teratur

meninjau pikirannya sendiri, mempunyai pengetahuan untuk menyampaikan

kekuatan dan kelemahan berpikirnya, mempunyai pengetahuan tentang kualitas

berpikirnya, secara konsisten mampu mengidentifikasi kapan berpikirnya diatur

oleh sifat egosentrisme, dan menggunakan sejumlah strategi yang efektif untuk

mengurangi kekuatan dari berpikir egosentrisnya.

6. Berpikir yang unggul (master thinking)

Pemikir pada tingkat ini tidak hanya memerintah pikirannya secara sistematis

tetapi juga memonitor, meninjau kembali, dan berpikir ulang strategi-strategi

untuk meningkatkan berpikirnya secara kontinu. Mereka menginternalisasi secara

mendalam kemampuan dasar berpikir, sehingga berpikir kritis bagi mereka

dilakukan secara sadar dan menggunakan intuisi yang tinggi. Menurut Piaget,

pemikir pada tingkat ini meningkatkan berpikirnya secara teratur ke tahap

realisasi kesadaran. Dengan pengalaman yang luas dan praktek dalam penilaian

sendiri, mereka tidak hanya aktif menganalisis berpikirnya dalam setiap aspek

kehidupannya tetapi juga mengembangkan pengetahuan baru terhadap masalah-

masalah pada tingkat berpikir yang lebih dalam. Mereka berusaha berpikir secara

tidak berat sebelah dan memiliki tingkat berpikir yang tinggi walaupun tidak

sempurna dalam mengontrol sifat egosentrisnya. Prinsip tantangan adalah

membangun tingkatan tertinggi intuisi berpikir kritis dalam setiap segi

kehidupannya, menginternalisasi berpikir kritis yang efektif antar disiplin ilmu

dan praktek.

Pemikir tidak hanya memonitor peran berpikir tentang konsep, asumsi,

kesimpulan, implikasi, sudut pandang tetapi juga meningkatkan praktek

kemampuan tersebut. Mereka tidak hanya memiliki derajat pengetahuan berpikir

yang tinggi tetapi juga derajat praktek pengetahuan yang tinggi. Mereka menilai

pikiran tentang kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi dan kelogisan secara

intuitif. Mereka juga memiliki pengetahuan mendalam terhadap internalisasi

Page 32: Final Draft

berpikir kritis secara sistematis dalam kebiasaannya, memahami peran berpikir

egosentrik dan sosiosentrik dalam kehidupan manusia sebaik hubungan antara

berpikir, emosi, dan tingkah laku.

Pemikir meninjau dan meningkatkan penggunaan berpikir dalam kehidupan

sehari-hari secara teratur dan efektif, menyampaikan kekuatan dan kelemahan

dalam berpikirnya. Pengetahuan mereka tentang kualitas berpikirnya sangat baik,

meskipun mereka menyadari kekurangan (karena harus berperang melawan

egosentriknya), mereka berpikir kritis secara konsisten dan efektif dalam

kehidupannya.

E. Berpikir Matematis

Berpikir matematis merupakan hal yang penting karena berpikir matematis

merupakan tujuan sekolah yang penting, berpikir matematis penting dalam cara

belajar matematika, berpikir matematis penting untuk mengajarkan matematika.

Berpikir matematis merupakan aktivitas sangan sangat kompleks, dan terdapat 2

pasang proses dalam berpikir matematis yaitu mengkhususkan (specialising)-

menggeneralisasi (generalising), dan menduga (conjecturing)-meyakinkan

(convincing). Menurut Stacey (2008), berpikir matematis membantu guru dalam

menyelesaikan masalah matematika yang mensyaratkan penggunaan luas

keterampilan dan kemampuan matematika yaitu pengetahuan matematis yang

mendalam, kemampuan bernalar, pengetahuan strategi heuristik, sikap dan

kepercayaan yang berguna (seperti pandangan bahwa matematika akan sangat

berguna), atribut pribadi seperti kepercayaan diri, tekun, dan organisasi, dan

keterampilan untuk mengkomunikasikan penyelesaian. Pengetahuan matematis yang

mendalam, kemampuan bernalar, pengetahuan strategi heuristik merupakan bagian

berpikir matematis.

Beberapa pakar mendeskripsikan berpikir matematis yang memusatkan pada

problem solving (Polya, 1962; Feuerstein, 1980; Mason et al ,1982; Schoenfeld,

1984; Romberg,1993 dalam Watson, 2001) sedangkan pakar yang lain mengaitkan

perkembangan pemahaman konseptual dalam matematika (Krutetskii, 1976; Tall,

1991 dalam Watson, 2001). Menurut Choi-Koh & Jung, terdapat tiga tipe berpikir

Page 33: Final Draft

matematis yaitu berpikir induktif, berpikir deduktif, dan berpikir kreatif. Burton

(dalam Choi-Koh & Jung) mengidentifikasi 4 proses kognitif dalam berpikir

matematis yaitu mengkhususkan (specializing), menggeneralisasi (generalization),

menduga (conjecturing), dan meyakinkan (convincing). Hal ini senada dengan

pernyataan Mason, Burton, & Stacey (dalam Stacey, 2008) yang mengidentifikasi 4

proses dasar berpikir matematis yaitu mengkhususkan (mencoba kasus-kasus khusus),

menggeneralisasi (mencari pola dan hubungan), menduga (memprediksi hubungan

dan hasil), dan meyakinkan (mencari dan mengkomunikasikan bernalar terhadap

sesuatu adalah benar).

Burton menyatakan bahwa berpikir adalah sarana yang digunakan manusia untuk

meningkatkan pemahamannya. Pernyataaannya adalah sebagai berikut.

“Thinking is the means used by humans to improve their understanding of, and exert some control over, their environment".

Menurut Burton, berpikir matematis bersifat matematis bukan karena merupakan

berpikir tentang matematika tetapi karena operasinya bergantung pada operasi-operasi

matematis. Kunci mengenal dan menggunakan berpikir matematis terletak pada

menciptakan atmosfer yang membangun kepercayaan diri untuk bertanya, menantang

dan merefleksikan karena merupakan pengakuan atas kebutuhan sejumlah asumsi,

negosiasi pengertian, membuat pertanyaan, membuat dugaan, mencari pembenaran

dan menyatakan argumen, mengecek dan memodifikasi, dan menyadari beberapa

pendekatan yang berbeda.

Berpikir deduktif dan induktif memegang peran yang penting dalam aktivitas

eksplorasi. Induksi meliputi menggambar kesimpulan untuk menghasilkan hipotesis

yang meluaskan pengetahuan (Holyyork & Nisbett dalam Choi-Koh & Jung).

Penarikan kesimpulan dilakukan sebagai proses menggeneralisasi pola. Kemampuan

mengidentifikasi, menganalisis, menggambarkan, dan menggeneralisasi pola adalah

aktivitas eksplorasi dasar. Sebagai contoh pada proses eksplorasi, penggunaan

kalkulator sangat berguna dalam mengolah sejumlah bilangan hingga bilangan yang

multi digit seperti 1000000000. Berkaitan dengan pola dalam bilangan, pengukuran,

dan geometri, generalisasi pola dihasilkan dalam melengkapi formula dan membantu

Page 34: Final Draft

siswa memahami hubungan antara beragam topik-topik matematis. Hubungan ini

mengembangkan perkembangan berpikir kreatif karena siswa menguatkan sejumlah

tipe berpikir matematis yang merupakan dasar ide-ide matematis yang abstrak.

Berpikir deduktif adalah suatu proses yang sistenatis dengan tujuan

menggambarkan validnya konsekuensi dari suatu pernyataan yang diberikan. Sebagai

contoh, deduksi digunakan untuk menginterpretasikan dan memformulasi

pembelajaran, merencanakan tindakan, aturan, dan prinsip-prinsip umum. Berpikir

deduktif dapat pula digunakan untuk menilai data, menentukan konsekuensi asumsi

dan hipotesis dan memutuskan ide-ide yang berkompeten. Pada kebanyakan aktivitas

eksplorasi, ahli matematika memberikan situasi masalah, siswa mencari variabel dan

membangun, serta membuktikan formula berdasarkan relasi diantaranya. Pada

kegiatan ini berpikir analitis dimanfaatkan.

Stacey menganggap berpikir matematis sebagai suatu proses. Banyak cara untuk

memandang berpikir matematis. Stacey (2005) memberikan kajian bagaimana

berpikir matematis dibicarakan dalam kurikulum Australia, Inggris, dan Amerika.

Schoenfield (dalam Stacey, 2008) merupakan salah seorang ahli yang bekerja dengan

problem solving matematis mengutarakan 4 hal penting yaitu adanya sumber

pengetahuan matematis dan keterampilan yang siswa bawa ketika mengerjakan tugas,

strategi heuristik yang dapat digunakan siswa untuk menyelesaikan masalah,

monitoring dan kontrol yang digunakan siswa dalam proses problem solving untuk

membimbing mereka mencapai tujuan, dan kepercayaan bahwa siswa menguasai

matematika meskipun mereka dapat atau tidak dapat menyelesaikan masalah.

McLeod (dalam Stacey, 2008) melengkapi pandangan ini dengan menjelaskan secara

rinci pengaruh penting berpikir matematis dalam problem solving matematis.

Mampu menggunakan berpikir matematis dalam menyelesaikan masalah adalah

salah satu tujuan mendasar mengajarkan matematika tetapi juga merupakan tujuan

yang paling sukar untuk dipahami. Hal ini merupakan tujuan pokok mengajar dimana

siswa dapat melakukan investigasi matematis sendiri dan mampu mengidentifikasi

penggunaan matematika yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Menurut

Paul Halmos (dalam Stacey) problem solving adalah jantung matematika.

Page 35: Final Draft

Kemampuan berpikir secara matematis dan menggunakan berpikir matematis

untuk menyelesaikan masalah merupakan tujuan penting di sekolah. Hal ini karena

berpikir matematis akan mendukung pengetahuan alam, teknologi, kehidupan

ekonomi, dan perkembangan ekonomi. Pemerintah mnegakui bahwa kehidupan

ekonomi yang baik dalam suatu negara ditandai adanya melek matematis (PISA, 2006

dalam Stacey, 2008). Melek matematis adalah suatu program OECD PISA yaitu

program asesmen terhadap siswa berusia 15 tahun. Melek matematis adalah

kemampuan mnggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam dunia

kerja. Asesmen PISA menyajikan sejumlah masalah dalam konteks yang nyata

kepada siswa. Kerangka yang digunakan PISA menunjukkan bahwa melek matematis

melibatkan banyak komponen dalam berpikir matematis termask bernalar,

memodelkan dan membuat hubungan antar ide-ide matematis. Jelas bahwa berpikir

matematis merupakan hal penting dalam pengukuran besar karena melengkapi siswa

kemampuan menggunakan matematika dan merupakan keluaran yang penting

bersekolah. Sekolah perlu memberikan siswa rasa petualangan intelektual yang dapat

diberikan dalam matematika.

Morony, Hogan, & Thornton, 2004; Willis, 1998 (dalam Hurst) menyatakan

bahwa terdapat 3 cara (mode) berpikir sebagai berikut.

1. Pengetahuan matematis, yaitu keterampilan, teknik dan konsep yang

diperlukan untuk menyelesaikan masalah kuantitatif yang dihadapi dalam konteks

nyata.

2. Pengetahuan kontekstual, yaitu kesadaran dan pengetahuan bagaimana

konteks mempengaruhi matematika yang digunakan.

3. Pengetahuan strategi, yaitu kepercayaan diri, karakteristikdan

keterampilan untuk mencari apa yang perlu diketahui untuk menyelesaikan

masalah

Berikut ini indikator perilaku siswa untuk masing-masing cara berpikir di atas.

Indikator

Pengetahuan matematis Pengetahuan kontekstual Pengetahuan strategi

1. Menyebutkan atau mengidentifikasi item-item khusus

1. Interpretasi data khusus yang memuat konteks

1. Memprediksi bagaimana data digunakan untuk mengembangkan

Page 36: Final Draft

informasi matematis.2. Mengenal

dan mengulangi pernyataan contoh informasi matematis

3. Menggunakan informasi statistis untuk menampilkan oprasi matematis

4. Proses bertanya yang mesyaratkan penggunaan operasi matematis.

dan/atau pertanyaanyang mensyaratkan adanya interpretasi data matematis tertentu.

2. Menggambarkan ide-ide matematis yang mmuat informasi kontekstual.

3. Menambahkan atau meramalkan berdasarkan aspek-aspek data.

4. Proses bertanya yang menyarankan adanya hubungan antara aspek-aspek data yang berbeda dan menggunakan data untuk menjelaskan hubungan tersebut.

ide-ide baru.2. Mengembang

kan skema atau metode merepresentasikan data.

3. Mengevaluasi aspek data untuk menjelaskan isu-isu yang berkaitan dan membuat keputusan.

4. Proses atau respon bertanya yang mensyaratkan evaluasi aspek data.

Livne, Livne, & Wight (2008) menyatakan bahwa terdapat 2 jenis berpikir

matematis sebagai berikut.

1. Berpikir akademik

Berpikir akademik merujuk pada standar, kemampuan analitik bernalar matematis

yang logis secara konsisten.

2. Berpikir kreatif

Berpikir kreatif merujuk pada kemampuan merasakan pola yang kompleks dan

hubungan dalam cara asli, menggeneralisasi ide yang menghasilkan beragam

penyelesaian masalah matematis, dan mengevaluasi kualitas penyelesaian.

Berpikir kreatif diukur dengan banyaknya cara penyelesaian atau banyaknya

selesaian dimana terdapat satu selesaian standar dan elesaian yang lain adalah

alternatif. Fakta empiris menunjukkan berpikir matematis kreatif siswa

diwujudkan dalam beragam cara penyelesaian terhadap masalah open-ended.

Menurut Har terdapat tiga aspek berpikir matematis yaitu visualisasi, membuat

pola, dan pengertian bilangan. Visualisasi adalah kemampuan pikiran bekrja dengan

ide-ide abstrak untuk menganalisis dan mensintesis ide. Membuat pola adalah

Page 37: Final Draft

kemampuan pikiran untuk melihat tren dan mengidentifikasi hubungan di atara 2 atau

lebih variabel. Sedangkan pengertian bilangan adalah kemampuan pikiran dalam

membuat generalisasi berdasarkan kasus tertentu yang dikrjakan.

F. Berpikir Kritis dalam Matematika

Pada KTSP dijelaskan bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar peserta

didik memiliki kemampuan, yaitu (1) memahami konsep matematika, menjelaskan

keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes,

akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan penalaran

pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,

menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3)

memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang

model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4)

mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel diagram, atau media lain untuk

memperjelas keadaan atau masalah, serta (5) memiliki sikap menghargai kegunaan

matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat

dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan

masalah (Depdiknas, 2006).

Kemampuan matematika yang harus dimiliki oleh siswa pada jenjang pendidikan

dasar dan menengah harus dimiliki pula oleh mahasiswa matematika. Committee on

the Undergraduate Program in Mathematics (CUPM, 2004) memberikan 6

rekomendasi dasar untuk jurusan, program dan semua mata kuliah dalam matematika.

Salah satu rekomendasinya menerangkan bahwa setiap mata kuliah dalam

matematika hendaknya merupakan aktivitas yang akan membantu mahasiswa dalam

pengembangan analitis, penalaran kritis, pemecahan masalah dan keterampilan

komunikasi.

Glazer (2001) memberikan definisi berpikir kritis dalam matematika sebagai

berikut.

“Critical thinking in mathematics is the ability and disposition to incorporate prior knowledge, mathematical reasoning, and cognitive strategies to generalize, prove, or evaluate unfamiliar mathematical situations in a reflective manner.”

Page 38: Final Draft

Sedangkan Rochaminah (2008) mendefinisikan kemampuan berpikir kritis matematis

diartikan sebagai serangkaian kemampuan berpikir non prosedural yakni berupa

kemampuan menemukan analogi, analisis, evaluasi, memecahan masalah tidak rutin

dan membuktian. Pada saat proses pembelajaran, dosen melibatkan mahasiswa dalam

pembelajaran dan menciptakan situasi dan kondisi yang membuat mahasiswa mampu

mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan

kemampuan berpikir kritis matematis pembelajaran harus difokuskan pada

pemahaman konsep dengan berbagai pendekatan daripada keterampilan prosedural

(Furner & Robinson , 2004).

Pott (1994) menyatakan ada tiga strategi spesifik untuk pembelajaran kemampuan

berpikir kritis, yakni membangun kategori, mencari masalah, dan menciptakan

lingkungan yang mendukung (fisik dan intelektual).

1. Strategi membangun kategori

Strategi membangun kategori merupakan penalaran induktif yang membantu

mahasiswa mengkategorikan informasi dengan penemuan aturan dibandingkan

hanya dengan mengingat. Mahasiswa membangun pemahaman suatu konsep

melalui pengamatan sifat-sifat bersama yang dimiliki dan sifat-sifat yang tidak

dimiliki. Pembelajaran aktif seperti itu menghasilkan pemahaman konsep yang

baik dan bertahan lama dan lebih memungkinkan untuk mengaitkan materi

dibandingkan dengan metode pengajaran langsung.

2. Strategi mencari masalah

Salah satu keterampilan berpikir praktis yang penting adalah pengetahuan

bagaimana mengidentifikasi masalah. Strategi mencari masalah adalah suatu cara

menyusun tugas sehingga pebelajar menggunakan keterampilan yang sama

dengan keterampilan yang digunakan dalam memecahkan masalah yang dihadapi

dalam kehidupan sehari-hari. Tugas dikembangkan dalam bentuk masalah yang

tidak menyatakan secara eksplisit variabel atau aspek masalah yang akan dicari.

Untuk mencapai suatu pemahaman konsep, identifikasi masalah dapat membantu

menciptakan suasana berpikir bagi peserta didik. Keberhasilan dalam

pembelajaran ini ditentukan pula oleh terciptanya keadaan pada saat proses

pembelajaran yang menyenangkan.

Page 39: Final Draft

3. Strategi menciptakan lingkungan yang mendukung.

Berpikir kritis dalam kelas difasilitasi oleh lingkungan fisik dan intelektual yang

mendorong semangat untuk menemukan. Salah satu lingkungan fisik yang

mendukung berpikir kritis dalam kelas adalah susunan tempat duduk mahasiswa.

Bila tempat duduk mahasiswa disusun sedemikian sehingga mahasiswa dapat

saling berinteraksi dengan mahasiswa yang lain dan dengan dosen ini membantu

mahasiswa untuk berpikir kritis.

Upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis difokuskan pada pemberian

kesempatan mahasiswa untuk membangun pengetahuan secara aktif artinya

pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh mahasiswa baik secara

individu maupun kelompok dengan menggunakan belajar kooperatif. Hal ini

dikarenakan pendidikan merupakan proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa

adanya interaksi antar mahasiswa. Aktivitas belajar dan bekerja secara kooperatif

dalam kelompok kecil dapat mengakomodasi perkembangan kemampuan berpikir

kritis matematis.

Menurut Marcut (2005), matematika adalah disiplin ilmu yang berdasarkan pada

berpikir rasional, jelas, merupakan bahasa dan perhatian dalam teknik pengambilan

keputusan yang digunakan untuk menggambarkan kesimpulan. Berpikir kritis dalam

matematika akan menjadikan pebelajar mampu mengorganisasi dan menggabungkan

berpikir matematis melalui komunikasi, mengkomunikasikan berpikir matematisnya

secara koheren dan jelas kepada pebelajar yang lain, guru, dan orang lain,

menganalisis dan mengevaluasi berpikir matematis dan strategi, menggunakan bahasa

matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematis dengan tepat.

G. Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis dalam Matematika

Bloom dan koleganya pada tahun 1956 menghasilkan suatu dokumen yang

bernama The Taxonomy of The Cognitive Domain yang menyatakan bahwa

pengetahuan disusun dalam 6 jenjang yang hirarkis yaitu pengetahuan (knowledge),

pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis

(synthesis), dan evaluasi (evaluation). Seddon (dalam Huitt, 1998) menyatakan bahwa

lebih dari 40 tahun para peneliti telah menemukan bahwa empat jenjang yang pertama

Page 40: Final Draft

berurutan, mulai dari yang paling bawah yaitu pengetahuan dilanjutkan jenjang di

atasnya yang lebih sukar yaitu pemahaman, dilanjutkan aplikasi, dan analisis;

sedangkan sintesis dan evaluasi dapat menjadi satu kesatuan, dapat terpisahkan,

ataupun dapat ditukar urutannya. Dalam taksonomi ini, khususnya sintesis dan

evaluasi berhubungan dengan berpikir tingkat tinggi yaitu berpikir kritis dan berpikir

kreatif. Huitt (1998) menyatakan sebagai berikut.

“‘Synthesis and evaluation are two types of thinking that have much in common (the first four levels of Bloom's taxonomy), but are quite different in purpose. Evaluation (which might be considered equivalent to critical thinking as used in this document) focuses on making an assessment or judgment based on an analysis of a statement or proposition. Synthesis (which might be considered more equivalent to creative thinking) requires an individual to look at parts and relationships (analysis) and then to put these together in a new and original way.”

Selanjutnya taksonomi ini lebih dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom

mengklasifikasikan tingkat berpikir ke dalam enam tingkat, yaitu: pengetahuan

(knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis

(analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Salah satu alasan konstuksi

ini adalah bahwa keterampilan yang lebih rendah diperlukan untuk dapat

menggunakan keterampilan yang lebih tinggi. Keterampilan pemahaman memerlukan

syarat dipenuhinya keterampilan pengetahuan. Taksonomi ini membimbing proses

berpikir dari keterampilan kognitif yang sederhana hingga keterampilan kognitif yang

lebih kompleks.

Pada tahun 1999, Anderson mempublikasikan Taksonomi Bloom yang direvisi.

Menurut Anderson & Krathwohl (2001), Forehand (2008) serta Pohl (2000),

taksonomi Bloom yang direvisi ini adalah mengingat (remembering), memahami

(understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analysis), mengevaluasi

(evaluation), dan mencipta (creating).

a. Mengingat (remembering).

Mengingat ini terdiri dari mengenali dan mengingat informasi yang relevan dari

memori jangka panjang. Sub keterampilan dari mengingat ini adalah mengenali,

mendaftar, dan menggambarkan informasi.

b. Memahami (understanding).

Page 41: Final Draft

Memahami adalah membuat pengertian sendiri terhadap material pendidikan yaitu

konsep dan ide. Sub keterampilan dari memahami ini adalah interpretasi,

klasifikasi, membandingkan, menjelaskan, dan meringkas ide atau konsep.

c. Menerapkan (applying).

Menerapkan merujuk pada menggunakan prosedur yang dipelajari pada situasi

baru atau situasi yang sudah dikenal.

d. Menganalisis (analysis)

Pada jenjang ini, informasi dipecah ke dalam bagian untuk menggali pemahaman

dan hubungan. Sub keterampilan analisis antara lain membandingkan,

mengorganisasi, dekonstruksi, menginterogasi, dan menemukan informasi.

e. Mengevaluasi (evaluation).

Pada taksonomi asli, evaluasi merupakan jenjang yang tertinggi. Pada jenjang ini,

dilakukan penilaian terhadap keputusan yang dibuat. Sub keterampilan evaluasi

antara lain mengecek, membuat hipotesis, mengkritisi, dan menilai.

f. Mencipta (creating).

Mencipta tidak termasuk di dalam taksonomi asli, dan pada taksonomi revisi ini

merupakan komponen yang tertinggi. Keterampilan ini melibatkan penggunaan

beberapa hal untuk menciptakan sesuatu yang baru. Pebelajar pada jenjang ini

dapat menggeneralisasi, merencanakan, dan menghasilkan suatu produk.

Way (2003) membagi level pemahaman (comprehension) Taksonomi Bloom yang

diterapkan dalam matematika menjadi dua kategori yaitu: translasi (translation) dan

interpretasi (interpretation), sehingga tingkatan berpikir yang digunakan dalam

matematika menjadi tujuh level seperti berikut.

1. Pengetahuan (knowledge) atau ingatan (recall) atau komputasi (computation).

Pada jenjang ini pebelajar dituntut untuk mampu menggali atau mengingat

kembali (memory) pengetahuan yang telah disimpan di dalam skemata struktur

kognitifnya. Hal-hal yang termasuk ke dalam jenjang kognitif ini adalah berupa

pengetahuan tentang fakta dasar, terminologi (peristilahan), atau manipulasi yang

sifatnya sudah rutin (algoritma).

Page 42: Final Draft

2. Pemahaman (comprehension).

Pemahaman (comprehension) merepresentasikan jenis pemahaman atau

pengertian dimana individu mengetahui apa yang dapat dikomunikasikan dan

dapat menggunakan material atau ide yang dikomunikasikan tanpa perlu

menghubungkannya dengan material lain atau melihat kesempurnaan

implikasinya. Translasi adalah kemampuan pebelajar untuk mengubah informasi

ke dalam simbol atau bahasa yang berbeda. Sedangkan interpretasi adalah

kemampuan pebelajar untuk mencari hubungan antara definisi, fakta, konsep,

prinsip, aturan, generalisasi, nilai, dan keterampilan.

3. Penerapan (application).

Penerapan (application) adalah kemampuan untuk memilih, menggunakan, dan

menerapkan dengan tepat suatu teori atau cara pada situasi baru. Mahasiswa

dalam menyelesaikan masalah membutuhkan identifikasi masalah, memilih dan

menggunakan generalisasi dan keterampilan yang tepat. Jenjang aplikasi ini

melibatkan sejumlah respon. Respon tersebut ditransfer ke dalam situasi baru

yang berarti konteksnya berlainan. Bloom dan kawan-kawan membagi ke dalam

empat bagian, yaitu: kemampuan untuk menyelesaikan masalah rutin;

kemampuan untuk membandingkan; kemampuan untuk menganalisis data, dan

kemampuan untuk mengenal pola, isomorfisma dan simetri.

4. Analisis (analysis).

Analisis (analysis) adalah kemampuan untuk merinci atau menguraikan suatu

masalah (soal) menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (komponen) serta mampu

untuk memahami hubungan diantara bagian-bagian tersebut. Pada jenjang ini,

mahasiswa menyelesaikan masalah dengan pengetahuan yang disadari sebagai

bagian bentuk berpikir. Kemampuan mahasiswa untuk memecahkan masalah non

rutin termasuk ke dalam jenjang ini, yaitu kemampuan untuk mentransfer

pengetahuan matematika yang telah dipelajari terhadap konteks baru.

Penyelesaian masalah bisa berupa menguraikan suatu masalah menjadi bagian-

bagian atau kesatuan kemudian mengkaji, serta menyusun kembali bagian-bagian

tersebut menjadi suatu kesatuan sehingga merupakan penyelesaian akhir. Tahap

Page 43: Final Draft

analisis ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: analisis terhadap elemen, analisis

terhadap hubungan dan analisis terhadap aturan.

5. Sintesis (synthesis).

Sintesis (synthesis) adalah kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari

suatu proses analisis. Sintesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-

bagian atau unsur-unsur secara logis sehingga menjadi suatu pola terstruktur atau

bentuk baru. Pada jenjang ini, mahasiswa menyelesaikan masalah yang

membutuhkan kemampuan berpikir kreatif dan orisinal. Kemampuan untuk

menemukan hubungan, kemampuan menyusun pembuktian, dan kemampuan

berpikir kritis termasuk kemampuan ini.

6. Evaluasi (evaluation).

Evaluasi (evaluation) adalah kemampuan seseorang untuk dapat memberikan

pertimbangan terhadap suatu situasi, ide, metode berdasarkan suatu patokan atau

kriteria. Pada jenjang ini, mahasiswa membuat keputusan baik/buruk, benar/salah

berdasarkan standar nilai. Setelah memberikan pertimbangan dengan matang

dilanjutkan dengan memberikan suatu kesimpulan.

Taksonomi Bloom menggunakan jenjang keterampilan berpikir tingkat tinggi

untuk menghubungkan berpikir kritis dan kreatif. Lamb (2003) menyatakan bahwa

berpikir kritis melibatkan berpikir logis dan penalaran sedangkan berpikir kreatif

melibatkan menciptakan (create) sesuatu yang baru atau sesuatu yang lain, berpikir

kritis dapat diajarkan dengan lebih banyak menggunakan otak kiri sedangkan berpikir

kreatif banyak menggunakan otak kanan, serta ketika berbicara tentang HOTS

“higher-order thinking skills” maka yang dimaksud adalah tiga jenjang yang paling

atas dari taksonomi Bloom yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi. Tingkat berpikir

pengetahuan dan pemahaman dianggap sebagai tingkat berpikir yang rendah

sedangkan aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai berpikir tingkat tinggi

(Burris, 2005). Sedangkan menurut Crawford (2002) jenjang yang berasosiasi dengan

HOTS adalah jenjang sintesis dan evaluasi.

Peneliti seperti Ennis dan Facione menyatakan bahwa meskipun berpikir kritis

mencakup aspek-aspek berpikir tingkat tinggi namun kedua konsep tidak dapat

disamakan. Menurut Facione (1990), berpikir kritis, problem solving, berpikir kreatif,

Page 44: Final Draft

dan membuat keputusan adalah satu kesatuan yang berhubungan erat dengan berpikir

tingkat tinggi. Ennis (1993) juga menyatakan bahwa berpikir kritis dapat digabung

dengan berpikir tingkat tinggi.

Untuk menilai apakah seseorang termasuk kategori pemikir kritis yang baik

ataukah pemikir kritis yang kurang, dapat dilihat dari apakah orang tersebut mampu

menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi dan menyimpulkan, dapat menjelaskan

apa yang dipikirkannya dan bagaimana orang tersebut membuat keputusan, dapat

menerapkan kekuatan berpikir kritis pada dirinya sendiri dan meningkatkan

kemampuan berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat yang dibuatnya. Facione

(2009) mengungkapkan tentang keterampilan kognitif yang merupakan inti dari

berpikir kritis yaitu interpretasi (interpretation), analisis (analysis), evaluasi

(evaluation), penyimpulan (inference), penjelasan (explanation), dan regulasi diri

(self-regulation).

a. Interpretasi (interpretation).

Interpretasi adalah memahami dan menyatakan pengertian atau signifikansi dari

beragam pengalaman, situasi, data, peristiwa, keputusan, konvensi, kepercayaan,

aturan, prosedur atau kriteria. Interpretasi memiliki sub keterampilan yaitu

mengkategorisasi, menguraikan arti, dan menjelaskan pengertian. Beberapa

contoh pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan

interpretasi, yaitu bagaimana mengakui adanya suatu masalah dan

menggambarkan masalah dengan jelas tanpa menimbulkan bias, bagaimana

mengkonstruksi pengkategorian sementara atau cara mengorganisasi sesuatu yang

dipelajari, serta apa yang sesungguhnya dipelajari dari suatu topik matematika

tertentu.

b. Analisis (analysis).

Analisis adalah mengidentifikasi hubungan antara pernyataan, pertanyaan,

konsep, deskripsi atau bentuk lain dari representasi yang diharapkan untuk

mengungkapkan kepercayaan, keputusan, pengalaman, alasan, informasi atau

opini. Analisis ini memiliki sub keterampilan yaitu menguji ide, mendeteksi

argumen, dan menganalisis argumen. Beberapa contoh pertanyaan yang

mendorong keterampilan analisis adalah bagaimana mengidentifikasi persamaan

Page 45: Final Draft

dan perbedaan dua atau lebih pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan

suatu masalah, bagaimana mengidentifikasi asumsi yang belum diungkapkan,

bagaimana mengkonstruksi suatu cara untuk merepresentasikan kesimpulan dan

beragam alasan yang diberikan untuk mendukung atau mengkritiknya.

c. Evaluasi (evaluation).

Evaluasi adalah menilai kredibilitas dari suatu pernyataan atau representasi lain

yang dilaporkan atau deskripsi dari persepsi, pengalaman, situasi, keputusan,

kepercayaan, atau opini dari seseorang; dan menilai kekuatan logis dari hubungan

antara pernyataan, deskripsi, pertanyaan dan bentuk representasi yang lain. Sub

keterampilan evaluasi adalah menilai argumen dan menilai klaim. Contoh

pertanyaan yang dapat dikembangkan untuk mengasah keterampilan evaluasi

adalah bagaimana menilai kredibilitas seseorang, bagaimana kekuatan dan

kelemahan interpretasi alternatif, bagaimana menentukan kredibilitas sumber

informasi, bagaimana menjelaskan dua pernyataan yang saling kontradiktif.

d. Penyimpulan (inference).

Penyimpulan adalah mengidentifikasi dan menjamin elemen yang dibutuhkan

untuk menggambarkan kesimpulan yang bernalar, membentuk dugaan

(conjecture) dan hipotesis, mempertimbangkan informasi yang relevan. Sub

keterampilan dari penyimpulan adalah mendaftar fakta-fakta dan dugaan

alternatif, dan menggambarkan kesimpulan. Sebagai contoh dari penyimpulan

adalah memprediksi sesuatu berdasarkan informasi yang ada, mensintesis ide-ide

yang berhubungan dengan perspektif yang koheren, mengembangkan beberapa

alternatif pemecahan masalah dari suatu masalah yang muncul berdasarkan data-

data.

e. Penjelasan (explanation).

Yaitu mampu untuk menyampaikan cara berpikir seseorang dengan cara yang

meyakinkan dan koheren. Hal ini berarti mampu menyatakan dan memberikan

penilaian terhadap bernalar secara jelas, konseptual, metodologis, kriteriologis,

dan kontekstual serta mampu menyatakan penalaran seseorang dalam bentuk

argumen yang jelas. Sub keterampilan dari penjelasan ini adalah menggambarkan

metode dan hasil, menilai prosedur, menyampaikan dan mempertahankan

Page 46: Final Draft

pendapat dengan penalaran yang logis, menyampaikan argumen yang menyeluruh

dan bernalar dalam hal mendapatkan pemahaman yang terbaik. Beberapa

contohnya adalah mengkonstruksi chart yang mengorganisasi hasil temuan

seseorang, menyatakan hasil penelitian dan menggambarkan metode dan kriteria

yang digunakan untuk mendapatkan hasil tersebut, mendesain display grafis yang

merepresentasikan hubungan subordinat dan superordinat di antara konsep dan

ide dengan tepat, menyebutkan fakta-fakta yang mendukung untuk menyetujui

atau menolak suatu kesimpulan.

f. Regulasi diri (self-regulation).

Adalah suatu kesadaran diri untuk memonitor aktivitas kognitif seseorang, elemen

yang digunakan dalam aktivitas tersebut, dan hasil yang didapatkan, khususnya

dengan menerapkan keterampilan analisis dan evaluasi terhadap keputusan yang

diambil seseorang dengan maksud bertanya, mengkonfirmasi, memvalidasi atau

memeriksa penalaran seseorang. Sub keterampilan dari regulasi diri ini adalah

pengujian sendiri dan koreksi sendiri. Contohnya adalah mengecek diri sendiri

ketika mendengarkan penjelasan orang lain untuk meyakinkan pemahamannya

sendiri, memonitor bagaimana diri sendiri terlihat memahami sesuatu,

mengingatkan diri sendiri untuk memisahkan antara pendapat pribadi dengan

pendapat orang lain terhadap sesuatu, mengecek ulang sendiri hasil suatu

pengerjaan untuk melihat ada tidaknya suatu kesalahan yang dibuat,

mempertimbangkan kembali interpretasi dan keputusan dengan analisis yang

lebih lanjut terhadap fakta-fakta.

Seseorang yang mampu melakukan interpretasi, analisis dan evaluasi dianggap

telah menjadi pemikir kritis. Tetapi tentu saja kemampuan berpikir kritisnya berada di

bawah seseorang yang selain mampu melakukan interpretasi, analisis dan evaluasi,

juga mampu menjelaskan apa yang dipikirkan dan bagaimana memperoleh keputusan

dan mampu menerapkan kekuatan berpikir kritisnya dalam kehidupannya dan

meningkatkan kemampuan berpendapatnya sebelumnya (penjelasan dan regulasi

diri). Dengan demikian jenjang kemampuan berpikir kritisnya berada di bawah orang

yang mampu menerapkan keenam keterampilan kognitif tersebut.

Page 47: Final Draft

Gotoh (2004) mengungkapkan penjenjangan kemampuan berpikir matematis

dalam memecahkan masalah terdiri 3 tingkat yang dinamakan aktivitas empiris

(informal), algoritmis (formal) dan konstruktif (kreatif). Dalam tingkat pertama,

berbagai teknik atau aplikasi praktis dari aturan dan prosedur matematis digunakan

untuk memecahkan masalah tanpa suatu kesadaran yang pasti/tertentu, sehingga

masih dalam coba-coba. Dalam tingkat kedua, teknik-teknik matematis digunakan

secara eksplisit untuk menuju operasi, penghitungan, manipulasi dan penyelesaian

masalah. Pada tingkat ketiga, pengambilan keputusan yang non algoritmis

ditunjukkan dalam memecahkan masalah non-rutin seperti suatu masalah penemuan

dan pengkonstruksian beberapa aturan.

Stage 1: Emperical (informal) activity.In this stage, some kind of technical or practical application of mathematical rules and procedures are used to solve problems without a certain kind of awareness.Stage 2: The algoritmic (formal) activity.In this stage, mathematical techniques are used explicitly for carrying out mathematical operations, calculating, manipulating and solving.Stage 3: The constructive (creative) activity.In this stage, a non-algoritmic decision making is performed to solve non-routine problem such as a problem of finding and constructing some rule.

Tabel 1 Tingkat Berpikir Matematis dari Gotoh (2004)

Krulik & Rudnick (1995) membuat penjenjangan penalaran yang merupakan

bagian dari berpikir yaitu pengingatan (recall), berpikir dasar (basic), berpikir kritis

(critical) dan berpikir kreatif. Tingkat terendah dari berpikir adalah pengingatan

(recall) yang memasukkan keterampilan-keterampilan berpikir yang hampir otomatis

dan refleksif (tanpa disadari), seperti mengingat operasi-operasi dasar matematika

atau mengingat alamat atau nomor telepon. Tingkat berikutnya adalah dasar, yaitu

pemahaman dan pengenalan konsep-konsep matematika seperti penjumlahan atau

pengurangan dan aplikasinya dalam masalah-masalah. Tingkat dasar bagi seseorang

mungkin merupakan tingkat ingatan bagi orang lain. Tingkat berikutnya adalah

berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan berpikir yang melibatkan menguji,

menghubungkan dan mengevaluasi semua aspek sebuah situasi atau masalah.

Termasuk dalam berpikir kritis adalah mengumpulkan, mengorganisasikan,

Creative

Critical

Basic

Recall

R

E

A

S

O

N

I

N

G

Page 48: Final Draft

mengingat dan menganalisis informasi. Berpikir kritis juga merupakan kemampuan

untuk membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi-materi yang

diperlukan. Selain itu merupakan kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari

sekumpulan data yang diberikan dan menentukan inkosistensi dan kontradiksinya.

Berpikir kritis bersifat analitis dan refleksif. Tingkat tertinggi adalah berpikir kreatif.

Berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat keaslian, dan reflektif serta

menghasilkan suatu produk yang komplek. Berpikir tersebut melibatkan sintesis ide-

ide, membangun ide-ide dan menerapkan ide-ide tersebut. Juga melibatkan

kemampuan untuk menemukan dan menghasilkan produk yang baru. Tabel 5 berikut

ini tentang karakteristik Tingkat Penalaran (berpikir) Krulik & Rudnick.

Basic• Understanding of concepts• Recognizing a concept when it appears in a settingCritical• Examining, relating, and evaluating all aspects of a situation or problem.• Focusing on parts of a situation or problem.• Gathering and organizing information.• Validating and analyzing information.• Remembering and associating previously learned information.• Determininng reasonableness of an answer.• Drawing valid conclusions.• Analytical and reflexive in nature.

Creative• Original, effective, and produces a complex product.• Inventive.• Synthesizing ideas.• Generating ideas.• Applying ideas.

Tabel 2Tingkat Penalaran (Berpikir) dari Krulik & Rudnick (1995)

Krulik & Rudnick (1995) mengatakan bahwa kriteria tingkatan itu sering sekali

bergerak menuju tingkat lebih rendah di antara tingkat-tingkat tersebut. Dengan

demikian memungkinkan terjadi tumpang tindih tingkat berpikir mahasiswa apakah

Page 49: Final Draft

termasuk dalam tingkat berpikir kritis atau kreatif. Kesulitan dalam membedakan

tingkat ini merupakan tantangan untuk diatasi dengan mencari pendekatan lain dalam

membuat tingkatan itu.

Wood, Williams, & Mc Neal (2006) mendefinisikan berpikir matematis sebagai

aktivitas mental yang melibatkan abstraksi dan generalisasi ide-ide matematis.

Selanjutnya pada tahun 2000, Williams membuat hirarkhi aktivitas kognitif siswa

yang menggambarkan berpikir matematis ketika memecahkan masalah matematis.

Hirarkhi ini dimulai dengan memahami (comprehending), menerapkan (applying),

menganalisis (analyzing), menganalisis sintetik (synthetic-analyzing), menganalisis-

evaluasi (evaluate-analyzing), mensintesis (synthesizing), dan mengevaluasi

(evaluating) (Williams, 2003). Tingkat berpikir selain memahami dan menerapkan

merupakan tingkat berpikir yang tinggi dalam matematika.

a. Memahami (comprehending).

Adalah suatu proses identifikasi konteks yang bersifat abstrak atau mengenali

prosedur yang akan diterapkan pada konteks yang baru. Menurut Wood,

Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah memahami

konsep yang terdapat pada strategi/ide yang telah dipelajari/diketahui.

b. Menerapkan (applying).

Adalah menerapkan sesuatu yang abstrak pada konteks yang telah diketahui,

menerapkan prosedur yang telah dipelajari sebelumnya. Menurut Wood,

Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah

menerapkan ide-ide matematis dalam strategi berpikir.

c. Menganalisis (analyzing).

Adalah menerapkan sesuatu yang abstrak pada konteks yang baru, membangun

ide yang telah diketahui untuk menyelesaikan masalah yang agak rumit, mengenal

kebutuhan akan informasi yang lebih. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal

(2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah menerapkan prosedur matematis

yang diketahui pada konteks baru, menyelesaikan masalah non-rutin,

membiasakan diri dengan masalah yang menggunakan contoh-contoh numeris

khusus, dan sistematisasi hasil numeris dan mencari pola.

Page 50: Final Draft

d. Menganalisis-sintetis (synthetic-analyzing).

Adalah mencari hubungan antara 2 cara penyelesaian yang berbeda yang memiliki

tujuan yang sama, bekerja terbalik, menggunakan lebih dari satu cara

penyelesaian, menjelaskan kebutuhan informasi yang lebih ketika hanya ada

sejumlah informasi yang disediakan untuk menyelesaikan masalah. Menurut

Wood, Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah

membedakan dan membandingkan 2 metode penyelesaian; menghubungkan

beragam representasi, operasi dan asumsi; menggunakan lebih dari satu cara

untuk menyelesaikan masalah; menghasilkan generalisasi yang independen

(penemuan kecil); analisis satu kasus/membentuk prinsip yang memberi petunjuk

untuk membentuk aturan baru.

e. Menganalisis-evaluasi (evaluate-analyzing).

Adalah melihat hasil dari beragam perspektif yang berbeda untuk menilai

penalaran pada hasil tersebut. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal (2006)

aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah menghubungkan cara penyelesaian

dengan tujuan identifikasi kekuatan dan kelemahan argumen, menggunakan ide-

ide secara bersama untuk membuat suatu keputusan, mengevaluasi apakah

metode/hasil yang diperoleh bernalar dan efisien.

f. Mensintesis (synthesizing).

Adalah proses yang mengintegrasikan hal-hal yang abstrak untuk

mengembangkan pengertian mendalam matematis baru, mengkombinasikan

konsep untuk menciptakan konsep yang original. Menurut Wood, Williams, &

Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah memformulasi argumen

matematis untuk menjelaskan pola yang ditemukan, menggali masalah dari

beragam perspektif daripada hanya fokus pada penyelesaian tertentu,

menggabungkan konsep-konsep untuk menciptakan pikiran/ide baru, dan

menggali masalah untuk mengembangkan pengertian mendalam baru secara

berkelanjutan.

g. Mengevaluasi (evaluating).

Adalah pengecekan terhadap kekonsistenan hasil penemuan, mencari batasan

pendekatan yang digunakan dan mengenal konteks yang lain untuk menerapkan

Page 51: Final Draft

ide-ide baru. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada

tingkat ini adalah merefleksikan situasi sebagai suatu keseluruhan dengan tujuan

mengenali informasi yang tidak konsisten/mencari penyelesaian lain yang lebih

baik, merefleksikan proses penyelesaian masalah dengan tujuan mengenali

batasan dan aplikasi pada konteks yang lain, dan merefleksikan cara penyelesaian

yang dikembangkan dan memungkinkan adanya kontribusi pada proses matematis

secara umum di masa depan.

Dreyfus, Hershkowitz, & Schwarz (2001b) membuat konstruksi pengetahuan

matematis yang terdiri dari 3 tindakan epistemik (tindakan yang berhubungan dengan

pengetahuan yang diperoleh) yang dapat diamati dan terjadi selama proses kognitif

abstraksi dan generalisasi adalah RBC yaitu recognizing, building-with, constructing.

a. Mengenal (recognizing).

Adalah mengenali struktur matematis yang familiar terjadi ketika pebelajar

menyadari bahwa struktur melekat pada situasi matematis yang diberikan. Proses

ini melibatkan pertimbangan dengan hasil tindakan sebelumnya dan menyatakan

bahwa keduanya sama dengan analogi.

b. Membangun (building-with).

Terdiri dari kombinasi artefak yang ada untuk memenuhi tujuan seperti

menyelesaikan masalah atau membenarkan suatu pernyataan. Pada proses ini,

tujuan dicapai dengan menggunakan pengetahuan yang sudah diperoleh

sebelumnya atau yang telah dikonstruksi. Pada building-with, pebelajar tidak

diperkaya dengan struktur pengetahuan baru yang lebih kompleks tetapi

menggunakan struktur pengetahuan yang tersedia dalam berhubungan dengan

masalah. Tingkatan ini akan terlihat jelas ketika pebelajar terlibat dalam tugas-

tugas aplikasi atau membuat hipotesis atau membenarkan suatu pernyataan.

c. Mengkonstruksi (constructing).

Adalah suatu proses membangun struktur yang lebih kompleks dari struktur yang

sederhana. Tingkatan ini melibatkan reorganisasi elemen matematika sehingga

muncul struktur yang lebih halus. Mengkonstruksi (constructing) terdiri dari

penyusunan pengetahuan untuk menghasilkan struktur baru agar dikenali oleh

pebelajar. Dalam tindakan ini, prosesnya sendiri disebut sebagai konstruksi atau

Page 52: Final Draft

menstruktur ulang pengetahuan yang menjadi tujuan aktivitas. Kontruksi ini

sangat diperlukan untuk mencapai tujuan yaitu memecahkan masalah. Pada tahap

mengkonstruksi, pebelajar menggunakan struktur matematis baru untuk mencapai

tujuannya (memecahkan masalah) sedangkan pada tahap membangun

(building-with), tujuan diperoleh dengan mengkombinasikan struktur-struktur

yang ada.

Pada model ini, mengkonstruksi menggabungkan dua tindakan epistemik lainnya

dalam arti tindakan membangun diperlukan dalam tindakan mengkonstruksi dan

tindakan mengenali diperlukan dalam membangun dan mengkonstruksi. Selanjutnya,

William (2003) menggabungkan aktivitas kognitifnya sebagai subkategori dalam

pandangan Dreyfus, Hershkowitz, dan Schwarz sebagai berikut.

a. Mengenal (recognizing) meliputi memahami (comprehending).

b. Membangun (building-with) meliputi menerapkan (applying),

menganalisis (analyzing), menganalisis-sintetik (synthetic-analyzing), dan

menganalisis-evaluasi (evaluate-analyzing).

c. Mengkonstruksi (constructing) meliputi mensintesis (synthesizing),

dan mengevaluasi (evaluating).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat penjenjangan tingkat kemampuan

berpikir kritis dalam matematika. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat

kemampuan berpikir kritis (TKBK) dalam memecahkan masalah matematika

merupakan suatu jenjang kemampuan berpikir yang hirarkhis dengan dasar

pengkategoriannya berupa proses dan produk bernalar dalam berpikir kritis untuk

memecahkan masalah matematika. Kemampuan di sini diartikan sebagai kecakapan

atau keterampilan mahasiswa dalam memecahkan masalah matematika dengan tepat

sekaligus berdasarkan kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan,

kedalaman, dan keluasan berpikir kritisnya.

H. Tahap Berpikir Kritis dalam Matematika

Terdapat beberapa ahli yang mengungkapkan tahap berpikir kritis. Diantaranya

Newman, Webb & Cochrane; Garrison, Anderson & Ancher; Bullen, Ennis, dan

Perkins & Murphy. Newman, Webb & Cochrane (1995) membagi berpikir kritis

Page 53: Final Draft

menjadi 5 tahap yaitu klarifikasi dasar (elementary clarification), klarifikasi

mendalam (in-depth clarification), penyimpulan (inference), pengambilan keputusan

(judgement), dan formasi strategi (strategies formation).

a. Tahap pertama: klarifikasi dasar (elementary clarification).

Berdasarkan motivasi awal untuk belajar, peristiwa pencetus (triggering event)

menimbulkan dan menyokong minat dan rasa ingin tahu yang distimulus dengan

interaksi dengan teman yang lain. Pebelajar mengamati atau belajar suatu

masalah, mengidentifikasi elemen-elemennya, dan mengamati hubungan diantara

elemen-elemen tersebut sebagai dasar pemahaman.

b. Tahap kedua: klarifikasi mendalam (in-depth clarification).

Pada tahap ini, terjadi penyusunan masalah dan pendekatan penyelesaiannya

menggunakan pengalaman. Pembelajar menganalisis masalah, kepercayaan,

asumsi yang mendasari pernyataan masalah.

c. Tahap ketiga: penyimpulan (inference).

Pada tahap ini, pebelajar mendapatkan pengertian yang mendalam (insight) dan

pemahaman berdasarkan belajar mandiri dan belajar kelompok. Keterampilan

yang diperlukan dalam tahap ini adalah induksi dan deduksi, mengakui atau

menyetujui ide yang berhubungan dengan proposisi yang sudah diakui benar.

d. Tahap keempat: pengambilan keputusan (judgement).

Pada tahap ini, terjadi evaluasi penyelesaian alternatif dan ide-ide baru dalam

konteks sosial. Pada tahap ini diperlukan keterampilan pertimbangan dalam

membuat keputusan, pernyataan, penghargaan, evaluasi, kritik atau berpendapat.

e. Tahap kelima: formasi strategi (strategies formation).

Mengemukakan tindakan selaras untuk mengaplikasikan penyelesaian, mengikuti

pilihan atau keputusan. Pada tahap ini menggambarkan adanya pengetahuan

personal yang kemudian divalidasi di dalam kelompok. Tahap ini adalah tahap

dimana penyelesaian berlatar belakang dunia nyata.

Menurut Garrison, Anderson & Archer (2004), berpikir kritis adalah proses dan

hasil. Dalam perspektif proses, diasumsikan bahwa berpikir kritis dapat diperoleh

dengan bantuan pemahaman terhadap proses. Sebagai hasil, berpikir kritis lebih baik

untuk dipahami sebagai perspektif individual, yaitu kemahiran pendalaman dan

Page 54: Final Draft

pemahaman bermakna sebaik kemampuan keterampilan, dan penempatan inquiry

kritis. Menilai kualitas berpikir kritis sebagai hasil dalam konteks pendidikan khusus

adalah tanggung jawab dosen sebagai ahli pedagogis dan isi. Sebagai hasil, berpikir

kritis lebih baik dinilai melalui penugasan pendidikan individual. Kesulitan menilai

berpikir kritis sebagai hasil adalah berpikir kritis sangat kompleks dan (hanya secara

tidak langsung) dapat mencapai proses kognitif.

Menurut Garrison, Anderson & Archer (2004) berpikir kritis berhubungan dengan

kreativitas, problem solving, intuisi dan pengertian mendalam. Mereka

mengkonstruksi model berpikir kritis yaitu model inquiry praktis (practical inquiry

model)yang mempertimbangkan nilai tertentu dalam belajar konteks pendidikan

formal. Model inquiry praktis ini meliputi 4 tahap penting untuk memahami dan

menggambarkan inquiry kritis dalam konteks pendidikan.

a. Tahap pertama: peristiwa pencetus (triggering events).

Pada tahap ini, isu-isu, dilema, atau masalah yang muncul dari pengalaman

diidentifikasi. Biasanya dosen menyampaikan tantangan belajar atau tugas secara

eksplisit yang menjadi peristiwa pencetus. Peran dosen adalah memprakarsai,

membentuk dan dalam kasus tertentu menghilangkan peristiwa pencetus yang

potensial menjadi pengecoh sehingga fokus pada pencapaian pendidikan yang

diinginkan.

b. Tahap kedua: eksplorasi (exploration).

Pada tahap ini, pebelajar beralih dari dunia pribadi yang merefleksikan dunia

individual pebelajar ke eksplorasi sosial ide-ide. Awalnya, pada tahap ini

pebelajar perlu untuk merasa atau memahami sifat masalah kemudian menggali

informasi yang relevan. Eksplorasi ini terjadi dalam komunitas inquiry dengan

berurutan bergerak antara dunia pribadi dan dunia bersama- yaitu antara refleksi

kritis dan ceramah. Pada akhir tahap ini, pembelajar mulai memilih hal-hal yang

relevan dengan isu atau masalah. Tahap ini adalah tahap divergen yang bercirikan

pengilhaman (branstorming), bertanya, dan bertukar informasi.

c. Tahap ketiga: integrasi (integration).

Pada tahap ini bercirikan pengkonstruksian pengertian dari ide-ide yang

dihasilkan pada tahap eksplorasi. Selama transisi dari tahap eksplorasi,

Page 55: Final Draft

pembelajar mulai menilai penerapan ide dalam hal bagaimana ide tersebut

berhubungan dan menggambarkan secara baik dengan isu atau peristiwa yang

sedang dipertimbangkan. Fakta-fakta dari ide-ide integrasi dan pengkonstruksian

pengertian diduga dari komunikasi dalam komunitas inquiry. Tahap ini

membutuhkan aktivitas mengajar aktif untuk mendiagnosis miskonsepsi,

menyediakan pertanyaan penyelidikan, komentar, informasi tambahan dalam

upaya memastikan keberlanjutan perkembangan kognitif dan untuk memodelkan

proses berpikir kritis

d. Tahap keempat: resolusi (resolution).

Resolusi ini berarti tindakan. Tindakan ini merupakan hasil berpikir kritis

terhadap suatu masalah. Dalam bidang non pendidikan, pada tahap ini

dilaksanakan penerapan penyelesaian atau pengetesan hipotesis dengan aplikasi

praktis. Dalam bidang pendidikan, biasanya dilakukan tes melalui eksperimen dan

konsensus yang dibangun dalam komunitas inquiry.

Model inquiry praktis ini merefleksikan proses berpikir kritis dan merupakan

sarana untuk menciptakan kehadiran kognitif yaitu inquiry praktis. Kehadiran kognitif

dioperasionalisasi melalui proses inquiry praktis. Kehadiran kognitif didefinisikan

sebagai tingkat dimana pembelajar dapat mengkonstruksi dan memperkuat pengertian

melalui refleksi dan percakapan dalam komunitas inquiry kritis secara terus-menerus

(Garrison, Anderson, dan Archer, 2004).

Bullen (1997) yang menjelaskan bahwa berpikir kritis terjadi dalam 4 tahap

sebagai berikut.

a. Tahap pertama: klarifikasi (clarification).

Pada tahap ini, dilakukan upaya menilai dan memahami sifat dasar masalah, isu,

atau dilema. Termasuk pula memahami sudut pandang yang berbeda dalam suatu

masalah.

b. Tahap kedua: asesmen bukti (assessing evidence).

Sebagai dasar untuk pengambilan kesimpulan maka fakta-fakta yang digunakan

untuk mendukung kesimpulan dinilai terlebih dahulu. Termasuk dalam hal ini

adalah menilai kredibilitas sumber informasi, membuat dan memutuskan

kredibilitas pengamatan.

Page 56: Final Draft

c. Tahap ketiga: membuat dan memutuskan kesimpulan (making and

judging inferences).

Kesimpulan deduktif dan induktif dan nilai keputusan dilibatkan dalam membuat

keputusan tentang apa yang akan dilakukan atau dipercayai. Berpikir kritis

melibatkan kemampuan menduga kesimpulan dan membuat kesimpulan yang

tepat. Pada tahap ini, juga digunakan fakta-fakta yang mendukung argumen.

d. Tahap keempat: menggunakan strategi dan taktik yang tepat (using

appropriate strategies and tactics).

Berpikir kritis bukan masalah mengikuti suatu prosedur atau langkah-langkah

tetapi menggunakan beberapa strategi yang dapat berguna dalam membimbing

berpikir .

Ennis (2005) mendefinisikan tahap-tahap berpikir kritis menjadi lima yaitu

klarifikasi dasar (elementary clarification), dukungan dasar (basic support),

penyimpulan (inferences), klarifikasi lanjut (advanced clarification), strategi dan

taktik (strategy and tactics).

a. Klarifikasi dasar (elementary clarification).

Tahap ini meliputi kegiatan fokus pada masalah, menganalisis argumen, bertanya

dan menjawab pertanyaan untuk klarifikasi/menantang. Permasalahan yang

menjadi fokus bisa terdapat dalam kesimpulan sebuah argumen.

b. Dukungan dasar (basic support).

Tahap ini meliputi kegiatan menilai kredibilitas sumber, mengamati dan menilai

laporan pengamatan.

c. Penyimpulan (inferences).

Pada tahap ini meliputi kegiatan deduksi dan menilai deduksi, induksi dan menilai

induksi, membuat dan menilai hasil keputusan.

d. Klarifikasi lanjutan (advanced clarification)

Pada tahap ini meliputi kegiatan mendefinisikan pola, menilai definisi,

mengidentifikasi asumsi.

e. Strategi dan taktik (strategy and tactics)

Tahap ini meliputi kegiatan memutuskan tindakan yang akan dilaksanakan, dan

berinteraksi dengan yang lain.

Page 57: Final Draft

Perkins & Murphy (2006) membagi tahap-tahap berpikir kritis menjadi 4 tahap

sebagai berikut.

a. Tahap klarifikasi (clarification).

Tahap ini merupakan tahap menyatakan, mengklarifikasi, menggambarkan (bukan

menjelaskan) atau mendefinisikan masalah. Aktivitas yang dilakukan adalah

menyatakan masalah, menganalisis pengertian dari masalah, mengidentifikasi

sejumlah asumsi yang mendasari, mengidentifikasi hubungan di antara pernyataan

atau asumsi, mendefinisikan atau mengkritisi definisi pola-pola yang relevan.

b. Tahap asesmen (assessment).

Tahap ini merupakan tahap menilai aspek-aspek seperti membuat keputusan pada

situasi, mengemukakan fakta-fakta argumen atau menghubungkan masalah

dengan masalah yang lain. Pada tahap ini digunakan beragam fakta yang

mendukung atau menyangkal. Aktivitas yang dilakukan adalah menyediakan atau

bertanya apakah penalaran yang dilakukan valid, penalaran yang dilakukan

relevan, menentukan kriteria penilaian seperti kredibilitas sumber, membuat

penilaian keputusan berdasarkan kriteria penilaian atau situasi atau topik,

memberikan fakta bagi pilihan kriteria penilaian.

c. Tahap penyimpulan (inference).

Tahap ini menunjukkan hubungan di antara sejumlah ide, menggambarkan

kesimpulan yang tepat dengan deduksi dan induksi, menggeneralisasi,

menjelaskan (bukan menggambarkan) dan membuat hipotesis. Aktivitas yang

dilakukan antara lain membuat deduksi yang tepat, membuat kesimpulan yang

tepat, membuat generalisasi, mendeduksi hubungan di antara sejumlah ide-ide.

d. Tahap strategi (strategy).

Tahap ini merupakan tahap mengajukan, mengevaluasi sejumlah tindakan yang

mungkin. Aktivitas yang dilakukan antara lain melakukan tindakan,

menggambarkan tindakan yang mungkin, mengevaluasi tindakan, dan

memprediksi hasil tindakan.

Page 58: Final Draft

Secara ringkas, tahap berpikir kritis menurut para pakar tersebut dapat dilihat

dalam Tabel 3 berikut ini.

TAHAP

PAKARNewman, Webb & Cochrane (1995)

Garrison, Anderson & Archer, (2004)

Bullen (1997)

Ennis (2005)

Perkins & Murphy (2006)

Tahap 1 elementary clarification

triggering events

clarification elementary clarification

clarification

Tahap 2 in-depth clarification

exploration assessing evidence

basic support

Assessment

Tahap 3 Inference integration making and judging inferences

inferences Inference

Tahap 4 Judgement Resolution using appropriate strategies and tactics

advanced clarification

Strategi

Tahap 5 strategies formation

- - strategy and tactics

Tabel 3Tahap berpikir kritis menurut beberapa pakar

Peristiwa pencetus (triggering events) model Garrison, Anderson & Archer

merupakan bagian dari klarifikasi yaitu fokus pada masalah dari model Ennis. Pada

model Ennis terdapat 2 kategori klarifikasi yaitu klarifikasi dasar dan klarifikasi

lanjutan dan pada model Newman, Webb & Cochrane terdapat dua kategori

klarifikasi yaitu klarifikasi dasar dan klarifikasi mendalam kemudian pada model

Bullen dan Perkins & Murphy kedua kategori tersebut dijadikan satu kategori yaitu

klarifikasi. Tahap dukungan dasar model Ennis sama dengan tahap asesmen bukti

model Bullen dan tahap asesmen model Perkins & Murphy. Tahap penyimpulan

yang dimaksud kelima model tersebut sama. Tahap penyimpulan dapat dilakukan

dengan cara berpikir deduksi dan berpikir induksi. Menurut Gubbin (Sternberg,

1986), berpikir deduksi meliputi penggunaan logika, meninjau pernyataan yang

kontradiktif, menganalisis silogisme, menyelesaikan masalah spasial. Sedangkan

berpikir induksi meliputi menentukan sebab dan akibat, menganalisis masalah open-

Page 59: Final Draft

ended, bernalar dengan analogi, membuat kesimpulan, menentukan informasi yang

relevan, mengenali hubungan, menyelesaikan masalah pengertian yang mendalam.

Tahap strategi model Bullen merujuk pada sejumlah strategi berpikir seperti

penggunaan algoritma, model dan mengubah fokus. Tahap strategi yang dimaksud

model Garrison, Anderson & Archer adalah tahap resolusi yang berarti tindakan.

Strategi ini adalah bertindak sebagai hasil berpikir kritis terhadap suatu masalah.

Tahap strategi pada model Newman, Webb & Cochrane disebut sebagai formasi

strategi yang menggambarkan tindakan yang dilakukan untuk mengaplikasikan

penyelesaian, mengikuti pilihan/keputusan. Sedangkan tahap strategi pada Perkins &

Murphy berarti rencana tindakan dan bukan cara untuk menganalisis masalah.

I. Penelitian yang Berkaitan dengan Berpikir Kritis Matematika

dilakukan oleh Durr, C. R., Lahart, T.E., & Maas, R. M

Berikut ini akan dijelaskan tentang suatu penelitian tindakan yang dilakukan oleh

Durr, C. R., Lahart, T.E., & Maas, R. M yang menggambarkan suatu program untuk

mengembangkan dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis remaja untuk

mempersiapkan mereka belajar sepanjang hayat. Populasinya adalah siswa sekolah

menengah atas pada mata pelajaran matematika dan sosial dari 2 komunitas kelas

menengah di Illinois utara. Data kekurangan keterampilan berpikir kritis mahasiswa

diperoleh dari guru, siswa, orang tua, dan the Cornell ritical Thinking Test-Level X.

Analisis terhadap data menyatakan bahwa guru mempercayai bahwa mereka telah

mengajarkan keterampilan berpikir kritis kepada siswanya. Data dari siswa juga

diperoleh bahwa siswa juga telah diminta untuk berpikir kritis di dalam kelas. Namun

data dari the Cornell ritical Thinking Test-Level X menunjukkan bahwa siswa

kekurangan kemampuan berpikir kritis. Kajian terhadap literatur menyatakan bahwa

banyak guru yang tidak terlatih mengajar dan menilai berpikir kritis meskipun mereka

meyakini bahwa sudah terlatih. Kajian terhadap strategi penyelesaian disarankan oleh

Page 60: Final Draft

para ahli berpikir kritis, untuk mengkombinasikan dan melakukan analisis terhadap

berpikir kritis dengan lingkungan masalah akan menghasilkan materi, bahasa, dan

aktivitas belajar yang merangsang kebiasaan berpikir kritis dalam pelajaran

matematika dan sosial.

1. Latar Belakang

Berpikir kritis merupakan hal yang penting dalam belajar yang efektif dan

kehidupan yang produktif. Menurut Paul (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999)

terdapat dua hal yang penting dalam mendefinisikan berpikir kritis yaitu:

1. berpikir kritis bukan hanya berpikir, tetapi berpikir yang memerlukan

peningkatan diri (self-improvement), dan

2. peningkatan ini berasal dari keterampilan dalam menggunakan standar

untuk menilai berpikir dengan tepat.

Pada kebanyakan sekolah lanjutan tingkat pertama pada saat ini, penelitian

menunjukkan bahwa kekurangan keterampilan berpikir kritis siswa todak hanya

terjadi di dalam klas. Kebanyakan guru memberikan tekanan yang kompleks pada isi

kurikulum mereka dan merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk

mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Slain itu, banyak guru yang menghindari

mengajarkan keterampilan berpikir kritis yang sederhana karena mereka merasa tidak

cukup persiapan untuk melakukannya. Pada Nation at Risk pada tahun 1983, The

National Commission on Excellence in Education merekomendasikan pembelajaran

formal keterampilan berpikir kritis yang terintegrasi pada kurikulum di semua jenjang

pendidikan. Rekomendasi ini didasarkan pada laporan pada sekolah nasional yang

menyatakan bahwa banyak siswa yang tidak mampu menunjukkan keterampilan

intelektual tingkat tinggi dan tidak dapat menyelesaikan masalah matematika. Berikut

ini kutipan laporan tersebut.

“Many 17-year-olds do not possess the “higher order” intellectual skills we should expect of them. Nearly 40 percent cannot draw inferences from written material; only one-fifth can write a persuasive essay; and only one-third can solve a mathematics problem requiring several steps”.

Untuk mempersiapkan setiap anggota masyarakat kemampuan berkompetisi dan

siap kerja maka siswa harus diberikan kesempatan untuk mendapatkan tujuan

pembelajaran melalui strategi berpikir kritis. Sebanyak 80% guru memberikan suara

Page 61: Final Draft

dalam Gallup Poll of Teachrs’ Attitudes Toward the Public Schools tahun 1989

menyatakan bahwa mengajarkan keterampilan berpikir kritis harus menjadi prioritas

dalam pembelajaran di kelas. Namun guru bukan satu-satunya pihak yang

memperhatikan kekurangan keterampilan berpikir kritis siswa. Sejumlah CEO pada

korporasi “Fortune 500” menyatakan bahwa mengajarkan keterampilan problem

solving, analitis, logis, tingkat tinggi, dan konseptual adalah penting agar negara siap

menghadapi tantangan global (Nidds & Mc Gerald, dalam Durr, Lahart, & Maas,

1999).

Peneliti pendidikan menyatakan banwa manusia tidak dilahirkan dengan

keterampilan berpikir kritis tetapi diajarkan untuk berpikir kritis. Berdasarkan sejarah,

terdapat dua pendekatan dalam mengajarkan keterampilan berpikir kritis, yaitu

mengajarkan berpikir secara terpisah dengan bidang ilmu atau mengajarkan berpikir

kritis yang terpadu pada bidang ilmu. Menurut Perkins (dalam Durr, Lahart, & Maas,

1999), cara yang menguntungkan untuk menyiapkan siswa berpikir kritis adalah

menanamkan keterampilan berpikir kritis terpadu dalam bidang ilmu. Oleh karena itu,

guru harus dilatih untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis kepada siswa dalam

bidang ilmu mereka. Sebagai contoh, mereka harus menantang siswa untuk belajar

tidak hanya isi bidang ilmu tetapi juga keterampilan yang diperlukan dalam proses

dan transfer informasi. Hal ini berdasarkan fakta yang diperoleh yaitu bahwa siswa

yang memasuki dunia kerja saat ini kekurangan keterampilan berpikir tingkat tinggi,

kemampuan mendiagnosis dan menyelesaikan masalah, kemampuan menerapkan

keterampilan mereka terhadap masalah baru dan tidak familiar, dan kemampuan

bekerja secara efektif dalam kelompok (Nidds & Mc Gerald, dalam Durr, Lahart, &

Maas, 1999).

2. Penelitian Pendahuluan

Durr, Lahart, & Maas (1999) mengumpulkan data tentang kekurangan

keterampilan berpikir kritis siswa sekolah menengah atas pada mata pelajaran

matematika dan sosial yang diperoleh dari guru, siswa, orang tua siswa dan tes yaitu

the Cornell Critical Thinking Test-Level X. The Cornell Critical Thinking Test-Level

X dipilih karena merupakan salah satu tes terstandar yang dapat digunakan untuk

Page 62: Final Draft

menilai keterampilan berpikir kritis siswa sekolah menengah atas dan dapat menilai

keterampilan berpikir kritis secara keseluruhan. Tes ini memfokuskan pada 4 bidang

berpikir kritis yaitu induksi, kredibilitas, deduksi, dan identifikasi asumsi. Pada

bagian induksi, siswa diharapkan menilai apakan sejumlah fakta yang diberikan

mendukung atau tidak hipotesis yang diberikan. Pada bagian kredibilitas, siswa

ditanya untuk memutuskan mana diantara dua pernyataan yang diberikan yang dapat

dipercaya. Pada bagian deduksi, siswa harus memutuskan apa yang harus dilakukan

terhadap sejumlah informasi yang dianggap benar. Pada bagian identifikasi asumsi,

siswa harus memutuskan ide-ide apa yang dapat dicari dari suatu pernyataan. Ennis

dan Millman (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) mengindikasikan bahwa idealnya,

tes berpikir kritis umum akan memunculkan sikap pemikir kritis seperti terbuka, dan

hati-hati.

Hasil penelitian awal dari sisi siswa adalah 64% siswa memberikan respon

terhadap pertanyaan yang membutuhkan penalaran induktif, 75% siswa memberikan

respon terhadap pertanyaan yang membutuhkan penalaran deduktif, namun hanya

53% siswa yang mampu menilai kredibilitas pernyataan dan 51% siswa yang mampu

mengidentifikasi asumsi yang bernalar. Selain itu juga diperoleh fakta bahwa siswa

yang dikategorikan sebagai siswa berkemampuan tinggi secara konsisten memberikan

respon yang yang lebih tinggi pada masing-masing bagian The Cornell Critical

Thinking Test daripada siswa yang berkemampuan rendah atau dikelompokkan

heterogen. Berdasarkan data tersebut, Durr dkk mengindikasikan bahwa siswa lebih

mampu dalam bernalar induktif dan deduktif (penalaran yang meminta siswa

membuat kesimpulan yang bernalar berdasar sejumlah fakta). Siswa kesulitan dalam

tes yang meminta mereka mmbuat penilaian terhadap kredibilitas pernyataan yang

diberikan dan menemukan asumsi-asumsi pada pernyataan yang diberikan.

Hasil penelitian awal dari sisi guru adalah 86% guru menyatakan bahwa mreka

telah mengajarkan keterampilan berpikir kritis secara khusus dalam pembelajaran di

kelas atau dalam kesehariannya, dan 75% guru merasa telah mempersiapkan diri

untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Namun ketika diminta untuk

memberikan contoh bagaimana mereka mengajarkan atau mengkombinasikan

berpikir kritis dalam pelajaran hanya 20% guru yang mampu melakukannya.

Page 63: Final Draft

Berdasarkan contoh yang diberikan guru, hanya setengahnya yang memberikan

contoh berpikir kritis menggunakan definisi Paul. Berdasarkan fakta tersebut, peneliti

menyimpulkan bahwa guru tidak memahami apa itu keterampilan berpikir kritis dan

bagaimana mengajarkannya.

Hasil penelitian awal dari sisi orang tua siswa adalah 42% orang tua menyatakan

bahwa anak mereka belajar di rumah dalam suasana yang tenang. Namun sebanyak

90% orang tua menyatakan bahwa terdapat TV, radio, atau telepon di dalam ruang

belajar anaknya dan lebih dari 86% orang tua menyatakan bahwa sedikitnya salah

satu dari barang-barang tersebut digunakan anak pada saat belajar. Hampir 50% orang

tua selalu menanyakan anaknya tentang tugas rumah yang diberikan guru namun

hanya 36% diantaranya yang secara rutin meminta anak untuk menjelaskan apa yang

telah dikerjakan. Berdasarkan fakta, peneliti mengindikasikan bahwa kebanyakan

siswa belajar pada lingkungan yang mana mereka akan terganggu setiap saat dan

jarang diantara siswa yang memanfaatkan orang tua sebagai sumber dalam

mengerjakan tugas.

Peneliti membandingkan fakta-fakta yang diperoleh dengan definisi berpikir kritis

Paul mempercayai bahwa guru dan siswa yang disurvei menganggap sebarang

berpikir adalah berpikir kritis, dan mereka salah memahami apa yang dimaksud

berpikir kritis.

3. Alasan Mengajarkan Keterampilan Berpikir Kritis

Berikut ini beberapa hal yang mendasari perlunya mengajar keterampilan berpikir

kritis.

1. Brookfield (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) menyatakan bahwa

manusia setiap saat terlibat dalam aktivitas berpikir kritis baik mereka menyadari

atau tidak. Contoh aktivitas berpikir kritis sehari-hari adalah menyatakan

pendapat, membuat keputusan, bertindak berdasarkan asumsi yang dianggap

benar. Para pakar filsafat seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles biasa

menggunakan pendekatan induktif untuk memperoleh suatu kebenaran universal.

Menurut Fillinger (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999), metode Sokrates yaitu

bertanya masih digunakan sampai saat ini untuk membantu mengembangkan

Page 64: Final Draft

keterampilan berpikir kritis siswa. Metode ini meminta siswa untuk terlibat dalam

dialog dalam mnginvestigasi masalah dan menyusun mengetes hipotesis yang

logis.

2. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan kemampuan berpikir

siswa. Piaget (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) menyatakan bahwa tujuan

utama pendidikan adalah mengembangkan pikiran yang kreatif, kritis, dan

berdaya cipta; pikiran yang dapat menguji informasi dan tidak mudah menerima

segala sesuatu yang diterima.

3. Menurut Swartz & Perkins (dalam Durr, Lahart, & Maas,

1999),beberapa program ujian nasional di Amerika Serikat menyatakan bahwa

kualitas siswa sekolah dasar dan sekolah lanjutan di bawah standar dalam

menyelesaikan masalah matematis, menulis kritis dan kreatif, membaca. Akibat

dari fakta kekurangan keterampilan berpikir tingkat tinggi ini adalah posisi AS

dalam kompetisi di dunia dalam penguasaan teknologi tinggi di masa depan.

4. Penyebab Kurangnya Keterampilan Berpikir Kritis Berdasar Kajian

Pustaka

Beberapa literatur menyebutkan masalah yang mendasari kurangnya keterampilan

berpikir kritis siswa sekolah menengah saat ini. Yildirim (dalam Durr, Lahart, &

Maas, 1999) menemukan bahwa kebanyakan guru yang disurveinya menyadari

bahwa salah satu tanggung jawab utama sebagai pendidik adalah mendorong berpikir

kritis siswa. Namun menurut Supon (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) hanya 50%

guru yang merasa siap mengajarkan keterampilan brpikir kritis sedangkan 14% guru

merasa tidak siap. Banyak guru yang tidak mau mengubah gaya mengajar dari

pemberian ceramah menjadi diskusi dan dialog karena menganggap mengajar

menggunakan metode tersebut merupakan tugas yang berat. Pembelajaran dengan

menggunakan diskusi dan dialog membutuhkan guru yang meluangkan banyak waktu

untuk menciptakan pelajaran “berpikir penuh” (thought-full) yang melibatkan siswa

berpikir kritis. Namun hal ini akan menghabiskan waktu yang banyak padahal materi

pada kurikulum juga harus diajarkan. Padahal guru juga ditekan untuk meningkatkan

Page 65: Final Draft

skor tes standar siswa. Akibatnya banyak guru yang mengabaikan mengajar berpikir

kritis (Bergeson dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999).

Selanjutnya, berdasarkan survei nasional di AS diperoleh fakta bahwa sekolah

hanya memfokuskan pada berpikir individual daripada membuat keputusan

kolaboratif, guru jarang mendorong siswa bertanya satu dengan lain, bertanya kepada

guru, atau menanyakan informasi dari buku. Pertanyaan tingkat tinggi jarang muncul,

siswa tidak ditantang untuk menilai proses berpikirnya, belajar pasif yang dilakukan

di dalam kelas membuat siswa tidak siap berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial

dimana mereka tinggal (Adams & Hamm, Newmann, Durr, Lahart, & Maas, 1999).

Menurut Beyer (Durr, Lahart, & Maas, 1999), banyak guru yang tidak jelas

bagaimana menggunakan strategi yang tepat untuk mengajarkan berpikir kritis.

Sebagai ganti memodelkan bagaimana menyajikan keterampilan berpikir yang

khusus, guru menyediakan situasi dimana siswa harus menerapkan keterampilan, dan

berbuat sesuatu, menganggap siswa telah memiliki keterampilan yang diperlukan dan

dapat mentransfer penggunaannya dalam situasi yang lain. Dampaknya adalah siswa

menjadi frustasi dan akan meningkatkan ketidakakuratan penerapan keterampilan.

Menurut Durr, Lahart, & Maas, beberapa penyebab di atas didasari oleh

kurangnya pelatihan keterampilan berpikir kritis guru sehingga banyak guru yang

tidak memahami keterampilan apa yang dibutuhkan agar siswa dapat berpikir kritis

dan tidak mengetahui bagaimana keterampilan-keterampilan tersebut diajarkan.

5. Strategi Penyelesaian Berdasarkan Kajian Pustaka

Berikut ini kajian tentang strategi penyelesaian berdasarkan kajian pustaka.

Kecenderungan tren pendidikan saat ini adalah mempersiapkan siswa menghadapi

abad 21 dengan beragam keterampilan berpikir kritis. Hannel & Hannel (dalam Durr,

Lahart, & Maas, 1999) menyatakan terdapat 2 hambatan dalam membantu siswa

menjadi pemikir kritis yaitu luasnya salah diagnonis tentang mengapa siswa gagal

menjadi pemikir kritis dan kurangnya strategi pembelajaran praktis untuk

mengajarkan keterampilan berpikir kritis di dalam kelas.

Salah satu langkah perbaikan yang diusulkan dalam Breaking Rank, suatu

penelitian yang dilakukan oleh National Association of Secondary School Principals

adalah memberikan kesempatan kepada guru sekolah menengah atas untuk mengajari

Page 66: Final Draft

siswa bagaimana mengembangkan kemampuan menggambarkan kesimpulan,

membuat keputusan yang dapat diinformasikan, menerapkan bernalar yang logis, dan

menyelesaikan masalah dunia nyata. Sejumlah pengetahuan diperlukan sebagai dasar

untuk berpikir kritis, tetapi titik tekan dalam mengajar di sekolah menengah atas

adalah aplikasi dan mahir terhadap fakta dalam berpikir dan problem solving. Oleh

karena itu, siswa harus belajar mengidentifikasi informasi apa yang dibutuhkan dalam

menyelesaikan masalah dan bagaimana mereka mendapatkan informas tersebut

(Buletin NASSP dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999).

Penelitian tersebut mengindikasikan sejumlah pendekatan untuk membantu

mmperbaiki kekurangan keterampilan berpikir kritis siswa sekolah menengah atas.

Ian Wright (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) menyatakan ada 3 model

mengajarkan berpikir kritis yaitu memisahkan unit/bagian dengan kegiatan yang

berkaitan dengan keterampilan berpikir kritis, memasukkan keterampilan berpikir

kritis pada kurikulum yang sudah ada, dan strategi yang mengkombinasikan kedua

model yang lain.

Wright menjelaskan bahwa dalam menggunakan model unit/bagian yang terpisah,

guru dapat memanfaatkan materi siap pakai, yaitu bahan-bahan yang dikreasikan oleh

para ahli di bidangnya dan mudah diperoleh. Menggunakan bahan-bahan siap pakai

ini disertai petunjuk guru dan instruksi kepada siswa yang jelas dan dapat dipahami.

Model ini memaksimalkan belajar bagi guru dan siswa. Manfaat lain adalah

pendekatan ini membantu perkembangan sikap kritis karena didesain untuk

mendorong brpikir kritis daripada hanya membantu belajar pada isi materi tertentu.

Dengan kata lain, dengan menggunakan model ini, pengetahuan keterampilan

berpikir kritis spesifik diperoleh tanpa melalui transfer dalam kurikulum.

Kelemahannya adalah menggabungkan latihan berpikir kritis yang terpisah akan

memerlukan tambahan waktu.

Model lain yang digunakan untuk mengajar keterampilan berpikir kritis adalah

infusi (infusion). Pada metode ini, keterampilan berpikir kritis yang akan diajarkan

sudah ada dalam materi pelajaran. Wright menyatakan bahwa dalam menggunakan

metode ini, siswa dapat belajar keterampilan berpikir kritis dengan menerapkannya

secara langsung dalam isi pelajaran/pelatihan yang dipelajari, dengan begitu akan

Page 67: Final Draft

menghilangkan kebutuhan akan adanya waktu tambahan dalam pelaksanaan

pembelajaran di sekolah. Model ini memiliki kelemahan yaitu ketika diterapkan,

semua guru harus kompeten dalam memahami apa itu keterampilan berpikir kritis

bagaimana cara terbaik untuk mengajarkannya, selain itu mengajarkan keterampilan

berpikir kritis melalui metode infusi dapat menimbulkan kekurangan sejumlah

kebutuhan penguasaan materi pelajaran.

Menurut Wright akan lebih tepat apabila mengkombinasikan kedua model

tersebut dengan pertimbangan akan diperoleh manfaat dari keduanya dan kelemahan

dapat diminimalisir. Keuntungan menggunakan kedua model secara bersamaan antara

lain:

1. transfer (secara teoritis) terjamin dapat dilakukan,

2. memisahkan unit dalam keterampilan berpikir kritis dapat diajarkan oleh

ahli pada bidang khususnya,

3. siswa dapat memunculkan beragam jenis standar berpikir kritis dalam

kurikulum K-12, dan

4. program yang didesain ahli dapat diadaptasi pada kondisi lokal yang tepat.

Menurut Wright, pelaksanaan metode ini tidak mempunyai kelemahan, tetapi peneliti

lain masih mempercayai bahwa faktor waktu adalah krusial, dan perlu personal

tambahan diperlukan untuk melatih guru.

Menurut Collins, 1989; Paul, 1995, Sanders, 1998; Sutton, 1997 (dalam Durr,

Lahart, & Maas, 1999) terdapat cara lain untuk meningkatkan keterampilan berpikir

kritis siswa yaitu adanya kolaborasi komitmen antara guru, administrator, siswa, dan

orang tua dalam bekerja sama menciptakan atmosfer agar berpikir kritis menjadi

bernilai dan dapat didorong. Administrator perlu meningkatkan pemahaman mereka

tentang strategi yang diperlukan untuk mengajarkan berpikir kritis, menyediakan

kesempatan tanpa henti kepada guru bagaimana menrapkan strategi-strategi tersebut

di dalam kelas, mendukung guru ketika mereka berusaha menerapkan strategi yang

dipelajari, dan memberikan siswa tanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan

berpikirnya. Administrator juga harus menciptakan iklim yang baik bagi guru dan

siswa dalam pembelajaran, menampakkan minat terhadap apa yang diperoleh guru

dan siswa, serta mengimplementasikan program yang membawa pesan ”setiap orang

Page 68: Final Draft

diharapkan berhasil”. Administrator yang mendemonstrasikan dukungan dan

kepemimpinan akan menginspirasi guru mengajar, siswa belajar,orang tua menjadi

partner aktif dalam pendidikan anaknya (Collins 1989; Johnson, 1997, dalam Durr,

Lahart, & Maas, 1999).

Guru perlu mendorong berpikir kritis melalui modeling dan aktivitas terstruktur

yang mendorong dan membantu siswa berpikir. Sejumlah strategi dapat digunakan

untuk mengajar berpikir kritis, kebanyakan yang berhasil adalah aktivitas belajar

kooperatif, tingkat tinggi, pertanyaan open-ended, waktu tunggu yang cukup

(sufficient wait-time), dan sejumlah kesempatan transfer (Potts, 1994 dalam Durr,

Lahart, & Maas, 1999). Aktivitas yang dilakukan antara lain membuat grafik,

meringkas, menginterpretasi, mengklasifikasi, membandingkan, meneliti,

mengevaluasi, mengidentifikasi fakta atau pendapat, menggeneralisasi,

menggambarkan kesejajaran, mengoreksi-diri, dan membuat hipotesis (Tener, 1995

dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999). Guru juga harus menciptakan lingkungan yang

bebas resiko dimana nilai-nilai berpikir kritis diakui dan didorong. Menurut Paul,

Binker, Martin, & Adamson (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999), peran guru dalam

kelas agar berpikir kritis memiliki nilai antara lain: (1) membantu memecahkan

pertanyaan/tugas yang kompleks menjadi bagian yang lebih kecil, bagian yang dapat

diatur, (2) menciptakan lingkungan yang bermakna agar belajar menjadi bernilai bagi

siswa, (3) membantu siswa menjelaskan apa yang mereka pikirkan dengan

memparaprase atau memberikan pertanyaan, (4) mengajukan pikiran-

membangkitkan pertanyaan, (5) membantu agar dalam diskusi, siswa tetap fokus, (6)

mendorong siswa menjelaskan sesuatu ke teman yang lain, (7) dan membantu siswa

mencari apa yang perlu diketahui dengan memberi saran dan menunjukkan

bagaimana menggunakan sumber.

Siswa harus mengembangkan sikap positif terhadap belajar dan mengadaptasi

metode pembelajaran yang berbeda secara sukarela. Siswa harus tekun dalam

berpikir. Agar menjadi pebelajar yang efektif, siswa harus memiliki rasa ingin tahu

dan selalu bertanya. Mereka harus mencari sendiri tantangan dan menyukai setiap

belajarnya. Siswa harus menjadi pebelajar yang independen, yang banyak akal,

fleksibel, dan tetap tekun menyelesaikan tugas. Pemikir kritis harus berani mengambil

Page 69: Final Draft

resiko yang tidak takut gagal karena menyadari bahwa kesuksessan dapat diperoleh

dari beberapa usaha yang gagal. Mereka mengakui bahwa kegagalan adalah bagian

penting dalam problem solving dan bukan refleksi kelemahan seseorang. Untuk

memperoleh keterampilan tersebut, siswa harus belajar menjadi sistematis dan

terorganisir dalam mengerjakan tugas-tugas yang berbeda. Mereka harus berpikir

sebelum bertindak dan sadar akan proses berpikirnya (Casey & Tucker dalam Durr,

Lahart, & Maas, 1999).

Costa & Lowery mendaftar sejumlah indikator pemikir yang kreatif, efisien, dan

produktif yaitu (1) tekun dalam menyelesaikan masalah, (2) memperoleh sejumlah

informasi sebelum mengerjakan tugas, (3) menyediakan waktu untuk merefleksikan

jawaban, (4) meyakini bahwa mereka memahami tujuan sebelum mengerjakan tugas,

(5) mendengarkan sudut pandang yang berbeda, memahami, dan memberikan empati,

(6) merencanakan strategi menyelesaikan masalah, (7) memparaprase sudut pandang

yang lain, (8) memberikan beberapa metode menyelesaikan masalah yang sama dan

mengevaluasi masing-masing metode yang digunakan, (9) mengkomunikasikan

proses berpikir dengan bahasa yang jelas dan tepat secara tertulis maupun lisan, (10)

mengecek jawaban, (11) menanyakan pertanyaan tingakt tinggi, (12) menggambarkan

pengetahuan awal dan pengalaman untuk mendukung, menjelaskan atau

menyelesaikan tantangan baru, (13) mentransfer pengetahuan yang di dapat di

sekolah ke dunia nyata dan ke isi pelajaran yang diajarkan, (14) berani mngambil

resiko, dan (15) menghasilkan ide dan produk yang kreatif, baru, banyak akal, dan

imajinatif.

Orang tua harus suportif dan mendorong anak berjuang mengembangkan

keterampilan berpikir kritisnya. Meskipun sudah di tingkat lanjutan, orang tua terlibat

dan mendorong aktivitas berpikir kritis adalah penting agar siswa berhasil di sekolah.

Jeremy Finn (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) mengidentifikasi ada hal dorongan

orang tua di rumah yang berasosiasi dengan performans sekolah yaitu mengorganisasi

dan memonitor waktu anak secara aktif, membantu tugas-tugas pekerjaan rumah, dan

berdiskusi kejadian yang terjadi di sekolah dengan anak. Orang tua, khususnya bagi

anak di sekolah lanjutan perlu membantu anak memprioritaskan tanggung jawab agar

berhasil dalam hal akademik, meskipun mereka tidak familiar dengan tugas yang

Page 70: Final Draft

diberikan guru ke anaknya, mereka dapat memberikan pertanyaan dan mengecek

apakah tugas yang dikerjakan anak telah lengkap. Orang tua harus membantu

menyadari bahwa berjuang adalah normal dan terjadi pada waktu belajar konsep

baru. Mereka harus mendorong anak untuk bertanggung jawab terhadap belajarnya

sendiri (Halpern, 1997; Sutton, 1997; Sanders, 1998 dalam Durr, Lahart, & Maas,

1999).

6. Tujuan dan Proses Projek

Untuk melihat peningkatan kemampuan siswa sekolah menengah atas

menggunakan keterampilan berpikir kritis matematika dan sosial digunakan The

Cornell ritical Thinking Test-Level X, tes buatan guru, projek, penugasan, dan

portofolio.

Untuk mengerjakan tujuan projek, proses yang diperlukan antara lain (1) bahan-

bahan dan bahasa yang mendorong berpikir kritis matematika dan sosial

dikembangkan, (2) sejumlah aktivitas belajar yang merangsang berpikir kritis

dikembangkan dalam bidang studi matematika dan sosial, (3) dan hal-hal yang

merefleksikan keputusan dikonstruksi.

7. Rencana Tindakan Projek

Setelah memperoleh sejumlah informasi yang berkaitan dengan berpikir kritis,

Durr, Lahart, & Maas menggabungkan strategi dan aktivitas untuk mengembangkan

dan mningkatkan keterampilan berpikir kritis siswanya. Bahasa menjadi pusat

perkembangan kognitif siswa, maka penliti sengaja menggunakan bahasa ”berpikir

penuh” setiap hari di kelas. Maksud penggunaan bahasa adalah menantang siswa

berpikir setiap hari. Pada awalnya, peneliti menyediakan daftar kosa kata yang

digunakan pemikir kritis dan menyediakan waktu untuk menjelaskan masing-masing

istilah kepada siswa karena siswa harus memahami bahasa untuk mmfasilitasi

perkembangan kognitif mereka.

Membaca adalah kecakapan hidup yang penting dan merupakan komponen proses

berpikir kritis. Berdasarkan fakta bahwa banyak siswa mengalami kesulitan

memahami apa yang mereka baca, peneliti akan memodelkan membaca untuk

Page 71: Final Draft

memahami dengan cara meminta siswa membaca keras di depan kelas kemudian

menginterpretasikan apa yang telah dibacanya. Mengajak siswa untuk menyatakan

ulang suatu pernyataan, menterjemah, dan memparaprase apa yang telah dibaca

secara konsisten akan menjadikan siswa pendengar yang baik terhadap berpikirnya

sendiri.

Karena siswa sering tidak memikirkan jawaban pertama yang keluar dari

pikirannya, maka peneliti menggunakan sejumlah teknik bertanya dan pertanyaan

open-ended dan mengkombinasikannya.Hal ini akan mendorong siswa menyediakan

waktu merefleksikan jawaban sebelum merespon, serta menurunkan frekuensi

kesegeraan mereka dan meningkatkan jumlah jawaban/respon yang benar.

Peneliti menerapkan belajar kooperatif, aktivitas dijadwal, meluaskan perspektif

siswa sehingga menjadi lebih fleksibel dalam berpikir. Siswa ditanya tentang sudut

pandang alternatif, mengasimilasi dan menginternalisasi sejumlah sumber informasi

secara bersamaan, menyelesaikan tugas yang sama lebih dari satu kali, dan

menyelesaikan ulang konflik dengan kompromi. Sejumlah usaha sadar yang

dilakukan peneliti untuk menggabungkan sejumlah ntelegensi akan membuat iswa

merasa nyaman dengan isi pelajaran sehingga akan meningkatkan kesukarelaan

mereka unuk berpikir.

Siswa sekolah menengah atas lebih menyukai terlibat secara aktif dalam proses

problem solving ketika masalah yang disajikan berkaitan dengan situasi yang familiar

bagi mereka.Setiap usaha yang dilakukan akan menggabungkan sejumlah informasi

dari kehidupan siswa ke dalam masalah yang didiskusikan di kelas. Hal ini akan

meningkatkan minat siswa, dan memperluas kemampuan mereka mentransfer

pengetahuan yang telah dipelajari di sekolah ke dalam situasi dunia nyata.

Pada akhirnya, siswa diminta untuk menuliskan jurnal reflektif. Penggunaan

jurnal akan mendorong siswa mensintesis pikiran dan tindakan mereka, membuat

mereka melokalikasi proses berpikir yang mnyimpang dan membuat perubahan jika

memungkinkan, menterjemah ide ke dalam bahasa tulis. Strategi ini akan membuat

siswa berpikir tentang pikiran mereka, salah satu karakteristik pemikir kritis.

8. Metode Asesmen

Page 72: Final Draft

Untuk menilai pengaruh intervensi, The Cornell ritical Thinking Test-Level X

diadministrasikan. Sebagai tambahan tes buatan guru, projek, aktivitas berpikir kritis

dikembangkan

Tujuan penelitian adalah meningkatkan penggunaan keterampilan berpikir kritis

siswa sekolah lanjutan pada mata pelajaran matematika dan ilmu sosial. Implementasi

struktur belajar kooperatif, penggunaan bahasa yang jelas dan tepat, analisis dan

membaca kritis, justifikasi proses berpikir, pertanyaan Sokratik, menulis reflektif, dan

beragam aktivitas belajar dilaksanakan dengan harapan dapat merangsang berpikir

kritis. Peneliti memulai kegiatan penelitian dengan mengadakan pretes menggunakan

The Cornell Critical Thinking Test-Level X yang terbagi dalam 4 bagian yaitu

induksi, kredibilitas, deduksi, dan asumsi. Penelitian dilaksanakan pada 3 kelas

dengan melaksanakan kelompok belajar kooperatif. Siswa diber kesempatan untuk

memilih sendiri teman dalam 1 kelompoknya, meskipun tetap ada kelompok yang

dibentuk oleh peneliti.

Pada saat belajar kelompok, peneliti memusatkan perhatian pada mengajarkan

keterampilan berpikir kritis. Siswa diberikan ringkasan kosakata “thought-full”,

dijelaskan pengertian dan penggunaan masing-masing kata sebaik kebutuhan

penggunaan bahasa yang tepat dan jelas ketika berbicara dan menulis sehingga

diharapkan mereka memahami dan menggunakan kosakata tersebut dengan tepat

dalam menulis reflektif.

Intervensi dilaksanakan selama 5 bulan, seluruh siswa didorong untuk melakukan

aktivitas berpikir kritis yang mengembangkan kemampuan analisis, justifikasi proses

berpikir, bertanya Sokratik, menulis reflektif, dan berpikir tingkat tinggi. Tes the

Cornell Critical Thinking Test-Level X difokuskan pada 4 bidang berpikir kritis,

sehingga peneliti mengembangkan aktivitas-aktivitas yang menekankan pada bidang-

bidang tersebut. Untuk mendorong dan mengembangkan bernalar induktif, siswa

diberikan sejumlah masalah bilangan yaitu mencari pola atau generalisasi bilangan

Page 73: Final Draft

pada masing-masing masalah, siswa melakukan discovery yang membolehkan

mereka bernalar dari fakta yang diamati secara khusus ke pernyataan umum, serta

siswa meneliti isu-isu tertentu untuk mengembangkan keputusan yang bernilai benar.

Untuk memotivasi siswa membenarkan kredibilitas suatu situasi, siswa disajikan

masalah dimana mereka harus menduga kredibilitas jawaban dan menjelaskan

penalaran mereka dengan bahasa yang jelas dan tepat. Peneliti juga menggunakan

pertanyaan Sokratik untuk membimbing siswa menganalisis validitas jawaban

mereka.

Penggunaan the Cornell Critical Thinking Test-Level X mengindikasikan bahwa

keterampilan bernalar deduktif pada siswa yang menjadi target adalah berkembang

dengan pesat sehingga peneliti tinggal mengembangkan dan mempertinggi

keterampilan tersebut. Hal ini ditandai dengan siswa telah menyelesaikan persamaan

dan pertidaksamaan dan membenarkan tiap proses langkah pengerjaannya, siswa

mampu bernalar secara logis dalam pembuktian, serta mampu membuat kesimpulan

berdasarkan penggunaan silogisme.

Untuk membantu siswa mengembangkan lebih lanjut kemampuan mereka untuk

mengenali validitas asumsi yang dibuat, siswa diberi masalah agar mereka

menganalisis, menyatakan ulang dengan bahasa sendiri, menyelesaikan, dan

membenarkan solusi masalah yang mereka buat. Siswa diminta menganalisis

sejumlah masalah untuk memutuskan asumsi apa yang dapat atau tidak dapat dibuat

berdasarkan informasi atau diagram yang diberikan. Siswa juga diminta membaca

beberapa perspektif yang berbeda dari kejadian yang sama dan membuat asumsi

berdasarkan apa yang mereka baca tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Pada akhirnya, the Cornell Critical Thinking Test-Level X digunakan kembali

sebagai post-tes. The Cornell Critical Thinking Test-Level X digunakan untuk menilai

pengaruh belajar kooperatif dan aktivitas berpikir tingkat tinggi siswa pada akhir

intervensi. Berdasarkan tes diperoleh data bahwa respon siswa terhadap pertanyaan

yang mensyaratkan bernalar induktif siswa naik 1% menjadi 65% dari pretes

meskipun respon siswa terhadap pertanyaan yang membutuhkan bernalar deduktif

turun 2% menjadi 73%. Persentase siswa yang mampu menilai kredibilitias 52%

turun 1% dari pretes, persentase siswa yang mampu mengidentifikasi asumsi yang

Page 74: Final Draft

bernalar adalah 49% turun 2% dari pretes. Hal ini disebabkan karena beberapa siswa

tidak serius pada saat dilaksanakan tes, pelaksanaan pretes dan postes terlalu singkat

sehingga siswa tidak mampu membaca berulang pertanyaan yang ada, serta

pendeknya peride intervensi sehingga tidak ada waktu yang cukup bagi beberapa

siswa menginternalisasi dan mentransfer keterampilan berpikir. Secara umum, hasil

postes lebih rendah dari pretes, namun sebesar 30% siswa mampu meningkatkan skor

pada masing-masing bidang yang diuji. Secara umum peneliti puas terhadap

peningkatan aktivitas berpikir kritis siswa sehingga berencana meneruskan

mengintegrasikan mengajarkan keterampilan berpikir kritis dalam kurikulum reguler

karena mereka percaya bahwa jika guru meningkatkan keterampilan mengajarkan

berpikir kritis maka kemampuan berpikir kritis siswa juga akan meningkat.

Pada penelitian ini, peneliti menemukan sejumlah perilaku khusus siswa yang

tidak diteskan dalam the Cornell Critical Thinking Test-Level X yang

mengindikasikan pemikir kritis yaitu siswa meningkatkan ketekunan ketika

menghadapi masalah yang menantang, siswa meningkatkan waktu untuk membaca

dan mengklarifikasi tujuan sebelum memulai mengerjakan tugas, siswa meningkatkan

kesadaran mendengarkan sudut pandang alternatif, meningkatkan keterampilan

komunikasi lisan dan tertulis, meningkatkan keinginan mengambil resiko,

meningkatkan kualitas kerja, dan meningkatkan kesadaran bertanya.

J. Penelitian yang Berkaitan dengan Berpikir Kritis Matematika

dilakukan oleh Bessick

Berikut ini akan dibahas hasil penelitian yang dilakukan oleh Bessick (2008) tentang

upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis sebagai hasil pembelajaran langsing

(direct instruction) dan hubungannya terhadap prestais akademik. Penelitian eksperimen

ini menguji mengaruh pembelajaran langsung (direct instruction) berpikir kritis pada

kemampuan berpikir kriti dan prestasi akademik mahasiswa tingkat awal yang diberikan

tutor dalam pelatihan brulang di Universitas Pensilvania. Penelitian ini menggunakan the

Thinker Guide berdasarkan model berpikir kritis Richard Paul, the Rationale Argument

Mapping Program, berdasarkan penelitian Tim van Gelder.

Page 75: Final Draft

Kemampuan bernalar abstrak dan problem solving diukur menggunakan the

Category Test: Computer Version – Research Edition (CAT:CV). Keterampilan berpikir

kritis subjek penlitian diukur pada saat pra- dan setelah pembelajaran menggunakan The

California Critical Thinking Skills Test – Form 2000 (CCTST – 2000). Data dianalisis

untuk menentukan kemampuan The CAT:CV dan The CCTST-2000 post tes. Skor

peringkat total digunakan untuk mmprediksi peningkatan ketrampilan berpikir kritis dan

prestasi akademik subjek setelah diberikan pembelajaran. Data juga dianalisis untuk

menentukan pengaruh pembelajaran langsung menggunakan The Thinker Guide atau

Rationale Argument Mapping Program untuk mengetahui peningkatan keterampilan

berpikir kritis subjek. Pada akhirnya, data dianalisis untuk menentukan hubungan antara

jenis kelamin dan peningkatan berpikir kritis dan prestasi akademik. Jenis klamin bukan

faktor penting dalam penelitian Bessick ini.

Siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi langsung setelah

menyelesaikan sekolah menengah atas, tetapi hanya 23% siswa yang menunjukkan

tingkat berpikir kritis yang tinggi (Piro & Iorio dalam Bessick, 2008). Institusi

pendidikan tinggi juga tidak lebih baik.Halpern (dalam Bessick, 2008) melaporkan bahwa

pengaruh perguruan tinggi terhadap kemampuan berpikir kritis lulusannya terbatas.

Pada tahun 1992, Departemen Pendidikan Amerika mensponsori penelitian keterampilan

berpikir kritis orang dewasa. Tujuan penelitian ini adalah mengirimkan pesan ke lembaga

pendidikan tinggi belajar dan mengajar apa yang diharapkan. Penelitian ini juga

mengirimkan pesan ke mahasiswa tingkat awal perguruan tinggi agar mereka

meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Greenwood, dalam Bessick 2008). Facione,

Sanchez, dan Facione melaporkan konsensus yang para pakar berpikir kritis yang

menyarankan bahwa tujuan pendidikan adalah menyiapkan individu khususnya pada

tingkat perguruan tinggi menguasai dan terapil dalam brpikir kritis. Mskipun terdapat

harapan umum terhadap mahasiswa perguruan tinggi agar dibekali keterampilan berpikir

kritis dan mengetahui bagaimana menggunakannya, banyak peneliti yang melaporkan

bahwa kebanyakan mahasiswa menunjukkan tingkat berpikir kritis yang kurang (Tsui,

dalam Bessick, 2008). Mnurut Facione (dalam Bessick, 2008) pendidik

Page 76: Final Draft

merekomendasikan bahwa siswa K-12 dan pendidikan tinggi menerima pembelajaran

berpikir kritis sebagai praktek dalam kurikulum pendidikan untuk mngembangkan dan

menggunakan keterampilan berpikir kritis.

Tujuan penelitian Bessick adalah mnliti pengaruh pembelajaran langsung

terhadap keterampilan berpikir kritis pada tingkat brpikir kritis mahasiswa dan presta

akademik lulusan mahasiswa. Semua mahasiswa diberi tutor dalam latihan yang diulang-

ulang. Penelitian Bessick ini merupakan perluasan penlitian awal yang ilakukan oleh

Facione (2002), Halpern (1994, 1995, 1998, 19999, 2001), Halpern & Hakel (2003),

Giarcarlo & Facione (2001), Paul & Nosich (1992), Paul, R. (1993), Paul & Elder (1996,

1997), Ewell (2002), Gazella & Ginther (1996), dan Van Gelder (2001- 2005) untuk

menilai keterampilan berpikir kritis mahasiswa dan menentukan apakah pembelajaran

langsung akan memberikan pengaruh positif berpikir kritis dan prestasi akademik

mahasiswa. Tutor dianggap sebagai sarana yang bermanfaat untuk membantu mahasiswa

pada tingkat perguruan tinggi. The Thinker's Guides dan Rationale Argument Mapping

Program digunakan sebaik 2 ukuran penilaian lain yaitu the Category Test Computer

Version – Research Edition (CAT:CV) and the California Critical Thinking Test - Form

2000. Penelitian ini juga mempunyai beberapa tujuan tambahan yaitu menginvestigasi

hubungan antara skor kesalahan siswa pada CAT:CV dan skor pada pre-tes dan post-tes

The California Critical Thinking Skills Test – Form 2000 (CCTST-2000). Hubungan

antara CAT:CV dan tingkat akhir mahasiswa juga diinvestigasi. Hubungan antara

CAT:CV dan subskala CCTST-2000 diinvestigasi untuk menentukan apakah ada suatu

daerah peningkatan keterampilan kognitif yang diidentifikasi oleh CCTST-2000.

Akhirnya, hubungan antara jenis kelamin, keterampilan berpikir kritis siswa dan tingkat

akhir juga dinilai.

Jika mahasiswa dapat mengembangkan dan meningkatkan keterampilan berpikir

kritis melalui pembelajaran yang bukan merupakan latihn khusus, hal ini akan

menghasilkan beberapa perubahan positif bagi mereka dan universitas yaitu

meningkatkan keterampilan berpikir kritis potensial menurunkan banyaknya latihan

ulangan mahasiswa, mengurangi angka keluar universitas atau pindah jurusan,

meningkatkan banyaknya lulusan, meningkatkan prestasi akademik, memaksimalkan

pengalaman tutor, meningkatkan kemampuan penelitian, mmbantu mahasiswa mengenali

Page 77: Final Draft

bahwa mengembangkan berpikir kritis adalah harapan pendidikan tinggi, membuat

mahaiswa menyadari tanggung jawab prestasi akademiknya. Universitas akan

mendapatkan keuntungan dari mahasiswa yang meningkatkan keterampilan berpikir

kritisnya yaitu universitas akan meningkatkan retensi semua mahasiswanya,

meningkatkan ketekunan dan rata-rata lulusannya, meningkatkan asuransi publik yang

mngharapkan akuntabilitas kemajuan mahasiswa, dan memperluas komunitas

kepercayaan universitas menghasilkan mahasiswa yang dapat menjadi anggota produktif

dalam masyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh Bessick menguji pengaruh pembelajaran langsung

terhadap berpikir kritis mahasiswa dan prestas akademiknya. Intervensi program

menggunakan The Thinker berdasarkan model berpikir kritis Richard Paul dan program

Rational Argument Mapping berdasarkan Tim Van Gelder menunjukkan tidak ada

peningkatan signifikan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Namun The Thinker

Guide menunjukkan peningkatan tingkat akhir mahasiswa. Pembelajaran yang

dilaksanakan baik menggunakan strategi pembelajaran langsung atau belajar independen

dengan tambahan adanya totur sebaya merupakan faktor yang mmbrikan kontribusi

peningkatan prestasi akademik mahasiswa. Namun, karena sampel dan ukuran

pengaruhnya kecil, kesimpulan ini harus diuji lagi dengan cara mengulang penelitian

untuk melihat apakah benar terdapat pengaruh pembelajaran langsung terhadap prestasi

akademik dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. CAT:CV menunjukkan hubungan

yang signifikan tingkat akhir mahasiswa.

Menurut Clifford, Boufal, & Kurtz (dalam Bessick, 2008) tujuan dasar pendidikan

di perguruan tinggi adalah melanjutkan mengembangkan keterampilan brpikir kritis

mahasiswa. Survey yang dilakukan oleh The Chronicle of Higher education tahun 2000

brkaitan apa yang paling diinginkan orang Amerika terhadap pendidikan tinggi dalam

mempersiapkan pekerjaan adalah bahwa keterampilan umum yang dipelajari dalam

berpikir kritis lebih penting daripada keterampilan penggunaan komputer atau

keterampilan kerja spesifik lainnya. Survey ini juga mneyatakan 81% responden

menempatkan berpikir kritis sebagai hal yang paling penting dalam bekerja. Menurut

Vance (dalam Bessick, 2008) lapangan pekerjaan di Amerika telah berubah dan banyak

lulusan perguruan tinggi yang tidak dipersiapkan untuk bersaing dalam ekonomi global

Page 78: Final Draft

yang mengharapkan seorang individu terampil dalam problem solving dan berpikir kritis.

Ketidakmampuan menyadari tujuan pendidikan dan karir menjadi tambahan konsekuensi

negatif brpikir kritis yang miskin. Pada lembaga perguruan tinggi, mahasiswa yang

terbatas berpikir kritis beresiko tertunda lulus karena miskinnya prestasi akademik,

mngulang banyak mata kuliah, pindah jurusan, kehilangan bantuan finansial, dan yang

paling parah adalah mahasiswa tidak lulus kuliah (DO). Institusi perguruan tinggi

mengharapkan siswa yang memasuki perguruan tinggi mampu mengembangkan berpikir

kritis, namun kenyataannya tidak demikian. Kebutuhan meningkatkan keterampilan

berpikir kritis di perguruan tinggi berdasarkan sejumlah hasil penelitian yang menyatakan

siswa kurang dalam berpikir kritis. Para peneliti berharap adanya peningkatan bernalar

dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa di Amerika agar siap menghadapi dunia kerja.

Sejumlah pakar berpikir kritis pembelajaran dan penilaian berpikir kritis

menggunakan metode Delphi untuk membentuk panel interaktif ydan mendiskusikan

keterampilan kognitif dan karakteristik afektif yang berhubungan dengan berpikir kritis.

Menurut Facione, panel ini mengutarakan analisis berpikir kritis dengan mengidentifikasi

inti elemen kognitif berpikir kritis yang diharapkan yaitu interpretasi, analisis, evaluasi,

penyimpulan, penjelasan, dan regulas diri. Selain Facione, Richard Paul memperluas

elemen berpikir kritis yang diidentifikasi yaitu pertanyaan, tujuan, informasi, asumsi,

konsep, sudut pandang, dan implikasi. Linda Elder, seorang peneliti berpikir kritis juga

memberikan kontribusi faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan

keterampilan berpikir kritis ini pada pebelajar di jenjang perguruan tinggi.

Paul dan Elder menyusun elemen kognitif berpikir kritis dan karakteristik pemikir

kritis yang baik dari projek penelitian pendahuluan, termasuk laporan Delphi (the Delphi

Report), dan meluaskannya agar dapat menempatkan kebutuhan berpikir kritis siswa pada

semua jenjang. Paul dan Elder mngembangkan sejumlah sarana yang diberi nama “The

Thinker Guides” untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis di perguruan tinggi.

Peneliti Tim van Gelder melaporkan bahwa siswa harus didorong berpikir kritis daripada

hanya belajar tentang brpikir kritis karena hanya belajar tentang berpikir kritis tidak akan

meningkatkan keterampilan ini. Van Gelder merasa bahwa dorongan aktif untuk latihan

berpikir kritis menggunaan pemetaan argumen (argument mapping) memberikan

kesempatan kepada siswa untuk menjadi pemikir kritis yang lebih baik. Pemetaan

Page 79: Final Draft

penalaran melalui penggunaan peta argumen mengijikan siswa memonitor penalaran

yang dibuatnya, mengidentifikasi isu-isu dan asumsi penting dan akan lebih mudah

mengklarifikasi pengertian mendalam mereka.

The Rationale Argument Mapping Program yaitu program komputer yang dapat

digunakan sebagai pendekatan interaktif dalam membangun dan mengevaluasi argumen

siswa. Program menyediakan petunjuk dalam mengembangkan argumen, scaffolding,

umpan balik, dan motivasi untuk mentransfer dan mnggunakan keterampilan berpikir

kritis. Program ini digunakan pada mahasiswa yang diberikan pre-tes dan post-tes

menggunakan the California Critical Thinking Skills Test.Menurut van Gelder (dalam

Bessick, 2008) hasil tes ini adalah menghasilkan kenyataan bahwa mahasiswa

menunjukkan peningkatan keterampilan berpikir kritis dengan kira-kira satu standar

deviasi ketika dibandingkan dengan metode langsung mengajarkan keterampilan berpikir

kritis lain.

Tujuan penelitian Bessick ini adalah untuk menentukan apakah pembelajaran

langsung keterampilan berpikir kritis dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan

prestasi akademik mahasiswa tingkat pertamavyang mengulang latihan. Tutor di

perguruan tinggi dilaporkan oleh Bessick sebagai sarana keberhasilan mahasiswa. Subjek

penelitian adalah mahasiswa Universita Pensilvania yang mengulangi latihan lebih dari

satu kali. Sebanyak 143 mahasiswa sukarela menjadi subjek penelitian ini. Berdaarkan

kriteria yang ditetapkan peneliti dipilih 129 mahasiswa. The Computer Version of the

Category Test digunakan dalam bernalar abstrak dan keterampilan problm solving

mahasiswa dan the california ritical Thinking Skills Test (CCTST) Form 2000 digunakan

sebagai pengukuran pre-tes dan post-tes. The Thinker Guide Paul dan Rationale

Argument Mapping Program digunakan sebagai intervensi perlakuan selama 13 minggu.

Tingkat akhir subjek yang mengulangi latihan digunakan untuk menentukan prestasi

akademik setelah diberikan perlakuan. Data dianalisis menggunakan ANCOVA,

MANOVA, MANCOVA, dan regresi linier ganda untuk menentukan perbedaan

signifikan yang terjadi pada keseluruhan post-tes CCTST, skor subskala CTST, dan

tingkat akhir berdasarkan intervensi perlakuan dan jenis kelamin. Analisis data juga

dilakukan dalam menentukan kemampuan skor kesalahan kategori tes untuk memprediksi

tingkat akhir mahasiswa.

Page 80: Final Draft

Analisis penelitian ini menguji pengaruh pembelajaran langsung terhadap

keterampilan berpikir kritis dan prestasi akademik mahasiswa Universitas Pennsylvania

yang diberi tutor dalam pelatihan yang diulangnya. Hubungan jenis kelamin subjek

dengan keterampilan berpikir kritis dan prestasi akademik juga diuji.

Pada penelitian ini juga terjadi pengurangan subjek penelitian sebanyak 20 orang

termasuk diantaranya mahasiswa yang tidak penuh hadir selama penelitian. Pengurangi

ini menghasilkan ukuran sampel yang lebih kecil yaitu 78. Desain blok digunakan secara

acak untuk menugasi mahasiswa mendemonstrasikan pengaruh ukuran yang menyatakan

mahasiswa tidak sama kemampuan berpikir kritisnya pada awal penelitian ini. SPSS,

16.0,2007 digunakan untuk menganalisisdata penelitian.

MANCOVA digunakan untuk menentukan pengaruh intervensi kelompok

(Thinker’s Guide atau Rationale) terhadap skor post-tes berpikir kritis berdasarkan

CCTST-2000 dan prestasi akademik yang diukur dengan tingkat akhir terhadap pelatihan

yang diulang. Menguji Wilk’s Lambda, MANCOVA mengungkapkan bahwa intervensi

kelompok bukan faktor sokr post-tes berpikir kritis mahasiswa, F (2, 70) = 43; p = .652.

Namun intervensi kelompok mnunjukkan hubungan signifikan secara statistik diantara

subjek pada tingkat akhir, F (2, 70) = 7.73; p = .001. Kekuatan analisis

menampakkan .94 kekuatan yang diamati tetapi pengaruh ukuran kcil ( .18). Pemberian

tutor bukan satu-satunya faktor yang berkontribusi terhadap tingkat akhir mahasiswa.

Regresi Linier ganda digunakan untuk menguji tingkat yang mana skor peringkat

total CAT:V dan CCTST-2000 dapat memprediksi tingkat akhir mahasiswa. Analisis

regresi menyatakan hubungan CAT:CV dan CCTST-2000 skor peringkat total yang

signifikan. Menggunakan R kuadrat ( .366), 36,6% variasi tingkat akhir dapat dijelaskan

dengan suatu model kekuatan observasi .99. Berdasarkan CAT:CV dan post-tes CCTST-

2000 diperoleh hubungan yang signifikan dengan tingkat akhir. Hasil CAT:CV dengan

beta = - .425, t = 3.71, p = .000 lebih signifikan daripada CCTST – Form 2000 post tes

skor peringkat total dengan beta = .267, t = 2.34, p = .022.

MANOVA disusun untuk menentukan kelompok mana yang mendapat pengaruh

signifikan berdasarkan CCTST-2000 skor subskala peringkat total. Hipotesisnya adalah

kelompok 1 (Thinker’s Guides) dapat mendemonstrasikan pengaruh yang lebih signifikan

daripada kelompok 2 (Rationale) atau klompok 3 (Kontrol). Hasil MANOVA tidak

Page 81: Final Draft

menunjukkan sebarang hubungan yang signifikan. Data selanjutnya dianalisis

menggunakan ANCOVA, MANCOVAdan ANOVA untuk menentukan pengaruh jenis

kelamin pada CCTST-2000 post-tes skor peringkat akhir, CCTST-2000 post-tes skor

subskala peringkat, dan tingkat akhir. Hasil analisis menyatakan tidak ada pngaruh

signifikan jenis kelamin meskipun pria dihipotesiskan menunjukkan performans berikir

kritis yang lebih dibandingkan wanita.

Berikut ini kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Bessick. Tujuan

penelitian ini adalah menguji pengaruh pembelajaran langsung terhadap keterampilan

berpikir kritis dan prestasi akademik mahasiswa. Program intervensi menggunakan The

Thinker’Guide berdasarkan model berpikir kritis Richard Paul dan The Rational

Argument Mapping Program model Tim van Gelder menunjukkan tidak ada peningkatan

signifikan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Namun, The Thinker Guide

menunjukkan peningkatan mahasiswa tingkat akhir tetapi mahasiswa menggunakan

segala bahan seperti pada kelompok kontrol dalam berpikir kritis. Faktanya,

ipembelajaran berpikir kritis, apakah disampaikan melalui pembelajaran langsung atau

belajar independen pada kelompok kontrol dengan tambahan totur dapat mnjadi faktor

yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan prestasi akademik mahasiswa. Namun

karena sampel dan ukuran pengaruh kecil, kesimpulan ini harus diinterpretasi dengan

hati-hati. Mengulangi penelitian dengan peningkatan ukuran sampel dapat menjadi salah

satu metode untuk menentukan kebenaran pengaruh pembelajaran langsung terhadap

keterampilan berpikir kritis dan prestasi akademik mahasiswa.

CAT:CV juga mnyatakan adanya hubungan yang signifikan dengan tingkat akhir mahasiswa. Meskipun sedikit sekali penelitian yang mengkaji kemampuan CAT:CV memprediksi tingkat akhir mahasiswa, CAT:CV menunjukkan hubungan dengan tingkat akhir.

Pemikiran peneliti terhadap kurangnya peningkatan yang signifikan keterampilan

berpikir kritis adalah hubungan pembelajaran keterampilan berpikir kritis dengan

pelatihan strategi belajar karena komponen metakognitif melekat pada kedua intervensi

pembelajaran. Seseorang harus bertanya apakah strategi belajar dapat atau tidak dapat

mentransfer pertumbuhan berpikir kritis seseorang yang direfleksikan pada tingkat akhir.

Mungkin saja salah satu alasan peningkatan signifikan tingkat akhir mahasiswa yang

diobservasi terbuka terhadap berpikir kritis tetapi tidak cocok meningkatkan berpikir

Page 82: Final Draft

kritis seperti diukur dengan CCTST-2000 hanya strategi blajar tertentu yang ditransfer

sementara keseluruhan ketrampilan brpikir kritis dan metakognitf tidak meningkat.

Har, Y. N. Mathematical Thinking Big Ideas in Elementary School Mathematics

http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/.../Yeap%20Ban%20Har%20ppt.pdf diakses tanggal 2 September 2009

Hurst, C. 2008. Using Task-Based Interviews to Assess Mathematical Thinking of Primary School Students. In M. Goos, R. Brown, & K. Makar (Eds.). Proceedings of the 31st Annual Conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia © MERGA Inc. http://www.merga.net.au/publications/counter.php?pub=pub_conf&id. diakses tanggal 5 Agustus 2009

Page 83: Final Draft

Livne, N. L, Livne, O. E, & Wight, C.A. 2008. Enhancing Mathematical Creativity Through Multiple Solutions to Open-Ended Problems Online http://www.iste.org/Content/NavigationMenu/Research/.../Livne.pdf diakses tanggal 6 Agustus 2009

Stacey, K. 2008. What is Mathematical Thinking and Why is it Important?. Psychology of Mathematics Education. http:// marsigitpsiko.blogspot.com/ diakses tanggal 3 Maret 2009