filsafat ilmu
DESCRIPTION
filsafat ilmuTRANSCRIPT
PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori pendidikan dapat
atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang
filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat
kemanusiaan?
A. Pengertian Ilmu, Filsafat, dan Filsafat Ilmu
I. Ilmu adalah suatu pengetahuan ilmiah yang memiliki syarat-syarat
:
Dasar Pembenaran yang dapat dibuktikan dengan metode ilmiah dan
teruji dengan cara kerja ilmiah
Sistematik, yaitu terdapatnya sistem yang tersusun dari mulai
proses, metode, dan produk yang saling terkait.
Intersubyektif, yaitu terjamin keabsahan atau kebenarannya
Sifat ilmu yang penting:
Universal : berlaku umum, lintas ruang dan waktu yang berada di
bumi ini
Communicable : dapat dikomunikasikan dan memberikan pengetahuan
baru kepada orang lain
Progresif : adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan yang
merupakan tuntutan modern
Ilmu dari sisi Keyakinan atau Agama Islam : Ilmu Allah meliputi
segala sesuatu
Perumpamaan tidak terbatasnya ilmu Allah adalah, jika kita hendak
menulisnya dengan pena dan tinta. Allah mengetahui segala sesuatu
yang ada di langit dan yang ada di bumi. Di sisi Allah kunci-kunci
yang ghaib dia mengetahui segala yang tampak, segala sesuatu yang
ghaib, dan yang nyata (jelas), segala yang tersembunyi dan yang
nyata, segala yang dirahasiakan, dan yang dilahirkan oleh manusia,
yang dahulu dan yang kemudian, yang masuk ke dalam bumi dan yang
keluar dari dalam bumi, yang turun dari langit dan yang naik
padanya.
Ilmu manusia berasal dari Allah dan sangat terbatas. Allah memberi
ilmu kepada nabi Adam a.s. dan mengajari manusia apa-apa yang tidak
diketahuinya dengan kalam. Ilmu manusia sangat sedikit dan
terbatas. Yang diketahui oleh manusia karena kehendak Allah jua.
Manusia dilahirkan tanpa ilmu/tidak mengetahui sesuatu pun,
diberi-Nya pendengaran agar memperoleh ilmu dengan pengabaran,
diberi-Nya penglihatan agar memperoleh ilmu dengan melihat
kenyataan, dan diberinya hati/akal agar memperoleh ilmu dengan
penalaran atau proses memahami.
Al-Quran Sumber ilmu pengetahuan. Al Quran merupakan sumber ilmu
pengetahuan yang mengeluarkan manusia dari kegelapan. Pelajarilah
alam semesta ini, semua digelar dan dicipta agar dipelajari oleh
manusia yang dianugrahi akal budi, namun hanya yang berakal atau
yang menggunakan akalnyalah yang dapat menerima pelajaran dan ilmu
tersebut.
Derajat dan keadaan orang yang tidak berilmu
Tanpa ilmu manusia sering dan suka berdusta terhadap yang lainnya,
dengan maksud menyesatkan manusia. Dia akan mengikuti dan menuruti
hawa nafsunya sendiri tanpa kendali. Wajib kita berpaling dari
orang bodoh. Dosa akibat perbuatan yang tidak diketahui (karena
kebodohan) akan diampuni asalkan mau bertobat dan memperbaiki
dirinya.Keutamaan dan derajat orang yang berilmu. Orang berilmu
akan takut kepada Allah, mengakui keesaan Allah, dan membenarkan
sesuatu yang datang dari-Nya. Pahala yang besar bagi yang berilmu,
dan Allah meninggikan derajatnya, (baik di sisi Allah maupun di
hadapan manusia) di antaranya, sebagai tempat bertanya.
Kewajiban menuntut ilmu dan mengajarkannya.
Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban, mengajarkannya kepada orang
lain hendaklah dengan jelas, dengan terang, dan janganlah
menyembunyikan yang benar. Hendaklah mengajarkan sesuatu dengan
penuh kebijaksanaan (penuh hikmah). Di sinilah mulianya tugas
pendidik, karena ia mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmunya
kepada anak didiknya dengan penuh hikmah dan keteladanan. Guru
harus dapat membedakan ilmu yang amaliah dan amal yang
ilmiah.
II. Filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan. Filsafat berasal dari
kata bahasa Yunani philosophia yang terdiri dari dua suku kata
yaitu philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti
kebijaksanaan.
Pengertian filsafat secara luas adalah :
1. Usaha spekulatif manusia yang sangat rasional, sistematik,
konseptual untuk memperoleh pengetahuan selengkap mungkin
berdasarkan kaidah ilmiah
2. Ikhtiar atau usaha untuk menentukan batas-batas pengetahuan
secara koheren dan menyeluruh (holistic dan comprehensive)
3. Wacana tempat berlangsungnya penelusuran kristis terhadap
berbagai pernyataan dan asumsi yang umumnya merupakan dasar suatu
pengetahuan.
4. Dapat dipandang sebagai suatu tubuh pengetahuan yang
memperlihatkan apa yang kita lihat dan katakan. Dia harus seiring
dan sejalan dalam aplikasi dan penerapannya di lapangan.
Filsafat menjembati cara berfikir secara ontologis, epistemologi
dan aksiologi
Ontologi : hakikat apa yang dikaji
Epistemologi : cara mendapatkan pengetahuan yang benar
Aksiologi : nilai kegunaan ilmu
Filsafat adalah pengetahuan yang mempelajari seluruh fenomena
kehidupan manusia secara kritis. Filsafat disebut juga ilmu
pengetahuan yg mencari hakekat dari berbagai fenomena kehidupan
manusia. Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan
koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan
refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai
hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (=
kebijaksanaan).
Dalam sejarah filsafat Yunani, filsafat mencakup seluruh bidang
ilmu pengetahuan. Lambat laun banyak ilmu-ilmu khusus yang
melepaskan diri dari filsafat. Meskipun demikian, filsafat dan ilmu
pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik filsafat
maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis,
sistematis, koheren dan mempunyai obyek material dan formal. Namun
yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari
seluruh realitas, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu
realitas atau bidang tertentu.
Filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dia memberi sumbangan
dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu mengembangkan
ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu dapat hidup dan
berkembang. Filsafat membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap
rasional dalam mempertanggungjawabkan ilmunya. Pertanggungjawaban
secara rasional di sini berarti bahwa setiap langkah langkah harus
terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan dan harus
dipertahankan secara argumentatif, yaitu dengan argumen-argumen
yang obyektif (dapat dimengerti secara intersuyektif).
III. Filsafat Ilmu :
Hampir semua penyakit dan ilmu dapat dipelajari oleh kita. Semua
itu berangkat dari filsafat. Filsafat itu ibarat pondasi dalam
sebuah bangunan. Filsafat (mencari kebenaran versi manusia) mulanya
berasal dari data empiris. Filsafat ilmu adalah ikhtiar manusia
untuk memahami pengetahuan agar menjadi bijaksana. Dengan filsafat
ilmu keabsahan atau cara pandang harus bersifat ilmiah. Filsafat
ilmu memperkenalkan knowledge dan science yang dapat ditransfer
melalui proses pembelajaran atau pendidikan.
Filsafat ilmu adalah filsafat yang menelusuri dan menelidiki
sedalam dan seluas mungkin segala sesuatu mengenai semua ilmu,
terutama hakekatnya, tanpa melupakan metodenya. Kerapkali kita
lihat ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada
di awang-awang saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada
dalam kehidupan kita sehari. Benar, filsafat bersifat tidak
konkrit, karena menggunakan metode berpikir sebagai cara
pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Filsafat , philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau philosophya
dalam Yunani mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Philos
(cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos
(kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis,
inteligensi. Dari pengertian tersebut filsafat sebenarnya amat
dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk mengerti apa filsafat
itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk merenungkan
realitas hidupnya, apa itu hidup? Mengapa saya hidup? Akan kemana
saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya muncul alamiah
bila akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang
atau peminat filsafat sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan
baik memandang realitas? Aristoteles menyebut manusia sebagai
binatang berpikir. Tapi kita para guru menganggapnya sebagai
Makhluk Allah yang berakal dan berbudi serta memiliki akhlak mulia.
Untuk mencapai hal itu diperlukan ilmu yang bernama Ilmu
Pendidikan.
B. Filsafat Ilmu dan Aplikasinya dalam Pendidikan
Aspek filsafat sesungguhnya merupakan faktor yang sangat penting
dalam menentukan kinerja dan mutu pendidikan di suatu negara,
meskipun bukan satu-satunya determinan. Di samping kajian filsafat
mengenai eksistensi ilmu pendidikan, perumusan dan kejelasan
filsafat pendidikan itu sendiri akan menentukan kebijakan dasar
pendidikan, dan selanjutnya menentukan tingkat kemajuan dan
perkembangan pendidikan nasional.
Atas dasar itu ilmu dan aplikasi pendidikan secara komprehensif
membahas berbagai aspek dan persoalan pendidikan
teoritis/filosofis, pendidikan praktis, pendidikan disiplin ilmu,
dan pendidikan lintas bidang, sangatlah tepat dan strategis.
Sejumlah ahli mengungkapkan bahwa di tengah kecendrungan
pragmatisme dalam dunia pendidikan, ilmu pendidikan merupakan ilmu
yang cenderung kurang berkembang. Ilmu pendidikan bukan saja tidak
memiliki daya pikat dan daya tarik yang kuat, tapi juga bersifat
konservatif, statis, kurang menghiraukan aspirasi kemajuan, dan
semakin terlepas dari konteks budaya masyarakat.
Ilmu pendidikan, dengan demikian dianggap mengalami reduksi dan
involusi. Salah satu akar persoalannya, ilmu pendidikan dianggap
tidak didukung oleh body of knowledge yang relevan dengan
masyarakat Indonesia, serta tidak dibangun atas dasar pengetahuan
yang relevan dengan perkembangan jiwa dan fisik anak-anak
Indonesia.
Pada sisi lain, falsafah yang mendasari ilmu pendidikan serta
kebijakan dasar pendidikan secara umum, pada saat ini dihadapkan
pada konteks masyarakat Indonesia yang sedang berubah, suatu
masyaerakat reformasi transisional yang diharapkan menuju
masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, demokrasi, egaliter,
menghargai kenyataan pluralitas masyarakat dan sumber daya,
otonomi, dsbnya. Kenyataan ini merupakan tantangan baru di tengah
keringnya ilmu pendidikan.
Tantangan semacam itu, tentu perlu disikapi oleh para pakar
pendidikan dengan upaya menemukan dan merumuskan parameter yang
bersifat menyeluruh, untuk membangun ilmu pendidikan sebagai ilmu
yang multidimensi baik dari segi filsafat (epistemologis,
aksiologis, dan ontologis), maupun secara ilmiah. Dari segi ini,
yang diinginkan adalah ilmu pendidikan yang berakar dari konteks
budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia, dan untuk kebutuhan
masyarakat Indonesia yang terus berubah. Alangkah pentingnya kita
berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan
dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti
seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling
berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya
didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji
mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan
pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta
didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari
pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta
intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya
ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan
adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu
mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai
dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.
Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam
praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama
mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana
usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7
(Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa
untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai
tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan
memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan
tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu
berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro
yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar
ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya
ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah
cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau
kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4
tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral
dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning
yang dikutip Langeveld (1955).
Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan
teori praktek hanya untuk orang-orang jenius.
Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh
orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial
dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan
tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa
semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena
tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan masing-masing
dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik
dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan
(psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita
bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar
teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori
yang baik.
Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan
individual, sosial dan kultural. Pada skala mikro pendidikan bagi
individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas
seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau
sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan
isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan
dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu
berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang
baik dengan lengkap.
Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang
bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap
mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir
serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda
diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan
kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro
pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi
manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara.
Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena
interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan
dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang
lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya
sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap
bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I & me).
Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang
besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar
kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar
bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi
regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian
nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam
kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam
arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan
masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala
makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam
bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi
makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan
yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik.
Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat
konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian
bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi
yang afektif.
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti
disebut tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi)
pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan
manusia sebagai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yang bersifat
luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual,
sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikan dalam praktek
adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia
dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua
arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi
seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan
pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu
dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan
diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai
variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah
deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan
hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila
pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik
secra orang perorang (personal). Artinya sifat manusiawi dari
pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi
kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang
menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara
kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu.
Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis
yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat
terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik
terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau
fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial
atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu
sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode
ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia
melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus
bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya
ditanah air kita?
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam
kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu
diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh
paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu
sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran
(yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan
kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti
penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang
otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup
kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis
dan rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan
dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik,
mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik
dapat didorong aga belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar.
Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara guru
yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya perundang-undangan
pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi agar
upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain
agar pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar.
Lagi pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga
pendidikan perlu ditentukan utamanya harus melakukan pengajaran dan
mengelola kurikulum formal sebagai aspek spesialisasinya agar
beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang juga mencakup
program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu
konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal.
Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu dan seni ialah proses
atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana
pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan
kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau
bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana
warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu
pihak-pihak yang kurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama
mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix,
1958:13), Buller, 1968:10).
Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan
praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1, UU No. 2
/1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber
CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi
pendidikan yang makro, yaitu : Pendidikan ialah usaha sadar untuk
mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang.(Lihat
pula UU Sisdiknas 2003).
Kiranya konsep pendidikan yang demikian kurang mampu memberi isi
kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang
pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara
sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu
dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih
makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan
estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain
aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh
konsep pendidikan menurut undang-undang tadi.
Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai
berikut Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang
tersebut didalam Among dan bersemboyan Tut Wuri Handayani
(mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri ialah mengikuti,
namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh
perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan
menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam
arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang
anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui disiplin
pribadi.Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala
mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan
disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin
yang lebih luas.
Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu
sendiri, yaitu faktor manusianya. Dengan demikian landasan-landasan
pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala) pendidikan
termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya
barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari
studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun
filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan
kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau
sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu
tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas
masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak
akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar
menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa mengingat
guru harus berhamba kepada kepentingan siswanya.
C. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa
praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta
empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai.
Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi
dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 %
(bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa
menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan
sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga
enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan
(yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan
mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor.
Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas
targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan
ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan
mendidik.
Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 %
diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini
tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi
kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol
sosial. Itulah segi interdependensi manusia dalam fenomena
pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah
penurunan pengamalan nilai dan norma dibawah 100%. Dalam bahasa
Agama disebut Hablumminnnaas
Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan. Jelaslah
bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena
pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang
mandiri atas data pedagogik (pendidikan anak) dan data andragogi
(Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das
sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data
faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang
dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogik dan
andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative)
tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas
manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi
memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi
tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu
pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik (teoritis) adalah
ilmu yang menyusun teori dan konsep yang praktis serta positif
sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada
keragu-raguan prinsipil.
Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro.
Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu
pedagogik (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan
andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat
pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran
filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang
lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam
menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia
seutuhnya.Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge)
ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup
:
Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to
person relation-ship)
Pentingnya ilmu pendidikan mempergunakan metode fenomenologi secara
kualitatif.
Orang dewasa yang berperan sebagai pendidik (educator)
Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student)
Memikiki Tujun pendidikan yang jelas (educational aims and
objectives)
Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan
Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)
Mengacu kepada Tujuan pendidikan nasional yaitu menjadikan manusia
Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.
Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah
ilmu murni ilmu pendidikan dalam arti pedagogik (teoritis dan
sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas
dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan
non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan
masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep
program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu
selain pedagogik praktis yang menelaah ragam pendidikan di berbagai
lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal pendidikan
luar sekolah dalam arti terbatas, dengan begitu, batang tubuh
diatas tadi diperlukn lingkupannya sehingga meliputi:
Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education)
Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan
(deskriptif)
Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu
pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.
Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan
Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan) khususnya mengenai
pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.
Sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari pendidikan,
merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek
formal dari pedagogik dari ilmu pendidikan lainnya. Karena
pedagogik tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan
informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya, dengan
pendidikan formal (dan non formal) dalam masyarakat dan negara,
maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain
yang relevan dari ilmu pendidikan.
Itu sebabnya dalam pedagogik terdapat pembicaraan tentang faktor
pendidikan yang meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah
dan yuridis pendidikan, (c) pengelolaan pendidikan, (d) teori dan
pengembangan kurikulum, (e) pengajaran dalam arti pembelajaran
(instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di
lembaga formal dan non formal terkait.
Bidang masalah yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu
ialah sekitar manusia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan
keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu
pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu
mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa.
Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap
problematik dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogi)
diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang dewasa dan lanjut
usia. Karena itu selain cabang pedagogik teoritis sistematis juga
terdapat cabang-cabang pedagogik praktis, diantaranya pendidikan
formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga, andragogi
(pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia),
serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang
sekolah dan pendidikan orang dewasa.Di dalam menelaah manusia yang
berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan
khususnya pedagogic merupakan satu-satunya bidang ilmu yang
menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan
inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas
perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah
interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah
nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. Ilmu-ilmu
yang melakukan telaah demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu
bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi
pedagogic dan androgogi ialah : biologi, psikologi, sosiologi,
antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).
a. Pendekatan fenomenologi dalam menelaah gejala pendidikan
Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam
investigasinya berdasarkan penjabaran pendirian dasar-dasar
filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis
dan bukan pedagogik yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah
fenomenologis atas fenomena yang bersifat empiris sekalipun
bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik
mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam
metode penelitiannya :
Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada
satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris
berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang
menunjukkan ciri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk
ke konsekunsi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi
yang empiris karena data yang faktual. Pedagogik mewujudkan teori
tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam
berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan
diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas
fenomena pendidikan. Itulah fenomena atau gejala pendidikan secara
mikro yang menurut Langevald mengandung keenam komponen yng menjadi
inti dari batang tubuh pedagogik.
b. Kontribusi ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogik
Ilmu pendidikan khususnya pedagogik dan androgogi tidak menggunakan
metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbatas pada
pemahaman atas perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan
kontrol yang eksperimental diterapkan dan itupun manfaatnya
terbatas sekali.
Jadi kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan mempergunakan metode
deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan didalam
pendidikan secara kuantitatif. Sebaliknya pedagogik dan androgogi
harus menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi
secara kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang
tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu
biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi ilmu pendidikan
harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri
langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat
(ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan
analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif.
Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas
sekurang-kurangnya satu ilmu bantu dan atau filsafat umum.
Penulis Makalah Kelompok S2 Teknologi Pendidikan :
Wijaya Kusumah, Rosiman, Susun Suliharti, Yuyun Yunand, dan
DAFTAR REFERENSI
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For
Education.
Boston MA: Allyn BaconCampbell & Stanley (1963) Experimental
& Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago : Rand McNellyDeese, J (1978) The Scientific Basis of the
Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers
College PressGordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training.
NY: Peter h. WydenpubHenderson, SVP (1954) Introduction to
Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional.
Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta:
Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II),
PT.Pembangunan
Jujun S. Suriasumantri (1982), Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Modern. Jakarta
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ:
Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa,
DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral
Pancasila, Jakarta:Depdikbud
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution,
Chicago:Chicago Univ.Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis
Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung,
Jurusan FSP FIP IKIPBandung
Raka Joni T.(l977), Permbaharauan Profesional Tenaga Kependidikan:
Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud