filsafat dan logika

103
Filsafat dan Logika, Suatu Pengantar Definisi Filsafat Secara etimologis, istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia (philos dan sophia). Kata philos memiliki arti kekasih atau sahabat, sedangkan kata sophia memiliki makna kebijaksanaan atau pengetahuan. Jadi, secara harfiah philosohia dapat diartikan sebagai yang mencintai kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan. Menurut Rapar (1996: 14-16) para filsuf pra-Socratik menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas ada dengan mengandalkan akal budi. Plato, menyebutkan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, Plato juga menyebutkan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Aristoteles—murid Plato—mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas ada. Aristoteles juga menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari being as being atau being as such. Sementara itu Rene Descartes mengatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia. Willian James, filsuf dari Amerika mengatakan bahwa filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang. R.F. Beerling, guru besar filsafat Universitas Indonesia, mengatakan bahwa filsafat berupaya memajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, dan prinsip dari kenyataan.

Upload: kadek-angga-yudhi-aditya

Post on 25-Nov-2015

162 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tentang apa yang ada di kepala kalian

TRANSCRIPT

Filsafat dan Logika, Suatu PengantarDefinisi Filsafat

Secara etimologis, istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia (philos dan sophia). Kata philos memiliki arti kekasih atau sahabat, sedangkan kata sophia memiliki makna kebijaksanaan atau pengetahuan. Jadi, secara harfiah philosohia dapat diartikan sebagai yang mencintai kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan.

Menurut Rapar (1996: 14-16) para filsuf pra-Socratik menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas ada dengan mengandalkan akal budi. Plato, menyebutkan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, Plato juga menyebutkan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.

Aristotelesmurid Platomengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas ada. Aristoteles juga menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari being as being atau being as such. Sementara itu Rene Descartes mengatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia.

Willian James, filsuf dari Amerika mengatakan bahwa filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang. R.F. Beerling, guru besar filsafat Universitas Indonesia, mengatakan bahwa filsafat berupaya memajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, dan prinsip dari kenyataan.

Konsep atau gagasan tentang definisi filsafat yang beragam tidak harus menjadikan kita bingung, akan tetapi justru memperlihatkan kepada kita bahwa betapa luasnya ruang lingkup filsafat sehingga tidak dibatasi oleh batasan-batasan yang mempersempit ruang gerak filsafat itu sendiri. Perbedaan perspektif dalam filsafat justru akan memperkaya wacana filsafat, sedangkan kesamaan dan kesatuan pikiran atau perspektif dalam filsafat justru akan mematikan dan mempersempit filsafat dengan sendirinya.

Empat hal yang melahirkan filsafat

Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimanakah filsafat itu tercipta? Hal apa yang menyebabkan manusia berfilsafat? Pada dasarnya ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat, yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan.

Menurut Aristoteles ketakjuban dianggap sebagai salah satu asal muasal filsafat. Pada awalnya manusia merasa takjub terhadap hal-hal yang ada disekitarnya, lama-kelamaan ketakjubannya semakin terarah kepada hal-hal yang lebih luas dan besar, seperti perubahan dan peredaran bulan, matahari, bintang-bintang, asal mula alam semesta, dan seterusnya. Ketakjuban macam ini hakikatnya hanya mungkin dirasakan dan dimiliki oleh mahluk yang selain memiliki perasaan juga mempunyai akal budi (rasio).

Sebelum lahirnya filsafat, kehidupan manusia dikuasai dan diatur oleh berbagai macam mitos dan mistis. Berbagai macam mitos dan mistis tersebut berupaya menjelaskan tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam alam semesta, yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sayangnya, ternyata penjelasan-penjelasan yang berasal dari mitos dan mistis tersebut makin lama makin tidak memuaskan manusia. Ketidakpuasan itu pada nantinya mendorong manusia untuk terus menerus mencari penjelasan dan keterangan yang lebih meyakinkan bagi dirinya, dan yang lebih akurat.

Dilandasi oleh perasaan ketidakpuasan tadi dan upaya mencari penjelasan dan keterangan yang lebih pasti cepat atau lambat akan mengantarkan manusia tersebut kepada pemikiran yang rasional. Konsekuensinya adalah akal budi akan semakin berperan, dan justru semakin menggeser peran mitos dan mistis dalam kehidupan manusia. Pada saat rasio telah menghapus peran mitos dan mistis tadi, maka manusia telah mencapai level berfilsafat.

Ketakjuban manusia telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan, dan ketidakpuasan manusia membuat pertanyaan-pertanyaan itu tidak kunjung habisnya. Dengan bekal hasrat bertanya maka kehidupan manusia serta pengetahuan semakin berkembang dan maju. Hasrat bertanyalah yang mendorong manusia untuk melakukan pengamatan, penelitian, serta penyelidikan. Ketiga hal tersebut yang menghasilkan pelbagai penemuan baru yang semakin memperkaya manusia dengan pengetahuan baru yang terus bertambah.

Manusia sendiri ketika mempertanyakan segala sesuatu dengan maksud untuk memperoleh kejelasan dan keterangan mengenai hal yang dipertanyakan tersebut, itu berarti dia sedang mengalami keraguan. Keraguan ini dilandasi bahwa sesuatu yang dipertanyakan tersebut belum terang dan belum jelas. Karena itu manusia perlu dan harus bertanya. Manusia bertanya karena masih meragukan kejelasan dan kebenaran dari apa yang telah diketahuinya. Jadi, dapat kita lihat bahwa keraguanlah yang ikut serta mendorong manusia untuk bertanya dan terus bertanya, yang kemudian menggiring manusia untuk berfilsafat.

Dengan terus menerus memiliki hasrat bertanya maka filsafat itu akan tetap ada, dan akan terus ada. Filsafat akan berhenti pada saat manusia telah berhenti mempertanyakan segala sesuatu.

Proses Kelahiran Filsafat

Filsafat, sebagai bagian dari kebudayaan manusia yang amat menakjubkan, banyak dipahami lahir di Yunani dan dikembangkan sejak awal abad ke-6 SM. Para orang-orang Yunani ketika itu diyakini telah berhasil mengolah berbagai ilmu pengetahuan menjadi benar-benar rasional dan berkembang pesat. Pemikiran rasional-ilmiah itulah yang melahirkan filsafat. Para filsuf Yunani pertama, sebenarnya adalah para ahli matematika, astronomi, ilmu bumi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Karena itu, pada tahap awal, filsafat mencakup seluruh ilmu pengetahuan.

Para filsuf Yunani pertama tersebut dikenal sebagai filsuf-filsuf alam. Mereka berpikir tentang alam: apakah inti dari alam, bagaimana menerangkan tentang bagaimana alam itu bisa ada, dan seterusnya. Dengan demikian, filsafat yang pertama lahir adalah filsafat alam.

Yang perlu dicatat dari lahirnya filsafat adalah bahwa filsafat telah berani mengajak manusia untuk meninggalkan cara berpikir yang irasional dan tidak logis. Manusia kemudian beralih kepada jalan pemikiran yang rasional-ilmiah yang semakin lama semakin sistematis. Cara berpikir yang rasional-ilmiah itu pula yang menghasilkan gagasan dan pemikiran yang terbuka untuk diteliti oleh akal budi. Lebih dari itu, kebenarannya dapat didiskusikan lebih lanjut guna meraih konsep-konsep baru dan kebenaran-kebenaran baru yang diharapkan lebih sesuai dengan realitas sesungguhnya.

Sifat Dasar Filsafat

Berfilsafat artinya berpikir secara radikal. Filsuf adalah pemikir yang radikal. Dan karena berpikir radikal ia tidak pernah terpaku hanya kepada satu fenomena tertentu. Ia tidak akan berhenti pada satu jawaban tertentu. Dengan berpikir radikal, filsafat berupaya untuk menemukan jawaban dari akar permasalahan yang ada. Filsafat berupaya mencari hakikat yang sesungguhnya dari segala sesuatu.

Berpikir radikal bukan berarti hendak mengubah, membuang, atau menjungkirbalikkan segala sesuatu, melainkan dalam arti berupaya berpikir secara mendalam, untuk mencari akar persoalan yang dipermasalahkan. Berpikir radikal justru berupaya memperjelas realitas, melalui penemuan serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri.

Filsafat bukan hanya mengacu kepada bagian tertentu dari realitas, akan tetapi berupaya mencari keseluruhan. Dalam memandang keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berusaha mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas. Mencari asas berarti berupaya menemukan sesuatu yang menjadi esensi realitas. Dengan menemukan esensi suatu realitas, realitas tersebut dapat diketahui dengan pasti dan menjadi jelas. Mencari asas adalah salah satu sifat dasar filsafat.

Filsuf pada dasarnya adalah seorang pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya merupakan kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Maka dapat dikatakan bahwa berfilsafat artinya memburu kebenaran tentang segala sesuatu.

Yang namanya kebenaran itu sendiri harus bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, kebenaran harus selalu terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yang lebih pasti. Dan begitu untuk seterusnya. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa kebenaran dalam artian filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, akan tetapi selalu bergerak dari satu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti.

Filsafat muncul salah satunya disebabkan adanya keraguan. Untuk mengatasi keraguan tersebut maka dibutuhkan yang namanya kejelasan. Ada filsuf yang mengatakan bahwa berfilsafat artinya berupaya mendapatkan kejelasan dan penjelasan mengenai seluruh realitas. Geisler dan Feinberg (1982: 18-19) mengatakan bahwa ciri khas penelitian filsafati adalah adanya usaha keras demi mengapai kejelasan intelektual (intellectual clarity).

Berpikir secara radikal, mencari asas, memburu kebenaran, dan mencari kejelasan tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa berpikir secara rasional. Berpikir secara rasional artinya berpikir secara logis, sistematis, dan kritis. Berpikir logis adalah bukan sekedar menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat, akan tetapi juga agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis-premis yang digunakan.

Berpikir logis juga menuntut pemikiran yang sistematis. Pemikiran yang sistematis adalah rangkaian pemikiran yang berhubungan satu sama lain atau saling berkaitan secara logis. Tanpa disertai pemikiran yang logis-sistematis dan koheren, tidak mungkin dicapai kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan.

Berpikir kritis artinya menjaga kemauan untuk terus-menerus mengevaluasi argumentasi yang mengklaim dirinya adalah benar. Seseorang yang berpikiran kritis tidak akan mudah meyakini suatu kebenaran begitu saja tanpa benar-benar menguji keabsahan kebenaran tersebut.

Cabang-Cabang Filsafat

Menurut Achmadi (2000: 13-16) dalam studi filsafat untuk memahaminya secara baik paling tidak kita harus mempelajari lima bidang pokok, yaitu: Metafisika, Epistemologi, Logika, Etika, dan Sejarah Filsafat.

Metafisika merupakan cabang filsafat yang memuat suatu bagian dari persoalan filsafat yang: membicarakan tentang prinsip-prinsip yang paling universal; membicarakan sesuatu yang bersifat keluarbiasaan (beyond nature), membicarakan karateristik hal-hal yang sangat mendasar, yang berada di luar pengalaman manusia (immediate experience); berupaya menyajikan suatu pandangan yang komprehensif tentang segala sesuatu; membicarakan persoalan-persoalan seperti: hubungan akal dengan benda, hakikat perubahan, wujud tuhan, kehidupan setelah kematian, dan seterusnya.

Epistemologi lazimnya disebut sebagai teori pengetahuan yang secara umum membicarakan mengenai sumber-sumber, karakteristik, dan kebenaran pengetahuan. Persoalan epistemologi (teori pengetahuan) berkaitan erat dengan persoalan metafisika. Bedanya, persoalan epistemologi berpusat pada apakah yang ada?, yang di dalamnya memuat tentang: Problem asal pengetahuan (origin), apakah sumber-sumber pengetahuan? Dari mana pengetahuan yang benar dan bagaimana kita dapat mengetahuinya? Dan seterusnya. Problem pengetahuan (appearance), apa yang menjadi karakteristik pengetahuan? Apakah dunia riil di luar akal, apakah ada dapat diketahui? Problem mencoba kebenaran (verification), apakah pengetahuan kita itu benar? Bagaimanakah membedakan antara kebenaran dengan kekeliruan? Dan seterusnya.

Logika adalah bidang pengetahuan yang memperlajari segenap asas, aturan, dan tata cara penalaran yang betul (correct reasoning). Pada mulanya logika sebagai pengetahuan rasional. Oleh Aristoteles logika disebutnya sebagai analitika, yang kemudian dikembangkan oleh para ahli Abad Tengah yang disebut logika tradisional. Mulai akhir abad ke-19 oleh George Boole logika tradisional dikembangkan menjadi logika modern, sehingga dewasa ini logika telah menjadi bidang pengetahuan yang amat luas yang tidak lagi semata-mata bersifat filsafati, tetapi bercorak teknis dan ilmiah.

Etika atau filsafat perilaku sebagai cabang filsafat yang membicarakan tindakan manusia, dengan penekanan yang baik dan yang buruk. Terdapat dua hal permasalahan, yaitu menyangkut tindakan dan baik-buruk. Apabila permasalahan jatuh pada tindakan maka etika disebut sebagai filsafat paktis; sedangkan jika jatuh pada baik-buruk maka etika disebut sebagaifilsafat normatif.

Dalam pemahaman etika sebagai pengetahuan mengenai norma baik-buruk dalam tindakan mempunyai persoalan yang luas. Etika yang demikian ini mempersoalkan tindakan manusia yang dianggap baik yang harus dijalankan, dibedakan dengan tindakan buruk/jahat yang dianggap tidak manusiawi. Sejalan dengan ini, etika berbeda dengan agama yang di dalamnya juga memuat dan memberikan norma baik-buruk dalam tindakan manusia. Karena etika mengandalkan pada rasio yang lepas dari sumber wahyu agama yang dijadikan norma dalam agama, dan etika lebih cenderung bersifat analitis daripada praktis. Sehingga etika adalah ilmu yang bekerja secara rasional.

Sementara dari kalangan non-filsafat, etika sering digunakan sebagai pola bertindak praktis (etika profesi), misalnya bagaimana menjalankan bisnis yang bermoral (dalam etika berbisnis).

Sejarah filsafat adalah laporan suatu peristiwa yang berkaitan dengan pemikiran filsafat. Biasanya sejarah filsafat ini memuat berbagai pemikiran kefilsafatan yang beraneka ragam mulai dari zaman pra-Yunani hingga zaman modern. Juga, dengan mengetahui pemikiran filsafat para ahli pikir (filsuf) ini akan didapat berbagai aneka ragam pemikiran dari dahulu hingga sekarang. Dalam sejarah filsafat akan diketahui pemikiran-pemikiran yang jenius hingga pemikir tersebut dapat mengubah dunia, yaitu dengan ide-ide atau gagasan-gagasannya yang cemerlang.

Kegunaan Filsafat

Ketika filsafat baru lahir, ilmu pengetahuan masih merupakan bagian yang tak terpisahkan dari filsafat itu sendiri. Ketika itu para pemikir yang terkenal sebagai filsuf adalah juga ilmuwan. Para filsuf zaman itu juga merupakan ahli-ahli astronomi, ilmu bumi, matematika, dan sebagainya. Bagi mereka, ilmu pengetahuan adalah filsafat dan filsafat adalah ilmu pengetahuan itu sendiri.

Filsafat telah membantu manusia membebaskan diri dari cara berpikir yang dikuasai oleh mitos dan mistis dan beralih kepada cara berpikir yang rasional, luas dan mendalam, jelas dan sistematis, logis, kritis, dan analitis. Karena itu, ilmu pengetahuan pun semakin tumbuh dan terus berkembang, dan menjadi dewasa.

Kemudian, berbagai ilmu pengetahuan yang telah mencapai tingkat kedewasaan penuh satu demi satu mulai mandiri dan meninggalkan filsafat yang selama ini telah mendewasakan mereka. Itulah sebabnya filsafat disebut sebagai mater scientarum atau induk segala ilmu pengetahuan. Filsafat telah berperan dalam melahirkan, merawat, dan mendewasakan berbagai ilmu pengatahuan yang begitu berjasa bagi kehidupan manusia.

Filsafat memang abstrak, namun tidak berarti bahwa filsafat sama sekali tidak ada hubunganya dengan kehidupan sehari-hari yang konkret. Filsafat pada hakikatnya membantu manusia dalam memahami dan menjalankan kehidupan mereka sehari-hari dengan menggunakan cara berpikir yang lebih rasional dan tidak hanya mengandalkan mitos, mistis, atau sekedar intuisi dan perasaan.

Dengan belajar filsafat diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan, karena dengan bertambahnya ilmu pengetahuan akan bertambah pula cakrawala pemikiran, cakrawala pandangan yang semakin luas. Sehingga akan dapat membantu penyelesaian masalah yang selalu kita hadapi dengan cara yang lebih bijaksana.

Dasar semua tindakan adalah ide. Sesungguhnya filsafat di dalamnya memuat ide-ide yang fundamental. Ide-ide itulah yang akan membawa manusia ke arah suatu kemampuan untuk merentang kesadarannya dalam segala tindakannya, sehingga manusia akan dapat lebih hidup, lebih tanggap (peka) terhadap diri dan lingkungannya, lebih sadar terhadap hak dan kewajibannya.

Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kita semakin ditantang dengan memberikan alternatifnya. Di satu sisi kita dihadapkan dengan kemajuan teknologi beserta dampak negatifnya, perubahan sedemikian cepatnya, pergeseran nilai-nilai, dan pada nantinya manusia semakin jauh dari tata nilai dan moralitas.

Di sisi lainnya, apabila kita tidak berani menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi konsekuensinya kita akan menjadi manusia yang terbelakang. Untuk itu kita berusaha mengejar kemajuan dengan segala upaya. Dengan makin jauhnya kita dari tata nilai dan moralitas, akibatnya banyak ilmuwan kehilangan bobot kebijaksanaannya. Sehingga apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi bersamaan dengan itu pula manusia kehilangan pendirian dan dihantui kebingungan dan keraguan (skeptis). Ilmu pengetahuan yang bersandingan dengan filsafat akan menghasilkan ilmu yang disertai dengan kebijaksanaan dalam penerapannya dalam kehidupan manusia.

Daftar Pustaka:

Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogaykarta: Kanisius, 1996

Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grafindo, 2000HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN LOGIKA

POSTED BY UNKNOWN ON 5:45 AM 1 COMMENT

OLEH : HASAN BAHARUN MPI

Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran mengenai apa dan bagaimana pembentukan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta landasan, sifat dan fungsinya bagi kehidupan manusia.

Sedangkan menurut the Liang Gie[1], filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.

Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan[2]. Dengan demikian filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang mengkaji dasar dan hakekat ilmu untuk mencapai kebenaran dan kenyataan yang tidak akan habis difikirkan dan tidak selesai diterangkan.

Filsafat ilmu memberikan kerangka dasar dalam berolah ilmu agar proses dan produk keilmuan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah moral, etika dan kesusilaan.

Logika berasal dari bahasa Yunani, dari kata sifat "logike" yang berhubungan dengan kata benda "logos" yang berarti 'perkataan' atau 'kata' sebagai manifestasi dari ikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatu jalinan yang kuat antara pikiran dan kata yang dimanifestasikan dalam bahasa. Secara etimologis dapatlah diartikan bahwa logika itu adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.

Logika adalah ilmu yang merumuskan tentang hukum-hukum, asas-asas, aturan-aturan atau kaidah-kaidah tentang berpikir yang harus ditaati supaya kita dapat berpikir tepat dan mencapai kebenaran. Atau dapat pula didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas akal atau rasio manusia dipandang dari segi benar atau salah[3]. Dari sini dapat diketahui bahwa tugas logika adalah memberikan penerangan bagaimana orang seharusnya berpikir, dan obyek forma logika adalah mencari jawaban tentang bagaimana manusia dapat berpikir dengan semestinya[4].

Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa, dilihat dari metodenya dapat dibedakan atas logika tradisional dan logika modern[5]. Logika tradisional adalah logika Aristiteles, dan logika dari logika logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para logikus sesudah Aristoteles tidak membuat perubahan atau mencipta sistem baru dalam logika kecuali hanya membuat komentar yang menjadikan logika Aristoteles lebih elegant dengan sekedar mengadakan perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak penting dari logika Aristoteles. Logika modern tumbuh dan dimulai pada abad VIII. Mulai abad ini ditemukan sistem baru, metode baru yang berlain dengan sistem logika Aristoteles.

Apabila logika tersebut dilihat dari obyeknya akan dikenal sebagai logika formal dan logika material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidk adanya pertetangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam logika material, yang mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil pekerjaan logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris. Cabang logika formal disebut juga logika minor, logika materia disebut logika mayor. Hal inilah yang merupakan inti daripada logika

Proses berfikir yang ada pada diri manusia adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan manifestasinya adalah mempertimbangkan merenungkan, menganalisis, menunjukan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolong-golongkan, membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan fikiran, mencari kausalitasnya, membahas secara realitas dan sebagainya[6].

Dengan berpikir, merupakan suatu bentuk kegiatan akal atau rasio manusia dengan mana pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan ditujuaan untuk mencapai suatu kebenaran.

Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan manifestasinya yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, manunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolang-golongkan, membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalam pikiran, mecari kausalitasnya, mebahas secara realitas dan lain-lain.

Di dalam aktivitas berpikir itulah ditunjukkan dalam logika wawasan berpikir yang tepat atau ketepatan pemikrian/kebenaran berpikir yang sesuai dengan penggarisan logika yang disebut berpikir logis.

Agar supaya pemikiran dan penalaran kita dapat berdaya guna dengan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang benar, valid dan sahih, ada 3 syarat pokok yang harus dipenuhi : 1) pemikiran haruslah berpangkal pada kenyataan atau kebenaran, 2) alasan-alasan yang dikemukakan haruslah tepat dan kuat, 3) jalan pikiran haruslah logis.

Berkaitan dengan hal tersebut, logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan tergantung dari mana kita meninjuanya. Dilihat dari segi kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi logika naturalis, yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akan bawaan manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan hukum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan yang bertetangan tidaklah sama.

Kemampuan berlogika naturalis pada tiap-tiap orang berbeda-beda tergantung dari tingkatan pengetahuannnya. Kita dapati para ahli pidato politikus dan mereka yang terbiasa bertukar pikiran dapat mengutarakan jalan pikiran dengan logis, meskipun barangkali mereka belum pernah membuka buku logika sekalipun. Tetapi dalam menghadapi yang rumit dan dalam berfikir manusia banyak dipengaruhi oleh kecenderungan pribadi, disamping bahwa pengetahuan manusia terbatas mengakibatkan tidak mungkin terhindar dari kesalahan. Untuk mengatasi kenytaan yang tidak dapat ditanggulangi oleh logika naturalis, manusia menyususn hukum-hukum, patokan-patokan, rumus-rumus berfikir lurus. Logika ini disebut logika artifisialis atau logika ilmia yang bertugas membantu logika naturalis. Logika ini memperluas, mempertajam serta menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah dan aman sehingga tercapai tujuan dari apa yang diinginkan.

Dari hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa logika adalah salah satu cabang atau bagian dari filsafat ilmu yang mempelajari tentang aktivitas akal atau rasio manusia dipandang dari segi benar atau salah. Atau dengan kata lain, filsafat ilmu sebagai penopang dalam kerangka menggunakan rasio guna berpikir agar suapaya tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah etika, moral dan kesusialaan. Dengan kata lain hubungan filsafat ilmu dengan logika adalah filsafat ilmu sebagai tolak ukur atau alat penilaian dari proses menggunakan rasio.

MODEL LOGIKA

Secara histories, istilah logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium[7], Kaum sofis Skortes dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprotus dan kaum Stoa.

Dalam perjalanannya, istilah logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan tergantung dari mana kita meninjuanya. Dilihat dari segi kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi logika naturalis, yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akan bawaan manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan hukum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan yang bertetangan tidaklah sama.

Sedangkan apabila dilihat dari metodenya dapat dibedakan atas logika tradisional dan logika modern. Logika tradisional adalah logika Aristiteles, dan logika dari logika logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para logikus sesudah Aristoteles tidak membuat perubahan atau mencipta sistem baru dalam logika kecuali hanya membuat komentar yang menjadikan logika Aristoteles lebih elegant dengan sekedar mengadaka perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak penting dari logika Aristoteles

Jika dilihat dari obyeknya dikenal sebagai logika formal dan logika material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya pertetangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar.

Logika formil Aristoteles, yang dikenal dengan nama "syllogisme". Syllogisme adalah suatu bentuk penarikan kesimpulan atau konklusi secara deduktif dan tidak langusng yang kesimpulan atau konklusinya ditarik dari dua buah premis yang disediakan sekaligus. Yang penting kita ketahui dari syllogisme dan bentuk-bentuk inferensi atau penalaran deduktif yang lain adalah bahwa masalah-masalah kebenaran dan ketidak benaran pada premis-premis yang selalu diambil adalah yang benar. Ini berarti bahwa konklusi memang sudah didasari oleh kondisi kebenaran. Jadi syllogisme hanya mempersoalkan 'kebenaran formal' (kebenaran bentuk) tanpa mempersoalkan 'kebenaran material' (kebenaran isi).

Sebuah syllogisme terdiri atas 3 buah proposisi, yaitu dua buah proposisi yang diberikan atau disajikan dan sebuha proposisi yang ditarik dari kedua proposisi yang disajikan itu. Proposisi yang disajikan disebut 'premis mayor' dan 'premis minor' dan kesimpulan yang ditarik disebut 'konklusi'.

Disamping logika tersebut ada pula logika deduktif yaitu bertolak dari asumsi umum(teori) menuju kepembuktian secara khusus (fakta emperis). Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang berlawanan dengan penalaran induktif. Deduksi adalah penalaran atau cara berpikir yang bertola dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum, menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya memakai pola berpikir yang disebut syllogisme. Syllogisme tersusun dari dua buah pernyataan (premise) dan sebuah kesimpulan (konklusi).

Logika induktif yaitu berdasarkan fenomena khusus(fakta emperis), menuju kekesimpulan secara umum (teori yang berlaku umum). Induksi sangat erat hubungannya dengan metode ilmiah (scientific method), bahkan merupakand asar daripada metode ilmiah.

Induktif atau logika induktif adalah penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata (khusus) menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Penalaran ini diawali dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi dan diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum

HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DAN PENELITIAN

Dalam kaitannya dengan hubungan filsafat ilmu dan penelitian, terdapat tiga komponen dasar yang erat kaitannya dengan penelitian yaitu : ontologi, epistimologi, dan aksiologi.

Dalam pembahasan ontology, epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan lgika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan, kebenaran dan tingkat kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu, empirisme dan rasionalisme/rasionalisme menghendaki kebenaran imperik logic, etik dan transcendental/metafisik, memunculkan logika penomenologik.

Pada logika positivistic menghendaki perencanaan riset yang rigor/ketat,rinci, terukur, terkontrol dan penetapan data yang konkrit yang teramati, memunculkan jenis penelitian kuantitatif.logika phenomenologikmenhendaki perancanaan riset yang longgar dan luwes, sebab data yang dicari tidak pasti, sangat tergantung pada fenomena yang dijadikan sasaran risetnya, memunculkan jenis penelitian kualitatif.

A. Ontologi

Sebagai komponen dasar filsafat, ontology memiliki obyek telaah yaitu yang ada. Studi tentang yang ada pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tetantang yang ada yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.

Sedangkan yang merupakan obyek formal ontologi adalah hakekat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitaif, realita tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi telaah monisme, paralenisme, atau pluralisme. Bagi pendekatan kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idialisme, naturalisme atau hylomorphisme. Dalam hal ini ada tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu: abstraksi fisik, abstraksi bentuk dan abstraksi metafisik.

B. Epistimolgi

Istilah epistimologi berasal dari kata epiteme yang bebarti pengetahuan dan logos yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti teori. Secara etimologis, berarti teri pengetahuan. Epistimologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalakan atau menyelidiki tentang asal, susunan, metode, serta kebenaran pengetahuan. Jadi epistimologi merupakan cabang atau bagian dari filsafat yang membahasa maslaah-masalah pengetahuan[8].

Epistimologi atau teori pengetahuan, membahas secara menadalam segenap proses yang terlihat alam usaha kita untuk memperoleh pengetauan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalaui proses tertentu yang dinamakn metode keilmuan.

Sebagai komponen dasar selanjutnya adalah epistimologi yaitu pembahasan tentang bagaimana cara memperoleh kebenaan ilmu pengetahuan. Bagaimana tata cara memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan ini dipengaruhi oleh ontologi yang dipilihnya. Epistimologi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu epistimologi subyektif dan epistimologi pragmatik. Epistimologi subyektif memberikan implikasi pada standar rasional tentang hal yang duyakini. Menggunakan standar rasional bearti bahwa sesuatu yang diyakini sebagai benar itu tentunya memiliki sifat reliabel (ajek).

Sejarah mengatakan bahwa tokoh epistimologi prakmatig adalah Wiliams Jams dan juga Jhon Dewey[9] yang menyarankan agar pencarian pada yang kekal hendaknya diganti dengan pencermatan realistik mengkritik ide palsu, diganti dengan pencermatan eksperimental dan empirik, menggunakan means mencari ins untuk selanjutnya menjadi means. Hal ini merupakan bukti bahwa ontology merupakan bagian penting dari filsafat.

Dalam perjalanan keilmuan yang terjadi pada masa dahulu, membuktikan bahwa ilmuwan terdahulu menampilkan tesis dan teori yang secara berkelanjutan disanggah atau dimodifikasi atau diperkaya oleh ilmuwan berikutnya. Kebenaran-kebenaran yang ditampilkan berupa tesis atau teori yang bersifat kondisional sejauh medianya demikian, sampelnya itu, desainnya demikian dan seterusnya. Dengan demikian kebenaran yang diperoleh dengan cara kerja demikian adalah kebenaran epistimologik. Ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang dengan metodologi yang kita kenal sekarang ini lebih banyak menjangkau kebenaran epistimologik, belum menjangkau kebenaran subtantif hakiki, yang merupakan esensi dari keilmuan itu sendiri.

C. Aksiologi

Komponen dasar selanjutnya dalam filsafat adalah aksiologi yaitu pembahasan tentang bentuk ilmu yang dihasilkan dari penelitian. Inipun dipengaruhi oleh ontologi yang digunakan. Ontologi yang memahami sesuatu itu tunggal penelitiannya jenis kuantitatif, maka ilmu yang dibentuknya disebut nomotetik dan bebas nilai (value).

Menurut Scheler ada empat jenis values dalam aksiologi. Pertama, value sensual, dalam tampilan seperti menyenangkan dan tak menyenangkan. Kedua, nilai hidup seperti edel (agung) atau gemein (bersahaja). Ketiga, nilai kejiwaan seperti nilai estetis, nilai benar salah, dan nilai instrinsik ilmu. Keempat nilai religius, seperti yang suci, yang sakral[10]. Dari telaah yang dilakukan oleh Scheler tentang etik kontras dengan Kant. Kant berbicara sollen (kemistian), sedangkan Scheller memandang bahwa kemestian itu sesuatu yang dibuat-buat.

HUBUNGAN FILSAFAT ILMU, LOGIKA DAN PENELITIAN

Dari kajian tentang filsafat ilmu, logika dan penelitian, dapat diketahui bahwa antara filsafat ilmu, logika dan penelitian memiliki hubungan yang sinergi. Filsafat ilmu yang membahas tentang ontologi, epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan logika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan, kebenaran dan tingkat kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu empirisme dan rasionalisme atau realisme yang merupakan aliran yang berbeda.

Dalam filsafat rasionalisme atau realisme lebih menekankan pada cara berfikir positivistik paradigma kuantitatif. Berfikir positivistik adalah bersifat spesifik berpikir tentang empiri yang teramati, yang teratur, dan dapat dieliminasi serta di manupulasikan dari satuan besarnya.

Penelian berusaha untuk mencapai kebenaran atau menemukan teori-teori ilmiah. Penelitian dalam konteks ini dapat dipahami sebagai proses epistemologis untuk mencapai kebenaran. Sumber kebenaran semata-mata berasal dari realitas empiris-sensual, demikian pandangan positivisme. Sunarto (1993) menjelaskan, August Comte yang dianggap sebagai peletak dasar positivisme memperkenalkan hukum tiga jenjang perkembangan intelektual manusia, yakni: jenjang teologi, metafisika, dan positivis. Hal ini tercermin dari cara manusia menjelaskan berbagai gejala sosial ekonomi. Manusia pada jenjang pertama mengacu kepada hal-hal yang bersifat adikodrati; pada jenjang kedua mengacu kepada kekuatan-kekuatan metafisik, dan pada jenjang ketiga mengacu pada deskripsi dan hukum-hukum ilmiah. Positivisme tidak mengakui atau setidaknya menganggap rendah -- hal-hal yang di luar empiris-sensual manusia.

Bertolak dari hukum-hukum ilmiah, positivisme menekankan bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan bahwa kajian harus mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Menurut Comte, sarana yang dapat dilakukan untuk melakukan kajian ilmiah ialah: pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis. Positivisme, menurut Muhadjir (2000) yang guru besar filsafat ilmu dan metode penelitian tidak mempertentangkan antara logika induktif atau deduktif, melainkan lebih menekankan fakta empiris yang menjadi sumber teori dan penemuan ilmiah.

Berbeda dengan positivisme, rasionalisme menekankan bahwa ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logik. Karena itu, yang penting bagi rasionalisme ialah ketajaman dalam pemaknaan empiri. Muhadjir (2000) menegaskan, pemahaman intelektual dan kemampuan argumentatif perlu didukung data empirik yang relevan, agar produk ilmu yang berlandaskan rasionalisme betul-betul ilmu, bukan fiksi. Bagi rasionalisme fakta empirik bukan hanya yang sensual, melainkan ada empiri logik, empiri teoritik, dan empiri etik. Misalnya: ruang angkasa, peninggalan sejarah masa lampau, dan jarak sekian tahun juta cahaya, semuanya merupakan realitas tetapi tidak mudah dihayatti secara sensual melainkan dapat dihayati secara teoritik. Karena itu, rasionalisme mengakui realitas empirik teoritik dan empiris logik (Muhadjir, 2000: 81-2).

Dalam aliran positivistik logik sangat menolak terhadap ethik transendental yang berada dikawasan metafisik. Para penganut neo-Kantian dikenal sebagai epistimologi positivistik yang menolak segala bentuk ethik transenden. Salah satu prinsip utama dalam positivisme adalah penerapan prinsip variabilitas terhadap sesuatu sebagai benar. Apakah sesuatu dideskripsikan sebagai benar dalam menggunakan proposisi atau bentuk lain, perlu diferivikasi benar sakahnya. Sesuatu deskripsi yang benar mungkin sekali diperkembangkan menjadi hukum, yang diharapkan dapat memberikan inferensi, memprediksikan untuk kasus lain, atau kasus mendatang.

Berbeda dengan aliran empirik logik yang pada akhirnya memunculkan logika phenomologik. Dalam berfikir dalam phenomologi antrophologi mengarah kearah mencari esensi, mencari sifat generatif, mencari kesimpulan idiografik,dan filsafat yang memberikan landasan adalah phenomologi Hussert. Realisme metaphisik Popper berangkan dari filsafat positivistik analitik. Bertemu dengan filsafat phenomologi Hussert antara lain pada pengakuan tentang kebenaran obyektif universal. Yang obyektif universal tersebut menurut Hussert dan juga Popper merupakan suatu abstraksi yang tidak dapat dibuktikan. Pembuktiannya sebatas pada kasus.

PENELITIAN KUANTITATIF VS KUALITATIF

Dalam penelitian, terdapat dua hal yang berbeda, yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Kedua jenis ini akan dijelaskan sebagai berikut :

a. Penelitian Kuantitatif

Dalam penelitan kuantitatif diasosiasikan, dengan istilah pengukuran yang bersifat normative, yaitu dengan menentukan formula statistik dan kuesioner. Menurut Noeng Muhajir tentang penelitian kuantitatif yaitu : pertama, penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan filsafat positivisme, filsafat mengembangkan metodologi atas dasar logika induktif, artinya bahwa ilmu bergerak dari fakta khusus fenomena ke generalisasi teoretik. Kedua, Pola pikir kuantitatif adalah mengejar yang teratur yang teramati, yang empiri sensual, menggunakan logika matematis dan membuat generalisasi, dimana generalisasi tersebut dikonstruksikan dari strata keragaman individual. Ketiga, metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikasikan obyeknya secara eksplisit di eliminasikan dari obyek-obyek lain yang tidak teliti. Keempat, metodologi kuantitatif mengembangkan teknik analisis dengan membatasi pada tata piker logika, korelasi, kausalitas, interaksi, intervalisasi dan kontinyuasi, kelima, Tujuan dari penelitian kuantitatif dengan pendekatan positivisme adalah untuk menyusun ilmu nomotheuk, yakni ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Kebenaran di cari lewat hubungan kausal linier sebab akibat. Teori kebenarannya adalah teori korespondensi, bahwa sesuatu itu benar bila ada ke sesuaian antara pernyataan verbal dengan realita empiric (empiric sensual). [11]

b. Penelitian Kualitatif

Adapun jenis penelitian kualitatif tidak menggunakan statistic atau pengukuran angka, menurut kirk dan Miller adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bhasanya dan dalam peristilahanya. Penelitian ini cenderung menggunakan pendekatan interpretive.

Dalam penelitian kualitatif, Lexsy Moleong[12] mengemukakan berbagai ciri dalam pendekatan penelitian kualitatif ini, yaitu : latar alamiah, manusia sebagai alat (instrument), analsis data secara induktif, deskiptif,kepala ualitatif mendefinisikan validitas, realibilitas, dan obyektivitas, desain bersifat sementara dan lain-lain

Perbedaan antara kualitatif dengan kuantitatif menjadi tidak nampak. Demikian halnya perbedaan antara paradigma ilmiah dengan paradigma alamiah menjadi hilang, setidaknya semakin menipis. Karena itu, kedua penelitian kuantitatif dan kualitatif saling melengkapi satu sama lain yang sama-sama diperlukan.

MENENTUKAN JENIS PENELITIAN KUANTITATIF ATAU KUALITATIF

Setelah diadakan pemedaan secara konseptual antara penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif, dapat diketahui bahwa antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif mengandung perbedaan antara keduanya, bahwa penelitian kualitatif itu berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, mengadakan analisis data secara induktif, sasaran penelitianya pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, membatasi setudi dengan focus, memiliki seperangkat criteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak peneliti dan objek penelitian, dan bertumpu pada pendekatan fenomenologi[13].

Dalam melakukan analisis deskriptif kuantitatif peneliti mencari jumlah frekuensi dan mencari prosentasenya, dan analisis lain yang juga masih bersifat deskriptif adalah analisis deskriptif kualitatif yang tujuan akhirnya memberikan predikat kepada variable yang diteliti sesuai dengan tolah ukur yang sudah ditentukan, penelitian evaluasi merupakan jenis penelitian yang banyak menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif ini, langkah yang dilalui adalah mengadakan pengukuran secara kuantitas terhadap variable, kemudian baru mentransfer harga kuantitas tersebut menjadi predikat.

Sedangkan dalam melakukan penelitian kualitatif dilakukan pada latar alamiah atau konteks dari suatu keutuhan, hal ini dilakukan, menurut Lincoln dan Guba, karena ontology alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteks. Menurut mereka hal tersebut didasarkan atas bebrapa asumsi yaitu: tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman. Konteks yang menentukan dalam menentapkan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainya, yang berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti dalam keseluruhan pengaruh lapangan.

PARADIGMA PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Dalam bidang kajian penelitian, pada hakekatnya wahana untuk menemukan kebenaran atau lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filosof, peneliti, maupun oleh para praktisi melalui model-model terrtentu. Paradigma, menurut bogdan dan biklen adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama , nkonsep aatu proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.

Ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientific paradigm (paradigma keilmuan), namun untuk memudahkan penulis menerjemahkannya secara harfiah sebagai paradigma ilmiah dan naturalistik paradigm atau paradigma alamiah. Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan postivisme, sedangkan pandangan alamiah bersumber pada padangan fenomenologis sebagai yang telah dikemukakan.

Paradigma dalam kaitannya dengan penelitian pada hakekatnya merupakan wahana untuk menemukan kebenaran atau lebih membenarkan suatu kebenaran, ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientifik paradigma keilmuan, paradigma ilmiah dan naturalistik paradigma atau paradigma alamiah. Paradigma ilmiah bersumber pandangan positivisme, sedangkan pandangan alamiah bersumber pada pandangan fenomenologi.

Dalam kaitannya dengan penelitian kuantitatif terkait secara khas dengan proses induksi enumeratif (induksi yang ditarik atas dasar penghitungan) salah satu tujuan utamanya adalah menemukan beberapa banyak dan jenis manusia apa saja dalam populasi umum dan populasi induk yang mempunyai karaktristik khusus yang ditemukan ada dalam populasi sample[14]. Tujuannya adalah menyimpulkan sistem karaktristik atau hubungan antara ubahan dengan populasi induk.

Sedangkan dalam penelitian kualitatif konsep dan kategori, bukan kejadian atau frekwensinya, dengan kata lain penelitian kualitatif tidak meneliti suatu lahan kosong tetapi ia menggalinya. Disamping itu sepanjang penelitian kualitatif mempunyai tujuan yang bersifat teoritis, bukan deskriptif, ini khususnya dalam studi kasus yang menggunakan metode kualitatif, maka pengujuan teorinya yang lebih penting.

Paradigma penelitian kualitatif di antaranya diilhami falsafah rasionalisme yang menghendaki adanya pembahasan holistik, sistemik, dan mengungkapkan makna di balik fakta empiris sensual. Secara epistemologis, metodologi penelitian dengan pendekatan rasionalistik menuntut agar obyek yang diteliti tidak dilepaskan dari konteksnya; atau setidaknya obyek diteliti dengan fokus atau aksentuasi tertentu, tetapi tidak mengeliminasi konteksnya. Meminjam istilah Moleong (1989), penelitian kualitatif bertolak dari paradigma alamiah. Artinya, penelitian ini mengasumsikan bahwa realitas empiris terjadi dalam suatu konteks sosio-kultural, saling terkait satu sama lain. Karena itu, setiap fenomena sosial harus diungkap secara holistik.

Perbedaan yang paling esensial dari kedua penelitian tersebut adalah dalam tradisi kualitatif, peniliti harus menggunakan diri sebagai instrument mencapai wawasan-wawasan imajinatif kedalam dunia social responden, peneliti diharapkan fleksibel dan reflektif tetapi tetap mengambil jarak Konsekuensi dari pendekatan ini adalah metode penelitian kualitatif per excellence merupakan observasi partisipatoris.

Sedangkan pada tradisi kuantitatif instrument tersebut adalah alat teknologis yang telah ditentukan sebelumnya dan tertata dengan baik sehingga tidak banyak memberi peluang bagi fleksibilitas, masukan imajinatif dan refleksifitas, misalnya : apabila masalah yang diteliti telah ditentukan dengan jelas dan pertanyaan yang diajukan kepada para responden memerlukan jawaban yang tidak ambigus, maka metode kuantitatif seperti koesioner boleh jadi memang tepat digunakan dalam kondisi seperti ini.

Berkaitan dengan logika penelitian menurut paradigma kuantitatif, adalah persoalan generalisasian, sedang dalam penelitian kualitatif yang tidak didasarkan pada sample statistic, masalah kegeneralisasian tidak muncul dengan model yang sama, pertanyaan-pertanyaannya agak berbeda, perhatianya berkisar pada replikasi temuan-temuan dalam kasus-kasus lain yang serupa atau inferensi-inferensi biasanya bersifa teoritis atau kausal kecuali jika tentu saja kasus-kasus dipilih menurut sample probabilitas.

Sedangkan logika penelitian menurut paradigma kuantitatif, perlu juga diajukan pertanyaan-pertanyaan menyangkut kelompok-kelompok pembanding keputusan-keputusan, disini biasanya tidak begitu berkembang dengan pertanyaan teoretis sentaral dari penelitisn dan lebih sering menyangkut variasi-variasi yang diharapkan dalam populasi umum ynag ingin diamati peneliti dalam pengujian hipotesis.

Berkaitan dengan hal tersebut di atasKirk dan Miller memberi definisi bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial, yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasanya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya dan dalam peristiwanya. Sedangkan Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati secara cermat dan detail[15].

Dalam metode kualitatif, Lexy Moleong[16] mengemukakan bahwa penelitian kualitatif di dasarkan pada : pondasi penelitian, paradigma penelitian, perumusan masalah, tahap-tahap penelitian, tehnik penelitian, kriteria dan tehnik pemeriksaan data, analisia dan penafsiran data.

Sedangkan cirri dari penelitian kuantitatif menurut Abdullah Kadjar memiliki beberapa ciri yaitu : dapat menyokong pengguna metode kualitatif, menggunakan logika positivisme dan menghindari sifat-sifat subyaktif, menggunakan pengukuran yang terkendali, obyektif, dapat dipandang dari sudut pandang (visi) orang luar atau peneliti, berwawasan verivikasi, penegas, penyederhanaan, inferensial dan hipotesis deduktif, berorientasi pada tujuan akhir, terpercaya, data merupakan replica, menggeneralisasikan sebagai studi kasus, bersifat khusus dan bertitik tolak pada anggapan bahwa realitas itu stabil.

Menurut Noeng Muhadjir metodologi penelitian kuantitatif ringkasnya yaitu : Penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan filsafat positivisme, pola fakir kuantitatif empris sensual, menuntut adanya rancangan kerangka teoritis, karena secara onologis, realitas menuntut positivisme dapat dipecah-pecah, dapat dipelajari secara independent, dieliminasikan dari obyek lain, dan dapat dikontrol, mengembangkan teknik analisis dengan membatasi pada tata fakir logika,korelasi,kausalitas, interaksi, intervaliasi dan kontinyuasi, dengan pendekatan positivisme yaitu untuk menyusun ilmu nomothetik (empiric sensual) dan hasil penelitian harus bebas nilai, harus obyektif agar supaya hasil yang dicapai maksimal

Berangkat dari hal tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa elemen pokok didalam paradigma penelitian baik kualitatif atau kuantitatif menyangkut tiga hal yaitu ontology, epistemologi dan metodologi, dan asumsi-asumsi yang digunakan akan menentukan jenis penelitian, bisa kuantitatif dan juga bisa kualitatif.

MACAM-MACAM PARADIGMA PENELITIAN

Dari berbagai macam paradigma yang ada, paradigma penelitian dibagi menjadi dua, yaitu positivistic dan non positivistic. Paradigma positivistic dipelopori oleh August Comte dalam pemikirannya, terutama dalam masalah-masalah kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh Saint Simon. Menurut Simon bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan hukum-hukum yang dapat dibuktikan dengan observasi dan percobaan. Selanjutnya menurut Simon bahwa penjelasan suatu masyarakat secara ilmiah dapat ditentukan dengan mengemukkan hukum perubahan histories atas dasar induksi sebagai postulat[17].

Paradigma ini dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita selidiki dan yang dapat kita pelajari hanyalah berdasarkan fakta-fakta, yang berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif. Apa yang kita ketahui itu hanyalah yang tampak saja, di luar itu kita tidak perlu mengetahuinya, dan tidak perlu untuk diketahui. Positivisme membatasi penyelidikan atau studinya hanya kepada bidang gejala-gejala saja, tidak kepada studi yang lain.

Dari berbagai prosedur yang ada, prosedur ilmu pengetahuan tidak memberi peluang untuk tidak menguji eorit-teori secara langsung dalam pengalaman. Ilmu pengetahuan harus diyakini, baik untuk mencapai generalisasi deskriptif maupun memperoleh penjelasan-penjelasan yang dapat diversifikasi secar langsung agar validitasnya terbukti. Dalam hal ini, positivisme sebagai filsafat mengemukakan pandangannya, bahwa segala sesuatu yang terjadi berdasarkan hukum-hukum yang dapat dibuktikan dengan observasi, eksperimen dan verivikasi.

Berbeda dengan fenomenologi dalam kaitannya paradigma positivistic. Fenomenologi lebih menunjukkan suatu metode filsafat dibanding dengan suatu ajaran[18]. Metode fenomenologis ini berasal dari Edmund Hussrl (1859-1938), kemudian dikembangkan oleh Marx Scheler (1874-1928). Dalam pendidikan yang pertama kali menerapkan metode fenomenologis adalah Langeveld. Paradigma Fenomenologi ini mengemukakan bahwa kita harus memperknalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan atau realisasi tidak harus didekati dengan argument-argumen, konsep dan teori umum, maupun dengan menggunakan pendekatan empiriz, seperti dengan observasidan eksperimen.

Paradigma positivistic yang menuntut segalanya serba konkrit, rinci dan pasti, menjadi paradigama penelitian kuantitaif. Paradigma ini kemudian dikenal dengan paradigma ilmiah (saitific paradigm). Sedangkan paradigma lain yang menuntut pemahaman lebih mendalam untuk menguak makna dibalik fakta danmenuntut kewajaran alamiah serta pemaknaan arti menurut subyek pelakunya, lalu dikenal dengan paradigma alamiyah (naturalistic paradigma), kemudian paradigma ini menjadi ciri dari model kualitatif[19].

Sebelum peneliti menyusun desain, harus memilih paradigma penelitian terlebih dahulu. Perlu dijelaskan, bahwa paradigma itu terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen ontology, elemen epistimologi dan elemen metodologi. Ketiga elemn tersebut harus sinkron, karena tiap paardigma mempunyai pandangan tersendiri tentang ontoloi, epitimologi dan metodeloginya. Dpaat dipahami bahwa satu paradigma menghendaki metologi tertentu yang paling tepat. Positivistic menghendaki model penelitian kuantitatif, sedangkan paradigama non positivistic bisa menggunakan model penelitian kualitatif. Namun dalam perkembangannya, semakin jelas penggunaan paradigma ini menjadi ciri suatu model penelitian[20].

Dalam setiap model penelitian, yaitu model penelitian kuantitatif bertujuan mengetahui hubungan sebab-akibat. Hal ini mengakibatkan jenis penelitian ini harus berangkat dari teori yang diterjemahkan ke dalam proposisi (pernyataan yang dapat diuji kebenarannya), kemudian diturunkan menjadi hipotesis yang dilakukan pengujian berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan. Karena itu, peneliti kuantitatif berpendirian reduksionis, yakni hanya mencari fokus kecil di antara berbagai fenomena sosial yang sesuai dengan teori yang hendak dibuktikannya.

Sebaliknya penelitian kualitatif, ia mengembangkan perspektif yang akan digunakan untuk memahami dan menggambarkan realitas. Karena itu, peneliti kualitatif berpendirian ekspansionis, tidak reduksionis. Ia tidak menggunakan proposisi yang berangkat dari teori melainkan menggunakan pengetahuan umum yang sudah diketahui serta tidak mungkin dinyatakan dalam bentuk proposisi dan hipotesis. Karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak terdapat hipotesis tentatif yang hendak diuji berdasarkan data lapangan.

PERBEDAAN PENDEKATAN PENELITIAN

KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Ada hal mendasar yang membedakan antara pendekatan penelitian kuantitif dengan penelitian kualitatif. Dalam penelitan kuantitatif diasosiasikan dengan istilah pengukuran yang bersifat normative, yaitu dengan menentukan formula statistik dan kuesioner, dan cenderung dengan menggunakan angka-angka.

Dalam penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivistik-ilmiah. Segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara obyektif yang mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Karena itu, paradigma ilmiah-positivisme melahirkan berbagai bentuk percobaan, perlakuan, pengukuran dan uji-uji statistik. Menurut Noeng Muhajir penelitian kuantitatif dapat dilihat dari cirri-cirinya sebagai berikut, yaitu :

Penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan filsafat positivisme, filsafat mengembangkan metodologi atas dasar logika induktif, artinya bahwa ilmu bergerak dari fakta khusus fenomena ke generalisasi teoretik. Hal ini karena ilmu benar (valid) adalah ilmu yang dibangun dari kenyataan empiris.

Pola pikir kuantitatif adalah mengejar yang teratur yang teramati, yang empiri sensual, menggunakan logika matematis dan membuat generalisasi, dimana generalisasi tersebut dikonstruksikan dari strata keragaman individual.

Metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikasikan obyeknya secara eksplisit di eliminasikan dari obyek-obyek lain yang tidak teliti. Demikian juga kerangka teoretis perlu dirumuskan sespeksifik mungkin, sebab secara ontologism, relitas menurut positivisme dapat di pecah-pecah, dapat di pelajari secar independent, di eliminasikan dari obyek lain dan dapat dikontrol.

Metodologi kuantitatif mengembangkan teknik analisis dengan membatasi pada tata pikir logika, korelasi, kausalitas, interaksi, intervalisasi dan kontinyuasi

Tujuan dari penelitian kuantitatif dengan pendekatan positivisme adalah untuk menyusun ilmu nomotheuk, yakni ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Kebenaran di cari lewat hubungan kausallinier sebab akibat. Teori kebenarannya adalah teori korespondensi, bahwa sesuatu itu benar bila ada ke sesuaian antara pernyataan verbal dengan realita empiric (empiric sensual)

Hasil penelitian harus bebas nilai, harus obyektif, dapat berlaku kapan dan dimana saja (bebas waktu dan tempat). Agar hasil penelitian dapat di peroleh secara obyektif, subyektif dan obyek yang diteliti harus terpisah

langkah penelitian :Penetapan obyek yang spesifik terpisah dari totalitas, Penyususnan kerangka teoretis sesuai dengan ke khususan obyek studi, Merumuskan problematika penelitiannya, Merumuskan hipotetis, Menentukan instrument pengumpulan data, Menentukan teknik sampling, Menentukan teknik analisis.

Berangkat dari asumsi di atas, maka dapat diketahui bahwa, secara garis besar proses penelitian terdiri dua tahapan yakni tahap teoretis dan tahap empiris. Hal itu karena pada hakekatnya penelitian merupakan usaha untuk menjembatani dunai konseptual dengan dunia empiris. Pada tahap teoretis peneliti menysun kerangka pemikiran yang akan digunakan untuk menghubungkan kenyataan yang akan diteliti dengan alam pemikiran peneliti. Selanjutnya dengan berpedoman kepada kerangka pemikiran yang akan di gunakan untuk menghubungkan pada tahap empiris, peneliti mengabstaksikan gejala-gejala empiris sehingga menjadi konsep, kemudian menggeneralisasikan konsep sehingga menjadi konsepsional dengan dunia empiris itu peneliti melakukan penerapan dua system logika yakni logika induktif dan logika deduktif.

Berbeda dengan penelitian kualitatif tidak menggunakan statistic atau pengukuran angka, akan tetapi hanya dinyatakan dengan bentuk sistematika analisa terhadap berbagai hal. menurut Kirk dan Miller adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bhasanya dan dalam peristilahanya. Penelitian ini cenderung menggunakan pendekatan interpretive, menurut Lexsy Moleong[21] ada beberapa ciri pendekatan ini:

1. Latar alamiah

Artinya melakukan pada latar alamiah atau pada konteks dari satu keutuhan (entity), hal ini dimaksudkan agar kenyataan sebagai satu keutuhan tidak akan dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya, karena tindakan pengamatan mempengaruhi obyek yang dilihat, dan konteks sangat menentukan penetapan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya, ini berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti secara keseluruhan yang terkait dengan pengaruh lapangan

2. Manusia sebagai alat (instrument)

Hal ini dilakukan karena jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkannya terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada dilapangan.

3. Analsis data secara induktif

Analisis induktif digunakan karena ada beberapa pertimbangan, karena proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data, karena lebih dapat membuat hubungan peneliti dengan responden menjadi eksplisit dan lain-lan

4. Deskiptif

Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka, dokumen dan sebagainya dideskripsikan sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas

5. Kualitatif mendefinisikan validitas, realibilitas, dan obyektivitas

6. Desain bersifat sementara dan lain-lain

Berangkat dari perbedaan yang sangat esensial antara penelitian kuantitatif dengan peneiltian kualitatif maka dapat diketahuui bahwa landasan berfikir penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan positivistic adalah falsafah positivisme dengan memanfaatkan metode kuantitatif. Jika dideskripsikan dengan langkah-langkah yang terstruktur teramati, yang memori sensual, membuat generalisasi, mengakomodasi deskripsi verbal, menggantikan angka atau menggabungkan olahan statistic dengan olahan verbal.

Disamping pendekatan positivistic, terdapat pula pendekatan rasionalistik adalah metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan filsafat rasionalisme dan tidak sekedar menggunakan rasio. Pendekatan ini juga mengejar diperolehnya generalisasi atau hokum-hukum baru. Bedanya positivistic karena ia bertitik tolak dari grand concept.

Dari hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa penelitian kualitatif disebut sebagai paradigma alamiah, karena penelitian ini menggunakan teknik kualitatif, yakni pengungkapan realitas tanpa melakukan pengukuran yang baku dan pasti. Peneliti berusaha menggambarkan fenomena sosial secara holistik tanpa perlakuan manipulatif. Keaslian dan kepastian merupakan faktor yang sangat ditekankan. Karena itu, kriteria kualitas lebih ditekankan pada relevansi, yakni signifikasi dan kepekaan individu terhadap lingkungan sebagaimana adanya. Sebaliknya penelitian kuantitatif disebut sebagai paradigma ilmiah lebih ditekankan pada validitas internal dan eksternal, reliabilitas instrumen dan obyektivitas.

DESAIN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATATIF

& MACAM-MACAM DESAIN PENELITIAN

Dalam upaya mendesain penelitian kuantitatif dan kualitatif, maka ada beberapa langkah yang perlu dijawab untuk melakukan penelitian dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut. Menurut Norman dan Yvona, setiap desain harus menjawab empat pokok pertanyaan yang sangat erat kaitannya dengan pembentukan desai penelitian, yaitu :

Bagaimana menghubungkan desain dengan paradigma ?

Dalam upaya menghubungkan desain dengan paradigma, maka diperlukan data yang menggunakan perspektif teoritik tertentu, kita bisa mengenal pola piker yang digunakan dalam menyusun proposisi dan pola hubungan antar konsep dalam fenomena yang dihadapi. Dari pola pikir dan pola hubungan antar konsep inilah, bisa ditentukan data (variable) apa saja yang akan dicari guna dijadikan sebagai pedoman penelitian.

Apa dan siapa yang akan diteliti ?

Pertanyaan ini berusaha untuk menjawab tentang obyek kajian yang akan diteliti oleh peneliti yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Mengenai apa dan siapa ini, bisa berupa benda-benda, individu, bisa kelompok, bisa lembaga dan sebagainya. Bila siapa yang menjadi sumber data, maka bisa ditentukan populasi, sample, responden, informannya sesuai dengan model penelitian dan kebutuhannya di lapangan.

Strategi apa yang akan digunakan dalam meneliti ?

Berkaitan dengan strategi yang akan digunakan oleh peneliti untuk meneliti obyke kajiannya, maka dalam hal ini terdapat beberapa macam strategi penelitian yang dapat digunakan agar supaya hasil penelitiannya valid dan dapat diverivikasi. Di bawah ini terdapat strategi penelitian sekaligus desain penelitiannya yang kami kutip dari Prof Drs. H. M. Kasiram, M. Sc[22] sebagai berikut :

Dari paradigma ilmiah, muncul beberapa strategi penelitian antara lain :

Strategi penelitian Desain penelitian

Deskriptif Desain diskriptif

Korelasi Desain korelasi

Kausal Desain kausal

Komparatif Desain komparatif

Eksperimen Desain eksperinmental

Quasi eksperimental Desain quasi eksperimental

Action research Desain action research

Metode apa yang akan digunakan ?

Setelah kita mendesaian penelitian yang akan kita lakukan, maka langkah selanjutnya adalah, maka berdasarkan sumber data dan variable/data yang akan diacari, maka dengan mudah pula ditentukan metode pengumpulan datanya, instrument pengumpulan data, dan sekaligus metode analisis data yang akan digunakan dalam proses pelaksanaan penelitiannya.

Desain yang ada tersebut akan memberikan kemudahan dalam proses mencari dan menganalisa data, sehingga peneliti tidak akan menemukan kesulitan yang berarti dalam pelaksanaan penelitiannya kelak.

MENGGABUNGKAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Berbicara mengenai upaya penggabungan antara penelitian kuantitaif dan penelitian kualititaif, maka nantinya akan didapatkan suatu titik temu yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti, yang pada akhirnya memberikan kemudahan kepada para peneliti. Biasanya, peneliti kuantitatif biasanya tidak puas dengan hasil analisis statistic. Misalnya dengan data yang dikumpulkan dengan kuesioner, analisis statistic dilakukan untuk menemukan hubungan antara dua tau lebih variable. Ternyata hasilnya tidak memuaskan karena tidak ada hubungan. Peneliti meragukan hasilnya karena hipotesisnya tidak teruji, untuk itu ia lalu mengadakan wawancara mendalam untuk melengkapi penelitiannya. Hal ini mengindikasikan bahwa peneliti berusaha menggabungkan dua karakteristik penlitian yang berbeda, yaitu kuantitatif dan kualitatif.

Begitu juga sebaliknya terjadi, peneliti kualitatif sering menggunakan data kuantitatif, namun yang sering terjadi pada umumnya tidak menggunakan analisis kuantitatif bersama-sama. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedua pendekatan tersebut dapat diguinakan apabila desainnya adalah memanfaatkan satu paradigma sedangkan paradigma lainya hanya sebagai pelengkap saja.

Dari sebagian besar uraian metodologi tampaknya sepakat bahwa sepanjang dua paradigma yang berbeda dianggap ada, perbedaan yang terpenting adalah cara masing-masing memperlakukan data. Dalam tradisi kualitatif peneliti harus menggunakan diri mereka sebagai instrument, mengikuti asumsi-asumsi cultural sekaligus mengikuti data konsekuensi dari pendekatan ini adalah metode penelitian kualitatif merupakan observasi partisipatoris (pengamatan terlibat). Dalam tradisi kuantitatif instrument tersebut adalah alat teknoogis yang telah ditentukan sebelumnya dan tertata dengan baik sehingga tidak banyak memberi peluang bagi fleksibelitas, masukan imajinatif dan refleksitas. Tehnik kuantitatif seperti wawancara mendalam lebih dibutuhkan.[23]Dari upaya proses penggabungan kedua jenis penelitian tersebut, antara kuantitatif dengan kualitatif, dapat dijelaskan bahwa perbedaan antara kedua paradigma itu terkait dengan tingkat pembentukan pengetahuan dan proses penelitian. Penggabungan dua metode yang berbeda dalam sebuah rangkaian penelitian memunculkan persoalan gerak antara paradigma-paradigma pada tingkat epistemology dan teori dalam praksisnya.

Dalam proses penggabungan pendekatan dan metode disusun menurut beberapa factor : pertama, menyangkut arti penting yang diberikan kepad amasing-masing pendekatan dalam keseluruhan proyek. Kedua, menyangkut urutan waktu, jangka waktu untuk mana kedua metode ditempuh secara simultan. Jelaslah bahwa konstribusi metode kualitatif terhadap perumusan maslaah teoritis yang dikaji oleh suvei menuntut dilakukannya durvey lapangan secar intensif sebelum survey. Disamping itu, jika tujuan survey lapangan kualitatif untuk memperjelas dan memperluas temuan survey, maka hal itu harus dilakukan setelah survey. Ketiga juga terkait dengan urutan waktu dan menyangkut tahap dalam proses penelitian saat kedua metode digunakan atau dihentikan. Misalnya, kedua metode dapat diakses ke dalam proyek pada tahap pembuatan desain, tetapi hanya satu metode yang diperhitungkan dalam penulisan laporan penelitian. Keempat yang menentukan pemakaian metode menyangkut pembagian keterampilan dalam tim penelitian.

Dari proses penggabungan tersebut, tergantung kepada individu peneliti dalam menggunakan dan melaksanakan penelitiannya, apakah lebih cenderung kepada penelitian kuantitif atau lebih cenderung kepada penelitian kualitatif dalam menganalisa data yang didapat dari hasil penelitiannya.

Dari kedua penggabungan jenis penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa kehadiran dan keberadaan dua paradigma yang berbeda mengesankan adanya sesuatu yang menjadi pedoman para peneliti, terutama bagi praktek-praktek mereka. Ini tidaklah mengherankan karena kumpulan teks-teks metodologi yang mengesankan keberadan dua paradigma tersebut. Bahwa terminology yang lebih tua usianya dan digunakan lebih luas dijumpai dalam literature yang menyebut strategi ini sebagai triangulasi yaitu:

1.Metode-metode ganda

Dalam metode ganda atau tringulasi ini bisa terjadi antara metode atau bisa juga didalam metode. Pedekatan mencakup metode yang sama yang digunakan pada kesempatan yang berbeda, sementara metode berarti pemakaian metode yang berbeda dalam kaitan dengan obyek studi sama, masalah yang substantive, oleh karena itu dalam kasus terakhir observasi partisipatoris dalam lingkup ruang kelas bias digabungkan dengan survey kuesioner para siswa dan guru, pendekatan didalam metode dapat mencakup pengulangan metode yang sama pada jumlah kesempatau dan bias pula menghasilkan penilaian yang berbeda tentang situasi pada saat-saat yang berbeda.

2. Peneliti-peneliti gabungan

Peneliti gabungan disni dimaksudkan bahwa personel yang melakukan tahapan penelitian ini dilakukan oleh kemitraan atau kelompok bukan oleh orang perorang, organisasi penelitian adalah bagian penting dari strategi penelitian individu-individu yang berbeda dan gabungan orang membawa perspektif yang berbeda kedalam penelitian. Sebagai missal menurut Stacey (1960) mengomentari studi pertamanya tentang Banbury, menunjukan bahwa tiga peneliti yang tergabung dalam tim peneliti mencerminkan tiga kelas social yang berbeda kelas merupakan kunci utama studi Banbury kelas atas, kelas menengah dan kelas pekerja.

4. Sekumpulan data gabungan

Dari beberapa sekumpulan data gabungan, kumpulan data yang berbeda disamping bisa diperoleh melalui penerapan metode-metode yang berbeda, juga melalui penggunaan metode yang sama pada waktu yang berbeda atau sumber-sumber yang berbeda. Data bisa dikumpulkan pada titik-titik waktu yang berbeda dan konteks situasi ataupun latar yang bervariasi, disamping itu data kadang-kadang terkait dengan tingkat-tingkat analisa social yang berbeda, tingkat individual, tingkat interaktif dan kolektif yang berbeda pul.

5. Teori- teori gabungan

Peneliti dalam melaksanakan penelitiannya bisa menggunakan teori-teori gabungan, analisa data awal, bersama dengan wawasan-wawasan dari proses penelitian itu sendiri, bisa menghasilkan sejumlah kemungkinan teori dan hipotesis tentang masalah yang diteliti. Ini pada giliarnnya dapat diuji pada data, jika tidak pengujian penelitian sebelumnya dapat menuntun peneliti untuk menguji sejumlah hipotesis yang logis dan mungkin kontras dengan temuan-temuannya.

Antara penelitian kualitatif dengan kuantitatif seakan-akan terdapat perbedaan paradigmatif yang tidak ada titik temu. Tapi sebenarnya antara kedua penelitian itu tidak terdapat perbedaan yang cukup jauh. Justru sebaliknya kini antara keduanya saling mendekat dan melengkapi satu sama lain. Tata pikir logika penelitian positivisme-kuantitatif yang meliputi tata pikir korelasi, sebab akibat, dan tata pikir timbal-balik atau interaktif, seperti nampak dalam model-model uji statistik inferensial, menurut Muhadjir, dapat ditempatkan dalam sebuah grand theory artau grand consept agar data empirik sensual dapat dimaknai dalam cakupannya yang lebih luas.

Apa yang dimaksud dengan grand theory, sesungguhnya tiada lain ialah teori-teori besar yang menjadi kunci analisis untuk memahami fenomena sosial, baik statika maupun dinamika sosial. Ini merupakan logika makro yang menjadi pijakan analisis. Penelitian kuantitatif hanya menggunakan logika mikro, seperti korelasi dan hubungan sebab akibat, sedangkan penelitian kualitatif seringkali tertarik pada logika makro. Karena itu, Muhadjir mengusulkan agar logika mikro kuantitatif ditempatkan dalam kerangka logika makro. Di antara logika makro itu ialah: Pertama, pola pikir historik atau proses perkembangan. Kedua, pola pikir yang terkait dengan sistematisasi pengetahuan, seperti pola pikir sistemik, fungsional, pragmatik dan pola pikir kontekstual. Ketiga, pola pikir yang mengarah dari kutub statika sosial seperti struktur sosial kepada dinamika sosial. Ketiga, pola pikir yang menggambarkan keterkaitan antara berbagai fenomena dengan asumsi bahwa suatu fenomena terkait dengan fenomena yang lain.

Penempatan tata pikir mikro yang bersifat korelasional dan eksperimental dalam sebuah konteks grand theory, barangkali akan lebih jelas jika dirinci untuk masing-masing bentuk penelitian kuantitatif positivistik. Sudah diketahui umum bahwa bentuk penelitian kuantitatif terdiri dari penelitian deskriptif, korelasional dan eksperimen, walaupun dalam pengembangannya terjadi perbedaan pendapat. Masing-masing bentuk penelitian tersebut kita tempatkan dalam logika penelitian kualitatif.

Berangkat dari hal tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa di dalam penggabungan antara kedua metode itu membutuhkan kecermatan dan ketepatan seperti diperlukan pada setiap tahap proses penelitian, dari tahap pembuatan desain sampai penulisan, misalnya, karena desain penelitian kualitatif sering menggunakan strategi sampling non probilitas maka penting diperjelas pada tahapan pembuatan desain, mengapa dan kapan saatnya menggunakan sample-sampel probalitas dan konsekuensi jenis data yang dihasilkan dari keputusan tersebut, sehingga dapat menjaga terhadap kualitas dan validitas hasil penelitian.

KARAKTERISTIK DISAIN KUALITATIF

Berkaiatan dengan karakteristik yang dimiliki oleh setiap penelitian, apakah itu penelitian kuantitaif ataupun kualitatif, dalam hal ini penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri-ciri yang membedakannya dengan penelitian jenis lainnya. Dari hasil penelaahan kepustakaan ditemukan bahwa Bogdan dan Biklen [24] mengajukan lima buah cirri yang membedakan antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitaif. Sedangkan Lincoln dan Guba mengulas sepuluh buah ciri penelitian kualitatif. Uraian di bawah ini merupakan hasil pengkajian dan sintesis kedua versi tersebut. Adapun ciri-ciri dari desain penelitian kualitiatif[25] yaitu :

a. Latar alamiah

Dalam latar alamiah ini, penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity) hal ini dilakukan, menurut Lincoln dan Guba (1985 : 39), karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagi keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipsahkan dari konteksnya. Menurut mereka hal tersebut didasarkan atas beberapa asumsi bahwa: (1) tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan- dalam konteks untuk keperluan pemahaman; (2) konteks sangat menentukan dalam menetapkan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya, yang berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti dalam keseluruhan pengaruh lapangan; (3) sebagian struktur nilai kontekstual bersifat determinatif terhadap apa yang akan di cari dlaam proses penelitiannya.

Dari beberapa uraian tersebut di atas, akan dapat membawa peneliti untuk memasuki dan melibatkan sebagian waktunya apakah di sekolah, keluarga, tetangga, dam lokasi lainnya untuk meneliti masalah pendidikan ayau sosiologi. Peneliti yang mengadakan penelitian terhadap mahasiswa kedokteran, misalnya mengikuti mawasiswa sebagai subyek penelitiannya kedalam ruang kuliah, laboratorium, rumah sakit, dan tempat-tempat yang biasanya di gunakan oleh mereka untuk berkumpul seperti kafetaria, asrama, tempat-tempat pertemuan dan sebagainya.

b. Manusia sebagai alat (instrument)

Pada pelaksanaan penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal ini dilakukan karena, jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkan terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaikan terhadap kenyataan-kenyatan dilapangan. Selain itu, hanya manusia sebagi alat sajalah yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya, dan hanya manusia sebagai alat sajalah yang dapat berhubungan dengan rfesponden atau obyek lainnya dan hany manusialah yang mampu memahami kenyataan-kenyataan di lapangan. Oleh karena itu pada waktu mengumpulkan data dilapangan, peneliti berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan. Penulis menamakan cara pengumpulan data demikian pengamtan berperan serta atau participant-observation.

c. Metode Kualitatif

Dalam pelaksanaan penelitian, penelitian kualitataif menggunakan metode kualitatif dalam analisa datanya. Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Petama, menyesuaikan metode kualitatif apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secaralangsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden; dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola nilai-nilai yang dihadapi oleh peneliti.

d. Analisis data secara Induktif

Dalam proses pelaksanaan analisis data yang diperoleh oleh peneliti, maka analisis yang harus digunakan oleh peneliti adalah analisis data secara induktif. Analisis data induktif ini digunakan karena beberapa alasan, pertama, proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data. Kedua, analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti responden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan accountable. Ketiga, analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat menbuat keputusan-keputusan tentang dapt-tidaknya pengalihan kepada suatu latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima, analisis demikian dapat memperhitungan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik.

e. Teori dari dasar (Grounded theory)

Pada pelaksanaan penelitian kualitiatif, biasanya yang sering dilakukan oleh para peneliti pada bidang penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori subsantantif yang bersal dari data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal :

Tidak ada teori apriori yang dapat mencakupi kenyataan-kenyataan ganda yang mungkin akan dihadapi

Penelitian ini mempercayai apa yang dilihat sehingga ia berusaha untuk sejauh mungkin menjadi netral

Teori-teori dari dasar lebih dapat responsif terhadap nilai-nilai kontekstual.

Setelah melaksanakan penelitian dengan menggunakan analisis induktif, berarti bahwa pencarian data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian diadakan. Analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi berdsarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokan. Jadi, penyusunan teori di sini berasal dari bawah ke atas, yaitu dari sejumlah bagian yang banyak data yang dikumpulkan dan yang saling berhubungan. Jika peneliti merencanakan untuk menyusun teori arah penyusunan teori tersebut akan menjadi jelas sesudah ada data dikumpulkan. Jadi peneliti dalam hal ini menyusun atau membuat gambaran yang makin menjadi jelas sementara data dikumpulkan dan bagian-bagiannya diuji.

f. Deskriptif

Data diskriptif adalah data yang tidak nampak. Data ini biasanya dikumpulkan dan dioleh dengan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti oleh peneliti yang berkaitan dengan obyek dan tujuan penelitiannya. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.

Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, vidio tipe, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Pada penulisan laporan demikian, peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya. Hal itu hendaknya dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu. Pertanyaan dengan kata tanya menngapa, alasan apa, dan bagaimana terjadinya akan senantiasa dimanfaatkan peneliti. Dengan demikian peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu itu sudah memang demikian keadaannya.

g. Lebih mementingkan proses dari pada hasil

Berkaitan dengan penelitian karakteristik pada penelitian kualitatif, dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan aspek proses dari pada hasil. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. Bogdan dan Biklen[26] memberikan contoh seorang peneliti yang menelaah sikap gurub terhadap jenis siswa tertentu. Peneliti mengamatinya dalam hubungan sehari-hari, kemudian menjelaskan tentang sikap yang diteliti.

h. Adanya batas yang ditentukan fokus

Pada karaketristik penelitian kualitatif ditetapkannya mengenai batasan-batasan dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal:

Batas menentukan kenyataan ganda yang kemudian mempertajam fokus.

penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus.

Dengan kata lain, bagaimanpun penetapan fokus sebagai masalah penelitian penting artinya dalam usaha menemukan batas penelitian. Dengan hal itu dapatlah peneliti menemukan lokasi penelitian yang memudahkan seorang peneliti dalam melakukan tugas penelitiannya.

i. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data

Apapun jenis penelitiannya, pasti akan dibutuhkan beberapa criteria yang berkaitan dengan jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian kualitatif meredefisikasikan validitas, reliabilitas, dan obyektifitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazin digunakan dalam penelitian klasik. Menurut Lincoln dan Guba[27] hal itu disebabkan oleh validitas internal cara lama telah gagal karena hal itu menggunakan isomorfisme antara hasil penelitian dan kenyataan tunggal di mana penelitian dapat dikofergensikan. Kedua, validitas eksternal gagal karena tidak taat asas dengan aksioma dasar dari generalisasinya; ketiga, kreteria realibilitas gagal karena mempersyaratkan stabilitas dan keterlaksanaan secara mutlak dan keduanya tidak mungkin digunakan dalam paradigma yang didasarkan atas dasar desain yang dapat berubah-rubah; keempat, kreteria obyektifitas gagal karena penelitian kualitatif justru memberi kesempatan interaksi antara peneliti-responden dan peranan nilai dalam prose penelitiannya.

j. Desain yang bersifat sementara

Konsep dalam penelitian kualitatif ini menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak dapat dibayangkan sebelumnya tentang kenyataan-kenyataan ganda di lapangan; kedua, tidak dapat diramalkan sebelumnya apa yang akan berubah karena hal itu akan terjadi dalam interaksi antara peneliti dengan kenyataan; ketiga, bermacam sisitem nilai yang terkait berhubungan dengan cara yang tidak dapat diramalkan dalam waktu yang relative singkat.

k. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama

Karakteristik desain penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, susunan kenyataan dari merekalah yang akan diangkat oleh peneliti; kedua, hasil penelitian bergantung pada hakikat dan kualitas hubungan antara pencari dan yang dicari; ketiga, konfirmasi hipotesis kerja akan menjadi lebih baik verivikasinya apabila diketahui dan dikonformasikan oleh orang-orang yang ada kaitannya dengan yang diteliti oleh peneliti pada bidang garapannya.

TAHAPAN RISET KUALITATIF

Dalam tahapan riset penelitian kualitatif, sekalipun prosesnya dilakukan secara induktif, tidak berarti peneliti tanpa memiliki perspektif. Ia dapat memilih permasalahan penelitian, pendekatan sebagai perspektif dalam memahami gejala sosial keagamaan karena memahami berbagai teori; atau setidaknya ia membaca hasil-hasil penelitian yang memiliki kedekatan dengan penelitian yang dilakukan.

Penelitian harus dilakukan melalui beberapa tahapan. Salah satu tahapan penting, menurut Moleong ialah menyusun rancanan penelitian. Isi rancangan penelitian sebenarnya tidak ada yang baku. Akan tetapi secara umum rancangan tersebut berisi: (1) latar belakang masalah, (2) tinjauan pustaka, (3) pemilihan lapangan penelitian (jika akan penelitian lapangan, (4) penentuan jadual penelitian, (5) rancangan pengumpulan data, dan (6) rancangan prosedur analisis data. Studi kepustakaan diharapkan akan menghasilkan : (a) rumusan masalah dan fokus penelitian, (b) pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan (c) signifikasi penelitian.

Usaha mempelajari penelitian kualitatif tidak terlepas dari usaha mengenal tahap-tahap penelitian. Tahap-tahap penelitian kualitatif dengan salah satu ciri pokoknya peneliti menjadi sebagai alat penelitian, menjadi berbeda dengan tahap-tahap penelitian nonkualititif. Khususnya analisa data cirri khasnya sudah dimulai sejak awal pengumpulan data. Hal itu sangat membedakannya dengan pendekatan yang menggunakan eksperimen.

Menurut Bogdan dalam Lexy J Moleong (2003 : 85) bahwa terdapat tiga tahapan dalam riset kualitatif yakni : (1) pra lapangan, (2) kegiatan lapangan (3) analisis intensif. Sedangkan menurut Kirk dan Miller (1986) menyatakan adanya empat tahapan, yaitu : (1) invensi (2) temuan, (3) penafsiran, (4) eksplanasi; Lofland (1984) mengajukan 11 tahap, yaitu : (1).Mulai dari tempat anda berada, (2).Menilai latar penelitian, (3).Masuk lapangan, (4).Bersama lapangan, (5).Mencatat dengan hati-hati (loging data), (6).Memikirkan satuan, (7).Mangajukan pertanyaan, (8).Menjadi tertarik, (9).Mengembangkan analisis, (10).Menulis laporan dan, (11).Membimbng akibat.

Sedangkan menurut Janice dalam Norman dan Yvonna (1994 : 220-232) terdapat enam tahap dalam menyusun rancangan riset kualitatif yakni :

The stage of reflection

The stage of planning

The stage of entry

The stage of productive data collection

The stage of withdrawal

The stage of writing

Dalam tema ini, penulis hanya membatasi pembahsan scara singkat pada tahapan riset yang dikemukakan oleh Bogdan dengan disentesiskan dengan uraian dari sumber lain.

A. Tahap pra lapangan.

Dalam tahap pra lapangan ini, terdapat enam kegiatan yang harus dilakukan oleh peneliti dan dalam tahapan ini pula ditambah dengan satu pertimbangan yang perlu dipahami, yaitu etika penelitian lapangan[28]. Kegiatan dan pertimbangan tersebut diuraikan berikut ini.

Menyusun Rancangan Penelitian

Dalam proses penyusunan rancangan suatu penelitian kualitatif biasanya dinamakan dengan usulan penelitian, paling tidak berisi (1) latar belakang masalah dan alasan pelaksanaan penelitian (2) kajian kepustakaan yang menghasilkan (3) pemilihan lapangan penelitian (4) penentuan jadwal penelitian (5) pemilihan alat penelitian (6) rancangan pengumpulan data (7) rancangan prosedur analisi data (8) rancangan perlengkapan (9) rancangan pengecekan kebenaran data.

Memilih lapangan penelitian.

Untuk memilih lapanan penelitian, cara terbaik yang perlu diperhatikan dalam penentuan lapangan penelitian ialah dengan jalan mempertimbangkan teori substantif; pergilah dan jajakilah lapangan untuk melihat apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapangan. Keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu pula dijadikan pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian.

Mengurus perizinan.

Mengurus perizinan sangat diperlukan sekali dalam upaya melaksanakan penelitian. Dalam mengurus perizinan ini harus mencantumkan tujuan dan manfaat dari penelitia