filsafat (content)

29
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ilmu dan moral adalah dua kata yang memiliki makna berbeda namun sebenarnya kedua makna kata tersebut saling melengkapi dan berhubungan erat dengan kepribadian seseorang. Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa "bumi yang berputar mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa Moralitas Ilmu Pengetahuan 1

Upload: elisaasmarani

Post on 10-Nov-2015

11 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ilmu dan moral adalah dua kata yang memiliki makna berbeda namun sebenarnya kedua makna kata tersebut saling melengkapi dan berhubungan erat dengan kepribadian seseorang. Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (14731543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa "bumi yang berputar mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama.

Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.

Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik antarilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi .

Dalam tahap manipulasi ilmu, masalah moral muncul kembali. Jika dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah atau secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

Filosof beragama biasanya menempatkan kebenaran berpikir manusia berada di bawah kebenaran transenden. Sebagai sebuah produsen moralitas dan etika, tak bisa disangkal bahwa doktrin agama akan mengarahkan seseorang untuk merefleksikan penemuan atau penciptaan sebuah ilmu. Euthanasia, aborsi, kloning dan penerbangan ke bulan atau produksi tenaga nuklir merupakan beberapa contoh hasil perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk menciptakan tatanan manusia yang lebih baik dan beradab, Ketidakmanusiaan merupakan pelanggaran terhadap etika seorang ilmuwan. Profesi dokter di Indonesia misalnya, terbatasi oleh etika-aturan yang terakumulasi dalam etika profesi dokter. Tidak dibenarkan, misalnya, seorang dokter yang sedang melakukan penelitian virus HN51 menyebarkannya ke lingkungan masyarakat sekitar untuk mencari obat penawarnya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka diperlukan suatu kajian yang membahas tentang bagaimana hubungan antara cara penggunaan ilmu dengan kaidah moral, baik dari segi ontologi maupun aksiologi. Dari segi ontologi perlu diketahui bagaimanakah hakikat hubungan antara ilmu dan kaidah moral, sedangkan dari segi aksiologi, perlu dibahas bagaimana aplikasi antara penggunaan ilmu dengan kaidah moral. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.Sebagai sebuah disiplin ilmu dan keilmuan, didalamnya tekandung nilai-nilai seperti etika, moral, norma, dan kesusilaan. Demikian pula pada aplikasinya, seorang ilmuwan dalam kehidupan sehari-hari seakan dituntut untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, baik saat berpikir maupun bertindak. Kendati tinggi ilmu seseorang, apabila tidak memiliki nilai-nilai yang sudah menjadi semacam aturan dalam kehidupannya dan tidak memanfaatkan ilmu yang dimilikinya untuk kebaikan dan kemaslahatan orang banyak orang tersebut tidak akan dipandang tinggi.Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif atau pandangan yang berbeda

Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham (ideologi)sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tujuan moral adalah mengarahkan sikap dan perilaku manusia agar menjadi baik sesuai dengan ajaran dan paham yang dianutnya. Manfaat moral adalah menjadi pedoman untuk bersikap dan bertindak atau berperilaku dalam interaksi sosial yang dinilai baik atau buruk. Tanpa memiliki moral, seseorang akan bertindak menyimpang dari norma dan nilai sosial dimana mereka hidup dan mencari penghidupan.

Tanggung jawab sosial ilmuwan adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial tersebut. Tanggung jawab merupakan hal yang ada pada setiap makhluk hidup. Hal demikian dapat dilihat pada manusia yang menunjukkan tanggung jawabnya dengan merawat dan mendidik anaknya sampai dewasa. Tanggung jawab terdapat juga pada bidang yang ditekuni oleh manusia, seperti negarawan, budayawan, dan ilmuwan. Tanggung jawab tidak hanya menyangkut subjek dari tanggung jawab itu sendiri, seperti makhluk hidup atau bidang yang ditekuni oleh manusia akan tetapi juga menyangkut objek dari tanggung jawab, misalnya sosial, mendidik anak, memberi nafkah, dan sebagainya.

Dalam makalah ini akan dibahas tentang peran moral dalam perkembangan ilmu pengetahuan untuk membangun peradaban manusia. Dalam penulisan makalah ini tentunya bertujuan supaya mahasiswa dapat memahami hubungan antara moral dan ilmu, dan fungsinya untuk membangun peradaban manusia.1.2Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Moralitas Ilmu ?2. Apakah yang dimaksud dengan Moral dan Ilmu Pengetahuan ?3. Bagaimana hakikat hubungan antara Moral dan Ilmu Pengetahuan ?4. Bagaimanakah penerapan hubungan antara moral dengan ilmu pengetahuan?1.3Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Moralitas Ilmu.

2. Untuk mengetahui Moral dan Ilmu Pengetahuan.3. Untuk mengetahui hakikat hubungan antara Moral dan Ilmu Pengetahuan.

4. Untuk mengetahui penerapan hubungan antara moral dengan ilmu pengetahuan.1.4Manfaat Penulisan

1. Mampu mengetahui Moralitas Ilmu.

2. Mampu mengetahui Moral dan Ilmu Pengetahuan.3. Mampu mengetahui hakikat hubungan antara Moral dan Ilmu Pengetahuan.4. Mampu mengetahui penerapan hubungan antara moral dengan ilmu pengetahuan.BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Pengetahuan

Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Penjelasan ini akan memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadiIlmu dan kebenaran ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Dengan kata lain, If one were to speak about truth or reality one has to investigate how to know what reality is. Netralitas ilmu: Ilmu itu sendiri bersifat netral tidak mengenal baik atau buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang mempunyai sikap.

Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari usaha-usaha manusia baik untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi, serta mengembangkan dan melestarikan hasil-hasil yang dicapai manusia sebelumnya.Dikatakan oleh Einstein, bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta apapun juga teori yang disusun diantara mereka. Menurut S. Hornby mengartikan ilmu sebagai Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact. Hal ini menujukkan jelas bahwa ilmu adalah pengetahuan yang terorganisir yang didasarkan pada observasi dan hasil pengujian.Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ilmu memiliki dua pengertian, yaitu, Pertama Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya. Kedua Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang duniawi, akhirat, lahir, bathin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu bathin, ilmu sihir, dan sebagainya. Pengertian pertama memberikan gambaran bahwa suatu bidang/kajian dapat dikatakan ilmu, apabila mempunyai sistem atau bagian-bagian pendukung, yang apabila salah satunya hilang, maka ia tidak dapat dikatakan suatu ilmu. Sedangkan pengertian yang kedua penekanannya lebih kepada kepandaian/keahlian/pemahaman terhadap obyek ilmu.Jujun. S. Suriasumantri dalam pengertian ini, lebih melihat ilmu sebagai suatu proses. Demikian pula Lexy J. Moleong melihat ilmu sebagai pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan ilmiah. Oleh karena itu menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada dasarnya ia dapat diandalkan dengan suatu fakta dan argumentasi yang komprehenship, meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuwan. Dengan demikian, ilmu dalam pengertian ini didasarkan pada suatu fakta dan argumentasi yang berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran.Alan H. Goldman lebih melihat bahwa ilmu sesuatu yang diperoleh pada rujukan-rujukan tertentu yang diyakini kebenarannya, knowledge is belief that is best explained by reference to its truth.

Dengan demikian, maka ilmu adalah pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan ilmiah dan telah teruji kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang sahih yang berlaku universal. Dalam konteks filsafat, obyek material ilmu dapat dibagi ke dalam ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam melahirkan sejumlah obyek formal yang dikaji oleh dan menurut disiplin ilmunya seperti biologi, kimia, fisika, farmasi dan lain-lain. Sedangkan yang tercakup ke dalam Ilmu-ilmu sosial berupa sosiologi, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.2.2 Pengertian MoralKata moral berasal dari bahasa latinmosjamaknyamoresyang berarti adat dan kebiasaan hidup. Dalam bahasa inggris moral mempunyai arti: kondisimentalmanusia, merasakan, mengetahui dan menghayati tingkah laku yang baik menurut agama yang dianut dan menurut nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Bila kita membandingkan dengan arti kata etika, maka secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan, adat.Dengan kata lain, kalau arti kata moral sama dengan kata etika, maka rumusan arti kata moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu etika dari bahasa Yunani dan moral dari bahasa latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.

Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula perbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.

Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Inti pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang kehidupan manusia dinilai dari baik buruknya perbutaannya selaku manusia. Norma moral dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya sebagai manusia.

Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang moralitas suatu perbuatan, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Menurut Kondratyev (2000), moralitas adalah kesadaran akan loyalitas pada tugas daan tanggung jawab. Moralitas berasal dari dalam kepribadian manusia itu sendiri. Binatang tidak memiliki moralitas karena tidak memiliki kepribadian. Moralitas tidak bisa dijelaskan dengan akal, karena itu berasal dari kepribadian manusia. Kondratyev menjelaskan lebih jauh bahwa moralitas manusia berasal dari kehidupan keluarga. Jadi keluarga yang baik akan menghasilkan pribadi yang memiliki moralitas yang baik pula. Keluarga adalah tempat mendidik moralitas. Sangat disayangkan pada masa modern saat ini banyak keluarga yang berantakan nilai-nilainya.2.3 Hakikat MoralManusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moraladalahhal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasiindividu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalamzamansekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan disekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya.

Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.Moraladalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.

2.4 Antara Moral, Etika dan Kesusilaan

Moral berasal dari kata latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika secara etimologi berasal dari kata yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminology etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik dan buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan gerakan, kata kata dan sebagainya. Moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.Frans Magnis Suseno sebagai mana yang dikutip oleh Surajiyo membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khutbah peraturan lisan atautulisantentang bagai mana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para orang bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pendangan moral.

Etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran. Jadi, etikadan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagai mana kita harus hidup, bukan etika melainkan moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.Leibniz berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu menjadi yang terjadi dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah sampai kehendak yang sadar yang berarti sampai kepada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan oleh aktivitas jiwa sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita.

Akibat pandangan itu orang hanya dapat berbicara tentang kehendak yang baik dn jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak mewujudkan sesuatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan aktual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagaan yang tidak jelas.2.5 Ilmu : Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai

Rasionalisasi ilmu terjadi sejak Rene Descartes bersikap skeptis metodisnya yang meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (corgito ergo sum). Sikap ini masih berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.

Persoalannya ilmu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksud Josep Situmorang (1996) bebas nilai artinya tuntutan setiap kegiatan ilmiah atas didasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan factor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengethuan itu sendiri.Minimal sebagai tiga factor sebagai indicator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu1. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni beba dari pengaruh factor eksternal seperti factor politis, ideologis, agama, budaya, dan unsure kemasyarakatan lainya .

2. Perlunya kebebasan usaha ilmiah, yang mendorong terjadinya otonomi ilmu pengetahuan. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan untuk menentukan diri sendiri.

3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan dari etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.

Sosiolog, Weber, bahwa ilmu social menyatakan harus bebas nilai, tetapi ia juga mengatakan ilmu-ilmu social harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin bahwa para ilmuan social melakukan aktivitasnya seperti mengejar atau menulis bidang ilmu social itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan kedalam bagian-bagian praktis ilmu social jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentintgan orang, budaya, maka ilmuan sosial tidak mempunyai alasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah (Rizal Mutansyir dan Misnal Minir 2001).

Tokoh lain Habermas sebagaimana yang ditulis Rizal Mustasir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Huseri yang melihat fakta dari objek alam diperlukan ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau objek itu sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primodial dalam pengalaman sehari-hari, dalam Lebenswelt atau dunia sebagaimana dihayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt itu sejumlah fakta sebagai fakta yang kemudian diilmiakan berdasarkan kepentingan praktis.2.6 Problematika Etika Ilmu Pengetahuan

Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis, merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu, pengetahuan dan teknologi iptek. Dalam hal ini berarti ilmuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.

Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal hal yang akan dan telah diakibatkan iptek di masa masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia.hal ini tentu saja menuntut tanggung jawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan iptek itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.

Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia.akan tetapi harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungannya dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap khaliknya.Jadi sesuai dengan pendapat Van Melsen (1985) bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat atau meningkat meningkatkan keberadaan manusia tergantung tergantung pada manusia itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti sesungguhnya, yakni kedewasaan untuk mengerti mana ynag layak mana yang tidak layak, yang buruk dan yang baik. Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologibukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia saja, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreativitas manusa itu sendiri.

2.7 Pendekatan Ontologis

Secara ontologis ilmu membatasi penelaahan keilmuannya hanya berada pada daerah daerah yang berada dalam batas pra pengalaman dan pasca pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologism tertentu. Penerapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemology keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.

Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologism ilmu bersifat netral terhadap nilai nilai yang bersifat dogmatic dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam semesta.

2.8 Pendekatan Epistemologi

Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan : a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya berhasil disusun; b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut; c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran penyataannya secara factual.

Dalam kaitan dengan moral, dalam proseskegiatan keilmuan setiap upaya ilmiah harus ditunjukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membeci kebohongan.

2.9 Pendekatan AksiologiPada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal yang berate ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai kontonasi ras, ideologi atu agama.

2.10 Ilmu dalam Perspektif MoralSejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa bumi yang berputar mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusun penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik antar ilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi.Dalam tahap manipulasi masalah moral muncul kembali. Kalau dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafati dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.Ilmuwan golongan pertamamenginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk.Ilmuwan golongan keduasebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asa moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:1)Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan2)Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan.3)Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.Pendekatan secara ontologis, epistemologis dan aksiologis memberikan 18 asas moral yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab profesional dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.

Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan dalam pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistemologis. Tanggung jawab profesional ini mencakup asas:1) Kebenaran2) Kejujuran3) Tanpa kepentingan langsung4) Menyandarkan kepada kekuatan argumentasi5) Rasional6) Obyektif7) Kritis8) Terbuka9) Pragmatis10) Netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas.Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan yang maju secara sungguh-sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang menyangkut asas kebenaran, kejujuran, bebas kepentingan dan dukungan berdasarkan kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan ketidakjujuran dalam kegiatan ilmiah mendapatkan sanksi yang konkrit; dan sanksi moral dari sesama ilmuwan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan dengan sanksi legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi seorang ilmuwan selain menjadi seorang paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat keilmuan. Di negara kita sanksi moral ini belum membudaya dan hal inilah yang menyebabkan suburnya upaya-upaya amoral dalam kegiatan keilmuan.Mengenai tanggung jawab sosial yakni pertanggung jawaban ilmuwan terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis terhadap obyek penelaahan keilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah terdapat dua tafsiran yang berbeda. Kelompok ilmuwan pertama menafsirkan bahwa ilmuwan harus bersikap netral artinya bahwa terserah kepada masyarakat untuk menentukan obyek apa yang akan ditelaah dan untuk apa pengetahuan yang disusun kaum ilmuwan itu dipergunakan. Sedangkan kelompok ilmuwan kedua berpendapat bahwa ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang bersifat formal dalam mendekati kedua permasalahan tersebut di atas.EinsteindanSocratesmungkin benar, ilmu pengetahuan ternyata juga mendatangkan malapetaka bagi manusia. Ilmu pengetahuan politik, ekonomi, sosial, informasi dan komunikasi, teknologi dan militer dapat saja mendatangkan kesejahteraan, sekaligus menimbulkan malapetaka bagi manusia. SosiologRene Descartesmengatakan ilmu tanpa moral adalah buta, moral tanpa ilmu adalah bodoh.Sedangkan menurut Abdullah ibnu abdul Barr: ilmu mempunyai posisi kenabian dan wahyu, dan ilmu menurutnya mencakup ilmu dunia dan agama, maka setiap ilmu yang membawa manfaat dan mengandung kebaikan bagi pembentukan hidup manusia tegolong pada ilmu yang terpuji dan bergarga. Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.2.11 Peran Moral Terhadap Ilmu Pengetahuan1.

Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu boleh berkembang secara optimal,tetapi ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus memperhatikan segi kemanusiaan baik pada tataran individu maupun kelompok.2.

Peran moral berimplikasi pada signifikansi tanggung jawab, yakni tanggung jawab moral dan sosial. Dalam konteks ini, tanggungjawab moral menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggungjawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya. Bahwa ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia.3.

Dari sisi tanggung jawab sosial, ilmuwan memiliki dan memahami secara utuh tentang kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau berada di tengah-tengah manusia lainnya.4.

Perlunya ilmu dan moral (bagian dari suatu kebudayaan yang dikembangkan dan digunakan manusia) seyogyanya berjalan seiring. Ketika manusia mengaplikasikan hasil pengembangan ilmu dalam format penemuan (pengetahuan) atau teknologi baru, moral akan mengikuti atau mengawalnya. Hal tersebut dimaksudkan bagi kepentingan penghormatan atas martabat kemanusiaan.Hal tersebut di atas, membuat para ilmuwan harus mempunyai sikap formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah. Bagi kita sendiri yang hidup dalam masyarakat Pancasila, tidak mempunyai pilihan lain selain konsisten dengan sikap kelompok ilmuwan kedua, dan secara sadar mengembangkan tanggung jawab sosial di kalangan ilmuwan dengan Pancasila sebagai sumber moral (das sollen) sikap formal kita.Tetapi dalam kenyataannya, mekanisme pendidikan di Indonesia, dengan menempatkan kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan keilmuan) sebagai landasan pembangunan negara tapi seringkali melupakan kreatifitas moralitas (pendidikan moral agama/religius) sehingga telah menggiring Indonesia ke arah kebobrokan.2.12 Definisi dari Ilmuwan

Dari pertumbuhan ilmu sejak zaman Yunani Kuno sampai abad modern ini tampak nyata bahwa ilmu merupakan aktivitas manusia, suatu kegiatan melakukan sesuatu yang dilaksanakan orang atau lebih tepat suatu rangkaian aktivitas yang membentuk suatu proses. Seorang yang melakukan rangkaian aktivitas yang disebut ilmu itu kini lazim dinamakan ilmuwan (scientist ).Kata ilmuwan sekarang tentu bukanlah hal yang asing. Secara sederhana ia diberi makna ahli atau pakar. Dalam kamus Indonesia, kata ilmuwan bermakna orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu, atau orang yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan serta orang yang bekerja dan mendalami ilmu pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh.Ilmuwan memiliki beberapa ciri yang ditunjukkan oleh cara berfikir yang dianut serta dalam perilaku seorang ilmuwan. Mereka memilih bidang keilmuan sebagai profesi. Untuk itu yang bersangkutan harus tunduk dibawah wibawa ilmu. Karena ilmu merupakan alat yang paling mampu dalam mencari dan mengetahui kebenaran. Seorang ilmuwan tampaknya tidak cukup hanya memiliki daya kritis tinggi atau pun pragmatis, kejujuran, jiwa terbuka dan tekad besar dalam mencari atau menunjukkan kebenaran pada akhirnya, netral, tetapi lebih dari semua itu ialah penghayatan terhadap etika serta moral ilmu dimana manusia dan kehidupan itu harus menjadi pilihan juga sekaligus junjungan utama.2.13 Sikap Yang Harus Dimiliki Ilmuwan

Para ilmuwan sebagai orang yang professional dalam bidang keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral, yaitu moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah.

Sikap ilmiah harus dimiliki semua ilmuwan. Hal ini desebabkan oleh sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara social untuk melestarikan dari keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggung jawabkan kepada tuhan. Artinya, selaras dengan kehendak manusia dengan kehendak tuhan.Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuan menurut Abbas Hamami M (1996) sedikitnya ada enam, sebagai berikut :

1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness) artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.

2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuan mampu mengadakan pemilihanterhadap segala sesuatu yang dihadapi.

3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat alat indera serta budi (mind).

4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.

5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus sealu tidak puas terhadap penelitian yang dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.

6. Seorang ilmuan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusu untuk pembangunan bangsa dan negara BAB III

PENUTUP

3.1Simpulan

3.2Saran

Mohon maaf bila terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, karena penulis masih dalam proses pembelajaran. Masukan yang membangun dari teman-teman yang membaca makalah ini sangat penulis harapkan demi kemudahan untuk menjadi yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA1. Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : PT Bumi Aksara2. Hamami, Abbas. 1976. Filsafat (Suatu Pengantar Logika formal Filsafat Pembangunan). Yogyakarta : Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM Moralitas Ilmu Pengetahuan 1