fasihah_perdarahan gusi spontan pada anak
TRANSCRIPT
Perdarahan Gusi Spontan Pada Anak
Nur Fasihah Binti Mat Nawi
10-2008-236
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
www.ukrida.ac.id
Abstrak: Perdarahan ialah keluarnya darah dari salurannya yang normal (arteri, vena atau
kapiler) ke dalam ruangan ekstravaskulus oleh karena hilangnya kontinuitas pembuluh
darah. Perdarahan dapat berhenti melalui 3 mekanisme utama, yaitu konstriksi pembuluh
darah, pembentukan gumpalan trombosit, dan pembentukan thrombin dan fibrin yang
memperkuat gumpalan thrombin. Gangguan atau kelainan dapat terjadi pada pembuluh
darah (vaskulus), trombosit, dan mekanisme pembekuan yang terjadi secara congenital atau
didapat. Kelainan pada salah satu atau lebih dari tiga mekanisme pembekuan menyebabkan
berlakunya perdarahan yang abnormal dan seringkali tidak dapat berhenti sendiri.
Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk membedakan penyebab perdarahan
adalah masa perdarahan, masa pembekuan, Rumpel-Leede dan retraksi bekuan. Penanganan
dilakukan mengikut berat atau ringannya perdarahan yang berlaku dan seringkali perlu
ditangani dahulu penyakit primer sekiranya ada.
Kata kunci: Perdarahan, mekanisme pembekuan
Perdarahan Gusi Spontan Pada Anak
Nur Fasihah Binti Mat Nawi
10-2008-236
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
www.ukrida.ac.id
Abstract: Bleeding is a condition when blood leak out from the vessel (arteries, veins or
capillaries) to the extravascular space due to the injury of the blood vessel. Bleeding can be
stopped trough 3 main mechanisms, constriction of the blood vessel, platelet clot formation,
and formation of thrombin and fibrin clot that reinforces thrombin. Abnormalities and
disorders of the blood vessel can occur due to the blood vessel (vascular), platelet, and
clotting mechanism can be caused by congenital or acquired. Abnormalities in one or more
of these three mechanism causing abnormal bleeding occurs and are hardly self limited. A
simple tests that can be done to differentiate the cause of the bleeding are bleeding time,
clotting time, Rumpel-Leede and clot retraction. The treatment varies depending on the
severity and usually have to treat its primary illness.
Key words: Bleeding, clotting mechanism
SKENARIO
Seorang anak perempuan berusia 6 tahun dibawa oleh orang tuanya ke poliklinik anak
dengan keluhan perdarahan spontan gusi yang sudah berlangsung sejak 2 hari yang lalu. Satu
minggu yang lalu anak mengalami demam, batuk dan pilek, namun telah berobat ke dokter.
Saat ini anak tidak demam lagi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik,
kesadaran kompos mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal.
PENDAHULUAN
Perdarahan merupakan hasil daripada kecederaan atau kelainan pada pembuluh darah
yang dapat disebabkan proses penuaan, penyakit, trauma, dan sebagainya. Proses hemostasis
membantu mempertahankan integritas vaskular pada pembuluh darah yang rusak. Mekanisme
hemostasis tubuh melibatkan mekanisme yang rumit, dengan bantuan daripada faktor-faktor
pembekuan. Daripada kasus, didapatkan anak perempuan, 6 tahun mengalami perdarahan
spontan gusi sejak 2 hari yang lalu, dan mempunyai riwayat demam, batuk dan pilek satu
minggu yang lalu dan sembuh setelah pengobatan.
Pada penyakit kelainan hematologi, gejala yang ditunjukkan oleh pasien dapat ringan
sehingga seolah-oleh tanpa gejala, dan dapat juga gejala yang berat. Yang paling umum
ditemukan adalah perdarahan dan pasien kelihatan pucat. Makalah ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui dengan lebih lanjut mengenai kelainan yang boleh dengan
manifestasi perdarahan spontan gusi, dan untuk mengetahui lebih banyak mengenai penyakit-
penyakit hematologi.
Dalam makalah ini, akan dibahas etiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan yang
berkaitan dan penatalaksanaan penyakit yang berkaitan. Daripada kasus yang diberikan,
hipotesis yang dilakukan adalah perdarahan spontan gusi pada anak perempuan 6 tahun yang
bersifat akut dapat disebabkan oleh penyakit infeksi dan non-infeksi. Pada akhir makalah
diharapkan pembaca lebih jelas mengenai kelainan hematologi dan mampu untuk
mendiferensiasi kelainan-kelainan yang dibahaskan.
ANALISIS MASALAH
PEMBAHASAN
1. ANEMIA/ KURANG DARAH
Anemia merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan kadar
haemoglobin atau nilai hematokrit atau jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah. Keadaan ini
mengakibatkan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen berkurang sehingga akan
menimbulkan gejala-gejala akibat terjadinya hipoksia dari ringan sampai berat. Kadar
hemoglobin normal pada anak-anak (3 bulan-13 tahun) adalah 10-14,5 g/dL. Manakala nilai
hematokrit adalah 31-43% dan jumlah eritrosit 3,8-5,8 juta/uL.
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi eritrosit dan berdasarkan
etiologi. Klasifikasi berdasarkan morfologi eritrosit
1. Anemia makrositik. Dibagikan kepada megaloblastik dan non-megaloblastik. Yang
termasuk dalam anemia makrositik megaloblastik adalah anemia pernisiosa, anemia
defisiensi vitamin B12, dan anemia defisiensi folat. Anemia makrositik non-
megaloblastik termasuk anemia hemolitik, dan anemia pasca perdarahan.
2. Anemia mikrositik hipokrom. Dapat disebabkan oleh defisiensi besi, gangguan
penggunaan besi, gangguan sintesis porfirin, dan gangguan sintesis globin.
3. Anemia normositik normokrom. Dapat ditemukan pada anemia aplastik, anemia pada
keganasan, dan anemia pada penyakit menahun.
Klasifikasi berdasarkan etiologi
1. Kehilangan darah. Dapat diklasifikasikan kepada akut atau kronis.
2. Aktivitas eritropoiesis menurun. Termasuk anemia defisiensi, dan kegagalan sum sum
tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia, keganasan).
3. Destruksi eritrosit meningkat (anemia hemolitik). Terbagi kepada herediter dan
didapat.
4. Peningkatan volume plasma (hemodilusi). Dapat ditemukan pada wanita hamil.
ANEMIA APLASTIK
Anemia aplastik biasanya terdapat pada anak besar berumur lebih dari 6 tahun.
Depresi sumsum tulang oleh obat atau bahan kimia, meskipun dengan dosis rendah, tetapi
berlangsung sejak usia muda secara terus menerus, baru akan terlihat pengaruhnya setelah
beberapa tahun kemudian. Misalnya pemberian kloramfenikol yang terlampau sering pada
bayi (sejak umur 2-3 bulan), baru akan menyebabkan gejala anemia aplastik setelah berumur
lebih 6 dari 6 tahun. Di samping itu, pada beberapa kasus gejala sudah timbul hanya beberapa
saat setelah kontak dengan agen penyebabnya.
ETIOLOGI
a. Faktor congenital: Sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain
seperti mikrosefali, strabismus, anomaly jari, kelainan ginjal, dan sebagainya.
b. Faktor didapat
1. Bahan kimia: benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb
2. Obat: kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin (antihistamin),
santonin-kalomel, obat sitostatika (myleran, metrotrexat, dan sebagainya)
3. Radiasi: sinar Roentden, radioaktif
4. Faktor individu: alergi terhadap obat, bahan kima, dan lain-lain
5. Infeksi: tuberculosis milier, hepatitis dan sebagainya
6. Lain-lain: keganasan, penyakit ginjal, gangguan endokrin
7. Idiopatik: merupakan penyebab yang paling sering. Akhir-akhir ini faktor
imunologis telah dapat menerangkan etiologi gologngan idiopatik ini
MANIFESTASI KLINIS DAN PEMERIKSAAN
Pada anemia aplastik atau hipoplastik, pemeriksaan darah tepi memperlihatkan
pansitopenia, granulositopenia (< 1500/mL), aktivitas LAP/NAP meningkat, eritrosit
normokromatik normositik dengan jumlah total 1 juta atau kurang disertai penurunan jumlah
trombosit, neutrofil, dan SDP. Penurunan kadar limfosit (limfositosis) bersifat relative dan
dapat disertai limfopenia pada kasus berat.
Diagnosis pasti didapatkan dengan melakukan pemeriksaan sumsum tulang.
Didapatkan punksi sumsum tulang tidak berhasil (dry tap), hipoplasia sumsum tulang,
peningkatan jumlah lemak melebihi 75%, bercak seluler dengan latar belakang hiposeluler,
dan kadar limfosit, plasmosit, megakariosit berkurang atau tidak dijumpai. Cadangan besi
dalam sumsum tulang meningkat.
Pada pemeriksaan lain, ditemukan kadar besi serum meningkat, dan penurunan kadar
transferin. Secara fisik, anak kelihatan panas pucat. Anak juga dapat mengalami perdarahan
tanpa organomegali (hepatosplenomegali).
Sumsum tulang Darah tepi Gejala klinis
Keterangan
Aplasia eritropoesis Retikulositopenia Anemia (pucat)
- Akibat retikulositopenia kadar Hb, hematokrit dan jumlah eritrosit rendah.
- Akibat anemia: anoreksia, pusing, gagal jantung, dan lain-lain
Aplasia granulopresis Granulositopenia, leukopenia
Panas (demam)
- Bila leukosit normal, periksalah hitung jenis.
- Panas terjadi karena infeksi sekunder akibat granulositopenia.
Aplasia trombopoetik Trombositopenia Diathesis hemoragi
- Perdarahan dapat berupa ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi dan sebagainya.
Relative aktif limfopoesis
Limfositosis - - Limfositosis biasanya tidak lebih dari 80%.
Relative aktif RES Mungkin terdapat sel plasma, monosit bertambah.
-
Gambaran umum: Sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan lemak.
Tambahan: - Hepar, limpa, kelenjar getah bening tidak membesar dan tidak ada ikterus.
Tabel 1: Ikhtisar gejala klinis dan hematologis Anemia aplastik (Sumber:Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak, Jilid 1, Jakarta, 2007, Fakultas Kedokteran Indonesia. Hal 453)
PENATALAKSANAAN
1. Prednison dan testosterone.
Prednisone diberikan dengan dosis 2-5 mg/kgBB/hari peroral, sedangkan testosterone
dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari sebaiknya secara parenteral. Pengobatan biasanya
berlangsung berbulan-bulan, bahkan dapat sampai bertahun-tahun. Bila terdapat
remisi, dosis obat diberikan separuhnya dan jumlah sel diawasi setiap minggu. Bila
kemudian terjadi relaps, dosis obat harus diberikan penuh kembali.
2. Transfusi darah.
Transfusi darah yang terlampau sering, akan timbul depresi terhadap sumsum tulang
atau dapat menimbulkan reaksi hemolitik (reaksi transfusi), sehingga dalam hal ini
trasnfusi darah ‘gagal’ karena eritrosit. Leukosit, dan trombosit akan dihancurkan
sebagai akibat dibentuknya antibodi terhadap sel-sel darah tersebut. Dengan demikian
transfusi darah hanya diberikan bila diperlukan. Pada keadaan yang sangat gawat
(perdarahan masif, perdarahan otak dan sebagainya) dapat diberikan suspensi
trombosit.
3. Pengobatan terhadap infeksi sekunder.
Untuk menghindarkan anak dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi dalam ruangan yang
‘suci hama’. Pemberian obat antibiotika hendaknya dipilih yang tidak menyebabkan
depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh diberikan.
4. Diet.
Disesuaikan dengan keadaan anak, umumnya diberikan makanan lunak. Hati-hati
pada pemberian makanan melalui pipa lambung karena mungkin menimbulkan
luka/perdarahan pada waktu pipa dimasukkan.
5. Istirahat.
Untuk mencegah terjadinya perdarahan, terutama pada otak.
PROGNOSIS
Prognosis bergantung kepada gambaran sumsum tulang (hiposelular atau aselular), kadar Hb
F yang lebih dari 200 mg% memperlihatkan prognosis yang lebih baik, umlah granulosit
yang lebih dari 2.000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih baik, dan pencegahan infeksi
sekunder. Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk menentukan
prognosis.
2. HEMOSTASIS
Hemostasis ialah proses pembentukan bekuan pada dinding pembuluh darah yang
rusak, untuk mencegah kehilangan darah sementara tetap mempertahankan darah dalam
keadaan cair di dalam sistem pembuluh darah. sekumpulan mekanisme sistemik kompleks
yang saling berkaitan akan bekerja unutk mempertahankan imbangan antara koagulasi
dengan antikoagulasi.
Pada proses hemostasis, terjadi reaksi hemostasis primer (reaksi vaskular dan reaksi
selular) dan sekunder (reaksi biokimia). Faktor-faktor yang berperan pada hemostasis adalah
ekstravaskular (otot, jaringan subkutan, thromboplastin jaringan), vaskular (ukuran dan lokasi
pembuluh darah, tekanan darah) dan intravascular (trombosit dan faktor koagulasi).
Dalam proses hemostasis, pembuluh darah akan mengalami vasokontriksi dan
membentuk beberapa substansi, yaitu faktor von Willebrand (platelet adherent), activator
plasminogen jaringan (sistem fibrinolitik), inhibitor plasminogen activator (sistem
fibrinolitik), prostasiklin/PGI2 (inhibit agregasi platelet), trombomodulin (protein C
activation) dan glikosaminoglikan (meningkatkan aktivitas antitrombin). Konstriksi
pembuluh darah disebabkan oleh serotonin dan vasokontriktor lain yang dilepaskan oleh
trombosit yang menempel pada pembuluh darah yang rusak.
Trombosit mengambil peran untuk menghasilkan pf3 dan pf4, membentuk sumbat
trombosit (platelet adherent, agregasi platelet, dan release reaction) dan membantu
menstabilkan sumbat trombosit. Terdapat 3 mekanisme hemostasis; hemostatik lokal,
termasuk fibrin dan aliran darah. Kedua, humoral, yaitu antitrombin III, protein C, protein S,
heparin kofaktor II, dan tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Ketiga adalah mekanisme
seluler, yaitu sel hati dan sel retikuoendotel yang nantinya akan berperan pada mekanisme
clearance.
Gambar 1: Proses hemostasis (Sumber: Ganong.W.F. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 20. Jakarta. 2003. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Hal 521)
MEKANISME PEMBEKUAN
Agregasi trombosit yang longgar pada sumbat sementara diikat dan dikonversi
menjadi sumbat definitive oleh fibrin. Mekanisme pembekuan yang berperan melibatkan
kaskade reaksi enzim yang tidak aktif diubah menjadi aktif, dan selanjutnya enzim tersebut
mengaktifkan enzim lain yang tidak aktif. Reaksi mendasar dalam pembekuan darah adalah
konversi protein plasma yang larut (fibrinogen) menjadi fibrin (tidak larut). Fibrin mula-mula
berupa gumpalan benang-benang yang saling menjalin. Selanjutnya, pembentukan ikatan-
ikatan silang kovalen akan mengubah gumpalan longgar menjadi agregat yang padat dan
ketat (stabililsasi). Reaksi yang terakhir ini dikatalisasi oleh faktor XIII yang telah diaktifkan
dan memerlukan Ca2+.
Perubahan fibrinogen kepada fibrin dikatalisasi oleh thrombin. Trombin dibentuk dari
prekursornya (prothrombin) dengan bantuan daripada faktor X yang telah diaktifkan.
Thrombin turut berperan dalam pengaktifan trombosit, sel endotel, serta leukosit melalui
gabungan dengan protein G.
Faktor X diaktifkan melalui reaksi dari jalur intrinsic dan ekstrinsik. Dalam sistem
intrinsic, faktor XII dikoversi kepada XIIa dengan bantuan katalisasi HWMK dan kallikrein.
Faktor XIIa kemudiannya mengaktifkan faktor XI menjadi faktor XIa dan kemudiannya
mengaktifkan faktor IX. Faktor IXa membentuk kompleks dengan faktor VIII aktif (setelah
terpisah dari faktor von Willebrand) untuk mengaktifkan faktor X. Pengaktifan sempurna
faktor X memerlukan fosfolipid dari trombosit yang beragregasi (PL) dan Ca2+.
Sistem ekstrinsik pula dipacu oleh pelepasan thromboplastin jaringan, yaitu campuran
protein-fosfolipid yang mengaktifkan faktor VII. Thromboplastin jaringan dan faktor VII
mengaktifkan faktor IX dan X. Dengan adanya PL, Ca2+ dan faktor V, faktor X yang telah
diaktifkan mengkatalisis konversi prothrombin kepada thrombin.
Gambar 2: Mekanisme pembekuan (Sumber: Ganong.W.F. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 20. Jakarta. 2003. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Hal 521)
MEKANISME FIBRINOLISIS
Plasmin (fibrinolisin) merupakan komponen aktif dari sistem plasminogen
(fibrinolitik) yang membantu melisiskan fibrin dan fibrinogen dengan menghasilkan produk
degradasi fibrinogen (FDP) yang menghambat thrombin. Plasmin dibentuk dari precursor
inaktif, plasminogen melalui bantuan thrombin dan activator plasminogen tipe jaringan (t-
PA). Plasminogen juga diaktifkan oleh activator plasminogen tipe urokinase (u-PA).
Gambar 3: Sistem fibrinolitik (Sumber: Ganong.W.F. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 20. Jakarta. 2003. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Hal 522)
HEMOFILIA
Hemofilia A disebabkan oleh defisiensi faktor VII, atau disfungsi pada faktor VIII
relative sering ditemukan. Hemofilia B atau Chrismas disease merupakan kelainan yang
disebabkan oleh defisiensi atau disfungsi dari faktor IX. Kekurangan faktor VIII dan IX
merupakan gangguan pada tahap pertama pembekuan darah, yang disebabkan kekurangan
faktor pembekuan yang bekerja pada tahap tersebut. Penyakit ini bersifat herediter, biasanya
terdapat pada anak laki-laki, tetapi dapat diturunkan oleh wanita (bersifat sex-linked
recessive).
PATOFISIOLOGI
Faktor VIII dan faktor IX diperlukan untuk mengaktifkan faktor X. Dengan bantuan
daripada fosfolipid dan kalsium, terbentuknya tenase ataukompleks factor-X activating.
Dalam keadaan normal, pembentukan sumbatan platelet bersamaan dengan pembentukan
sumbatan fibrin membantu untuk menghentikan perdarahan. Pada pasien hemofilia,
pembentukan sumbatan terlambat atau tidak kuat dan menyebabkannya mudah lepas.
Sekiranya perdarahan berlaku di area yang tertutup, misalnya sendi, kemungkinan besar penyebab
kepada berhentinya perdarahan adalah tamponade. Namun, pada luka terbuka, tidak dapat terjadi
tamponade, menyebabkan perdarahan masif berlaku. Bekuan darah yang terjadi lebih longgar yang
mengakibatkan lisisnya bekuan secara fisiologik dan trauma yang paling kecil dapat menyebabkan
perdarahan kembali.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang ditimbulkan dapat ringan sekali bahkan mungkin tidak memberikan
gejala tetapi dapat pula mengakibatkan gejala berat sehingga memerlukan tindakan segera.
Gejala penyakit ini berupa kebiruan pada kulit, perdarahan sendi, otot, atau perdarahansetelah
trauma atau operasi. Pada hemofilia A yang berat, yaitu apabila faktor VIII kurang dari 1%,
dapat terjadi perdarahan spontan pada anak, dan hemartosis. Dalam menegakkan diagnosis,
perlu didapatkan silsilah keluarga secara terperinci untuk mencari kemungkinan karier pada
penderita lain.
PEMERIKSAAN
Anamnesis yang dilakukan mengarahkan pada dugaan adanya penyakit hemofilia
dalam keluarga. Terdapat riwayat perdarahan memanjang setelah operasi atau trauma atau
perdarahan spontan dalam otot atau sendi .Pada pemeriksaan laboratorium hemofilia A dan
B, ditemukan masa perdarahan, masa prothrombin dan masa thrombin normal. APTT
memanjang, TGT abnormal bila dipakai plasma, dan normal bila dipakai serum. Yang
membedakan hemofilia A dan B adalah aktivitas daripada faktor yang terlibat rendah.
Aktivitas daripada faktor VIII rendah pada hemofilia A, dan aktivitas faktor IX rendah pada
hemofilia B.
Untuk menyingkirkan dugaan perdarahan intracranial, dilakukan pemeriksaan CT
scan. Artroskopi menyingkirkan dugaan perdarahan sendi, manakala endoskopi membantu
untuk menyingkirkan dugaan perdarahan GIT.
PENATALAKSANAAN
Menghindari trauma merupakan cara yang paling bernas untuk pasien hemofilia
namun perdarahan dapat berlaku tanpa adanya trauma. Pasien hemofilia juga harus
menghindari pengambilan aspirin dan obat-obat anti-inflamasi non steroid (OAINS), yang
mempengaruhi aktivitas platelet.
Replacement therapy atau terapi penggantian yaitu transfuse darah yang diberikan
pada saat perdarahan berlaku bagi memastikan kadar faktor VIII dan faktor IX berada dalam
hemostatic level (35-40U/dL) atau diberikan transfuse 100% (100U/dL) pada keadaan gawat
dan perdarahan yang masif.
Tirah baring dan monitor cairan tubuh selama 1-2 hari sekiranya pasien mengalami
hematuria. Dapat diberikan prednisone sekiranya masih tiada pembaikan dalam masa 2 hari
tersebut.
Terapi profilaksis dilakukan bagi mengelakkan berlakunya perdarahan spontan sendi
yang biasanya dilakukan untuk seumur hidup pasien. Pada pasien yang lebih muda, perlu
dimasukkan kateter untuk memastikan tepat pada vena.
3. FAKTOR PEMBEKUAN DARAH
Faktor pembekuan Sinonim Fungsi
Faktor I Fibrinogen Precursor fibrin
Faktor II Prothrombin Serine protease
Faktor III Tissue thromboplastin Initiate extrinsic pathway
Faktor IV Calcium ion Bridge between gamma carboxy
glutamate & phospholipid
Faktor V Proaccelerin Cofactor of F Xa
Faktor VII Proconvertin Serine protease
Faktor VIII Anti hemophilic factor
(AHF)
Cofactor of F IXa
Faktor IX Plasma thromboplastin
component (PTC)
Serine protease
Faktor X Stuart Prower factor Serine protease
Faktor XI Plasma thromboplastin
Antecedent (PTA)
Serine protease
Faktor XII Hageman factor Serine protease
Faktor XIII Fibrin stabilizing factor Transglutaminase
Prekallikrein (PK) Fletzer factor Serine protease
High Molecular Weight
(HMW) Kininogen
Fitzgerald factor Cofactor of Kallikrein
Tabel 2: Faktor pembekuan darah dan fungsinya (Sumber: Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik hematologi. Jakarta. 2009. Biro Publikasi
Fakultas Kedokteran Ukrida. Hal 167)
Faktor pembekuan darah diklasifikasikan kepada
1. Golongan kontak: Faktor XI, XII, PK, HMWK yang terdapat dalam plasma adsorb
dan serum. Berinteraksi dengan komplemen dan sistem fibrinolitik. Defisiensi faktor
ini tidak menyebabkan perdarahan, tetapi menyebabkan pemanjangan PTT.
2. Golongan prothrombin: Faktor II, VII, IX, X. Merupakan vitamin K dependent factor.
Tidak terdapat dalam plasma adsorb.
3. Golongan fibrinogen: Faktor I, V, VIII, XIII. Tidak terdapat dalam serum tetapi
terdapat dalam plasma adsorb. Diaktifkan oleh thrombin.
KELAINAN PADA FAKTOR PEMBEKUAN DARAH
Kelainan faktor pembekuan darah dapat disebabkan oleh kelainan bawaan dan
kelainan yang didapat. Kelainan bawaan dibagikan menjadi kelainan autosom dominan
(VWD, disfibrinomenemia, dan defisiensi prothrombin), kelainan autosom resesif
(afibrinogenemia/ hipofibrinogenemia, defisiensi faktor V, VII, XI, IX, XII, XIII, defisiensi
kallikrein, dan defisiensi HMWK). Kelainan lain adalah x-linked resessive yang
menimbulkan gejala terutama pada pria. Pada wanita kebiasaannya hanya bersifat karier,
yaitu penyakit hemofilia A dan B.
DEFISIENSI VITAMIN K (VITAMIN K DEFISIENCY BLEEDING/VKDB)
ETIOLOGI
1. Gangguan absorbsi sehingga menggunakan pematangan faktor II, V, dan VII.
2. Pada penyakit sirosis hepatis, di mana terjadi gangguan metabolisme lemak,
mengakibatkan penyerapan vitamin K juga mengalami gangguan.
3. Penyakit pada traktus gastrointestinal yang bersifat menahun dan penggunaan
antibiotika jangka panjang sehingga menyebabkan bakteri yang membantu
memproduksi vitamin K turut relative berkurang. Sebagai contih, steatore
menyebabkan berlakunya gangguan absorbs vitamin K sehingga menggangu proses
pembekuan darah.
4. Fungsi hati yang belum sempurna pada bayi sehingga menyebabkan risiko terjadinya
perdarahan spontan akibat kekurangan vitamin K meningkat.
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian VKDB berkisar antara 1:200 sampai 1:400 kelahiran bayi yang tidak
mendapat vitamin K profilaksis. Di Indonesia, data mengenai VKDB secara nasional belum
tersedia. Hingga tahun 2004 didapatkan 21 kasus di RSCM Jakarta, 6 kasus di RS Dr.
Sardjito Yogyakarta dan 8 kasus di RSU Dr. Soetomo Surabaya.
PATOFISIOLOGI
Vitamin K diperlukan untuk sintesis prokoagulan faktor II, VII, IX dan X (kompleks
protrombin) serta protein C dan S yang berperan sebagai antikoagulan (menghambat proses
pembekuan). Selain itu Vitamin K diperlukan untuk konversi faktor pembekuan tidak aktif
menjadi aktif. VKDB dibagikan menjadi VKDB dini, VKDB klasik, VKDB lambat
atau acquired prothrombin complex deficiency (APCD) dan Secondary prothrombin
complex (PC) deficiency
PEMERIKSAAN DAN MANIFESTASI KLINIS
VKDB dini VKDB klasik VKDB lambat(APCD)
Secondary PC deficiency
Umur < 24 jam 1-7 hari (terbanyak 3-5 hari)
2 minggu-6 bulan (terutama 2-8 minggu)
Segala usia
Penyebab &Faktor resiko
Obat yang diminum selama kehamilan
- Pemberian makanan terlambat
- Intake Vit K inadekuat
- Kadar vit K rendah pada ASI
- Tidak dapat profilaksis vit K
- Intake Vit K inadekuat
- Kadar vit K rendah pada ASI
- Tidak dapat profilaksis vit K
- obstruksi bilier
- penyakit hati- malabsorbsi- intake kurang
(nutrisi parenteral)
Frekuensi < 5% pada kelompok resiko tinggi
0,01-1%(tergantung pola makan bayi)
4-10 per 100.000 kelahiran (terutama di Asia
Tenggara)Lokasi
perdarahanSefalhematom, umbilikus, intrakranial, intraabdominal, GIT, intratorakal
GIT, umbilikus, hidung, tempat suntikan, bekas sirkumsisi, intrakranial
Intrakranial (30-60%), kulit, hidung, GIT, tempat suntikan, umbilikus, UGT, intratorakal
Pencegahan -penghentian / penggantian obat penyebab
-Vit K profilaksis (oral / im)- asupan vit K yang adekuat
Vit K profilaksis (im)- asupan vit K yang adekuat
Tabel 3: Perbedaan VKDB (Sumber: Permono B, Ugrasena IDG, Ratwita MA. Perdarahan Akibat defisiensi vitamin K, Diunduh dari http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-kiao236.htm)
Pada pemeriksaan fisik pasien, didapatkan adanya perdarahan di saluran cerna,
umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi dan lain sebagainya. Selain itu, didapatkan waktu
pembekuan memanjang, PPT (Plasma Prothrombin Time) memanjang, PTT (Partial
Thromboplastin Time) memanjang, TT (Thrombin time) normal dan dapat juga dilakukan
pemeriksaan imaging yang bersesuaian untuk menentukan lokasi perdarahan.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan VKDB lebih kepada tindakan pencegahan. Terutama dilakukan
dengan pemberian vitamin K profilaksis.
- Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3 kali @ 2 mg
pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2 tahun
- Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis vitamin K1
5 mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg im pada 24 jam sebelum melahirkan.
Selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg im dan diulang 24 jam kemudian
Pengobatan pula diberikan vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari, selaindapat
diberikan juga fresh frozen plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kg.
4. KELAINAN TROMBOSIT
Kelainan pada trombosit dapat dibagikan kepada kelainan jumlah trombosit dan
kelainan fungsi tombosit. Jumlah trombosit normal adalah 140.000-400.000/uL darah. Kadar
trombosit kurang dari 100.000/uL darah menyebabkan masa perdarahan memanjang,
manakala kurang dari 20.000/uL menyebabkan perdarahan spontan. Kelainan jumlah
trombosit dapat berupa peningkatan jumlah (trombositosis) dan penurunan jumlah
(trombositopenia). Penyebab dari trombositopenia dapat berupa:
1. Produksi berkurang yang disebabkan oleh kekurangan jumlah megakariosit
(anemia aplastik, leukemia, infitrasi oleh sel tumor) dan trombopoesis inefektif.
2. Destruksi meningkat. Dapat ditemukan pada idiopathic thrombocytopenic purpura
(ITP), drug induced thrombocytopenia, dan isoimmune thrombocytopenia.
3. Pemakaian meningkat. Dapat ditemukan pada disseminated intravascular
coagulation (DIC), dan thrombotic thrombocytopenic purpura.
4. Pengenceran atau dilusi pada keadaan post transfusion thrombocytopenia dan
heparin induced thrombocytopenia.
Penyebab dari trombositosis pula dapat bersifat fisiologis, akibat pemberian epinefrin dan
kerja jasmani, dan patologik yang dapat bersifat primer dan sekunder.
Trombositosis primer Trombositosis sekunder(Reactive thrombocytosis)
- Proliferasi abnormal megakariosit (kelainan mieloproliferatif)
- Manifestasi klinis berupa perdarahan, thrombosis, pembesaran limpa
Laboratorium- Jumlah trombosit meningkat (lenih dari
1.000.000/uL)- Morfologi trombosit abnormal- Hyperplasia megakariosit dalam sumsum
tulang
- Biasanya tanpa gejala- Jumlah trombosit kurang dari 1.000.000/uL- Morfologi dan fungsi trombosit normal
Ditemukan pada:- Setelah splenektomi- Anemia hemolitik- Setelah perdarahan akut- Kehamilan- Inflamasi akut atau kronis
Tabel 4: Trombositosis primer dan sekunder.
Kelainan fungsi trombosit pula dapat berupa kelainan bawaan dan didapat. Kelainan
bawaan termasuk penyakit Von Willebrand (VWD), Glanzmann’s thrombasthenia, dan
Bernard Soulier syndrome. Kelainan didapat dapat berupa kelainan mieloproliferatif, uremia,
paraproteinemia, peningkatan FDP, dan drug induced (aspirin, NSAID)
IDIOPATHIC THROMBOCYTOPENIC PURPURA (ITP)
Ialah suatu keadaan perdarahan yang disifatkan oleh timbulnya petekia atau ekimosis
di kulit ataupun pada selaput lendir dan adakalanya terjadi pada berbagai jaringan dengan
penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui. Kelainan pada kulit tersebut
tidak disertai eritema, pembengkakan atau peradangan. Pada ITP biasanya tidak disertai
anemia atau kelainan lainnya kecuali bila banyak darah yang hilang karena perdarahan.
Perjalanan penyakit ITP dapat bersifat akut dan kemudian akan hilang sendiri (self limited)
atau menahun dengan atau tanpa remisi dan kambuh.
ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi dikemukakan berbagai kemungkinan dia
antaranya ialah hipersplenisme, infeksi virus (demam berdarah, morbili, varisela, dan
sebagainya), intoksikasi makanan atau obat (asetosal, PAS, fenilbutazon, diamox, kina,
sedormid) atau bahan kima, pengaruh fisis (radiasi, panas), kekurangan faktor pematangan
(misalnya malnutrisi), DIC (misalnya pada DDS, leukemia, respiratory distress syndrome
pada neonates) dan terakhir dikemukakan bahwa ITP ini terutama yang menahun merupakan
penyakit autoimun.
Hal ini diketahui dengan ditemukan zat anti terhadap trombosit dalam darah
penderita. Pada neonates kadang-kadang ditemukan trombositopenia neonatal yag disebabkan
inkompatibilitas golongan darah trombosit antara ibu dan bayi (isoimunisasi). Prinsip
patogenesisnya sama dengan inkompatibilitas rhesus atau ABO. Jenis antibodi trombosit
yang paling sering ditemukan pada kasus yang mempunyai dasar imunologis ialah P1E1 dan
P1E2. Mencari kemungkinan penyebab ITP ini penting untuk menentukan pengobatan,
penilaian pengobatan dan prognosis.
EPIDEMIOLOGI
Lebih sering dijumpai pada anak dan dewasa muda. Pada anak yang tersering ialah di
antara umur 2-8 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki (perbandingan
berkisar di antara 4:3 dan 2:1 serta akan menjadi lebih nyata setelah pubertas).
MANIFESTASI KLINIS
Dapat timbul mendadak, terutama pada anak, tetapi dapat pula hanya berupa kebiruan
atau epstaksis selama jangka waktu yang berbeda-beda. Tidak jarang terjadi gejala timbul
setelah suatu peradangan atau infeksi saluran nafas bagian atas akut.
Kelainan yang paling sering ditemukan adalah petekia dan kemudia ekimosis yang
dapat tersebar di seluruh tubuh. Keadaan ini kadang-kadang dapat dijumpai pada selaput
lendir terutama hidung dan mulut sehingga dapat terjadi epistaksis dan perdarahan gusi
bahkan dapat timbul tanpa kelainan kulit.
Pada ITP akut dan berat dapat timbul pula pada selaput lendir yang berisi darah (bula
hemoragik). Gejala lainnya ialah perdarahan traktus genitourinarius (menoragia, hematuria);
traktus digestivus (hematemesis, melena), pada mata (konjungtiva, retina) dan terberat namun
agak jarang terjadai adalah perdarahan pada SSP (perdarahan subdural dan lain-lain). Pada
pemeriksaan fisis umumnya tidak banyak dijumpai kelainan kecuali adanya petekia dan
ekimosis. Pada kira-kira seperlima kasus dapat dijumpai splenomegali ringan (terutama pada
hipersplenisme). Mungkin pula ditemukan demam ringan bila terdapat perdarahan berat atau
perdarahan traktus gastrointestinalis. Renjatan (shock) dapat terjadi pada kehilagan darah
banyak.
Pada ITP menahun, umumnya hanya ditemukan kebiruan atau perdarahan abnormal
lain dengan remisi spontan dan eksaserbasi. Remisi yang terjadi umumnya tidaklah
sempurna. Harus waspada terhadap kemungkinan ITP menahun sebagai gejala praleukemia.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Yang khas adalah trombositopenia. Jumlah trombosit dapat mencapai nol. Anemia
biasanya normositik dan sesuai dengan jumlah darah yang hilang. Bila telah berlangsung
lama maka dapat berjenis mikrositik hipokrom. Bila sebelumnya terdapat perdarahan yang
cukup hebat, dapat terjadi anemia mikrositik. Leukosit biasanya normal, tetapi bila terdapat
perdarahan hebat dapat terjadi leukositosis ringan dengan pergeseran ke kiri. Pada keadaan
yang lama dapat ditemukan limfositosis relative atau bahkan leukopenia ringan.
Sumsum tulang biasanya memberikan gambaran yang normal, tetapi jumlah pula
dapat bertambah, banyak dijumpai megakariosit muda berinti metamegalialuariosit satu,
sitoplasma lebar dan granulasi sedikit (megakariosit yang mengandung trombosit) jarang
ditemukan, sehingga terdapat maturation arrest pada stadium megakariosit.
Sistem lain biasanya normal, kecuali bila terdapat perdarahan hebat maka akan
ditemukan hiperaktif sistem eritropoetik. Pada beberapa penyelidik beranggapan bahwa
ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak (lebih dari normal) merupakan petunjuk bahwa
prognosis penyakit baik.
Selain kelainan hematologis di atas, mekanisme pembekuan memberikan kelainan
berupa masa perdarahan memanjang, Rumpel-Leede umumnya positif, tetapi masa
pembekuan normal, retraksi bekuan abnormal dan prothrombin consumption time
memendek. Pemeriksaan lainnya normal.
Pemeriksaan antinuclear antibody (ANA) biasanya memberikan hasil positif pada
anak remaja dibandingkan dengan anak usia lebih muda, yang mempunyai risiko tinggi untuk
berkembang menjadi ITP kronik.
PENGOBATAN
1. ITP akut
a. Tanpa pengobatan, karena dapat sembuh secara spontan.
b. Pada keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid (prednisone) peroral
dengan atau tanpa transfusi darah.
Bila setelah 2 minggu tanpa pengobatan belum terlihat tanda kenaikan jumlah
trombosit, dapat dianjurkan pemberian kortikosteroid karena biasanya perjalanan
penyakit sudah menjurus kepada ITP menahun.
c. Pada trombositopenia yang disebabkan oleh DIC, dapt diberikan heparin
intravena. Pada pemberian heparin ini sebaiknya selalu disiapkan antidotumnya
yaitu protamin sulfat.
d. Bila keadaan sangat gawat (perdarahan otak) hendaknya diberikan transfusi
suspense trombosit.
2. ITP menahun
a. Kortikosteroid, diberikan selama 6 bulan.
b. Obat imunosupresif (misal 6-merkaptopurin, azatioprin, siklofosfamid).
Pemberian obat golongan ini didasarkan atas adanya peranan proses imunologis
pada ITP menahun.
c. Splenektomi dianjurkan bila tidak diperoleh hasil dengan penambahan obat
imunosupresif selama 2-3 bulan. Indikasi splenektomi apabila resisten setelah
pemberian kombinasi kortikosteroid dan obat imunosupresif selama 2-3 bulan,
berlaku remisi spontan tidak terjadi dalam waktu 6 bulan pemberian kortikosteroid
saja dengan gambaran klinis sedang sampai berat, dan enderita yang menunjukkan
respons terhadap kortikosteroid namun memerlukan dosis yang tinggi untuk
mempertahankan keadaan klinis yang baik tanpa adanya perdarahan.
Sebaliknya, splenektomi tidak dilakukan pada anak kurang dari 2 tahun. Karena
sebelum umur 2 tahun fungsi limpa terhadap infeksi belum dapat diambil alih oleh
alat tubuh yang lain (hati, kelenjar getah bening, timus). Hal ini hendaknya
diperhatikan, terutama di negeri yang sedang berkembang karena mortalitas da
morbiditas akibat infeksi masih tinggi.
DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION/ DIC (CONSUMPTIVE
COAGULOPATHY)
Merupakan suatu gangguan hemostasis, khususnya dalam mekanisme pembekuan
yang didapat. Merupakan keadaan yang menyebabkan kekurangan faktor pembekuan, platelet
dan protein antikoagulan dalam darah. Akhirnya mengakibatkan deposisi fibrin yang meluas
ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan berlakunya proses iskemia dan nekrosis, perdarahan
dan anemia hemolitik.
ETIOLOGI
Pembekuan di dalam pembuluh darah dapat terjadi pada anak dalam hubungan
dengan beberapa keadaan seperti infeksi bakteri terutama sepsis karena kuman Gram
negative, infeksi virus, idiopathic respiratory distress syndrome, leukemia, beberapa tumor
ganas, hemangioma maligna, kombustio, sindrom uremia hemolitik dan lain-lain.
Pada keadaan ini pembekuan terjadi karena mekanisme yang berbeda-beda (aktivitas
faktor X, pengaruh endotoksin, trauma, dan lain-lain). Gambaran klinis bergantung kepada
berat atau ringannya sindrom tersebut. Bila akut, maka penderita akan tampak sakit berat
disertai terdapatnya perdarahan luas pada kulit, selaput lendir dan alat dalam, namun di pihak
lain proses dapat sangat ringan dan hanya memberikan gejala purpura atau ekimosis spontan
tanpa gejala thrombosis, bahkan dapat tanpa gejala sama sekali.
Kelainan faktor pembekuan pada DIC adalah merendahnya kadar faktor I, II, V, VIII dan
meningginya kada FDP (fibrinogen degradation products).
PATOFISIOLOGI
Bisanya terjadi selama perjalanan atau merupakan akhir suatu penyakit. Kelainan ini
bukan merupakan penyakit primer, tetapi sebagai akibat rangsangan dari penyakit primernya.
Hal ini akan menyababkan terjadinya pembekuan yang luas dalam pembuluh darah dengan
memakai senua faktor pembekuan dan trombosit sehingga kemudian terbentuk thrombin
dalam pembuluh darah.
Bila proses tersebut berjalan cepat dan luas dengan akibat berkurangnya secara nyata
faktor pembekuan dan trombosit. Akibat hal ini fungsi hemostasis terganggu sehingga mudah
terjadi perdarahan spontan. Oleh karena itu kelainan ini kadang-kadang disebut pula sebagai
consumption coagulopathy atau sindrom defibrinasi.
Di dalam pembuluh darah secara normal pembekuan tidak terjadi, karena mekanisme
pembekuan tidak diaktifkan, tetapi pada penderita DIC, mekanisme pembekuan oleh suatu
sebab diaktifkan walaupun di dalam pembuluh darah yang masih utuh.
Pada sebagian besar kasus DIC dapat ditemukan thrombosis dan perdarahan pada saat
yang sama. Tetapi gambaran seperti itu tidak dijumpai pada semua kasus. Seringkali tidak
dapat dibuktikan thrombosis, hal ini diduga disebabkan terjadi penghancuran kembali fibrin
yang telah terbentuk oleh sistem enzim fibrinolitik (pekerjaan plasmin).
MANIFESTASI KLINIS
DIC biasanya merupakan sekunder daripada penyakit tertentu. Perdarahan yang
berlaku biasanya disebabkan punksi vena atau insisi sewaktu bedah. Dapat ditemukan petekia
dan ekimosis pada kulit. Nekrosis dapat terjadi pada beberapa organ dan kebiasaannya
kelihatan seperti berlakunya infark di area kulit, jaringan subkutis, atau ginjal. Proses
hemolisisyang berlaku menyebabkan pasien kemungkinan mengalami anemia hemolitik
mikroangiopati.
PEMERIKSAAN
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit terutama bila disertai atau pernah
menderita salah satu keadaan yang dapat menimbulkan DIC. Pemeriksaan laboratorium
antara lain ialah pemeriksaan darah tepi (trombositopenia, bentuk trombosit besar, bentuk
eritrosit abnormal/fragmentosit), pengsi sumsum tulang akan memperlihatkan gambaran
megakariosit yang bertambah. Pemeriksaan mekanisme pembekuan memberikan hasil di
antaranya PPT, SPT, PTT, masa perdarahan, masa pembekuan memanjang, masa
rekalsifikasi memendek dengan kadar fibrinogen merendah dan kadang-kadang disertai tanda
fibrinolisis. Pemeriksaan laboratorium yang paling sensitif ialah pengukuran FDP secara
kuantitatif.
PENGOBATAN
Ditujukan pada penyakit utamanya (penyebab), di antaranya dengan pemberian
antibiotika, koreksi pH darah, elektrolit, mengatasi renjatan, dan lain-lain. Pemberian heparin
sehingga proses pembekuan dalam vaskulus berhenti dan penyakit primer dapat diatasi.
Biasanya setelah pemberian heparin, jumlah trombosit dan faktor pembekuan naik. Sekiranya
setelah pemberian heparin, perdarahan bertambah hebat, maka segera harus diberikan
antidotumnya yaitu protamin sulfat intravena dengan dosis yang ekuivalen dengan heparin
yang diberikan. Heparin diberikan sampai proses pembekuan dalam vaskulus berhenti dan
penyakit primer dapat diatasi. Biasanya setelah pemberian heparin, jumlah trombosit dan
faktor pembekuan naik. Transfusi darah atau komponen darah (misalnya suspense trombosit).
Kortikosteroid, umumnya merupakan bagian daripada pengobatan penyakit penyebab.
VON-WILLEBRAND DISEASE (VWD)
Merupakan kelainan yang genetic yang bersifat autosom resesif. Von Willebrand
disease disebabkan defisiensi faktor Von Willebrand yang berperan penting dalam perlekatan
trombosit. VWD merupakan kelainan bawaan yang paling sering ditemukan.
ETIOLOGI
Kelainan pada kromosom 12 yang membawa gen untuk VWF.
PATOFISIOLOGI
Von Willebrand Factor (VWF) merupakan glikoprotein yang disintesis di dalam
megakariosit dan sel entotel, yang kemudiannya akan disimpan dalam granula alpha dan
badan Weibel-Palade. Dalam keadaan hemostasis normal, VWF melekat pada matriks
subendotel setelah berlakunya luka, berlaku perubahan konformasi pada VWF sehingga
menyebabkan platelet menempel pada VWF melalui reseptor glikoprotein IB (GPIb). Platelet
tersebut kemudiannya diaktifkan, dan mengakibatkan lebih banyak platelet dan membuka
fosfatidilgliserin yang merupakan pengatur yang penting dalam kaskade pembekuan.
VWF juga merupakan protein pembawa kepada faktor VIII plasma. Defisiensi VWF
yang berat dapat menyebabkan defisiensi faktor VIII sekunder, walaupun gen untuk faktor
VIII adalah normal.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala penyakit Von Willebrand berupa perdarahan gusi, epistaksis, perdarahan dari
uterus, traktus gastrointestinalis atau traktus urinarius. Perdarahan ini umumnya terjadi pada
masa anak dan cenderung berkurang dengan bertambahnya umur. Secara umumnya,
perdarahan lebih banyak berlaku di mukokutan. VWF merupakan protein pada fase akut. Ini
menyebabkan keadaan stress dapat meningkatkan kadarnya dalam darah. oleh sebab itu,
pasien VWD tidak akan mengalami perdarahan pada prosedur berat seperti apendektomi,
melahirkan, tetapi dapat mengalami perdarahan hebat sewaktu bedah kosmetik dan bedar area
mukosa.
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan laboratorium biasanya menyerupai hemofilia, tetapi ditemukan waktu
perdarahan memanjang, PTT memanjang, antigen yang terkait faktor VIII menurun dan kadar
aktivitas faktor VIII rendah, tetapi ditemukan masa thrombin dan prothrombin normal.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan dilakukan dengan pemberian transfusi plasma atu kriopresipitat dan bila perlu
diberikan transfuse darah. pada penyakit ini, terdapat kenaikan yang nyata dari faktor VIII
setelah pemberian transfuse darah, plasma atau kriopresipitat dan dapat bertahan sampai 72
jam atau lebih. Pada hemofilia A, kenaikan faktor VIII bergantung pada jumlah bahan yang
diberikan dan biasanya akan menghilang lagi dalam 24 jam atau kurang.
OBAT-OBATAN
Obat-obatan seperti aspirin, obat anti inflamasi non steroid (fenilbutazon, indometazin) dapat
menyebabkan fungsi agregasi dan reaksi penglepasan terganggu.
Aspirin merupakan obat antitrombotik yang direkomendasikan sebagai profilaksis sekunder
pada infark miokard. Antitrombotik merupakan obat yang menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus yang terutama sering
ditemukan pada sistem arteri.
Aspirin akan menghambat sintesis tromboksan A2 (TXA
5. INFEKSI
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
Ialah suatu infeksi arbovirus (arthropod-borne virus) akut, ditularkan oleh nyamuk
spesies Aedes.
ETIOLOGI
Virus dengue termasuk dalam kelompok arbovirus B. dikenal 4 serotipe virus dengue
yang saling tidak mempunyai imunitas silang. Aedes aegypti diperkirakan sebagai vector
utama DBD.
EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spectrum manifestasi klinis
yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), dengue
fever, DBD, dan Dengue Shock Syndrome (DSS); yang terakhir dengan mortalitas tinggi
yang disebabkan renjatan dan perdarahan hebat. DBD merupakan penyakit endemic di daerah
Amerika tropika dan Asia, dengan iklim panas dan mempunyai tempat tampungan air yang
menjadi habitat dari A. aegypti. Infeksi dengue kjedua kalinya biasanya lebih ringan, tetapi
dapat juga berat sehingga menyebabkan DBD.
MANIFESTASI KLINIS
Kasus DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan,
terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure).
Fenomen patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DBD dari
demam dengue adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh hemoragik (Tuchida,
1973).
Patokan WHO (1975) untuk membuat diagnosis DBD ditetapkan sebagai berikut:
1. Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan termasuk setidak-tidaknya uji tornikuet positif dan salah satu
bentuk lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis dan perdarahan gusi), hematemesis
dan atau melena.
3. Pembesaran hati
4. Renjatan yang ditandai oleh nadi lemah, cepat disertai tekanan nadi menurun
*menjadi 20mmHg atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun
sampai 80mmHg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama
pada ujung hidung, jari dan kaki, penderita menjadi gelisah, timbul sianosis sekitar
mulut.
PEMERIKSAAN
Patokan WHO (1975) untuk membuat diagnosis DBD ditetapkan sebagai berikut,
yaitu trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat
dari meningginya nilai hematokrit pada masa konvalesen. Ditemukan 2 atau 3 patokan klinis
pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk membuat
diagnosis DBD.
Manifestasi perdarahan yang sering ditemukan ialah perdarahan kulit, uji toenikuwt
positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang
tersebar di anggota gerak, muka, aksila, sering kali ditemukan pada masa dini demam.
Perdarahan dapat terjadi di seluruh tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang
dijumpai, sedangkan perdarahan di saluran cerna hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul
renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain seperti perdarahan sunkonjungtiva kadang-
kadang ditemukan. Pada masa konvalesen seringkali ditemukan eritema pada telapak
kaki/tangan.
Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit dan
perbesaran hati ini tidak sejajar dengan perjalanan penyakit, nyeri tekan sering kali
ditemukan tanpa adanya ikterus. Fase penyembuhan ditandai dengan suhu menurun dan
hilangnya gejala klinis yang lain.
Suhu menurun secara lisis disertai keringat banyak, perubahan ringan pada frekuensi
nadi dan tekanan darah bersamaan dengan ujung ekstremitas yang mendingin. Gejala ini
mencerminkan kegagalan sirkulasi yang bersifat ringan dan sementara.
PENATALAKSANAAN
Dasar pengobatan DBD adalah bersifat suportif dan simptomatik. Pada penderita
DBD tanpa renjatan, pengobatan berupa:
1. Pemberian cairan 1,5-2 liter air dalam 24 jam berupa air teh dengan gula, sirup atau
susu karena demam yang tinggi, anoreksia dan muntah yang dialami menyebabkan
pasien mudah haus. Pada beberapa penderita diberikan oralit. Minuman diberikan
peroral, bila perlu satu sendok makan setiap 3-3 menit.
2. Antipiretik. Diberikan pada hiperpireksia (suhu melebih 40oC). jika perlu diberikan
surface cooling dengan memberikan kompres es dan alcohol 70%.
3. Antikonvulsan. Diberikan sekiranya anak mulan mengalami episode kejang.
4. Intravenous fluid drip (IVFD). Diberikan apabila penderita berterusan muntah
sehingga tidak mungkin diberikan makanan peroral, sedangkan muntah itu
mengancam terjadinya dehidrasi dan asidosis, dan didapatkan nilai hematokrit yang
cenderung terus meningkat.
Pencegahan dan pemberantasan dilakukan dengan menggunakan dasar pemutusan
rantai makanan. Dalam kasus DBD, komponen penularan terdiri daripada virus, vector Aedes
dan manusia. Oleh itu, pemberantasan ditujukan kepada manusia, terutama pada vektornya.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
1. Perlindungan perorangan untuk mencegah gigitan nyamuk dengan meniadakan
sarang nyamuk dalam rumah. Cara terbaik adalah dengan pemasangan kasa
penolak nyamuk. Cara lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan mosquito
repellent dan insektisida dalam bentuk semprotan, menuangkan air panas pada
saat bak mandi berisi air sedikit, dan memberikan cahaya matahari langsung lebih
banyak. Penderita DBD yang dirawat di rumah sakit diberikan tempat tidur
dengan kelambu.
2. Pemberantasan vector jangka panjang. Dilakukan dengan pembasmian sarang
nyamuk.
3. Membunuh larva dengan bitur-butir abate SG 1% pada tempat penyimpanan air.
4. Melakukan “fogging” dengan malation atau fenitrotion di dalam dan sekitar
rumah.
6. KEGANASAN
LEUKEMIA
Leukemia merupakan neoplasma maligna yang paling sering ditemukan pada anak-
anak dengan merangkumi 41% daripada keseluruhan tumor ganas pada anak yang berumur
kurang dari 15 tahun. Penyakit ini merupakan proliferasi patologis dari sel pembuat darah
yang bersifat sistemik dan biasanya berakhir fatal.
Terdapat dua jenis utama leukemia, yaitu mielositik dan limfositik yang terdapat
dalam bentuk akut maupun kronik. Pada dasarnya, leukemia dikatakan akut apabila terdapat
gangguan dalam onset yang cepat. Pada leukemia mielositik akut (LMA), sel-sel abnormal
berkembang dengan cepat dan tidak mengalami pematangan secara sempurna. Pada leukemia
limfosit akut (LLA) pula, sel lebih cenderung untuk menumpuk. Sekiranya tidak diobati,
kematian dapat berlaku dalam beberapa minggu atau beberapa bulan sahaja.
Leukemia yang bersifat kronis pula, onset gejala cenderung lebih lambat dan sel-sel
abnormal umumnya matang dan menumpuk di beberapa organ. Kemampuan sel-sel ini untuk
melawan infeksi dan membantu memperbaiki jaringan luka terganggu. Terdapat empat jenis
utama leukemia, yaitu leukemia limfositik akut (LLA), leukemia limfositik kronis (LLK),
leukemia mielositik akut (LMA) dan leukemia mielositik kronis (LMK). Selain itu, dapat
juga ditemukan tipe lain, yaitu hairy cell leukemia dan human T-cell leukemia.
Sel-sel leukemia dapat mengakibatkan kegagalan sumsum tulang sehingga terjadi
anemis, trombositopenia, dan neutropenia. Dapat juga mengakibatkan leukositosis dan
infitrasi sehingga berlaku hepatosplenomegali, limfadenopati, infiltrasi ke otak, meningen,
kulit dan testis.
ETIOLOGI
Belum dapat dipastikan, diduga merupakan interaksi beberapa faktor, yaitu faktor host
dan lingkungan.
Faktor host:
- Familial: Dilaporkan adanya kasus terjadi pada satu kelaurga, anak kembar.
- Kelainan kromosom: Sindroma Down dan kelainan genetic lainnya. Kelainan pada
kromosom dapat meningkatkan risiko untuk leukemia.
- Disfungsi sumsum tulang: Anemia aplastik, polisitemia vera, paroksismal nokturmal
hemoglobinuria (PNH)
Faktor lingkungan:
- Radiasi: Terutama radiasi yang didapatkan sewaktu pemeriksaan imaging dilakukan
seperti sinar X pada rontgen, dan juga bahan radiofarmaka yang digunakan untuk
pemeriksaan-pemeriksaan lain. Ia juga jarang ditemukan namun amat berkait rapat
dengan lama paparan radiasi.
- Bahan kimia:
Obat-obatan seperti kloramfenikol, fenilbutazon, dan sulfonamid.
Paparan jangka panjang terhadap bahan kimia seperti benzena atau formaldehid,
terutama di tempat kerja. Namun, penyebab ini relative sedikit.
Alkylating agent dan inhibitor topoisomerase yang digunakan sebagai kemoterapi
juga dikatakan menjadi penyebab berkembangnya leukemia.
- Virus: Terutama retrovirus karena bersifat onkogenik.
Virus Human T-cell leukemia.
EPIDEMIOLOGI
Leukemia dapat mengenai semua usia. 85% daripada anak yang menderita leukemia
adalah daripada jenis akut. LLA dapat mengenai semua usia, tetapi cenderung mengenai anak
(65% daripada kasus leukemia akut anak). LLK pula terutama pada dewasa, terutama dengan
usia melebihi 40 tahun dan merupakan dua kali lebih sering ditemukan daripada LMK. LMA
pula merupakan leukemia akut yang lebih sering ditemukan pada orang dewasa. LMK lebih
sering ditemukan pada dewasa dibandingkan pada anak-anak. Leukemia didiagnosa sekitar
29.000 orang dewasa dan 2000 anak setiap tahun di Amerika Serikat.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis pada leukemia kronis umumnya tidak separah leukemia akut. Pada
leukemia kronis, perkembangan gejala berlangsung secara bertahap. Gejala yang paling
sering ditemukan adalah kekurangan sel darah normal. Penumpukan sel leukemia
menimbulkan gejala sesuai dengan tempatnya. Penumpukan ini dapat berlaku di seluruh
bagian tubuh seperti otak, kelenjar getah beninh, testis, hati, limpa, saluran cerna, ginjal,
paru-paru, mata, dan kulit.
Gejala yang umum didapatkan pada leukemia adalah demam, sering mengalami
infeksi, keringat malam, malaise, penurunan berat badan, mudah mengalami perdarahan dan
memar.
Penumpukan dari sel-sel leukemia pula menyebabkan sakit kepala, kebingungan,
masalah keseimbangan, penglihatan kabur, bengkak di leher, ketiak atau inguinal, sesak
nafas, mual dan muntah, sakit perut, testis nyeri atau bengkak, nyeri pada tulang atau sendi,
dan kejang.
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan fisik dijalankan meliputi evaluasi menyeluruh dari keseluruhan gejala
yang ditunjukkan. Pada pemeriksaan darah, ditemukan jumlah limfosit meningkat, dan kadar
platelet dan eritrosit yang rendah. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan fungsi hati dan
ginjal bagi memastikan sistem hematopoesis dalam keadaan yang baik. Diagnosis pasti
leukemia adalah melalui aspirasi dan biopsy sumsum tulang.
Rontgen bagian toraks dilakukan untuk mencari tanda-tanda infeksi dan keterlibatan
kelenjar getah bening.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan leukemia didasarkan kepada dua dasar, yaitu pengobatan untuk melawan
kanker dan pengobatan suportif. Terapi dapat diberikan peroral ataupun intravena, tergantung
obat yang digunakan.
Pengobatan melawan kanker adalah melalui kemoterapi. Kemoterapi akan membunuh
sel-sel atau menghentikan mereka dari reproduksi. Pada masa yang sama, proses kemoterapi
juga membunuh sel-sel sehat yang menjadi penyumbang kepada berlakunya efek samping
daripada kemoterapi, seperti infeksi, anemia dan masalah pendarahan. Efek samping pada
pasien bergantung pada agen yang diberikan pada pasien dan toleransi pasien terhadap agen
yang diberikan. Umumnya, kemoterapi memberikan efek pada sumsum tulang, folikel
rambut, dan sistem pencernaan. Efek samping yang umum ditemukan dari kemoterapi
termasuk mual, muntah, diare, rambut rontok dan iritasi esofagus.
Selain itu, terdapat juga terapi biologi yang menggunakan obat-obatan biologis yang
terdiri daripada protein dan bertindak mirip dengan sistem kekebalan tubuh alami (antibodi
monklonal, interferon, interleukin), untuk meningkatkan kemampuan tubuh untuk melawan
kanker.
Terapi radiasi atau radioterapi merupakan pengobatan pilihan lain yang dapat
digunakan untuk merawat leukemia. Sinar dengan energy tinggi ditetapkan pada organ
sasaran, yaitu tempat penumpukan daripada sel-sel leukemia dan radiasi ini akan bertindak
untuk membunuh sel-sel tersebut. Radiasi otak dapat memberikan efek negative terutama
kepada anak. Oleh itu, radiasi otak perlu dikalibrasi dan digunakan sekiranya benar-benar
diperlukan.
Pencegahan terhadap leukemia belum jelas karena etiologi sebenarnya belum dapat
dijelaskan. Namun, untuk mengurangkan risiko daripada terkena leukemia, seseorang harus
menghindari faktor-faktor risiko seperti merokok, dan terpajan bahan kimia dan radiasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hassan R, Alatas H, editor. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jilid
1. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2007.
2. Hassan R, Alatas H, editor. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jilid
2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2007.
3. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R, editor.
Penuntun patologi klinik hematologi. Jakarta: Bagian Patologi
Klinik FK Ukrida; 2009.
4. Holmes HN, Bartelmo JM, Jones WH, Kowalak JP, Welsh W,
editor. Buku pegangan uji diagnostic. Edisi 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG; 2010.
5. Ganong FW. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 20. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2003
6. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of
paediatrics. 17th ed. Philadelphia: Saunders; 2004.
7. Baynes JW, Dominczak MH. Medical biochemistry. 2nd Ed.
Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005.
8. Permono B, Ugrasena IDG, Ratwita MA. Perdarahan akibat
defisiensi vitamin K. (cited 2011 Apr 20). Diunduh dari
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-kiao236.htm.
9. Hu W, Hale KL. Leukemia. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com/leukemia/article_em.htm#Leukemia Overview