farmasi interaksi obat
DESCRIPTION
FarmasiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Interaksi obat merupakan masalah penting yang mengakibatkan ribuan orang harus di rumah
sakit di Amerika Serikat setiap tahun. Penelitian selama satu tahun baru-baru ini disejumlah
apotek menunjukkan bahwa hampir satu dari 4 pasien yang mendapatkan resep pernah
mengalami interaksi obat yang berarti pada suatu saat tertentu dalam tahun tersebut. Interaksi
demikian telah menimbulkan gangguan yang serius sehingga kadang-kadang menyebabkan
kematian. Yang lebih sering terjadi adalah interaksi yang meningkatkan toksisitas atau turunya
efek terapi pengobatan sehingga pasien tidak merasa sehat kembali atau tidak cepat sembuh
sebagaimana seharusnya (Harknoss, 1989).
Saat kita mendapatkan obat dari apotik, kita sering diberi tahu bahwa obat sebaiknya
diminum sebelum atau sesudah makan. Kita kadang tidak tahu, untuk apa sebenarnya hal
tersebut harus dilakukan. Mengapa obat tertentu harus diminum sebelum makan dan obat lainnya
harus diminum sesudah makan. Hal itu sebenarnya berkaitan dengan masalah interaksi obat,
sebagai salah satu langkah unttuk menghindari terjadinya interaksi dari suatu obat yang
merugikan ( Lulukria, 2010).
Secara singkat dikatakan interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat yang
lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang efektif (Harknoss, 1989). Untuk
mendapatkan efek obat harus berinteraksi dengan reseptor tetapi adakalanya obat berinteraksi
dengan faktor lain yang dapat meningkatkan atau mengurangi efek dari obat tersebut, antara lain:
faktor lingkungan, kondisi fisiologi tubuh, metabolisme tubuh, farmakodinamik, farmakokinetik,
dan makanan
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana interaksi obat dengan makanan ?
2. Bagaimana interaksi obat dengan obat ?
3. Bagaimana interaksi obat dengan tubuh ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui tentang interaksi obat dengan makanan.
2. Mengetahui tentang interaksi obat dengan obat.
3. Mengetahui tentang interaksi obat dengan tubuh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Interaksi Obat dengan Makanan
Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi interaksi obat.
Pengaruh makanan terhadap kerja obat masih sangat kurang. Karena itu, pada banyak bahan obat
masih belum jelas bagaimana pengaruh pemberian makanan pada saat yang sama pada kinetika
obat. Pada sejumlah senyawa makanan menyebabkan peningkatan, penundaan, dan penurunan
absorbsi obat (Mutschler, 1999).
Makanan dapat berikatan dengan obat, sehingga mengakibatkan absorbsi obat berkurang
atau lebih lambat. Sebuah contoh diskusi tentang makanan yang berikatan dengan obat adalah
interaksi tetrasiklin dengan produk-produk dari susu. Akibatnya adalah penurunan konsentrasi
tetrasiklin dalam plasma. Oleh karena adanya efek pengikatan ini, maka tetrasiklin harus
dimakan satu jam sebelum atau 2 jam sesudah makan dan tidak boleh dimakan dengan susu
(Hayes et al., 1996).
Jadi interaksi obat merupakan sarana bagi semua pihak. Pasien, dokter dan farmasis harus
bekerjasama, untuk upaya memaksimalisasi pemakiaan obat demi kepentingan pasien. Di era
informasi yang serba cepat dan mudah seperti sekarang ini, masyarakat mestinya semakin
menyadari untuk menjadi mitra aktif dalam menjaga pemeliharaan kesehatannya sendiri dan
keluarga (Harknoss, 1989).
Dasar yang menentukan apakah obat diminum sebelum, selama atau setelah makan
tentunya adalah karena absorpsi, ketersediaan hayati serta efek terapeutik obat bersangkutan,
yang amat tergantung dari waktu penggunaan obat tersebut serta adanya kemungkinan interaksi
obat dengan makanan itu sendiri. Cukup banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk menyelidiki
hal ini. Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat terjadinya interaksi obat dengan
makanan adalah :
• Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan pengosongan lambung dari
saat masuknya makanan
• Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu
• Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran cerna
• Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan kompleks
• Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan
• Perubahan biotransformasi dan eliminasi. (Widianto, 1989)
Dari semua pengaruh ini, ada beberapa factor yang mempengaruhi interaksi obat dan
makanan antara lain:
a. Pengosongan lambung
Pada kasus tertentu misalnya setelah pemberian laksansia atau penggunaan preparat
retard, maka di usus besarpun dapat terjadi absorpsi obat yang cukup besar. Karena
besarnya peranan usus halus dalam hal ini, tentu saja cepatnya makanan masuk ke dalam
usus akan amat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi. Peranan jenis
makanan juga berpengaruh besar di sini. Jika makanan yang dimakan mengandung
komposisi 40% karbohidrat, 40% lemak dan 20% protein maka walaupun pengosongan
lambung akan mulai terjadi setelah sekitar 10 menit. Proses pengosongan ini baru
berakhir setelah 3 sampai 4 jam. Dengan ini selama 1 sampai 1,5 jam volume lambung
tetap konstan karena adanya proses-proses sekresi.
Tidak saja komposisi makanan, suhu makanan yang dimakanpun berpengaruh pada
kecepatan pengosongan lambung ini. Sebagai contoh makanan yang amat hangat atau
amat dingin akan memperlambat pengosongan lambung. Ada pula peneliti yang
menyatakan pasien yang gemuk akan mempunyai laju pengosongan lambung yang lebih
lambat daripada pasien normal. Nyeri yang hebat misalnya migren atau rasa takut, juga
obat-obat seperti antikolinergika (missal atropin, propantelin), antidepresiva trisiklik
(misal amitriptilin, imipramin) dan opioida (misal petidin, morfin) akan memperlambat
pengosongan lambung. Sedangkan percepatan pengosongan lambung diamati setelah
minum cairan dalam jumlah besar, jika tidur pada sisi kanan (berbaning pada sisi kiri
akan mempunyai efek sebaliknya,) atau pada penggunaan obat seperti metokiopramida
atau khinidin. Jelaslah di sini bahwa makanan mempengaruhi kecepatan pengosongan
lambung, maka adanya gangguan pada absorpsi obat karenanya tidak dapat diabaikan
.
b. Komponen makanan
Efek perubahan dalam komponen-komponen makanan :
1. Protein (daging, dan produk susu)
Sebagai contoh, dalam penggunaan Levadopa untuk mngendalikan tremor pada penderita
Parkinson. Akibatnya, kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik.
Hindari atau makanlah sesedikit mungkin makanan berprotein tinggi (Harknoss, 1989).
2. Lemak
Keseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat adalah bahwa apa saja
yang dapat mempengaruhi jumlah atau komposisi asam lemak dari fosfatidilkolin
mikrosom hati dapat mempengaruhi kapasitas hati untuk memetabolisasi obat. Kenaikan
fosfatidilkolin atau kandungan asam lemak tidak jenuh dari fosfatidilkolin cenderung
meningkatkan metabolism obat (Gibson, 1991). Contohnya : Efek Griseofulvin dapat
meningkat.interaksi yang terjadi adalah interaksi yang menguntungkan dan grieseofluvin
sebaiknya dimakan pada saat makan makanan berlemak seperti daging sapi, mentega,
kue, selada ayam, dan kentang goring (Harkness, 1989).
3. Karbohidrat
Karbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada metabolism obat, walaupun banyak
makan glukosa, terutama sekali dapat menghambat metabolism barbiturate, dan dengan
demikian memperpanjang waktu tidur. Kelebihan glukosa ternyata juga mengakibatkan
berkurangnya kandungan sitokrom P-450 hati dan memperendah aktivitas bifenil-4-
hidroksilase (Gibson, 1991). Sumber karbohidrat: roti, biscuit, kurma, jelli, dan lain-lain
(Harkness, 1989).
4. Vitamin
Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk sintesis protein
dan lemak, keduanya merupakan komponen vital dari system enzim yang memetabolisasi
obat. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa perubahan dalam level vitamin,
terutama defisiensi, menyebabkan perubahan dalam kapasitas memetabolisasi obat.
Contohnya :
a. Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin berkurang.
b. Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.
c. Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.
d. Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun.(Harkness, 1989)
5. Mineral
Mineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam makanan untuk menjaga
kesehatan yang baik. Unsur – unsure yang telah terbukti mempengaruhi metabolisme
obat ialah: besi, kalium, kalsium, magnesium, zink, tembaga, selenium, dan iodium.
Makanan yang tidak mengandung magnesium juga secara nyata mengurangi kandungan
lisofosfatidilkolin, suatu efek yang juga berhubungan dengan berkurangnya kapasitas
memetabolisme hati. Besi yang berlebih dalam makanan dapat juga menghambat
metabolisme obat. Kelebihan tembaga mempunyai efek yang sama seperti defisiensi
tembaga, yakni berkurangnya kemampuan untuk memetabolisme obat dalam beberapa
hal. Jadi ada level optimum dalam tembaga yang ada pada makanan untuk memelihara
metabolism obat dalam tubuh (Gibson, 1991).
c. Ketersediaan hayati
Penggunaan obat bersama makanan tidak hanya dapat menyebabkan perlambatan
absorpsi tetapi dapat pula mempengaruhi jumlah yang diabsorpsi (ketersediaan hayati
obat bersangkutan). Penisilamin yang digunakan sebagai basis terapeutika dalam
menangani reumatik, jika digunakan segera setelah makan, ketersediaan hayatinya jauh
lebih kecil dibandingkan jika tablet tersebut digunakan dalam keadaan lambung kosong.
Ini akibat adanya pengaruh laju pengosongan lambung terhadap absorpsi obat (Gibson,
1991).
Interaksi antara obat dan makanan disini dapat dibagi menjadi :
1. Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan, mengganggu pengecapan dan mengganggu
traktus gastrointestinal atau saluran pencernaan.
2. Obat-obatan yang dapat mempengaruhi absorbsi, metabolisme dan eksresi zat gizi.
Contoh Interaksi Obat dengan Makanan
Makanan mengandung tiramin (keju tua, ekstrak yeast, daging asap, bir, alpukat, anggur
merah, minuman berkafein, yogurt, coklat, kecap) à berinteraksi dengan obat MAOI (mono
amin oksidase inhibitor).
Tiramin adalah asam amino yang ditemukan dalam bermacam makanan di atas, yang
merupakan senyawa simpatomimetik tak langsung à dapat menyebabkan hipertensi pada pasien
yang menerima MAOI.
Tiramin terbentuk dalam berbagai makanan di atas melalui degradasi susu atau protein
oleh bakteri, mula-mula menjadi tirosin dan asam amino lain (interaksi tidak terjadi pada
makanan segar). Tiramin adalah suatu amin simpatomimetik tak langsung yang dapat
melepaskan NE dari neuron adrenergik à vasokonstriksi à TD >>
Antibiotik
• Sefalosporin, penisilin à minum saat lambung kosong untuk mempercepat absorpsi
• Eritromisin à jangan minum bersama jus buah atau anggur à menurunkan efektivitas
obat
• Tetrasiklin à produk susu menurunkan efektivitas obat.
• Linkomisin à makanan menurunkan kadar plasma à hindari
Isoniazid
Pasien yang minum INH bersama makanan seperti keju dan berbagai jenis ikan (tuna,
makarel, salmon) yang tidak segar à resiko toksisitas histamin (sakit kepala hebat, gatal dan
kemerahan pada kulit, nyeri abdomen, takikardi, mata kabur, sesak nafas, diare, muntah , dsb)
Mekanismenya adalah makanan di atas kaya akan histidin, pada penyimpanan diubah
menjadi histamin oleh bakteri. Pada kondisi normal histamin diuraikan di tubuh oleh
histaminase, tapi pada peminum INH (suatu inhibitor enzim) à aktivitas enzim dihambat à
kadar histamin tinggi
Antidepresan
Litium à Diet rendah garam meningkatkan resiko toksisitas Litium. Konsumsi garam
berlebih mengurangi efektivitas obat.
MAO Inhibitor à Makanan kaya tiramin (keju tua, daging olahan, anggur, bir, dan lain-
lain) à resiko krisis hipertensi.
Trisiklik à Beberapa makanan terutama daging, ikan dan makanan kaya vit. C à
menurunkan absorpsi obat.
Obat kardiovaskuler
ACE inhibitor à diminum saat lambung kosong untuk meningkatkan absorpsi obat
Alfa-bloker à minum bersama cairan atau makanan untuk menghindari turunnya TD
yang berlebihan.
Antiaritmia à Hindari kafein yang akan meningkatan resiko detak jantung tak normal
Beta-bloker à Minum saat perut kosong. Makanan terutama daging à meningkatkan
efek obat & dapat menyebabkan rendahnya TD.
Digitalis à Hindari diminum bersama susu dan makanan berserat tinggi karena akan
mengurangi absorpsi obat & meningkatkan terbuangnya K.
Diuretik à peningkatan resiko defisiensi vit.K
Diuretik hemat K à jangan minum bersama suplemen K à dpt menyebabkan kelebihan
K.
Furosemid à makanan menurunkan bioavaolabilitas & efek diuretik
Diuretik tiazid à peningkatan reaksi terhadap MSG
Obat –obat asma
Pseudoefedrin à hindari kafein karena akan meningkatkan cemas dan nervous.
Teofilin à Diet kaya aprotein akan mengurangi absorpsi obat. Kafein meningkatkan
resiko toksisitas obat
Obat antikolesterol
Kolestiramin à meningkatkan ekskresi asam folat, dan vitamin A, D, E, K.
Gemfibrozil à hindari makanan berlemak karena akan menurunkan efektivitas obat.
Antikoagulan
Efek antikoagulan dapat dikurangi oleh makanan yang kaya vitamin K (brokoli, kobis,
kacang hijau, selada, hati sapi, bayam, dsb). Mekanismenya adalah antikoagulan oral
berkompetisi dengan suplai normal vit.K untuk mengurangi sintesis faktor pembekuan darah
oleh hati. Jika asupan vit K tinggi à sintesis faktor pembekuan normal à penurunan efek
antikoagulan.
Obat tukak lambung
Antasida à mengganggu absorpsi berbagai mineral à minum 1 jam sesudah makan.
Simetidin, famotidin, sukralfat à Hindari makanan kaya protein, kafein dan makanan
lain yang dapat meningkatkan keasaman lambung.
Hormon
Kontrasepsi oral à Makanan asin meningkatkan retensi cairan tubuh. Obat ini
mengurangi absorpsi asam folat, vit. B6 dan zat gizi lain. Konsumsi makanan dengan
kadar zat-zat ini yang cukup tinggi untuk menghindari defisiensi.
Steroid à Makanan asin meningkatkan retensi cairan. Perbanyak konsumsi makanan
kaya Ca, vit. K, K dan protein untuk menghindari defisiensi.
Obat-obat thiroid à Makanan kaya iodium akan menurunkan efektivitas obat.
Analgesik
Asetosal dan NSAID kuat lain à jika diminum bersama makanan untuk mengurangi
resiko iritasi saluran cerna. Tapi jika diminum bersama dapat mengurangi absorpsi à
jika diinginkan efek cepat
Jangan dikonsumsi bersama alkohol à dapat meningkatkan resiko perdarahan.
Pemakaian sering obat-obat ini à menurunkan absorpsi asam folat dan vit. C.
Kodein à perbanyak asupan serat dan air untuk menghindari konstipasi.
Mercaptopurin
Makanan menunda dan mengurangi absorpsi merkaptopurin à minum saat perut kosong
untuk memaksimalkan absorpsinya
2.2 Interaksi Obat dengan Obat
Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat berubah karena kehadiran obat lain,
makanan, minuman, atau zat kimia lainnya (Stockley,2005). Interaksi obat dapat didefinisikan
sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan
bersamaan; atau bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau
toksisitas suatu obat atau lebih berubah (Fradgley, 2003).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi obat
diantaranya; lansia, orang yang minum lebih dari 1 obat, yang mempunyai gangguan fungsi
ginjal, penyakit akut, penyakit yang tidak stabil, pasien yang mempunyai karakteristik penyakit
genetik tertentu dan pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter. Banyak pasien yang sakit
parah memperoleh bermacam-macam obat dan ini akan sulit membedakan antara toksisitas dan
gejala atau tanda-tanda penyakit yang dideritanya. Bila kondisi pasien berubah, terutama jika
pasien tersebut sakit parah atau pasien tersebut lansia, semua obat dalam terapi harus ditinjau
sebagai penyebab masalah, terutama bila ada lebih dari 1 dokter yang menangani pengobatan
pasien tersebut (Fradgley, 2003).
Waktu timbulnya reaksi dapat sangat bervariasi tergantung dosis, rute pemberian, adanya
metabolit aktif dan waktu paruh obat yang bersangkutan. Mekanisme interaksi juga dapat
mempengaruhi waktu mulai munculnya reaksi. Penginduksi enzim menstimulasi produksi enzim
metabolisme yang baru dan ini memerlukan waktu antara 2-3 minggu sebelum efek interaksinya
maksimum. Sebaliknya penghambatan enzim mempengaruhi metabolisme hepatik dalam 24 jam
(Fradgley, 2003). Tidak semua interaksi obat bermakna klinis beberapa obat secara teoritik
mungkin terjadi sedangkan interaksi obat yang lain harus dihindari kombinasinya atau
memerlukan pemantauan yang cermat. Banyak interaksi obat kemungkinan besar berbahaya
terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Seorang farmasis seharusnya lebih memperhatikan
kemungkinan terjadinya interaksi obat bila pasien tersebut memperoleh obar yang termasuk
dalam kelompok ini. Banyak zat yang berinteraksi tidak dianggap sebagai obat oleh pasien
meliputi obat-obat yang dibeli untuk pengobatan sendiri, obat tradisional atau sediaan
homeopati. Semua memiliki kemungkinan berinteraksi dengan obat obat yang telah diresepkan
untuk pasien tersebut. Beberapa jenis makanan tertentu dapat myebabkan interaksi (Fradgley,
2003).
Bilamana kombinasi terapi mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan atau
komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut digambarkan sebagai interaksi yang
bermakna klinis. Kejadian interaksi obat yang bermakna klinis biasanya kecil, namun sejuml;ah
pasien mempunyai resiko yang besar terhadap morbiditas dan mortalitas. Interaksi obat dapat
membahayakan baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau dengan mengurangi khasiatnya.
Namun interaksi beberapa obat menguntungkan dengan meningkatkan sinergisitas efek obat
(Fradgley, 2003).
Contoh Interaksi Obat dengan Obat
2.3 Interaksi Obat dengan Tubuh
Interaksi obat dengan tubuh berupa farmakokinetik dan farmakodinamik
Interaksi secara Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi apabila salah satu obat mempengaruhi absorbsi,
distribusi, metabolisme, ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau
menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan aktivitas obat tersebut.
Interaksi farmakokinetik tidak dapat di ekstra polasikan ke obat lain yang segolongan dengan
obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat segolongan terdapat
variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya.
A. Interaksi obat pada proses absorbsi
· Interaksi langsung
Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorbsi dapat
mengganggu proses absorbsi. Interaksi dapat dihindarkan/sangat dikurangi bila obat yang
berinteraksi diberikan dengan jarak waktu minimal 2jam.
Obat A Obat B Efek
Tetrasiklin Kation multivalen (Ca2+ ,
Mg2+, Al3+dalam antasid,
Ca2+dalam susu,
Fe2+dalam sediaan besi)
Terbentu kelat yang tidak
di absorbsi "jumlah
absorbsi obat A dan Fe2+$
Digoksin, digitoksin Kolestiramin
Kortikosteroid, tiroksin
Obat A diikat oleh obat
B " jumlah absorbsi
obat A$
Digoksin, linkomisin Kaolin-pektin Obat A diabsorbsi oleh
obat B " jumlah absorbsi
obat A$
· Perubahan pH cairan saluran cerna
Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat antacid, akan meningkatkan kelarutan obat
bersifat asam yang sukar larut dalam cairan tersebut, misalnya aspirin. Dalam suasana alkalis,
aspirin lebih banyak terionisasi sehingga absorbsi per satuan area absorbsi lebih lambat, tetapi
karena sangat luas area absorbsi di usus halus maka kecepatan abrsorbsi secara keseluruhan tidak
banyak dipengaruhi. Dengan demikian, dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan
mempercepat absorbsinya. Akan tetapi, suasana alkali di saluran cerna akan mengurangi
kelarutan beberapa obat bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, dangan
akibat mengurangi absorbsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh antasid akan mengurangi
pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya, dan
mengurangi absorbsi Fe, yang di absorbsi paling baik bila cairan lambung sangat asam.
Obat A Obat B Efek
NaHCO3 Aspirin Kecepatan disolusi B # " kecepatan absorbsi obat
B #
NaHCO3 Tetrasiklin Kelarutan obat B $ " jumlah absorbsi obat B $
Antasit Penisilin G,
eritromisin
pH lambung # " pengrusakan obat B$ " jumlah
absorbsi obat B #
· Perubahan waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus (motilitas saluran
cerna).
Usus halus adalah tempat absorbsi utama untuk semua obat termasuk obat bersifat asam. Disini
absorbsi terjadi jauh lebih cepat dari pada di lambung. Oleh karena itu, makin cepat obat sampai
di usus halus, makin cepat pula absorbsinya. Kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya
mempengaruhi kecepatan absorbsi tanpa mempengaruhi jumlah obat yang diabsorbi. Ini berarti,
kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya mengubah tinggi kadar puncak dan waktu
untuk mencapai kadar tersebut tanpa mengubah bioavailibilitas obat. Karena kapasitas
metabolisme dinding usus halus lebih terbatas dibandingkan kapasitas absorbsinya, maka makin
cepat obat ini sampai di usus halus, makin tinggi bioavailibilitanya.
Obat A Obat B Efek
Metoklopramid Parasetamol, diazepam,
propanolol
Obat A memperpendek
waktu pengosongan
lambung" mempercepat
absorbsi obat B
Antikolinergik
Antidepresi trisiklik
Parasetamol, diazepam,
propanolol, fenilbutazon
Obat A memperpanjang
waktu pengosongan
lambung" memperlambat
absorbsi obat B
Antikolinergik
Antidepresi trisiklik
Levodopa Obat A memperpanjang
waktu pengosongan
lambung" bioavailibilitas
obat B $
B. Interaksi obat pada ikatan protein plasma
Banyak obat terikat pada protein plasma, obat yang bersifat asam terutama pada albumin,
sedangkan obat yang bersifat basa pada asam a1-glikoprotein. Oleh karena jumlah protein
plasma terbatas, maka terjadi kompetisi antara obat bersifat asam maupun antara obat bersifat
basa untuk berikatan dengan protein yang sama. Tergantung dari kadar obat dan afinitasnya
terhadap protein, maka suatu obat dapat digeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, dan
peningkatan kadar obat bebas menimbulkan peningkatan efek farmakologinya. Akan tetapi
keadaan ini hanya berlangsung sementara karena peningkatan kadar obat bebas juga
meningkatkan eliminasinya sehingga akhirnya tercapai keadaan mantap yang baru dimana kadar
obat total menurun tetapi kadar obat bebas kembali seperti sebelumnya (mekanisme konpensasi).
Obat A Obat B Efek
Tolbutamid,
klorpropamid
Fenilbutazon,
oksifenbutazon, salisilat
Hipoglikemia
Fenitoin Fenilbutazon,
oksifenbutazon, salisilat,
valproat
Toksisitas fenitoin #
C. Interaksi obat pada proses metabolisme
a. Metabolisme obat dipercepat
Setiap seaksi metabolisme dikatalis oleh beberapa jenis enzim yang berbeda dalam spesifitas
substratnya dan kemampuannya untuk diinduksi. Oleh karena itu, tergantung dari jenis enzim
yang diinduksinya, suatu zat penginduksi dapat mempercepat metabolisme beberapa obat tetapi
tidak mempengaruhi metabolisme obat-obat yang lain.
Bila metabolit hanya sedikit atau tidak mempunyai efek farmakologi, maka zat penginduksi
mengurangi efek obat. Sebaliknya, bila metabolik lebih aktif atau merupakan zat yang toksik,
maka zat penginduksi meningkatkan efek atau toksisits obat.
Obat A Obat B Efek
Fenitoin Korikoseroid,hormon
seks steroid, kuinidin
Obat A menginduksi
sintesis enzim
metabolisme obat
B " metabolisme obat
B# " kadar plasma obat
B $sedangkan
metabolitnya#
Kabamazepin Fenitoin, warfarin
Merokok,makanan
panggang arang
Teofilin,
dekstroproposifen
b. Metabolisme obat dihambat
Penghambatan metabolisme suatu obat menyebabkan peningkatan kadar plasma obat tersebut
sehingga meningkatkan efek atau toksisitas. Kebanyakan interaksi demikian terjadi akibat
kompetisi antar substrat untuk enzim metabolisme yang sama.
Obat A Obat B Efek
Fenitoin Dikumoral,disurfiram,
kloramfenikol,
fenilbutazon, simetidin,
dekstrorpopoksifen, INH
(pada asetilator lamban),
PAS,sikloserin,
klorpromazin, imipramin.
Obat B menghambat
metabolisme obat
A" efek / toksisitas obat
A#
Lidokain Simetidin
Warfarin Fenilbutazon,
oksifenbutazon,
kotrimoksazol,disulfiram,
metronidazol, simetidin,
dekstropropoksifen.
D. Interaksi Dalam Ekskresi
Ekskresi melalui empedu dan sirkulasi enterohepatik. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu
terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama.
Sedangkan sirkulasi enterohepatik dapat diputuskan dengan mensupresi bakteri usus yang
menghidrolisis konyugat obat atau dengan mengikat obat dibebaskan sehingga tidak dapat
diabsorbsi.
Sekresi tubuli ginjal. Penghambatan sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat
untuk sistem transportasi aktif yang sama, terutama sistem transport untuk obat asam dan
metabolit yang bersifat asam.
Perubahan pH urin. Perubahan ini akan menghasilkan perubahan bersihan ginjal (melalui
perubahan jumlah reabsorbsi pasif di tubuli ginjal ) yang berarti secara klinik hanya bila : (1)
fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (lebih dari 30%), dan (2) obat berupa
basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah dengan pKa 3,0-7,5.
Interaksi Obat secara Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamika hanya diharapkan jika zat berkhasiat yang saling
mempegaruhi bekerja sinergis atau antagonis pada suatu reseptor, pada suatu organ sasaran atau
pada suatu rangkaian pengaturan. Jika sifat-sifat farmakodinamika, yang kebanyakan dikenal
baik, dari obat-obat yang diberikan secara bersamaan diperhatikan, interaksi demikian dapat
berupa secara teraupetik apabila menguntungkan atau dapat dicegah apabila tidak diinginkan.
Karena itu berikut ini hanya dikemukakan beberapa contoh yang kurang dikenal atau contoh
yang secara teori terkenal tetapi secara praktek kadang-kadang disebabkan oleh keteledoran.
1. Pengaruh berlawanan terhadap kadar gula darah
Dalam beberapa hal telah dikemukakan suatu penurunan kebutuhan insulin setelah
pemberian oksitetrasiklin dan guanetidin. Karena itu pemberian obat-obat ini pada penderita
kencing manis harus diikuti dengan perhatian khusus. Pemblok-β yang tidak kardioselektif,
misalnya propranolol, memperlambat kenaikan kadar gula darah kembali setelah pemberian
insulin dan karena itu dapat menimbulkan reaksi hipoglikemi yang berkepanjangan.
2. Pengaruh berlawanan terhadap tekanan darah
Penderita tekanan darah tinggi umumnya memperoleh obat antihipertensi selama
bertahun-tahun atau berpuluh tahun. Sehubungan dengan itu kemungkinan interaksi besar.
Karena itu pada tiap pemberian obat untuk mengatur sirkulasi dan obat jantung disamping
pemberian obat ngkatan antihipertensi, harus diperhatikan apakah karena pemberian itu tekanan
darah berubah secara tak diinginkan, khususnya apakah tekanan darah turun di bawah angka
yang diinginkan dan karena itu kadang-kadang terjadi keadaan hipotonik. Hal ini dapat
berbahaya misalnya dam lalu lintas. Disini yang khusus harus diperhatikan
adalah antiaritmikadan obat-obat terapeutika koronar. Selanjutnya kepada pasien dengan
tekanan darah tinggi harus dijelaskan bahwa alkohol tidak hanya memperburuk penyakit tekanan
darah melainkan dalam beberapa hal juga menyebabkan penurunan tekanan darah yang tidak
dapat dikontrol. Demikian juga banyak psikofarmaka mempengaruhi tekanan
darah. Antidepresiva terisiklik mengantagonis kerja menurunkan tekanan darah guanetidin, α
metildopa, reserpin dan klonidin. Selanjutnya kerja hipotensif guanetidin diperlemah oleh
amfetamin dan efedrin. Pemberian inhibitor monoaminoksidase dan simpatomimetika tak
langsung secara bersamaan dapat menyebabkan perubahan tekanan darah yang parah (kenaikan
tekanan darah atau penurunan takanan darah).
3. Peningkatan nefrotoksisitas dan ototoksisitas
Antibiotika aminoglikosida, misalnya gentamisin dan streptomisin, yang diberikan
bersama diuretika jerat Henle, misalnya furosemida atau asam etakrinat, menaikkan
nefrotoksisitas sefalotin, selain itu menaikkan ototoksisitas antibiotika aminoglikosida kenaikan
ototoksisitas terjadi karena diuretika jerat henle mengubah komposisi elektrolit endolimfe dalam
telinga bagian dalam.
4. Peningkatan relaksasi otot
Bagi ahli anestesi, interaksi obat relaksan otot yang menstabilkan dengan antibiotika,
yang tersedia karena kerja jenis kurare (misalnya antibiotika aminoglikosida) mempunyai arti,
karena harus memperhitungkan peningkatan kerja merelaksasi otot.
5. Peningkatan toksisitas glikosida jantung
Hiperkalsemia dan hipokalemia meningkatkan kerja glikosida jantung. Ini berarti,
bahwa pasien dengan terapi glikosida jantung tak boleh disuntik dengan larutan yang
mengandung kalsium, dan selain itu pada pemberian glikosida jantung secara bersamaan dengan
senyawa-senyawa, yang dapat menyebabkan kehilangan kalium, terapi glikosida jantung harus
diawasi dengan sangat ketat. Ini berlaku, misalnya untuk laksansia dan saluretika, yang sering
diberikan bersama dengan glikosida jantung. Demikian juga berlaku untuk glukokortikoid.
Amfoterisin B juga mempertinggi toksisitas glikosida jantung karena mekanisme mengurangi
kalium.
6. Peningkatan kecenderungan perdarahan
Pada terapi dengan obat antikoagulan jenis dikumarol, berdasarkan
interaksi farmakodinamika, kecenderungan perdarahan meningkat jika diberikan bersamaan obat
berikut: dengan asam asetilsalisilat akibat penghambatan agregasi trombosit dan pada dosis lebih
dari 1,5 gram akibat menurunnya sintesis protombin ; dengan kuinidin karena menurunnya
sintesis faktor-faktor pembekuan yang bergantung pada vitamin K dengan sefalosporin yang
berstruktur N-alkil-tetrazol, misalnya Lamoxactam atau Cefamandol, karena sintesis protombin
dan fungsi trombosit dikurangi dengan asam valproinat karena penghambatan agregasi trombosit
dan pengurangan jumlah lempeng darah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi
obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama.
Peristiwa interaksi obat terjadi sebagai akibat penggunaan bersama-sama dua macam obat
atau lebih. Interaksi ini dapat menghasilkan effek yang menguntungkan tetapi sebaliknya juga
dapat menimbulkan effek yang merugikan atau membahayakan.
Interaksi obat yang tidak diinginkan dapat dicegah bila kita mempunyai pengetahuan
farmakologi tentang obat-obat yang dikombinasikan. Tetapi haruslah diakui bahwa pencegahan
itu tidaklah semudah yang kita sangka, mengingat jumlah interaksi yang mungkin terjadi pada
orang penderita yang menerima pengobatan polypharmacy cukup banyak.
DAFTAR PUSTAKA
http://awapt.blogspot.com/2010/06/contoh-interaksi-obat-dalam-resep.html
http://afdalgizi1c.blogspot.com/2013/01/interaksi-obat-dan-makanan.html
http://defiandhayani.blogspot.com/2012/10/interaksi-obat.html
Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
http://titianputri.blogspot.com/2010/02/interaksi-obat.html
http://yessykh.blogspot.com/2011/12/farmakologi.html