farid esack dan pluralisme agama - institutional...
TRANSCRIPT
FARID ESACK DAN PAHAM PLURALISME AGAMA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)
Oleh
Tati Castiah
NIM: 9933116554
PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1428 H./2008 M.
FARID ESACK DAN PAHAM PLURALISME AGAMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)
Oleh
Tati Castiah
NIM: 9933116554
Pembimbing,
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan
NIP: 150062821
PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1428 H./2008 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul FARID ESACK DAN PLURALISME AGAMA telah
diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Filsafat Islam (S. FIL. I) pada program studi Akidah Filsafat.
Jakarta, 12 Juni 2004 Disahkan Oleh
Dekan Fakultas Uhulluddin dan
Filsafat
Prof. DR. H. Hasanuddin, AF,
M.A. NIP. 150 050 917
Panitian Ujian Munaqasyah
Ketua, Sekretaris,
Halimah Ismail. Hj. Dra .H.S, Asep Syarifuddin. Drs
NIP. NIP.
Pembimbing,
Abdul Aziz Dahlan. DR. Prof NIP.
Penguji I, Penguji II,
. Drs .Drs
NIP. NIP.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, penulis
panjatkan kepada-Nya karena atas kehendak-Nya, dan kuasa-Nya-lah akhirnya
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin
menghaturkan banyak terimakasih yang tulus kepada pihak-pihak yang telah
memberikan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini:
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A.;
Pudek I Bapak Dr. Hamid Nasuhi M.A.; Pudek III Bapak Dr. Masri Mansoer,
M.A.; Ketua Jurusan Akidah Filsafat Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils.; dan
Sekretaris Jurusan Akidah Filsafat Bapak Drs. Ramlan Abdul Gani M.Ag. Penulis
juga haturkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing akademik, Bapak
Dr. Fariz Pari, M.Fils., yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing
penulis dalam proses penulisan proposal skripsi. Penulis juga sangat bersyukur
dan sangat berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan sebagai
dosen pembimbing, beliau telah banyak membimbing penulis dalam proses
penulisan skripsi, khususnya dalam teknik penulisan. Atas masukan dan
bimbingannya selama ini penulis haturkan banyak terimakasih yang tulus kepada
beliau.
Penulis juga tak kan pernah lupa kepada sahabat-sahabat yang telah
mensupport dan berbagi dalam banyak hal dengan penulis: “Loi” April dan
Vivannya; Ka ul, “kue pukis” Maya, “karkata” V, Fahim, Susi (terimakasih
karena mau direcokin, terutama dalam hal pinjam-meminjam buku di
perpustakaan Pasca); Tina dan nDe, yang selalu memotivasi dari jauh; T’ neng
Sri, Wati, Neli, Hida, Rositoh, Mun Ari, Chotib May, Mukhlis, Maftuhah dan si
Bontot Lis; kemudian kepada sahabat-sahabat di kelas AF: Iqbal Hasanuddin,
teman semasa sekolah hingga kuliah (terimakasih ya Iq, sudah mau berbagi dalam
banyak hal, terutama ilmu); Nanang, terimakasih karena telah banyak membantu
penulis, di saat kelimpungan, khususnya dalam menghadapi urusan perkuliahan;
Tantowi, yang selalu mensupport (kapan giliran kamu wi?); “mamad” Jafar al-
Hadar, terimakasih atas pertemanannya selama ini; Hamid dan Eemnya; Pranyoto,
Baehaqi, Sun, Anita, Iik, dan Pay. Tak lupa juga sahabat-sahabat Fomacian
lainnya, tempat diskusi dan berbagi dalam banyak hal: Te Piti (nuhun nya…),
Neng Indri dan Saidimannya; Biya, Linda, Ayi, Zen, Ridwan, Empi, Ken Husni
dan Yangnya; Akib dan lisnya; Adri, Mud, Nana, Dedi, Didi, Arif dan pujinya.
Akhirnya penulis ucapkan terimakasih yang tak terkira kepada ayah, ibu,
kakak-kakak, dan ade yang telah mensupport dan mendo’akan penulis dalam
banyak hal, terutama dalam menghadapi masa perkuliahan di Universitas ini, serta
keponakan-keponakan tercinta, yang selalu dirindu disetiap saat: Hanoy, Ebi,
Kekeh, Ge Ima, Desiti, Neng, Dean, Pitpit, Bulan, dan Si Bongsor Dafiq Ar.
Terimakasih ya …
Ciputat, 10 Juli 2008
Tati Castiah
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan Tidak dilambangakan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
� h Ha
Apostrof ` ء
y Ye ي
Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan a ahhfat
i kasrah
u ammahd ـ
Vokal Rangkap
ai a dan i ي___
au a dan u و_ __
Vokal Panjang
â a dengan topi di atas ــ$
î i dengan topi di atas &ـــ
û u dengan topi di atas ــ'ـ
Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan arab ا ل dialih akasrakan menjadi
huruf /L/, baik yang diikuti huruf syamsiyyah maupun qamariyyah.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah dalam sistem tulisan arab dialihaksarakan dengan menggandakan
huruf.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia, sebagai negara kepulauan, mempunyai ragam bahasa, suku,
adat istiadat dan agama, dan hal ini merupakan fenomena kini, dulu dan akan
datang yang tidak bisa dihindari dan dipungkiri.1 Dengan kondisi semacam itu,
Indonesia berada dalam situasi yang rawan bagi timbulnya pertentangan-
pertentangan sosial. Apalagi jika sudah menyentuh persoalan agama.2
Telah banyak disaksikan konflik dan kekerasan yang terjadi di bumi ini
karena alasan agama. Kerusuhan yang terjadi di Ambon dan di Poso beberapa
tahun lalu, atau pengeboman di Bali dan Hotel JW. Marriot di Kuningan adalah
fakta, yang tidak bisa bisa dipungkiri, bahwa agama menjadi salah satu faktor
pendukung terjadinya hal tersebut.3 Bahkan peristiwa 11 September 2001 yang
1Clive Gifford, “Indonesia,” dalam Henry P, dkk., ed., Ensiklopedi Geografi Dunia untuk
Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk., (Jakarta: Lentera Abadi., 2006), h. 328-333.
2Azyumardi Azra, dkk., Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia (Ciputat: INCIS,
2003), h. 25. 3“Kerusuhan Ambon,” diakses pada 10 September 2007 dari
www.hamline.edu/apakabar/basis data/1999/08/26/0037.html, sedangkan kerusuhan poso adalah
sebutan bagi serangkaian kerusuhan yang terjadi di Poso Sulawesi Tengah yang melibatkan
kelompok Muslim dan Kristen. Peristiwa tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu Poso I terjadi
pada 25-29 Desember 1998, Poso II 17-21 April 2000, dan Poso III 16 Mei-15 Juni 2000.
“Kerusuhan Poso,” diakses pada 10 september 2007 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Poso. Peristiwa terakhir kerusuhan di Poso terjadi pada 28
Mei 2005. Pelaku kerusuhan adalah dari golongan Muslim yang membunuh pendeta dan mutilasi siswa Kristen. “Pengeboman Poso Divonis 18 Tahun,” Media Indonesia, 4 Desember 2007, h. 3.
Kemudian peristiwa pengeboman di Bali terjadi pada malam hari 12 Oktober 2002 di Kuta Pulau
Bali. “Bom Bali,” diakses pada 10 September 2007 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002 dan tahun 2005 terjadi tiga kali pengeboman di
Jimbaran dua kali dan di Kuta satu kali. “Bom Bali,” diakses pada 10 September 2007 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2005. selanjutnya pengeboman JW. Marriot terjadi pada 5
meruntuhkan gedung WTC di New York telah mengubah pandangan dunia
tentang agama karena pada saat peristiwa tersebut terjadi para pelakunya adalah
dari golongan kaum beragama, yakni Islam.4
Konflik dan kekerasan atas nama agama pun bisa terjadi dalam satu
agama. Dahulu, pada perempat kedua abad ke-16 M Syaikh Siti Jenar dihukum
mati di Masjid Demak oleh kelompok-kelompok Muslim bersenjata yang
dipimpin oleh Jakfar Shadiq, Susuhunan Kudus, dengan tuduhan telah
menyebarkan ajaran bid’ah yang, menurut mereka, ajarannya tersebut akan
membahayakan kerajaan dan masyarakat Muslim lainnya.5
Peristiwa serupa pun terjadi di Aceh, yakni menimpa pada para pengikut
Syaikh Hamzah al-Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (w.1630). Mereka dihukum
bunuh karena pemikiran mereka dianggap telah membahayakan syariat oleh al-
Raniri (w.1658).6 Selain mereka dihukum bunuh, literatur yang mereka miliki
dibakar.7
agustus 2003 sekitar pukul 12.45. “Bom JW. Marriot,” diakses pada 10 September 2007 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_ Marriot _2003 4Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. Penerjemah
Hikmat Darmawan (Jakarta: Serambi, 2003), h. 27. 5Pemikiran Syaikh Siti Jenar yang dianggap menyesatkan adalah ajaran tauhid yang
bersifat universal khususnya tentang ajaran sasyahidan atau wahdatusyuhud. Lebih lanjut lihat
Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar, Buku Satu (Yogyakarta:
LkiS, 2003), h. xxiii-xxiv. 6Pemikiran yang dianggap menyesatkan kedua tokoh ini di antaranya adalah yang
menyatakan bahwa: alam dan manusia sama saja dengan Tuhan; wujud alam dan manusia adalah
wujud Tuhan; Tuhan itu imanen; alam itu qadim; dan ketika mereka mengatakan shatiyyat;
menurut al-Raniri mereka tidak berada dalam keadaan fana; selain itu menurut al-Raniri, keilmuan
mereka dalam pencapaian makrifat masih rendah. Lihat Abdul Hadi Widji Muthari, “Estetika
Sastera Sufistik Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Shaikh Hamzah Fansuri,” (Tesis S2
Universitas Sains Malaysia, 1996), h. 272-273. Lihat juga pemahaman lebih jauh mengenai pembahasan wahdat al-wujud Syamsuddin al-Sumatrani dan kontroversinya dengan al-Raniri,
dalam Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud (Kesatuan Wujud):
Tuhan Alam Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani (Padang: IAIN IB-Press, 1999), h.
35-159. 7Lihat, Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud (Kesatuan Wujud), h.
24.
Peristiwa-peristiwa tersebut cukup menjelaskan bahwa ketegangan yang
terjadi di antara penganut agama yang sama dapat menimbulkan tindak kekerasan
dan kekejaman, jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Walaupun
misalnya, kematian Syekh Siti Jenar telah banyak menimbulkan kontroversi yang
sangat membingungkan.8 Demikian juga halnya, yang menimpa kepada para
pendahulunya sufi, al-Hallaj (w. 308 H). Pada usia 53 tahun, telah dibunuh
dengan sangat kejam oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah tahun 922 M/308 H.
Selain ia dipenjara dan dipertontonkan di khalayak ramai, tubuhnya disalib,
dicameti dan dilempari batu. Tangan, kaki dan lidahnya dipotong, dan matanya
dicukil. Bahkan setelah meninggal, jasadnya dibakar dan abunya di buang ke
sungai Tigris.9
Sejak dulu, hingga sekarang sejarah terus berulang-ulang menyaksikan
peristiwa tersebut. Tidak saja di negara kita, di negara lain pun sama. Hanya
karena alasan agama, manusia saling membunuh, merusak, dan mencaci.
Peperangan yang terjadi di Palestina antara umat Yahudi dan Muslim yang
berlangsung sampai sekarang adalah peperangan atas nama agama.10
Demikian
8Pasalnya tokoh-tokoh yang menentukan hukum bunuh terhadap Syaikh Siti Jenar, seperti
Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah dan Sunan Ampel telah meninggal belasan, bahkan
puluhan tahun sebelum peristiwa tersebut terjadi, dan dikabarkan bahwa susuhunan Kudus yang
membunuh Syaikh Siti Jenar bersama bala tentaranya adalah orang yang sangat menghormati dan
memuliakan Syaikh Siti Jenar. Lihat Sunyoto, Suluk Abdul Jalil, h, xvi-xx. 9Tak jauh beda dengan pembunuhan sufi-sufi lainnya, ia pun dibunuh oleh penguasa
karena ajarannya dipandang menyesatkan. Lebih jauh lihat, Fathimah Usman, Wahdat Al-Adyan:
Dialog Pluralisme Agama (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 27-30. 10Mereka berperang memperebutkan tanah suci, Israel. Salah satu alasan umat Yahudi
memerangi Palestina adalah karena secara religius mereka telah dijanjikan oleh Tuhan, bahwa
satu-satunya tempat suci yang diperuntukan bagi mereka adalah Israel. Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, mereka harus mengusir dan mengosongkan tanah Palestina dari
orang-orang yang bukan Yahudi. Sedangkan di daerah tersebut telah lebih dulu umat Muslim
tinggal dan bermukim di sana. Oleh karena itu, mereka menolaknya karena mereka telah lebih
dulu tinggal dan bermukim di sana selama beratus-ratus tahun, maka terjadilah peperangan di
antara mereka sampai sekarang demi memperebutkan tanah suci Israel. Lihat, Huston Smith,
Agama-Agama Manusia. Pengantar Djohan Effendi. Penerjemah Yayasan Obor Indonesia
juga, pertentangan yang terjadi di Irlandia adalah pertentangan antara kaum
Katolik dan Protestan. Kemudian konflik yang terjadi antara pemerintahan Iran
dan Irak, juga didominasi oleh Islam Sunni dan Syii’. Demikian pula yang terjadi
di Pakistan, adalah konflik antara Islam Sunni dengan Islam Syii’.11 Sedangkan di
Philipina, konflik antar Katolik dengan Hindu, dan di Thailand, adalah konflik
antara Islam dengan Buddha.12
Jauh sebelum itu, sejarah telah mencatat bahwa perang Salib yang
dilakukan oleh umat Kristen terhadap umat Muslim dan Yahudi beberapa abad
yang lalu, atau hukum bunuh yang dilakukan oleh golongan Mutakallimin adalah
karena alasan agama. Di antara golongan Mutakalimin yang telah melakukan
hukum bunuh adalah kaum Khawarij Muhakkimah dan Azariqah. Ketegangan ini
bermula dari peristiwa arbitrase antara pihak Ali dan pihak Muawiyah. Bagi kaum
Khawarij Muhakkimah, orang yang menerima arbitrase adalah kafir dan telah
murtad, maka mereka wajib dibunuh. Selanjutnya permasalahan ini bagi
Azariqah, berkembang menjadi faham yang sangat ekstrem. Selain mereka
membunuh orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, mereka pun
membunuh orang Islam yang telah masuk golongan mereka dan tidak tinggal di
daerah kekuasaan mereka. Bahkan untuk menguji orang yang mengaku-ngaku
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 341-352. Untuk penjelasan mengenai sejarah Yahudi
lihat juga Armstrong, Perang Suci, h. 29-65. 11
Kedua mazhab ini satu sama lain suka saling mencela. Celaan yang sering dilontarkan
oleh siswa-siswa di Karachi, Pakistan yang bermazhab Syi’ah mengatakan, bahwa orang-orang
Sunnah melipat tangan mereka ketika shalat karena mereka menyembunyikan berhala-berhala
kecil di dalamnya. Sementara celaan yang dilontarkan oleh seorang Maulana yang bermazhab Sunnah ketika mengajar murid-muridnya di kelas tiga mengatakan, bahwa orang-orang Syi’ah
tidak percaya terhadap al-Quran karena mereka percaya, bahwa kambing milik istri nabi memakan
sepuluh surat. Lihat, Farid Esack, On Being A Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-
Plural. Penerjemah Nuril Hidayah (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 232. 12
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia (Jakarta:Paramadina, 2003), h. 125.
pengikutnya pun, terlebih dahulu mereka mengujinya dengan disuruh membunuh
tawanan. Jika ternyata tidak membunuhnya, maka kepalanya orang tersebutlah
yang akan mereka penggal. Tak hanya itu, mereka juga membunuh, menawan dan
menjadikan budak, anak, istri dan keluarga mereka yang tidak sefaham dengan
mereka, golongan Azariqah.13
Tampaknya undang-undang kerukunan umat beragama14
atau Pancasila
bagi masyarakat Indosesia tidak bisa menahan kaum beragama untuk tidak saling
melakukan tindak kekerasan. Padahal di setiap periode beberapa kepengurusan
Menteri Agama sering diadakan dialog agama-agama, tentang pentingnya
kerukunan hidup umat beragama. Di antara keputusan Menteri Agama pada
kepengurusan Menteri Agama Prof. Dr. A. Mukti Ali adalah ditanamkannya
prinsip agree with disagree (setuju dalam perbedaan).15
Namun tampakmya
belum berhasil.16
Bahkan dialog agama-agama tidak saja dilakukan di dalam
Negeri, di tingkat dunia pun seringkali dilakukan. Namun sayang, pada tingkat itu
13
Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan
(Jakarta: UI-Press, 1986), h.5-15. 14Hal tersebut tercantum dalam pasal 29 ayat I dan 2 UUD (Undang-Undang Dasar) 45
berikut, “Negara berdasarkan Tuhan yang maha Esa”, dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya
dan kepercayaannya itu. Lihat, Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, Kompilasi
Perundang-Undang Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemaen Agama RI, Edisi Ketujuh
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 7. 15
MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jakarta, Kerukunan Beragama dari Perspektif Negara,
Ham, dan Agama-Agama. Pengantar Quraish Shihab (Jakarta: MUI, 1996), h. xii-xiv. 16Data yang dihasilkan dari penelitian yang diadakan oleh Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan di beberapa propinsi mengenai kerukunan hidup umat beragama di Indonesia,
masih menunjukan adanya potensi konflik yang setiap saat bisa muncul. Konflik tersebut di antaranya adalah isu Kristenisasi dan Islamisasi yang diadakan oleh umat Kristen atau Islam;
penolakan pendirian rumah ibadah oleh penganut yang berbeda agama; dendam karena
pembakaran gereja atau masjid yang dilakukan oleh salah satu umat beragama tersebut; konflik
antara Hindu Bali dengan Hindu yang berafiliasi ke India; Protestan dengan Katolik. Lihat, Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Riuh di Beranda Satu Peta Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia, Seri II (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 75-270.
pun tampaknya dialog belum berhasil karena ironisnya ketika kegiatan tersebut
berlangsung, ada sebagian peserta dialog yang menghina agama lain.17
Ada dua hal penting, khususnya bagi Indonesia, yang menjadi alasan
mengapa fenomena tersebut bisa terjadi. Pertama karena sebagian besar
penduduknya masih percaya terhadap agama dan mengkaitkan hidup dalam aturan
dan keyakinan agama. Kedua, terlebih lagi jika dalam setiap kelompok agama ada
kelompok yang mempunyai klaim kebenaran, yang menyatakan bahwa ajarannya
merupakan totalitas sistem makna yang berlaku bagi seluruh kehidupan, baik
individual maupun sosial. Namun keyakinan tersebut ketika hadir dalam pluralitas
keagamaan, maka akan membawa dampak yang berbahaya dalam hubungan
beragama.18
Pengaruhnya sangat dahsyat kepada kelangsungan hidup manusia.
Sama dahsyatnya, seperti pengaruh narkotika kepada manusia. Namun bahayanya
berbeda, tapi keduanya sama-sama akan mengancam kelangsungan daya tahan
sebuah kehidupan. Jika narkotika memberi pengaruh kepada pribadi saja, maka
klaim kebenaran, selain memberi pengaruh pada pribadi, juga akan mengasilkan
gerakan sosial, yaitu suatu gerakan yang melahirkan sikap eksklusif dan intoleran
bagi penganutnya.19 Mereka memandang bahwa hanya pandangan mereka sajalah
yang benar, keselamatan hanya ada pada diri mereka dan tidak ada keselamatan
bagi orang lain. Oleh karena itu, untuk menyampaikan misi mereka, mereka
melakukan ekspansi dan penetrasi, yang kemudian dikenal dengan konsep jihad
dalam Islam, atau misionaris dalam Kristen. Mereka sama-sama membawa misi
17
Penganut Islam menghina penganut agama lain. Lebih lanjut lihat, MUI (Majelis Ulama
Indonesia) Jakarta, Kerukunan Beragama, h. 91-96. 18
Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), h. xxi. 19
Nurcholis Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi
Mendatang,” Ulumul Quran IV, no. 1 (1993): h. 10-12.
keselamatan, maka tak heran jika setiap penganut keyakinan saling memaksakan
pandangannya. Mereka tak segan-segan mencaci, mengejar, dan membunuh orang
yang tidak sepaham dengan mereka.20
Jika pandangan seperti itu dibiarkan dan dipertahankan, maka konflik dan
kekerasan yang terjadi di bumi ini akan terus berlangsung. Apalagi jika melihat
perkembangan sejarah, Indonesia merupakan lahan subur untuk pertumbuhan dan
perkembangan agama atau aliran kepercayaan,21 maka untuk menopang
kehidupan yang damai, dibutuhkan wawasan yang membawa masyarakat ke
dalam suasana rukun, damai egaliter, toleran dan saling menghargai tanpa harus
ada konflik dan kekerasan.
Di antara beberapa pemikir yang telah berusaha keras untuk mengatasi hal
itu adalah Wilfred Cantwell Smith. Ia adalah seorang teolog Kristen dan
sejarawan yang telah menyusun teori-teori teologis dan meyakinkan secara
akademis bahwa semua agama, baik itu dari golongan Islam, Kristen, Yahudi atau
Buddha akan mengarah kepada tujuan akhir, yakni Allah. Allah adalah tujuan
akhir dari semua agama. Kemudian pahamnya tersebut dikenal dengan paham
pluralisme agama. Oleh karena itu, agama manapun menurutnya, tidak berhak
mengklaim kebenaran agamanya atas agama lain, dan pada tataran itu,
menurutnya, konsep agama berakhir.22
Ia juga mengatakan bahwa kebenaran
20M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 995), h. 229. 21
Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 229. 22
Mengenai pengertian agama, lihat juga Armstrong. Menurutnya, terlepas dari sifat non
duniawinya, agama sesungguhnya bersifat pragmatik karena pada kenyataannya seringkali
disaksikan bahwa sebuh ide tentang Tuhan tidak harus bersifat logis atau ilmiah yang penting bisa
diterima. Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh
Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun. Penerjemah Zainul Am (Bandung:
Mizan, 2002), h. 22.
agama bersifat relatif dan mempunyai nilai yang sama sehingga kita harus
berusaha menghilangkan hambatan-hambatan, menjembatani perbedaan-
perbedaan, dan mengakui semua orang sebagai sesama dan anak-anak Allah Bapa
yang sedang berupaya menemukan Dia yang sedang dicari-cari oleh-Nya, dan
mustahil jika orang Kristen mengatakan, kami diselamatkan, kalian orang Islam,
Hindu atau Buddhis dihukum. Padahal mereka semua, orang Islam, Hindu atau
Buddhis adalah orang-orang yang saleh dan cerdas. Baginya tidak logis jika
mereka dihukum dengan alasan mereka bukan seorang Kristiani.23
Smith mendasarkan pandangannya tersebut pada Allah yang diwahyukan
melalui Kristus, yakni yang menyatakan bahwa Allah mengulurkan tangan
kepada semua orang dalam cinta, dan sebagai makhluk Allah yang terbatas,
menurutnya, kita tidak dibatasi oleh cinta itu. Kemudian wahyu Allah yang lain
adalah yang menyatakan, bahwa Allah menghendaki rekonsiliasi dan rasa
kebersamaan yang dalam, dan Hendaknya agama dipandang sebagai suatu
perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Ilahi dan manusia.24
Selanjutnya salah satu tokoh muslim Indonesia yang mempopulerkan
paham tersebut adalah Nurcholish Madjid (1939-2005). Ia menyatakan, bahwa
pluralisme adalah suatu sistem nilai, yang bernilai positif-optimis terhadap
kemajemukan, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik
mungkin berdasarkan kenyataan itu,25
dan tidak boleh hanya dipahami sebagai
bentuk kemajemukan, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,
23
Coward, Pluralisme, h. 61-64. 24
Coward, Pluralisme, h. 62-63. 25
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2000), h. Ixxv.
tetapi hal itu harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-
ikatan keadaban. Bahkan ia mengatakan, pluralisme merupakan keharusan bagi
keselamatan umat manusia26 yang tidak akan berubah sehingga tidak mungkin
dilawan atau diingkari.27
Selain dalam Islam dan Krisrten, paham pluralisme agama pun terdapat
dalam Hindu dan Buddha. Dalam Hindu dikatakan bahwa setiap konsep adalah
benar dalam perpektifnya sendiri. Oleh karena itu, setiap pandangan merupakan
suatu kesimpulan logis yang didasarkan pada praanggapan pada perspektifnya
sendiri. Namun karena keterbatasan manusiawi, terpaksa manusia harus memilih
salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk untuk menyalurkan apresiasi
kecintaanya pada Yang Ilahi,28
dan dalam Bhagawad-Ghita dikatakan bahwa
Yang Ilahi menerima orang-orang yang datang kepada-Nya melalui jalan agama
yang berbeda-beda, dan Hindu menurutnya telah menyesuaikan dirinya dengan
rahmat yang tak terbatas untuk setiap kebutuhan manusia tersebut.29
Salah satu
tokohnya adalah Radhakrishnan, sedangkan dalam Buddha dinyatakan terdapat
pengakuan nilai-nilai yang terdapat dalam agama-agama lain, serta tidak perlu
merubah label-labelnya, dan yang menyatakan hal tersebut adalah sang Buddha
sendiri.30
26
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramida, 2001), h. 31.
27Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ixxvii- Ixxviii.
28Coward, Pluralisme, h. 118.
29Coward, Pluralisme, h. 138-139.
30Fazlur Rahman, dkk., Agama untuk Manusia. Penerjemah Ali Noer Zaman
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 129.
Sebenarnya jauh sebelum itu pun, pendekatan esoteris yang dibawa oleh
al-Hallaj dan pengikutnya, Ibnu Arabi (1165-1240)31 melalui konsep wahdatul
wujudnya,32
telah membawa mereka kepada konsep wahdatul al adyan, satunya
semua agama. Menurut al-Hallaj, keanekaragaman agama di dunia ini hanya
sekedar bentuk, hakekatnya sama, bertujuan sama, yakni mengabdi kepada Tuhan
pencipta alam semesta. Bahkan Allahlah menurutnya, yang telah menetapkan dan
memilihkan agama untuk masing-masing orang sehingga manusia tidak memiliki
kemampuan untuk memilihnya. Oleh karena itu, manusia menurutnya, tidak boleh
saling mencela dan menyalahkan agama yang dianut oleh orang lain,33
sementara
Ibnu Arabi mengatakan, bahwa yang ada di balik semua agama yang hanya
merupakan bayangan itu adalah Al-Haqq, yang dipuja oleh orang Nasrani Yahudi,
Hindu, Buddha dan lain-lain adalah sama, dengan yang dipuja oleh orang Islam,
yaitu hakikat yang satu, Al-Haqq. Dia adalah Allah, Tuhan seluruh manusia (rabb
al-nas), Tuhan alam semesta (rabb al-‘alamin), dan Tuhan seluruh langit dan
bumi (rabb al-samawat wal al-ard).34 Oleh karena itu, menurutnya, hamba Tuhan
merasakan ketentraman yang sama di dalam sinagog, kuil, gereja, atau masjid
31
Nama lengakap Ibnu Arabi Adalah Muhiddin Abu Abdullah Muhammad Bin Ali Bin
Muhammad Bin Ahmad Bin Abdullah Hatimi Al-Thai. Dia adalah seorang sufi terbesar dalam dunia Islam, bahkan seorang pemikir mistik besar dalam dunia Islam. Untuk penjelasan ini, lihat
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Ibnu Arabi,” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed., Ensiklopedi
Islam, vol. II (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve., 1997), h. 150. 32
Konsep wahdatul wujud Ibnu Arabi yaitu yang menyatakan bahwa hakikat segala
sesuatu adalah Tuhan. Di sebalik benda, manusia, alam, langit atau bumi Ia-lah yang sebenarnya
ada. Dia menampakan diri melalui alam. Alam adalah bayangan-Nya. Melalui bayangan-Nyalah Ia
dikenal. Perumpamaannya, seperti pohon dan bayangannya. Pohonlah yang mempunyai wujud,
bayangan pohon tidak mempunyai. Dengan demikian, yang ditangkap oleh sufisme adalah Al
Haqq itu sendiri. Sedangkan bagi non sufi, yang ditangkap oleh mereka hanyalah bayangannya
saja. Lihat Harun Nasution, dkk., Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, Penyunting
Imran Rasyidi (Jogja: Tiara Wacana, 1997), h. 252. Lihat juga Armstrong mengenai penjelasan wahdatul wujud Ibnu Arabi. Menurutnya Arabi mendasarkan pemikirannya tersebut kepada hadits
Qudsi yang menyatakan, bahwa aku adalah perbendaharaan tersebunyi dan aku ingin dikenal
kemudian aku diciptakan makhluk-makhluk agar dikenal oleh mereka. Armstrong, Sejarah Tuhan,
h. 315. 33
Usman, Wahdat Al-Adyan, h. 11-14. 34Nasution, Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, h. 253-253.
karena semuanya menyediakan pemahaman yang sama tentang Tuhan. Ia juga
mengecam sikap eksklusif karena sama artinya dengan mengingkari yang lain,
dan telah gagal menemukan kebenaran sejati. Baginya, Tuhan yang Maha Berada
tidak dibatasi oleh keyakinan apa pun, sebagaimana firman-Nya, “Kemanapun
engkau memalingkan pandanganmu, maka di sanalah ada wajah Allah” (Q.S. al-
Baqarah/2: 102.).35
Namun dalam hal ini penulis akan meneliti paham pluralisme agama
dalam perpektif Farid Esack. Adapun alasan penulis memilih Esack sebagai bahan
kajian penulisan skripsi ini, pertama adalah karena ia mempunyai perspektif yang
lebih progress dalam memahami pluralisme agama, yakni untuk mendukung
pahamnya tersebut, selain ia membahas pluralisme agama melalui pembuktian al-
Quran, ia juga meredifinisi pengertian iman, islam dan kafir dengan penggunaan
dan pemaknaan yang kontekstual dan eksistensial dengan situasi sekarang,
khususnya pluralitas agama. Alasan kedua, adalah latar belakang budaya Esack
ada kemiripan dengan konteks Indonesia, yakni memiliki kekayaan budaya,
agama, dan aliran kepercayaan yang beragam,36
sedangkan alasan terakhir adalah
karena konflik dan kekerasan yang terjadi di kedua negeri ini kebanyakan
didominasi oleh faktor agama, dan Esack adalah salah satu sosok intelektual
Muslim Afrika Selatan yang telah ikut andil besar dalam meruntuhkan sistem
apartheid,37 yakni dengan mengusung gagasan pluralisme agama berdasarkan
35
Armstrong, Sejarah Tuhan, h, 317. 36
Gifford, “Afrika Selatan,” dalam Henry P, dkk., ed., Ensiklopedi Geografi Dunia untuk
Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk., (Jakarta: Lentera
Abadi., 2006), h. 380-383. 37
Apartheid secara harfiah artinya keterpisahan, yakni suatu politik pemisahan rasial
antara golongan warna kulit yang dijalankan oleh pemerintah Afrika Selatan. Tujuannya adalah
untuk memisahkan perkembangan dan pembangunan orang kulit berwarna dari orang kulit putih
perspektif al-Quran, setidaknya pada waktu itu masyarakat Afrika Selatan dari
berbagai agama telah sadar akan pentingnya bergabung bersama dan berjuang
dalam meruntuhkan sistem apartheid di Afrika Selatan yang telah
menyengsarakan kehidupan mereka semua. Pasalnya, ada juga sebagian kelompok
agama yang tidak bersedia ikut bergabung karena takut terjerumus pada
kekufuran, khususnya Islam. Bagi mereka agama yang diterima disisi Allah
hanyalah Islam, dan kaum yang berada di luar diri mereka adalah kafir. Oleh
karena itu, orang Muslim yang ikut bergabung dengan Call of Islam38
adalah
kafir. Padahal menurut Esack, mereka juga sama-sama telah mengalami
penderitaan dan telah menumpahkan darah akibat kekejaman apartheid.39
Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang punya tanggungjawab
moral terhadap umatnya, maka dalam bukunya yang pertama,40
sebagaimana yang
telah dikemukakan di muka, selain ia membahas pluralisme agama melalui
pembuktian al-Quran, termasuk juga di dalamnya ia banyak membahas
penggunaan dan pemaknaan istilah iman, islam dan kafir, namun dengan
terutama dalam bidang politik dan ekonomi, misalnya secara politik orang kulit hitam yang
mayoritas tidak diperbolehkan duduk di pemerintahan; secara ekonomi tidak diperbolehkan
mempunyai pekerjaan, sebagaimana yang diperuntukan untuk orang kulit putih; dan dilarang tinggal di lokasi yang tidak ditentukan untuk mereka. Sistem aparteid telah dipraktikkan sebelum
tahun 1948 diberlakukan. Lihat, Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia, “Apartheid,”
dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, vol. II (Jakarta: Delta Pamungkas., 2004), h. 187-188. 38
Call of Islam adalah nama kelompok yang didirikan oleh Adli Jacobs, Ebrahim Rasool,
Shamiel Manie dan Farid Esack sendiri pada Juni 1984. Sebenarnya nama The Call of Islam
adalah nama yang dipakai pada lembar beritanya, sedangkan pertama kali kelompok tersebut
dinamakan Muslims Against Oppression. Nama tersebut dipakai untuk keperluan resmi publikasi
pamflet. Komunitas tersebut sangat berperan penting dalam membujuk kaum Muslim untuk
menerima keharusan politik dan legitimasi teologis bagi solidaraitas antar iman dan menerima
tanpa ragu kaum Kristen dan Yahudi sebagai saudara dan kaum beriman, dan hal tersebut
merupakan babak baru bagi kehidupan agama-agama di Afrika Selatan, yakni ketika dari berbagai penganut agama ikut bersedia bergabung bersama dalam meruntuhkan aparteid di Afrika Selatan.
Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme. Penerjemah
Watung A. Budiman (Badung: Mizan, 2000), h.h. 66-79. 39
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66. 40
Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligous Solidarity
Against Oppression, Oxford: Oneworld Publications, 1997.
penggunaan dan pemaknaan yang kontekstual dan eksistensial dengan situasi
sekarang, khususnya dengan konteks pluralisme agama. Terlebih lagi al-Quran
bagi umat Islam adalah satu-satunya kitab suci yang dipercaya sebagai yang betul-
betul otentik,41 maka diharapkan dengan adanya penelusuran makna tersebut,
menurut Esack orang atau sekelompok orang tidak sembarang untuk mengatakan
orang lain sebagai kawan dan lawan, juga agar kaum lain dari agama apa pun
tidak akan menderita akibat ketidakberimanan oleh golongan lain karena ia yakin,
bahwa al-Quran memperhatikan dan menampilkan Tuhan sebagai yang
memperhatikan apa yang dilakukan manusia, yang artinya Tuhan telah ikut
campur dalam sejarah manusia.42
Ia tidak berbicara pada ruang yang hampa.
Terlebih manusia itu lebih banyak dibentuk oleh konteks dari pada teks.43
Selain
itu, ia juga ingin memperlihatkan bahwa adalah mungkin kaum beriman dari
berbagai agama hidup berdampingan dalam keimanan kepada al-Quran dalam
konteks kekinian dan bekerja bersama mereka untuk membentuk masyarakat yang
lebih manusiawi.44
Maka dengan sosok dan pemikirannya tersebut, penulis tertarik untuk
menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul, “Farid Esack dan Paham
Pluralisme Agama”. Diharapkan dengan pengalaman dan keberhasilan Esack,
khususnya dalam menghadapi pluralitas agama di Afrika Selatan dapat menjadi
kontribusi pemikiran dan alternatif pembacaan, juga rujukan bagi khasanah
pemikiran intelektual Indonesia, dan masyarakat umumnya dalam mewujudkan
proses demokrasi yang rukun, aman dan damai, serta berkeadaban.
41
Esack, Membebaskan yang Tertindas. h. 39-40. 42
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 34. 43
Esack, Membebaskan Yang Tertindas, h. 131. 44Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 38.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan beberapa alasan dan pemilihan judul tersebut, maka penulis
akan membatasi pembahasan paham pluralisme agama dalam perspektif Esack
dan agama-agama pada umumnya. Namun pada pembahasan paham pluralisme
agama dalam perpektif agama-agama penulis membatasinya pada empat agama,
yakni Islam, Buddha, Hindu dan Kristen.
Adapun perumusan masalah yang akan dirumuskan adalah pertama,
bagaimana paham pluralisme agama dalam perspektif Farid Esack, kedua
bagaimana paham pluralisme agama dalam perspektif agama-agama pada
umumnya, yakni dalam perspektif Islam, Buddha, Hindu dan Kristen.
C. Tinjauan Kepustakaan
Terdapat beberapa karya ilmiah, yang penulis telusuri yang berkaitan
dengan paham pluralisme agama dalam perspektif agama-agama dan yang
berkaitan dengan Farid Esack. Di antara buku yang membahas pluralisme agama
dalam perpektif Islam adalah Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman
(Jakarta: Paramadina, 2001), karya Budi Munawar Rahman. Buku tersebut, di
antaranya memuat tulisan mengenai prinsip-prinsip pluralisme agama yang
diusung oleh gurunya, Nurcholish Madjid, seperti pentingnya pemikiran
pluralisme dalam teologi agama-agama demi tercapainya kedamaian dan keadilan
di bumi ini, sedangkan Nurcholish Madjid sendiri membahas pluralisme agama
yang terangkum lengkap dalam bukunya yang berjudul Islam Doktrin dan
Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2000). Dalam buku tersebut ia menyatakan
bahwa pluralisme adalah suatu sistem nilai, yang bernilai positif-optimis terhadap
kemajemukan, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik
mungkin berdasarkan kenyataan itu, dan tidak boleh hanya dipahami sebagai
bentuk kemajemukan, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, tapi
hal itu harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan
keadaban. Bahkan ia mengatakan, pluralisme merupakan keharusan bagi
keselamatan umat manusia karena merupakan sebuah aturan, sunatullah yang
tidak akan berubah sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari.
Kemudian buku Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama
(Yogyakarta: LkiS, 2002) karya Fathimah Usman. Buku tersebut berisi gagasan
pluralisme agama dalam al-Quran, dan gagasan wahdat al-adyan yang diusung
oleh al-Hallaj.
Selanjutnya buku The Children of Adam: An Islamic Perspektif on
Pluralism (Washington DC: Center for Muslim-Christian Understanding,
Georgetown University, 1996) karya Mohamed Fathi Osman, dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi Islam, Pluralisme, dan
Toleransi Keagamaan: Pandangan Al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah dan
Perdaban (Jakarta: Paramadina, 2006). Buku tersebut mengusung gagasan
pluralisme agama berdasarkan al-Quran dan sejarah kehidupan agama-agama
pada masa pemerintahan Islam di Yasrib, sekarang Madinah. Pembahasan
pluralisme agama dalam konteks pemerintahan Islam, ia banyak menguraikan
pluralisme dari banyak hal; sisi agama, sosial, hukum, sampai bagaimana caranya
melaksanakan pemilihan-pemilihan umum dalam suatu negara.
Secara garis besar pada dasarnya buku-buku tersebut sama-sama
menggagas nilai-nilai pluralisme agama berdasarkan perpektif al-Quran dan
sejarah kehidupan agama-agama pada masa pemerintahan Islam. Demikian juga
dengan bukunya Jalaluddin Rakhmat yang berjudul Islam dan Pluralisme: Akhlak
Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006), isi pembahasannya hampir
sama dengan penulis sebelumnya. Namun masing-masing penulis dalam merujuk
ayat-ayat pluralisme agama dalam al-Quran berbeda-beda, ada yang sama dan ada
yang menambahkannya, misalnya dalam buku Fathimah Usman dan Jalaluddin
Rakhmat sama-sama merujuk Q.S. al-Baqarah/2: 62 untuk menjelaskan
pengakuan atas eksistensi agama-agama. Kemudian Jalal menambahkannya
dengan Q.S. al-Maidah/5: 69 dan Q.S. al-Hajj/22: 17. Fathimah Usman merujuk
Q.S. al-Baqarah/2: 256 untuk menjelaskan tidak ada paksaan dalam beragama,
Q.S. al-Anam/6: 108, dan Q.S. al-Syuro ayat 13 untuk menjelaskan kesatuan
kenabian, Q.S. al-Nisa/3: 131.
Selanjutnya pluralisme agama dalam bentuk skripsi di antaranya adalah
yang berjudul: Gagasan Pluralisme dalam Pemikiran Nurcholish Madjid (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003)
ditulis oleh Sutisna; Pluralisme Agama dalam Penafsiran Sayyid Quthb Kajian
Tematik atas Tafsir fi Zhilal Al-Quran (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis oleh Akbar Imanuddin;
Konsep Pluralisme Agama Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis
oleh Muhammad Arham Mursidin. Isi ketiga skripsi tersebut sama-sama
membahas pluralisme agama dengan merujuk ayat-ayat yang sama, sebagaimana
yang telah dirujuk oleh penulis-penulis buku sebelumnya, yang berbeda hanyalah
pada pemikiran tokohnya saja. Demikian juga dengan skripsi yang berjudul
Konsep Al-Quran Tentang Pluralisme (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis oleh Faturrahman.
Walaupun ia tidak merujuk pada pemikiran tokoh, tapi ayat-ayat yang ia rujuk
dalam menjelaskan pluralisme agama sama, sebagimana yang telah dirujuk oleh
penulis-penulis skripsi dan buku yang telah disebutkan di muka. Namun dalam
membahas kesatuaan keagamaan, ia menambahkannya dengan merujuk pada Q.S.
al-Baqarah /2: 132 dan Q.S. Ali Imran/3: 85, pesan kenabian, Q.S. al-Baqarah 2:
132, dan pesan Tuhan Q.S. al-Nisa/3: 131.
Sedangkan buku yang membahas pluralisme agama dalam perpektif
agama-agama di antaranya adalah buku Harold Coward. Pluralisme, Tantangan
bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Di dalamnya di jelaskan tentang kandungan paham pluralisme agama dari
berbagai agama-agama dunia.
Kemudian yang menulis tokoh pemikiran Farid Esack adalah Burhanuddin
dan Irwandi dalam bentuk skripsi. Keduanya tidak membahas pluralisme agama
dalam pemikiran Farid Esack, tapi keduanya sama-sama membahas hermeneutik
dalam pemikiran Farid Esack. Mereka sama-sama menjelaskan prinsip-prinsip
hermeneutik yang digunakan oleh Farid Esack berdasarkan perspektif al-Quran.
Prinsip-prinsip hermeneutiknya adalah taqwa (integritas dan kesadaran akan
kehadiran Tuhan), tauhid (keutuhan dan kesatuan ketuhanan), al-nâs (manusia),
al-mustada’fun fi al-ard (yang tertindas dan tersisih di dunia), qist dan ‘adl
(keseimbangan dan keadilan), terakhir adalah jihad (perjuangan dan praksis).
Letak perbedaan tulisan Burhanuddin dan Irwandi adalah dalam tulisan
Burhanuddin, selain membahas prinsip-prinsip hermeneutik Farid Esack, ia juga
menyandingkannya dengan hermeneutik Charles Kurzman, sedangkan Irwandi,
khusus membahas prinsip-prinsip hermeneutik Farid Esack saja. Lebih lanjut
skripsi Burhanuddin berjudul Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif:
Perpektif Farid Esack dan Charles Kurzman tentang Islam, Modernitas, dan
Masa Lalu yang Diciptakan (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003), sedangkan skripsi Irwandi berjudul
Reception Teori Hermeneutika Farid Esack (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui paham
pluralisme agama dalam perspektif Farid Esack, dan menjelaskan paham
pluralisme agama dalam perspektif agama-agama sebagai bahan pengantar.
Adapun tujuan lain dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat menambah
kontribusi pemikiran dan alternatif pembacaan, juga rujukan bagi khasanah
pemikiran intelektual Indonesia dalam mewujudkan proses demokrasi yang aman
dan damai di Indonesia.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode pustaka (library research), yakni penulis melakukan
penelitian kepustakaan terhadap buku-buku, jurnal-jurnal, majalah-majalah, atau
data-data yang berkaitan dengan penulisan karya tulis ini, baik itu yang bersumber
dari penulis asli atau penulis lain.45 Buku yang dijadikan rujukan utama adalah
buku yang ditulis oleh penulis asli dan telah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia yaitu Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme
dan On Being a Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural,
sedangkan untuk pluralisme agama-agama, menggunakan buku Harold Coward.
Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco Carvallo.
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Selanjutnya setelah penulis melakukan pengumpulan data melalui
penelitian kepustakaan, penulis melakukan analisa. Analisa data yang digunakan
penulis adalah analisa data deskriptif,46 yakni penulis berusaha menggambarkan
dan menggali penjelasan pluralisme agama baik itu dalam perpektif agama-agama
dan Farid Esack.
Adapun dalam teknik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman,
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang ditulis oleh
Tim Penyusun Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.47
F. Sistematika Penulisan
45
John W. Creswell, Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitaf. Pengantar
Supardi Suparlan. Penerjemah Angkatan III dan IV KIK-UI dengan Nur Khabibah (Jakarta: KIIK
Press, 2003), h. 21. 46
Creswell, Desain Penelitian, h. 147-150. 47
Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)
(Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2007.
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Uraiannya sebagai berikut: bab
pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah;
pembatasan dan perumusan masalah; tinjauan kepustakaan; tujuan penelitian;
metode penelitian dan teknik penulisan; terakhir adalah sistematika penulisan.
Pada bagian latar belakang masalah di antaranya berisi tentang alasan penulis
mengambil judul skripsi. Kemudian pada bagian pembatasan masalah berisi
tentang batasan permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini, yakni
membatasinya pada pembahasan pluralisme agama dalam perpektif agama-agama
dan khususnya dalam perpektif Farid Esack. Pada bagian tinjauan kepustakaan
berisi tentang siapa saja orang yang telah membahas pluralisme agama dan
menulis tokoh Farid Esack, sedangkan pada metode penelitian dan teknik
penulisan berisi tentang metode penelitian dan teknik penulisan yang digunakan
oleh penulis, dan yang terakhir dari penulisan bab pertama ini adalah sistematika
penulisan yang berisi tentang pembagian bab dari skripsi ini, disertai dengan
uraian singkat pada masing-masing babnya.
Selanjutnya pada bab dua berisi tentang riwayat hidup Farid Esack, yang
terdiri dari: latar belakang sosial; latar belakang intelektual; dan karya-karyanya.
Pada bab ini sangat diperlukan untuk mengetahui landasan pemikiran dia
mengenai pluralisme agama. Oleh karena itu, pada bab ini penulis berusaha
menguraikan sekilas faktor sosial dan intelektual Esack yang berkaitan dengan
lahirnya pemikiran dia mengenai paham pluralisme agama.
Pada bab tiga berisi tentang pembahasan pluralisme agama perspektif
agama-agama; dibatasi hanya empat agama saja yaitu Islam, Hindu, Buddha, dan
Kristen. Pembahasan pluralisme agama dalam perspektif agama-agama ini sangat
penting untuk dibahas, yakni untuk mendukung dan mengimbangi pemikiran
pluralisme agama dalam pemikiran Farid Esack yang notabene seorang pemikir
pluralisme agama dari Muslim. Lebih lanjut sistematika penulisan bab tiga ini
sebagai berikut: pluralisme agama dalam perspektif Islam; pluralisme agama
dalam perspektif Hindu; pluralisme agama dalam perspektif Buddha; pluralisme
agama dalam perspektif Kristen.
Kemudian, bab empat berisi tentang konsep pluralisme agama dalam
pemikiran Farid Esack dan pengertian pluralisme agama dalam beberapa
perspektif. Adapun isinya adalah sebagai berikut: pengertian pluralisme agama;
konsep pluralisme agama dalam perspektif Esack, alasan dan argumentasinya, dan
diakhiri dengan kritik terhadapa pemikiran Esack.
Selanjutnya bab terakhir dari penulisan ini adalah bab lima sebagai
penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran. Dalam simpulan penulis
berusaha menyimpulkan hasil penelitian mengenai paham pluralisme agama
dalam perpektif Esack dan agama-agama, yakni dengan merujuk kepada rumusan
masalah yang telah disebutkan pada penulisan skripsi ini. Kemudian diakhiri
dengan penulisan saran-saran.
BAB II
RIWAYAT HIDUP FARID ESACK
A. Latar Belakang Sosial Farid Esack
Esack adalah seorang aktivis dan intelektual Muslim asal Afrika Selatan
yang dikenal luas oleh dunia melalui pemikiran-pemikirannya mengenai persoalan
agama, politik dan sosial,48
terutama yang tertuang dalam karyanya yang berjudul
Quran Liberation And Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Agains Oppression (England: Oneworld, 1997). Bahkan beberapa kali
ia pernah datang ke Indonesia dalam rangka mensosialisasikan pemikiran-
pemikirannya tersebut, salah satunya datang ke Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tanggal 23 Maret 2001. Ia dilahirkan di South Road, Cape
Town, Wynberg, Afrika Selatan, tahun 1959,49
dan dibesarkan di Bonteheuwel,
Cape Flats. Ia tinggal bersama ibu dan kelima saudara laki-lakinya. Ia adalah anak
ketiga dari perkawinan ibunya yang kedua. Namun ayahnya meninggalkanya
ketika ia baru mencapai usia tiga minggu sehingga ibunyalah yang mengurus
semua keenam anaknya, sedangkan tiga saudara laki-lakinya yang lain adalah
hasil dari pernikahan ibunya yang pertama. Namun pernikahan pertama ibunya
kandas ketika anak ketiganya baru berusia tiga bulan.50 Menurut Esack, inilah
48
Farid Esack. On Being A Muslim: Menjadi Muslim di Dunia Modern. Penerjemah Dadi
Darmadi dan Jajang Jamroni (Jakarta: Erlangga, 2004), h. xii. 49
The Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack,” artikel diakses tanggal 10
September 2007 dari http://www.hsf.org.za/%23article_view.asp?id=34 50
Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme.
Penerjemah Watung A. Budiman (Badung: Mizan, 2000), h. 24.
kebetulan-kebetulan serba tiga yang cukup untuk mendorong orang pada
trinitarianisme.51
Menurut Esack peranan agama dalam seluruh lapisan masyarakat Afrika
Selatan sangat memainkan peranan penting. Bahkan sistem apartheid yang
diberlakukan oleh pemerintahan tersebut pun disebabkan atas nama dan terkadang
dukungan kitab suci agama. Salah satunya adalah umat Kristen. Tidak sedikit
mereka dengan kitab sucinya ikut mendukung tindakan tersebut, tapi tidak
seluruhnya karena ada juga organisasi, seperti Christian Institute atau individu-
individu, seperti pendeta Theo Kotze dan Beyers Naude yang tidak ikut
mendukung tindakan tersebut.52
Bonteheuwel, Cape Flats, tempat Esack dibesarkan adalah salah satu
bentuk pemberlakuan sistem apartheid. Daerah tersebut merupakan daerah
pembuangan bagi orang kulit hitam, keturunan India dan kulit berwarna, dan
merupakan daerah yang tanahnya paling tandus yang berada di Afrika Selatan.
Tidak ada apa pun di sana, selain terdapat bukit-bukit pasir dan pohon Port
Jackson. Di sanalah Esack dan keluarganya beserta sekian banyak penduduk
tinggal. Mereka dipaksa pindah ke daerah tersebut oleh Akta Wilayah Kelompok
(Group Areas Act) ketika pada tahun 1961 daerah mereka, Milford Road,
dideklarasikan sebagai kawasan kulit putih (South Road White).53
Pengusiran tersebut menurut Esack adalah salah satu bentuk pemberlakuan
sistem apartheid yang sangat menghancurkan dan menyengsarakan kehidupan
51
Rasisme, kapitalisme, dan patriarkhi. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 7. 52
Esack, Membebaskan yang Tertindas h. 27. 53
Farid Esack, On Being A Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural.
Penerjemah Nuril Hidayah (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h.187. Lihat juga Esack, Membebaskan
yang Tertindas, h. 24.
mereka. Dua juta orang manusia tidur di lantai, tanah berdebu, dan tumpukan
jerami. Mereka tertidur dalam keadaaan perut kosong. Terkadang untuk
mengenyangkan perut, mereka terpaksa mencampur pasir dengan tepung.54
Bahkan kekejaman yang dilakukan oleh rezim apartheid tidak itu saja, pada tahun
1980-an, orang kulit hitam yang jumlahnya hampir tiga perempat total populasi,
hanya mendapat seperempat dari pendapatan nasional. Sementara orang kulit
putih yang jumlahnya hanya seperenam total populasi, memperoleh hampir dua
pertiganya. Jutaan orang penganggur, tidur dimana saja. Mereka tertidur dengan
perut kosong, dan bangun tanpa ada yang bisa dimakan. Jika keesokan hari
mereka mencari-cari kerja, kemudian tidak mendapatkanya, maka ketika pulang,
mereka mencari-cari sesuatu di tempat sampah yang kira-kira bisa dikunyah.55
Selama Esack dan keluarganya tinggal di daerah pengusiran, kehidupan
mereka tak jauh berbeda dengan yang lainnya, sangat mengkhawatirkan. Apalagi
jika musim dingin tiba. Jika Esack dan kakaknya hendak pergi ke sekolah, mereka
harus berlari agar kaki mereka tidak sempat membeku karena mereka tidak
memakai alas kaki, dan biasanya pada musim itu, tidak ada makanan di rumah
sehingga terpaksa mereka harus memungut sisa apel yang dibuang di jalanan atau
pun di selokan. Jika mereka tidak menemukannya, maka terpaksa mereka harus
berkeliling rumah mengetuk pintu untuk meminta sepotong roti.56
Beruntunglah tetangganya, Nyonya Ellen Batista yang selalu membantu di
masa-masa sulit mereka selama mereka tinggal di tempat pengusiran. Ia selalu
memberi mereka secangkir gula, minyak ikan, atau pinjaman uang. Terkadang ia
54
Esack, On Being A Muslim, h. 33. Lihat juga, Esack, Membebaskan yang Tertindas, h.
24. 55
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 24 56Esack, On Being A Muslim, h. 219.
hanya sekedar teman berbincang ibunya, sedangkan tetangganya yang lain adalah
Tuan Frank. Dia adalah orang yang selalu memberi perpanjangan waktu
pembayaran pinjaman uang kepada mereka, yang seolah tanpa akhir.57
Sebenarnya ibu Esack bekerja. Namun pekerjaannya tidak bisa mencukupi
kebutuhan hidup beserta keenam anaknya. Walaupun ia bekerja dari pagi buta
hingga malam gelap.58
Bahkan mulai sejak kecil pun ibunya sudah bekerja di
sebuah binatu Wynberg. Namun upah mingguannya amat kecil. Perjalanan yang
ia tempuh menuju tempat pekerjaannya pun sangatlah jauh. Ia harus berlari
mengejar kereta di pagi hari, jauh sebeum fajar menyingsing, di saat para
mandornya masih asyik menikmati kopi hangat dan membaca koran pagi. Yang
dipedulikan para bosnya, hanyalah produksi, produksi, dan produksi. Tidak ada
waktu untuk istirahat. Kalaupun ada, hanyalah sekotak kecil coklat di Hari Natal.
Itupun hanya sebagai pengganti bonus istirahat.59
Sebenarnya, sebagian anak-anaknya yang lain membantu pekerjaan
ibunya. Namun tugas-tugas mereka hanya sebatas mencuci, membersihkan rumah,
dan menyeterika. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang berat tetap dipikul oleh
ibunya karena menurut tradisi mereka, pekerjaan berat bukanlah panggilan utama
bagi hidup laki-laki. Laki-laki adalah sultan dalam keluarga, dan merupakan
syahadat yang harus selalu diikuti oleh tradisi mereka.60
Ibunya meninggal dalam
57
Mereka adalah tetangga Esack yang berlainan agama dengannya di tempat pengusiran,
South Road Wynberg, Cape. Nyonya Ellen Batista adalah seorang Katolik yang taat, juga sahabat
ibunya. sedangkan Tuan Frank adalah berdarah Yahudi dan Tahiroh. Dia berprofesi sebagai
tukang kredit. Kemudian teman sekolah dasarnya adalah seorang gadis Baha’i yang orang tuanya
melarang anak tersebut untuk membicarakan agamanya kepada siapa pun. Esack, Membebaskan
yang Tertindas, h. 25. 58
Esack, On Being A Muslim, h. 188. 59
Esack, On Being A Muslim, h. 187. 60
Mengenai sistem patriarki di Afrika Selatan sangatlah kuat, hal tersebut terlihat dalam
pemikiran mereka mengenai kepemerintahan: perempuan boleh memerintah jika mereka mampu,
usia lima puluh dua tahun, tepat sebelum Hari Raya ‘Id. Pada saat ibunya
meninggal, ibunya sedang bekerja sebagai tukang seterika di Parow.61
B. Latar Belakang Intelektual Farid Esack
Esack dididik di sekolah berdasarkan Pendidikan Nasional Kristen yang
mempunyai sebuah ideologi keagamaan konservatif. Tujuan pendidikan mereka
adalah untuk membentuk warga apartheid yang patuh dan takut pada Tuhan.62
Sebagaimana tradisi di Cape Town, sejak usia dini ia dikirim oleh ibunya
ke madrasah dan berpindah-pindah dari satu madrasah ke madrasah yang lain.
Sampai kemudian ketika usianya mencapai dua belas tahun ia bertemu dengan
Boeta Samodin Friseslar, gurunya di sekolah baru. Di sekolah tersebut, Esack
mendapat pengalaman yang melukai hatinya, yaitu ditertawakan oleh teman-
temannya saat membaca al-Quran di depan kelas karena ia tidak bisa
membedakan antara alif dan ba. Padahal menurut pendapatnya, ia sudah bisa
membaca, meskipun surat-surat pendek di bagian akhir al-Quran. Bahkan di
sekolah lamanya, ia adalah termasuk anak yang paling pandai di antara teman-
temannya. Maka, setibanya di rumah, Esack menceritakan peristiwa tersebut
kepada ibunya sambil memperlihatkan buku kaidah membaca al-Quran yang ia
beli dari gurunya tersebut. Kemudian ibunya berkonsultasi dengan bibinya yang
juga guru di sebuah madrasah. Namun menurut bibinya, buku tersebut tidak baik.
Dengan alasan tersebut, keesokan harinya, Esack tidak kembali lagi ke sekolah
sementara untuk laki-laki tidak ada prasarat “jika mampu” karena dengan gender laki-laki sudah
cukup memenuhi persyaratan untuk jadi penguasa dalam pemerintahan tersebut. Esack, On Being
A Muslim, h. 189. 61
Esack, On Being A Muslim, h. 219. 62Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 25.
tersebut. Sebenarnya lebih jauh, menurut Esack karena buku tersebut adalah milik
Ahmadiyah Qodaniyah63 yang keberadaan mereka dianggap bid’ah oleh
kebanyakan Muslim lainnya.64
Sejak kanak-kanak sampai remaja Esack sudah dianggap alim oleh
masyarakat Muslim sekitarnya. Saat masih sekolah, ia pernah menjadi guru
madrasah, dan ketika dewasa, ia menjadi wakil masyarakat yang mengelola
masjid. Bahkan, di saat usianya masih kecil, pada umur sembilan tahun, demi
kecintaannya pada Islam ia sudah bergabung dengan Jama’ah Tabligh. Namun
secara formal, ia bergabung dengan jama’ah tersebut pada usia sepuluh tahun.
Semua hari libur dan akhir pekan ia habiskan dengan jama’ah tersebut selama
sebelas tahun. Namun karena alasan absolutisme, akhirnya ia keluar, yakni yang
menyatakan bahwa “hanya kita, dan kegiatan kita yang penting dan bermakna”.
Sedangkan alasan lain adalah ia merasa bahwa selama bergabung dengan jama’ah
tersebut, spiritualitasnya hanya merupakan upaya menghindar dari kenyataan-
kenyataan yang tidak menyenangkan tentang dirinya.65 Namun ia juga tidak
menghindar untuk mengatakan bahwa ia merasa senang selama sepuluh tahun
berada dalam jama’ah tersebut.66
Ketika masih sekolah, Esack pernah ditahan oleh polisi keamanan karena
bergabung dengan Aksi Pemuda Nasional (National Youth Action) dan Asosiasi
Cendikiawan Kulit Hitam Afrika Selatan (South African Black Scholars
Association). Kedua organisasi ini menuntut adanya perubahan sosial politik
63
Ahmadiah Qodian adalah salah satu sekte yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad, yang menganggap bahwa ia adalah Nabi. Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Ahmad, Mirza
Ghulam,” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed., Ensiklopedi Islam, vol. I (Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve, 1997), h. 81. 64
Esack, On Being A Muslim, h. 83. 65
Esack, On Being A Muslim, h. 35. 66Esack, On Being A Muslim, h. 216.
radikal. Markas yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul, adalah gedung
Christian Institut, yang dipimpin oleh pendeta Theo Kotze. Pendeta Theo Kotze
sangat baik. Dialah yang memberikan fasilitas beribadah bagi para Muslim, dan
pendeta Theo jualah yang datang mengunjungi keluarganya setelah ia lepas dari
tahanan untuk menghibur dan meyakinkan keluarganya bahwa berurusan dengan
polisi sebenarnya merupakan suatu kehormatan.67
Setelah menyelesaikan sekolah madrasahnya, pada umur lima belas tahun
Esack mendapatkan beasiswa untuk belajar teologi selama delapan tahun (1974-
1982)68
di sebuah Institut Karachi, Pakistan, yang sebagian besar, menurutnya,
teramat konservatif, yang memandang jelek sesuatu yang berbau duniawi.69
Di
sana, Esack belajar di dua tempat yang berbeda, yaitu di Jama’ah Al-Islamiyah
dan Jama’ah ‘Alimiyah. Di Jama’ah Al-Islamiyah ia mendapat gelar BA dalam
hukum Islam, dan di Jama’ah ‘Alimiyah Al-Islamiyah ia juga mendapat gelar BA
dalam bidang teologi. Di sana juga ia mendapatkan gelar Maulana.70
Selain belajar di Pakistan, Esack juga pernah belajar hermeneutik di
Jerman dan teologi di Inggris selama beberapa tahun. 71
Ia mendapat gelar Ph.D-
nya dari University of Birmingham, Inggris dalam bidang Tafsir al-Quran dan
pernah tercatat sebagai associate professor dalam studi Islam di University of
Western Cape, Afrika Selatan.72
Selama belajar di Pakistan dan tetap aktif di Jama’ah Tabligh yang
dipimpin oleh Haji Bhai Padia, ia juga aktif terlibat dalam gerakan Islam Ittihad
67
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 26. 68
The Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack.” 69
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 27. 70
Irwandi, “Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack,” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002), h. 16. 71
Esack, On Being A Muslim, h. 19-20. 72Esack, On Being A Muslim, h. xiv.
Al-Tulaba Al-Muslimin (Persatuan Pelajar Muslim),73
dan sering ikut dalam
diskusi yang diadakan oleh kelompok pelajar Kristen yang bernama
Breakthrough,74kemudian bergabung bersama mereka, melibatkan para medis di
penjara pusat Karachi, dan mengajar di perkampungan kumuh Hindu dan Kriten,
serta merawat anak-anak terlantar di sebuah rumah75 hingga kemudian pada tahun
1970-an, dia diundang dan diminta oleh Norman Wray untuk mengajar Studi
Islam di sekolah yang ia pimpin.76
Selama delapan tahun tinggal di Pakistan dan bergaul dengan orang-
orangnya. Esack telah banyak menyaksikan penderitaan yang disebabkan oleh
agama, khususnya penderitaan yang dialami kaum minoritas Kristen oleh kaum
Muslim. Mereka dilecehkan secara secara sosial maupun agama.77
Padahal
73
Esack, On Being A Muslim, h. 19-20. 74
Breakthrough adalah kumpulan pemuda Kristen yang peduli dengan nasib kaum yang
tertindas dan yang berjuang menegakkan keadilan di Pakistan dengan iman mereka. Para
pendirinya adalah Norman Wray, Derrick Dean, Lucia Gomes, Kenny Fernandes. Esack, On Being
A Muslim, h. 18. 75Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 27-28. 76
Esack diminta untuk mengajar di Sekolah Menengah Teknik St. Patrick, Karachi. Dia
ditawari untuk mengelola studi Islam di Sekolah tersebut dan mentransformasikannya menjadi
suatu program diskusi perkemahan dan kegiatan darmawisata. Lihat Esack, On Being A Muslim, h.
16. 77
Secara sosial, mereka dilarang makan di café-cafe pinggir jalan. Mereka juga dilarang
minum dari sumber air kepunyaan kaum Muslim sehingga mereka, Kristen Punjab, harus berjalan
bermil-mil jauhnya demi mendapatkan air, padahal sumber air yang dimiliki kaum Muslim lebih dekat. Alasan kaum Muslim melakukan hal itu adalah karena mereka beragama Kristen ketika
peristiwa tersebut sampai ke telinga Jerman, maka Jerman membuatkan sumur untuk saudara
mereka sesama Kristen di Pakistan. Namun setelah sumur itu selesai dibangun, ternyata perlakuan
mereka sama persisnya seperti perlakuan kaum Muslim terhadap mereka. Bedanya yang mereka
balas adalah orang Hindu yang dekil dan lemah. Tindakan chauvinisme yang dilakukan oleh kaum
Muslim lainya adalah mereka menutup mata pada kebenaran. Anak seorang Kristen yang berusia
delapan tahun diadili dan di hukum mati di depan regu penembak ketika umurnya mencapai empat
belas tahun. Dia dituduh oleh teman sebayanya, seorang Muslim karena telah menulis kata-kata
penghinaan kepada Nabi. Padahal jelas-jelas anak Kristen itu tidak bisa menulis dan membaca.
Namun karena desakan dan kekuatan masa dari beratus-ratus tokoh agama serta pengikutnya,
pengadilan tidak bisa menyelamatkan anak tersebut karena mereka mengepung pengadilan dan menuntut hukuman mati. Jika para hakim tidak mengikutinya, maka mereka akan mengirimkannya
pula pada kematian. Alasan mereka menuntut hukuman mati adalah karena menurut mereka ada
konspirasi Kristen untuk menjatuhkan Islam. Setelah pengadilan selesai, kemudian beberapa
gereja dan sekolah yang dijalankan oleh penganut Kristen dibakar. Setelah itu sebuah
perkampungan Krstiani termasuk sebuah gereja diratakan oleh Buldozer. Pada beberapa desa yang
sebelumnya anak-anak Kristen diizinkan untuk bersekolah meskipun duduk secara terpisah di
mereka pun, umat Islam Pakistan pernah mengalami perlakuan tidak adil selama
berabad-abad oleh kaum Hindu kelas atas ketika mereka masih bersatu dengan
India, dan menjadi kaum minoritas.78 Namun pengalaman tersebut ternyata tidak
menyadarkan mereka untuk tidak berlaku adil terhadap mereka, kaum minoritas
Kristen. Perlakuan mereka sama buruknya, sebagaimana yang pernah dilakukan
kaum Hindu kelas atas terhadap mereka saat itu.79
Kasus serupa pun menurut Esack, pernah menimpa kaum minoritas
beragama di Afrika Selatan, tapi kebalikannya. Di Afrika Selatan, kaum minoritas
Muslimlah yang pernah mendapat perlakuan tidak adil oleh penguasa Kristiani
yang mayoritas, dan akibat pemberlakuan apartheid yang dijalankan oleh mereka,
hampir dua abad kaum minoritas Muslim mengalami penderitaan; perkawinan
mereka dianggap tidak sah dan dihinakan; kewarganegaraannya ditolak; mereka
juga tidak boleh memiliki tanah atau menetap di wilayah koloni, walaupun
mereka dilahirkan di sana; mereka juga melakukan kerja paksa tanpa dibayar;
dihukum sekehendak tuannya dengan cambuk dan dipenjara; mereka juga tidak
bisa keluar dari kampung halamannya tanpa izin, dan rumah-rumah mereka
dimasuki dan dijamah oleh polisi dengan sewenang-wenang.80
Menurut Esack, tindakan-tindakan buruk tersebut yang dilakukan oleh
kaum beragama karena ditopang oleh paham keagamaan mereka masing-masing
karena tidak yakin orang Muslim melakukan hal itu karena mereka Muslim,
belakang murid-murid Muslim dikeluarkan dari sejumlah sekolah. Lebih jauh lihat Esack, On Being A Muslim, h. 222-232.
78Pemisahan kedua daerah tersebut terjadi pada tahun 1948. Para penganut Hindu
mendirikan negara sendiri yaitu Republik India, sedangkan para penganut Islam mendirikan
Republik Islam Pakistan. Esack, On Being A Muslim, h. 222. 79
Esack, On Being A Muslim, h. 222-223. 80Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 74.
ataupun orang Kristen karena mereka Kristen,81
maka sekembalinya dari Pakistan,
tepatnya tahun 1982, untuk menyalurkan aspirasinya, ia bergabung dengan
Gerakan Pemuda Muslim (Muslim Youth Movement),82 tapi hanya sebentar karena
ternyata pemikiran Esack dengan organisasi tersebut, tidaklah cocok. Oleh karena
itu, untuk melanjutkan aspirasinya, pada Juni 1984, ia bersama temannya Adli
Jacobs, Ebrahim Rasool dan Syamiel Manie mendirikan Call of Islam.83
Di sana
mereka membangun kembali apresiasi yang baru terhadap al-Quran. Mereka
melakukan pembacaan ulang terhadap ajaran Islam, seperti bagaimana seharusnya
memaknai teks al-Quran dalam konteks perjuangan dan kebebasan dari eksploitasi
ekonomi, penindasan rasial, atau penindasan terhadap kaum wanita, dan
ketidakadilan politis yang dilakukan oleh rezim apartheid karena Esack percaya,
bahwa Tuhan telah dan sedang ikut dalam sejarah.84
Call, hanyalah satu dari sekian banyak organisasi berbasis agama yang
terlibat dalam perjuangan dalam Front Demokasi Bersatu (United Democratic
Front). UDF adalah organisasi pergerakan Muslim terbesar untuk kemerdekaan
yang berdiri pada tahun 1983. Organisasi ini paling aktif dalam memobilisasi
aktivitas perjuangan dalam menentang apartheid, diskriminasi gender, dan
pencemaran lingkungan, serta menggalang usaha antar iman.85
Selanjutnya untuk mendukung perjuangan tersebut, Call mengajak kaum
beriman dari semua golongan untuk bergabung membentuk solidaritas antar iman
dan berjuang bersama melawan apartheid tanpa memandang apakah ia beragama
81
Esack, On Being A Muslim, h. 223. 82
MYM adalah gerakan pemuda Muslim yang didirikan pada 1670. 83
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 79. 84
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 31-32. 85Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 29.
Islam atau bukan karena mereka pun, baik itu dari golongan Kristen, Yahudi atau
Islam sama-sama mengalami penindasan dan telah menumpahkan darah yang
disebabkan oleh kebrutalan apartheid, maka apa salahnya jika para penganut
berbagai agama itu bergabung dan berjuang bersama menentang apartheid.86 Oleh
karena itu, peranan Call dalam konteks Afrika Selatan yang apartheid paling
signifikan dalam membujuk kaum Muslim lainnya untuk berjuang bersama-sama
dengan para penganut agama lain dalam menghancurkan apartheid karena
apartheid pun dilarang oleh agama, dan menerima secara tanpa ragu mereka,
kaum Kristen atau Yahudi sebagai saudara dan kaum beriman.87
Apartheid menurut Esack jelas-jelas telah melanggar al-Quran karena telah
dengan sengaja memilah-milah dan memecah orang secara etnis, yang berarti
telah menolak kesatuan umat manusia yang merupakan refleksi tauhid, “manusia
adalah bangsa yang satu” (Q.S. al-Baqarah/2: 213), sedangkan orang yang telah
mempraktikannya menurut Esack termasuk syirk.88
Namun sangat disayangkan ajakan Call tersebut ditentang oleh kaum
konservatif Muslim lainnya. Ternyata hidup berdampingan dengan penganut
agama lain meski sama-sama tertindas, menurut Esack, tidak cukup mengubah
86
Ketika sembilan belas pemimpin agama dijebloskan ke sel-sel di Pengadilan Tinggi
Wynberg karena telah melanggar larangan memasuki kota Kulit Hitam Gugulethu, pengalaman
tersebut telah menjadikan pengalaman penting bagi antar agama di Afrika Selatan. Pasalnya, di
sana mereka dari berbagai penganut agama telah mengalami dialog pada tataran tertinggi, dan
hanya dalam delapan jam, kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara mereka selama bertahun-
tahun pun luluh. Mereka sama-sama menemukan komitmen bersama pada dan kebutuhan akan
Tuhan. Kemudian Allan Boesak pemimpin Kristen membacakan kitab suci, Pendeta Lionell Louw
memimpin koor bersama, Hassan Solomon berdoa dan Esack sendiri berkhutbah dan selanjutnya
mereka semua bersatu bahu-membahu mengupayakan masyarakat yang adil. Yakni di antaranya
adalah dengan melakukan berbagai aksi jalanan dan kehadiran pendeta-pendeta di pertemuan Call dan ulama-ulama Islam di gereja-gereja, serta sejumlah besar layanan antar iman, memperkuat
citra antar agama dalam menentang penindasan di Afsel. Sebagai simbol komitmen keterlibatan
mereka, mereka membentuk World Conference Religion and Peace (WCRP) cabang Afrika
Selatan pada Agustus 1984. Lihat Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66. 87
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66-67. 88Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 130.
seseorang untuk hidup bersama dalam damai. Apalagi pengembangan rasa hormat
pada keanekaragaman agama bisa dipastikan tidak akan terjadi.89
Alasan mereka menentang dan menolak ajakan tersebut karena menurut
mereka, keikutsertaan orang-orang yang bergabung dengan solidaritas semacam
itu akan mengaburkan iman Islam seseorang. Bagi mereka, hanya pembebasan
melalui jalan Islamlah yang dapat berhasil karena Islam mempunyai jawaban
terhadap masalah-masalah di seluruh dunia, dan MYMlah menurut mereka, yang
pantas mewarisi kepemimpinan untuk membebaskan manusia dari pengekangan
manusia lain. Oleh karena itu, kaum Muslim punya hak untuk memimpin. Dengan
demikian, menurut mereka, orang-orang yang bergabung dengan komunitas
semacam, Call of Islam itu adalah kafir, arogan, penuh nafsu dan bathil.90
Maka dengan alasan itulah dalam tulisannya, Esack merumuskan kembali
isu-isu teologisnya yang mendasar mengenai istilah iman, islam dan kafir secara
sistematis. Diharapkan dengan adanya pembacaaan ulang terhadap istilah-istilah
tersebut, adalah mungkin untuk hidup dalam keimanan kepada al-Quran sekaligus
dalam konteks kekinian bersama orang-orang yang berbeda agama, bekerja
bersama mereka untuk membentuk masyarakat yang lebih manusiawi, terhindar
dari segala macam diskriminasi dan eksploitasi, dan bisa jadi untuk alasan itu
pula, Esack keluar dari MYM.91
Perubahan pemikiran Esack ke arah yang liberal tersebut, selain dari
pengalaman refleksi sosial dan pendidikannya, juga mendapat pengaruh yang
89
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 270-271. 90
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 68-79. 91Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 16.
kukuh dari beberapa tokoh pemikir progresif. Di antaranya adalah Paul Knitter,92
Gustavo Gutierrez,93 Juan Luis Segundo,94 Hassan Hanafi95 Amina Wadud,96
Abdullah Ahmed al-Na’im97dan Fatima Mernissi.98 Mereka adalah termasuk
orang-orang yang memiliki kerangka acuan yang sama dengan Esack dalam
92
Paul F. Knitter adalah seorang ahli studi agama dari Xavier University, Cincinnati,
Amerika Serikat. Ia banyak menulis dan melakukan riset tentang tema
pluralisme dan dialog antar agama dibeberapa negara. “Paul F. Knitter,” diakses tanggal 11
dari 2007 November -omfreed.www://http
224=id&diskusi=detail&kegiatan=page?php.index/id/org.instituteHalaman Utama » Pelayanan
Gereja 93
Gustavo Gutierrez adalah pastor dari Peru, lahir tahun 1928. Ia banyak menerbitkan
buku di antaranya adalah buku Teologia de la Liberacion pada 1971. buku tersebut yang telah
menginspirasi para uskup di Amerika Latin. “Gustavo Gutierrez,” diakses dari
http://fppi.blogspot.com/2007/07/teologi-pembebasan.htmlPerihal Teologi Pembebasan 94Juan Luis Segundo, S. J (lahir di Montevideo, Uruguay 31 Maret 1925-meninggal 17
Januari 1996) adalah seorang imam Yesuit dan teolog pembebasan. Ia menulis banyak buku
tentang teologi, ideologi, iman, hermeneutika, dan keadilan sosial. Ia juga merupakan teman
Gustavo Gutiérrez selama belajar di seminari-seminari Yesuit di Argentina, di Louvain, Belgia dan di Sorbonne. “Luis Segundo,” diakses tanggal 11 November dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Juan_Luis_Segundo 95
Hassan Hanafi lahir dari leluhur Berber dan Badui, Mesir pada 1935. Ia banyak terlibat
dalam aksi kehidupan nasional Mesir daripada kehidupan pribadi dan keluarganya. Ia pernah
masuk dalam organisasi al-Ikhwan al-Muslimun(IM). Ia juga Pernah menjadi mahasiswa teladan
pada jurusan Filsafat di Universitas Kairo, tapi dicabut statusnya karena dianggap telah
melecehkan sejumlah guru besarnya. Ia menciptakan metodologi dan teologi baru Islam dengan
pendekatan berdarkan rasionalias, yakni kontemporer filosofis yaitu suatu pendekatan
fenomenologi. Hassan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama
(Jakarta: Paramadina, 2003), h. xvi-xvii. 96
Amina Wadud adalah profesor pada Universitas Commonwealth di Richmond, Virginia,
lahir di Amerika Serikat tahun 1952. Ia adalah seorang Feminis Muslim Afrika-Amerika yang melakukan pendekatan historis terhadap al-Quran, yakni dengan cara mengkombinasikan bacaan-
bacaan gender di dalam al-Quran dengan pengalaman kaum perempuan Afrika-Amerika. Charles
Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global.
Penerjemah Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Penyunting E. Kusnadiningrat dan Din Wahid
(Jakarta: Paramadina, 2001), h. 185. 97
Abdullah Ahmed al-Na’im adalah seorang pemikir Muslim terkemuka asal Sudan-
Amerika Serikat lahir tahun 1946, dan dikenal luas sebagai pakar Islam dan HAM dalam
perspektif lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu-isu ketatanegaraan di negeri-negeri Islam
dan Afrika. Disamping isu-isu tentang Islam dan politik, dia juga menekuni riset-riset lain yang
difokuskan pada advokasi strategi reformasi. Ia mendapat gelar doktor di bidang hukum dari
Universitas Khartoum, Sudan dan dari Universitas Cambridge, Inggris serta dari Edinburgh, Skotlandia dalam bidang yang sama, hukum. Kurzman, Wacana Islam Liberal, h. 369.
98Fatima Mernissi adalah seorang Feminis Arab-Muslim, lahir di Maroko tahun 1940. Dia
merupakan generasi pertama perempuan Maroko yang mendapat kesempatan memperoleh
pendidikan tinggi. Dia kuliah di Universitas Muhammad V di Rabat, kemudian mendapat gelar
doktor dalam bidang sosiologi di Amerika Serikat tahun 1973. Kurzman, Wacana Islam Liberal, h.
156.
pencarian, peninjauan dan pembentukan hakikat dan peran agama demi keadilan
dan pluralisme keagamaan.99
C. Karya-Karya Farid Esack
Di antara gagasan-gagasan Esack yang berbentuk esai terdapat dalam
buletin-buletin: buletin bulanan al-Qalam yang diterbitkan di Afrika Selatan,100
Assalamualaikum yang diterbitkan di New York, dan Islamica yang diterbitkan di
London.101
Selain menulis esai, Esack juga menulis dalam bentuk buku. Jumlah buku
yang penulis temukan di media elektronik terdapat tujuh buah, yaitu: Quran
Liberation And Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
Agains Oppression, diterbitkan oleh Oneworld, Oxford, England tahun 1997; The
Struggle Islam and Politic, London tahun 1988; The Quran: A Short Introduction,
diterbitkan oleh Oneworld, Oxford tahun 2002; On Being a Muslim: Finding a
Religious Path in the World Today diterbitkan oleh Oneworld, Oxford, England
tahun 1999; The Quran: A User’s Guide, Oxford tahun 2005; But Musa Went to
Fir’aun!: A Compilation of Questions and Answers about the Role of Muslims in
the South African Struggle for Liberation; Children of Africa Confront AIDS:
From Vulnerability, Editor Stephen Howard, Ohio University Press tahun 2003.102
99
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 37-38. 100
Esack, On Being A Muslim, h. 16. 101
Esack, On Being A Muslim, h. 11. 102
Artikel diakses pada 10 September 2007 dari http:/en. Wikipedia,
org./wiki/farid_Esak/2007/1110
Sementara ini, terdapat dua buah buku yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, yaitu Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective
of Interreligous Solidarity Against Oppression dan On Being a Muslim: Finding a
Religious Path in the World Today, buku yang pertama diterjemahkan menjadi
Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme, penerjemah
Watung A. Budiman diterbitkan oleh Mizan, Bandung tahun 2000, sedangkan
buku yang keduanya telah diterbitkan oleh dua penerbit, yaitu oleh IRCISoD
tahun 2003 dan Erlangga tahun 2004. Yang diterbitkan oleh IRCISoD
diterjemahkan oleh Nuril Hidayah menjadi On Being a Muslim: Fajar Baru
Spiritualitas Islam Liberal-Plural. Sedangkan yang diterbitkan oleh Erlangga
diterjemahkan oleh Dadi Darmadi dan Jajang Jahroni menjadi On Being a
Muslim: Menjadi Muslim di Dunia Modern sekaligus, pengantar oleh Dadi
Darmadi dan Farid Esack sendiri. Namun dalam penulisan skripsi ini penulis
banyak merujuk pada buku yang telah diterbitkan oleh IRCISoD dari pada
Erlangga. Alasannya adalah karena penulis lebih dulu menemukan buku yang
telah diterbitkan oleh IRCISoD dari pada buku yang telah diterbitkan oleh
Erlangga.
Adapun mengenai isi kedua buku tersebut, merupakan hasil refleksi dari
perjalanan intelektual dan aktivitas Esack selama ia tinggal di Afrika Selatan dan
di berbagai negeri yang ia singgahi. Dalam bukunya yang pertama, di antaranya
adalah Esack lebih banyak berbicara dalam konteks Afrika Selatan, sedangkan
pada bukunya yang kedua, selain dalam konteks Afrika Selatan, ia juga bebicara
dalam konteks berbagai negeri, seperti India, Pakistan, dan Makkah.
Kemudian dalam bukunya yang pertama, Esack banyak menuliskan
gagasan-gagasan teologisnya yang sudah mapan, seperti bagaimana seharusnya
memaknai dan menggunakan istilah iman, islam, dan kafir agar terhindar dari
pemaknaan dan penggunaan yang sempit. Ia juga menjelaskan tentang pentingnya
perangkat hermeneutika dalam memahami al-Quran demi tercapainya keadilan
dan kesejahteraan, hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda agama
tanpa harus menjauh dari kitab suci, dan bukunya yang kedua, lebih berisi catatan-
catatan yang gamblang dan ringan, semacam catatan keseharian (diary) karena
penjelasan yang ia tulis lebih rinci lagi, seperti bagaimana ia mengomentari
ketidakadilan dan penderitaan yang ia lihat dan rasakan selama ia tinggal di
Afrika Selatan dan Pakistan. Kemudian kecurigaan-kecurigaan yang ia
pertanyakan dalam hatinya terhadap kebaikan di luar agamanya. Ia
mempertanyakan apakah adil jika Tuhan menempatkan tetangganya, nyonya
Batista atau tuan Frank dalam Neraka.103 Padahal mereka telah banyak membantu
dan meringankan beban penderitaan keluarganya di saat mereka kelaparan dan
tidak punya uang. Tidak itu saja, mereka juga adalah orang-orang yang taat dalam
beribadah.104
Bisa dikatakan buku yang keduanya ini, On Being a Muslim: Fajar Baru
Spiritualitas Islam Liberal-Plural sebagai pelengkap buku yang pertama,
Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme karena
penjelasannya saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Terkadang jika
orang membaca bukunya yang kedua kemudian tidak paham, maka ia bisa
103
Mengenai profil nama-nama tersebut, telah dijelaskan pada bagian latar belakang sosial
Farid Esack pada halaman 2 dari tulisan ini. 104Esack, On Being A Muslim, h. 219.
membacanya dan memahaminya pada buku pertama. Begitu pula sebaliknya jika
ia membaca buku yang pertama kemudian tidak memahaminya, maka dianjurkan
untuk membaca bukunya yang kedua.
Selanjutnya dalam buku The Quran: A Short Introduction, Esack
mengatakan, bahwa realitas mempunyai otoritas yang lebih penting dari pada
teks,105
dan dalam bukunya But Musa Went to Fir’aun!: A Compilation of
Questions and Answers about the Role of Muslims in the South African Struggle
for Liberation, Esack menjelaskan tentang pentingnya politik sebagai medium
untuk menyampaikan aspirasi serta mengubah stuktur eksploitatif melalui
prosedur-prosedur demokratis, untuk mengkampanyekan ide-ide perlawanan
terhadap rezim apartheid, ia tuliskan kisah-kisah para Nabi tentang perjuangannya
melawan penindasan dan ketidakadilan di masyarakatnya. Buku ini berukuran
kecil dan berisi tanya jawab hanya berjumlah 84 halaman karena sebenarnya,
buku ini ditulis untuk keperluan Call of Islam yang sedang gencar-gencarnya
mengkampanyekan perlawanan terhadap rezim Apartheid.106
105
“Esack Books,” diakses pada 10 September 2007 dari
http://books.goole.com/books?id=6 106Burhanudin, “Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif,” h. 29-30.
BAB III
PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA
Pada bab ini penulis akan menjelaskan pluralisme agama dalam perpektif
agama-agama; Islam dalam al-Quran, Hindu di antaranya dalam Bhagawad-Ghita,
Buddha dalam ajaran dhammanya dan Kristen dalam wahyu Allah dalam Kristus,
Matius, Yohanes dan metafora astronominya. Di bab ini pula penulis sedikit akan
menyinggung pembahasan mengenai alasan orang atau sekelompok orang yang
tidak menyetujui pluralisme agama yang terdapat dalam beberapa agama-agama.
Namun untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan pembahasan-pembahasan
tersebut sebagai berikut:
A. Pluralisme Agama dalam Perspektif Islam
Pluralisme agama dalam perspektif Islam tercantum dalam Q.S al-
Baqarah/2: 62107, Q.S. al-Maidah/5: 69108 dan Q.S. al-Hajj/22: 17109. Teks-teks
tersebut menjelaskan tentang pengakuan terhadap keanekaragaman agama-agama,
baik itu agama Yahudi, Sabi’in, Nasrani atau Najusi. Yang terpenting menurut
107
Terjemahannya: “Sungguh orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabi’in, siapa
saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat kebajikan, mereka
akan mendapatkan balasan mereka di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan
tidak pula mereka akan bersedih hati”. 108
Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in dan
Nasrani, siapa saja yang benar-benar beriman, kepada Allah dan Hari Kemudian, dan beramal
saleh, maka tak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” 109
Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabiin,
orang Nasrani, orang majusi, dan orang musyrik, Allah pasti memberi keputusan di antara mereka
pada hari kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala sesuatu”.
teks tersebut adalah beriman kepada Allah, Hari Akhir dan berbuat kebajikan,
mereka akan mendapatkan balasan di sisi Tuhan. Oleh karena itu, mereka tidak
perlu khawatir dan bersedih hati.110
Selain penjelasan tentang pengakuan terhadap keanekaragaman agama-
agama, pesan ketuhanan yang disampaikan oleh para nabi, sejak Ibrahim sampai
Muhammad adalah sama, yakni berserah diri kepada Tuhan. Hal tersebut
tercantum dalam Q.S. al-Anam/6: 108111
, Q.S. al-Syuro/42: 13112
, Q.S. al-Nisa/4:
131113
, Q.S. al-Baqarah /2: 132114
dan Q.S. Ali Imran/3: 85115
, sedangkan Q.S al-
Baqarah/2: 256116
menjelaskan legitimasi tidak ada paksaan dalam beragama.117
Salah satu tokoh muslim Indonesia yang mendukung gagasan tersebut
adalah Nurcholis Madjid (1939-2005), atau yang sering disapa Cak Nur.
Pluralisme menurutnya, adalah sistem nilai yang memandang secara positif-
110
Jalaluddin Rakhmat, “Menundukkan Makna Pluralisme Agama,” Buletin Kebebasan
V, no. 3 (Mei 2007), h. 22. 111
Terjemahannya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah
selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat mengangap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada tuhan tempat kembali mereka, lalu dia akan memberitahukan kepada mereka
apa yang trelah mereka kerjakan. 112
Terjemahannya: “Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa
yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan
ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memiliah orang yang
dia kehendaki kepada agama tauhid dan dan memberi petunjuk kapada (agama)-nya bagi orang
yang kembali kepada-Nya”. 113
Terjemahannya: “dan milik Allahlah apa yang ada di langit baik yang di bumi dan
sungguh kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab sebelum kamu dan jiga
kepadamu gar bertaaqwa kepada Allah”. 114
Terjemahannya: “Dan Ibrahim mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya,
demikian pula Yakub “wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini
untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim”. 115
Terjemahannya: “Siapa saja yang mencari din selain Islam dia tidak akan diterima dan
diakhirat ia temasuk orang yang rugi. 116
Terjemahnnya: “Tidak ada pakasaaan dalam din, sesunguhnya telah jelas perbedaan
antar jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada tagut dan beriman kepada
Allah, maka sungguh ia telah berpengang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Allah Maha
mendengar, Maha mengetahui”. 117
Usman, Fatimah, Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama (Yogyakarta: LkiS,
2002), h. 36.
optimis terhadap kemajemukan dengan menerimanya sebagai kenyataaan dan
berbuat baik sesuai dengan kenyataan itu,118 dan tidak boleh hanya dipahami
sebagai bentuk kemajemukan, beraneka ragam terdiri dari berbagai suku dan
agama, tapi hal tersebut harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan ia mengatakan, hal tersebut merupakan
keharusan bagi keselamatan umat manusia119
karena merupakan sebuah aturan,
sunatullah120
yang tidak akan berubah sehingga tidak mungkin dilawan atau
diingkari, dan Islam adalah agama yang kitab sucinya dengan tegas mengakui
hak-hak agama lain.121
Bangunan epistemologi Cak Nur tentang pluralisme diawali dengan
tafsiran al- Islam. Al-Islam menurutnya adalah sebagai sikap pasrah terhadap
kehadiran Tuhan. Kepasrahanlah yang menjadi karakteristik pokok semua agama
yang benar. Karakter tersebut dalam al-Quran diistilahkan dengan kalimatun
sawâ, titik temu, ajaran bersama yang menjadi titik pertemuan, common platform
antar berbagai kelompok manusia, dan hal tersebut menurutnya telah diisyaratkan
dalam Q.S. Ali Imran/3: 64.122
118
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2000), h. Ixxv. 119
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman
(Jakarta: Paramida, 2001), h. 31. 120
Sunatullah adalah hukum Allah yang tidak pernah berubah dan bersifat pasti.
Tercantum dalam Qs. Fathir/35: 43: “Karena kesombongan mereka di muka bumi dan karena
rencana mereka yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang
merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan berlakunya kepada
orang-orang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah
Allah dan sekali-kali tdak pula tidak akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 176.
121Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ixxvii- Ixxviii.
122Terjemahannya: "Katakanlah (Muhammad) wahai Ahli Kitab marilah kita menuju
kepada satu kalimat yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah
dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan bahwa kita tidak menjadikan satu
sama lain Tuhan-Tuhan selain Allah". Lihat Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 184-188.
Dalam al-Islam terkandung dua makna yaitu al-Istislam (sikap berserah
diri) dan al- Inqiyad (tunduk patuh).123 Kedua makna tersebut mengacu kepada
sikap penuh pasrah dan berserah diri serta tunduk dan patuh kepada dzat yang
Maha Esa yaitu Allah dan tiada serikat bagi-Nya.124
Hal tersebutlah menurut Cak Nur, intisari ajaran agama yang benar disisi
Allah. Tanpa sikap tersebut, menurutnya, suatu keyakinan keagamaan akan tidak
memiliki kesejatian, sekalipun secara sosiologis dan formal kemasyarakatan
seseorang beragama Islam. Ia tetap akan tertolak,125
dan hal tersebut telah
disampaikan oleh para nabi kepada umatnya, meskipun syariatnya berbeda-
beda.126
Pendapat Cak Nur tersebut disambut baik oleh Romo Magnis.127
Dalam
tulisannya ia menyatakan dukungan atas dobrakan Cak Nur yang menyatakan
bahwa istilah Islam tidak ditujukan kepada orang yang secara formal menjadi
anggota agama Islam, melainkan sikap orang yang menyerahkan hatinya dengan
tulus kepada yang Ilahi sesuai dengan keyakinan agamanya, itulah orang Islam,
maka implikasinya, siapa saja yang menyerahkan hatinya dengan tulus kepada
123Ia mengutip pernyataan Ibn Taymiyah (1263-1328) mengenai pengertian al-islam.
Menurut bn Taymiyah, perkataan al-islam mengandung pengertian al-istislam (sikap berserah diri)
dan al-inqiyad (tunduk patuh) serta al-ikhlash (tulus). Ia juga menyatakan bahwa “Pangkal agama
yaitu al-islam, itu satu, meskipun syariatnya bermacam-macam, maka Nabi Muhammad bersabda
dalam hadis shahih, “kami, golongan para nabi, agama kami adalah satu, dan para nabi itu
bersaudara tunggal, ayah dan lain ibu bersaudara”. Lebih jauh lihat Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban, h. 181-182. 124
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 182. 125Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 182. 126
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 2-3. 127
Nama lengkapnya adalah Franz Magnis-Suseno. Ia adalah rohaniawan yang lahir tahun 1936 di Eckersdorf, Jerman, dan sejak tahun 1961 hidup di Indonesia. Ia adalah guru besar Filsafat
Driyarkara di Jakarta dan guru besar luar biasa di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Ia
juga adalah salah satu teman dekatnya Cak Nur (almarhum). Selain ia seorang rohaniawan, ia juga
adalah seorang penulis yang sangat produktif. Telah banyak karangan ilmiah dan populer yang ia
tulis, mulai dari etika, sosial, sampai filasafat. Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 283.
yang ilahi, dia akan masuk surga. Dengan demikian, menurut Romo Magnis, Cak
Nur telah memperlihatkan bahwa paham keselamatan Islam bukan eksklusif,
seperti lazimnya anggapan umat Islam, melainkan inklusif sekaligus pluralis.
Oleh karena itu, orang Kristiani, Yahudi, Budha, Hindu, Konghucu dan penganut
agama lain dapat masuk surga, asal mereka menyerahkan diri pada Yang Ilahi.128
Adapun perbedaan pendapat yang terjadi kemudian antara sesama kaum
beriman, menurut Muhammad Asad, adalah akibat dari kebanggaan sektarian dan
saling menolak karena pada mulanya, intisari yang terkandung dalam agama
adalah paham kemahaesaan Tuhan. Bagi Asad, satu-satunya agama yang benar
dalam penglihatan Tuhan adalah sikap berserah diri manusia kepada-Nya.129
Menurut Cak Nur, jika berselisih, maka harus selalu diusahakan ishlah
karena kitab suci telah mengajarkan prinsip bahwa semua orang yang beriman
adalah bersaudara dan jika berselisih maka harus selalu diusahakan ishlah.130
Terlebih lagi al-Quran menegaskan, bahwa siapa pun dapat memperoleh
keselamatan asalkan dia beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berbuat
baik, akan mendapat keselamatan tanpa memandang apakah dia keturunan
Ibrahim atau bukan.131
Beriman kepada Allah adalah mempercayai
kualitas-Nya sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian atau ketuhanan dan
sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa kepada sesuatu apa pun
128
Franz Magnis-Suseno, “Terima Kasih, Cak Nur, Kesaksian Intelektual,” dalam
Muhammad Wahyuni Nafis dan Ahmad Rifki, ed., Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian
Sang Guru Bangsa (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 102-103. 129
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 183-184. 130
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. xii. 131Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 187-188.
yang lain sehingga konsekuensi dari percaya kepada Allah, adalah harus bersandar
dan menggantungkan harapan hanya pada-Nya (tawakal).132
Iman menurut Cak Nur, tidak hanya sekedar percaya karena setan pun
percaya kepada Tuhan. Bahkan iblis sempat berdialog dan berargumentasi
langsung dengan Tuhan. Sikap hidup yang memandang Tuhan sebagai tempat
menyandarkan diri dan menggantungkan harapan yang menjadikan Tuhan satu-
satunya arah dan tujuan kegiatan hidup dengan jalan ridla dan lillahita’ala adalah
wujud dari iman,133
sedangkan yang dimaksud dengan kategori perbuatan baik
adalah amal saleh dan budi luhur. Amal saleh adalah setiap tingkah laku pribadi
yang menunjang usaha mewujudkan tatanan hidup sosial yang teratur dan
berkesopanan, dan budi luhur adalah konsekuensi nyata dari taqwa.134
Taqwa adalah kesadaran ketuhanan yang bersifat monoteisik, yaitu
kesadaran tentang adanya Tuhan yang Maha Hadir dalam hidup. Pengertian
mendasarnya adalah sejajar dengan pengertian rabbâniyyah (semangat ketuhanan)
sehingga dengan kesadaran tersebut mendorong seseorang untuk berbuat sesuai
dengan hati nuraninya dan menempuh hidup mengikuti garis yang diridlai-Nya
dan sesuai dengan ketentuan-Nya karena pada dasarnya takwa berasal dari
semangat ketuhanan. Dalam konteks sosial bentuknya, seperti zakat. Terlebih lagi
Nabi Muhammad mengatakan bahwa yang paling banyak memasukkan seseorang
ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan budi luhur.135
132
Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 4 -5. 133
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 94. 134
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 45. 135Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 45.
Namun tentunya ada juga dari beberapa golongan kaum eksklusif136
yang
tidak sependapat dengan pemahaman Cak Nur tersebut. Menurut golongan ini,
pengertian Islam hanyalah untuk nama sebuah agama yakni agama Islam. Makna
islam menurut golongan ini adalah sebatas bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad dalah utusan Allah, menegakkan shalat, zakat, sahaum
ramadan, dan haji ke Baitullah jika mampu.137
B. Pluralisme Agama dalam Perspektif Hindu
Pluralisme agama dalam perspektif Hindu terdapat dalam sanata dharma,
yakni yang menyatakan, bahwa kebajikanlah yang harus jadi dasar
kontekstualisasi agama dalam situasi apa pun sehingga agama menjadi selalu
memanifestasikan diri dalam bentuk etis dan keluhuran hidup manusia.138
Pandangan tersebut telah dijelaskan dalam agama Hindu Klasik sejak
agama ini lahir. Alasannya adalah karena menurut agama tersebut, seluruh segi
dunia berasal dari satu leluhur yang sama. Oleh karena itu, tidak diperlukan
persamaan, baik itu berupa bunyi, bentuk, jumlah, warna, atau gagasan, termasuk
agama yang bermacam-macam tersebut.139
Bagi agama Hindu, agama haruslah dipahami sebagai perspektif-perspektif
yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan, maka dengan adanya paham
tersebut, agama Hindu mengajarkan keharusan bersikap toleran dan terbuka
136Golongan eksklusif adalah golongan yang tidak menerima keberadaan agama lain.
Mereka menganggap bahwa keselamatan hanya ada pada agamanya sendiri. Lihat, Budhy
Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 44.
137Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram Fatwa MUI Yang Tegas Dan Tidak
Kontroversial (Jakarta: Pustaka al Kaustar, 2005), h. 100. 138
Sukidi, New Age Wisata Spiritual Lintas Agama (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 28. 139
Harold Coward, Pluralisme:Tantangan bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco
Carvallo (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 117.
terhadap agama-agama lain. Bahkan dalam agamanya sendiri, dituntut adanya
toleransi yang besar untuk merangkul semua sekte karena makin banyak segi Ilahi
yang dapat diamati, maka makin sempurnalah pemahaman kita.140
Pada dasarnya agama tersebut sudah memperkirakan adanya perbedaan
mengenai yang Ilahi. Hal tersebut terlihat dalam penjelasan mengenai pengertian
tentang konsep. Menurut ajaran ini, setiap konsep adalah benar dalam
perpektifnya sendiri. Artinya setiap pandangan merupakan suatu kesimpulan logis
yang didasarkan pada praanggapan pada perspektifnya sendiri. Dengan demikian
karena keterbatasan manusiawi, terpaksa manusia harus memilih salah satu bentuk
dari sekian banyak bentuk untuk menyalurkan apresiasi kecintaanya pada Yang
Ilahi.141
Terdapat dua perspektif pluralisme agama dalam agama Hindu, yakni
yang membiarkan eksistensi agama-agama dan yang menyatukan agama-agama.
Yang mengakui eksistensi agama-agama, selain Hindu Klasik adalah
Radhakrishnan.142 Ia mengatakan bahwa agama tidak harus sama dengan suatu
wahyu yang akan kita capai dalam iman sebagai suatu upaya untuk
menyingkapkan lapisan-lapisan terdalam keberadaan manusia dan menjalin
hubungan abadi dengan-Nya. Menurutnya, agama-agama yang berbeda harus
mengembangkan semangat saling mengerti dan menerima kultus-kultus mengenai
kelompok lain. Yang Nyata ada satu. Yang berpengetahuan menyebutnya dengan
bermacam-macam nama: Agni, Yama, Matarisvan, sebagaimana yang dikatakan
140
Coward, Pluralisme, h. 117-118. 141
Coward, Pluralisme, h. 118. 142
Radhakrishnan adalah seorang filosof dan apologi Hindu. Dia lahir tahun 1888 di India
Selatan. Dia juga merupakan profesor agama-agama timur dan budaya, dosen filsafat di Mysore
Calkuta dan di Universitas Hindu Banares. “Radhakrishnan” dalam Paul Edwards, ed., The
Encyclopedia of Philosophy, vol. VII-VIII (New York: Collier Macmillan, 1967), h. 62
dalam Upanisad, Brahman ada satu; dewa-dewa yang beda hanyalah perwujudan
bermacam-macam aspek dari Brahman.143
Sikap demikian juga dinyatakan jelas dalam Bhagawad-Ghita, bahwa
Yang Ilahi menerima orang-orang yang datang kepada-Nya melalui jalan agama
yang berbeda-beda, dan agama Hindu menurutnya telah menyesuaikan dirinya
dengan rahmat yang tak terbatas untuk setiap kebutuhan manusia tersebut. Agama
ini mempunyai sikap simpati dan hormat sehingga agama ini tidak segan-segan
menerima setiap segi Allah yang dipahami manusia. Sikap tersebut telah mampu
menyatukan keanekaragaman agama. Agama ini juga menyatakan bahwa masalah
agama adalah masalah kepuasan pribadi. Syahadat dan dogma, kata dan lambang,
hanya berfungsi sebagai alat karena bagi ajaran ini, nama yang digunakan untuk
menyebut Allah dan upacara yang dilakukan untuk mendekati-Nya bukanlah
persoalan. Selain mengutip Bhagawad-Ghita, Radhakrishnan pun membenarkan
apa yang telah diucapkan oleh Yesus yang mengatakan bahwa orang yang
melakukan kehendak Allah adalah saudara-saudari-Ku dan ibu-Ku.144
Bagi Radhakrishnan, keabsahan setiap agama terdapat dalam nilainya
sebagai alat, yaitu jika setiap agama memungkinkan pengikutnya mencapai
kebahagiaan. Kebahagian adalah letak keabsahan dari sebuah agama. Letak
keabsahan orang Hindu terletak kepada melagukan Veda di tepi sungai Gangga,
sedangkan bagi orang Cina dengan merenungkan ajaran-ajaran Konghuchunya,
bagi orang Jepang adalah memuja patung Budha bagi orang Eropa adalah percaya
143
Coward, Pluralisme, h. 137. 144Coward, Pluralisme, h. 138-139.
pada Kristus, bagi orang Arab membaca al-Quran, dan bagi orang Afrika adalah
memuja Fetis.145
Fakta tersebut merupakan penegasan setiap agama atas keabsahannya,
bahwa hanya melalui agama yang bersangkutan para pengikutnya menemukan
diri. Lebih jelasnya Radhakrishnan ingin mengatakan, bahwa pembebasan
manusia itu beraneka ragam sesuai dengan sifat dan latar belakang budayanya.
Agama Kristen sangat cocok untuk orang Eropa yang baginya tradisi lain seperti
agama Hindu atau Budha sama sekali tidak cocok.146
Lebih lanjut Radhakrishnan menjelaskan, bahwa kepercayaan terhadap
satu agama, akan membunuh kepercayaan terhadap agama-agama lain karena
tindakan tersebut cenderung berusaha memaksakan iman pada orang lain, dan
hanya akan merampok kekayaan agama, yakni keanekaragaman jalan menuju
Allah, dan tentu saja ajaran tersebut bertolak belakang dengan ajaran Hindu yang
mengakui kebenaran yang beragam pada setiap agama.147
Dengan demikian pemecahan masalah pluralisme keagamaan, menurut
Radhakrishnan, bukanlah dengan menghancurkan atau menghilangkan tradisi-
tradisi agama individu, melainkan dengan menegaskan dan menghormati
kepercayaan dari orang lain karena baginya tradisi adalah merupakan kenangan
masyarakat akan jalan dan sarana yang mereka gunakan untuk mencapai
pembebasan.148
Berbeda dengan Radhakrishnan, adalah Kabir dan Namdev, mereka adalah
dua orang Hindu sejati yang memadukan ajaran agama Islam dan Hindu. Kabir
145
Coward, Pluralisme, h. 139. 146
Coward, Pluralisme,, h. 139. 147
Coward, Pluralisme, h. 140. 148Coward, Pluralisme, h. 140.
mengatakan bahwa Allah yang sama yang dicari dalam semua agama, yang
berbeda hanya cara menamakan-Nya. Beberapa ajaran yang diambil dari ajaran
Islam di antaranya adalah menjauhkan diri lambang-lambang kehidupan agama
termasuk kasta, berhala-berhala dan praktek-praktek ziarah termasuk penolakan
terhadap pemujaan berhala-berhala.149
Selain Namdev dan Kabir adalah Nanak. Ia adalah seorang penganut
Hindu yang menyatukan ajaran Islam dan Hindu, menjadi agama Sikh. Namun
latar belakang kebijaksanaannya lebih banyak dipengaruhi oleh agama Hindu. Ia
menyatakan bahwa kegiatan kasih sayang dan penuh semangat dituntut dari
semua orang. Allah adalah yang mutlak tanpa bentuk (nirguna) dan sekaligus
adalah realitas yang terwujud (saguna).150
Selanjutnya adalah Keshub Chunder Sen. Ia adalah seorang penganut Hindu
yang memadukan ketiga ajaran agama menjadi satu, yakni Islam, Hindu, dan
Kristen. Dasar pemikirannya adalah bahwa semua semua yang baik dan mulia
yang ada dalam yang lain harus diambil. Masukkan dan terimalah seluruh umat
manusia dan semua kebenaran. Ia mengatakan hendaknya orang Hindu dan
Kristen mengerti dan memahami keduanya. Tidak saling membenci dan
meniadakan.151
C. Pluralisme Agama dalam Perspektif Buddha
Paham pluralisme agama dalam agama Buddha termuat dalam sikap-sikap
yang ditujukan oleh sang Buddha ketika ia dituduh oleh seorang pertapa akan
149
Coward, Pluralisme, h. 126-128. 150
Coward, Pluralisme, h. 129-130. 151Coward, Pluralisme, h. 133-134.
meruntuhkan sekte-sekte agama lain. Di antaranya adalah: ia hanya akan
menerima murid yang pandai, cerdik dan jujur, dari pada seorang murid yang
berakal licik dan penipu; ia tidak berharap dapat membuat orang lepas dari janji-
janji agama yang mereka anut; ia tidak berharap orang lain meninggalkan jalan
hidup yang mereka tempuh; ia tidak berharap dapat membuat jalan orang lain di
jalan yang salah atau meninggalkan jalan-jalan yang baik. Tidak sama sekali.152
Sikap-sikap yang diajarkan oleh sang Buddha tersebut menandakan bahwa
ia mengakui nilai-nilai yang terdapat dalam agama-agama lain, dan tidak perlu
merubah label-labelnya. Tujuan ia mengajar, hanya menginginkan para penganut
baru meningkatkan kebenaran dan kebaikan seperti yang diajarkan dalam agama
yang mereka anut sebelumnya. Dengan demikian tuduhan yang disampaikan oleh
sang pertapa tidak terbukti karena pada kenyataanya sikap-sikap yang diajarkan
oleh Sang Buddha, tidaklah seperti yang dituduhkan oleh sang pertapa.
Sebaliknya, sang Buddha sangat toleran terhadap agama lain.153
Sikap lainnya yang menunjukkan bahwa ia sangat pluralis adalah ketika ia
mengkritik para Pendeta Brahmin yang mengklaim kitabnya sajalah yang memuat
kebenaran, dan hanya dia sajalah yang harus mengajarkan kebenaran itu,
sekaligus menyatakan yang lain salah. 154
Sikap-sikap yang ditujukan oleh sang Buddha tersebut, sesuai dengan
ajarannya yakni dhamma. Ajaran tersebut selain mengajarkan sikap yang pluralis,
juga mengajarkan hal-hal yang baik yang harus diperbanyak dan menjauhkan diri
dari korupsi sehingga dengan kemampuan yang luar biasa orang akan mencapai
152
Rahman, Agama untuk Manusia, h. 123. 153
Rahman, Agama untuk Manusia, h. 129. 154Rahman, Agama untuk Manusia, h. 129.
dan masuk dalam pengetahuan dan menyadari secara penuh kebijaksanaan yang
sempurna.155
D. Pluralisme Agama dalam Perspektif Kristen
Pluralisme agama dalam perpektif Kristen, selain menggunakan
pendekatan wahyu Allah dalam Kristus, ada juga yang menggunakan pendekatan
metafora astronomi. Salah satu tokoh Kristen yang membicarakan pluralisme
agama dengan menggunkan pendekatan metafora astronomi ini adalah John Hick.
Ia menggunakan pendekatan ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Ptolemeus dan
Copernicus, yakni membicarakan tentang apa yang menjadi pusat tata surya di
planet ini, apakah matahari atau bumi. Ptolemeus mengatakan bumilah yang
menjadi pusat tata surya. Matahari dan planet lainnya mengelilingi bumi.
Sebaliknya, Copernicus mengatakan bahwa mataharilah yang menjadi pusat tata
surya, maka jika dikaitkan dengan agama-agama, Ptolemeus mengatakan, bahwa
agama Kristenlah yang menjadi pusat seluruh agama, dan agama lain berputar
mengelilinginya. 156
Lain halnya dengan Hick, ia mengatakan bahwa yang menjadi pusat
bukanlah agama Kristen atau pada salah satu agama-agama yang lain, melainkan
Allah. Dia adalah matahari, sumber azali dari cahaya dan kehidupan, yang
digambarkan oleh semua agama. Dengan caranya masing-masing agama-agama
mengelilingi pusat, sesuai dengan apa yang mereka pahami dan pengalaman
155
Rahman, Agama untuk Manusia, h. 125. 156Coward, Pluralisme, 57-59.
mereka mengenai yang tak terbatas itu sekalipun ada perbedaan di antara
bermacam-macam wahyu. Menurutnya, kita dapat percaya bahwa dimana-mana
Allah sedang bekerja pada jiwa manusia. Sebagai bentuk kongkrit lainnya adalah
agama-agama mempunyai banyak nama untuk menyebut realitas yang tak terbatas
itu. Ada yang menggunakan nama Allah, Yahwe, Shiva, Vishnu, atau Bapa
Surgawi. Sedangkan Hick lebih suka menggunakan istilah “Yang Nyata” untuk
menunjukkan realitas yang tak terbatas itu.157
Selanjutnya salah satu tokoh yang pendekatan melalui wahyu Allah dalam
Kristus adalah Wilfred Smith. Menurutnya, secara moral wahyu Allah dalam
Kristus menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Oleh karena
itu, kita harus berusaha menghilangkan hambatan-hambatan, menjembatani
perbedaan-perbedaan, dan mengakui semua orang sebagai sesama dan anak-anak
Allah Bapa yang sedang berupaya menemukan Dia yang sedang dicari-cari oleh-
Nya sehingga mustahil jika orang Kristen mengatakan kami diselamatkan, kalian
orang Islam, Hindu atau Budhis dihukum. Padahal mereka semua, orang Islam,
Hindu atau Budhis adalah orang yang saleh dan cerdas. Tidak logis bagi Smith
jika mereka dihukum dengan alasan mereka bukan seorang Kristiani.158
Dasar yang menyatakan pandangan tersebut terdapat pada wahyu Kristus,
yang mengatakan bahwa Allah mengulurkan tangan kepada semua orang dalam
cinta, dan sebagai makhluk Allah yang terbatas karena menurrtnya, kita tidak
dibatasi oleh cinta itu. Ia juga mengatakan bahwa jika kita ingin berlaku adil
kepada sesama, agama haruslah dipandang sebagai suatu perjumpaan yang
157
Coward, Pluralisme, h. 59-60. 158Coward, Pluralisme, h. 62.
penting dan berubah-ubah antara Yang Ilahi dan manusia karena semua agama
mengarah pada tujuan akhir, yakni Allah.159
Oleh karena itu, visi yang ia tawarkan kepada agama-agama adalah
pertemuan antarpribadi, bukan dalam kesunyian telaah para teolog karena
menurutnya, dengan hal itu kita akan mengenal Allah, dunia kita, dan diri kita
sendiri. Kita dapat mengenal satu sama lain dalam kebersamaan. Tentunya atas
dasar hormat, kepercayaan, persamaan dan kasih timbal balik. Ia juga mengatakan
bahwa kita harus berhenti membicarakan agama lain sebagai dia (objek), ke
mereka (subjek), tetapi harus berkembang menjadi kami. Aku dan kamu, kita
semua berbicara tentang kita karena kita adalah sesama anggota yang sederajat
dari komunitas keagamaan yang meliputi seluruh dunia.160
Selain Hick dan Smith adalah Hans Kung, Ia mengatakan, bahwa ada
suatu hukum yang tanpa syarat dan kategoris sehingga bisa dipraktikkan oleh
seluruh individu atau kelompok kita hidup dalam kedamaian. Hukum tersebut
adalah hukum emas. Dalam Konfusius dikatakan, bahwa apa yang kamu sendiri
tidak ingin lakukan jangan lakukan pada orang lain. Hal ini setara dengan yang
dikatakan dalam Yahudi, jangan lakukan pada orang lain apa yang kamu tidak
ingin orang lain lakukan padamu. Dalam khutbahnya dikatakan bahwa apa pun
yang kamu inginkan pada orang lain untuk dilakukan padamu, lakukan pula pada
mereka.161
Namun sebagaimana dalam pandangan Islam, pandangan eksklusifisme
dalam Kristen pun ada, yang terumus dalam Injil: akulah jalan kebenaran dan
159
Coward, Pluralisme, h. 63-64. 160
Coward, Pluralisme, h. 65. 161Rahman, Agama untuk Manusia, h. 259-261.
hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada bapak kalau tidak melalui aku
(Yohanes/ 14: 6), atau yang dikenal dengan exstra ecclesian nulla salus, tidak ada
keselamatan di luar Gereja.162
Bagi yang menganut paham tersebut, bagi mereka Yesus Kristus adalah
penjelmaan Allah yang unik. Wahyu universal untuk seluruh umat lain. Oleh
karena itu, menurut mereka agama lain adalah sebagai kegelapan rohani,
sedangkan pengikutnya dikutuk. Menurut mereka agama-agama lain dapat
memiliki pengetahuan alami mengenai Allah, tapi pengetahuan tersebut tidak
akan memberi keselamatan karena pengetahuan itu secara utuh ada dalam Kristus.
Mereka meyakini kebenaran hadir paling sempurna dalam Yesus Kristus. Selain
mendasarkan pandangan dalam Yohanes, mereka juga mendasarkan
pandangannya dalam Matius/ 28: 18-19: kepada-Ku telah diberikan segala kuasa
di surga dan di bumi karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan
baptislah mereka dalam bapak dan anak dan roh kudus.163
162
Rachman, Islam Pluralis, h. 44. 163Coward, Pluralisme, h. 68-70.
BAB IV
PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF FARID ESACK
Pada bab ini penulis akan membahas pengertian pluralisme agama dalam
beberapa perspektif dan pluralisme agama dalam perspektif Esack, namun pada
bab ini penulis juga akan membahas pengertian ulang istilah iman, islam dan kafir
dalam perspektif Esack karena penggunaan maknanya sangat kontekstual dan
eksistensial dengan situasi sekarang, khususnya dalam memahami pluralisme
agama. Oleh karena itu, pembahasan mengenai istilah tersebut menjadi sangat
penting untuk terciptanya wawasan pluralisme agama dalam berbagai agama,
khususnya dalam Islam. Pasalnya, menurut Esack, selama ini istilah tersebut telah
mengalami pemaknaan yang sempit, tidak lagi dipahami sebagai kualitas yang
dapat dimiliki individu, dinamis dan beragam intesitasnya sesuai dengan tahapan
individu, tapi menjadi pagar karakteristik etnis tertentu yang mengakibatkan
terjadinya konflik antar kaum beragama. Oleh karena itu, dalam memaknai istilah
tersebut, Esack lebih menelusuri makna yang kontekstual dan eksistensial dalam
situasi sekarang, khususnya dengan pluralisme agama. 164
Adapun tujuan Esack menelusuri kembali makna-makna tersebut adalah
agar orang atau sekelompok orang tidak sembarang untuk mendefinisikan
siapapun sebagai kawan dan lawan, bekerja bersama mereka untuk membentuk
masyarakat yang lebih manusiawi.165
Selanjutnya, mengenai pembahasan-pembahasan tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut:
164
Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme.
Penerjemah Watung A. Budiman (Badung: Mizan, 2000), h. 155-156. 165Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 38.
A. Pengertian Pluralisme Agama
Jika dilihat dari segi bahasa, pluralisme terdiri dari dua kata, plural dan
isme. Plural yang menyatakan jamak, lebih dari satu atau dua,166 sedangkan isme
yang menyatakan paham atau sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial,
ekonomi, yang biasa dipakai sebagai akhiran dan dapat dilambangkan pada setiap
kata atau agama.167
Oleh karena itu, jika kata tersebut dilambangan pada agama,
maka kata tersebut berarti paham tentang kemajemukan agama.
Dalam kamus ilmiah populer, plural adalah bentuk jamak yang berarti
banyak, yang menyatakan, bahwa realitas terdiri dari banyak substansi.168
Selanjutnya dalam kamus filsafat, pluralisme adalah pluralism, dalam
bahasa Inggris, sedangkan dalam bahasa Latinnya adalah pluralis. Keduanya
menyatakan arti jamak.169
Dalam kamus tersebut ditulis terdapat tiga ciri keyakinan-keyakinan yang
menyatakan pengertian pluralism. Di antaranya adalah pertama, yang menyatakan
bahwa realitas fundamental bersifat jamak, kebalikan dari dualisme dan
monisme.170
Ciri yang kedua, adalah menyatakan bahwa ada banyak tingkatan
hal-hal dalam alam semesta yang terpisah, yang tidak dapat diredusir dan pada
dirinya independen. Ciri yang terakhir adalah menyatakan bahwa alam semesta
pada dasarnya tidak tertentukan dalam bentuk; tidak memiliki kesatuan atau
166
J. S Badudu, Kata-Kata Serapan Asing Dalam B. Indonesia (Jakarta: Kompas, 2003),
h. 279. 167
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P & K), Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 340. 168
Alex, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer (Surabaya: Karya Harapan, 2005), h. 505. 169
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 853. 170
Dualisme menyatakan, bahwa realitas fundamental ada dua, sedangkan monisme
menyatakan, bahwa realitas fundamental hanya satu. Lihat, Bagus, Kamus Filsafat, h. 853-855.
kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan koheren dan rasional
fundamental.171
Jika merujuk pada tiga ciri tersebut, maka pengertian pluralisme agama,
dapat disimpulkan sebagai upaya membenarkan keragaman dengan menegaskan,
bahwa semua kebenaran bersifat relatif dan menganggap semua keyakinan
religius dalam pengertian relatifisme murni sebagai pendapat-pendapat pribadi
yang semuanya mempunyai nilai yang sama karena pada dasarnya pluralisme
agama mempunyai ciri, sebagaimana yang terdapat pada ciri dasar pluralisme,
yakni beragam, independen dan tidak tertentukan dalam bentuk. 172
Dalam bukunya, Siswanto mengatakan, bahwa dalam metafisika
pluralisme menerima prinsip azali banyak. Prinsip azali adalah prinsip yang
memberikan makna dan hukum kenyataan yang sesungguhya yang berada di
belakang gejala-gejala, bisa yang material, yang hidup, yang rohani dan yang
ilahi, maka pluralisme azali yang ilahi adalah prinsip yang memberikan makna
dan hukum kenyataan yang sesungguhnya yang berada di belakang gejala-gejala
yang memberikan watak kenyataan yang sama pada semua kenyataan yang ada.
Sebagai contoh dalam pandangan Yunani, mereka menyatakan bahwa dalam
hukum kosmos segala sesuatu mendapat tempat yang sesuai.173
Adapun paham pluralisme agama tersebut hadir, menurut Abd Al-Ghaffar
karena kenyataan yang menggambarkan bahwa agama-agama di dunia ini banyak
(plural), yang kemudian menimbulkan pertanyaan bagi para penganutnya
171
Bagus, Kamus Filsafat, h. 853-855. 172
Lebih jauh lihat dalam Bagus, yang menyatakan tipe-tipe pluralisme. Ia membaginya
dalam enam tipe. Dua di antaranya adalah yang membicarakan pluralisme dalam bidang sosial
dan filosofis. Bagus, Kamus Filsafat, h. 855. 173
Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida
(Yogayakarta: Pustaka Pelajar), h. 160-161.
mengenai kedudukan agama-agama lain yang berada diluar agama yang
dianutnya.174
Jalaludin Rakhmat, membahas permasalahan tersebut ke dalam dua
bahasan yakni membicarakan tentang keselamatan dan kebenarannya. Apakah
kedudukan agama-agama yang berada di luar agama yang dianutnya adalah benar
dan akan mendapat keselamatan, atau hanya agama yang dianutnya saja yang
benar dan akan mendapat keselamatan,175
dan paham pluralisme agama bagi
Rakhmat, adalah paham yang memandang bahwa semua agama akan memperoleh
keselamatan, dan ia tidak sependapat kepada orang yang berfikir bahwa
pluralisme membuat orang boleh pindah-pindah agama karena pandangan tersebut
akan membawa ke arah sinkretisme, yaitu pandangan yang mencampurkan semua
agama sekaligus karena semuanya dianggap memberi jalan keselamatan,176
sedangkan Hans Kung177 membaginya ke dalam empat bagian. Pertama, tidak ada
satu pun agama yang benar atau semua agama sama-sama tidak benar. Kedua,
hanya ada satu agama yang benar atau semua agama lainnya tidak benar. Ketiga
hanya ada satu agama yang benar, dalam arti semua agama lainnya mengambil
bagian dalam kebenaran agama yang satu itu.178
Terakhir, setiap agama adalah
benar, semua agama sama-sama benar.179
174
Purwanto Abd Al-Ghaffar, Tuhan yang Menentramkan, Bukan yang Menggelisahkan:
Studi Banding Tauhid dan Trinitas (Jakarta: Serambi, 2006), h. 25. 175
Jalaluddin Rakhmat, “Menundukkan Makna Pluralisme Agama,” Buletin Kebebasan
V, no. 3 (Mei 2007), h. 19-21. 176
Rakhmat, “Menundukan Makna Pluralisme Agama,” h. 21. 177
Hans Kung adalah guru besar teologi fundamental di University of Tubingen. Dalam Konsili Vatikan kedua, ia ditunjuk oleh Paus XXIII menjadi penasehat resmi. Fazlur Rahman,
dkk., Agama untuk Manusia. Penerjemah Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.
269-270. 178
Menurutnya sikap ini termasuk pada kesombongan tersembunyi karena menganggap
orang lain sebagai kristen anonim, menganggap diri super. ST. Sunardi mendefinisikan sikap
tersebut kepada inklusifistik yang menyatakan bahwa hanya ada satu agama yang benar dalam arti
Sikap yang ditujukan oleh penganut paham pluralis tersebut biasanya
dalam memandang agama-agama lain sangat toleran karena bagi mereka, agama-
agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang
sama, walaupun berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran agama
yang sah, atau setiap agama menyatakan, bahwa ekspresi agama lain merupakan
bagian penting sebuah kebenaran.180
Adapun dalam jurnalnya, Hamid Fahmi Zarkasi menjelaskan, bahwa
terdapat dua paham pluralisme agama yakni pluralisme teologi global dan religius
filosofis. Pendekatan yang digunakan oleh kedua aliran ini berbeda, yang pertama
menggunakan pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua menggunakan
pendekatan religious filosofis.181
Paham pluralisme teologi global menawarkan konsep dunia yang tanpa
batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain; semua
akan melebur menjadi satu. Menurut paham ini, agama-agama yang ada di dunia
akan berevolusi dan kelak akan saling mendekat, yang pada akhirnya akan
melebur jadi satu dan tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan
yang lainnya, sedangkan paham pluralisme religius filosofis, adalah paham yang
membela eksistensi agama-agama. Bagi paham ini, agama-agama tidak bisa
diubah dan dilebur begitu saja karena di dalam setiap agama terdapat tradisi-
tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap
semua agama lainnya mengambil bagian dari kebenaran agama yang satu itu. Abdurrahman
Wahid, dkk., Dialog Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Interfidei, 1994), h. 63. 179
Abdurrahman Wahid, dkk., Dialog Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Interfidei, 1994), h. 63.
180Nurcholish Madjid, “Dialog Antara Ahli Kitab (Ahl Al-kitab) Sebuah Pengantar,”
dalam George B. Grose dan Benjamin J. Hubbard, ed., Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah Dialog.
Penerjemah Santi Indra Astuti (Bandung: Mizan, 1998), h. xix. 181
Hamid Fahmi Zarkasi, “Islam dan Paham Pluralisme Agama,” Majalah dan Pemikiran
Islam Islamia I, no. 3 (September-Nopember 2004): h. 6-7.
salah satunya lebih superior dari yang lainnya karena menurut paham ini, agama-
agama adalah seperti jalan-jalan yang mengantarkan manusia pemeluknya ke
puncak yang sama. Semua agama adalah sama dan benar. Dengan caranya
masing-masing, agama-agama itu akan menyampaikan manusia pemeluknya
kepada satu surga yang sama.182 Selanjutnya, konsep pluralisme religius filosofis
disebut konsep sophia perrenis. Di antara tokoh-tokoh yang mewakili paham ini,
adalah Titus Buckhart, Fricthof Schuon, Huston Smith dan Sayyed Hossein
Nasr.183
B. Konsep Pluralisme Agama dalam Perspektif Farid Esack
1. Pengertian Pluralisme Agama
Pluralisme menurut Esack dapat dijabarkan sebagai pengakuan dan
penerimaan, bukan sekedar toleransi, atas keberbedaan dan keberagaman, baik
di antara sesama maupun pada penganut agama lain, maka dalam konteks
agama berarti, penerimaan perbedaan cara menanggapi dari dorongan, baik
yang terlihat maupun tidak, yang ada dalam diri setiap manusia ke arah yang
transenden.184
Argumentasi tersebut menurutnya, telah tertulis dalam al-Quran, baik
secara sosial maupun spiritual. Al-Quran menurutnya, mengakui dan
menerima keberadaan kehidupan religius komunitas yang lain; keberadaan
hukum-hukumnya, norma-norma sosial dan praktik-praktik keagamaannya.
182
Yesus Kristus adalah jalan keselamatan bagi Kristen, Sanata Dharma bagi Hindu, dan
Dharma bagi Budha. Lihat Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001), h. 22-23. 183
Fahmi Zarkasi, “Islam dan Paham Pluralisme Agama,” h. 6-7. 184Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 21.
Bahkan tidak itu saja, menurutnya, Al-Quran pun akan memberikan
keselamatan bagi pemeluk-pemeluk setia, meskipun jalan yang mereka lalui
berbeda-beda.185
2. Argumentasi Pluralisme Agama
Berikut ini adalah beberapa argumentasi mengenai penerimaan dan
pengakuan keberadaan kehidupan religius komunitas lain menurut Esack dalam
al-Quran, baik secara sosial maupun spiritual, dan sebagaimana telah diungkapkan
di muka bahwa pembahasan ulang mengenai istilah iman, islam, dan kafir dalam
pandangan Esack menjadi salah satu argumentasi yang sangat penting untuk
memahami pengertian pluralisme agama, khususnya dam Islam karena ia telah
menggunakan istilah-istilah tersebut dengan makna yang kontekstual dan
eksistensial dengan paham pluralisme agama. Adapun argumentasi-
argumentasinya adalah sebagai berikut:
a. Pengakuan dan Penerimaan Kaum Lain Sebagai Komunitas
Sosioreligius yang Sah
Menurut Esack, argumentasi mengenai pengakuan dan penerimaan
atas kaum lain sebagai komunitas sosioreligius yang sah, tertulis
185
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 205-215.
dalamteks Q.S. al-Baqarah/2: 62186
, dan ayat yang sejenis dalam Q.S. al-
Maidah/5: 69.187
Teks tersebut menjelaskan bahwa kaum Yahudi, Nasrani, dan
Sabi’in, diakui sebagai komunitas sosioreligius yang sah, dan siapa saja
akan mendapat keselamatan asalkan mereka beriman kepada Allah, Hari
Akhir dan berbuat kebajikan. Kebajikan yang mereka lakukan tidak akan
sia-sia. Allah akan memberi pahala sesuai dengan apa yang telah Ia
janjikan.188
Ia mengutip penjelasan tersebut yang dijelaskan oleh Ridha (1865-
1935)189
dan Al-Thabathaba’i (1903-1981)190
; mereka menyatakan bahwa
semua yang beriman kepada Allah dan beramal saleh tanpa memandang
afiliasi keagamaan formal mereka, akan diselamatkan sebab Allah tidak
mengutamakan satu kelompok seraya menzalimi kelompok yang lain.191
Bagi al-Thabathaba’i, tak ada nama dan tak ada sifat yang bisa
memberi kebaikan jika tidak didukung oleh iman dan amal saleh, dan
aturan ini berlaku untuk seluruh umat manusia. Satu-satunya kriteria dan
standar ketinggian martabat dan kebahagiaan menurutnya adalah keimanan
186
Terjemahannya: “Sungguh orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabi’in, siapa
saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat kebajikan, mereka
akan mendapatkan balasan mereka di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan
tidak pula mereka akan bersedih hati”. 187
Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in dan
Nasroni, siapa saja yang benar-benar beriman, kepada Allah dan Hari Kemudian, dan beramal
saleh, maka tak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” 188Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 207. 189
Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid Ridha, (Suriah, 1865-1935). Dia adalah
seorang pemikir dan ulama pembaru dalam Islam di Mesir pada awal abad ke 20. Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Rasyid Ridha, Syekh Muhammad,” Dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed.,
Ensiklopedi Islam, vol. IV (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 161. 190
Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad Husain Al-Thabathaba’i, lahir pada 29
Zulhijjah 1321 H/1903-1401/1981 M. Rosihan Anwar, “Tafsir Esoterik Menurut Pandangan Al-
Thabathaba’i,” (Disertasi S3 Tafsir Hadits, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004), h. 8. 191Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 212.
yang benar kepada Allah dan Hari Kiamat, disertai dengan amal-amal
yang saleh. Begitupun dengan Ridha, ia menyatakan bahwa keselamatan
tidak dapat ditemukan dalam sektarianisme keagamaan, tetapi di dalam
keyakinan yang benar dan kebajikan. Aspirasi kaum Muslim, Yahudi, atau
Nasrani terhadap pentingnya keberagaman tak memberi pengaruh apa pun
bagi Allah, tidak juga menjadi dasar ditetapkannya suatu keputusan.
Adapun orang yang mengklaim agama dan kebajikannya saja yang dapat
memberi keselamatan, menurut keduanya, mereka adalah termasuk orang-
orang yang terkungkung dalam sektarianisme dan chauvinisme
keberagaman yang sempit.192
b. Pengakuan dan Penerimaan Kaum Lain Sebagai Komunitas Spiritual
yang Sah
Adapun argumentasi mengenai pengakuan dan penerimaan
spiritual komunitas lain yang sah, menurutnya, tertulis dalam Q.S. al-
Hajj/22: 40.193
Teks tersebut menjelaskan tentang perintah yang pertama
kali ketika diizinkannya berperang adalah keharusan memelihara kesucian
tempat-tempat ibadah, baik itu biara, gereja, sinagog ataupun masjid.
Pemeliharaan tempat-tempat tersebut, menurut Esack, tidak semata-mata
untuk menjaga integritas masyarakat multi agama saja, tapi selain itu
192
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 212-213. 193
Terjemahannya: “Dan sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia
dengan sebagian yang lain tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan
sinagog-sinagog orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.”
karena Tuhan merupakan zat tertinggi bagi agama-agama itu telah
disembah di dalam tempat-tempat tersebut.194
c. Pengakuan dan Penerimaan Aturan-Aturan dan Hukum-Hukum
Komunitas Lain
Selanjutnya argumentasi mengenai pengakuan dan penerimaan
aturan-aturan komunitas lain, menurut Esack, tertulis dalam Q.S. al-
Maidah/5: 42-43195
dan 47.196
Teks tersebut menjelaskan pengakuan dan
penerimaan aturan-aturan yang dibawa oleh Taurat dan Injil.197
Menurutnya, Tuhan telah menetapkan aturan dan jalan yang
berbeda-beda bagi semua orang, baik sebagai individu maupun komunitas
agama, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Maidah/5: 48.198 Dia telah
mengirimkan nabi-nabi-Nya kepada mereka sesuai dengan konteks situasi
umat mereka yang bermacam-macam dan berbeda-beda tersebut. Namun
194Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 207. 195
Terjemahannya: “Mereka sangat suka berita bohong, banyak memakan makanan yang
haram. Jika orang Yahudi datang kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan) maka berilah
putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka,
maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikitpun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara
mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil dan
bagaimana mereka akan mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai
Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, nanti mereka berpaling (dari putusanmu) setelah itu?
Sungguh mereka bukan orang-orang yang beriman.” 196
Terjemahannya: “Dan hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah di dalamnya; barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang Fasik.” 197
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 205. 198Terjemahannya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian atas kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan syir’ah
dan minhaj. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu telah dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu tentang apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
misi yang dibawa oleh mereka sama, yaitu untuk menyadarkan kembali
komitmen umatnya kepada tauhid, dan mengingatkannya tentang
pertangungjawaban kepada Tuhan, juga untuk menegakkan keadilan,
sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Syuro/42: 13199 yang menjelaskan
bahwa din yang sama telah diwasiatkan kepada Nuh, Ibrahim, Musa dan
Isa.200
Oleh karena itu, dengan penjelasan-penjelasan tersebut, klaim
eksklusif yang ditujukan oleh sebagian, atau kelompok orang, menurutnya,
tidaklah dibenarkan karena secara eksplisit al-Quran benar-benar
mengakui keberadaan komunitas lain di luar komunitas Nabi Muhammad,
baik secara sosial maupun spiritual. Bahkan celaan Allah pun pernah
terlontar pada komunitas Yahudi dan Nasrani yang mengklaim keimanan
dan kepemilikan sosioreligius mereka adalah satu-satunya keimanan yang
diterima oleh Allah Swt. Celaan-celaan-Nya tersebut tertulis dalam Q.S.al-
Baqarah/2: 111-113 dan 135, Ali Imran/3 : 67 dan 69.201
199
Terjemahannya: “Dia Allah telah mensyariatkan kepadamu din yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang
telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu tegakkanlah din dan janganlah kamu pecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik din yang kamu serukan untuk
mereka. Allah memilih orang yang dia kehendaki dan dan memberi petunjuk kepada orang yang
kembali padanya.” 200
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 205. 201
Terjemahan QS. al-Baqarah 111-113 berikut: “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasroni. Itu hanya angan-angan
mereka, katakanlah tunjukanlah bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar. Barang siapa
tidak menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendpat pahala disisi
Tuhan-Nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Dan orang
Yahudi berkata, “orang-orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan orang-orang
Nasrani juga berkata, “orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu pegangan padahal Mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu, seperti ucapan mereka itu . Maka
Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan”. Ayat 135
Terjemahannya berikut: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian atas kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
Oleh karena itu, menurut Esack, kedatangan Nabi Muhammad
tidaklah menghapus keberimanan umat sebelumnya. Dia hanyalah sebagai
pemberi peringatan bagi umat sebelumnya karena sebenarnya menurut
Esack, jika Tuhan menghendaki tentu Dia telah membuat manusia menjadi
umat yang satu, dan alasan Tuhan menghendaki keanekaragaman jalan
keimanan, menurutnya adalah agar manusia berlomba-lomba dalam
kebaikan, dan sekiranya jalan itu penuh cobaan sehingga tidak
memungkinkan seseorang untuk melewatinya, maka dia bebas memilih
jalan lain yang telah ditetapkan oleh-Nya.202
d. Pengertian Ulang Iman
Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka bahwa pengertian
ulang istilah iman dalam pemikiran Esack sangat kontekstual dan
eksistensial dengan paham pluralisme agama. Oleh karena itu, dalam
memahami istilah tersebut, Esack lebih menelusuri makna yang
sebenarnya yang terkandung dalam istilah tersebut.
Menurutnya, jika pengertian iman merujuk pada pengunaannya
dalam al-Quran dan teologi Islam, iman adalah bentuk kata benda verbal
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan syir’ah
dan minhaj. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu telah dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu tentang apa yang telah kamu perselisihkan itu.” Q.S. Ali Imran/3: 67 Terjemahannya
berikut: “Ibrahim bukanlah Seorang yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, tetapi dia adalah
seorang yang lurus dan tidak lah termasuk orang-orang yang musyrik.” Ayat 69 Terjemahannya
adalah berikut: “Segolongan Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal sesungguhnya mereka tidak menyesatkan melainkan diri mereka sendiri, tetapi mereka tidak menyadar.” Esack,
Membebaskan yang Tertindas, h. 204-205. 201
Terjemahannya: “Dan mereka berkata, jadilah kamu penganut Yahudi atau Nasrani,
niscaya kamu mendapat petunjuk.“ katakanlah, “(tidak) tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim
yang lurus dan dia tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan.” 202Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 207.
keempat dari akar kata a-m-n, pengertiannya merujuk pada aman,
mempercayakan, berpaling kepada. Kemudian dari pengertian tersebut
diperoleh makna keyakinan yang baik, ketulusan, ketaatan atau kesetiaan,
sedangkan dalam bentuk keempatnya adalah amanah, mempunyai makna
ganda, yaitu percaya dan menyerahkan keyakinan. Makna primernya
adalah menjadi setia pada apa yang telah dititipkan Tuhan kepada dirinya
dengan keyakinan teguh di dalam hati bukan hanya di lidah. Ketika a-m-n
yang diikuti oleh partikel bi, kata tersebut berarti mengakui atau
mengenali. Kata tersebut juga dipakai dalam makna percaya, yaitu ketika
orang merasa aman untuk mempercayakan sesuatu kepada seseorang.203
Penggunaan dalam arti menyerahkan sesuatu kepada seseorang
untuk disimpan (u΄tumina), tercantum dalam Q.S. al-Baqarah/2: 283.
Kemudian dima'nai sebagai rasa tentram dan kepuasan hati (âminatan),
tercantum dalam Q.S. an-Nahl/16: 112. Perlindungan terhadap ancaman
dari luar (amnan), tercantum dalam Q.S. al-Baqarah/2: 125. Iman kepada
Nabi Muhammad atau para nabi secara umum (âmana), tercantum dalam
Q.S. al-Baqarah/2: 177. Hari akhir (yu΄minûna) Q.S. al-Baqarah/2: 4.204
Dari beberapa pengertian tersebut, menurut Esack, dapat
diasumsikan bahwa objeknya dapat dipahami, dan penggunaan dalam
bentuk tersebut menghubungkan makna keamanan dan kepercayaan
dengan ide implisit bahwa siapapun yang beriman akan memperoleh
kedamaian dan perasaan aman. Dapat dikatakan iman menurut al-Quran
adalah tindakan hati, keputusan untuk menyerahkan diri kepada Tuhan
203
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 159. 204Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 159.
dan firman-Nya, memperoleh kedamaian, rasa aman dan benteng
terhadap cobaan,205 sedangkan, kata Mu’min dalam al-Quran bentuk kata
bendanya adalah mu'minûn, yakni tercantum dalam Q.S. al-Anfal/8: 2-4
berikut:
“Sungguh mu'minûn adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
semakin kuatlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka menyerahkan
diri, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian
dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. Itulah mu'minûn yang
sebenar-benarnya mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian
disisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (ni'mat) yang mulia.”206
Menurut Esack, jika melihat teks tersebut, maka dapat dipetakan
tiga pengertian iman, yaitu iman dalam pengertian spiritual/personal secara
esensial, religius, dan sosioekonomi. Iman dalam pengertian
spiritual/personal secara esensial, dijelaskan dengan bergetarlah hati
mereka ketika disebut nama Allah, sedangkan pengertian religius,
dijelaskan dengan mereka tak henti-hentinya beribadah, dan dalam
pengertian sosioekonomi, menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan
kepadanya. Teks tersebut menggambarkan sifat orang yang benar-benar
beriman atau orang-orang yang benar-benar percaya. Menurut
Zamakhsyari, karakter ini adalah syarat bagi iman yang sempurna,
sedangkan menurut al-Razi, iman harus berakibat pada kepatuhan, dan
bagi Ibn al-Arabi, iman secara intrinsik terkait dengan pencarian
keyakinan yang lebih mendalam, tidak sekedar pengakuan rasional akan
205
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 159-160. 206Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 158.
kehadiran Tuhan, tetapi lebih dari itu, perhatian pada kualitas dan
kehadiran hati yang harus mewarnai ibadah seseorang.207
Namun, persoalan yang paling penting mengenai iman, menurut
Esack, adalah iman merupakan pengakuan pribadi akan, dan respon aktif
terhadap kehadiran Tuhan di alam semesta dan di dalam sejarah. Aspek
aktif dan pribadi iman tersebut mengimplikasikan bahwa ia berfluktuasi
dan dinamis,208
yakni tetap terkait dengan kesadaran terdalam manusia,
sosok makhluk yang hingga tingkat tertentu senantiasa berubah oleh
berbagai pengalaman sosial maupun personalnya, meski sumber aslinya
adalah karunia dari Tuhan. 209
Beberapa penafsir merujuk dua hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa iman akan menyelamatkan
manusia di akhirat nanti, dan iman itu bermacam-macam dan punya tujuh
puluh cabang. Yang paling tinggi adalah berikrar bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan.
Kerendahan hati adalah salah satu cabangnya.210
e. Pengertian Ulang Islam
207
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 163-164. 208
Esack memberi tiga alasan bagi iman bersifat dinamis dan senantiasa berubah.
Pertama, pengertian iman dalam al-Quran dan Muslim awal lebih dalam satu jenis dan dalam
berbagai tingkatan. Kedua, ketika al-Qur’an menghimbau para pemeluk Islam awal sebagai “wahai
orang-orang yang beriman”, imbauan tersebut, mengajak mereka untuk membawa diri kearah
tertentu, menjauh dari berbagai kesesatan di dalam masyarakat dan mendekat kepada Tuhan. Mereka dituntut dengan cara tertentu, bukan untuk mengklaim diri sebagai pemilik substansi
khusus yang disebut iman itu. Ketiga, pemahaman bahwa iman merupakan sebuah atribut karakter
yang aktif, juga didukung oleh fakta lawan katanya, yaitu kufr. Esack, Membebaskan yang
Tertindas, h. 162. 209
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 161. 210Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 161-162.
Sebagaimana dalam memahami pengertian iman, pengertian istilah
islam pun dalam Esack sangat kontekstual dan eksistensial dengan paham
pluralisme agama. Oleh karena itu, dalam memaknai istilah tersebut Esack
lebih menelusuri makna yang sebenarnya.
Adapun teks al-Quran yang biasa dijadikan klaim kaum Muslim
sebagai satu-satunya ekspresi keagamaan yang diterima Tuhan sejak
kenabian Muhammad adalah Islam, menurut Esack, tercantum dalam Q.S.
Ali Imron/3: 19 adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya din di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi kitab kecuali telah datang
pengetahuan kepada mereka, karena dengki di antara mereka.
Siapa saja yang menolak ayat-ayat Allah maka sesungguhnya
Allah amat cepat hisab-Nya.” 211
Padahal menurut Esack, penjelasan din tersebut menitikberatkan
pada proses, pada din sebagai penyerahan diri kepada Tuhan. Bukan pada
bentuk ekspresi kehidupan agama yang sistematis dan terlembagakan.
Smith menjelaskannya dengan ketundukan, kepatuhan, berbakti menuju
kebenaran dalam huda dan bayan-Nya, berbakti kepada Tuhan, respon
total kepada Tuhan itu sendiri, bukan diartikan sebagai agama Tuhan. 212
Demikian juga dengan penggunaan istilah islam dalam teks
tersebut, mengandung muatan universal. Istilah tersebut memberi
pemahaman bahwa teks tersebut ditujukan bagi siapa pun yang tunduk
pada kehendak Tuhan, lebih untuk menyebut kepada tindakan pribadi
211
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168. 212Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168-176.
daripada untuk menyebut nama dari suatu sistem agama.213
Cakupan
tersebut menurut Esack, memasukkan agama lain serta beragam kewajiban
dan bentuk-bentuk praktik di dalamnya dan apa-apa yang telah menjadi
bagian dari mereka, dan penjelasan tersebut bisa dilihat dengan merujuk
teks selanjutnya,214 yang menjelaskan perintah kepada Nabi Muhammad
untuk mengatakan kepada para penentangnya bahwa ajaran yang
dibawanya adalah penyerahan diri kepada Tuhan, dan ajaran tersebut ini
juga ditujukan kepada mereka, orang Kristiani.215
Lagi pula, menurut Esack, pada masa-masa awal pemikir Muslim
dan istilah Arabnya arti islam adalah tunduk, menyerah memenuhi atau
melakukan, dan merupakan bentuk infinitif dari aslama, dan satu-satunya
orang yang membedakan secara eksplisit antara islam yang dilembagakan
dengan yang tidak, adalah Ridha. Munurutnya, penggunaan al islam
dengan makna doktrin, tradisi, dan praktik yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang disebut muslim masih relatif baru, dan didasarkan
atas prinsip fenomenologi, yaitu agama sebagai apa yang dianut oleh para
213
Penjelasan tersebut tercantum dalam Q.S. al-Hujurat/49: 17 dan al-Taubah/9: 74. Q.S.
al-Hujurat/49: 17 Terjemahannya berikut: “Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka, katakanlah janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu sebenarmya
Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukan kamu kepada keimanan jika
kamu orang yang benar.” Sedangkan Q.S. al-Taubah/9: 74 berikut: “Mereka (orang munafik itu)
bersumpah dengan (nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti)
Muhammad. Sungguh mereka telah mengatakan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam,
dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya. Dan mereka tidak mencela Allah
dan rasulnya sekiranya Allah dan Rasulnya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka
jika mereka bertaubat itu adalah lebih baik bagi mereka. Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah
akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di Dunia dan Akhirat. Dan mereka tidak
mempunyai pelindung dan tidak pula penolong di bumi.” 214
Q.S. Ali Imran/3: 20 Terjemahannya berikut: “Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, “aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-
orang yang mengikuti.” Dan katakanlah orang-orang yang telah diberi Kitab dankepada orang-
orang buta hurufsudahkah kamu berserah diri? jika mereka sudah berserah diri berarti mereka telah
mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyapaikan. Dan
Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.” 215Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168-176.
pemeluknya. Yang demikian, menurutnya, adalah al din dalam arti
komunitas (jinsi) atau kebiasaan (urf) etno-sosiologis, maka jika islam
dilakukan seperti itu, menurutnya, adalah penerimaan yang tidak kritis dan
tidak ada hubungannya dengan Islam yang sebenarnya, sebaliknya ia
menyimpang dari iman yang sejati.216
Bagi Ridha, muslim yang sejati adalah yang tak ternodai oleh dosa
syirk, tulus dalam tindakannya dan memiliki iman, dari komunitas apa
pun, dalam periode kapan pun dan tempat asal mana pun inilah makna
“Barang siapa yang mencari din selain Islam maka sekali-kali tidaklah
akan diterima pilihannya itu”. Q.S. Ali Imron/3: 85.217
Adapun penggunaan istilah din dalam al-Quran tidak
menggunakan kata adyan sebagai bentuk pluralnya, menurut Esack, hal
tersebut mencerminkan kenyataan bahwa kehidupan beragama pada saat
itu tidak sepenuhnya terlembagakan, seperti yang terjadi kemudian,218dan
hal tersebut menunjukkan bahwa al-Quran selalu berada dalam hubungan
yang dinamis dengan pendengarnya dan dapat dimengerti oleh komunitas
atau individu sesuai dengan tahapan tertentu perkembangan mereka,219
maka pengertian yang universal saat ini tentang din sebagai agama dan
216
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 172-174. 217
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 176. 218
Din mengalami perubahan makna dari komitmen pribadi menjadi komitmen kolektif
dan dipakai sebagai respon yang benar terjadi sejak akhir periode Makkah berlanjut hingga
periode Madinah. lihat perubahan makna din disetiap periode yang dijelaskan oleh Yvonne
Haddad dalam Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 171. 219
Menurut Esack istilah din dalam bahasa Arab selama abad ke tujuh sudah dipakai
dalam makna yang berbeda-beda dan selalu berubah. Ia memiliki beragam makna berbeda yang bisa dimasukan ke dalam tiga kelompok utama: pertama, konsep agama sistematik; kedua, kata
benda verbal, “menilai”, “melakukan penilaian”, “menetapkan keputusan”, dan, bersamaan dengan
ini, “penilaian”, “keputusan”; ketiga, kata benda verbal “mengarahkan diri”, “menjaga diri”,
“menjalankan praktik tertentu”, “mengikuti tradisi”, dan setelah itu kata benda abtrak,
“kesesuaian”, “kepatutan”, “ketaatan”, “kebiasan” dan “perilaku standar”. Lihat Esack,
Membebaskan yang Tertindas, h. 170.
penghapusan pengertiannya sebagai respon pribadi kepada Tuhan,
menurutnya, tidak memiliki dasar di dalam teks al-Quran dan tafsir-tafsir
tradisional.220
Namun, menurut Esack, tafsir tradisional bukannya tidak memiliki
benih pluralisme sama sekali, mengingat konteks ketika para pemikir
tradisional merumuskan karyanya tidak berada dalam konteks yang
membangkitkan jenis persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh
modernitas atau situasi apartheid Afrika Selatan.221
Oleh karena itu,
menurutnya, al-Quran memotret Muslim sebagai sosok yang tunduk pada
ketuhanan yang lebih dari sekedar Muslim dari sebuah agama reifikasi.
Menurutnya, Tuhan adalah akbar (lebih besar) dari pada konsepsi apa pun
tentang diri-Nya atau dari segala bentuk ketaatan terlembaga ataupun tidak
terlembaga kepada-Nya. Kepada Tuhanlah Islam yang dimaksud al-Quran
itu. Islam adalah untuk menyebut suatu tindakannya.222
Para pemikir Islam pun membenarkan ide bahwa istilah Islam di
dalam al-Quran bukan semata merujuk pada agama kaum Muslim. Mereka
juga membenarkan bahwa islam primordial dan universal, yaitu
penyerahan diri pada yang absolut, dapat dengan jelas ditemukan dan
dikenali di dalam berbagai simbol dan pola keberimanan dan tindakan di
dalam berbagai agama dan ideologi masa lalu maupun sekarang. Setiap
respon tulus terhadap panggilan dari sang misteri yang tersembunyi,
sumber segala yang ada, membuktikan islam eksistensial dan personal.
220
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 171-172. 221
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 176. 222Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 177.
Islam adalah agama yang dibawa semua nabi dalam beragam ajaran
mereka.223
Selanjutnya mengenai penjelasan din, Esack juga mengutip dari
beberapa pemikir Muslim, di antaranya adalah Ibn al-‘Arabi (1165-1240),
Ridha, dan al-Razi. Pengertian din menurut Ibn al-‘Arabi adalah sebagai
berikut:
“Sesungguhnya din yang benar disisi Allah adalah tawhid,
yang Dia telah tetapkan bagi Diri-Nya, maka din Allah adalah
ketundukan, keseluruhan wujud seseorang membebaskan diri dari
ego dan mencapai peniadaaan diri dalam Diri-Nya.”224
Sedangkan menurut al-Razi adalah sebagai berikut:
“Asal bahasa din adalah balasan, din berarti ketundukan
yang mengakibatkan balasan itu. Islam memiliki tiga makna:
masuk ke dalam Islam yaitu ke dalam penyerahan diri, dan ketundukan, masuk dalam kedamaiaan, dan mensucikan segala
tindakan hanya bagi Allah semata.” 225
Selanjutnya menurut Ridha, definisi din secara universal adalah
yang tidak mencakup identifikasi formal dengan Islam sosiohistoris,
sembari secara terbuka mengakui keabsahan jalan agama-agama lain di
luar Islam226
karena baginya al din adalah perintah Tuhan dan respon yang
diwajibkan hamba atas diri mereka sendiri, merupakan penyerahan diri
pribadi kepada Tuhan dan ruh universal yang ada di dalam semua
komunitas beragama. Ketundukan tersebut menurutnya tidak ada
hubungannya dengan Islam konvensional yang terjebak dalam imitasi dan
223
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 157. 224
Esack, Membebaskan Yang Tertindas, h. 169. 225
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 170. 226Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 171.
dalam komunitas-komunitas etno-sosiologis. 227
Sedangkan bagi Esack, din adalah sebuah pola, sebuah jalan Tuhan
yang berlaku umum bagi seluruh kaum, sebagaimana tercantum dalam
Q.S. al-Syura/42: 13, yang menjelaskan bahwa ada kesatuan din yang
sama yang telah diwasiatkan oleh al-Quran kepada Nuh, Ibrahim, Musa
dan Isa. Nabi-nabi tersebut datang membawa misi yang sama, yang
mereka sampaikan dalam konteks situasi umat mereka yang bermacam-
macam dan berbeda-beda. Namun tetap berada dalam kesatuan din yang
sama, yakni jalan Tuhan.228
f. Pengertian Ulang Kafir
Sebagaimana istilah iman dan islam, penggunaan istilah kafir pun
dalam perspektif Esack, penggunaannya sangat kontekstual dan
eksistensial dengan pluralisme agama.
Adapun penggunaan istilah kafir sebagai penolak keyakinan,
Menurut Esack, pertama kali dipakai adalah untuk menunjuk beberapa
warga Makkah yang menghina Nabi Muhammad, sedangkan di Madinah
menunjuk kepada berbagai unsur di kalangan Ahli Kitab. Selanjutnya
setelah Nabi Muhammad wafat penggunaannya secara bebas diperluas
oleh berbagai kelompok untuk mengeluarkan kelompok lain yang berbeda
dengannya karena mereka telah mengidentifikasikan istilah tersebut
dengan makna tak percaya.229
227
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 170. 228
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 175-176. 229Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-180.
Menurutnya, dari sanalah awal mula penggunaan istilah kafir
dikaitkan sebagai pelabelan bagi kaum yang tertolak dari komunitas
Muhammad dan menjadi orang yang tidak percaya atau tak beragama.
Padahal menurutnya, sebagaimana yang telah dijelaskan, baik itu dalam al-
Quran, literatur pra-Islam atau secara linguistik dan para pemikir,
penggunaan maknanya tidaklah demikian.230
Berdasarkan literatur pra-Islam, inti dari stuktur semantik dan
makna kata asalnya adalah menutup atau tak tahu terimakasih,231
,
sedangkan secara linguistik artinya menutup asal kata dari k-f-r, bentuk
kata bendanya (masdar) adalah kufr, sebagai pelaku (failnya) adalah kafir,
dan bentuk jamaknya kuffar atau kafirun.232
Kemudian, kata tersebut
digunakan untuk penutupan sesuatu untuk menghancurkannya. Demikian
juga yang telah disepakati oleh beberapa pemikir, mereka menyepakati arti
kufr sebagai menutup karena secara linguistik kufr benar-benar merujuk
pada perilaku penyangkalan atau penolakan yang disengaja atas suatu
pemberian dari Tuhan. Namun, pemakaian awal yang paling lazim adalah
penutupan perbuatan baik, yaitu tidak bersyukur. Kemudian ketika Islam
diartikan sebagai tindakan karena kebaikan Tuhan, kufr menjadi sinonim
penolakan. Seorang kafir berarti orang yang menerima kebaikan dari
230
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-180. 231Menurut Izutsu kufr arti dasarnya adalah tidak bersyukur lawan kata dari syakira
(bersyukur), untuk menunjukan rasa tidak bersyukur terhadap perbuatan baik atau pertolongan
yang ditujukan orang lain. Kemudian menyimpang menjadi makna tidak percaya. Perubahan tersebut menurutnya sepintas dipersiapkan untuk memainkan bagian terpenting dalam sejarah
pemikiran Islam berikutnya baik secara teologis maupun politis. Lebih jauh ia menjelasakan
tranformasi semantik kufr dari tidak bersyukur ke tidak percaya, lihat Toshihiko Izutsu, Relasi
Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap Al-Quran. Penerjemah Agus Fahri Husein,
dkk., (Jogja : Tiara Wacana, 1994), h. 258-261. 232Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 177.
Tuhan, tapi tak bersyukur atau malah mengingkarinya. Jadi, kafir adalah
orang yang tidak tahu terimakasih, tidak bersyukur atau malah
mengingkari dan menutupi atas kebaikan dari Tuhan.233
Demikian halnya dalam al-Quran, menurut Esack, penggunaan
maknanya digambarkan sebagai tak bersyukur dan menutup yang bersifat
aktif dan dinamis yang mengarah pada penolakan atas kebenaran Tuhan
secara sengaja dan intrinsik, terkait dengan suatu tingkah laku yang arogan
dan menindas.234
Beberapa contoh penggunaan arti tersebut tercantum
dalam Q.S. Azumar/39: 7235
(takfurû, kufr, taskurû), Q.S. al-Baqarah/2:
152236
(wasykurû lî walâ takfurûn), Q.S. Ibrahim/14: 7237
(lain syakartum,
walain kafartum); Q.S. al-Baqarah/2: 42 (taktumû), 159 dan 174
(yaktumûna),238 Q.S. al-‘Araf/7: 45239 (kâfirûn) sebagai sikap perilaku
orang yang mengalangi orang di jalan Tuhan dan menghalangi karunia
233
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 178-179. 234
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 180. 235
Terjemahannya: “Jika kamu kafir ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengetahuimu,
dan dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya.. Jika kamu bersyukur, Dia meridai
kesyukuranmu itu. Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain. Kemudian kepada
Tuhanmulah kembalimu lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sungguh Dia
mengetahui apa yang tersimpan dalam dadamu.” 236Terjemahannya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, “sesunguhnya jika
kamu bersyukur, nscaya aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingakari,
maka pasti azab-Ku sangat berat.” 237
“(yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah dan ingin
membelokkannya. Mereka itulah yang mengingkari kehidupan akhirat.” 238
Q.S. al-Baqarah/2: 42 Terjemahannya berikut: “Dan janganlah kamu campuradukkan
kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu
mengetahuinya. Q.S. al-Baqarah/2: 159 Terjemahannya berikut: “Sungguh orang yang
menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan dan petunjuk-petunjuk, setelah
Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (al-Quran), mereka itulah yang dilaknat Allah dan
dilaknat pula oleh mereka yang melaknat.” Q.S. al-Baqarah/2: 174 Terjemahannya berikut: “Sungguh orang yang telah menyembunyikan apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu Kitab
dan menjualnya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya dan
Allah tidak akan menyapa mereka di hari kiamat, dan tidak akan mensucikan mereka. Mereka
akan mendapat azab yang sangat pedih.” 239
Terjemahannya: “Yaitu orang-orang yang menghalang-halangi orang lain dari jalan
Allah dan ingin membelokkannya. Mereka itulah yang mengingkari kehidupan akhirat.”
Tuhan kepada manusia; Q.S. al-Baqarah/2: 254240
, Q.S. Fussilat/41: 7241
,
Q.S. at-Taubah/9: 34-35242 (kâfirûna) sebagai orang yang menolak untuk
memberi sedekah kepada orang miskin; Q.S. al-Anfal/8: 36243 (kafarû)
sebagai orang yang menafkahkan hartanya demi menghalangi orang ke
jalan Tuhan dan kebaikan; Q.S. al-A’raf/7:48244, Maryam/19: 77245,
sebagai sikap kesombongan mereka dalam hal kekayaan dan status sosial.
Dengan kekayaan mereka yang berlimpah-ruah dan status sosial yang
tinggi mereka sama sekali tidak membutuhkan orang lain dan Tuhan.
Mereka juga mengira bahwa kekayaan yang mereka miliki akan
membebaskan mereka dari kewajiban moral apa pun terhadap kaum lain
dan pertanggungjawaban dihadapan Tuhan; Q.S. al-Nisa/4: 168246
(kafarû
wa zalamû), sebagai orang yang menindas kaum lemah dan berbuat zalim;
240
Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman infakkanlah sebagian dari rezeki
yang telah Kami berikan kapadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada
lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang yang kafir itulah orang-orang yang
zalim.” 241
Terjemahannya: “(yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka inkar
terhadap kehidupan akhirat.” 242
Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-
orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan
merka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih). Ingatlah pada hari ketika emas dan
perak dipaskan dalam nereka Jahanam lalu dengan itu diseterika dahi, lambung dan punggung
mereka, inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat
dari) apa yang telah kamu simpan.” 243
Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menginfakan untu
menghalangi-halangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan terus menginfakkan harta itu, kemudian mereka akan menyesal sendiri, dan mereaka akhirnya akan dikalahkan. Ke dalam neraka
Jahanamlah orang-orang kafir itu akan dikumpulkan.” 244
Terjemahannya: “Dan orang-orang yang di atas A’raf (tempat yang tertinggi) menyeru
orang-orang yang mereka kenal dengan tanda-tandanya sambil berkata, harta yang kamu kumpulkan dan apa yang kamu sombongkan, (ternyata) tidak ada manfaatnya buat kamu.”
245Terjemahannya: “Lalu apakah engkau telah melihat orang yang telah mengingkari
ayat-ayat Kami dan dia mengatakan, “pasti aku akan diberi harta dan anak.” 246
Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman,
Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak (pula) akan menunjukkan kepada mereka jalan
yang lurus.”
Q.S. al-Maidah/5:79247
(lâ yatanâhauna ‘an munkarin), sebagai orang
yang berdiam diri dihadapan kejahatan dan penindasan.248
Kemudian, pengertian lain dari menutup adalah petani karena
biasanya para petani suka melakukan kegiatan menutup, yakni menutupi
biji-bijiannya dengan tanah.249
Pengunaan makna-makna tersebut, menurut Esack, mencerminkan
adanya hubungan yang dinamis antara wahyu dan masyarakatnya250
yang
dilakukan dalam konteks sosio-historis yang real dan yakin bahwa
kepercayaan yang tulus pada keesaan Tuhan dan pertanggungjawaban
akhir kepada-Nya akan membawa pada terwujudnya masyarakat yang
adil.251
Sikap penolakan merekalah menurut Esack, yang menyebabkan
mereka disebut kafir karena mereka telah menolak dan menutupi ajaran
yang dibawa Nabi Muhammad kepada mereka. Alasan mereka melakukan
hal tersebut adalah karena Tuhan yang disangkal oleh mereka saat itu
adalah Tuhan yang menuntut tranformasi kongkret masyarakat dari
eksploitasi ke keadilan, dari mementingkan diri ke sifat sebaliknya, dari
arogan ke kerendahan hati, dari kesukuan yang sempit menuju persatuan,
sedangkan Nabi Muhammad datang kepada mereka yang membawa ajaran
yang sebaliknya, yakni Islam, yang mengajarkan nilai-nilai keadilan dalam
hidup, baik secara ekonomi maupun sosial, mala dengan jelas mereka
247
Terjemahannya: “Mereka tidak saling mencegah perbuaan munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh sangat buruk apa yang telah mereka perbuat.”
248Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-181.
249Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179. Lihat juga penggunaan predikat kafir
dalam Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 62. 250
Dalam konteks Makkah. 251Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 182.
menolaknya mentah-mentah karena akan menggoyahkan tatanan sosial
secara radikal yang selama ini mereka pertahankan.252
Oleh karena itu, pemaknaan kufr dalam al-Quran menurut Esack
adalah pencelaan kepada perilaku yang bermusuhan kepada orang yang
memilih jalan Islam dan memperolok-olok Islam dan Muslim dalam
pengertian sebagai tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin
mengorganisasikan keberadaan kolektif atas dasar ketundukan itu,
termasuk didalamnya yang mengajarkan nilai-nilai keadilan dalam hidup,
baik secara ekonomi maupun sosial.253
Adapun gambaran olok-olokkan mereka tersebut, tercantum dalam
Q.S. Yunus/10: 79254
, al-Hijr/15: 11255
, al-Kahfi/18: 106256
.257
Dengan
demikian, menurut Esack, ide tentang kafir jangan dicampuradukan
dengan penolakan teologis, rasional, atau filosofis atas ketuhanan karena
seorang kafir menurutnya, adalah sosok yang mengetahui kehadiran entitas
252
Karena pada saat Muhammad diutus, keadaan masyarakat Makkah saat itu sangat
arogan dan suka menindas. Diharapkan dengan kedatangnan Islam, keadaan masyarakat bisa
berubah ke arah keadilan, baik secara sosial maupun ekonomi. Esack, Membebaskan yang
Tertindas, h. 181-183. Dalam bukunya, Dawam menulis salah satu gejala sosial yang menonjol
dalam kalangan aristokrat pedagang Makkah zaman nabi adalah kecintaaan pada harta yang
melebihi batas. Mereka telah menuhankan hartanya, sehingga mengakibatkan timbulnya gejala
prilaku yang asosial, seperti kebiasaan memakan harta warisan dengan rakus, tidak memiliki rasa tanggungjawab terhadap kemiskinan, tidak menyantuni anak yatim, sebaliknya mereka malah
melakukan akumulasi kekayaan. Menyimpan harta dan menumpuknya. Mereka mengira kekayaan
akan menyebabkan mereka hidup abadi. Maka dengan kehadiran Islam diharapkan dapat memuai
ajaran humanis yang mementingkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Makkah saat itu.
Bagi Dawam, makna Islam dalam konteks sosial adalah menyerahkan diri kepada Allah berarti
pembebasan diri dari segala seauatu yang dipertuhankan. Baik itu berhala atau harta atau sesuatu
yang bisa membuat kehidupan kearah yang tidak adil dan sejahtera. Lihat M. Dawam Rahardjo,
Paradigma Al-Quran Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005),
h. 204-205. 253 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181-183. 254
Terjemahannya: “Dan Fir’aun berkata (kepada pemuka kaumnya), “datangkanlah kepadaku semua pesihir yang ulung!”
255Terjemahannya: "Dan setiap kali seorang rasul datang kepada mereka, mereka selalu
memperolok-olokknya." 256
“Demikianlah, balasan mereka itu neraka Jahanam karena kekafiran mereka, dan
karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai bahan olok-olok.” 257Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181-183.
semacam itu, yakni mereka mengetahui keberadaan Tuhan dan para rasul-
Nya. Namun mereka memilih untuk menolak dan menutupinya.258 Bahkan
mereka bertekad menghancurkan misi-misinya dengan cara
membunuhnya.259
Jadi, kafir adalah sesuatu yang disadari, sesuatu yang disengaja
aktif bukan sekedar ketidakpedulian atau ketidaktahuan atas keberadaan
Tuhan, juga bukan merupakan label-label etnis tertentu, tapi lebih kepada
menunjukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sikap-sikap kafir,
sebagaimana yang telah digambarkan dalam al-Quran.260
Esack menambahkan pengertian kafir yang dikutip dari Asad. Asad
mengatakan bahwa kafir adalah penunjukan bagi orang-orang yang
menyangkal kebenaran dalam arti yang paling luas, dan spiritual, tidak
terbatas pada pengertian orang yang tidak percaya atau tak beragama
karena menolak sistem doktrin dan hukum yang diajarkan al-Quran dan
disampaikan oleh Nabi, tapi lebih dari itu, memiliki makna yang lebih luas
dan umum.261
3. Status Iman dan Nilai Amal Saleh Penganut Agama Lain
Apabila iman bisa mencakup tindakan menyingkirkan duri dari
jalanan, sebagaimana telah dikemukakan di muka, maka menurut Esack,
mengapa iman tidak bisa mencakup pula tindakan seorang individu yang
sepanjang hidupnya merespon suara Tuhan. Terlebih lagi jika penganut agama
258
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181. 259
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 188. 260
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 188. 261Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-180.
lain itu melakukan tindakan amal saleh. Menurutnya, sangat tidak mungkin
bagi Tuhan untuk berlaku tidak adil dan zalim pada yang lainnya.262
Dengan demikian, menurut Esack, status iman dan nilai amal saleh
penganut agama lain akan diterima dan mendapat pahala dari Tuhan,
sebagaimana yang telah Ia janjikan dan tegaskan bahwa Ia akan memberi
pahala bagi siapapun yang melakukan tindakan amal saleh walaupun mereka
tidak beriman seperti yang dibahas dalam teologi Islam, sedangkan ayat al-
Quran yang menjelaskan hal itu adalah Q.S al-Baqarah/2: 62.263
Bagi Esack, iman adalah keyakinan kepada Tuhan yang sama sekali
melampaui konsepsi kemanusiaan, suatu keyakinan yang diungkapkan dalam
kehidupan yang sesuai dengan etos al-Quran dan tuntutannya untuk beramal
saleh.264 Terlebih Ridha menyatakan, bahwa penggunaan kalimat siapa saja di
antara orang yang beriman adalah spesifikasi bagi tiga kelompok lain, yaitu
orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabi’in yang percaya dengan keimanan yang
benar, benar-benar hanya berserah diri pada Tuhan semata.265
Selanjutnya alasan lain yang menyatakan status iman komunitas lain
diterima oleh Tuhan, menurut Esack, dapat dipetakan ke dalam beberapa
alasan: pertama, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka bahwa
penggunaan istilah-istilah iman, seperti mu’minûn dalam al-Quran dan para
pemikir, pengertiannya tidak merujuk pada komunitas Nabi Muhammad saja,
tetapi juga di luar itu, mereka yang sepanjang hidupnya merespon suara
262
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168. 263
Terjemahannya: “Sungguh orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabi’in, siapa
saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat kebajikan, mereka
akan mendapatkan balasan mereka di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan
tidak pula mereka akan bersedih hati”. 264
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 167. 265Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 211-212.
Tuhan. Kedua, sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. al-Hujurat/49: 14-
15266, yakni yang menjelaskan peringatan terhadap tindakan kaum Badui yang
memeluk Islam secara formal berbeda dengan iman itu sendiri. Islam dalam
makna tunduk secara formal pada aturan baru yang dibawa Nabi Muhammad,
adalah awal dari terbitnya keyakinan yang masih menumbuhkan akarnya di
dalam hati. Bergabungnya mereka dengan komunitas Muslim secara formal
tidak lantas mencerminkan keyakinan personalnya karena kata "Muslim" bisa
saja merujuk pada identitas baru berdasarkan perjanjian itu, bukan karena
keyakinan, dan makna yakin dan mengakui adalah tafsiran lebih akurat bagi
iman dari pada sekedar percaya. Makna iman merupakan suatu kualitas yang
aktif yang membuat seseorang berada dalam hubungan yang dinamis dengan
penciptanya dan sesamanya, mencakup kemampuan untuk melihat yang
transenden dan memberi respon kepadanya, mendengar bisikan Tuhan dan
bertindak, seperti yang diperintahkan-Nya.267
Alasan ketiga, bentuk aktualisasi keberimanan individu atau kelompok
itu banyak dan berbeda-beda, namun penunjukan, seperti kata mu’minûn
terkadang hanya menunjuk pada komunitas kaum beriman yang sudah mapan,
sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-An’am/6: 82, berbicara tentang orang
beriman dan tidak mencampuradukan imannya dengan ketidakadilan dan Q.S.
al-Hujurat/49: 9, menunjuk satu kelompok mu’minûn yang berbuat aniaya.
266
Terjemahannya: “Orang Badui ini berkata kami telah beriman katakanlah kepada
mereka kamu belum beriman. Tetapi katakanlah kami telah tunduk karena iman itu belum masuk kedalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasulnya dia tidak akan mengurangi sedikit
pun amalanmu sesunguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya arang-
orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulnya kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa. Raga mereka pada jalan Allah
mereka itulah orang-orang yang beriman.” 267Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 166-168.
Alasan keempat, adalah ada yang disebut mu’minûn sekalipun perilaku
individual mereka tidak sesuai dengan komitmen keimanannya, sebagaimana
dalam pandangan masyarakat Muslim, mereka yang dilahirkan di dalam
keluarga Muslim cukup untuk memasukkan seseorang sebagai anggota
kalangan mu’minûn, selama orang itu tak pernah secara verbal mengingkari
asal-usulnya sekalipun perilaku individual mereka tidak sesuai dengan
komitmen keimanannya. Ini berarti bahwa faktor pengakuan lewat mulut pun
dalam praktiknya tidak diperlukan karena tidak ada mekanisme formal untuk
menguji keimanan seseorang ketika dia telah menginjak usia dewasa.268
Alasan terakhir, adalah penggunaan kalimat "orang-orang yang
beriman" sudah dipakai di Makkah, sekalipun tidak sering, pada periode
ketika Muslim secara sosial berada dalam posisi paling rentan dan tidak aman.
Mereka membentuk kelompok mu’minûn dalam arti ketidakamanan, dan
mengapresiasikan komitmen tersebut dalam satu ikatan tanpa melihat
komitmen keimanannya, yakni merujuk kepada mu’minûn berasal dari amn,
yang artinya menjadi aman atau memperoleh perlindungan yang digunakan
untuk kaum yang berkelompok atas dasar ketidakamanan.269
Kata tersebut
digunakan bukan karena pilihan iman yang telah mereka ambil, tetapi karena
mereka berada pada posisi lemah dan rentan (Q.S. Saba/34: 32). Mereka juga
tidak merasa aman karena pemihakkan mereka kepada kaum lemah dan telah
menyedekahkan hartanya kepada golongan itu.270
268
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 165-166. 269
Lihat Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 166. 270Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181.
C. Kritik Terhadap Farid Esack
Jika dilihat dari pernyataan-pernyataannya mengenai paham pluralisme
agama dan beberapa argumentasinya melalui penguatan al-Quran dan pemahaman
ulang istilah iman, islam dan kafir, serta pandangannya mengenai status iman dan
nilai amal saleh penganut agama lain, maka dalam perspektif Fahmi Zarkasi,
Esack dikelompokkan ke dalam penganut paham pluralisme religius filosofis atau
dalam ungkapannya Siswanto, menganut prinsip azali banyak karena ia
mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang menyatakan pengakuan dan
penerimaan terhadap eksistensi agama-agama dan menyatakan prinsip yang
memberikan makna dan hukum kenyataan yang sesungguhnya yang berada di
belakang gejala-gejala yang memberikan watak kenyataan yang sama pada semua
kenyataan yang ada adalah ilahi.271
Adapun pernyataan-pernyataan yang menujukkan ia ke dalam paham
tersebut, jika diuraikan adalah pertama, pernyataannya mengenai pengertian
pluralisme agama; ia menyatakan bahwa pluralisme agama bukan sekedar
toleransi saja, tapi lebih dari itu adalah pengakuan dan penerimaan atas
keberbedaan dan keberagaman, baik di antara sesama maupun pada penganut
agama lain; ia juga mengakui dan menerima apa pun yang ada dalam diri setiap
manusia ke arah yang transenden, dari yang terlihat maupun tidak. Lebih jelasnya
pernyataan Esack yang menyatakan pengertian tersebut adalah sebagai berikut:
“Pluralisme dijabarkan sebagai pengakuan dan penerimaan, bukan sekedar toleransi, atas keberbedaan dan keberagaman, baik di antara
sesama maupun pada penganut agama lain, maka dalam konteks agama
271Mengenai penjelasan tersebut, lihat hal. 57-60 pada bab ini, IV.
berarti, penerimaan perbedaan cara menanggapi dari dorongan, baik yang
terlihat maupun tidak, yang ada dalam diri setiap manusia ke arah yang transenden”.272
Kedua, pernyataannya mengenai alasan-alasan teologis komunitas lain dalam al-
Quran; Ia menyatakan bahwa al-Quran mengakui dan menerima keberadaan
kehidupan religius komunitas lain, baik itu dalam keberadaan hukum-hukumnya,
norma-norma sosial dan praktik-praktik keagamaannya; artinya jika dilihat dari
pernyataannya tersebut, Esack benar-benar mengakui keberadaan mereka, baik
dari segi sosial, religius dan hukum-hukumnya terlebih lagi jika al-Quran yang
menyatakan hal itu.273
Ketiga, pernyataannya mengenai pengertian istilah iman,
islam, dan kafir; Ia menyatakan bahwa pengertian iman tidak merujuk pada
komunitas Nabi Muhammad saja, tetapi juga di luar itu, adalah tindakan yang
merespon aktif kehadiran Tuhan dan alam semesta dan sejarah sepanjang
hidupnya;274 demikian juga dengan pengertian islam tidak diartikan sebagai label
nama dari salah satu agama, tapi istilah tersebut mengandung muatan universal
yang ditujukan bagi siapa pun yang tunduk pada kehendak Tuhan, yang hanya
berserah diri pada yang absolut, dan penyerahan diri pada yang absolut, menurut
Esack, dapat dengan jelas ditemukan dan dikenali di dalam berbagai simbol dan
pola keberimanan dan tindakan di dalam berbagai agama dan ideologi masa lalu
maupun sekarang sehingga cakupannya memasukkan agama lain serta beragam
kewajiban dan bentuk-bentuk praktik di dalamnya dan apa-apa yang telah menjadi
bagian dari mereka; yang terpenting menurut Esack adalah setiap tindakan respon
tulus terhadap panggilan dari sang misteri yang tersembunyi, sumber segala yang
272
Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 60 pada bab ini, IV. Bag. Pengertian Pluralisme
Agama. 273
Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 60-66 pada bab ini, IV. 274Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 66-69 pada bab ini, IV.
ada.275
Demikian juga dengan pernyataan istilah kafir. Ia menyatakan bahwa
istilah tersebut tidak diartikan sebagai label bagi kelompok yang berbeda atau bagi
orang yang tidak percaya pada Tuhan, tapi lebih digunakan kepada tindakan-
tindakan yang menggambarkan tindakan yang tidak menghiraukan perintah
Tuhan, seperti berbuat kebaikan, berbagi kekayaan dengan orang miskin; orang
yang tidak tahu terimakasih, tidak bersyukur mengingkari dan menutupi atas
kebaikan dari Tuhan.276
Terakhir, adalah pernyataannya mengenai status iman dan nilai amal saleh
agama lain; ia menyatakan bahwa status iman dan nilai amal saleh agama lain
akan diterima dan mendapat pahala dari Tuhan, sebagaimana yang telah Tuhan
janjikan dan tegaskan bahwa Ia akan memberi pahala bagi siapapun yang
melakukan tindakan amal saleh walaupun tidak beriman seperti yang dibahas
dalam teologi Islam karena Islam tidak lantas semata-mata merujuk pada
kebetulan biologis yang dilahirkan dalam keluarga Muslim. Begitu juga dengan
kafir tidak lantas merujuk pada kebetulan dilahirkan bukan dari keluarga Muslim,
sebagaiman yang telah dijelaskan di muka, pengertian kufr tidak digunakan dalam
pengertian orang yang tidak percaya terhadap Nabi dan Tuhan, tetapi digunakan
sebagai penunjukan perilaku yang bermusuhan terhadap Islam dan Muslim
sebagai pengertian tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin
mengorganisasikan keberadaan kolektif mereka atas dasar ketundukan itu, yakni
islam, yaitu ajaran yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang adil, baik secara
ekonomi maupun sosial: menuntut tranformasi kongkret masyarakat dari
eksploitasi ke keadilan, dari mementingkan diri ke sifat sebaliknya, dari arogan ke
275
Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 69-75 pada bab ini, IV. 276Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 75-81 pada bab ini, IV.
kerendahan hati, dari kesukuan yang sempit menuju persatuan. Dengan kata lain
Esack lebih melihat tindakan seseorang yang merespon tulus kehadiran Tuhan
yang dilakukan oleh siapa pun.277
Demikianlah pernyataan-pernyataan Esack yang menunjukkan ia ke dalam
paham tersebut karena dari pernyataan-pernyataannya, ia telah mengemukakan
hal-hal yang mengedepankan eksistensi transenden di dalam diri setiap manusia di
sepanjang hidupnya. Dengan demikian, penulis memasukkan pandangan-
pandangannya tersebut ke dalam kelompok paham pluralisme agama religius
filosofis atau dalam bahasanya Siswanto, menganut prinsip azali banyak.
277Mengenai penjelasan tersebut lihat. hal. 81-84 pada bab ini, IV.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan penelitian terhadap paham pluralisme agama
dalam perspektif Esack, maka penulis mengambil simpulan bahwa pluralisme
agama menurutnya, tidak hanya sekedar toleransi atas keberbedaan, tapi lebih dari
itu adalah penerimaan perbedaan cara menanggapi dari dorongan, baik yang
terlihat maupun tidak, yang ada dalam diri setiap manusia ke arah yang
transenden, dan secara teologis al-Quran menurutnya, mengakui keberadaan
agama-agama lain, baik secara sosial maupun spritual; hukum-hukumnya, norma-
norma sosialnya dan praktik-praktik keagamaannya. Bahkan tidak itu saja, agama-
agama lain pun menurutnya akan mendapat keselamatan meskipun jalan yang
mereka lalui berbeda-beda. Yang terpenting menurutnya adalah keimanan yang
benar kepada Allah, Hari Akhir dan disertai dengan berbuat kebajikan, sedangkan
pluralisme agama dalam perspektif agama Hindu, Buddha, dan Kristen, secara
teologis di dalamnya dijelaskan tentang pengakuan paham pluralisme agama;
dalam Hindu dikatakan bahwa Yang ilahi menerima orang-orang yang yang
datang kepadanya melalui jalan agama yang berbeda-beda; dalam Buddha
dikatakan sang Buddha tidak berharap meninggalkan agama mereka sebelumnya,
ia hanya ingin meningkatkan kebenaran dan kebaikan, seperti yang diajarkan
agama mereka sebelumnya; demikian juga dalam Kristen, dikatakan Allah
mengulurkan tangan kepada semua orang dalam cinta.
Adapun penjelasan-penjelasan Esack yang menyatakan paham pluralisme
agama adalah selain mendasarkan pada al-Quran, adalah meredifinisi pengertian
iman, islam dan kafir dengan makna yang sangat kontekstual dan eksistensial
dengan paham pluralisme agama. Menurutnya, pengertian islam mengandung
muatan universal yang ditujukan bagi siapa pun yang tunduk pada kehendak
Tuhan, dan lebih untuk menyebut kepada tindakan pribadi daripada untuk
menyebut nama dari suatu sistem agama. Oleh karena itu, Islam tidak lantas
semata-mata merujuk pada kebetulan biologis yang dilahirkan dalam keluarga
Muslim. Begitu juga kafir tidak lantas merujuk pada kebetulan dilahirkan bukan
dari keluarga Muslim. Pengertian kufr tidak digunakan dalam pengertian orang
yang tidak percaya terhadap Nabi dan Tuhan, tetapi digunakan sebagai
penunjukan perilaku yang bermusuhan terhadap Islam dan Muslim sebagai
pengertian tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin mengorganisasikan
keberadaan kolektif mereka atas dasar ketundukan itu, yakni islam, yaitu ajaran
yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang adil, baik secara ekonomi maupun
sosial: menuntut tranformasi kongkret masyarakat dari eksploitasi ke keadilan,
dari mementingkan diri ke sifat sebaliknya, dari arogan ke kerendahan hati, dari
kesukuan yang sempit menuju persatuan.
Demikian juga, dengan istilah din. Istilah tersebut tidak diartikan sebagai
agama Tuhan yang diekspresikan melalui kehidupan agama yang sistematis dan
terlembagakan, tetapi untuk menjelaskan proses. Pada din sebagai penyerahan diri
kepada Tuhan dengan ketundukan, kepatuhan, berbakti menuju kebenaran dalam
huda dan bayan-Nya. Begitupun pengertian iman. Iman merupakan pengakuan
pribadi akan, dan respon aktif terhadap kehadiran Tuhan di alam semesta dan di
dalam sejarah yang mencakup tindakan seorang individu yang sepanjang
hidupnya merespon suara Tuhan, juga sebagai kualitas yang dapat dimiliki
individu, dinamis dan beragam intensitasnya sesuai dengan tahap-tahap dalam
hidup individu itu. Terlebih lagi Allah telah berjanji akan memberikan pahala bagi
siapa pun yang berbuat kebajikan sehingga tidak mungkin jika Ia ingkar janji
seraya menzalimi yang lain. Adapun alasan Tuhan menghendaki keanekaragaman
jalan keimanan, menurut Esack, agar manusia berlomba-lomba dalam kebaikan.
Namun sekiranya jalan itu penuh cobaan, yang tidak memungkinkan seseorang
untuk melewatinya, maka dia bebas memilih jalan lain yang telah ditetapkan oleh-
Nya. Oleh karena itu, para penganut agama apa pun tidak berhak mengklaim
kebenaran atas kebenaran yang lainnya karena selain itu pun Tuhan telah
mengutus para nabi-Nya dengan misi yang sama, yakni untuk menyadarkan
kembali komitmen umatnya kepada tauhid, dan mengingatkannya tentang
pertangungjawabannya kepada Tuhan, serta untuk menegakkan keadilan sesuai
dengan konteks situasi umat mereka yang bermacam-macam dan berbeda-beda,
dan kedatangan Nabi Muhammad tidak akan menghapus keberimanan umat
sebelumnya karena ia hanyalah sebagai pemberi peringatan yang sama,
sebagaimana nabi-nabi sebelumnya. Oleh karena itulah jika digolongkan, penulis
memasukkan Esack kepada kelompok yang menganut paham pluralisme agama
religius filosofis atau dalam bahasanya Siswanto, menganut prinsip azali banyak.
B. Saran
Dalam hal ini penulis menyarankan untuk lebih menggali literatur
perpektif agama-agama lain selain Islam karena sementara ini penulis sedikit
menemukan literatur yang berkaitan dengan pembahasan pluralisme agama dalam
perspektif agama-agama, seperti Hindu dan Buddha. Kemudian paham pluralisme
agama yang dijelaskan oleh Esack, juga tidak jauh berbeda dengan gagasan
pluralisme agama yang diusung oleh pemikir-pemikir Muslim lainnya, dalam
konteks Indonesia salah satunya adalah Nurcholis Madjid. Namun tetap Esack
memiliki keunggulan karena ia lebih berani mendefinisikan ulang istilah-istilah
iman, islam dan kafir secara bersamaan dengan makna yang lebih luas.
Selanjutnya dalam mengutip gagasan-gagasan pluralisme agama ia juga banyak
mengutip pemikir Muslim terdahulu, seperti Ridha, al-Razi, Ibn al-Arabi, Asad,
dan al-Thabathaba’i, seperti mengutip penggunaan dan pemaknaan istilah-istilah
iman, islam dan kafir. Walaupun demikian, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa
gagasan-gagasan yang diusung Esack mengenai paham pluralisme agama,
khususnya bagi Afrika Selatan tidak hanya sekedar wacana, tetapi telah menjadi
solusi bagi perubahan situasi politik dan agama di Afrika Selatan pada saat itu,
dan hal tersebut layak menjadi kontribusi pemikiran yang sangat berharga bagi
dunia, khususnya dunia Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Al-Ghaffar, Purwanto. Tuhan yang Menentramkan, Bukan yang
Menggelisahkan: Studi Banding Tauhid dan Trinitas. Jakarta: Serambi,
2006.
Alex, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer. Surabaya: Karya Harapan, 2005.
Anwar, M. Rosihon. “Tafsir Esoterik Menurut Pandangan Al-Thabathaba’i.”
Disertasi S3 Tafsir Hadits, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2004.
Anwar, M. Syafii’. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995.
Arkoun, Mohammed. Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Armstrong, Karen. Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. Penerjemah Hikmat Darmawan Jakarta: Serambi, 2003.
-----. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan Oleh Orang-
Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Penerjemah Zaimul Am Bandung: Mizan, 2002
Azra, Azyumardi. dkk. Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia. Ciputat:
INCIS, 2003.
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Riuh di Beranda Satu Peta
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Seri II. Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003.
-----. Kompilasi Perundang-Undang Kerukunan Hidup Umat Beragama
Departemaen Agama RI. Edisi Ketujuh. Jakarta: Departemen Agama RI,
2003.
Badudu, J. S. Kata-Kata Serapan Asing dalam B. Indonesia. Jakarta: Kompas, 2003.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
Burhanudin. “Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif: Perspektif Farid
Esack dan Charles Kurzman tentang Islam, Modernitas, dan Masa Lalu yang
Diciptakan.” Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.
“Bom Bali 2002.” Diakses tanggal 10 September 2007 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002
“Bom Bali 2005.” Diakses tanggal 10 September 2007 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2005
“Bom JW. Marriot.” Artikel diakses tanggal 10 September 2007 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002
Coward, Harold. Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco
Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Creswell, John W. Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.
Pengantar Supardi Suparlan. Penerjemah Angkatan III dan IV KIK-UI dan
bekerjasama dengan Nur Khabibah. Jakarta: KIK Press, 2003.
Dahlan, Abdul Aziz. Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud (Kesatuan
Wujud): Tuhan Alam Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani.
Padang: IAIN IB-Press, 1999.
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnnya. Bandung: Syaamil, 2004.
Esack, Farid. Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme.
Penerjemah Watung A. Budiman. Bandung: Mizan, 2000.
-----. Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligous
Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld Publications, 1997.
-----. On Being a Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural.
Penerjemah Nuril Hidayah Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
-----. On Being a Muslim: Menjadi Muslim di Dunia Modern. Penerjemah Dadi
Darmadi dan Jajang Jamroni. Jakarta: Erlangga, 2004.
Galib, M Muhammad. Ahl Al-Kitab: Makna dan Cakupannya. Jakarta:
Paramadina, 1998.
Gifford, Clive. “Afrika Selatan.” Dalam Henry P. dkk, ed. Ensiklopedi Geografi
Dunia untuk Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas,
dkk. Jakarta: Lentera Abadi., 2006: h. 380-383.
-----. “Indonesia.” Dalam Henry P. dkk, ed. Ensiklopedi Geografi Dunia untuk
Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk. Jakarta: Lentera Abadi., 2006: h. 328-333.
“Gustavo Gutierrez.” Diakses dari http://fppi.blogspot.com/2007/07/teologi-pembebasan.htmlPerihal Teologi Pembebasan
Hanafi, Hassan. Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama.
Jakarta: Paramadina, 2003.
Husaini, Adian. Pluralisme Agama: Haram Fatwa MUI Yang Tegas Dan Tidak
Kontroversial. Jakarta: Pustaka al Kaustar, 2005. Irwandi. “Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.
Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap Al-
Quran. Penerjemah Agus Fahri Husein, dkk. Jogja: Tiara Wacana, 1994.
“Juan Luis Segundo.” Diakses tanggal 11 November dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Juan_Luis_Segundo
Kurzman, Charles. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang
Isu-Isu Global. Penerjemah Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Penyunting E.
Kusnadiningrat dan Din Wahid. Jakarta: Paramadina, 2001.
“Kerusuhan Ambon.” Diakses pada 10 September 2007 dari
www.hamline.edu/apakabar/basis data/1999/08/26/0037.html
“Kerusuhan Poso.” Diakses pada 10 September 2007 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Poso
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi
Baru Islam Indonesia. Jakarta:Paramadina, 2003.
-----. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina, 2000.
-----. “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi
Mendatang.” Ulumul Quran IV, no. 1 (1993): h. 10-12.
-----. “Dialog Antara Ahli Kitab (Ahl Al-kitab) Sebuah Pengantar.” Dalam George
B. Grose dan Benjamin J. Hubbard, ed. Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah
Dialog. Penerjemah Santi Indra Astuti. Bandung: Mizan, 1998.
MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jakarta. Kerukunan Beragama dari Perspektif
Negara, Ham, dan Agama-Agama. Pengantar Quraish Shihab. Jakarta: MUI,
1996.
Muthari, Abdul Hadi Widji. “Estetika Sastera Sufistik Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaikh Hamzah Fansuri.” Tesis S 2, University Sains
Malaysia, 1996.
Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI-Press, 1986.
Nasution, Harun. dkk. Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia. Jogja: Tiara Wacana, 1997.
Osman, Mohamed Fathi. Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan:
Pandangan Al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah dan Perdaban. Penerjemah Irfan Abubakar. Jakarta: Paramadina, 2006.
dari 2007 November 11 l Diakses tangga”.Knitter. Paul F“-freedom.www://http
224=id&diskusi=detail&kegiatan=page?php.index/id/org.instituteHalaman
maUta » Pelayanan Gereja
“Pengeboman Poso Divonis 18 Tahun.” Media Indonesia, 4 Desember 2007.
Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman.
Jakarta: Paramadina, 2001.
“Radhakrishnan.” Dalam Paul Edwards, ed. The Encyclopedia of Philosophy, vol.
VII-VIII. New York: Macmillan., 1967: h. 62.
Rahardjo, M. Dawam. Paradigma Al-Quran Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial.
Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005.
Rahman, Fazlur. dkk. Agama untuk Manusia. Penerjemah Ali Noer Zaman.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Rakhmat, Jalaluddin. “Menundukkan Makna Pluralisme Agama.” Buletin
Kebebasan V, no. 3 (Mei 2007): h. 19-21.
Siswanto, Joko. Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida
Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Sukidi. New Age Wisata Spiritual Lintas Agama. Jakarta: Gramedia, 2002.
-----. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Kompas, 2001.
Sunyoto, Agus. Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar. Buku Satu
Yogyakarta: LkiS, 2003.
Suseno, Franz Magnis. “Terima Kasih, Cak Nur!.” Dalam Muhamad Wahyuni
Nafis dan Ahmad Rifki, Penyunting. Kesaksian Intelektual Mengiringi
Kepergian Sang Guru Bangsa. Jakarta: Paramadina, 2005: h. 102-103.
-----. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.
Jakarta: Gramedia, 1999.
Smith, Huston. Agama-Agama Manusia. Pengantar Djohan Effendi. Penerjemah
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam. “Ahmad, Mirza Ghulam.” Dalam Abdul Aziz Dahlan. dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. I. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.,
1997: h. 161.
-----. “Ibnu Arabi.” Dalam Abdul Aziz Dahlan. dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. II. Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve., 1996: h. 150.
-----. “Rasyid Rida, Syekh Muhammad.” Dalam Abdul Aziz Dahlan. dkk, ed.
Ensiklopedi Islam, vol. IV. Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve., 1997: h. 161.
Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia. “Apartheid.” Dalam Ensiklopedi
Nasional Indonesia, vol. II. Jakarta: Delta Pamungkas., 2004: h. 187-188.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P & K).
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Umi Basiroh. dkk, peyunting. Jakarta:
Balai Pustaka., 1988: h. 340.
The Helen Suzman Foundation. “Profile of Farid Esack.” Artikel diakses pada 10
September 2007 dari http://www.hsf.org.za/%23article_view.asp?id=34
Usman, Fatimah. Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta: LkiS, 2002.
Wahid, Abdurrahman. dkk. Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta:
Interfidei, 1994.
Zarkasi, Hamid Fahmi. “Islam dan Paham Pluralisme Agama.” Majalah dan
Pemikiran Islam Islamia I, no. 3 (September-Nopember 2004): h. 6-7.