family folder stev1

70
1 BAB 1 PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia. Tuberkulosis dikenal sebagai pembunuh utama di antara penyakit infeksi bakterial di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (M.Tb), yang berbentuk batang, bersifat anaerob, dan tahan asam. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2011 mengenai perkiraan kasus TB secara global disebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat insidensi TB sebanyak 8,5–9,2 juta kasus per tahun, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian akibat TB. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan merupakan negara dengan penderita kelima terbanyak di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. (WHO, 2011) Di Indonesia penyakit ini adalah pembunuh di antara penyakit menular dan merupakan kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Meskipun keberhasilan strategi dalam mengontrol kasus TB cukup tinggi, keberadaan TB di berbagai belahan dunia menunjukkan kebutuhan untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang meningkatkan risiko terjadinya TB, antara lain usia dan imunitas. Pengendalian TB saat ini diperkirakan mulai mengalami kendala seiring

Upload: cinthya

Post on 29-Jan-2016

259 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

family folder tb

TRANSCRIPT

Page 1: Family Folder Stev1

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini masih

menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia.

Tuberkulosis dikenal sebagai pembunuh utama di antara penyakit infeksi bakterial di

dunia. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (M.Tb), yang

berbentuk batang, bersifat anaerob, dan tahan asam. Berdasarkan laporan World Health

Organization (WHO) tahun 2011 mengenai perkiraan kasus TB secara global

disebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat insidensi TB sebanyak 8,5–9,2 juta kasus

per tahun, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian akibat TB. Di

Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan merupakan negara

dengan penderita kelima terbanyak di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan

Nigeria. (WHO, 2011)

Di Indonesia penyakit ini adalah pembunuh di antara penyakit menular dan

merupakan kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut

pada seluruh kalangan usia. Meskipun keberhasilan strategi dalam mengontrol kasus

TB cukup tinggi, keberadaan TB di berbagai belahan dunia menunjukkan kebutuhan

untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang meningkatkan risiko terjadinya TB, antara

lain usia dan imunitas. Pengendalian TB saat ini diperkirakan mulai mengalami kendala

seiring dengan peningkatan jumlah pasien diabetes mellitus (DM) di dunia, yaitu

terdapat sekitar 285 juta pasien DM dan akan bertambah menjadi 438 juta di tahun

2030. (Sulaiman, 2011)

Istilah DM menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan berbagai etiologi

yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat,

protein, dan lemak, sebagai akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau

keduanya. Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui karena pada kondisi

diabetes terdapat penekanan pada respon imun penderita yang selanjutnya akan

mempermudah terjadinya infeksi oleh mikobakteri Mycobacterium tuberculosis (M.tb)

dan kemudian berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Pasien dengan diabetes

memiliki risiko terkena tuberkulosis sebesar 2-5 kali lipat dibandingkan dengan orang

tanpa diabetes. (Sulaiman, 2011) Interaksi antara penyakit kronik seperti TB dengan

Page 2: Family Folder Stev1

2

DM perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut karena kedua kondisi penyakit tersebut

seringkali ditemukan secara bersamaan yaitu sekitar 42,1%, terutama pada orang

dengan risiko tinggi menderita TB. Dalam studi terbaru di Taiwan disebutkan bahwa

diabetes merupakan komorbid dasar tersering pada pasien TB yang telah dikonfirmasi

dengan kultur, terjadi pada sekitar 21,5% pasien. Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Alisjahbana et al di Indonesia pada tahun 2001-2005, DM lebih banyak ditemukan

pada pasien baru TB paru dibandingkan dengan non TB. (Palomino, 2007)

Diabetes mellitus telah dilaporkan dapat mempengaruhi gejala klinis TB serta

berhubungan dengan respons lambat pengobatan TB dan tingginya mortalitas.

Peningkatan reaktivasi TB juga telah dicatat pada penderita DM. (Palomino,2007)

Sebaliknya juga bahwa penyakit tuberkulosis dapat menginduksi terjadinya intoleransi

glukosa dan memperburuk kontrol glikemik pada pasien dengan DM, namun akan

mengalami perbaikan dengan pengobatan anti TB (OAT). (Dooley, 2009) Upaya

pencegahan dan pengendalian dua penyakit mematikan DM dan TB sangat penting

untuk menurunkan mortalitas karena TB, oleh karena itu penting untuk diketahui

bagaimana mekanisme DM dapat menyebabkan TB dan bagaimana TB dapat

mempengaruhi kontrol glikemik pada penderita DM.

Page 3: Family Folder Stev1

3

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. TP

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 53 tahun

Agama : Katolik

Alamat :Jl. Kejawen no 1934 RT 32 Rw 07 Kel Pipa

Rejo Kec. Kemuning Palembang

Pekerjaan : Pengangguran

Tanggal kunjungan ke Puskesmas : 23 September 2015

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis tanggal 23 September 2015)

Keluhan Utama

Batuk dengan dahak bercampur darah sejak 3 hari sebelum berobat ke Puskesmas.

Riwayat Perjalanan Penyakit

Sekitar 1 tahun yang lalu penderita mengeluh kesemutan pada kedua

tungkai, badan terasa lemah, mengeluh lebih sering BAK pada malam hari, makan

menjadi lebih sering, sering merasa haus, mata kabur tidak ada, penurunan berat

badan tidak ada, luka yang sulit sembuh tidak ada, pasien berobat ke bidan di dekat

rumah dianjurkan memeriksa gula darah didapatkan hasil gula darah yang tinggi

kemudian bidan memberikan obat hiperglikemik oral (glibenklamid).

Sekitar 10 bulan yang lalu penderita mengeluh nyeri pada dada, nyeri tidak

menjalar, nyeri dirasakan seperti rasa penuh dan berat saat menarik napas, batuk

ada sekitar 2 minggu lebih, batuk disertai dahak yang kental dan berwarna putih

kekuningan, sesak napas tidak ada, keringat pada malam hari ada, terkadang pasien

harus mengganti pakaian satu kali, demam lama ada, nafsu makan dirasakan

berkurang, berat badan dirasakan menurun ditandai dari celana pasien yang

Page 4: Family Folder Stev1

4

semakin longgar, badan pasien terasa pegal-pegal. Penderita kemudian berobat ke

RS Myria, dilakukan pemeriksaan BTA sputum dan pemeriksaan radiologi paru

dengan hasil BTA (-) dan dikatakan dari gambaran radiologi paru pasien kotor,

pasien diberi obat TB tetapi hanya diminum selama 2 bulan dikarenakan pasien

pindah ke luar kota dan ketika kembali ke Palembang pasien malas untuk kontrol ke

RS Myria.

Sekitar 2 minggu yang lalu, penderita mengeluh batuk dengan dahak

bercampur darah,warna merah segar, berbuih, kurang lebih 2sdm, demam ada,

berkeringat malam hari ada, penurunan berat badan ada, sesak napas tidak ada,

nyeri dada tidak ada, badan terasa pegal, tidak ada riwayat trauma, pasien kemudian

berobat ke Puskesmas Basuki Rahmat dirujuk ke poli paru RS paru untuk

pemeriksaan dahak dan radiologi paru.

Riwayat penyakit terdahulu :

Riwayat hipertensi, penyakit jantung, asma dan alergi disangkal.

Riwayat perdarahan yang tidak berhenti dan muncul lebam pada tubuh disangkal

Riwayat minum obat-obatan disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluarga pasien menderita penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.

Riwayat DM ada pada ibu pasein.

Riwayat Kebiasaan

Riwayat merokok sejak remaja, 1 bungkus/hari, berhenti sejak 1 tahun lalu.

A. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 98 x/menit

Pernapasan : 24 x/menit

Page 5: Family Folder Stev1

5

Suhu : 36,80C

Berat badan : 50 kg

Tinggi Badan : 160 cm

Status Gizi : Status gizi baik (IMT 19,5)

Keadaan spesifik

Kepala

Mata : Konjungtiva palpebra tidak pucat,

Sklera tidak ikterik

Hidung : Tidak ada kelainan

Telinga : Tidak ada kelainan

Tenggorokan : Tidak ada kelainan

Mulut dan mukosa : Mukosa mulut tidak kering

Leher : Tidak ada kelainan

Thorax :

Cor :

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : HR : 98 x/menit, reguler, bunyi jantung I dan II

normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada

Pulmo :

Inspeksi : Simetris, retraksi (-)

Palpasi : Stem fremitus meningkat kanan & kiri

Perkusi : redup pada kedua apeks paru

Auskultasi : ronkhi kasar pada apeks baru

Abdomen :

Inspeksi : Datar, simetris

Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani pada semua lapangan abdomen

Auskultasi : Bising usus normal

Kulit : Tidak ada kelainan

Page 6: Family Folder Stev1

6

Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan

Ekstremitas bawah : Tidak ada kelainan

KGB : Tidak ada pembesaran pada KGB regio

coli, aksila dan inguinal.

B. Diagnosis Banding

Tuberkulosis paru

Bronkitis

Bronkiektasis

C. Pemeriksaan Penunjang

Sputum BTA SPS : +

Radiologi paru : fibroinfiltrat pada kedua lapang paru

D. Diagnosis Kerja

Tuberkulosis paru kasus putus obat + Diabetes Mellitus tipe 2 normoweight

terkontrol

E. Terapi

Nonmedikamentosa

Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa penyakit yang dialami oleh

pasien kemungkinan disebabkan oleh komplikasi dari penyakitnya yang

terdahulu.

Menjelaskan mengenai pemeriksaan dan pengobatan yang akan dilakukan

pada pasien yakni kembali memeriksakan sputum, rongen dan apabila

diperlukan akan kembali mengkonsumsi obat anti tuberkulosis.

Menjelaskan kepada pasien tentang dampak yang akan ditimbulkan jika

pasien tidak segera diobati.

Menjelaskan untuk tetap melanjutkan konsumsi makanan seperti biasa, olah

raga dan tidak merokok kembali.

Menjelaskan etika ketika batuk

Page 7: Family Folder Stev1

7

Menjelaskan cara minum obat, efek samping serta berapa lama akan minum

obat lagi

Menjelaskan hubungan penyakit diabetes dan tuberkulosis yang diderita

pada pasien, interaksi kedua obat penyakit tersebut, efek samping yang

mungkin timbul, pentingnya mengontrol kadar glikemik sehingga pasien

perlu melakukan pengawasan glukosa darah mandiri.

Menyarankan keluarga pasien (isteri dan anak-anak pasien) melakukan

pemeriksaan sputum dan radiologi paru

Memberikan penyuluhan kepada keluarga pasien mengenai penyakit suami,

meminta dukungan keluarga dan meminta keluarga menjadi PMO

(Pengawas Menelan Obat) bagi suami/ayah

Medikamentosa

Fase awal Fase awal 2 RHZE 2 RHZE

Metformin 500 mgMetformin 500 mg

Glimepirid 1gGlimepirid 1g

Vitromega Vitromega

Ambroksol 3x1CAmbroksol 3x1C

F. Komplikasi

Multi Drug Resisten

Efusi Pleura

Empiema

G. Prognosis

Quo ad Vitam : dubia ad bonam

Quo ad Functionam : dubia ad malam

Quo ad Sanationam : dubia ad malam

Page 8: Family Folder Stev1

8

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tuberkulosis

3.1.1 Definisi

Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik pada paru yang

disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis ditandai dengan pembentukan

granuloma dan adanya reaksi hipersensitifitas tipe lambat. (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2006)

3.1.2 Terminologi

Menurut WHO dan Depkes RI terminologi dapat dikelompokkan

berdasarkan dengan tipe penderita, diagnosis, dan hasil pengobatan.

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006)

Terminologi yang berkaitan dengan tipe penderita :

Kasus baru

Penderita TB paru yang sebelumnya tidak pernah mendapat OAT atau

yang pernah mendapat OAT kurang dari satu bulan

Kasus kambuh

Penderita TB paru BTA positif yang sebelumnya sudah dinyatakan

sembuh, tetapi kini datang lagi dan pada pemeriksaan BTA memberikan

hasil positif

Kasus gagal

Penderita TB paru BTA positif yang sudah mendapat OAT tetapi sputum

BTA tetap positif pada akhir pengobatan fase awal setelah mendapat terapi

sisipan, 1 bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan.

Batasan ini juga berlaku untuk penderita TB paru BTA negatif yang sudah

mendapat OAT, tetapi sputum BTA justru menjadi positif pada akhir

pengobatan fase awal.

Page 9: Family Folder Stev1

9

Kasus pindahan

Penderita TB paru di kabupaten / kotamadya lain yang sekarang menetap

di Kabupaten/kotamadya ini

Kasus berobat setelah lalai

Penderita TB paru yang menghentikan pengobatan (2 bulan atau lebih)

dalam keadaan belum dinyatakan sembuh dan kini datang lagi untuk

berobat dengan BTA positif

Kasus kronik

Penderita TB paru dengan BTA yang tetap positif, walaupun sudah

mendapatkan pengobatan ulang yang adekuat dengan pengawasan yang

baik.

Terminologi yang berkaitan dengan diagnosis

TB paru BTA positif

Penderita TB paru dengan salah satu kriteria sebagai berikut :

Sputum BTA positif paling sedikit 2 kali berturut-turut

Sputum BTA positif paling sedikit 1 kali dengan kultur M.Tb positif

Sputum BTA positif paling sedikit 1 kali dengan klinis/radiologis sesuai

dengan TB paru

TB paru BTA negatif

Penderita TB paru dengan kriteria sebagai berikut

Klinis dan radiologis sesuai dengan TB paru

Sputum BTA negatif

Kultur negatif atau positif

Bekas TB paru

Penderita TB paru dengan kriteria sebagai berikut :

Bakteriologis (sputum BTA dan kultur) negatif

Gejala klinis tidak ada atau gejal sisa akibat kelainan paru yang

ditinggalkan

Page 10: Family Folder Stev1

10

Radiologis menunjukkan gambaran lesi TB yang aktif, terlebih bila

gambaran serial foto toraks tidak mengalami perubahan

Terminologi yang berkaitan dengan hasil pengobatan

Sembuh

Penderita TB paru positif yang telah mendapatkan pengobatan lengkap

dan pada pemeriksaan dahak ulang (1 bulan sebelum AP dan pada AP)

BTA menjadi negatif

Pengobatan lengkap

Penderita TB paru yang telah selesai pengobatannya, tetapi status

kesembuhan (perubahan BTA positif menjadi negatif) tidak dapat

ditentukan. Penderita BTA positif akibat tidak dilakukan pemeriksaan

dahak ualng atau dilakukan satu kali dengan hasil BTA negatif, sedangkan

pada penderita BTA negatif, akibat konversinya tidak dapat ditentukan

Gagal

Penderita TB paru yang BTAnya tetap positif / menjadi positif pada akhir

fase awal pengobatan dengan sisipan, satu bulan sebelum AP atau pada

AP.

Meninggal

Penderita TB paru yang meninggal karena sebab apapun selama

pengobatan

Lalai (default)

Penderita TB paru yang pindah ke kabupaten/kotamadya lain dengan hasil

pengobatan yang tidak diketahui.

3.1.3 Diagnosis

3.1.3.1 Gejala Klinis

Page 11: Family Folder Stev1

11

Gejala klinis dibagi menjadi :

Gejala sistemik

Gejala ini mencakup demam lama pada malam hari, keringat malam,

badan terasa lemah, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan

Gejala respiratorik

Gejalanya antara lain : batuk, sesak napas dan rasa nyeri pada dada.

Batuk biasanya lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan

sputum yang bersifat mukoid atau purulen, batuk darah dapat terjadi

bila ada pembuluh darah yang robek, sesak napas biasanya terjadi pada

penyakit yang sudah lanjut.

3.1.3.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik sangat tergantung pada luas dan kelainan struktural

paru. Pemeriksaan fisik dapat normal pada lesi minimal, kelainan umumnya

terletak pada daerah apikal/posterior lobus atas dan daerah apikal lobus bawah.

Kelainan yang dapat ditemukan antara lain:

Bentuk dada yang tidak simetris, pergerakan paru yang tertinggal

Peningkatan stem fremitus

Redup pada perkusi

Suara napas bronkial, amforik, vesikuler melemah, ronki basah

Tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum

3.1.3.2 Gambaran foto toraks

Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan pada paru ialah

foto toraks PA dan Lateral. Gambaran lesi yang menyokong kearah TB paru aktif

biasanya berupa infiltrat nodular berbagai ukuran di lobus atas paru, kavitas

(terutama lebih dari satu), bercak milier ataupun adanya efusi pleura unilateral.

Gambaran lesi tidak aktif biasanya berupa fibrotik, atelektasis, kalsifikasi,

penebalan pleura, penarikan hilus dan deviasi trakea.

Berdasarkan luas lesi pada paru, ATS (American Thorasic Society)

membagi kelainan radiologik paru atas 3 kelompok :

Page 12: Family Folder Stev1

12

1. Lesi minmal

lesi dengan densitas ringan sampai sedang tanpa kavitas, pada satu atau

dua paru dengan luas total tidak melebihi volume satu paru yang

terletak di atas sendi kondrosternal kedua atau korpus vertebra

torakalis V (kurang dari 2 sela iga)

2. lesi sedang

lesi terdapat pada 1 atau 2 dengan luas total tak melebihi batas sebagai

berikut :

lesi dengan densitas sedang, luas seluruh lesi tidak melebihi

satu volume paru

lesi dengan densitas tinggi/konfluen, luas seluruh lesi tidak

melebihi luas 1/3 paru bila ada kavitas ukurannya tak melebihi

4 cm

3. lesi luas

lesi melebihi lesi derajat sedang

3.1.3.4 Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan BTA

Dahak yang terbaik adalah dahak yang diambil pada pagi sebelum makan,

kental, purulen dengan jumlah minimal 3-5 ml. Dahak diperiksa tiga hari

berturut-turut dengan pewarnaan Ziel Neellsen atau Kinyoun Gabbet.

Depkes RI menganjurkan pengambilan dahak sewaktu, dahak pagi, dan

dahak sewaktu yang dikumpulkan dalam 2 hari. Kesulitan mendapatkan

dahak dapat diatasi dengan minum satu gelas teh manis atau tablet GG 200

mg pada malah hari sebelum tidur. BTA dinyatakan positif bila BTA

dijumpai setidaknya pada dua dari tiga pemeriksaan BTA yang dilakukan.

b. Kultur

Dilakukan pada kasus dengan riwayat OAT sebelumnya (kasus kambuh

dan kasus gagal) dan pada daerah dengan kasus resistensi OAT yang

tinggi. Metode yang paling sering dipakai adalah metoda konvensional

seperti Lowenstein Jensen, Ogawa, dan Kudoh, pembacaan jumlah kuman

Page 13: Family Folder Stev1

13

dinyatakan dalam negatif sampai 4+, semakin tinggi nilai positifnya

mencerminkan semakin banyak kuman yang tumbuh.

c. Darah Rutin

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru.

Kelainan yang dapat dijumpai adalah anemia, peningkatan laju endap

darah, peningkatan leukositosis, dan limfositosis.

3.1.5 Tatalaksana

Pengobatan di bagi atas 2 fase, yaitu : (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2006)

a. Fase awal

Efek yang ingin dicapai pada fase awal adalah efek bakterisidal, yaitu

kemampuan obat untuk memusnahkan bakteri yang sedang

bermetabolisme aktif. Efek yang diperoleh dengan memberikan

kombinasi OAT yang bersifat bakterisidal kuat seperti rifampisin dan

INH, yang diberikan setiap hari selama 1-3 bulan.

b. Fase lanjutan

Efek yang ingin dicapai pada fase lanjutan adalah efek sterilisasi, yaitu

efek obat untuk memusnahkan populasi kuman yang semi dormant.

Untuk mendapatkan efek tersebut, paling sedikit kita harus memberikan

2 OAT selama 4-11 bulan, dapat dosis harian atau dosis berkala.

Tabel 1. Pengobatan TB menurut program Depkes/WHO

Kategori Kriteria Penderita Pilihan Regimen Pengobatan

Page 14: Family Folder Stev1

14

Fase Awal Fase LanjutanI Kasus baru BTA (+)

Kasus baru BTA (-) Ro (+) yang sakit berat

Kasus baru TB ekstra paru yang berat

2 RHZE (RHZS)2 RHZE (RHZS)

2 RHZE (RHZS)*

6EH4RH

4R3H3*

II BTA (+) Kambuh

GagalPutus Obat

2RHZES/1RHZE*

2RHZES/1RHZE5R3H3E*

III Kasus baru BTA (-) TB ekstraparu ringan

2RHZ2RHZ2RHZ*

6EH4RH4R3H3*

IV Kasus kronik Rujukan ke spesialis untuk memakai obat sekunder

3.1.6 Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pengobatan meliputi evaluasi klinik, evaluasi bakteriologik, radiologik,

efek samping obat dan keteraturan berobat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2006)

Evaluasi klinik

Evaluasi mencakup keluhan penderita, berat badan dan pemeriksaan fisik

paru. Dilakukan setiap 2 minggu pada fase awal dan setiap 1 bulan pada

fase lanjutan

Evaluasi bakteriologik

Evaluasi mutlak dilaksanakan, terutama pada kasus paru dengan BTA

positif, dengan evaluasi sputum dapat menentukan konversi BTA serta

status hasil pengobatan penderita. Konversi BTA adalah perubahan BTA

positif menjadi BTA negatif pada akhir fase awal. Pengobatan fase

lanjutan dimulai bila konversi positif, sebaliknya pada konversi negatif

maka pengobatan fase intensif diperpanjang 1 bulan lagi (terapi sisipan

dengan RHZE), bila konversi tetap negatif maka penderita dikategorikan

gagal pengobatan. Evaluasi BTA berikutnya pada 1 bulan sebelum akhir

pengobatan, pengobatan akan diteruskan bila BTA negatif, sebaliknya bila

BTA menjadi positif maka penderita dimasukkan dalam kategori gagal

pengobatan. Evaluasi final dilakukan pada akhir pengobatan, dikatakan

Page 15: Family Folder Stev1

15

sembuh bila BTA tetap negatif dan dikatakan gagal bila BTA menjadi

positif.

Evaluasi radiologis

Dilakukan pada fase awal dan pada akhir pengobatan. Adanya perubahan

gambaran lesi baik ke arah membaik atau memburuk akan membantu

dalam menentukan status pengobatan penderita.

Evaluasi efek samping obat

Efek Samping OAT penyebab Penatalaksanaan

RinganAnoreksia, mual, nyeri perutNyeri sendiRasa terbakar di kakiUrine berwarna merah/orange

RZHR

Obat diberikan malam hariAspirinVit B6 100 mg/hariReassurance

BeratGatal,rash pada kulitTuliNistagmus dan vertigoIkterikMuntah, penurunan kesadaranGangguan penglihatanSyok,purpura,gagal ginjal akut

SSS

Selurut OATSeluruh OAT

ER

Stop OATStop S, ganti EStop S, ganti EStop OATStop OAT cek PT,fungsi hatiStop EStop R

Tabel 2. Efek samping obat

Evaluasi keteraturan berobat

Depkes RI memberikan panduan sebagai berikut:

o Penderita yang tak makan obat < 2 minggu, OAT diteruskan sesuai

dengan jadwal

o Penderita yang tak makan obat 2-8 minggu, dengan :

BTA negatif : OAT sesuai jadwal

BTA (+), telah makan OAT <1 bulan : OAT diulang dari

awal

BTA (+), telah makan OAT 1-2 bulan : tambahkan sisipan

1 bulan

BTA (+), telah makan OAT > 2 bulan : mulai/ulangi

pemberian OAT kat-2

o Penderita yang tak makan obat > 8 minggu, dengan :

Page 16: Family Folder Stev1

16

BTA negatif : OAT diteruskan sesuai jadwal

BTA (+), telah makan OAT < 1 bulan : OAT diulang dari

awal

BTA (+), telah makan OAT 1-2 bulan : mulai/ulangi

pemberian OAT kat-2

BTA (+), telah makan OAT > 2 bulan : mulai pemberian

OAT kat-2

3.2 Diabetes Mellitus

3.2.1 Definisi

Berdasarkan definisi American Diabetes Association (ADA) tahun 2012,

diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau keduanya.

3.2.2 Klasifikasi

Tabel 3 Klasifikasi diabetes mellitus (PERKENI, 2011)

Tipe 1 Destruksi sel beta pankreas, umumnya terjadi defisiensi insulin absolut sehingga mutlak membutuhkan terapi insulin. Biasanya disebabkan karena penyakit autoimun atau idiopatik

Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

Tipe lain a. Defek genetik fungsi sel betab. Defek genetik kerja insulinc. Penyakit eksokrin pankreasd. Endokrinopatie. Karena obat/zat kimia/iatrogenikf. Infeksig. Sebab imunologi yang jarangh. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

3.2.3 Kriteria Diagnosis

Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan klasik atau non klasik. Keluhan

klasik berupa poliuria, polifagia, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak

Page 17: Family Folder Stev1

17

dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan nonklasik dapat berupa antara lain badan

terasa lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, nyeri pada ekstremitas yang tidak

diketahui sebabnya, luka yang silit sembuh, disfungsi ereksi pada pria, serta

pruritus vulva pada perempuan. Pada anamnesis juga dapat ditanyakan mengenai

pemeriksaan laboratorium terdahulu, status gizi, pola diet, riwayat perubahan

berat badan, tumbuh kembang, infeksi sebelumnya terutama infeksi pada kulit,

gigi, saluran kelamin dan kemih, infeksi pada kaki, gejala komplikasi pada ginjal,

mata, saluran pencernaan, dan riwayat pengobatan, adanya pengobatan lain yang

dapat berpengaruh terhadap kadar glukosa darah, adanya faktor risiko DM

( merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat

penyakit keluarga), pola hidup, psikososial, budaya, status ekonomi, dan

pendidikan.(PERKENI, 2011)

Pada pemeriksaan fisik dicara tanda penyakit penyerta/komplikasi di

antaranya hipertensi, kardiomegali, infeksi paru, udem, kulit kering, dan gangguan

pulsasi PD.(PERKENI, 2011)

Kriteria diagnosis diabetes mellitus

1. Gejala Klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL. Glukosa

plasma sewaktu adalah hasil pemeriksaan sesaat pada satu waktu tanpa

memperhatikan waktu makan terakhir

2. Gejala Klasik DM + kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dL

Puasa berarti tidak ada asupan kalori setidaknya 8 jam

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO

TTGO dilakukan standar WHO dengan 75 g glukosa anhidrat yang

dilarutkan dalam air

3.2.4 Tatalaksana

Talaksana DM secara adekuat bertujuan : .(PERKENI, 2011)

Menghilangkan keluhan dan tanda DM

Mempertahankan rasa nyaman dan mencapai target glukosa darah

(jangka pendek)

Page 18: Family Folder Stev1

18

Mencegah serta menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,

makroangiopati, dan neuropati (jangka panjang)

a. Evaluasi medis terarah

Meliputi riwayat penyakit pemeriksaan fisik, evaluasi

laboratorium/penunjang lain (GDP dan GD 2PP, HbA1c, profil lipid

pada keadaan puasa, kreatinin serum, albuminuria, keton, sedimen

dan protein urin, EKG, rontgen dada, serta rujukan apabila

diperlukan (mata, gizi, perawatan khusus kaki, psikolog, dan

konsultasi lain)

b. Evaluasi medis berkala/pemantauan

Meliputi pemeriksaan GDP, GD, 2PP, HbA1c setiap 3-6 bulan dan

pemeriksaan fisik serta penunjang lainnya.

c. Pilar penatalaksanaan DM

1. Edukasi

Edukasi mengenai pengertian DM, promosi perilaku hidup sehat,

pemantauan glukosa darah mandiri, serta tanda dan gejala

hipoglikemia beserta cara mengatasinya perlu dipahami oleh

pasien

2. Terapi Nutrisi Medis

Prinsip pengaturan diet pada penyandang DM adalah menu

seimbang sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing

pasien, perlu ditekankan pentingnya keteraturan jadwal, jenis,

dan jumlah makanan.

Kebutuhan kalori sebesar 25 (pada perempuan) dan 30

(pada laki-laki)/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi tergantung

dari beberapa faktor seperti jenis kelamin, usia, aktivitas, berat

badan, dll. Perhitungan berat badan ideal (BBI) dilakukan

dengan rumus Broca yang dimodifikasi, yaitu :

BBI = 90% x (tinggi badan dalam cm-100)x 1 kg

Page 19: Family Folder Stev1

19

Bagi pria dengan tinggi baan <160 cm dan perempuan

<150 cm, rumus dimodifikasi menjadi BBI = (tinggi badan

dalam cm -100) x 1 kg

BB normal = BBI ±10%, kurus <BBI -10%, gemuk >BBI

+ 10%

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

Karbohidrat : 45-65% total asupan energi (karbohidrat

non olahan berserat tinggi, dibagi dalam 3x makan/hari)

Lemak : 20-25 % kebutuhan kalori (dibatasi lemak jenuh

dan lemak trans, seperti daging berlemak dan whole

milk, konsumsi kolestrol <200 mg/hari)

Protein : 10-20% total asupan energi (seafood, daging

tanpa lemka, ayam tanpa kulit, protein susu rendah

lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe)

Natrium <3g atau 1 sdt garam dapur (pada hipertensi,

natrium dibatasi 2,4 g)

Serat ± 25 g/hari (kacang-kacangan, buah, dan sayuran

serta karbohidrat tinggi serat)

Pemanis alternatif : tetap perlu diperhitungkan

kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan

kalori sehari.

3. Aktifitas Fisik

Kegiatan jasmani yang dianjurkan adalah intensitas sedang (50-

70% denyut nadi maksimal) minimal 150 menit/minggu atau

aerobik 75 menit/minggu. Aktivitas dibagi dalam tiga hari per

minggu dan tidak ada dua hari berturutan tanpa aktifitas fisik.

Jika tidak ada kontraindikasi, pasien DMT2 diedukasi

melakukan latihan resistensi sekurangnya 2x/minggu. Untuk

penyandang DM dengan penyakit kardiovaskular, latihan

jasmani dimulai dengan intensitas rendah dan durasi singkat lalu

secara perlahan ditingkatkan. Aktivitas fisik sehari-hari juga

Page 20: Family Folder Stev1

20

dapat dilakukan, misalnya berjalan kaki ke tempat kerja,

menggunakan tangga (tidak menggunakan elevator).

4. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diterapkan bersama-sama dengan

pengaturan diet dan latihan jasmani. Terapi farmakologis dapat

berupa ADO atau insulin. Berdasarkan cara kerjanya, ADO

dibagi menjadi:

Pemicu sekresi insulin : sulfonylurea dan glinid

Peningkat sensitivitas terhadap insulin : metformin dan

tiazolidindion

Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase

alfa

DPP –IV inhibitor

Selain OHO terapi farmakologis lainnya adalah insulin. Terapi

insulin diindikasikan pada :

DM tipe 1

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat disertai ketosis

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Ketoasidosis diabetik

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Gagal dengan ADO dosis optimal

o Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark

miokard akut, stroke)

o Kehamilan dengan DM / DM gestasional yang tidak

terkendali dengan pengaturan diet

o Kontraindikasi ADO

Page 21: Family Folder Stev1

21

Tabel 4 Antidiabetik oral (PERKENI, 2011)

Golongan NamaGenerik

NamaDagang

mg/tab

Dosis Harian (mg)

Lama Kerja (jam)

Frek/hari

Waktu

Sulfonilurea

Glibenklamid Daonil 2,5-5 2,5-15 12-24 1-2

Sebelummakan

Glipizid MinidiabGlucotrol-XL

5-105-10

5-205-20

10-1612-16

1-21

Gliclazid DiamicronDiamicron MR

8030-60

80-32030-120

10-2024

1-21

Glukuidon Glurenorm 30 30-120 6-8 2-3Glimepirid Amaryl

GluvasAmadiabMetrix

1-2-3-41-2-3-41-2-3-41-2-3-4

0,5-61-61-61-6

24242424

1111

Glinid Repaglinid Dexanorm 1120

1,5 -6360 -

33

Tiazolidindion Pioglitazone ActosDeculinPionix

15-3015-3015-30

15-4515-4515-45

2424

18-24

111

Tidak tergan-tung jadwal makan

Penghambat Glukosidase alfa

Acarbose Glucobayeclid

50-10050-100

100-300100-300

33

Bersama suapan pertama

Biguanid Metformin GlucophageGlumin

500-850500

250-3000500-3000

6-86-8

1-31-3

Bersama/sesudah makanMetformin XR Glucophage

XRGlumin XR

500-750500 500-2000

2424

11

Penghambat DPP-IV

Vildagliptin Galvus 50 50-100 12-24 1-2 Tidak tergan-tung jadwal makan

Saxagliptin Onglyza 25,50,100 25-100 24 1Linagliptin Trajenta 5 5 24 1

Obat kombinasi tetap

Metformin + glibenklamid

Glucovance 250/1,25500/2,5500/5

Total glibenkla-mid maks 20 mg/hari

12-24 1-2 Bersama/sesudah makan

Glimepirin + metformin

Amaryl-met FDC

1/2502/500

2/5004/1000

2

Pioglitazone + metformin

Pionix M 15/50030/850

Total pioglitazo-ne maks 45 mg/ hari

18-24 1

Sitagliptin + metformin

Janumet 50/50050/1000

Total sitagliptin maks 100 mg/hari

1

Vildagliptin + metformin

Galvusmet 50/50050/85050/1000

Total vildaglip-tin maks 100 mg/ hari

12-24 2

Page 22: Family Folder Stev1

22

3.2.5 Komplikasi

Komplikasi dari diabetes mellitus dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu

makroangiopati, mikroangiopati, dan neuropati. Mikroangiopati merupakan

komplikasi yang terjadi paling dini diikuti dengan makroangiopati dan

neuropati. .(PERKENI, 2011)

Makroangiopati

o Penyakit jantung koroner

o Penyakit arteri perifer

o Penyakit serebrovaskular

o Kaki diabetes

Mikroangiopati

o Retinopati diabetik

o Nefropati diabetik

o Disfungsi ereksi

Neuropati

o Neuropati perifer

o Neuropati otonom

3.3 Hubungan Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus

3.3.1 Risiko tuberkulosis pada diabetes mellitus

Penyakit TB lebih sering ditemukan pada penderita DM dengan kontrol

glikemik yang buruk. Root menyatakan bahwa pada pertengahan abad ke-19,

pasien DM yang bisa lolos dari koma diabetikum pada akhirnya akan meninggal

karena penyakit TB. (Dooley dan Kapur, 2009) Penelitian di Philadelphia pada

tahun 1952 mengungkapkan bahwa dari 3.106 penderita DM terdapat sekitar 8,4%

yang menderita TB paru dibandingkan dengan 4,3% penderita TB dari 71767

orang tanpa DM. Tuberkulosis lebih banyak muncul pada penderita DM yang

telah memiliki penyakit DM selama lebih dari 10 tahun yaitu sekitar 17%

dibandingkan penderita DM kurang dari 10 tahun yaitu hanya sekitar 5% saja

yang menderita TB. (Dooley, 2009 dan Guptan, 2000)

Page 23: Family Folder Stev1

23

3.3.2 Gangguan fungsi imun pada diabetes mellitus

Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang dapat menyebabkan

penurunan sistem imunitas selular. Terdapat penurunan jumlah sel limfosit T dan

netrofil pada pasien DM yang disertai dengan penurunan jumlah T helper 1 (Th1)

dan penurunan produksi mediator inflamasi seperti TNF α, IL-1β serta IL-6.

Limfosit Th1 mempunyai peranan penting untuk mengontrol dan menghambat

pertumbuhan basil M.tb, sehingga terdapatnya penurunan pada jumlah maupun

fungsi limfosit T secara primer akan bertanggungjawab terhadap timbulnya

kerentanan pasien DM untuk terkena TB. Fungsi makrofag juga mengalami

gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghasilkan reactive

oxygen species, fungsi kemotaksis dan fagositik yang menurun. (Niazi, 2012)

Infeksi oleh basil tuberkel akan menyebabkan gangguan yang lebih lanjut pada

sitokin, makrofag-monosit dan populasi sel T CD4/CD8. Keseimbangan antara sel

limfosit T CD4 dan CD8 memainkan peranan penting dalam mengatur pertahanan

tubuh melawan mikobakteri dan menentukan kecepatan regresi pada TB aktif.

(Guptan, 2000)

Derajat hiperglikemi juga berperan dalam menentukan fungsi mikrobisida

pada makrofag. Pajanan kadar gula darah sebesar 200 mg% secara signifikan

dapat menekan fungsi penghancuran oksidatif dari makrofag. Penderita DM yang

kurang terkontrol dengan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) tinggi

menyebabkan TB menjadi lebih parah dan berhubungan dengan mortalitas yang

lebih tinggi. Selain terjadi kerusakan pada proses imunologi, pada pasien DM

juga terdapat gangguan fisiologis paru seperti hambatan dalam proses

pembersihan sehingga memudahkan penyebaran infeksi pada inang. Glikosilasi

non enzimatik pada protein jaringan menginduksi terjadinya gangguan pada

fungsi mukosilier atau menyebabkan neuropati otonom diabetik sehingga

menyebabkan abnormalitas pada tonus basal jalan napas yang mengakibatkan

menurunnya reaktifitas bronkus serta bronkodilatasi. (Kapur, 2009 dan Guptan,

2000) Gangguan fungsi imun dan fisiologi paru pada pasien DM dijelaskan pada

tabel 5.

Page 24: Family Folder Stev1

24

Tabel 5. Gangguan fungsi imun dan fisiologis paru penderita DM .

Kelainan fungsi imunologi paru

pada DM

Disfungsi fisiologis paru pada DM

Gangguan kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikrobisida polimorfonuklear

Reaktifitas bronkial berkurang

Penurunan monosit perifer dengan gangguan fagositosis

Penurunan elastic recoil dan volume paru

Buruknya fungsi transformasi sel blast menjadi limfosit

Penurunan kapasitas difusi

Cacat fungsi opsonisasi C3. Sumbatan mukus pada saluran napas

Penurunan respons ventilasi terhadap hipoksemia

Dikutip dari (Kapur, 2009 dan Guptan, 2000)

3.3.3 Hiperglikemia akibat tuberkulosis

Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. menemukan

13% pasien TB ternyata memiliki DM, jumlah ini lebih besar bila dibandingkan

kontrol tanpa TB dengan usia dan jenis kelamin yang sama yaitu hanya sebesar

3,2% yang memiliki DM, dari 13% pasien tersebut ternyata 60% didiagnosis

sebagai pasien DM baru. (Alisjahbana, 2006) Penelitian di Nigeria juga

mendapatkan hasil bahwa pada pasien TB yang disertai dengan gangguan

toleransi glukosa ternyata setelah 3 bulan diberikan pengobatan TB hasil tes

toleransi glukosa kembali normal.(Dooley, 2009 dan Guptan, 2000) Penelitian di

Tanzania pada 506 pasien TB paru dengan sputum bakteri tahan asam (BTA)

positif, 9 di antaranya diketahui menderita DM. Diabetes mellitus yang

didiagnosis melalui tes toleransi glukosa oral (TTGO) pada 11 pasien TB

tambahan memberikan peningkatan pada prevalens DM menjadi 4%. Gangguan

toleransi glukosa (GTG) terdapat pada 82 pasien (16,2%).

Page 25: Family Folder Stev1

25

3.3.4 Intoleransi glukosa pada tuberkulosis

Terdapatnya kondisi seperti stres akut merupakan penyebab penting pada

perkembangan GTG. Demam, inaktifitas yang berlarut-larut dan malnutrisi dapat

merangsang hormon stres seperti: epinefrin, glukagon, kortisol dan hormon

pertumbuhan yang bekerja secara sinergis meningkatkan kadar gula darah lebih

dari 200 mg%. Kadar plasma IL-1 dan TNF α juga meningkat pada penyakit berat

yang dapat merangsang sekresi hormon anti-insulin. Usia, penyakit komorbid dan

alkohol juga dapat mempengaruhi respons inang. Kadar serum hormon

adrenokortiko-tropin, kortisol dan T3 ditemukan menurun pada pasien TB,

kelainan ini menyebabkan kemampuan respons inang terhadap stress menjadi

terganggu. (Guptan, 2000)

Fungsi endokrin pankreas dapat mengalami gangguan pada kasus TB

yang berat dan ternyata insidens pankreatitis kronis yang disertai dengan

kalsifikasi lebih tinggi pada kasus DM dengan TB, mendorong suatu keadaan

defisiensi insulin absolut.(Mollentcz, 1990)

3.3.5 Kerusakan pankreas akibat tuberkulosis

Seorang ahli patologi Dr. Phillip Schwarz membuat hipotesis bahwa TB

dapat menyebabkan DM karena terdapat amiloidosis pada pankreas. Schwartz

menjelaskan terdapat dua mekanisme TB dapat menyerang pankreas yaitu melalui

reaksi imunobiologi toksik-alergi sebagai respon terhadap TB sistemik yang

disebut sebagai pankreatitis, mikroba menyerang pankreas melalui toksin M.tb

dan produk-produk inflamasinya dalam peredaran darah sehingga meningkatkan

kerentanan inflamasi (reaksi hipersensitivitas) dan menimbulkan amiloidosis.

(Broxmeyer, 2005)

Mekanisme yang lain dan lebih sedikit kemungkinan terjadinya yaitu

serangan mikobakteri secara langsung ke organ pankreas melalui penyebaran

tuberkel bakteri dalam darah maupun melalui penetrasi jaringan perkejuan

kelenjar getah bening abdominal yang ada disekitar pankreas. Sel-sel langhans

dan epiteloid, merupakan tanda infeksi pada infeksi TB, biasanya tidak ditemukan

pada jaringan pakreas, namun terjadinya perkejuan dapat mendorong timbulnya

Page 26: Family Folder Stev1

26

kalsifikasi dan amiloidosis pada pankreas. Lazarus dan Folk melaporkan bahwa

ketika pankreas mengalami kalsifikasi maka terdapat 23-50% insidens DM.

(Broxmeyer, 2005) Elias dan Markovits melakukan percobaan pada tikus dan

menemukan penyebab diabetes juvenile tergantung insulin ternyata disebabkan

karena terdapat proses reaksi silang antigen, antigen tersebut berhubungan dengan

heat shock protein (HSP) yang ditemukan pada M tb yaitu HSP-65. Pada

penelitiannya, mereka melihat destruksi sel beta pankreas oleh limfosit yang

bertujuan untuk menghancurkan elemen dari mikobakteria yaitu HSP-65.

Beberapa minggu kemudian mulai terbentuk antibodi terhadap HSP-65 bersamaan

dengan antibodi antiinsulin hingga akhirnya muncullah kondisi DM tergantung

insulin. (Elias, 1990)

3.3.6 Gambaran radiologi pada pasien TB-DM

Gambaran radiologi pasien TB ditentukan oleh beberapa faktor

diantaranya lama sakit dan status imunologi pasien. Pada tahun 1927, Sosman dan

Steidl melaporkan bahwa pada sebagian besar pasien TB-DM memiliki pola

radiologi khusus yang terdiri dari konfluen, kavitas, dan lesi berbentuk baji

menyebar dari hilus menuju bagian tepi, terutama pada zona bagian bawah paru,

sementara pada pasien TB non DM lesi biasanya berupa infiltrat di lobus atas

paru.(Dooley, 2009 dan Guptan, 2000) Penelitian yang dilakukan di Pakistan oleh

Jabbar, dkk pada 173 pasien TB-DM mendapatkan gambaran radiologi sebagian

besar melibatkan lapang bawah paru yaitu sebanyak 36%, lesi bilateral didapatkan

pada 47% pasien, efusi pleura sebanyak 32% pasien. (Jabbar, 2006)

Anand dkk. meneliti gambaran radiologi 50 pasien TB paru dengan DM

menemukan bahwa 84% terdapat lesi TB di bagian lapang bawah paru, lebih

banyak dibandingkan dengan lesi yang terdapat di lapang atas paru yang hanya

sebesar 16%. Lesi bilateral sebanyak 32%, 20% pasien terdapat kavitas pada paru

dengan sebagian besar letak kavitas terdapat di lapang bawah paru yaitu 80%, lesi

nodular ditemukan pada 36% pasien dan lesi eksudatif pada 36% pasien. Mereka

menyimpulkan bahwa gambaran radiologis pasien TB paru dengan DM

cenderung atipikal oleh karena itu bila menemukan pasien DM dengan gambaran

Page 27: Family Folder Stev1

27

lesi di lapang bawah paru harus dipikirkan kemungkinan infeksi TB sehingga

dapat dilakukan diagnosis serta penanganan yang tepat. (Patel, 2011)

3.3.7 Derajat Keparahan Penyakit TB-DM dan Hasil Pengobatan

Diabetes mellitus mengganggu sistem kekebalan terhadap TB sehingga

menyebabkan beban awal jumlah mikobakteri yang lebih tinggi dan waktu

konversi sputum yang lebih lama sehingga menyebabkan tingkat kekambuhan

yang lebih tinggi. Tiga penelitian retrospektif menunjukkan bahwa beban awal

mikobakteri lebih tinggi pada pasien DM dibanding kontrol. Namun dari

beberapa hasil penelitian yang menilai konversi sputum-kultur menunjukkan hasil

yang beragam tergantung pada variabel yang digunakan. Pada salah satu studi

yang menilai konversi sputum setelah minimal 2 bulan pengobatan mendapatkan

hasil proporsi konversi pasien DM ternyata adalah sama dengan kontrol.(Dooley,

2009)

Penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. mendapatkan hasil bahwa

DM bukan faktor risiko kepositifan pada apus sputum maupun kultur sputum pada

bulan ke-2 pengobatan.(Nijland, 2006) Penelitian di Arab Saudi yang dilakukan

pada 692 pasien TB BTA-positif didapatkan 98,9% pasien DM dan 94,7%

kontrol mengalami konversi sputum TB BTA menjadi negatif pada bulan ke-3.

Bagaimanapun juga pada beberapa penelitian yang menilai waktu yang

dibutuhkan untuk konversi apus sputum dan kultur sputum pada pasien DM

ternyata didapatkan hasil bahwa pada pasien DM dibutuhkan waktu lebih lama

untuk mencapai kultur negatif. Seperti penelitian yang dilakukan di Turki pada

pasien DM yang mendapatkan pengobatan TB, membutuhkan waktu konversi

kultur sputum lebih lama dibandingkan pasien non-DM (67 vs 55 hari, p = 0,02).

(Dooley, 2009)

Penelitian analisis masa tahan hidup yang digunakan untuk mengukur

waktu konversi kultur, secara bermakna didapatkan waktu tengah negatifitas

kultur pada pasien DM lebih lama dibanding kontrol (42 vs 37 hari, p = 0,03).

Penelitian lain juga menemukan kecenderungan peningkatan waktu rata-rata

konversi kultur pada pasien DM (49 vs 39 hari, p = 0,09). Data-data tersebut

Page 28: Family Folder Stev1

28

menunjukkan bahwa beban awal jumlah mikrobakteri pada pasien DM mungkin

lebih tinggi sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk konversi kultur

sputum, namun kecepatan konversi kultur sputum pada pasien DM secara umum

tidak jauh berbeda dengan pasien non DM yaitu antara 2-3 bulan setelah

pengobatan. (Dooley, 2009)

Pasien TB yang kemudian berkembang menjadi DM mempunyai derajat

keparahan penyakit yang lebih tinggi saat onset TB, mempunyai lesi paru yang

lebih banyak dan perubahan paru yang lebih besar saat penyembuhan dan

sebaliknya pasien DM yang terinfeksi TB memiliki kadar gula darah yang lebih

tinggi dan kemungkinan yang lebih besar untuk terjadi koma serta

mikroangiopati. (Guptan, 2000) Diabetes mellitus juga diduga sebagai

predisposisi untuk terjadi gagal pengobatan dan meningkatan mortalitas pasien

TB. Penelitian di Mesir yang membandingkan 119 pasien dengan gagal

pengobatan dan 119 kontrol didapatkan peningkatan risiko gagal pengobatan TB

pada pasien DM adalah 3,9 kali. Penelitian yang dilakukan di Indonesia

didapatkan kultur sputum setelah pengobatan selama 6 bulan dengan kepatuhan

berobat yang tinggi ternyata masih positif pada 22,2% pada pasien DM

dibandingkan dengan kontrol sebesar 6,9%. Dua penelitian kohort retrospektif

pasien TB paru di Maryland, Amerika Serikat menunjukkan peningkatan risiko

kematian sebesar 6,5-6,7 kali pada pasien DM dibandingkan dengan non-DM.

Diantara 416 kematian pada pasien TB di Sao Paulo, Brazil ternyata DM

merupakan komorbid yang paling sering didapatkan yaitu sebesar 16%.

Penelitian-penelitian tersebut mengindikasikan bahwa gagal pengobatan dan

kematian pada TB lebih sering didapatkan pada pasien DM. (Sulaiman, 2011 dan

Dooley, 2009)

3.3.8 Penatalaksanaan TB-DM

3.3.8.1 Interaksi obat anti tuberkulosis (OAT) dengan obat hipoglikemi oral

(OHO)

Terdapat interaksi obat antara OAT dengan OHO, selain itu toksisitas obat

juga harus dipertimbangkan ketika memberikan terapi secara bersamaan pada TB-

Page 29: Family Folder Stev1

29

DM. Pasien TB-DM juga memperlihatkan respon terapi yang lebih lambat

terhadap OAT bila dibandingkan dengan pasien non DM. (Sulaiman, 2011 dan

Dooley, 2009) Rifampisin merupakan suatu zat yang bersifat inducer kuat

terhadap enzim mikrosomal hepar yang terlibat dalam metabolisme suatu zat

termasuk enzim sitokrom P450 dan enzim fase II. Induksi pada enzim-enzim

tersebut menyebabkan peningkatan metabolisme obat-obatan lain yang diberikan

bersamaan dengan rifampisin sehingga mengurangi efek pengobatan yang

diharapkan. Rifampisin dapat menurunkan kadar OHO dalam darah pada

golongan sulfonilurea (gliklazid, gliburide, glpizide dan glimepirid) dan biguanid.

(Dooley, 2009 dan Kapur, 2009)

Penurunan kadar OHO dalam darah yang disebabkan oleh rifampisin

besarnya bervariasi antara 20-70%. (Kapur, 2009) Takayasu dkk. mengamati

bahwa rifampisin menginduksi hiperglikemia fase awal yang dihubungkan

dengan peningkatan penyerapan di usus, namun tidak ada kasus diabetes yang

nyata dan dia berpendapat bahwa rifampisin tidak diabetogenik. (Guptan, 2000)

Efek rifampisin secara langsung maupun tidak langsung terhadap kontrol

glikemik menyebabkan perlunya monitoring kadar gula disertai dengan

penyesuaian dosis OHO terutama pada pasien TB-DM. (Dooley, 2009) Rifabutin

sebuah rifamicin baru juga menginduksi enzim metabolisme hepar namun efeknya

tidak sekuat rifampisin. Isoniasid (INH) dapat menyebabkan toksisitas berupa

neuropati perifer yang dapat memperburuk atau menyerupai neuropati diabetik,

sehingga harus diberikan suplemen vitamin B6 atau piridoksin selama pengobatan

TB pada pasien DM. (Dooley dan Kapur, 2009) Obat anti TB lain sangat jarang

mengganggu kadar gula darah. Dosis tinggi INH mungkin dapat menyebabkan

hiperglikemia dan pada kasus yang jarang DM mungkin menjadi sulit untuk

dikontrol pada pasien yang menggunakan Pirazinamid. Ethionamide juga dapat

menyebabkan hipoglikemia namun hal ini jarang terjadi. (Kapur, 2009 dan

Guptan, 2000)

Diabetes mellitus juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada

farmakokinetik OAT mengakibatkan peningkatan risiko gagal pengobatan pada

pasien TB-DM. Diabetes mellitus mempunyai efek negatif terhadap pengobatan

Page 30: Family Folder Stev1

30

TB terutama pada pasien-pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk

sehingga angka kegagalan dan kekambuhan TB lebih tinggi dibandingkan dengan

pasien TB non DM. Konsentrasi OAT plasma yang rendah berhubungan dengan

gagal pengobatan dan resistensi obat pada TB. Terdapatnya DM, berat badan yang

lebih besar dan kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan rendahnya

konsentrasi rifampin plasma. (Sulaiman, 2011 dan Dooley, 2009) Penelitian

Nijland dkk. mendapatkan kadar rifampisin plasma 53% lebih rendah pada pasien

TB-DM dibandingkan dengan pasien TB non DM. (Nijland, 2006) Hal ini

menunjukkan bahwa pada pasien TB-DM yang lebih berat memerlukan dosis

rifampin yang lebih besar dan kontrol glikemik yang lebih baik untuk

meningkatkan konsentrasi obat dalam plasma.(Sulaiman, 2011) Diabetes mellitus

juga dapat menyebabkan perubahan penyerapan obat oral, penurunan ikatan

protein dengan obat, insufisiensi ginjal, perlemakan hati dan gangguan bersihan

obat. (Guptan, 2000)

3.3.8.2 Prinsip pengobatan TB-DM

Pengobatan TB-DM meliputi pengobatan terhadap DM dan pengobatan

TB paru secara bersamaan. Terdapat beberapa prinsip dalam penatalaksaan pasien

TB-DM, yaitu : (Guptan, 2000)

1. Pengobatan tepat.

2. Pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk harus dirawat untuk

menstabilkan kadar gula darahnya.

3. Insulin sebaiknya digunakan untuk mengontrol kadar gula darah.

4. Obat hipoglikemi oral hanya digunakan pada kasus DM ringan karena terdapat

interaksi Rifampisin dengan OHO.

5. Keseimbangan glikemik harus tercapai karena penting untuk keberhasilan

terapi OAT. Target yang harus dicapai yaitu kadar gula darah puasa <120 mg

% dan HbA1c <7%.

6. Kemoterapi yang efektif dan baik sangatlah penting, lakukan monitoring

terhadap efek samping obat terutama efek samping terhadap hepar dan system

Page 31: Family Folder Stev1

31

saraf. Pertimbangkan penggunaan piridoksin pada pemberian INH terutama

untuk pasien dengan neuropati perifer.

7. Durasi kemoterapi ditentukan oleh kontrol diabetes dan respon pasien

terhadap pengobatan. Pengobatan yang lebih lama mungkin diperlukan.

8. Penanganan penyakit komorbid, malnutrisi dan rehabilitasi pada alkoholisme

harus dilakukan.

9. Berikan terapi suportif secara aktif pada pasien DM.

3.3.8.3 Pemberian insulin pada pasien tuberkulosis dengan diabetes mellitus

Penatalaksanaan DM pada TB harus agresif, karena kontrol glikemik yang

optimal memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Terapi insulin harus segera

dimulai dengan menggunakan regimen basal bolus atau insulin premixed. The

American Association of Clinical Endocrinology merekomendasikan penggunaan

insulin analog atau insulin modern karena lebih sedikit menyebabkan

hipoglikemia, penggunaan insulin manusia tidak dianjurkan. Kebutuhan insulin

pada awal penyakit biasanya tinggi namun akan menurun kemudian seiring

dengan tercapainya koreksi glukotoksisitas dan terkontrolnya infeksi. (Niazi,

2012)

Rasionalisasi penggunaan insulin pada DM tipe 2 yang disertai TB aktif

adalah : (Niazi, 2012)

1. Infeksi TB yang berat.

2. Hilangnya jaringan dan fungsi pancreas seperti pada TB pancreas atau

defisiensi endokrin pankreas.

3. Kebutuhan diet kalori dan protein yang tinggi serta kebutuhan akan efek

anabolic.

4. Terdapat interaksi antara OHO dan OAT.

5. Terdapatnya penyakit hepar yang menyertai menghambat penggunaan OHO.

Page 32: Family Folder Stev1

32

BAB IV

ANALISIS KASUS DAN

PENCEGAHAN/PEMBINAAN

A. Analisis Kasus

Tn TP seorang laki-laki berusia 53 tahun datang ke Puskesmas Basuki

Rahmat dengan keluhan batuk bercampur darah. Batuk bercampur darah harus

dibedakan apakah berasal dari saluran napas atau saluran cerna. Darah yang

berasal dari saluran napas biasanya berwarna merah terang, bercampur dengan

dahak berbusa, PH basa, sementara darah dari saluran cerna biasanya gelap,

mengandung partikel makanan, dan seringkali terjadi pada pasien dengan keluhan

saluran cerna dalam waktu lama. Dari anamnesis di temukan batuk dengan dahak

bercampur darah berwarna merah segar dan berbuih, sehingga kemungkinan batuk

darah pada pasien ini berasal dari saluran napas. Batuk darah merupakan suatu

gejala atau tanda dari suatu penyakit infeksi. Sumber perdarahan dapat berasal

dari sirkulasi pulmoner atau sirkulasi bronkial. Asal anatomis perdarahan berbeda

tiap proses patologik tertentu seperti bronkitis (akibat pecahnya pembuluh darah

superfisial di mukosa), TB paru (akibat robek atau ruptur aneurisma arteri

pulmoner, Infeksi kronis seperti bronkiektasis (akibat inflamasi sehingga terjadi

pembesaran dan proliferasi arteri bronchial), kanker paru (akibat pembuluh darah

yang terbentuk rapuh sehingga mudah berdarah). Penyebab batuk darah sangat

beragam antara lain: Infeksi (tuberkulosis), kelainan paru (bronkiektasis,

bronkitis), neoplasma (kanker paru), kelainan hematologi (trombositopenia,

disseminated intravascular coagulation (DIC)), kelainan jantung (mitral stenosis,

endokarditis triskupid), trauma, penggunaan obat antikoagulan (aspirin).

Dari anamnesis, didapatkan keluhan batuk darah, demam lama, keringat

pada malam hari, penurunan berat badan, riwayat minum OAT sebelumnya, tidak

ada riwayat perdarahan yang tidak berhenti, tidak pernah muncul lebam-lebam

pada tubuh, tidak ada penggunaan obat-obatan, tidak ada trauma. Dari

pemeriksaan fisik paru ditemukan peningkatan stem fremitus pada kedua lapang

Page 33: Family Folder Stev1

33

paru, redup dan ronki kasar pada apeks paru, sementara pada jantung tidak ada

kelainan. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran fibroinfiltrat pada

kedua lapang paru. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang pasien ini didiagnosis dengan Tuberkulosis paru. Berdasarkan

pengertian dari WHO dan Depkes pasien ini termasuk dalam kasus berobat setelah

lalai.

Selain itu, dari anamnesis di ketahui pasien telah terdiagnosis diabetes

mellitus sejak 1 tahun lalu dan berobat teratur dengan bidan di dekat tempat

tinggal penderita. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan indeks massa tubuh

penderita sebesar 19,5 (normal) sehingga diagnosis pada pasien ini adalah

tuberkulosis paru kasus putus obat dan diabetes mellitus tipe 2 normoweight

terkontrol.

Pasien ditatalaksana dengan OAT 2RHZE, metformin, glimepirid,

vitromega, ambroksol. Menurut Depkes/WHO, Tn.TP termasuk dalam kategori 2

dikarenakan pasien ini termasuk kasus putus obat sehingga seharusnya

ditatalaksana dengan OAT 2RHZES/1RHZE. Terdapat interaksi obat anti

tuberkulosis dengan obat diabetik oral. Rifampisin merupakan suatu zat yang

bersifat inducer kuat terhadap enzim mikrosomal hepar. Induksi pada enzim-

enzim tersebut menyebabkan peningkatan metabolisme obat-obatan lain yang

diberikan bersamaan dengan rifampisin sehingga mengurangi efek pengobatan

yang diharapkan. Rifampisin dapat menurunkan kadar OHO dalam darah pada

golongan sulfonilurea (gliklazid, gliburide, glpizide dan glimepirid) dan biguanid.

Sementara itu, terdapatnya DM, berat badan yang lebih besar dan kadar glukosa

darah yang tinggi menyebabkan rendahnya konsentrasi rifampin plasma. Untuk

itu, keseimbangan glikemik harus tercapai karena penting untuk keberhasilan

terapi OAT. Target yang harus dicapai yaitu kadar gula darah puasa <120 mg%

dan HbA1c <7%. Menurut Perkeni dalam pengelolaan DM tipe 2, terapi

farmakologi dikelompokkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c, antara lain

tahap 1 HbA1c 7-8% diterapi dengan gaya hidup sehat + monoterapi, tahap II

HbA1c 8-9% diterapi dengan gaya hidup sehat + kombinasi 2 obat hiperglikemik

oral, tahap III HbA1c >9% diterapi dengan gaya hidup sehat + kombinasi 2 obat

Page 34: Family Folder Stev1

34

hiperglikemik oral + basal insulin. Isoniasid (INH) dapat menyebabkan toksisitas

berupa neuropati perifer yang dapat memperburuk atau menyerupai neuropati

diabetik, sehingga harus diberikan suplemen vitamin B6 atau piridoksin selama

pengobatan TB pada pasien DM

Prognosis pada pasien ini mungkin baik dikarenakan infeksi hanya terbatas

di paru, tetapi penyakit paru dapat kambuh dan fungsi dari paru tidak bisa kembali

seperti dulu selain itu Tn TP mengalami gangguan kekebalan (akibat diabetes

mellitus) sehingga kemungkinan penyakit paru bisa menjadi lebih buruk.

B. Genogram Keluarga

Tn. TP/ 53 tahun Ny. S / 42 tahun

Tn A/21 th Ny R/19th

Nn. V / 22 tahun Nn L / 14 tahun

S / 1 tahun

C. Home Visite (9 Fungsi Keluarga)

1. Fungsi Holistik

Fungsi ini merupakan fungsi keluarga yang meliputi fungsi biologis, fungsi

psikologis, dan fungsi sosial ekonomi.

Fungsi biologis : Di dalam kelurga ini tidak terdapat penyakit yang

menurun (herediter), seperti thalasemia, hemophilia, dan sebagainya.

Page 35: Family Folder Stev1

35

Namun, di dalam keluarga ini, juga terdapat penyakit menular maupun

penyakit kronis yaitu penyakit yang dialami penderita ini.

Fungsi psikologis : Keluarga ini memiliki fungsi psikologis yang cukup

baik. Keluarga ini memiliki hubungan antara anggota keluarga yang cukup

harmonis dan sehingga jarang terjadi kesulitan dalam memecahkan setiap

masalah yang ada pada keluarga.

Fungsi sosial ekonomi; Kondisi ekonomi keluarga ini tergolong menengah

ke bawah, ayah pasien yang sejatinya sebagai kepala keluarga tidak bekerja

dan ibu pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Keluarga ini berperan

aktif dalam setiap kegiatan dan kehidupan sosial di masyarakat.

2. Fungsi Fisiologis

Fungsi fisiologis keluarga diukur dengan APGAR score. APGAR score

adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari

sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya dengan

anggota keluarga yang lain. APGAR score meliputi:

Adaptation : keluarga ini sudah mampu beradaptasi antar sesama anggota

keluarga, saling mendukung, saling menerima dan memberikan saran satu

dengan yang lainnya walau tidak intensif.

Partnership : Komunikasi dalam keluarga ini cukup baik, mereka saling

membagi, saling mengisi antar anggota keluarga dalam setiap masalah yang

dialami oleh keluarga tersebut.

Growth : Keluarga ini juga saling memberikan dukungan antar anggota

keluarga akan hal-hal yang baru yang dilakukan anggota keluarga tersebut.

Affection : Interaksi dan hubungan kasih sayang antar anggota keluarga ini

sudah terjalin dengan cukup baik.

Resolve : Keluarga ini memiliki rasa kebersamaan yang cukup dan kadang-

kadang menghabiskan waktu bersama dengan anggota keluarga lainnya.

Adapun skor APGAR keluarga ini adalah 9,2, dengan interpretasi baik

(data terlampir)

Page 36: Family Folder Stev1

36

3. Fungsi Patologis dinilai dengan SCREEM score.

Social, interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar sudah cukup baik.

Culture, keluarga ini cukup memberikan apresiasi dan kepuasan yang

cukup terhadap budaya, tata karma, dan perhatian terhadap sopan santun.

Religious, keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran

agama yang dianutnya.

Economic, status ekonomi keluarga ini tergolong menengah ke bawah.

Educational, Tingkat pendidikan keluarga ini tergolong kurang. Tn. S dan

Ny. N adalah tamatan SLTP, anak pertama dan kedua tamatan SLTA dan

anak ketiga masih sekolah di SD.

Medical, keluarga ini sudah dekat dan tersedia pelayanan kesehatan yang

memadai, misalnya akses ke Puskesmas mudah dan sudah banyak praktek

dokter umum dan bidan swasta disekitar lingkungan rumah pasien.

4. Fungsi Hubungan Antar Manusia

Hubungan interaksi antar anggota keluarga sudah terjalin dengan kurang

baik.

5. Fungsi Keturunan (genogram)

Fungsi genogram dalam keadaaan baik (sudah dijelaskan diatas).

6. Fungsi Perilaku (Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan)

Pengetahuan tentang kesehatan keluarga ini baik, sikap sadar akan

kesehatan dan beberapa tindakan yang mencerminan pola hidup sehat

mulai dilakukan.

7. Fungsi Nonperilaku (Lingkungan, Pelayanan Kesehatan, Keturunan)

Lingkungan kurang sehat sehat namun para tetangga juga menjalin

kerjasama dengan baik, keluarga ini juga aktif memeriksakan diri ke tempat

pelayanan kesehatan, padahal jarak rumah dengan puskesmas/rumah sakit

termasuk jauh.

Page 37: Family Folder Stev1

37

8. Fungsi Indoor

Gambaran lingkungan dalam rumah belum memenuhi syarat-syarat

kesehatan sepenuhnya.

Lantai terbuat dari semen, atap terbuat dari seng

Dinding sebagian terbuat dari batu bata yang sebagian tidak dilapisi

dan sebagian dilapisi kayu yang mulai termakan usia dan lembab.

Kayu yang lembab ini merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan jamur sehingga tidak baik untuk kesehatan.

Pembagian ruang masih kurang baik dikarenakan dapur dan ruang

istirahat tidak memiliki cukup sekat. Ruang dapur tidak memiliki

ventilasi untuk mengalirkan udara/asap dari dapur keluar. Ruang

istirahat kurang dari 8m2 dan diisi oleh 3 orang sehingga

penghuninya kurang bebas dalam melakukan kegiatannya.

Ventilasi, sirkulasi udara dan pencahayaan kurang.

Pengelolaan sampah kurang baik, banyak terdapat sampah dan

barang bekas di sekitaran halaman rumah.

Sumber air bersih berasal dari air PDAM, keluarga telah

mempunyai jamban sendiri.

9. Fungsi Outdoor

Gambaran lingkungan luar rumah kurang, banyak barang-barang bekas dan

sampah di sekitar rumah, rumah terletak di sebelah jalan raya, kebisingan

disekitar rumah dari kendaraan yang lewat di jalan raya, jarak rumah

dengan sungai jauh, dan tempat pembuangan umum jauh dari lokasi rumah.

Page 38: Family Folder Stev1

38

LAMPIRAN 1

DENAH RUMAH

Kamar ibu, ruang

2 anak tamu

WC Dapur

Kasur pasien

Tempat cuci dan jemuran

Page 39: Family Folder Stev1

39

LAMPIRAN 2

APGAR SCORE

Skor untuk masing-masing kategori adalah :

0 = Jarang/tidak sama sekali

1 = Kadang-kadang

Variabel

Penilaian

APGAR

Ayah

APGAR

Ibu

APGAR

Anak I

APGAR

Anak III

Adaptation 2 2 2 2

Partnership 2 2 2 1

Growth 2 1 2 2

Affection 2 2 2 2

Resolve 2 2 1 2

Total 10 9 9 9

2 = Sering/selalu

Tiga kategori penilaian yaitu :

≤ 5 = Kurang

6-7 = Cukup

8-10 = Baik

Rata-rata APGAR score pada keluarga ini = 9,2 (Baik)

LAMPIRAN 3

Page 40: Family Folder Stev1

40

SCREEM SCORE

Variabel Penilaian Penilaian

Social Interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar cukup

baik.

Culture Keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan

yang baik terhadap budaya, tata karma, dan perhatian

terhadap sopan santun.

Religious Keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai

dengan ajaran agama yang dianutnya.

Economic Status ekonomi keluarga ini menengah ke bawah

Educational Tingkat pendidikan keluarga ini tergolong kurang.

Tn. S dan Ny. N adalah tamatan SLTP, anak pertama

dan kedua tamatan SLTA dan anak ketiga masih

sekolah di SD dekat rumah

Medical Keluarga ini tergolong cukup mendapat pelayanan

kesehatan yang memadai.

Page 41: Family Folder Stev1

41

BAB V

KESIMPULAN

Diabetes mellitus menyebabkan kerusakan pada fungsi imun dan fisiologis

paru sehingga dapat meningkatkan risiko infeksi maupun reaktifasi TB,

memperpanjang waktu konversi sputum dan meningkatkan risiko gagal

pengobatan yang mendorong terjadinya TB MDR.

Tuberkulosis dapat menginduki hiperglikemi sehingga dapat menyebabkan

GTG bahkan DM. Hal ini diduga selain karena proses infeksi yang menyebabkan

peningkatan sekresi hormon anti-insulin juga disebabkan karena terjadinya

kerusakan pankreas seperti pakreatitis maupun amiloidosis akibat proses inflamasi

terhadap toksin M. tb.

Gambaran foto toraks pada TB-DM bersifat atipikal, namun beberapa

penelitian menunjukkan kecenderungan infiltrat yang lebih luas, infiltrat pada

lobus bawah paru, kavitas multipel dan efusi pleura.

Terdapat interaksi antara OAT dengan OHO, sehingga sebaiknya digunakan

insulin untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien DM dengan TB.

Sebaiknya dilakukan penapisan TB pada pasien DM terutama di negara-

negara dengan insidensi TB yang tinggi agar dapat dilakukan kontrol dan

penatalaksanaan yang lebih baik untuk kedua penyakit tersebut.

Page 42: Family Folder Stev1

42

Daftar Pustaka

Alisjahbana B, van Crevel R, Sahiratmadja E, den Heijer M, Maya A, Istriana E,

et al. Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis in Indonesia.

Int J Tuberc Lung Dis. 2006;10:696-700.

American Diabetes Association. Diagnosis and Classification of diabetes mellitus.

Diabetes Care.2013; (Suppll):35-6.

Broxmeyer L. Diabetes mellitus, tuberculosis and the mycobacteria: two millennia

of enigma. Med Hypotheses. 2005;65:433–9.

Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus : convergence of

two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.

Elias D, Markovits D. Induction and therapy of autoimmune diabetes in the non

obese diabetic (NOD)/lt mouse by a 65-kDa heat shock protein. Proc Natl

Acad Sci. 1990;87:1576-80.

Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: an appraisal. Ind J

Tuberc. 2000;47:3-8.

Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. Clinical characteristics of pulmonary

tuberculosis in adult Pakistani patients with co-existing diabetes mellitus.

Eastern Mediterranean Health Journal. 2006;12:522-7.

Kapur A, Harries AD, Lonnroth K, Bygbjerg C, Lefebvre P. Diabetes and

tuberculosis-old associates posing a renewal public health challenge. US

Endrocinology. 2009;5(1):12-14.

Koziel H, Koziel MJ. Pulmonary complications of diabetes mellitus. Infect

Dis Clin North Am. 1995;9:65-96.

McMahon MM, Bistrian Bruce R. Host defences and susceptibility to infection in

patients with diabetes mellitus. Infect Dis Clin North Am. 1995;9:1-9.

Niazi AK, Kalra S. Diabetes and tuberculosis : a review of the role of optimal

glycemic control. Journal of diabetes & metabolic disorders. 2012;11(28):1-

4.

Page 43: Family Folder Stev1

43

Nijland HM, Ruslami R, Stalenhoef JE, Nelwan EJ, Alisjahbana B, Nelwan RHH,

et al. Exposure to rifampicin is strongly reduced in patients with

tuberculosis and type 2 diabetes. Clin Infect Dis. 2006;43:848-54.

Mollentzc WF, Pansegrouw DR, Steyn AF. Diabetes mellitus, pulmonary

tuberculosis and chronic calcific pancreatitis revisited. South Afr Med J.

1990;78:235-9.

Palomino JC, Leão SC, Ritacco V. Tuberculosis 2007: From basic science to

patient care 1st ed. Argentina. Bouciller Kamps. 2007. P.26-52.

Patel AK, Rami KC, Ghanchi FD. Radiological presentation of patients of

pulmonary tuberculosis with diabetes mellitus. Lung India. 2011;28:70.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. 2006.

PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di

Indonesia. 2011. Jakarta : PB Perkeni; 2011.

Sulaiman SA, Mohd Zain FA, Abdul Majid S, Munyin N, Mohd Tajuddin NS,

Khairuddin Z, et al. Tuberculosis among diabetic patient. Webmed Central

Infectious Diseases. 2011;2(12):1-13.

World Health Organization. Global tuberculosis control 2011. Geneva : World

Health Organization; 2011.

Page 44: Family Folder Stev1

44

Ruang tamu

Kamar mandi dan tempat mencuci pakaian

Page 45: Family Folder Stev1

45

Kamar Mandi

Dapur

Page 46: Family Folder Stev1

46

Tempat tidur

Rumah