fakultas hukum · 2019. 4. 24. · buku yang berjudul “menumbuhkan budaya anti korupsi” ini...

140

Upload: others

Post on 13-Feb-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • FAKULTAS HUKUM

    MENUMBUHKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

    Cetakan Pertama - 2017

  • MENUMBUHKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

    Cetakan Pertama - 2017

    MENUMBUHKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

    Fakultas Hukum

  • i

    KATA PENGANTAR Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga akhirnya penulis

    dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini merupakan hasil pemikiran dan kajian

    yang bersumber dari data sukender dengan didukung oleh hasil wawancara tentang

    bagaimana menumbuhkan budaya anti korupsi di lingkungan YPI Al Azhar, baik di

    kalangan siswa Sekolah dasar (SD), siswa sekolah menengah pertama (SMP), siswa sekolah

    menengah atas (SMA), maupun juga bagi mahasiswa di lingkungan civitas Universitas Al

    Azhar Indonesia. Hasil wawancara tersebut dianalisis dengan berbagai konsep/teori terkait

    dengan persoalan korupsi dan juga bagaimana upaya melakukan pencegahan korupsi.

    Buku yang berjudul “Menumbuhkan Budaya Anti Korupsi” ini berisi tentang

    pembahasan beberapa hal, antara lain: peran masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana

    korupsi, budaya hukum dan penegakan hukum tindak pidana korupsi, pendidikan karakter

    dalam menumbuhkan budaya anti korupsi. Selain itu dalam buku ini juga dibahas tentang

    bentuk peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,

    peran serta masyarakat dalam menumbuhkan budaya anti korupsi di Indonesia, dan

    bagaimana strategi menumbuhkan budaya anti korupsi di lingkungan YPI Al Azhar.

    Mengingat saat ini penulis juga mengajar mata kuliah Hukum Anti Korupsi dan

    Kejahatan Korporasi, buku ini ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam

    memberikan materi kuliah tersebut diatas sesuai sub bahasan yang terkait dengan soal

    bentuk dan peran serta masyarakat dalam pencegahan tindak pidana korupsi, serta

    pembentukan karakter sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia,

    keterkaitan budaya hukum dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi.

    Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak-

    pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam

    penyelesaian buku ini. Penulis secara khusus mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir.

  • ii

    Asep Saefuddin, M.Sc, yang memberikan support dan dorongan terus menerus untuk

    menyelesaikan buku ini agar pemikiran penulis sebagai insan akademisi dapat bermanfaat

    bagi para pembacanya khususnya para mahasiswa dan penggiat anti korupsi, serta pihak-

    pihak pengampu kebijakan dalamupaya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

    Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa penulis

    sampaikan kepada istri tercinta Dr. Sonyendah Retnaningsih, SH., MH., ditengah

    kesibukannya mengajar di Fakultas Hukum UI dan peguruan tinggi lainnya, serta anak- anak

    tercinta M. Rizqi Alfarizi Ramadhan, yang saat ini baru menempuh pendidikan di Fakultas

    Hukum UI dan M. Ridho Bayu Prakoso, yang senantiasa memberi dorongan semangat dan

    mengerti atas kesibukan penulis dalam menjalani profesinya sebagai dosen dan praktisi

    hukum ini.

    Harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan

    pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun kepentingan pengembangan Ilmu

    Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan hukum anti korupsi.

    Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan disana-sini serta masih jauh

    untuk kategori sempurna, mengingat segala keterbatasan pada kemampuan dan pengetahuan

    yang penulis miliki, oleh karenanya, segala kritik dan saran yang positif senantiasa penulis

    harapkan guna untuk upaya perbaikan dalam penulisan buku ini pada edisi revisi yang akan

    datang.

    Jakarta, Desember 2017

    Agus Surono

  • KATA PENGANTAR .................................................................................................

    DAFTAR ISI................................................................................................................

    BAB I

    BAB II

    BAB III

    BAB IV

    BAB V

    BAB VI

    BAB VII

    BAB VIII

    BAB IX

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................

    DAFTAR ISI

    PENDAHULUAN..................................................................................

    TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCEGAHANNYA..............

    BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DAN PERAN

    MASYARAKAT DALAM PEMBERANTASAN TINDAK

    PIDANA KORUPSI..............................................................................

    BUDAYA HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK

    PIDANA KORUPSI...............................................................................

    PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MENUMBUHKAN

    BUDAYA ANTI KORUPSI...................................................................

    BENTUK PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM

    PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

    KORUPSI DI INDONESIA..................................................................

    PERANSERTA MASYARAKAT DALAM MENUMBUHKAN

    BUDAYA ANTI KORUPSI DI INDONESIA.....................................

    MENUMBUHKAN BUDAYA ANTI KORUPSI DI

    LINGKUNGAN YPI AL AZHAR........................................................

    PENUTUP ..............................................................................................

    iii

    i

    ii

    1

    7

    21

    39

    51

    67

    83

    101

    125

    129

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Dalam suatu masyarakat tidak selalu harmonis seperti yang diharapkan oleh

    mayoritas orang, terkadang timbul penyimpangan-penyimpangan yang merusak tatanan-

    tatanan sosial. Seperti halnya tindak pidana korupsi, korupsi adalah realitas tindakan

    penyimpangan norma sosial dan hukum yang tidak dikehendaki masyarakat dan

    diancam sanksi oleh negara. Korupsi sebagai bentuk penyalahgunaan kedudukan

    (jabatan), kekuasaan, kesempatan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri dan atau

    kelompoknya yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat.1

    Indonesia merupakan negara yang berada dalam satu posisi penguasaan

    trihibrid, yaitu posisi dimana terdapat tiga aspek yang berbeda sifatnya, yaitu politik,

    hukum dan korupsi yang menyatu. Jika 10-20 tahun ke depan, satu negara dipimpin

    oleh barbarian modern: birokrasi korup, politisi busuk, pengacara hitam, dan pengusaha

    kapitalisitik; Negara itu akan runtuh.2 Secara aomistik, tindak korupsi merebak di

    lingkar oligarkhi kekuasaan, karena tidak ada kompetensi teknis moral dan pemimpin

    menjadi patron kejahatan (dalam J. Chambliss’ Criminal Law in Action). Korupsi

    merupakan kontruksi sosial bersifat struktural, dan diduga korupsi kalangan masyarakat

    bawah sebagai kontruksi sosial terkait pengaruh korupsi kalangan masyarakat atas (elite

    sosial ekonomi), misalnya: pemimpin dan tokoh masyarakat lainnya.3

    Dua faktor penyebab timbulnya tindak pidana korupsi dipengaruhi faktor-faktor

    obyektif yang mendorong perbuatan korupsi antara lain keadaan warisan Orde Lama

    seperti: tidak adanya ketertiban dalam segala bidang, penguasaan yang berlebih-lebihan

    oleh Negara atas kehidupan ekonomi, lemahnya organisasi aparatur pemerintahan,

    aparatur penegak hukum dan peradilan maupun aparatur perekonomian negara, tidak

    jelasnya tugas dan wewenang, kaburnya tanggungjawab, lemahnya pengawasan, dan

    sebagainya. Disamping faktor-faktor obyektif tadi, faktor subyektif yang mendorong

    perbuatan korupsi adalah sifat-sifat perorangan: mental yang lemah, moral yang rendah

    1 RB. Soemanto, dkk. Pemahaman Masyarakat tentang Korupsi, Jurnal Yustisia, Vol. 88, (April,

    2014). Hlm. 80.2 Ibid.3 Ibid.

  • 2

    dan nafsu duniawi yang tidak terkendali. Nafsu hidup mewah, tanpa mau kerja keras

    dan sebagainya.4

    Permasalahan korupsi tidak menjadi monopoli negara-negara berkembang, tetapi

    sudah menjadi gerakan rutinitas semua negara untuk melakukan pemberantasannya,

    bahkan disadari kita semua bahwa “combat to corruption” layaknya nyala api lilin,

    sekali waktu terjadi minimalisasi perbuatannya, lain waktu menimbulkan gejolak dan

    reaksi masyarakat yang cukup keras, namun api ini ibarat kuman yang tidak pernah

    padam, karenanya sangat terkesan membicarakan problematika korupsi dan kajian

    akademis, meski pendekatan-pendekatan empiris sangat menunjang pembaharuan

    substansi perundang-undangan tersebut. 5 Keberhasilan roda pemerintahan dan

    kekuasaan suatu negara, khususnya negara berkembang termasuk Indonesia dapat

    diukur dengan bagaimana kebijakan Negara untuk pencegahan dan pemberantasan

    korupsi dapat secara optimal dievaluasi keberhasilannya. Persoalan korupsi tidaklah

    bersandar pada limitasi kebijakan hukum, tetapi berkaitan dengan persoalan ekonomi,

    politik dan masyarakat.6

    Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya yang tumbuh

    subur sejalan dengan kekuasaan ekonomi, hukum dan politik. Layaknya penyakit, maka

    korupsi ini dikategorikan sebagai penyakit misterius yang kadar penyembuhannya

    sangat minim dan selalu menjadi uji coba bagi penanggulangannya. Hasilnya pun

    kadang kala sudah dapat di prediksi secara pesimis, yaitu tidak searah dengan kebijakan

    masyarakat untuk memberantas korupsi.7 Secara konseptual, pada negara berkembang,

    pemikiran bahwa korupsi ini bagian dari kekuasaan bahkan bagian dari sistem itu

    sendiri menjadi tidak diragukan, karenanya ada yang berpendapat bahwa

    penanggulangan yang terpadu adalah dengan memperbaiki sistem yang ada. Artikulasi

    “Sistem” ini bermakna komprehensif, bahkan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang

    signifikan. “Korupsi” sudah menjadi bagian dari “sistem” yang ada, karenanya usaha

    maksimal bagi penegakan hukum , khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi,

    harus dilakukan dengan pendekatan sistem atau “Systemic Approach”, apalagi bila

    pendekatan sistem ini dikaitkan dengan peranan institusi peradilan yang sangat

    4 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik dan

    Masalahnya), (Bandung: PT. Alumni, 2007), hlm. 2.5 Ibid.6 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Diadit Media, 2009), hlm. 65.7 Ibid. Hlm. 66

  • 3

    menentukan sebagai salah satu institusi penegakan hukum dalam proses akhir

    pemberantasan korupsi. Sangat sulit menentukan arah awal mula dimulainya antisipasi

    pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia ini.8

    Selanjutnya, tindakan secara terintegrasi dari lembaga penegak hukum harus

    memiliki suatu balanced and equal of power, suatu kewenangan yang berimbang dan

    sama diantara para penegak hukum. Hal ini untuk menghindari diskriminasi

    kewenangan lembaga yang justru akan melemahkan penegakan hukum terhadap

    korupsi, selain itu justru diskrimansi kewenangan akan menimbulkan disintegrasi

    penegakan hukum. Kewenangan diskriminatif antara KPK disatu sisi, dengan Kejaksaan

    Agung/Polri disisi lain harus ditiadakan.9

    Pendekatan sistem diatas dilakukan secara simultan dan terintegrasi dengan

    pendekatan up-down, bukan bottom-up yang selama ini terjadi. Kejaksaan Agung

    dengan minimnya kewenangan telah memberi citra tersendiri dengan menetapkan

    pejabat eselon I Departemen sebagai Tersangka, sekaligus tetap memperhatikan hak

    tersangka, status mana tidak pernah terjadi sejak era reformasi. Pendekatan up-down

    dalam pemberantasan korupsi merupakan karakter representasi keseriusan Negara

    dalam pemberantasan korupsi. Selama icon karakter korupsi masih berpijak pada

    pendekatan bottom-up, maka hasil yang dicapai adalah pesimisme penegakan hukum.

    Pemberantasan korupsi, sebagaimana Konvensi PBB 1985, harus dimulai dari upper

    power class dan upper economic class dengan memperhatikan prinsip-prinsip praduga

    tidak bersalah.10

    Berdasarkan beberapa permasalahan diatas, sangat berarti peran kebijakan

    kriminal (Criminal Policy) melalui pendekatan non-penal, yaitu dengan meningkatkan

    langkah kampanye anti korupsi seperti kampanye semacam ini diperlukan dengan

    pendekatan antara masyarakat, pers (sebagai social power) dan institusi kenegaraan

    (sebagai political power) dan institusi kenegaraan (sebagai political power), mengingat

    masalah korupsi di Indonesia sekarang ini sudah tidak dapat dikatakan lagi sebagai

    persoalan eksekutif saja, tetapi sudah terkontaminasi sebagai institusi kenegaraan

    lainnya, apakah itu legislatif, yudikatif maupun institusi negara non departemen.11

    8 Ibid.9 Ibid.10 Ibid. Hlm. 69.11 Ibid.

  • 4

    Peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

    berlaku dalam pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku adalah sejalan dengan ketentuan di dalam Pasal 41 dan Pasal 42

    Bab V tentang Peran Serta Masyarakat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.12

    Harus kita sadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan

    membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian negara dan perekonomian

    nasional tetapi juga pada kehidupan bangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana

    korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi

    masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai

    kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa

    (extraordinary crimes), sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat

    dilakukan “secara biasa”, tetapi “dituntut cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary

    enforcement). Sedangkan tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan

    sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crimes.13

    Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum

    dan penegakan hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial

    yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum sehingga wajib

    segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan sosial karena

    korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerataan kesejahteraan dan merupakan

    persoalan psikologi sosial karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit

    disembuhkan.14.

    Untuk melakukan penanggulangan tindak pidana korupsi maka masyarakat

    dapat berperan serta aktif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta

    masyarakat sebelumnya telah diatur dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-undang Republik

    Indonesia Nomor.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan

    Bebas dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, yang menyatakan bahwa peran serta

    masyarakat dalam penyelenggaraan Negara merupakan hak dan tanggungjawab

    masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih15. Bentuk

    peran serta masyarakat telah pula diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah

    12 Ibid.13 Ibid. Hlm. 30.14 Ibid. Hlm. 31. 15. Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor.75.

  • 5

    RI No.68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam

    Penyelenggaraan Negara, yang menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam

    penyelenggaraan Negara untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih.

    Langkah-langkah pencegahan dan dalam upaya pemberantasan korupsi peran

    serta masyarakat telah diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun.

    Demikian juga dalam kelembagaan sebagai bentuk peran serta masyarakat dalam

    pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, unsur masyarakat telah direkrut

    sebagai anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Hakim Ad Hoc di

    Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Paragraf 3 penjelasan Undang-undang

    Nomor 31 Tahun 19997 mengatakan selain khususnya keuangan Negara atau

    perekonomian Negara yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi juga masyarakat

    pada umumnya, dengan demikian pandangan siapa yang menjadi korban tindak pidana

    korupsi adalah Negara pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

    Seberapa besar pun partisipasi masyarakat dalam memerangi korupsi, pasti tidak

    akan menghilangkan korupsi 100 persen. Tetapi, partisipasi masyarakat yang

    terorganisir pasti akan membawa perubahan besar di negeri ini. Agar upaya memerangi

    korupsi membawa manfaat besar, maka yang pertama dan terutama dilakukan adalah

    membentuk kesadaran dalam diri masyarakat bahwa mereka adalah “majikan”

    sedangkan pemerintah adalah “pelayan”.

    Berdasarkan uraian tersebut di atas, pembahasan buku ini akan menguraikan

    tentang masalah korupsi dan bagaimana cara pencegahannya yang diberi judul

    “Menumbuhkan Budaya Anti Korupsi”.

    B. Ruang Lingkup Pembahasan

    Inti pembahasan dalam buku ini akan menguraikan antara lain tentang hal-hal

    sebagai berikut:

    1. Pengertian tindak pidana korupsi, pencegahan dan pemberantasannya.

    2. Budaya hukum masyarakat dan peran masyarakat dalam pemberantasan tindak

    pidana korupsi

    3. Budaya hukum dan penegakan hukum tindak pidana korupsi.

    4. Pendidikan karakter dalam menumbuhkan budaya anti korupsi.

  • 6

    5. Bentuk peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

    korupsi di Indonesia.

    6. Peran serta masyarakat dalam menumbuhkan budaya anti korupsi di Indonesia.

    7. Menumbuhkan budaya anti korupsi di lingkungan YPI Al Azhar.

  • 7

    BAB II

    TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCEGAHANNYA

    A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

    Secara sederhana korupsi dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasan atau

    kepercayaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Korupsi juga dapat mencakup

    perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang

    memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang

    yang dekat dengan pejabat birokrasi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang

    dipercayakan kepada mereka.16

    Korupsi dalam konteks pelayanan publik ini merupakan perbuatan ”korupsi

    administrasi” dengan fokus pada perbuatan perorangan yang memegang kontrol dalam

    kedudukannya sebagai pejabat publik, sebagai pembuat kebijakan atau sebagai pegawai

    birokrasi pemerintah, atas berbagai kegiatan dan keputusan. Semakin meluasnya

    proyek swastanisasi atas perusahaan negara dan pengalihan kegiatan yang selama ini

    dipandang masuk dalam lingkup pemerintah kepada sektor swasta, dan monopoli penuh

    atau setengah penuh penyediaan barang publik oleh sektor swasta (misalnya air, listrik,

    telkom), maka perbuatan korupsi sebenarnya telah merambah pada sektor swasta di luar

    dan di dalam hubungan kerja sektor swasta dengan sektor pemerintah terutama yang ada

    aspek publiknya, sehingga perbuatan korupsi pada kedua sektor ini membawa dampak

    negatif terhadap kepentingan publik.

    Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 (selanjutnya disebut UUTPK),

    pengertian korupsi tidak secara tegas dinyatakan, namun diberi istilah “penyimpangan

    keuangan negara atau pereko-nomian negara” sehingga meliputi perbuatan-perbuatan

    memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara ”melawan hukum”

    dalam pengertian formal dan materiil, sehingga juga mencakup perbuatan tercela yang

    menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana walau tidak diatur

    sebagai perbuatan kejahatan dalam suatu perundang-undangan.17 Wujud perbuatan

    16 Hans Tangkau (2012), Jurnal IKHTIYAR, Pembuktiam Terbalik Dalam Penanganan Tindak

    Pidana Korupsi, Pp.108-132, ISSN. 1412-8535.17 Lihat selanjutnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 167, 168, 335 (1), 522.

  • 8

    korupsi terlihat dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), pasal 3 s.d. pasal 16, pasal 21

    UUTPK.

    Kesulitan yang sering kali terjadi ketika menyangkut pemahaman terhadap

    unsur “melawan hukum” (weder-rechtelijk). Mengenai unsur “melawan hukum”,

    Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 menegaskan bahwa18:

    “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup

    perbuatan melawan hukum, dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni

    meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,

    namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa

    keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan

    tersebut dapat dipidana......”

    Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tersebut telah dinyatakan

    “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah

    Konstitusi melalui Putusannya Nomor 003/PUU-IV/2006 yang diputuskan pada hari

    Senin, 24 Juli 2006, di antaranya memutuskan bahwa: Menyatakan Penjelasan Pasal 2

    ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

    undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31

    Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik

    Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan

    ‘secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam

    arti formil maupun dalam arti materiel, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur

    dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap

    tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial

    dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan

    Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan Penjelasan

    Pasal 2 ayat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, ten-tang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

    undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31

    18 Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150.

  • 9

    Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik

    Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan

    ‘secara me-lawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam

    arti formil maupun dalam arti materiel, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur

    dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap

    tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial

    dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” tidak mempunyai kekuatan

    hukum mengikat.19

    Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya mencabut Penjelasan Pasal 2 ayat

    (1) UU Antikorupsi, yang pada dasarnya merupakan dasar dapat diterapkannya sifat

    melawan hukum dalam arti materiel positif. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

    sama sekali tidak menyinggung berlakunya sifat melawan hukum dalam pengertian

    materiel negatif, yang telah menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung. Berdasarkan hal

    tersebut, maka berlakunya sifat melawan hukum dalam arti materiel negatif terhadap

    tindak pidana korupsi juga problematis.

    Secara teoritis atau dalam doktrin hukum pidana, di damping dibedakan antara

    sifat melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid) dan materiil (materiele

    wederrechtelijkheid), juga dibedakan antara sifat melawan hukum dalam pengertian

    materiil yang negatif dan positif. Dianutnya sifat melawan hukum materiil berarti

    melibatkan penilaian berdasarkan “perasaan hukum” warga masyarakat, di samping

    secara formal memenuhi semua unsur yang tercantum dalam rumusan tindak pidana.

    “Perasaan hukum” masyarakat yang dimaksud adalah anggapan masyarakat perbuatan

    tersebut sebagai perbuatan yang tercela karena menimbulkan kerugian negara dan

    masyarakat (fungsi positif) atau sebaliknya perbuatan tersebut dianggap memberi

    manfaat pada masyarakat (salah satu kategori fungsi negatif).20

    Sifat melawan hukum dalam pengertian materiil yang negatif, berarti apabila

    secara materiil perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum (kendati perbuatan

    tersebut masuk dalam perumusan undang-undang). Sebaliknya, sifat melawan hukum

    19 Yopie Morya Immanuel, 2012, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi, CV Keni

    Media: Bandung, hlm. 30.20 Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan Serta Pemberantasannya,

    (Jakarta: GP Press group, 2013), hlm. 7.

  • 10

    dalam pengertian materiil yang positif berarti, tidak dilarang oleh undang-undang, tetapi

    berdasarkan “perasaan hukum” masyarakat perbuatan tersebut dianggap keliru.

    Rumusan UU Antikorupsi yang semula mengesankan dianutnya ajaran sifat melawan

    hukum materiil dalam fungsinya yang positif dan dengan demikian memberi ruang

    interpretasi yang lebih luas lagi, yang memunculkan kekhawatiran membahayakan

    kepastian hukum, kini tidak lagi setelah muncul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

    003/PUU-IV/ 2006 tersebut.21

    Ini berarti ruang yang semula longgar bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim

    kembali dipersempit oleh Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya, sifat melawan hukum

    materiil dalam fungsinya yang negatif masih terbuka untuk dipakai oleh terdakwa

    sebagai alasan pembenar. Artinya, sifat melawan hukum materiil yang dianut oleh UU

    Antikorupsi dimaknai dalam sifatnya yang negatif, di samping sifat melawan hukum

    dalam pengertian formal.

    Dalam UU nomor 20 tahun 2001, paradigma pengertian korupsi bergeser kepada:

    pemberian suap (gratifikasi); yang menerima suap; perbuatan curang dari

    pemborong/ahli bangunan yang membahayakan keamanan orang. Sedangkan Modus

    Tidak Pidana Korupsi dapat berupa penggunaan anggaran yang tidak sesuai peruntukan;

    markup pembiayaan anggaran; pemalsuan anggaran/fiktif; gratifikasi; dan pemberian

    hadiah.

    Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 secara spesifik mengatur tindak pidana

    korupsi dalam bentuk: 1) memberi atau menjanjikan kepada pegawai negeri atau

    penyelenggara negara (pasal 1 sub a); (2) PNS/Penyelenggara Negara yang menerima

    pemberian (pasal 1 sub a2); (3) memberi atau menjanjikan kepada hakim/advokat (pasal

    6 ayat 1 sub a); (4) Hakim/advokat yang menerima pemberian (pasal 6 ayat 2); (5)

    perbuatan curang oleh pemborong/ahli bangunan (pasal 7 ayat 1 sub a,b,c); (6)

    menerima perbuatan curang (pasal l7 ayat 2), (7) PNS/orang lain yang menggelapkan

    uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya (pasal 8). (8) PNS atau orang

    lain yang dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar khusus untuk pemeriksaan

    administrasi (pasal 9); (9) PNS atau orang lain yang menggelapkan, menghancurkan,

    merusak barang, akta, surat atau daftar yang dipakai untuk pembuktian (pasal 10 sub

    a,b,c); (10) PNS/Penyelenggara Negara yang menerima hadiah yang berhubungan

    21 Ridwan, Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman, Volume 12, No.13 (2012), Peran Lembaga Pendidikan Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia.

  • 11

    dengan kekuasaan dan jabatannya (pasal 11). Secara teoritik, Syed Husein Alatas

    membagi korupsi dalam 7 (tujuh) tipologi atau bentuk jenis korupsi, yaitu22:

    Pertama, Korupsi transaktif (transactive corruption), merupakan jenis korupsi

    yang menunjukan adanya kesepakatan timbal balik antara pemberi dan penerima demi

    keuntungan kedua belah pihak. Biasanya korupsi ini terjadi antara pelaku usaha dengan

    aparatur pemerintah melalui kebijakan yang dibuatnya.

    Kedua, Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), merupakan korupsi yang

    menyangkut penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan untuk berbagai keuntungan

    bagi kerabat dan teman-temannya.

    Ketiga, Korupsi yang memeras (extortive corruption), adalah korupsi yang

    dipaksakan kepada pihak tertentu yang biasanya disertai dengan ancaman, tekanan

    ataupun bentuk paksaan lainnya.

    Keempat, Korupsi investif (investive corruption), merupakan korupsi dalam

    membentuk memberikan barang dan jasa kepada pihak lain demi keuntungan di masa

    depan.

    Kelima, Korupsi defensif (defensive corruption) adalah korupsi dimana pihak

    yang dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalamnya sehingga yang bersangkutan justru

    menjadi korban perbuatan korupsi.

    Keenam, Korupsi otogenik (otogenic corruption) yaitu korupsi yang dilakukan

    seorang diri, tanpa ada pihak lain yang terlibat.

    Ketujuh, Korupsi suportif (supportive corruption), adalah korupsi yang terjadi

    dalam bentuk dukungan dengan cara mendiamkan atau berpura-pura tidak tahu atau ikut

    bersama-sama menikmati hasil korupsi.

    B. Pencegahan Tindak Pidana Korupsi

    Dalam 10 tahun terakhir, gelombang perubahan yang menakjubkan telah terjadi di

    Indonesia. Pemerintah telah memilih jalan untuk melaksanakan program desentralisasi

    secara besar-besaran dan telah melaksanakan pemilihan umum secara langsung untuk

    memilih presiden, gubernur, bupati dan walikota. Hal ini haruslah dilihat sebagai proses

    22 IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan bahaya laten korupsi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),

    hlm. 24.

  • 12

    transisi secara damai dari rezim otoriter kepada rezim demokrasi yang diikuti pula

    dengan perubahan-perubahan kelembagaan dan transformasi regulasi.23

    Dalam konteks inilah masalah korupsi di Indonesia perlu untuk dikaji. Korupsi

    bukanlah sesuatu yang khas Indonesia. Hampir dikebanyakan negara korupsi selalu

    terjadi. Korupsi merebak hampir di semua negara di dunia baik negara industri maupun

    negara berkembang. Survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional menunjukan

    bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Dalam bidang

    pemberantasan korupsi, skor Indonesia hanya sejajar dengan Nigeria dan Banglades dan

    tertinggal jauh apabila dibandingkan dengan Philipina maupun Malaysia. Hasil survey

    ini mencerminkan transparansi yang lebih besar mengenai korupsi di Indonesia dan

    menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menjadi salah satu masyarakat yang terbuka.

    Masyarakat mengakui bahwa Korupsi secara obyektif terjadi di berbagai sektor dan

    masyarakat juga berpendapat bahwa korupsi merupakan kejahatan yang harus dibasmi.

    Korupsi merupakan ancaman yang besar bagi transisi politik dan ekonomi di Indonesia

    karena korupsi melemahkan kemampuan negara untuk menyediakan barang-barang

    publik dan mengurangi kredibilitas negara di mata rakyat. Dalam jangka panjang

    korupsi merupakan ancaman bagi keberlangsungan demokrasi.24

    Survei nasional yang dilaksanakan oleh Partnership For Governance Reform in

    Indonesia menyajikan sumber informasi yang kaya tentang persepsi 2.300 rumah

    tangga, pejabat publik dan pengusaha. Hasil survey mengungkapkan bahwa 75%

    responden berpendapat bahwa korupsi sangat lazim di sektor publik. Di samping itu,

    65% rumah tangga melaporkan telah mengalami secara langsung dan 70% responden

    melihat korupsi sebagai “penyakit yang harus diberantas. Survei juga mengungkapkan

    tingkat kemarahan publik dan kemuakan terhadap korupsi. 80% responden

    menghendaki agar pejabat-pejabat yang korup dipenjarakan dan disita kekayaannya.

    Sebagian kecil dari responden menghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan

    umum. Nyaris tidak ada dukungan untuk memberikan amnesti atau pengampunan bagi

    pelaku korupsi di masa lalu.25

    23 Indung Wijayanto, 2008, Kebijakan Nonpenal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

    (Studi Kasus Kota Semarang), hlm. 76.24 Monang Siahaan, Korupsi Penyakit Sosial yang Mematikan, (Jakarta: PT Elex Media

    Komputindo, Kompas Gramedia, 2013), hlm. 107.25 Taufik Rinaldi, dkk, Memerangi Korupsi di Indonesia Yang Terdesentralisasi, Justice for The

    Poor Project, World Bank, hlm. 107.

  • 13

    Survei tersebut menawarkan tiga temuan yang signifikan. Pertama, orang tidak

    terlalu percaya pada lembaga-lembaga negara. Lembaga-lembaga yang dianggap paling

    korup termasuk di sektor peradilan (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan dan Departemen

    Kehakiman), instansi-instansi pendapatan (Dinas Pabean dan instansi Perpajakan),

    Departemen Pekerjaan Umum dan Bank Indonesia. Kedua, lembaga-lembaga yang

    dirangking paling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa. Ketiga,

    survei tersebut memberi wawasan terhadap penyebab-penyebab aktual dari korupsi di

    Indonesia. Walaupun hasil survey menunjukan kepercayaan yang kuat bahwa korupsi

    disebabkan oleh gaji pegawai yang rendah, rendahnya moral perorangan, serta tidak

    adanya pengendali-pengendali dan akuntabilitas, namun analisis data yang cermat

    menunjukan bahwa empat variabel tersebut berkorelasi dengan manajemen bermutu

    tinggi, nilai-nilai organisasi yang anti korupsi, manajemen kepegawaian bermutu tinggi

    dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi.26

    Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak jaman VOC, pemberantasan

    korupsi diyakini akan sulit dilakukan karena akan menentang kepentingan-kepentingan

    kelompok yang kuat, terorganisir secara rapi dalam kelompok-kelompok yang saling

    menguntungkan. Terjadinya distorsi-distorsi secara sistematis dalam struktur yang

    menghalalkan sistem insentif tidak resmi (komisi, suap, uang pelicin) telah

    memungkinkan korupsi tumbuh dengan subur. Untuk membangun budaya anti-korupsi,

    diperlukan penataan ulang struktur-struktur dan sistem insentif sehingga mampu

    mengubah cara pengambilan keputusan masyarakat sehingga mengubah pula perilaku

    masyarakat dan aparatur birokrasi. Dalam suatu masyarakat yang bebas korupsi akan

    tergambar suasana sebagai berikut: (1) Birokrasi sebagai Pelayan publik merasa

    bertanggung jawab atas pelayanan mereka, merasa takut untuk memungut biaya tidak

    resmi dan akan mendapatkan insentif resmi karena bertindak jujur; (2) Masyarakat

    menganggap aturan-aturan akan ditaati sehingga masyarakat memposisikan perilakunya

    dalam kerangka peraturan tersebut; (3) Masyarakat tidak perlu membayar insentif tidak

    resmi (komisi, suap, uang pelicin) karena mengetahui bahwa tanpa membayarpun akan

    dilindungi hak-haknya untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas.

    Pengalaman di negara maju menunjukan bahwa upaya untuk membangun perilaku

    antikorupsi memerlukan waktu yang lama dan komitmen yang kuat dari para

    26 Ibid., hlm. 109.

  • 14

    pemimpinnya serta pengawasan terus menerus dari masyarakat dan media massa. Oleh

    karena itu mengharapkan Indonesia mampu memberantas korupsi dan membudayakan

    perilaku antikorupsi dalam waktu singkat, adalah harapan yang berlebihan. Dibutuhkan

    waktu yang lama melalui proses yang disebut oleh Peter L Berger sebagai proses

    Internalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.27

    Indonesia menemukan momentum untuk memulai perang melawan korupsi

    dengan dilakukan perubahan mendasar dalam bidang ketatanegaraan yang

    memungkinkan dilaksanakannya pemilihan umum yang jujur, bebas, adil dan pemilihan

    langsung Presiden pada tahun 2004. Hal ini membuat Presiden dan anggota parlemen

    lebih bertanggung jawab kepada rakyat. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung

    sebagai amanat UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang terakhir

    diubah dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan dapat

    meningkatkan akuntabilitas di tingkat lokal. Pergeseran ini diyakini akan membuat para

    pemegang kekuasaan publik lebih berhati-hati karena masyarakat menuntut

    akuntabilitas yang lebih besar sebagai imbalan dari suara yang diberikan pada saat

    pemilihan kepala negara dan kepala daerah.

    Pergeseran dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia haruslah dilihat sebagai

    peluang untuk membangun perilaku baru dalam dalam penciptaan keadilan dan

    pemberantasan korupsi melalui kontrak politik antara calon kepala daerah dan

    konstituennya. Dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 telah terjadi pemilihan 33

    Gubernur, 349 Bupati dan 91 Walikota. Pada tahun 2010 akan dilakukan 244 pilkada.

    Oleh karena itu, perubahan sistem ketatanegaraan ini haruslah dijadikan sebagai

    momentum untuk membangun peningkatan akuntabilitas publik.28

    Perubahan dalam kerangka akuntabilitas juga tercermin dalam kelengkapan

    pranata hukum yang disiapkan oleh pemerintah untuk memerangi korupsi dan

    membangun perilaku anti-korupsi. Pranata hukum ini bersumber dari Ketetapan MPR

    bulan Oktober tahun 1999 yang menetapkan sebagai tujuan reformasi yaitu suatu aparat

    negara yang berfungsi dalam penyelenggaraan jasa kepada rakyat yang professional,

    efisien, produktif, transparan dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Pranata

    27 Mahmud, Integrasi Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Antikorupsi Dengan Pembelajaran PPKn

    dan IPS di Sekolah Dasar (Studi Di SD Negeri Gedongkiwo Kota Yogyakarta), Tesis, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017. Hlm. 20.

    28 Capaian Kinerja KPK tahun 2018, https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/717-capaian-dan-kinerja-kpk-di-tahun-2018

  • 15

    hukum lainnya adalah UU nomor 28 tahun 1999 tentang Pemerintahan yang bersih dan

    bebas KKN yang mengharuskan pejabat-pejabat publik mengumumkan harta

    kekayaannya dan menyetujui audit secara berkala, UU nomor 31 tahun 1999 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mendefinisikan secara lebih luas tentang

    pidana korupsi dan menetapkan gugatan dan prosedur penuntutan, dan amandemen UU

    tersebut melalui UU nomor 20 tahun 2001 yang meletakan beban pembuktian kepada

    terdakwa. Selain itu juga sudah diundangkan UU tentang Pencucian Uang dan UU

    nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Anti Korupsi. Dari segi pengelolaan Keuangan

    Negara telah pula diundangkan UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

    UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU nomor 15 tahun 2004

    tentang Tatacara Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Dari uraian

    di atas, dapat diketahui bahwa pranata hukum di Indonesia sudah cukup memadai untuk

    melakukan pemberantasan korupsi dan membangun perilaku anti korupsi.29

    Dari segi kelembagaan, selain lembaga-lembaga konvensional dalam penegakan

    hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian, telah pula dibentuk Komisi Ombusman

    Nasional yang bertugas menangani pengaduan-pengaduan, Komisi Pemberantasan

    Korupsi (KPK) yang bertugas secara khusus untuk menangkap dan memeriksa pelaku

    korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang bertugas

    untuk memantau transaksi yang mencurigakan dan melaporkan transaksi tersebut

    kepada Jaksa Agung.30

    Upaya untuk mencegah tindak pidana korupsi di berbagai Departemen dan

    Lembaga Pemerintah Non Departemen dibangun melalui proses pembudayaan perilaku

    antikorupsi yang di ”bungkus” melalui Pakta Integritas. Pakta Integritas merupakan

    Keinginan Bersama menciptakan kepemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa,

    mendambakan penegakan hukum, pelaksanaan reformasi birokrasi menyeluruh,

    pelaksanaan prinsip-prinsip good governance, dan meningkatnya pelayanan publik ke

    arah pelayanan prima. Banyak faktor penyebab korupsi, antara lain tingkat

    kesejahteraan pegawai masih rendah, sistem pemberantasan KKN belum sempurna,

    29 J. Danang Widiyoko, Oligarki dan Korupsi Politik Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013),

    hlm. 25.30 Komisi Pemberantasan Korupsi, Elemen-Elemen Program Antikorupsi Bagi Korporasi,

    Direktorat Pendidikan Dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan, Jakarta, 2016. Hlm. 30

  • 16

    komitmen semua pihak belum kuat, penanganan masih diskriminatif, sanksi tidak tegas,

    budaya malu makin menipis, dan kepedulian masyarakat rendah.31

    Tujuan, strategi pelaksanaan dan langkah-langkah pelaksanaan Pakta Integritas

    menurut Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara adalah sebagai berikut32:

    a. memperkuat komitmen bersama dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi

    melalui langkah-langkah yang efektif

    b. menjadikan Kementerian PAN sebagai Role Model pemberantasan korupsi di

    lingkungan lembaga pemerintah; dan

    c. memberikan konribusi terhaap upaya peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK)

    Indonesia, mencapai 5,0 pada 2010.

    Sedangkan strategi dalam rangka pencegahan korupsi oleh Kementrian PAN/RB

    adalah sebagai berikut:

    a. meningkatkan disiplin dan melaksanakan kode etik, sumpah jabatan, serta sumpah

    dan janji PNS yang dilakukan secara bertahap dimuai dari hal-hal yang sederhana;

    b. menurunkan perilaku koruptif melalui perbaikan berbagai sistem secara bertahap;

    c. memfungsikan forum pemantau independen;

    d. inventarisasi perilaku dan sistem yang menimbulkan peluang korupsi;

    e. peningkatan disiplin pegawai (absensi, pakaian seragam, penggunaan prasarana

    dan sarana kerja, pengelolaan anggaran, pengadaan barang dan jasa pemerintah,

    dan tidak memberi atau menerima uang di luar aturan yang berlaku);

    f. pembenahan sistem (sistem dan prosedur, pengadaan barang dan jasa, manajemen

    SDM, sanksi dan penghargaan, pengelolaan keuangan, akuntabilitas, pengawasan,

    pelayanan, dan kebijakan);

    Adapun langkah-langkah terkait pakta integritas antara lain meliputi sebagai

    berikut33:

    a. Pembentukan Forum Independen Pemantau Pelaksanaan Pakta Integritas atau

    Forum untuk Keberhasilan Pakta Integritas (FKPI), bersama dengan TI Indonesia,

    ICW, dan MTI;

    31 Satjipto Raharja dalam Amiati Iskandar, Perluasan Penyertaan Dalam tindak Pidana Korupsi

    Menurut UNCATOC 2000 dan UNCAC 2003, (Jakarta: GP press Group, 2013) hlm. 28.32 Ibid.33 Ibid

  • 17

    b. Rencana Aksi (jangka pendek, aksi nyata: perumusan modul, penerbitan SE

    Menpan agar tidak memberi atau menerima sesuatu dalam berurusan dengan

    Kementerian PAN, penerbitan Permenpan tentang berlaku efektifnya Pakta

    Integritas Kementerian PAN, 1 April 2006

    c. Pencetakan dan penempatan atribut pakta inegritas di tempat strategis Kempan,

    pengoperasian kotak suara atau saran Pakta Integritas dan penyediaan formulir

    dukungan pelaksanaan pakta integritas) dan jangka panjang (menuju birokrasi

    yang bersih, jujur, akuntabel, transparan, dan pelayanan prima);

    d. Rencana Aksi Pakta Integritas dapat menggunakan Rencana Aksi Nasional

    Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) yang dibuat Bappenas berkoordinasi dengan

    lembaga terkait, sebagai acuan atau referensi.

    Selain Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Departemen yang juga

    sudah membangun Pakta Integritas adalah Departemen Keuangan. Departemen

    Keuangan memberi nama dengan ”Konsep pulau Intergritas Departemen Keuangan”

    yang di dalam mengandung prinsip-prinsip. Prinsip Konvensi Zero Corruption dengan

    membangun Performance of Publik Official, melalui: (a) pemetaan area korupsi

    berdasarkan resiko tinggi setiap kegiatan (a risk map); (b) perencanaan pemberantasan

    korupsi pada setiap area yang beresiko (an anti corruption publik agenda); (c)

    keterbukaan agenda kegiatan pejabat secara langsung oleh masyarakat (an online publik

    agenda perangkat elektronik); (d) data base yang dapat diakses oleh masyarakat (data

    base for publik officers - keleluasaan mengetahui performance pejabat pemerintah); (e)

    website atas informasi pajak yang lebih transparan (website on tax transparency); (f)

    program akses informasi dan aplikasi (a program on access to information and

    application); dan (g) penegakan hukum kepada pegawai. Penting, transparansi dan

    tanggungjawab setiap pejabat kepada masyarakat secara permanen.34

    Untuk melaksanaka program kegiatan tersebut harus disusun rencana aksi pakta

    integritas yang terintegrasi setiap departemen. Area Depkeu adalah anggaran,

    perbendaharaan, pajak, dan bea cukai. Perlu perhatian mulai perencanaan,

    34 Surat Edaran Nomor : SE-16/MK.1/2012 Tentang Pelaksanaan Program Pembangunan Zona

    Integrotas Menuju Wilayah Bebas Dari Korupsi Di Lingkungan Kementerian Keuangan. Lihat juga dalam Komarudin, 2006, hlm. 8.

  • 18

    penganggaran implementasi budget, pengawasan dan pengendalian dan diupayakan

    pencairan anggaran lebih banyak di semester I (front loading spending).

    Pakta Integritas Departemen Keuangan difokuskan pada: 35

    Pertama, penyusunan peta kegiatan rawan korupsi oleh masing-masing unit kerja,

    kemudian dibuat recana tindak menyeluruh. Kedua, perbaikan sistem informasi

    teknologi yang terintegrasi dengan koordinasi terpusat, sehingga informasi terbuka.

    Ketiga, penerapan pakta inegritas dilakukan bertahap, mulai pejabat/ pegawai tertentu

    yang melakukan hubungan kerja dengan ma-syarakat, antara lain pengurus keuangan

    instansi, wajib pajak, dan importir. Peran dan fungsi pengawas intern sangat

    menentukan dalam pengembangan dan penerapan kegiatan antikorupsi. Aparat dan

    kondisi lingkungan pengawasan yang bersih, merupakan prasyarat utama berjalannya

    upaya pemberantasan korupsi.

    Upaya membangun Pakta Integritas juga sudah berkembang sampai ke tingkat

    Pemerintah Daerah. Salah satu pemda yang dengan cepat mengadopsi konsep tersebut

    adalah Kabupaten Solok. Pakta Integritas Pemerintah Kabupaten Solok dikembangkan

    dengan diawali identifikasi masalah, faktor penyebab KKN, akibat KKN, solusi berupa

    komitmen Pemda, komitmen Swasta dalam pengadaan barang dan jasa pe-merintah,

    pemantauan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang bersendikan pakta

    integritas, mekanisme pengaduan, resolusi konflik, dan perlindungan saksi, insentif dan

    penerapannya, penerapan sanksi.

    Gamawan Fauzi saat menjadi Bupati Solok mengidentifikasi penyebab KKN

    antara yaitu gaji dan tingkat kesejahteraan masih rendah, sistem pem-berantasan KKN

    belum terbangun dengan sempurna, belum ada kesungguhan komitmen yang kuat untuk

    memberantas KKN, sanksi atas pelanggaran masih ringan, budaya malu makin menipis,

    dan kepedulian masyarakat atas penegakan hukum masih rendah. Akibat dari KKN

    antara lain yaitu: motivasi kerja rendah, ”ada meja mata air dan air mata”, sumpah

    jabatan hanya ucapan, disiplin dan tanggungjawab rendah, tidak bermoral, diskriminatif,

    tidak ada niat berprestasi, hilangnya kejujuran, sulit mendaptkan aparat potensial, tidak

    ada penegakan hukum, tidak transparan, dan tidak ada lagi kepercayaan terhadap

    pimpinan. Muncul kejadian-kejadian aturan yang diperjualbelikan, pengusaha

    mempengaruhi pejabat, pemanfaatan kekuasaan, kesenjangan, ketidakadilan,

    35 Ibid.,

  • 19

    pembenaran terhadap pelanggaran dan penyimpangan, hilangnya ketaatan, panutan dan

    keteladanan, masyarakat sulit diatur dan diarahkan, partisipasi masyarakat rendah,

    ketidakjelasan hak dan kewajiban, kesadaran dan tanggung-jawab berbangsa rendah,

    sistem, mekanisme dan prosedur tidak jalan, adanya mafia kecil-kecilan, aturan tidak

    dilaksanakan, aturan hanya formalitas dan diskriminatif, karakter dan jati diri hancur.

    Pakta Integritas Pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Solok berisi komitmen-

    komitmen untuk tidak akan melakukan praktik KKN, tidak meminta/

    menerima/memberi sesuatu yang bersangkutan dengan jabatan dan pekerjaan, tidak

    memberi/ menjanjikan akan memberikan sesuatu berkaitan dengan jabatan/pekerjaan,

    menjamin tidak mela-kukan pelangggaran atas aturan, menegakkan transparansi,

    menciptakan lingkungan kondusif, tidak diskriminatif, memberikan informasi selengkap

    mungkin, memberikan bantuan/dukungan atas upaya pengungkapan praktik suap dan

    KKN, dan membangkitkan sikap dan perilaku bersih dan anti KKN. Contoh lainnya,

    Pakta Integritas pengadaan barang dan jasa pemerintah, sosialisasi internal dan

    eksternal, dan ajakan kepada semua pihak untuk jujur, adil, akuntabel, transparan, dan

    tidak melakukan perbuatan tindak pidana.

  • 20

  • 21

    BAB III

    BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DAN PERAN MASYARAKAT DALAM

    PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

    A. Budaya Hukum Masyarakat Dan Tipe-Tipenya

    Budaya hukum merupakan tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu

    terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap

    nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola

    perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan

    (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat

    bersangkutan.36

    Adapun yang dimaksud “budaya hukum” adalah keseluruhan faktor yang

    menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam

    kerangka budaya milik masyarakat umum. Budaya hukum bukan bukanlah apa yang

    secara kasar disebut opini publik para antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti

    himpunan fragmen-fragmen tingkah laku (pemikiran) yang saling terlepas, istilah

    budaya diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum. 37

    Sedangkan pengertian masyarakat yaitu sekumpulan orang yang, terdiri dari

    berbagai kalangan, baik golongan mampu ataupun golongan tak mampu, yang tinggal

    di dalam satu wilayah dan telah memiliki hukum adat, norma-norma serta berbagai

    peraturan yang siap untuk ditaati. Masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, yang

    terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama, tentu akan memiliki budaya hukum yang

    beraneka ragam. Semuanya itu akan memperkaya khasanah budaya dalam menyikapi

    hukum yang berlaku, baik di lingkungan kelompok masyarakatnya maupun berpengaruh

    secara nasional.

    Secara umum budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga tipe perilaku

    manusia dalam kehidupan masyarakat yaitu38:

    36 Prosiding Seminar Nasional, Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Vol. 1,

    Januari-Desember 2016. Andi Kasmawati dan Andi Qashas Rahman. Membangun Budaya Hukum Menunjang Revolusi Mental Menghadapi Masyarakat ASEAN (MEA), hlm. 257.

    37 Soerjono Soekanto, Hukum dan Masyarakat, Universitas Airlangga, 1977, hlm. 2.38 Prosiding Seminar Nasional, Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Vol. 1,

    Januari-Desember 2016. Andi Kasmawati dan Andi Qashas Rahman. Membangun Budaya Hukum Menunjang Revolusi Mental Menghadapi Masyarakat ASEAN (MEA), hlm. 257.

  • 22

    Pertama, budaya parokial (parochial culture). Pada masyarakat parokial (picik),

    cara berpikir para anggota masyarakatnya masih terbatas, tanggapannya terhadap

    hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat demikian masih

    bertahan pada tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hukum yang telah digariskan

    leluhur merupakan azimat yang pantang diubah. Jika ada yang berperilaku

    menyimpang, akan mendapat kutukan. Masyarakat tipe ini memiliki ketergantungan

    yang tinggi pada pemimpin. Apabila pemimpin bersifat egosentris, maka ia lebih

    mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya jika sifat pemimpinnya altruis maka warga

    masyarakatnya mendapatkan perhatian, karena ia menempatkan dirinya sebagai primus

    intervares, yang utama di antara yang sama. Pada umumnya, masyarakat yang

    sederhana, sifat budaya hukumnya etnosentris, lebih mengutamakan dan

    membanggakan budaya hukum sendiri dan menganggap hukum sendiri lebih baik dari

    hukum orang lain.39

    Kedua, Budaya subjek (subject culture). Dalam masyarakat budaya subjek

    (takluk), cara berpikir anggota masyarakat sudah ada perhatian, sudah timbul kesadaran

    hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa yang lebih tinggi. Masukan dari

    masyarakat masih sangat kecil atau belum ada sama sekali. Ini disebabkan pengetahuan,

    pengalaman dan pergaulan anggota masyarakat masih terbatas dan ada rasa takut pada

    ancaman-ancaman tersembunyi dari penguasa. Orientasi pandangan mereka terhaap

    aspek hukum yang baru sudah ada, sudah ada sikap menerima atau menolak, walaupun

    cara pengungkapannya bersifat pasif, tidak terang-terangan atau masih tersembunyi.

    Tipe masyarakat yang bersifat menaklukkan diri ini, menganggap dirinya tidak berdaya

    mempengaruhi, apalagi berusaha mengubah sistem hukum, norma hukum yang

    dihadapinya, walaupun apa yang dirasakan bertentangan dengan kepentingan pribadi

    dan masyarakatnya.40

    Ketiga, Budaya partisipant (participant culture). Pada masyarakat budaya

    partisipan (berperan serta), cara berpikir dan berperilaku anggota masyarakatnya

    berbeda-beda. Ada yang masih berbudaya takluk, namun sudah banyak yang merasa

    berhak dan berkewajiban berperan serta karena ia merasa sebagai bagian dari kehidupan

    hukum yang umum. Disini masyarakat sudah merasa mempunyai kedudukan, hak dan

    39 Astim Riyanto, Budaya Politik Indonesia, Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah

    PascaSarjana, Unniversitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2006, hlm. 740 Ibid., hlm. 6.

  • 23

    kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Ia tidak mau dikucilkan dari

    kegiatan tanggapan terhadap masukan dan keluaran hukum, ikut menilai setiap

    peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik yang

    menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan dirinya sendiri.

    Biasanya dalam masyarakat demikian, pengetahuan dan pengalaman anggotanya sudah

    luas, sudah ada perkumpulan organisasi, baik yang susunannya berdiri sendiri maupun

    yang mempunyai hubungan dengan daerah lain dan dari atas ke bawah.41

    B. Pengaruh Budaya Hukum terhadap Penegakan hukum

    Soerjono Soekanto menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

    penegakan hukum, yaitu: hukum itu sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas,

    masyarakat, dan kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaan tak lain adalah dwitunggal

    dalam elemen budaya hukum yang memiliki pengaruh amat penting dalam bekerjanya

    sebuah sistem besar, bernama sistem hukum. Maka tak heran jika ahli-ahli hukum

    tersohor, seperti Krabbe dan Kranenburg, mengatakan jika budaya dan kesadaran

    hukum adalah satu-satunya sumber dan kekuatan mengikat dari hukum. Hukum yang

    dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai,

    pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum

    diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern

    yang ditandai dengan munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi

    mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul

    perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang

    dijalankan oleh masyarakat, Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku

    sesuai dengan apa yang telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan

    mereka.42

    Menurut Lawrence M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum

    adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran,

    serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan

    kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau

    disalahgunakan, tanpa adanya budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak

    berdaya. Unsur budaya hukum ini mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara

    41 Ibid., hlm. 7.42 Syafrudin Makmur, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’I (Salam Jurnal(, No.2 Tahun 2015, hlm. 18.

  • 24

    berpikir, dan cara bertindak baik dari aparat penegak hukum maupun dari

    masyarakat.tanpa budaya hukum maka sistem hukum akan kehilangan kekuatannya

    seperti yang di katakan Lawrence M. Friedman "without legal culture, the legal system

    is meet-as dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea". Gambaran

    mengenai budaya hukum dalam unsur-unsur sistem hukum adalah struktur hukum

    diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu, substansi hukum diibaratkan

    produk yang di hasilkan oleh mesin, dan budaya hukum merupakan apa saja atau siapa

    saja yang memutuskan untuk menjalankan mesin serta membatasi penggunaan mesin. 43

    Kualitas budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun

    aturan hukum dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun,

    yang akan menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu.Ketika

    budaya belum berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan. Dalam

    rangka penegakan hukum harus dilakukan dengan "pengorganisasian" secara terpadu,

    mengedepankan komitmen dan fakta integritas, moral yang tinggi antar lembaga polisi,

    jaksa,pengacara, hakim serta menerapkan sistem hukum dengan melakukan rencana

    tindakan yang nyata. Selain itu juga harus ada kemauan politik yang kuat dari para

    penguasa negara ini baik dari pemerintah maupun dari unsur legislatif ( Presiden

    bersama-sama DPR) dengan suatu keberanian moral dan konsistensi hukum dengan

    meresponnya.

    Para aparat penegak hukum harus mampu melepaskan diri dari budaya aparat

    hukum yang ada selama ini dinilai tidak adil dan buruk dan berubah ke arah

    peningkatan sumber daya manusia, manajemen yang lebih baik menjadi aset untuk

    dapat menjalani tugas para aparat penegak hukum yang ideal. Budaya hukum (budaya

    kerja) dari aparat penegak hukum yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang

    efektif dan efisien. Aspek perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum perlu

    dilakukan penataan ulang dari perilaku budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh

    aparat penegak hukum sebelumnya karena seseorang menggunakan hukum atau tidak

    menggunakan hukum sangat tergantung pada kultur (budaya) hukumnya. Telah terbukti

    bahwa akibat perilaku hukum aparat penegak hukum yang tidak baik, tidak resisten

    terhadap suap, konspirasi, dan KKN, menyebabkan banyak perkara yang tidak dapat

    dijerat oleh hukum.

    43 Ibid., hlm. 10.

  • 25

    C. Upaya Menumbuhkan Budaya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat

    Menurut mantan Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh

    mengatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan

    hukum (pidana) di Indonesia antara lain44:

    a. undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat

    lebih mencerminkan kepentingan pengusaha dan penguasa daripada kepentingan

    rakyat kebanyakan.

    b. lemahnya kehendak konstitusional dari para pemimpin dan penyelenggara

    negara di Indonesia.

    c. rendahnya integritas aparat penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa dan

    advokat.

    d. paradigma penegakan hukum yang positivistik atau lebih menekankan pada

    aspek legal formal.

    e. minimnya sarana dan prasarana penegakan hukum,

    f. sistem hukum yang tidak sistematis.

    g. tingkat kesadaran dan budaya hukum yang kurang di masyarakat.

    Upaya untuk mengubah budaya yang sudah ada pada masyarakat indonesia

    sebenarnya sangat susah, karena kultur yang ada di indonesia itu sangat bermacam-

    macam dan beraneka ragam, sangat tidak mungkin untuk mengubahnya. Tetapi

    kaitannya dengan budaya masyarakat Indonesia yang sangat kurang terhadap kesadaran

    hukum itu mungkin disebabkan karena dari awal masyarakat itu tidak mengerti akan

    pentingnya hukum bagi kehidupan, kalau saja tidak ada hukum mungkin akan terjadi

    kekacauan dimana-mana. Untuk dapat meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat

    mungkin pemerintah atau aparat penegak hukum sebagai pembuat dan pelaksana dapat

    lebih mensosialisasikan hukum itu sendiri kepada masyarakat. Agar masyarakat dapat

    lebih mengerti mengenai akan pentingnya hukum itu bagi kehidupan bermasyarakat.

    Upaya untuk mengubah budaya yang ada di masyarakat itu harus diawali dengan

    44 Etika dan Budaya Hukum Dalam Peradilan, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik

    Indonesia, Cetakan Pertama, Juli 2017, hlm. 234.

  • 26

    pensosialisasian yang lebih mendalam dan terarah terhadap masyarakat mengenai

    pentingnya hukum bagi kehidupan. 45

    Soerjono Soekanto menganalisa efektifitas bekerjanya hukum dari sudut yang

    agak berbeda yaitu46:

    a. Perlunya pemberian teladan kepatuhan hukum oleh para pengek hukum;

    b. sikap yang tegas (zakelijk) dari aparat

    c. Penyesuaian perturan yang belaku dengan perkembangan tekhnologi mutkhir

    saat ini

    d. penerangan, penyuluhan mengenai peraturan yang sedang dan akan berlaku

    kepada masyarakat

    e. memberi waktu yang cukup kepada masyarakat untuk memahami peraturan itu

    Negara Indonesia memiliki suatu tujuan yang mulia yaitu mendorong dan

    menciptakan kesejahteraan umum dalam payung Negara Ke-satuan Republik Indonesia

    yang berlandaskan Pancasila. Tujuan atau cita-cita tersebut tercermin dalam pembukaan

    Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam alinea ke-4 yaitu:

    “Kemudian daripada itu untuk memben-tuk suatu Pemerintahan Negara Indone-sia yang melindungi segenap bangsa Indo-nesia dan seluruh tumpah darah Indone-sia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perda-maian abadi dan keadilan sosial...”

    Perlindungan terhadap segenap bangsa dan tumpah darah melalui perangkat

    hukum yang berlaku merupakan hal yang mutlak un-tuk diwujudkan, tidak ada artinya

    kata-kata “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah” apabila ternyata masih ada

    penderitaan yang dirasakan oleh rakyat berupa ketimpang-an-ketimpangan hak-hak

    ekonomi yang mencerminkan ketidaksejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Ketidaksejahteraan tersebut didorong dan diciptakan oleh sistem pemerintahan yang

    tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena masih membiarkan ada-

    nya praktik-praktik pemerintahan di mana kekuasaan dijalankan secara sewenang-

    wenang dan tidak berpihak pada rakyat.47

    45 Ibid., hlm. 235. 46 Soerjono Soekanto,Efektiftas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja Karya Bandung, 1985, hlm. 7.47 Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

  • 27

    Pemerintah oleh karena itu mempunyai peran penting dalam sebuah negara

    modern di mana pemerintah harus mampu menjadi lokomotif bagi perlindungan dan

    kesejahteraan bagi rakyatnya. Friedman menegaskan bahwa negara atau pemerintah

    seharusnya mampu menjalan-kan fungsinya sebagai negara modern, yaitu: as protector;

    as diooser of social services; as industrial manager; as economic controller; as

    arbitrator.48

    Negara sebagai lokomomotif perlindungan dan kesejahteraan bagi rakyat, menurut

    Melkias Hetharia49:

    “Dalam sebuah negara demokrasi, hak tersebut menuntut kepada mereka yang berkuasa atasnya (penguasa) untuk memenuhinya. Dengan demikian secara otomatis penguasa wajib melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat manusia yang dikuasainya. Walaupun hak itu ada dengan sendirinya (secara alami) dan pemerintah wajib untuk melaksanakannya.”

    Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

    Indonesia dapat pula berarti upaya keras dan nyata bagi pembebasan seluruh rakyat

    Indonesia dari penderitaan dan upaya yang nyata bagi terciptanya kesejahteraan rakyat

    Indonesia tanpa kecuali. Namun demikian, dalam penegakan hu-kum pidana akhir-akhir

    ini menyisakan tanda tanya besar dari berbagai kalangan masyarakat termasuk pelaku,

    hal ini disebabkan karena adanya disparitas yang sangat mencolok dalam penerapan

    hukum pidana melalui lembaga peradilan, baik dalam tahapan penyidikan, penuntutan

    maupun dalam tahap eksekusi. Persoalan ini berdampak pada kegagalan pemerintah da-

    lam memenuhi hak konstitusional rakyat Indonesia.

    Salah satu kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak konstitusional rakyat

    Indonesia berupa kesejahteraan adalah tingginya korupsi yang kemudian melahirkan

    ketidaksejahteraan bagi masyarakat, korupsi yang telah meluas dan berakar di Indonesia

    telah menghancurkan harapan bangsa atas mimpi kesejahteraan yang selalu

    didambakan, bahkan mengancam eksis-tensi negara yang seharusnya mewujudkan

    mimpi kesejahteraan tersebut. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya50:

    48 Lawrence M Friedman, Op. Cit., hlm…..49 Habel Way, Melkias Hetharia dan Marthen Arie, Kedudukan Hukum Majelis Rakyat Papua

    (MRP) Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, hlm 6-7.

    50 Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah: Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),(tnp.: ttp, tt.), p. 16. dalam Ismail Marzuki, Rekonstruksi Penegakan Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Vol 3. No.1 , Tahun 2013.

  • 28

    “Tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya dilakukan oleh

    Penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, melainkan juga penyelenggara

    negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga

    merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta

    membahayakan eksistensi negara.”

    Sejalan dengan apa yang katakan Nyoman Serikat Putra Jaya tersebut, menurut

    Marzuki Darusman bahwa, Penyebaran Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sudah sangat

    meluas sehingga dapat dikatakan radikal korup. Pernyataan Marzuki Darusman, tampak

    berbanding lurus dengan data yang disampaikan oleh Fauzi, di mana sejak tahun 2005

    Bupati yang menjadi tersangka sebanyak 150 orang dari jumlah total Kepala Daerah

    sebanyak 524 orang. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan dan memperkukuh bahwa

    tingkat korupsi di Indonesia memang telah memasuki area radikal korup.51

    Tingginya tingkat korupsi yang kemudian memasuki tingkat radikal korup, pada

    hakikatnya telah menempatkan bangsa Indonesia pada titik keprihatinan karena tindak

    pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat merugikan keuangan negara

    akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugian-kerugian pada perekonomian rakyat. Oleh

    karena itu, sebagai bangsa yang memiliki semangat untuk mencip-takan kemakmuran

    secara merata dan adil, sudah semestinya Bangsa Indonesia mampu untuk mengenali

    dan menghindari setiap bentuk korupsi yang hanya akan dapat menciptakan ke-

    sengsaraan bagi segenap rakyat Indonesia.

    Shed Husen Alatas sebagaimana yang dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya

    telah membaginya dalam 7 tipologi korupsi, yaitu: pertama, korupsi transaktif

    (transactive cor-ruption). Di sini menunjukan kepada adanya kesepakatan timbal balik

    antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan

    dengan aktif diusahakan terca-painya keuntungan oleh kedua-duanya; kedua, korupsi

    yang memeras (extortive corruption) adalah jenis korupsi di mana pihak pemberi di-

    paksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya,

    kepentingan-nya, atau orang-orang dan hal-hal yang dihar-gainya; ketiga, korupsi

    investif (investive cor-ruption) adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan.

    51 LAPORAN AKHIR TIM KOMPENDIUM HUKUM TENTANG LEMBAGA

    PEMBERANTASAN KORUPSI, KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL TAHUN 2011, hlm.

  • 29

    Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri, seperti pemberian ba-rang atau

    jasa tanpa ada pertalian langsung de-ngan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang

    dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang; keempat, korupsi perkerabatan

    (nepotistic corruption) adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak

    saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan

    perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau ben-tuk-bentuk lain, kepada

    mereka, secara berten-tangan dengan norma dan peraturan yang ber-laku; kelima,

    korupsi defensif (defensive cor-ruption) di sini pemberi tidak bersalah tetapi si penerima

    yang bersalah. Misal: seorang pengu-saha yang kejam menginginkan hak milik sese-

    orang, tidak berdosalah memberikan kepada penguasa tersebut sebagian dari harta itu

    untuk menyelamatkan harta selebihnya; keenam, korupsi otogenik (autogenic

    corruption) suatu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya

    seorang diri; dan ke-tujuh, korupsi dukungan (supportive corrup-tion) di sini tidak

    langsung menyangkut uang atau imbalan dalam bentuk lain. Tindakan-tin-dakan yang

    dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.52

    Bentuk-bentuk korupsi, terutama dalam lingkup suap merupakan penyakit yang

    sangat akut bagi bangsa Indonesia, karena hampir di setiap lembaga pelayanan publik

    (termasuk pada dunia pendidikan) suap sudah menjadi hal yang biasa, yang pada

    akhirnya ada kesulitan-kesulitan dalam mendeteksi korupsi, sehingga pencegahannya

    pun makin sulit dilakukan, sehingga korupsi terus berkembang dan menjalar dalam

    setiap aspek kehidupaan. Perlu kiranya diperhatikan dan direnungkan apa yang dikata-

    kan oleh Habibur Rahman Khan sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief bahwa,

    dunia modern sepenuhnya menyadari akan problema yang akut ini. Orang demikian

    sibuk melakukan penelitian, seminar, konferensi internasional dan menulis buku untuk

    mencoba memahami masalah kejahatan dan sebab-sebabnya, agar dapat

    mengendalikannya, tetapi hasil bersih dari semua usaha ini adalah sebaliknya yaitu

    kejahatan bergerak terus.53

    Korupsi sebagaimana kejahatan yang dikatakan oleh Habibur Rahman tersebut,

    merupakan suatu perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang dalam meraih

    52 Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Perkembangan Hukum Pidana, PT

    Citra Aditya Bakti, Bandung: 2008, hlm. 69.53 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,

    PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001;

  • 30

    keuntungan secara tidak halal, seolah-olah tidak pernah berhenti dan habis untuk

    dibicarakan baik dalam forum ilmiah maupun oleh setiap masyarakat setiap hari, tetapi

    hasil nyatanya adalah perbuatan jahat ini terus bergerak tiada henti menggerogoti setiap

    sendi kehidupan yang dapat berpengaruh negatif bagi kehidupan masyarakat, bangsa

    dan negara.

    Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sementara

    pemberantasannya masih sangat lamban, Romli Atmasasmita, menyatakan bahwa,

    Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh

    pemerintahan sejak tahun 1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih

    tersendat-sendat sampai sekarang. Lebih lanjut dikatakannya bahwa korupsi berkaitan

    pula dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan

    kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluar dan kroninya.54

    Sependapat dengan Romli Atmasasmita tersebut, Nyoman Serikat Putra Jaya

    menjelaskan bahwa harus diakui, dewasa ini Indonesia sesuai dengan hasil penelitian

    yang dilakukan oleh Transparancy International dan Political and Economic Risk

    Consultancy yang berkedu-dukan di Hongkong, selalu menempati kedudu-kan yang

    rawan sepanjang menyangkut korupsi. Korupsi di Indonesia harus diakui sudah bersifat

    sistemik dan endemik, sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

    me-langgar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Lebih lanjut dikatakan

    oleh Nyoman Serikat Putra Jaya, korupsi di Indonesia sudah merembes ke segala aspek

    kehidupan, kesemua sektor dan segala tingkatan, baik di pusat maupun daerah,

    penyebabnya adalah ko-rupsi yang terjadi sejak puluhan tahun lalu dibiarkan saja

    berlangsung tanpa diambil tindak-an yang memadai dari kaca mata hukum.55

    Korupsi, apabila dibiarkan terus, maka akan menempatkan rakyat pada posisi

    yang sangat dirugikan, Robert Klitgaard merinci beberapa hal akibat korupsi. Pertama,

    suap menyebabkan dana untuk pembangunan rumah murah jatuh ke tangan yang tidak

    berhak; kedua, komisi untuk para penanggung jawab pengadaan barang dan jasa bagi

    pemerintah daerah berarti bahwa kontrak jatuh ke tangan perusahaan yang tidak

    memenuhi syarat; ketiga, kepolisian sering kali karena telah disuap pura-pura tidak tahu

    54 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana(Criminal Justice System) Perspektif

    Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1996, Hlm. 15. 55 Theresa Thompson and Anwar Shah, Transparency International’s Corruption Perceptions

    Index: Whose Perceptions Are They Anyway?, Maret 2005.

  • 31

    bila ada tindak pidana yang seharusnya di-usutnya; keempat, pegawai pemerintah

    daerah menggunakan sarana masyarakat untuk kepen-tingan pribadi; kelima, dalam

    rangka menda-patkan surat izin dan lisensi, warga masyarakat harus memberi uang

    pelicin kepada petugas bahkan kadang-kadang harus memberi suap agar surat izin atau

    lisensi bisa terbit; keenam, pemberian suap mengakibatkan warga masyarakat bisa

    berbuat sekehendak hati melanggar peraturan keselamatan kerja, peraturan kesehatan,

    atau peraturan lainnya sehingga menim-bulkan bahaya bagi anggota masyarakat

    selebihnya; ketujuh, layanan pemerintah daerah diberikan hanya bila warga telah

    membayar se-jumlah uang tambahan di luar biaya yang resmi; kedelapan, keputusan

    mengenai peruntukan lahan dalam kota sering dipengaruhi oleh korupsi; dan

    kesembilan, petugas pajak memeras warga, atau lebih bersekongkol dengan wajib pajak,

    memberikan keringanan pajak pada wajib pajak dengan imbalan suap.56

    Melihat akibat korupsi yang demikian seriusnya, perlu dilakukan langkah-langkah

    pemberantasan korupsi, langkah tersebut tentu bukan hanya pada sektor penindakan

    tetapi juga pada sektor pencegahan yang harus melibatkan dunia pendidikan, dengan

    demikian pembe-rantasan korupsi diharapkan dapat berjalan efektif. Keterlibatan dunia

    pendidikan (fakultas-fakultas hukum) demikian penting, sebab melalui dunia

    pendidikan inilah setiap calon penegak hukum ditempa, dibekali ilmu yang cukup untuk

    kemudian menegakkan hukum ter-sebut dengan baik dan jauh dari perilaku-perilaku

    korup. Melalui pembekalan ilmu yang baik, diharapkan para penegak hukum tidak

    melaku-kan tindakan koruptif ketika mereka memeriksa kasus-kasus korupsi yang

    mereka tangani. Berkaitan dengan hal tersebut, Hilton Tarnama Putra menyatakan

    dengan keberadaan dan karakter dari ilmu hukum akan mempengaruhi bentuk dan cara

    pendidikan (tinggi) hukum yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula cara berfikir

    serta berkarya para ahli hukum yang dihasilkannya.57

    Dunia pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tentang ilmu hukum

    sesungguhnya memiliki peran yang sangat strategis dalam pemberantasan tindak pidana

    korupsi, bahkan kegagalan sebuah pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dikatakan

    sebagai kegagalan dunia pendidikan tinggi ilmu hukum, mengapa demikian? Karena

    dipandang dari kaca mata penegakan hukum (hukum pidana), maka penegakan hukum

    56 Robert Klitgaard, Addressing corruption together, OECD, 2015, hlm. 15-16.57 Hilton Tanama Putradalam Ridwan, Peran Lembaga Pemberantasan Korupsi Di Indonesia,

    Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012. Hlm. 551.

  • 32

    pidana tak terlepas dari sistem dan dalam sistem penegakan hukum terdiri dari tiga sub

    sistem, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum. Menurut Lawrence

    M. Friedman, kultur merupakan komponen yang sangat penting dan menentukan

    bekerjanya sistem hukum, di mana kultur hukum tersebut merupakan elemen sikap dan

    nilai sosial.

    Termasuk dalam kultur hukum ini adalah pendidikan yang dapat membentuk

    karakter seseorang termasuk penegak hukum, dengan demikian para penegak hukum

    (hukum pidana) tidak terjebak pada pemikiran hukum yang sempit yang hanya

    memahami hukum hanya sekedar teks undang-undang. Melalui pendidikan yang baik

    diharapkan pula setiap penegak hukum (hukum pidana) memiliki pemahaman hukum

    yang baik pula, sehingga dengan pema-ha-man hukum yang baik akan menciptakan

    penegak-penegak hukum yang handal. Menurut Barda Nawawi Arief, peningkatan

    kualitas SDM penegak hukum akan menciptakan penegak hukum yang bersih dan

    berwibawa, yang jujur dan bermoral, tidak korup dan dapat dipercaya me-negakkan

    nilai-nilai kebenaran dan keadilan, peningkatan kualitas pendidikan akan menciptakan

    penegak-penegak hukum yang al-amin (dapat dipercaya), karena tidak hanya sekedar

    memahami hu kum homo juridicus, tetapi juga memiliki etika/moral atau yang disebut

    dengan “homo etichus”. Oleh karena itu, menegakkan wibawa hukum pada hakikatnya

    menegakan ni-lai kepercayaan di dalam masyarakat.58

    Menegakkan wibawa hukum, berarti pula menegakkan fungsi dari hukum pidana

    yang pada inti hakikatnya fungsi dari hukum pidana adalah penyelesaian konflik. Hal

    mana ditegaskan oleh G. Peter Hoefnagles bahwa fungsi dari hukum pidana adalah

    penyelesaian konflik. Penerapan hukum pidana dengan penekanan, bahwa hukum

    pidana berfungsi bagi penyelesaian konflik, tentu juga harus didukung oleh kemampuan

    seorang penegak hukum dalam memahami dan menganalisa teori-teori hukum pidana

    yang dapat dijadikan sebagai se-buah landasan dan hal itu mustahil dapat ditemukan,

    jika karakter keilmuan seorang penegak hukum masih tergolong lemah yang pada

    akhirnya akan menciptakan ketidakmampuan bagi seorang penegak hukum pidana

    melakukan terobosan guna terciptanya penegakan hukum pidana yang berkeadilan.

    Karakter keilmuan yang kuat juga akan memperteguh karakter seorang penegak hukum

    58 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm….

  • 33

    pidana untuk selalu mengarahkan hukum dalam pemenuhan perlindungan hukum bagi

    setiap masyarakat tanpa sebuah kekecualian.59

    Semua pembentukan perilaku penegak hukum (hukum pidana) tersebut akan

    terbentuk mana kala dunia pendidikan yang menye-lenggarakan pendidikan ilmu hukum

    juga menunjukkan karakternya yang baik, sebagai sebuah lembaga pendidikan yang

    jauh dari bentuk tindakan yang koruptif termasuk di dalam pratik perbuatan curang dan

    perilaku yang mau disuap, tetapi mencerminkan sebuah perilaku jujur yang

    menunjukkan martabatnya yang tinggi. Salah satu bentuk korupsi di dunia pen-didikan

    yang harus dihindari adalah tenaga pen-didik/pengajar yang dengan sengaja dan dengan

    alasan yang tidak dibenarkan oleh hukum (alasan yang bisa diterima oleh hukum

    misalnya karena sakit, penelitian, seminar dan tugas negara lainnya serta bencana alam)

    kemudian me-ninggalkan tugas pokoknya yaitu mengajar.

    Melalui pengembangan perilaku yang baik dan harus diajarkan, serta dipraktikan,

    terutama diperguruan tinggi yang mengajarkan tentang ilmu hukum, maka

    pemberantasan tindak pidana korupsi akan dapat diwujudkan secara baik. Hal ini

    disebabkan, melalui lembaga pen-didikan ilmu hukum para penegak hukum (hukum

    pidana) yang merupakan bagian dari sis-tem penegakan hukum pidana (struktur hukum)

    itu dibentuk dan dibekali ilmu yang baik. Pembekalan ilmu yang baik, tentu akan

    menimbulkan dampak yang positif bagi terciptanya iklim penegakan hukum pidana

    yang selalu berorientasi pada kepentingan hukum yang luas, yakni menyangkut

    kepentingan hukum secara individu maupun kelembagaan (kepentingan umum),

    sehingga dengan demikian setiap penegak hukum pidana menyadari bahwa hukum

    pidana tidak hanya mengatur per-buatan manusia, tetapi juga mengatur penegak hukum

    itu sendiri. Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa sasaran/adresat dari hukum pidana

    tidak hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga

    mengatur perbuatan (dalam arti kewenangan/kekuasaan) penguasa/aparat penegak

    hukum dan dengan memahami pembatasan/pengaturan oleh hukum pidana tersebut,

    para penegak hukum pidana akan mampu menjadi corong kebenaran, bukan sekedar

    corong undang-undang.

    Pada hakikatnya korupsi merupakan sebuah persoalan tentang moralitas, bagi

    seseorang yang memiliki tingkat moralitas yang baik tidak akan melakukan tindakan tak

    59 Barda Nawawi Arief, 2002, Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,. Bandung, Hlm.42

  • 34

    terpuji (korupsi). Oleh karena itu, pendidikan moralitas sangat diperlukan dalam

    membentuk pribadi yang baik. Pendidikan moralitas tak dapat dipisahkan dari

    pendidikan agama, menurut Moeljatno bahwa ilmu pengetahuan (termasuk ilmu hukum)

    yang tidak dibarengi dengan ilmu agama adalah tidak lengkap. Begitu eratnya hubungan

    antara ilmu pengetahuan hukum dengan ilmu agama, Satjipto Rahardjo

    mengungkapkannya dengan sangat indah sekali bahwa, ilmu adalah forum untuk

    berburu kebenaran yang tidak akan bisa digenggamnya secara sempurna. Otak kecil

    manusia hanya bisa menemukan keping-keping kebenaran, sedangkan kebenaran sejati

    hanya milik Allah, di sini ilmu pengetahuan dan religi bertemu.60

    Mendasarkan pada kekuatan besar antara ilmu pengetahuan sebagai sarana

    memburu kebenaran yang besifat relatif, dimana kebenaran yang demikian sebagaimana

    yang dikatakan Satjipto Rahardjo adalah kebenaran yang tak mungkin secara sempurna

    dapat digenggam, sehingga guna menggenggam kebenaran diperlukan kekuatan besar

    lainnya yaitu kebenaran hakiki yang dimiliki Tuhan, dengan demikian, maka sekat-sekat

    ketidakharmonisan antara hukum dan keadilan akan dapat diatasi, sehingga masyarakat

    akan mampu merasakan hukum yang mampu menaungi kehidupannya ketika hukum itu

    ditegakkan. Sebaliknya, jika ilmu pengetahuan hukum dan ilmu agama dipisahkan,

    maka akan terjadi persoalan-persoalan yang sangat mendasar bagi negara Indonesia,

    karena hukum akan ditegakkan dengan pola-pola koruptif yang dapat mendorong

    runtuhnya Indonesia sebagai sebuah bangsa.

    Runtuhnya sebuah bangsa yang diakibatkan oleh tingkat korupsi yang demikian

    akut, sesungguhnya dimulai dari dunia pendidikan tinggi ilmu hukum yang tidak lagi

    memiliki konsentrasi dan porsi yang cukup bagi pendidikan ilmu agama, yang pada

    akhirnya melahirkan perilaku-perilaku munafik dan tidak ragu-ragu menjadi bagian dari

    suburnya perilaku koruptif. Berkaitan dengan ilmu agama yang berisikan tuntunan

    Tuhan tersebut, oleh Purnadi Purbacaraka disebutnya sebagai kaidah kepercayaan,

    dengan kaidah tersebut bertujuan mencapai suatu kehidupan yang beriman, dengan

    kehidupan yang beriman tersebut tentulah diharapkan tercapainya penegakan hukum

    yang baik jujur dan jauh dari nilai-nilai yang munafik. Menurut Romli Atmasasmita,

    hukum dan penegakan hukum berada dalam ruang dinamika keimanan, kepastian

    60 Satjipto Rahardjo dalam Ahmad Gunawan, BS & Mu’ammar Ramadhan, Menggagas Hukum

    Progresif Indonesia, Semarang: Penerbit Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo & Program Doktor Ilmu Hkum Undip. 2006, hlm. 6.

  • 35

    hukum dan keadilan. Penegakan hukum tanpa keimanan dapat menimbulkan

    kemunafikan dan kezaliman.61

    Pembentukan karakter melalui pendidikan moral yang merupakan unsur

    terpenting dari pendidikan ilmu agama tidak terlepas dari sifat ilmu hukum (termasuk

    hukum pidana) sebagai bagian dari ilmu kejiwaan sebagaimana yang dikatakan Barda

    Nawawi Arief sebagai pakar hukum pidana menyatakan bahwa aspek nilai kejiwaan ini

    ada dan melekat pada setiap “hukum” pada umumnya. Oleh karena itu, wajarlah ilmu

    hukum (termasuk ilmu hukum pida-na) dikelompokkan ke dalam ilmu pengetahuan

    kejiwaan/kerohanian (Geisteswissenschaft), bahkan menurutnya bahwa dengan

    demikian ilmu hukum pidana normatif pada hakik