fakultas hukum · 2019. 4. 24. · buku yang berjudul “menumbuhkan budaya anti korupsi” ini...
TRANSCRIPT
-
FAKULTAS HUKUM
MENUMBUHKAN BUDAYA ANTI KORUPSI
Cetakan Pertama - 2017
-
MENUMBUHKAN BUDAYA ANTI KORUPSI
Cetakan Pertama - 2017
MENUMBUHKAN BUDAYA ANTI KORUPSI
Fakultas Hukum
-
i
KATA PENGANTAR Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini merupakan hasil pemikiran dan kajian
yang bersumber dari data sukender dengan didukung oleh hasil wawancara tentang
bagaimana menumbuhkan budaya anti korupsi di lingkungan YPI Al Azhar, baik di
kalangan siswa Sekolah dasar (SD), siswa sekolah menengah pertama (SMP), siswa sekolah
menengah atas (SMA), maupun juga bagi mahasiswa di lingkungan civitas Universitas Al
Azhar Indonesia. Hasil wawancara tersebut dianalisis dengan berbagai konsep/teori terkait
dengan persoalan korupsi dan juga bagaimana upaya melakukan pencegahan korupsi.
Buku yang berjudul “Menumbuhkan Budaya Anti Korupsi” ini berisi tentang
pembahasan beberapa hal, antara lain: peran masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi, budaya hukum dan penegakan hukum tindak pidana korupsi, pendidikan karakter
dalam menumbuhkan budaya anti korupsi. Selain itu dalam buku ini juga dibahas tentang
bentuk peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,
peran serta masyarakat dalam menumbuhkan budaya anti korupsi di Indonesia, dan
bagaimana strategi menumbuhkan budaya anti korupsi di lingkungan YPI Al Azhar.
Mengingat saat ini penulis juga mengajar mata kuliah Hukum Anti Korupsi dan
Kejahatan Korporasi, buku ini ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam
memberikan materi kuliah tersebut diatas sesuai sub bahasan yang terkait dengan soal
bentuk dan peran serta masyarakat dalam pencegahan tindak pidana korupsi, serta
pembentukan karakter sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia,
keterkaitan budaya hukum dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak-
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian buku ini. Penulis secara khusus mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir.
-
ii
Asep Saefuddin, M.Sc, yang memberikan support dan dorongan terus menerus untuk
menyelesaikan buku ini agar pemikiran penulis sebagai insan akademisi dapat bermanfaat
bagi para pembacanya khususnya para mahasiswa dan penggiat anti korupsi, serta pihak-
pihak pengampu kebijakan dalamupaya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa penulis
sampaikan kepada istri tercinta Dr. Sonyendah Retnaningsih, SH., MH., ditengah
kesibukannya mengajar di Fakultas Hukum UI dan peguruan tinggi lainnya, serta anak- anak
tercinta M. Rizqi Alfarizi Ramadhan, yang saat ini baru menempuh pendidikan di Fakultas
Hukum UI dan M. Ridho Bayu Prakoso, yang senantiasa memberi dorongan semangat dan
mengerti atas kesibukan penulis dalam menjalani profesinya sebagai dosen dan praktisi
hukum ini.
Harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan
pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun kepentingan pengembangan Ilmu
Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan hukum anti korupsi.
Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan disana-sini serta masih jauh
untuk kategori sempurna, mengingat segala keterbatasan pada kemampuan dan pengetahuan
yang penulis miliki, oleh karenanya, segala kritik dan saran yang positif senantiasa penulis
harapkan guna untuk upaya perbaikan dalam penulisan buku ini pada edisi revisi yang akan
datang.
Jakarta, Desember 2017
Agus Surono
-
KATA PENGANTAR .................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
BAB VII
BAB VIII
BAB IX
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN..................................................................................
TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCEGAHANNYA..............
BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DAN PERAN
MASYARAKAT DALAM PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI..............................................................................
BUDAYA HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK
PIDANA KORUPSI...............................................................................
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MENUMBUHKAN
BUDAYA ANTI KORUPSI...................................................................
BENTUK PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DI INDONESIA..................................................................
PERANSERTA MASYARAKAT DALAM MENUMBUHKAN
BUDAYA ANTI KORUPSI DI INDONESIA.....................................
MENUMBUHKAN BUDAYA ANTI KORUPSI DI
LINGKUNGAN YPI AL AZHAR........................................................
PENUTUP ..............................................................................................
iii
i
ii
1
7
21
39
51
67
83
101
125
129
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suatu masyarakat tidak selalu harmonis seperti yang diharapkan oleh
mayoritas orang, terkadang timbul penyimpangan-penyimpangan yang merusak tatanan-
tatanan sosial. Seperti halnya tindak pidana korupsi, korupsi adalah realitas tindakan
penyimpangan norma sosial dan hukum yang tidak dikehendaki masyarakat dan
diancam sanksi oleh negara. Korupsi sebagai bentuk penyalahgunaan kedudukan
(jabatan), kekuasaan, kesempatan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri dan atau
kelompoknya yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat.1
Indonesia merupakan negara yang berada dalam satu posisi penguasaan
trihibrid, yaitu posisi dimana terdapat tiga aspek yang berbeda sifatnya, yaitu politik,
hukum dan korupsi yang menyatu. Jika 10-20 tahun ke depan, satu negara dipimpin
oleh barbarian modern: birokrasi korup, politisi busuk, pengacara hitam, dan pengusaha
kapitalisitik; Negara itu akan runtuh.2 Secara aomistik, tindak korupsi merebak di
lingkar oligarkhi kekuasaan, karena tidak ada kompetensi teknis moral dan pemimpin
menjadi patron kejahatan (dalam J. Chambliss’ Criminal Law in Action). Korupsi
merupakan kontruksi sosial bersifat struktural, dan diduga korupsi kalangan masyarakat
bawah sebagai kontruksi sosial terkait pengaruh korupsi kalangan masyarakat atas (elite
sosial ekonomi), misalnya: pemimpin dan tokoh masyarakat lainnya.3
Dua faktor penyebab timbulnya tindak pidana korupsi dipengaruhi faktor-faktor
obyektif yang mendorong perbuatan korupsi antara lain keadaan warisan Orde Lama
seperti: tidak adanya ketertiban dalam segala bidang, penguasaan yang berlebih-lebihan
oleh Negara atas kehidupan ekonomi, lemahnya organisasi aparatur pemerintahan,
aparatur penegak hukum dan peradilan maupun aparatur perekonomian negara, tidak
jelasnya tugas dan wewenang, kaburnya tanggungjawab, lemahnya pengawasan, dan
sebagainya. Disamping faktor-faktor obyektif tadi, faktor subyektif yang mendorong
perbuatan korupsi adalah sifat-sifat perorangan: mental yang lemah, moral yang rendah
1 RB. Soemanto, dkk. Pemahaman Masyarakat tentang Korupsi, Jurnal Yustisia, Vol. 88, (April,
2014). Hlm. 80.2 Ibid.3 Ibid.
-
2
dan nafsu duniawi yang tidak terkendali. Nafsu hidup mewah, tanpa mau kerja keras
dan sebagainya.4
Permasalahan korupsi tidak menjadi monopoli negara-negara berkembang, tetapi
sudah menjadi gerakan rutinitas semua negara untuk melakukan pemberantasannya,
bahkan disadari kita semua bahwa “combat to corruption” layaknya nyala api lilin,
sekali waktu terjadi minimalisasi perbuatannya, lain waktu menimbulkan gejolak dan
reaksi masyarakat yang cukup keras, namun api ini ibarat kuman yang tidak pernah
padam, karenanya sangat terkesan membicarakan problematika korupsi dan kajian
akademis, meski pendekatan-pendekatan empiris sangat menunjang pembaharuan
substansi perundang-undangan tersebut. 5 Keberhasilan roda pemerintahan dan
kekuasaan suatu negara, khususnya negara berkembang termasuk Indonesia dapat
diukur dengan bagaimana kebijakan Negara untuk pencegahan dan pemberantasan
korupsi dapat secara optimal dievaluasi keberhasilannya. Persoalan korupsi tidaklah
bersandar pada limitasi kebijakan hukum, tetapi berkaitan dengan persoalan ekonomi,
politik dan masyarakat.6
Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya yang tumbuh
subur sejalan dengan kekuasaan ekonomi, hukum dan politik. Layaknya penyakit, maka
korupsi ini dikategorikan sebagai penyakit misterius yang kadar penyembuhannya
sangat minim dan selalu menjadi uji coba bagi penanggulangannya. Hasilnya pun
kadang kala sudah dapat di prediksi secara pesimis, yaitu tidak searah dengan kebijakan
masyarakat untuk memberantas korupsi.7 Secara konseptual, pada negara berkembang,
pemikiran bahwa korupsi ini bagian dari kekuasaan bahkan bagian dari sistem itu
sendiri menjadi tidak diragukan, karenanya ada yang berpendapat bahwa
penanggulangan yang terpadu adalah dengan memperbaiki sistem yang ada. Artikulasi
“Sistem” ini bermakna komprehensif, bahkan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang
signifikan. “Korupsi” sudah menjadi bagian dari “sistem” yang ada, karenanya usaha
maksimal bagi penegakan hukum , khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi,
harus dilakukan dengan pendekatan sistem atau “Systemic Approach”, apalagi bila
pendekatan sistem ini dikaitkan dengan peranan institusi peradilan yang sangat
4 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya), (Bandung: PT. Alumni, 2007), hlm. 2.5 Ibid.6 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Diadit Media, 2009), hlm. 65.7 Ibid. Hlm. 66
-
3
menentukan sebagai salah satu institusi penegakan hukum dalam proses akhir
pemberantasan korupsi. Sangat sulit menentukan arah awal mula dimulainya antisipasi
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia ini.8
Selanjutnya, tindakan secara terintegrasi dari lembaga penegak hukum harus
memiliki suatu balanced and equal of power, suatu kewenangan yang berimbang dan
sama diantara para penegak hukum. Hal ini untuk menghindari diskriminasi
kewenangan lembaga yang justru akan melemahkan penegakan hukum terhadap
korupsi, selain itu justru diskrimansi kewenangan akan menimbulkan disintegrasi
penegakan hukum. Kewenangan diskriminatif antara KPK disatu sisi, dengan Kejaksaan
Agung/Polri disisi lain harus ditiadakan.9
Pendekatan sistem diatas dilakukan secara simultan dan terintegrasi dengan
pendekatan up-down, bukan bottom-up yang selama ini terjadi. Kejaksaan Agung
dengan minimnya kewenangan telah memberi citra tersendiri dengan menetapkan
pejabat eselon I Departemen sebagai Tersangka, sekaligus tetap memperhatikan hak
tersangka, status mana tidak pernah terjadi sejak era reformasi. Pendekatan up-down
dalam pemberantasan korupsi merupakan karakter representasi keseriusan Negara
dalam pemberantasan korupsi. Selama icon karakter korupsi masih berpijak pada
pendekatan bottom-up, maka hasil yang dicapai adalah pesimisme penegakan hukum.
Pemberantasan korupsi, sebagaimana Konvensi PBB 1985, harus dimulai dari upper
power class dan upper economic class dengan memperhatikan prinsip-prinsip praduga
tidak bersalah.10
Berdasarkan beberapa permasalahan diatas, sangat berarti peran kebijakan
kriminal (Criminal Policy) melalui pendekatan non-penal, yaitu dengan meningkatkan
langkah kampanye anti korupsi seperti kampanye semacam ini diperlukan dengan
pendekatan antara masyarakat, pers (sebagai social power) dan institusi kenegaraan
(sebagai political power) dan institusi kenegaraan (sebagai political power), mengingat
masalah korupsi di Indonesia sekarang ini sudah tidak dapat dikatakan lagi sebagai
persoalan eksekutif saja, tetapi sudah terkontaminasi sebagai institusi kenegaraan
lainnya, apakah itu legislatif, yudikatif maupun institusi negara non departemen.11
8 Ibid.9 Ibid.10 Ibid. Hlm. 69.11 Ibid.
-
4
Peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku adalah sejalan dengan ketentuan di dalam Pasal 41 dan Pasal 42
Bab V tentang Peran Serta Masyarakat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.12
Harus kita sadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian negara dan perekonomian
nasional tetapi juga pada kehidupan bangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana
korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai
kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa
(extraordinary crimes), sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat
dilakukan “secara biasa”, tetapi “dituntut cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary
enforcement). Sedangkan tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan
sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crimes.13
Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum
dan penegakan hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial
yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum sehingga wajib
segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan sosial karena
korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerataan kesejahteraan dan merupakan
persoalan psikologi sosial karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit
disembuhkan.14.
Untuk melakukan penanggulangan tindak pidana korupsi maka masyarakat
dapat berperan serta aktif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta
masyarakat sebelumnya telah diatur dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, yang menyatakan bahwa peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan Negara merupakan hak dan tanggungjawab
masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih15. Bentuk
peran serta masyarakat telah pula diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah
12 Ibid.13 Ibid. Hlm. 30.14 Ibid. Hlm. 31. 15. Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor.75.
-
5
RI No.68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Negara, yang menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan Negara untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih.
Langkah-langkah pencegahan dan dalam upaya pemberantasan korupsi peran
serta masyarakat telah diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun.
Demikian juga dalam kelembagaan sebagai bentuk peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, unsur masyarakat telah direkrut
sebagai anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Hakim Ad Hoc di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Paragraf 3 penjelasan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 19997 mengatakan selain khususnya keuangan Negara atau
perekonomian Negara yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi juga masyarakat
pada umumnya, dengan demikian pandangan siapa yang menjadi korban tindak pidana
korupsi adalah Negara pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Seberapa besar pun partisipasi masyarakat dalam memerangi korupsi, pasti tidak
akan menghilangkan korupsi 100 persen. Tetapi, partisipasi masyarakat yang
terorganisir pasti akan membawa perubahan besar di negeri ini. Agar upaya memerangi
korupsi membawa manfaat besar, maka yang pertama dan terutama dilakukan adalah
membentuk kesadaran dalam diri masyarakat bahwa mereka adalah “majikan”
sedangkan pemerintah adalah “pelayan”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pembahasan buku ini akan menguraikan
tentang masalah korupsi dan bagaimana cara pencegahannya yang diberi judul
“Menumbuhkan Budaya Anti Korupsi”.
B. Ruang Lingkup Pembahasan
Inti pembahasan dalam buku ini akan menguraikan antara lain tentang hal-hal
sebagai berikut:
1. Pengertian tindak pidana korupsi, pencegahan dan pemberantasannya.
2. Budaya hukum masyarakat dan peran masyarakat dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi
3. Budaya hukum dan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
4. Pendidikan karakter dalam menumbuhkan budaya anti korupsi.
-
6
5. Bentuk peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia.
6. Peran serta masyarakat dalam menumbuhkan budaya anti korupsi di Indonesia.
7. Menumbuhkan budaya anti korupsi di lingkungan YPI Al Azhar.
-
7
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCEGAHANNYA
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Secara sederhana korupsi dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasan atau
kepercayaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Korupsi juga dapat mencakup
perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang
memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang
yang dekat dengan pejabat birokrasi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang
dipercayakan kepada mereka.16
Korupsi dalam konteks pelayanan publik ini merupakan perbuatan ”korupsi
administrasi” dengan fokus pada perbuatan perorangan yang memegang kontrol dalam
kedudukannya sebagai pejabat publik, sebagai pembuat kebijakan atau sebagai pegawai
birokrasi pemerintah, atas berbagai kegiatan dan keputusan. Semakin meluasnya
proyek swastanisasi atas perusahaan negara dan pengalihan kegiatan yang selama ini
dipandang masuk dalam lingkup pemerintah kepada sektor swasta, dan monopoli penuh
atau setengah penuh penyediaan barang publik oleh sektor swasta (misalnya air, listrik,
telkom), maka perbuatan korupsi sebenarnya telah merambah pada sektor swasta di luar
dan di dalam hubungan kerja sektor swasta dengan sektor pemerintah terutama yang ada
aspek publiknya, sehingga perbuatan korupsi pada kedua sektor ini membawa dampak
negatif terhadap kepentingan publik.
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 (selanjutnya disebut UUTPK),
pengertian korupsi tidak secara tegas dinyatakan, namun diberi istilah “penyimpangan
keuangan negara atau pereko-nomian negara” sehingga meliputi perbuatan-perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara ”melawan hukum”
dalam pengertian formal dan materiil, sehingga juga mencakup perbuatan tercela yang
menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana walau tidak diatur
sebagai perbuatan kejahatan dalam suatu perundang-undangan.17 Wujud perbuatan
16 Hans Tangkau (2012), Jurnal IKHTIYAR, Pembuktiam Terbalik Dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi, Pp.108-132, ISSN. 1412-8535.17 Lihat selanjutnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 167, 168, 335 (1), 522.
-
8
korupsi terlihat dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), pasal 3 s.d. pasal 16, pasal 21
UUTPK.
Kesulitan yang sering kali terjadi ketika menyangkut pemahaman terhadap
unsur “melawan hukum” (weder-rechtelijk). Mengenai unsur “melawan hukum”,
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 menegaskan bahwa18:
“Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum, dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana......”
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tersebut telah dinyatakan
“tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Konstitusi melalui Putusannya Nomor 003/PUU-IV/2006 yang diputuskan pada hari
Senin, 24 Juli 2006, di antaranya memutuskan bahwa: Menyatakan Penjelasan Pasal 2
ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan
‘secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiel, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan Penjelasan
Pasal 2 ayat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, ten-tang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
18 Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150.
-
9
Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan
‘secara me-lawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiel, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.19
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya mencabut Penjelasan Pasal 2 ayat
(1) UU Antikorupsi, yang pada dasarnya merupakan dasar dapat diterapkannya sifat
melawan hukum dalam arti materiel positif. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
sama sekali tidak menyinggung berlakunya sifat melawan hukum dalam pengertian
materiel negatif, yang telah menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung. Berdasarkan hal
tersebut, maka berlakunya sifat melawan hukum dalam arti materiel negatif terhadap
tindak pidana korupsi juga problematis.
Secara teoritis atau dalam doktrin hukum pidana, di damping dibedakan antara
sifat melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid) dan materiil (materiele
wederrechtelijkheid), juga dibedakan antara sifat melawan hukum dalam pengertian
materiil yang negatif dan positif. Dianutnya sifat melawan hukum materiil berarti
melibatkan penilaian berdasarkan “perasaan hukum” warga masyarakat, di samping
secara formal memenuhi semua unsur yang tercantum dalam rumusan tindak pidana.
“Perasaan hukum” masyarakat yang dimaksud adalah anggapan masyarakat perbuatan
tersebut sebagai perbuatan yang tercela karena menimbulkan kerugian negara dan
masyarakat (fungsi positif) atau sebaliknya perbuatan tersebut dianggap memberi
manfaat pada masyarakat (salah satu kategori fungsi negatif).20
Sifat melawan hukum dalam pengertian materiil yang negatif, berarti apabila
secara materiil perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum (kendati perbuatan
tersebut masuk dalam perumusan undang-undang). Sebaliknya, sifat melawan hukum
19 Yopie Morya Immanuel, 2012, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi, CV Keni
Media: Bandung, hlm. 30.20 Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan Serta Pemberantasannya,
(Jakarta: GP Press group, 2013), hlm. 7.
-
10
dalam pengertian materiil yang positif berarti, tidak dilarang oleh undang-undang, tetapi
berdasarkan “perasaan hukum” masyarakat perbuatan tersebut dianggap keliru.
Rumusan UU Antikorupsi yang semula mengesankan dianutnya ajaran sifat melawan
hukum materiil dalam fungsinya yang positif dan dengan demikian memberi ruang
interpretasi yang lebih luas lagi, yang memunculkan kekhawatiran membahayakan
kepastian hukum, kini tidak lagi setelah muncul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/ 2006 tersebut.21
Ini berarti ruang yang semula longgar bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim
kembali dipersempit oleh Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya, sifat melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang negatif masih terbuka untuk dipakai oleh terdakwa
sebagai alasan pembenar. Artinya, sifat melawan hukum materiil yang dianut oleh UU
Antikorupsi dimaknai dalam sifatnya yang negatif, di samping sifat melawan hukum
dalam pengertian formal.
Dalam UU nomor 20 tahun 2001, paradigma pengertian korupsi bergeser kepada:
pemberian suap (gratifikasi); yang menerima suap; perbuatan curang dari
pemborong/ahli bangunan yang membahayakan keamanan orang. Sedangkan Modus
Tidak Pidana Korupsi dapat berupa penggunaan anggaran yang tidak sesuai peruntukan;
markup pembiayaan anggaran; pemalsuan anggaran/fiktif; gratifikasi; dan pemberian
hadiah.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 secara spesifik mengatur tindak pidana
korupsi dalam bentuk: 1) memberi atau menjanjikan kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara (pasal 1 sub a); (2) PNS/Penyelenggara Negara yang menerima
pemberian (pasal 1 sub a2); (3) memberi atau menjanjikan kepada hakim/advokat (pasal
6 ayat 1 sub a); (4) Hakim/advokat yang menerima pemberian (pasal 6 ayat 2); (5)
perbuatan curang oleh pemborong/ahli bangunan (pasal 7 ayat 1 sub a,b,c); (6)
menerima perbuatan curang (pasal l7 ayat 2), (7) PNS/orang lain yang menggelapkan
uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya (pasal 8). (8) PNS atau orang
lain yang dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar khusus untuk pemeriksaan
administrasi (pasal 9); (9) PNS atau orang lain yang menggelapkan, menghancurkan,
merusak barang, akta, surat atau daftar yang dipakai untuk pembuktian (pasal 10 sub
a,b,c); (10) PNS/Penyelenggara Negara yang menerima hadiah yang berhubungan
21 Ridwan, Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman, Volume 12, No.13 (2012), Peran Lembaga Pendidikan Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
-
11
dengan kekuasaan dan jabatannya (pasal 11). Secara teoritik, Syed Husein Alatas
membagi korupsi dalam 7 (tujuh) tipologi atau bentuk jenis korupsi, yaitu22:
Pertama, Korupsi transaktif (transactive corruption), merupakan jenis korupsi
yang menunjukan adanya kesepakatan timbal balik antara pemberi dan penerima demi
keuntungan kedua belah pihak. Biasanya korupsi ini terjadi antara pelaku usaha dengan
aparatur pemerintah melalui kebijakan yang dibuatnya.
Kedua, Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), merupakan korupsi yang
menyangkut penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan untuk berbagai keuntungan
bagi kerabat dan teman-temannya.
Ketiga, Korupsi yang memeras (extortive corruption), adalah korupsi yang
dipaksakan kepada pihak tertentu yang biasanya disertai dengan ancaman, tekanan
ataupun bentuk paksaan lainnya.
Keempat, Korupsi investif (investive corruption), merupakan korupsi dalam
membentuk memberikan barang dan jasa kepada pihak lain demi keuntungan di masa
depan.
Kelima, Korupsi defensif (defensive corruption) adalah korupsi dimana pihak
yang dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalamnya sehingga yang bersangkutan justru
menjadi korban perbuatan korupsi.
Keenam, Korupsi otogenik (otogenic corruption) yaitu korupsi yang dilakukan
seorang diri, tanpa ada pihak lain yang terlibat.
Ketujuh, Korupsi suportif (supportive corruption), adalah korupsi yang terjadi
dalam bentuk dukungan dengan cara mendiamkan atau berpura-pura tidak tahu atau ikut
bersama-sama menikmati hasil korupsi.
B. Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
Dalam 10 tahun terakhir, gelombang perubahan yang menakjubkan telah terjadi di
Indonesia. Pemerintah telah memilih jalan untuk melaksanakan program desentralisasi
secara besar-besaran dan telah melaksanakan pemilihan umum secara langsung untuk
memilih presiden, gubernur, bupati dan walikota. Hal ini haruslah dilihat sebagai proses
22 IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan bahaya laten korupsi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),
hlm. 24.
-
12
transisi secara damai dari rezim otoriter kepada rezim demokrasi yang diikuti pula
dengan perubahan-perubahan kelembagaan dan transformasi regulasi.23
Dalam konteks inilah masalah korupsi di Indonesia perlu untuk dikaji. Korupsi
bukanlah sesuatu yang khas Indonesia. Hampir dikebanyakan negara korupsi selalu
terjadi. Korupsi merebak hampir di semua negara di dunia baik negara industri maupun
negara berkembang. Survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional menunjukan
bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Dalam bidang
pemberantasan korupsi, skor Indonesia hanya sejajar dengan Nigeria dan Banglades dan
tertinggal jauh apabila dibandingkan dengan Philipina maupun Malaysia. Hasil survey
ini mencerminkan transparansi yang lebih besar mengenai korupsi di Indonesia dan
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menjadi salah satu masyarakat yang terbuka.
Masyarakat mengakui bahwa Korupsi secara obyektif terjadi di berbagai sektor dan
masyarakat juga berpendapat bahwa korupsi merupakan kejahatan yang harus dibasmi.
Korupsi merupakan ancaman yang besar bagi transisi politik dan ekonomi di Indonesia
karena korupsi melemahkan kemampuan negara untuk menyediakan barang-barang
publik dan mengurangi kredibilitas negara di mata rakyat. Dalam jangka panjang
korupsi merupakan ancaman bagi keberlangsungan demokrasi.24
Survei nasional yang dilaksanakan oleh Partnership For Governance Reform in
Indonesia menyajikan sumber informasi yang kaya tentang persepsi 2.300 rumah
tangga, pejabat publik dan pengusaha. Hasil survey mengungkapkan bahwa 75%
responden berpendapat bahwa korupsi sangat lazim di sektor publik. Di samping itu,
65% rumah tangga melaporkan telah mengalami secara langsung dan 70% responden
melihat korupsi sebagai “penyakit yang harus diberantas. Survei juga mengungkapkan
tingkat kemarahan publik dan kemuakan terhadap korupsi. 80% responden
menghendaki agar pejabat-pejabat yang korup dipenjarakan dan disita kekayaannya.
Sebagian kecil dari responden menghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan
umum. Nyaris tidak ada dukungan untuk memberikan amnesti atau pengampunan bagi
pelaku korupsi di masa lalu.25
23 Indung Wijayanto, 2008, Kebijakan Nonpenal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
(Studi Kasus Kota Semarang), hlm. 76.24 Monang Siahaan, Korupsi Penyakit Sosial yang Mematikan, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, Kompas Gramedia, 2013), hlm. 107.25 Taufik Rinaldi, dkk, Memerangi Korupsi di Indonesia Yang Terdesentralisasi, Justice for The
Poor Project, World Bank, hlm. 107.
-
13
Survei tersebut menawarkan tiga temuan yang signifikan. Pertama, orang tidak
terlalu percaya pada lembaga-lembaga negara. Lembaga-lembaga yang dianggap paling
korup termasuk di sektor peradilan (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan dan Departemen
Kehakiman), instansi-instansi pendapatan (Dinas Pabean dan instansi Perpajakan),
Departemen Pekerjaan Umum dan Bank Indonesia. Kedua, lembaga-lembaga yang
dirangking paling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa. Ketiga,
survei tersebut memberi wawasan terhadap penyebab-penyebab aktual dari korupsi di
Indonesia. Walaupun hasil survey menunjukan kepercayaan yang kuat bahwa korupsi
disebabkan oleh gaji pegawai yang rendah, rendahnya moral perorangan, serta tidak
adanya pengendali-pengendali dan akuntabilitas, namun analisis data yang cermat
menunjukan bahwa empat variabel tersebut berkorelasi dengan manajemen bermutu
tinggi, nilai-nilai organisasi yang anti korupsi, manajemen kepegawaian bermutu tinggi
dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi.26
Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak jaman VOC, pemberantasan
korupsi diyakini akan sulit dilakukan karena akan menentang kepentingan-kepentingan
kelompok yang kuat, terorganisir secara rapi dalam kelompok-kelompok yang saling
menguntungkan. Terjadinya distorsi-distorsi secara sistematis dalam struktur yang
menghalalkan sistem insentif tidak resmi (komisi, suap, uang pelicin) telah
memungkinkan korupsi tumbuh dengan subur. Untuk membangun budaya anti-korupsi,
diperlukan penataan ulang struktur-struktur dan sistem insentif sehingga mampu
mengubah cara pengambilan keputusan masyarakat sehingga mengubah pula perilaku
masyarakat dan aparatur birokrasi. Dalam suatu masyarakat yang bebas korupsi akan
tergambar suasana sebagai berikut: (1) Birokrasi sebagai Pelayan publik merasa
bertanggung jawab atas pelayanan mereka, merasa takut untuk memungut biaya tidak
resmi dan akan mendapatkan insentif resmi karena bertindak jujur; (2) Masyarakat
menganggap aturan-aturan akan ditaati sehingga masyarakat memposisikan perilakunya
dalam kerangka peraturan tersebut; (3) Masyarakat tidak perlu membayar insentif tidak
resmi (komisi, suap, uang pelicin) karena mengetahui bahwa tanpa membayarpun akan
dilindungi hak-haknya untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas.
Pengalaman di negara maju menunjukan bahwa upaya untuk membangun perilaku
antikorupsi memerlukan waktu yang lama dan komitmen yang kuat dari para
26 Ibid., hlm. 109.
-
14
pemimpinnya serta pengawasan terus menerus dari masyarakat dan media massa. Oleh
karena itu mengharapkan Indonesia mampu memberantas korupsi dan membudayakan
perilaku antikorupsi dalam waktu singkat, adalah harapan yang berlebihan. Dibutuhkan
waktu yang lama melalui proses yang disebut oleh Peter L Berger sebagai proses
Internalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.27
Indonesia menemukan momentum untuk memulai perang melawan korupsi
dengan dilakukan perubahan mendasar dalam bidang ketatanegaraan yang
memungkinkan dilaksanakannya pemilihan umum yang jujur, bebas, adil dan pemilihan
langsung Presiden pada tahun 2004. Hal ini membuat Presiden dan anggota parlemen
lebih bertanggung jawab kepada rakyat. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung
sebagai amanat UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang terakhir
diubah dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan dapat
meningkatkan akuntabilitas di tingkat lokal. Pergeseran ini diyakini akan membuat para
pemegang kekuasaan publik lebih berhati-hati karena masyarakat menuntut
akuntabilitas yang lebih besar sebagai imbalan dari suara yang diberikan pada saat
pemilihan kepala negara dan kepala daerah.
Pergeseran dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia haruslah dilihat sebagai
peluang untuk membangun perilaku baru dalam dalam penciptaan keadilan dan
pemberantasan korupsi melalui kontrak politik antara calon kepala daerah dan
konstituennya. Dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 telah terjadi pemilihan 33
Gubernur, 349 Bupati dan 91 Walikota. Pada tahun 2010 akan dilakukan 244 pilkada.
Oleh karena itu, perubahan sistem ketatanegaraan ini haruslah dijadikan sebagai
momentum untuk membangun peningkatan akuntabilitas publik.28
Perubahan dalam kerangka akuntabilitas juga tercermin dalam kelengkapan
pranata hukum yang disiapkan oleh pemerintah untuk memerangi korupsi dan
membangun perilaku anti-korupsi. Pranata hukum ini bersumber dari Ketetapan MPR
bulan Oktober tahun 1999 yang menetapkan sebagai tujuan reformasi yaitu suatu aparat
negara yang berfungsi dalam penyelenggaraan jasa kepada rakyat yang professional,
efisien, produktif, transparan dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Pranata
27 Mahmud, Integrasi Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Antikorupsi Dengan Pembelajaran PPKn
dan IPS di Sekolah Dasar (Studi Di SD Negeri Gedongkiwo Kota Yogyakarta), Tesis, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017. Hlm. 20.
28 Capaian Kinerja KPK tahun 2018, https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/717-capaian-dan-kinerja-kpk-di-tahun-2018
-
15
hukum lainnya adalah UU nomor 28 tahun 1999 tentang Pemerintahan yang bersih dan
bebas KKN yang mengharuskan pejabat-pejabat publik mengumumkan harta
kekayaannya dan menyetujui audit secara berkala, UU nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mendefinisikan secara lebih luas tentang
pidana korupsi dan menetapkan gugatan dan prosedur penuntutan, dan amandemen UU
tersebut melalui UU nomor 20 tahun 2001 yang meletakan beban pembuktian kepada
terdakwa. Selain itu juga sudah diundangkan UU tentang Pencucian Uang dan UU
nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Anti Korupsi. Dari segi pengelolaan Keuangan
Negara telah pula diundangkan UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU nomor 15 tahun 2004
tentang Tatacara Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Dari uraian
di atas, dapat diketahui bahwa pranata hukum di Indonesia sudah cukup memadai untuk
melakukan pemberantasan korupsi dan membangun perilaku anti korupsi.29
Dari segi kelembagaan, selain lembaga-lembaga konvensional dalam penegakan
hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian, telah pula dibentuk Komisi Ombusman
Nasional yang bertugas menangani pengaduan-pengaduan, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang bertugas secara khusus untuk menangkap dan memeriksa pelaku
korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang bertugas
untuk memantau transaksi yang mencurigakan dan melaporkan transaksi tersebut
kepada Jaksa Agung.30
Upaya untuk mencegah tindak pidana korupsi di berbagai Departemen dan
Lembaga Pemerintah Non Departemen dibangun melalui proses pembudayaan perilaku
antikorupsi yang di ”bungkus” melalui Pakta Integritas. Pakta Integritas merupakan
Keinginan Bersama menciptakan kepemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa,
mendambakan penegakan hukum, pelaksanaan reformasi birokrasi menyeluruh,
pelaksanaan prinsip-prinsip good governance, dan meningkatnya pelayanan publik ke
arah pelayanan prima. Banyak faktor penyebab korupsi, antara lain tingkat
kesejahteraan pegawai masih rendah, sistem pemberantasan KKN belum sempurna,
29 J. Danang Widiyoko, Oligarki dan Korupsi Politik Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013),
hlm. 25.30 Komisi Pemberantasan Korupsi, Elemen-Elemen Program Antikorupsi Bagi Korporasi,
Direktorat Pendidikan Dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan, Jakarta, 2016. Hlm. 30
-
16
komitmen semua pihak belum kuat, penanganan masih diskriminatif, sanksi tidak tegas,
budaya malu makin menipis, dan kepedulian masyarakat rendah.31
Tujuan, strategi pelaksanaan dan langkah-langkah pelaksanaan Pakta Integritas
menurut Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara adalah sebagai berikut32:
a. memperkuat komitmen bersama dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi
melalui langkah-langkah yang efektif
b. menjadikan Kementerian PAN sebagai Role Model pemberantasan korupsi di
lingkungan lembaga pemerintah; dan
c. memberikan konribusi terhaap upaya peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Indonesia, mencapai 5,0 pada 2010.
Sedangkan strategi dalam rangka pencegahan korupsi oleh Kementrian PAN/RB
adalah sebagai berikut:
a. meningkatkan disiplin dan melaksanakan kode etik, sumpah jabatan, serta sumpah
dan janji PNS yang dilakukan secara bertahap dimuai dari hal-hal yang sederhana;
b. menurunkan perilaku koruptif melalui perbaikan berbagai sistem secara bertahap;
c. memfungsikan forum pemantau independen;
d. inventarisasi perilaku dan sistem yang menimbulkan peluang korupsi;
e. peningkatan disiplin pegawai (absensi, pakaian seragam, penggunaan prasarana
dan sarana kerja, pengelolaan anggaran, pengadaan barang dan jasa pemerintah,
dan tidak memberi atau menerima uang di luar aturan yang berlaku);
f. pembenahan sistem (sistem dan prosedur, pengadaan barang dan jasa, manajemen
SDM, sanksi dan penghargaan, pengelolaan keuangan, akuntabilitas, pengawasan,
pelayanan, dan kebijakan);
Adapun langkah-langkah terkait pakta integritas antara lain meliputi sebagai
berikut33:
a. Pembentukan Forum Independen Pemantau Pelaksanaan Pakta Integritas atau
Forum untuk Keberhasilan Pakta Integritas (FKPI), bersama dengan TI Indonesia,
ICW, dan MTI;
31 Satjipto Raharja dalam Amiati Iskandar, Perluasan Penyertaan Dalam tindak Pidana Korupsi
Menurut UNCATOC 2000 dan UNCAC 2003, (Jakarta: GP press Group, 2013) hlm. 28.32 Ibid.33 Ibid
-
17
b. Rencana Aksi (jangka pendek, aksi nyata: perumusan modul, penerbitan SE
Menpan agar tidak memberi atau menerima sesuatu dalam berurusan dengan
Kementerian PAN, penerbitan Permenpan tentang berlaku efektifnya Pakta
Integritas Kementerian PAN, 1 April 2006
c. Pencetakan dan penempatan atribut pakta inegritas di tempat strategis Kempan,
pengoperasian kotak suara atau saran Pakta Integritas dan penyediaan formulir
dukungan pelaksanaan pakta integritas) dan jangka panjang (menuju birokrasi
yang bersih, jujur, akuntabel, transparan, dan pelayanan prima);
d. Rencana Aksi Pakta Integritas dapat menggunakan Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) yang dibuat Bappenas berkoordinasi dengan
lembaga terkait, sebagai acuan atau referensi.
Selain Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Departemen yang juga
sudah membangun Pakta Integritas adalah Departemen Keuangan. Departemen
Keuangan memberi nama dengan ”Konsep pulau Intergritas Departemen Keuangan”
yang di dalam mengandung prinsip-prinsip. Prinsip Konvensi Zero Corruption dengan
membangun Performance of Publik Official, melalui: (a) pemetaan area korupsi
berdasarkan resiko tinggi setiap kegiatan (a risk map); (b) perencanaan pemberantasan
korupsi pada setiap area yang beresiko (an anti corruption publik agenda); (c)
keterbukaan agenda kegiatan pejabat secara langsung oleh masyarakat (an online publik
agenda perangkat elektronik); (d) data base yang dapat diakses oleh masyarakat (data
base for publik officers - keleluasaan mengetahui performance pejabat pemerintah); (e)
website atas informasi pajak yang lebih transparan (website on tax transparency); (f)
program akses informasi dan aplikasi (a program on access to information and
application); dan (g) penegakan hukum kepada pegawai. Penting, transparansi dan
tanggungjawab setiap pejabat kepada masyarakat secara permanen.34
Untuk melaksanaka program kegiatan tersebut harus disusun rencana aksi pakta
integritas yang terintegrasi setiap departemen. Area Depkeu adalah anggaran,
perbendaharaan, pajak, dan bea cukai. Perlu perhatian mulai perencanaan,
34 Surat Edaran Nomor : SE-16/MK.1/2012 Tentang Pelaksanaan Program Pembangunan Zona
Integrotas Menuju Wilayah Bebas Dari Korupsi Di Lingkungan Kementerian Keuangan. Lihat juga dalam Komarudin, 2006, hlm. 8.
-
18
penganggaran implementasi budget, pengawasan dan pengendalian dan diupayakan
pencairan anggaran lebih banyak di semester I (front loading spending).
Pakta Integritas Departemen Keuangan difokuskan pada: 35
Pertama, penyusunan peta kegiatan rawan korupsi oleh masing-masing unit kerja,
kemudian dibuat recana tindak menyeluruh. Kedua, perbaikan sistem informasi
teknologi yang terintegrasi dengan koordinasi terpusat, sehingga informasi terbuka.
Ketiga, penerapan pakta inegritas dilakukan bertahap, mulai pejabat/ pegawai tertentu
yang melakukan hubungan kerja dengan ma-syarakat, antara lain pengurus keuangan
instansi, wajib pajak, dan importir. Peran dan fungsi pengawas intern sangat
menentukan dalam pengembangan dan penerapan kegiatan antikorupsi. Aparat dan
kondisi lingkungan pengawasan yang bersih, merupakan prasyarat utama berjalannya
upaya pemberantasan korupsi.
Upaya membangun Pakta Integritas juga sudah berkembang sampai ke tingkat
Pemerintah Daerah. Salah satu pemda yang dengan cepat mengadopsi konsep tersebut
adalah Kabupaten Solok. Pakta Integritas Pemerintah Kabupaten Solok dikembangkan
dengan diawali identifikasi masalah, faktor penyebab KKN, akibat KKN, solusi berupa
komitmen Pemda, komitmen Swasta dalam pengadaan barang dan jasa pe-merintah,
pemantauan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang bersendikan pakta
integritas, mekanisme pengaduan, resolusi konflik, dan perlindungan saksi, insentif dan
penerapannya, penerapan sanksi.
Gamawan Fauzi saat menjadi Bupati Solok mengidentifikasi penyebab KKN
antara yaitu gaji dan tingkat kesejahteraan masih rendah, sistem pem-berantasan KKN
belum terbangun dengan sempurna, belum ada kesungguhan komitmen yang kuat untuk
memberantas KKN, sanksi atas pelanggaran masih ringan, budaya malu makin menipis,
dan kepedulian masyarakat atas penegakan hukum masih rendah. Akibat dari KKN
antara lain yaitu: motivasi kerja rendah, ”ada meja mata air dan air mata”, sumpah
jabatan hanya ucapan, disiplin dan tanggungjawab rendah, tidak bermoral, diskriminatif,
tidak ada niat berprestasi, hilangnya kejujuran, sulit mendaptkan aparat potensial, tidak
ada penegakan hukum, tidak transparan, dan tidak ada lagi kepercayaan terhadap
pimpinan. Muncul kejadian-kejadian aturan yang diperjualbelikan, pengusaha
mempengaruhi pejabat, pemanfaatan kekuasaan, kesenjangan, ketidakadilan,
35 Ibid.,
-
19
pembenaran terhadap pelanggaran dan penyimpangan, hilangnya ketaatan, panutan dan
keteladanan, masyarakat sulit diatur dan diarahkan, partisipasi masyarakat rendah,
ketidakjelasan hak dan kewajiban, kesadaran dan tanggung-jawab berbangsa rendah,
sistem, mekanisme dan prosedur tidak jalan, adanya mafia kecil-kecilan, aturan tidak
dilaksanakan, aturan hanya formalitas dan diskriminatif, karakter dan jati diri hancur.
Pakta Integritas Pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Solok berisi komitmen-
komitmen untuk tidak akan melakukan praktik KKN, tidak meminta/
menerima/memberi sesuatu yang bersangkutan dengan jabatan dan pekerjaan, tidak
memberi/ menjanjikan akan memberikan sesuatu berkaitan dengan jabatan/pekerjaan,
menjamin tidak mela-kukan pelangggaran atas aturan, menegakkan transparansi,
menciptakan lingkungan kondusif, tidak diskriminatif, memberikan informasi selengkap
mungkin, memberikan bantuan/dukungan atas upaya pengungkapan praktik suap dan
KKN, dan membangkitkan sikap dan perilaku bersih dan anti KKN. Contoh lainnya,
Pakta Integritas pengadaan barang dan jasa pemerintah, sosialisasi internal dan
eksternal, dan ajakan kepada semua pihak untuk jujur, adil, akuntabel, transparan, dan
tidak melakukan perbuatan tindak pidana.
-
20
-
21
BAB III
BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DAN PERAN MASYARAKAT DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Budaya Hukum Masyarakat Dan Tipe-Tipenya
Budaya hukum merupakan tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu
terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap
nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola
perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan
(orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat
bersangkutan.36
Adapun yang dimaksud “budaya hukum” adalah keseluruhan faktor yang
menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam
kerangka budaya milik masyarakat umum. Budaya hukum bukan bukanlah apa yang
secara kasar disebut opini publik para antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti
himpunan fragmen-fragmen tingkah laku (pemikiran) yang saling terlepas, istilah
budaya diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum. 37
Sedangkan pengertian masyarakat yaitu sekumpulan orang yang, terdiri dari
berbagai kalangan, baik golongan mampu ataupun golongan tak mampu, yang tinggal
di dalam satu wilayah dan telah memiliki hukum adat, norma-norma serta berbagai
peraturan yang siap untuk ditaati. Masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, yang
terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama, tentu akan memiliki budaya hukum yang
beraneka ragam. Semuanya itu akan memperkaya khasanah budaya dalam menyikapi
hukum yang berlaku, baik di lingkungan kelompok masyarakatnya maupun berpengaruh
secara nasional.
Secara umum budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga tipe perilaku
manusia dalam kehidupan masyarakat yaitu38:
36 Prosiding Seminar Nasional, Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Vol. 1,
Januari-Desember 2016. Andi Kasmawati dan Andi Qashas Rahman. Membangun Budaya Hukum Menunjang Revolusi Mental Menghadapi Masyarakat ASEAN (MEA), hlm. 257.
37 Soerjono Soekanto, Hukum dan Masyarakat, Universitas Airlangga, 1977, hlm. 2.38 Prosiding Seminar Nasional, Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Vol. 1,
Januari-Desember 2016. Andi Kasmawati dan Andi Qashas Rahman. Membangun Budaya Hukum Menunjang Revolusi Mental Menghadapi Masyarakat ASEAN (MEA), hlm. 257.
-
22
Pertama, budaya parokial (parochial culture). Pada masyarakat parokial (picik),
cara berpikir para anggota masyarakatnya masih terbatas, tanggapannya terhadap
hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat demikian masih
bertahan pada tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hukum yang telah digariskan
leluhur merupakan azimat yang pantang diubah. Jika ada yang berperilaku
menyimpang, akan mendapat kutukan. Masyarakat tipe ini memiliki ketergantungan
yang tinggi pada pemimpin. Apabila pemimpin bersifat egosentris, maka ia lebih
mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya jika sifat pemimpinnya altruis maka warga
masyarakatnya mendapatkan perhatian, karena ia menempatkan dirinya sebagai primus
intervares, yang utama di antara yang sama. Pada umumnya, masyarakat yang
sederhana, sifat budaya hukumnya etnosentris, lebih mengutamakan dan
membanggakan budaya hukum sendiri dan menganggap hukum sendiri lebih baik dari
hukum orang lain.39
Kedua, Budaya subjek (subject culture). Dalam masyarakat budaya subjek
(takluk), cara berpikir anggota masyarakat sudah ada perhatian, sudah timbul kesadaran
hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa yang lebih tinggi. Masukan dari
masyarakat masih sangat kecil atau belum ada sama sekali. Ini disebabkan pengetahuan,
pengalaman dan pergaulan anggota masyarakat masih terbatas dan ada rasa takut pada
ancaman-ancaman tersembunyi dari penguasa. Orientasi pandangan mereka terhaap
aspek hukum yang baru sudah ada, sudah ada sikap menerima atau menolak, walaupun
cara pengungkapannya bersifat pasif, tidak terang-terangan atau masih tersembunyi.
Tipe masyarakat yang bersifat menaklukkan diri ini, menganggap dirinya tidak berdaya
mempengaruhi, apalagi berusaha mengubah sistem hukum, norma hukum yang
dihadapinya, walaupun apa yang dirasakan bertentangan dengan kepentingan pribadi
dan masyarakatnya.40
Ketiga, Budaya partisipant (participant culture). Pada masyarakat budaya
partisipan (berperan serta), cara berpikir dan berperilaku anggota masyarakatnya
berbeda-beda. Ada yang masih berbudaya takluk, namun sudah banyak yang merasa
berhak dan berkewajiban berperan serta karena ia merasa sebagai bagian dari kehidupan
hukum yang umum. Disini masyarakat sudah merasa mempunyai kedudukan, hak dan
39 Astim Riyanto, Budaya Politik Indonesia, Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah
PascaSarjana, Unniversitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2006, hlm. 740 Ibid., hlm. 6.
-
23
kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Ia tidak mau dikucilkan dari
kegiatan tanggapan terhadap masukan dan keluaran hukum, ikut menilai setiap
peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik yang
menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan dirinya sendiri.
Biasanya dalam masyarakat demikian, pengetahuan dan pengalaman anggotanya sudah
luas, sudah ada perkumpulan organisasi, baik yang susunannya berdiri sendiri maupun
yang mempunyai hubungan dengan daerah lain dan dari atas ke bawah.41
B. Pengaruh Budaya Hukum terhadap Penegakan hukum
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum, yaitu: hukum itu sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas,
masyarakat, dan kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaan tak lain adalah dwitunggal
dalam elemen budaya hukum yang memiliki pengaruh amat penting dalam bekerjanya
sebuah sistem besar, bernama sistem hukum. Maka tak heran jika ahli-ahli hukum
tersohor, seperti Krabbe dan Kranenburg, mengatakan jika budaya dan kesadaran
hukum adalah satu-satunya sumber dan kekuatan mengikat dari hukum. Hukum yang
dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai,
pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum
diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern
yang ditandai dengan munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi
mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul
perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang
dijalankan oleh masyarakat, Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku
sesuai dengan apa yang telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan
mereka.42
Menurut Lawrence M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum
adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran,
serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau
disalahgunakan, tanpa adanya budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak
berdaya. Unsur budaya hukum ini mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara
41 Ibid., hlm. 7.42 Syafrudin Makmur, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’I (Salam Jurnal(, No.2 Tahun 2015, hlm. 18.
-
24
berpikir, dan cara bertindak baik dari aparat penegak hukum maupun dari
masyarakat.tanpa budaya hukum maka sistem hukum akan kehilangan kekuatannya
seperti yang di katakan Lawrence M. Friedman "without legal culture, the legal system
is meet-as dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea". Gambaran
mengenai budaya hukum dalam unsur-unsur sistem hukum adalah struktur hukum
diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu, substansi hukum diibaratkan
produk yang di hasilkan oleh mesin, dan budaya hukum merupakan apa saja atau siapa
saja yang memutuskan untuk menjalankan mesin serta membatasi penggunaan mesin. 43
Kualitas budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun
aturan hukum dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun,
yang akan menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu.Ketika
budaya belum berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan. Dalam
rangka penegakan hukum harus dilakukan dengan "pengorganisasian" secara terpadu,
mengedepankan komitmen dan fakta integritas, moral yang tinggi antar lembaga polisi,
jaksa,pengacara, hakim serta menerapkan sistem hukum dengan melakukan rencana
tindakan yang nyata. Selain itu juga harus ada kemauan politik yang kuat dari para
penguasa negara ini baik dari pemerintah maupun dari unsur legislatif ( Presiden
bersama-sama DPR) dengan suatu keberanian moral dan konsistensi hukum dengan
meresponnya.
Para aparat penegak hukum harus mampu melepaskan diri dari budaya aparat
hukum yang ada selama ini dinilai tidak adil dan buruk dan berubah ke arah
peningkatan sumber daya manusia, manajemen yang lebih baik menjadi aset untuk
dapat menjalani tugas para aparat penegak hukum yang ideal. Budaya hukum (budaya
kerja) dari aparat penegak hukum yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang
efektif dan efisien. Aspek perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum perlu
dilakukan penataan ulang dari perilaku budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh
aparat penegak hukum sebelumnya karena seseorang menggunakan hukum atau tidak
menggunakan hukum sangat tergantung pada kultur (budaya) hukumnya. Telah terbukti
bahwa akibat perilaku hukum aparat penegak hukum yang tidak baik, tidak resisten
terhadap suap, konspirasi, dan KKN, menyebabkan banyak perkara yang tidak dapat
dijerat oleh hukum.
43 Ibid., hlm. 10.
-
25
C. Upaya Menumbuhkan Budaya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat
Menurut mantan Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh
mengatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan
hukum (pidana) di Indonesia antara lain44:
a. undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
lebih mencerminkan kepentingan pengusaha dan penguasa daripada kepentingan
rakyat kebanyakan.
b. lemahnya kehendak konstitusional dari para pemimpin dan penyelenggara
negara di Indonesia.
c. rendahnya integritas aparat penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa dan
advokat.
d. paradigma penegakan hukum yang positivistik atau lebih menekankan pada
aspek legal formal.
e. minimnya sarana dan prasarana penegakan hukum,
f. sistem hukum yang tidak sistematis.
g. tingkat kesadaran dan budaya hukum yang kurang di masyarakat.
Upaya untuk mengubah budaya yang sudah ada pada masyarakat indonesia
sebenarnya sangat susah, karena kultur yang ada di indonesia itu sangat bermacam-
macam dan beraneka ragam, sangat tidak mungkin untuk mengubahnya. Tetapi
kaitannya dengan budaya masyarakat Indonesia yang sangat kurang terhadap kesadaran
hukum itu mungkin disebabkan karena dari awal masyarakat itu tidak mengerti akan
pentingnya hukum bagi kehidupan, kalau saja tidak ada hukum mungkin akan terjadi
kekacauan dimana-mana. Untuk dapat meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat
mungkin pemerintah atau aparat penegak hukum sebagai pembuat dan pelaksana dapat
lebih mensosialisasikan hukum itu sendiri kepada masyarakat. Agar masyarakat dapat
lebih mengerti mengenai akan pentingnya hukum itu bagi kehidupan bermasyarakat.
Upaya untuk mengubah budaya yang ada di masyarakat itu harus diawali dengan
44 Etika dan Budaya Hukum Dalam Peradilan, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik
Indonesia, Cetakan Pertama, Juli 2017, hlm. 234.
-
26
pensosialisasian yang lebih mendalam dan terarah terhadap masyarakat mengenai
pentingnya hukum bagi kehidupan. 45
Soerjono Soekanto menganalisa efektifitas bekerjanya hukum dari sudut yang
agak berbeda yaitu46:
a. Perlunya pemberian teladan kepatuhan hukum oleh para pengek hukum;
b. sikap yang tegas (zakelijk) dari aparat
c. Penyesuaian perturan yang belaku dengan perkembangan tekhnologi mutkhir
saat ini
d. penerangan, penyuluhan mengenai peraturan yang sedang dan akan berlaku
kepada masyarakat
e. memberi waktu yang cukup kepada masyarakat untuk memahami peraturan itu
Negara Indonesia memiliki suatu tujuan yang mulia yaitu mendorong dan
menciptakan kesejahteraan umum dalam payung Negara Ke-satuan Republik Indonesia
yang berlandaskan Pancasila. Tujuan atau cita-cita tersebut tercermin dalam pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam alinea ke-4 yaitu:
“Kemudian daripada itu untuk memben-tuk suatu Pemerintahan Negara Indone-sia yang melindungi segenap bangsa Indo-nesia dan seluruh tumpah darah Indone-sia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perda-maian abadi dan keadilan sosial...”
Perlindungan terhadap segenap bangsa dan tumpah darah melalui perangkat
hukum yang berlaku merupakan hal yang mutlak un-tuk diwujudkan, tidak ada artinya
kata-kata “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah” apabila ternyata masih ada
penderitaan yang dirasakan oleh rakyat berupa ketimpang-an-ketimpangan hak-hak
ekonomi yang mencerminkan ketidaksejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketidaksejahteraan tersebut didorong dan diciptakan oleh sistem pemerintahan yang
tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena masih membiarkan ada-
nya praktik-praktik pemerintahan di mana kekuasaan dijalankan secara sewenang-
wenang dan tidak berpihak pada rakyat.47
45 Ibid., hlm. 235. 46 Soerjono Soekanto,Efektiftas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja Karya Bandung, 1985, hlm. 7.47 Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
-
27
Pemerintah oleh karena itu mempunyai peran penting dalam sebuah negara
modern di mana pemerintah harus mampu menjadi lokomotif bagi perlindungan dan
kesejahteraan bagi rakyatnya. Friedman menegaskan bahwa negara atau pemerintah
seharusnya mampu menjalan-kan fungsinya sebagai negara modern, yaitu: as protector;
as diooser of social services; as industrial manager; as economic controller; as
arbitrator.48
Negara sebagai lokomomotif perlindungan dan kesejahteraan bagi rakyat, menurut
Melkias Hetharia49:
“Dalam sebuah negara demokrasi, hak tersebut menuntut kepada mereka yang berkuasa atasnya (penguasa) untuk memenuhinya. Dengan demikian secara otomatis penguasa wajib melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat manusia yang dikuasainya. Walaupun hak itu ada dengan sendirinya (secara alami) dan pemerintah wajib untuk melaksanakannya.”
Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dapat pula berarti upaya keras dan nyata bagi pembebasan seluruh rakyat
Indonesia dari penderitaan dan upaya yang nyata bagi terciptanya kesejahteraan rakyat
Indonesia tanpa kecuali. Namun demikian, dalam penegakan hu-kum pidana akhir-akhir
ini menyisakan tanda tanya besar dari berbagai kalangan masyarakat termasuk pelaku,
hal ini disebabkan karena adanya disparitas yang sangat mencolok dalam penerapan
hukum pidana melalui lembaga peradilan, baik dalam tahapan penyidikan, penuntutan
maupun dalam tahap eksekusi. Persoalan ini berdampak pada kegagalan pemerintah da-
lam memenuhi hak konstitusional rakyat Indonesia.
Salah satu kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak konstitusional rakyat
Indonesia berupa kesejahteraan adalah tingginya korupsi yang kemudian melahirkan
ketidaksejahteraan bagi masyarakat, korupsi yang telah meluas dan berakar di Indonesia
telah menghancurkan harapan bangsa atas mimpi kesejahteraan yang selalu
didambakan, bahkan mengancam eksis-tensi negara yang seharusnya mewujudkan
mimpi kesejahteraan tersebut. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya50:
48 Lawrence M Friedman, Op. Cit., hlm…..49 Habel Way, Melkias Hetharia dan Marthen Arie, Kedudukan Hukum Majelis Rakyat Papua
(MRP) Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, hlm 6-7.
50 Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah: Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),(tnp.: ttp, tt.), p. 16. dalam Ismail Marzuki, Rekonstruksi Penegakan Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Vol 3. No.1 , Tahun 2013.
-
28
“Tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya dilakukan oleh
Penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, melainkan juga penyelenggara
negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga
merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
membahayakan eksistensi negara.”
Sejalan dengan apa yang katakan Nyoman Serikat Putra Jaya tersebut, menurut
Marzuki Darusman bahwa, Penyebaran Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sudah sangat
meluas sehingga dapat dikatakan radikal korup. Pernyataan Marzuki Darusman, tampak
berbanding lurus dengan data yang disampaikan oleh Fauzi, di mana sejak tahun 2005
Bupati yang menjadi tersangka sebanyak 150 orang dari jumlah total Kepala Daerah
sebanyak 524 orang. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan dan memperkukuh bahwa
tingkat korupsi di Indonesia memang telah memasuki area radikal korup.51
Tingginya tingkat korupsi yang kemudian memasuki tingkat radikal korup, pada
hakikatnya telah menempatkan bangsa Indonesia pada titik keprihatinan karena tindak
pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat merugikan keuangan negara
akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugian-kerugian pada perekonomian rakyat. Oleh
karena itu, sebagai bangsa yang memiliki semangat untuk mencip-takan kemakmuran
secara merata dan adil, sudah semestinya Bangsa Indonesia mampu untuk mengenali
dan menghindari setiap bentuk korupsi yang hanya akan dapat menciptakan ke-
sengsaraan bagi segenap rakyat Indonesia.
Shed Husen Alatas sebagaimana yang dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya
telah membaginya dalam 7 tipologi korupsi, yaitu: pertama, korupsi transaktif
(transactive cor-ruption). Di sini menunjukan kepada adanya kesepakatan timbal balik
antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan
dengan aktif diusahakan terca-painya keuntungan oleh kedua-duanya; kedua, korupsi
yang memeras (extortive corruption) adalah jenis korupsi di mana pihak pemberi di-
paksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya,
kepentingan-nya, atau orang-orang dan hal-hal yang dihar-gainya; ketiga, korupsi
investif (investive cor-ruption) adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan.
51 LAPORAN AKHIR TIM KOMPENDIUM HUKUM TENTANG LEMBAGA
PEMBERANTASAN KORUPSI, KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL TAHUN 2011, hlm.
-
29
Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri, seperti pemberian ba-rang atau
jasa tanpa ada pertalian langsung de-ngan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang
dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang; keempat, korupsi perkerabatan
(nepotistic corruption) adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak
saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan
perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau ben-tuk-bentuk lain, kepada
mereka, secara berten-tangan dengan norma dan peraturan yang ber-laku; kelima,
korupsi defensif (defensive cor-ruption) di sini pemberi tidak bersalah tetapi si penerima
yang bersalah. Misal: seorang pengu-saha yang kejam menginginkan hak milik sese-
orang, tidak berdosalah memberikan kepada penguasa tersebut sebagian dari harta itu
untuk menyelamatkan harta selebihnya; keenam, korupsi otogenik (autogenic
corruption) suatu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya
seorang diri; dan ke-tujuh, korupsi dukungan (supportive corrup-tion) di sini tidak
langsung menyangkut uang atau imbalan dalam bentuk lain. Tindakan-tin-dakan yang
dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.52
Bentuk-bentuk korupsi, terutama dalam lingkup suap merupakan penyakit yang
sangat akut bagi bangsa Indonesia, karena hampir di setiap lembaga pelayanan publik
(termasuk pada dunia pendidikan) suap sudah menjadi hal yang biasa, yang pada
akhirnya ada kesulitan-kesulitan dalam mendeteksi korupsi, sehingga pencegahannya
pun makin sulit dilakukan, sehingga korupsi terus berkembang dan menjalar dalam
setiap aspek kehidupaan. Perlu kiranya diperhatikan dan direnungkan apa yang dikata-
kan oleh Habibur Rahman Khan sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief bahwa,
dunia modern sepenuhnya menyadari akan problema yang akut ini. Orang demikian
sibuk melakukan penelitian, seminar, konferensi internasional dan menulis buku untuk
mencoba memahami masalah kejahatan dan sebab-sebabnya, agar dapat
mengendalikannya, tetapi hasil bersih dari semua usaha ini adalah sebaliknya yaitu
kejahatan bergerak terus.53
Korupsi sebagaimana kejahatan yang dikatakan oleh Habibur Rahman tersebut,
merupakan suatu perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang dalam meraih
52 Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Perkembangan Hukum Pidana, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung: 2008, hlm. 69.53 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001;
-
30
keuntungan secara tidak halal, seolah-olah tidak pernah berhenti dan habis untuk
dibicarakan baik dalam forum ilmiah maupun oleh setiap masyarakat setiap hari, tetapi
hasil nyatanya adalah perbuatan jahat ini terus bergerak tiada henti menggerogoti setiap
sendi kehidupan yang dapat berpengaruh negatif bagi kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara.
Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sementara
pemberantasannya masih sangat lamban, Romli Atmasasmita, menyatakan bahwa,
Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh
pemerintahan sejak tahun 1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih
tersendat-sendat sampai sekarang. Lebih lanjut dikatakannya bahwa korupsi berkaitan
pula dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluar dan kroninya.54
Sependapat dengan Romli Atmasasmita tersebut, Nyoman Serikat Putra Jaya
menjelaskan bahwa harus diakui, dewasa ini Indonesia sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Transparancy International dan Political and Economic Risk
Consultancy yang berkedu-dukan di Hongkong, selalu menempati kedudu-kan yang
rawan sepanjang menyangkut korupsi. Korupsi di Indonesia harus diakui sudah bersifat
sistemik dan endemik, sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga
me-langgar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Lebih lanjut dikatakan
oleh Nyoman Serikat Putra Jaya, korupsi di Indonesia sudah merembes ke segala aspek
kehidupan, kesemua sektor dan segala tingkatan, baik di pusat maupun daerah,
penyebabnya adalah ko-rupsi yang terjadi sejak puluhan tahun lalu dibiarkan saja
berlangsung tanpa diambil tindak-an yang memadai dari kaca mata hukum.55
Korupsi, apabila dibiarkan terus, maka akan menempatkan rakyat pada posisi
yang sangat dirugikan, Robert Klitgaard merinci beberapa hal akibat korupsi. Pertama,
suap menyebabkan dana untuk pembangunan rumah murah jatuh ke tangan yang tidak
berhak; kedua, komisi untuk para penanggung jawab pengadaan barang dan jasa bagi
pemerintah daerah berarti bahwa kontrak jatuh ke tangan perusahaan yang tidak
memenuhi syarat; ketiga, kepolisian sering kali karena telah disuap pura-pura tidak tahu
54 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana(Criminal Justice System) Perspektif
Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1996, Hlm. 15. 55 Theresa Thompson and Anwar Shah, Transparency International’s Corruption Perceptions
Index: Whose Perceptions Are They Anyway?, Maret 2005.
-
31
bila ada tindak pidana yang seharusnya di-usutnya; keempat, pegawai pemerintah
daerah menggunakan sarana masyarakat untuk kepen-tingan pribadi; kelima, dalam
rangka menda-patkan surat izin dan lisensi, warga masyarakat harus memberi uang
pelicin kepada petugas bahkan kadang-kadang harus memberi suap agar surat izin atau
lisensi bisa terbit; keenam, pemberian suap mengakibatkan warga masyarakat bisa
berbuat sekehendak hati melanggar peraturan keselamatan kerja, peraturan kesehatan,
atau peraturan lainnya sehingga menim-bulkan bahaya bagi anggota masyarakat
selebihnya; ketujuh, layanan pemerintah daerah diberikan hanya bila warga telah
membayar se-jumlah uang tambahan di luar biaya yang resmi; kedelapan, keputusan
mengenai peruntukan lahan dalam kota sering dipengaruhi oleh korupsi; dan
kesembilan, petugas pajak memeras warga, atau lebih bersekongkol dengan wajib pajak,
memberikan keringanan pajak pada wajib pajak dengan imbalan suap.56
Melihat akibat korupsi yang demikian seriusnya, perlu dilakukan langkah-langkah
pemberantasan korupsi, langkah tersebut tentu bukan hanya pada sektor penindakan
tetapi juga pada sektor pencegahan yang harus melibatkan dunia pendidikan, dengan
demikian pembe-rantasan korupsi diharapkan dapat berjalan efektif. Keterlibatan dunia
pendidikan (fakultas-fakultas hukum) demikian penting, sebab melalui dunia
pendidikan inilah setiap calon penegak hukum ditempa, dibekali ilmu yang cukup untuk
kemudian menegakkan hukum ter-sebut dengan baik dan jauh dari perilaku-perilaku
korup. Melalui pembekalan ilmu yang baik, diharapkan para penegak hukum tidak
melaku-kan tindakan koruptif ketika mereka memeriksa kasus-kasus korupsi yang
mereka tangani. Berkaitan dengan hal tersebut, Hilton Tarnama Putra menyatakan
dengan keberadaan dan karakter dari ilmu hukum akan mempengaruhi bentuk dan cara
pendidikan (tinggi) hukum yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula cara berfikir
serta berkarya para ahli hukum yang dihasilkannya.57
Dunia pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tentang ilmu hukum
sesungguhnya memiliki peran yang sangat strategis dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi, bahkan kegagalan sebuah pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dikatakan
sebagai kegagalan dunia pendidikan tinggi ilmu hukum, mengapa demikian? Karena
dipandang dari kaca mata penegakan hukum (hukum pidana), maka penegakan hukum
56 Robert Klitgaard, Addressing corruption together, OECD, 2015, hlm. 15-16.57 Hilton Tanama Putradalam Ridwan, Peran Lembaga Pemberantasan Korupsi Di Indonesia,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012. Hlm. 551.
-
32
pidana tak terlepas dari sistem dan dalam sistem penegakan hukum terdiri dari tiga sub
sistem, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum. Menurut Lawrence
M. Friedman, kultur merupakan komponen yang sangat penting dan menentukan
bekerjanya sistem hukum, di mana kultur hukum tersebut merupakan elemen sikap dan
nilai sosial.
Termasuk dalam kultur hukum ini adalah pendidikan yang dapat membentuk
karakter seseorang termasuk penegak hukum, dengan demikian para penegak hukum
(hukum pidana) tidak terjebak pada pemikiran hukum yang sempit yang hanya
memahami hukum hanya sekedar teks undang-undang. Melalui pendidikan yang baik
diharapkan pula setiap penegak hukum (hukum pidana) memiliki pemahaman hukum
yang baik pula, sehingga dengan pema-ha-man hukum yang baik akan menciptakan
penegak-penegak hukum yang handal. Menurut Barda Nawawi Arief, peningkatan
kualitas SDM penegak hukum akan menciptakan penegak hukum yang bersih dan
berwibawa, yang jujur dan bermoral, tidak korup dan dapat dipercaya me-negakkan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan, peningkatan kualitas pendidikan akan menciptakan
penegak-penegak hukum yang al-amin (dapat dipercaya), karena tidak hanya sekedar
memahami hu kum homo juridicus, tetapi juga memiliki etika/moral atau yang disebut
dengan “homo etichus”. Oleh karena itu, menegakkan wibawa hukum pada hakikatnya
menegakan ni-lai kepercayaan di dalam masyarakat.58
Menegakkan wibawa hukum, berarti pula menegakkan fungsi dari hukum pidana
yang pada inti hakikatnya fungsi dari hukum pidana adalah penyelesaian konflik. Hal
mana ditegaskan oleh G. Peter Hoefnagles bahwa fungsi dari hukum pidana adalah
penyelesaian konflik. Penerapan hukum pidana dengan penekanan, bahwa hukum
pidana berfungsi bagi penyelesaian konflik, tentu juga harus didukung oleh kemampuan
seorang penegak hukum dalam memahami dan menganalisa teori-teori hukum pidana
yang dapat dijadikan sebagai se-buah landasan dan hal itu mustahil dapat ditemukan,
jika karakter keilmuan seorang penegak hukum masih tergolong lemah yang pada
akhirnya akan menciptakan ketidakmampuan bagi seorang penegak hukum pidana
melakukan terobosan guna terciptanya penegakan hukum pidana yang berkeadilan.
Karakter keilmuan yang kuat juga akan memperteguh karakter seorang penegak hukum
58 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm….
-
33
pidana untuk selalu mengarahkan hukum dalam pemenuhan perlindungan hukum bagi
setiap masyarakat tanpa sebuah kekecualian.59
Semua pembentukan perilaku penegak hukum (hukum pidana) tersebut akan
terbentuk mana kala dunia pendidikan yang menye-lenggarakan pendidikan ilmu hukum
juga menunjukkan karakternya yang baik, sebagai sebuah lembaga pendidikan yang
jauh dari bentuk tindakan yang koruptif termasuk di dalam pratik perbuatan curang dan
perilaku yang mau disuap, tetapi mencerminkan sebuah perilaku jujur yang
menunjukkan martabatnya yang tinggi. Salah satu bentuk korupsi di dunia pen-didikan
yang harus dihindari adalah tenaga pen-didik/pengajar yang dengan sengaja dan dengan
alasan yang tidak dibenarkan oleh hukum (alasan yang bisa diterima oleh hukum
misalnya karena sakit, penelitian, seminar dan tugas negara lainnya serta bencana alam)
kemudian me-ninggalkan tugas pokoknya yaitu mengajar.
Melalui pengembangan perilaku yang baik dan harus diajarkan, serta dipraktikan,
terutama diperguruan tinggi yang mengajarkan tentang ilmu hukum, maka
pemberantasan tindak pidana korupsi akan dapat diwujudkan secara baik. Hal ini
disebabkan, melalui lembaga pen-didikan ilmu hukum para penegak hukum (hukum
pidana) yang merupakan bagian dari sis-tem penegakan hukum pidana (struktur hukum)
itu dibentuk dan dibekali ilmu yang baik. Pembekalan ilmu yang baik, tentu akan
menimbulkan dampak yang positif bagi terciptanya iklim penegakan hukum pidana
yang selalu berorientasi pada kepentingan hukum yang luas, yakni menyangkut
kepentingan hukum secara individu maupun kelembagaan (kepentingan umum),
sehingga dengan demikian setiap penegak hukum pidana menyadari bahwa hukum
pidana tidak hanya mengatur per-buatan manusia, tetapi juga mengatur penegak hukum
itu sendiri. Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa sasaran/adresat dari hukum pidana
tidak hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga
mengatur perbuatan (dalam arti kewenangan/kekuasaan) penguasa/aparat penegak
hukum dan dengan memahami pembatasan/pengaturan oleh hukum pidana tersebut,
para penegak hukum pidana akan mampu menjadi corong kebenaran, bukan sekedar
corong undang-undang.
Pada hakikatnya korupsi merupakan sebuah persoalan tentang moralitas, bagi
seseorang yang memiliki tingkat moralitas yang baik tidak akan melakukan tindakan tak
59 Barda Nawawi Arief, 2002, Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,. Bandung, Hlm.42
-
34
terpuji (korupsi). Oleh karena itu, pendidikan moralitas sangat diperlukan dalam
membentuk pribadi yang baik. Pendidikan moralitas tak dapat dipisahkan dari
pendidikan agama, menurut Moeljatno bahwa ilmu pengetahuan (termasuk ilmu hukum)
yang tidak dibarengi dengan ilmu agama adalah tidak lengkap. Begitu eratnya hubungan
antara ilmu pengetahuan hukum dengan ilmu agama, Satjipto Rahardjo
mengungkapkannya dengan sangat indah sekali bahwa, ilmu adalah forum untuk
berburu kebenaran yang tidak akan bisa digenggamnya secara sempurna. Otak kecil
manusia hanya bisa menemukan keping-keping kebenaran, sedangkan kebenaran sejati
hanya milik Allah, di sini ilmu pengetahuan dan religi bertemu.60
Mendasarkan pada kekuatan besar antara ilmu pengetahuan sebagai sarana
memburu kebenaran yang besifat relatif, dimana kebenaran yang demikian sebagaimana
yang dikatakan Satjipto Rahardjo adalah kebenaran yang tak mungkin secara sempurna
dapat digenggam, sehingga guna menggenggam kebenaran diperlukan kekuatan besar
lainnya yaitu kebenaran hakiki yang dimiliki Tuhan, dengan demikian, maka sekat-sekat
ketidakharmonisan antara hukum dan keadilan akan dapat diatasi, sehingga masyarakat
akan mampu merasakan hukum yang mampu menaungi kehidupannya ketika hukum itu
ditegakkan. Sebaliknya, jika ilmu pengetahuan hukum dan ilmu agama dipisahkan,
maka akan terjadi persoalan-persoalan yang sangat mendasar bagi negara Indonesia,
karena hukum akan ditegakkan dengan pola-pola koruptif yang dapat mendorong
runtuhnya Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Runtuhnya sebuah bangsa yang diakibatkan oleh tingkat korupsi yang demikian
akut, sesungguhnya dimulai dari dunia pendidikan tinggi ilmu hukum yang tidak lagi
memiliki konsentrasi dan porsi yang cukup bagi pendidikan ilmu agama, yang pada
akhirnya melahirkan perilaku-perilaku munafik dan tidak ragu-ragu menjadi bagian dari
suburnya perilaku koruptif. Berkaitan dengan ilmu agama yang berisikan tuntunan
Tuhan tersebut, oleh Purnadi Purbacaraka disebutnya sebagai kaidah kepercayaan,
dengan kaidah tersebut bertujuan mencapai suatu kehidupan yang beriman, dengan
kehidupan yang beriman tersebut tentulah diharapkan tercapainya penegakan hukum
yang baik jujur dan jauh dari nilai-nilai yang munafik. Menurut Romli Atmasasmita,
hukum dan penegakan hukum berada dalam ruang dinamika keimanan, kepastian
60 Satjipto Rahardjo dalam Ahmad Gunawan, BS & Mu’ammar Ramadhan, Menggagas Hukum
Progresif Indonesia, Semarang: Penerbit Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo & Program Doktor Ilmu Hkum Undip. 2006, hlm. 6.
-
35
hukum dan keadilan. Penegakan hukum tanpa keimanan dapat menimbulkan
kemunafikan dan kezaliman.61
Pembentukan karakter melalui pendidikan moral yang merupakan unsur
terpenting dari pendidikan ilmu agama tidak terlepas dari sifat ilmu hukum (termasuk
hukum pidana) sebagai bagian dari ilmu kejiwaan sebagaimana yang dikatakan Barda
Nawawi Arief sebagai pakar hukum pidana menyatakan bahwa aspek nilai kejiwaan ini
ada dan melekat pada setiap “hukum” pada umumnya. Oleh karena itu, wajarlah ilmu
hukum (termasuk ilmu hukum pida-na) dikelompokkan ke dalam ilmu pengetahuan
kejiwaan/kerohanian (Geisteswissenschaft), bahkan menurutnya bahwa dengan
demikian ilmu hukum pidana normatif pada hakik