faktor utama dalam pemilihan metode tambang
DESCRIPTION
ghjTRANSCRIPT
Faktor Utama dalam Pemilihan Metode Tambang
Setelah tahap eksplorasi berakhir dan hasil menunjukkan output positif, tahap
perencanaan penambangan bisa mulai dilakukan. Keputusan besar dalam perencanaan adalah
memilih metode tambang yang tepat. Metode dan skala sebuah tambang ditentukan oleh
beberapa faktor: (1) faktor geologi berkaitan dengan geometri dan distribusi bijih, (2) faktor
teknis yang meliputi kajian kestabilan batuan/lereng, teknologi, dan peralatan, dan (3)
pertimbangan ekonomi, termasuk besarnya investasi dan ketersediaan sumber pendanaan.
Setiap bahan tambang atau mineral memiliki karakteristik unik akibat perbedaan
karakteristik geologi, geometri, dan besarnya kadar. Mineral yang berbeda akan memerlukan
metode penambangan yang berbeda pula. Tembaga, contohnya, sering ditemukan dalam kadar
kecil pada bongkahan masif batuan sulfida dengan kadar antara 1%-4%, atau dalam deposit
porfiri dengan kadar 0.5%-1.0% tembaga. Emas mungkin ditemukan di urat batuan dengan kadar
10-20 gram per ton, atau terkandung dalam batuan dengan kadar hanya 1 gram per ton.
Cadangan dengan kadar tinggi atau bernilai tinggi akan tetap menguntungkan ditambang
dengan metode “selective mining”. Metode ini mengisyaratkan bahwa penambangan dilakukan
secara selektif. Hanya cadangan yang berkadar tinggi saja yang ditambang. Sedang cadangan
yang berkadar rendah harus diimbangi dengan kuantitas yang besar agar tetap menguntungkan.
Cadangan seperti ini umumnya ditambang dengan metode non-selektif (bulk mining) seperti
block caving.
Semua metode tambang paling tidak akan melibatkan empat tahap: (1) pengambilan bijih,
(2) pemisahan bijih dari batuan yang tidak berguna, (3) peremukan (penghancuran) bijih hingga
mencapai ukuran yang diinginkan, dan (4) pengangkutan ke fasilitas pengolahan. Bijih yang
berada pada batuan lunak akan memudahkan penambangannya. Bijih cukup ditambang dengan
alat-alat mekanis seperti shovel, back-hoe, atau scraper. Sedang untuk batuan keras, peledakan
menjadi mutlak diperlukan sebelum bijih dapat diambil. Sebagai panduan umum, tambang
permukaan umumnya berbiaya lebih rendah dibanding tambang bawah tanah. Tahap pra-
tambang (development) tambang terbuka juga relatif lebih singkat dibanding tambang bawah
tanah.
Namun, limbah batuan tak berguna(waste rock) pada tambang permukaan akan semakin
meningkat seiring kedalaman tambang yang bertambah (biaya juga bertambah). Kondisi ini akan
mencapai suatu titik dimana metode tambang bawah tanah akan lebih menguntungkan.[]
Sumber: International Mineral Economics byW.R. Gocht, H. Zantop, and R.G. Eggert
Penerapan Rencana Aksi-Reaksi Sistem Penyanggaan di Tambang Bawah
Permukaan Satui PT. Arutmin Indonesia
I. LATAR BELAKANG
Arutmin Indonesia sebagai perusahaan tambang skala besar dengan produktifitas sebesar
15,7 jt ton pada tahun 2007 dan pelabuhan batubara skala internasional memiliki 4 lokasi
tambang dan 1 pelabuhan utama (NPLCT ). Semua lokasi penambangan PT Arutmin Indonesia
terletak di provinsi Kalimantan Selatan, mulai dari Asam-asam sampai ke Senakin.
Gambar 1. Lokasi PT Arutmin Indonesia
PT Arutmin Indonesia memiliki visi jangka panjang dalam upaya konservasi cadangan
dengan telah memulai mengkaji potensi tambang bawah permukaan mulai tahun 1993. Proyek
Tambang Bawah Permukaan Percobaan sejak tahun 2002 merupakan program perusahaan untuk
mempelajari kelayakan teknis sebagai upaya di dalam memaksimalkan cadangan di daerah
tambang terbuka yang berpotensi untuk dilakukan penambangan dengan sistem tambang bawah
permukaan.
Gambar 2. Layout Portal
Pada akhir tahun 2007 proyek percobaan ini telah selesai dan berdasarkan pengalaman
yang diperoleh, saat ini sedang disusun studi kelayakan tambang bawah permukaan di Senakin
untuk menjadi tambang bawah permukaan yang layak secara teknis dan ekonomis.
Gambar 3. Kondisi Terowongan
Tambang bawah permukaan percobaan di Sajuna menggunakan sistem penyanggaan
dengan menggunakan baut batuan atau baut kabel berkuat tarik besar sebagai penyangga primer.
Penyangga sekunder berupa penambahan baut batuan dan atau Hiten , penyangga kayu dan
penyangga besi baja akan dipasang sesuai dengan kondisi terowongan. Berawal dari adanya
kecelakaan runtuhan atap pada tahun 2005, manajemen tambang bawah tanah permukaan Sajuna
telah melakukan koreksi dan perbaikan menyeluruh terhadap sistem penyanggaan dan
pemantauannya.
Investigasi keruntuhan atap telah mengungkap faktor-faktor penyebab kegagalan
penyanggaan atap sebagai berikut:
1. Lebihnya beban mudstone antara lapisan batubara SL1 dan SM2 .
2. Adanya pengaruh tingginya tekanan air di lapisan batubara SM2.
3. Pengaruh sifat kelemahan strukturalnya sendiri.
4. Pengurangan ketebalan lapisan atap batubara menjadi 0,3m mengurangi retakan lapisan atap
dan elastisitas penopang untuk menahan beban.
5. Keefektifan roof bolt berkurang karena sebagian roof bolt dijangkarkan pada mudstone.
6. Lebar terowongan yang diluar dari standar yang ditentukan
Sebagai hasil dari investigasi tersebut diusulkan beberapa rekomendasi yaitu:
1. Desain penyanggaan atap harus meliputi pembatasan dan pengurangan tekanan air terhadap
beban mudstone.
2. Sistem penyanggaan harus dirumuskan berdasarkan kondisi terowongan dan perubahannya.
3. Menambah ketinggian jalan utama agar dapat menjangkarkan baut ke lapisan batubara SM2
akan menambah stabilitas atap.
4. Pengurangan jumlah baut kabel dapat dilakukan pada persimpangan dengan sistem penyangga
utama yang lebih efektif.
5. Setidaknya 0,4m atap batubara diperlukan untuk memberikan confinement pada stone
interburden.
6. Modul mesh sebaiknya digunakan untuk memberikan confinement dan mencegah
ketidakteraturan atap batubara dimana struktur tersebut dipasang.
7. TARP sistem penyanggaan dan AMZ untuk menambah pengenalan dan kontrol bahaya yang
perlu dikembangkan dan dilaksanakan di Rencana Manajemen Strata Satui.
8. Training resmi bagi pekerja dilaksanakan pada sistem ini (TARP) termasuk penilaian berkala.
II. TARP
TARP merupakan suatu prosedur yang mengatur aturan, tanggung jawab dan tindakan
yang harus dilakukan oleh setiap karyawan tambang bawah tanah percobaan Satui. Prosedur ini
sangat diperlukan untuk menjamin terpeliharanya kestabilan atap dan terowongan di tambang
bawah permukaan secara berkesinambungan.
TARP disusun berdasarkan pengalaman di lapangan dan perhitungan keteknikan yang harus
memenuhi beberapa parameter seperti di bawah ini:
1. Menjelaskan parameter-parameter kondisi dilapangan untuk dirumuskan dalam beberapa
kategori terowongan.
2. Sistem penyanggaan diterapkan sesuai kondisi terowongan dan perubahan kondisinya
3. Pola dan desain penyanggaan harus dapat mencakup beberapa kondisi terowongan semaksimal
mungkin
4. Setiap personel terkait harus mengerti dan dapat melaksanakan tanggung jawabnya seperti
yang diatur dalam TARP
5. Deteksi dini dan reaksi seketika harus dapat terlaksana
6. Sistem monitoring dan evaluasi hasil monitoring dapat segera disimpulkan dan di terapkan
dilapangan
7. Evaluasi terhadap TARP yang sudah ada harus berlangsung secara berkelanjutan sesuai
pengalaman terhadap kondisi-kondisi baru dan kelemahan-kelemahan yang terjadi pada sistem
Dalam penyusunannya prosedur tanggap darurat (TARP) ini perlu melibatkan karyawan
operasional, insinyur geo-teknik, insinyur tambang, ahli geo-teknik dan lain-lain. Faktor-faktor
aktual yang ada sebelum prosedur ini di buat harus dipertimbangkan dan menjadi bahan masukan
yang berharga dalam penyusunan TARP seperti data tell tale, data extensometer, lebar
terowongan, data pull out test, dan lain-lain. Dengan demikian, maka prosedur yang disusun
nantinya harus mudah dimengerti oleh karyawan yang terlibat langsung dalam kegiatan
penerowongan sehingga pemasangan sistem penyanggaan dapat dilakukan dengan tepat dan
efektif.
Insinyur tambang dan atau geo-teknik perlu memastikan bahwa sistem penyanggaan yang
telah dipasang sudah sesuai dengan kriteria dan aturan yang ada. Prosedur tanggap darurat ini
juga bersifat dinamis, yang artinya bahwa segala bentuk pengaruh dan faktor kestabilan
terowongan yang baru ditemukan, harus dapat dimasukan ke dalam TARP.
TARP yang telah disusun dan disahkan harus segera disosialisasikan kepada karyawan yang
terlibat langsung dalam proses penerowongan dan perawatan terowongan. Pengujian secara
berkesinambungan terhadap pengetahuan para karyawan tersebut perlu dilakukan untuk
menjamin telah dipahaminya aturan tersebut. TARP akan lebih baik ditempatkan pada tempat-
tempat tertentu di terowongan dan dibagikan ke karyawan yang terlibat langsung untuk
mempermudah dan menjamin penerapannya dengan benar. Inspeksi rutin perlu dilakukan untuk
memastikan TARP telah diterapkan dengan benar dilapangan dan disusun laporan kondisi
terowongan sesuai TARP.
Gambar 4. Diagram Alur Sistem Penyanggaan
III. PARAMETER DAN KATEGORI TEROWONGAN
Hasil dari perumusan TARP yang dilakukan oleh tim perumus yang terdiri dari bagian
keteknikan, karyawan operasional dan konsultan mendefinisikan beberapa parameter untuk
melakukan pengkategorian jenis terowongan.
Parameter-parameter tersebut diantaranya adalah :
1. Pengamatan secara visual dilapangan terhadap beberapa kriteria seperti kondisi water seepage,
ketebalan dan bentuk perlapisan batuan, serta kekerasan batuan atap.
2. Lebar atap terowongan
3. Jarak dari centre line persimpangan ke sudut belokan
4. Hasil monitoring berupa tell tale dan extensometer
5. Hasil pengujian kuat tarik baut batuan ( pull out test)
Berdasarkan parameter diatas, kondisi terowongan di kategorikan menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Kondisi Hijau, merupakan kondisi paling baik dari terowongan
2. Kondisi Orange, kondisi terowongan yang kurang baik
3. Kondisi Merah, kondisi terowongan yang buruk
4. Kondisi Khusus, kondisi yang abnormal.
Parameter dan kategori jenis terowongan dapat dilihat pada lampiran 2.
IV. JENIS-JENIS PENYANGGA YANG DIGUNAKAN
Tambang bawah permukaan di Sajuna menggunakan sistem penyanggaan dengan
menggunakan baut batuan atau baut kabel berkuat tarik besar sebagai penyangga primer. Prinsip
penyanggaan setelah diterapkannya TARP di tambang adalah mendapatkan efek penggantungan
dari baut batuan ataupun baut kabel yang dijangkarkan pada lapisan yang kompak (lapisan
batubara SM2) minimal 45 cm untuk baut batuan dengan panjang 2,7m. Semakin jauh jarak SM2
dari atap terowongan, semakin panjang penjangkaran yang harus dilakukan di SM2 sesuai
dengan beban immediate roof yang akan bertambah. Dengan kefleksibelan panjang dan
kelenturannya, baut kabel akan digunakan sebagai penyangga primer apabila baut batuan yang
ada tidak dapat menjangkau lapisan SM2. Baut batuan yang kaku tidak dapat dipasang apabila
panjangya melebihi ketinggian terowongan. Penyangga sekunder berupa penambahan baut
batuan dan atau baut kabel berkuat tarik besar, penyangga kayu dan penyangga besi baja akan
dipasang sesuai dengan kondisi terowongan. Dibawah ini
adalah spesifikasi dari jenis penyangga yang digunakan di tambang bawah tanah Satui.
1. Baut Batuan Type Ulir dengan Pengikat Resin
Baut Batuan Type Ulir (Thread Bar) dapat digunakan sebagai penyangga primer ataupun
sekunder. Baut ini juga dapat dipasang di atap ataupun di dinding. Sistem pengikatan baut adalah
dengan menggunakan resin. Resin yang berbentuk kapsul akan dipasang pada setiap baut yang
dipasang.
Ada beberapa jenis resin yang digunakan disesuaikan dengan kondisi air pada lubang
bornya. Resin-resin tersebut dibedakan dengan warna untuk membedakan tipe resinnya baik itu
tipe paling cepat kering, cepat kering, sedang, lambat,sangat lembat.Untuk kondisi yang basah
Untuk memperoleh efek penggantungan yang optimal, maka panjang baut bervariasi sesuai
ketebalan atap agar baut dapat dijangkarkan dengan pembungkusan resin minimal 45 cm di
lapisan batubara SM2. Umumnya digunakan baut dengan panjang 2,4 dan 2,7m. Baut kabel
berkuat tarik tinggi dipasang sebagai penyangga primer apabila lapisan batubara SM2 jaraknya
lebih dari 2,1 m dari atap terowongan. Pada situasi ini baut batuan dengan panjang 2,1 m akan
dipasang sebagai penyangga sementara sebelum baut kabel tersebut dipasang.
Berikut adalah spesifikasi dari baut batuan yang digunakan.
Tabel 1. Spesifikasi Baut Batuan
2. Baut Kabel Berkuat Tarik Besar (Hiten Cable Bolt)
Baut kabel berkuat tarik besar dipasang sebagai penyangga primer apabila lapisan
batubara SM2 jaraknya lebih dari 2,1 m dari atap terowongan. Pada situasi ini baut batuan
dengan panjang 2,1 m akan dipasang sebagai penyangga sementara sebelum baut kabel tersebut
dipasang. Dengan sifat kelenturan dan keflesibelannya dalam panjang yang digunakan, baut
kabel ini dapat dipasang untuk menjangkau lapisan SM2 tanpa harus mempertinggi dimensi
terowongan. Baut kabel ini terdiri dari 21 buah wire strand dengan diameter 12mm untuk
masing-masing wire.
Dibawah ini adalah spesifikasi baut kabel yang digunakan di tambang bawah tanah percobaan
satui yang panjangnya disesuaikan dengan kondisi perlapisan.
Tabel 2. Spesifikasi Hiten Cable Bolt
3. Wire Mesh dan Double W Strap
Untuk meningkatkan kekompakan di daerah sekitar atap dan mencegah terjatuhnya
bongkahan batuan berukuran kecil, maka akan di pasang mesh pada atap dan dinding. Double W
Strap merupakan plat besi tipis dan panjang yang digunakan agar baut batuan atau baut kabel
dapat dipasang pada satu garis. Plat ini juga dapat meningkatkan kekompakan batuan di daerah
atap.
4. Penyangga Kayu
Penyangga kayu Kelas I dan II akan dipasang dalam bentuk single prop sampai ke penyangga
cribbing pada lokasi-lokasi yang diperlukan. Sehubungan dengan keterbatasan persediaanya,
maka penyangga kayu digunakan sebagai penyangga sekunder di daerah-daerah tertentu yang
jarang di lalui peralatan.
5. Penyangga Baja
Pada tempat-tempat yang memiliki kestablian atapnya cukup rendah dan sulit untuk di atasi
dengan baut batuan ataupun baut kabel, akan dipasang penyangga baja. Penyangga baja akan
dipasang juga pada kondisi khusus dimana ditemui patahan dengan throw yang lebih dari 1
meter.
V. DESAIN SISTEM PENYANGGAAN UTAMA
Rencana manajemen strata dan TARP juga diperlukan termasuk pengawasan secara menyeluruh
dan sistem assesment bahaya. Berikut ini adalah kalkulasi desain untuk sistem suspensi:
Berat strata yang akan ditahan per roof bolt:
WB = B.hlr.DR.25
nB
= 5,5 x 2.0 x 1,0 x 25 = 55kN
5
WB = berat immediate roof
B = lebar jalan
DR = Jarak antar baris baut batuan
Hlr = ketebalan lempengan atap
nB = jumlah roof bolt
Fmax = Kekuatan utama roof bolt
Faktor Keamanan Roof Bolt = Fmax = 250 = 4,5
Wb 55
Kekuatan Penjangkaran pada Lapisan batubara SM2
SB = Kekuatan pull out
Panjangnya penjangkaran
Dari pull out test yang dilakukan pada lapisan batubara SM2, kekuatan kuat tarik (pull out) rata
10,6 ton atau 104 kN dengan rata-rata panjang pengkapsulan 347,5mm.
SB = 104 kN = 0.3kN/mm
347,5mm
Jika ada baut yang dijangkarkan 0,45m ke lapisan batubara SM2 maka kekuatan penjangkaran
adalah :
FA = LA x SB = 450 x 0,3 = 135 kN
Faktor keamanan dibandingkan dengan daya selip jangkar
FOSA = FA = 135 =2,45
WB 55
Pola penyanggaan harus sesuai dengan kategori terowongan sebagaimana halnya di atur
dalam TARP. Salah satu contoh pola penyanggaan pada terowongan jalan yang diatur dalam
TARP dapat dilihat pada lampiran 1.
IV. PERANGKAT MONITORING KESTABILAN ATAP
1. Tell Tale
Tell tale merupakan alat bantu untuk mengetahui penurunan lapisan atap secara manual.
Alat ini mengandalkan pembacaan secara visual dengan ketelitian sebesar 1mm. Jenis tell tale
yang digunakan di Satui adalah model Rock IT yang memiliki 4 jangkar. Keempat jangkar
dipasang pada masing-masing lapisan di atap terowongan untuk mengetahui lapisan mana yang
mengalami penurunan/ deformasi. Dengan mengetahui letak lapisan yang mengalami penurunan
maka pemasangan penyangga sekunder baik berupa hiten, baut atau bahkan steel set akan
disesuaikan sebagaimana diatur dalam TARP
2. Extensometer
Prinsip dasar extensometer sama dengan tell tale. Alat ini biasanya memiliki 20 buah
jangkar untuk lubang sedalam 8 sampai 10m sehingga lokasi penurunan dapat lebih pasti. Pada
jangkarnya terdapat magnet yang berfungsi agar posisi jangkar tersebut dapat terbaca oleh read
out. Tingkat ketelitian alat ini adalah 1/1000mm
3. Daya ikat baut dan pengkapsulan
Daya ikat rata-rata baut batuan untuk batubara dan mudstone telah ditentukan dengan
melakukan uji penarikan anchor pada mudstone dan lapisan batubara SM2. Ringkasan dari hasil
seperti ditunjukkan pada gambar 1 mengindikasikan besarnya variasi daya ikat antara batubara
dan mudstone dan lubang yang basah dan kering dengan mudstone interburden di dekat daerah
runtuhan telah mengurangi kapabilitas daya ikat.
Kekuatan pull out pada lapisan batubara adalah 178% lebih tinggi, yaitu 3,1 ton/100mm
atau 3 kN/mm. Beberapa pull test tidak berhasil, daya ikat rata-rata akan lebih tinggi dari 3
kN/mm. Untuk menghancurkan rock bolt berkekuatan 25 ton yang dijangkarkan pada batubara
700-800mm pengkapsulan mungkin diperlukan.
Gambar 5. Bond Strength Rata-Rata Pada Beberapa Lapisan
Dengan perbaikan sistem penyangaan ini, terdapat perubahan yang significant dari hasil pull out
test. Perbedaan hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Perbedaan Hasil Uji Pull Out Test Sebelum dan Setelah Perbaikan Sistem Penyanggaan
V. LAPORAN ZONA PENAMBANGAN AKTIF (AMZ)
Sebagaimana hal nya TARP, Laporan Zona Penambangan Aktif (AMZ) perlu diterapkan
untuk menjamin TARP telah dilaksanakan dengan benar oleh setiap gilir kerja. AMZ ini
merupakan suatu format pelaporan yang mengakomodir semua ketidak selarasan dan ke
abnormalan kondisi terowongan untuk dilaporkan dan di informasikan kepada gilir berikutnya.
Selain itu, pelaporan ini mencakup pelaporan hasil pemantauan monitoring atap dan informasi
lain yang sangat penting dan menunjang keselamatan karyawan dalam bekerja.
VI. SOSIALISASI DAN MONITORING PENERAPAN TARP
Beberapa kegiatan rutin dilakukan oleh bagian engineering untuk memastikan bahwa
TARP sudah dimengerti dan dapat dilaksanakan dengan baik khususnya oleh miner yang bekerja
di face. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya:
1. Mensosialisasikan dengan menjelaskan secara terperinci isi dari TARP termasuk pelatihan
menyimpulkan kategori atap di lapangan dan pengujian terhadap karyawan.
2. Mensosialisasikan ulang setiap beberapa selang waktu.
3. Menempelkan dokumen TARP pada tempat-tempat penting di terowongan.
4. Melakukan evaluasi hasil monitoring penerapan TARP (pull out test, tell tale, extensometer
dan pemantuan langsung dilapangan) setiap minggu dan mensosialisasikannya kepada karyawan
secara langsung dalam suatu pertemuan.
5. Menjelaskan prediksi kategori atap yang akan dihadapi dalam satu minggu ke depan dengan
menggunakan Hazard Map.
6. Selain prediksi kategori atap, hazard map juga menjelaskan kondisi kategori terowongan
paling akhir.
7. Mengakomodir usulan-usulan dan mengkajinya kembali untuk perbaikan TARP yang sudah
ada.
VII. KESIMPULAN
Dalam upaya menjaga kestabilan atap (strata control) adalah sangat penting dokumen
sejenis TARP harus dibuat dan diterapkan sesuai kondisi geologi dan struktur di masing-masing
lokasi tambang bawah permukaan. Sarana-sarana penunjang untuk penerapan TARP agar
tersedia dengan baik. Evaluasi terhadap TARP yang sudah ada harus berlangsung secara
berkelanjutan sesuai pengalaman terhadap kondisi-kondisi baru dan kelemahan-kelemahan yang
terjadi pada sistem
Perencanaan Tambang yang Ekonomis dan Berwawasan Konservasi
Cadangan
I. LATAR BELAKANG
Dunia pertambangan batubara saat ini mulai melirik ke tambang bawah permukaan
(underground), bahkan ESDM mendukung untuk alih teknologi dari tambang permukan (open
pit) ke tambang bawah permukaan. Sesuai dengan kecenderungan lapisan batubara yang
memiliki kemiringan (slope) maka semakin lama kedalaman batubara akan semakin dalam.
Dengan demikian ongkos produksi open pit akan semakin meningkat sejalan dengan semakin
bertambahnya volume lapisan penutup yang harus dipindahkan. Selain faktor ongkos produksi,
ada beberapa faktor lain yang menjadi pertimbangan mulai diliriknya underground. Hal -hal
tersebut adalah semakin meningkat nya biaya untuk pembebasan lahan, adanya faktor landscape
dari pemerintah, pinjam pakai dan lain-lain sesuai dengan lokasi, keadaan sosial masyarakat
lingkar tambang serta kebijakan pemerintah daerah.
Tulisan ini membahas mengenai faktor ongkos produksi saja tidak memperhitungakan
faktor-faktor lain sebagaimana telah diutarakan diatas. Apabila ongkos produksi open pit
semakin meningkat sementara sumberdaya batubara di lokasi yang dimiliki perusahaan masih
potensial, maka perlu kita ketahui kapan dan sampai dimana batasan open pit, dan kapan dan
dimana underground akan menambah cadangan tertambang bagi perusahaan. Hal ini perlu kita
ketahui sejak dini sebelum cadangan open pit mendekati habis karena ada kemunginan
underground ternyata tidak ekonomis pada saat yang diharapkan karena cadangan batubara
underground tidak bisa menutupi besarnya biaya investasi yang perlu dikeluarkan untuk
pengembangan tambang underground (lihat gambar 1). Kejadian ini akan sangat terasa terutama
pada perusahaan yang memiliki bentuk lokasi yang cenderung memanjang sesuai arah cebakan
batubara.
Gambar 1. Penambangan Yang Tidak Berorientasi Konservasi Cadangan
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, pendekatan analisis keekonomian dengan metode yang
sistematis perlu dilakukan untuk memperhitungkan batasan wilayah dimana kedua metode
penambangan (open pit dan underground) memberikan keuntungan maksimum dan konservasi
cadangan yang optimum bagi perusahaan.
II. BIAYA OPEN PIT
Striping Ratio (SR) adalah ratio antara lapisan penutup yang harus dipindahkan dengan
batubara yang dihasilkan. Ini merupakan metode sederhana yang dapat digunakan apabila faktor-
faktor yang mempengaruhi biaya ekstraksi dan pengolahan relatif konstan dan revenue yang
diperoleh setiap blok sesuai dengan jumlah batubaranya.
Peringkat Biaya Marginal - Pada metode ini, peringkat didasarkan pada nilai biaya penambangan
dan pengolahan pada setiap blok secara individual.
Gambar 2 menunjukan penampang melintang sebagai contoh sederhana peringkat biaya
marginal. Biaya rata-rata dan biaya marginal untuk penambangan seam sampai bagian bawah
dari dua bagian seam mulai dari strip pertama dapat dilihat di table 1. Dari contoh tersebut
terlihat bahwa penambangan yang paling menguntungkan adalah cukup seam bagian atas sampai
di strip ke empat, dan untuk strip selanjutnya dilakukan penambangan sampai seam terbawah.
Gambar 2. Penampang Melintang Pemeringkatan Biaya Marginal
Tabel 1. Biaya rata-rata dan marginal tambang
Dengan menggabungkan pembobotan antara biaya dan penilaian lain seperti SR akan
memperlihatkan bobot biaya marginal yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan ekonomis
dari suatu deposit. Harus dicatat bahwa, nilai uang, jadwal produksi dan nilai yield dari
penambangan tidak termasuk/belum dimasukan dalam perhitungan.
III. BIAYA UNDERGROUND
Sampai saat ini teknik yang sistematis untuk membuat penilaian biaya marginal cadangan
underground masih belum ada. Kita mengenal teknik Cut of Grade, namun itu hanya cocok
untuk melakukan penilaian underground bijih bukan batubara.
Penilaian deposit underground batubara selama ini memerlukann formula rencana tambang yang
memperlihatkan total batubara yang dapat dikeluarkan secara fisik dan teknikal dalam penilaian
keekonomiannya.
Setelah desain tambang sudah siap, dilanjutkan dengan rencana produksi sesuai dengan
beberapa macam scenario produksi. Biaya operasional dan kapital rata-rata kemudian di terapkan
untuk mengitung cash flow. Analisis keekonomian bisa diperoleh dengan adanya cash flow
tersebut yang sesuai dengan penentuan batasan-batasan yang ada.
Pada peta rencana tambang gambar dibawah telah ditentukan untuk produksi longwall sekitar 15
tahun ke depan. Untuk memperoleh ROR yang disyaratkan maka tambang harus dapat
menghasilkan total ROM biaya operasional dibawah $35.00 per ROM tonne.
Layout jangka panjang telah di desain sesuai kondisi struktur batuan dan infrastruktur di
permukaan sebagaimana terlihat di gmbr 3.
Gambar 3. Layout Tambang Underground
Berdasarkan dimensi terowongan, dimensi longwall, density batubara,diperoleh data sebagai
berikut.
Overall ekstraksi 83.4 %
Development to LW ratio 1 : 13.51 (perbandingan tonase)
Asumsi biaya
Development $125.00 per Dev Ton
Longwall $16.00 per LW Ton
Outbye and others $9.00 per ROM Ton.
Total Operating Cost $32.50 per ROM Ton.
Akses untuk ke B memerlukan development main heading tambahan dan pembuatan tail gate
baru. Biaya untuk membangun penambahan development ini dapat dilihat di table 3 dan
diperoleh penambahan sebesar $7.10 per ROM tonne.
Kita ketahui sebelumnya bahwa biaya operasional untuk setiap blok longwall adalah $32.50 per
ROM tonne. Total biaya untuk menambang area B adalah $39.60 per ROM tonne ($32.50 plus
$7.10) yang lebih tinggi dari syarat ROR sebesar $35.00 per ROM tonne. Namun biaya
operasional rata-rata total A & B $33.71 per ROM tonnes
Meskipun Area B tidak ekonomis untuk ditambang, namun biaya rata-rata keseluruhan
menambang Area A dan B adalah $33.71 per ROM tonne, dimana nilai keekonomian area A
akan berkurang oleh area B.
Untuk perusahaan yang saat ini telah memiliki tambang open pit yang aktif, yang harus
dipertimbangkan adalah kapan tambang underground ataupun highwall mining dapat/ harus
dimulai. Perlu diketahui bahwa metode highwall mining akan kurang applicable untuk
diterapkan di Indonesia yang cendurung memiliki lapisan batubara dengan kemiringan yg lebih
besar dari 5o, kondisi batuan yang lemah serta curah hujan yang tinggi.
IV. BIAYA KAPITAL UNDERGROUND
Proses pembobotan ini hanya memperhitungkan biaya operasional dan tidak
memperhitungkan biaya capital. Dalam proses pembobotan biaya, tahap pertama adalah
menentukan apakah reserves underground dilokasi cukup untuk menunjang biaya capital yang
diperlukan untuk tipe penambangan underground kedepan. Apabila underground reservesnya
tidak memungkinkan maka otomatis UG tidak akan ekonomis. Dengan demikian, biaya capital
sebaiknya tidak dimasukan saat membandingkan peringkat biaya antara open pit saat ini dengan
operasi underground. Biaya capital hanya berpengaruh pada penentuan minimum mineable
reserve underground sesuai ROR yang disyaratkan.
Gambaran Batas Area Open Pit, underground dan Highwall Mining
Pembobotan biaya open pit dan underground dapat di terapkan untuk menentukan perkiraan
batasan area antara open pit dan underground. Proses ini juga dapat memperlihatkan area mana
yang tidak ekonomis dengan open pit dan underground. Biasanya daerah tersebut bisa dianalisis
untuk ditambang dengan highwall mining. Pertimbangan lain perlu di identifikasi secara
menyeluruh dalam rangka konservasi cadangan ini, seperti pertimbangan Total Positive
Revenue, NPV, pertimbangan umur perijinan PKP2B, pinjam pakai kehutanan dll.
Total Positive Revenue. Misalkan aliran kas proses penambangan adalah positif dan jumlah
recoverable resource setiap metode yang berbeda akan menghasilkan nilai yang berbeda pula.
Table 2 mengggambarkan poin ini.
Tabel 2. Margin, Recovery dan total Revenue
Net Present Value (NPV). Nilai uang terhadap waktu pada aliran kas berdasarkan penjadwalan
ekstraksi batubara dari margin. Sangat baik digunakan rate bunga (discount rate) yang tinggi.
Setelah kita mengetahui batas daerah masing-masing metode, kemudian harus kita
memastikan penjdawalan produksinya dan hasilnya akan membantu dalam perhitungan
keekonomian untuk penentuan desain tambang dan jadwal penambangan yang optimum. Setiap
metode penambangan akan memiliki perbedaan tingkat produksi, mining recovery, nilai waktu
terhadap uang harus juga dipertimbangkan. Dengan demikian, pembobotan tersebut dapat di kaji
lagi dengan analisis discounted cash flow (DCF) untuk resultan nilai produksi. Gambar 4
menunjukan batas akhir open pit dan area dimana highwall mining dapat diterapkan serta hasil
dari DCF analisis.
Gambar 4. Penggambaran area akhir metode penambangan sesuai jadwal produksi dan analisa
DCF
Pada akhirnya, keputusan akhir setiap site atau lokasi mengenai perencanaan gabungan
antara open pit, highwall dan underground akan berbeda-beda namun dengan metode yang kami
utarakan mudah-mudahan menjadikan pendekatan yang cukup membantu.