fajarnugraha aki dr.niam

66
REFERAT ACUTE KIDNEY INJURY DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS DAN MELENGKAPI SYARAT DALAM MENEMPUH PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER Pembimbing : Dr. Syaifun Niam, Sp.PD Disusun oleh : Fajar Nugraha Mulya Loe 406127119

Upload: ricky-dosan

Post on 20-Oct-2015

25 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Acute Kidney Injury

Acute Kidney InjuryFajar Nugraha

REFERAT

ACUTE KIDNEY INJURY

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS DAN MELENGKAPI SYARAT DALAM MENEMPUH PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

Pembimbing :Dr. Syaifun Niam, Sp.PD

Disusun oleh :Fajar Nugraha Mulya Loe406127119

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAMRUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEMARANGFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARAPERIODE 9 NOVEMBER 2013 15 FEBRUARI 2014

HALAMAN PENGESAHAN

Nama / NIM: Fajar Nugraha Mulya Loe / 406127119Fakultas : KedokteranUniversitas : Universitas TarumanagaraTingkat: Program Pendidikan Profesi DokterBidang pendidikan: Ilmu Penyakit DalamPeriode Kepaniteraan Klinik: 9 November 2013 15 Februari 2014Judul Referat: Acute Kidney InjuryDiajukan : Januari 2014Pembimbing: dr. Syaifun Niam, Sp.PD

Telah diperiksa dan disahkan tanggal : Januari 2014

Mengetahui,Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam Pembimbing,BLU RSUD Kota Semarang

(dr. Pudjo Hendriyanto, Sp.PD) (dr. Syaifun Niam, Sp.PD)

KATA PENGANTARPuji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai Acute Kidney Injury guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di BLU RSUD Kota Semarang.Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini, yaitu :1. dr. Susi Herawati, M.Kes selaku direktur RSUD Kota Semarang.2. dr. Syaifun Niam, Sp.PD selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD kota Semarang.3. dr. Pudjo Hendriyanto, Sp.PD selaku ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam dan pembimbing kepaniteraan Klnik Ilmu Penyakit Dalam RSUD kota Semarang.4. dr. Diana Novitasari, Sp.PD selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD kota Semarang.5. Rekan rekan anggota Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Semarang.

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis agar referat ini dapat menjadi lebih baik. Penulis juga memohon maaf yang sebesar besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan dalam referat ini. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan kepada Pembaca pada umumnya.

Semarang, Januari 2014

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHANi KATA PENGANTARiiDAFTAR ISIiiiBAB 1 PENDAHULUAN1BAB 2 ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL 22.I.i Anatomi dan Histologi ginjal 22.I.ii Fisiologi ginjal 7BAB 3 ACUTE KIDNEY INJURY93.I. Etiologi dan Patofisiologi 93.I.i AKI Pre-Renal 93.I.ii. AKI Intrinsik 123.I.ii. AKI Post-Renal 163.II. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Banding 163.III. Komplikasi 263.IV. Terapi 273.V. Indikasi dan Modalitas Dialisis 323.VI. Hasil Akhir dan Prognosis Jangka Panjang 33BAB 4 KESIMPULAN34

DAFTAR PUSTAKA35iii

BAB 1 PENDAHULUAN

Acute kidney injury ( AKI ) didefinisikan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus ( GFR ) secara cepat dalam hitungan jam hingga hari. Bergantung dari definisi yang digunakan, AKI adalah komplikasi dari 5 7 % perawatan rumah sakit dan 30 % dari perawatan di ruang intensif. Retensi dari hasil produk bersifat nitrogen, oliguria ( output urin < 400 mL/d yang menyebabkan peningkatan beban cairan ekstraseluler ), dan gangguan asam basa dan elektrolit adalah manifestasi klinis yang sering ditemukan. AKI umumnya bersifat asimtomatis dan terdiagnosa ketika dilakukan monitoring biokimiawi pada pasien yang sedang dirawat menunjukan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. (1)Berdasarkan penyebabnya, AKI dibagi menjadi tiga, yakni 1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal, yang menyebabkan penurunan fungsi tanpa cedera jaringan parenkim yang nyata ( Prerenal AKI, atau azotemia ) ( 55 % ); 2) penyakit yang secara langsung melibatkan parenkim ginjal ( AKI intrinsik ) ( 40 % ); 3) penyakit yang berhubungan dengan obstruksi saluran kencing ( AKI postrenal ) ( 5 % ). (1)Secara umum AKI dianggap reversibel, walaupun kembalinya kreatinin serum ke batas normal setelah gangguan tersebut tidak sensitif dalam menilai cedera permanen yang berpotensi menjadi gagal ginjal kronis. AKI dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas pasien rawat inap yang tinggi, hingga 30 60 %, bergantung pada keadaan klinis dan apakah terdapat kegagalan organ. (1)

BAB 2 ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL

Penemuan yang khas pada AKI adalah azotemia yang progresif, yang umumnya juga ditemukan dengan berbagai gangguan lainnya, bergantung pada tingkat keparahan dan durasi dari disfungsi ginjal. Hal yang berpengaruh adalah gangguan metabolik ( asidosis metabolik, hiperkalemia ), gangguan keseimbangan cairan ( volume overload ) dan berbagai dampak lainnya pada hampir semua organ. (2)Penyebab dari AKI dapat dibagi menjadi penyakit yang menyebabkan penurunan aliran darah ginjal ( prerenal ), menyebabkan cedera pada jaringan parenkim ginjal ( intrinsik ), atau obstruksi dari saluran kemih ( postrenal ). Identifikasi dari sebab prerenal atau postrenal memungkinkan dokter untuk menegakan diagnosis penyebab AKI pada pasien. Secara umum kerusakan parenkim ginjal dapat dibagi menjadi kerusakan pada glomerulus, vaskularisasi dalam ginjal, atau interstitium ginjal. (2)BAB 2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJALGinjal merupakan organ yang paling besar perannya dalam proses eksresi pada manusia. Pada dasarnya, fungsi ginjal adalah : 1) regulasi komposisi ion darah; 2) regulasi pH darah; 3) regulasi volume darah; 4) regulasi tekanan darah; 5) mengatur osmolaritas darah; 6) produksi hormon; 7) pengaturan kadar gula darah; 8) ekskresi zat sisa metabolisme dan zat asing. (2)BAB 2.1.I Anatomi & Histologi GinjalGinjal terdapat berpasangan dan berwarna kemerahan, terletak diatas pinggang diantara peritoneum dan dinding belakang abdomen. Dikarenakan posisinya posterior dari peritoneum, dikatakan ginjal merupakan organ retroperitoneal. Ginjal terletak diantara vertebra T12 dan L3, sebuah posisi dimana ginjal mendapat perlindungan parsial dari iga ke-11 dan ke-12. Ginjal kanan letaknya lebih rendah dibandingkan yang kiri, dikarenakan hepar menempati tempat yang luas pada daerah superior ginjal kanan. (2)

Gambar 1.1 Anatomi Ren

Anatomi Eksternal GinjalSecara eksternal, ginjal umumnya berukuran : panjang 10 12 cm, lebar 5 7 cm, dan tebalnya 3 cm; dan beratnya umumnya 135 150 gram. Bagian medial yang cekung dari kedua ginjal menghadap kepada tulang vertebra. Dekat bagian tengah garis cekungan ginjal, terdapat sebuah celah vertikal yang dalam yang disebut hilum ginjal, dimana ureter keluar dari ginjal dengan pembuluh darah, pembuluh limfatik, dan saraf. (2)Setiap ginjal memiliki tiga lapisan pembungkus. Bagian yang terdalam adalah kapsul renal, yang merupakan jaringan ikat ireguler bersifat transparan dan halus, yang menyatu dengan lapisan terluar ureter. Kapsul renal berfungsi sebagai pelindung terhadap trauma dan membantu mempertahankan bentuk ginjal. Lapisan yang tengah adalah kapsul adiposa, yang terdiri dari jaringan lemaj yang menyelubungi kapsul renal. Lapisan ini juga berguna untuk melindungi ginjal dari trauma dan memberikan ginjal tempat yang terfiksasi pada rongga abdomen. Bagian yang terluar adalah fascia renal, yang terdiri dari jaringan ikat ireguler yang padat, yang mengikat ginjal pada struktur disekitarnya dan pada dinding abdomen. Pada bagian anterior ginjal, fascia renal mengikat dalam pada peritoneum. (2)Anatomi Internal GinjalPotongan frontal ginjal menunjukan dua daerah yang berbeda : sebuah daerah berwarna kemerahan, superfisial, dan bertekstur halus disebut sebagai korteks renal, dan sebuah daerah berwarna merah kecokelatan yang disebut sebagai medulla renal. Medulla renal terdiri dari beberapa piramid renal yang berbentuk seperti kerucut. Bagian dasar ( ujung yang lebar ) dari piramid renal menghadap pada korteks renal, dan bagian apeks ( ujung yang sempit ), disebut sebagai papila renal mengarah kepada hilum renal. Korteks renal adalah daerah yang bertekstur halus yang dibatasi kapsul renal hingga bagian dasar dari piramid renal dan daerah diantaranya. Korteks renal dibagi menjadi zona kortikal dan zona juxtamedullar. Bagian korteks renal yang berada diantara piramid renal disebut kolumna renal. Sebuah lobus renal terdiri dari piramid renal, korteks renal disekitarnya, dan sebagian dari koluma renal disebelahnya. (2)Bersama-sama, korteks renal dan piramid renal, dari medulla renal, menyusun jaringan parenkim ginjal. Di dalam jaringan parenkim tersebut terdapat unit-unit fungsional ginjal yang disebut sebagai nefron. Urin yang dihasilkan oleh nefron dialirkan ke duktus papilla yang besar, yang merupakan jaringan lanjutan dari papila renal dari piramid renal. Duktus papilaris mengalirkan urin ke dalam struktur seperti mangkuk, yaitu kaliks minor dan mayor. Setiap ginjal memiliki 8 18 kaliks minor dan 2 3 kaliks mayor. Kaliks minor menerima urin dari duktus papilaris salah satu papila renalis dan mengalirkannya ke dalam kaliks mayor. Kaliks mayor akan mengalirkan urin ke dalam pelvis renal dan kemudian melalui ureter hingga kandung kemih. (2)Hilum akan masuk menjadi sebuah kavitas yang disebut sebagai sinus renalis, yang terisi dengan pelvis renalis, kaliks, dan berbagai percabangan dari pembuluh darah ginjal dan saraf. Jaringan lemak membantu menstabilkan posisi pelvis dan kaliks dengan mengisi ruang sinus. (2)Pendarahan dan Persyarafan GinjalKarena ginjal mengeluarkan sisa metabolisme dari darah dan mengatur kadar ion dan volumenya, tidaklah mengherankan bila ginjal disuplai oleh banyak pembuluh darah. Walaupun ginjal hanya menyumbang 0,5 % dari seluruh berat tubuh, mereka menerima 20 25 % hasil cardiac output melalui arteri renal kanan dan kiri. Pada orang dewasa, aliran darah menuju ginjal kurang lebih 1200 mL per menit. (2)Didalam ginjal, arteri renal akan terbagi menjadi beberapa arteri segmental, yang memberikan suplai pada segmen yang berbeda pada ginjal. Setiap arteri segmental memberikan beberapa percabangan yang memasuki parenkim ginjal dan melalui kolumna renalis diantara piramid renal sebagai arteri interlobar. Pada bagian dasar piramid ginjal, arteri interlobar akan melengkung antara medulla renal dan korteks renal dan disebut sebagai arteri arkuatus. Percabangan dari arteri arkuatus akan menjadi arteri interlobuler. Arteri ini dinamakan demikan karena mereka melewati lobulus renal. Arteri interlobular memasuki koreteks renal dan memberikan percabangan yang disebut dengan arteriol aferen. (2)Setiap nefron mendapatkan satu arteriol aferen, yang kemudian menjadi sebuah jaringan kapiler yang disebut sebagai glomerulus. Kapiler glomerulus tersebut kemudian menyatu kembali dan membentuk arteriol eferen yang membawa darah keluar dari glomerulus. Kapiler glomerulus merupakan kapiler yang unik, karena mereka diposisikan diantara dua arteriole, sedangkan yang lain diantara arteriole dan venula. Karena glomerulus adalah jaringan kapiler, mereka memainkan peran penting dalam pembentukan urin , glomerulus merupakan bagian dari sistem kardiovaskuler dan sistem urinarius. (2)Arteri eferen akan bercabang menjadi kapiler peritubuler, yang mengelilingi bagian tubuler nefron di korteks renalis. Berasal dari arteri eferen, terdapat kapiler yang berbentuk melingkar yang dinamakan vasa recta, yang memberikan suplai pada bagian tubulus nefron pada medulla renalis. (2)Kapiler peritubular kemudian akan menyatu menjadi venula peritubular dan vena interlobular. Kemudian darah akan dialirkan ke vena arkuatus lalu vena interlobar yang berjalan disamping piramid ginjal. Darah akan keluar dari ginjal melalui vena renalis yang akan membawa darah ke vena cava inferior. (2)Sebagian besar saraf ginjal berasal dari ganglion celiaca dan melewati plexus renalis ke dalam ginjal bersama arteri renalis. Saraf ginjal adalah bagian dari divisi simpatik pada sistem persarafan otonom tubuh. Sebagian besar adalah saraf vasomotor yang mengatur aliran darah menuju ginjal dengan mengatur vasodilatasi dan vasokonstriksi arteriol ginjal. (2)

Gambar 1.2 Perdarahan Ren

NefronNefron adalah unit fungsional dari ginjal. Setiap nefron terdiri dari dua bagian yakni korpuskel renalis, dimana plasma darah difiltrasi dan tubulus renalis dimana cairan yang terfiltrasi berlalu. Dua komponen yang menyusun korpuskel renalis adalah glomerulus dan kapsul glomerular ( kapsul bowman ), sebuah kapsul yang terbentuk dari epitel berdinding ganda yang mengelilingi kapiler glomerulus. Plasma darah difiltrasi dalam kapsul bowman, dan kemudian cairan yang terfiltrasi tersebut akan melalui tubulus renalis, yang memiliki tiga bagian. Secara berurutan, tubulus renalis terdiri dari : 1) tubulus konvolusi proksimal; 2) loop of Henle; 3) tubulus konvolusi distal. Korpuskel renalis dan kedua tubulus konvolusi terletak didalam korteks renalis; loop of Henle memanjang kedalam medulla dan kemudian berputar arah dan kembali ke korteks renalis. (2)Tubulus konvolusi distal dari beberapa nefron akan mengalirkan urin ke dalam satu duktus kolektivus. Duktus kolektivus kemudian akan menyatu menjadi duktus papilaris yang masuk ke dalam kaliks minor. Duktus kolektivus dan duktus papilaris memanjang dari kortek renalis hingga medulla renal sampai ke pelvis renalis. (2)Dalam satu nefron, loop of Henle menghubungkan duktus konvolusi proksimal dan distal. Bagian pertama dari loop of Henle masuk hingga ke medulla renalis, yang disebut sebagai bagian descending limb dari loop of Henle. Kemudian ia akan melakukan putaran hingga kembali ke dalam korteks renalis sebagai ascending limb dari loop of Henle. Sekitar 80 85 % nefron, adalah nefron kortikal. Korpuskel renalisnya terletak pada daerah luar dari korteks renal, dan memiliki loop of Henle yang pendek yang sebagian besar terletak pada bagian korteks renalis dan hanya menembus sedikit dari medulla renalis. Loop of Henle yang pendek mendapatkan suplai darah dari kapiler peritubuler yang merupakan cabang dari arteriole eferen. 15 20 % nefron lainnya adalah nefron juxtamedullar. Korpuskel renalisnya terlektak dalam di korteks, dekat dengan medulla, dan memilik loop of Henle yang panjang yang mecapat bagian terdalam dari medullua. Sebagai tambahan, ascending limb dari loop of Henle nefron juxtamedular terdiri dari dua bagian, yakni bagian yang tipis, dan yang tebal. Lumen dari ascending limb yang tipis sama besar dengan lumen tubulus renal di daerah lain, hanya epitelnya yang lebih tipis. (2)

Gambar 1.3 Bagian NefronEpitel satu tingkat membentuk seluruh dinding dari kapsul bowman, tubulus renalis, dan duktus. Namun setiap bagian memiliki histologi yang berbeda yang menunjukan fungsi-fungsinya secara khusus : (2)1)Kapsul glomerulusKapsul bowman terdiri dari lapisan viseral dan parietal. Lapisan viseral terdiri dari epitel skuamosa simpel termodifikasi yang disebut podosit. Podosit memiliki banyak proyeksi seperti kaki yang disebut sebagai pedikel, dimana pedikel tersebut mengelilingi selapis endotel dari glomerulus dan membentuk dinding dalam kapsul bowman. Lapisan parietal dari kapsul glomerulus terdiri dari epitel skuamosa simpel dan membentuk dinding luar kapsul. Cairan yang terfiltrasi dari kapiler glomerulus memasuki rongga pada kapsul bowman. 2)Tubulus renalis dan duktus kolektivusPada duktus konvolusi proksimal, epitelnya terdiri dari epitel kubus simpel dengan mikrovilli pada permukaan apikalnya. Mirkovili ini meningkatkan luas permukaan untuk proses reabsorpsi dan sekresi. Descending limb dari loop of Henle terdiri dari epitel skuamosa eimpel. Bagian yang tebal dari ascending limb dari loop of Henle terdiri dari epitel kuboidal simpel atau kolumna pendek.Pada setiap nefron, bagian terakhir dari ascending limb loop of Henle mengalami kontak dengan arteriole afferen yang menuju ke korpuskel ginjal. Karena tubulus kolumnar pada bagian ini berdekatan, sel-sel ini dikenal sebagai makula densa. Disaping macula densa terdapat dinding arteriole aferen yang mengandung sel otot polos termodifikasi yang dikenal sebagai sel juxtaglomerular. Dengan makula densa,mereka membentuk aparatus juxtaglomerular yang berfungsi mengatur tekanan darah dalam ginjal. Duktus konvolusi distal dimulai dengan setelah melewati macula densa. Pada bagian akhir duktus konvolusi distal hingga duktus kolektivus, terdapat dua jenis sel yang berbeda. Sebagian besar adalah sel principal, yang memiliki reseptor untuk anti-diuretic hormone ( ADH ) dan aldosteron. Sebagian kecil adal sel intercalated, yang memiliki peran dalam homeostasis pH darah. Duktus kolektivus terdiri dari epitel kolumna simpel.BAB 2.II. Fisiologi GinjalUntuk memproduksi urin, nefron dan duktus kolektivus melakukan tiga proses dasar, filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus.1.Filtrasi glomerulusSebagai langkah pertama dalam produksi urin, air dan hampir seluruh isi dari plasma darah bergerak melewati dinding kapiler glomerulus ke dalam kapsul glomerulus dan kemudian ke tubulus ginjal2.Reabsorpsi tubulerSelama cairan yang terfiltrasi mengalir melalui tubulus ginjal dan ke duktus kolektivus, sel tubulus mereabsorbsi 99% dari hasil filtrasi tersebut. Air dan solute dikembalikan ke dalam darah melewati kapiler peritubulus dan vasa rekta.3.Sekresi tubulerSelama cairan mengalir melalui tubulus ginjal dan duktus kolektivus, tubulus dan duktus mensekresi berbagai materi lain, seperti sisa metabolisme, obat, dan ion yang berlebih ke dalam cairan tersebutSolut di dalam cairan yang dialirkan ke dalam pelvis ginjal tetap berada didalam urin dan diekskresikan. Kecepatan dari ekskresi solut apapun dalam urin seimbang dengan GFR, ditambah sekresi tubulus, dan dikurangi hasil reabsorbsinya. Dengan filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi, nefron membantu mempertahankan homeostasis volume darah dan komposisinya.

Gambar 1.4 Produksi Kemih

BAB 2.1.II. Filtrasi GlomerulusCairan yang masuk kedalam rongga kapsuler disebut sebagai filtrat glomerulus. Fraksi plasma darah dalam arteriol afferen ginjal yang menjadi filtrat glomerulus disebut fraksi filtrasi. Walaupun fraksi filtrasi sebesar 0.16 0.20 adalah khas, nilai tersebut bervariasi pada keadaan sakit atau sehat. Rata-rata filtrat glomerulus dalam satu hari pada pria dewasa adalah 180 liter dan pada wanita 150 liter. Lebih dari 99% filtrat glomerulus direabsorbsi kembali, sehingga hanya 1 2 L yang diekskresikan.Membran FiltrasiEndotel dari kapiler glomerulus dan podosit membentuk sebuah pembatas yang mudah bocor yang dikenal sebagai membran filtrasi. Konstruksi yang seperti setangkap roti ini memberikan kesempatan filtrasi air dan solut yang kecil, namun mencegah filtrasi dari protein plasma, sel darah, dan platelet, substan yang terfiltrasi dari darah melewati tiga pembatas, endotel glomerulus, lamina basalis dan celah filtrasi yang dibentuk oleh podosit.

Gambar 1.5 Filtrasi Glomerulus

Gambar 1.6 Laju GFRBAB 3 ACUTE KIDNEY INJURY

Penemuan yang khas pada AKI adalah azotemia yang progresif, yang umumnya juga ditemukan dengan berbagai gangguan lainnya, bergantung pada tingkat keparahan dan durasi dari disfungsi ginjal. Hal yang berpengaruh adalah gangguan metabolik ( asidosis metabolik, hiperkalemia ), gangguan keseimbangan cairan ( volume overload ) dan berbagai dampak lainnya pada hampir semua organ. (2)Penyebab dari AKI dapat dibagi menjadi penyakit yang menyebabkan penurunan aliran darah ginjal ( prerenal ), menyebabkan cedera pada jaringan parenkim ginjal ( intrinsik ), atau obstruksi dari saluran kemih ( postrenal ). Identifikasi dari sebab prerenal atau postrenal memungkinkan dokter untuk menegakan diagnosis penyebab AKI pada pasien. Secara umum kerusakan parenkim ginjal dapat dibagi menjadi kerusakan pada glomerulus, vaskularisasi dalam ginjal, atau interstitium ginjal. (2)BAB 3.I. Etiologi dan PatofisiologiBAB 3.I.i. AKI PrerenalAKI yang paling sering ditemukan adalah AKI prerenal, yang terjadi akibat hipoperfusi ginjal. AKI prerenal secara umum bersifat reversibel ketika perfusi ginjal kembali normal. Secara definisi, parenkim ginjal tidak mengalami kerusakan. Keadaan hipoperfusi yang berat atau berkepanjangan dapat menyebabkan cedera iskemik, seringkali disebut sebagai nekrosis tubular akut ( ATN ). Sehingga AKI prerenal dan ATN iskemik masuk kedalam manifestasi hipoperfusi ginjal. Seperti yang ditunjukan tabel x.x, AKI prerenal dapat menjadi komplikasi dari berbagai penyakit yang menyebabkan hipovolemia, curah jantung yang rendah, vasodilatasi sistemik, atau vasokonstriksi selektif dalam ginjal. (1)Tabel 3.1 Klasifikasi dan Penyebab utama AKIAKI Prerenal

I. Hipovolemia

A. Peningkatan kehilangan cairan ekstraseluler : Perdarahan

B. Kehilangan cairan dari sistem gastrointestinal : diare, muntah, fistula ekstrakutan

C. Kehilangan cairan dari ginjal : diuretik, diuresis osmotik, hipoadrenalinisme, diabetes insipidus nefrogenik

D. Sekuestrasi ekstravaskuler : luka bakar, pankreatitis, hipoalbuminemia berat

E. Penurunan intake : dehidrasi, perubahan status kesadaran.

II. Perubahan hemodinamika ginjal yang menyebabkan hipoperfusi

A. Cardiac output yang rendah : penyakit miokardium, katup, dan perikardium ; hipertensi pulmonal atau emboli pulmonal masif yang menyebabkan gagal jantung kanan dan kiri ; gangguan venous return ( contoh, sindrom kompartemen abdomen atau ventilasi tekanan positif )

B. Vasodilatasi sistemik : sepsis, antihipertensi, pengurangan afterload, anafilaksis

C. Vasokonstriksi ginjal : hiperkalsemia, katekolamin, inhibitor kalsineurin, amfoterisin B

D. Gangguan autoregulasi ginjal : inhibisi siklooksigenase ( NSAID ), ACE inhibitor, atau angiotensin II reseptor blocker

E. Sindrom hepatorenal

AKI Intrinsik

I. Obstruksi renovaskular ( bilateral atau unilateral )

A. Obstruksi arteri renalis : plak atherosklerosis, trombosis, embolo, aneurisme, vaskulitis

B. Obstruksi vena renalis : trombosis atau kompresi

II. Penyakit glomerulus atau pendarahannya

A. Glomerulonefritis atau vaskulitis

B. Lain lain : mikroangiopati trombotik, hipertensi maligna, gangguan kolagen pembuluh darah ( lupus eritematosus sistemik, skleroderma ), disseminated intravascular coagulation ( DIC ), preeklampsia

III. Nekrosis tubuler akut

A. Iskemia : penyebabnya sama dengan AKI prerenal, namun secara umum cedera yang dialami lebih berat atau diperpanjangB. Infeksi, dengan atau tanpa sepsisC. Toksin1. Eksogen : radiokontras, inhibitor kalsineurin, antibiotik ( aminoglikosid ), kemoterapi, anti jamur ( amfoterisin B), etilen glikol2. Endogen : rhabdomiolisis, hemolisis

IV. Nefritis interstitial

A. Alergi : antibiotik ( -laktam, sulfonamide, quinolone, rifampin ), NSAID, diuretik, dsbB. Infeksi : PyelonefritisC. Infiltrasi : limfoma, leukemia, sarkoidosisD. Inflamasi nonvaskuler : Sindrom Sjrgens, nefritis tubulointerstitia dengan uveitis

V. Obstruksi intratubuler

A. Endogen : protein myeloma, asam urat, oxalalosis sistemikB. Eksogen : acyclovir, gancyclovir, methotrexate, indinavir

AKI Postrenal ( Obstruksi )

I. Ureterik ( Bilateral atau unilateral ) : kalkuli, trombus, kanker, kompresi eksternal

II. Leher vesika urinaria : neurogenic bladder, hipertrofi prostat, kalkuli, trombus, kanker

III. Urethra : striktur atau katup kongenital

Azotemia prerenal dikarakterisasi dengan peningkatan berat jenis urin yang spesifik, rasio ureum/kreatinin lebih dari 10:1, konsentrasi natrium dalam urin < 20mEq/dL, dan FENA < 1 %. Keadaan yang secara umum dapat dikoreksi dengan memberikan cairan, optimalisasi curah jantung, atau menghentikan penggunaan obat-obatan vasodilator. (2)Hipovolemia menyebabkan penurunan rerata tekanan arteri, yang terdeteksi dengan berkurangnya regangan arteri dan baroreseptor jantung. Sebagai respon, tubuh akan melakukan respon neurohormonal yang bertujuan mengembalikan volume darah dan tekanan arteri. Hal ini juga melibatkan aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan pelepasan vasopressin arginin. Pembuluh kapiler yang non-esensial (sirkulasi muskulokutan dan splanchic ) mengalami vasokonstriksi dalam usaha mempertahankan perfusi jantung dan otak. Selain itu, ekskresi garam melalui kelenjar keringat diinhibisi, dan rasa haus terstimulasi. Retensi garam dan air juga terjadi pada ginjal. (1)Pada keadaan hipoperfusi yang ringan, perfusi glomerulus dan fraksi filtrasi dipertahankan melalui beberapa mekanisme kompensasi. Sebagai respon dari pengurangan tekanan perfusi, reseptor regang pada arteriole afferen menstimulasi vasodilatasi arteriole aferen dengan refleks miogenik lokal ( autoregulasi ). Angiotensi II meningkatkan biosintesis prostaglandin vasodilator ( contoh, prostaglandin E2 dan prostasiklin ), yang juga menyebabkan vasodilatasi arteriol aferen. Selain itu, angiotensin II menyebabkan konstriksi selektif pada arteriol eferen. Hasilnya, fraksi plasma yang melalui kapiler glomerulus meningkat, tekanan intraglomerular dipertahankan, dan GFR dipertahankan. Dengan keadaan hipoperfusi yang berat, respon kompensasi tersebut akan gagal dan GFT menurun, menyebabkan AKI. (1)Pasien dengan gagal jantung kongestif ( CHF ) atau sirosis merupakan pasien yang sulit penanganannya bila disertai azotemia. Pasien ini umumnya mengalami kelebihan garam dan cairan, namun tekanan intra arteri-nya mengalami penurunan. Pemberian diuretik memiliki potensi untuk mengurangi volume intravaskuler, berakibat pada penurunan GFR dan timbulnya azotemia prerenal. Untuk kasus seperti ini, suatu keadaan kronis stabil azotemia renal mungkin merupakan pilihan terbaik untuk berkompromi dengan keadaan kelebihan cairan, dan hipoperfusi ginjal yang berat. (2)Dilatasi autoregulasi dari arteriol aferen menyebabkan GFR dipertahankan meskipun terjadi hipotensi sistemik; namun, bila hipotensi bersifat berat atau berkepanjangan, mekanisme autoregulasi ini akan gagal, menyebabkan penurunan GFR yang cepat. Hipotensi dengan derajat yang lebih rendah dapat mencetuskan AKI prerenal pada pasien yang beresiko : pasien geriatri dan pasien dengan penyakit yang mempengaruhi integritas arteriol aferen (contoh, hipertensi nefrosklerosis, vaskulopati diabetik, dan penyakit lain yang bersifat oklusif pada sistem renovaskuler ( atherosklerosis ) ). Selain itu, obat-obatan yang mengganggu proses adaptif terhadap hipoperfusi dapat menyebabkan hipoperfusi ginjal terkompensasi menjadi AKI atau ATN prerenal. Inhibitor farmakologik dari biosintesis prostaglandin ( NSAID ) atau ACE inhibitor dan Angiotensin II receptor blocker ( ARB ) adalah penyebab utama. Walaupun NSAID tidak mengganggu GFR pada individu yang sehat, obat-obatan ini dapat mendukung terjadinya AKI prerenal pada pasien dengan keadaan hipovolemik dan gagal ginjal kronis ( dimana GFR dipertahankan, secara sebagian, melalui hiperfiltrasi yang dimediasi prostaglandin oleh nefron-nefron yang tersisa ). ACE inhibitor harus digunakan dengan pengamatan khusus pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis uniglateral pada pasien dengan satu ginjal yang fungsional. Pada keadaan ini, perfusi glomerulus dapat menjadi tergantung pada kerja angiotensin II. Angiotensin II mempertahankan GFR pada keadaan ini dengan meningkatkan tekanan areteri sistemik dan mencetuskan konstriksi selektif pada arteriol eferen. ACE inhibitor dan ARB menganggu respon tersebut dan dapat menyebabkan AKI prerenal. (1)Sindrom hepatorenal ( HRS ) adalah AKI prerenal yang unik, yang sering ditemukan mengkomplikasi sirosis hepatis dan gangguan hepar akut. Pada HRS, secara struktur ginjal masih normal, namun mengalami kegagalan akibat vasodilatasi splanchic dan shunting arterivena, yang menyebabkan vasokonstriksi ginjal yang berat. Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari ( contoh. Dengan transplantasi hati ) akan memberikan resolusi dari AKI. Terdapat dua macam HRS, tipe I dan tipe II dengan pembedanya adalah perjalanan klinisnya. Pada HRS tipe I, semakin berat penyakitnya, AKI akan tetap berlangsung meskipun sudah dilakukan langkah untuk mengoptimalkan hemodinamika sistemik dan memiliki tingkat mortalitas > 90 %. (1)BAB 3.I.ii. AKI IntrinsikPenyebab AKI intrinsik dapat dibagi secara konsep, berdasarkan kompartemen ginjal yang mengalami gangguan : 1) cedera tubuler iskemik atau nefrotoksik, 2) penyakit tubulointerstitial, 3) penyakit pada glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal, dan 4) penyakit pembuluh darah besar ginjal. Keadaan iskemia dan nefrotoksin secara klasik menyababkan cedera tubuler akut. Walaupun banyak pasien dengan AKI iskemik atau nefrotoksik tidak memiliki gambaran morfologi nekrosis seluler, penyakit ini umumnya disebut sebagai ATN. Berdasarkan penelitian terakhir, karena peran dari cedera subletal pada epitel tubulus dan sel ginjal lainnya ( endotel ) dalam patogenesis sindrom ini, istilah AKI lebih tepat dibandingkan acute renal failure. (1)BAB 3.I.ii.a. Etiologi dan Patofisiologi ATN IskemikAKI prerenal dan ATN iskemik adalah bagian dari spektrum manifestasi hipoperfusi ginjal. Pada keadaan yang ekstrim, iskemia menyebabkan nekrosis korteks ginjal bilateral dan kerusakan ginjal yang ireversibel. ATN berbeda dari AKI prerenal, karena pada AKI epitel tubulus ginjal mengalami cedera. ATN terjadi paling sering pada pasien yang menjalani operasi kardiovaskuler yang besar atau mengalami trauma yang hebat, perdarahan, sepsis, dan/atau pengurangan cairan. Pasien dengan faktor resiko AKI yang lain berada dalam resiko tinggi untuk ATN. Perbaikan umumnya memerlukan waktu sebanyak 1 -2 minggu setelah normalisasi perfusi ginjal, dikarenakan perlunya perbaikan dan regenerasi sel ginjal. (1)Perjalanan penyakit ATN iskemik secara spesifik dikarakterisasi dengan empat fase : inisiasi, ekstensi, maintenance, dan perbaikan. Fase-fase ini umumnya didahului dengan sebuah periode azotemia. Pada fase inisiasi ( berlangsung dalam hitungan jam hingga hari ), GFR menurun karena : (1) tekanan ultrafiltrasi glomerulus menurun akibat penurunan aliran darah ginjal, (2) laju filtrasi tubulus mengalami obstruksi akibat penumpukan epitel yang terlepas dan debris nekrotik, dan (3) terdapat gangguan filtrasi glomerulus akibat rusaknya epitel tubulus. Cedera iskemik paling terlihat pada segmen S3 dari duktus konvolusi proksimal dan pada ascending limb yang tebal pada bagian medulla. Segmen tubulus ini sangat sensitif terhadap iskemia akibat tingginya tingkat transport aktif dari ion dan lokasi pada daerah luar medulla, dimana tekanan parsial oskigennya rendah, walaupun dalam keadaan basal. Iskemia seluler menyebabkan menurunnya ATP, inhibisi transport aktif natrium, disrupsi sitoskeletal, hilangnya polaritas sel dan tautan antar sel sel dan sel matriks, dan pembentukan radikal bebas. Cedera ginjal dapat terbatas oleh restorasi aliran darah ginjal pada tahap ini. Bila berat, cedera sel menyebabkan apoptosis dan nekrosis. (1)Fase ekstensi mengikuti fase inisiasi dan dikarakterisasi dengan cedera iskemik yang berkepanjangan dan inflamasi. Telah diusulkan bila kerusakan endotel ( yang menyebabkan kongesti vaskuler ) juga berperan pada kedua proses ini. Pada fase maintenance ( 1 2 minggu ), GFR mengalami stabilisasi pada poin yang dasar ( 5 10 mL/menit ), output urin pada fase ini paling rendah, dan komplikasi uremia dapat terjadi. Tidak diketahui secara jelas mengapa pada fase ini GFR tetap rendah, meskipun telah dilakukan koreksi hemodinamika sistem. Mekanisme yang diusulkan, adalah vasokonstriksi ginjal yang persisten dan iskemia medulla yang dipicu oleh pelepasan yang tidak teregulasi dari mediator vasoaktif oleh endotel yang cedera, kongesti pembuluh darah di medullla, dan cedera reperfusi akibat reactive oxygen species ( ROS ) dan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh leukosit atau parenkim sel. Selain itu, cedera sel epitel dapat menyebabkan vasokontriksi intrarenal yang persisten melalui feedback tubuloglomerular. Epitel yang terspesialisasi pada daerah makula densa pada daerah tubulus distal mendeteksi peningkatan pengeluaran garam yang terjadi akibat gangguan reabsorpsi oleh tubulus proksimal. Makula densa kemudian menstimulasi konstriksi dari arteriole aferen yang dekat dengan mekanisme yang tidak terlalu dimengerti dan menyebabkan gangguan perfusi glomerulus yang lebih lanjut. (1)Gambar 3.1 Patofisiologi ATN iskemik

Fase perbaikan dikarakterisasi dengan reparasi epitel tubulus dan regenerasi, serta perbaikan dari GFR hingga tingkat yang premorbid. Fase perbaikan dapat dikomplikasi dengan peningkatan fase diuresis akibat perbaikan yang tertunda dari fungsi epitel relatif terhadap filtrasi glomerulus. (1)BAB 3.I.ii.b. Etiologi dan Patofisiologi AKI NefrotoksikATN nefrotoksik dapat merupakan komplikasi dari pemberian agen farmakologik yang bervariasi. Dengan kebanyakan nefrotoksin, insidensi AKI meningkat pada apsien geriatri dan pada pasien dengan riwayat chronic kidney disease ( CKD ), hipovolemia sejati atau efektif, atau paparan berulang pada toksin yang lain. (1)Agen radiokontras, siklosporin, dan tacrolimus ( FK506) menyebabkan cedera ginjal melalui vasokonstriksi intrarenal. Konsekuensinya, ATN yang diasosiasikan dengan obat-obatan ini dikarakterisasi dengan penurunan akut aliran darah ke ginjal dan GFR, sedimen urin yang relatif normal, dan penurunan ekskresi natrium. Pada kasus yang berat, dapat menunjukan bukti klinis atau patologis dari nekrosis sel tubulus. Contrast nephropathy secara klasik bermanifestasi sebagai peningkatan blood urea nitrogen dan serum kreatinin yang akut ( 24 48 jam ) namun reversibel ( 3 5 hari, resolusi dalam 1 minggu ). Contrast nephropathy paling umum ditemukan pada individu dengan CKD, diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, hipovolemia, atau myeloma multipel. Tipe dan dosis dari agen radiokontras juga mempengaruhi tingkat cederanya. (1)Obat obatan antibiotik dan antikanker umumnya menyebabkan ATN melalui toksisitas secara langusng pada epitel tubulus dan/atau obstruksi intratubular. AKI merupakan komplikasi dari 10 30 % penggunaan antibiotik aminoglikosida. Aminoglikosida tertimbun dalam sel epitel tubulus ginjal, dimana antibiotik tersebut mencetuskan pembentukan ROS dan cedera sel; sehingga, Aki umumnya terjadi setelah beberapa hari penggunaan antibiotik aminoglikosida. Cedera dapat terjadi baik pada tubulus proksimal, maupun tubulus distal; defek pada tubulus distal dapat menyebabkan penurunan kemampuan konsentrasi urin. Amfoterisin B menyebabkan AKI yang bergantung pada dosis melalui vasokonstriksi ginjal dan toksisitas langusng pada eptiel tubulus proksimal. Formulasi amfoterisin B yang terbaru ( liposomal ) diasosiasikan dengan nefrotoksisitas yang lebih rendah. Acyclovir dapat mempresipitasi pada tubulus ginjal dan menyebabkan AKI. Foscamet dan pentamidine merupakan antimikroba yang jarang digunakan, juga sering menyebabkan AKI. Cisplatin dan carboplatin, seperti aminoglikosida, diakumulasi oleh tubulus proskimal dan menyebabkan AKI setalah 7 10 hari penggunaan, secara khas diasosiasikan dengan pembuangan kalium dan magnesium. Pemberian ifosphamide dapat menyebabkan sistitis perdarahan, yang dimanifestasikan dengan hematuria, juga AKI dan CKD. Asidosis tubuler ginjal tipe II ( sindrom fanconi ) umumnya menyertai AKI yang disebabkan ifosphamide. (1)Nefrotoksin endogen berupa kalsium, mioglobin, hemoglobin, urat, oksalat, dan myeloma rantai pendek. Hiperkalsemia dapat mengganggu GFR dengan menyebabkan vasokonstriksi intrarenal dan pengurangan cairan dari kehilangan cairan obligat. Baik rhabdomyolisis dan hemolisis dapat mencetuskan AKI. Penyebab umum rhabdomyolisis adalah kecelakaan dengan cedera remuk, iskemia otot akut, kejang berkepanjangan, olah raga yang berlebihan, heat stroke atau hipertermia malignant, dan penyakit infeksi atau metabolik ( contoh, hipofosfatemia, hipotiroid berat ). AKI akibat hemolisis relatif jarang dan umumnya terlihat setelah reaksi tranfusi darah. Sudah diketahui, bila hemoglobin bebas dan myoglobin mendukung terjadinya stress oksidatif intrarenal, yang menyebabkan cedera pada epitel tubulus ginjal dan menyebabkan pembentukan silinder intratubuler. Selain itu, hemoglobin bebas dan myoglobin adalah inhibitor poten dari bioaktivitas nitric oxide ( NO ) dan dapat menyebabkan vasokonstriksi dan iskemia intrarenal. Hipovolemia atau asidosis dapat mendukung pembentukan silinder intratubuler. Silinder intratubuler yang mengandung imunoglobulin yang terfiltrasi dan beberaoa protein lain dapat menyebabkan AKI pada pasien dengan myeloma multipel. Rantai pendek juga secara langsung bersifat toksik terhadap epitel tubulus. Obstruksi intratubuler adalah penyebab AKI yang penting pad pasien dengan hiperurikosuri yang berat atau hiperoxalouri. Nefropati akut akibat asam urat dapat terjadi akibat terapi dari gangguan limfoproliferatif atau myeloproiferatif ( contoh, limfoma burkitts, leukemia myelogenik akut ), terutama setelah pemberian kemoterapi yang menyebabkan peningkatan lisis sel ( Tumor lysis syndrome ). (1)BAB 2.I.ii.c. Patologi dari ATN Nefrotoksik dan IskemikGambaran patologis yang khas dari ATN iskemik adalah nekrosis yang berupa bercak-bercak atau fokal dari epitel tubulus, dengan lepasnya sel dari membran dasar, serta oklusi dari lumen tubulus oleh silinder yang terbentuk dari sel epitel yang utuh atau mengalami degenerasi, protein Tamm-Horsfall, dan pigmen. Akumulasi leukosit umumnya terlihat pada daerah vasa rekta, namun morfologi dari glomerulus dan penderahan ginjal secara karakteristik adalah normal. Nekrosis paling berat terlihat pada segmen S3 dari duktus proksimal, namun juga dapat mempengaruhi ascending limb loop of Henle. (1)Dengan paparan terhadap nefrotoksin, perubahan morfologi cenderung dominan terdapat pada tubulus proksimal, baik yang terkonvolusi maupun yang lurus. Nekrosis seluler tidak sebanyak pada ATN iskemik. (1)BAB 3.I.ii.d. Penyebab Lain dari AKI IntrinsikAgen farmakologik apapun dapat mencetuskan nefritis interstitial alergik, yang dikarakterisasi dengan infiltrasi dari tubulointerstitium oleh granulosit, makrofag, dan/atau limfosit, dan edema interstitial. Penyebab yang paling sering adalah antibiotik ( contoh, penicillin, sefalosporin, quinolone, sulfonamid, rifampin ) dan NSAID. (1)Pasien dengan atherosclerosis lanjut dapat mencetuskan AKI setelah manipulasi aorta atau arteri ginjal pada waktu operasi atau angiografi, setelah trauma, atau secara spontan ( AKI atheroemboli ). Kristal kolesterol menjadi emboli pada pendarahan ginjal, bersarang pada arteri berukuran keci;l dan sedang, dan mencetuskan reaksi fibrosis dan giant cell pada dinding pembuluh darah dengan penyempitan atau obstruksi dari lumen pembuluh darah. AKI atheroemboli sering dikaitkan dengan hipokomplementemia dan eosinofiluria, dan umumnya ireversibel. Glomerulonefritides akur adalah penyakit yang dimediasikan oleh sisstem imun yang dikarakterisasi dengan proliferatif atau peradangan glomerulus berbentuk bulan sabit. (1)BAB 3.I.iii. AKI PostrenalObstruksi saluran kencing hanya < 5 % yang menyebabkan AKI. Karena satu ginjal masih memiliki cukup kemampuan untuk mengatasi peningkatan hasil metabolisme nitrogen, AKI dari obstruksi memerlukan obstruksi pengeluaran urin antara meatus urethra eksterna dan leher vesika urinaria, obstruksi ureter bilateral, atau obstruksi unilateral pada pasien yang hanya memiliki satu ginjal yang berfungsi. Obstruksi pada leher VU adalah penyebab AKI postrenal tersering dan umumnya disebabkan oleh penyakit prostat, neurogenic bladder, atau terapi dengan obat-obatan antikolinergik. Penyebab yang lain dapat berupa obstruksi saluran kencing bagian bawah yang dapat disebabkan trombus darah, kalkuli, dan urethritis dengan spasme. Obstruksi ureterik dapat terjadi akibat obstruksi intraluminal ( contoh, kalkuli, trombus, papilla renal yang terlepas ), infiltrasi pada dinding ureter ( keganasan ), atau kompresi ekternal ( contoh, fibrosis retroperitoneal, neoplasia atau abses, hasil jahitan operasi ). Pada stadium awal obstruksi ( jam hingga hari ), filtrasi glomerulus akan terus meningkatkan tekanan intraluminal diatas dari tempat obstruksi. Hasilnya, terdapat distensi yang perlahan-lahan terjadi pada urter proksimal, pelvis renal, dan kaliks, lalu penurunan GFR. (1)BAB 3.II. Manifestasi Klinis dan Diagnosis BandingLangkah pertama dalam mengevaluasi pasien dengan gangguan ginjal, adalah dengan menentukan sifat gangguannya akut atau kronis. Bila hasil evaluasi dan pemeriksaan laboratorium menunjukan peningkatan BUN dan kreatinin terjadi baru-baru ini, hal ini mengarahkan pada proses akut. Namun pemeriksaan sebelumnya tidak selalu ada. Penemuan yang mengarahkan pada diagnosa CKD adalah anemia, osteodistrofi ginjal, dan ginjal yang berukuran kecil dan memiliki jaringan parut. Namun anemia dapat menjadi penyebab AKI, dan ukuran ginjal dapat normal atau meningkat pada beberapa penyakit ginjal kronis ( contoh, nefropati diabetik, amyloidosis, polycystic kidney disease, nefropati akibat HIV ). Ketika diagnosis dari AKI telah ditegakan, etiologi dari AKI harus segera ditentukan. Bergantung pada penyebabnya, terapi spesifik perlu diberikan. Bila etiologinya diduga nefrotoksin eksogen ( seringkali pengobatan ), nefrotoksin tersebut harus dieliminasi atau dihentikan. Terakhir, pencegahan dan penanganan komplikasi harus dilakukan. (1)

Tabel 3.2 Manifestasi Klinis dari AKIKardiovaskulerMetabolik

Edema ParuHiponatremia

AritmiaHiperkalemia

HipertensiAsidosis

PerikarditisHipokalsemia

Efusi perikardialHiperfosfatemia

Infark miokardHipermagnesemia

Emboli paruHiperurisemia

NeurologisGastrointestinal

AsteriksisMual

Iritabilitas neuromuskulerMuntah

Perubahan status kesadaranGastritis

SomnolenUlkus gastroduodenal

KomaPerdarahan gastrointestinal

KejangPankreatitis

InfeksiusMalnutrisi

PneumoniaHematologik

SepticemiaAnemia

Infeksi saluran kencingHemorrhagic diathesis

Infeksi luka

BAB 3.II.i. Penilaian KlinisGejala dari AKI prerenal berupa rasa haus dan rasa pusing ortostatik. Gejala fisik dari hipotensi ortostatik, takikardi, penurunan tekanan JVP, penurunan turgor kulitm dan membran yang kering mendukung diagnosa AKI prerenal. Pemeriksaan klinis secara seksama dapat menunjukan stigmata dari gangguan hati kronis dan hipertensi portal. Gagal jantung lanjut, sepsis, atau penyebab dari penurunan efektivitas volume arteri. Laporan kasus harus dievaluasi ulang untuk dokumentasi dari penurunan output urin yang progresif dan berat badan dan penggunaan terapi diuretik, NSAID, ACE inhibitor, atau ARB yang terkini. (1)Hipovolemia, syok septik, dan operasi yang besar adalah faktor resiko yang penting untuk ATN iskemik. Resiko ATN iskemik meningkat bila AKI tetap terjadi meskipun dilakukan normalisasi sistem hemodinamika. Diagnosis dari ATN nefrotoksik memerlukan evaluasi yang teliti dari data-data klinis dan riwayat yang dianggap sebagai bukti paparan terhadap pengobatan yang nefrotoksik, agen radiokontras, atau toksin endogen. (1)Walaupun ATN nefrotoksik dan iskemik merupakan > 90 % AKI intrinsik, penyakit parenkim ginjal lainnya harus diperhitungkan. Demam, arthralgia, dan bercak kemerahan yang gatal setelah pemberian obat yang baru, mengarahkan kepada diagnosa nefritis interstitial alergik, walaupun manifestasi sistemik dari hipersensitivitas umumnya tidak ada. Nyeri pada pinggang dapat menjadi gejala yang dominan akibat oklusi dari arteri atau vena ginjal dan dengan berbagai penyakit parenkim ginjal lainnya yang meregangkan kapsul ginjal ( contoh, glomerulonefritis berat atau pyelonefritis ). Nodul subkutan, livedo retikularis, plak arteriol berwarna jingga terang pada retina, dan iskemia jari ( purple toes ), meskipun denyut nadi pedis teraba, mengarahkan diagnosa atheroembolisasi. AKI dengan oligouri, edema, dan hipertensi, dengan urin sedimen yang aktif ( sindrom nefritik ), mengarahkan pada diagnosa glomerulonefritis akut atau vaskulitis. Hipertensi maligna dapat menyebabkan AKI, seringkali dikaitkan dengan cedera hipertensi pada organ lain ( contoh, papiledema, disfungsi neurologis, hipertrofi ventrikel kiri ) dan dapat meniru glomerulonefritis pada manifestasi klinis lainnya. (1)Gambar 3.2 Evaluasi Azotemia

Tabel 3.3 Epidemiologi, Manifestasi Klinis, dan Studi Diagnostik untuk Penyebab Umum AKIEtiologiEpidemiologiManifestasi KlinisStudi SerumStudi UrinStudi Lain

AKI PrerenalPenyebab tersering dari AKI komunitas; riwayat kurangnya intake cairan, pengobatan dengan NSAID/ACE inhibitor/ARB, gagal jantung yang memburuk

Menurunnya volume darah ( hipotensi absolut / postural, JVP yang rendah, membran mukus yang kering atau penurunan volume efektif sirkulasi ( contoh, gagal jantung, gangguan hepar ) BUN tinggi/kreatinin ( > 20 x ) mengarahkan tapi tidak diagnostik pastiSilinder hyalin FENA < 1%UNA < 10 mmol/LSG > 1.018

AKI Intrinsik

Gangguan Pembuluh darah besar

Trombosis arteri renalLebih sering pada pasien dengan fibrilasi atrium atau trombosis arteriNyeri pinggang atau perutLDH meningkatProteinuria ringan, bisa didapatkan hematuriaAngiogram ginjal atau MR angiogram bersifat diagnostik pasti

Penyakit atheroembolikGangguan pembuluh darah; secara khas terjadi dalam hitungan hari-minggu setelah manipulasi aorta atau pembuluh darah besar lainnya, sering ditemukan pada penggunaan antikoagulanPlak retina, purpura yang dapat dipalpasi, livedo reticularisEosinofilia, hipokomplementemiaEosinofiluriaBiopsi kulit atau ginjal

Trombosis vena ginjalRiwayat sindrom nefrotik atau emboli paruNyeri pinggangProteinuria ringan, bisa didapatkan hematuriaVenogram ginjal, MR venogram bersifat diagnostik pasti

Gangguan Pembuluh darah kecil dan glomerulus

Glomerulonefritis / vaskulitisDiasosiasikan dengan infeksi terakhir ( postinfeksi atau endokarditis ) , SLE, penyakti hati ( hepatitis B atau C ) anti-GBM disease; umumnya pria pada usia 20 40 tahun ANCA disease; dua puncak : 20 30 dan 50 60

Murmur jantung yang baru ( postinfeksi ) ulserasi/biduran pada kulit, arthralgia ( lupus ), sinusitis, perdarahan paru-paruANA, ANCA, antibodi anti-GBM, serologi hepatitis, cryoglobulin, kultur darah, ASO, komplemenHematuri dengan silinder eritrosit / sel darah merah dismorfik, silinder granuler, proteinuriaBiopsi ginjal

Hemolitik-Uremik syndrome / trombotik trombositopenikInfeksi GI terkini atau penggunaan inhibitor kalsineurin ( FK506 / siklosporin )Demam, gangguan sarafSchistosit pada apusan darah tepi, LDH meningkat, anemia, trombositopeniHematuria, proteinuria ringan, silinder eritrositBiopsi ginjal

Hipertensi malignaHipertensi yang berat / tidak terkontrolBukti adanya target organ : nyeri kepala, papiledema, gangguan jantung dengan LVH dari ekokardiografi/EKGUmumnya membaik dengan kontrol tekanan darahHematuri dengan silinder eritrosit, proteinuri

Acute Tubular Necrosis

IskemiaRiwayat perdarahan atau hipotensi beratSilinder epitel tubulus atau granular berwarna kecoklatan. FENA > 1% UNA > 20 mmol/LSG < 1.015

Toksin EksogenRiwayat paparan pada antibiotik nefrotoksik atau kemoterapi, sering diasosiasikan dengan sepsis atau pengurangan volume cairanSilinder epitel tubulus atau granular berwarna kecoklatan. FENA > 1% UNA > 20 mmol/LSG < 1.015

Riwayat terpapar radiokontras, diasosiasikan dengan pengurangan volume cairan, diabetes, atau CKDSilinder epitel tubulus atau granular berwarna kecoklatan, urinalisis bisa normal. FENA > 1% UNA > 20 mmol/LSG < 1.015

Toksin endogen

Rhabdomiolisis

Riwayat kejang, bukti terdapatnya trauma atau imobilisasi lama

Myoglobin meningkat, creatin kinaseUI / A positif untuk heme, tapi tanpa hematuri

Hemolisis; riwayat tranfusi darahDemam, reaksi tranfusiPlasma berwarna pink, LDH meningkatUrin berwarna pink, heme-positif tanpa hematuriPemeriksaan reaksi tranfusi lengkap

Lisis tumor ; riwayat kemoterapiHiperurisemia, LDH meningkatKristal urat

Myeloma multipelIndividu > 60 tahun, gejala konstitusional ( lelah, malaise )Anemia, monclonal yang bersirkulasiProteinuri dipstik negatif, monoclonal spike pada elektroforesisBiopsi sumsum tulang atau ginjal

Konsumsi ethylene glycolRiwayat penyalahgunaan alkohol, gangguan status kesadaranAsidosis dengan osmolal gap, toksikologi positifKristal oksalat

Penyakit tubulointerstitium

Nefritis interstitial alergikRiwayat pengobatan terbaruDemam, rash, arthralgiaEosinofiliaSilinder leukosit, eosinofiluriaBiopsi ginjal

Pyelonefritis akut bilateralDemam, nyeri pinggangKultur darah positifLekosit, proteinuri, kultur urin positif

AKI postrenalRiwayat batu ginjal atau penyakit prostatVU teraba, nyeri pinggang atau perutUmumnya normal, dapat ditemukan hematuri pada kasus kalkuliPencitraan untuk menilai obstruksi : CT scan atau USG

Catatan : ACE, angiotensin-converting enzyme; ANA, antinuclear antibody; ANCA, antineutrophilcytoplasmic antibody; ARB, angiotensin II receptor blockers; AKI, acute kidney injury; ASO, antistreptolisin O; BUN, blood urea nitrogen; CKD, chronic kidney disease; CR, kreatinin; CT, computed tomography; ECG, electrocardiogram; FENa, fractionalexcretion of sodium; GBM, glomerulal basement membrane; GI, gastrointestinal; LDH, laktat dehidrogenase; LVH, left ventricular hipertrofi; MR, magnetic resonance; NSAID, nonsteroidal anti-inflammatory drugs; SG, specific gravity; U/A, urinalisis; Una, konsentrasi sodium urin.

AKI postrenal dapat tampil dengan nyeri suprapubik dan nyeri pinggan karena distensi dari VU dan sistem kolektif ginjal dan kapsul. Nyeri pinggang kolik yang menjalar hingga ke inguinal mengarahkan ke obstruksi ureter akut. Penyakit prostat memungkinkan bila terdapat riwayat nocturia, sering BAK dan kesulitan saat BAK dan pembesaran prostat pada pemeriksaan rektum; Neurogenic bladder perlu dicurigai pada pasien yang mendapat obat-obatan antikolinergik atau ditemukan disfungsi saraf otonom. Diagonsis definitif untuk AKI postrenal adalah dengan penggunaan pencitraan radiologi dan perbaikan secara pesat setelah obstruksi diatasi. (1)\BAB 3.II.ii. UrinalisisAnuria mengarahkan diagnosis pada obstruksi saluran kemih total, namun dapat merupakan komplikasi dari kasus prerenal atau intrinsik AKI yang berat. Fluktuasi pada produksi urin meningkatkan kemungkinan obstruksi yang intermiten, dimana pasien dengan obstruksi parsial dapat ditemukan dengan poliuri karena gangguan mekanisme konsentrasi urin. (1)Pada AKI prerenal, pemeriksaan sedimen urin dapat menunjukan karakteristiknya, dimana tidak terdapat sel dan mengandung silinder hialin yang transparan ( sedimen urin yang bland , benign , inaktif ). Silinder hilain dibentuk pada urin yang terkonsentrasi dari komponen urin yang normal, terutama protein Tamm-Horsfall, yang disekresi oleh sel epitel loop of Henle. AKI postrenal juga dapat menunjukan dengan sedimen urin inaktif, walaupun hematuri dan piuria umum ditemukan pada pasien dengan obstruksi intraluminal dan gangguan prostat. Silinder granuler berpigmen coklat lumpur dan silinder yang mengandung sel epitel tubulus merupakan karakteristik ATN dan mengarahkann pada diagnosis iskemia atau nefrotoksik. Silinder ini umumnya ditemukan dengan proteinuria ringan ( < 1 g/d ), yang menunjukan gangguan reabsorpsi protein oleh tubulus proksimal yang cedera. Silinder dapat tidak ditemukan pada 20 30 % pasien dengan ATN dan tidak diperlukan untuk diagnosis. Secara umum, silinder eritrosit mengindikasikan cedera glomerulus atau, tidak umum, nefritis tubulointerstitial akut. Silinder leukosit dan silinder granulasi tidak berpigmen mengarahkan pada diagnosa nefritis interstitial, dimana silinder granulasi yang lebar, merupakan karakteristik dari CKD dan mungkin menunjukan fibrosis interstitial dan dilatasi dari tubulus. Eosinofiluria ( > 5 % leukosit urin ) adalah penemuan yang umum ( ~ 90 % ) pada nefritis interstitial alergik akibat antibiotik dan dapat diperiksa dengan pewarnaan Hansels; namun, limfosit dapat mendominasi pada nefritis interstitial alergik yang disebabkan oleh NSAID dan beberapa obat lain ( contoh, ampicillin, rifampicin, interferon ). Kadang-kadang kristal asam urat umum ditemukan pada urin konsentrat dari AKI prerenal, namun bila ditemukan dalam jumlah yang banyak mengarhakan diagnosa pada nefropati urat. Kristal oksalat dan hippurat meningkatkan kemungkinan konsumsi ethylene glycol dan toksisitas. (1)Proteinuri > 1 g/d mengarahkan diagnosa ke cedera pada pembatas ultrafiltrasi glomerulus (glomerular proteinuria ) atau ekskresi rantai pendek myeloma. Rantai pendek myeloma tidak dapat diperiksa dengan analisis dipstik yang konvensional, dan diperlukan pemeriksaan yang lain. Hemoglobinuri dan myoglobinuri perlu dicurigai bila urin berespon pada pemeriksaan heme dipstik tapi hanya mengandung eritrosit dalam jumlah yang sedikit. Bilirubinuri dapat memberikan pengarahan pada diagnosis HRS. (1)BAB 3.II.iii. Indeks Gagal GinjalAnalisis urin dan biokimiawi darah berguna untuk membedakan AKI prerenal dengan AKI intrinsik akibat iskemia atau nefrotoksik. Fraksi ekskresi natrium ( FENa ) paling berguna dalam menentukan hal tersebut. FENA menghubungkan filtrasi natrium dengan filtrasi kreatinin. Natrium direabsorpsi dari hasil filtrasi glomerulus pada pasien dengan AKI prerenal, dalam usaha mempertahankan volume intravaskuler. FENa pada pasien dengan ATN iskemik cenderung tinggi, namun rendah pada pasien dengan AKI akibat sepsis, pigmen, dan beberapa bentuk lain dari AKI nefrotoksik ( contoh, akibat kontras ). Secara kontras, kreatinin tidak direabsorbsi pada kedua keadaan tersebut. Sebagai konsekuensinya, pasiend dengan AKI prerenal memiliki FENA < 1 % ( seringkali < 0,1 % ). Pada pasien dengan alkalosis metabolik, dimana dapat ditemukan kehilangan natrium obligat untuk menjaga kenetralan elektron, fraksi ekskresi chloride ( FECL ) lebih sensitif dibandingkan FENA dalam mendeteksi azotemia prerenal. Konsentrasi natrium urin merupakan indeks yang kurang sensitif untuk membedakan AKI prerenal dari AKI akibat iskemia atau nefrotoksin karena nilainya seringkali serupa pada kedua kelompok tersebut. Secara serupa, indeks kemampuan konsentrasi urin seperti urine specific gravity, osmolalitas urin, rasio urea urin-plasma, dan rasio urea darah kreatinin hanya memiliki nilai kecil dalam diagnosis banding. (1)

BAB 3.II.iv. Penemuan LaboratoriumPengukuran serum kreatinin serial dapat memberikan gambaran yang bermakan dalam menentukan penyebab AKI. AKI prerenal diidentifikasi dengan fluktuasi serum kreatinin yang berjalan seiring dengan perubahan status hemodinamika. Kreatinin meningkat secara cepat ( 24 48 jam ) pada pasien dengan iskemia ginjal, atheroembolisasi, dan paparan terhadap radiokontras. Puncak serum kreatinin terlihat setelah 3 5 hari pada nefropati akibat kontras dan kembali pada nilai normal setelah 5 7 hari. Secara kontras, serum kreatinin mencapai puncaknya ( 7 10 hari ) pada penyakit ATN dan atheroemboli. Peningkatan awal serum kreatinin mengalami penundaan hingga minggu kedua terapi pada toksin epitel tubular ( contoh, aminoglikosida, cisplatin ) dan diduga menunjukan kebutuhan untuk akmulasi agen tersebut didalam epitel tubulus untuk menyebabkan cedera. (1)Hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan elevasi serum asam urat dan kreatin kinase ( isoenzim MM ) pada satu pemeriksaan mengarahkan pada diagnosa rhabdomyolisis. Hiperurisemia [ > 890 mol/L ( > 15 mg/dL )] dengan hiperkalemia, hiperfosfatemia, dan peningkatan enzim intraseluler dalam sirkulasi darah ( LDH ) dapat mengarahkan diagnosa ke nefropati urat dan tumor lysis syndrome akibat kemoterapi pada pasien dengan kanker. Anion dan osmolal gap yang lebar mengindikasikan adanya anion atau osmola yang tidak umum di dalam sirkulasi darah ( konsumsi ethylene glycol atau methanol ). Anemia berat tanpa tanda-tanda perdarahan meningkatkan kemungkinan diagnosis hemolisis, myeloma multipel, atau mikroangiopati trombotik. Eosinofilia sistemik mengarahkan pada diagnosa nefritis interstitial alergik, namun dapat merupakan manifestasi dari penyakit atheroemboli dan poliarteritis nodosa. (1)BAB 3.II.v. Penemuan RadiologisPencitraan traktus urinarius dengan USG berguna untuk menyingkirkan diagnosa AKI postrenal. CT scan dan MRI adalah teknik pencitraan alternatif. Dimana dilatasi sistem pelvicalyceal umumnya ditemukan dengan obstruksi traktus urinarius ( sensitivitas 98 % ), dilatasi dapat segera menghilang setelah obstruksi atau pada pasien dengan penyempitan ureter ( contoh, fibrosis retroperitoneal, keganasan ). Pyelografi retrograd atau anterograd merupakan pencitraan yang lebih definitif pada kasus yang kompleks dan memberikan lokalisasi letak obstruksi yang tepat. Foto BNO abdomen atau CT scan merupakan pencitraan yang berharga pada proses skrining pasien dengan kecurigaan nefrolithiasis. Magnetic resonance angiography ( MRA ) sering digunakan untuk menilai patensi arteri dan vena ginjal pada pasien dengan kecurigaan obstruksi vaskular. Metode alternatif lain adalah dengan doppler ultrasound dan angiografi dengan CT scan. Angiografi dengan kateter diindikasikan untuk diagnosis definitif dan terapi. (1)BAB 3.I.vi. Biopsi GinjalBiopsi ginjal dilakukan pada pasien yang sudah dieksklusi kemungkinan diagnosa AKI prerenal dan postrenal, dan penyebab dari AKI intrinsik masih belum jelas. Biopsi ginjal sangat berguna ketika penilaian klinis dan laboratorium mengarahkan diagnosis selain dari cedera iskemik atau nefrotoksik yang dapat berespon baik pada terapi yang spesifik. Contohnya berupa glomerulonefritis, vaskulitis, dan nefritis interstitial alergik. (1)BAB 3.I.vii. Klasifikasi AKIKlasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE membantu dalam menentukan derajat keparahan penyakit yang mendasari AKI. Saat ini kriteria RIFLE digunakan secara luas sejak tahun 2004 ketika dipublikasikan oleh konsensus Acute Dialysis Quality Initiative. Kategori yang digunakan secara berurutan adalah Risk, Injury, Failure, Loss, dan End-stage renal disease. Pada tahun 2008 dilakukan sebuah penelitian untuk menilai tingkat keparahan dari setiap kategori RIFLE, dan didapatkan tingkat mortalitasnya meningkat sejalan dengan tingkat RIFLE ( resiko relatif untuk R : 2,4; untuk I : 4,15; dan untuk F 6,37 bila dibandingkan dengan pasien non-AKI ). (3)Tabel 3.4 Klasifikasi Dengan RIFLEKategoriKriteria KreatininKriteria Output Urin

RisksCR > 1,5 x dari sCR dasar ATAU GFR menurun > 25 % dari nilai dasar< 0,5 mL/kg/jam selama 6 jam

InjurysCR > 2 x dari sCR dasar ATAU GFR menurun > 50 % dari nilai dasar< 0,5 mL/kg/jam selama 12 jam

FailuresCR > 3 x dari sCR dasar ATAU GFR menurun > 75 % dari nilai dasar ATAU sCR 4mg/dL dengan peningkatan akut sekurangnya 0,5 mg/dLAnuria selama 12 jam

LossAKI persisten ; hilangnya fungsi ginjal > 4 minggu

End-Stage Renal DiseaseHilangnya fungsi ginjal > 3 bulan

BAB 3.III. KomplikasiAKI mengganggu ekskresi natrium, kalium, dan air, juga mengganggu homeostasis kation divalen dan mekanisme pengasaman urin. Akibatnya, AKI sering dikomplikasi dengan volume overload, hiponatremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, hipermagnesemia, dan asidosis metabolik. Selain itu pasien juga tidak dapat mengekskresi hasil metabolisme yang bersifat nitrogen, dan rentan untuk mengalami sindrom uremik. Kecepatan terjadinya dan beratnya komplikasi ini menunjukan tingkat keparahan gangguan ginjal dan keadaan katabolik pasien. (1)Ekspansi dari volume cairan ekstraseluler tidak dapat dihindari akibat gangguan ekskresi garam dan air pada pasien yang oligouri atau anuri. Sedangkan pasien dengan derajat yang lebih ringan mengalami peningkatan berat badan, rhonki paru bibasilar, peningkatan JVP, dan edema yang dependen, ekspansi volume cairan dapat menyebabkan edema paru. Pemberian air secara berlebihan, baik melalui oral atau intravena, dapat menyebabkan hipoosmolalitas dan hiponatremia, yang bila berat, dapat menyebabkan gangguan saraf, termasuk kejang. (1)Hiperkalemia adalah komplikasi AKI yang sering ditemukan. Keadaan asidosis metabolik juga dapat mencetuskan hiperkalemia dengan mendukung pengeluaran kalium dari sel. Hiperkalemia dapat sangat berat, bahkan pada saat baru didiagnosa, pada pasien dengan rhabdomiolisis, hemolisis, dan tumor lysis syndrome. Hiperkalemia ringan ( < 6 mmol/L ) umumnya asimtomatik. Pada kadar yang lebih tinggi, dapat mencetuskan terjadinya gangguan elektrokardiografi dan/atau aritmia. (1)AKI umumnya dikomplikasi dengan asidosis metabolik, dengan peningkatan anion gap. Asidosis dapat sangat berat ketika pembentukan ion hidrogen secara endogen meningkat oleh mekanisme lain ( contoh, ketoasidosis diabetik, asidosis laktat, gangguan hepar, atau sepsis ). (1)Hiperfosfatemia juga merupakan komplikasi dari AKI. Hiperfosfatemia berat dapat timbul pada pasien dengan tingkat katabolisme tinggi atau setelah terjadi rhabdomyolisis, hemolisis, atau iskemia jaringan. Disposisi metastatik kalsium fosfat dapat menyebabkan hipokalsemia, terutama dengan peningkatan kadar kalsium dan fosfat. Faktor lain yang mendukung terjadinya hipokalsemia adalah resistensi jaringan terhadap aksi hormon paratiroid dan penurunan kadar 1,25-dihydroxyvitamin D. Hipokalsemia umumnya bersifat asimtomatik namun dapat menyebabkan parestesi perioral, kram otot, kejang, perubahan status kesadaran, pemanjangan interval QT dan perubahan gelombang T yang non-spesifik. (1)Anemia muncul secara cepat pada AKI dan umumnya multifaktorial. Beberapa faktor yang mendukung adalah gangguan eritropoiesis, hemolisis, perdarahan, hemodilusi, dan pengurangan usia eritrosit. Bleeding time yang memanjang merupakan hal yang umum ditemukan. Beberapa faktor penyebab bleeding diathesis adalah trombositopenia ringan, disfungsi platelet, dan/atau abnormalitas faktor koagulasi ( contoh, gangguan faktor VIII ). Infeksi adalah hal yang umum ditemukan dan merupakan komplikasi AKI yang serius. Tidak jelas apakah pasien dengan AKI memiliki defek yang signifikan dalam respon imunitasnya, atau karena infeksi lebih mudah melakukan penetrasi pada dinding mukokutan ( contoh, IV line, ventilasi mekanik, kateter ). Komplikasi kardiopulmonal AKI berupa aritmia, perikarditis, dan efusi perikardium, dan edema paru. (1)Sebuah fase diuresis yang tinggi dapat terjadi pada fase perbaikan AKI, yang dapat menyebabkan penurunan jumlah cairan intravaskuler. Hipernatremia dapat menjadi komplikasi pada fase perbaikan bila kehilangan cairan dengan urin yang hipotonik tidak mendapatkan terapi cairan saline hipertonik. Hipokalemia, hipomagnesemia, hipofosfatemia, dan hipokalsemia adalah komplikasi yang jarang terjadi pada fase ini, namun dapat terjadi sebagai respon dari obat-obatan tertentu ( contoh, ifosphamide dapat menyebabkan sindrom fanconi atau asidosis tubular tipe II yang berhubungan dengan hipokalemia, asidosis, hipofosfatemia, dan glikosuria ). (1)BAB 3.IV. TerapiBAB 3.IV.i. PencegahanKarena tidak terdapat terapi spesifik untuk AKI iskemik atau nefrotoksik, tindakan preventif adalah sangat penting. Banyak kasus dengan AKI iskemik dapat dihindari dengan pemberian perhatian secara khusus pada fungsi kardiovaskuler dan volume intravaskuler pada pasien resiko tinggi, geriatri dan pasien dengan riwayat CKD. Memang restorasi cairan intravaskuler secara agresif menunjukan pengurangan insidensi AKI iskemik secara dramatis setelah operasi besar atau trauma, luka bakarm atau kolera. Tingkat insidensi AKI nefrotoksik dapat dikurangi dengan pengaturan pemberian obat-obatan nefrotoksik sesuai dengan dengan ukuran tubuh dan GFR. Dengan memperhatikan hal ini, perlu diingat bila kreatinin serum merupakan indeks GFR yang tidak sensitif dan dapat terjadi overestimasi dari GFR pada pasien yang berukuran kecil atau pasien geriatri. Untuk tujuan penetapan dosis obat-obatan, disarankan untuk menilai GFR dengan rumus Cockcroft-Gault ( yang menggunakan faktor usia, berat badan, dan jenis kelamin ) atau rumus dari Modification of Diet in Renal Disease ( MDRD ) ( yang memperhitungkan faktor umur, jenis kelamin, berat badan, dan ras ). Namun perlu diingat bila rumus tersebut tidak dapat digunakan bila kadar kreatinin tidak dalam keadaan yang stabil ( contoh, dalam proses menuju AKI ). Pengaturan dosis obat berdasarkan kadar obat yang bersirkulasi juga tampak membatasi cedera ginjal pada pasien yang menerima aminoglikosida, siklosporin, atau tacrolimus. Diuretik, NSAID, ACE inhibitor, ARB, dan vasodilator perlu digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan keadaan hipovolemia sejati atau efektif atau penyakit renovaskular karena dapat mempresipitasi AKI prerenal atau menyebabkan terjadinya AKI iskemik. Allopurinol dan diuresis alkaline yang dipaksakan adalah tindakan profilaksis yang bermakna pada pasien dengan nefropati urat ( contoh, kemoterapi pada keganasan darah ) untuk membatasi pembentukan asam urat dan mencegah presipitasi kristal urat pada tubulus ginjal. Rasburicase, sebuah enzim rekombinan urat-oksidase mengkatalisasi oksidasi enzimatik asam urat menjadi metabolit yang larut dalam darah, allantoin. Diuresis alkaline yang dipaksakan juga mencegah AKI pada pasien yang mendapatkan terapi methotrexate atau mengalami rhabdomyolisis. N-acetylcysteine membatasi cedera ginjal akibat acetaminofen bila diberikan 24 jam setelah konsumsinya. (1)Beberapa tindakan preventif telah diusulkan untuk nefropati kontras. Tindakan hidrasi jelas merupakan tindakan prefentif yang efektif. Tindakan lain yang perlu dipertimbangkan adalah pengguanaan loop diuretik dan manitol, dopamin, fenoldopam, N-acetylcysteine, theophyline, dan sodium bikarbonat. Meskipun data eksperimental yang mendukung, tidak tedapat bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan loop diuretik atau manitol untuk mencegah nefropati radiokontras atau AKI yang lain. Demikian pula, meskipun sudah digunakan secara luas, dopamin terbukti tidak efektif sebagai agen profilaksis. Fenoldopam, sebuah dopamin agonis a-1 spesifik disetujui untuk digunakan sebagai agen antihipertensi intravena, telah diuji pada beberapa uji klinis dan tidak tampak menurunkan insidensi nefropati kontras. Lebih dari itu, fenoldopam diasosiasikan dengan efek samping yang signifikan, seperti hipotensi sistemik, dan penggunaannya sebagai agen profilaksis terhadap nefropati radiokontras perlu dihindari. Secara kontras, beberapa ( secara relatif kecil ) studi klinis terandomisasi mengusulkan penggunaan N-acetylcysteine menunjukan manfaat positif, walaupun meta-analisis didapatkan tidak konklusif. Namun, disamping dari beberapa potensi bahaya diasosiasikan dengan penundaan pencitraan radiologism N-acetylcysteine cukup aman, dan pengunaannya pada pasien resiko tinggi nefropati kontras cukup beralasan, berdasarkan pada profilnya yang sedikit memiliki efek samping. Studi terandomisasi yang lebih besar diperlukan untuk menunjukan manfaat definitif. Theophylline dan aminophylline ( antagonis adenosin ) memberikan potensi segera setelah pemberian radiokontras, walaupun manfaatnya, bila ada, tampak hanya sedikit pada berbagai studi. Yang terakhir, ekspansi volume cairan dengan cairan intravena yang mengandung bikarbonat dianggap lebih baik dibandingkan penggunaan saline dan menunjukan sebuah manfaat yang signifikan pada satu studi terandomisasi. Tidak seperti N-acetylcystein, penggunaan sodium bikarbonat tidak menyebabkan penundaan pada pencitraan. Apakah kombinasi dari N-acetylcystein dan sodium bikarbonat memberikan manfaat positif masih belum jelas dan memerlukan studi yang lebih lanjut. (1)BAB 3.IV.ii. Terapi SpesifikSecara definisi, AKI prerenal dapat mengalami resolusi secara cepat bila koreksi gangguan hemodinamika primer segera dilakukan, dan AKI postrenal segera membaik bila obstruksi segera ditangani. Hingga saat ini belum ada terapi spesifik untuk AKI yang sudah terdiagnosa. Penanganan kelainan-kelainan ini harus difokuskan pada eliminasi penyebab gangguan hemodinamik atau toksin, menghindari penyebab lainnya, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi. Terapi spesifik dari berbagai penyebab AKI intrinsik bergantung pada penyebab dasarnya. (1)BAB 3.IV.ii.a. AKI PrerenalKomposisi dari cairan pengganti untuk AKI prerenal yang diakibatkan hipovolemia perlu disesuaikan dengan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemia berat akibat perdarahan perlu dikoreksi dengan packed red cells, dimana cairan saline isotonik umumnya digunakan untuk perdarahan tingkat ringan atau sedang atau kehilangan cairan plasma ( contoh, luka bakar, pankreatitis ). Cairan urinarius dan gastrointestinal dapat bervariasi secara besar dalam komposisinya, namun secara umum bersifat hipotonik. Cairan hipotonik ( contoh, 0,45 % saline ) umumnya dianjurkan sebagai terapi awal pada pasien dengan AKI prerenal akibat peningkatan kehilangan cairan urinarius atau gastrointestinal, walaupun cairan isotonik lebih tepat pada kasus yang berat. Terapi yang sesuai harus didasarkan pada pengukuran dan penyesuaian volume dan ion yang terkandung pada cairan yang hilang atau diekskresikan. Gagal jantung memerlukan penanganan agresif dengan agen inotropik, agen yang mengurangi preload dan afterload, obat-obatan antiaritmia, dan bantuan mekanik seperti balon intraaorta. Monitoring hemodinamik secara invasif diperlukan pada kasus-kasus tertentu untuk mengarahkan terapi komplikasi pada pasien yang fungsi kardiovaskular dan volume intravaskulernya sulit dinilai. (1)Terapi cairan dapat menjadi sulit pada pasien dengan sirosis dengan komplikasi ascites. Pada keadaan ini, sangat penting untuk membedakan antara HRS yang lanjut, yang memiliki prognosis yang buruk, dengan AKI reversibel akibat hipovolemia sejati atau efektif akibat pengunaan berlebihan diuretik atau sepsis. Kontribusi hipovolemia pada AKI dapat dinilai secara definitif hanya dengan pemberian fluid challenge. Cairan harus diberikan perlahan dan ditritasi sesuai dengan JVP, dan bila perlu, pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral dan kapiler paru. Pasien dengan komponen prerenal reversibel umumnya mengalami peningkatan ouput urin dan penurunan kreatinin serum dengan fluid challenge, dimana pasien dengan HRS tidak. Cairan ascites dalam jumlah yang besar dapat didrainase dengan paracentesis tanpa penurunan fungsi ginjal bila albumin serum diberikan setelahnya. Memang, paracentesis dalam volume besar dapat meningkatkan GFR, kemungkinan dengan mengurangi tekanan intrabdominal dan meningkatkan aliran pada vena ginjal. Secara alternatif, untuk pasien dengan ascites refrakter, transjugular intrahepatic portosystemic shunting dapat dipertimbangkan. Shunt yang lebih tua ( LaVeen atau Denver shunt ) sudah bukan merupakan pilihan lagi. Transjugular intrahepatic portosystemic shunting dapat memperbaiki fungsi ginjal melalui peningkatan volume darah sentral dan supresi skresi aldosteron dan norepinefrin. (1)BAB 3.IV.ii.b. AKI IntrinsikTelah dilakukan berbagai macam pendekatan utnuk mengurangi cedera dan mempercepat perbaikan pada AKI iskemik dan nefrotoksik. Hal-hal tersebut meliputi atrial natriuretic peptide, dopamine dosis rendah, antagonis endothelin, diuretik loop blocking, calcium channel blockers, -adrenoreceptor blocker, prostaglandin analog, antioksidan, antibodi terhadap molekul adhesi leukosit, dan insulin-like growth factor tipe I. Dimana banyak dari hal-hal tersebut bermanfaat pada model eksperimental ATN iskemik dan nefrotoksik, terapi tersebut banyak yang mengalami kegagalan atau tidak efektif pada manusia. (1)AKI akibat penyakit intrinsik ginjal lainya seperti glomerulonefritis akut atau vaskulitis akan memberikan respon pada agen imunosupresif ( glukokortikoid, agen alkylating, dan/atau plasmaferesis, tegantung pada patologi primernya ). Glukokortikoid juga dapat mempercepat remisi pada nefritis interstitial alergik, walaupun datanya terbatas pada kasus-kasus kecil. Kontrol tekanan darah arteri secara agresif sangat penting dalam membatasi cedera ginjal pada kasus hipertensi maligna dengan nefrosklerosis. Hipertensi dan AKI akibat skleroderma dapat diterapi secara efektif dengan ACE inhibitor. (1)BAB 3.IV.ii.c. AKI PostrenalPenanganan AKI postrenal memerlukan kolaborasi yang ketat antara ahli nefrologi, urolog, dan radiologi. Obstruksi urethra atau leher VU umumnya ditangani dengan pemasangan kateter transurethral atau suprapubik, yang memberikan relaksasi sementara selama lesi obstruksinya diidentifikasi dan ditangani secara definitif. Secara serupa, obstruksi ureter juga ditangani dengan kateterisasi perkutaneus dari ginjal yang mengalami obstruksi. Memang benar lesi obstruksi dapat ditangani secara perkutan atau dibypass dengan memasukan stent ureter. Sebagian besar pasien mengalami diuresis yang sesuai seusai obstruksinya ditangani. Kurang lebih 5 % mengalami sindrom salt-wasting yang bersifat sementara yang dapat memerlukan pemberian saline intravena untuk mempertahankan tekanan darah. (1)BAB 3.IV.iii. Penanganan SuportifKoreksi hipovolemia, garam, dan intake cairan disesuaikan untuk mengatasi outputnya. Hipervolemia umumnya ditangani dengan restriksi garam dan air dan diuretik. Memang benar, sampai saat ini belum ada rasionalisasi yang terbukti untuk penggunaan diuretik pada AKI selain untuk menangani komplikasi ini. Walaupun pada kenyataan dopamine dalam dosis subpressor dapat meningkatkan ekskresi air dan garam secara transien, dengan meningkatkan aliran darah ginjal dan GFR dan dengan menginhibisi reabsorpsi natrium dalam tubulus, dopamine subpressor ( low-dose , renal-dose ) telah terbukti tidak efektif pada percobaan klinis, dapat menimbulkan aritmia, dan dihindari penggunaannya sebagai agen renoprotektif. Ultrafiltrasi atau dialisis digunakan untuk menangani hipervolemia berat ketika terapi konservatif gagal. Hiponatremia dan hipoosmolalitas umumnya dapat dikontrol dengan restriksi intake cairan. Secara berlawanan, hipernatremia ditangani dengan pemberian cairan atau saline hipotonik intravena. (1)Tabel 3.5 Penanganan AKI Iskemik dan NefrotoksikMasalah PenangananTerapi

Pembalikan Cedera Ginjal

ATN IskemikKembalikan hemodinamika sistemik dan perfusi ginjal dengan resusitasi cairan dan penggunaan vasopresor

ATN NefrotoksikEliminasi agen nefrotoksikPertimbangkan terapi toksin spesifik : diuresis alkalin yang dipaksakan untuk rhabdomyolisis, allopurinol/rasburicase untuk tumor lysis syndrome

Pencegahan dan Terapi untuk Komplikasi

Overload cairan intravaskulerRestriksi garam dan airDiuretikUltrafiltrasi

HiponatremiaRestriksi intake cairan enteralMenghindari penggunaan cairan intravena hipotonik, termasuk cairan yang mengandung dextrosa

HiperkalemiaRestriksi intake KaliumEliminasi suplemen kalium dan kalium-sparing diuretikLoop diuretik untuk mendukung ekskresi kaliumResin yang mengikat kalium : Sodium polystyrene sulfonateInsulin ( 10 unit ) dan glukosa ( 50 mL dextrose 50 % ) untuk mendorong terjadinya mobilisasi kalium ke intraselulerTerapi inhalasi -agonis untuk mendukung mobilisasi intraselulerKalsium glukonat atau kalsium klorida untuk stabilisasi jantungDialisis

Asidosis MetabolikSodium bikarbonat ( pertahankan serum bikarbonat > 15 mmol/L atau pH darah > 7.2 )Pemberian basa jenis lainDialisis

HiperfosfatemiaRestriksi intake fosfatAgen pengikat fosfat ( kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelamer hidroklorida, aluminium hidroklorida )

HipokalsemiaKalsium karbonat atau glukonat ( bila bergejala )

HipermagnesemiaHentikan pemberian Mg++ ( antasid )

HiperurisemiaUmumnya tidak wajib bila < 890 mol/L atau < 15 mg/dLAllopurinol, diuresis alkaline dipaksakan, rasburicase

NutrisiIntake kalori dan protein untuk menghindari balance nitrogen negatif

DialisisUntuk menghindari komplikasi AKI

Pilihan agenHindari nefrotoksin yang lain : ACE inhibitor/ARB, aminoglikosida, NSAID, radiokontras kecuali bila sangat diperlukan

Pengaturan dosisSesuaikan dosis dan frekuensi pemberian dengan derajat gangguan ginjal

*catatan : terapi ini merupakan rekomendasi umum dan perlu disesuaikan dengan keadaan pasien secara individu

Asidosis metabolik umumnya tidak diterapi kecuali konsentrasi serum bikarbonat < 15 mmol/L atau pH darah arteri < 7,2. Asidosis yang lebih berat dikoreksi dengan oral atau sodium bikarbonat intravena. Pemberian karbonat disesuaikan dengan estimasi defisit bikarbonat dan disesuaikan dengan konsentrasi serum. Pasien harus dimonitor untuk komplikasi pemberian sodium bikarbonat seperti hipervolemia, alkalosis metabolik, hipokalsemia, dan hipokalemia. Dari pandangan secara praktis, pasien yang memerlukan suplementasi sodium bikarbonat akan memerlukan dialisis emergensi dalam waktu beberapa hari. Hiperfosfatemia umumnya dikontrol dengan restriksi fosfat dari makanan dan pengikat fosfat oral ( kalsium karbonat, kalsium asetat, sevalamer, dan aluminium hidroksida ) untuk mengurangi absorpsi fosfat pada sistem gastrointestinal. Hipokalsemia umumnya tidak memerlukan terapi, kecuali bila berat, seperti pada keadaan rhabdomyolisis atau pankreatitis atau seusai pemberian bikarbonat. Hiperurisemia umumnya ringan [