faizah jarh

4
Munkar Penafsiran ibarat ini menurut para pengkritik klasik; Dalam artian sendirian dalam meriwayatkan, maka haditsnya disebut sohih gharib. Kemudian mereka memutlakkan hanya terhadap kesendirian rawi dalam meriwayatkan—mereka mengatakan “yarwi al-manakir” yaitu hadits-hadits fard yang gharib Dan menjdi syahid atas itu apa yang dikatakan oleh al-Hafiz di muqoddimah kitab fath al-barri atsa beografi “Muhammad bin Ibrahim al-Taimi” setelah menuturkan pendapa Ahmad disitu “Yarwi ahadisa manakiro” Al-hafiz berkata “hadits munkar dimutlakkan oleh Ahmad dan golongan ulama ats hadits fard yang tidak ada mutabi’nya. Maka hal ini ditangguhkan atas hal itu, dan sungguh golongan ulama’ itu berhujjah dengan itu. Termasuk dari hal tersebut adalah ucapan al-Saji dalam beografi “Ibrahim bin al-Mundir al-Hazami” yang disiqqahkan oleh Ibnu Mu’in, Ibnu Wadhah, al-Nasa’i, Abu Hatim dan al- Daruqutni. Dan Ahmad juga berbica disitu dengan tujuan bahwa Ibrahim bin al-Mundir al-Hazami masuk atas Ibn Abi Dawud. Dan al-Saji berkata “Indahu Manakiro” (dia mempunyai hadits-hadits munkar) Al-hafiz mengatakan ; hal itu di ikuti oleh al-Khatib, kemudian dia mengatakan: “imam al-Bukhari berpegangan dengan pendapat tersebut dan membersihakan dari haditsnya, al- Tirmidzi dan al-Nasa’i meriwayatkan kepadanya” Dan termasuk juga perkataan Ibnu Hibban dalam beografi “Ibrahim bin Suwaid bin Hibban al-Madini” al-Bukhari meriwayatkan kepadanya satu hadits tentang haji, Ibnu Hibban dan Abu Zar’ah mensiqqahkan. Ibnu Hibban berkata dalam kitan al-siqqat “rubbama ata bi manakir” (terkadang dia datang dengan hadits hadits munkar)

Upload: zaim

Post on 25-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

islam

TRANSCRIPT

Page 1: faizah jarh

Munkar

Penafsiran ibarat ini menurut para pengkritik klasik;

Dalam artian sendirian dalam meriwayatkan, maka haditsnya disebut sohih gharib. Kemudian mereka memutlakkan hanya terhadap kesendirian rawi dalam meriwayatkan—mereka mengatakan “yarwi al-manakir” yaitu hadits-hadits fard yang gharib

Dan menjdi syahid atas itu apa yang dikatakan oleh al-Hafiz di muqoddimah kitab fath al-barri atsa beografi “Muhammad bin Ibrahim al-Taimi” setelah menuturkan pendapa Ahmad disitu “Yarwi ahadisa manakiro”

Al-hafiz berkata “hadits munkar dimutlakkan oleh Ahmad dan golongan ulama ats hadits fard yang tidak ada mutabi’nya. Maka hal ini ditangguhkan atas hal itu, dan sungguh golongan ulama’ itu berhujjah dengan itu.

Termasuk dari hal tersebut adalah ucapan al-Saji dalam beografi “Ibrahim bin al-Mundir al-Hazami” yang disiqqahkan oleh Ibnu Mu’in, Ibnu Wadhah, al-Nasa’i, Abu Hatim dan al-Daruqutni. Dan Ahmad juga berbica disitu dengan tujuan bahwa Ibrahim bin al-Mundir al-Hazami masuk atas Ibn Abi Dawud. Dan al-Saji berkata “Indahu Manakiro” (dia mempunyai hadits-hadits munkar)

Al-hafiz mengatakan ; hal itu di ikuti oleh al-Khatib, kemudian dia mengatakan: “imam al-Bukhari berpegangan dengan pendapat tersebut dan membersihakan dari haditsnya, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i meriwayatkan kepadanya”

Dan termasuk juga perkataan Ibnu Hibban dalam beografi “Ibrahim bin Suwaid bin Hibban al-Madini” al-Bukhari meriwayatkan kepadanya satu hadits tentang haji, Ibnu Hibban dan Abu Zar’ah mensiqqahkan.

Ibnu Hibban berkata dalam kitan al-siqqat “rubbama ata bi manakir” (terkadang dia datang dengan hadits hadits munkar)

Al-Hafiz berkata dalam kitab Hadi al-Sari “kami telah menjelaskan bahwa hadits yang diriwayatkan al-bukhari kepadanya bukan munkar”

Al-Hafiz berkata dalam beografi “Yahya bin Ishaq al-Hadrami al-Basori” Ibnu Mu’in, an-Nasa’i dan Ibnu Sa’d mensiqqahkan.

Al-Uqail berkata dalam kitab al-Du’afa’ tatkla menuturkannya “ berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya bahwa dalam haditsnya terdapat kemunkaran”

Kemudian Al-hafiz berkata “pada al-Bukhari terdapat hadits darinya dalam bab qosr al-solat fi al-safar dan dalam bab qisshoh Sofiah, dan haditsnya dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya dalam bab lubs al-istibraq, dan haditsnya dari Abd al-Rahman bin Abi bakrah dari bapaknya dalam bab riba, dan menurutnya hadits-hadits itu da mutabi’nya, selain hadits Abi Bakrah, menurutnya hdits tersebut mempunyai beberapa Syahid dan banyak ulama’ yang berhujjah dengan hadits itu.

Page 2: faizah jarh

Al-Hafiz berkata dalam beografi “Barid bin Abdillah bin Abi Bardah bin Abi Musa al-As’ari” Ibnu MU’in, al-I’jli, al-Tirmidzi dan Abu Dawud mensiqqahkan.

Ahmad berkata;”rawa manakir” (dia meriwayatkan hadits-hadits munkar)

Kemudian al-hafiz mengatakan; aku berkata: semua imam berhujjah denga itu, Ahmad dan selainnya memutlakkan bahwa hadits-hadits munkar adalah hadits-hadits yang para rawinya meriwayatkan sendirian secra mutlak”

Ibnu ‘Adi berkata atas beografi al-Hakam bin Abdillah Abu Nu’man al-Basori”: “Baginya hadist-hadits munkar yang tidak ada mutabi’nya”. Dan telah meriwayatkan kepadanya (kho’, mim, ta’, sin)

Al-Hafiz berkata; “tidak ada pada Bukhari selain satu hadits”

Al-Amir al-Son’ani berkata; dalam tingkatan ke empat—fulan dha’if au munkar al-hadits (fulan yang lemah atau hdits munkar) :”istilah yang digunakan Ahmad berbeda dengan yang lain, maka perlu diperhatikan”

Dalam kitab taudhi al-afkar menuqil dari Al-Hafiz dan mazhan al-bardiji: bahwa hadits munkar adalah hadits yang rawinya sendirian walaupun itu rawi siqqah, maka perktaan pada rawi “munkar al-hadits tidak merupakan pencacatan (jarh). Dituturkan oleh al-Hafiz dalam beografi Yunus bin al-Qasam al-Hanafi al-Yamani”

Tafsir ibarat “munkar menurut para pengkritik selain klasik

Pengkritik mutaakhir memutlakkan istilah munkar atas periwayatan rawi yang lemah tidak siqqah. Istilah “munkar al-hadits menurut Ahmad adalah kebalikan istilah “munkar al-hadits”menurut al-Bukhari.

Kaidah ini didukung oleh keterangan berikut;

1. Al-Tahuni berkata; “mereka memutlakkan istilah “munkar al-hadits” terhadap rawi yang meriwayatkan hadits munkar tapi tidak samapin banyak. Mka rawi tidak dikatagorika dha’f sebab ini. Dan ini terkadang juga dimutlakkan kepada rawi yang meriwayatkan hadits-hadits munkar dalam kitab al-du’afa’ tapi rawi tersebut tetap siqqah dalam dirinya.

2. Al-sakhawi berkata; “terkadang tetap dimutlakkan atau dianggap sebagai siqqah ketika meriwayaatkan hadits-hadits munkar dari kitab al-du’afa’

3. Al-Hakim berkata; “aku bertanya kepada al-Daruqutni ; “Sulaiaman ibnu binti Sarhabil? Al-Daruqutnu menjawab “siqqah” aku bertanya : “tidak adaakh baginya hadits-hadits munkar? Al-Daruqutni menjawab; “dia meriwayatkan hadits dari golongan dha’if, adapun dia adalah siqqah”.

4. Al-dzahabi berkata dalam kitab al-mizan dala beografi “Ahmad bin “Iqab al-Mawarzi”, Ahmad bin Sa-d bin Mi’dan berkata : “guru atau orang tua yang solih yang meriwayatkan hadits-hadits keurtamaan dan hadits-hadits mukar”

Page 3: faizah jarh

Aku berkata-yang berkata al-Dzahabi- : “tidak setiap rawi yang meriwayatkan hadits-hadits munkar itu didha’ifkan”

Perbedaan antara perkataan pengkritik muaakhirin “munkar al-hadits” dan perkataan mereka “rawi al-manakir atau yarwi ahadis munkarah;

Al-Sakhawi berkata : “Ibnu Daqiq al-‘idi : perkataan mereka “rowa manakir” tidak menuntut meninggalkan periwayatan seorang rawi sehungga hadits-hadits itu banyak terdapat dalam periwayatannya, dan sampai pada perkataan : “munkar al-hadits” karean istilah ini dibuat mensifati rawi yaang yang berhak ditinggalkan haditsnya, sedangkan untuk istilah yang lain tidak menunjukkan keburukan”