evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien...
TRANSCRIPT
1
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PEDIATRI PENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP
RSUD PURBALINGGA TAHUN 2009
SHINTA AMALIA WIDYASIH 0608010101
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
PURWOKERTO 2011
2
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PEDIATRI PENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP
RSUD PURBALINGGA TAHUN 2009
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada
program studi farmasi
SHINTA AMALIA WIDYASIH 0608010101
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2011
i
3
ii
4
iii
5
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan dibawah ini, saya :
Nama : Shinta Amalia Widyasih
NIM : 0608010101
Program Studi : Farmasi
Fakultas/Universitas : Farmasi / Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini adalah hasil dari
proses penelitian saya yang telah dilakukan dengan prosedur penelitian yang
benar dengan arahan dari dosen pembimbing dan bukan hasil penjiplakan dari
karya orang lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Demikian pernyataan ini, dan apabila kelak dikemudian hari terbukti ada
unsure penjiplakan, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, Februari 2011
Yang menyatakan
SHINTA AMALIA WIDYASIH
iv
6
MOTTO
Hidup ini sekali janganlah kita bersedih dan berputus asah
Lebih baik kita gunakan hidup ini buat belajar, bertawakal
dan tetap berdoa pada Alloh SWT
v
7
PERSEMBAHAN
Alhamdullahirobil’alamin terima kasih Ya Alloh atas karunia
dan hidayahmu sehingga skripsi ini dapat selesai
Buat KeluargaQ yang telah membantuQ, buat my special love yang selalu memberi semangat dan cintamu…. Buat temen2 angkatan 2006 terimakasih atas kebersamaannya……………
vi
8
ABSTRAK
SHINTA AMALIA W. Evaluasi Penggunaan Antiobiotika Pada Pasien Pediatri Penderita Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Purbalingga Tahun 2009. Di bawah bimbingan SOEDARSO dan ANJAR MAHARDIAN K.
Demam Tifoid merupakan permasalahan kesehatan global yang penting dan harus mendapatkan perhatian secara khusus. Di Negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insiden yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui penggunaan antibiotika pada pasien pediatri penderita demam tifoid di RSUD Purbalingga sudah sesuai, dibandingkan dengan standar terapi yang digunakan dan untuk mengetahui ada tidaknya interaksi obat yang timbul dari pengobatan demam tifoid. Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap RSUD Purbalingga tahun 2009 dengan menggunakan metode retrospektif dan dianalisis secara deskriptif non analitik dari data rekam medik. Sampel yang digunakan diambil secara menyeluruh dengan jumlah sampel sebanyak 117 pasien.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien terbanyak yaitu anak-anak sebanyak 106 (45,74%) pasien, berdasarkan jenis kelamin jumlah terbanyak yaitu pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 (58,12%) pasien. Kesesuaian jenis antibiotika dengan SPM RSUD Purbalingga sebesar 30,44%, dengan SPM PAPDI 80,34%. Kesesuaian dosis berdasarkan SPM RSUD Purbalingga sebesar 64,95%, dengan SPM PAPDI sebesar 67,42%. Kesesuaian lama pemberian antibiotika tidak dapat dianalisa kesesuaiannya dengan standar terapi yang digunakan. Sedangkan untuk interaksi obat yang terjadi yaitu antara antibiotika penisilin dengan kloramfenikol dan kloramfenikol dengan PCT. Kata kunci: Antibiotika, Pasien pediatri instalasi rawat inap, Demam tifoid, RSUD Purbalingga, interaksi obat.
vii
9
ABSTRAK
SHINTA AMALIA W. Evaluation Use of Antibiotics in Pediatric Patient with Thypoid Fever Inpatien In Hospital Purbalingga Year 2009. Under direction of SOEDARSO and ANJAR MAHARDIAN K.
Thypoid fever is a global healthy problem that important and must have attention specially. In emergent disease which 95% is case careway but the real incident is 15-25 times bigger than care in patient report in hospital. Purpose of this research for know the using of antibiotic to patient. Thypoid fever in Purbalingga Hospital was suitable with the standard therapy that use and for know if there is medicine interaction that appear from thypoid fever in pediatric patient. The study was conducted using retrospective and descriptive analysis of non-analytic medical record data. The whole samples were collected in a total amount of 117 samples.
The result showed the number of patients that most children were 106 (90,6%) patients. The result showed that the number of man 68 (58,12%) patients. Suitability of antibiotics with SPM RSUD Purbalingga 30,77%, with SPM PAPDI 80,34%. Suitability of the dose based on SPM RSUD Purbalingga 64,95%, with 67,42% SPM PAPDI. Suitability mode of duration of antibiotics can not be analyzed for conformance with the standar therapy used. The medicine interaction which happened is between antibiotic penisilin with kloramfenikol and between kloramfenikol with PCT. Key words: Antibiotics, Patient pediatric inpatient installation, Thypoid fever, Purbalingga District Hospital, drug interaction.
viii
10
PRAKATA Bismillahirrohmaanirrohim
Segala puji bagi ALLOH SWT yang telah memberikan rahmat dan
inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Evaluasi
Penggunaan Antibiotika Pada Paisen Pediatri Penderita Demam Tifoid Di
Instalasi Rawat Inap RSUD Purbalingga tahun 2009”. Skripsi ini dibuat untuk
melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana farmasi program studi
farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Dalam Penyusunan skripsi penulis menyadari bahwa pelaksanaan
maupun pembuatan skripsi dapat berjalan berkat dukungan dari berbagai pihak,
oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Syamsuhadi Irsyad, S.H.,M.H. selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
2. Bapak Drs. Moeslich Hasanmihardja Apt., selaku Dekan Fakultas farmasi
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
3. Bapak Drs. Soedarso Apt., selaku Dosen Pembimbing I atas segala bimbingan
dan arahannya.
4. Bapak Anjar Mahardian K,M.Sc,Apt. selaku Dosen Pembimbing II atas segala
bimbingan, waktu, dan arahannya.
5. Seluruh Dosen dan Staf Karyawan Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
6. SODIKUN S.T dan almh. SUPINAH selaku orang tua yang telah memberikan
dukungan baik secara moril maupun materiil dan doa yang tidak pernah lepas
dalam mengiringi langkahku walaupun almh. SUPINAH selaku ibuku tidak
ix
11
dapat menyaksikan dan melihat semua ini tapi beliau selalu ada disetiap waktu
dan langkahku.
7. Kakak-kakakku, adikku dan teman-teman farmasi angkatan 2006 yang telah
membantu dalam pembuatan skripsi ini.
8. Seluruh staf dan karyawan RSUD Purbalingga yang telah membantu dalam
pembuatan skripsi ini.
Penulis menyadarai bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi kesempurnaan skripsi.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amien
Purwokerto, Februari 2011
Shinta Amalia Widyasih
x
12
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ........................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ................................................................................ iv
MOTTO.......................................................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
PRAKATA ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Tifoid ........................................................................
1. Definisi ........................................................................... 3
2. Etiologi ........................................................................... 3
3. Patogenesis...................................................................... 3
4. Gejala Klinis ................................................................... 3
5. Diagnosis ........................................................................ 4
B. Antibiotik ...............................................................................
1. Definisi ........................................................................... 5
2. Jenis Antibiotik ............................................................... 6
3. Pengobatan dalam Demam Tifoid .................................... 6
4. Obat ................................................................................ 7
5. Interaksi Obat .................................................................. 8
6. Pola Pengobatan yang Rasional ....................................... 9
xi
13
C. Rumah Sakit...........................................................................
1. Definisi ...........................................................................
2. Klasifikasi Rumah Sakit .................................................. 10
D. Rekam Medik ......................................................................... 11
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................. 12
B. Batasan Variabel .................................................................... 12
C. Metode Penelitian .................................................................. 13
D. Penentuan Sampel .................................................................. 13
E. Tahapan Penelitian ................................................................. 13
F. Analisis Data .......................................................................... 15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penelusuran Data......................................................... 16
B. Karakteristik Pasien Pediatri Penderita Demam Tifoid ...........
1. Berdasarkan umur ........................................................... 16
2. Berdasarkan Jenis kelamin……................. ...................... 17
C. Evaluasi Penggunaan Antibiotika ...........................................
1. Kesesuaian Jenis Antibiotika ........................................... 18
2. Kesesuaian Dosis ............................................................ 22
3. Lama Pemberian Antibiotika ........................................... 25
4. Interaksi Obat .................................................................. 27
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................ 29
B. Saran ...................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 31
xii
1
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Jumlah dan persentase umur……….................................................. 16
Tabel 2 Jumlah dan persentase jenis kelamin pasien pediatric penderita
demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Purbalingga ................. 17
Tabel 3 Kesesuaian antibiotika pada rekam medik di RSUD Purbalingga
dibandingkan dengan SPM RS ......................................................... 18
Tabel 4 Kesesuaian antibiotika pada rekam medik di RSUD Purbalingga
dibandingkan dengan SPM PAPDI ................................................... 20
Tabel 5 Evaluasi antibiotika berdasarkan ketepatan dosis antibiotika dari
Data rekam medik dibandingkan dengan SPM RS ............................ 23
Tabel 6 Evaluasi antibiotika berdasarkan ketepatan dosis antibiotika dari
data rekam medik dibandingkan dengan SPM PAPDI....................... 24
Tabel 7 Evaluasi lama pemberian antibiotika pada rekam medik
dibandingkan dengan SPM RS dan SPM PAPDI .............................. 26
Tabel 8 Data Interaksi antibiotika dengan obat yang lain di RSUD
Purbalingga27
xiii
2
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lamp 1 Data Pasien pediatri penderita demam tifoid.................................. 33
Lamp 2 Surat Penelitian dari Fakultas Farmasi ........................................... 55
Lamp 3 Surat Penelitian dari Kesbangpolinmas Kab.Purbalingga............... 56
Lamp 4 Surat Penelitian dari Bappeda Kab.Purbalingga ............................. 57
Lamp 5 Surat Penelitian dari RSUD Purbalingga ....................................... 58
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan global yang
penting dan harus mendapatkan perhatian secara khusus. Diseluruh dunia
penyakit ini diperkirakan mencapai 16 juta kasus tiap tahunnya dengan
600.000 kasus dilaporkan berakhir dengan kematian.
Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insiden
yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi
dengan insiden di daerah pedesaan 258/100.000 penduduk/tahun dan didaerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1,5 juta
kasus per tahun umur penderita yang terkena, di Indonesia dilaporkan antara
3-19 tahun pada 91% kasus.
Terapi untuk pengobatan demam tifoid antara lain yaitu terapi non
farmokologis meliputi tirah baring dan makan makanan lunak yang rendah
serat. Untuk terapi non farmakologinya yaitu dengan simptomatis dan
antimikroba, bersamaan dengan itu digunakan juga antibiotika yang lain.
Penggunaan antibiotika yang kurang bijaksana akan menyebabkan banyaknya
bakteri yang menjadi resisten terhadap antibiotika, khususnya antibiotika yang
mengganggu resisten kolonisasi di usus, ternyata lebih sering mengakibatkan
timbulnya resisten (Tan&Rahardja, 2002 : 63). Terapi simptomatis dapat
diberikan untuk perbaikan keadaan umum pasien yakni vitamin, antipiretik
(penurun panas) untuk kenyamanan penderita terutama anak. Untuk
antimikroba digunakan kloramfenikol dan untuk antibiotika yang lain yaitu
tiamfenikol, kotrimoksazol, ampicillin, amoksisilin, sefalosporin generasi III.
Penggunaan antibiotik yang terlalu banyak dapat menimbulkan masalah atau
yang dikenal dengan polifarmasi. Polifarmasi adalah kombinasi obat yang
dapat berupa kombinasi tetap dan kombinasi tidak tetap. Akibat dari
polifarmasi yaitu timbulnya interaksi obat semakin besar, timbulnya efek
1
2
samping serta penyakit karena obat semakin meningkat. Pada keadaan
tertentu, apabila interaksi antara obat dengan mikroba kurang baik atau tidak
terjadi sama sekali, maka dikatakan bahwa antibiotik tersebut telah resisten
terhadap mikroba tertentu.
Berdasarkan uraian diatas dan laporan dari unit rekam medik RSUD
Purbalingga tercatat bahwa pada tahun 2009 penyakit demam tifoid
merupakan penyakit dengan tingkat persentase yang tinggi. Rumah sakit
dalam menjalankan fungsi sebagai pusat pelayanan kesehatan dan
meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan perkembangan teknologi dan
ilmu pengetahuan kepada masyarakat banyak dengan menggunakan
antibiotika sebagai pengobatan penyakit infeksi. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian tentang evaluasi penggunaaan antibiotika pada pasien pediatri
penderita demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Purbalingg tahun 2009
dengan membandingkan standar pelayanan medis yang digunakan.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana penggunaan antibiotik pada pasien pediatri penderita demam
tifoid di RSUD Purbalingga dibandingkan dengan standar terapi yang
digunakan?
2. Apakah terjadi interaksi obat dalam pengobatan antibiotik pada pasien
pediatri penderita demam tifoid?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui penggunaan antibiotik pada pasien pediatri penderita
demam tifoid di RSUD Purbalingga sudah sesuai dibandingkan dengan
standar terapi yang digunakan.
2. Mengetahui ada tidaknya interaksi obat yang terjadi dalam pengobatan
demam tifoid di RSUD Purbalingga.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEMAM TIFOID
1. Definisi
Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,
gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran
(Anonim, 1985 : 593).
2. Etiologi
Salmonella typhosa, basil gram negatif, bergerak dengan
rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3
macam antigen yaitu antigen O (somatic, terdiri dari zat kompleks
lipopolisakarida), antigen H (flagela) dan antigen Vi. Dalam serum
penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut (Anonim, 1985 : 593).
3. Patogenesis
Salmonella typhi masuk tubuh manusia melalaui
makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan
oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
mencapai jaringan limfoid. Endotoksin Salmonella thypi berperan
dalam proses inflamasi local pada jaringan tempat kuman tersebut
berkembang biak. Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang
sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang
meradang, sehingga terjadi demam (Mansjoer, 2001 : 422).
4. Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih
ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas
rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi
melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika
infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin
3
4
ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
b. Gangguan pada saluran pencernaan
c Gangguan kesadaran (Anonim, 1985 : 594-595).
5. Diagnosis
Untuk memastikan diagnosis perlu dikerjakan pemeriksaan
laboratorium sebagai berikut :
a. Pemeriksaan yang berguna untuk menyokong diagnosis.
1) Pemeriksaan darah tepi
Terdapat gambaran leucopenia, limfositosis
relatif dan aneosinofilia pada permulaan sakit. Mungkin
terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah
dikerjakan dilaboratorium yang sederhan akan tetapi
berguna untuk membantu diagnosis yang cepat.
2) Pemeriksaan sumsum tulang
Dapat digunakan untuk menyokong
diagnosis. pemeriksaan ini tidak termasuk pemeriksaan
rutin yang tidak sederhana. Terdapat gambaran sumsum
tulang berupa hiperaktif RES dngan adanya sel
makrofag, sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis
dan trombopoesis berkurang.
b. Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosis
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella
typhosa dan pemeriksaan Widal ialah pemeriksaan yang
dapat dipakai untuk membuat diagnosis tifus abdominalis
yang pasti. Kedua pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada
waktu masuk dan setiap minggu berikutnya.
5
1) Biakan empedu
Pemeriksaan yang positif dari contoh darah
digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan
pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses 2x
berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa
penderita telah benar-benar sembuh dan tidak menjadi
pembawa kuman (karier).
2) Pemeriksaan Widal
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang
terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi
antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif
ialah bila terjadi reaksi aglitinasi. Dengan jalan
mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat
ditentukan yaitu pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat
diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap
antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau
menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk
membuat diagnosi. Titer tersebut mencapai puncaknya
bersamaa dengan penyembuhan penderita.
Titer terhadap antigen H tidak diperlukan
untuk diagnosis, karena dapat tetap tinggi setelah
mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama
sembuh. Tidak selamanya pemeriksaan widal positif
walaupun penderita sungguh-sungguh menderita tifus
abdominalis sebagaimana terbukti pada autopsi setelah
penderita meninggal dunia (Anonim, 1985 : 596-597).
B. ANTIBIOTIK
1. Definisi
Antibiotik berasal dari bahasa Latin yaitu “anti” yang
artinya adalah lawan dan “bios” yang artinya hidup. Jadi antibiotika
6
adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tan & Raharja,
2002 : 65).
2. Jenis antibiotik
Berdasarkan luas aktifitasnya terhadap banyak sedikit jenis
kuman dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : (Tan & Rahardja, 2002 :
56)
a. Antibiotik aktifitas sempit (narrow spectrum).
Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis
kuman saja, misalnya penisilin G dan penisilin V, eritromisin,
klindamisin, kanamisin, dan asam fusidat hanya bekerja terdap
kuman gram positif sedangkan stertomisin, gentamisin,
polimiksin B dan asam nalidiksat khususnya terhadap kuman
gram negatif.
b. Antibiotik aktifitas lebar (broad spectrum)
Bekerja terhadap lebih banyak jenis kuman gram positif
maupun gram negatif diantaranya sulfonamid, ampisilin,
sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin.
3. Pengobatan demam tifoid
Pengobatan demam tifoid terdiri atas 3 bagian yaitu :
a. Perawatan
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit
isolasi, observasi, dan pengobatan. Pasien harus tirah baring
absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah
terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus
(Juwono, 1996 : 439).
b. Diet
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan
tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung
banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan
7
banyak gas. Susu 2x satu gelas sehari perlu diberikan. Jenis
makanan untuk penderita dengan kesadaran menurun ialah
makanan cair yang dapat diberikan melalui pipa lambung. Bila
anak sadar dan nafsu makan baik, maka dapat diberikan
makanan lunak (Anonim, 1985 : 597).
c. Obat
1) Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan
obat pilihan utama untuk demam tifoid. Belum ada obat
antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih
cepat dibandingkan kloramfenikol. Dosis untuk orang
dewasa 4 x 500 mg sehari oral atau intravena, sampai 7
hari bebas demam. Dengan penggunaan kloramfenikol,
demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5 hari
(Juwono, 1985 : 440).
2) Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam
tifoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi
hematologist pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang
daripada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pad
demam tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari (Juwono,
1985 : 440).
3) Kotrimoksazol
Efektifitas kotrimoksazol kurang lebih sama
dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa, 2 x 2
tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam ( 1
tablet mengandung 80 mg trimetropim dan 400 mg
sulfametoksazol). Dengan kotrimoksazol demam pada
demam tifoid turun rata-rata setelah 5-6 hari.
4) Ampisillin dan Amoxicillin
Dalam hal kemampuannya untuk menurunkan
demam, efektivitas ampisilin dan amoxisillin lebih kecil
8
dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak
penggunaannya adalah pasien demam tifoid dengan
leucopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-
450 mg/kg BB sehari, digunakan sampai 7 hari bebas
demam. Dengan ampisillin atau amoxisillin demam pada
demam tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.
C. INTERAKSI OBAT
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh
obat lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Interaksi obat
dapat terjadi sebagai berikut :
1. Obat - Makanan
Pada pemberian obat-obat tertentu bersamaan dengan makanan dapat
terjadi interaksi yang berakibat :
a. Makanan dapat mengubah aktivitas obat yang mengakibatkan
respons terhadap obat berkurang atau sebaliknya respons terhadap
obat justru meningkat.
b. Sebaliknya obat dapat pula memberikan efek negatif terhadap
makanan, misalnyaberkurangnya nutrisi makanan tersebut
(Nanizar, 2001 : 152).
2. Obat - Obat
Dalam hal terjadi interaksi obat maka hasil farmakologisnya dapat
sebagai berikut :
a. Obat yang satu memperkuat efek obat yang lain sehingga efek
total obat melebihi dari jumlah aljabarnya.
b. Obat yang satu menghambat kerja obat yang lain, sehingga
efeknya berkurang.
c. Inaktvasi obat yang satu oleh obat yang lain menyebabkan obat
pertama tidak/kurang memberikan efek yang dikehendaki
(Nanizar, 2001 : 136).
9
Mekanisme interaksi obat ada 3 yaitu :
1) Interaksi farmasetik (Inkompatibilitas)
Inkompatibilitas ini terjadi diluar tubuh (sebelum obat
diberikan) antara obat yang tidak dapat dicampur (inkompatibel).
Bagi tenaga kesehatan, interaksi farmasetik yang penting adalah
interaksi antar obat suntik dan antara obat suntik dengan cairan
infus.
2) Interaksi farmakokinetika
Interaksi farmakokinetika terjadi bila salah satu obat
mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi
obat kedua sehingga kadar plasma obat meningkat atau menurun.
Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan
efektivitas obat tersebut.
3) Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat
yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem
fisiologis yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik
atau antagonistik.
D. POLA PENGOBATAN YANG RASIONAL
Pola pengobatan adalah jenis model atau gambaran pengobatan
dengan menggunakan antibiotika meliputi jenis antibiotika yang
digunakan, dosis, durasi pemberian dan harga obat. Pola pengobatan yang
rasional menurut WHO adalah menyangkut tepat indikasi, tepat obat, tepat
dosis, tepat pasien dan mewaspadai ESO. Seperti halnya dengan proses ini
dalam kedokteran, penulisan resep harus didasarkan pada satu seri tahapan
rasional. Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Membuat diagnosis spesifik
2. Pertimbangan patofisiologi dari diagnosis yang terpilih
3. Pemilihan sasaran terapi yang spesifik
4. Penentuan obat pilihan
5. Penentuan regimen dosis yang sesuai
10
6. Perancangan untuk memonitor kerja obat dan menentukan kapan terapi
berakhir
7. Perencanaan program pendidikan pasien (Katzung, 2002 : 611).
E. RUMAH SAKIT
1. Definisi
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks,
menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit dan difungsikan
oleh berbagai kesatuan personil terlatih dan terdidik dalam
menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya
terikat bersama-sama dalam maksud yang sama untuk pemulihan dan
pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar, 2003:8).
Pada umumnya tugas rumah sakit ialah menyediakan keperluan
untuk pemeliharaaan dan pemulihan kesehatan. Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
983/Menkes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit umum adalah
melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna
dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang
dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan
pencegahan serta melaksanakan rujukan (Siregar, 2003 : 10)
2. Klasifikasi Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum Pemerintah Pusat dan Daerah
diklasifikasikan menjadi Rumah Sakit kelas A, B, C, D. Klasifikasi
tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik, dan
peralatan.
a) Rumah Sakit Umum kelas A adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
spesialistik luas dan subspesialistik luas.
b) Rumah Sakit Umum kelas B adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasiitas dan kemampuan pelayanan kemampuan
medik sekurang-kurangnya 11 spealistik dan subspesialistik
terbatas.
11
c) Rumah Sakit Umum kelas C adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
spesialistik dasar.
d) Rumas Sakit Umum kelas D adalah rumah sakit umum yang
mempunyai kemampuan dan pelayanan medik dasar (Siregar,
2003 : 11).
F. REKAM MEDIK
Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara
rekam medik yang memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita
rawat tinggal maupun penderita rawat jalan. Rekam medik ini harus secara
akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat digunakan, mudah
ditelusuri kembali (retrieving), dan lengkap informasi. Rekam medik
adalah sejarah singkat, jelas dan akurat dari kehidupan dan kesakitan
penderita ditulis dari sudut pandang medik (Siregar, 2003 : 17).
Kegunaan rekam medik :
1. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan
penderita.
2. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap
profesional yang berkonstribusi pada perawatan penderita.
3. Melengkapi bukti dokumen terjadinya / penyebab kesakitan penderita
dan penanganan / pengobatan selama tinggal di rumah sakit.
4. Digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan
yang diberikan kepada penderita.
5. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit
dan praktisi yang bertanggung jawab.
6. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.
7. Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data dalam
rekaman medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya
pengobatan seorang penderita (Siregar, 2003 : 18)
12
BAB III
METODE PENELITIAN
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada Maret - April 2010, menggunakan
data tahun 2009 dan bertempat di RSUD Purbalingga.
B. BATASAN VARIABEL OPERASIONAL
1) Antibiotika adalah senyawa khas yang dihasilkan oleh organisme
hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur analoginya yang dibuat
secara sintetik dan dalam kadar rendah maupun menghambat
kehidupan mikroba lain.
2) Evaluasi penggunaan antibiotika meliputi jenis antibiotika, ketepatan
dosis, lama pemberian obat pada pasien demam tifoid serta interaksi
obat yang terjadi dalam pengobatan.
3) Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan
yang disebabkan oleh Salmonella typhosa ditandai dengan demam 7
hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran
(Anonim, 1985 : 546).
4) Pasien pediatri yang menjalani perawatan di instalasi rawat inap RSUD
Purbalingga adalah yang berumur 0 - 12 tahun.
5) Data yang diambil dari rekam medik penderita yang terdiagnosis dan
selesai perawatan tahun 2009.
6) Rekam medik adalah dokumen yang memberikan catatan tentang
identitas pasien, diagnosis, pemeriksaan pasien, pengobatan, tindakan
serta pelayanan kesehatan lain pada pasien.
7) Karakteristik pasien demam tifoid meliputi umur dan jenis kelamin.
8) Dosis ( takaran ) suatu obat merupakan banyaknya suatu obat yang
dapat dipergunakan atau diberikan kepada seseorang penderita baik
untuk dipakai sebagai obat dalam maupun luar.
9) Lama pemberian merupakan waktu yang dibutuhkan untuk suatu obat
atau antibiotika untuk bekerja dalam tubuh secara biologis.
12
13
10) Interaksi obat merupakan modifikasi efek suatu obat akibat obat lain
yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan atau bila dua
atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau
toksisitas satu obat atau lebih berubah.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
retrospektif yaitu penelitian yang berusaha melihat kebelakang (backward
looking), dalam hal ini adalah melakukan penelusuran terhadap tindakan
yang dilakukan tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Purbalingga kepada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap. Kemudian
hasil penelusuran tersebut dianalisis secara deskriptif non analitik.
D. PENENTUAN SAMPEL
Penentuan sampel diperoleh dari jumlah pasien pediatri
(umur 0 – 12 tahun) penderita demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD
Purbalingga selama tahun 2009. Sampel yang diambil adalah secara
menyeluruh dari jumlah pasien pediatri penderita demam tifoid yang
dirawat di instalasi rawat inap RSUD Purbalingga selama tahun 2009 yaitu
sebanyak 117 pasien.
14
E. TAHAPAN PENELITIAN
Pembuatan Proposal
Pembuatan surat ijin
Pengambilan data rekam medik
Analisis Data
Pembahasan
Kesimpulan
F. ANALISIS DATA Untuk keseuaian penggunaan antibiotika pada pasien pediatri
penderita demam tifoid yang meliputi jenis antibiotika, dosis antibiotika,
lama pemberian dan interaksi obat yang disesuaikan dengan SPM RSUD
Purbalingga dan SPM PAPDI.
1) Jumlah dan persentase karakteristik pasien berdasarkan usia, dihitung
dengan menjumlahkan masing-masing kelompok usia pediatri
kemudian dibagi dengan jumlah total pasien dikali 100%.
2) Jumlah dan persentase karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin
dihitung dengan menjumlahkan masing-masing kelompok jenis
kelamin kemudian dibagi dengan jumlah total pasien dikali 100%.
3) Jumlah dan persentase jenis obat dihitung dengan menjumlahkan
masing-masing kelompok jenis antibiotika yang disesuaiakan dengan
15
SPM RSUD Purbalingga dan SPM PAPDI kemudian dibagi dengan
jumlah total pasien dikali 100%.
4) Jumlah dan persentase dosis antibiotika dihitung dengan
menjumlahkan masing-masing kelompok dosis antibiotika yang
disesuaiakan dengan SPM RSUD Purbalingga dan SPM PAPDI
kemudian dibagi dengan jumlah total pasien dikali 100%.
16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penelusuran Data
Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian dan
pembahasan mengenai evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pediatri
penderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Purbalingga selama
tahun 2009. Terdapat 117 pasien pediatri penderita demam tifoid tanpa
penyakit penyerta yang dirawat inap di RSUD Purbalingga selama tahun
2009. Data yang diambil meliputi data karakteristik pasien pediatri (meliputi
umum, jenis kelamin, berat badan) dan data penggunaan antibiotik pada
pasien pediatri penderita demam tifoid (meliputi jenis antibiotik, dosis, lama
pemberian serta cara pemberian). Teknik pengambilan data yang digunakan
adalah secara menyeluruh dari jumlah pasien pediatri penderita demam tifoid
di Instalasi Rawat Inap RSUD Purbalingga selama tahun 2009 yaitu sejumlah
117 pasien.
B. Karakteristik Pasien Pediatri Penderita Demam Tifoid
1. Bedasarkan Umur
Dalam Penelitian ini menggunakan data umur pasien untuk
menjadi batasan dalam mengetahui banyaknya penderita demam tifoid
pada pasien pediatri. Tabel 1 menunjukkan jumlah dan persentase umur
pediatri selam tahun 2009 yang menderita demam tifoid.
Tabel 1. Jumlah dan persentase umur pediatri
Umur Jumlah Persentase (%)
0 – 1 bulan (Neonatus) 0 0
1bulan – 2 tahun (bayi) 11 9,4
2 – 12 tahun (anak-anak) 106 90,6
Total 117 100
Dari tabel 1 dapat disimpulkan bahwa pada usia 2 – 12 tahun
(anak-anak) memiliki persentase paling tinggi yaitu 90,6 % dibandingkan
dengan kelompok usia bayi (1 bulan – 2 tahun) dengan persentase sebesar
16
17
9,4%. Ini menunjukkan bahwa pada usia anak terutama anak sekolah
adalah usia paling rawan terjangkitnya demam tifoid karena pada usia
anak kebersihan individu kurang terkontrol. Menurut Juwono ( 1996 ; 435
), demam tifoid dapat disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi
lingkungan dan kebersihan individu kurang baik sehingga kuman
penyebab demam tifoid mudah menginfeksi jaringan tubuh.
2. Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien Pediatri Penderita Demam Tifoid
Pasien demam tifoid terdiri dari pria dan wanita, akan tetapi
penyakit demam tifoid tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin.
Tabel 2. Jumlah dan persentase jenis kelamin pasien pediatri penderita
demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Purbalingga selama
tahun 2009
No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
1 Laki - Laki 68 58,12
2 Perempuan 49 41,88
Total 117 100
Berdasarka Tabel 2 dapat dilihat bahwa jenis kelamin laki – laki
penderita demam tifoid sebanyak 68 pasien ( 58,12% ), sedangkan untuk
jenis kelamin perempuan lebih rendah yaitu sebanyak 49 pasien ( 41,88%
). Demam tifoid tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin melainkan
dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh, pola makan, status gizi, keadaan
hygiene dan sanitasi lingkungan.
C. Evaluasi Penggunaan Antibiotik
Evaluasi penggunaan antibiotik dalam penelitian ini meliputi
kesesuaian jenis antibiotika yang digunakan, ketepatan dosis, lama pemberian
dan interaksi obat meliputi interaksi antar antibiotika maupun antibiotika
dengan obat yang bukan antibiotika. Standar terapi yang digunakan yaitu
Standar Pelayanan Medik RSUD Purbalingga ( SPM RS ) tahun 2009 dan
Standar Pelayanan Medik Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (
SPM PAPDI ).
18
1. Kesesuaian Jenis Antibiotika
Untuk Kesesuaian pemilihan antibiotika dengan Standar Pelayanan
Medik Rumah Sakit ( SPM RS ) dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Kesesuaian antibiotika pada data rekam medik di RSUD
Purbalingga tahun 2009 dibandingakan dengan SPM RS
Jenis antibiotika
Pada SPM RS
Jenis antibiotika pada rekam medik
Jumlah Pasien
Kesesuaian pada RS
% Kesesuaian
jumlah pasien SP TSP
Penisilin Amoxsisillin 29 SP - 24,79 Ampicillin 2 SP - 1,71
Kloramfenikol Kloramfenikol 4 SP - 3,42 Thiamfenikol 1 SP - 0,86
Sefalosporin Cefotaxime 33 - TSP 28,21 Lapixime 5 - TSP 4,27 Taxegram 20 - TSP 17,10
Kombinasi Penisilin - Sefalosporin 8 - TSP 6,84
Penisilin - Kloramfenikol 9 - TSP 7,69
Sefalosporin - Kloramfenikol 6 - TSP 5,13
Total 117 100
Keterangan :
SP : Sesuai Pedoman SPM RS
TSP : Tidak Sesuai Pedoman SPM RS
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa penggunaan antibiotika yang
sesuai dengan SPM RS adalah antibiotika golongan penisilin yaitu untuk
amoxisillin dengan persentase sebesar 24,79% dan ampisillin dengan
persentase sebesar 1,71%. Selain antibiotika golongan penisilin ada
antibiotika golongan kloramfenikol yang sesuai dengan SPM RS yaitu
kloramfenikol dengan persentase sebesar 3,42% dan thiamfenikol dengan
persentase sebesar 0,86%. Sedangkan unutuk antibiotika golongan
sefalosporin dan antibiotika kombinasi tidak sesuai dengan SPM RS karena
antibiotika yang tertera pada SPM RS sudah biasa digunakan oleh para dokter
dan menurut para dokter di RSUD Purbalingga antibiotika kloramfenikol dan
penisilin dianggap paling efektif untuk membunuh bakteri Salmonella
thyposa.
19
Untuk mengetahui persentase kesesuaian antibiotika dapat diketahui dengan
perhitungan sebagai berikut :
% Kesesuaian = x 100%
Keterangan :
n = Jumlah antibiotika
Sampel = Jumlah total antibiotika
Diketahui :
n SP = 36
n TSP = 81
Sampel = 117
% Kesesuaian SP = x 100 % = 30,77 %
% Kesesuaian TSP = x 100 % = 69,23 %
Dari data perhitungan persentase kesesuaian antibiotika diatas
dapat diketahui bahwa persentase kesesuaian yang tidak sesuai standar terapi
(69,23%) jauh lebih besar dari persentase kesesuaian yang sesuai standar
terapi (30,77%) yang digunakan di RSUD Purbalingga. Hal ini dikarenakan
penggunaan antibiotik sefalosporin yang lebih banyak dari antibiotik
penisilin dan kloramfenikol karena sefalosporin dianggap paling efektif untuk
membunuh bakteri dengan efek samping yang tidak membahayakan bagi
tubuh. Selain itu pada SPM RSUD Purbalingga juga tidak tercantum
antibiotik sefalosporin yang dapat digunakan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri Salmonella thyposa.
Tabel 4. Kesesuaian antibiotika pada data rekam medik di RSUD
Purbalingga tahun 2009 yang dibandingkan dengan SPM PAPDI
Jenis antibiotika
Pada SPM RS
Jenis antibiotika pada rekam medik
Jumlah Pasien
Kesesuaian pada RS % Kesesuaian
jumlah pasien SP TSP
Penisilin Amoxsisillin 29 SP - 24,79 Ampicillin 2 SP - 1,71
Kloramfenikol Kloramfenikol 4 SP - 3,42 Thiamfenikol 1 SP - 0,86
Sefalosporin Cefotaxime 33 SP - 28,21 Lapixime 5 SP - 4,27
20
Taxegram 20 SP - 17,10
Kombinasi Penisilin - Sefalosporin 8 - TSP 6,84
Penisilin - Kloramfenikol 9 - TSP 7,69
Sefalosporin - Kloramfenikol 6 - TSP 5,13
Total 117 100 Keterangan :
SP : Sesuai Pedoman SPM PAPDI
TSP : Tidak Sesuai Pedoman SPM PAPDI
Untuk mengetahui persentase kesesuaian antibiotika dapat diketahui dengan
perhitungan sebagai berikut :
% Kesesuaian = x 100%
Keterangan :
n = Jumlah antibiotika
Sampel = Jumlah total antibiotika
Diketahui :
n SP = 94
n TSP = 23
Sampel = 117
% Kesesuaian SP = x 100% = 80,34%
% Kesesuaian TSP = x 100% = 19,66%
Dari perhitungan persentase kesesuaian antibiotika diatas dapat
diketahui bahwa persentase kesesuaian yang sesuai standar terapi yang
digunakan (80,34%) dari persentase kesesuaian yang tidak sesuai standar
terapi yang digunakan (19,66%). Hal ini dikarenakan pada SPM PAPDI
tercantum antibiotik sefalosporin yang dapat digunakan untuk membunuh
bakteri Salmonella thyposa. Jenis penisilin yang digunakan pada data rekam medik yaitu
amoxisillin dan ampisillin merupakan penisilin spectrum luas, turunan
ampisillin dan memiliki spectrum antibakteri yang sama dengan ampisillin.
Amoxisillin absorpsinya tidak terganggu oleh makanan dilambung sehingga
21
absorpsi amoxisillin di saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisillin.
Sedangkan untuk ampisillin cukup efektif terhadap Salmonella thyposa,
merupakan penisilin spectrum luas terhadap bacilli gram negatif antara lain
Salmonella (Tan & Rahardja, 2002 : 72). Dengan ampisillin atau amoxisillin
demam tifoid turun rata-rata setelah 7 – 9 hari (Juwono, 1996 : 460). Selain
golongan penisilin, golongan antibiotika yang sesuai dengan SPM RSUD
Purbalingga adalah golongan kloramfenikol dan yang digunakan adalah
biothycol dan thiamfenikol.
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang peka
seperti beberapa strain Salmonella thyposa, juga terhadap sebagian besar
kuman gram positif dan gram negatif. Dibandingkan dengan ampisillin,
perbaikan klinik pada kloramfenikol jauh lebih cepat dibandingkan dengan
ampisillin. Tetapi pada kenyataannya pada penanganan demam tifoid pada
pasien pediatri di RSUD Purbalingga lebih banyak digunakan antibiotika
sefalosporin. Hal ini dikarenakan pada antibiotika golongan kloramfenikol
efek samping yang terjadi terlalu berat yaitu berupa kerusakan sumsum
tulang yang dapat menyebabkan anemia aplastik (Tan&Rahardja, 2002 : 85).
Pada penggunaan antibiotika untuk pengobatan demam tifoid,
dari data rekam medik juga digunakan antibiotika kombinasi. Penggunaan
antibiotika kombinasi antara lain penggunaan antibiotika penisilin dengan
sefalosporin, antibiotika penisilin dengan kloramfenikol, dan antibiotika
kloramfenikol dengan sefalosporin dengan persentase yang hamper sama
yaitu 6,98%. Sefalosporin bekerja menghambat sintesis dinding sel dan hal
ini akan mempermudah golongan kloramfenikol untuk menghambat sintesis
protein bakteri tersebut yaitu menghambat penerjemahan dan transkripsi
material genetika.
Pada umumnya penggunaan kombinasi dari dua atau lebih antibiotika tidak
dianjurkan, terlebih pula kombinasi dengan dosis tetap tetapi beberapa
kombinasi obat dapat bermanfaat sbb :
1. Pengobatan infeksi campuran
2. Untuk mengatasi resistensi
3. Mendapat efek sinergis
22
4. Untuk mengurangi toksisitas
5. Untuk memperoleh potensiasi (Tan&Rahardja, 2002 : 63)
Kerugian dari penggunaan antibiotika kombinasi yaitu sejumlah
antibiotika bekerja bila hanya organism tumbuh, sehingga penggunaan
antibiotika kedua secara bersamaan yang bersifat bakteriostatika akan
mempengaruhi kerja obat pertama yang bersifat bakterisidal.
2. Ketepatan Dosis
Karena pada penelitian ini menggunakan data pasien anak
sedangkan pada SPM tidak disebutkan dosis untuk anak, maka perlu
dilakukan perhitungan dosis anak terhadap dosis dewasa pada SPM. Perlunya
perhitungan dosis anak karena respon tubuh anak terhadap obat tertentu tidak
dapat disamakan dengan respon tubuh orang dewasa terhadap orang yang
sama. Ketepatan dalam dosis harus diperhatikan agar efek terapi yang
dihasilkan lebih optimal. Pemberian dosis yang tidak tepat dapat
menyebabkan adanya gangguan fungsi organ atau sistem tubuh, khususnya
hati dan ginjal.
Untuk Perhitungan dosis anak berdasarkan berat badan :
Dosis anak = ( Dosis/kg BB ) x Berat badan
Tabel 5. Evaluasi antibiotika berdasarkan ketepatan dosis antibiotika dari
data rekam medik dibandingkan SPM RSUD Purbalingga
Jenis
Antibiotika
pada SPM RS
Rekam Medik
Jumlah
pasien
Dosis dewasa
pada SPM RS
Dosis
Pustaka SP % TSP %
Amoxisillin 29 50 - 150
mg/kgBB 250 mg 3 2,56% 26 22,22
Ampisillin 2 50 - 150
mg/kgBB 250 mg - - 2 1,71
Kloramfenikol 4 500 mg 50 - 100
mg/kgBB 4 3,42 - -
Thiamfenikol 1 500 mg 50 - 100
mg/kgBB 1 0,86 - -
Cefotaxim 33 1000 mg 1000 mg 32 27,25 1 0,86
23
Lapixim 5 1000 mg 1000 mg 3 2,56 2 1,71
Taxegram 20 1000 mg 1000 mg 19 16,24 1 0,86
Kombinasi :
Penisilin -
Sefalosporin 8 - - 3 2,56 5 4,27
Penisilin -
Kloramfenikol 9 - - 5 4,27 4 3,42
Sefalosporin -
Kloramfenikol 6 - - 6 5,13 - -
Jumlah 117 76 64,95 41 35,05
Keterangan :
SP : Sesuai Pedoman SPM RS
TSP : Tidak Sesuai Pedoman SPM RS
Dari tabel 5 dapat diketahui bahwa untuk antibiotika amoxisillin
persentase ketidaksesuaiannya lebih besar daripada persentase kesesuaiannya
yaitu sebesar 22,22% dan untuk ampisillin persentase kesesuaiannya juga
lebih kecil dari persentase ketidaksesuaiannya yaitu sebesar 1,71%. Hal ini
berdasarkan berat atau ringannya penyakit dan obat lain yang digunakan
(Mutschler, 1991 : 637).
Untuk dosis pustaka diperoleh dari BNF (British National Formulary, 2009 :
291-310).
Tabel 6. Evaluasi antibiotika berdasarkan ketepatan dosis antibiotika dari
data rekam medik dibandingkan dengan SPM PAPDI
Jenis
Antibiotika
pada SPM RS
Rekam Medik
Jumlah
pasien
Dosis dewasa
pada SPM RS
Dosis
Pustaka SP % TSP %
Amoxisillin 29 50 - 150
mg/kgBB 250 mg 3 2,56 26 22,22
Ampisillin 2 50 - 150
mg/kgBB 250 mg - - 2 1,71
Kloramfenikol 4 500 mg
50 - 100
mg/kg
BB
4 3,42 - -
Thiamfenikol 1 500 mg 50 - 100
mg/kg 1 0,86 - -
24
BB
Cefotaxim 33 1000 mg 1000 mg 32 27,25 1 0,86
Lapixim 5 1000 mg 1000 mg 3 2,56 2 1,71
Taxegram 20 1000 mg 1000 mg 19 16,24 1 0,86
Kombinasi :
Penisilin -
Sefalosporin 8 - - 5 4,27 3 2,56
Penisilin -
Kloramfenikol 9 - - 6 5,13 3 2,56
Sefalosporin -
Kloramfenikol 6 - - 6 5,13 - -
Jumlah 117 79 67,42 38 32,48
Keterangan :
SP : Sesuai Pedoman
TSP : Tidak Sesuai Pedoman
Dari tabel 6 dapat diketahui bahwa data kesesuaian dosis antibiotika
yang dibandingkan dengan SPM PAPDI hampir sama dengan yang yang
dibandingkan dengan SPM RS hanya pada kombinasi obat pada penisilin
dengan sefalosporin untuk persentase kesesuaiannya lebih besar dari
persentase ketidaksesuaiannya yaitu sebesar 4,27%, dan untuk penisilin
dengan kloramfenikol persentase kesesuaiannya juga lebih besar dari
ketidaksesuaiannya yaitu sebesar 5,13%.
Dalam pemberian dosis harus diperhatikan masalah ketepatan dosis
karena untuk menghasilkan efek terapi yang optiomal. Semakin tepat
pemberian dosis maka semakin tepat pula tercapainya kadar antibiotika pada
tempat infeksi. Untuk golongan kloramfenikol, ketidaktepatan dosis dapat
menimbulkan gangguan umum berupa gangguan lambung-usus, neuropati
optis dan perofer, tetapi yang sangat berbahaya adalah depresi sumsum tulang
yang dapat berwujud dalam dua bentuk anemia yaitu penghambatan
pembentukan sel-sel darah dan anemia aplastik (Tan&Rahardja, 2002 : 85).
Pada golongan penisilin, pemberian dosis yang tidak tepat dapat
menyebabkan terjadinya efek samping seperti gangguan lambung-usus.
Begitu puladengan pemberian sefalosporin yang tidak tepat, efek sampingnya
sama dengan penisilin tapi lebih ringan.
25
3. Lama Pemberian Antibiotika
Untuk lama pemberian antibiotika pada tiap jenis antibiotika sangat
bervariasi. Pada tabel 7 untuk lama pemberian antibiotika yang dibandingkan
dengan SPM RSUD Purbalingga dijadikan satu dengan yang dibandingkan
SPM PAPDI karena hasilnya sama. Pemakaian antibiotika yang berlebihan
atau irrasional dapat membunuh kuman yang baik dan berguna yang ada
didalam tubuh kita, sehingga tempat yang semula ditempati oleh bakteri baik
akan diisi oleh bakteri jahat oleh jamur atau yang disebut “superinfection”.
Aturan lama pemberian antibiotika harus cukup panjang untuk menjamin
semua kuman telah mati dan menghindarkan kekambuhan. Lazimnya terapi
diteruskan 2 – 3 hari setelah gejala lenyap.
Tabel 7. Evaluasi lama pemberian antibiotika pada rekam medik
dibandingkan dengan SPM RSUD Purbalingga dan SPM PAPDI
Jenis antibiotika
pada rekam
medik
Rekam Medik
Berdasarkan
SPM RS dan
SPM PAPDI
2
hari
3
hari
4
hari
5
hari
6
hari
7
hari
8
hari
Penisilin - 2 5 6 11 3 4 -
Kloramfenikol - - - 2 3 - - -
Sefalosporin - 8 13 12 12 10 3 -
Kombinasi :
Penisilin -
Sefalosporin - - 3 4 1 - - -
Penisilin -
Kloramfenikol 1 2 2 1 2 1 -
Kloramfenikol -
Sefalosporin - - 1 2 2 1 - -
Pada tabel 7 dapat diketahui bahwa lama pemberian antibiotika di
rumah sakit tidak dapat diketahui kesesuaiannya dengan SPM RS maupun
dengan SPM PAPDI karena lama pemberian antibiotika di rumah sakit tidak
bisa menggambarkan durasi pengobatan yang sebenarnya dari seluruh
antibiotika yang diberikan, sebab mungkin saja terdapat pasien yang
menerima terapi antibiotika rawat jalan saat pasien diperbolehkan pulang.
26
Dalam penelitian ini lama pemberian antibiotika dihitung sesuai dengan lama
pemberian yang tercatat dalam rekam medik. Padahal sebagian besar rekam
medik dalam penelitian ini tidak menyebutkan antibiotika yang dibawa
pulang oleh pasien.
Menurut Tan&Rahardja (2002 : 85), bahwa antibiotika resisten pada
kurun waktu kurang dari 2 minggu karena jika digunakan lebih dari 2 minggu
akan menimbulkan efek yang membahayakan bagi kesehatan. Untuk
antibiotika penisilin menurut tabel 7 dengan jumlah pasien 31 dengan
persentase sebesar 28,18% semuanya sudah sesuai dengan batas waktu
resistensi. Sedangkan untuk antibiotika kloramfenikol dengan jumlah pasien
5 (4,27%), serta antibiotika sefalosporin dengan jumlah pasien sebanyak 58
(49,57%) sudah sesuai dengan batas waktu resistensi. Apabila lama
pemberian antibiotika kiurang dari waktu yang ditentukan (batas minimal
yang ada pada standar) maka akan terjadi kegagalan pengobatan, adanya
bakteri resisten terhadap obat antibiotika tersebut, bahkan dapat lebih bahaya
lagi yaitu terjadinya efek samping obat yang merugikan.
4. Interaksi Obat
Interaksi obat yang terjadi pada pasien demam tifoid ini dapat
terjadi antara antibiotika dengan antibiotika yang lainnya maupun antar
antibiotika dengan obat lain yang bukan antibiotika yang digunakan dalam
waktu yang bersamaan dalam kurun waktu 24 jam.
Tabel 8. Data interaksi obat antara antibiotika dengan obat yang lain pada
data rekam medik di RSUD Purbalingga tahun 2009
No Antibiotika x Obat Lain Signifikansi
1 Penisilin x Kloramfenikol 4
2 Kloramfenikol x PCT 5
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi
antara antibiotika dengan obat yang lain terjadi pada penisilin dengan
kloramfenikol yang termasuk dalam signifikansi 4 artinya interaksi berat /
berbahaya sampai sedang dengan data kejadiann yang sangat terbatas.
27
Penggunaaan antibiotika penisilin dengan kloramfenikol dapat menimbulkan
efek yang tidak akan terlihat sampai obat diberikan dalam jangka waktu
berhari-hari atau berminggu-minggu akan tetapi efek potensialnya akan
membahayakan jiwa atau menyebabkan kerusakan permanen (Tatro, 2001 :
932). Penggunaan antibiotika penisilin dengan kloramfenikol dapat
meningkatkan efek penisilin berkurang, akibatnya infeksi yang diobati
mungkin tidak sembuh seperti yang diharapkan (Harkness, 1989 : 209).
Mekanisme yang terjadi tidak pasti karena belum terbukti dalam penelitian.
Untuk interaksi obat antara kloramfenikol dengan PCT
(Asetaminofen) termasuk dalam signifikansi 5 artinya interaksi tidak
berbahaya ( ringan ) dan beberapa interaksi ini belum teruji secara klinis
(Tatro, 2001 : 297). Mekanismenya tidak diketahui secara pasti dan efeknya
tidak akan terlihat sampai jangka waktu berhari-hari atau berminggu-minggu.
Selain itu efek potensial yang ditimbulkan juga ringan akan tetapi tidak
mempengaruhi signifikansi terhadap efek obat yang diinginkan. Namun
penggunaan kedua obat tersebut harus selalu dipantau sehingga tidak terjadi
efek yang sangat merugikan.
28
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
penggunaan antibiotika pada pasien pediatric penderita demam tifoid di
instalasi rawat inap RSUD Purbalingga tahun 2009 sebagai berikut :
1. Karakteristik kasus terbanyak pasien pediatri penderita demam tifoid
berdasarkan umur adalah pada umur 2 – 12 tahun ( anak-anak ) yaitu
sebanyak 106 pasien dengan persentase sebesar 90,6%, sedangkan untuk
karakteristik kasus terbanyak berdasarkan jenis kelamin yaitu pada jenis
kelamin sebanyak 68 pasien dengan persentase sebesar 58,12%.
2. Keseuaian jenis antibiotika berdasarkan SPM RSUD Purbalingga dengan
jumlah persentase kesesuaian sebesar 30,77 %, sedangkan untuk
kesesuaian jenis antibiotika berdasarkan SPM PAPDI dengan jumlah
persentase sebesar 80,34 %.
3. Kesesuaian dosis antibiotika berdasarkan SPM RS dengan jumlah
persentase kesesuaian sebesar 64,95 %, sedangkan untuk kesesuaian
dosis antibiotika berdasarkan SPM PAPDI dengan jumlah persentase
sebesar 67,42 %.
4. Kesesuaian lama pemberian berdasarkan SPM RS dan SPM PAPDI tidak
dapat dianalisis karena tidak dicantumkan dalam SPM tersebut.
5. Interaksi obat yang terjadi yaitu antara penisilin dengan kloramfenikol
dan antara kloramfenikol dengan PCT ( Asetaminofen ).
B. Saran
Demi perbaikan dan peningkatan bidang kesehatan pada umumnya,
dan bidang pengobatan pada khususnya, maka penulis menyampaikan
beberapa saran sebagai berikut :
1. Untuk Rumah Sakit Umum Daerah ( RSUD ) Purbalingga, sebaiknya
data rekam medik disajikan lebih baik lagi sehingga para peneliti mudah
untuk mengambil data yang diperlukan.
28
29
2. Untuk petugas kesehatan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pada
standar yang ada supaya terjadi peningkatan yang lebih baik terhadap
kesesuaian pengobatan dengan standar terapi yang ada.
3. Dikarenakan keterbatasan penulis, dalam penulisan skripsi ini
mempunyai banyak kekurangan diharapkan dapat membangkiykan ide-
ide baru tentang penelitian evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien
pediatri penderita demam tifoid yang lebih kompleks sehingga dapat
meningkatkan dalam penanganan kasus demam tifoid.
30
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid II. Jakarta : Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UI. Anonim. 2009. British National Formulary. Germany : GGP Media GmbH. Anonim. 2009. Standar Pelayanan Medik RSUD Purbalingga. Purbalingga :
RSUD. Aziz, R. 2005. Standar Pelayanan Medik Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam
Indonesia (PAPDI). Jakarta: PAPDI. Harkness, R. 1989. Interaksi Obat. Bandung : Penerbit ITB Joenoes, Nanizar. 2001. ARS PRESCRIBENDI Resep yang Rasional Edisi 3.
Surabaya : Airlangga University Press. Juwono, P. 1996. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Ketiga. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi III. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi III. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat ( Buku Ajar Farmakologi & Toksikologi ).
Bandung : Penerbit ITB. Nawawi, H. 2003. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : UGM Press. Siregar, P.J.T. 2003. Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tatro, D.S. 2001. Drug Interaction, Factor and Comparisons. California : A
Walter Klower Company. Tan, H.T., dan Rahardja, K. 2002. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek-efek Sampingnya Edisi IV. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo.
30
31
RSUD PURBALINGGA
DEMAM TIFOID
Tanggal Terbit : 2 Januari 2009
No. Revisi : 1
Hal : 1 / 2
1. Nama Penyakit : Demam Tifoid
2. Kriteria Diagnosis :
Anamnesis
Panas lebih 7 hari, terus-menerus tinggi terutama malam hari
Gejala GIT : mual, muntah, diare, obstipasi, kembung
Pemeriksaan fisik
Kesadaran menurun, mengigau
Hepatomegali, splenomegali
Lidah kotor tepi hiperemis
3. Diagnosa Banding
Malaria
ISK
4. Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium
Darah : AL, Diff Tell, Hb, Widal, Biakan kuman
Urin lengkap, biakan kuman
Faeces Lengkap, Biakan kuman
5. Konsultasi : Spesialis Bedah (Bila ada komplikasi)
6. Perawatan RS : Rawat Inap
7. Terapi :
32
Istirahat (Tirah Baring)
Diet BBS, TKTP
Medikamentosa
Amoxicillin 50 – 100 mg/kgBB/hari dibagi 2 – 3 hari
Kloramfenikol 300mg/kgBB max 2gr/hari. Diberikan sampai 3 hari
bebas panas, minimal diberikan 7 hari.
Kotrimoxazole (Pilihan Lain) : Trimetoprim 6mg, sulfametoxazole
30mg/hari dibagi 2 dosis
K/P parasetamol 10 mg/kgBB/kali
Penanganan Komplikasi
Tergantung jenisnya
8. Penyulit
Renjaan
Perforasi dengan perdarahan usus
Miokarditis
Penekan sumsum tulang karena kloramfenikol
9. Inform Consent : Tidak Perlu
10. Lama Perawatan : Umumnya 14 hari atau 7 hari bebas panas
11. Masa Pemulihan : 7 hari
12. Out Put : sembuh total kecuali ada komplikasi
13. Patologi Anatomi : --
14. Autopsi / Risalah rapat : --
33
34
35
36
37
38
39
40