evaluasi pengelolaan kawasan konservasi
DESCRIPTION
Konservasi AlamTRANSCRIPT
Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi
1. Pengertian dan Tujuan
Kegiatan pengelolaan bisa merupakan pelaksanaan atau aksi dari sebuah “kebijakan”
dalam diagram analisis kebijakan Dunn (2003) dalam Ilman (2008) yang berorientasi pada
masalah. Prosedur analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah menggunakan metode
pemantauan dan evaluasi untuk memahami aksi kebijakan dan hasil-hasilnya. Prosedur ini
terletak di paruh sebelah kiri dalam diagram analisis kebijakan dan secara umum disebut
sebagai analisis kebijakan yang bersifat retrospektif (Gambar1).
Prosedur pemantauan dan evaluasi dilakukan sebagai bagian dari analisis kebijakan untuk
memahami ”apa yang terjadi dan perbedaan apa yang dibuat” dari sebuah kebijakan (Dunn,
2003 dalam Ilman, 2008). Secara umum, kegiatan pengelolaan sebagai aksi dan hasil-hasil
kebijakan dapat digambarkan sebagai sebuah siklus dari 5 isu seperti yang ditunjukkan dalam
Gambar 2 meliputi: (1) Konteks yang berisi status dan ancaman yang kemudian melahirkan
visi pengelolaan; (2) Perencanaan; (3) Masukan; (4) Proses pengelolaan; (5) Keluaran; dan
(6) Hasil (Hockings et al., 2006 dalam Ilman, 2008).
Evaluasi efektivitas pengelolaan adalah hal yang mutlak diperlukan untuk mengetahui
apakah kegiatan yang dilakukan telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang mendasari
pengelolaan sehingga tujuan dapat dicapai atau tidak. Evaluasi dirasakan semakin perlu
belakangan ini ketika prinsip akuntabilitas menjadi isu yang tidak terpisahkan dalam hampir
setiap kegiatan yang bersinggungan dengan kepentingan publik.
Gambar1. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 2003 dalam Ilman,
2008).
Pelaksanaan evaluasi efektivitas pengelolaan bukan hal yang mudah terutama ketika
pihak pengelola menganggap proses evaluasi sebagai proses ”penyidikan” (Hockings et.al.,
2006 dalam Ilman, 2008). Oleh sebab itu, penting untuk menetapkan tujuan evaluasi sebagai
alat untuk membantu pengelola dalam pekerjaannya, bukan sebagai sebuah cara untuk
memata-matai atau menghukum para pengelola yang kinerjanya kurang.
Gambar2. Siklus pengelolaan dan evaluasinya (Hockings et. al., 2006 dalam Ilman, 2008).
Semua pihak yang terlibat dalam proses evaluasi sebaiknya memahami bahwa
evaluasi harus senantiasa dilihat sebagai sesuatu yang positif dan merupakan proses normal
untuk mendukung kegiatan pengelolaan. Bagaimanapun juga, lembaga donor, LSM, dan
masyarakat umum, punya hak untuk mengetahui pencapaian sasaran dan tujuan pengelolaan
kawasan konservasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa hasil evaluasi tersebut juga sangat
dibutuhkan untuk tujuan-tujuan advokasi (Hockings et.al., 2006 dalam Ilman, 2008). Oleh
sebab itu terdapat paling tidak tiga tujuan evaluasi efektivitas pengelolaan yaitu: (1)
Mempromosikan pengelolaan yang adaptif; (2) Meningkatkan kualitas perencanaan kegiatan;
(3) Mempromosikan akuntabiltas. Ketiga tujuan ini selanjutnya akan diupayakan tercapai
secara utuh melalui hasil evaluasi yang dilakukan dengan baik.
2. Mekanisme Evaluasi
Pelaksanaan evaluasi dilakukan pada semua tahap dalam siklus pengelolaan sehingga
dapat menjawab serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan 3 hal, yaitu:
1. Rancangan isu meliputi (1) konteks, di mana saat ini kita berada, dan (2) perencanaan,
yaitu dimana kita seharusnya berada.
2. Kesesuaian sistem dan proses-proses pengelolaan meliputi (1) masukan, apa yang
dibutuhkan, dan (2) proses, yaitu bagaimana kita mencapainya.
3. Pencapaian tujuan-tujuan kawasan konservasi meliputi (1) keluaran, apa yang telah
dilakukan dan produk dan jasa yang dikeluarkan, dan (2) hasil, yaitu apa yang sudah dicapai.
Evaluasi yang dilakukan berdasarkan pada pencapaian tujuan merupakan penilaian yang
paling bermanfaat untuk menilai langsung tujuan-tujuan nyata pengelolaan yang sudah
ditetapkan dalam kebijakan ditingkat nasional, daerah, dan lokasi. Sebagai konsekuensinya,
penilaian ini membutuhkan informasi jangka panjang mengenai kondisi keanekaragaman
hayati, budaya, sosial, dan dampak pengelolaan pada masyarakat setempat. Penilaian
berdasarkan pencapaian merupakan ujian yang sebenarnya dalam menilai efektivitas
pengelolaan (Hockings et.al. 2006 dalam Ilman, 2008).
Sejak tahun 1990an beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui prosedur penilaian
efektivitas pengelolaan. Studi-studi terakhir mengenai hal tersebut antara lain adalah:
1. Ervin (2003) dalam Ilman (2008) dari WWF menyusun sebuah pendekatan yang
disebut Rapid Assesment and Prioritization Protected Area Management disingkat
RAPPAM. Pendekatan digunakan secara luas di seluruh dunia terutama karena
sifatnya yang praktis. Indikator yang digunakan relatif mudah untuk diadaptasi
pada setiap kawasan konservasi meski dengan karakteristik yang berbeda-beda.
2. Pomeroy et. al (2004) dalam Ilman (2008) dari MPA Management Effectivennes
Initiative (MPA-MEI) mengembangkan metodologi untuk kawasan konservasi
laut. Dibandingkan RAPPAM, pendekatan yang digunakan oleh MPA MEI lebih
luas dan menyeluruh sehingga cenderung sulit untuk diaplikasikan secara utuh.
Studi menggunakan metoda dari MPA-MEI ini pernah dilakukan sebelumnya oleh
Abbot (2003) dalam Ilman (2008), tapi hanya mengaplikasikan indikator tata
laksana yang baik bagi pengelolaan kawasan konservasi laut untuk daerah
perlindungan burung di Northern Mariana Island, Pasifik
3. Staub dan Hatziolos (2004) dalam Ilman (2008), dari World Bank
mengembangkan metodologi yang lebih praktis dibandingkan metodologi MPA-
MEI IUCN dan RAPPAM.
4. Belfiore et. al (2003) dalam Ilman (2008), dari UNESCO mengembangkan
metodologi untuk menilai efektivitas pengelolaan pesisir. Aplikasi dan efektivitas
metode ini tidak diketahui secara luas karena tidak ada lembaga khusus yang
”mengawal” studi tersebut hingga tahap ujicoba.
Berbagai pilihan pendekatan tersebut diatas memiliki kelemahan dan kekuatan
masing-masing sehingga penggunaannya pun tergantung pada kondisi yang ditemui
dilapangan.
2.1 Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management
Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management (RAPPAM)
dikembangkan berdasarkan hasil kajian sebuah gugus tugas yang diberi mandat oleh Komisi
Kawasan Konservasi Dunia (WCPA) mengenai kerangka kerja umum dalam menilai
efektivitas pengelolaan kawasan konservasi secara konsisten. Kerangka kerja umum yang
dikeluarkan oleh WCPA didasarkan penilaiannya pada 6 tahapan dalam siklus pengelolaan
yaitu: konteks, perencanaan, masukan, proses, keluaran, dan hasil. RAPPAM adalah salah
satu metodologi yang berusaha menjabarkan secara konkrit kerangka kerja umum yang telah
dikembangkan WCPA tersebut.
Metode ini telah dikembangkan selama periode 4 tahun dan telah diuji dan dipertajam
di sekitar 7 negara (Ervin 2003, Goodman, 2003 dalam Ilman, 2008). Sampai saat ini lebih
dari 24 negara telah menggunakannya antara lain untuk menguji jaringan kawasan
konservasinya seperti Buthan, China, Finlandia, dan Russia.
Penggunaan RAPPAM yang semakin meluas di seluruh dunia membuat pendekatan
ini menjadi kaya dengan modifikasi-modifikasi untuk menyesuaikan dengan situasi masing-
masing. Brazil dengan menggunakan RAPPAM berhasil mengidentifikasi 3 kebijakan umum
yang diakui akurat oleh para pengelola kawasan konservasi yaitu: (1) dalam bidang
pengelolaan/kelembagaan yang merekomendasikan restrukturisasi pengelola berdasarkan
kompetensi masing-masing staf dan membentuk mekanisme insentive untuk kegiatan yang
ramah lingkungan disekitar kawasan konservasi; (2) dalam bidang konservasi
direkomendasikan pembentukan patroli bersama dan pemberian insentive untuk pengelolaan
kawasan konservasi yang dikelola secara pribadi; dan (3) dalam bidang keuangan
direkomendasikan pembentukan team yang baru untuk pengelolaan kawasan konservasi
(Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo, 2004 dalam Ilman, 2008).
Kamboja adalah salah satu negara yang telah menerapkan RAPPAM untuk
mengevaluasi pengelolaan kawasan konservasi di daerahnya. Kamboja menghasilkan 11
rekomendasi kebijakan yang menekankan pentingnya hubungan antar lembaga dan antar
wilayah yang sinergi satu sama lain (Lacerda et al. 2004 dalam Ilman, 2008).
2.1.1 Ruang Lingkup Rekomendasi RAPPAM
Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi bisa dibagi ke dalam beberapa tingkatan
kebijakan pengelolaan mulai dari tingkat nasional yang mengelola beberapa kawasan
konservasi sekaligus hingga tingkat pengelolan spesies dalam sebuah kawasan konservasi.
Kebijakan pengelolaan tersebut jika mengacu pada struktur organisasi pengelolaan kawasan
konservasi yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No P. 03/Menhut-II/2007
dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu: tingkatan makro, meso, dan mikro. Kebijakan
operasional tertinggi adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan kebijakan
operasional terendah dikeluarkan oleh Kepala Bagian/Seksi Konservasi Balai Taman
Nasional. Rincian pembagian tingkatan pengelolaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan makro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan,
yaitu melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan
pejabat penanggung jawab setingkat eselon 1.
2. Kebijakan meso adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional
dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 2 atau eselon 3.
3. Kebijakan mikro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional
dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 3 atau eselon 4.
Pendekatan RAPPAM dapat bekerja lebih baik pada penyusunan kebijakan di level
makro sebab RAPPAM didesain untuk melakukan pembandingan diantara setiap kawasan
konservasi yang beraneka ragam karakteristiknya (Ervin, 2003 dalam Ilman, 2008).
Pendekatan RAPPAM membantu kita dengan mudah mengetahui ancaman apa yang
dihadapi oleh sejumlah kawasan konservasi dan seberapa serius ancaman tersebut; kawasan
konservasi mana yang lebih baik dalam hal infrastruktur dan kapasitas pengelolanya.
Kelebihan-kelebihan RAPPAM untuk membantu penyusunan kebijakan di tingkat makro
tidak berlaku pada penyusunan kebijakan mikro. RAPPAM bisa digunakan untuk mengetahui
nilai penting dan efektivitas pengelolaan sebuah kawasan konservasi. Meski demikian
RAPPAM tidak memadai untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang adaptif terhadap
kondisi detail kawasan konservasi yang dinilainya. Oleh sebab itu maka rekomendasi
kebijakan makro yang dihasilkan RAPPAM harus ditindak lanjuti dengan mengidentifikasi
kebutuhan detail masing-masing kawasan untuk peningkatan kapasitas tersebut, misalnya
training pengelolaan modal usaha kecil atau magang bagi staf ke luar negeri.
Tabel 1. Kerangka kerja penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi
Gambar 3. Alur penelitian efektivitas kebijakan pengelolaan kawasan konservasi (Ilman,
2008).
Tulisan yang ditebalkan adalah kegiatan utama dalam penelitian yaitu mengumpulkan
data RAPPAM, menganalisis data untuk mengetahui efektivitas, dan menyusun rekomendasi
strategi pengelolaan Kawasan konservasi.
2.2 Kriteria Indikator Indonesia
Keterlibatan negara yang diwakili pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi
telah dimulai sejak hampir 300 tahun yang lalu. Hingga saat ini pemerintah pusat dalam hal
ini Departemen Kehutanan memiliki kewenangan mengelola hingga 23 juta hektar kawasan
konservasi diseluruh Indonesia. Seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi
masyarakat, isu yang melingkupi kegiatan konservasi pun menjadi sedemikian besar dan
kompleks. Isu tersebut berupa isu internasional seperti tanggung jawab terhadap perlindungan
lingkungan global, isu nasional seperti distribusi kewenangan pengelolaan pusat dan daerah,
dan isu lokal seperti pemanfaatan sumberdaya kawasan konservasi bagi masyarakat (Ilman,
2008).
Berbagai isu yang mengiringi pengelolaan kawasan konservasi harus dikelola secara
secara cermat agar fungsi dan tujuan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari dapat tetap
dipenuhi. Departemen Kehutanan sebagai wakil pemerintah dalam mengelola kawasan
konservasi dituntut untuk melakukan implementasi kebijakan yang efektif dan transparan.
Oleh sebab itu upaya evaluasi terhadap efektivitas pengelolaan menjadi sangat penting untuk
mengetahui apa yang sedang terjadi dalam aksi kebijakan dan apa yang dapat dilakukan
untuk memperbaiki keadaan. Hasil evaluasi yang transparan juga akan membantu masyarakat
luas yang ingin memberikan kontribusi aktif dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi
(Ilman, 2008).
Kebijakan konservasi nasional disusun sebagai respon terhadap berbagai isu.
Kebijakan tersebut kemudian dilaksanakan antara lain melalui pengelolaan Taman Nasional
yang bertujuan untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, mengawetkan sumberdaya
hayati, dan menyediakan sumberdaya untuk dimanfaatkan secara lestari. Evaluasi terhadap
efektivitas pengelolaan dilakukan untuk memperbaiki kegiatan pengelolaan maupun
kebijakan konservasi nasional (Ilman, 2008).
Evaluasi efektivitas pengelolaan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap 4
aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap
aspek merupakan kumpulan komponen pengelolaan yang memiliki ciri khas tertentu (Ilman,
2008).
2.2.1 Analisis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan
Kajian mengenai efektivitas pengelolaan dilakukan pada empat aspek pengelolaan
kawasan konservasi yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Efektivitas diukur
berdasarkan tingkat pencapaian yang diperoleh oleh pengelolaan kawasan konservasi pada
masing-masing kriteria yang diamati (Ilman, 2008).
a. Efektivitas Perencanaan
Efektivitas perencanaan mengukur tiga kriteria umum yaitu: (1) penetapan tujuan; (2)
kepastian hukum, dan (3) desain tapak kawasan konservasi. Efektivitas penetapan tujuan
menilai sampai sejauh mana tujuan penetapan kawasan konservasi telah mencakup semua
keunikan kawasan dan keperluan untuk mempertahankan keunikan tersebut. Efektivitas
penetapan tujuan tersebut juga mencakup penilaian tingat pemahaman pengelola kawasan dan
masyarakat disekitar kawasan terhadap tujuan penetapan kawasan konservasi. Efektivitas
kepastian hukum antara lain menilai kuat tidaknya dasar hukum penetapan kawasan
konservasi, ada tidaknya persoalan berkaitan dengan kepemilikan lahan dan hak ulayat.
Kepastian hukum juga menilai sampai sejauh mana pengelola memiliki hak untuk melakukan
upaya-upaya penegakan hukum dalam wilayah kawasan konservasi. Efektivitas desain tapak
kawasan menilai kesesuaian desain tapak terhadap tujuan penetapan kawasan konservasi.
Desain tapak juga harus mendukung berfungsinya upaya-upaya pengelolaan kawasan secara
efektif termasuk keterkaitannya dengan daerah-daerah sekelilingnya (Ilman, 2008).
b. Efektivitas Masukan
Efektivitas masukan mengukur 4 kriteria umum yaitu: (1) jumlah dan kualitas staff
pengelola; (2) ketersediaan data dan komunikasi; (3) ketersediaan infrastruktur; dan (4)
kecukupan pendanaan pengelolaan. Efektivitas jumlah dan kualitas staf diukur dengan
melihat pemenuhan jumlah staf dibandingkan dengan luasan area dan kesesuaian isu.
Efektivitas staf juga menilai tingkat pemenuhan kebutuhan staf seperti gaji, fasilitas kerja,
prestise, dan peningkatan kemampuan. Efektivitas penyediaan data dan komunikasi
mengukur ketersediaan saluran komunikasi yang efektif antara petugas lapangan dan kantor,
maupun dengan masyarakat sekitar. Hal lain yang juga diukur adalah mekanisme yang
memadai untuk melakukan pengumpulan dan pemrosesan data kawasan konservasi.
Efektivitas ketersediaan infrastruktur mengukur ketersediaan sarana dan prasarana
transportasi, bangunan, serta berbagai peralatan lain untuk mengelola kawasan konservasi.
Efektivitas intervensi juga mencakup adanya kegiatan perawatan yang memadai terhadap
fasilitas yang ada dan ketersediaan fasilitas yang memadai bagi pengunjung kawasan
konservasi. Efektivitas pendanaan mengukur pemenuhan kebutuhan pendanaan selama 5
tahun terakhir dan ketersediaan dana selama 5 tahun kedepan. Kestabilan pendanaan dalam
jangka panjang dan kesesuaian alokasi pendanaan dan kebutuhan juga menjadi karakteristik
yang diukur untuk memahami efektivitas pendanaan (Ilman, 2008).
c. Efektivitas Proses
Efektivitas proses pengelolaan mengukur 3 kriteria umum yaitu: (1) ketersediaan rencana
detail strategi pengelolaan; (2) mekanisme pengambilan keputusan; (3) kegiatan penelitian,
pemantauan, dan evaluasi. Efektivitas rencana detail strategi pengelolaan diukur dengan
melihat ada tidaknya kajian kondisi terkini kawasan yang kemudian dijadikan acuan
penyusunan rencana kegiatan. Efektivitas juga diukur dengan melihat apakah hasil
monitoring rutin menjadi dasar evaluasi perencanaan. Efektivitas proses pengambilan
keputusan dilakukan dengan melihat transparansi proses pengambilan keputusan internal
pengelola kawasan konservasi. Pengambilan keputusan yang efektif juga dinilai dengan
melihat sampai sejauh mana masyarakat sekitar kawasan terlibat aktif dalam proses tersebut.
Efektivitas kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi diukur dengan melihat apakah
dampak kegiatan legal maupun ilegal terhadap kawasan konservasi terdata dengan baik atau
tidak. Kegiatan yang efektif juga ditunjukkan oleh kesesuian kegiatan penelitian dengan isue-
isue ekologi dan sosial ekonomi yang berkembang dalam kawasan konservasi. Hasil-hasil
penelitian, monitoring, dan evaluasi juga harus dengan mudah diakses oleh berbagai kalangan
untuk tujuan perbaikan pengelolaan kawasan (Ilman, 2008).
d. Keluaran
Keluaran pengelolaan kawasan konservasi adalah pencapaian didapatkan selama 2
tahun terakhir melalui kerja keras staf, sukarelawan, dan masyarakat dalam mengelola
kawasan konservasi. Pencapain tersebut diukur dengan membandingkan dengan tekanan dan
ancaman, tujuan pembentukan kawasan, dan rencana kerja pengelolaan kawasan. Terdapat
sepuluh kriteria pencapaian yang diukur antara lain: (1) pencapain dalam mencegah,
mendeteksi, dan menegakkan hukum; (2) pencapaian dalam pelaksanaan rehabilitasi dan
mitigasi kerusakan; dan pencapaian dalam kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi
kegiatan (Ilman, 2008).
2.2.2 Indikator Evaluasi Efektifitas Pengelolaan
Indikator efektivitas pengelolaan kawasan konservasi menurut Pomeroy et al. (2004)
dalam Rolinda (2010) secara ringkas terdiri dari tiga kategori, yaitu:
1. Indikator biofisik :
a. Kelimpahan species penting
b. Struktur populasi species penting
c. Distribusi habitat dan kompleksitasnya
d. Komposisi dan struktur komunitas
e. Keberhasilan merekrut dalam komunitas
f. Kesatuan jaring makanan
g. Tipe, level, dan kembalinya usaha budidaya
h. Kualitas air
i. Daerah yang menunjukkan tanda kepulihan
j. Daerah minim atau tanpa dampak manusia
2. Indikator sosio-ekonomi:
a. Pola penggunaan Sumber Daya
b. Nilai lokal dan kepercayaan tentang SD
c. Tingkat pengetahuan dampak manusia terhadap SD
d. Persepsi terhadap ketersediaan sumber makanan dari alam
e. Persepsi terhadap hasil sumber lokal
f. Persepsi terhadap nilai bukan pasar dan nilai tidak termanfaatkan
g. Material gaya hidup
h. Distribusi sumber pendapatan rumah tangga
i. Kualitas kesehatan manusia
j. Struktur matapencaharian rumah tangga
k. Infrastruktur masyarakat dan usaha
l. Jumlah dan sifat pasar
m. Pengetahuan para pihak terhadap sejarah alam
n. Distribusi pengetahuan formal masyarakat
o. Persentase kelompok pihak dalam posisi kepemimpinan
p. Perubahan kondisi dari gsaris keturunan/leluhur dan sejarah lokasi
3. Indikator pengaturan (governance)
a. Tingkat konflik terhadap sumber
b. Keberadaan lembaga pengelolaan dan pengambilan keputusan
c. Keberadaan dan adopsi terhadap rencana pengelolaan
d. Pemahaman lokal terhadap aturan dan peraturan
e. Keberadaan dan kecukupan kebijakan yang mendukung
f. Ketersediaan dan alokasi dari sumber-sumber untuk administrasi
g. Keberadaan dan aplikasi masukan dan penelitian ilmiah
h. Keberadaan dan tingkat aktivitas dari organisasi masyarakat
i. Derajat interaksi antara pengelola dan para pihak
j. Proporsi pelatihan para pihak dalam pemanfaatan berkelanjutan
k. Tingkat pelatihan yang tersedia untuk para pihak dalam berpartisipasi
l. Tingkat partisipasi dan kepuasan para pihak dalam pengelolaan
m. Tingkat keterlibatan para pihak dalam pemantauan
n. Prosedur penegakan ditentukan dengan jelas
o. Cakupan penegakan
p. Diseminasi informasi
Berdasarkan hasil terbaik (best practices) dilapangan, indikator yang baik memenuhi
lima kriteria:
1. Terukur: dapat dicatat dan dianalisis baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
2. Tepat (precise): ditentukan dengan cara yang sama oleh semua orang.
3. Konsisten: tidak berubah sepanjang waktu sehingga selalu mengukur hal yang sama.
4. Sensitif: berubah secara proposional dalam merespon perubahan aktual dalam komponen
ukur.
5. Sederhana: indikator sederhana umumnya dipilih dibanding indikator yang kompleks
(Pomeroy et al. 2004).
Daftar Pustaka :
Rolinda. 2010. Pengelola Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang. Tesis. Universitas
Udayana
Ilman, Muhammad. 2008. Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir
Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor