evaluasi pengelolaan kawasan konservasi

22
Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi 1. Pengertian dan Tujuan Kegiatan pengelolaan bisa merupakan pelaksanaan atau aksi dari sebuah “kebijakan” dalam diagram analisis kebijakan Dunn (2003) dalam Ilman (2008) yang berorientasi pada masalah. Prosedur analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah menggunakan metode pemantauan dan evaluasi untuk memahami aksi kebijakan dan hasil-hasilnya. Prosedur ini terletak di paruh sebelah kiri dalam diagram analisis kebijakan dan secara umum disebut sebagai analisis kebijakan yang bersifat retrospektif (Gambar1). Prosedur pemantauan dan evaluasi dilakukan sebagai bagian dari analisis kebijakan untuk memahami ”apa yang terjadi dan perbedaan apa yang dibuat” dari sebuah kebijakan (Dunn, 2003 dalam Ilman, 2008). Secara umum, kegiatan pengelolaan sebagai aksi dan hasil-hasil kebijakan dapat digambarkan sebagai sebuah siklus dari 5 isu seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2 meliputi: (1) Konteks yang berisi status dan ancaman yang kemudian melahirkan visi pengelolaan; (2) Perencanaan; (3) Masukan; (4) Proses pengelolaan; (5) Keluaran; dan (6) Hasil (Hockings et al., 2006 dalam Ilman, 2008).

Upload: noviyanti-soleha

Post on 16-Jan-2016

36 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Konservasi Alam

TRANSCRIPT

Page 1: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

1. Pengertian dan Tujuan

Kegiatan pengelolaan bisa merupakan pelaksanaan atau aksi dari sebuah “kebijakan”

dalam diagram analisis kebijakan Dunn (2003) dalam Ilman (2008) yang berorientasi pada

masalah. Prosedur analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah menggunakan metode

pemantauan dan evaluasi untuk memahami aksi kebijakan dan hasil-hasilnya. Prosedur ini

terletak di paruh sebelah kiri dalam diagram analisis kebijakan dan secara umum disebut

sebagai analisis kebijakan yang bersifat retrospektif (Gambar1).

Prosedur pemantauan dan evaluasi dilakukan sebagai bagian dari analisis kebijakan untuk

memahami ”apa yang terjadi dan perbedaan apa yang dibuat” dari sebuah kebijakan (Dunn,

2003 dalam Ilman, 2008). Secara umum, kegiatan pengelolaan sebagai aksi dan hasil-hasil

kebijakan dapat digambarkan sebagai sebuah siklus dari 5 isu seperti yang ditunjukkan dalam

Gambar 2 meliputi: (1) Konteks yang berisi status dan ancaman yang kemudian melahirkan

visi pengelolaan; (2) Perencanaan; (3) Masukan; (4) Proses pengelolaan; (5) Keluaran; dan

(6) Hasil (Hockings et al., 2006 dalam Ilman, 2008).

Evaluasi efektivitas pengelolaan adalah hal yang mutlak diperlukan untuk mengetahui

apakah kegiatan yang dilakukan telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang mendasari

pengelolaan sehingga tujuan dapat dicapai atau tidak. Evaluasi dirasakan semakin perlu

belakangan ini ketika prinsip akuntabilitas menjadi isu yang tidak terpisahkan dalam hampir

setiap kegiatan yang bersinggungan dengan kepentingan publik.

Page 2: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

Gambar1. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 2003 dalam Ilman,

2008).

Pelaksanaan evaluasi efektivitas pengelolaan bukan hal yang mudah terutama ketika

pihak pengelola menganggap proses evaluasi sebagai proses ”penyidikan” (Hockings et.al.,

2006 dalam Ilman, 2008). Oleh sebab itu, penting untuk menetapkan tujuan evaluasi sebagai

alat untuk membantu pengelola dalam pekerjaannya, bukan sebagai sebuah cara untuk

memata-matai atau menghukum para pengelola yang kinerjanya kurang.

Gambar2. Siklus pengelolaan dan evaluasinya (Hockings et. al., 2006 dalam Ilman, 2008).

Page 3: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

Semua pihak yang terlibat dalam proses evaluasi sebaiknya memahami bahwa

evaluasi harus senantiasa dilihat sebagai sesuatu yang positif dan merupakan proses normal

untuk mendukung kegiatan pengelolaan. Bagaimanapun juga, lembaga donor, LSM, dan

masyarakat umum, punya hak untuk mengetahui pencapaian sasaran dan tujuan pengelolaan

kawasan konservasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa hasil evaluasi tersebut juga sangat

dibutuhkan untuk tujuan-tujuan advokasi (Hockings et.al., 2006 dalam Ilman, 2008). Oleh

sebab itu terdapat paling tidak tiga tujuan evaluasi efektivitas pengelolaan yaitu: (1)

Mempromosikan pengelolaan yang adaptif; (2) Meningkatkan kualitas perencanaan kegiatan;

(3) Mempromosikan akuntabiltas. Ketiga tujuan ini selanjutnya akan diupayakan tercapai

secara utuh melalui hasil evaluasi yang dilakukan dengan baik.

2. Mekanisme Evaluasi

Pelaksanaan evaluasi dilakukan pada semua tahap dalam siklus pengelolaan sehingga

dapat menjawab serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan 3 hal, yaitu:

1. Rancangan isu meliputi (1) konteks, di mana saat ini kita berada, dan (2) perencanaan,

yaitu dimana kita seharusnya berada.

2. Kesesuaian sistem dan proses-proses pengelolaan meliputi (1) masukan, apa yang

dibutuhkan, dan (2) proses, yaitu bagaimana kita mencapainya.

3. Pencapaian tujuan-tujuan kawasan konservasi meliputi (1) keluaran, apa yang telah

dilakukan dan produk dan jasa yang dikeluarkan, dan (2) hasil, yaitu apa yang sudah dicapai.

Evaluasi yang dilakukan berdasarkan pada pencapaian tujuan merupakan penilaian yang

paling bermanfaat untuk menilai langsung tujuan-tujuan nyata pengelolaan yang sudah

ditetapkan dalam kebijakan ditingkat nasional, daerah, dan lokasi. Sebagai konsekuensinya,

penilaian ini membutuhkan informasi jangka panjang mengenai kondisi keanekaragaman

hayati, budaya, sosial, dan dampak pengelolaan pada masyarakat setempat. Penilaian

Page 4: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

berdasarkan pencapaian merupakan ujian yang sebenarnya dalam menilai efektivitas

pengelolaan (Hockings et.al. 2006 dalam Ilman, 2008).

Sejak tahun 1990an beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui prosedur penilaian

efektivitas pengelolaan. Studi-studi terakhir mengenai hal tersebut antara lain adalah:

1. Ervin (2003) dalam Ilman (2008) dari WWF menyusun sebuah pendekatan yang

disebut Rapid Assesment and Prioritization Protected Area Management disingkat

RAPPAM. Pendekatan digunakan secara luas di seluruh dunia terutama karena

sifatnya yang praktis. Indikator yang digunakan relatif mudah untuk diadaptasi

pada setiap kawasan konservasi meski dengan karakteristik yang berbeda-beda.

2. Pomeroy et. al (2004) dalam Ilman (2008) dari MPA Management Effectivennes

Initiative (MPA-MEI) mengembangkan metodologi untuk kawasan konservasi

laut. Dibandingkan RAPPAM, pendekatan yang digunakan oleh MPA MEI lebih

luas dan menyeluruh sehingga cenderung sulit untuk diaplikasikan secara utuh.

Studi menggunakan metoda dari MPA-MEI ini pernah dilakukan sebelumnya oleh

Abbot (2003) dalam Ilman (2008), tapi hanya mengaplikasikan indikator tata

laksana yang baik bagi pengelolaan kawasan konservasi laut untuk daerah

perlindungan burung di Northern Mariana Island, Pasifik

3. Staub dan Hatziolos (2004) dalam Ilman (2008), dari World Bank

mengembangkan metodologi yang lebih praktis dibandingkan metodologi MPA-

MEI IUCN dan RAPPAM.

4. Belfiore et. al (2003) dalam Ilman (2008), dari UNESCO mengembangkan

metodologi untuk menilai efektivitas pengelolaan pesisir. Aplikasi dan efektivitas

metode ini tidak diketahui secara luas karena tidak ada lembaga khusus yang

”mengawal” studi tersebut hingga tahap ujicoba.

Page 5: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

Berbagai pilihan pendekatan tersebut diatas memiliki kelemahan dan kekuatan

masing-masing sehingga penggunaannya pun tergantung pada kondisi yang ditemui

dilapangan.

2.1 Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management

Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management (RAPPAM)

dikembangkan berdasarkan hasil kajian sebuah gugus tugas yang diberi mandat oleh Komisi

Kawasan Konservasi Dunia (WCPA) mengenai kerangka kerja umum dalam menilai

efektivitas pengelolaan kawasan konservasi secara konsisten. Kerangka kerja umum yang

dikeluarkan oleh WCPA didasarkan penilaiannya pada 6 tahapan dalam siklus pengelolaan

yaitu: konteks, perencanaan, masukan, proses, keluaran, dan hasil. RAPPAM adalah salah

satu metodologi yang berusaha menjabarkan secara konkrit kerangka kerja umum yang telah

dikembangkan WCPA tersebut.

Metode ini telah dikembangkan selama periode 4 tahun dan telah diuji dan dipertajam

di sekitar 7 negara (Ervin 2003, Goodman, 2003 dalam Ilman, 2008). Sampai saat ini lebih

dari 24 negara telah menggunakannya antara lain untuk menguji jaringan kawasan

konservasinya seperti Buthan, China, Finlandia, dan Russia.

Penggunaan RAPPAM yang semakin meluas di seluruh dunia membuat pendekatan

ini menjadi kaya dengan modifikasi-modifikasi untuk menyesuaikan dengan situasi masing-

masing. Brazil dengan menggunakan RAPPAM berhasil mengidentifikasi 3 kebijakan umum

yang diakui akurat oleh para pengelola kawasan konservasi yaitu: (1) dalam bidang

pengelolaan/kelembagaan yang merekomendasikan restrukturisasi pengelola berdasarkan

kompetensi masing-masing staf dan membentuk mekanisme insentive untuk kegiatan yang

ramah lingkungan disekitar kawasan konservasi; (2) dalam bidang konservasi

direkomendasikan pembentukan patroli bersama dan pemberian insentive untuk pengelolaan

kawasan konservasi yang dikelola secara pribadi; dan (3) dalam bidang keuangan

Page 6: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

direkomendasikan pembentukan team yang baru untuk pengelolaan kawasan konservasi

(Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo, 2004 dalam Ilman, 2008).

Kamboja adalah salah satu negara yang telah menerapkan RAPPAM untuk

mengevaluasi pengelolaan kawasan konservasi di daerahnya. Kamboja menghasilkan 11

rekomendasi kebijakan yang menekankan pentingnya hubungan antar lembaga dan antar

wilayah yang sinergi satu sama lain (Lacerda et al. 2004 dalam Ilman, 2008).

2.1.1 Ruang Lingkup Rekomendasi RAPPAM

Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi bisa dibagi ke dalam beberapa tingkatan

kebijakan pengelolaan mulai dari tingkat nasional yang mengelola beberapa kawasan

konservasi sekaligus hingga tingkat pengelolan spesies dalam sebuah kawasan konservasi.

Kebijakan pengelolaan tersebut jika mengacu pada struktur organisasi pengelolaan kawasan

konservasi yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No P. 03/Menhut-II/2007

dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu: tingkatan makro, meso, dan mikro. Kebijakan

operasional tertinggi adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan kebijakan

operasional terendah dikeluarkan oleh Kepala Bagian/Seksi Konservasi Balai Taman

Nasional. Rincian pembagian tingkatan pengelolaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kebijakan makro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan,

yaitu melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan

pejabat penanggung jawab setingkat eselon 1.

2. Kebijakan meso adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional

dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 2 atau eselon 3.

3. Kebijakan mikro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional

dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 3 atau eselon 4.

Page 7: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

Pendekatan RAPPAM dapat bekerja lebih baik pada penyusunan kebijakan di level

makro sebab RAPPAM didesain untuk melakukan pembandingan diantara setiap kawasan

konservasi yang beraneka ragam karakteristiknya (Ervin, 2003 dalam Ilman, 2008).

Pendekatan RAPPAM membantu kita dengan mudah mengetahui ancaman apa yang

dihadapi oleh sejumlah kawasan konservasi dan seberapa serius ancaman tersebut; kawasan

konservasi mana yang lebih baik dalam hal infrastruktur dan kapasitas pengelolanya.

Kelebihan-kelebihan RAPPAM untuk membantu penyusunan kebijakan di tingkat makro

tidak berlaku pada penyusunan kebijakan mikro. RAPPAM bisa digunakan untuk mengetahui

nilai penting dan efektivitas pengelolaan sebuah kawasan konservasi. Meski demikian

RAPPAM tidak memadai untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang adaptif terhadap

kondisi detail kawasan konservasi yang dinilainya. Oleh sebab itu maka rekomendasi

kebijakan makro yang dihasilkan RAPPAM harus ditindak lanjuti dengan mengidentifikasi

kebutuhan detail masing-masing kawasan untuk peningkatan kapasitas tersebut, misalnya

training pengelolaan modal usaha kecil atau magang bagi staf ke luar negeri.

Tabel 1. Kerangka kerja penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi

Page 8: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

Gambar 3. Alur penelitian efektivitas kebijakan pengelolaan kawasan konservasi (Ilman,

2008).

Tulisan yang ditebalkan adalah kegiatan utama dalam penelitian yaitu mengumpulkan

data RAPPAM, menganalisis data untuk mengetahui efektivitas, dan menyusun rekomendasi

strategi pengelolaan Kawasan konservasi.

2.2 Kriteria Indikator Indonesia

Keterlibatan negara yang diwakili pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi

telah dimulai sejak hampir 300 tahun yang lalu. Hingga saat ini pemerintah pusat dalam hal

ini Departemen Kehutanan memiliki kewenangan mengelola hingga 23 juta hektar kawasan

konservasi diseluruh Indonesia. Seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi

masyarakat, isu yang melingkupi kegiatan konservasi pun menjadi sedemikian besar dan

kompleks. Isu tersebut berupa isu internasional seperti tanggung jawab terhadap perlindungan

lingkungan global, isu nasional seperti distribusi kewenangan pengelolaan pusat dan daerah,

dan isu lokal seperti pemanfaatan sumberdaya kawasan konservasi bagi masyarakat (Ilman,

2008).

Page 9: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

Berbagai isu yang mengiringi pengelolaan kawasan konservasi harus dikelola secara

secara cermat agar fungsi dan tujuan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga

kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari dapat tetap

dipenuhi. Departemen Kehutanan sebagai wakil pemerintah dalam mengelola kawasan

konservasi dituntut untuk melakukan implementasi kebijakan yang efektif dan transparan.

Oleh sebab itu upaya evaluasi terhadap efektivitas pengelolaan menjadi sangat penting untuk

mengetahui apa yang sedang terjadi dalam aksi kebijakan dan apa yang dapat dilakukan

untuk memperbaiki keadaan. Hasil evaluasi yang transparan juga akan membantu masyarakat

luas yang ingin memberikan kontribusi aktif dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi

(Ilman, 2008).

Kebijakan konservasi nasional disusun sebagai respon terhadap berbagai isu.

Kebijakan tersebut kemudian dilaksanakan antara lain melalui pengelolaan Taman Nasional

yang bertujuan untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, mengawetkan sumberdaya

hayati, dan menyediakan sumberdaya untuk dimanfaatkan secara lestari. Evaluasi terhadap

efektivitas pengelolaan dilakukan untuk memperbaiki kegiatan pengelolaan maupun

kebijakan konservasi nasional (Ilman, 2008).

Evaluasi efektivitas pengelolaan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap 4

aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap

aspek merupakan kumpulan komponen pengelolaan yang memiliki ciri khas tertentu (Ilman,

2008).

2.2.1 Analisis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan

Kajian mengenai efektivitas pengelolaan dilakukan pada empat aspek pengelolaan

kawasan konservasi yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Efektivitas diukur

berdasarkan tingkat pencapaian yang diperoleh oleh pengelolaan kawasan konservasi pada

masing-masing kriteria yang diamati (Ilman, 2008).

Page 10: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

a. Efektivitas Perencanaan

Efektivitas perencanaan mengukur tiga kriteria umum yaitu: (1) penetapan tujuan; (2)

kepastian hukum, dan (3) desain tapak kawasan konservasi. Efektivitas penetapan tujuan

menilai sampai sejauh mana tujuan penetapan kawasan konservasi telah mencakup semua

keunikan kawasan dan keperluan untuk mempertahankan keunikan tersebut. Efektivitas

penetapan tujuan tersebut juga mencakup penilaian tingat pemahaman pengelola kawasan dan

masyarakat disekitar kawasan terhadap tujuan penetapan kawasan konservasi. Efektivitas

kepastian hukum antara lain menilai kuat tidaknya dasar hukum penetapan kawasan

konservasi, ada tidaknya persoalan berkaitan dengan kepemilikan lahan dan hak ulayat.

Kepastian hukum juga menilai sampai sejauh mana pengelola memiliki hak untuk melakukan

upaya-upaya penegakan hukum dalam wilayah kawasan konservasi. Efektivitas desain tapak

kawasan menilai kesesuaian desain tapak terhadap tujuan penetapan kawasan konservasi.

Desain tapak juga harus mendukung berfungsinya upaya-upaya pengelolaan kawasan secara

efektif termasuk keterkaitannya dengan daerah-daerah sekelilingnya (Ilman, 2008).

b. Efektivitas Masukan

Efektivitas masukan mengukur 4 kriteria umum yaitu: (1) jumlah dan kualitas staff

pengelola; (2) ketersediaan data dan komunikasi; (3) ketersediaan infrastruktur; dan (4)

kecukupan pendanaan pengelolaan. Efektivitas jumlah dan kualitas staf diukur dengan

melihat pemenuhan jumlah staf dibandingkan dengan luasan area dan kesesuaian isu.

Efektivitas staf juga menilai tingkat pemenuhan kebutuhan staf seperti gaji, fasilitas kerja,

prestise, dan peningkatan kemampuan. Efektivitas penyediaan data dan komunikasi

mengukur ketersediaan saluran komunikasi yang efektif antara petugas lapangan dan kantor,

maupun dengan masyarakat sekitar. Hal lain yang juga diukur adalah mekanisme yang

memadai untuk melakukan pengumpulan dan pemrosesan data kawasan konservasi.

Page 11: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

Efektivitas ketersediaan infrastruktur mengukur ketersediaan sarana dan prasarana

transportasi, bangunan, serta berbagai peralatan lain untuk mengelola kawasan konservasi.

Efektivitas intervensi juga mencakup adanya kegiatan perawatan yang memadai terhadap

fasilitas yang ada dan ketersediaan fasilitas yang memadai bagi pengunjung kawasan

konservasi. Efektivitas pendanaan mengukur pemenuhan kebutuhan pendanaan selama 5

tahun terakhir dan ketersediaan dana selama 5 tahun kedepan. Kestabilan pendanaan dalam

jangka panjang dan kesesuaian alokasi pendanaan dan kebutuhan juga menjadi karakteristik

yang diukur untuk memahami efektivitas pendanaan (Ilman, 2008).

c. Efektivitas Proses

Efektivitas proses pengelolaan mengukur 3 kriteria umum yaitu: (1) ketersediaan rencana

detail strategi pengelolaan; (2) mekanisme pengambilan keputusan; (3) kegiatan penelitian,

pemantauan, dan evaluasi. Efektivitas rencana detail strategi pengelolaan diukur dengan

melihat ada tidaknya kajian kondisi terkini kawasan yang kemudian dijadikan acuan

penyusunan rencana kegiatan. Efektivitas juga diukur dengan melihat apakah hasil

monitoring rutin menjadi dasar evaluasi perencanaan. Efektivitas proses pengambilan

keputusan dilakukan dengan melihat transparansi proses pengambilan keputusan internal

pengelola kawasan konservasi. Pengambilan keputusan yang efektif juga dinilai dengan

melihat sampai sejauh mana masyarakat sekitar kawasan terlibat aktif dalam proses tersebut.

Efektivitas kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi diukur dengan melihat apakah

dampak kegiatan legal maupun ilegal terhadap kawasan konservasi terdata dengan baik atau

tidak. Kegiatan yang efektif juga ditunjukkan oleh kesesuian kegiatan penelitian dengan isue-

isue ekologi dan sosial ekonomi yang berkembang dalam kawasan konservasi. Hasil-hasil

penelitian, monitoring, dan evaluasi juga harus dengan mudah diakses oleh berbagai kalangan

untuk tujuan perbaikan pengelolaan kawasan (Ilman, 2008).

Page 12: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

d. Keluaran

Keluaran pengelolaan kawasan konservasi adalah pencapaian didapatkan selama 2

tahun terakhir melalui kerja keras staf, sukarelawan, dan masyarakat dalam mengelola

kawasan konservasi. Pencapain tersebut diukur dengan membandingkan dengan tekanan dan

ancaman, tujuan pembentukan kawasan, dan rencana kerja pengelolaan kawasan. Terdapat

sepuluh kriteria pencapaian yang diukur antara lain: (1) pencapain dalam mencegah,

mendeteksi, dan menegakkan hukum; (2) pencapaian dalam pelaksanaan rehabilitasi dan

mitigasi kerusakan; dan pencapaian dalam kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi

kegiatan (Ilman, 2008).

2.2.2 Indikator Evaluasi Efektifitas Pengelolaan

Indikator efektivitas pengelolaan kawasan konservasi menurut Pomeroy et al. (2004)

dalam Rolinda (2010) secara ringkas terdiri dari tiga kategori, yaitu:

1. Indikator biofisik :

a. Kelimpahan species penting

b. Struktur populasi species penting

c. Distribusi habitat dan kompleksitasnya

d. Komposisi dan struktur komunitas

e. Keberhasilan merekrut dalam komunitas

f. Kesatuan jaring makanan

g. Tipe, level, dan kembalinya usaha budidaya

Page 13: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

h. Kualitas air

i. Daerah yang menunjukkan tanda kepulihan

j. Daerah minim atau tanpa dampak manusia

2. Indikator sosio-ekonomi:

a. Pola penggunaan Sumber Daya

b. Nilai lokal dan kepercayaan tentang SD

c. Tingkat pengetahuan dampak manusia terhadap SD

d. Persepsi terhadap ketersediaan sumber makanan dari alam

e. Persepsi terhadap hasil sumber lokal

f. Persepsi terhadap nilai bukan pasar dan nilai tidak termanfaatkan

g. Material gaya hidup

h. Distribusi sumber pendapatan rumah tangga

i. Kualitas kesehatan manusia

j. Struktur matapencaharian rumah tangga

k. Infrastruktur masyarakat dan usaha

l. Jumlah dan sifat pasar

m. Pengetahuan para pihak terhadap sejarah alam

Page 14: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

n. Distribusi pengetahuan formal masyarakat

o. Persentase kelompok pihak dalam posisi kepemimpinan

p. Perubahan kondisi dari gsaris keturunan/leluhur dan sejarah lokasi

3. Indikator pengaturan (governance)

a. Tingkat konflik terhadap sumber

b. Keberadaan lembaga pengelolaan dan pengambilan keputusan

c. Keberadaan dan adopsi terhadap rencana pengelolaan

d. Pemahaman lokal terhadap aturan dan peraturan

e. Keberadaan dan kecukupan kebijakan yang mendukung

f. Ketersediaan dan alokasi dari sumber-sumber untuk administrasi

g. Keberadaan dan aplikasi masukan dan penelitian ilmiah

h. Keberadaan dan tingkat aktivitas dari organisasi masyarakat

i. Derajat interaksi antara pengelola dan para pihak

j. Proporsi pelatihan para pihak dalam pemanfaatan berkelanjutan

k. Tingkat pelatihan yang tersedia untuk para pihak dalam berpartisipasi

l. Tingkat partisipasi dan kepuasan para pihak dalam pengelolaan

m. Tingkat keterlibatan para pihak dalam pemantauan

Page 15: Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi

n. Prosedur penegakan ditentukan dengan jelas

o. Cakupan penegakan

p. Diseminasi informasi

Berdasarkan hasil terbaik (best practices) dilapangan, indikator yang baik memenuhi

lima kriteria:

1. Terukur: dapat dicatat dan dianalisis baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

2. Tepat (precise): ditentukan dengan cara yang sama oleh semua orang.

3. Konsisten: tidak berubah sepanjang waktu sehingga selalu mengukur hal yang sama.

4. Sensitif: berubah secara proposional dalam merespon perubahan aktual dalam komponen

ukur.

5. Sederhana: indikator sederhana umumnya dipilih dibanding indikator yang kompleks

(Pomeroy et al. 2004).

Daftar Pustaka :

Rolinda. 2010. Pengelola Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang. Tesis. Universitas

Udayana

Ilman, Muhammad. 2008. Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir

Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor