etnonesia #juni

34
ETNONESIA JALAN CERDIK MENTAWAI Memahami alam, mengikuti pemerintah, mencari penghidupan. Saat Penentuan Kalimantan ETNONESIA.ORG JUNI 2014

Upload: ahmad-zaenudin

Post on 01-Apr-2016

228 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Etnonesia #juni

ETNONESIA

JALAN CERDIK MENTAWAI

Memahami alam, mengikuti pemerintah, mencari penghidupan.

Saat PenentuanKalimantan

ETNONESIA.ORG JUNI 2014

Page 2: Etnonesia #juni

ETNONESIALocal Exploration

ETNONESIA merupakan organisasi non-profit yang bertujuan memberikan pe-mahaman perihal kajian-kajian dalam ranah sosial, kultural, geografi, antariksa, dan sains. Menerbitkan Majalah ETNONESIA setiap bulannya sebagai jurnal re-smi bagi seluruh kalangan masyarakat. Eksplorasi lokal merupakan misi kami, dalam upaya memahami setiap jengkal kehidupan bermasyarakat setiap umat manusia dulu, kini, dan nanti.

Saat Penentuan Kalimantan hal 5

Jalan Cerdik Mentawai hal 26

Sajian Utama

2 ETNONESIA

Page 3: Etnonesia #juni

DARI EDITOR

3 ETNONESIA

Berubah Cerita tentang suku terasing adalah cerita-cerita tentang kekaguman kita, manusia kota perihal cara hidup mereka. Berburu, meramu, dan berladang dengan skala kecil merupakan sebuah kiasan yang tak berujung manaka-la kita membicarakan mereka. Dan tentu, alangkah sedihn-ya jika cerita tentang mereka, kita dengarkan dengan nara-si-narasi yang diluar ekspektasi kita. Tapi, itulah yang terjadi. Kita boleh saja memiliki imajinasi tingkat tinggi tentang kehidupan yang harmo-nis tentang mereka. Tapi lagi-lagi, kenyataan berkata lain. Modernisasi telah sejak lama mengunjungi mereka. Ditam-bah kenyataan lainnya, bahwa mereka dianggap terbel-akang, dianggap “bukan manusia” dan anggapan lainnya yang mengucilkan mereka. Akibatnya mudah ditebak, ke-hidupan mereka, yang belakangan kita tahu merupakan ke-hidupan terbaik dalam mengatasi segala masalah-masalah alam, harus dipaksa dimusnahkan. Pemerintah bergeming, mereka menganggap apa yang dilakukan adalah sema-ta-mata memanusiakan mereka. Ironis, Mentawai telah berubah.

Ahmad ZaenudinEditor in Chief

Page 4: Etnonesia #juni
Page 5: Etnonesia #juni

Rimba raya tengah menghilang dalam asap dan serbuk gergaji, tetapi masih ada harapan bagi keanekaragaman hayati Kalimantan yang melegenda itu—jika demam kelapa sawit dapat diredakan.

Saat Penentuan Kalimantan

Oleh Mel White Foto oleh Mattias Klum

Page 6: Etnonesia #juni

Hari itu bermula beberapa jam sebelum fajar menyingsing

dengan riuh rendah bunyi ungka, jam weker khas hutan

hujan. Kekasih dan seteru saling merayu dan mengancam

dari puncak pepohonan dalam bahasa monyet yang kepepet,

bahasa yang hanya dapat saya tebak-tebak, sebagai kerabatnya

yang hidup di atas tanah.

Dari kemah saya, jalan di tepi anak sungai membentang ke dalam

hutan, melalui pepohonan yang batang besarnya menjulang 30

meter hingga dahan yang terendah. Saat sinar surya samar-

samar menembus tajuk hijau yang rimbun, primata yang lain,

seekor monyet ekor panjang, berjalan di tanah di sepanjang

aliran sungai, mencari ikan atau katak untuk sarapan. Entah

berhasil atau tidak, raut mukanya yang selalu kesal tak pernah

berubah. Begitu monyet itu menghilang ke hulu, sepasang

cerpelai ekor pendek berlari turun ke tepi sungai, sepertinya

lebih ingin bersenang-senang daripada mencari makanan.

Di suatu daerah terbuka, sepasang rangkong badak terbang dengan

sayap menderu ke pohon yang berbuah dan mulai makan. Burung

ini hampir sebesar kalkun, warnanya sebagian besar hitam, serta

memiliki tanduk besar berwarna merah dan kuning di atas paruhnya

yang berkilat terkena sinar mentari, seperti pernis mengilap. Kedua

burung ini lebih cerah daripada semua hal lain di dalam rimba,

sampai satu sosok sebesar telapak tangan terbang ke sana kemari

setinggi pinggang, warnanya hitam beludru pekat, tetapi juga ada

merah tua dan hijau elektrik, hijau neon mencolok, warna yang

sama berlagaknya dengan nama makhluk ini: kupu-kupu raja

Brooke. Dengan lebar hampir 18 sentimeter, satwa ini adalah

salah satu kupu-kupu terbesar di dunia. Jika rangkong badak tidak

memukau Anda—jika kupu-kupu raja Brooke juga tidak—mintalah

seseorang memegang pergelangan dan memeriksa nadi Anda.

Kemudian saya menumpang perahu kecil menghiliri sungai lebar

yang bernama Kinabatangan, lalu masuk ke arah hulu anak

sungai yang sesempit gang. Sepasukan bekantan memanjat di

cabang-cabang pohon di atas kepala kami, tempat primata-

primata itu melewatkan malam di atas kayu-kayu tinggi di tepian

sungai. Si jantan berperut buncit, dengan hidung kebesaran yang

menggantung di wajahnya seperti buah matang, tampak demikian 6 ETNONESIA

Page 7: Etnonesia #juni

jelek sehingga menimbulkan rasa sayang, seperti pada nenek-nenek yang

cerewet. Sebagian besar betina berhidung runcing dalam kelompoknya

menggendong bayi di dadanya. Beberapa lutung hitam mengawasi

kami dari atas, sementara seekor babi hutan berdiri tak jauh di dalam

hutan mengawasi kami lewat. Saat perahu hanyut di kolong dahan yang

melintasi sungai, seekor biawak sepanjang dua meter masuk ke air.

Seekor gajah kalimantan masuk ke sungai dan berenang di depan

perahu, mengembuskan napas seperti seekor paus. Ukuran gajah ini

kecil jika dibandingkan dengan gajah lain, tetapi saat satwa yang gelap

dan berkilat ini muncul di seberang sungai, gajah kalimantan tersebut

terlihat seperti pulau yang muncul dari dalam laut. Saya tahu ke mana

tujuannya: sekawanan gajah yang terdiri atas sekitar 30 ekor—seekor

jantan bergading panjang, betina dewasa dalam jumlah besar, dan

beberapa anak beragam usia—mengunyah tanaman merambat di tepi

sungai besar, dingin seperti patung dan hanya sedikit lebih hidup.

Inilah Kalimantan yang melegenda, pulau fantasi dunia, dan memang

sama menakjubkannya dengan yang terdengar. Namun, jika Anda

ingin melihat Kalimantan sesungguhnya, Kalimantan di dasawarsa

pertama abad ke-21, cobalah menjadi elang-ular bido yang bertengger

di atas pohon di seberang sungai. Lalu Anda dapat membubung

tinggi di atas Sungai Kinabatangan dan melihat betapa cepat rimba

yang semrawut berubah menjadi barisan pohon kelapa sawit yang

ditanam rapi, membentang berkilo-kilometer ke semua jurusan.

Perkebunan sawit itu tampak rimbun dan hijau, pelepahnya yang melengkung

menampilkan keindahan eksotis, tapi bagi keanekaragaman hayati

Kalimantan yang tiada bandingannya, hal itu merupakan maut tanpa ampun.

Terletak di antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa serta

dibelah dua oleh Khatulistiwa, Pulau Kalimantan telah berbakti

di sepanjang sejarah manusia, terutama lewat eksploitasi

sumber daya alamnya—banyak yang menganggapnya dijarah—

oleh berbagai bangsa dari seluruh dunia yang silih berganti.

Pedagang Tiongkok datang mencari cula badak, kayu gaharu, serta

sarang burung untuk sup. Kemudian, saudagar Muslim dan Portugis

bergabung untuk mengekspor lada dan emas. Inggris dan Belanda 7 ETNONESIA

Page 8: Etnonesia #juni

mengendalikan pulau itu selama masa penjajahan pada abad ke-19

hingga awal abad ke-20, saat pembalak mulai menebangi hutan kayu keras

tropis yang menyelimuti pulau tersebut. Pembagian Kalimantan secara

politis saat ini—tiga perempat di selatan masuk Indonesia, sebagian

besar sisanya masuk Malaysia, dan sebagian kecil menjadi Brunei

Darussalam—mencerminkan persekutuan zaman penjajahan Inggris dan

Belanda yang berakhir dengan kemerdekaan setelah Perang Dunia II.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, perusahaan-perusahaan dari Eropa,

Amerika Serikat, dan Australia telah menggali minyak dan gas alam yang

melimpah serta batubara di tambang terbuka. Banyak rumah mewah

mulai dari Amsterdam hingga Melbourne, dari Singapura hingga Houston,

yang dibangun dengan kekayaan dari Kalimantan. Rumah mewah yang

dibangun dengan kekayaan Kalimantan juga berdiri di Jakarta dan Kuala

Lumpur, karena Indonesia dan Malaysia, atau setidaknya elite ekonomi

dan politiknya, adalah yang paling banyak melakukan eksploitasi di

antara semuanya.

Kekayaan dalam jenis yang berbeda menarik orang yang lain,

termasuk naturalis besar Alfred Russel Wallace, yang menghabiskan

waktu di sini pada pertengahan 1850-an saat dia mengembangkan

teori yang penting bagi pemahaman modern tentang evolusi dan

biogeografi. Wallace mengumpulkan lebih dari seribu spesies yang

saat itu belum dikenal oleh ilmu pengetahuan, termasuk kupu-kupu

raja Brooke. Para ilmuwan terus menemukan spesies baru sejak saat

itu, membuktikan bahwa hutan hujan Kalimantan termasuk salah

satu tempat yang secara biologis paling beraneka ragam di Bumi.

Kalimantan memiliki lebih dari 15.000 spesies tumbuhan yang sudah

dikenal, termasuk lebih dari 2.500 spesies anggrek. Hutan dataran

rendah Asia Tenggara, termasuk Kalimantan, merupakan hutan

hujan tropis paling jangkung di dunia, dan bisa ditumbuhi hingga

240 spesies pohon dalam kawasan seluas satu setengah hektare.

Kalimantan memiliki bunga terbesar di dunia, anggrek terbesar di

dunia, tanaman karnivora terbesar di dunia, serta rama-rama terbesar

di dunia. Dalam struktur bertingkat-tingkat hutan hujan Kalimantan,

hidup kumpulan satwa peluncur terbesar di dunia: Selain beberapa

spesies tupai terbang, ada kubin, kubung, dan katak pohon, serta—

sumber mimpi buruk bagi sebagian orang—ular pohon surga. 8 ETNONESIA

Page 9: Etnonesia #juni

Beruang madu dan macan dahan berkeliaran di hutan Kalimantan,

sementara dua spesies ungka dan delapan spesies monyet dan

lutung memanjat pepohonan. Sekitar 1.000 ekor gajah masih bertahan

di salah satu sudut pulau itu—sebagian besar di negeri Sabah,

Malaysia, tempat Sungai Kinabatangan mengalir hingga ke Laut Sulu.

Badak sudah nyaris punah, tak sampai empat lusin yang tersisa.

Namun, adalah satwa yang lebih berkarisma—orangutan—yang menjadi

simbol Kalimantan. Matanya yang ekspresif menatap dari lembaran laporan

berkala dan permohonan dana kelompok konservasi di seluruh dunia.

Mengingat keanekaragaman hayati pulau itu yang tiada bandingannya—

dari orangutan dan badak hingga lumut daun dan kumbang kecil yang

belum ditemukan—serta laju penyusutan hutan, masa depan Kalimantan

mungkin menjadi masalah pelestarian paling kritis di planet kita.

Dari sudut pandang satelit, ancaman penggundulan hutan Kalimantan

mungkin tampak berlebihan. Pulau ini setengahnya masih diliputi hutan

dan di dataran tinggi pedalamannya terbentang ratusan kilometer persegi

hutan perawan yang hampir tak pernah didatangi siapa pun selain pemburu

pribumi, pemburu liar, dan pencari gaharu. Untuk mencapai beberapa

kawasan tertentu, perlu menumpang perahu selama beberapa hari atau

terseok-seok menembus belantara yang tak memiliki jalan setapak.

Namun ceritanya sungguh berbeda dan semakin memilukan untuk hutan

dataran rendah yang merupakan habitat utama sebagian besar kekayaan

keanekaragaman hayati Kalimantan, termasuk orangutan dan gajah.

Dalam dua dasawarsa terakhir, diperkirakan 8.000 kilometer persegi hutan

dataran rendah dibuka setiap tahun, sebuah kawasan yang nyaris satu

setengah kali Pulau Bali. Sebuah makalah dalam majalah Science pada

2001—dengan judul yang mengancam “Akhir Hutan Dataran Rendah

Indonesia?”—memperingatkan “konsekuensi buruk” akibat “kondisi anarki

sumber daya saat ini” dan mengutip kajian yang memperkirakan bahwa

hutan dataran rendah di Kalimantan Indonesia akan hancur total pada

2010. Walau tindakan tegas pemerintah telah mengurangi pembalakan

liar dan ekspor ilegal, hasilnya hanya menunda ramalan kiamat.

Faktor-faktor lain dapat ikut mempercepat tingkat deforestasi. Dalam

20 tahun terakhir, perkebunan homogen kelapa sawit yang luas tersebar 9 ETNONESIA

Page 10: Etnonesia #juni

di seluruh Kalimantan untuk memenuhi permintaan minyak serba guna

(dan sangat menguntungkan) tersebut yang dihasilkan dari buahnya.

Minyak sawit digunakan untuk memasak dan menjadi kandungan

kosmetik, sabun, penganan ringan, serta produk lain yang daftarnya

seperti tak ada habis-habisnya, termasuk bahan bakar hayati. Indonesia

dan Malaysia menyumbang 86 persen pasokan dunia minyak sawit;

sementara kondisi pertumbuhan emas hijau itu sempurna di Kalimantan.

Bahkan saat pelestari lingkungan menyebarkan berita tentang kontribusi

kelapa sawit terhadap deforestasi global—beberapa mengimbau

pemboikotan produk minyak sawit—Indonesia malah menjadi negara

produsen terbesar di dunia, dengan 60.000 kilometer persegi yang

dibudidayakan, angka yang dapat berlipat dua sebelum 2020.

Seakan monokultur kelapa sawit saja tidak cukup, Kalimantan juga

memiliki sumber daya lain yang memberi berkah ekonomi sekaligus

bahaya lingkungan, yaitu sisa-sisa tumbuhan berusia 300 juta tahun

yang dulu tumbuh di tempat yang kini ada di perut Kalimantan, berubah

menjadi batubara. Tambang permukaan—untuk mencari emas dan juga

batubara—tersebar di seluruh Kalimantan timur dan selatan seperti

bopeng, menggantikan hutan dan mencemari sungai dengan limbahnya.

Dalam dunia yang baru menyadari bahaya perubahan iklim, Kalimantan

menarik perhatian dunia karena alasan yang lain, yaitu ekosistem khas

yang disebut hutan rawa gambut yang meliputi sekitar 11 persen pulau

tersebut. Dalam ekosistem ini, pepohonan tumbuh di atas tanah organik

yang terbentuk akibat berabad-abad akumulasi bahan tumbuhan yang

jenuh air. Tanah gambut yang terkadang mencapai kedalaman 20 meter

ini merupakan persediaan raksasa karbon dunia. Jika pepohonannya

ditebang dan lahannya dikeringkan, gambut tropis akan melapuk dan

melepaskan karbonnya ke atmosfer, dan saat kering gambut sangat

mudah terbakar, baik disengaja ataupun tidak. Pembakaran tahunan

besar-besaran yang sengaja dilakukan untuk membuka lahan hutan

menjadi perkebunan kelapa sawit baru—dan diperparah oleh seringnya

musim kemarau—menjadi tak terkendali dan memenuhi langit Kalimantan

dengan asap, menutup bandara, serta menyebabkan gangguan

pernapasan bagi jutaan orang hingga sampai ke Asia daratan. Karbon

yang dilepaskan oleh tanah gambut yang membusuk, api, dan deforestasi

telah mendorong Indonesia menjadi negara sumber gas rumah kaca ketiga

terbesar, hanya kalah oleh negara industri China dan Amerika Serikat. 10 ETNONESIA

Page 11: Etnonesia #juni

Waktu sudah hampir habis bagi hutan hujan Kalimantan. Model

konvensional tak memberi banyak harapan. Menyisihkan sejumlah

kawasan luas sebagai taman nasional atau cagar alam, yang menjadi

praktik umum di AS dan negara-negara lain, kebanyakan tidak efektif,

setidaknya di Kalimantan bagian Indonesia karena digerogoti oleh

kekurangan dana, kurangnya dukungan penduduk lokal, serta korupsi

di pemerintahan. Namun, banyak pelestari lingkungan mengatakan

bahwa pembalakan, yang sering dicap sebagai kutukan bagi alam liar,

sebenarnya dapat, jika dilaksanakan secara berkelanjutan, membantu

melindungi sebagian besar keanekaragaman hayati pulau tersebut.

“Hutan hujan perawan adalah konsep yang sudah mati di Kalimantan,”

ujar Glen Reynolds, ilmuwan kepala di Pusat Kajian Lapangan Lembah

Danum di Sabah. “Semua belantara hutan dataran rendah yang bisa

dikonservasi telah dikonservasi. Memang sulit, tetapi yang harus dilakukan

sekarang adalah meyakinkan masyarakat bahwa yang dianggap sebagai

hutan terdegradasi ini dapat melestarikan keanekaragaman hayati."

Pesannya kompleks, tetapi sangat jelas. Untuk melindungi hutan dan

margasatwa Kalimantan, kita perlu merenungkan ulang gagasan lama,

menerima kebenaran baru, dan menggunakan model pelestarian yang

baru. Dan pada akhirnya, nasib Kalimantan mungkin ditentukan di tempat

yang jauh dari hutan, di kantor pemerintahan dan ruang rapat direktur dari

New York hingga Jenewa. Karena banyaknya jumlah karbon yang terikat

oleh tanah dan tanaman, harapan terbaik yang terakhir bagi masa depan

Kalimantan mungkin tidak terletak pada imbauan emosional melalui

tampang orangutan, tetapi pada fakta nyata perubahan iklim—dan tekad

serta kemampuan kita sendiri untuk melindungi diri dari bencana.

Di seberang Sabah, di provinsi Kalimantan Barat yang masuk Indonesia,

jalan aspal sempit memanjang dari Pontianak, sebuah kota di dekat

Laut China Selatan. Jalan yang dipadati truk dan sepeda motor yang

bising itu melewati toko dan rumah kayu di desa-desa kecil yang

dipisahkan oleh sawah. Panen baru mulai dan di mana-mana terlihat

orang mengempaskan padi ke bidai kayu atau menampi beras untuk

membuang sekam. Hampir tak ada jejak hutan yang dulu tumbuh di sini.

Saya ditemani Dessy Ratnasari, seorang ilmuwan dari organisasi 11 ETNONESIA

Page 12: Etnonesia #juni

riset setempat, pemilik wajah penuh semangat yang berkerudung

biru muda. Sopir kami, Harun—yang seperti banyak orang

Indonesia, namanya hanya satu kata—mengatakan sesuatu

ketika kami melewati bangunan besar yang ditumbuhi rumput liar.

“Ini penggergajian tempat dia dulu bekerja,” terjemah Ratnasari. “Kilang ini

bangkrut karena tak ada lagi pohon untuk bahan kayu. Pabrik ini memiliki 1.300

pekerja dan membayar gaji 800 juta rupiah sebulan”. Beberapa kilometer

kemudian kembali kami melewati dua tempat penggergajian, gerbangnya

terkunci, jendelanya pecah, tempat parkirnya kosong melompong.

“Ada sejumlah perusahaan besar dan beberapa

kilang kecil di sekitar Pontianak,” ujar Harun.

“Kini hanya tinggal satu perusahaan besar yang masih beroperasi.”

Bagaimana bisa hampir sepertiga hutan hujan yang ada di Kalimantan

pada 1985 musnah pada 2005? Jawaban yang mudah dan agak terlalu

menyederhanakan dapat ditemukan dalam singkatan yang digunakan

orang Indonesia sebagai penjelasan atas berbagai masalah di negara itu:

KKN, korupsi, kolusi, nepotisme. Selama 32 tahun masa pemerintahan

Soeharto sampai dia dilengserkan pada 1998, hutan Indonesia termasuk

salah satu sumber daya yang dianggapnya sebagai harta pribadi,

keluarganya, atau pejabat militer yang mendukung agar dia tetap

berkuasa. Setelah era Soeharto, kekuatan politik terdesentralisasi dan

penentuan kebijakan tentang sumber daya alam jatuh ke tangan daerah.

Sayangnya, seringkali hasilnya adalah yang disebut pelestari lingkungan

sebagai “demokratisasi korupsi.”

Pejabat daerah, setelah melihat bagaimana Soeharto dan kroni-

kroninya merampok negara tersebut selama sekian dasawarsa, mulai

ikut ambil bagian. Banyak gubernur, bupati, dan polisi yang dengan

senang hati menerima suap: dari perusahaan kayu untuk memberi izin

penebangan di kawasan yang resminya hutan lindung; dari pembalak

liar agar dibiarkan memasuki taman nasional; dan dari perusahaan

kelapa sawit agar diizinkan membabat habis dan membakar hutan

untuk perkebunan. Masalah kepemilikan lahan dan yurisdiksi yang

centang-perenang memperparah keadaan. Walaupun pemerintah pusat

mengklaim telah menegakkan hukum kehutanan, provinsi dan kabupaten

12 ETNONESIA

Page 13: Etnonesia #juni

kerap menerbitkan hak guna tanah secara mandiri, sementara keputusan

pengadilan yang bertentangan menambah suasana hukum rimba.

Di seberang perbatasan, di Kalimantan Malaysia, negara bagian

Sarawak telah diperintah selama 27 tahun oleh Ketua Menteri Abdul

Taib Mahmud, yang pemerintahannya secara umum dianggap

sebagai lalim dan korup. Pembalakan tak terkendali demikian

menggembosi hutan Sarawak, sehingga sebagian besar pelestari

lingkungan yang berusaha menyelamatkan keanekaragaman hayati

Kalimantan telah, berdasarkan prioritas lingkungan, pada dasarnya

menyerah dan memusatkan perhatian ke tempat lain di pulau itu.

Setelah menjarah hutannya, Sarawak kini mengalihkan perhatian ke

kawasan hutan rawa gambutnya yang luas di pesisir, dengan cepat

mengubah petak demi petak menjadi kebun kelapa sawit, tanpa

mengindahkan keberatan para pakar lingkungan mengenai emisi karbon.

Alam liar bernasib lebih baik di Sabah, negara bagian Malaysia di

Kalimantan bagian timur laut. Walaupun perkebunan sawit berkembang

di sini, lebih dari setengah Sabah masih merupakan hutan. Sebagian

besar hutan ini dibalak secara intensif, dan semakin banyak hektare

dialihfungsikan menjadi perkebunan tanaman komersial, tetapi

Sabah terus menopang beberapa contoh hutan hujan kualitas tinggi

yang masih bertahan: Kawasan Konservasi Lembangan Maliau dan

Lembah Danum. Sementara itu, Brunei Darussalam memiliki begitu

banyak uang dari minyak bumi sehingga tidak perlu mengeksploitasi

hutannya. Negara itu masih memiliki sebagian hutan hujan terbaik di

Kalimantan, tetapi, karena luasnya tak sampai satu persen pulau itu,

kontribusinya terhadap konservasi secara keseluruhan bisa diabaikan.

“Tata kelola pemerintahan” merupakan frasa birokratis yang sering

digunakan oleh diplomat dan lembaga swadaya masyarakat yang bekerja

di Indonesia dan Malaysia. Maksudnya dalam bahasa sederhana adalah

mengenyahkan tangan politikus dan kroninya dari kantong masyarakat

miskin, serta mengizinkan masyarakat mengawasi kebijakan pemerintah

dan memperdebatkannya secara bebas. Semua orang yang bekerja

dalam lingkungan konservasi di Kalimantan sepakat bahwa tidak ada

upaya—baik peraturan, taman nasional atau hutan lindung baru—yang

akan efektif tanpa hal itu.

13 ETNONESIA

Page 14: Etnonesia #juni
Page 15: Etnonesia #juni

“Pengelolaan pemerintahan nyaris menentukan semuanya, yang

bermakna jika kita salah melaksanakannya, hal lain tak ada artinya,”

ujar Frances Seymour dari Center for International Forestry Research

(CIFOR), satu organisasi internasional yang bermarkas di Indonesia

dan menekuni pelestarian hutan dan perbaikan kehidupan masyarakat

di daerah tropik. Sudah ada tanda-tanda kemajuan yang membesarkan

hati di Indonesia—setidaknya di tingkat atas pemerintahan—terutama

sejak 2004, ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden.

Langkah besar lainnya dimulai pada 2000 saat Polri, organisasi yang

terkenal korup yang sejak lama terkait dengan penyelundupan dan

pembalakan liar, memisahkan diri dari ABRI. Berita yang lebih baik

muncul pada 2005, ketika Jenderal Sutanto ditunjuk sebagai Kapolri.

“Tidak ada kepala penegak hukum lain di dunia yang membuat kemajuan

seperti dia,” tutur seorang staf senior AS di Jakarta kepada saya.

Ratusan penangkapan terhadap kegiatan pembalakan liar telah dilakukan

sejak saat itu, tidak hanya membidik pekerja lapangan (yang mungkin

hanya menerima delapan belas ribu rupiah sehari), namun juga,

terkadang, pejabat pemerintah dan pembeli kayu tingkat menengah,

termasuk mantan gubernur Kalimantan Timur dan banyak pegawai di

Departemen Kehutanan yang tercoreng korupsi. Taman Nasional Gunung

Palung di Kalimantan Barat yang dulu pernah menjadi cerita seram

tentang perburuan dan pembalakan liar telah mengalami perubahan

besar berkat direkturnya yang jujur dan berdedikasi, dengan pasukan

jagawana yang berpatroli dengan pesawat ultraringan dan perahu motor.

Pada tingkat nasional, banyak menteri Indonesia yang mendapat nilai

tinggi, atau setidaknya lulus pas-pasan, dalam hal dedikasi mereka

bagi reformasi. “Namun begitu, saya jamin di desa ini pasti mustahil

meminta aparat polisi melakukan sesuatu tanpa dimintai sogokan,”

tutur seseorang yang terkait dengan kelompok konservasi kecil kepada

saya. (Saat saya berbicara dengan aktivis, sering saya diminta untuk

tidak menyebutkan namanya.) “Bupati punya teman-teman di Jakarta

yang bisa membubarkan kami,” ujar pekerja LSM yang lain. “Kami harus

hati-hati melangkah. Kalau mau, mereka dapat menghancurkan kami.”

Di beberapa ibukota kabupaten yang saya kunjungi, hasil paling nyata dari

otonomi daerah yang meningkat adalah kompleks kantor pemerintahan

baru yang mentereng; berikutnya yang paling terlihat adalah rumah baru 15 ETNONESIA

Page 16: Etnonesia #juni
Page 17: Etnonesia #juni

yang mentereng milik bupati. “Tantangannya,” ujar Frances Seymour,

“adalah bagaimana cara membantu masyarakat dan pemerintah daerah

mengambil keputusan yang lebih baik untuk jangka panjang karena yang

terjadi sekarang hanyalah masa panen uang yang singkat, sementara

sepuluh tahun dari sekarang pekerjaan tak akan lagi tersedia dan sumber

pendapatan juga akan mengering.” Sementara pedalaman Indonesia

akan tetap miskin seperti sediakala.

Jalan raya berkelok-kelok melalui barisan bukit batu gamping di Kalimantan

Timur, mengikuti rute yang lima tahun sebelumnya adalah jalan tanah

untuk mengangkut kayu. Kini sejauh mata memandang, tak ada apa-apa

selain belukar. Kurang lebih setiap satu kilometer, saat jalan raya melintasi

jurang, ada amblesan kecil yang menyebabkan bagian jalan di tepi tebing

longsor. Namun, kami jarang harus memperlambat kecepatan karena

hampir tak ada kendaraan lain. Terkadang, lubang sebesar bus ini ditandai

dengan ranting-ranting yang ditumpuk di jalan, tetapi terkadang tidak.

“Kontraktornya memberi bayaran kepada pemerintah untuk mendapatkan

kontrak pembuatan jalan dan kemudian sengaja membuatnya dengan

jelek agar mendapat proyek perbaikan beberapa tahun kemudian,

sehingga semua pihak bisa mendapatkan uang lebih banyak,”

kata salah satu rekan saya. Hingga kini, saya sudah begitu sering

mendengar cerita seperti ini sehingga hal tersebut terasa biasa.

Setelah menyeberangi jembatan Sungai Telen, kami berhenti di

dekat rumah di pinggir jalan yang hampir tak layak disebut rumah.

Bangunan itu hanyalah dangau kayu tak berdinding yang paling banter

hanya semeter persegi, lantai panggungnya ditopang gelondongan

kayu setinggi orang dewasa dari atas tanah. Atapnya terpal plastik

biru yang ditunjang galah. Seorang perempuan dan dua orang anak

berada di atas lantai, sementara tiga anak lain bermain di bawahnya.

Batang pohon yang tergeletak bertebaran di ladang di balik dangau

ini; tanahnya hitam baru dibakar, sementara asap mengepul di sana-

sini. Beberapa lelaki dan perempuan bekerja di ladang dengan parang

dan tugal yang terbuat dari belian atau kayu besi. Perusakan hutan

dan pemusnahan habitat tersebut terjadi tepat di depan mataku.

Dua laki-laki datang untuk mengobrol dengan kami—Udan Usat 17 ETNONESIA

Page 18: Etnonesia #juni

dan Ismael, paman dan kemenakan. Mereka memakai caping untuk

berlindung dari sengatan matahari. Wajah dan tangan mereka berlapis

jelaga, sementara keringat bercucuran di kulitnya.

Mereka dari suku Kenyah dan pindah ke sini tahun lalu. Sebelumnya,

mereka tinggal di desa yang bernama Long Noran di Sungai Wahau

di pedalaman Kalimantan. Hutan di sana telah lama musnah, dibabat

oleh perusahaan kayu besar yang dimiliki oleh Bob Hasan yang

reputasinya buruk, seorang kroni Soeharto dan mantan menteri

yang kemudian divonis bersalah melakukan korupsi. Karena hanya

tersisa belukar, seluruh kawasan di sekitar desa mereka, yang

berada di dalam wilayah konsesi kayu perusahaan itu, terbakar

dalam kebakaran besar tahun 1997-98. Kebakaran itu dipicu oleh

beberapa perusahaan yang membuka lahan untuk perkebunan dan

dengan cepat menyebar ke tanah sekitarnya selama musim kemarau.

“Kami punya kebun, pohon buah-buahan, pohon karet, kebun

sayur, semuanya terbakar,” ujar Udan Usat. “Terjadi konflik dengan

perusahaan kayu. Mereka menuduh kami yang menyebabkan kebakaran,

tetapi bukan kami yang melakukannya. Apinya datang dari jauh.”

Keadaan menjadi sangat sulit setelah itu. “Di tempat

kami tinggal, perlu satu jam perjalanan perahu dan 15

kilometer jalan darat untuk mencapai permukiman terdekat

yang ada pasarnya,” katanya. “Mahal kalau pakai kapal.”

Pemerintah menjanjikan setiap keluarga mendapat lima hektare

di sepanjang jalan ini jika mereka ingin pindah. Beberapa

penduduk desa datang melihat tanah ini, berunding, lalu 169

keluarga memutuskan untuk memulai awal baru di tempat ini.

“Di sini, kami berada di antara dua kota, jadi lebih mudah menjual

hasil panen kami saat ladang mulai menghasilkan,” kata Ismael.

Keluarga yang berdekatan bergotong royong, menggilir ladang yang

dikerjakan bersama setiap hari. Mereka akan menanam padi, pisang,

dan rambutan. Pembakaran yang baru mereka lakukan akan menambah

kesuburan tanah dan mereka berharap dapat menikmati panen pertama

tahun depan. Keluarga-keluarga tinggal di dangau sementara saat ini,

karena lebih penting menanami ladang daripada membangun rumah 18 ETNONESIA

Page 19: Etnonesia #juni

permanen. Ismael adalah kepala sekolah dasar di Long Noran, dan

suatu hari nanti, jika ada cukup anak-anak di sini di Sungai Telen,

keluarga-keluarga tersebut mungkin akan membangun sekolah.

“Semoga hidup di sini lebih baik—itulah harapan kami,” ujar Ismael.

Saya berterima kasih kepada mereka atas perbincangan itu dan bertanya-

tanya apakah perlu memberi uang untuk menggantikan waktu mereka

yang tersita. Teropong saya lebih mahal daripada penghasilan keduanya

selama setahun. Saat saya bersiap pergi, seorang anak perempuan kira-

kira umur tujuh tahun membawa kantong plastik berisi dua untuk, kue

tepung goreng, dan sebuah lemper—hadiah makanan untuk saya. Dia

menyodorkan kantong itu. Senyumnya membuat hati saya remuk redam.

Biarpun gedung pencakar langit yang menakjubkan bermunculan di

sekitar Jakarta, biarpun mobil-mobil baru berjejalan di jalan, fakta penting

yang memengaruhi pelestarian di Kalimantan adalah kemiskinan ekstrem

pada sebagian besar orang Indonesia yang mendiami tiga perempat

pulau tersebut. Apapun strategi yang dipakai para pakar lingkungan untuk

menyelamatkan keanekaragaman hayati Kalimantan harus terlebih dahulu

memberi jalan kepada penduduknya untuk meningkatkan taraf hidup.

“Tak ada yang lebih penting dari rasa lapar,” ujar Albertus dari Green

Borneo, kelompok yang berbasis di Pontianak. “Lembaga donor

perlu mengubah cara berpikir mereka tentang hal ini. Kesehatan

yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik, kondisi ekonomi

yang lebih baik—itu yang akan membantu melindungi hutan.”

Bahkan saat memperlihatkan ekosistem dan ekonomi Kalimantan Barat

yang hancur akibat pembalakan tak berkelanjutan, Dessy Ratnasari

memastikan bahwa saya memahami manfaat yang dibawanya. “Banyak

orang di Kalimantan Barat dibesarkan dengan uang dari perusahaan

kayu,” ujarnya. “Saya menikmati imbasnya karena ayah saya memiliki kios

pakaian dan uang yang dibelanjakan orang di kios itu berasal dari kayu.

Itulah mengapa saya dapat bersekolah dan mengenyam pendidikan.”

Salah satu dari sedikit frasa bahasa Indonesia yang saya pelajari adalah

hati-hati, sebagaimana tertera pada papan petunjuk di sepanjang

jalan tanah yang tidak rata ini, yang berbunyi “Hati-Hati Logging". 19 ETNONESIA

Page 20: Etnonesia #juni

Pagi itu cuaca panas di Kalimantan Timur dan saya naik truk bersama

Erik Meijaard, seorang ilmuwan pelestarian lingkungan warga Belanda

di The Nature Conservancy yang telah bekerja di Kalimantan selama

15 tahun, serta rekan kerjanya Nardiyono. Kami melintasi berkilo-

kilometer semak belukar, tetapi bentang alam belum memperlihatkan

tanda akan segera berubah. Kawasan yang dulu merupakan hutan hujan

daratan rendah ini dibabat habis dan tak pernah dihutankan kembali.

Saat kebakaran tahun 1997-98, kawasan ini termasuk dalam 2,6 juta

hektare hutan yang terbakar di Kalimantan Timur. Sekarang kawasan ini

hanya berupa semak, pepohonan kecil, pakis, dan rerumputan, yang

terbungkus tumbuhan merambat. Saat menatap pemandangan yang

kami lintasi, saya berpikir, paling tidak, pemerintah yang bertanggung

jawab dalam membiarkan ini terjadi bersalah karena telah bertindak abai.

“Menyedihkan, ya?” tanya Meijaard yang seolah

membaca pikiran saya. “Meski begitu,” lanjutnya,

“inilah jenis hutan tempat saya dan Nardi

menemukan jumlah orangutan terbanyak.” Kata

“menemukan” di sini maksudnya adalah mereka menghitung sarang

yang dibuat orangutan setiap malam atau menemukan tanda lain yang

menandakan kehadiran satwa itu. Orangutan merupakan kera besar yang

paling penyendiri dan sulit ditemukan sekalipun di lokasi yang jumlah

orangutannya bagus. Meijaard sudah menceritakan bahwa sebenarnya

dia baru melihat dua orangutan liar selama dua setengah tahun terakhir

di kerja lapangan reguler.

Truk sampai di puncak tanjakan kecil di jalan dan—saya hampir

merasa harus menjelaskan bahwa saya tidak mengarang-

ngarang—ada sosok cokelat kemerah-merahan di jalan di depan

kami. Saya melihatnya, tetapi pikiran seperti buntu. Tengah hari...

belukar tak berharga... binatang di tengah jalan... Apa? Ungka?

“Orangutan!” teriak Erik dan Nardi bersamaan. Truk direm mendadak dan

kami semua melompat keluar sementara orangutan itu kabur ke hutan di lereng

landai di samping jalan. Saya mengikutinya melalui teropong sementara

orangutan itu berlari menjauh, beberapa kali berhenti untuk melihat ke arah

kami, sampai kera tersebut menuruni lereng dan hilang dari pandangan. 20 ETNONESIA

Page 21: Etnonesia #juni

Nardi yang biasanya pendiam lepas kendali. “Anda sungguh

beruntung!” ujarnya berulang-ulang. “Orangutan, di jalan!” Berbagai

ungkapan dan pujian ramai terlontar. Pengunjung di Kalimantan

jarang melihat orangutan liar; kebanyakan melihat binatang

setengah jinak di pusat rehabilitasi terkenal seperti Sepilok di

Sabah atau Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah.

Sebenarnya ada makna yang lebih di balik peristiwa ini, selain nasib saya

yang sangat baik. Apa yang baru saya lihat mencerminkan salah satu

isu penting keanekaragaman hayati Kalimantan—dan harapan tipis untuk

melestarikannya. “Hutan industri merupakan masa depan kehidupan

liar di Kalimantan,” ujar Siew Te Wong, yang bekerja dalam pelestarian

beruang madu yang terancam punah.

“Di Kalimantan, spesies dalam kawasan luas tidak punah oleh satu,

bahkan dua, atau mungkin tiga pembalakan,” ujar Junaidi Payne dari

kantor WWF Sabah. “Keseimbangan spesies berubah secara drastis,

tetapi bahkan burung yang khusus, epifit, atau anggrek masih tetap

ada jika kita cari di lembah-lembah kecil atau kawasan basah. Jadi,

kita dapat membalak hutan dan tetap melestarikan keanekaragaman

hayati. Namun, yang tak dapat dilakukan adalah mengubah semuanya

menjadi perkebunan monokultur,” seperti kelapa sawit. “Dengan

begitu, kita kehilangan semuanya. Itu adalah gurun biologis.”

Ahli geografi WWF Raymond Alfred mengajak saya berkeliling Hutan

Lindung Ulu Segama milik pemerintah Sabah, tempat di mana rimba

sepenuhnya—dan secara legal—dibalak, menyisakan hutan yang

tampak sangat kerdil bila dibandingkan dengan hutan hujan pencakar

langit di Lembah Danum yang letaknya tak jauh dari situ. Meski

demikian, para peneliti menemukan konsentrasi orangutan terpadat di

sini dan spesies itu berkembang biak di kawasan yang serupa di seluruh

pulau. Alfred dan para pelestari lingkungan lainnya di Sabah berhasil

membujuk pemerintah untuk menyelamatkan hutan terdegradasi ini

yang sebelumnya direncanakan dikonversi menjadi lahan kebun sawit.

Moratorium penebangan selama sepuluh tahun memberi mereka waktu

untuk mempelajari orangutan dan mereka berharap dapat mendirikan

penginapan dan menarik wisatawan yang mengunjungi pusat rehabilitasi

Sepilok di Sungai Kinabatangan yang letaknya tak jauh dari situ. 21 ETNONESIA

Page 22: Etnonesia #juni

Di Kalimantan Timur, Meijaard menghabiskan sebagian besar

waktunya dalam beberapa tahun terakhir, bekerja dengan perusahaan

penebangan hutan untuk membantu mereka menebang pohon secara

berkelanjutan, dan dengan desa-desa setempat untuk mencarikan

cara agar mereka mendapatkan penghasilan dari hutan. Kaum puritan

mungkin membayangkan tujuan pelestarian utama di Kalimantan

adalah menyisihkan kawasan luas hutan belantara yang tidak tersentuh,

tetapi bagi para ahli biologi yang berurusan dengan kenyataan sehari-

hari, kompromi merupakan satu-satunya alternatif yang realistis.

Saat Meijaard menghabiskan waktu di desa-desa, mendiskusikan pilihan

antara pelestarian hutan dan perkebunan kelapa sawit, dia tidak pernah

menyebut-nyebut orangutan. “Orang akan bosan dalam waktu lima

menit. Bagi mereka, orangutan itu hanyalah satu jenis monyet di pohon

yang membuat orang Barat ingin datang dan melihatnya. Namun, jika

saya bicara dengan mereka tentang ikan di sungai atau babi di hutan,

baru mereka memperhatikan, karena itulah sumber daya yang dapat

mereka ambil dari hutan.”

Meijaard tidak sentimental tentang penebangan pohon dan

kesucian hutan hujan perawan. “Hei, ini daerah tropis, Bung.

Tanaman akan tumbuh kembali,” ujarnya. “Bagaimanapun, hutan

ini harus menghasilkan uang.” Kalau tidak, tak bisa dihindari

hutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit atau kayu pulp.

“Cobalah yakinkan orang yang sekarang memiliki kesempatan

ekonomi untuk melepaskan keuntungan-keuntungan itu demi

keuntungan yang lain beberapa tahun kemudian,” kata Paul

Hartman, seorang pelestari orangutan. “Bupati menjabat selama

lima tahun, dan katanya ‘Aku harus menghasilkan uang sekarang.’”

Pengelolaan hutan berkelanjutan—penebangan yang memberi

penghasilan tanpa mengorbankan keberlangsungan ekosistem dalam

jangka panjang—takkan mudah diterima. Di Sangatta, Kalimantan

Timur, saya berbicara dengan Daddy Ruhiyat, seorang staf ahli

pemda bidang pelestarian lingkungan hidup. “Kami telah meminta

perusahaan kehutanan untuk memperlihatkan kepada kami, bagaimana

hutan dapat menjadi semenguntungkan kelapa sawit,” ujarnya. 22 ETNONESIA

Page 23: Etnonesia #juni

“Namun, saat ini tidak ada ide segar dari sektor kehutanan untuk

membuat tanah lebih produktif. Pilihan kami cuma hutan subur tanpa

uang atau membabat hutan untuk kelapa sawit. Ada banyak sekali

perusahaan yang meminta tanah untuk pengembangan kelapa sawit.”

Ruhiyat melihat peran kehutanan di kabupatennya, tetapi terutama untuk

penanaman jati super yang dapat ditebang setiap 15 tahun. “Kami

ingin spesies yang bisa menghasilkan dalam putaran waktu yang relatif

singkat,” ujarnya. “Kami harus menanam hutan dalam perkebunan.

Itulah jalan satu-satunya.”

Saya bertanya bagaimana perasaannya tentang orang seperti

saya, dari Amerika Serikat, negara yang membabat hutannya,

menambang batubara, menguras kehidupan liar, lalu menjadi

makmur, dan datang ke Kalimantan untuk mempertanyakan

keputusan masyarakat setempat tentang pelestarian.

“Masuk akal jika orang dari negara-negara lain memiliki keprihatinan

tentang lingkungan hidup di Kalimantan,” ujarnya. “Saya tidak ada

ganjalan soal itu. Namun, langkah terpenting adalah membuat

masyarakat punya penghasilan lebih. Itu dimulai dengan perkebunan

kelapa sawit yang menghasilkan uang sehingga orang bisa

menikmati hidup. Sulit bagi orang lapar untuk menghargai alam.”

Glen Reynolds dari Pusat Kajian Lapangan Lembah Danum berkata

bahwa, “pembayaran jasa lingkungan hidup” merupakan satu-satunya

cara yang bisa mengimbangi pembabatan hutan dan perkebunan sawit.

Dia menggunakan istilah umum itu untuk menemukan cara membayar

masyarakat, wilayah, atau negara agar menjaga ekosistemnya tetap

sehat dan berfungsi. “Tanpa itu, tak akan ada hutan hujan dataran

rendah yang tersisa di Kalimantan sepuluh tahun lagi,” kata Reynolds.

Protokol Kyoto 1997 tentang pengurangan gas rumah kaca untuk

memerangi perubahan iklim secara kontroversial tidak mencantumkan

ketentuan tentang membayar perlindungan hutan yang ada—“deforestasi

yang dihindari”—namun konferensi multinasional Desember 2007 di Bali

mengangkat masalah itu, karena dianggap sebagai revisi atas pakta

Kyoto.

23 ETNONESIA

Page 24: Etnonesia #juni

Akronim baru, REDD (Reducing Emissions from Deforestation

and forest Degradation/Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan

Degradasi Hutan), muncul di garis depan perdebatan perubahan

iklim, dan para pelestari lingkungan di Kalimantan segera melihatnya

mungkin sebagai harapan terbaik yang terakhir bagi masa depan—

menawarkan kemungkinan rencana kerja di mana negara-negara

kaya memerangi perubahan iklim dengan membayar pelestarian

kawasan yang signifikan dari hutan hujan tropis. Berbagai masalah

besar menghalangi pelaksanaan REDD, tetapi bagi masyarakat

yang melihat hutan Kalimantan menghilang, ini adalah kesempatan.

“REDD, menurut pendapat saya, adalah satu prospek besar yang terlihat,”

kata Frances Seymour dari CIFOR. “Mari kita luruskan duduk perkaranya:

Mengapa orang menebang pohon? Demi uang. Jika Anda dapat memberi

masyarakat kesempatan memperoleh uang yang sama atau lebih banyak

dengan membiarkan pohon itu berdiri, itulah jawaban yang Anda cari.”

Pada akhirnya, konservasi di Kalimantan bukanlah tentang keindahan

hutan hujan, orangutan, gajah, atau bahkan kelapa sawit. Tak seorang

pun pelestari lingkungan yang saya wawancarai berpendapat bahwa

minyak sawit pada hakikatnya buruk dan sebagian besar sepakat bahwa

industri yang dikelola secara benar akan menguntungkan rakyat miskin

tanpa mengorbankan kekayaan biologis Kalimantan. Anne Casson, salah

satu pendiri kelompok lingkungan hidup SEKALA, mewakili pandangan

umum saat dia berkata, “Kukira tak ada yang berkata kita tak boleh

menanam kelapa sawit lagi. Namun, ditanam di mana? Kelapa sawit

dapat ditanam di lahan terdegradasi, bukannya di hutan. Hingga saat

ini, izin perkebunan kelapa sawit masih diberikan secara khusus, tanpa

mempertimbangkan masalah lingkungan. Ini dapat berubah jika ada

kemauan politik yang cukup dan perencanaan wilayah yang baik.”

Namun, semuanya itu bermuara ke satu hal. “Semuanya tentang uang,”

ujar Casson. “Uang, uang, uang.”

Berikut ini mimpi yang lain. Di pinggir jalan tanah di Kalimantan bagian

selatan, berdiri sebuah rumah kayu satu kamar, disertai beberapa

pohon pisang di halaman dan kebun sayur kecil di belakangnya.

Di samping rumah itu ada seorang lelaki yang berjongkok mencuci

sepeda motor Yamaha Jupiter Z. Warnanya merah, dan berkilat

di bawah terik mentari saat lelaki itu membilas busa sabun.

24 ETNONESIA

Page 25: Etnonesia #juni

Nama lelaki itu, sebut saja Pak Wang. Dengan motor barunya,

dia bisa pergi ke desa terdekat dalam beberapa menit, alih-alih

berjalan di pinggir jalan raya selama hampir satu jam. Di desa itu

dia bisa berkumpul dengan teman-temannya, membeli keperluan,

mengunjungi kedai karaoke, dan menonton televisi di rumah makan

milik pamannya. Dia bisa merasa menjadi bagian dari dunia ini.

Pak Wang ingin ponsel. Sebagian besar temannya telah punya, dan jika

dia juga punya, akan lebih mudah baginya membuat rencana dengan

mereka, bertanya mau malam mingguan ke mana, atau mengapel

Unita, gadis cantik penjual buah di warung pinggir jalan di kota.

Jadi. Begini pesan bagi dunia. Jika kita ingin melindungi hutan Kalimantan,

melestarikan bagian yang esensial dari keanekaragaman hayatinya yang

mengagumkan, menjamin bahwa orangutan punya tempat untuk membuat

sarang setiap malam, dan burung enggang punya buah untuk dimakan,

katak terbang punya pohon untuk tempat tinggal, hanya ada satu cara

untuk melakukannya. Kita perlu menemukan cara agar Pak Wang dapat

membeli ponsel yang diinginkannya. Dan, setelah dia menikahi penjual

buah yang cantik itu, temukan cara agar mereka bisa menjaga kesehatan

anak-anak dan menyekolahkan mereka. Cara yang menawarkan masa

depan yang lebih baik, tanpa harus mengubah hutan mereka menjadi

perkebunan kelapa sawit atau lubang-lubang steril tambang terbuka.

Dan kita harus melakukannya saat masih ada yang bisa dilindungi.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Majalah National Geographic Indonesia edisi November 2008. Diterbit-ulang ETNONESIA atas izin yang diberikan pihak National Geographic Indonesia.

25 ETNONESIA

Page 26: Etnonesia #juni

JALAN CERDIK MENTAWAI

Memahami alam, mengikuti pemerintah, mencari penghidupan.

Oleh Andara Paramitha Foto oleh C.B. Nieuwenhuis

Page 27: Etnonesia #juni

Saat mendengar frase-fraese tentang “suku”,

“pedalaman”, dan lain hubungannya, tentulah

rujukan kita tak akan jauh-jauh dari sesuatu yang

terlintas dipikiran kita seperti “terbelakang”, “primitif”,

“subsisten”, dan lainnya yang merujuk pada keadaan

paling dasar. Tentu, ini pula tak terkecuali saat kita

menyebut nama Mentawai dalam tulisan ini. Mungkin,

banyak yang akan mengasosiasikan Mentawai dengan

pedalaman hutan Siberut dan hidup secara subsisten

dengan keharmonisannya dengan alam. Mungkin, kita juga

bisa membicarakan Mentawai dengan cerita-cerita menarik

tentang bagaimana tato begitu melekat dalam kehidupan

mereka dan menjadi semacam sibol pembeda. Dan tentu

saja, mungkin banyak pula yang tak tahu apa itu Mentawai.

MENTAWAI adalah nama suku atau dengan mudah dikatakan

sebagai penduduk yang mendiami wilayah pulau Siberut

di sebelah barat lepas pantai Sumatera Barat. Tepatnya,

pulau Siberut berada di utara pulau Sipora dan pulau Pagai.

Di sebelah selatan pulau Siberut, juga terdapat beberapa

pulau-pulau kecil lainnya. Umumnya, dalam memaknai

kata Mentawai, orang-orang akan mengasosiasikan

dengan orang-orang yang bermukim di pulau Siberut,

dan beberapa juga mengasosiasikan Mentawai dengan

pengguhi pulau Sipora serta Pagai. Namun paling kuat

dalam memaknai Mentawai adalah tentu saja Siberut.

Tentu, pulau Siberut tak hanya dihuni masyarakat Mentawai,

ada beberapa suku lain yang juga mendiami wilayah di

pulau Siberut. Beberapa suku yang bisa kita jumpai

misalnya Jawa, Batak, dan tentu saja masyarakat Minang.

Umumnya, masyarakat non-Mentawai yang tinggal di

siberut, terkonsentrasi di wilayah pesisir pulau tersebut.

Lebih tepatnya, orang-orang non-Mentawi bermukim di

sekitaran pelabuhan di Siberut. Bukan tanpa alasan mereka

27 ETNONESIA

Page 28: Etnonesia #juni

tinggal di wilayah demikian. Stereotip yang melekat kuat

dalam memahami masyarakat Mentawai sedikit banyak

berperan dalam “meredam” penyebaran orang-orang

non-Mentawai untuk berpencar. Juga, kepemilikan tanah

secara adat yang masih dipegang kuat orang-Orang

Mentawai membuat masyarakat luar sulit memperoleh

kesempatan tinggal di tempat-tempat diluar wilayah pesisir

pulau Siberut.

ORANG MENTAWI adalah masyarakat komunal yang hidup

secara berkelompok. Seperti orang Dayak yang hidup

dalam sebuah rumah panjang bersama kelompoknya,

hal demikian juga terjadi dalam kehidupan sosial Orang

Mentawai. Mereka hidup dalam sebuah kelompok yang

disebut sebagai “Uma”. Uma inilah yang dibentuk

dari beberapa inti keluarga atau disebut “Lalep”. Tak

ada patokan baku berapa Lalep yang diperlukan untuk

membentuk sebuah Uma, namun umumnya Uma dibentuk

oleh lebih dari delapan Lalep. Dan bukan sembarang Lalep

yang bisa membentuk sebuah Uma. Lazimnya, sebuah

Uma memiliki kesamaan asal-usul mereka. Artinya, Uma

bisa dkatakan terbentuk oleh ikatan darah leluhur mereka.

Dalam sebuah Uma, orang-Orang Mentawai melaksanakan

kegiatan sosial mereka. Meskipun kesatuan intim tetap

berada di lingkungan Lalep. Uma memiliki peranan yang

sangat krusial dalam kehidupan Orang Mentawai. Disanalah

letak identitas dihadirkan. Juga, dalam sebuah Uma, Orang

Mentawai bertahan hidup dengan cara mereka. Berburu,

berladangan, dan hal-hal menyangkut kepemilikian

dinarasikan dalam sebuah Uma.

Pembentukan sebuah Uma dalam masyarakat Mentawai

sangat terkait sekali dengan kesatuan leluhur mereka.

Dalam buku berjudul “Berebut Hutan Siberut: Orang

28 ETNONESIA

Page 29: Etnonesia #juni
Page 30: Etnonesia #juni

Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi” karya Darmanto

dan Abidah Setyowati dijelaskan bagaimana sebuah Uma

adalah perwujudan kecil dari struktur kekerabatan yang

disebut sebagai “Rak-rak”. Rak-rak inilah yang menjebatani

beberapa Uma yang memiliki garis hubungan kekerabatan.

Biasanya, dalam sebuah Rak-rak berhubungan pula

dengan narasi-narasi kepemilikan tanah di wilayah Siberut.

Lebih lanjut, mayoritas Orang Mentawai percaya bahwa

siapapun Orang Mentawai yang tinggal di pulau Siberut

adalah sebuah keluarga yang memiliki garis kekerabatan.

Mereka menganggap diri mereka bersaudara dan berasal

dari asal-usul yang sama. Mereke menyebut “Sirubeiteteu”

sebagai sturktur sosial tertinggi dalam aspek kehidupan

Orang Mentawai.

SISTEM KEPERCAYAAN Orang Mentawai dikenal dengan

sebutan Arat Sabulungan. Secara temimologi, Arat berarti

Adat, sedangkan Sabilungan berarti daun. Secara kasat,

Arat Sabulungan berarti “Daun Adat Istiadat”. Dalam tulisan

berjudul “Magi Sebagai Acuan Identitas Diri Orang Mentawai

dalam Hubungan Antar Suku Bangsa” yang ditulis oleh

Sidarta Pujiraharjo dan Bambang Rudito dijelaskan bahwa

Arat Sabulungan merupakan suatu pengetahuan, nilai,

aturan, dan norma yang dipergunakan oleh Orang Mentawai

untuk memahami serta menginterpretasi lingkungan hidup

mereka. Pemahaman dan intrepetasi tersebut berhubungan

dengan pola-pola interaksi manusia terhadap binatanga,

tumbuhan, tanah, air, udara, dan benda hasil karya manusia.

Tentu, Arat Sabulungan juga berhubungan dengan dewa-

dewa. Masyarakat Mentawai percaya, selain dunia yang

terlihat ada pula yang disebut sebagai dunia tak terlihat.

Alkisah, menurut kepercayaan Mentawai dahulu kala dunia

yang terlihat dan tak terlihat tak dipisahkan. Mereka sama-

sama hidup berdampingan. Namun, kondisi wilayah yang

terbatas dan pertumbuhan kian tak terbendung membuat

30 ETNONESIA

Page 31: Etnonesia #juni

semuanya berubah. Kehidupan harus dipisahkan, agar

tak ada keresahan antar sesama. Terlihat dan tak terlihat

memasuki dunianya masing-masing. Dan masyarakat

Mentawai percaya, tempat tinggal dunia tak terlihat adalah

sekitaran pedalaman hutan. Pantang bagi mereka untuk

merusak hutan. Kehidupan bisa terganggu dan harmonisasi

yang sudah diraih, bisa rusak seketika.

CERITA TENTANG MENTAWAI adalah cerita tentang

keeksotisan. Kisah ini mungkin akan lebih kita sukai

manakala menceritakan bagaimana kehidupan Mentawai

yang harmonis dengan alam, memiliki kearifan lokal yang

baik, serta kisah-kisah magis perihal kehidupan “Arat

Sabulungan”nya. Kita tentu tak akan suka manakala kisah

Mentawai berkisah tentang kerusakan hutan, bekerja

sama dengan penebang kayu dari Jawa atau Sumatera,

atau bahkan bagaimana masyarakat Mentawai berinteraksi

dengan dunia modern. Menonton TV sambil minum Coca-

Cola misalnya. Tapi percayalah, modernitas dengan

berbagai narasi-narasi tentangnya telah hadir dan lama

menetap di Mentawai. Berawal dari kedatangan petugas-

petugas kolonial ke Mentawai, berasngsur-angsur

setelahnya datanglah yang disebut sebagai “zaman

pencerahan” bagi masyarakat Mentawai.

“Zaman Pencerahan” yang dimaksud bukanlah terwujud

dalam bentuk sebenarnya. Telah lama pemerintah, baik

pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun pemerintah

Indonesia memasukkan Orang Mentawai kedalam

golongan “primitif” dan “tertinggal”. Tentu, konsekuensi

yang logis adalah menjadikan Orang Mentawai “modern”

dan “maju”. Dengan pemahaman yang demikian, tentulah

banyak kalangan menganggap bahwa Mentawai tidaklah

cocok dalam mengelola seluruh sumber daya yang mereka

miliki. Setelahnya, pemerintah tak hanya menjadikan

31 ETNONESIA

Page 32: Etnonesia #juni
Page 33: Etnonesia #juni

mereka seakan maju dan berkembang. Aspek sosial

budaya diterabas tanpa memperdulikan budaya Mentawai.

Perusakan hutan, seakan menjadi saksi kunci bagaimana

Mentawai dimodernkan oleh pemerintah. Penerbitan Hak

Pengolahan Hutan seakan-akan menjustifikasi, Orang

Mentawai tak memiliki Hak untuk mengolah hutan. Biar

orang kota yang lakukan. Dan dengan demikian, rusaklah

pola kehidupan Mentawai yang sangat bergantung pada

hutan. Uang tak lagi benda aneh disana. Dan dengan

demikian, aspek ekonomi Mentawai bukan lagi aspek

ekonomi subsisten, melainkan ekonomi tawar menawar

yang sudah melekat kuat dalam kehidupan masyarakat

kota. Mentawai tercerabut.

Satu-satunya jalan keluar terbaik yang dimiliki Orang

Mentawai tentulah jalan cerdik, jalan yang harus mereka

gapai dengan serta merta mengikuti pola yang terlanjur

dibuatkan pemerintah. Jamak melihat bagaimana Orang

Mentawai bekerja dengan perusahaan-perusahaan kayu

dari Jawa atau Sumatera. Inilah pilihan, mungkin bukan

pilihan suci, tapi inilah kenyataan Mentawai.

33 ETNONESIA

Page 34: Etnonesia #juni

Senikmat es krim, itulah pengetahuan

etnonesia.org