etnografi kematian dalam perspektif budaya jawa

15
ETNOGRAFI KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA JAWA DI MUSEUM ETNOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA TANGGAL 15 SEPTEMBER 2016 OLEH DR. IMAM SUNARNO, DRS., SST., M.KES DOSEN POLTEKKES KEMENKES MALANG

Upload: imam-sunarno

Post on 16-Apr-2017

341 views

Category:

Education


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

ETNOGRAFI KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA JAWA

DI MUSEUM ETNOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

TANGGAL 15 SEPTEMBER 2016

OLEH

DR. IMAM SUNARNO, DRS., SST., M.KES

DOSEN POLTEKKES KEMENKES

MALANG

Page 2: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

POKOK BAHASAN

1. Latar Belakang

2. Tanda - Tanda Orang yang akan Meninggal

3. Makna Kematian bagi Budaya Jawa

4. Dunia Arwah setelah Kematian (Keberadaan Alam setelah

Kematian)

5. Perilaku Arwah setelah Kematian

6. Upacara / Prosesi Budaya untuk Orang yang Meninggal dan

Makna dibalik Prosesi

Page 3: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

1. Latar Belakang

Kehidupan manusia dalam budaya Jawa diyakini terjadi siklus kehidupan yang setiap

manusia akan terkena hukum siklus kehidupan ini. Siklus kehidupan ini dalam budaya

Jawa dikenal sebagai jongko cokro manggilingan artinya bahwa setiap siklus tahapan

kehidupan selalu dimulai dari proses awal kehidupan dan diakhiri dengan proses akhir

kehidupan (kematian). Secara garis besarnya siklus kehidupan ini dapat digambarkan

sebagai berikut :

Gambaran siklus kehidupan manusia

Gambaran masuknya roh (Nur Muhammad) ke kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh

unsur alam.

Tahapan kehidupan manusia ini mengikuti proses pertumbuhan perkembangan (life

cycle) sesuai dengan kodratnya. Pandangan budaya Jawa kehidupan dibagi dalam 9 masa

yaitu : masa kehamilan, kelahiran, bayi, anak, remaja, dewasa, tua, lanjut usia, kematian.

Dalam lagu mocopat yang dituturkan oleh B. P. :

“Masa lahir ditembangkan lagu Mijil, masa bayi ditembangkan lagu Kinanti, masa anak

ditembangkan lagu Mas Kumambang, masa remaja ditembangkan lagu Sinom, masa

dewasa ditembangkan lagu Asmorodono, permasalahan masa remaja dan dewasa

ditembangkan lagu Durmo, penyelesaian masa remaja dan dewasa ditembangkan lagu

Gambuh, dan setelah permasalahan terselesaikan ditembangkan lagu Dandang Gulo, masa

tua ditembangkan lagu Pangkur, masa lanjut usia ditembangkan lagu Megatruh,

sedangkan masa kematian ditembangkan lagu Pucung. ”

Sebagai pegangan orang hidup dalam membangun rumah tangga dicontohkan dalam

tembang Asmorodono dengan syair sebagai berikut :

Page 4: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

Gegarane wong akrami, dudu bondo dudu rupo

Among ati paitane

Luput pisan keno pisan, yen gampang luweh gampang

Yen angel, angel sak langkung

Tan keno tinumbas arto

2. Tanda - Tanda Orang yang akan Meninggal

a. Tanda Tanda Menjelang Kematian

Tanda - tanda menjelang kematian biasanya dapat dibedakan dalam dua golongan

(sesuai dengan primbon Betaljemur Adammakna) dan sesuai dengan kejadian yang

dipercaya masyarakat jawa.

b. Tanda kematian yang bisa diketahui oleh diri sendiri.

Yang bisa diketahui atau dilihat oleh diri sendiri (Sasmita Kang Kawawas Dening

Tingal Pribadi),

Sering melihat sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya Ini merupakan bahwa

ajalnya tinggal 1 tahun. Apa yang harus dilakukan oleh orang- tersebut, yaitu:

saatnya untuk memperbanyak dzikir kepada Tuhan, mengurangi kesenangan

duniawi, memupuk hati yang ikhlas untuk menerima segala sesuatu yang menimpa

dirinya, berperilaku jujur dan berperilaku dan berbudi pekerti yang baik (Laku

Utomo).

Sering mendengar sesuatu yang belum pernah didengar sebelumnya. Misalnya,

mendengar percakapan jin, setan dan binatang-binatang Ini merupakan tanda

datangnya ajal tinggal dari 6 bulan. Apa yang harus dilakukan oleh orang tersebut,

yaitu: saatnya berlaku hormat dan melakukan tilawat artinya memperbanyak

pemujaan saji-sajian, memperbanyak taubat dan berserah diri kepada Sang Pencipta

Alam. Juga memperbanyak perbuatan baik dengan disertai sikap sangat hati-hati

terhadap hidupnya sendiri.

Berubah penglihatan. Misalnya, pada bulan Muharram dan Sapar melihat langit

berwarna merah, melihat matahari dan bulan berwarna hitam pada bulan Mulud dan

Rabiul Akhir, melihat air berwarna merah pada bulan Rajab, melihat bayangannya

sendiri menjadi dua pada bulan Ramadhan dan Syawal, melihat nyala api berwarna

hitam pada bulan Dzulkaidah. ini merupakan pertanda ajalnya tinggal 2 bulan lagi.

apa yang harus dilakukan oleh orang tersebut, yaitu: saatnya untuk berwasiat dan

Page 5: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

beriwayat, artinya memberi pesan-pesan dan mengajarkan ilmunya dengan rajin dan

ikhlas kepada anak cucu atau orang lain agar semua ilmu atau harta benda bisa

bermanfaat bagi kehidupan orang lain.

Lebih terperincinya tanda-tanda orang yang menghadapi kematian yang bisa diketahui

oleh diri sendiri dapat diperinci sebagai berikut:

Jika sering merasa capek dalam kehidupan, atau merasa bosan melihat situasi

kondisi alam dunia dan sering bermimpi bepergian mengarah ke utara. Merupakan

tanda datangnya kematian kurang 3 tahun;

Merasa rindu kepada orang-orang yang telah meninggal dunia dan sering bermimpi

memperbaiki rumah. Merupakan pertanda datangnya kematian kurang 2 tahun;

Sering melihat sesuatu yang sebenarnya tidak kelihatan. Merupakan tanda datangnya

kematian kurang 1 tahun;

Sering melihat segala sesuatu yang sifatnya hanya mata pribadi. Merupakan tanda

datangnya kematian kurang 9 bulan;

Sering mendengar suara yang tidak pernah didengar seperti pembicaraan jin,

pembicaraan setan, pembicaraan binatang. Merupakan tanda datangnya kematian

kurang 6 bulan;

Sering mencium bau roh halus (lelembut), baunya seperti kemenyan dibakar,

ditambah bau amis. Merupakan tanda datangnya kematian kurang 3 bulan;

Sering berubah penglihatan, melihat air berwarna merah, melihat bara api hitam.

Merupakan tanda datangnya kematian kurang 2 bulan;

Jari tengah dan jari manis ditekuk dan ditempelkan di epek-epek, kemudian jari

manis diangkat, epek-epek lengket dan terangkat. Merupakan tanda datangnya

kematian kurang 40 hari;

Tangan dilihat dari kedua mata, pergelangan tangan kelihatan terputus. Merupakan

tanda datangnya kematian kurang 1 bulan;

Kita sering melihat wajah kita sendiri. Merupakan tanda datangnya kematian kurang

15 hari;

Sudah menjadi pemalas dalam semua hal terkadang sudah tidak mau makan dan

tidak mau tidur. Merupakan tanda datangnya kematian kurang 1 minggu;

Page 6: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

Sudah merasa gelisah disertai badan serba tidak enak kadang-kadang mengeluarkan

tinja tahun dan tinja kalong (kotoran berwarna hitam dan lengket) atau cacing

kalong. Merupakan tanda datangnya kematian kurang 3 hari;

Semua lubang sembilan- terasa mengeluarkan udara (babahan hawa 9), terkadang

merasa kasihan terhadap badannya sendiri. Merupakan tanda datangnya kematian

kurang 2 hari;

Otot pergelangan kaki sudah mengendor dan seluruh tubuh mengeluarkan keringat

basah (riwe kumyus) seperti kecapekan. Merupakan tanda datangnya kematian

kurang 1 hari;

Memegang kulit dan digesek tidak terasa berisik (kumrisik) dan denyut nadi

ditangan sudah tidak teraba, telinga tidak berbunyi bising. Merupakan tanda

datangnya kematian sudah waktunya.

(Sumber: Kitab Betal Jemur Adam Makna karangan K. P. Tjokroningrat dalam

Sumodjoyo, 1980: 229)

c. Tanda kematian yang bisa diketahui oleh orang lain.

Jika kehidupannya terlihat sengsara. Merupakan tanda datangnya kematian kurang 3

tahun;

Memiliki perilaku terjadi perubahan seperti biasanya. Merupakan tanda datangnya

kematian kurang 2 tahun;

Sudah memiliki perilaku yang serba baru. Merupakan tanda datangnya kematian

kurang 1 tahun;

Sudah berubah perilakunya dan sudah berubah kebiasaannya, misalnya pemarah

menjadi pemaaf, yang semula senang pada keramaian menjadi suka menyepi.

Merupakan tanda datangnya kematian kurang 6 bulan;

Sifat-sifatnya kembali pada perilaku anak. Merupakan tanda datangnya kematian

kurang 4 bulan;

Penglihatannya sudah kelihatan redup. Merupakan tanda datangnya kematian kurang

1 bulan;

Cahaya mata sudah mulai layu. Merupakan tanda datangnya kematian kurang 1

minggu;

Page 7: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

Roman mukanya terlihat pucat, dan pandangan kosong, telinga lembek (kepleh),

lubang hidung mengecil, pada perabaan kulit badan dingin dan tercium bau tawar.

Merupakan tanda datangnya kematian sudah saatnya.

(Sumber lain dari Kitab Betal Jemur Adam Makna karangan K. P. Tjokroningrat

dalam Sumodjoyo, 1980: 229)

Dengan adanya tanda-tanda diatas baik secara individual maupun yang bisa

dilihat oleh orang lain maka pada umumnya dapat menerima walaupun rasa

kehilangan keluarga terhadap kematian tersebut belum bisa terhapuskan.

d. Kesulitan menghadapi kematian

Kadang-kadang untuk proses kematian bagi masyarakat Jawa juga mengalami

kesulitan artinya dalam perkiraan kondisi fisik dan mental sudah sangat parah dan

memprihatinkan dimata masyarakat, namun tetap masih hidup walaupun tidak mampu

berjalan dan memenuhi kebutuhan sehari hari juga perlu dibantu. Menurut anggapan

masyarakat kejadian seperti ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal misalnya: memiliki

ilmu dalam yang tinggi dan ilmunya belum mau ditinggal dan memiliki kesaktian yang

tinggi berupa susuk/ pusaka yang mempengaruhi kesaktiannya dan belum mau di

tinggalkan. Masih ada urusan keduniawian yang masih belum diselesaikan yang

menjadi beban pikirannya.

3. Makna Kematian Bagi Budaya Jawa

Istilah kematian atau mati bagi orang Jawa mengatakan sedo atau tinggal donya

merupakan salah satu proses keluarnya roh manusia dari jasadnya ( jasmani ) mlesate jiwo

/roh metu saka njero rogo. Keluarnya jiwa dari dalam rogo ini dikarenakan berbagai

macam sebab misalnya sakit, proses tua/ lanjut usia, kecelakaan, bunuh diri, dsb.

Dalam budaya Jawa, proses kematian dari berbagai sebab tersebut akhirnya

dikelompokkan menjadi dua proses kematian yaitu mati garing dan mati teles. Mati garing

yaitu proses kematian yang wajar sedangkan mati teles merupakan proses kematian yang

tidak wajar.

Dalam budaya Jawa ditembangkan Dandang Gulo berjudul dununge pati lan urip

Kaweruhono dununge pati lan urip

Lamun mbenjang tumeka ning palastro

Wong mati nangdi parane

Umpamakno peksi mabur

Oncat saking kurungan neki

Page 8: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

Neng endi pencokan iro

Ojo kongsi kleru

Lamun mbenjang tumekaning sirno

Nang endi dununge pati lan urip

Bali mring asal iro

4. Dunia Arwah setelah Kematian

Dalam budaya Jawa dikenal Alam setelah kematian manusia yang masih menjadi teka

teki yang sulit dipecahkan karena keberadaannya sulit dibuktikan namun sering dijumpai

oleh kehidupan manusia dimana saja termasuk di seluruh dunia.

Keberadaan arwah sendiri dalam budaya Jawa dibagi dalam 3 wujud yaitu : 1) Sukmo

Ngumboro; 2) Sukmo Wurung; 3) Sukmo Sampurno.

1) Sukmo Ngumboro merupakan wujud arwah orang yang meninggal dalam penantian

atau menunggu saat mendapatkan pengampunan dari Tuhan Yang Maha Esa

2) Sukmo Wurung merupakan keberadaan kehidupan yang memang diciptakan oleh

Tuhan Yang Maha Esa tanpa pernah memiliki jasad / fisik. Pada umumnya kelompok

ini berada di Alam Bawono Tunggal Karso, contohnya kelompok jin, setan, iblis,

demit, genderuwo, dsb. Kelompok ini terkena hukum alam keno loro ora keno pati,

artinya bahwa dia bisa sakit tetapi tidak dapat mati.

3) Sukmo Sampurno merupakan arwah yang mencapai tingkat kesucian dan biasanya

kelompok ini adalah kelompok arwah yang pada masa hidupnya telah mencapai

kesempurnaan ilmu pengetahuan, tindakan maupun sikapnya yang selalu menjalankan

/ mematuhi perintah dan menjauhi segala larangan Tuhan Yang Maha Esa. Pada

kelompok ini biasanya masuk ke Alam Madyo Waseso bahkan bisa sampai ke Alam

Waseso.

Adapun alam lain dalam budaya Jawa dinamakan akhirat atau kelanggengan dan alam lain

tersebut dibagi menjadi 3 bagian yaitu:

1. Alam Bawono Tunggal Karso, yaitu alam kehidupan makhluk setelah meninggal yang

masih berada dan bersama kehidupan didunia yang masih dilengkapi dengan nafsu-

nafsu yang belum bisa sempurna.

2. Alam Madyo Waseso, yaitu alam kehidupan makhluk setelah meninggal namun masih

ada sebagian nafsu yang belum disempurnakan sehingga suatu saat masih kembali ke

dunia dan suatu saat dia berada dalam kondisi yang menyenangkan.

Page 9: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

3. Alam Waseso, yaitu alam tempat kembalinya asal muasal manusia yang sempurna

setelah kematian dan tidak ingat, tidak merasakan dan tidak akan kembali di dunia

untuk selamanya, kondisi ini jika sudah mampu mengikhlaskan semua yang ada

didunia dan sudah mampu menyempurnakan dan meninggalkan semua nafsu-nafsunya

(kamil mukamil, tarki, tanajul) pribadi yang mencapai kesucian seperti asal mula

manusia sebelum lahir. Berdasarkan keterangan diatas dapat digambarkan alam setelah

kematian adalah sebagai berikut :

Tempat kembalinya asal

muasal manusia

(Manunggaling Kawulo Gusti)

Kesempurnaan manusia pada

kondisi di tengah-tengah

Kondisi keberadaan alam

yang masih belum

mencapai kesempurnaan

Kondisi alam yang

merupakan tempat

kegelapan dan kesengsaraan

WASESO

MADYA

WASESO

BAWONO

TUNGGAL

KARSO

BLUWENG

Page 10: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

5. Perilaku Arwah setelah Kematian

Perilaku arwah setelah meninggal dunia masih misterius, kita hanya dapat melihat fakta

yang banyak dijumpai di masyarakat, misalnya orang yang dinyatakan mati teles

(meninggal yang bukan sewajarnya). Biasanya arwahnya masih belum mengalami

ketenangan sehingga kadang - kadang masih menampakkan diri dan hal ini diperlukan

bantuan dari keluarga / orang lain untuk membantu menyempurnakannya. Sedangkan

untuk mati garing (kematian wajar) biasanya lebih bisa meninggalkan dunia dengan penuh

ikhlas walaupun kadang - kadang masih berada di Alam Bawono Tunggal Karso. Namun

jika seseorang sudah memiliki ilmu pengetahuan / amalan sesuai dengan petunjuk Tuhan

Yang Maha Esa, dia mampu langsung masuk Alam Madya Waseso bahkan bisa ke Alam

Waseso (kesempurnaan / Manunggaling Kawulo Gusti).

6. Upacara / Prosesi Budaya untuk Orang yang Meninggal dan Makna Dibalik Prosesi

a. Hari Kematian

Hari kematian menurut Budaya Jawa, merupakan hari atau saat keluarnya roh dari

jasad seseorang, orang Jawa lebih sering menyebut dengan hari na-as / geblag / sedone

seseorang, hari kematian ini (dino pasaran) dipergunakan sebagai pedoman awal untuk

acara prosesi selamatan maupun upacara adat berikutnya.

Hari na-as (jumlah dino pasaran) ini merupakan gambaran masa depan anak cucu

atau keturunan atau keluarganya misalnya dengan menghitung neptu dina pasaran pada

saat meninggal dijumlahkan kemudian dihitung: gunung, guntur, segara, asat. Jika

jatuh pada Gunung maka rezeki keluarga dan anak turunnya berlimpah seperti Gunung.

Jika jatuh pada Guntur maka rezeki keluarga yang ditinggalkan akan mengalami

penurunan dan kekeringan.

Jika jatuh pada Segara maka rezeki keluarga yang ditinggalkan akan selalu

bersumber dan tidak habis-habis seperti air samudra. Jika jatuh pada Asat maka

gambaran rezeki keluarga yang ditinggalkan akan serba pas-pasan bahkan mengarah ke

kekurangan termasuk untuk doa selamatan pun selalu serba kekurangan.

Kematian pada hari Jumat Legi dan Selasa Kliwon.

Hari Jum’at Legi disebut dengan hari sukro manis dan hari Selasa Kliwon disebut

dengan hari anggoro kasih, merupakan waktu meninggal yang istimewa.

Dikatakan istimewa atau hari yang dikeramatkan karena yang meninggal pada hari itu

diyakini oleh masyarakat Jawa memiliki kelebihan dibandingkan hari lain, sehingga

Page 11: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

yang meninggal pada hari tersebut biasanya dijaga keamanan mayatnya setelah

dimakamkan sampai 7 hari

Adapun untuk menentukan neptu dino dan pasaran dalam budaya Jawa seperti tabel

berikut :

Dino Neptu Pasaran Neptu

Senin 4 Kliwon 8

Selasa 3 Legi 5

Rabu 7 Pahing 9

Kamis 8 Pon 7

Jum’at 6 Wage 4

Sabtu 9

Minggu 5

b. Brobosan

Yakni suatu upacara yang diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal.

Waktunya pun dilaksanakan ketika jenazah akan diberangkatkan ke peristirahatan

terakhir (dimakamkan) dan dipimpin oleh salah satu anggota keluarga yang paling tua.

Tata cara pelaksanaannya antara lain: 1) Keranda/peti mati dibawa keluar menuju ke

halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah doa jenazah selesai; 2) Secara

berturutan, para ahli waris yang ditinggal (mulai anak laki-laki tertua hingga cucu

perempuan) berjalan melewati keranda yang berada di atasnya (mbrobos) selama tiga

kali dan searah jarum jam; 3) Secara urutan, yang pertama kali mbrobosi keranda

adalah anak laki-laki tertua dan keluarga inti, selanjutnya disusul oleh anak yang lebih

muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.

Upacara ini dilakukan untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan mengenang jasa-

jasa almarhum semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dari

almarhum. Dalam istilah jawanya disebut “Mikul dhuwur mendhem jero”.

c. Prosesi Selamatan Hari Kematian

Prosesi selamatan orang yang sudah meninggal dilakukan sebanyak 8 kali terhitung

sejak orang tersebut meninggal.

Menurut pujangga untuk mempermudah mengingat yang menciptakan di ciptakan

lagu mocopat Sinom yang berbunyi sebagai berikut:

“Siji-siji yen nyurtanah, telu-telu telung ari, pitu loro pitung dina, lima-lima

kawandesi, loro lima nyatusi, papat-papat pendhakipun, kanem lawan kalima

wilujengan sewu ari, den pratitis dino taun sasi tanggal”

Page 12: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

Artinya, satu-satu untuk nyurtanah, tiga-tiga untuk tiga hari, tujuh dua untuk tujuh hari,

lima-lima untuk empat puluh hari, dua lima untuk seratus hari, empat-empat untuk satu

tahun, enam lima untuk seribu hari, perhatikan secara teliti hari, tahun, bulan dan

tanggalnya.

Tujuan singkatnya adalah untuk mengantarkan langkah orang mati tersebut dalam

perjalanannya menuju kesempurnaan baik jiwa maupun raganya.

1) Upacara prosesi selamatan pada hari pertama disebut Ngesur / Njur Tanah. Acara

syukuran yang dilakukan biasanya setelah jenazah diberangkatkan di pemakaman

dengan menyediakan buceng ungkur-ungkur yang artinya keluarga berharap yang

meninggal dengan ikhlas meninggalkan alam dunia ini dan menuju alam akhirat

dengan penuh keikhlasan dan dimudahkan jalannya dan tempat kuburnya.

Sedangkan yang ditinggalkan semoga dapat melupakan yang meninggal dan

menghilangkan rasa berkabungnya dan selanjutnya segera dapat mengurus keluarga

yang ditinggalkan (masing hidup di dunia). Cara menentukannya dengan rumus

nojisarji (dino kesiji pasaran kesiji).

2) Nelung dina atau selamatan setelah tiga hari kematian, cara menentukan waktu

selamatan hari dan pasaran nelung dina digunakan rumus nolusarlu, yaitu hari ketiga

dan pasaran ketiga. Tujuannya untuk menyempurnakan nafsu yang ada dalam jasad

manusia yang berasal dari bumi, api, air dan angin.

Kondisi jasad / mayat : mulai membengkak (ngabuh-abuhi)

Kondisi arwah : masih berada di sekitar rumah (ngubeng omah)

3) Mitung dina atau selamatan setelah tujuh hari kematian, Cara menentukan waktu

selamatan hari dan pasaran mitung dina digunakan notusaro, yaitu hari ke ketujuh

dan pasaran kedua. Tujuannya untuk menyempurnakan kulit dan rambutnya.

Kondisi jasad / mayat : mulai meletus / mengeluarkan gas dari dalam tubuh

(mbledos)

Kondisi arwah : masih berada di sekitar rumah (ngubeng omah)

4) Matangpuluh dina atau selamatan setelah 40 hari kematian, Cara menentukan

waktu selamatan hari dan pasaran matangpuluh dina digunakan rumus nomasarma,

yaitu hari kelima dan pasaran kelima. Tujuannya untuk menyempurnakan anggota

tubuh yang merupakan titipan dari kedua orang tua, yaitu ; darah, daging, sungsum,

tulang dan otot.

Kondisi jasad / mayat : mulai proses pembusukan (mbosoki)

Page 13: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

Kondisi arwah : mulai menjauh dari rumah, namun kadang – kadang masih kembali

ke rumah (ngedohi omah)

5) Nyatus dina atau selamatan setelah 100 hari kematian, Cara menentukan waktu

selamatan hari dan pasaran digunakan rumus perhitungan hari norosarma, yaitu hari

kedua dan pasaran kelima. Tujuannya untuk menyempurnakan badan / jasadnya.

Kondisi jasad / mayat : mulai mengering dari cairan tubuh (ngesat – ngesati)

Kondisi arwah : mulai terputus hubungan dengan keluarga

6) Mendhak sepisan atau selamatan setelah satu tahun kematian, Cara menentukan

waktu selamatan hari dan pasaran mendhak pisan digunakan rumus nopatsarpat

yaitu hari keempat dan pasaran keempat. Tujuannya merupakan selamatan telah

sempurnanya kulit daging dan semua isi perut.

Kondisi jasad / mayat : daging sudah habis tinggal tulang belulang

Kondisi arwah : sudah mulai menjauh dari keluarga

7) Mendhak pindho atau selamatan setelah dua tahun kematian, Cara menentukan

waktu selamatan hari dan pasaran mendhak pindho digunakan rumus norosarpat,

yaitu hari kedua dan pasaran keempat. Tujuannya merupakan selamatan setelah

sempurnanya semua anggota badan selain tulangnya.

Kondisi jasad / mayat : antara persendian sudah mulai terlepas (balung gonggang)

Kondisi arwah : mulai menjauh dari rumah

8) Nyewu atau selamatan setelah seribu hari kematian, Cara menentukan waktu

selamatan hari dan pasaran seribu hari (nyewu) digunakan rumus nonemsarma yaitu

hari keenam dan pasaran kelima. Tujuannya selamatan itu, karena telah

sempurnanya jasad manusia termasuk bau dan rasanya. Sehingga manusia yang

meninggal itu telah menyatu dengan tanah yang merupakan asal muasalnya.

Kondisi jasad / mayat : tulang belulang ada yang mengumpul menjadi satu diatas

atau ditengah atau dibawah, adapula tulang belulang tetap membujur, ada juga

tulang belulang yang berserakan (morat marit). Ini merupakan fenomena yang

belum bisa terkuak dari ketiga perbedaan ini.

Kondisi arwah : menempati alam yang semestinya sesuai dengan ilmu pengetahuan,

tingkah laku dan amal perbuatannya selama hidup di dunia.

Untuk lebih rincinya dalam menentukan hari selamatan adalah sebagai berikut:

Seandainya meninggal jatuh pada hari Senin Kliwon, untuk selamatan 3 hari, harinya

= yang ke-3 (hari ke-3 sesudah Senin yaitu hari Rabu). Untuk pasaran, pasaran ke-3

sesudah hari Kliwon yaitu pasaran Pahing, jadi selamatan 3 hari jatuh pada hari Rabu

Page 14: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

Pahing. Demikian dan seterusnya seperti yang disebutkan dalam Pupuh Sinom. Khusus

selamatan 1000 hari ada pedoman lain lagi berwujud singkatan Sidurro, artinya sasine

mundur loro dan Tanggale Durmo artinya tanggale mundur limo. Seandainya

meninggal tanggal 19 Suro, maka selamatan 1000 hari sebagai berikut: Tanggal 19

dikurangi 5, jadi jatuh pada tanggal 14. Untuk bulan; bulan Suro mundur 2 bulan ke

belakang, jatuh pada bulan Dulkangidah. Jadi, 1000 harinya jatuh pada tanggal 14

bulan Dulkangidah.

Tabel Menghitung Hari / Dino Selamatan

Kematian 3 hari 7 hari 40 hari 100 hari 1 tahun 2 tahun 1000 hari

1 2 3 4 5 6 7 8

Akad

Senen

Selasa

Rebo

Kemis

Jum’at

Sabtu

Selasa

Rebo

Kemis

Jum’at

Sabtu

Akad

Senen

Sabtu

Akad

Senen

Selasa

Rebo

Kemis

Jum’at

Kemis

Jum’at

Sabtu

Akad

Senen

Selasa

Rebo

Senen

Selasa

Rebo

Kemis

jum’at

Sabtu

Akad

Rebo

Kemis

Jum’at

Sabtu

Akad

Senen

Selasa

Selasa

Rebo

Kemis

Jum’at

Sabtu

Akad

Senen

Jum’at

Sabtu

Akad

Senen

Selasa

Rebo

Kemis

Tabel Menghitung Hari Pasaran

Kematian 3 hari 7 hari 40 hari 100 hari 1 tahun 2 tahun 1000 hari

1 2 3 4 5 6 7 8

Kliwon

Legi

Paing

Pon

Wage

Paing

Pon

Wage

Kliwon

Legi

Legi

Paing

Pon

Wage

Kliwon

Wage

Kliwon

Legi

Paing

Pon

Wage

Kliwon

Legi

Paing

Pon

Pon

Wage

Kliwon

Legi

Paing

Wage

Kliwon

Kliwon

Legi

Paing

Wage

Kliwon

Legi

Paing

Pon

Contoh jika meninggalnya pada hari Selasa Legi, maka: Selamatan 3 harinya jatuh pada

Kamis Pon (kolom 1 hari Selasa diurut ke kolom 2) jatuh hari Kamis. Hari Pasaran

Legi (kolom 1 diurut ke kolom 2). Jatuh pada Pasaran Pon. Jadi jatuh pada hari Kamis

Pon, Selamatan 7 hari jatuh pada hari Senin Pahing (kolom 3), Selamatan 40 hari jatuh

pada hari Sabtu Kliwon (kolom 4). Selamatan 100 hari jatuh pada hari Rabu Kliwon

(kolom 5), Selamatan 1 Tahun atau pendak 1 jatuh pada hari Jum’at Wage (kolom 6),

Selamatan 2 Tahun atau pendak 2 jatuh pada hari Kamis Kliwon (kolom 7), Selamatan

1000 hari jatuh pada hari Akad Kliwon (kolom 8),

Page 15: Etnografi Kematian dalam Perspektif Budaya Jawa

DAFTAR PUSTAKA

Foster dan Anderson, 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Universitas Indonesia.

Harya Tjakraningrat, 2005. Kitab Primbon “Lukmanakim Adammakna, Yogyakarta,

Soemodjojo Mahadewa.

Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa,Jakarta, Balai Pustaka.

Soekidjo Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta, PT Rineka

Cipta.

Soemadyah Noeradyo Siti Woerjan, 1980. Kitab Primbon “Betaljemur Adammakna”,

Yogyakarta, Soemodjojo Mahadewa.

Imam Sunarno, 2012. Konsep Sehat Menurut Perspektif Budaya Jawa, Disertasi, Surabaya,

Zoetmulder Petrus Josephus, 1990. Manunggaling Kawula Gusti “Pantheisme dan Monisme

dalam Sastra Suluk Jawa”, Jakarta , Gramedia Pustaka Utama.