etnografi kampung naga

Upload: abdurrahman-misno-bambang-prawiro

Post on 08-Oct-2015

98 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Antropolgi, Etnografi,

TRANSCRIPT

Ritual Hajat Sasih di Kampung Naga TasikmalayaOleh: Abdurrahman MBP

A. Latar BelakangManusia adalah makhluk paling sempurna di muka bumi, kesempurnaannya terletak pada dua unsur dalam dirinya yaitu tubuh/jasad (body) dan ruh (soul). Kedua unsur tersebut semakin sempurna dengan anugerah akal pikiran yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dengan akal tersebut manusia mampu mengembangkan potensi dirinya, memenuhi semua kebutuhannya dan melaksanakan tugas utamanya sebagai pewaris alam semesta (khalifatullah fil ardh). Sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia berusaha mengerahkan seluruh potensinya untuk memenuhi seluruh kebutuhannya, dari kebutuhan bagi tubuhnya yang berupa makanan dan minuman, hingga kebutuhan rohaninya dalam bentuk pencarian kedamaian, ketentraman, kebahagiaan dan aktualisasi diri. Merujuk teori Abraham Maslow bahwa manusia memiliki lima kebutuhan mendasar yaitu kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri, dan pengembangan potensi (Jujun, 2001: 262). Maka kebutuhan manusia tidak hanya dalam bentuk makanan untuk tubuhnya saja, melainkan yang lebih penting adalah kebutuhan untuk memenuhi ruhaninya. Di antara kebutuhan mendasar ruhani manusia adalah kebutuhanakan sesuatu yang bisa dijadikan pedoman dan sarana dalam mencapai kepuasan rohaninya tersebut. Sesuatu itu adalah agama, yang akan memenuhi kebutuhan manusia terutama kebutuhan akan tuntunan dan pedoman bagi kebahagiaan kehidupannya.Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Manusia Primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenal Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan sekalipun terbatas daya khayalnya. Daya khayal inilah yang melahirkan kepercayaan akan adanya kekuatan di luar diri manusia. Selanjutnya, kepercayaan-kepercayaan tersebut dikenal dengan istilah Dinamisme, Animisme, dan Politeisme, (Harun, 2010 : 4). Informasi lainnya yang menunjukkan bahwa manusia membutuhkan agama adalah pendapat yang dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Ia percaya bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya Einstein menyatakan adanya bermacam-macam kejiwaan yang telah menyebabkan pertumbuhan agama. Demikian pula bermacam-macam faktor telah mendorong berbagai kelompok manusia untuk berpegang teguh pada agama. Semua itu menunjukan bahwa manusia mempunyai potensi untuk meyakini adanya kekuatan lain di luar dirinya yang disebut tuhan, dengan kata lain manusia memiliki potensi kuat untuk bertuhan (Harun, 2010 : 6).Setelah manusia memahami bahwa agama adalah bagian dari kebutuhan hidupnya, selanjutnya mereka mencoba untuk mengaplikasikan keyakinan tersebut dalam berbagai pola keagamaan dan ritual keagamaan. Maka saat ini kita saksikan manusia berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berbagai ritual keagamaan yang mereka yakini mampu menjadi wasilah bagi kedekatannya dengan Tuhan. Walaupun ada banyak ritual keagamaan yang dilakukan oleh manusia, namun semuanya memiliki mata rantai yang tidak bisa diputus dan terlihat dari esensi ritual keagamaan tersebut. Semua itu dilakukan dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mereka meyakini bahwa ritual tersebut akan menjadi satu jalan bagi kebahagiaan dan kedamaian dalam kehidupan. Maka kita saksikan manusia masing-masing memiliki cara-cara tersendiri untuk melakukan ritual keagamaan sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan. Sebagian mereka melakukan inovasi dalam melakukan ritual keagamaan, sementara sebagian yang lain meneruskan tradisi yang telah diturunkan dari nenek moyang mereka. Hal inilah yang terjadi pada suku bangsa dan komunitas masyarakat di seluruh dunia, termasuk suku bangsa yang ada di Indonesia. Dari generasi ke generasi pola-pola ritual keagamaan itu diwariskan, sebagiannya diwariskan secara apa adanya tanpa adanya perubahan, sementara sebagian yang lainnya berubah dengan tambahan dan pengurangan. Penambahan dan pengurangan yang terjadi pada ritual keagamaan masyarakat khususnya Indonesia dikarenakan adanya faktor internal dan eksteral. Faktor internal adalah adanya wangsit dari alam ghaib kepada ketua adat dan sesepuh suku bangsa, sementara faktor eksternal yang mempengaruhi perubahan tersebut adalah karena datangnya sistem kepercayaan baru yang diterima oleh masyarakat tersebut. Itulah yang terjadi pada ritual-ritual keagamaan yang terjadi di berbagai suku bangsa di Indonesia, ketika Islam belum hadir, mereka melakukan berbagai ritual keagamaan yang telah mereka wariskan dari nenek moyang mereka. Kemudian Islam datang dan membawa pola-pola ritual baru yang dalam beberapa bagian berbeda dengan budaya asli sementara sebagian lainnya memiliki nilai-nilai yang sama. Di antara bentuk ritual keagamaan yang telah ada sejak dahulu adalah penghormatan terhadap nenek moyang. Ritual ini adalah salah satu dari ritual khas dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, dari ujung barat Indonesia di Aceh hingga ujung timur Indonesia di Merauke. Mereka memiliki ritual keagamaan dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang, ketika nenek moyang tersebut sudah meninggal dunia ritual penghormatan tersebut diarahkan ke makam atau kuburan nenek moyang tersebut. Dari sinilah muncul ritual untuk menghormati leluhur, dalam taraf lebih lanjut adalah muncul keyakinan bahwa arwah nenek moyang itu memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia (animisme). Suku Sunda sebagai salah satu dari suku bangsa yang ada di Indonesia juga memiliki ritual untuk menghormati para leluhurnya. Hal ini terlihat dari berbagai ritual keagamaan yang ada di wilayah yang didiami oleh suku Sunda, terutama di Provinsi Jawa Barat, Banten, sebagian Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Di Panjalu Kabupaten Ciamis terdapat ritual Nyangkuyaitu ritual yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dari Kerajaan Galuh Panjalu. Di Kabupaten Garut ada ritual Ziarah Makam Karamah yaitu mengunjungi makam leluhur Kampung Dukuh agar keinginannya dapat tercapai. Di Kabupaten Bogor dan Kuningan ada Seren Taun Guru Bumi sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, ritual ini diawali dengan ziarah ke beberapa makam leluhur. Di Propinsi Banten ada komunitas Badui yang memiliki ritual Muja yaitu penghormatan kepada situs leluhur (Ekadjati, 2009 : 63). Demikian pula di Indramayu terdapat ritual Sedekah Bumi sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dengan mengunjungi makam leluhur. Sedangkan di Kampung Adat Banceu Kabupaten Subang terdapat ritual Ngaruat Bumi sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur mereka. Demikian pula di Tasikmalaya ada Hajat Sasih yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga sebagai sebuah ritual untuk menghormati leluhur Kampung Naga.Ketika Islam datang ke tanah Pasundan dan bersentuhan dengan budaya Sunda terjadilah dialog di antara keduanya, terjadi proses saling mengisi dan melengkapi antara Islam dan budaya Sunda, hingga terciptalah satu kebudayaan yang merepresentasikan kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan baru ini kemudian diwariskan secara turun temurun sehingga sadar atau tidak kebudayaan baru tersebut merupakan budaya Islam dengan citarasa lokal. Di antara wujud dari dialog antara Islam dan budaya lokal adalah pelaksanaan Hajat Sasih yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat Kampung Naga sebagai sub-kultur budaya Sunda menerima Islam sebagai agamanya sejak pembukaan awal Kampung Naga, sehingga proses akulturasi tersebut tidak disadari oleh generasi sesudahnya. Maka dari itu muncul sebuah pertanyaan lebih lanjut, Bagaimana sebenarnya proses pelaksanaan Hajat Sasih di kampung Naga? Apakah dalam ritual ini terjadi akulturasi antara Islam dan Adat Sunda? Bagaimana dengan budaya nasional Indonesia? Dari sini peneliti sangat tertarik untuk mengetahui lebih mendalam mengenai akulturasi antara Agama, Darigama dan Adat Sunda, terutama pada Ritual Hajat Sasih di Kampung Naga.B. Perumusan Masalah PenelitianDari latarbelakang penelitian ini teridentifikasi beberapa permasalahan yang berkaitan dengan akulturasi budaya antara Agama, Darigama, dan Adat Sunda dalam Ritual Hajat Sasih. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penelitian ini terfokus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini : 1. Bagaimana proses pelaksanaan RitualHajat Sasih di Kampung Naga?2. Apa saja bentuk-bentuk akulturasi antara Agama, Darigama dan Adat Sunda pada Ritual Hajat Sasih di Kampung Naga? Dengan dua pertanyaan ini diharapkan penelitian ini akan dapat memberikan deskripsi dan analisis yang komprehensif mengenai Ritual Hajat Sasih dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan Ritual Hajat Sasih yang dilaksanakan di Kampung Naga. Selain itu juga untuk memahami bentuk-bentuk akulturasi yang terjadi antara Agama, Darigama dan Adat Sunda khususnya pada ritual Hajat Sasih.Adapun secara rinci tujuan dari penelitian ini adalah untuk:1. Mengetahui proses pelaksanaan Ritual Hajat Sasih di Kampung Naga. 2. Memahami bentuk-bentuk akulturasi Agama, Darigama dan Adat Sunda pada Ritual Hajat Sasih di Kampung Naga. Signifikansi dari penelitian ini adalah sebagai bentuk penggalian kearifan Islam lokal yang memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan budaya Islam pada umumnya.Secara akademik penelitian ini menjadi sumbangsih bagi ilmu pengetahuan khususnya ilmu Anthropologi di Indonesia.Sedangkan manfaat dari penelitian ini secara praktis adalah sebagai informasi kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai komunitas Kampung Naga yang memiliki budaya Islam lokal yang adiluhung sebagai kaca benggala bagi bangsa Indonesia.

D. Literature ReviewKeunikan Kampung Naga telah mengundang minat para peneliti untuk melakukan penelitiannya di sana. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di Kampung Naga sebagian besar mengambil tema adat istiadat dan budaya di Kampung Naga. Beberapa penelitian yang bersifat umum yang dilakukan di Kampung Naga diantaranya adalah yang dilakukan oleh A. Suhandi Shm (1982). Penelitian ini merupakan penelitian awal yang dilakukan di Kampung Naga, hasil dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat adat yang senantiasa memegang teguh adat-istiadatnya, khususnya dalam bidang kepercayaan dan ritual keagamaan. Selanjutnya penelitian tentang Kampung Naga juga dilakukan oleh Her Suganda (2006), penelitian ini menggali bagaimana pola kehidupan sosial dan keagamaan komunitas Kampung Naga sehingga mereka masih berpegang teguh kepada tradisinya selama beratus-ratus tahun dari generasi ke generasi. Hasil dari penelitiannya adalah bahwa masyarakat Kampung Naga hingga saat ini masih berpegang teguh kepada adat istiadatnya dikarena mereka masih meyakini bahwa seluruh tata aturan kehidupan yang diwariskan oleh para leluhur mereka adalah jalan hidup yang terbaik yang harus selalu diikuti. Apabila mereka meninggalkannya maka akan datang malapetaka bagi kampung mereka. Istilah adanya larangan untuk emninggalkan adat istiadat dan larang melakukan sesuatu mereka sebut dengan pamali atau tabu. Selanjutnya penelitian juga dilakukan pada fokus tertentu yang berkaitan dengan Kampung Naga, misalnya penelitian yang dilakukan oleh M. Ahman Sya dkk. (2008) yang memfokuskan pada sejarah Kampung Naga. Hasil dari penelitiannya adalah bahwa sejarah Kampung Naga memiliki beberapa versi, tidak ada versi yang lebih kuat dalam sejarah Kampung Naga. Pihak kuncen dan masyarakat Kampung Naga juga tidak membantah dan menerima beberapa versi sejarah tersebut. Namun yang pasti adalah bahwa masyarakat Kampung Naga merupakan keturunan dari Sembah Dalem Singaparna yang telah mendirikan kampung tersebut. Di bidang mitologi Kampung Naga, Etty Saringendyanti(2008) telah melakukan penelitian yang memfokuskan diri pada tema ini. Pokok pembahasannya adalah mengenai masalah kosmologi yang tertuang di dalam mitologi masyarakat Kampung Naga. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kosmologi Sunda yang tertuang dalam mitologi dan penataan ruang Kampung Naga merupakan akulturasi dari ajaran lokal baik yang berasal dari masa prasejarah khususnya tradisi megalitik, Hindu Budha, maupun ajaran Islam. Dalam masalah hukum kewarisan di Kampung Naga, Harpat Ade Yandi (2008) telah melakukan penelitian mengenai hal ini. Penelitian ini terfokus pada pola-pola kewarisan yang dianut oleh masyarakat adat Kampung Naga.Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan perspektif hukum Islam. Hasil dari penelitiannya adalah bahwa pelaksanaan hukum waris di Kampung Naga tidak sesuai dengan system hukum waris Islam, mereka melaksanakan hibah dan hibah wasiat yaitu harta dari orang tua akan diberikan kepada anak-anaknya sebelum mereka meninggal, penyerahan dari harta tersebut biasanya dilaksanakan setelah orang tua meninggal dunia. Walaupun tidak sesuai dengan system hukum Islam secara tekstual namun bisa diterima oleh hukum Islam dengan dasar kemashalahatan.Sedangkan penelitian tentang akulturasi budaya di Kampung Naga dalam Ritual Hajat Sasih telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah yang dilakukan Lia Amalia (2001) yang meneliti Ritual Hajat Sasih dengan pendekatan fungsionalisme. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa Ritual Hajat Sasih yang dilaksanakan masyarakat Kampung Naga adalah untuk meneruskan tradisi leluhur mereka dalam bentuk berziarah ke makam leluhur sekaligus media untuk bersilaturahmi di antara mereka. Selain itu Budi Astuti (2002) juga melakukan penelitian dengan tema akulturasi Budaya Islam dan Sunda. Hasil penelitannya menunjukan bahwa Ritual Hajat Sasih merupakan bentuk akulturasi antara Islam dan budaya Sunda. Selanjutnya juga dilakukan penelitian dengan tema Ritual Hajat Sasih hanya lebih terfokus kepada implementasi dan praktek pelaksanaannya sebagai bentuk kepatuhan mereka terhadap adat istiadat di Kampung Naga. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa hingga saat ini masyarakat Kampung Naga masih mempertahankan upacara Hajat Sasih disebabkan karena upacara ini adalah bentuk implementasi kepatuhan, ketaatan atau ketundukan terhadap nilai-nilai adat Kampung Naga dan dalam diri mereka selalu ada keinginan untuk melestarikan warisan dari para leluhur. Selain itu manfaat dari dilaksanakannya Hajat Sasih adalah mempererat rasa kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong dan sebagai sarana pembelajaran agar satu sama lain saling menghargai, di samping melanjutkan tradisi budaya leluhur Kampung Naga. Sementara Yogi Hendra Kusnendar (2008) telah meneliti mengenai Ritual Hajat Sasih dalam ruang lingkup dakwah dan tradisi lokal. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Upacara Hajat Sasih di Kampung Naga merupakan peninggalan nenek moyang yang dilaksanakan dengan dibumbui oleh kepercayaan agama Islam, sehingga perayaan ini selayaknya dipertahankan sebagai suatu budaya lokal. Penelitian terakhir mengenai Ritual Hajat Sasih adalah yang dilakukan oleh Angga Nugraha (2011). Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi dengan perspektif teoritis interaksi simbolik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat makna dari symbol-simbol komunikasi yang digunakan dalam Upacara Hajat Sasih menurut para informan. Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa Ritual Hajat Sasih bukanlah hanya sebagai upacara ritual belaka, namun terdapat makna dari setiap gerakan,tata-cara, maupun symbol-simbol yang unik atau spesial yang dikelola dan digunakan oleh para pesertanya.Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang Ritual Hajat Sasih maka peneliti akan memfokuskan pada akulturasi Agama, Darigama dan Adat Sunda pada Ritual Hajat Sasih yang dilaksanakan di Kampung Naga pada bulan Rayagung (Dzulhijjah) tahun 2012. Karakteristik khas dari penelitian ini diperkuat dengan penggunaan pendekatan etnografi yaitu metode keterlibatan langsung dalam proses ritual ini, sehingga diharapkan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnmya, selain itu diharapkan dengan metode ini juga diperoleh data yang lebih mendetail dan sesuai dengan realitas yang ada dalam ritual tersebut.

E. Kerangka TeoritisSetiap masyarakat memiliki adat-istiadat tersendiri, adat-istiadat tersebut adalah salah satu wujud dari kebudayaan. Kebudayaan bisa dipahami sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan budi atau akal dan segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal dan budi tersebut. (Koentjaraningrat,2002: 181). Ralph Linton mendefinisikan kebudayaan dengan seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau yang lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup masyarakat itu kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri (T.O. Ihrami ed. : 2006 : 18.).Walaupun definisi-definisi tentang kebudayaan memiliki perbedaan sudut pandang, akan tetapi setiap definisi menyimpulkan kesamaan, yaitu bahwa kebudayaan adalah ciptaan manusia. Dengan demikian, tidak ada budaya tanpa manusia dan tidak ada manusia tanpa budaya.Manusia dan budaya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.Setelah definisi kebudayaan dapat tergambarkan selanjutnya kebudayaan tersebut diaplikasikan dalam berbagai bentuk wujud kebudayaan.Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: Ideas (gagasan), Activities (aktivitas), dan artifacts (artefak) (Koentjaraningrat : 2002 : 186). Activities (aktivitas) adalah wujud dari adat-istiadat yang dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan tertentu, pada waktu tertentu, tempat tertentu dan penggunaan simbol-simbol tertentu. Adat-istiadat ini disebut juga dengan ritual, secara umum ritual dapat didefinisikan sebagai aktivitas adat yang dibakukan, yang berulang secara periodik dalam hubungan-hubungan manusia secara teknis, sosio-kultural, rekreasional dan religius. Mudjahirin Thohir menyatakan bahwa ritual merupakan bentuk dari penciptaan atau penyelenggaraan hubungan-hubungan antara manusia kepada yang ghaib, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia kepada lingkungannya. Sementara Winnick mendefinisikan ritual dengan a set or series of acts, usually involving religion of Magic, with the sequence estableshed by tradision ... they often stem from the daily life.. Seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama atau magi yang dimantapkan melalui tradisi (Nur Syams, 2005: 18). Ritual tidak sama persis dengan sebuah pemujaan, karena ritual merupakan tindakan yang bersifat keseharian. Berbeda dengan definisi sebelumnya Dhavamony berpendapat bahwa ritual adalah suatu kenyataan yang di dalamnya melibatkan persoalan mistis. Ritual dilihat dari jenisnya terbagi menjadi empat kategori: Pertama, tindakan magi yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya mistis. Kedua, tindakan religius, kultus leluhur juga melakukan hal serupa dengan cara mistis. Ketiga, ritual konstitutif yang mengungkapkan atau merubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, spesifikasi cara ini nampak lebih jelas. Keempat, ritual faktitif terkait dengan peningkatan produktivitas atau kekuatan atau pemurnian dan perlindungan, istilah lainnya adalah terkait dengan persoalan peningkatan kesejahteraan. Selanjutnya, ketika terjadi pertemuan antara dua ritual yang berbeda terjadilah proses akulturasi di tengah masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah akulturasi diartikan sebagai penyerapan yang terjadi oleh seorang individu atau sekelompok masyarakat, terhadap beberapa sifat tertentu dari kebudayaan kelompok lain sebagai akibat dari kontak atau interaksi dari kedua kelompok kebudayaan tersebut, sedangkan akulturasi budaya diartikan sebagai hasil interaksi manusia berupa pencampuran dari beberapa macam kebudayaan secara perlahan menuju bentuk budaya baru (KBBI : 2003).Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi mengemukakan bahwa Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian budaya itu sendiri. (Koentjaraningrat,2002 : 248).Akulturasi terjadi pada berbagai hal, dari mulai kebudayaan, adat-istiadat, ekonomi, hukum, politik dan yang lainnya. Dalam ruang lingkup akulturasi budaya antara Islam dan budaya lokal terdapat beberapa teori yang berkembang di kalangan ilmuwan sosial dan antropologi. Teori pertama menganggap bahwa akulturasi antara Islam dan budaya lokal menghasilkan Islam sinkretik, tokohnya adalah Clifford Geertz, ia mengkonstruksi sebuah konsep yang dikenal dengan istilah Islam abangan,santri dan priyayi. Islam abangan adalah konsepsi tentang model Islam sinkretik. Selanjutnya Beatty, seperti halnya Geertz ia juga memahami bahwa agama Jawa dengan pusat ritual pada slametan adalah sebuah tindakan sinkretik. Slametan merupakan medium yang mempertemukan berbagai stratifikasi sosial. Oleh karena itu, terdapat ambiguitas simbol ritual yang berhubungan dengan variasi dan tingkatan di dalam struktur sosial (Beatty, 2001: 35). Ahli ilmu sosial dari Indonesia yang berpendapat sama adalah Erni Budiawanti melakukan penelitian pada komunitas Sasak setuju dengan teori sinkretisme Islam dengan tradisi lokal. Islam Wetu Telu adalah Islam sinkretik dan bersifat nominal. Masuknya Islam ke dalam tradisi Sasak tidak menghilangkan secara keseluruhan praktik kebudayaan tradisional yaitu Islam sasak dipandu oleh adat dan tradisi lokal.Teori kedua berpendapat bahwa akulturasi antara Islam dan budaya lokal bersifat kompatibel, diantara tokohnya adalah Woodward, Ia melakukan penelitian di Jogyakarta. Menurutnya hubungan antara Islam dan tradisi lokal (yang dianggap sebagai warisan tradisi Hindu) tidak bersifat sinkretis, tetapi bersifat kompatibel. Jadi Islam Jawa bukanlah Islam animistis dan sinkretis, tetapi Islam yang kontekstual dan berproses secara akulturatif. Selanjutnya Muhaimin AG juga memiliki pendapat yang sama, menurutnya, menelusuri Islam dari sudut pandang sinkretisme ternyata tidak cukup memberi penjelasan yang komprehensif tentang Islam Jawa. Dibutuhkan upaya lebih luas memaknai ekspresi keagamaan, sistem kepercayaan, dan ritual lokal seperti slametan dengan mengaitkannya dengan jalinan ibadah dan adat yang diturunkan dari teks-teks Islam seperti Alquran, hadits, dan karya ulama terdahulu. Islam tradisi berarti sesuatu model akulturasi yang tidak stagnan, dan terus berlangsung secara kompatibel dan kontekstual. Perubahan-perubahan segera terjadi seiring dengan perubahan situasi dan konteks yang sedang terjadi di sekelilingnya.Pendapat kedua juga dipegang oleh Bassam Tibi yang memandang bahwa terdapat berbagai variasi dalam Islam. Ini disebabkan karena konteks lokalitas dimana Islam itu berada. Dalam konteks itu, Tibi mengusulkan perlunya upaya melihat Islam dalam kerangka models of reality (model-model dari realitas) dan models forrealitiy (model-model untuk realitas). Agama Islam dalam kerangka models of reality menggambarkan kongruensi struktural dengan obyek yang digambarkan. Di sisi lain, sebagai model untuk realitas bersifat abstrak, berupa teori, dogma, doktrin yang tidak merupakan kongruensi struktural.Mulder juga menggunakan konsep tentang lokalitas sebagai medan pergulatan antara Islam dan budaya lokal. Secara spesifik Mulder ikut menolak teori sinkretisme. Sinkretisme menurutnya sangat mengaburkan proses relasi antara dua unsur yang berbeda. Lokalitas senantiasa mengandaikan adanya unsur yang selalu menyesuaikan. Islam yang datang belakangan menyesuaikan diri dengan unsur lokal. Terakhir Nur Syam yang berpendapat bahwa konsep sinkretisme mengandung kelemahan karena mengabaikan adanya dialog antara Islam dan budaya lokal. Kajian sinkretisme memberi legitimasi bahwa Islam hanya nominal saja, aspek pelengkap. Inti dari semuanya adalah nilai lokal. Padahal tradisi Islam lokal adalah hasil dari konstruksi sosial yang memiliki keunikan. Ia tidak bercorak genuine Islam dan tidak juga bercorak Kejawen.Berbagai kajian tentang akulturasi tersebut telah menghasilkan konsep yang bervariasi. Geertz, Beatty, Radam, dan Budiawanti menghasilkan konsep sinkretisme Islam. Mulder dengan pendekatan local genius menghasilkan konsep lokalitas. Woodward melalui pendekatan aksioma struktural dan Muhaimin melalui pendekatan alternatif menghasilkan konsep Islam akulturatif, dan Nursyam melalui pendekatan konstruksi sosial menghasilkan konsepsi.Teori relasi Islam dan tradisi lokal yang menarik untuk digunakan adalah teori pribumisasi Islam yang dicetuskan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Pribumisasi Islam adalah upaya mengokohkan kembali akar budaya dengan tetap menciptakan masyarakat yang taat beragama.Banyaknya teori mengenai proses akulturasi Islam dan budaya lokal menunjukan bahwa studi ini telah banyak menarik para peneliti untuk menggali hasil dari akulturasi tersebut. Penelitian ini sendiri didasarkan pada teori bahwa Islam memiliki sifat yang adoptif terhadap adat kebiasaan di masyarakat, sehingga ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat bisa jadi diterima sebagai bagian dari Islam selama tidak bertentangan dengan esensi dari Islam.

F. Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan metode etnografi, ciri khas dari penelitian etnografi adalah proses mengumpulkan dan mencatat bahan-bahan guna mengetahui keadaan masyarakat dengan mengandalkan peneliti sebagai alat utama penelitian, dalam hal ini peneliti terlibat dalam obyek penelitian (Fetterman : 2010).Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode fenomenologi, yaitu mendeskripsikan proses pelaksanaan Ritual Hajat Sasih sebagaimana adanya(Spraadley, 2007: 4). Setelah itu digunakan pula teori tiga jalur untuk menganalisis data penelitian dalam bentuk akulturasi budaya (Koentjaraningrat, 2007: 95).Tekhnik pengumpulan data dilakukan melalui direct observation (pengamatan langsung), dept interview (wawancara mendalam), dan kajian dokumen yang relevan dengan obyek penelitian (Moleong, 2006:216). Berikut adalah perinciannya : 1. Observasi langsung: Dalam penelitian ini pengamatan dilakukan secara langsung terhadap obyek penelitian yaitu proses pelaksanaan Ritual Hajat Sasih di Kampung Naga. Pengamatan dimulai sejak kunjungan pertama hingga sehari setelah pelaksanaan ritual tersebut.Observasi langsung ini dilakukan agar gambaran realistik perilaku atau kejadian dalam Ritual Hajat Sasih dapat terekam secara faktual.Dari jenisnya observasi yang lakukan menggunakan kombinasi pengamatan yang berupa observasi partisipasi dan observasi tidak terstruktur.Observasi partisipasi (participant observation) yang dilakukan adalah dengan melibatkan diri pada proses pelaksanaan Ritual Hajat Sasih. Sedangkan observasi tidak berstruktur dilakukan dengan mengembangkan berbagai daya pengamatan dalam mengamati setiap proses pelaksanaan Ritual Hajat Sasih. 2. Wawancara MendalamWawancara yang dilakukan dalam penelitian ini berupa wawancara mendalam (indepth interview), tujuan dari wawancara ini adalah agar dapat memperoleh keterangan dan informasi yang lengkap mengenai obyek penelitian. Tekhnik wawancara yang digunakan adalah dalam bentuk tanya jawab sambil bertatap muka secara langsung dengan informan. Penguasaan bahasa Sunda peneliti sangat membantu proses wawancara ini. Proses wawancara dilakukan beberapa kali agar informasi yang didapatkan semakin mendalam. Tempat wawancara disesuaikan dengan kondisi informan, terkadang di rumahnya, di depan rumah warga, dan di masjid kampung. Waktunya sendiri disesuaikan dengan kesediaan dari informan untuk memberikan waktunya, bisa siang hari, pagi hari atau juga malam hari.Hal ini sangat dimungkinkan karena peneliti juga menginap di tempat penelitian.Tekhnik wawancara lainnya yang peneliti gunakan berupa wawancara bebas dan wawancara terstruktur, pada awal-awal wawancara peneliti menggunakan wawancara yang lebih longgar dalam bentuk percakapan dan ngobrol ngalor-ngidul, namun setelah saling mengenal dan mulai tumbuh kepercayaan dari informan maka wawancara lebih terstruktur dan terfokus pada obyek penelitian. Untuk mengabadikan wawancara dilakukan perekaman dan catatan pada setiap proses wawancara. Selain menggunakan wawancara langsung dengan tatap muka, penelitijuga menggunakan media hp dalam wawancara, caranya dengan menelepon informan dan mewawancarai melalui hp sambil menggunakan perekam suara. Tekhnologi hp saat ini sangat membantu proses wawancara melalui telfon ini. Pemilihan informan yang penelitiwawancarai adalah para pihak yang memiliki kompeten pada obyek penelitian.Selain key informan tersebut, wawancara juga dilakukan dengan warga masyarakat Kampung Naga secara umum dan para peserta Ritual Hajat Sasih di Kampung Naga.3. DokumenAwalnya penelitipercaya bahwa data mengenai Ritual Hajat Sasih akan bisa diperoleh melalui pengamatan dan wawancara, namun perkiraan ini meleset. Beberapa data tidak bisa diperoleh dengan dua metode pengumpulan data ini. Hal ini disebabkan tidak semua proses pelaksanaan Ritual Hajat Sasih bisa diikuti oleh peneliti. Misalnya ketika acara bebersih di Kali Ciwulan maka tidak sembarang orang boleh mengikuti dan menyaksikannya, demikian pula proses ritual di Bumi Ageung dan Makam sesepuh Kampung Naga. Untuk menutupi kekurangan data ini maka dilakukan pengumpulan data dengan menelaah hasil penelitian sebelumnya baik berupa laporan penelitian, skripsi, artikel di berbagai media serta film dokumenter yang dibuat oleh pemerintah daerah dan lembaga yang peduli dengan kebudayaan di Kampung Naga.Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian iniada beberapa jenis, pada data yang bersifat fenomenologi dilakukan analisis data yang bersifat deskriptif. Sementara untuk memperoleh bentuk-bentuk akulturasi budaya maka dilakukan metode analisis data model tiga jalur milik Malinowski. Analisis data dilakukan sejak pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. (Imam Suprayogo, 2001 ; 192).Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan penelusuran dokumen.Reduksi data dilakukan secara terus-menerus sejak awal penelitian, proses ini berupa pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar terutama yang mucnul dari hasil wawancara di lapangan.Dalam proses pengumpulan data reduksi data juga berupa membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo dan sebagainya. Dalam proses ini saya memilih data-data yang relevan dan membuang data yang tidak relevan, pada data yang relevan dilakukan penajaman, penggolongan, pengarahan, membuang data yang tidak perlu dan mengorganisasikan data sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Selanjutnya tahap penyajian data, pada tahap ini saya melakukan penyederhanaan data, penyeleksian dan konfigurasi data kemudian memadukanya sehingga data mudah dipahami dan dapat diambil kesimpulan.Tahap akhir dari analisis data adalah penarikan kesimpulan, tahap ini sebenarnya sudah dimulai sejak awal penelitian berupa kesimpulan sementara (hipotesa) yang belum jelas, seiring berjalannya penelitian maka penarikan kesimpulan semakin terfokus dengan data-data lapangan yang diperoleh hingga akhir penelitian. (Imam Suprayogo, 2001 ; 196) Agar data dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya maka saya melakukan beberapa langkah selama proses penelitian berlangsung :Pertama, Perpanjangan pengamatan berupa perpanjangan waktu tinggal di lokasi penelitian. Kedua, Trianggulasi data berupa trianggulasi sumber, trianggulasi teknik pengumpulan data dan waktu. Ketiga, pengecekan ulang data dari informan agar data yang diperoleh bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini proses pengecekan data tetap memperhatikan keabsahan data, hubungan dengan data lainnya, proses pemaknaan kata, serta faktor lain yang mempengaruhi pemberian data oleh informan.

Kampung Naga: Keharmonisan Insan Bersama AlamA. Menuju Kampung NagaPerjalanan menuju Kampung Naga sangat mudah ditempuh, jika kita dari arah Bandung maka dapat menempuh dua arah yang berbeda, yaitu melalui Tasikmalaya atau melalui Garut. Jika melewati Tasikmalaya maka perjalanan berjarak kurang lebih 30 KM dari kota Tasikmalaya. Sedangkan perjalanan dari Bandung membutuhkan waktu sekitar 3 jam menujukota Tasikmalaya. Bagi yang menaiki kendaraan umum maka dari Bandung bisa naik bis umum atau mobil elf dengan trayek Bandung-Tasikmalaya dan turun di Terminal Indihiang. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan naik mobil elf dengan trayek Tasikmalaya-Garut. Sayangnya angkutan ini sering kali tidak sampai ke terminal Indihiang Tasikmalaya sehingga bagi yang ingin meneruskan perjalanan ke Garut harus mencari angkutan tersebut di Rancabango (kurang lebih 5 KM dari Terminal Indihiang Tasikmalaya. Perjalanan dari Tasikmalaya ke Garut membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam perjalanan normal, sedangkan bila banyak berhenti atau ngetem maka bisa membutuhkan waktu sekitar 2 jam perjalanan. Jika ingin naik mobil elf Tasikmalaya-Garut maka turun tepat di depan pintu gerbang Kampung Naga.

Jika menggunakan jalur Bandung-Garut-Singaparna maka maka jarak tempuhnya kurang lebih 160 KM, sementara dari Kota Garut berjarak 26 KM. Jika berangkat dari bandung maka bisa menggunakan mobil Diana atau Sony Putra dengan trayek Bandung-Singaparna. Angkutan bis ini cukup praktis karena cukup naik satu kali kemudian turun di depan Kampung Naga dengan ongkos Rp. 20.000,-. Sayangnya mobil jenis ini tidak begitu banyak jumlahnya sehingga harus bersabar menunggunya. Bis AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) juga bisa digunakan yaitu Bis dengan trayek Jakarta-Singaparna melalui Bandung dan Garut, bis ini juga melalui depan Kampung Naga, namun lagi-lagi bis ini hanya pada jam tertentu saja lewatnya. Untuk angkutan menuju Kampung Naga dari Bandung melalui jalur Garut dianjurkan untuk mencari angkutan bis Diana atau Sony Putra apabila tidak ada juga bisa menggunakan elf jurusan Bandung-Garut sampai ke Terminal Guntur Garut, setelah itu dilanjutkan dengan naik elf jurusan Garut-Tasikmalaya dan turun di depan pintu gerbang Kampung Naga. Untuk mengetahui arah Kampung Naga maka terdapat sebuah plang yang menunjuk ke arah Kampung Naga. Jika perjalanan dari arah Tasikmalaya maka plang tersebut berada di sebelah kiri jalan, sedangkan jika perjalanan dari arah Garut maka plang tersebut berada di sebelah kanan. Ciri yang paling menonjol ketika hampir sampai ke Kampung Naga adalah tampak di kiri-kanan jalan raya lembah dan perbukitan yang menghijau dengan sawah model terasering yang tersusun rapi. Jika perjalanan dari arah Tasikmalaya maka kita harus menyeberang jalan terlebih dahulu, sedangkan jika dari arah Garut maka turun langsung menuju lokasi Kampung Naga.

Memasuki lokasi Kampung Naga pengunjung disambut oleh sebuah gapura[footnoteRef:2] dengan atap terbuat dari injuk dengan tinggi kurang lebih 5 meter. Di bagian kanan gapura terdapat pohon Caringin (Beringin) besar yang memberikan kesan sejuk, menurut Bapak Abdul Majid salah seorang pemilik kios di depan gapura, pohon caringin ini ditanam bersamaan dengan dibangunnya terminal tempat parkir Kampung Naga. Sementara di bagian kiri terdapat papan bertuliskan Tanah ini milik Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tertulis luas tanah 2.635 M2, Nomor Sertifikat 10. [2: Gapura ini dibangun oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya bersamaan dengan dibangunnya lahan parkir bagi pengunjung Kampung Naga.]

Melangkah masuk ke dalam tepatnya ke Terminal (tempat parkir kendaraan), tampak lokasi parkir yang cukup luas dengan model parkir serong sehingga memungkinkan hingga sepuluh bis besar terparkir di situ. Pada bagian sebelah kiri terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan drum-drum minyak tanah. Bangunan sebelahnya adalah Kantor Pusat Informasi dan Kantor Koperasi Warga Kampung Naga dengan nama Sauyunan. Bangunan ini juga menjadi Kantor Perhimpunan Pramuwisata Kampung Naga yang disingkat Hipana. Bersebelahan dengan kantor ini berjajar kios-kios cenderamata yang menjual produk-produk masyarakat Kampung Naga dan sekitarnya. Sementara di sebelahnya lagi terdapat banguan yang digunakan untuk tempat pembakaran sampah. Maju ke depan lagi terdapat sebuah bangunan yang belum jadi yang akan digunakan untuk loket parkir dan kios cinderamata.

Beralih ke sebelah kanan, tampak kios cenderamata yang menjual berbagai souvenir khas Kampung Naga, ada toko kelontong, warnet dan penyewaan Play Station (PS).Dipojok jalan terdapat mini museum yang memamerkan berbagai senjata tradisional seperti kujang, keris, pedang, golok dan yang lainya. Mini museum ini juga menyedikan buku tentang Kampung Naga, Pin Khas Kampung Naga, baju, ikat kepala dan aksesoris khas Kampung Naga lainnya.Karena berada pada posisi tanah bagian atas, maka di sebelah kanan tempat parkir ini terdapat tangga menuju bagian bawah yang digunakan untuk tempat warga dan ada juga WC umum.

Pada bagian ujung kiri tempat parkir berdiri kokoh Tugu Kujang Pusaka[footnoteRef:3] yang tampak megah dengan warna dominan hitam.Tugu ini dikelilingi pagar besi yang memiliki satu pintu di bagian muka.Pada kedua sisi pintu pagar bagian luar terdapat patung kepala harimau. Pada bagian kanan tugu terdapat tulisan mengenai keterangan detail pembangunan tugu ini. Tertulis bahwa tugu ini diresmikan oleh Gubernur Jawa barat pada 16 April 2009 atau 19 Maulud 1430 H. Pengagas utama pembuatan tugu ini adalah Drs. Anton Charliyan, MPKN yang pada waktu itu menjabat sebagai Kapolwil Priangan dan KRAT. H. Derajat Hadiningrat selaku Pimpian Graha Limau Kencana. Tugu ini dikelilingi oleh sebuah kolam kecil dengan ukurna kurang lebih 80 cm, serta dikelilingi pagar besi kecuali di bagian depan. Pada bagian belakang tugu terdapat tembok yang menjadi batas dengan warga Sa-naga. [3: Disebut Tugu Kujang Pusaka karena tugu ini memiliki bagian atasnya berupa kujang yang terbuat dari kurang lebih 900 pusaka yang berasal dari seluruh wilayah Pasundan.]

Dari depan Tugu Kujang Pusaka ini perjalanan berbelok ke arah kiri dan menaiki anak tangga yang terbuat dari batu bercampur semen dengan jumlah 11 anak tangga. Pada bagian kanan tangga terdapat plang selamat datang dengan tulisan Wilujeng Sumping yang berarti selamat Datang di Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya. Pada bagian bawahnya terdapat tulisan dengan aksara sunda yang maknanya kurang lebih sama. Plang ini terlihat sudah sangat usang pada beberapa bagian yang mengalami karat dan catnya sudah mulai mengelupas.Perjalanan selanjutnya dengan menyusuri jalanan datar kurang lebih 50 meter, di bagian kanan dan kiri jalan terdapat beberapa rumah warga dan toko-toko kelontong yang menjual makanan dan minuman ringan. Di ujung bagian kiri tepatnya di sisi tangga yang menuju ke bawah terdapat mushola kecil bercat putih, mushola ini digunakan untuk shalat dan mengaji beberapa warga yang berada di sekitar lokasi parkir tersebut.Untuk menuju lokasi Kampung Naga maka hanya ada satu jalan menuju ke lokasi yaitu dengan menuruni anak tangga yang berjumlah kurang lebih 400 anak tangga.Anak tangga pertama berjumlah 11 anak tangga yang menyampaikan saya ke perempatan tangga. Jika belok ke kiri maka tangga kembali naik dan menuju bagian lain dari pemukiman warga di sekitar Kampung Naga, demikian juga jika lurus maka terdapat beberapa rumah warga dengan gapura bertuliskan Mangga 4, kumpulan rumah ini adalah warga Sa-naga yang tinggal di luar perkampungan inti Kampung Naga, sehingga bangunan rumah mereka terbuat dari semen dan beratap genteng dan asbes.

Untuk menuju Kampung Naga maka dari perempatan ini kita belok kanan dengan menyusuri anak tangga menurun.Susunan tangga kedua ini berjumlah 30 anak tangga yang berujung pada batas setiap tangga berupa semacam anak tangga dengan panjang kurang lebih 2 meter.Anak tangga berikutnya yang berjumlah 17 anak tangga. Sampai di sini tangga tersebut ditandai dengan batas anak tangga dengan panjang kurang lebih dua meter. Pada anak tangga ke-10 setelahnya terdapat pula tangga menanjak yang mengarah ke pemukiman warga di bagian kiri tangga menunju Kampung Naga.Jumlah anak tangga ini adalah 44 anak tangga.Anak tangga berikutnya berjumlah 25 kemudian diselingi dengan batas anak tangga dan selanjutnya berjumlah 10 anak tangga.Selanjutnya jalan kurang lebih 25 meter dengan lantai terbuat dari batu kerikil berukuran sedang yang ditanam sepajang jalan.Akhir dari jalan datar ini adalah sebuah kios cenderamata dan sebuah rumah etnik yang sedang dibangun untuk dijadikan semacam caf. Beberapa rumah yang berada di sisi kiri dan kanan tangga ini telah menggunakan listrik dan alat-alat modern.Pada beberapa lahan kosong terdapat pepohonan rindang selain juga beberapa pohon enau (kawung).Tangga berikutnya menurun cukup curam dengan sungai sungai kecil mengalir di bagian bawahnya, sungai ini kurang lebih lebarnya dua meter dan menjadi salah satu sumber air bersih warga di sekitar Kampung Naga.Di sebelah kanan jembatan kecil di tepi sungai terdapat rumah warga yang menjual minuman dan makanan ringan.Di bagian tepi sungai kecil ini terdapat jalan setapak yang menghubungkan perkampungan di luar Kampung Naga.

Selanjutnya menuruni tangga curam yang berjumlah 5 anak tangga dan 24 anak tangga yang menyampaikan ke sebuah mushola di sebelah kiri jalan, sangat disayangkan sepertinya mushola ini kurang terawat, sementara di bagian depannya digunakan oleh warga untuk menjual kelapa muda. Jika kita berjalan keluar tangga ke arah kiri dan melewati depan mushola maka dari ujung dataran tinggi ini kita akan bisa meyaksikan panorama Kampung Naga dari kejauhan yang sangat eksotik. Bagi yang ingin mengambil gambar tempat ini semestinya tidak disia-siakan.Berikutnya menyusuri tangga yang berjumlah 140 anak tangga, kali ini tangga tersebut sangat curam dengan bentuk hurus S yang menikung tajam, di sebelah kanan tangga masih terdapat satu rumah warga yang juga menggunakan listrik sementara di bagian kiri terdapat sebuah kolam penampung air yang tidak terurus. Akhir dari tangga yang menurun curam ini adalah sebuah belokan ke kanan yang landai, pada ujung tikungan terdapat bekas bangunan berupa pos yang telah dibongkar.Dari keterangan Kang Entang bangunan saung tersebut sengaja dirobohkan karena sering disalahgunakan oleh pengunjung terutama untuk berpacaran.Pada tikungan ini juga terdapat sebuah anak tangga yang sudah tidak digunakan terbuat dari campuran pasir dan semen, anak tangga ini mengindikasikan bahwa dulu tangga yang ada melewati anak tangga tersebut, namun karena dirasa terlalu curam dan dekat dengan tebing maka akhirnya arah tangga dinaikan ke atas.Dari tikungan ini juga lokasi Kampung Naga sudah terlihat jelas dan siap menyambut saya dan seluruh pengunjung yang datang.

Selanjutnya dari tikungan ini perjalanan berbelok ke kanan menyusuri tangga dengan jumlah 16 anak tangga kemudian jeda lalu 42 anak tangga dan terakhir 56 anak tangga. Ini adalah anak tangga terakhir menuju Kampung Naga, selanjutnya perjalanan menyusuri jalan desa dengan lebar kurang lebih 2 meter dengan susunan batu kali ukuran sedang dan tanah liat.Bagi yang ingin refleksi kaki tempat ini sangat cocok, karena itu disarankan jika sudah sampai di sini alas kakinya boleh dibuka.

Pada ujung tangga juga terdapat sebuah tanda bagi selesainya pembangunan tangga.Di sini terdapat pula jalan setapak ke arah kanan menuju bendungan air dan sungai Ciwulan.jika dilanjutkan maka terdapat jalan setapak menuju perbukitan dengan menyeberangi sungai Ciwulan dengan jembatan betonlalu menyusuri tangga yang terbuat dari semen menanjak tepat di samping Leuweng (Hutan Larangan). Tangga ini menanjak melewati beberapa rumah warga dan jika berada di ujungnya maka akan bertemu ke jalan menurun ke arah Kampung Naga dengan mentas (menyeberangi) sungai Ciwulan dari arah yang berbeda.

Perjalanan berikutnya adalah menyusuri pinggir sungai Ciwulan yang airnya mengalir dengan tenang, pada musim kemarau air di sungai ini mulai berkurang jumlahnya. Berbelok ke kanan mata saya dimanjakan oleh pemandangan sungai yang menghampar di sebelah kanan, gemericik air yang jatuh dari tebing di ujung sebelah kana saya membawa pesona yang berbeda dengan suasana di tempat lainnya. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah hijau yang berpadu dengan warna dasar coklat tanah khas pedesaan. Sementara memandang ke depan tampak Kampung Naga dengan susunan rumah yang tertata rapi dengan warna dominan hitam. Perjalanan menyusuri jalan kampung di tepi sungai Ciwulan berjarak kurang lebih 500 meter dan berakhir pada sebuah belokan ke arah kiri menuju wilayah pemukiman Kampung Naga.

Memasuki Kampung Naga kita disambut dengan sebuah tanah lapang dengan dua buah rumah di bagian kiri dan tiga buah rumah di bagian kanan.Rumah Kuncen sendiri berada di bagian kiri nomor dua dari arah pintu masuk.Pandangan pertama ketika masuk selain adanya tanah lapang juga berdiri kokoh sebuah Masjid dan Bale Patemon yang saling berdampingan. Di sebelah kiri masjid terdapat lokasi bekas Leuit yang dipagari dengan bambu welahan. Berjalan menaiki sebuah tangga batu dan berbelok sedikit ke kanan akan menyampaikan ke Bumi Ageung. Bangunan ini adalah salah satu dari empat bangunan yang dikeramatkan dan tidak boleh diambi fotonya serta tidak sembarang orang bisa memasukinya. Bahkan warga Kampung Naga sendiri tidak bisa memasukinya.

Berdampingan dengan Bumi Ageung yang dibatasi oleh pagar Kandang Jaga terdapat rumah penduduk. Di sebelahnya lagi terdapat bangunan yang disebut katarajuan yaitu sebuah bangunan yang digunakan oleh perwakilan dari Desa Jahiyang yang akan mengikuti Hajat Sasih. Bangunan ini juga termasuk yang tidak dipotret dari dekat. Jalan setapak yang berada di samping bangunan ini merupakan jalan menuju makam Eyang Sembah Dalem. Pada lokasi ini tidak sembarang orang boleh memasukinya atau memotretnya.

B. Pola Pemukiman Pola pemukiman penduduk di Kampung Naga memiliki ciri khas yang tidak didapati di wilayah lainnya. Terdapat pembagian tiga wilayah yang saling terpisah dan dibatasi oleh Jaga Kandang pada masing-masing areanya. Area pertama adalah area yang digunakan untuk hal-hal yang sifatnya kotor seperti jamban (pacilingan), balong, kandang kambing, saung lisung dan di bagian timur terdapat sungai Ciwulan dengan leuweung karamatnya. Kawasan hutan ini juga diyakini merupakan kawasan kotor karena merupakan tempat bagi dedemit dan jurig yang dikalahkan dan ditempatkan di sana oleh Sembah Dalem.

Area berikutnya adalah kawasan pemukiman penduduk, kawasan ini merupakan tempat bagi penduduk Kampung Naga untuk mendirikan bangunan bumi/imah sebagai tempat tinggal.

Terdapat 113 bangunan dengan 108 rumah penduduk, sisanya adalah masjid[footnoteRef:4], Bale Patemon[footnoteRef:5],Bumi Ageung[footnoteRef:6], Leuit[footnoteRef:7], dan Katarajuan[footnoteRef:8]. Di area ini juga terdapat lapangan besar yang digunakan untuk menjemur padi dan tempat bermain anak-anak. Di samping masjid terdapat lokasi bekas leuit yang ditandai dengan pagar keliling terbuat dari awi (bambu), sementara di belakang rumah Kuncen atau di depan sebelah kanan masjid dan Bale Patemon berjarak 25 meter terdapat Depok[footnoteRef:9] yang juga dikelilingi oleh pagar bambu keliling tanpa pintu. [4: Kampung Naga memiliki satu buah masjid yang menjadi pusat kegiatan keagamaan dan peringatan hari-hari besar Islam.] [5: Bale Patemon adalah sebuah bangunan sebagai tempat untuk menerima tamu, bermusyawarah dan kegiatan yang bersifat massal. ] [6: Bumi Ageung secara bahasa berarti rumah Rumah Besar, ia adalah sebuan bangunan berbentuk rumah yang dikelilingi oleh pagar bambu dua lapis dengan susunan bersilang. Bumi Ageung diyakini sebagai bangunan keramat oleh masyarakat Kampung Naga sehingga tidak boleh dimasuki oleh setiap orang kecuali sesepuh Kampung Naga.] [7: Leuit atau lumbung padi adalah sebuah bangunan kecil yang digunakan untuk menyimpan padi sebagai persiapan di masa yang akan datang. ] [8: Katarajuan adalah sebuah bangunan yang digunakan untuk menginap warga Kampung Naga yang berasal dari Desa Jahiyang yang akan mengikuti Hajat Sasih] [9: Depok berasal dari kata padepokan, tempat ini dahulunya adalah bekas tempat untuk shalat yang menjadi satu-satunya peninggalan dari leluhur Kampung Naga. ]

Penempatan rumah-rumah warga diatur sedemikian rupa dengan pertimbangan nilai-nilai kekeluargaan, misalnya rumah harus berhadap-hadapan diharapkan akan terjadi interaksi yang intensif antar warga terutama ketika mereka duduk-duduk di tepas imah. Pola bangunan rumah yang menempatkan dapur di bagian depan dengan dinding sasag[footnoteRef:10] juga memungkinkan tetangga di depan rumahnya mengetahui apakah tetangganya tersebut masak atau tidak sehingga jika ada tetangga yang tidak memasak karena tidak ada persediaan lebih cepat diketahui dan bisa membantunya. Dinding sasag juga akan dengan mudah melihat dalam rumah ketika terjadi kebakaran atau kecelakaan yang berada di rumah. [10: Dinding Sasag terbuat dari bambu yang disusun secara simultan sehingga menghasilkan desain khas Kampung Naga. ]

Jarak antar rumah yang satu dengan rumah sebelahnya kurang lebih 1 meter, sementara jarak berhadapan antara satu rumah dengan rumah yang lainny abervariasi, dari 2,5 meter hingga 1,5 meter. Seluruh rumah di Kampung Naga menggunakan sistem panggung dengan jarak 60-80 cm dari permukaan tanah. Tipe rumah panggung terbukti tahan terhadap gempa dan bebas dari gangguan binatang melata.

Area ketiga yaitu kawasan makam yang dianggap suci oleh masyarakat Kampung Naga. Lokasinya di sebelah barat pemukiman berupa bukit kecil dengan semak belukar di sekelilingnya serta ditumbuhi pohon-pohon kecil dan sedang. Kawasan ini merupakan hutan tertutup yang tidak sembarang orang bisa memasukinya (leuweung larangan). Kawasan ini juga disebut leuweung karamatkarena disinilah letak makam Eyang Sembah Dalem yang menjadi leluhur masyarakat Kampung Naga, selain itu terdapat pula beberapa makam dari para pengikut beliau. Kawasan ini berada di luar pemukiman dengan batas jaga kandang dandi bagian depannya terdapat pintu yang terbuat dari bambu.

Kampung Naga terletak di sebuah lembah yang subur yang dikelilingi oleh sawah di bagian utara dan selatan, sementara di bagian barat terdapat sebuah bukit, sedangkan di bagian timur terdapat sungai Ciwulan dan sebuah dataran tinggi di atasnya. Jumlah penduduknya sebanyak 314 jiwa dengan 108 Kepala Keluarga. Secaraadministrasi kampung ini masuk ke dalam wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat.Saat ini seluruh keluarga tersebut menjadi satu Rukun tetangga (RT) yaitu RT 01 RW 01. Menurut Pak Uron selaku Ketua RT di Kampung Naga, Sebenarnya dahulu Kampung Naga terdapat 4 RT kemudian dikurangi lagi menjadi 2 RT dan sekarang disatukan menjadi satu Rukun Tetangga.C. Sistem Mata PencaharianMata pencaharian utama pendudukKampung Naga adalah bertani dengan systempertanian tadah hujan. Walaupun demikian air untuk pengairan mengalir sepanjang tahun yang berasal dari irigasiair pegunungan. Lahan pertanian masih diolah dengan cara dan peralatan tradisional, dicangkul, digaru, diwaluku, dan lain-lain. Sebagai penyubur, umumnya digunakan pupuk kandang.Selain bertani padi, dewasa ini sebagian besar penduduk juga lebih menekuni produksibarang handicrafts, terutama karena semakin tingginya arus wisatawan dalam negeri dan mancanegara yang berkunjung ke kampung ini. Hasil kerajinan tangan mereka sebagian besar terbuat dari bambu, misalnya anyaman udang-udangan, tas tangan dan barang-barang kebutuhan lokal lainnya, seperti bakul (boboko), kukusan(aseupan), kipas, tampah (nyiru), rigen dan lain-lain.

Terdapat empat warga yang membuka warung untuk kebutuhan sehari-hari dan enam warga yang menjual kerajinan tangan.

NoJenis UsahaJumlah KKKet.

1Membuka Warung 4

2Membuka Kios Kerajinan6

3Petani dan buruh98

Jumlah108

Pekerjaan bertani dilakukan hanya pada saat menanam dan memanen sedangkan pada masa-masa kosong mereka mencari pekerjaan di kota-kota besar seperti Tasikmalaya, Garut, Bandung, Bogor dan Jakarta. Sebagian bekerja menjadi buruh bangunan dan sebagiannya lagi berdagang keliling. Pola tanam di Kampung Naga disesuaikan dengan perhitungan yang telah ditentukan oleh sesepuh, dengan rumusan Jan-Li yaitupada bulan Januari dan Juli adalah bulan untuk menanam, sedangkan panen diperkirakan antara bulan Mei dan Desember.

D. Organisasi sosialKampung Naga dipimpin oleh seorang Kuncen yaitu Bapak Ade Suherlin, seorang kuncen memiliki tanggung jawab penuh terhadap kelangsungan adat istiadat dan budaya di Kampung Naga. Jabatan kuncen sendiri diperoleh melalu ijalur keturunan dengan persyaratan tertentu yaitu, harus seorang laki-laki, telah dewasa, menguasai tata cara adat-istiadat dan mendapatkan wangsit dari leluhurnya (Suryani, 2010 : 43). Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari seorang kuncen dibantu oleh seorang Lebe dan Punduh. Saat ini yang menjadi Lebe adalah Bapak Ateng Jaelani sedangkan yang menjadi Punduh adalah Bapak maun. Seorang Punduh memiliki tugas Ngurus Laku Meres Gawe yaitu menjaga keberlangsungan adat-istiadat dan norma-norma yang berlaku di Kampung Naga. Ia juga bertugas sebagai penjaga kampung apabila ada tamu yang melanggar batasan-batasan yang telah menjadi adat-istiadat setempat. Sedangkan Lebe bertugas sebagai penangung jawab dalam pelaksanaan pengurusan jenazah, akad pernikahan dan urusan keagamaan lainnya.

Selain kepemimpinan adat, terdapat pula kepemimpinan formal pemerintahan yaitu Ketua RT (Rukun Tetangga) yang saat ini dijabat oleh Bapak Uron. Fungsi dari Ketua RT adalah sebagai fasilitator/penghubung antara warga Kampung Naga dan pemerintah daerah baik tingkat desa, kecamatan ataupun kabupaten. Selain sebagai penghubung ketua RT juga menjadi agen sosialisasi bagi program-program yang dibuat oleh pemerintah, misalnya program bantuan raskin (beras miskin). Dalam prakteknya tugas ketua RT selalu dikompromikan dengan Kuncen dan seluruh sesepuh Kampung Naga. E. Sistem ReligiMasyarakat Kampung Naga seluruhnya beragama Islam, sejak awal pembangunannya Islam telah menjadi agama leluhur mereka. Bukti akan hal ini adalah sebuah lokasi bekas tempat shalat yang hingga saat ini dilestarikan dengan sebutan Depok. Pada saat pelaksanaan Hajat Sasih tempat ini dibersihkan sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur yang telah membangun tempat tersebut. Keislaman mereka juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari, mereka melaksanakan shalat lima waktu, mengumandangkan adzan dan melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Masjid Kampung Naga yang berada di tengah-tengah pemukiman menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Ia menjadi tempat pelaksanaan hari-hari besar Islam seperti shalat Idhul Adha, Shalat Idul Fitri, Mauludan, Nishfu Syaban, Shalat Tarawih di bulan Ramadhan, dan shalat jumat. Pelaksanaan shalat jumat dilakukan dengan khatib berasal dari pengurus masjid dan bergantian dengan beberapa warga yang dianggap mampu menjadi khatib jumat. Masjid juga menjadi pusat kegiatan dalam pelaksanaan Hajat Sasih yang dilaksanakan sebanyak enam kali dalam satu tahun. Pada hari-hari biasa masjid dijadikan tempat untuk mengaji Al-Quran bagi anak-anak masyarakat Kampung Naga.

Pelaksanaan agama Islam di Kampung Naga tidak menghilangkan tradisi dan adat-istiadat yang mereka terima secara turun-temurun dari para leluhurnya. Keyakinan-keyakinan mengenai berbagai hal ghaib masih mereka yakini sebagai suatu ketetapan yang harus diyakini. Demikian juga ketika ada perintah yang berasal dari leluhur maka mereka akan segera melaksanakannya. Jika itu suatu larangan maka mereka sekali-kali tidak akan pernah berani melanggarnya. Beberapa aturan adat yang masih bertahan hingga kini misalnya mengenai larangan memasuki hutan larangan, makam Sembah Dalem Eyang Singaparna, Bumi Ageung dan hutan keramat. Tempat-tempat tersebut menurut keyakinan mereka adalah tempat suci yang tidak boleh sembarang orang memasukinya. Selain itu bagi yang duduk atau tidur dilarang untuk menjulurkan kakinya ke arah barat. Berbagai larangan ini mereka sebut dengan pamali yaitu aturan yang tidak tertulis namun sudah dipahami oleh seluruh masyarakat Kampung Naga. Dalam hal keyakinan, masyarakat Kampung Naga juga masih meyakini adanya berbagai makhluk halus yang menguasai beberapa tempat di sekitar kampung. Misalnya adanya penunggu air yang disebut jurig cai, kuntilanakdan lain sebagainya. Sebagai masyarakat agraris mereka juga mengenal tokoh dewi padi yang disebut Nyi Pohaci. Bentuk penghormatan pada Nyi Pohaci, dilakukan dengan berbagai aturan-aturan yang berkaitan dengan padi, misalnya menyediakan rujakan dalam setiap tahap pertumbuhan padi di sawah hingga proses penyimpanan di leuit.

Selain itu, sebagaimana masyarakat adat pada umumnya maka mereka sangat menghormati leluhurnya. Oleh karena itu untuk mengenang kembali dan upaya untuk menghormati para leluhur dilaksanakanlah ritual dalam bentuk berziarah ke makam leluhur. Di Kampung Naga ritual untuk melakukan ziarah ke makam para leluhur disebut Hajat Sasih yang dilaksanakan enam kali dalam satu tahun.Untuk menjaga kelestarian adat-istiadat Kampung Naga, maka warga masyarakat memiliki pantangan untuk membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan adat mereka yaitu pada hari Selasa, Rabu dan Sabtu. Pada ketiga hari ini mereka tidak diperbolehkan untuk membicarakan msalah adat, ketiga hari tersebut digunakan untuk merenung, introspeksi diri dan upaya untuk dapat melaksanakan adat para leluhur dengan lebih baik. Pada ketiga hari ini tidak ada perayaan atau amalan-amalan khusus, hanya saja ketiga hari ini memiliki kedudukan yang sangat penting sehingga segala acara apapun akan ditunda atau dialihkan ke hari lain jika bertepatan dengan ketiga hari tersebut.

Hajat Sasih Di Kampung NagaMatahari masih terlelap dalam peraduannya ketika Kang Entang bangun dan segera keluar rumah, sesuai dengan rencana yang sejak tadi malam dirancang di alam bawah sadarnya bahwa hari ini ia memiliki tugas untuk mengeringkan balong (kolam Ikan) dan mengambil ikan untuk persiapan Hajat Sasih pada Jumat bulan Rayagung tahun ini. Masih mengenakan sarung dan celana pendek, sementara tangannya sigap mengambil seser dan ember kecil, ia segera melangkah keluar kampung menuju balong yang berada di bagian timur Kampung Naga. Balong tersebut adalah milik bersama yang secara khusus dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan ikan pada Hajat Sasih. Membutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam untuk mengalirkan air balong tersebut agar ikan yang ada di dalamnya mudah ditangkap. Setelah membuka pipa paralon sebagai saluran pembuangan air ke sungai Ciwulan, ia berhenti sejenak dan memandangi sekeliling balong, suasana masih gelap sementara dari kejauhan terdengar suara ayam jantan yang berkokok menandakan hari sudah masuk shubuh. Segera Kang Entang beranjak meninggalkan balong dan menuju ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh.

Suasana masjid tampak temaram dengan lampu minyak tanah di bagian tengah, seorang lelaki tengah mengumandangkan adzan dengan sebelumnya memukul kokol dan bedug pertanda waktu shubuh telah tiba. Hanya selang beberapa menit untuk melaksanakan shalat sunnah shubuh iqamat-pun dikumandangkan. Selaku imam shalat shubuh Bapak Karmadi salah seorang warga Kampung Naga yang juga merupakan keluarga dekat Kuncen Kampung Naga. Beberapa lelaki berbaris di belakangnya menjadi imam, tidak lebih dari sepuluh orang peserta shalat shubuh berjamaah pada shubuh ini. Setelah berdzikir sejenak masing-masing mereka bersalaman dan segera menuju ke rumah masing-masing. Kang Entang sendiri kembali ke rumah sebentar mengganti pakaian shalatnya lalu segera menuju ke balong. Setelah ditinggal kurang lebih 1,5 jam air dalam balong tersebut sudah surut, ikan-ikan yang sebelumnya tidak tampak kini mulai terlihat menggelepar mencari air yang lebih dalam. Setelah mendunggu sebentar akhirnya Kang Entang turun dan membuat semacam parit kecil untuk memudahkan penangkapan ikan. Setelah melakukan beberapa gerakan agar ikan-ikan tersebut berkumpul di tempat yang telah disediakan segera ia membendung tempat tersebut dan mulai menangkap ikan-ikan tersebut dengan bantuan seser. Kang Entang tidak sendirian, ia kini dibantu oleh beberapa warga yang datang untuk membantu menangkap ikan tersebut. Ada Pak Ucu, Kang Asep dan tidak ketinggalan anaknya-pun ikut turun ke balong.

Sesuai dengan permintaan dari tetua adat maka ikan yang pertama kali diambil adalah ikan nila, dengan bantuan seser Kang Entang menangkap beberapa ekor ikan nila dan dimasukan ke dalam tempat dari bekas drigen yang dibelah bagian pinggirnya. Setelah ditimbang ternyata mencapai 20 Kg ikan nila, selanjutnya ikan tersebut segera dibawa ke rumah tetua adat untuk dimasak. Selanjutnya ikan yang ditangkap adalah ikan Nilem, karena ikan ini tersedia dalam jumlah banyak maka dilakukan seleksi yaitu dengan memilih ikan Nilem yang benar-benar telah siap untuk dipanen untuk Hajat Sasih. Pada Hajat Sasih kali ini ikan Nilem yang ditangkap seberat 25 Kg yang dibagikan kepada warga terutama para sesepuh adat. Satu hari sebelum Hajat Sasih, digunakan oleh warga Kampung Naga untuk menyiapkan hidangan yang akan digunakan pada ritual tersebut. Beberapa ibu terlihat sibuk menumbuk beras untuk dijadikan tepung sebagai bahan pembuatan gorengan, sementara sebagian lainnya menumbuk padi menjadi beras untuk keperluan yang sama. Beberapa warga yang menggunakan beras dengan jumlah yang banyak memilih menggiling padi dengan mesin penggiling padi atau ngadisel.

Para lelaki di Kampung Naga juga tidak tinggal diam, sebagian mereka sibuk dalam persiapan Hajat Sasih esok hari. Jika ikan nilem diperoleh dari balong umum maka sebagian warga juga memancing di balong milik mereka sendiri. Sementara sebagian yang lain memancing di sungai Ciwulan. Bagi yang tidak suka dengan ikan maka mereka memilih ayam sebagai hidangan Hajat Sasih, maka daging ayam tersebut sebagian diperoleh dengan membeli di luar sementara sebagian yang lain memotong ayam yang menjadi ternak peliharaan mereka yang disebut hayam kolong.Bagi yang ingin praktis, mereka memilih lauk-pauknya dengan membeli di warung yang berlokasi di luar kampung misalnya membeli tempe, tahu, dan lauk-pauk lainnya.

Persiapan hajat sasih semakin terasa ketika matahari mulai merangkak ke angkasa, ibu-ibu yang tadi pagi sibuk dengan pekerjaan rumah tangganya kini mulai beralih ke pekerjaan dua bulanan yaitu menyiapkan hidangan untuk Hajat Sasih esok hari. Persiapan satu hari sebelum acara adalah menyiapkan lauk yang tidak bisa dimasak secara mendadak misalnya ikan goreng, ayam goreng atau mengupas kentang. Tentu saja sebelum acara masak-memasak dimulai terlebih dahulu peralatan masak tersebut dibersihkan dan dipersiapkan. Pekerjaan membuat tumpeng menjadi hal utama dalam mempersiapkan Hajat Sasih bagi ibu-ibu, maka hal yang harus ada adalah daon cau (daun pisang) sebagi alas sekaligus penutup tumpeng. Maka untuk urusan ini menjadi tanggungjawab para lelaki untuk mencari daon cau tersebut. Satu hari menjelang Hajat Sasih juga dilakukan Pahajat yaitu mengantar atahan kepada Punduh dan lebe. Atahan sendiri adalah hasil bumi semisal, beras, pisang, singkong, ubi dan lain sebagainya sebagai bentuk penghormatan kepada para sesepuh Kampung Naga. Tradisi memberikan hajatan ini secara turn-temurun dilaksanakan sesuai dengan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Dalam hal ini jika satu keluarga memberikan Pahajat-nya kepada seorang Punduh maka secara turun-temurun atahan tersebut akan diberikan kepada Punduh setiap akan dilaksanakan Hajat Sasih. Demikian juga jika sebuah keluarga memberikan Pahajat-nya kepada Lebe maka anak turunannya juga akan memberikan Pahajat tersebut kepada lebe. Atahan yang diberikan oleh warga kepada Punduh dan Lebe akan dimanfaatkan untuk keperluan warga terutama pada saat Hajat Sasih ataupun malam-malam takbiran ketika Hajat Sasih tersebut dilaksanakan pada bulan Syawwal, Rayagung (Idhul Adha), dan Mulud. Punduh dan Lebe sendiri mempunyai tradisi untuk memberikan Pahajat kepada Pak Kuwu (Kepala Desa) dan Pak Naib. Punduh akan selalu memberikan Pahajat-nya kepada pak Kuwu (Kepala Desa) sementara Lebe akan memberikan Pahajat-nya kepada Pak Naib. Tidak jauh berbeda dengan Pahajat yang diberikan oleh warga kepada Puduh dan Lebe, maka Pahajat keduanya juga berupa beras, pisang, ubi, singkong dan hasil kebun lainnya. Selain itu dibawakan juga seekor ayam yang masih hidup sebagai pelengkapnya. Kebiasan memberikan Pahajat kepada kuwu dan naib adalah sebagai bentuk penghormatan sekaligus ucapan terima kasih sebagai warga desa kepada para pemimpin pemerintahan formal.

Dari wawancara yang dilakukan dengan Punduh Kampung Naga diketahui bahwa sesungguhnya salah satu dari inti Hajat Sasih adalah memberikan Pahajat kepada para sesepuh dan pimpinan baik yang formal (kuwu dan naib) maupun non-formal (punduh dan lebe). Tujuannya adalah sebagai bentuk penghormatan dan ketaatan bagi warga kampung bagi para sesepuh yang telah mengayomi mereka. Kegiatan menyerahkan Pahajat dilakukan secara sukarela, dalam hal ini bukanlah sesuatu yang diwajibkan sehingga ada beberapa keluarga yang tidak memberikan Pahajat-nya. Pemberian Pahajat sendiri dilakukan sejak beberapa hari sebelum pelaksanaan Hajat Sasih dan maksimal satu hari sebelum pelaksanaan. Tradisi ini dilakukan secara turun-temurun sejak zaman dahulu kala, sehingga warga akan merasa malu ketika tidak melaksanakannya. Sebagai persiapan Hajat Sasih juga sebagian warga mengambil akar pohon Kapirit untuk kuramas dan bebersih. Fungsinya adalah semacam shampo yang digunakan pada saat Hajat Sasih terutama pada saat mandi di sungai Ciwulan. Akar ini diambil dari nagawir lereng-lereng di tepian sungai Ciwulan dan beberapa lokasi lainnya. Nantinya akar ini akan dicampur dengan buah honje sebagai shampo tradisional.

Maka bisa dikatakan bahwa satu hari menjelang Hajat Sasih warga Kampung Naga dan Sa-Naga disibukkan dengan persiapan untuk pelaksanaan Hajat Sasih esok hari, terutama kegiatan intinya adalah menyerahkan Pahajat kepada Punduh dan Lebe.

Waktu Shubuh, menjelang pelaksanaan Hajat Sasih, tidak ada aktifitas yang berarti selain shalat shubuh dan bagi ibu-ibunya sejak bangun pagi tadi melanjutkan kegiatan menyiapkan tumpeng dan lauk-pauknya. Shalat shubuh berjamaah di masjid Kampung Naga berlangsung seperti biasa, setelah memukul kokol dan bedug selanjutnya dikumandangkan adzan oleh muadzin. Shalat shubuh dilaksanakan dengan penuh khidmat di bawah temaram lampu minyak. Hanya ada beberapa lelaki yang mengikuti shalat shubuh berjamaah di masjid, sebagian yang lainnya melaksanakannya di rumah. Ketika hari menjelang siang kesibukan warga sudah mulai tampak, beberapa lelaki tampak membawa bungkusan dalam plastik dan tas. Mereka berjalan menuju rumah Kuncen, Punduh, dan Lebe. Mereka membawa leumareun untuk dititipkan kepada ketiga sesepuh Kampung Naga tersebut. Lemareun sendiri berisi sirih, apu (kapur), gambir, jebug dan kemenyan. Sebenarnya leumareun ini tidak dibatasi pada kelima benda tersebut melainkan bisa juga berupa rokok, atau hanya air putih. Penyerahannya sendiri kepada kuncen, punduh dan lebe adalah sebagai titipan yang akan dibawa ke Bumi Ageung dan Makam.

Kuncen, Punduh, dan Lebe sendiri memiliki leumareun sendiri yang telah mereka siapkan. Isinya kurang lebih sama dengan leumareun yang berasal dari warga. Selanjutnya ia dimasukan ke dalam rigen (tempat terbuat dari bambu atau nyere kawung) berbentuk elips sebagai tempat khusus yang hanya digunakan pada saat Hajat Sasih dilaksanakan. Pada proses memasukan bahan-bahan leumareun masih ada beberapa warga yang menitipkan leumareun sehingga susunannya tampak kurang rapih. Proses memasukan leumareun dilakukan oleh kuncen, punduh dan lebe yang dibantu oleh beberapa keluarga dekat mereka. Berkenaan dengan waktunya maka kegiatan ini dilakukan menjelang Hajat Sasih dimulai.

Waktu menunjukan pukul 09.00 WIB ketika terdengar suara Kokol (kentongan) dipukul oleh seorang warga, ini adalah tanda dimulaianya pelaksanaan Hajat Sasih. Tanpa menunggu komando lainnya, para peserta Hajat Sasih segera menuju sungai Ciwulan. Beberapa dari mereka masih mengenakan pakaian lengkap, sementara sebagian yang lainnya hanya menggunakan kain sarung dengan bertelanjang dada. Kesamaan di antara mereka adalah sudah tidak mengenakan alas kaki. Tampak Kuncen dan beberapa orang membawa tempat kecil seperti baskom yang akan digunakan sebagai tempat leuleuran. Para peserta Hajat Sasih berjalan ke arah timur menuju sungai Ciwulan, setelah keluar dari batas kampung berupa jaga kandang mereka berbelok ke arah kiri, menyusuri tepi sungai dan menuju ke tempat yang bisa digunakan untuk bebersih dan kuramas (mandi bersama).

Sesampainya di tepi sungai, beberapa warga memetik buah honje lalu masing-masing mereka membentuk semacam kelompok untuk menumbuk akar kepirit dan buah honje tersebut pada sebuah batu. Ada lima kelompok yang masing-masing menumbuk akar tersebut dan mencampurnya dengan buha honje. Selanjutnya mereka memasukan campuran tersebut ke dalam sebuah tempat khusus. Sebelum memulai bebersih terlebih dahulu kunci memimpin doa sebagai niat dalam mandi. Selanjutnya masing-masing peserta mengambil shampo tersebut dan mengusapkannya di kepala kemudian membilasnya dengan air sungai ciwulan. Setelah kuramas selesai dilanjutkan dengan mandi seperti biasa dengan membuka seluruh pakaian dan berendam di sungai Ciwulan. Setelah selesai mandi, diteruskan dengan abdas (berwudhu) dan memakai sinjang (kain sarung). Setelah selesainya ritual ini maka setiap peserta tidak diperbolehkan untuk memakai pakaian dalam dan alas kaki. Demikian juga setelah mandi tidak diperkenankan untuk menggunakan handuk. Tidak memerlukan waktu lama untuk melakukan ritual ini, tidak sampai setengah jam sudah selesai.

Selanjutnya masing-masing peserta kembali ke rumah masing-masing untuk mengganti pakaian. Pakaian yang digunakan untuk Hajat Sasih terdiri dari tiga buah, yaitu Totopong (ikat kepala), baju jubah, dan sinjang (kain sarung). Pakaian ini khusus hanya digunakan untuk acara Hajat Sasih yang dilaksanakan enam kali dalam satu tahun. Penggunaan totopong (ikat kepala) berbeda dengan ikat kepala yang digunakan sehari-hari. Demikian juga pemakaian sinjang yang mencapai setengah betis. Jubah yang digunakan tidak menggunakan kancing, hanya ada seutas tali untuk menutup dada mereka. Namun dalam kenyataannya tali ini jarang tidak digunakan. Para peserta membiarkan dadanya terbuka. Ikat pinggang juga digunakan berupa kain putih panjang yang digunakan untuk menguatkan sinjang. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki dan juga pakaian dalam.

Setelah selesai memakai pakaian selanjutnya para peserta Hajat Sasih menuju ke Masjid. Mereka masuk ke dalam masjid dengan rapih dengan terlebih dahulu mencuci kaki di tempat wudhu yang berada di sebelah kiri dan kana masjid. Tujuan dari menunggu di masjid adalah menanti Kuncen, Punduh dan Lebe yang sedang memohon izin ke Bumi Ageung.Kuncen, Punduh dan Lebe berangkat menuju ke Bumi Ageung dengan membawa leumareun. Masing-masing mereka membawa leumareun milik mereka sendiri dan titipan dari warga Kampung Naga. Ritual di Bumi Ageung dilakukan oleh Kuncen sendiri, sementara Punduh dan Lebe menunggu di luar Bumi Ageung. Kuncen masuk ke dalam dan melantukna doa-doa yang intinya berisi permohonan izin untuk melaksanakan ziarah ke makam. Setelah ritual di Bumi Ageung selesai selanjutnya Kuncen, Punduh, dan Lebe berangkat menuju makam. Melihar sesepuh ini menuju makam maka peserta Hajat Sasih segera berjalan beriringan menuju makam di belakang Kuncen, Punduh dan Lebe.

Para peserta Hajat Sasih keluar dengan membawa sapu nyere (sapu lidi) yang diambil dari para-para masjid. Sapu ini terbuat dari lidi pohon kawung yang dibersihkan dari daunnya dan diikat dalam satu ikatan. Sapu tersebut diletakan di pundak sebelah kanan, selanjutnya mereka secara beriringan berjala menuju makam. Dari masjid mereka berjalan melewati depan Bale Patemon lalu berbelok ke kanan melalui jalan menanjak berbatu dan berbelok lagi ke kiri lalu berjalan lurus ke arah selatan dan berbelok lagi ke arah barat menuju makam. Cara jalan mereka beriringan dan berbaris satu-satu, tidak ada kata-kata yang keluar dari peserta, semuanya tampak khidmah dan penuh kekhusyuan. Ritual di makam dimulai dengan permohonan izin oleh Kuncen kepada Eyang Sembah Dalem. Di depan makam, dengan suara yang halus, Kuncen melakukan unjuk-unjuk, memberitahu bahwa Seuweu-siwi Naga (anak cucu keturunan Kampung Naga) telah berkumpul dan menyampaikan maksud serta tujuannya menyelenggarakan ritual Hajat Sasih. Unjuk-unjuk dilakukan Kuncen sambil menghadap ke sebelah barat, ke arah makam.Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat.Selain menyampaikan niat ziarah, Kuncen juga menyampaikan sembah hormat dan permohonan maaf jika seandainyaterdapat adat istiadat yang terlupakan atau sudah dilanggar.Setelah selesai selanjutnya seluruh peserta dipersilahkan untuk mulai membersihkan makam. Mereka menyapu, mencabut rumput yang tumbuh di sekitar makam, memotong pohon-pohon liar yang tumbuh di areal makam dan membuang seluruh sampah yang ada di area tersebut. Memakan waktu cukup lama untuk membersihkan makam tersebut. Setelah selesai selanjutnya mereka ngagunduk (duduk bergerombol), sementara Kuncen memimpin doa-doa berupa tawasulan kepada Eyang Sembah Dalem. Usai doa diteruskan dengan sungkeman, masing-masing peserta melakukan sungkem kepada Kuncen dengan cara mencium tangannya dan mengucapkan kata-kata yang baik. Sekitar lima orang dari peserta mendahului mereka kembali untuk membersikan Depok, yaitu lokasi bekas tempat shalat (peshalatan) yang berada di belakang rumah kuncen atau di bagian depan sebelah kanan masjid dan Bale Patemon. Karena Depok ini dikelilingi oleh pagar bambu bersilang dan tidak ada pintunya maka satu-satunya cara untuk masuk ke dalamnya adalah dengan menggunakan taroje (tangga). Ada dua tangga yang digunakan, yaitu tangga untuk naik dari bagian luar dan tangga untuk turun di bagian dalam. Proses membersihkan depok dilakukan dengan membersihkan seluruh sampah yang ada di dalamnya, mencabuti rumput, dan menebas pohon-pohon liar yang tumbuh di area tersebut. Proses membersihkan tempat ini sangat khidmat sehingga tidak ada satu suarapun yang keluar dari mereka. Setelah selesai membersihkan selanjutnya mereka mendekat batu yang menjadi bekas pengimaran dan melakukan sungkem sebanyak lima-tujuh kali kemudian berdoa. Masing-masing peserta yang membersihkan depok melakukan hal yang sama, yaitu sungkem (menangkupkan kedua telapak tangan dan mengisyaratkan ke batu tersebut dan ke bagian mukanya. Hal ini dilakukan sebanyak beberapa kali. Selanjutnya setelah selesai, sampah yang telah dikumpulkan dimasukkan ke tampir dan dibuang ke tempat sampah di tepi sungai Ciwulan. Sementara mereka yang membersihkan depok membawa sapu-nya lalu membersikannya di sungai Ciwulan. Kemudian mereka kembali menuju masjid untuk beristirahat sejenak sambil menunggu peserta lainnya yang masih berasa di makam. Membutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam untuk menyelesaikan ritual di makam, hingga akhirnya semuanya sudah rapi dan satu per satu peserta Hajat Sasih keluar dari makam. Masih dengan membawa sapu yang diletakan di pundak sebelah kanan, mereka secara beriringan keluar area makam dan diakhiri oleh Kuncen, Punduh dan Lebe keluar paling terakhir. Terlihat dari pakaian mereka di bagian belakang tampak kotor oleh tanah pada area pemakaman, ini terjadi ketika mereka duduk di area makam tanpa alas. Secara bersama-sama mereka menuju ke sungai Ciwulan untuk membersihkan sapu dan beberapa bagian tubuh yang kotor.

Suasana mencuci sapu di sungai Ciwulan terlihat lebih cair karena mereka sudah bisa bercakap-cakap satu dengan yang lainnya. Secara bergantian mereka yang telah mencuci sapu segera kembali ke masjid untuk mengembalikan sapu tersebut ke tempat penyimpanannya yaitu di bagian plafon masjid yang disediakan khusus untuk penyimpanannya. Baru kemudian sebagian mereka beristirahat, ada yang tidur-tiduran, ngobrol dengan temannya dan sebagian lagi melaksanakan shalat sunnah tahiyatul masjid. Pelaksanaan Hajat Sasih kali ini bertepatan dengan hari jumat sehingga setelah selesai dari makam dan mencuci sapu di sungai Ciwulan mereka segera menuju ke masjid untuk bersiap-siap melaksanakan shalat jumat.

Jam dinding di masjid Kampung Naga menunjukan pukul 12.30 ketika pelaksanaan shalat jumat selesai. Tanpa membuang-buang waktu segera peserta Hajat Sasih berkumpul dengan duduk berkeliling masjid dengan formasi di bagian depan duduk dengan bersila Kuncen, Punduh, Lebe dan keluarga dekat Kuncen. Kuncen yang akan memimpin doa juga diikuti oleh anak laki-lakinya yang baru berumur 12 tahun, sejak shalat jumat tadi anak tersebut selalu diajak oleh Kuncen. Sementara peserta lainnya duduk di bagian selatan, timur, utara dan dua baris berada di tengah. Posisi duduk mereka berhadap-hadapan dengan tumpeng berada di tengahnya. Di depan kuncen sendiri dan para sesepuh terdapat banyak tumpeng yang diletakan di dalam rigen dan boboko.Sebelum pelaksanaan ngaduaan tumpeng dimulai, beberapa warga yang belum melakukan sungkem di makam kepada Kuncen diperkenankan melakukan sungkeman terlebih dahulu kepada Kuncen. Satu per satu mereka menuju Kuncen dengan penuh khidmat, menyalami Kuncen dan mencium tangannya. Tidak ada kata-kata yang terucap, setelah selesai mereka kembali ke tempat duduknya masing-masing.

Sementara warga yang dari tadi membawa tumpeng dipersilahkan untuk memasukan tumpeng-tumpengnya ke dalam masjid. Warga yang didominasi oleh ibu-ibu segera berhamburan menuju ke dua pintu utama masjid untuk memasukan tumpengnya. Selain itu empat buah kendela yang berada di samping kiri kanan masjid juga digunakan untuk memasukan tumpeng-tumpeng tersebut. Suasana cukup ramai ketika satu per satu ibu-ibu tersebut menyerahkan tumpeng ke peserta yang bertugas memasukan tumpeng dari warga ke dalam masjid. Di bagian kanan masjid pada jendela bagian depan tampak Kang Entang sigap mengambil tumpeng dari warga Kampung Naga untuk diletakan di dalam masjid. Semuanya tampak bergembira, dengan senyuman khasnya Kang Entang melayani mereka satu per satu. Sebagian warga ada yang masuk ke dalam masjid di bagian belakang untuk menyaksikan pelaksanaan doa ini, sementara sebagian lainya menunggu di luar dengan duduk-duduk di sekitar masjid. Dari raut muka mereka terlihat khidmat menunggu selesainya pelaksanaanngaduaan tumpeng dalam rangklaian Hajat Sasih tersebut. Setelah seluruh tumpeng masuk ke dalam masjid dan peserta Hajat Sasih telah siap, seorang perempuan yang disebut Patunggon menyerahkan leumareun kepada kuncen sebagai bentuk pelayanannya kepada pemimpin mereka. Ngaduaan tumpeng dimulai dengan membakar kemenyan dan Kuncen melafadzkan doa-doa bagi keselamatan seluruh warga Kampung Naga dan Sa-naga. Dilanjutkan dengan ucapan salam dan nasihat-nasihat keagamaan bagi seluruh peserta Hajat Sasih. Sesekali tangan Kuncen dikatupkan secara bersamaan (sungkem) dengan meletakan kedua ibu jarinya ke depan mulutnya. Setelah nasehat dari Kuncen selesai dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh Lebe, seluruh peserta mengaminkan doa tersebut. Pada ritual hajat Sasih yang dilaksanakan pada bulan mulud di akhir pembacaan doa masing-masing peserta memasukan tangannya ke dalam tumpeng dan mengambil pucuk tumpeng tersebut dan meletakannya pada lembaran daun pisang. Sambil terus berdoa seluruh peserta memegang pucuk tumpeng tersebut.

Dengan selesainya pembacaan doa maka berakhirlah Hajat Sasih, warga Kampung Naga dipersilahkan untuk mengambil tumpeng-nya masing-masing. Agar tertib maka peserta Hajat Sasih yang bertugas di pinggir pintu dan dekat jendela membantu mengambilkan tumpeng-tumpeng tersebut dari dalam masjid ke warga secara estafet. Suasana sangat ramai dengan warga Sa-naga yang menunggu tumpengnya masing-masing. Satu per satu warga Kampung Naga mengambil tumpengnya dan membawanya pulang ke rumah, beberapa warga yang bertempat tinggal di luar Kampung berjalan beriringan keluar Kampung Naga dengan raut muka penuh kebahagiaan. Para peserta Hajat Sasih juga masing-masing mengambil tumpeng yang mereka bawa dari rumah, sebagian ada yang dimakan di rumah sementara sebagian lainya di bawa pulang ke rumah. Kang Entang misalnya ia membawa tumpeng yang dibawanya dari rumah untuk dinikmati bersama keluarganya, Ada keberkahan dalam tumpeng ini begitu kata salah seorang warga Kampung Naga tersebut.

Bentuk-Bentuk Akulturasi Budaya Pada Hajat Sasih Di Kampung NagaHajat Sasih yang dilaksanakan di Kampung Naga merupakan ritual yang menggabungkan antara hukum agama dalam hal ini Islam, Darigama dan Adat Sunda.Berikut adalah analisis akulturasi terhadap Ritual Hajat Sasih :NoRitualAgama IslamDarigamaAdat Sunda

1Waktu Pelaksaan Hajat SasihTidak adaPada hajat Sasih yang dilakukan pada Idhul Fitri dan Idhul Adha mengikuti ketetapan dari pemerintahDisesuaikan dengan hari besar Islam

2Pelaksanaan pada hari JumatDilaksanakan sebelum dan sesudah shalat jumat. Hari-hari biasa dilaksanakan hingga waktu dhuhur tiba

3PahajatDalam Islam terdapat kewajiban untuk taat kepada Pemerintah (ulil amri)Posisi pemerintah sebagai pengayom negara harus ditaati warganyaPenghormatan Kepada Pemerintah (raja) sebagai upeti dan bentuk ketaatan

4Pemukulan Kokol (Kentongan) Masuk ke dalam Islam sebagai alat untuk memanggil shalat yang disandingkan dengan bedugPenggunaan Kokol sebagai media informasi untuk kerja bakti, perkumpulan warga dll.

5Mandi di Sungai CiwulanUnsur wudhu dan bersuci dari hadatsBebersih dan kuramas merupakan adat leluhur yang dilakukan secara turun temurun

6Menunggu di MasjidMasjid sebagai tempat beribadah dan pusat kegiatan ummatMenjadikan masjid sebagai tempat berkumpul menunggu Kuncen, Lebe dan Punduh selesai dari unjuk-unjuk di Bumi Ageung

7Unjuk-unjuk di Bumi AgeungPenghormatan kepada leluhur dengan memohon izin untuk melaksanakan ziarah ke makam

8LeumarenAdanya unsur keberkahan dan proses pengorbanan Tradisi leluhur sebagai bentuk komunikasi dengan arwah leluhur

9Ziarah Ke MakamPerintah berziarah untuk mengingat kematianBerziarah ke makam leluhur sebagai bentuk syukur dan memohon keberkahan dengan membersihkan makam dan bertawasul

10Membersihkan DepokBentuk penghormatan kepada leluhur dengan membersihkan bekas shalat dan berdoa di tempat tersebut

11Murak TumpengAdanya keberkahan pada makanan yang telah didoakanMencari keberkahan dalam makanan (tumpeng) yang didoakan oleh Kuncen dan sesepuh Kampung Naga

Dari tabel ini dapat disimpulkan bahwa ada beberpa unsur dalam Ritual hajat Sasih yaitu Agama (Islam), Darigama, dan Adat Sunda. Berikut ini adalah penjelasan secara rinci : Penyerahan Pahajat : Tradisi ini merupakan adat kebiasaan yang berlaku di beberapa masyarakat komunitas di Indonesia. Misalnya yang berlaku di Badui Kanekes Jawa Barat (Edi S. Eka Djati : 2010), di mana setiap tahun mereka juga memberikan upeti kepada penguasa di Provinsi Banten. Tradisi Pahajat di Kampung Naga berupa pemberian hasil-hasil pertanian dan yang lainnya yang diberikan kepada para sesepuh, dalam hal ini adalah Lebe dan Punduh. Lebe dan Punduh sendiri akan memberikan pula Pahajat-nya kepada pejabat desa setempat yaitu Kuwu (kepala Desa) dan Naib. Tradisi dilakukan secara turun-temurun dan merupakan tradisi beberapa kerajaan di Indonesia, yaitu dalam bentuk pemberian upeti kepada raja atau penguasa. Maka dapat disimpulkan bahwa tradisi Pahajat merupakan bentuk dari Adat dan Darigama (kewajiban taat kepada pemerintah). Pemukulan Kokol (Kentongan) di Awal Ritual : Kokol (Kentongan) sebagai alat musik tradisional nusantara menjadi simbol bagi budaya lokal dalam hal ini adalah budaya Sunda. Selain sebagai alat musik sebenarnya kentongan berfungsi sebagai media komunikasi bagi warga masyarakat. Oleh karena itu maka bisa dipastikan bahwa kentongan tidak dikenal dalam budaya Islam, sehingga ia merupakan tradisi lokal yang difungsikan oleh umat Islam untuk memanggil masyarakat untuk berkumpul di masjid guna melaksanakan shalat berjamaah.Mandi di Sungai Ciwulan :Jika ditelusuri maka tradisi mandi bersama sebelum dilaksanakannya Hajat Sasih terdapat di beberapa komunitas Adat, misalnya di Badui Kanekes Banten setiap diadakan upacara Adat selalu didahului dengan bebersih badan terlebih dahulu (Edi S. Ekadjati:2010). Di komunitas Cigugur Kuningan juga dilakukan sebagai tradisi awal dalam rangakaian ritual adat mereka. Dalam pelaksanaannya bebersih di sungai Ciwulan selalu dilanjutkan dengan ahdats yaitu membersihkan badan dari najis dan berwudhu, tentu saja ini adalah budaya Islam yang masuk ke dalam budaya lokal. Sementara penggunaan akar Kapirit dan Honje sebagai alat pembersih merupakan kearifan lokal yang menjadi ciri khas dari Hajat Sasih di Kampung Naga.Menunggu di Masjid : Masjid sebagai syimbol kebudayaan Islam menjadi tempat untuk menunggu peserta Hajat Sasih, penggunaan masjid ini sebagai budaya yang berasal dari Islam namun fungsinya kurang urgent mengingat hanya sebatas untuk menunggu dan mendoakan tumpeng. Peralihan fungsi masjid sebagai pusat kegiatan adat merupakan bentuk penerimaan budaya adat kepada Islam. Unjuk-unjuk di Bumi Ageung : Sebagai bentuk dari penghormatan kepada sesepuh maka dilakukan unjuk-unjuk ke Bumi Ageung. Tradisi ini berasal dari adat istiadat yang berasal dari penghormatan kepada nenek moyang. Hal ini didasarkan kepada keyakinan bahwa para leluhur memiliki hak untuk dimintai izin, terutama ketika akan melaksanakan Hajat Sasih. Leumaren : Tradisi menyediakan sesajen adalah budaya lokal sebagai bentuk penghormatan kepada para penunggu di suatu tempat atau juga bagi nenek moyang. Selain itu ia juga sebagai bentuk komunikasi dan manifestasi rasa syukur seorang manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa (Giri, 2002: 15). Bahan-bahan yang disediakan berupa benda-benda yang ada di sekitar masyarakat sehingga mudah didapatkan. Ada beberapa Tradisi sesajen yang dilakukan oleh beberapa masyarakat adat di Indonesia. Tradisi menyediakan leumareun atau sajen berasal dari budaya lokal yang diwariskan secara turun-temurun, sehingga singkatnya tradisi leumaren berasal dari budaya lokal. Membersihkan Makam, Berziarah dan Tawasul : Inti dari Hajat Sasih adalah berziarah ke makam Sembah Dalem Eyang Singaparna. Sedangkan inti dari ziarah ini adalah memohon kebaikan dan keberkahan bagi seluruh warga naga dalam kehidupan sehari-hari. Ritual berziarah ditandai dengan permohonan izin untuk berziarah, selanjutnya seluruh peserta diersilahkan untuk membersihkan makam. Selanjutnya setelah selesai maka dilaksanakan tawasulan yaitu Pak Kuncen berdoa dan memohon kebaikan bagi seluruh warga Kampung Naga. Dalam Islam perintah untuk melaksanakan ziarah sangat jelas disebutkan, sebagaimana dalam sebuah hadits yang artinya Sesungguhnya dulu saya (Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam) pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah karena hal itu akan mengingatkan kalian kepada kematian. Maka tradisi ziarah ada dalam Islam, namun sejatinya ziarah ke makam leluhur juga ada sebelum Islam hadir di tanah Pasundan. Kepercayaan terhadap adanya kekuatan pada arwah leluhur telah ada sejak zaman purba, sehingga menziarahi kubur (makam) menjadi satu ritual yang ada di semua budaya di Sunda pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Tradisi tawasul juga ada dalam Islam, yaitu menjadikan seseorang yang masih hidup, amal ibadah yang ikhlas ditujukan bagi Allah taala, bertawasul dengan nama-nama Allah taala adalah tawasul yang diperkenankan dalam Islam. Dalam Hajat Sasih tawasul dilakukan kepada penghuni makam yaitu Sembah Dalem Eyang Singaparna sebagai leluhur dan pendiri Kampung Naga. Sampai di sini diketahui bahwa bertawasul ada dalam Islam, namun ternyata tradisi menjadikan seseorang (termasuk makam) sebagai perantara doa juga ada dalam budaya lokal Sunda. Mereka terbiasa untuk berdoa melalui perantara leluhur mereka, dalam beberapa kasus mereka meminta kepada leluhur agar diberikan kehidupan yang berkah dan berkecukupan. Sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya ritual ziarah ke makam telah ada sebelum Islam itu hadir di tanah Sunda, selanjutnya tradisi ini dibubuhi dengan nilai-nilai Islam hingga terciptalah budaya ziarah yang memiliki akar tradisi lokal dan Islam. Membersihkan Depok : Tradisi membersihkan depok didasarkan kepada penghormatan terhadap bekas tempat untuk shalat, tentu saja tradisi ini berdasarkan kepada keyakinan bahwa segala sesuatu yang ditinggalkan akan membawa kebahagiaan ketika ia juga dihormati dan dilestarikan. Depok sendiri menjadi satu-satunya peninggalan leluhur Kampung Naga yang hingga kini masih terjaga. Murak Tumpeng : Tradisi makan bersama dengan sebelumnya mendoakan makanan berupa tumpeng adalah tradisi lama masyarakat Indonesia. Tumpeng sebagai simbol budaya dipahami sebagai perwujudan gunung yang merupakan sumber kehidupan umat manusia.Tumpeng juga merupakan manifestasi dari tempat tinggi yang menurut keyakinan merupakan tempat bersemayamnya Tuhan Yang maha Esa (Giri, 2002: 18). Sehingga murak tumpeng menjadi satu tradisi lokal yang hingga saat ini masih dilaksanakan. Mencari Berkah : Keyakinan adanya berkah dalam setiap makanan yang telah didoakan oleh seorang kepala adat menjadi fenomena budaya masyarakat di Indonesia. Tradisi ini telah ada secara turun-temurun dari zaman-ke zaman dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam budaya Islam dikenal pula istilah tabaruk yaitu mencari suatu kebaikan (barakah) dari sesuatu.

A. KesimpulanDari studi etnografi yang penulis lak