etika pertambangan pada industri mineral

146
ETIKA PERTAMBANGAN PADA INDUSTRI MINERAL LOGAM 3 11 2010 ETIKA PERTAMBANGAN PADA INDUSTRI MINERAL LOGAM PENDAHULUAN Industri mineral merupakan salah satu kepentingan ekonomi di seluruh dunia, dimana di dalamnya termasuk usaha pertambangan yang diharapkan berwawasan lingkungan sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Secara global, ekonomi industri telah digunakan sebagai suatu sistem sumber daya

Upload: subhan-arif

Post on 07-Aug-2015

118 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

ETIKA PERTAMBANGAN PADA INDUSTRI

MINERAL   LOGAM

3 11 2010

ETIKA PERTAMBANGAN

PADA INDUSTRI MINERAL LOGAM

PENDAHULUAN

Industri mineral merupakan salah satu kepentingan ekonomi di seluruh

dunia, dimana di dalamnya termasuk usaha pertambangan yang

diharapkan berwawasan lingkungan sehingga dapat mengurangi potensi

terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Secara global,

ekonomi industri telah digunakan sebagai suatu sistem sumber daya

terbuka melalui pemanfaatan bahan baku mineral dan energi; dengan

pembuangan limbah berdampak pencemaran terhadap lingkungan.

Tantangan yang dihadapi oleh komunitas global saat ini adalah membuat

ekonomi industri lebih mengarah kepada sistem tertutup dengan sasaran:

penghematan energi, mengurangi limbah, mencegah pencemaran, dan

Page 2: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

mengurangi biaya (UNO, 1995). Salah satu unsur penting yang diangkat

dalam topik kali ini adalah : Limbah industri harus dianggap sebagai

bahan baku berharga yang dapat diolah lebih lanjut atau dengan kata lain

didaur ulang.

LIMBAH / TAILING PERTAMBANGAN

Limbah pertambangan atau disebut sebagai tailing merupakan residu

yang berasal dari sisa pengolahan bijih setelah target mineral utama

dipisahkan dan biasanya terdiri atas beraneka ukuran butir, yaitu: fraksi

berukuran pasir, lanau, dan lempung. Secara umum pembuangan tailing

dilakukan di lingkungan darat yaitu pada depresi topografi atau

penampung buatan, sungai atau danau, dan laut. Secara mineralogi

tailing dapat terdiri atas beraneka mineral seperti silika, silikat besi,

magnesium, natrium, kalium, dan sulfida. Dari mineral-mineral tersebut,

sulfida mempunyai sifat aktif secara kimiawi, dan apabila bersentuhan

dengan udara akan mengalami oksidasi sehingga membentuk

garamgaram bersifat asam dan aliran asam mengandung sejumlah logam

beracun seperti As, Hg, Pb, dan Cd yang dapat mencemari atau merusak

lingkungan.

Page 3: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Ketika tailing dari suatu kegiatan pertambangan dibuang di dataran atau

badan air, limbah unsur pencemar kemungkinan tersebar di sekitar

wilayah tersebut dan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.

Bahaya pencemaran lingkungan oleh arsen (As), merkuri (Hg), timbal

(Pb), dan kadmium (Cd) mungkin terbentuk jika tailing mengandung

unsur-unsur tersebut tidak ditangani secara tepat. Terutama di wilayah-

wilayah tropis, tingginya tingkat pelapukan kimiawi dan aktivitas

biokimia akan menunjang percepatan mobilisasi unsur-unsur berpotensi

racun.

Salah satu akibat yang merugikan dari arsen bagi kehidupan manusia

adalah apabila air minum mengandung unsur tersebut melebihi nilai

ambang batas; dengan gejala keracunan kronis yang ditimbulkannya pada

tubuh manusia berupa iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel.

Tailing yang berasal dari proses amalgamasi bijih emas memungkinkan

limbah merkuri tersebar di sekitar wilayah penambangan dan dapat

membentuk pencemaran lingkungan oleh merkuri organik atau

anorganik. Pencemaran akan semakin membahayakan kesehatan manusia

apabila unsur merkuri dalam badan air berubah secara biokimia menjadi

Page 4: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

senyawa metil-merkuri. Terdapat beraneka jenis mekanisma oleh mikro-

organisma yang dapat membentuk spesies metil-merkuri bersifat racun,

terutama apabila dimakan oleh ikan. Pengaruh organik merkuri terhadap

kesehatan manusia termasuk hambatan jalan darah ke otak dan gangguan

metabolisma dari sistem syaraf. Sedangkan pengaruh racun merkuri

nonorganik adalah kerusakan fungsi ginjal dan hati di dalam tubuh

manusia.

DISKUSI

Bertolak dari diperolehnya informasi tentang bahaya limbah industri

mengandung unsur As, Hg, Pb, dan Cd yang dapat menimbulkan dampak

terhadap lingkungan dan kehidupan manusia; maka timbul pemikiran

tentang kemungkinan kejadian hal serupa pada kegiatan usaha

pertambangan bahan galian logam, terutama dalam kaitannya dengan

pembuangan tailing dari sisa pengolahannya. Secara alamiah, tailing

terdiri dari beraneka jenis dan biasanya dibuang dalam bentuk bubur

(slurry) dengan kandungan air tinggi. Tailing kemungkinan juga disusun

oleh bahan-bahan kering berbutir kasar berbentuk fraksi mengapung

yang berasal dari pabrik pengolahan. Pembuangan tailing merupakan

Page 5: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

masalah besar bagi lingkungan, yang menjadi lebih serius apabila

keberadaannya berkaitan dengan peningkatan eksploitasi dan akibat

pengolahan bahan galian logam. Dampak terhadap ekologi terutama

berupa pencemaran air oleh bahan-bahan padat, logam berat, kimiawi,

senyawa belerang, dan lain-lain. Perkembangan penggunaan metoda

pembuangan terjadi karena timbulnya dampak terhadap lingkungan,

perubahan dalam proses pengolahan dan realisasi untuk mendapatkan

keuntungan produksi. Metode konvensional yang masih dilakukan oleh

pelaku usaha pertambangan hingga saat ini adalah pengaliran tailing ke

dalam badan sungai dan atau pembuangan di atas tanah setelah melalui

pengeringan. Teknik-teknik lain kemudian dikembangkan karena banyak

kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan metode tersebut.

Semakin banyak diperlukannya bijih berbutir lebih halus, maka

diperlukan cara yang paling tepat dalam pengolahan ulang tailing untuk

dapat menciptakan nilai tambah produksi. Pada beberapa penambangan

bawah permukaan, tailing biasa digunakan untuk menimbun

daerahdaerah bekas penambangan. Tailing juga digunakan untuk back-

filling dalam suatu kegiatan pertambangan dengan terlebih dahulu

Page 6: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

melalui pemisahan karena tidak semua jenis tailing dapat dimanfaatkan

sebagai bahan pengisi bukaan-bukaan. Tailing dapat saja mengalami

pemuaian atau pengerutan setelah digunakan untuk pengisi bukaan, dan

juga memiliki sifat sebagai perekat sehingga sangat bermanfaat untuk

kegiatan penyemenan pada penambangan bawah permukaan. Tailing

juga ditimbun sementara selama masa penambangan sedang berlangsung

dan kemudian ditampung dalam bendungan. Pembuatan tempat

penimbunan/bendungan harus dalam kondisi aman dan ekonomis untuk

menampung volume tailing serta berfungsi sebagai pengendali

pencemaran lingkungan. Masalah serius yang timbul dari pembuangan

tailing adalah terutama berkaitan dengan pembebasan air tercemar akibat

pelarutan logam-logam berat (diantaranya As, Hg, Pb, dan Cd),

keasaman (pH rendah), bahan kimia/reagen dari pabrik pengolahan dan

bahan-bahan suspensi yang dapat membentuk zat padat. Secara

mineralogi, mineral pengotor alkali dalam tailing sering berperan sebagai

pengendali pencemaran yang alamiah; dimana salah satunya adalah

peranan kalsium (Ca) dalam batugamping yang dapat mempermudah

pelarutan logam-logam dan menetralisir hasil oksidasi. Proses pemurnian

Page 7: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

tailing juga sering dilakukan dengan cara pengapuran dengan tujuan

untuk menetralisir keasaman, sehingga mendorong terjadinya flokulasi

(penggumpalan) dan pengendapan logam-logam berat (berbentuk

hidroksida) sebelum dialirkan ke dalam bendungan. Penanganan tailing

melibatkan proses pengentalan dan pengaliran cairan serta pembebasan

logam-logam berat, kemudian dikembalikan ke pabrik pengolahan

sehingga mengurangi pasokan air dan bahan-bahan pencemar/polutan

dalam bendungan tailing.

 

KESIMPULAN

Tailing dari suatu usaha pertambangan logam menjadi pusat perhatian

ketika pembuangannya dilakukan tanpa memperhatikan dampak terhadap

lingkungan. Lebih jauh lagi apabila tailing tersebut mengandung unsur-

unsur berpotensi racun seperti arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan

kadmium (Cd), sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan

dengan akibat yang merugikan bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu

diperlukan penerapan program perlindungan terhadap lingkungan melalui

Page 8: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

pengembangan: metode penambangan dan pengolahan; sistem

penanganan dan daur ulang tailing; rancangan konstruksi penampung

tailing dan pengawasan pembuangannya; serta pencegahan pencemaran

oleh unsur-unsur berpotensi racun dimaksud.

Kemudian perlu penindakan tegas atas kebijakan pemerintah yang telah

ditetapkan dalam kebijakan pertambangan dan etika pertambangan.

Diantaranya UU UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.

26/2007 tentang Penataan Ruang, UU Pertambangan Mineral dan

Batubara, UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan Umum.

Dengan diberlakukannya secara tegas perundang-undangan yang telah

ada merupakan upaya preventif untuk mencegah kerusakan lingkungan

dan menciptakan etika pertambangan yang sesuai dengan aturan yang

berlaku.

UPAYA

1. Diperlukan upaya penegakan hukum terhadap

masyarakat/pengusaha yang tidak memiliki surat ijin kegiatan

penambangan. Upaya penegakan hukum ini diberlakukan sesuai

Page 9: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

perundang-undangan yang berlaku dan bersifat tegas serta tidak

memihak. Sangsi yang diberikan kepada penambang liar

dimaksudkan untuk merelokasi aktivitas penambangan pada

daerah-daerah terlarang oleh kegiatan penambangan agar tidak

terjadi kerusakan lingkungan yang semakin parah dan diharapkan

pemberian sangsi akan menciptakan asumsi negatif terhadap upaya

penegakan hukum yang lemah.

2. Perlu dilakukan upaya pendekatan perencana program yang

mampu menciptakan keserasian dan kesesuaian antar tujuan-tujuan

program/kebijakan dengan kebutuhan kelompok sasaran. Dengan

dipenuhinya persyaratan-persyaratan ini maka akan dapat

dipastikan resiko kegagalan pelaksanaan program atau penolakan

dari kelompok sasaran dapat diminimalkan.

3. Perlunya dilakukan restrukturisasi dan revitalisasi kebijakan sektor

lainnya. Hal ini dilakukan karena kebijakan pertambangan bukan

merupakan sektor yang riil dan aktual.

4. Perlu dilakukan identifikasi ulang terhadap model program yang

tepat, riil dan faktual sesuai dengan prilaku/trend (kecenderungan)

Page 10: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

ekonomi masyarakat Kabupaten Bangka saat ini dan pasca timah,

Hal ini dalam upaya pengembangan ekonomi alternatif dan upaya

mengalihkan pekerjaan masyarkat dari ketergantungan pada sektor

pertambangan ke sektor lainnya pasca ekonomi timah.

Comments : Leave a Comment »

Categories : Artikel Geologi

Penelitian Geologi Teknik dan   Lingkungan

3 11 2010

Penelitian Geologi Teknik dan Lingkungan

Kecamatan Mojo dan Kecamatan Semen Kabupaten Kediri

 

KESIMPULAN

Page 11: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Berdasarkan hasil penyelidikan Geologi Teknik dan Lingkungan di

Kecamatan Mojo dan Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri di

lapangan dan pengolahan data-data yang ada dan yang diperoleh maka

dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai rekomendasi yang akan

dianjurkan bagi pihak yang berkepentingan guna dapat dijadikan

pedoman untuk melakukan pengembangan wilayah berdasarkan pada

kondisi geologi.

1. Dari hasil penyelidikan lapangan dan kompilasi data yang telah

ada, wilayah penelitian memiliki potensi sumberdaya geologi

berupa Bahan Galian Golongan C (pasir dan batu) yang berlimpah.

Selain bahan galian, wilayah penyelidikan juga memiliki potensi

berupa objek wisata.

2. Berdasarkan hasil penyelidikan lapangan dan kompilasi data

sekunder, beberapa  bencana geologi yang mengancam wilayah

penelitian diantaranya adalah : Erosi, Gerakan Tanah, Erupsi

Gunung Api, dan Banjir.

Secara khusus arahan rekomendasi pengembangan wilayah telah

dijelaskan pada masing-masing unit geologi lingkungannya diatas.

Page 12: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Secara umum dapat kita bagi rekomendasi pengembangan wilayah di

wilayah Kecamatan Semen dan Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri,

diantaranya adalah: Hutan Kering Sekunder yaitu pada wilayah

morfologi satuan pegunungan sangat terjal; daerah perkebunan dan

ladang pada daerah dengan morfologi satuan pegunungan terjal dan

perbukitan agak terjal. Sedangkan untuk pemukiman wilayah dengan

morfologi dataran dan lereng gunungapi adalah yang paling baik.

 

SARAN

Saran yang dapat disampaikan berkenaan dengan hasil penyelidikan

Geologi Teknik dan Lingkungan di Wilayah kecamatan Mojo dan

Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri adalah:

1. Pelaksanaan kebijakan yang tegas dan tepat dari pemerintah daerah

terhadap kondisi penggalian-penggalian yang terdapat di wilayah

lereng, agar tidak mengalami kerusakan lingkungan, sehingga

dapat dimanfaatkan lebih optimal.

Page 13: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

2. Diperlukan kerjasama dan penggabungan data dari berbagai pihak

serta instasi terkait untuk lebih menyempurnakan proses

penyusunan rencana pengembangan wilayah di wilayah

Kecamatan Mojo dan Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.

Pemanfaatan data hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam

usaha penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah, dalam hal ini yang

berhubungan dengan potensi wilayah (potensi sumberdaya geologi) dan

kerawanan bencana.

Comments : Leave a Comment »

Categories : Artikel Geologi

6th Stratigraphy   Analysis

6 05 2010

Petrologi batuan Sedimen klastik untuk Analisa Stratigrafi

Debriadi Harset (30533)

Page 14: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Rizal Abiyudo (30718)

Bhima Suhardiyansyah (30747)

Mahasiswa Teknik Geologi FT UGM, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55281

Sari

Stratigrafi termasuk bagian dari disiplin ilmu geologi yang terfokus pada

bentuk, susunan, distribusi geografi, rangkaian kronologi, klasifikasi,

korelasi, dan hubungan dari lapisan batuan, khususnya sedimen, disebut

pula stratigrafi geologi (Sybil P. Parker, 1984).

Batuan sedimensecara umum terbentuk dari  proses – proses yang

antara lain nya , Batuan sedimen dari proses mekanik, Batuan sedimen

dari proses biologi, Batuan sedimen dari proses kimiawi.

Batuan sedimen yang terbentuk dari proses mekanik sering disebut

dengan batuan sedimen klastik. Batuan ini terbentuk dari hasil rombakan

batuan yang sudah ada sebelumnya. Batuan tersebut dapat

Page 15: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

diklasifikasikan dengan berdasarkan ukuran butirnya, mulai dari yang

berukuran halus dengan kasar, yang antara lain, lempung, lanau, pasir,

kerikil, kerakal, berangkal, dan bongkah.

Dengan mengetahui petrologi, baik tekstur maupun komposisi dari

batuan sedimen klastik tersebut, maka dapat digunakan untuk analisa

dari stratigrafi yang ada, hal tersebut menyangkut asal- mula jadi atau

originnya.

I. Pendahuluan

Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk oleh deposisi sedimen

yang terkonsolidasi dalam sebuah lapisan (Sybil P. Parker, 1984).

Sedimentary rocks are the product of the creation, transport, deposition,

and diagenesis of detritus and solutes derived from pre-existing rocks

(Kendall, Chris., ___).

Petrologi batuan sedimen adalah deskripsi dan klasifikasi batuan

sedimen. Disebut juga sedimentography (Sybil P. Parker, 1984).

Stratigrafi analisa adalah

Page 16: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Maksud dari stratigrafi ini adalah untuk :

Pemerian secara obyektif dan lengkap dari komponen penyusun

tubuh batuan, baik secara vertikal maupun secara lateral.

Penentuan jenis dan macam hubungan antar komponen.

Sedang tujuan dari pembelajaran ini adalah :

Rekonstruksi proses, pengaruh kondisi organis dan anorganis, tempat,

serta perkembangannya dalam:

-          ruang : Paleogeografi

-          waktu : Sejarah geologi

II. Petrologi Batuan Sedimen Klastik

Asal dari pemahaman petrologi ini

The origin of the

Tekstur yang menyangkut ukuran butir, bentuk butir, sortasi, kemas,

dapat mengetahui pengendapannya di dalam atau di luar cekungan serta

sejarah transportasinya. Tekstur batuan sedimen klastik dibentuk secara

Page 17: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

primer oleh proses fisika sedimentasi dan dianggap menghasilkan ukuran

butir, bentuk ( kebundaran, tekstur permukaan) dan kemasan ( orientasi

butir dan hubungan butir ).

Ukuran butir partikel sedimen penting dalam beberapa hal. Ukuran butir

mencerminkan :

-           Resistensi partikel terhadap pelapukan, erosi dan abrasi. Partikel

– partikel yang luak seperti batugamping dan fragmen – fragmen batuan

makin lama makin mengecil, bahkan partikel kuarsa yang besar dan

resistensi akan terabrasi dan berubah ukurannya.

-           Proses transportasi dan deposisi seperti kemampuan air, angin

untuk menggerakkan dan mengendapkan partikel.

Pada skala geometri berkembang banyak skala ukuran butir atau skala

kelas, tetapi skala yang digunakan hampir universal oleh sedimentologis

adalah skala Udden Wenworth. Skala ini pertama kali diajukan oleh

Udden pada 1898 dan dimodifikasi dan ditambah oleh Wenworth pada

1922. Skala ini berkisar dari < 1/256 mm sampai >256 mm dan

Page 18: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

dipisahkan ke dalam 5 kategori ukuran utama yaitu lempung, lanau, pasir

dan kerakal.

Komposisi penyusun berdasarkan kehadiran mineral – mineral tertentu, 

bersama dengan tekstur dapat mengetahui diagenesa apajkah telah

terganti atau terubaha atau tidak.

Tekstur

Pada ukuran butir, mempunyai pengaruh terhadap energi

pengendapannya. Semakin besar ukuran  butir, maka kemungkinan

batuan sedimen klastik tersebut terendapkan membutuhkan energi yang

besar, atau arus yang kuat, dapat juga tidak jauh dari sumber. Sebaliknya,

semakin kecil atau halus ukuran butir, maka kemungkinanan batuan

sedimen klastik tersebut terendapkan membutuhkan energi yang lemah,

atau arus yang kecil, dapat juga  dekat dengan  sumber. Secara teoritis

ukuran butir makin ke hilir akan semakin halus dengan catatab bahwa

batuan sumber dari sedimen tersebut adalah sama dan faktor lain yang

tetap konstan. Berkurangnya ukuran butir disebabkan  adanya abrasi pada

butiran selama abrasi. Abrasi merupakan proses yang bekerja secara aktif

Page 19: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

sehingga mengakibatkan  ukuran partikel makin ke hilir makin kecil

( Pettijohn, 1975 h.45 ). Penurunan ukuran butir tidak semata – mata

disebabkan oleh abrasi tapi juga merupakan refleksi dari penurunan

kompetensi sungai dan yang diakibatkan oleh penurunan gradien sungai.

Tabel.Skala wenworth

Oleh Boggs (1987) dikatakan derajat kebundaraan (roundness) adalah

sifat bentuk partikel yang berhubungan dengan ketajaman atau

kelengkungan tepi dan pojok-pojoknya. Derajat kebundaraan (roundness)

sendiri dipengaruhi oleh ukuran material, komposisi, tipe transportasi dan

jarak transportasi. Mineral yang memiliki ketahanan fisik tinggi (kuarsa

dan zirkon) akan memiliki nilai roundness yang lebih besar  dari pada

mineral yang memiliki daya  tahan yang rendah (feldspar dan piroksen).

Material yang lebih besar (pebble dan cobble) cenderung memiliki harga

roundness yang lebih besar dari material  yang lebih kecil (pasir)

(hal.127).

Tingkat kebolaan juga berpengaruh, sphericity adalah ukuran yang

menggambarkan kecenderungan suatu bentuk butir kearah bentuk

Page 20: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

membola (Tucker, 1991).Sedang Boggs (1987) mengatakan derajat

kebolaan (sphericity) adalah ukuran yang menggambarkan

kecenderungan suatu butiran ke arah bentuk membola. Variabel yang

paling mengontrol sphericity adalah bentuk asal dari butiran tersebut

(hal. 125). Selama proses transportai ukuran butir dari partikel -  partikel

mengecil dan bentuk permukaannya termodifikasi dengan dikontrol oleh

bentuk asal dan kekuatan dari abrasi arus yang mengangkutnya. Proses

transportasi ini berlangsung secara memilih, yaitu pengelompokan

partikel – partikel berdasarkan ukuran dan bentuk butirnya. Material

yang nonsperikal cenderung lebih lama berada dalam cairan dari pada

material yang lebih sperikal.

Untuk nilai roundness akan bertambah tinggi seiring dengan

pertambahan waktu (durasi) sedimentasi dan jarak transportasi, misalnya

dari hulu ke hilir. Nilai roundness juga dapat menentukan tingkat abrasi

yang terjadi, yang juga berhubungan dengan tingkat resistensi batuan.

Tingkat abrasi yang intensif akan menyebabkan nilai roundness semakin

tinggi. Sedang nilai sphericity akan bertambah tinggi apabila bentuk

butiran semakin menyerupai bola atau semakin well rounded. Tetapi

Page 21: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

pada perhitungan sphericity ini, Boggs (1987) mengatakan bahwa hasil

perhitungan sphericity yang sama terkadang dapat diperoleh pada semua

bentuk butir.

Semakin bagus sortasi atau tingkat keseragaman ukuran butirnya tinggi ,

maka menandakan pengendapan batuan sedimen klastik tersebut dengan

energi homogen atau sama, sebaliknya bila sortasi buruk, dengan artian

ada keragaman ukuran butir, dengan adanya fragmen dan matriks,

menandakan energi  pengendapan yang heterogen atau tidak sama.

Porositas batuan juga dapat dianalisa dari adanya sortasi ini. Semakin

bagus sortasinya, maka porositasnya semakin tinggi, begitu sebaliknya.

Hal ini dapat untuk aplikasi pada dunia perminyakan.

Kemas pada batuan sedimen klastik juga dapat menentukan asal mula

pengendapannya dengan didasarkan pada kondisi alirannya atau tipe arus

yang mengenainya. Pada kemas terbuka, dapat terbentuk pada proses

pengendapan yang cepat, dalam hal ini pada pengendapana dengan arus

turbit. Sedangkan pada kemas tertutup dapat terbentuk pada proses

pengendapan dengan kecepatan yang relatif rendah, bertahap, seperti

pada pengendapan dengan arus traksi.

Page 22: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Komposisi penyusun

Komposisi mineralogi pada batuan sedimen merupakan cerminan yang

dapat dijadikan untuk mengetahui keberadaan dan tipe batuan sumbernya

(studi provenance).

Tingkat maturity  batuan sedimen klastik dapat dilihat dari adanya

kuarsa, mineral lempung, matriks

Semakin kecil kandungan  lempungnya, maka tingkat kematangan batuan

sedimen itu semakin tinggi, begitu sebaliknya.

Kandungan kuarsa derngan dibandingkan mineral yang lain juga dapat

menentukan provenance (asal mula) serta tingkat pengendapannya

dengan sumber. Kuarsa paling atabil, sehingga bila masih ada ditemukan

mineral – mineral seperti olivin piroksen, felspar, ortoklas pada batuan

sedimen klastik maka kemungkinan terendapkan belum jauh dari sumber.

III. kesimpulan

Page 23: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Komposisi mineralogi pada batuan sedimen merupakan cerminan yang

dapat dijadikan untuk mengetahui keberadaan dan tipe batuan sumbernya

(studi provenance).

Comments : Leave a Comment »

Categories : Artikel Geologi

5th Stratigraphy   Analysis

6 05 2010

Rekaman Stratigrafi untuk Analisis Geologi Suatu Daerah

Debriadi Harset (30533)

Rizal Abiyudo (30718)

Bhima Suhardiyansyah (30747)

Mahasiswa Teknik Geologi FT UGM, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55281

Page 24: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Sari

Stratigrafi termasuk bagian dari disiplin ilmu geologi yang terfokus pada

bentuk, susunan, distribusi geografi, rangkaian kronologi, klasifikasi,

korelasi, dan hubungan dari lapisan batuan, khususnya sedimen, disebut

pula stratigrafi geologi (Sybil P. Parker, 1984). Ilmu geologi terbagi

menjadi dua, yaitu geologi fisik dan geologi sejarah. Stratigrafi rekaman

adalah bagian dari disiplin ilmu geologi yang termasuk dalam cabang

geologi sejarah.

Rekaman stratigrafi adalah suatu data, tampilan dari urutan-urutan

lapisan yang berisikan informasi mengenai  litologi batuan, struktur

sedimen, tekstur, fosil-fosil yang terkandung, fasies pengendapan,

ulangan batuan  dan kontak antar tiap lapisan batuan yang dapat

menceritakan sejarah geologinya.

Rekaman stratigrafi memiliki kegunaan – kegunaan dalam analisa

geologi suatu daerah, yang antara lain untuk mengekspresikan fasies

pengendapan; menunjukkan non depositional surface, ketidakselarasan

Page 25: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

atau bidang erosi; menggambarkan  rock cycle; enunjukkan suatu

lingkungan pengendapan, Menunjukkan  adanya perubahan lingkungan

pengendapan.

I. Pendahuluan

Stratigrafi adalah suatu cabang geologi yang mempelajari tentang bentuk,

susunan, distribusi geografi, rangkaian kronologi, klasifikasi, korelasi,

dan hubungan dari lapisan batuan, khususnya sedimen, disebut pula

stratigrafi geologi (Sybil P. Parker, 1984). Selain itu pengertian lainnya

stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari lapisan batuan yang diendapkan

di bumi. Stratigrafi termasuk bagian dari disiplin ilmu geologi, yang tiap

lapisannya dapat menceritakan sejarah geologinya berdasarkan waktu

masing – masing.

Ilmu geologi terbagi menjadi dua, yaitu geologi fisik dan geologi sejarah.

Geologi fisik adalah cabang dari geologi yang terfokus pada pengertian

komposisi – komposisi bumi dan perubahan fisik yang terjadi

berdasarkan pembelajaran tentang batuan, mineral – mineral, dan

Page 26: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

endapan – endapan, struktur serta formasi – formasinya (Sybil P. Parker,

1984).

Geologi sejarah merupakan integrasi dari urutan  perkembangan proses

dan tempat pembentukan batuan yang ada, perkembangan tektonik yang

terjadi serta proses eksogenik yang menjadikan kenampakannya seperti

yang terlihat pada masa kini pada suatu daerah tertentu (Wartono, 2001).

Selain itu geologi sejarah berarti cabang dari geologi yang terfokus pada

pembelajaran secara sistematis pada lapisan – lapisan batuan dan

hubungannya dalam suatu waktu serta pembelajaran fosil dalam suatu

sekuen lapisan batuan tersebut (Sybil P. Parker, 1984).

Stratigrafi rekaman adalah bagian dari disiplin ilmu geologi yang

termasuk dalam cabang geologi sejarah. Pengertiannya adalah suatu data,

tampilan dari urutan-urutan lapisan yang berisikan informasi mengenai 

litologi batuan, struktur sedimen, tekstur, fosil-fosil yang terkandung,

fasies pengendapan, ulangan batuan  dan kontak antar tiap lapisan batuan

yang dapat menceritakan sejarah geologinya. Yang terpenting dalam

rekaman stratigrafi ini adalah dapat mengekspresikan 5 hal, yaitu :

Page 27: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

1. Fasies pengendapan

2. Non depositional surface, ketidakselarasan atau bidang erosi

3. Rock cycle

4. Suatu lingkungan pengendapan

5. Adanya perubahan lingkungan pengendapan

II. Lingkungan Pengendapan

Ekspresi suatu lingkungan pengendapan dapat terlihat dalam stratigrafi

rekaman seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Interpretasi dari rekaman stratigrafi dalam penentuan lingkungan

pengendapan memerlukan beberapa unsur yang saling dikombinasikan

satu sama lain yaitu :

-          Struktur sedimen

-          Analisa ukuran butir

-          Fosil (fosil utuh dan fosil jejak)

-          Sekuen vertikal , hubungan lateral

Page 28: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

-          Geometri, penyebaran dari litologinya

Secara umum lingkungan pengendapan terbagi menjadi 3 tempat yaitu :

1. Lingkungan pengendapan transisi

2. Lingkungan pengendapan laut

3. Lingkungan pengendapan darat

Lingkungan pengendapan darat

Gambar disamping merupakan contoh gambar urutan litologi pada

lingkungan pengendapan darat, yaitu lingkungan sungai (braided

stream). Braided stream umumnya mempunyai kedalaman yang dangkal

dengan suplai sedimen yang besar (cenderung overloaded). Braided

stream mempunyai ciri-ciri yaitu tubuh airnya terbagi-bagi oleh endapan

sungai. Mekanisme transportasi adalah bedload dan suspended load.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pola braided stream antara lain :

jumlah suplai sedimen; bentuk channel; kecepatan arus; tekstur dasar

sungai; serta iklim (Stepeld & Welman, 1975 dalam Davis, 1983).

Page 29: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Struktur sedimen yang terbentuk pada lingkungan pengendapan ini

cukup  beraneka ragam. Secara garis besar (Miall,1977 dalam Davis

1883) membagi menjadi 3 kelompok, yaitu : planar cross stratified,

trough cross stratified, & masif.

Menurut Miall, bentuk endapan sungai ini bisa berupa :

-          longitudinal bars

-          linguoid bars

-          transverse bars

Masih menurut Miall, terdapat 4 peristiwa pengendapan pada lingkungan

ini, yaitu :

-          flooding

-          akresi lateral (pelebaran tubuh batuan)

-          channel agradation

-          reoccupation of channel (terjadinya arus yang memotong endapan

sungai)

Page 30: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pengendapan di

lingkugan darat, antara lain :

1. Faktor fisik

Faktor fisik yang dimaksud adalah kecepatan fluida (media transportasi)

atau kecepatan aliran sedimen. Kecepatan transportasi ini akan

berpengaruh terhadap ukuran butir sedimen yang terangkut, tingkat

sortai, struktur sedimen serta bentuk sedimen bodies. Selain itu ada

faktor-faktor lain, yaitu :

-          jenis gerakan fluida : laminar flow dan turbulent flow

-          jenis mekanisme pengendapan : gravity , bedload, atau suspension

load

-          banyak sedikitnya suplai sedimen

2. Faktor kimia, meliputi :

-          pH dari media transportasi

-          salinitas

Page 31: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

-          temperatur

Selain faktor fisik dan kimia yang berasal dari fluida dan material yang

tertransport ada beberapa faktor lain yang berpengaruh yaitu faktor

cekungan. Faktor cekungan sedimen tersebut meliputi :

1. Dimensi

Besar kecilnya cekungan sedimen

2. Sifat Cekungan

Cekungan bersifat reduktif atau oksidatif. Sifat tersebut tergantung

kepada ada tidaknya pergerakan fluida. Jika sirkulasi fluida naik, maka

sirkulasi oksigen akan naik juga. Jika sirkulasi oksigen baik, maka

lingkungan pengendapan bersifat oksidatif, sebaliknya akan bersifat

reduktif. Sifat cekungan ini akan mempengaruhi jenis material sedimen /

mineral-mineral yang terbentuk / terendapkan.

3. Morfologi cekungan sedimen

Page 32: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Morfologi ini akan mempengaruhi mekanisme transportasi nantinya .

misalnya pada cekungan sedimen yang mempunyai lereng yang miring /

curam. Aliran sedimen akan terpengaruh oleh gaya gravitasi.

4. Tektonik yang bekerja pada saat sedimentasi berlangsung

Jika cekungan sedimentasi memiliki tektonik yang aktif, maka akan

merubah ruang akomodasi. Hal ini tentunya dapat menyebabkan

perubahan dimensi cekungan sedimentasi. Misalkan pada cekungan

sedimentasi yang bagian dasarnya mengalami penurunan (subsidence),

serta diiringi dengan suplai sedimen yang cukup maka nantinya endapan

sedimen yang terbentuk akan menjadi tebal. Perubahan cekungan

tersebut juga akan mempengaruhi bentuk / morfologi endapan sedimen.

Mekanisme pengendapan juga mempunyai peranan yang penting karena

berhubungan dengan proses transportasi yang terjadi. Mekanisme

pengendapan darat yang terjadi meliputi :

1. Sediment gravity flow

Kadar air / fluida sedikit, jadi material padat lebih berperan, meliputi :

Page 33: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

-          liquified sediment flows

-          grain flows

-          debris flows

-          slump

2. Traction flow

Pada mekanisme ini kadar air yang berpengaruh tinggi, fluida lebih

berperan daripada material padat. Pada  traction flow, material sedimen

bersinggungan dengan dasar sungai / cekungan. Meliputi :

-          sliding

-          rolling

-          saltation

3. Suspension flow

Material sedimen berukuran halus bercampur dengan air membentuk

suspensi. Sedimen mengendap secara perlahan-lahan oleh pengaruh gaya

Page 34: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

gravitasi. Suspension flow terjadi pada daerah dengan arus yang tenang,

misal : danau

III. Kegunaan Stratigrafi Rekaman

Kegunaan rekaman stratigrafi untuk analisis geologi suatu daerah

adalah :

1. Mengekspresikan fasies pengendapan

Fasies adalah seluruh aspek dari suatu bagian permukaan bumi sepanjang

interval yang pasti dari waktu geologi (Teichert, 1958 dalam facies

models Walker, 1984). Pendapat lain mengatakan fasies adalah jangka

waktu yang mengandung jumlah total dari aspek-aspek litologi dan

paleontologi pada sebuah unit stratigrafi (Gressly, 1838 dalam facies

models Walker, 1984).

Analisa fasies pengendapan diperoleh dari observasi geometri, litologi,

fosil dan struktur sedimen yang dapat memberikan informasi tentang

paleocurrent. Setelah itu dilakukan interpretasi tentang lingkungan

pengendapan dan paleogeografi. Dari interpretasi kedua hal tersebut

Page 35: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

dapat menunjukan suatu fasies model. Sehingga dapat ditarik kesimpulan

tentang lokasi, geometri dan aspek ekonomi.

Fasies pengendapan yang didapatkan dari rekaman stratigrafi, antara lain

fasies (Walker, 1984) :

1. glasial

2. volkaniklastik

3. alluvial

4. fluvial

5. eolian

6. deltas

7. g. barrier island

8. shelf dan shallow marine

9. i. turbidite

10.trace fossil

11.karbonat

12.terumbu

13.evaporit

Page 36: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

2. Menunjukkan non depositional surface, ketidakselarasan atau bidang

erosi

Kebanyakan lapisan – lapisan di permukaan menunjukkan waktu jeda

yang sebentar. Jika waktu jedanya lama, maka disebut dengan

unconformity. Hiatus merupakan waktu jeda yang hadir pada bidang

unconformity. Terminologinya adalah indikasi adanya sesuatu yang

hilang.  Semua unconformity dan hiatus mempunyai minimum time gap

pada beberapa cekungan. Umur dari minimum time gap ini menunjukkan

umur yang tepat / cocok dari  unconformity (Blackwelder, 1910).

Sedimen di antara  bidang discontinous tidak selalu ada di setiap tempat

pada kisaran waktu yang sama, tetapi dapat membatasi antara umur

dengan bidang ketidakmenerusan.

3. Menggambarkan  rock cycle

Proses ini merupakan proses di mana beragam variasi dari sedimen

terendapkan  dalam sekuen umum yang berulang. Gambaran rock cycle

ini kemudian berhubungan dengan lingkungan pengendapan serta arus

pengendapan.

Page 37: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

4. Menunjukkan suatu

lingkungan pengendapan

Lingkungan pengendapan merupakan suatu tempat di muka bumi yang

berupa cekungan yang dapat digunakan sebagai tempat teronggoknya

material – material sedimen yang dipengaruhi oleh kondisi fisik, kimia,

biologi.

5. Menunjukkan  adanya perubahan lingkungan pengendapan

Ada 2 hal yang berperan utama terhadap keadaan ini, yaitu accomodation

space (ruang akomodasi) dan suplai sedimen. Adapun ruang akomodasi

ini dapat terpengaruhi oleh tektonik dan perubahan muka air laut. Adanya

kenaikan muka air laut terhadap daratan, sedimen akan diendapkan jauh

ke arah daratan. Pola ini disebut Coastal onlap. Kenampakan secara

vertikal, disebut coastal aggradation, merupakan jumlah kenaikan

relatifnya. Mengesampingkan faktor dari pengaruh yang lain. Dengan

kata lain sea level stand.

Page 38: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Bila pada rekaman stratigrafi memperlihatkan kenampakan coarsening

upward, maka diinterpretasi telah terjadi regresi, yaitu endapan yang

terbentuk relatif ke arah laut. Dengan kata lain , disebut juga progradasi.

Bila pada rekaman stratigrafi memperlihatkan kenampakan fining

upward, maka diinterpretasi telah terjadi transgresi, yaitu endapan yang

terbentuk relatif ke arah darat. Dengan kata lain, disebut juga

retrogradasi.

III. Kesimpulan

Stratigrafi rekaman adalah bagian dari disiplin ilmu geologi yang

termasuk dalam cabang geologi sejarah.

Rekaman Stratigrafi merupakan suatu data, tampilan dari urutan-

urutan lapisan yang berisikan informasi mengenai  litologi batuan,

struktur sedimen, tekstur, fosil-fosil yang terkandung, fasies

Page 39: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

pengendapan, ulangan batuan  dan kontak antar tiap lapisan batuan

yang dapat menceritakan sejarah geologinya.

Rekaman stratigrafi sangat berguna dalam analisa geologi suatu

daerah, yang antara lain untuk :

-          Mengekspresikan fasies pengendapan

-          Menunjukkan non depositional surface, ketidakselarasan atau

bidang erosi

-          Menggambarkan  rock cycle

-          Menunjukkan suatu lingkungan pengendapan

-          Menunjukkan  adanya perubahan lingkungan pengendapan

Fasies pengendapan yang didapatkan dari rekaman stratigrafi,

antara lain fasies (Walker,1984) glasial; volkaniklastik; alluvial;

fluvial eolian; deltas; barrier island; shelf dan shallow marine;

turbidite; trace fossil; karbonat; terumbu;evaporit.

Page 40: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Secara umum lingkungan pengendapan terbagi menjadi 3 tempat,

yaitu lingkungan pengendapan transisi; lingkungan pengendapan

laut; lingkungan pengendapan darat.

Perubahan lingkungan pengendapan meliputi transgresi

(increasing accomodation space) yang sebanding dengan

retrogradasi dan regresi (decreasing accomodation space) yang

sebanding dengan progradasi.

Comments : Leave a Comment »

Categories : Artikel Geologi

Stratigrafi   #2

6 05 2010

Formasi dan Setting Tektoniknya.

1. 1. Apa yang disebut dengan formasi ?

2. 2. Bagaimana formasi ditentukan ?

Page 41: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

3. 3. Bagaimana kaitannya dengan locality type ?

4. 4. Cari informasi mengenai nama formasi yang berbeda tapi

identik dalam umur/karakter/…… !!

5. 5. Bagaimana parameter yang dipakai, yang membedakan

namanya ?

6. 6. Mengapa batas formasi dan batas umur dibedakan ?

7. 7. Mengapa nama formasi yang berbeda namun sama dalam hal

karakter dapat dihubungkan berdasarkan setting tektoniknya ?

Yang disebut dengan Formasi adalah satuan dasar dalam pembagian

satuan litostratigrafi (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996). Sedangkan

dalam buku berjudul : Principles Of Sedimentology And Stratigraphy

(Sam Boggs, 1987), formasi didefinisikan sebagai suatu tubuh batuan

yang dapat dikenali/diidentifikasi melalui karakter dan posisi

stratigrafinya, lazimnya, tapi tidak selalu, tubuh batuannya berbentuk

tabular, dan dapat dipetakan pada permukaan bumi dan dapat dilacak

keberadaannya di permukaan. Formasi dapat terdiri atas satu tipe batuan,

perulangan dari dua atau lebih tipe batuan, atau berupa percampuran

beberapa jenis batuan yang sangat heterogen.

Page 42: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Urutan tingkat satuan litostratigrafi resmi, masing-masing dari besar

sampai kecil ialah : Kelompok, formasi dan anggota.

Beberapa penjelasan mengenai penentuan  formasi :

Formasi harus memiliki keseragaman atau ciri-ciri litologi yang

nyata, baik terdiri dari satu macam jenis batuan, perulangan dari

dua jenis batuan atau lebih

Formasi dapat tersingkap dipermukaan, berkelanjutan ke bawah

permukaan atau seluruhnya di bawah permukaan

Formasi haruslah mempunyai nilai stratigrafi yang meliputi daerah

cukup luas dan lazimnya dapat dipetakan pada skala 1 : 25.000

Tebal suatu formasi berkisar antara kurang dari satu meter sampai

beberapa ribu meter : oleh karena itu ketebalan bukanlah suatu

syarat pembatasan formasi

Suatu lokasi tipe merupakan letak geografi suatu stratotipe atau tempat

mula-mula ditentukannya satuan stratigrafi. Type locality ini

berhubungan erat dalam penentuan nama formasi, artinya letak geografis

atau nama daerah dimana singkapan (batuan) ditemukan dapat menjadi

Page 43: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

dasar utama dalam penamaan formasi yang dapat dibedakan dengan

keterdapatan singkapan (batuan) lain pada lokasi yang lain. Misalnya :

Formasi Nanggulan yang berumur Eosen, mempunyai type locality dan

sebaran geografis di desa Kalisongo dekat Nanggulan, sekitar 20 km

sebelah barat Jogjakarta. Maksudnya bahwa singkapan (batuan) yang

mewakili formasi Nanggulan secara spesifik dapat kita temukan di desa

Kalisongo.

Untuk contoh, dapat diambil dari beberapa formasi  yang terdapat di

Cekungan Sumatra  Utara dan dibandingkan dengan formasi yang

terdapat di Jawa Timur Utara (lihat tabel korelasi stratigrafi Cekungan

Sumatra Utara-Jawa Timur Utara). Misalnya Formasi Baong yang

terdapat di Cekungan Sumatra Utara, formasi ini tersusun oleh batupasir

dan batulempung yang diendapkan dibawahnya, dari tabel dapat dilihat

bahwa formasi ini berumur Miosen Tengah-Atas. Padanan dari formasi

ini adalah Formasi Ngrayong pada Jawa Timur Utara yang juga tersusun

oleh batupasir dan batulempung, formasi ini juga mempunyai umur

Miosen Tengah-Atas. Kedua formasi ini memiliki susunan litologi dan

umur batuan yang identik, tetapi berbeda dalam penamaan. Perbedaan

Page 44: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

nama kedua formasi ini  hanya didasarkan pada lokasi dimana formasi

tersebut ditemukan, atau dengan kata lain hanya dibedakan berdasarkan

tempat dan tipe cekungan.

Hubungan dengan setting tektonik

Kesamaan dalam umur dan karakter batuan pada kedua formasi ini dapat

dihubungkan dengan setting tektonik yang bekerja pada kedua cekungan

tersebut. Secara Regional Indonesia, merupakan zona penunjaman antara

lempeng kontinen Eurasia dengan lempeng Samudera Hindia, sehingga

secara tektonik kedua cekungan ini merupakan back arc basin,

sedangkan berdasarkan teori geosinklin maka kedua cekungan ini

merupakan miogeosinklin yang merupakan zona yang dekat dengan

craton dan bebas aktivitas vulkanik. Krumblein & Sloss (1963)

menyatakan bahwa miogeosinklin adalah daerah tidak aktif dan tidak

terdapat gunung api. Indikasi lain yang mendukung bahwa kedua

cekungan ini merupakan miogeosinklin adalah terdapatnya batupasir

yang bagus sebagai reservoar, karena mengalami preservasi yang baik

Page 45: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Barlian Yulianto dan Laksmi Sriwahyuni dalam makalahnya

(Proceedings Diskusi Ilmiah VII, Lemigas, 1995) mengatakan bahwa

Cekungan Sumatra Utara dan Jawa Timur Utara dapat dikelompokkan ke

dalam sistem cekungan busur-belakang Sumatera – Jawa, yang dibatasi

sebelah barat atau selatannya oleh busur magmatik berumur Kuarter dan

paparan Sunda di sebelah Utara.

Batas formasi dan batas umur dibedakan karena batas umur ditentukan

oleh keterdapatan fosil pada batuan, sehingga dapat saja pada satu

formasi terdapat 2 macam fosil atau lebih yang berbeda sehingga harus

dibedakan batasnya, untuk peraturan batas ini nantinya berhubungan

dengan geokronologi. Selain itu penentuan batas umur juga ditentukan

dengan cara menghitung waktu peluruhan dari unsur radioaktif yang

terkandung dalam batuan.

Contoh nama formasi yang berbeda

tapi identik dalam karakter/umur

Page 46: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

batuan serta hubungan dengan

setting tektoniknya

Comments : Leave a Comment »

Categories : Artikel Geologi

Stratigrafi   #1

6 05 2010

PETROLOGI BATUPASIR

dan

TEKTONIK SEDIMENTASI

Pengertian Batupasir

Page 47: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Batupasir adalah salah satu jenis material atau batuan sedimen klastik

yang secara dominan tersusun atas material yang berukuran pasir (1/16 –

2 mm; Pettijohn, 1987). Menurut Picard, 1971 dalam Sam Boggs, 1992,

dikatakan batupasir, bila batuan tersebut sedikitnya mengandung 75 %

material berukuran pasir sedangkan sisanya berupa material berukuran

lempung atau lanau atau campuran keduanya.

Pengenalan terhadap sifat fisik batupasir akan mempermudah dalam

menginterpretasi bagaimana tektonik sedimentasinya. Sifat fisik utama

dalam batupasir adalah komposisi mineral, tekstur dan struktur.

Komposisi mineral dalam batupasir berpengaruh terhadap penamaan

batupasir yang selanjutnya digunakan untuk menginterpretasi provenance

dan tektonik sedimentasinya. Komposisi yang menyusun batupasir cukup

bervariasi, namun hanya mineral-mineral tertentu saja yang umum dan

banyak dijumpai pada batupasir yaitu mineral kuarsa, feldspar dan

fragmen batuan. Kelimpahannya dalam batupasir akan tergantung pada

ketiga faktor utama, yaitu satu pada faktor ketersediaan suatu mineral

dalam batuan asalnya, yang kedua pada ketahanan mineral terhadap

Page 48: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

proses mekanik, dan yang ketiga pada ketahanan mineral terhadap proses

kimia.

Komposisi batupasir menurut Dickinson & Suczek, 1979 dipengaruhi

oleh karakteristik lingkungan asal sedimentasi, proses-proses sedimentasi

yang berlangsung secara alami dalam cekungan pengendapan dan proses-

proses yang berlangsung dari provenance menuju basin. Hubungan

provenance dan basin ditentukan oleh plate tektonic yang akan

mengontrol penyebaran tipe batupasir yang berbeda.

Petrologi Batupasir dan Tektonik Sedimentasi

Hubungan antara komponen batupasir dengan provenance dan tektonik

sedimentasi dapat dilihat pada diagram triangular yang dibuat oleh

Dickinson & Suczek, 1979. Dickinson & Suczek membagi provenance

batupasir kedalam tiga kelompok utama, yaitu continental block,

magmatic arc, dan recycled orogen. Setiap provenance dibagi menjadi

subprovenance yang dibedakan berdasarkan asal detritus yang dihasilkan

serta cekungan tempat detritus diendapkan. Ketiga provenance itu adalah

:

Page 49: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

1. Continental Block

Lingkungan ini menghasilkan detritus yang berasal dari daerah non

orogenic atau dari craton yang stabil dan dari daerah yang mengalami

pengangkatan secara lokal, umumnya basement yang tersesarkan.

Continental block ini dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu craton

interior dan uplifted basement yang masing-masing mencirikan batupasir

yang berbeda-beda.

Secara umum batupasir yang dihasilkan pada continental block ini adalah

jenis batupasir kuarsa (quartz arenit). Adanya fragmen batuan pada

daerah ini dapat mencerminkan bahwa basement batuan bukan saja dari

granit/gneiss tetapi mungkin juga dari batuan metamorf.

1. Craton interior

Batupasir pada daerah ini berasal dari shield yang terekspos dan hasil

siklus ulang (recycled) dari pergantian plateform yang terakumulasi ke

plateform itu sendiri disepanjang batas kontinental yang terangkat pada

shelf atau slope. Material craton yang stabil berasal dari basement

gneiss/granite yang tersingkap (mineral kuarsa dan potasium feldspar

Page 50: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

cukup melimpah dibandingkan fledspar plagioklas). Karena relief pada

craton relatif landai sehingga proses sedimentasi (transportasi dan abrasi)

ditempat itu menuju cekungan pengendapan berlangsung relatif lama,

sehingga memungkinkan terjadinya seleksi komposisi butiran.

Pada kondisi ini hanya material yang resisten yang banyak hadir pada

tempat pengendapan terakhir, misalnya kuarsa. Akibat abrasi yang relatif

lama dihasilkan kuarsa dengan butiran yang memiliki sortasi baik,

ukuran butir relatif seragam, rounded, serta kandungan lempung sedikit.

Sementara itu feldspar dijumpai lebih sedikit dibandingkan kuarsa.

Dengan kata lain batupasir pada daerah ini memiliki tingkat maturity dari

mature – supermature.

1. Uplift basement

Pada daerah ini batupasir yang dihasilkan berasal dari kontinental

basement rock yang tersesarkan, terangkat, tererosi dan terakumulasi

dekat cekungan. Dimana proses transportasi ditempat itu tidak intensif.

Karena adanya pengakatan basement dihasilkan relief yang cukup tinggi

sehingga proses transportasi dan abrasi berlangsung lebih cepat dari

Page 51: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

cratonic interior, maka proses pemilahan kurang berlangsung dengan

baik, oleh sebab itu feldspar dan kuarsa dapat dijumpai dalam jumlah

yang sama dan bercampur dengan fragmen batuan dengan butiran tidak

membulat baik, sortasi jelek, dijumpai matrik dari pelapukan feldspar.

Batupasir pada daerah ini mempunyai tingkat maturity dari submature –

mature.

Continental block provenance

1. Magmatic Arc

Daerah ini berasosiasi dengan zona tumbukan. Detritus yang dihasilkan

berasal dari arc orogen yang terserosi membentuk tipe batupasir volkanik

yang kaya lithik dan menghasilkan banyak detritus feldspar/kuarsa yang

berasal dari plutonik. Di beberapa tempat detritus-detritus dari magmatic

arc ini bercampur pada daerah forearc basin dengan debris dari komplek

subduksi.

Penyebaran sedimen dari magmatic arc

1. Recycled Orogen

Page 52: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Batuan sumber merupakan daratan yang terangkat akibat pensesaran dan

perlipatan lapisan sedimen/metasedimen yang telah mengalami siklus

ulang. Daerah ini berasosiasi dengan zona lempeng konvergen yang

mengasilkan tektonik aktif yaitu collision dan subduction. Recycled

orogen dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu subduction compleks,

collision orogen, dan foreland uplift.

1. Subduction compleks

Subduction compleks tersusun dari ophiolit yang terubah dan material

oceanic lainnya membentuk struktur yang tinggi sepanjang trench-slope

break, chert melimpah bersama-sama dengan butiran kuarsa dan feldspar.

Struktur yang tinggi ini muncul sebagai sumber sediment arc yang

menghasilkan batuan bervariasi dari greenschist, chert, argilit,

graywacke, dan beberapa batugamping. Sedimen yang berasal dari

sturktur yang tinggi ini kemudian terangkut menuju forearc basin atau ke

dalam palung yang nantinya akan tergabung ke dalam komplek subduksi.

Batupasir yang mungkin dihasilkan adalah jenis subarkose.

1. Collision orogen

Page 53: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Orogen ini terbentuk akibat tumbukan kerak benua dengan kerak benua

yang dicirikan oleh fragmen batuan sedimen dan metasedimen. Batupasir

yang terbentuk tersusun dari batuan intermediet, perbandingan kuarsa

dengan feldspar cukup tinggi, lithik fragmen dari sedimen dan

metasedimen melimpah. Beberapa jenis batupasir kuarsa menunjukkan

debris craton yang mengalami siklus ulang. Batupasir dengan kandungan

feldspar tinggi kemungkinan berasal dari terranes batuan beku yang

terangkat (terranes uplift). Batupasir dengan kandungan chert yang tinggi

mungkin berasal dari melange terranes.

Recycled orogen provenance

1. Foreland uplift

Foreland fault – thrust belt membentuk highland dimana sedimen

langsung berbatasan dengan foreland basin. Pasir yang ada dicirikan oleh

asosiasi kuarsa, chert, fragmen batuan sedimen yang diendapkan di

foreland basin. Beberapa batupasir di foreland basin mengandung

butiran detritus karbonat yang cukup tinggi hasil dari dolostone atau

batugamping yang tersingkap.

Page 54: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Contoh Kasus

Salah satu contoh kasus yang akan dibahas mengenai komposisi

batupasir dan hubungannya dengan provenance dan tektonic setting

adalah Batupasir Nias. Batupasir Nias menunjukkan indikasi asal hasil

siklus ulang tektonik daratan dari asal busur magmatik. Secara petrologi

maupun tektonik, geologi Pulau Nias dapat menerangkan kondisi geologi

daerah subduksi. Di Pulau Nias sendiri zona subduksi adalah berupa

prisma akresi yang tersingkap diatas permukaan laut dan berlokasi pada

posisi outer arc ridge (trench slope break) dari sistem arc sunda.

Singkapan di Nias menampakan perselang-selingan slab-slab dan

endapan slope basin. Urutan startigrafi satuan ini unik, lapisan diatas

lebih tua daripada lapisan dibawahnya. Fenomena ini terjadi secara

normal oleh tektonik subduksi, bukan karena lipatan membalik atau

overturned. Selain itu, tersingkap pula satuan batuan khas melange,

sehingga dengan melihat Nias bed bias terlihat bentuk prisma akresi

secara lengkap.

Pulau Nias dari waktu ke waktu mengalami pengangkatan. Hal ini terjadi

karena adanya desakan lempeng samudera. Slab prisma akresi yang

Page 55: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

terbentuk berada dibawah slap yang sudah terbentuk sebelumnya,

sehingga diperoleh urutan stratigrafi yang semakin muda ke arah bawah.

Selama pengangkatan, terjadi pergeseran antar slab membentuk slope

baru. Jaraknya semakin jauh dari garis penunjaman dan semakin besar

ukurannya.

Di sebelah barat sumatera, bukti-bukti zona subduksi itu terlihat di Nias.

Secara stratigrafi, batuan di pulau ini dipisahkan menjadi dua satuan.

Pertama endapan lereng trench (trench slope) yang tersusun oleh

batupasir yang berasal dari siklus ulang tektonik daratan. Kedua endapan

trench (melange tektonic atau batupasir melange) yang disusun oleh blok-

blok tektonik yang bercampur dan terjebakdalam matriks dalam ukuran

halus yang tergerus.

Cross section yang menunjukkan hubungan trench dengan arc

pada Sunda Trench sepanjang Pulau Nias hingga Sumatra

Penjelasan

Batupasir pada endapan lereng trench mempunyai sortasi menegah

sampai baik, menunjukan poroitas yang tinggi. Butiran kuarsa dan

Page 56: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

feldspar umumnya subangular sampai subrounded. Semen berupa

spary kalsit, dengan kelimpahan semen silika dan phyllosilicate

sedikit. Komposisi terdiri dari butiran karbonat dan fargmen

cangkang, sponge spikule dan radiolaria yang berlaku sebagai

miscellaneous. Butiran quartoze adalah komponen yang utama

pada batupasir slope. Kuarsa polikristalin menyusun kira-kira 6,5

% dari total butiran quartoze. Fragmen sedimen melimpah

sedangkan fragmen metamorf umumnya sedikit. Potasium feldpsar

dominan pada batupasir ini.

Batupasir melange (kompleks oyo) mempunyai sortasi yang jelek,

dengan jumlah butiran ( >0,03 mm) rata-rata 91,5 % dan matriks

semen rata-rata 8,5 %. Butiran kuarsa dan feldspar berbentuk

angular sampai subangular, tetapi ada sejumlah kuarsa berbentuk

subrounded sampai rounded. Fragmen litiknya subangular sampai

subrounded. Matriksnya berupa bahan rombakan yang

terkristalisasi. Antara matriks dan butiran seringkali sulit

dibedakan karena tidak ada perbedaan yang mencolok dalam

ukuran butiran dan karena butiran litik yang terdeformasi.

Page 57: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Batupasir melange mempunyai semen berupa intergrowth antara 

serisit dan klorit. Semen silika kadang-kadang hadir tetapi semen

karbonat tidak ada sama sekali.

Comments : 5 Comments »

Categories : Artikel Geologi

Hidrogeologi   #2

6 05 2010

Kualitas Airtanah (Pulau Kecil)

Kualitas airtanah di alam dapat berupa airtanah dangkal dan airtanah

dalam (Rozi, 1995). Airtanah dangkal berada pada kedalaman di bawah

20 meter, sumber inilah yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat

sebagai sumber air bersih.

Kualitas airtanah dangkal menurut Rozi (1995) sangat dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan disekitarnya, antara lain :

Page 58: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

1. Bila jarak antara sumur dan septik tank kurang dari 10 meter untuk

tanah biasa dan 15 meter untuk tanah porous atau gembur.

2. Bila lokasi sumur tersebut sebelumnya merupakan lokasi sumber

limbah rumah tangga, dekat pembuangan limbah industri atau

bekas lokasi sampah (TPA).

3. Masuknya atau merembesnya air permukaan yang telah tercemar

kedalam sumur.

4. Masuknya debu atau bahan pencemar lainnya kedalam sumur

terbuka atau yang terbawa pada saat hujan.

Untuk airtanah di pulau kecil yang berbatasan dengan laut, Saefudin

(2000) mengungkapkan bahwa kualitasnya akan dipengaruhi oleh kontak

air tawar dari daratan dengan air asin dari lautan. Indikator yang dapat

dipakai secara cepat terutama dilapangan ialah besarnya Daya Hantar

Listrik (DHL) dimana pengukuran dilakukan secara ”insitu”

menggunakan alat portable EC meter. Makin tawar air makin sedikit ion

yang terlarut, sehingga makin rendah kualitas air dari segi estetika, yaitu

rasa asin.

Page 59: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Komite bersama antara LIPI, DPMA, GTL dan Departemen PU membuat

panitia Ad Hoc Intrusi Air Asin (Sihwanto, 1990 dalam Saefudin, 2000)

telah berhasil membuat kriteria air berdasarkan DHL, kandungan Cl-, dan

TDS sebagai berikut :

Tabel 1. Klasifikasi tingkat keasinan airtanah (Sihwanto, 1990 dalam

Saefudin, 2000).

Kualitas TDS (mg/l) DHL (mmho/cm) Cl- (mg/l)

Tawar < 1000 < 1500 < 500

Agak Payau > 1000 – < 3000 > 1500 – <5000 > 500 – < 2000

Payau > 3000 – <10000 > 5000 – < 15000 > 2000 – < 5000

Asin > 10000 – < 35000 > 15000 – < 50000 > 5000 – < 19000

Brine > 35000 > 50000 > 19000

Tabel 2. Klasifikasi air berdasarkan DHL (Mandel, 1981 dalam

Syahwan, 2007)

DHL (mmho/cm) pada Suhu 250 C Macam Air

< 0,5 Air murni

0,5 – 5 Air suling

Page 60: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

5 – 30 Air hujan

30 – 2000 Airtanah

35000 – 45000 Air laut

> 100000 Air garam

Tabel 3. Klasifikasi  air berdasarkan jumlah garam terlarut (Davis dan

De wiest dalam Syahwan, 2007)

DHL (mmho/cm) pada Suhu 250 C Macam Air

< 0,5 Air murni

0,5 – 5 Air suling

5 – 30 Air hujan

30 – 2000 Airtanah

35000 – 45000 Air laut

> 100000 Air garam

Menurut Saefudin (2000), karena letaknya yang sebagian besar

berbatasan dengan laut, maka keadaan airtanah di pulau kecil akan

tergantung kepada kondisi air tawar di darat berupa aliran airtanah serta

Page 61: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

besarnya gradien hidrolik dan tekanan air asin dari laut yang berkaitan

dengan pasang-surut. Masih menurut Saefudin (2000), ada dua fenomena

yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas airtanah di pulau kecil

yaitu terjadinya penyusupan air laut (salt water intrusion), dan gangguan

air laut (salt water encroachment).

Menurut Fetter (1994) dalam Saefudin (2000), sumber air asin yang

dapat menyusup kedalam airtawar atau terjadinya air asin di daerah

pantai bisa berupa air tertekan yang sudah ada sejak jaman purba

(connate water), air di batas pertemuan air laut dan tawar (mixing zone),

air permukaan dari laut yang menyusup melalui sungai atau saluran air

sampai jauh ke arah darat saat pasang naik airlaut, atau air asin bawah

permukaan di bawah air tawar (sub-surface salt water).

Fetter (1994) dalam Saefudin (2000) juga menyebutkan bahwa kualitas

airtanah di pulau kecil akhirnya akan tergantung kepada kekuatannya

apakah akan terjadi pencucian air asin oleh air tawar (flushing) sehingga

kualitasnya menjadi lebih baik ataukah sebaliknya terjadi penyusupan air

asin ke dalam air tawar ke arah daratan sehingga kualitas airtanahnya

menjadi lebih buruk.

Page 62: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Adanya pengaruh air asin terhadap air tawar, selain dapat dilihat dari

nilai DHL, bisa juga secara lebih rinci dilihat dari kandungan ion – ion

utama dalam air. Secara umum air tawar termasuk tipe Ca-HCO3 yang

intinya mempunyai ion dominan kalsium dan bikarbonat, sedangkan air

laut mempunyai tipe Na-Cl artinya didominasi oleh ion natrium dan

klorida. Diantara kedua tipe tadi bisa terdapat tipe Ca-Cl atau Na-HCO3,

disamping tipe lain yang dipengaruhi oleh kejadian setempat misalnya

adanya sulfat di daerah bekas rawa. Karena proses pertukaran ion,

apabila terjadi pencucian air asin oleh air tawar maka akan muncul air

dengan tipe Na-HCO3, sebaliknya apabila terjadi gangguan atau

penyusupan air laut akan terjadi tipe Ca-Cl (Appello, 1991 dalam dalam

Saefudin, 2000).

Sumberdaya airtanah di pulau kecil dapat mengalami pencucian

(flushing) oleh air tawar sebagai imbuhan dari arah daratan sehingga

kualitasnya menjadi semakin baik, atau sebaliknya mengalami penurunan

kualitas sebagai akibat intrusi oleh air laut (Anonim, 1997 dalam

Saefudin, 2000).

Page 63: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Menurut Falkland (1990) pengelolaan kualitas air di pulau kecil memiliki

kealamian yang terfokus dalam area dekat pantai seperti muara, teluk,

dan lagoon. Area ini memiliki populasi tinggi dan ekologi yang sensitif.

Penggangguan airlaut merupakan masalah serius dan paling utama untuk

mutu/kualitas airtanah di pulau kecil. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya

pulau kecil sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah pesisir.

Selain penggangguan dari airlaut, penggangguan lain dapat berasal dari

polusi sumur – sumur dan sungai – sungai yang ada. Polusi ini

disebabkan karena tidak terkontrolnya penggunaan pupuk herbisida, dan

pestisida. Hal ini terutama sekali mudah terjadi pada wilayah formasi

batukarang.

Masih menurut Falkland (1990) pulau kecil pada daerah tropis atau

lembab disaat hujan lebat dikombinasikan dengan faktor lokal seperti

topografi yang curam, saluran air sungai yang pendek, penebangan hutan,

dan tanah yang mudah terkikis akan mengakibatkan pengendapan pada

tempat penyimpanan air (water storages) sehingga kapasitas atau daya

tampungnya berkurang.

Page 64: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Oleh karena itu untuk pemenuhan kebutuhan akan air di pulau kecil

dengan kualitas yang cukup baik, diperlukan pengembangan sumber daya

air  tidak konvensional seperti desalinisasi air laut, atau impor air dengan

tongkang dan tangki/tank mencukupi permintaan untuk air.

Comments : Leave a Comment »

Categories : Artikel Geologi

Hidrogeologi   #1

6 05 2010

Cekungan Airtanah Yogyakarta

Cekungan airtanah Yogyakarta berada di bagian selatan lereng

Gunungapi Merapi yang dibatasi oleh dua sungai utama yaitu Sungai

Opak di bagian timur dan Sungai Progo di bagian barat. Di bagian selatan

cekungan ini dibatasi oleh Samudera Hindia. Secara morfologis

rangkaian perbukitan Kulon Progo di bagian barat laut dan rangkaian

Page 65: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Perbukitan Baturagung di bagian tenggara juga membatasi cekungan

Yogyakarta. Secara geologis, cekungan Yogyakarta dibatasi oleh sesar

utama yaitu, sesar sepanjang Kali Opak di bagian timur dan sepanjang

Kali Progo di bagian barat. Selain itu, di dalam cekungan Yogyakarta

terdapat juga beberapa sesar turun yang berpasangan, antara lain yang

membentuk Graben Bantul dan Graben Yogyakarta (Sir M. Mac Donald

and Partner, 1984).

Sistem hidrogeologi yang dibentuk oleh Formasi Yogyakarta dan

Formasi Sleman dalam cekungan Yogyakarta membentuk tatanan akuifer

yang disebut Sistem Akuifer Merapi (SAM). SAM secara hidrologis

membentuk satu sistem akuifer, terdiri atas akuifer berlapis banyak

(multilayer aquifer) yang memiliki sifat-sifat hidrolika relatif sama dan

saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

Secara umum, air bawah tanah mengalir dari utara ke selatan dengan

landaian hidrolika yang secara bergradrasi semakin kecil. Morfologi air

bawah tanah menyerupai bentuk kerucut dan menyebar secara radial.

Bentuk ini merupakan ciri khas morfologi air bawah tanah daerah

gunungapi. Daerah imbuhan (recharge area) berada di bagian lereng atau

Page 66: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

tubuh gunungapi. Air bawah tanah berasal dari peresapan air hujan dan

secara tidak langsung juga dari peresapan air sungai dan air irigasi di

daerah pertanian. Daerah pelepasan (discharge area) berada mulai sekitar

Saluran Mataram sampai daerah Bantul selatan. Di daerah selatan, air

bawah tanah pada Formasi Sleman memiliki energi potensial yang relatif

besar dan mengalir pada litologi yang memiliki sifat fisik relatif sama

dengan Formasi Yogyakarta sehingga terjadi aliran bawah tanah secara

vertikal dari Formasi Sleman ke Formasi Yogyakarta.

Ketebalan SAM sangat beragam, secara umum ketebalannya bertambah

besar kea rah selatan. Di daerah Graben Yogyakarta, yaitu daerah

Ngaglik, ketebalan SAM mencapai 80 meter, di daerah Bedog dan

Karanggayam sekitar 140 meter, dan di daerah Kota Yogyakarta

mencapai 150 meter. Ketebalan ini berkurang kembali di luar Graben

Yogyakarta yatu sekitar 45 meter di selatan Yogyakarta. Di daerah

Graben Bantul yaitu di sekitar Kota Bantul ketebaln SAM meningkat

kembali menjadi 125 meter.

Page 67: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Litologi utama penyusun Cekungan Yogyakarta adalah Formasi

Yogyakarta di bagian atas dan Formasi Sleman di bagian bawahnya yang

merupakan endapan volkaniklastik dari Gunung Merapi.

Comments : 1 Comment »

Categories : Artikel Geologi

2nd English   Sector

2 04 2010

The Most Dangerous Disasters in Indonesia

Introduction

Disaster, bad enough or no is always identical with a serious bad

situation. Disasters are events that threaten and disrupt community life

caused by natural factors or unnatural factors and human factors that lead

to the emergence of the human casualties, environmental damage,

property loss, and psychological impact

Page 68: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

(http://en.wikipedia.org/wiki/Disaster). In this case, the disaster meant

here is a natural disaster. A natural disaster is a physical event that occurs

due to natural events like earthquakes, volcanic eruptions and landslides.

Humans can’t manage an emergency situation so that a human loses of

property and infrastructure, even until death. Losses due to natural

disasters depend on the ability of humans to prevent or avoid disasters.

Many natural disasters that occur in Indonesia because the position of

Indonesia is very complex based on the point of view of geologist.

Disasters that occur in Indonesia are something like earthquakes,

tsunamis, volcano eruption, landslide, floods, storms, forest fires, etc.

From various kinds of natural disasters, earthquakes, volcano eruptions,

and landslides are dangerous disasters that often happen in Indonesia.

There are many reasons that earthquake, volcanic eruption, and landslide

are dangerous disasters that often happened in Indonesia.

I. Indonesia Has a Rock Basement That Always Moves Every Year

Earth is made up of several layers of rock. The outermost layer of rock is

the crust. The crust is divided into several sections and then the crust

Page 69: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

moves known as plate tectonic movement. Plate tectonics is each plate

move or less independently and grinds against the others, concentrating

most deformation, volcanism, and seismic activity along the periphery

(Parker, 1984). On the other hand, plate tectonics is a scientific theory

which describes the large scale motions of Earth’s lithosphere

(http://en.wikipedia.org/wiki/Plate_tectonic).

Plate tectonic is called a plate because the thickness reaches only about

100 kilometers while the length can reach thousands of kilometers. On

earth there are seven major tectonic plates and several small tectonic

plates. They move relative into each other at plate boundaries, divergent

(spreading), convergent (collision), or transform. Earthquakes, volcanic

activity, mountain formation, and oceanic trench formation generally

occurs in areas along plate boundaries.

A. the Area is Among Three Plate Tectonics

In Indonesia there are also large tectonic plates that cause the rock

basically to move every year. This is because Indonesia becomes an

archipelagic state. Plate tectonics is located along the southern coast of

Page 70: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Sumatra Island, the southern coast of Java Island, the southern coast of

Bali Island, the southern coast of Southeast Nusa Island, and West Papua

Island also the eastern of Sulawesi Island. Tectonic plates that move in

the territory of Indonesia, namely: Eurasian plate, Indo-Australian plate,

and Pacific plate.

-                        Eurasian plate

The Eurasian Plate is a tectonic plate which includes most of the

continent of Eurasia (a landmass consisting of the traditional continents

of Europe and Asia), with the notable exceptions of the Indian

subcontinent, the Arabian subcontinent, and the area east of the Chersky

Range in East Siberia (http://en.wikipedia.org/wiki/Eurasian_plate)

-                        Indo-Australian plate

The Indo-Australian Plate is a major tectonic plate that includes the

continent of Australia and surrounding ocean, and extends northwest to

include the Indian subcontinent and adjacent waters

(http://en.wikipedia.org/wiki/Indo-Australian_Plate).

Page 71: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

-                        Pacific plate

The Pacific Plate is an oceanic tectonic plate beneath the Pacific Ocean

(http://en.wikipedia.org/wiki/Pacific_plate). In the other hand, the Pacific

Plate is a continental margin typified by that of the western Pacific where

oceanic lithosphere descends beneath an adjacent continent and produces

an intervening island arc system (Parker, 1984).

B. the Area is on Subduction Zone

Each tectonic plates moves relative to each other to achieve a dynamic

balance. The meeting of tectonic plates is called a subduction zone.

Result from collisions between tectonic plates is an earthquake which is

referred to as tectonic earthquakes. This is the answer to the question of

why earthquakes frequently occur in Indonesia.

In geology, subduction is the process that takes place at convergent

boundaries by which one tectonic plate moves under another tectonic

plate, sinking into the Earth’s mantle, as the plates converge

(http://en.wikipedia.org/wiki/Subduction). According to Parker (1984),

subduction is the process by which one crustal block descends beneath

Page 72: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

another, such as the descent of the Pacific plate beneath the Eurasian

plate along the Sumatra Trench. A subduction zone is an area on Earth

where two tectonic plates move towards one another and subduction

occurs (http://en.wikipedia.org/wiki/Subduction). Still according to

wikipedia.com, rates of subduction are typically measured in centimeters

per year, with the average rate of convergence being approximately 2 to 8

centimeters per year (about the rate a fingernail grows).

II. Indonesia Has a Volcanic Arc from West until East

In the territory of Indonesia there are many volcanoes ranging from Aceh

on the Sumatra Island to the west of the Papua Island. This is known as

volcanic arc. This is the reason that volcanic eruptions are dangerous

disasters that often happened in Indonesia.

A. Melting of Rock Basement Because of Subduction Process

Many volcanoes in Indonesia are due to subduction processes that occur

in the basement rocks of Indonesian territory. Because the subduction

process is thaw the bedrock so that the molten rock rose into the surface

and form volcano morphology on the surface of the earth. This is

Page 73: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

evidenced by the formation of a volcanic arc relatively parallel to the

subduction zone.

B. Magmatic Activity

Magmatic activity is the movement of magma within the bowels of the

earth because of pressure differences and temperature differences.

As a result of magma movement is could be an earthquake and it called

volcanic earthquakes. Then if the movement of magma is very large and

able to reach the surface there will be a volcanic eruption. Magmatic

activity is caused by two main things, namely:

-                        Pressure difference

-                        Temperature difference

Conclusion

Natural disasters are a natural phenomenon that cannot be avoided. These

phenomena occur in almost any area. Wherever we live, natural disasters

will always be around us because we live in nature. Natural disasters are

Page 74: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

caused by natural disasters on our control or natural disasters beyond our

control. Natural disasters may be the changes the earth’s surface, climate

change, and various natural phenomena that can lead to other natural

disasters. Indonesia is a large country with large natural disasters and

non-natural disasters. Either volcanic earthquakes or tectonic

earthquakes, landslides or scientifically called mass movements, and

volcanic eruptions is natural disasters of the greatest and most often

occur in Indonesia and we really need to aware of it.

Comments : Leave a Comment »

Categories : Artikel Geologi

Geologi Struktur   Indonesia

29 03 2010

Evolusi Morfotektonik Zona Rembang

BAB I.  STRATIGRAFI

Page 75: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Mandala Rembang termasuk dalam cekungan Jawa Timur utara. Secara

historis penggunaan nama-nama satuan stratigrafis pada zona ini semula

hanya digunakan secara terbatas, tak terpublikasikan, pada dilingkungan

perusahaan minyak Belanda BPM (Batafsche Petroleum Maatschapij),

yaitu pendahulu perusahaan Shell, yang dulu memegang konsesi daerah

Cepu. Nama-nama formasi secara resmi baru mulai digunakan oleh Van

Bemmelen (1949) dan Stratigraphic Lexicon of Indonesia oleh Marks

(1957). Harsono (1983) melakukan perubahan dari nama-nama tak resmi

seperti globigerina marl atau Orbitoiden-Kalk dengan memberikan nama

yang baru, menetapkan lokasi tipe, sesuai dengan Sandi Stratigrafi

Indonesia. Penentuan umur secara teliti dari setiap formasi dengan

menggunakan pertolongan fosil foraminifera plangtonik telah dilakukan

oleh Harsono (1983).

Zona rembang dimulai dari ujung barat perbukitan di selatan Demak,

memanjang ke arah timur dan timur laut memasuki wilayah Jawa Timur,

memanjang melewati Pulau Madura, terus ke arah timur hingga ke Pulau

Kangean. Arah memanjang perbukitan tersebut mengikuti sumbu-sumbu

lipatan, yang pada umumnya berarah barat-timur. Di beberapa tempat

Page 76: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

sumbu-sumbu ini mengikuti pola en echelon yang menandakan adanya

sesar geser lateral kiri (left lateral wrenching faulting).

Bagian utara dari antiklinorium rembang yang mengandung formasi

batuan berumur miosen awal, telah mengalami pengangkatan dan erosi.

Suatu kelompok antiklin yang terdapat di bagian selatan dikenal sebagai

zona rembang tengah dan selatan, juga sering disebut sebagai Cepu

Trend. Batuan tertua yang tersingkap di bagian ini berumur miosen akhir,

yang kebanyakan mengandung minyak. Batuan yang berfungsi sebagai

reservoar hidrokarbon yang utama di daerah rembang adalah batupasir

ngrayong (miosen tengah) sedangkan penyumbat atau (seal)nya adalah

batulempung wonocolo yang berumur miosen akhir.

Pada zona rembang bagian utara terdapat 2 gunung api pleistosen, yaitu

Gunung Muria dan Lasem. Gunung api yang telah padam ini mempunyai

komposisi batuan yang lain apabila dibandingkan dengan gunung api

yang lain. Komposisinya bukan andesit tetapi berupa batuan beku yang

kaya akan leucite (feldspatoid), mirip dengan batuan yang tergolong pada

kelompok gunung api mediteranian suite, seperti yang dijumpai di

Atlantika.

Page 77: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Zona Rembang terbentang sejajar dengan zona Kendeng dan dipisahkan

oleh depresi Randublatung, suatu dataran tinggi terdiri dari antiklinorium

yang berarah barat-timur sebagai hasil gejala tektonik Tersier Akhir

membentuk perbukitan dengan elevasi yang tidak begitu tinggi, rata-rata

kurang dari 500 m. Beberapa antiklin tersebut merupakan pegunungan

antiklin yang muda dan belum mengalami erosi lanjut dan nampak

sebagai punggungan bukit. Zona Rembang merupakan zona patahan

antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang

lebih dalam di selatan (cekungan Kendeng). Litologi penyusunnya

campuran antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung

dan napal laut dalam.

Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, F. Kujung,

F. Prupuh, F. Tuban, F. Tawun, F. Ngrayong, F. Bulu, F. Wonocolo, F.

Ledok, F. Mundu, F. Selorejo, dan F. Lidah.

Formasi Kujung

Tersusun oleh serpih dengan sisipan lempung dan secara setempat berupa

batugamping baik klastik maupun terumbu. Diendapkan pada lingkungan

Page 78: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

laut dalam sampai dangkal pada kala Oligosen Akhir sampai Miosen

Awal.

Formasi Tuban

Tersusun oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping.

Semakin ke selatan berubah menjadi fasies serpih dan batulempung

(Soejono, 1981, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006). Diendapkan pada

lingkungan neritik sedang-neritik dalam.

Formasi Tawun

Tersusun oleh serpih lanauan dengan sisipan batugamping. Pada bagian

atas formasi ini didominasi oleh batupasir yang terkadang lempungan dan

secara setempat terdapat batugamping. Satuan di bagian atas ini sering

disebut sebagai Anggota Ngrayong. Diendapkan pada laut terbuka agak

dalam sampai laut dangkal di bagian atas pada Miosen Tengah (N9-N13)

(Rahardjo & Wiyono, 1993, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006).

Formasi Tawun dimasa lalu disebut sebagai Lower Orbitoiden-Kalk

(Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang beds

Page 79: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

(Van Bemmelen, 1949). Selanjutnya Koesoemadinata (1978)

menamakannya sebagai Anggota Tawun dari Formasi Tuban. Pada tahun

1983, Harsono menaikkan status anggota ini menjadi Formasi (tabel

III.1). Menurut Harsono Formasi Tawun ini tersusun oleh perselingan

antara gypsiferous carbonaceous shale dengan struktur gelembur arus,

serta batugamping yang kaya akan foraminifera besar golongan

Orbitoidae seperi Lepidocyclina. Singkapan yang dijumpai merupakan

bagian teratas dari Formasi ini, tersusun oleh batulempung abu-abu

kehijauan dengan sisipan batugamping dan batupasir. Didaerah sekitar

desa Ngampel terdapat singkapan dari Formasi ini setebal 30 m.

Perlapisannya mengandung fosil foraminifera plangtonik yang

menunjukkan umur N 8 (Akhir Miosen Awal) berupa kumpulan spesies :

Globigerinoides diminutus, Pareorbulina transtoria dan Globigerinoides

sicanus. Sedangkan kandungan foraminifera bentoniknya menunjukkan

bahwa Formasi ini diendapkan pada kondisi laut sangat dangkal pada

kondisi penguapan yang sangat tinggi. Ke arah atas litologi ini ditumpuki

oleh batupasir merah hingga merah jambu, dengan gejala struktur silang

siur yang menjadi ciri dari batupasir Ngrayong.

Page 80: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Formasi Ngrayong

Anggota ini juga disebut “Upper Orbitoiden-Kalak” oleh Trooster

(1937), Van Bemmelen (1949) menamakan Upper Rembang beds. Nama

batupasir anggota Ngrayong telah diperkenalkan Brouwer (1957), yang

mengajukan tipe local pada desa Ngrayong, Jatirogo, dimana susunan

utamanya batupasir dengan intercalation batubara dan sandy clay.

Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota formasi

Tawun, terdiri dari orbitoid limestone dan shale dalam bagian bawah dan

batupasir dengan intercalation batugamping dan lignit di bagian atas.

Umur dari unit ini Miosen Tengah, pada area N9-N12. Lingkungan

pengendapan dari anggota ini fluvial atau submarine dalam singkapan di

sebelah utara (Jatirogo, Tawun) dan menjadi lingkungan laut pada bagian

selatan. Di dekat Ngampel sekuen pasir endapan laut yang mendangkal

ke atas dari shore face ke pantai akan terlihat anggota ini mungkin

berhubungan dengan haitus di atas area mulut laut jawa. Anggota ini

merupakan reservoar utama dari lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat

adanya shale yang hadir di bagian selatan dan timur dari lapangan ini.

Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih dari 300 m).

Page 81: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Formasi Bulu

Semula formasi ini disebut sebagai Platen–Complex oleh Trooster

(1937). Tersusun oleh batugamping pasiran yang keras, berlapis baik,

berwarna putih abu-abu, dengan sisipan napal pasiran. Pada

batugampingnya dijumpai banyak foraminifera yang berukuran sangat

besar dari spesies Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus berasosiasi

dengan fragmen koral dan alga serta foramnifera kecil. Harsono (1983)

menggunakan nama Formasi Bulu sebagai nama Resmi, dengan

memasang lokasi tipe di Sungai Besek, dekat desa Bulu, Kabupaten

Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel

III.1.

Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar

luas terutama di wilayah antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini

menebal ke arah barat, mencapai ketebalan hingga 360 m di sungai

Larangan. Dibagian timur di sungai Besek dekat desa Bulu ketebalannya

hanya 80 meter. Kondisi litologi dan kandungan fosilnya menunjukkan

bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka pada Kala

Miosen Tengah – Awal Miosen Akhir (N 13 – N 15).

Page 82: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Formasi Wonocolo

Tersusun dari napal kuning-coklat, mengandung glaukonit, terdapat

sisipan kalkarenit dan batulempung. Menurut Purwati (1987, dalam

Panduan Fieldtrip GMB 2006) lingkungan pengendapan formasi ini

adalah neritik dalam hingga bathyal tengah pada Miosen Tengah-Miosen

Atas (N14-N16).

Formasi Wonocolo semula disebut sebagai anggota bawah dari Formasi

Globigerina oleh Trooster (1937). Formasi ini menumpang secara selaras

di atas formasi bulu dan ditumpangi oleh Formasi Ledok. Pada umumnya

tersusun oleh napal dan napal lempungan yang tidak berlapis, kaya akan

kandungan foraminifera plangtonik. Pada bagian bawahnya dijumpai

sisipan batugamping pasiran dan batupasir gampingan dengan ketebalan

bervariasi antara 5–20 cm. Urutan ini menunjukkan bahwa selama

pengendapannya terjadi kondisi transgresif. Marks (1957) dan Harsono

(1983) menyimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen

Tengah – Miosen Akhir kisaran umur N 14 – N 16. (lihat tabel III.1).

Page 83: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Singkapan dari Formasi Wonocolo dijumpai mulai dari daerah Sukolilo,

barat daya Pati. Ketebalan dari Formasi ini sangat bervariasi. Ke arah

utara formasi ini berubah fasies menjadi batugamping dari Formasi

Paciran. Melimpahnya fauna plangtonik pada batuan penyusun formasi

ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung pada laut yang

relatif dalam, wilayah ambang luar hingga batial atas.

Formasi Ledok

Secara selaras di atas Formasi Wonocolo terdapat Formasi Ledok.

Trooster (1937) menganggap satuan ini sebagai anggota dari Formasi

Globigerina, namun para peneliti sesudahnya menganggap berstatus

formasi (Marks, 1957; Harsono, 1983).  Formasi Ledok secara umum

tersusun oleh batupasir glaukonitan dengan sisipan kalkarenit yang

berlapis bagus serta batulempung yang berumur Miosen Akhir (N 16–N

17). Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.

Ketebalan dari Formasi Ledok ini sangat bervariasi. Pada lokasi tipenya,

yaitu daerah antiklin Ledok, ketebalannya mencapai 230 m. Di daerah

sungai Panowan mencapai 160 m, sedangkan di sungai Cegrok tinggal 50

Page 84: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

m. Batupasirnya kaya akan kandungan glaukonit dengan kenampakan

struktur silang siur. Di beberapa tempat batupasir tersebut terutama

tersusun oleh hanya oleh test foraminifera plangtonik dengan sedikit

mineral kuarsa. Secara keseluruhan bagian bawah dari formasi ini

cenderung tersusun oleh batuan yang berbutir lebih halus dari bagian

atas, menunjukkan kecendrungan kondisi pengendapan laut yang

semakin mendangkal (shallowing-upward sequence). Ke arah utara,

seperti halnya Formasi Wonocolo, Formasi Ledok ini juga mengalami

perubahan fasies menjadi batugamping dari formasi Paciran.

Formasi Mundu

Satuan stratigrafi ini semula disebut sebagai Mundu stage oleh Trosster

(1937). Selanjutnya oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai

Globigerina Marls. Oleh Marks (1957) satuan ini diresmikan sebagai

Formasi. Formasi ini tersusun oleh napal masif berwarna putih abu-abu,

kaya akan fosil foraminifera plangtonik. Secara stratigrafis Formasi

Mundu terletak tidak selaras di atas formasi ledok, penyebarannya luas,

dengan ketebalan 200 m–300 m di daerah antiklin Cepu area, ke arah

selatan menebal menjadi sekitar 700 m. Formasi ini terbentuk antara

Page 85: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Miosen Akhir hingga Pliosen (N 17–N 21), pada lingkungan laut dalam

(bathyial).

Formasi Selorejo

Unit ini pembentukannya disebut Selorejo Beds oleh Trooster, 1937,

yang telah diklasifikasikan sebagai anggota dair Formasi Lidah oleh Udin

Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978). Sejak Harsono (1983)

tidak melakukan pengamatan ketidakselarasan antara Formasi Lidah dan

Mundu. Dia memasukkan anggota Selorejo dalam Formasi Mundu. Tipe

lokalnya dari Desa Selorejo dekat Cepu dan terdiri lebih keras dan lebih

lunak antar lapisan, menyisakan kebanyakan glaukonit. Dari foraminifera

dianggap lingkungan laut dalam.

Satuan batuan ini semula oleh Trooster (1937) disebut sebagai Selorejo

beds. Selanjutnya Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978)

menyebutnya sebagai anggota dari Formasi Lidah. Harsono (1983)

menyimpulkan bahwa Selorejo ini merupakan anggota dari Formasi

Mundu. Lokasi tipenya terletak di desa Selorejo dekat kota Cepu.

Page 86: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Anggota Selorejo ini tersusun oleh perselingan antara batugamping keras

dan lunak, kaya akan foraminifera palngtonik serta mineral glaukonit.

Penyebaran dari Anggota Selorejo ini tidak terlalu luas, terutama

meliputi daerah sekitar Blora, sebelah utara Cepu (desa Gadu) dan di

selatan Pati. Ketebalannya berkisar antara 0 hingga 100 meter.

Berdasarkan kandungan foraminifera palngtonik, umur dari Anggota

Selorejo adalah Pliosen ( N 21).

Formasi Lidah

Formasi ini terdiri atas batulempung kebiruan, napal berlapis dengan

sisipan batupasir dengan lensa-lensa coquina. Dahulu Trooster (1937)

menyebutnya sebagai Mergetton, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu

Tambakromo dan Turi–Domas. Harsono (1983) kemudian meresmikan

satuan ini menjadi berstatus formasi, yaitu Formasi Lidah (tabel III.1).

Bagian terbawah dari formasi ini diduga merupakan endapan neritik

tengah hingga neritik luar, yang tercirikan oleh banyaknya fauna

plangtonik tetapi masih mengandung foraminifera bentonik yang

mencirikan air relatif dangkal seperti pseudorotalia sp. dan Asterorotalia

Page 87: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

sp. Ke arah atas, terjadi urutan yang mendangkal ke atas (shallowing

upward sequence), yang dicirikan oleh lapisan-lapisan yang kaya akan

moluska.

I.1.7 Formasi Paciran

Satuan ini semula oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Karren

Limestone. Secara umum penyusunnya terdiri atas batugamping pejal,

dengan permukaan singkapan-singkapannya mengalami erosi

membentuk apa yang disebut sebagai karren surface. Harsono (1983)

secara resmi menggunakan nama Paciran dan menempatkannya pada

status formasi, dengan lokasi tipenya berada di daerah bukit piramid di

sekitar Paciran, kabupaten Tuban. Formasi ini dijumpai hanya dibagian

utara dari Zona Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat

dilihat pada tabel III.1. Umur dari Formasi ini masih memicu terjadinya

perbedaan. Harsono (1983) menempatkannya pada Kala Pliosen–Awal

Pleistosen, yang secara lateral setara dengan Formasi Mundu dan Lidah.

Namun di beberapa tempat terdapat bukti umur yang menunjukkan

bahwa Formasi Paciran telah berkembang pada saat pembentukan

Formasi Ledok dan Wonocolo.

Page 88: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

BAB II STRUKTUR GEOLOGI

Pulau jawa mempunyai dua macam konfigurasi struktur (structural

grains) yang berbeda. Di bagian utara tercirikan oleh kecendrungan

mengikuti arah timur-barat. Pola timurlaut–baratdaya diduga mengikuti

konfigurasi basement. Basement-nya sendiri diduga merupakan bagian

dari kerak benua yang berumur Pre Tersier, tersusun oleh mélange,

ofiolit dan bagian dari jenis kerak benua lain. Pola struktur yang berarah

timur–barat ini sesuai dengan busur volkanik Tersier yang juga berarah

timur–barat (Hamilton, 1978). Cekungan Jawa Timur, dimana Kendeng

dan Rembang terletak, kemungkinan terletak pada kerak perantara

(intermediate crust) dari kelompok mélange yang berangsur berubah

menjadi kerak samudra, yang mungkin terdapat pada penghujung timur

dari cekungan ini.

Pada bagian barat cekungan Jawa Timur nampak adanya kecendrungan

arah morfologi dan struktur timur–barat (gambar IV.1). Hal ini dapat

dibandingkan dengan cekungan selatan (Southern Basin). Daratan

tersebut mencakup zona Rembang dan Zona Kendeng serta

kelanjutannya, yang dibagian utara dibatasi oleh tinggian Kujung-

Page 89: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Kangean–Madura–Sepanjang yang terbentuk sebagai akibat sesar geser

(wrench related). Ke arah selatan zona ini dibatasi oleh jalur gunung api

kuarter. Cekungan ini kemungkinan terbentuk sejak Eosen hingga akhir

Oligosen oleh suatu tektonik ekstensional, yang kemudian diikuti oleh

fase tektonik inverse sejak awal Miosen hingga Holosen. Pada fase

inversi ini dibagian utara dari cekungan ini mengalami pengangkatan

(zona Rembang) sedangkan pada bagian selatannya masih berupa

cekungan laut dalam (zona Kendeng).

Dalam kerangka tektonik regional maka proses pembentukan struktur

Tersier di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 periode :

1. Paleogen Extension Rifting

2. Neogen Compressional Wrenching

3. Plio – Pleistocene Compressing Thrust – Folding

Fase ekstensional Paleogene menghasilkan graben / half graben dan

sesar-sesar yang mempunyai arah pemanjangan timur–barat. Selanjutnya

pada fase kompresi pada Awal Miosen terjadi reaktivasi dari sesar

Page 90: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

ekstensional yang sebelumnya telah ada, yang menunjukkan adanya

kontrol  tektonik terhadap pembentukan awal cekungan.

Periode Neogen Compressional Wrenching ditandai oleh pembentukan

sesar-sesar geser, yang terutama terjadi akibat gaya kompresif dari

tumbukan lempeng Hindia. Sesar geser yang terjadi membentuk orientasi

tertentu, yang berhubungan dengan kompresi utama. Sebagian besar

pergeseran sesar merupakan reaktivasi dari sesar-sesar normal yang

terbentuk pada periode Paleogen.

Periode Plio – Pleistocene Compressional Thrust – Folding ditandai oleh

pembentukan lipatan yang berlanjut pada pembentukan sesar-sesar naik.

Antiklinorium dan thrust belt yang terjadi memiliki orientasi tertentu

yang berhubungan dengan arah kompresi dan kinematika

pembentukannya. Pada zaman Neogen cekungan Jawa Timur bagian

utara mengalami rezim kompresi yang menyebabkan reaktivasi sesar-

sesar normal tersebut dan menghasilkan sesar-sesar naik.

Pada jaman Pre-Tersier lempeng Jawa Timur mengalami penunjaman

dibawah lempeng Sunda, mengkuti arah memanjang zona penunjaman

Page 91: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

kurang lebih N 600 E, penunjaman ini berakibat pemendekan lempeng

pada arah tegaklurus arah penunjaman. Pada saat itu cekungan Jawa

Timur barangkali masih berupa cekungan muka busur (fore arc basin).

Pada Awal Miosen atau lebih tua, tektonik ekstensi bekerja di zona

Rembang. Ekstensi ini kemudian diikuti oleh serangkaian tegasan

kompresif yang menjadi aktif sejak Akhir Miosen hingga Holosen

dengan arah yang bergeser dari arah timur laut. Kompresi ini juga

bekerja pada zona Kendeng sejak Akhir Miosen dan seterusnya. Namun

rekaman stratigrafis dari peristiwa ini hanya dapat diamati pada bagian

bawah dari Formasi Kerek. Kompresi ini juga menjadi semakin lemah

selama pembentukan sedimen yang lebih muda.

BAB III. MORFOTEKTONIK

Evolusi Morfotektonik zona rembang berdasarkan data stratigrafi dan

struktur geologinya dapat dibagi menjadi 4 fase:

1. Fase  Tektonik pertama yang terjadi selama tersier sampai awal

Oligocene yang mengendapkan formasi Ngimbang dan Kujung

yang diendapkan diatas basement yang berupa mélange dan ofiolit.

Page 92: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

Formasi Ngimbang yang tersusun oleh batupasir dan batulanau

yang terdapat sisipan batugamping mengindikasikan bahwa

pengendapannya merupakan syn-rift – post rift sehingga terbentuk

cekungan laut dangkal. Cekungan ini mulai stabil pada saat

terendapkannya formasi Kujung yang berupa batugamping. Pada

fase ini gaya yang bekerja dominannya adalah gaya ekstensional.

Cekungan ini berupa fore arc basin

2. Fase yang kedua terjadi pada oligocen tengah sampai miosen

akhir. Pada waktu ini penunjaman lempeng hidia ke pulau Jawa

yang oblique. Penunjaman yang oblique ini membentuk struktur

lipatan dan sesar yang berarah timur laut – barat daya (pola

meratus). Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin dan

telah memasuki fase sagging – inverse. Pada waktu inilah

terendapkan formasi Prupuh, Tawun, Ngrayong, Bulu, Wonocolo,

dan Ledok. Kedudukan muka air laut pada kala ini relative regresi

sehingga menyebabkan pola progadasional yang menyebabkan

perebahan facies secara lateral kearah darat ke arah utara. Hal ini

dibuktikan dengan adanya perubahan facies dari batugamping

Page 93: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

(formasi Prupuh) ke batupasir, batulempung yang kaya mineral

Glaukonit (formasi Ngrayong dan ledok). Batupasir ini

kemungkinan diendapkan di lingkungan delta.

3. Fase yang ketiga terjadi pada Miosen akhir sampai pleistocen

awal. Pada fase ini terjadi transgresi air laut yang menyebabkan

kenaikan muka air laut secara relative yang mengendapkan formasi

Mundu, Paciran, Selorejo, dan Lidah. Pada fase ini rembang masih

berupa fore arc basin. Memasuki pengendapan formasi Pacerain

dan selorejo terjadi regresi muka air laut sehingga terjadi

perubahan lingkungan pengendapan lagi dari laut dalam (bathial)

ke laut dangkal (neritik tengah).

4. Fase yang keempat terjadi pada Pleistocene akhir – Holosen. Pada

fase ini penunjaman lempeng Hindia sudah tegak lurus dengan

pulau jawa sehingga terbentuklah lipatan, sesar, dan struktur-

struktur geologinya lainnya yang berarah timur-barat. Penunjaman

ini juga menyebabkan terjadinya partial melting, sehingga terjadi

vulkanisme di sebelah selatan zona rembang. Sehingga zona

rembang berubah menjadi back arc basin. Vulkanis me ini juga

Page 94: Etika Pertambangan Pada Industri Mineral

menyebabkan terendapkan batuan batuan gunung api seperti tuff,

breksi andesit, aglomerat. Dan juga terjadi intrusi-intrusi andesit.

Peristiwa ini menyebabkan zona rembang menjadi daerah yang

prospek dalam eksplorasi hidrokarbon. Dimana formasi Ngimbang

merupakan source rock yang poetensial. Pematangan source rock

ini disebabkan karena naiknya astenosfer yang diakibatkan

penunjaman ini. Daerah back arc basin lebih potensial terjadi

pematangan source rock daripada fore arc basin. Sedangkan batuan

penutup dan reservoir banyak ditemui di formasi Tawun dan

Tuban dimana banyak mengandung batulanau-batulempung

sedangkan reservoarnya bayak ditemui pada formasi Ngrayong,

dan Ledok yang mengendapkan batupasir. Reservoir lainnya yang

berupa batugamping juga ditemukan.