etika dalam berperilaku mahasiswa
DESCRIPTION
etika dalam berperilaku mahasiswaTRANSCRIPT
Etika dalam Berperilaku Mahasiswa
a. Sikap dan Perilaku
Kreatif dan Kritis Sikap dan perilaku kreatif dan kritis dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: proses,
pribadi, lingkungan, dan produk. Dilihat dari proses, mahasiswa diharapkan mampu melaksanakan
tugas-tugas yang sifatnya divergen, yang ditandai dengan adanya ketertarikan untuk berdiskusi, mampu
menyelesaikan masalah, mampu menyelesaikan tugas, mampu bekerjasama, dan mampu
menyelesaikan persoalan yang bersifat menantang. Selain itu, mahasiswa juga harus mampu
mengidentifikasi dan memecahkan masalah serta ada kebaruan dalam solusi yang ditawarkan.Dilihat
dari sudut pribadi, mahasiswa diharapkan memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas yang menjadi
tanggung jawabnya yang ditandai dengan disiplin dan daya juang yang tinggi. Dilihat dari aspek produk,
mahasiswa diharapkan dapat menghasilkan karya/produk (baik konsep maupun benda) yang inovatif
dan ditandai kebaruan (novelty), kemenarikan, dan kemanfaatan.
b. Kooperatif
Sikap kooperatif terkait dengan kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan
kelompok yang ditandai dengan keinginan untuk berkontribusi dalam kelompok, tidak mendominasi
kelompok, dan memberi kesempatan orang lain untuk berpartisipasi. Sikap kooperatif juga terkait
dengan kemampuan berkomunikasi yang ditandai sikap asertif (mampu menyampaikan pikiran,
perasaan, dan keinginan tanpa merugikan pihak lain); mampu berkomunikasi secara lisan, tertulis,
verbal, nonverbal secara jelas, sistematis tidak ambigu; menjadi pendengar yang baik; merespon dengan
tepat (sesuai dengan substansi dan caranya); dan dapat memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi dengan baik. Selain itu, sikap kooperatif juga terkait dengan kemampuan membangun sikap
saling percaya (trust). Sikap ini ditandai dengan adanya komitmen dan disiplin yang bersifat terbuka
dalam menerima pendapat orang lain (openness), berbagi informasi (sharing), memberi dukungan
(support) dengan cara elegant dan gentle, menerima orang lain (acceptance) dengan tulus, terampil
mengelola konflik, mampu mengubah situasi konflik menjadi situasi problem solving, serta jeli dalam
mengkritisi ide/gagasan dari orang lain dan bukan mencela orangnya (personal).
c. Etis
Sikap etis dalam etika pergaulan baik akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari ditandai dengan
sikap jujur, berpikir positif, bertatakrama, dan taat hukum. Sikap jujur ditandai dengan tidak melakukan
plagiat, berani mengakui kesalahan dan menerima diri apa adanya, tidak ragu-ragu mengapresiasi orang
lain, tidak melakukan pemalsuan (termasuk tanda tangan presensi kuliah, pembimbingan, dan urusan
administrasi lainnya), membangun dan mengembangkan sikap saling percaya di antara civitas
akademika, serta mampu menyampaikan pendapat sesuai dengan fakta (data). Berpikir positif ditandai
dengan adanya sikap adil dan objektif (tidak apriori terhadap orang atau kelompok lain),
toleransi/apresiasi (menerima dan menghargai keragaman atau perbedaan, termasuk perbedaan
pendapat), dan dapat bekerjasama dengan semua orang (tanpa melihat perbedaan latar belakang suku,
agama, ras, atau golongan). Sikap bertatakrama ditandai dengan bertutur kata santun yang tetap
berpikir kritis (santun dalam berargumen, misalnya ditunjukkan dengan penggunaan istilah, salam, maaf,
permisi, terima kasih); berpenampilan dan berperilaku sopan baik dalam tingkah laku maupun tatacara
berpakaian (bersih, rapi, dan atau menutup aurat bagi yang merasa perlu); serta menghormati tradisi
serta norma masyarakat lokal/setempat. Sikap taat hukum ditandai dengan sikap dan perilaku
mematuhi peraturan walaupun secara fisik tidak ada yang mengawasi; tidak mengkonsumsi minuman
keras dan atau narkoba; tidak memiliki barang illegal; tidak melakukan perusakan lingkungan hidup
(bioetik); menolak budaya instan (jalan pintas) yang mendorong pelanggaran akademik (menyontek,
menjiplak tugas/karya tulis, melakukan perjokian, dan suap-menyuap).
d. Berpakaian dan bersepatu rapi di lingkungan kampus
Dalam melaksanakan perkuliahan hendaknya berpakaian dan bersepatu rapi, serta sebaiknya dosen
melarang mahasiswa yang masuk dengan menggunakan sandal dan para asistan lab juga menegur
mahasiswanya yang pada saat praktikum menggunakan sandal.
e. Memberi contoh yang baik dalam berperilaku kepada adik tingkat, teman setingkat dan kakak tingkat
Hendaknya memberikan contoh yang baik kepada adik tingkat, teman setingkat, dan kakak tingkat agar
tercipta perkulahan yang tertib
f. Saling menghormati dan menghargai terhadap sesama mahasiswa.
Sesama mahasiswa hendaknya saling menghormati agar tidak terjadi perselisihan paham antara
mahasiswa sehingga tercipta kondisi yang aman, tertib, dan damai.
g. Berperilaku dan bertutur kata yang sopan, baik di dalam kelas dan di luar kelas.
Seorang mahasiswa sebaiknya dapat menjaga perkataanya sehingga tidak menimbulkan perselisihan
paham yang akibatnya dapat mencemarkan nama baik Universitas gunadarma.
h. Tidak berperilaku asusila atau tidak bermoral;
Mahasiswa Gunadarma hendaknya dapat menahan dirinya untuk tidak berperilaku asusila atau tidak
bermoral baik dalam lingkungan gunadarma maupun di luar lingkungan gunadarma.
Pengaruh Kampus Terhadap Perilaku Mahasiswa Dalam Pembentukan Budaya Akademik.
Mahasiswa adalah sebutan bagi mereka yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi baik swasta
maupun negeri. Karena telah lebih lama mendapatkan pendidikan sejak pendidikan dasar, menengah
dan sampai perguruan tinggi maka banyak orang menilai mahasiswa sebagai kaum intelektual atau
kaum akademisi. Juga karena telah lebih dulu mengenyam pendidikan di perguruan tinggi atau
universitas maka mahasiswa pasti diperlakukan berbeda dari pada siswa.
Kampus berasal dari bahasa Latin, campus yang berarti “lapangan luas”, “tegal”. Dalam pengertian
modern, kampus berarti sebuah kompleks atau daerah tertutup yang merupakan kumpulan gedung-
gedung universitas atau perguruan tinggi. Bisa pula berarti sebuah cabang daripada universitas sendiri.
Misalkan Universitas Gunadarma di Jakarta, Indonesia memiliki ‘kampus Margonda’, ‘kampus Kelapa
Dua’, ‘kampus Kali Malang’ dan kampus lainnya.
Perguruan tinggi dipandangi sebagai institusi independen, hal itu yang menguatkan pemahaman kita
bahwa di dalamnya terisi oleh para intelektual bangsa dan calon-calon pemimpin masa depan yang
mempunyai spesifikasi ilmu masing-masing, mahasiswa ekonomi, mahasiswa hukum, mahasiswa kimia,
teknik, sastra dan sebagainya. Tuntutan atau tanggung jawab ilmu pengetahuan yang didapatkannya
dari sebuah Perguruan tinggi membawa kita ke pertarungan sesungguhnya yaitu realitas. Proses
pembelajaran di sekolah-sekolah maupun di universitas ditujukan untuk dapat menjawab tuntutan yang
ada di masyarakat pada umumnya yakni melalui transformasi keilmuan dapat tercipta pemberdayaan
masyarakat, partisipasi aktif dalam proses pembangunan dan peningkatan taraf hidup berbangsa dan
bernegara.
Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat, mahasiswa merupakan faktor
pendorong dan pemberi semangat sekaligus memberikan contoh dalam menerapkan
perilaku terpuji. Peran mahasiswa dalam masyarakat secara garis besar dapat
digolongkan menjadi peran sebagai kontrol sosial dan peran sebagai pembaharu
yang diharapkan mampu melakukan pembaharuan terhadap sistem yang ada. Salah
satu contoh yang paling fenomenal adalah peristiwa turunnya orde baru dimana
sebelumnya didahului oleh adanya aksi mahasiswa yang masif di seluruh Indonesia.
Perguruan tinggi sebagai suatu institusi dalam masyarakat memiliki ciri khas tersendiri di samping
lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Warga dari suatu perguruan tinggi adalah insan-insan yang memiliki
wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu masyarakat akademik harus senantiasa mengembangkan
budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari aktivitas perguruan tinggi. Terdapat sejumlah ciri
masyarakat ilmiah yang harus dikembangkan dan merupakan budaya dari suatu masyarakat akademik,
yang terdiri dari :
1. Kritis, yang berarti setiap insan akademis harus senantiasa mengembangkan sikap ingin tahu segala
sesuatu untuk selanjutnya diupayakan jawaban dan pemecahannya melalui suatu kegiatan ilmiah
penelitian.
2. Kreatif, yang berarti setiap insan akademis harus senantiasa mengembangkan sikap inovatif, berupaya
untuk menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi masyarakat.
3. Obyektif, yang berarti kegiatan ilmiah yang dilakukan harus benar-benar berdasarkan pada suatu
kebenaran ilmiah, bukan karena kekuasaan, uang atau ambisi pribadi.
4. Analitis, yang berarti suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan suatu metode ilmiah yang
merupakan suatu prasyarat untuk tercapainya suatu kebenaran ilmiah.
5. Konstruktif, yang berarti suatu kegiatan ilmiah yang merupakan budaya akademik harus benar-benar
mampu mewujudkan suatu karya baru yang memberikan asas kemanfaatan bagi masyarakat.
6. Dinamis, yang berarti ciri ilmiah sebagai budaya akademik harus dikembangkan terus-menerus.
7. Dialogis, artinya dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat akademik harus
memberikan ruang pada peserta didik untuk mengembangkan diri, melakukan kritik serta
mendiskusikannya.
8. Menerima kritik, ciri ini sebagai suatu konsekuensi suasana dialogis yaitu setiap insan akademik
senantiasa bersifat terbuka terhadap kritik.
9. Menghargai prestasi ilmiah/akademik, masyarakat intelektual akademik harus menghargai prestasi
akademik, yaitu prestasi dari suatu kegiatan ilmiah.
10. Bebas dari prasangka, yang berarti budaya akademik harus mengembangkan moralitas ilmiah yaitu
harus mendasarkan kebenaran pada suatu kebenaran ilmiah.
11. Menghargai waktu, yang berarti masyarakat intelektual harus senantiasa memanfaatkan waktu
seefektif dan seefisien mungkin, terutama demi kegiatan ilmiah dan prestasi.
12. Memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, yang berarti masyarakat akademik harus benar-benar
memiliki karakter ilmiah sebagai inti pokok budaya akademik.
13. Berorientasi ke masa depan, artinya suatu masyarakat akademik harus mampu mengantisipasi suatu
kegiatan ilmiah ke masa depan dengan suatu perhitungan yang cermat, realistis dan rasional.
14. Kesejawatan/kemitraan, artinya suatu masyarakat ilmiah harus memiliki rasa persaudaraan yang
kuat untuk mewujudkan suatu kerja sama yang baik.
Oleh karena itu budaya akademik senantiasa memegang dan menghargai tradisi almamater sebagai
suatu tanggung jawab moral masyarakat intelektual akademik.
Perilaku Asertif, Kebutuhan Mahasiswa
Mahasiswa merupakan generasi muda bangsa yang akan menentukan bagaimana masa depan
bangsanya. Oleh karena itu, seorang mahasiswa harus sadar akan tugas yang diembannya dan perannya
yang begitu penting bagi bangsa. Mahasiswa harus bisa menempatkan dirinya pada keadaan yang tepat.
Untuk dapat mewujudkan perannya sebagai generasi muda tumpuan bangsa, seorang mahasiswa perlu
memiliki sikap yang memang harus ada dalam dirinya. Sikap ini sering dikenal dengan sikap asertif. Sikap
asertif meliputi banyak hal, salah satunya adalah mengatakan “Ya” atau “Tidak” sesuai dengan
kenyataan. Hal ini berarti seorang mahasiswa harus menjunjung kebenaran dan kejujuran.
Sifat lainnya yang harus ada dalam diri mahasiswa adalah sikap selalu berpikir positif. Dengan berpikir
positif, seorang mahasiswa tidak akan melihat dan menilai suatu masalah dengan dangkal, tetapi
mahasiswa akan dapat menilai suatu masalah dengan jelas dan mendalam, yang nantinya dapat
mengambil keputusan secara bijak.
Perilaku asertif juga meliputi sikap bertanggung jawab. Seorang mahasiswa dituntut untuk dapat
mempertanggungjawabkan semua yang ia lakukan, baik dalam mengerjakan tugas maupun aktivitas lain
yang sering dilakukan oleh mahasiswa di lingkungan universitas dan masyarakat. Dengan adanya rasa
bertanggung jawab, maka seorang mahasiswa akan selalu siap dalam menghadapi konsekuensi dari
segala hal yang ia lakukan dan berusaha menyelesaikannya dengan baik.
Seorang mahasiswa juga perlu bersikap terbuka, mandiri, dan berpartisipasi aktif. Banyaknya masalah
dan tugas yang dihadapi, membuat mahasiswa terkadang membutuhkan orang lain. Di sinilah
diperlukan sikap asertif dalam kerja kelompok yang sering dilakukan oleh mahasiswa. Sikap asertif yang
dibutuhkan dalam kerja kelompok adalah terkait dengan kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam
berbagai kegiatan kelompok yang ditandai dengan keinginan untuk berkontribusi dalam kelompok, tidak
mendominasi kelompok, dan memberi kesempatan orang lain untuk berpartisipasi. Sikap asertif
tersebut juga terkait dengan kemampuan berkomunikasi yang ditandai mampu menyampaikan pikiran,
perasaan, dan keinginan tanpa merugikan pihak lain, mampu berkomunikasi secara lisan, tertulis, verbal,
nonverbal secara jelas, sistematis tidak ambigu, menjadi pendengar yang baik, merespon dengan tepat
(sesuai dengan substansi dan caranya), dan dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
dengan baik.
Dalam bekerja secara kelompok seorang mahasiswa diharapkan memiliki sikap terbuka dalam
kelompoknya dan dapat bekerja sama dengan baik. Jika semua mahasiswa dapat menerapkan sifat
tersebut, maka kelancaran dalam diskusi akan terwujud dan masalah akan dapat diselesaikan dengan
lebih baik.
Lingkungan universitas sangat berbeda dengan lingkungan sekolah sebelumnya. Lingkungan di dalam
suatu universitas lebih beragam, sehingga dibutuhkan penyesuain yang baik oleh seorang mahasiswa, di
sinilah peranan sikap asertif yang menjadi kebutuhan yang penting bagi seorang mahasiswa dalam
memahami dan berhubungan dengan banyak orang dalam berbagai aktivitas kehidupan di universitas,
karena selain mahasiswa mendapatkan lingkungan yang baru, ia juga mendapatkan teman yang
beragam dari seluruh pelosok negeri, yang tentunya memiliki budaya yang berbeda. Oleh karena itu,
seorang mahasiswa harus dapat saling menghargai, manghormati, dan memahami satu sama lain. Jika
antara sesama mahasiswa saling menghargai, menghormati, dan menghargai satu sama lain, akan
menciptakan kehidupan kampus yang penuh dengan rasa persaudaraan dan kekeluargaan.
Managing Partner The Jakarta Consulting Group (2006) dalam artikelnya yang berjudul ”Memilih Asertif
Bukan Agresif” menyatakan bahwa dalam membangun assertivitas terdapat beberapa pendekatan yang
dapat ditempuh. Salah satunya adalah Formula 3 A, yang terangkai dari tiga kata Appreciation,
Acceptance, Accommodating:
Appreciation berarti menunjukkan penghargaan terhadap kehadiran orang lain, dan tetap memberikan
perhatian sampai pada batas-batas tertentu atas apa yang terjadi pada diri mereka. Mereka pun, seperti
kita, tetap membutuhkan perhatian orang lain. Dengan demikian, agar mereka mau memperhatikan,
memahami, dan menghargai diri kita, maka sebaiknya kita mulai dengan terlebih dahulu menunjukkan
perhatian, pemahaman, dan penghargaan kepada mereka.
Acceptance adalah perasaan mau menerima, memberikan arti sangat positif terhadap perkembangan
kepribadian seseorang, yaitu menjadi pribadi yang terbuka dan dapat menerima orang lain sebagaimana
keberadaan diri mereka masing-masing. Dalam hal ini, kita tidak memiliki tuntutan berlebihan terhadap
perubahan sikap atau perilaku orang lain (kecuali yang negatif) agar ia mau berhubungan dengan
mereka. Tidak memilih-milih orang dalam berhubungan dengan tidak membatasi diri hanya pada
keselarasan tingkat pendidikan, status sosial, suku, agama, keturunan, dan latar belakang lainnya.
Terakhir adalah accomodating. Menunjukkan sikap ramah kepada semua orang, tanpa terkecuali,
merupakan perilaku yang sangat positif. Keramahan senantiasa memberikan kesan positif dan
menyenangkan kepada semua orang yang kita jumpai. Keramahan membuat hati kita senantiasa
terbuka, yang dapat mengarahkan kita untuk bersikap akomodatif terhadap situasi dan kondisi yang kita
hadapi, tanpa meninggalkan kepribadian kita sendiri. Dalam artian, kita dapat memperlihatkan toleransi
dengan penuh rasa hormat, namun bukan berarti kita jadi ikut lebur dalam pandangan orang lain,
apalagi dengan hal-hal yang bertentangan dengan diri kita. Hal ini penting sekali untuk diperhatikan agar
kita mampu menempatkan diri secara benar di tengah khalayak luas, sekaligus membina saling
pengertian dengan banyak orang.
Kebalikan dari sikap asertif adalah sikap agresif. Seorang mahasiswa harus menghindari sikap agresif
yang merupakan sikap yang tidak mampu menempatkan dirinya pada keadaan yang tepat. Sikap ini
disertai dengan rasa emosional, tergesa-gesa, tidak berpikir jernih, dan perilaku-perilaku buruk lainnya.
Sikap agresif ini sangat berbahaya bagi seorang mahasiswa. Agar terhindar dari sikap agresif maka
seorang mahasiswa perlu mengembangkan sikap asertif dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-
hari.
Seorang mahasiswa bukanlah seorang siswa. Seorang mahasiswa dinilai telah lebih dewasa dan lebih
tinggi tingkatannya daripada seorang siswa. Sikap seorang mahasiswa pun juga harus berbeda dari sikap
seorang siswa, sehingga seorang mahasiswa harus menerapkan sikap asertif agar dirinya benar-benar
dapat dikatakan sebagai seorang mahasiswa dan bukan sekedar seorang siswa.
Dengan perilaku asertif akan memb4 Perilaku Mahasiswa Yang Mirip Hewan
August 7, 2008 by Wahyu Kresna El Haydar
Tidak bisa dipungkiri dan dielakkan lagi, bahwasannya mahasiswa sekarang sudah jauuuuuuuuhhhhh
berbeda dari zaman nenek moyang kita (ya iyalah). Dulu waktu aku masih muda (halah, emange umurku
berapa???) aku cuba mengamati tiap gerak gerik mahasiswa yang mencurigakan (kayak pengamatan
hewan aja) tapi aku juga bisa sedikit menyimpulkan ada juga kesamaan antara tingkah laku hewan
dengan mahasiswa, tapi mahasiswa isn’t same like an animal! Cuman nama2nya aja yang beda, misalnya
ada Kupu2, ada Kura2, ada Kutu buku, ada juga kelelawar, ada adaaaa’ aja… ck ck ck…
Kupu-Kupu
Tahukah kalian apa itu kupu2??? Kupu2 disini bukan laiknya kupu2 pada kondisi normalnya, dan
tentunya bukan juga kupu2 malam seperti yang anda maksudkan dan inginkan,lho??? tapi kupu-kupu
maksud saya disini yaitu KUliah-PUlang KUliah-PUlang. Nah mahasiswa kayak gini nih yang sukanya
ngendok di rumah aja, entah gara2 gak ada kerjaan, males ngapa2in ato juga di rumah punya kegiatan
yang lebih menyenangkan daripada di kampus, tapi yang jelas dari segi pengalaman mereka
jauuuuuuhhhhh kurang berpengalaman dari yang lain2 karena mereka kurang bersosialisasi.
Kura-Kura
Ini juga bukan kura2 yang waktu kecil (tokik) dilepas di pantai2 di Indonesia, tapi maksudku disini yaitu
KUliah-RApat KUliah-RApat. Mahasiswa yang kayak gini nih yang over aktif banget, emang sih dia kuliah
tapi pikirannya itu rapaaaaaaattt terus, gak tau juga itu maksudnya Rapatiada hasil, atau malah rapatio
penting (gak begitu penting). Ikut kegiatan boleh2 saja, tapi jangan lupa tugas utama kita tentunya
belajar. Kita juga kudu kejar pengalaman juga, pengalaman bukan berarti berpengalaman dapat nilai A,
B, C, D, atau E atau jangan2 F, bukan itu yang aku maksudkan! Tapi berpengalaman dalam belajar dari
sebuah proses. Waktu aku masih muda dulu juga kayak gitu :mrgreen:
Kutu Buku
Kalo yang satu ini jelas bukan singkatan lagi, mahasiswa kutu buku = mahasiswa gila buku, seneng
banget sama buku (abnormal ya??? Mungkin ini varian baru dalam dunia disorder :D ), tapi perlu diinget,
gak semua laki-laki kutu buku itu juga bagus, It depends on buku apa yang mereka baca, bisa juga kan
mereka kutu buku komik, Koran, novel, dan bisa juga buku buku *tiiiit. Nah lho gimana kalo gitu???
Bacalah buku2 yang bermanfaat buku yang menunjang proses belajar, tapi belajar juga tidak hanya
sebatas pelajaran juga lho!
Kelelawar
Yang ini bukan juga singkatan kayak kura2 maupun kupu2, bukan juga arti yang mirip kutu buku, tapi
pengklasifikasian kelelawar ini cenderung mengarah kepada perilakunya yang mirip mahasiswa masa
kini. Kelelawar suka tidur di pagi-sore hari trus dia bangun dan keluyuran mencari makan dan
beraktivitas pada malam hari. Nah ini dia, ini dia yang sering aku liat semasa muda dulu, kalo ke kampus
banyak sekali mata2 yang berkantung kayak kantungnya kangguru, bahkan mereka jadi mirip orang2
CINA dan JEPANG (soalnya matanya sipit). Katanya “gua ngantuk banget, tadi malem tidur jam segini…”.
Kalo ku pikir, salah siapa? Salah siapa tidur malem2???, tidur malem boleh2 aja, asal tau waktu juga, dan
kegiatan apa yang kita lakukan juga kudu mengarah ke hal yang positif, jangan yang negatif2 kayak:
Kongkow, ke diskow, ngedrugs, minumuat seseorang merasa bertanggung jawab dan konsekuen untuk
melaksanakan keputusannya sendiri. Dalam hal ini, ia bebas untuk mengemukakan berbagai keinginan,
pendapat, gagasan, dan perasaan secara terbuka sambil tetap memperhatikan juga pendapat orang lain.
Sehingga mahasiswa akan dapat mewujudkan perannya sebagai generasi harapan bangsa dan mampu
membawa bangsa dan negara menyambut masa depan yang lebih baik.
Mahasiswa dan Sikap
Ketika menulis artikel ini penulis merasakan beban yang cukup berat, hal ini terjadi karena selang
beberapa waktu sebelum tulisan ini terbit penulis terlibat dalam kegiatan aras fakultas yang cukup
menyita waktu, tenaga dan pikiran. Penulis mulai sedikit merenung tentang setiap kejadian yang penulis
alami ketika berada di bangku sekolah hingga ke perkuliahan. Penulis mencoba memaknai setiap detik
nafas yang keluar dalam kehidupan yang semu ini.
Di sela-sela aktivitas yang padat, penulis mencoba mengekspresikan setiap penglihatan menjadi sebuah
rangkain kata yang syarat akan makna. Dalam kehidupan manusia pada dasarnya terjadi fragmentasi
nyata untuk saling menonjolkan sikap yang dimiliki. Suatu proses pemaknaan dalam memunculkan citra
diri kepada orang lain. Bagaimana pencitraan tersebut tergantung orang yang bersangkutan. Satu
dengan yang lain tentu beda dalam memunculkan sikap seperti ini.
Terkadang perlakuan seperti adalah suatu usaha seseorang untuk merasa agar diakui keberdaaan dalam
lingkungannya. Sikap yang ditunjukkan seseorang untuk memunculkan citra diri kepada orang lain lebih
cenderung mengikuti aliran jaman. Mungkin beberapa dalam memunculkan citra diri hanya dijadikan
sebagai pelampiasan akan masalah yang mungkin pernah atau sedang dialami. Ketika seseorang yang
mempunyai masa lalu yang kelam dan dikemudian memunculkan pencitraan diri yang sebenarnya bukan
dirinya.
Pemalsuan
Perilaku-perilaku mahasiswa cenderung mengikuti trend dalam berpenampilan, bersikap, berucap dan
banyak hal lainnya. Mahasiswa terlalu mudah terprofokasi oleh hal-hal yang dianggap berkelas dan
bergengsi. Padahal sejatinya ini bukanlah suatu primerisasi dalam kehidupan perkuliahan mereka.
Mahasiswa juga manusia yang membutuhkan suatu pengakuan dari orang lain dan memunculkan citra
akan dirinya. Penulis sering kali melihat beberapa teman kampus yang mulai merelokasi setiap citra
dalam dirinya.
Banyak terdapat perbedaan dalam perilaku mahasiswa ketika masih dalam tahun pertama, pertengahan
dengan tahun terakhir perkuliahan. Penulis berfikir ini adalah sebuah sikap pencitraan diri mahasiswa
dalam menemukan jati diri yang sesungguhnya. Bagi penulis ini adalah sebuah proses yang wajar yang
dialami setiap manusia di dunia ini. Kenyataan seperti ini yang membuat penulis merenung bahwa
dalam proses seperti ini akan ada masa transisi dari citra buruk ke baik dan sebaliknya citra baik ke citra
buruk. Perubahan ini jelas saja bisa terjadi karena seseorang tersebut terbawa oleh lingkungan.
Lingkungan dimana seseorang berpijak kerap kali dijadikan sebagai alasan bagaimana bisa merubah citra
diri seseorang.
18876_105885129430095_100000258267795_141064_2156981_nBeberapa hal seperti inilah yang
menjadikan penulis mengamati bagaimana suatu sikap seseorang dapat berubah seiring dengan
perkembangan lingkungan disekitarnya. Perubahan dan perkembangan memang pada dasarnya baik
dengan seiring perkembangan trend dan teknologi yang ada. Penulis merasa ini adalah sebuah
kemajuan dan kemauan yang keras dari mahasiswa yang mau belajar dan menyesuaikan dengan
perubahan jaman. Penulis hanya menyayangkan proses perubahan yang terjadi kenapa harus diikuti
juga dengan perubahan citra diri seseorang. Mahasiwa terkadang tidak ingin jika dalam lingkungannya
dikatakan tidak gaul, tidak mengikuti jaman dan sebagainya. Seperti halnya seorang mahasiswa yang
kesehariannya taat berkuliah dan bersosialisasi namun karena salah dalam pergaulan maka mahasiswa
tersebut terjerumus dalam pergaulan bebas yang tiada batas.
Kehidupan bermahasiswa adalah kehidupan yang keras dan penuh pengorbanan. Mereka yang bisa
berfikir secara sehat tentu tidak akan terjerumus dalam kepalsuan yang dapat merusak masa depan.
Penulis banyak menemukan beberapa teman yang terjerumus kedalam kehidupan semu perkuliahan.
Mereka yang melakukan pemalsuan terhadap citra diri hanya untuk sekedar pengakuan dari teman dan
lingkungan. Penulis mempunyai pemikiran mahasiswa yang seperti itu tidak memiliki sikap independensi
dalam menjaga karakter diri. Intinya mahasiswa yang seperti ini seperti dedaunan yang terbang tak
punya arah tujuan saat terbawa angin. Ada yang ke utara ikut ke utara, ada yang ke selatan ikut ke
selatan.
Sikap dan Tantangan
Mahasiwa adalah siswa yang maha, dari pemotongan kata ini tentu mahasiswa dapat diartikan sebagai
pelajar yang tertinggi. Pelajar memang mempunyai tugas untuk belajar dan mahasiswa juga demikian.
Mahasiswa juga merupakan generasi penerus bangsa yang akan mengatur, memerintah dan menjaga
kestabilan ekonomi, politik, sosial, budaya bangsa Indonesia. Ini merupakan tanggungjawab yang sangat
besar bagi generasi penerus bangsa.
Para penerus bangsa memang harus dibekali dengan ilmu yang bisa digunakan kelak. Penulis berfikir
tidak hanya ilmu saja yang harus dibekali, namun sejatinya sikap akan tindakan itu yang paling utama.
Bagaimana jadinya jika penerus bangsa memiliki ilmu yang bermanfaaat namun tidak memiliki sikap etos
kerja dan kejujuran. Hal yang sama mungkin akan terjadi seperti bangsa sekarang ini. Penulis hanya
khawatir apa yang terjadi dalam pemerintahan bangsa saat ini merupakan cerminan dari pemerintahan
kelak.
Sebuah ketakutan besar buat penulis yang juga merupakan generasi penerus bangsa. Retorika politik
yang penulis alami dalam kehidupan bermahasiwa juga hampir tidak jauh berbeda dengan permainan
politik negara ini. Ini adalah sebuah sikap dan tantangan bagi penerus bangsa kelak agar bagaimana
kondisi pemerintah saat ini tidak terulang dikemudian hari. Sebenarnya bukan pemerinatahannya yang
disalahkan namun orang-orang didalamnya yang mungkin memiliki sikap etos kerja dan kejujuran yang
kurang.
Seperti paragraf sebelumya saat penulis menjabarkan bagaimana pemalsuan dalam pecitraan diri
mahasiswa untuk mendapatkan pengakuan di lingkungannya maka tidak akan berbeda jauh dengan
sikap pengakuan diri di orang-orang yang ada di pemerintahan sekarang. Penulis bukannya menyatakan
adanya pemerosotan dalam kepemimpinan pemerintahan namun lebih kepada sikap etos kerja yang
terbentuk.
25thPenulis yang juga merupakan Beswan Djarum merasa pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh
Djarum Bakti Pendidikan dapat sedikit menjadikan kami untuk bertahan dalam sikap dan karakter kami.
Pembekalan setiap training menjadikan diri kami menjadi semakin terpacu untuk meningkatkan
kemampuan dan skills kami dan bukan untuk mengganti sikap dan karakter hanya untuk sebuah
pengakuan.
Perilaku Belajar Mahasiswa di Indonesia
Penilaian Pembaca: / 34
BurukTerbaik
Ditulis Oleh Achsin El-Qudsy
09-10-2008,
Halaman 1 dari 2
Belajar merupakan hak setiap orang, akan tetapi kegiatan belajar di suatu perguruan tinggi merupakan
suatu hak istimewa karena hanya orang yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar di lembaga
pendidikan tinggi tersebut.
Dengan pengakuan tersebut, harapan adalah bahwa seorang yang telah mengalami proses belajar
secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, keterampilan, kepribadian dan perilaku
tertentu sesuai dengan apa yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan.
Tujuan lembaga tinggi pendidikan pada umumnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional. Yang
perlu dicatat bahwa belajar merupakan kegiatan individual tertentu.
Suatu fakta angan-angan individual terhadap career plan merupakan gejala belajar seseorang di
perguruan tinggi dan merupakan suatu kebutuhan (needs). Kebutuhan ini akhirnya menentukan sikap,
perilaku dan pandangan belajar di perguruan tinggi yang merupakan suatu prospek penting dalam
career plan seseorang dewasa ini.
Ada dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi.
Yang pertama adalah tujuan lembaga pendidikan dalam menyediakan sumber pengetahuan dan
pengalaman belajar (knowledge and learning experience) yang kedua adalah tujuan individual mereka
yang belajar (mahasiswa).
Proses belajar mengajar mestinya harus mampu menyelaraskan tujuan individual dan tujuan lembaga
pendidikan dan bahkan tujuan pendidikan nasional. Dua hal di atas kadang-kadang tidak disadari benar
baik oleh penyelenggara pendidikan maupun oleh mahasiswa.
Kegiatan belajar hampir tidak ada bedanya dengan kegiatan mengajar dalam suatu kursus atau
pendidikan keterampilan. Masalahnya sekarang adalah apakah tujuan individual seseorang memasuki
perguruan tinggi? Hal ini yang acap kali diidentifikasi atau dirumuskan dengan jelas oleh mereka yang
memutuskan untuk belajar di perguruan tinggi.
Gejala yang sering dirasakan di Indonesia adalah belajar di perguruan tinggi lebih merupakan kebutuhan
sosial orang lain (misalnya orang tua), akibatnya, belajar dianggap sebagai suatu beban dan penderitaan.
Apakah tujuan yang ingin dicapai melalui belajar-mengajar yang disebut kuliah. Kuliah merupakan
bentuk interaksi antara dosen, mahasiswa dan pengetahuan. Pemahaman dan persepsi mengenai
hubungan ketiga faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan proses belajar.
Perilaku Belajar
Bisa dikatakan mahasiswa Indonesia menganggap kuliah merupakan sumber pengatahuan utama,
bahkan satu-satunya, sehingga catatan kuliah merupakan jimat yang ampuh dan dosen merupakan
dewa pengetahuan.
Lingkungan belajar seperti ini menempatkan dosen menjadi seperti tukang sulap yang kelihatan pintar
tetapi hanya karena mengetahui muslihat-muslihat (tricks) yang sengaja disembunyikannya dan
kemudian menjual pengetahuan tersebut melalui loket kuliah.
Kebanyakan mahasiswa di Indonesia memperoleh pengetahuan sedikit demi sedikit seperti membeli kue
dari sebuah warung. Kekeliruan persepsi ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa, persepsi
tersebut dapat timbul justru dari sikap dosen yang secara tidak sadar telah menciptakan kondisi
demikian.
Akibatnya, mahasiswa kebanyakan mempunyai perilaku untuk hanya datang, duduk,dengar dan catat
[D3C]. Catatan kuliah dianggap sumber pengetahuan dan bahkan kalau perlu mahasiswa tidak usah
datang ke kuliah tetapi cukup dengan mengkopi saja catatan mahasiswa yang lain.
Karena pendekatan pengendalian proses belajar-mengajar di kelas yang kurang mendukung, banyak
mahasiswa yang merasa nyaman menjadi "mesin dengar kopi". Kalau tujuan individual akan dicapai
secara efektif, arti kuliah harus diredifinisi dan dilaksanakan secara konsekuen.
Mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Dengan
konsep ini, pengetahuan merupakan barang bebas, walaupun diperlukan biaya untuk memperolehnya.
Dosen berbeda dengan mahasiswa karena wawasan dan pengalaman-pengalaman berharga yang
dimilikinya yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Wawasan dan pengalaman dosen diperoleh karena mereka telah mengalami proses belajar serta
pergaulannya dengan para praktisi atau karena riset serta penelitian yang dilaksanakan. Dengan
demikian, kuliah harus diartikan sebagai forum untuk mengkonfirmasikan pemahaman mahasiswa
terhadap pengetahuan yang bebas tersebut.
Fakta yang tidak dapat dihindari adalah bahwa waktu kuliah (tatap muka) adalah sangat pendek dan
terbatas. Di pihak lain, cukupan materi kedalaman pemahaman tidak dapat diberikan secara seketika
dalam waktu pendek tersebut.
Masalahnya adalah, apakah yang harus dikerjakan dalam waktu yang sangat pendek dan terbatas
tersebut ? Kalau kuliah diisi dengan kegiatan yang sebenarnya mahasiswa dapat melakukannya sendiri di
luar jam temu kelas.
Maka kelas tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai tambah. Tidak terjadi proses belajar yang
sesungguhnya, yang terjadi adalah pengalihan catatan dosen ke catatan kuliah mahasiswa melalui
proses "mesin dengar kopi", sebuah proses yang bahkan jauh lebih primitif dibandingkan dengan
fotokopi.
Keefektifan temu kelas dalam menunjang proses belajar sangat bergantung pada pemahaman konsepsi
dosen dan mahasiswa terhadap arti temu kelas. Kesenjangan pengertian dapat menimbulkan frustasi di
kedua belah pihak.
Adakah fakta merupakan education culture di Indonesia? Sulit untuk mendeteksi mengapa ini sampai
terjadi dan terus dilestarikan. Kemungkinan yang sangat logis adalah kurangnya kesiapan lembaga
pendidikan, dosen dan mahasiswa untuk terus memberdayakan diri melalui bacaan, kuliah
konvensional, sehingga terlihat tidak ada upaya dan usaha dalam self improvement.
Faktor lain terbatasnya sarana dan prasarana (buku, artikel, komputer) yang tersedia untuk bisa akses
dalam pemberdayaan dan pengembangan diri. Situasi ini membuat kita berada pada disadvantaged
position.
Untuk membenahi kesenjangan ini perlu bagi kita agar berlaku arif bahwa mahasiswa dan dosen
mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Sudah saatnya sekarang kita
bersama-sama mengartikan proses belajar merupakan kegiatan untuk memperkuat pemahaman
mahasiswa terhadap materi pengetahuan sebagai hasil kegiatan belajar mendiri. Agar image dosen
tukang sulap, mahasiswa yang telah terlanjur menjadi "mesin dengar kopi" dapat ditingkatkan menjadi
proses belajar mandiri, komunikatif, dinamis dan inovatif.
Achsin El-Qudsy, alumni Madrasah Diniyyah Muawanatul Muslimin Kenepan Kudus Dan HI UMY
Situasi ini merupakan tantangan yang berat bagi penerus bangsa Indonesia. Banyak perilaku-perilaku
yang seharusnya tidak ditunjukan oleh pemerintah namun dipertontonkan kepada masyarakat yang
sebenarnya itu bukan merupakan sikap para pemimpin. Media massa memiliki sorot mata yang tajam,
wartawan mempunyai telinga yang peka dalam pekerjaannya. Masyarakatpun juga mempunyai mata,
telinga, dan hati untuk melihat apa yang dilakukan orang-orang yang ada di pemerintahan. Penulis
berharap khusus kepada seluruh Beswan Djarum Se-Indonesia agar dapat menjadi penutan bagi semua
dan jangan sia-siakan pelatihan dan pembekalan yang telah didapat. Beswan Djarum dan generasi muda
ada untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perilaku Belajar Mahasiswa
OPINI | 05 May 2010 | 07:13 256 9 1 dari 1 Kompasianer menilai Menarik
http://unib.ac.id/faperta-subdomain/images/stories/foto0211.jpg
Foto Dokumen: http://unib.ac.id/faperta-subdomain/images/stories/foto0211.jpg
Bisa dikatakan mahasiswa Indonesia menganggap kuliah merupakan sumber pengatahuan utama
(bahkan satu-satunya), sehingga catatan kuliah merupakan jimat yang ampuh dan dosen merupakan
dewa pengetahuan.
Lingkungan belajar seperti ini menempatkan dosen menjadi seperti tukang sulap yang kelihatan pintar
tetapi hanya karena mengetahui muslihat-muslihat (tricks) yang sengaja disembunyikannya dan
kemudian menjual pengetahuan tersebut melalui loket kuliah.
Kebanyakan mahasiswa di Indonesia memperoleh pengetahuan sedikit demi sedikit seperti membeli kue
dari sebuah warung. Kekeliruan persepsi ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa, persepsi
tersebut dapat timbul justru dari sikap dosen yang secara tidak sadar telah menciptakan kondisi
demikian.
Akibatnya, mahasiswa kebanyakan mempunyai perilaku untuk hanya datang, duduk,dengar dan catat
[D3C]. Catatan kuliah dianggap sumber pengetahuan dan bahkan kalau perlu mahasiswa tidak usah
datang ke kuliah tetapi cukup dengan mengkopi saja catatan mahasiswa yang lain.
Karena pendekatan pengendalian proses belajar-mengajar di kelas yang kurang mendukung, banyak
mahasiswa yang merasa nyaman menjadi”mesin dengar kopi”. Kalau tujuan individual akan dicapai
secara efektif, arti kuliah harus diredifinisi dan dilaksanakan secara konsekuen.
Mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Dengan
konsep ini, pengetahuan merupakan barang bebas (walaupun diperlukan biaya untuk memperolehnya).
Dosen berbeda dengan mahasiswa karena wawasan dan pengalaman-pengalaman berharga yang
dimilikinya yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Wawasan dan pengalaman dosen diperoleh karena mereka telah mengalami proses belajar serta
pergaulannya dengan para praktisi atau karena riset serta penelitian yang dilaksanakan. Dengan
demikian, kuliah harus diartikan sebagai forum untuk mengkonfirmasikan pemahaman mahasiswa
terhadap pengetahuan yang bebas tersebut.
Fakta yang tidak dapat dihindari adalah bahwa waktu kuliah (tatap muka) adalah sangat pendek dan
terbatas. Di pihak lain, cukupan materi kedalaman pemahaman tidak dapat diberikan secara seketika
dalam waktu pendek tersebut.
Masalahnya adalah, apakah yang harus dikerjakan dalam waktu yang sangat pendek dan terbatas
tersebut ? Kalau kuliah diisi dengan kegiatan yang sebenarnya mahasiswa dapat melakukannya sendiri di
luar jam temu kelas.
Maka kelas tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai tambah. Tidak terjadi proses belajar yang
sesungguhnya, yang terjadi adalah pengalihan catatan dosen ke catatan kuliah mahasiswa melalui
proses “mesin dengar kopi” (proses yang jauh lebih primitif dibandingkan dengan fotokopi).
Keefektifan temu kelas dalam menunjang proses belajar sangat bergantung pada pemahaman konsepsi
dosen dan mahasiswa terhadap arti temu kelas. Kesenjangan pengertian dapat menimbulkan frustasi di
kedua belah pihak.
Adakah fakta merupakan education culture di Indonesia ? Sulit untuk mendeteksi mengapa ini sampai
terjadi dan terus dilestarikan. Kemungkinan yang sangat logis adalah kurangnya kesiapan lembaga
pendidikan, dosen dan mahasiswa untuk terus memberdayakan diri (melalui bacaan, kuliah
konvensional), sehingga terlihat tidak ada upaya dan usaha dalam self improvement.
Faktor lain terbatasnya sarana dan prasarana (buku, artikel, komputer) yang tersedia untuk bisa akses
dalam pemberdayaan dan pengembangan diri. Situasi ini membuat kita berada pada disadvantaged
position.
Untuk membenahi kesenjangan ini perlu bagi kita agar berlaku arif bahwa mahasiswa dan dosen
mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Sudah saatnya sekarang kita
bersama-sama mengartikan proses belajar merupakan kegiatan untuk memperkuat (reinforcement)
pemahaman mahasiswa terhadap materi pengetahuan sebagai hasil kegiatan belajar mendiri. Agar
image dosen tukang sulap, mahasiswa yang telah terlanjur menjadi “mesin dengar kopi” dapat
ditingkatkan menjadi proses belajar mandiri, komunikatif, dinamis dan inovatif.