estetika sunda dan implementasinya dalam desain...

17
Konferensi Internasional Budaya Sunda II 1 Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain Kontemporer Dr. Jamaludin, M.Sn

Upload: doankhanh

Post on 05-Feb-2018

244 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 1

Estetika Sunda dan Implementasinyadalam Desain Kontemporer

Dr. Jamaludin, M.Sn

Page 2: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2

Abstrak

Estetika adalah dasar dari penciptaan seni.Setiap karya seni adalah produk budaya masyarakatpenciptanya yang memiliki konsep estetika sendiri yang lahir dari sistem kepercayaan dankebudayaan masyarakat tersebut.Setiap karya seni, kriya atau desain yang diciptakansekelompok masyarakat tidak hanya dalam hubungannya dengan aspek fungsi produk tersebuttetapi juga merupakan produk yang memiliki aspek simbolik yang berhubungan dengankepercayaan termasuk kosmologi atau mitologi yang hidup di masyarakat tersebut.Arsitekturtradisional Sunda merupakan produk masyarakat Sunda pada zamannya yang memiliki kaitandengan berbagai faktor seperti sistem kepercayaan, geografis dan lingkungan sosial.

Makalah ini membahas kerangka estetika dalam budaya Sunda dengan menggunakan sumberungkapan dan peribahasa.Temuan tiga bentuk dasar yaitu persegi, lingkaran dan segitiga danmakna simboliknya dalam ungkapan dan peribahasa Sunda.Persegi terdapat dalam hirup kudumasagi, lingkaran dalam niat kudu buleud dan segitiga dalam bale nyungcung dan buananyungcung.Ketiga bentuk dasar tersebut dapat dijadikan sebagai sumber baru bagipengembangan desain kontemporer berbasis budaya Sunda termasuk di dalamarsitektur.Selain bentuk dasar, karakteristik geografis Tatar Sunda dan budaya masyarakatnyajuga dapat dijadikan sumber kreativitas dalam perancangan desain kontemporer.

Kata kunci: estetika, Sunda, tradisional, kontemporer, bentuk dasar, desain

A. Pendahuluan

Secara umum untuk menentukan identitas desain dan arsitektur Sunda sering mengacu kepada

ciri-ciri yang terdapat dalam arsitektur tradisional Sunda.Hal yang masih memungkinkan

mengingat di wilayah habitat masyarakat Sunda masih terdapat kampung adat seperti

Kampung Naga di Salawu Tasikmalaya dan Kanekes di Lebak Banten. Hal yang pokok dan

dapat dianggap sebagai ciri khas dan menjadi faktor pembeda adalah unsur estetika yang

dikandungnya. Unsur estetika ini dapat berupa fisik atau formal dapat juga berupa simbol

yang dilekatkan kepada bentuk fisik atau formal suatu karya seni atau arsitektur.

Unsur estetika baik formal maupun simbolik dalam prakteknya tidak berdiri sendiri tetapi

merupakan bagian integral dari suatu artefak budaya masyarakat yang terkait erat dengan

kemampuan setiap masyarakat yang dihubungkan dengan lingkungannya. Teori yang dapat

dipakai untuk menjelaskan kemampuan manusia tradisional (pra-modern) mengembangkan

kemampuan diri dalam hubungannya dengan kondisi lingkungan diungkapkan Walker (1989)

yang mengutarakan temuan Karl Popper dan E.H. Gombrich berupa teori deterministik yang

disebutnya Logika Situasi (Situational Logic) sebagai berikut.

”Karl Popper and E.H. Gombrich have argued for a ’situational logic’ in whichhumans are contrained by time, place and circumtance but even so have a degree of

Page 3: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 3

freedom to pursue alternative direction. Certainly, wahterver the limist imposed on adesigner by money, technology, the brief, and so on, there is usually more than oneway of solving a design problem” (Walker, 1989)

Bahwa manusia dibatasi oleh waktu, tempat dan kondisi yang meskipun demikian masih

memiliki derajat kebebasan untuk mencapai tujuan alternatif.Umumnya, faktor alam seperti

iklim dan geografi sangat relevan dalam pengembangan desain dan arsitektur (Walker, 1989).

Sementara James Fitch dan DanielBranch mengutarakan teorinya bahwa penentu desain

dalam masyarakat ‘primitif’ (tradisional, vernakular) adalah lingkungan, seperti Eskimo dan

Indian Amerika Utara bergantung pada material alam khas yang ada di lingkungannya: salju

bagi orang Eskimo dan kulit binatang dan ranting kayu bagi orang Indian adalah material

yang dipakai untuk hunian mereka. Agar dapat bertahan mereka harus membangun hunian

dengan material yang cocok dengan iklim lokal. Demikian juga dengan orang Sunda pada

masa lalu yang membangun hunian dengan material yang disediakan alam sekitarnya.

Selain faktor alam, faktor pola hidup juga memberi bentuk terhadap cara manusia

membangun model hunian. Masyarakat peladang berpindah akan berbeda dengan masyarakat

petani sawah dalam caranya mengembangkan hunian. Masyarakat dengan lingkungan yang

sering terjadi peperangan akan membangun benteng pertahanan. Desain vernakular dalam

konteks arsitektur tradisional merupakan hasil dari kearifan pragmatis yang telah berlangsung

berabad-abad.

B. Enam Paparan Arsitektur Vernakular

Istilah desain tradisional, lebih dahulu muncul dalam khasanah arsitektur dan dikenal dengan

istilah arsitektur vernakular. Menurut Victor Papanek (1995), arsitektur vernakular didasarkan

atas pengetahuan praktis dan teknik tradisional, biasanya dibangun sendiri oleh pemilik

dibantu oleh kerabat dan tukang bangunan setempat dengan menunjukkan kualitas

pertukangan tertinggi yang dimiliki. Struktur desain vernakular cenderung mudah dipelajari

dan dipahami. Material yang dipakai sebagian besar diambil dari lingkungan sekitar. Dari segi

bentuk dan penggunaan material, bangunan merupakan solusi yang tepat dipandang dari segi

ekologi dalam arti cocok dengan iklim, lingkungan dan cara hidup masyarakatnya. Desain

vernakular tidak bersifat menonjolkan diri tetapi menyeleraskan diri dengan alam sekitar. Dari

segi ukuran, desain vernakular senantiasa berskala manusiawi, proses pembuatan sama

pentingnya dengan hasil akhir. Desain vernakular adalah gabungan dari kecocokan dengan

Page 4: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 4

lingkungan, berskala manusia, dibuat dengan usaha terhadap kualitas pertukangan yang tinggi

yang pada kasus tertentu disertai dengan perhatian yang besar terhadap dekorasi, ornamentasi

dan hiasan dengan cita rasa sederhana yang menghasilkan desain yang indah.

Papanek lebih jauh mengemukakan enam paparan (six explanations) mengenai arsitektur

vernakular. Pertama, Paparan Metodologis (Methodological Explanation), yaitu bahwa desain

vernakular dapat dilihat dari metodenya yang merupakan gabungan dari material, alat dan

proses. Dalam konteks desain tradisional Sunda, tampak bahwa setiap material yang dipakai,

memiliki karakteristik yang khas sehingga memerlukan alat khusus yang juga khas untuk

mengolahnya dengan melalui proses pembuatan dan pemasangan tertentu sesuai dengan sifat

material dan kemampuan alat. Sifat material dan jenis bambu tertentu misalnya, dapat dipakai

dalam keadaan utuh, dibelah, atau dibuat anyaman. Masing-masing jenis bambu dipakai untuk

bagian tertentu di dalam konstruksi bangunan. Bambu utuh untuk kaso penyangga atap,

bambu gombong dibelah dan diratakan dipakai untuk lantai (palupuh) sedang awi tali (bambu

tali) dianyam dijadikan bilik untuk dinding.

Gambar 1 Proses pengeringan bahan lantaidari bambu (palupuh).

Lokasi: kampung Gajeboh Baduy

Gambar 2 Proses pengeringan daun kirayyang telah dianyam untuk bahan atap.

Lokasi: kampung Gajeboh Baduy.

Gambar 3 Proses memperkuat kayudengan cara direndam di kolam.

Lokasi: kampung Gajeboh Baduy

Gambar 4 Proses pembuatan bahanatap dari daun kiray.

Lokasi: kampung Ciranji Baduy

Page 5: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 5

Kedua, Paparan Dispersi dan Konvergensi (Dispersion and Convergence Explanation).

Dispersimenunjuk padapenyebaran suatu gaya desain dari suatu wilayah ke wilayah lain

mengalami perubahan dalam upaya adaptasi dengan kondisi lingkungan baru. Teori

konvergensi menjelaskan gaya desain tertentu akan memusat pada suatu kondisi geografi dan

iklim yang sama dan cenderung menggunakan pola-pola desain yang sama. Pendapat ini

didukung Hyppolite Taine (Walker, 1986) yang mengemukakan bahwa model ini mengacu

pada faktor biologi (seperti ras dan keturunan) untuk menjelaskan karakter desain dalam

masyarakat tertentu. Teori ini dapat menjelaskan fakta adanya kesamaan bentuk dan material

di dalam konteks desain tradisional Sunda mulai dari Kampung Kuta di ujung timur hingga

Kanekes (Baduy) di barat. Meskipun dipisahkan oleh jarak ratusan kilometer, bentuk dasar

model rumah di Kampung Kuta dan desa Kanekes relatif memiliki kesamaan yaitu model

rumah panggung dengan penggunaan material yang ada di lingkungannya. Latar budaya dan

keturunan yang sama, dalam hal ini budaya dan etnik Sunda, yang secara langsung

dipengaruhi oleh kondisi geografis dan iklim, tampaknya memberi pengaruh utama. Lebih

jauh lagi, kesatuan geografi dan iklim, dalam berbagai hal secara relatif akan memiliki

kesamaan.

Gambar 5 Rumah di kampung Kaduketugdesa Kanekes Leuwidamar Lebak

Gambar 6 Rumah di kampung Naga desaNeglasari Salawu Tasikmalaya

Gambar 7Rumah di Kampung Kuta TambaksariCiamis

Gambar.8 Rumah di Kampung Pulo Garut

Page 6: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 6

Ketiga, Paparan Evolusi (Evolusionary Explanation), yaitu bahwa meskipun arsitektur

vernakular berakar pada nilai-nilai tradisional, menyimbolkan kontinuitas di dalam

masyarakat, pada bagian tertentu tampak adanya sejumlah perubahan meskipun cenderung

lamban. Dalam observasi ke dua wilayah studi kasus, teori ini juga tampak relevan terutama

di kawasan Kampung Kuta Ciamis. Perubahan penggunaan material baru hasil industri

terbatas pada perabotan tertentu yang disesuaikan dengan nilai tradisi yang dianut dan

dipertahankan. Dengan kata lain penggunaan material hasil industri disesuaikan dengan

pemahaman terhadap aturan adat yang berlaku. Bahan bangunan buatan pabrik seperti kayu

lapis dan alas lantai dari plastik (vinyl) telah dipakai seperti secara umum di Kampung Kuta,

tetapi model rumah tetap dipertahankan berbentuk panggung.

Gambar 9 Peta beberapa lokasi rumah tradisional & kampung adat Sunda

Gambar 10. Penggunaan material hasil industri sepertikaca pada rumah di Kampung Kuta Ciamis.

Page 7: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 7

Perubahan yang relatif lamban dan khas terjadi di kawasan desa Kanekes (Baduy). Di Baduy,

terdapat kawasan yang disebut Baduy Luar yang memungkinkan warganya dapat

menggunakan peralatan lain di luar peralatan tradisional tetapi dalam jumlah dan jenis yang

terbatas karena keterikatan pada adat yang berpusat di Baduy Dalam masih berlangsung.

Keempat, Paparan Lingkungan Sosial (Social-Enviromental Explanation) yaitubahwa

bangunan vernakular mencerminkan kebutuhan masyarakat dan kemasyarakatan (social and

societal needs), keinginan dan hasrat masyarakat yang lebih langsung dibanding bangunan

yang dibuat arsitek. Dengan model desain vernakular, masyarakat dapat menentukan sendiri

model hunian dalam bangunan yang dikehendaki langsung sesuai dengan kebutuhan. Hal ini

berbeda dengan bangunan yang dirancang arsitek yang umumnya tidak berhubungan langsung

dengan pemakai terutama untuk bangunan komersial dan publik seperti bank, mal, kantor dan

pabrik. Tata nilai sosial yang dianut masyarakat di Kampung Kuta dan Baduy juga mengatur

bentuk dan model rumah bukan hanya terbatas pada masalah kebutuhan tetapi juga dalam

hubungan yang lebih luas dengan bentuk dan model rumah sekitar. Misalnya di Baduy, salah

satu syarat membangun rumah adalah jangan sampai membuat tetangga merasa silau.

Kelima, Paparan Budaya (Cultural Explanation) yaitu bahwa bangunan vernakular

dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat terutama dalam tata cara mendirikan bangunan

dan perhitungan atau aturan mendirikan bangunan berdasarkan budaya dan kepercayaan

setempat seperti perhitungan waktu yang tepat, arah hadap bangunan, lokasi, feng-shui,

berbagai upacara yang menyertai berbagai tahapan pembangunan, dan sebagainya.

Keenam, Paparan Estetika Formal (Formal Aesthetic Explanation) yaitu bahwa estetika

desain vernakular/tradisional berbeda dengan desain karya arsitek yang menonjolkan nilai

artistik individualistik yang dipandang sebagai sebuah ungkapan cita rasa arsitektural. Desain

vernakular tidak muncul sebagai sebuah ‘pernyataan’ arsitektural, tetapi lebih

mengedepankan unsur simbolik dibanding unsur fisik. Teori ini menunjukkan adanya ruang

bagi munculnya upaya memahami bentuk dan makna desain tradisional dengan pendekatan

yang berbeda dengan desain modern. Desain tradisional harus pertama-tama didekati dengan

pemahaman terhadap latar budaya masyarakatnya, karena desain adalah produk dari suatu

budaya masyarakat.

Page 8: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 8

Meskipun estetika adalah hal yang universal, perbedaan latar budaya masyarakat pencipta

karya seni tersebut menjadi faktor penting dalam proses penciptaan. Selain karena faktor

dasar seperti fase kebudayaan yang menghasilkan karya seni atau desain tersebut. Masyarakat

dengan budaya mitis berbeda cara pandangnya dengan masyarakat modern dengan budaya

ontologis. Seluruh teori tersebut tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan yang oleh

Papanek disebut jaring dinamis (Dynamic Web) sebagaimana dapat terlihat pada Matriks

Vernakular (Papanek, 1995).

Matriks vernakular di atas dapat dipakai untuk menjelaskan kondisi desain tradisional. Suatu

karya desain tradisional merupakan gabungan dari berbagai unsur dan setiap unsur saling

terkait satu sama lain. Pada matrix vernakular di atas dapat diketahui unsur-unsur yang

berpengaruh pada desain tradisional yaitu metode, (material, alat, proses dan skala),

budaya(citra ruang kolektif, agama-moralitas, kerja-hiburan, dan status), Desainer (pembuat,

pemakai, pemilik), lingkungan-sosial (iklim, konteks), evolusi (historis, tipologi) dan estetika

(formalis, ornamental, organik).Posisi atau kedudukan masing-masing unsur tersebut di dalam

suatu proses penciptaan desain tradisonal bersifat khas. Misalnya unsur Desainer, di

masyarakat tradisional sekaligus adalah pembuat, pemakai, dan pemilik, sedang unsur

Evolusimenunjuk pada perubahan bentuk secara evolusioner baik secara tipologis maupun

historis.Tipologis menunjuk pada adanya perbedaan tertentu tetapi dengan tipe bentuk yang

sama, sedang unsur historis menunjuk pada faktor sejarah perkembangan desain tersebut.

Gambar 11. Diagram Matriks Vernakular(sumber: Papanek, 1995)

Page 9: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 9

Unsur Dispersiyang terdiri dari dua faktor yaitugeografis dan sosial menunjuk pada sifat

desain tradisional yang menyebar dalam wilayah dalam batas geografis dan lingkungan sosial

tertentu. Dengan kata lain suatu desain tradisional tertentu umumnya dapat ditemui di dalam

wilayah yang sama secara geografi dan sosial yaitu kesamaan kelompok masyarakat berdasar

ras atau etnik dan berdasarkan unsur Budaya memiliki kesamaan dalam faktor agama dalam

pengertian sistem kepercayaan dalam arti luas menyangkut unsur kosmologi.

Unsur estetikyang mencakup faktor bentuk (formalis), ornamentasi dan organikmenunjuk

adanya acuan baku yang dimiliki masyarakat pencipta desain tersebut dalam hal bentuk, jenis

ornamentasi dan karakteristik organik. Pengertian organik kemungkinan mengacu pada

bentuk yang bersumber pada karakteristik serta bahan atau material alami dan simbolik yang

merupakan bagian integral dari kebudayaan penciptanya. Seluruh unsur tersebut merupakan

warisan dari generasi sebelumnya yang ditiru generasi berikut tanpa perubahan yang berarti

sebagaimana karakteristik umum desain tradisional.

B. Konsep Estetika Berdasarkan Ungkapan dan Peribahasa Sunda

Estetika adalah dasar sekaligus tujuan dari penciptaan seni, desain dan arsitektur. Dalam

desain kontemporer dimungkinkan pencarian gagasan atau sumber estetika tidak hanya dari

bentuk berbagai artefak tradisional tetapi juga dari berbagai sumber lain termasuk kondisi

geografis dan kekayaan budaya lainnya yang dimiliki masyarakatnya dalam hal ini

masyarakat Sunda. Beberapa sumber yang dapat dijadikan acuan adalah kosmologi Sunda,

bahasa dalam hal ini ungkapan dan peribahasa serta naskah Sunda kuno.Dalam khasanah seni

rupa, desain dan arsitektur serta matematika dikenal tiga bentuk dasar yaitu segi empat

bujursangkar, lingkaran dan segitiga. Ketiga bentuk dasar ini juga ditemukan dalam babasan

(ungkapan) dan paribasa (peribahasa) Sunda.

Segi Empat

Bentuk segi empat bujur sangkar terdapat dalam ungkapan “Hirup kudu masagi”. Ungkapan

yang berisi petuah yang artinya hidup harus serba bisa.Bentuk lain, ”jelema masagi”

(Natawisastra,1979, Hidayat, dkk, 2005) artinya orang yang memiliki banyak kemampuan

dan tidak ada kekurangan. Masagi berasal dari kata pasagi (persegi) yang artinya menyerupai

(bentuk) persegi. Ciri bujursangkar adalah keempat sisinya berukuran sama. Kesamaan

ukuran empat bidang pada bentuk bujursangkar ini diibaratkan berbagai aspek dalam bentuk

Page 10: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 10

tindakan atau perbuatan di dalam kehidupan yang harus sama dalam kualitas dan

kuantitasnya. Umumnya ungkapan ini dipahami sebagai perlambang untuk hidup serba bisa

sehingga tercipta kesempurnaan perbuatan atau perilaku dalam hidup. Pengertian serba bisa

atau serba dilakukan dalam arti positif dengan penekanan utama mengarah pada dua aspek

pokok kehidupan manusia, yaitu kehidupan duniawi (bekerja, hubungan manusia dengan

manusia, hubungan manusia dengan alam) dan kehidupan di akhirat nanti (hubungan manusia

dengan Tuhan). Bentuk segi empat bujur sangkar secara absolut tidak terdapat di alam.

Dengan kata lain, bentuk ini adalah ciptaan imajinasi manusia hasil abstraksi dari rupa yang

ada di alam. Bentuk segi empat lainnya, seperti empat persegi panjang adalah turunan dari

bentuk bujur sangkar ini.

Lingkaran

Bentuk lingkaran terdapat dalam ungkapan “Niat kudu buleud” (niat harus bulat). Niat

berkaitan dengan persoalan keteguhan sikap, keyakinan serta kepercayaan yang pada

ujungnya bermuara pada masalah keimanan atau spiritual. Bentuk bulat dibuat dari garis

melingkar dengan ujung saling bertemu, dengan jari-jari dari titik pusat ke setiap sisi

berukuran sama. Bila mengacu pada bentuk-bentuk yang ada di alam tampak bahwa lingkaran

terdapat pada berbagai objek seperti bulan dan matahari di angkasa, berbagai bentuk bunga-

seperti bunga teratai dan beberapa jenis daun memiliki bentuk dasar lingkaran atau bulat.

Bentuk lingkaran mempunyai keunikan yang tidak dimiliki bentuk dasar lain, seperti riak di

permukaan air. Bila permukaan air tersebut terganggu seperti karena suatu objek jatuh pada

permukaan air tersebut, di sekitar objek, karena pengaruh gravitasi, air bereaksi dengan

membentuk lingkaran yang bergerak membesar mengitari objek.

Bentuk lingkaran dan makna yang dikandungnya sebagaimana terdapat dalam ungkapan dan

peribahasa Sunda dapat diimplementasikan ke dalam bentuk bangunan yang secara fungsi

memiliki kesamaan dengan makna lingkaran.Salah satu bangunan yang menggunakan model

lingkaran adalah gedung Rektorat Universitas Padjadjaran di Jatinangor. Bentuk lingkaran

dan maknanya sebagaimana terdapat dalam ungkapan dan peribahasa Sunda dapat diterapkan

di dalam menjelaskan konsep bentuk gedung ini. Dengan demikian kehadiran arsitektur

kontemporer ini masih merupakan ekspresi budaya Sunda tradisional yang dikemas dalam

bentuk kontemporer.

Page 11: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 11

Segi tiga

Bentuk segi tiga terdapat dalam ungkapan “bale nyungcung”dan Buana Nyuncung (tempat

para dewa dan hyang dalam kosmologi masyarakat Kanekes). Bale Nyungcung adalah sebutan

lain untuk tempat atau bangunan suci, yang dalam Islam adalah masjid. Kalimat ka bale

nyungcung dalam percakapan sehari-hari maksudnya melangsungkan akad nikah, yang jaman

dahulu umumnya dilakukan di masjid. Bale nyungcung menunjuk pada model atap masjid

jaman dulu yang menggunakan ‘model gunungan’ atau ‘meru’ bertumpuk tiga dengan puncak

berbentuk atap limas yang disusun dari empat bentuk segitiga. Bentuk yang juga dapat

ditemui pada atap pura di Bali dan bangunan model tropis. Bentuk segitiga dalam posisi

normal, salah satu ujungnya berada di bagian atas, menjadi bagian puncak sehingga memiliki

arah orientasi yaitu ke atas (langit).

Mengacu pada alam, bentuk nyungcung adalah bentuk umum gunung. Gunung berperan

penting dalam perjalanan sejarah Sunda khususnya karena berbagai situs megalitikum dan

makam keramat umumnya terdapat di gunung (Wessing, 2006). Wessing lebih jauh

mengungkapkan penelitian Hidding (1933 dan 1935) bahwa pegunungan adalah perbatasan

antara hunian manusia (settled area) dan wilayah asing tempat kehidupan manusia berakhir

dan kehidupan lain mulai. Misalnya situs Gunung Padang di Cianjur dan Ciwidey, Astana

Gede Kawali dan Arca Domas di gunung Kendeng desa Kanekes (Baduy). Menurut Fadillah

(2001) sejumlah keramat, terutama dalam bentuk makam, meskipun tidak berada di puncak

gunung tetapi merupakan representasi gunung atau dibayangkan sebagai gunung. Fadillah

menggunakan contoh makam Syarif Hidayatullah di sebuah bukit bernama Sembung di

Cirebon, masyarakat menyebutnya Sunan Gunung Jati.

Gbr 12. Gedung Rektorat Universitas PadjadjaranJatinangor menggunakan bentuk dasar lingkaran:

contoh implementasi estetika Sunda dalam arsitekturkontemporer (Foto: flicker.com)

Gbr 13. Gedung Senat di dalam komplek GedungRektorat Universitas Padjadjaran Jatinangor

(foto: unpad.ac.id)

Page 12: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 12

Menurut Claire Holt (1967) puncak puncak gunung di Indonesia dipercaya secara luas sebagai

tempat tinggal para dewa dan roh-roh leluhur. Juga gunung-gunung berapi dianggap memiliki

kehidupan serta roh mereka sendiri, dipuja dan dihormati. Gunung dianggap sebagai jembatan

dunia atas dan bawah, oleh karenanya tempat-tempat pemujaan didirikan di tempat yang

tinggi atau dibuat meniru bentuk gunung (gunungan) seperti punden berundak dan candi serta

piramid sebagai jembatan transendental antara dunia atas dan dunia bawah (Dharsono, 2007).

Dalam pandangan Hindu-Budha, gunung dianggap berperan dalam menstabilkan jagat raya

(univers), menyangga langit dan bumi, menetralkan kekuatan jahat, kekacauan,

ketidakstabilan dan ketidakteraturan. Gunung adalah lambang kekuasaan tertinggi dan sebagai

pengikat jagat raya (Snodgrass, 1985).

Pengertian atau makna simbolik lainnya mengenai segitigadituturkan Ajip Rosidi (wawancara

1 Desember 2008) yaitu bahwa bentuk segitiga (dalam bahasa Sunda disebut jurutilu) juga

dipakai sebagai simbol vagina atau yoni, tempat bagi kelahiran manusia. Tampaknya simbol

itu dalam bentuk segitiga terbalik atau salah satu sudut terletak di bawah. Dengan demikian

segi tiga mengandung makna sebagai tempat suci bagi transformasi kehidupan. Segi tiga

dengan satu sudut di atas melambangkan tempat suci bagi transformasi ke alam lain melalui

kematian sedang segi tiga dengan satu sudut di bawah melambangkan tempat suci bagi

transformasi dari alam rahim ke alam dunia melalui kelahiran.

Gbr 15. Masjid tradisional dengan atap model ‘meru’ tigatingkat. Puncaknya berbentuk limasan tersusun dari empat

segitiga yang disebut nyungcung. (foto:kitlv)

Gbr 14. Segitiga, bentuk dasar gunung(foto: garut.go.id)

Page 13: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 13

Telah sejak lama di Indonesia umumnya terdapat dua model atap mesjid.Pertama

menggunakan atap model tradisonal yaitu limasan yang menjadi ciri khas bangunan tropis,

kedua atap dengan menggunakan kubah sebagai pengaruh dari arsitektur Timur

Tengah.Mesjid dengan atap model limasan yang runcing membuat masjid dikenal dengan

sebutan Bale Nyungcung.Atap limasan dapat diterapkan kembali ke dalam model atap mesjid

sebagaimana terdapat pada model atap masjid tradisional.Salah satu contohnya adalah masjid

Universitas Pendidikan Indonesia.

Selain penggunaan bentuk dasar dengan makna seperti yang terdapat di dalam ungkapan dan

peribahasa Sunda di atas, juga berbagai karakteristik geografis Tatar Sunda dan kebudayaan

masyarakatnya dapat dijadikan sebagai sumber acuan bagi penciptaan identitas lokal atau

dalam hal ini estetika Sunda di dalam berbagai bangunan. Selain sebagai bentuk atap limasan,

bentuk segitiga juga dapat dikembangkan ke karya seni dan arsitektur lain dengan muatan

maknanya sebagaimana yang terkandung di dalam ungkapan dan peribahasa.

C. Karakteristik Lingkungan dan Budaya Sebagai Sumber Estetika

Pemahaman mengenai kondisi geografis Tatar Sunda dan kekayaan budaya lainnya dari

masyarakat Sunda dapat diterapkan ke dalam desain secara formal (bentuk).Sebagaimana

diketahui, masyarakat Sunda dikenal sebagai masyarakat yang dekat dengan air.Hal itu

dibuktikan dengan banyaknya penamaan berbagai tempat dengan menggunakan kata “ci” atau

Gbr. 16.Masjid Universitas Pendidikan Indonesia.Bale nyungcungdalam arsitektur kontemporer. (Foto: kaskus.com)

Page 14: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 14

air.Karakteristik ini dapat diolah menjadi salah satu sumber penciptaan estetika Sunda

bersumber pada karakteristik lingkungan.

Unsur Air

Unsur air dapat diimplementasikan sebagai bagian integral dari suatu desain sebagai upaya

menciptakan estetika berbasis budaya Sunda.Upaya ini telah dilakukan oleh arsitek atau

desain interior.Contohnya adalah pada hotel Hilton Bandung. Pada lobby Hotel Hilton

terdapat kolam yang cukup besar, sementara pada dinding di atasnya terdapat semacam seni

monumental interior berupa mural dengan tema ombak. Kolam di dalam lobby hotel ini selain

dapat berfungsi teknis juga dapat dilihat sebagai upaya membuat unsur representasi lanskap

dan geografis wilayah Tatar Sunda.

Legenda

Salah satu kekayaan budaya adalah mitologi, kosmologi dan legenda.Di Kota Bandung

legenda yang terkenal adalah legenda Tangkubanparahu yang berpusat pada cerita

Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Legenda ini dapat menjadi upaya penciptaan estetika lokal

Sunda dengan cara kreatif .Salah satu contohnya adalah di hotel Holiday Inn Jl. Ir. H Djuanda

Bandung. Lobby hotel itu dihiasai dengan beberapa patung yang merupakan representasi

tokoh dalam legenda Sangkuriang atau Tangkubanprahu. Patung-patung tersebut diletakkan di

dekat dinding pada pintu masuk lobby hotel Holiday Inn, dengan dudukan cukup tinggi.

Keberadaan patung-patung tersebut yang pada bagian bawahnya diberi keterangan mengenai

Gbr. 17 Lobby Hotel Hilton Bandung dilengkapi dengan kolam yangterinspirasi dari karakteristik lanskap geografis Tatar Sunda yang banyak air.

Page 15: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 15

karakter masing-masing tokoh, sebagai upaya menciptakan identitas khas Kota Bandung yang

bersumber pada legenda. Kehadiran patung-patung tersebut membuat lobby hotel lebih

estetik.

Artefak budaya

Berbagai artefak budaya yang dihasilkan masyarakat Sunda dapat dipakai sebagai bagian

integral dari suatu karya seni atau arsitektur sebagai representasi budaya Sunda.Upaya ini

dapat dilakukan dalam bentuk formal maupun simbolik. Upaya ini telah dilakukan antara lain

seperti yang terdapat pada dinding lift hotel Hyatt Regency Bandung. Pada bagian tengah

void dengan atap sky light, dibuat taman yang merepresentasikan taman tropis. Sementara

pada dinding lift yang berada di sisi void dihiasi dengan berbagai motif keramik dari berbagai

tempat penghasil keramik di Jawa Barat. Seni monumental interior berbasis budaya keramik

Jawa Barat ini adalah karya pematung Rita Widagdo. Pada bagian bawah karya tersebut

dimuat informasi mengenai sumber acuan karya tersebut yaitu budaya keramik dari berbagai

tempat di Jawa Barat sehingga masyarakat dapat mengenalnya.

Patung tokoh-tokoh legenda Tangkubanparahu di lobyhotel Holiday Inn Bandung

(foto: members.virtualtourist.com)

Page 16: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 16

Kesimpulan

Konsep estetika Sunda dapat ditelusuri selain dari artefak tradisional yang dihasilkan

kebudayaan masyarakat Sunda juga dapat ditelusuri dari sumber lain seperti kosmologi,

bahasa dan naskah Sunda kuno. Dari temuan yang ada pada berbagai sumber tersebut dapat

dikembangkan upaya kreatif dalam penciptaan produk baru seperti desain dan arsitektur

kontemporer. Unsur lain seperti geografis, artefak budaya juga dapat menjadi bahan bagi

penciptaan unsur estetika berbasis budaya Sunda di dalam berbagai karya seni dan arsitektur

kontemporer. Beberapa contoh sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah satu upaya

menciptakan identitas lokal pada setiap karya desain yang pada akhirnya menciptakan estetika

yang khas budaya Sunda.

Peniruan terhadap artefak budaya tradisional sebaiknya dilakukan dengan hati-hati dan

sedapat mungkin tanpa merusak karakteristik bentuk formal.Misalnya bentuk atap julang

ngapak harus tetap memperhatikan karakterisitk bentuk julang ngapak.Inovasi yang

dilakukan sering membuat karakteristik bentuk tradisional menjadi hilang dan berubah

sementara istilah dan pemahamannya tetap. Seperti penyebutan atap julang ngapak tetapi

sudah dalam bentuk yang lain.

Dinding lift pada tepi void hotel Hyatt Regency Bandung berhiaskan berbagai abstraksi seni keramik dariberbagai tempat pembuatan keramik di Jawa Barat

Page 17: Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain …lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2015/04/KIBS_jamaludin.pdf · Konferensi Internasional Budaya Sunda II 2 Abstrak Estetika

Konferensi Internasional Budaya Sunda II 17

PustakaDharsono, Soni Kartika (2007), Estetika, Rekayasa Sains, BandungFadillah, Moh. Ali (2006): Pengultusan Orang Suci pada Masyarakat Sunda: Sebuah

Kontinuitas Unsur Budaya, prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda, jilid 1,Bandung, Rosidi, Ajip, Ekadjati, Edi S., Alwasilah, A. Chaedar, Editor, YayasanKebudayaan Rancage, 419-432

Hidayat, Rachmat Taufik, Haerudin Dinding, Muhtadin, Teddy AN Darpan, Sastramidjaja,(2005): Peperenian Urang Sunda, Kiblat Buku Utama, Bandung

Holt, Claire, (1967): Art in Indonesia, Cornel University Press, New York.Jamaludin, (2011): Makna Simbolik Estetika Sunda: Kajian Wadah Makanan Pokok di

Masyarakat Baduy, disertasi, Program Ilmu Seni Rupa dan Desain SekolahPascasarjana ITB.

Natawisastra, Mas (1979): Saratus Paribasa Jeung Babasan III, Departemen Pendidikan danKebudayaan

Papanek, Victor (1995): The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design andArchitecture, Thames and Hudson, London

Walker, John A. (1989): Design History and the History of Design, Pluto Press London