ersyad tonnedy-fzdk
DESCRIPTION
jurnalTRANSCRIPT
-
TAHAPAN PENANGGULANGAN BENCANA SITU GINTUNG OLEH PKPU
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Sosial Islam ( S. Sos. I )
Disusun oleh :
ERSYAD TONNEDY NIM: 105054102070
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM KONSENTRASI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H ./ 2010 M.
-
TAHAPAN PENANGGULANGAN BENCANA SITU GINTUNG OLEH PKPU
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Untuk Memenuhi Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Sosial Islam ( S. Sos. I )
Disusun oleh :
ERSYAD TONNEDY NIM: 105054102070
Pembimbing:
Ismet Firdaus, M.Si NIP: 150411196
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM KONSENTRASI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431H / 2010 M
-
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan
ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 20 April 2010
Ersyad Tonnedy
-
ABSTRAK
Ersyad Tonnedy Tahapan Penanggulangan Bencana Situ Gintung oleh PKPU
Ancaman bencana tidak mengenal waktu dan tempat. Rusaknya infrastruktur, bangunan rumah, hilangnya korban jiwa, harta benda dan mata pencaharian, hingga timbulnya rasa trauma yang membekas adalah gambaran kerugian akibat bencana. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu penanggulangan bencana yang bersifat menyeluruh baik sebelum, pada saat maupun setelah terjadi bencana.
Penulis mengambil judul Tahapan Penanggulangan Bencana Situ Gintung oleh PKPU karena pada dasarnya penanggulangan bencana merupakan upaya untuk mencegah dan mengurangi dampak bencana dengan tujuan memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman dan kerugian akibat bencana
Berdasarkan UU penanggulangan bencana RI No. 24/ 2007, penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahapan, yaitu tahapan pra bencana (pencegahan; kesiapsiagaan; mitigasi), tanggap darurat dan pasca bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi). Rangkaian tahapan penanganan bencana tersebut merupakan upaya melindungi dan menyelamatkan manusia sebagai sumber daya pembangun, mengembalikan kerugian harta benda dan kerusakan sarana prasarana serta memulihkan kehidupan dan penghidupan masyarakat
Prosedur pemilihan informan pada penelitian ini menggunakan purposive sampling. Adapun informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang, yang terdiri dari 7 orang penerima program dan 3 orang koordinator program (pelaksana program), yaitu Koordinator Rescue, Koordinator Pemberdayaan Ekonomi dan Koordinator divisi Kesehatan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini adalah tahapan penanggulangan bencana yang dilakukan PKPU, yaitu pada masa tanggap darurat dengan menurunkan Team Ekspedisi/ SAR, membuat posko bantuan darurat, mengadakan program dapur air, program bersih rumah, program steam gratis dan memberikan beragam paket-paket sumbangan bagi korban Situ Gintung. Pada masa pasca bencana/ recovery yaitu kegiatan rehabilitasi meliputi program trauma healing anak-anak, program tag sale, program wisata keluarga dan program gizi. Kemudian masa rekonstruksi melalui program ekonomi. Sedangkan pada tahapan pra bencana, PKPU tidak ikut terlibat dalam upaya-upaya penanganan bencana. Kemudian faktor pendukung tahapan penanggulangan bencana PKPU yaitu tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, adanya mitra usaha yaitu para donator yang mendukung jalannya program dari segi pendanaan, kemudian mitra kerja yang solid. Faktor penghambatnya yaitu kondisi medan yang berat dan sulitnya akses keluar masuk wilayah bencana akibat lumpur dan material-material lainnya, serta terhalang oleh ribuan orang yang datang melihat, lokasi korban dan pengungsian yang terpencar sehingga agak menyulitkan pelaksanaan program penanggulangan bencana.
-
KATA PENGANTAR
Segala puji ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Pengasih. Hanya
kepada-Nya kita memuji, memohon ampun dan pertolongan. Hanya dengan inayah-Nyalah
penulis dapat menyelesaikan pendidikan sampai pada tingkat strata satu (S1).
Shalawat serta salam semoga tercurah ke haribaan baginda Rasulullah SAW beserta
keluarganya, sahabat-sahabatnya dan seluruh umatnya sampai akhir zaman yang senantiasa
ikhlas mengikuti sunah-sunah serta jejak perjuangannya.
Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik moril
maupun materiil yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Untuk itu pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada:
1. Bapak Dr. Arief Subhan, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi beserta
para pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Helmi Rustandi, M. Ag, selaku Ketua Jurusan Konsentrasi Kesejahteraan Sosial
dan sebagai Penguji, terimakasih telah memberikan kritik, saran dan masukan untuk
skripsi yang telah penulis selesaikan.
3. Bapak Ismet Firdaus, M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Konsentrasi Kesejahteraan Sosial,
sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia membagi waktunya
untuk memberikan arahan, bimbingan dan motivasi serta masukan-masukan berharga
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Drs. Helmi Rustandi, M.A. dan Ibu Wati Nilamsari, M.Si., selaku Dosen Penguji,
penulis mengucapkan terima kasih telah memberikan kritik, saran dan masukan
membangun terhadap skripsi yang telah penulis selesaikan
-
5. Para Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi beserta seluruh Civitas Akademika yang
telah membagi wawasan serta keilmuan, juga membimbing penulis selama mengikuti
proses perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Pimpinan Perpustakaan, para staff dan para karyawan, baik perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah maupun perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah
membantu penulis selama menjalani perkuliahan dan khususnya dalam proses
penyelesaian skripsi
7. Para staff dan pengurus PKPU, Bapak Ir. Muhammad Yasin, Bapak Nurzaman, Bapak
Feri, Mba Ida, Mba Nia, Mba Ina dan seluruh pengurus dan staff PKPU yang tidak bisa
disebutkan satu persatu atas kesediaannya memberian kesempatan bagi penulis untuk
mengambil skripsi di PKPU. Kemudian kepada para korban Situ Gintung yang telah
banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Ibunda Murni Ainun, S. Pd dan Ayahanda Ir. Edison yang begitu tulus mencintai,
mengerti dan tidak henti-hentinya selalu mengiringkan doa bagi penulis. Kakakku
tersayang Erisya Indah Rahmania Tonnedy, S.pt dan adikku Ervan Tonnedy terima
kasih atas dukungan, motivasi dan canda tawanya. Nenek dan Kakek, Nek Mami, Mbah
Putri, Om dan tanteku, bibi, sepupu-sepupuku, de Ria, Harits, Fadel, Bayu, Taufan dan
lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu.
9. Sahabat dan teman-teman seperjuangan di Jurusan Konsentrasi Kesejahteraan Sosial
Angkatan 2005. Kawan-kawan Konsentrasi Kesejahteraan Sosial angkatan 2003, 2004,
2006, 2007, 2008 terima kasih atas support dan dukungannya.
10. Teman-teman Capung Community
11. Nda terima kasih atas perhatiannya yang selalu mendukung dan memberikan semangat
bagi penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
12. Keluarga besar Aula Insan Cita HMI
-
13. Teman-teman yang tak dapat disebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa terima kasih
penulis kepada kalian.
Akhir kata, karena keterbatasan wawasan, pengetahuan dan pengalaman penulis, tentu
banyak kesalahan dan kekhilafan penulis dalam skripsi ini. Selanjutnya penulis ucapkan
terima kasih dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Amin
Ciputat, 20 April 2010
Ersyad Tonnedy
-
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN. i ABSTRAK. ii KATA PENGANTAR.. iii DAFTAR ISI. vi DAFTAR TABEL viii DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN.... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.. 12 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 13 D. Metodologi Penelitian. 14 E. Sistematika Penulisan.. 21
BAB II LANDASAN TEORI A. Bencana.... 23
1. Pengertian Bencana . .. 23 2. Jenis - Jenis Bencana.................................................. 25 3. Penyebab Bencana.............. 26 4. Dampak - Dampak Bencana... 28 5. Pengelolaan Bencana (Disaster Management)... 30 6. Tahapan Penanggulangan Bencana.... 37
a. Pra Bencana.. 40 1) Pencegahan (prevention). 41 2) Kesiapsiagaan (preparedness).... 43 3) Mitigasi (mitigation)....... 47
b. Tanggap Darurat (response)... 52 c. Pasca Bencana (pemulihan/ recovery)... 57
1) Rehabilitasi (rehabilitation).......... 59 2) Rekonstruksi (reconstruction).. 62
BAB III GAMBARAN UMUM PKPU A. Profil PKPU...................................................... 65
1. Sejarah Singkat........ 65 2. Visi dan Misi... 66 3. Tujuan . 66 4. Nilai Budaya Organisasi..... 67
-
5. Aktivitas Lembaga. 67 6. Struktur Lembaga... 68 7. Jaringan Kerja..... 70
B. Profil Situ Gintung....... 70
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS A. Analisis Tahapan Penanggulangan Bencana Situ Gintung oleh PKPU
........... 73 1. Pra Bencana. 73 2. Tanggap Darurat...... 74
a. Menurunkan Team Ekspedisi/ SAR.................. 74 b. Penyediaan Posko Bantuan............... 83 c. Program Dapur Air.................... 86 d. Program Bersih Rumah..................... 88 e. Program Steam Gratis....... 91 f. Paket-Paket Sumbangan ... 93
3. Pasca Bencana (pemulihan/ Recovery)... 96 a. Rehabilitasi.... 96
1) Program Trauma Healing Anak-Anak.. 96 2) Program Tag Sale......... 101 3) Program Wisata Keluarga......... 105 4) Program Gizi. 107
b. Rekonstruksi.. 113 1) Program Ekonomi......... 113
B. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Tahapan Penanggulangan Bencana Situ Gintung oleh PKPU. ... 127 1. Faktor Pendukung..... 130 2. Faktor Penghambat... 130
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 111 B. Saran......... 112
DAFTAR PUSTAKA..... 132 LAMPIRAN
-
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Rancangan Penelitian... 15 Tabel 2 Siklus Penanganan Bencana......................... 40 Tabel 3 Struktur Lembaga PKPU.. 69 Tabel 4 Aktivitas Team Ekspedisi/ SAR PKPU 83 Tabel 5 Aktivitas Penyediaan Posko Bantuan PKPU 85 Tabel 6 Aktivitas Program Dapur Air PKPU. 87 Tabel 7 Aktivitas Program Bersih Rumah PKPU... 90 Tabel 8 Aktivitas Program Steam Gratis PKPU. 92 Tabel 9 Aktivitas Program Trauma Healing Anak PKPU.. 101 Tabel 10 Aktivitas Program Tag Sale PKPU 104 Tabel 11 Aktivitas Program Wisata Keluarga... 107 Tabel 12 Aktivitas Program Gizi... 111 Tabel 13 Aktivitas Program Ekonomi PKPU 119 Tabel 14 Rangkuman Analisis Data..... 121
-
DAFTAR GAMBAR
1. Peta Jaringan Kerja PKPU. 70
-
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Riset/ Penelitian Lampiran 2 Form Assesment Lampiran 3 Pedoman Wawancara Lampiran 4 Transkrip Wawancara Lampiran 5 Dokumentasi Kegiatan
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Wilayah Indonesia yang bercirikan kepulauan dan lingkungan alam tropiknya dengan
curah hujan yang cukup tinggi, secara alamiah dapat menyebabkan terjadinya
pembentukan situ, danau atau waduk yang kemudian selain berfungsi sebagai tempat
penampungan dari air hujan, mata air maupun sungai-sungai yang terdapat disekitarnya,
juga dimanfaatkan untuk perairan ladang pertanian, tambak dan tempat wisata alam.
Situ adalah sejenis waduk kecil sebagai wadah genangan air di atas permukaan tanah
atau air permukaan yang terbentuk secara alamiah sebagai siklus hidrologi dan
merupakan salah satu bagian yang juga berperan potensial dalam kawasan lindung.1
Sedangkan waduk adalah kolam besar tempat menyimpan air sediaan untuk berbagai
kebutuhan. Waduk dapat terjadi secara alami maupun buatan manusia.2
Terjadinya pembentukan situ atau danau baik secara alami maupun buatan, yang
tanpa disadari semakin lama sudah berumur relatif tua namun tidak disertai dengan
adanya pemeliharaan dan perawatan yang memadai, kemudian ditambah dengan
pelanggaran-pelanggaran tata ruang yang terjadi dan telah berlangsung sejak lama, sedikit
demi sedikit menyebabkan kemungkinan akan kerentanan terhadap terjadinya bencana
sangatlah besar. Hingga fenomena bencana jebolnya tanggul situ atau danau di Indonesia
yang sangat berdampak bagi lingkungan sekitarnya menjadi semakin bertambah.
1 Roviky, Dongeng Seputar Situ-situ di Indonesia, artikel diakses pada Selasa, 23 Februari 2010 dari
http://rovicky.wordpress.com/2009/03/30/dongeng-seputar-situ-situ-di-indonesia-beauty-and-the-beast-1/ 2 Waduk, artikel diakses pada Minggu, 28 Februari 2010 dari http://.wikipedia/waduk. org/
-
Hasil inventarisasi situ-situ di Jabodetabek oleh BBWS-CC (Balai Besar Waduk dan
Sungai-Ciliwung Cisadane) yang dilakukan tahun 2009, Jabodetabek yang dulunya
memiliki 202 situ kini hanya tinggal 182 situ. Situ-situ yang tersisa pun saat ini cukup
memprihatinkan dan kurang baik, ada pula yang dinyatakan rusak.3 Dengan demikian,
seharusnya menjadi tolak ukur untuk dapat berbuat banyak dalam menjamin keselamatan
warga.4
Wilayah, daerah dan lokasi yang semestinya tidak/ kurang layak dihuni atau
dikembangkan sebagai pemukiman, aktivitas produksi dan industri tanpa memperhatikan
kaidah alam dan perilakunya, serta tidak menggunakan pertimbangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang bijaksana dan tepat, misalnya pada lokasi pinggir danau/ situ, dapat
menimbulkan kerentanan terhadap bencana. Pada akhirnya, aktivitas pembangunan,
industri, produksi, transportasi dan rekreasi untuk tujuan pembangunan sosial, budaya,
politik, hukum dan keamanan yang dapat dilihat betapa semarak dan berpacu tanpa henti-
hentinya tersebut, menjadi kandas dan pudar manakala bencana datang dengan
dahsyatnya.5
Lebih-lebih Indonesia kini termasuk dalam daftar negara paling beresiko bencana
(dilansir Badan Pencegahan Bencana PBB atau United Nations International Strategy for
Disaster Reduction). Dalam daftar ini, negara-negara di Asia mendominasi dan Indonesia
berada diposisi Sembilan (sangat tinggi) bersama Bangladesh, China, India dan
Myanmar. Data disusun berdasarkan bencana sejak tahun 1977 sampai 2009, yang tidak
hanya mengukur resiko bencana, namun juga menunjukan kemampuan negara dan
masyarakat di negara bersangkutan dalam menanggulangi bencana. Tidak mengherankan
3 Situ Gintung Segera di Bangun Lagi, Kompas, 18 Mei 2009, h. 7.
4 Departemen PU Kaji Kondisi Situ di JABOTABEK artikel diakses pada Sabtu, 20 Maret 2010 dari
http://bbwsciliwungcisadane.com/index.php?option=com_content&task=view&id=136 &Itemid=2 5 Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu (Jakarta: Yarsif Watampone,
2006), h. 2-3.
-
bila Indonesia oleh masyarakat Internasional dikenal sebagai supermarket bencana,
karena hampir semua jenis bencana ada di Indonesia. Jepang misalnya, masuk dalam
negara beresiko sedang atau medium karena dinilai sangat siap menghadapi bencana jenis
apapun.6
Dalam dasa warsa terakhir pengelolaan bencana semakin bergeser kearah
pemberdayaan komunitas, seperti yang dicanangkan dalam World Conference on Natural
Disaster Reduction di Yokohama pada tahun 1994 mengenai Community-based Disaster
Management. Suatu kesadaran mengenai pentingnya upaya pemberdayaan komunitas agar
memiliki informasi yang memadai, memiliki kewaspadaan yang lebih tinggi, lebih aktif,
serta memiliki kemampuan untuk berkoordinasi dan mendukung pemerintah. Tentunya
bukan hanya sekedar merespon bencana tetapi juga dalam kegiatan mitigasi.7
Melihat banyaknya potensi bencana, sudah seharusnya bangsa Indonesia senantiasa
sadar dan waspada. Bencana sudah seyogyanya dijadikan peristiwa yang membuat kita
patut merenungi dan merefleksi diri bahwa negara kita merupakan wilayah yang hampir
semua bencana exist.8
Ketika terjadinya suatu bencana maka kita berhadapan dengan manusia, sehingga
kondisi serta kebutuhan para korban harus didahulukan dan akhir dari tindakan terlihat
pada hasil yang dinikmati korban. Kebutuhan korban harus dimaknai sebagai menjawab
kebutuhan manusia yang tengah menderita tersebut.9
Terjadinya bencana seolah menagih simpati jiwa kemanusiaan kita untuk
mengaplikasikan nilai-nilai moral. Dengan demikian, suara hati manusia tanpa harus
memandang agama dan kepercayaannya akan bicara mengenai tindakan-tindakan yang
6 Resiko Tinggal di Negeri Seribu Bencana, Komunika, Edisi 12/tahun V (Agustus 2009): h. 8.
7 Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu (Jakarta: Yarsif Watampone,
2006), h. 92. 8 Kodoatie dan Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 2-3.
9 Abraham Fanggidae, Soal Nilai Dalam Manajemen Bencana, artikel diakses pada Selasa, 23 Februari
2010 dari http://www.averroes.or.id/breaking-news/soal-nilai-dalam-manajemen-bencana.htmlZ
-
berperikemanusiaan. Begitu banyak manusia yang tunduk pada tuntutan-tuntutan moral
karena menanti surga dan kekhawatiran akan Jahanam dan ancaman siksa. Tentu dalam
hal ini, agama mempunyai peran sebagai pendorong untuk menerapkan nilai-nilai moral.
Dalam kerangka interaksi sosial, aplikasi nilai-nilai moral adalah harga mati yang tak bisa
ditawar lagi karena keadilan dan tatanan sosial bersemayam dalam nilai-nilai moral yang
bertanggungjawab.10 Seperti yang dikatakan dalam Al-Quran (QS. Al-Maidah/ 5: 2) yang
berbunyi:11
!"# % &'()*
+&,- "./0123 "5678,* 9 :; ?,*
+&,- @B'C D/E72 F; 'GHIJK LM/NK O 7PQ8 ST26"U V>7W/X72 O 'GYZ[&,\7] @%0^ _'7 @` 'GabK
-
sesuatu. Entah itu aktivitas ekonomi, sosial, budaya, politik maupun amal perbuatan yang
terkait dengan ibadah kepada Tuhan. Di sinilah tercipta hubungan untuk saling tolong
menolong antara manusia satu dengan yang lainnya. Allah SWT memberikan rule
(kaidah/ panduan) agar dalam melakukan tolong menolong itu seyogyanya dalam
melakukan hal-hal yang baik, tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah keagamaan
maupun budaya atau norma yang berlaku di masyarakat dimana kita tinggal. Masing-
masing membantu orang lain sesuai dengan kapasitas dan kemampuan.12
Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk pribadi dan
makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial atau makhluk yang bermasyarakat, manusia tidak
dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia ada kalanya sehat, sakit senang dan
ada kalanya susah. Kita sangat membutuhkan bantuan orang lain. Jadi adab kepada orang
yang kena musibah adalah membantu atau menolong mereka untuk meringankan
penderitaannya, serta menghiburnya dalam kesusahan. Allah SWT akan senantiasa
menolong hambanya yang suka memberi pertolongan kepada orang lain.13 Sebagaimana
dalam suatu hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda:
( )
Artinya:
Allah senantiasa akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya sendiri. (H.R Muslim).
Kita harus mencoba memahami setiap musibah yang kita dapatkan. Segala musibah
tersebut terjadi dengan seizin Allah. Manusia memang ditakdirkan tidak pernah lepas dari
ujian. Baik yang sudah diprediksikan ataupun yang datang tiba-tiba seketika. Musibah
12 Ahmad Nurcholish, Tolong Menolong Dalam Kebajikan, artikel diakses pada Rabu, 23 Februari 2010
dari http://ahmadnurcholish.wordpress.com/2008/08/27/tolong-menolong-dalam-kebajikan-qs-al-maidah52/ 13
Anggit Saputra Dwi Pramana, Tolong Menolong dalam Kebaikan, artikel diakses pada Rabu, 23 Februari 2010 dari http://anggitsaputradwipramana.blogspot.com/2009/08/tolong-menolong-dalam-kebaikan.html
-
merupakan salah satu cara Allah dalam menilai keimanan seseorang kepada takdir, karena
seorang mukmin yakin bahwa segala sesuatu yang diterimanya adalah ketentuan dari
Allah SWT.14
Sudah selayaknya manusia sebagai salah satu penghuni muka bumi ini untuk
senantiasa merawat, melestarikan serta menjaga bumi ini dari hal-hal negatif yang dapat
merusak alam semesta. Paling tidak dapat mengurangi terjadinya bencana yang
disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia dan kelalaian-kelalaiannya yang berakibat
fatal.15 Peringatan Allah seperti yang dikatakan dalam Al-Quran (QS. Ar-Rum/ 30: 41)
yang berbunyi:16
&"\7V V>
-
Pada hakekatnya bencana juga merupakan suatu cobaan, peringatan dan ujian dalam
kehidupan manusia didunia. Sebagai suatu alat introspeksi diri serta pelajaran berharga
bagi manusia untuk senantiasa memperbaiki dirinya, karena suatu saat kita pasti akan
kembali kepada-Nya.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT (QS. Al-Anbiyaa/ 21: 35) yang berbunyi:18
K K{s |J,qL #78}7P G'",* Y
Gs#'?L QH(~*Qr Q'&7,-
2 ,>7*Q8 @#"z'h c[Q
Artinya:
Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.
Bagi orang-orang yang menggunakan akalnya dan membuka diri, mereka akan dapat
mengambil hikmah dari berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Hikmah tersebut
akan menjadi pelajaran berharga untuk menghadapi masalah di masa depan, serta
membangun kedekatan dengan Allah sang penguasa kehidupan. Demikian seharusnya
kita menyikapi setiap bencana yang menimpa kita, menimpa sahabat-sahabat kita atau
mungkin sanak famili kita. Hikmah yang terkandung di dalam bencana tentu selalu
memuat beberapa pelajaran agar kita berintrospeksi dan kemudian termotivasi untuk
melangkah kearah yang lebih baik dan produktif. Bagi orang-orang yang berfikir positif,
mereka akan selalu berpendapat bahwa semua ini adalah ujian dan cobaan. Ujian terhadap
keimanan kita dan cobaan bagi kesabaran kita dalam menerima musibah. Karena semua
itu datangnya dari Allah dan kita pun akan kembali pada-Nya.19
18 Said, Tarjamah Al Quran Al Karim, h. 293.
19 Mustofa, Menuai Bencana, h. 236-237.
-
Untuk itu, atas semua musibah dan bencana yang tengah kita alami saat ini,
seharusnya membuat kita mawas diri dan jangan sampai menunggu bencana yang lebih
besar kembali datang memusnahkan kita. Penanggulangan terhadap ancaman bencana
yang tidak mengenal waktu dan tempat, juga memerlukan pengelolaan secara menyeluruh
baik sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana maupun juga pasca terjadinya bencana.
Penanggulangan bencana harus ditangani secara terpadu dan terkoordinasi, serta
menekankan pada upaya penanganan secara sistemik, termasuk kebijakan-kebijakan
sosial terkait. Kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegah), kuratif
(penyembuh) dan pengembangan (developmental). Kebijakan sosial adalah ketetapan
yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi
preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban
negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya (Suharto, 2006a).20
Penanggulangan bencana pada hakekatnya merupakan upaya kemanusiaan untuk
melindungi dan menyelamatkan manusia sebagai sumber daya pembangun dari ancaman
bencana. Penanggulangan bencana juga merupakan upaya kegiatan ekonomi yang
bertujuan memulihkan dan mengembalikan kerugian harta benda, kerusakan sarana dan
prasarana, serta kehidupan dan penghidupan masyarakat. 21
Usaha kesejahteraan sosial dengan mengacu pada program penanggulangan bencana
yang secara kongkrit, bertujuan untuk mengembalikan keberfungsian sosial para korban
bencana pada kondisi yang normal dan merupakan suatu tanggung jawab bersama semua
kalangan baik pemerintah, swasta maupun lapisan dan golongan masyarakat lainnya
untuk turut andil dalam proses penanggulangan bencana.
20 Suharto, Kebijakan Sosial; Sebagai Kebijakan Publik, h. 11.
21 Soeladi, Manajemen Bencana Alam Tsunami (Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 1995), h. 1.
-
Dalam undang-undang no. 6 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kesejahteraan sosial, pasal 2 ayat 1 adalah sebagai berikut:
Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri, keluarga serta masyarakat dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia serta kewajiban manusia sesuai dengan falsafah kita, yaitu pancasila.22
Dalam kondisi bencana, diperlukan upaya penanganan agar dapat menumbuhkan
semangat korban dalam membangun kembali wilayahnya yang telah hancur dengan
partisipasi sosial masyarakat, dimana manusia (warga masyarakat) tidak boleh dipandang
dan diperlakukan sebagai objek pembangunan belaka, namun menjadi subjek terhadap
pembangunan daerahnya sendiri.23 Dengan melaksanakan aktivitas kemanusiaan baik itu
didalam maupun diluar lembaga pelayanan sosial, yang direkat tidak hanya oleh sikap
karitatif atau belas kasihan, melainkan dengan dasar pengetahuan (body of knowledge)
dan keterampilan (body of skill),24 untuk membantu individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat agar berfungsi sosial dalam memenuhi kebutuhan fisik, psikis dan sosial,
serta dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan peran dan situasi
sosialnya.25
Hal-hal tersebut diatas dapat diwujudkan melalui pelayanan-pelayanan sosial yang
pada prinsipnya mempunyai tiga unsur utama, yaitu: 1. Pelayanan sosial merupakan
aktivitas profesi pekerjaan sosial bersama dengan profesi lain (bukan monopoli profesi
pekerjaan sosial), 2. Pelayanan sosial ditujukan untuk membantu agar seseorang dapat
mengembangkan diri, tidak bergantung, memperkuat relasi keluarga dan juga
22 Syarif Muhidin, Pengantar Kesejahteraan Sosial (Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial,1997),
h. 5. 23
Jusman Iskandar, Strategi Dasar Membangun Kekuatan Masyarakat (Bandung: KM STKS, 1993), h. 27. 24
Edi Suharto, M.Sc, Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung: LSP-STKS, 1997), h. 392.
25 Siti Napsiyah, Review: Konsep, Sejarah dan Peran Pekerja Sosial (Makalah), h. 1.
-
memperbaiki individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, 3. Pelayanan sosial diberikan
agar penerima pelayanan dapat berfungsi sosial dengan baik.26
Selama ini, umumnya banyak diantara kita yang bereaksi hanya pada waktu terjadi
bencana dan setelah itu dilupakan, baru ramai lagi saat terjadi bencana pada waktu dan
lokasi lain. Penanggulangan bencana sesaat (responsive) lebih terlihat dari pada upaya
antisipatif dan pencegahan (preventif) yang cenderung dilupakan.27 Penanggulangan
bencana harus dilakukan baik sebelum, pada saat maupun setelah terjadi bencana. Upaya
ini harus dilakukan secara terus menerus secara bersama, baik oleh pemerintah,
masyarakat serta dunia usaha yang merupakan segi tiga kekuatan yang harus solid dalam
penanggulangan bencana.
Bencana yang terjadi di Indonesia selalu menimbulkan bentuk simpatik dari
masyarakat baik secara nasional maupun internasional dari lembaga pemerintah, swasta,
organisasi-organisasi, partai politik dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).28 Kini
semakin banyak lembaga-lembaga terkait yang concern dan aware terhadap masalah
penanggulangan bencana, yang diwujudkan dengan penyediaan berbagai bentuk usaha
kesejahteraan sosial melalui berbagai program-program pelayanan sosial yang konkrit
(jelas).
PKPU sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional yang telah melakukan berbagai misi
kemanusiaan baik didalam maupun luar negeri, tetap konsisten dan kontinyu menjalankan
aksi-aksi kemanusiaannya. Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung yang menyebabkan
terjadi banjir bandang beberapa waktu silam juga tak luput untuk ditangani. Beragam
rangkaian aksi program-program penanggulangan bencana untuk para korban bencana
26 Soetarso, MSW, Kesejahteraan Sosial, Pelayanan Sosial dan Kebijakan Sosial (Bandung: Koprasi
Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 1993), h. 103. 27
Resiko Tinggal di Negeri Seribu Bencana, Edisi 12/tahun V, h. 8. 28
Dedi Gunawan, Upaya Pekerja Sosial dalam Menumbuhkan Semangat Membangun Kembali Masyarakat Korban Bencana Gempa Bumi di Klaten (Jawa Tengah) pada Tahap Rehablitasi, (Skripsi S1 Institut Imu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, 2007), h. 2.
-
Situ Gintung digulirkan oleh PKPU secara bertahap dari awal terjadinya bencana hingga
proses pasca bencana/ recovery.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka kemudian mendorong
penulis untuk melakukan pembahasan dan penelitian secara lebih mendalam mengenai
Tahapan Penanggulangan Bencana Situ Gintung Oleh PKPU.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan penulis dalam hal ilmu pengetahuan, waktu, dana dan
demi terfokusnya pikiran, maka peneliti membatasi masalah penanggulangan bencana
(disaster management) Situ Gintung pada Tahapan Penanggulangan Bencana Situ
Gintung oleh PKPU.
2. Perumusan Masalah
1.) Apa saja tahapan penanggulangan bencana yang dilakukan PKPU untuk Situ
Gintung?
2.) Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam tahapan penanggulangan
bencana Situ Gintung oleh PKPU ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana bentuk aplikasi tahapan penanggulangan bencana
Situ Gintung oleh PKPU dilaksanakan.
b. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam program
penanggulangan bencana Situ Gintung oleh PKPU.
-
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menambah khasanah
ilmu pengetahuan bagi semua pihak dan juga diharapkan dapat menjadi
sumbangan pemikiran serta masukan bagi lembaga yang bergerak dalam bidang
penanggulangan bencana (disaster management).
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi bahan masukan
bagi masyarakat secara umum dan tentunya dapat menambah wawasan bagi
penulis.
D. Metodologi Penelitian
1. Unit Analisa
Pencatatan data penelitian ini menggunakan sampel yang bertujuan menjaring
informasi dari berbagai sumber. Teknik yang digunakan untuk penentuan subyek
dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling dimana informan dipilih
berdasarkan pertimbangan tertentu dan dianggap sebagai orang-orang yang tepat
dalam memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan penelitian.29 Menurut
Neuman konsep sampel dalam penelitian kualitatif berkaitan erat dengan bagaimana
memilih informan atau situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang
mantap dan terpercaya mengenai elemen-elemen yang ada. Tidak ada ketentuan baku
29 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan
Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 63.
-
tentang jumlah informan minimal yang harus dipenuhi pada suatu penelitian
kualitatif.30
Dalam penelitian ini, yang menjadi unit analisis adalah keterwakilan unsur dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana oleh PKPU, yaitu 7 orang dari para korban
bencana Situ Gintung sebagai wakil dari unsur penerima/ peserta program. Kemudian
3 orang koordinator program, yaitu Koordinator Rescue, Koordinator Pemberdayaan
Ekonomi dan Koordinator Divisi Kesehatan sebagai unsur dari pemberi/ pelaksana
program.
Tabel 1 : Rancangan Penelitian
No. Informan Informasi yang dicari Jumlah 1. Koordinator
Divisi Program Perihal Program Penanganan Bencana untuk Situ Gintung, Faktor pendukung dan penghambat program
3 orang
2. Penerima Program (Korban Situ Gintung)
Perihal pelayanan sosial yang diterima 7 orang
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut
Nawawi pendekatan kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses
menjaring informasi dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek,
dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah, baik dari sudut pandang teoritis
maupun praktis. Penelitian kualitatif dimulai dengan mengumpulkan informasi-
30 Lawrence W. Neuman. Social Research Methods: Qualitative dan Quantitative Approaches (Needham
Heights: Allyn & Bacon, 2000), h. 20-21.
-
informasi dalam situasi sewajarnya, untuk dirumuskan menjadi suatu generalisasi
yang dapat diterima oleh akal sehat manusia.31
Kemudian menurut Bagdon dan Taylor dalam Syamsir menjelaskan bahwa
metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati.32
Oleh sebab itu, penulis menggunakan pendekatan kualitatif untuk
menggambarkan tahapan-tahapan program yang dilakukan PKPU dalam upaya
melakukan penanggulangan bencana bagi para korban jebolnya tanggul Situ Gintung.
3. Sumber Data
a. Data primer yaitu berupa data yang diperoleh dari partisipan atau sasaran
penelitian. Data primer yang penulis gunakan adalah observasi dan interview atau
wawancara langsung kepada semua unsur terkait penyelenggaraan program.
b. Data sekunder yaitu berupa catatan atau dokumen yang diperoleh dari berbagai
sumber dan literatur, buku-buku, internet juga beragam sumber atau tulisan-
tulisan lainnya terkait dengan masalah dalam penelitian ini. Seperti laporan
praktikum Penanggulangan Bencana Situ Gintung PKPU dan brosur PKPU.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk pelaksanaan penelitian ini, teknik pengumpulan data yang
dilakukan adalah melalui:
a. Observasi
Yaitu pengamatan langsung pada suatu objek yang diteliti. Dimana penulis
melakukan pengamatan secara langsung, memperhatikan secara akurat, mencatat
31 Nawawi Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992),
h. 209. 32
Syamsir Salam, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 30.
-
fenomena yang muncul dan mempertimbangkan antar aspek dari hasil rangkaian
tahapan penanggulangan bencana yang dilakukan PKPU untuk korban bencana
Situ Gintung.
b. Interview atau wawancara
Yaitu suatu alat pengumpulan informasi secara langsung tentang beberapa
jenis data.33 Wawancara yang dilakukan oleh penulis untuk memperoleh data dari
berbagai narasumber. Alat yang digunakan dalam pencatatan data berupa alat tulis
dan tape recorder. Pencarian data dengan metode ini sangatlah penting untuk
mendapatkan berbagai informasi mengenai tahapan penanggulangan bencana Situ
Gintung oleh PKPU.
c. Dokumentasi
Yaitu suatu cara memperoleh data yang tidak diperoleh dengan observasi dan
interview, namun dengan melakukan penelusuran data melalui telaah buku,
majalah, surat kabar, jurnal, sumber internet, laporan hasil praktikum
penanggulangan bencana Situ Gintung PKPU dan sumber lain terkait dengan
masalah yang sedang diteliti.
5. Teknik Analisis Data
Setelah terkumpulnya data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan
permasalahan penelitian, maka selanjutnya penulis melakukan analisis terhadap data
dan informasi tersebut. Dalam menulis data tersebut penulis menggunakan analisis
deskriptif, yaitu mendeskripsikan hasil temuan penelitian secara sistematis, faktual
dan akurat yang disertai dengan petikan hasil wawancara.
33 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), h. 49.
-
Nasir mengemukakan bahwa analisa data merupakan bagian yang sangat penting
dalam metode ilmiah, karena dengan analisis data tersebut dapat diberi data dan
makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.34
Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Data-data kualitatif
dari hasil wawancara mendalam yang berupa kalimat-kalimat atau pernyataan
pendapat atau sikap tersebut, dianalisa dan diinterpretasikan untuk mengetahui makna
yang terkandung didalamnya dan memahami keterikatan dengan permasalahan yang
sedang diteliti.
Data kualitatif dari hasil wawancara, observasi langsung dan dokumentasi,
selanjutnya disusun dalam catatan lapangan. Kemudian diringkas dan dipilih hal-hal
yang penting dan pokok, dikategorikan serta disusun secara sistematis dengan
mengacu pada perumusan masalah dan tinjauan teoritis yang berkaitan dengan
penelitian ini.
6. Keabsahan Data
Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini memiliki kriteria, yaitu:
a. Kredibilitas dengan teknik triangulasi, yaitu memeriksa keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain.35 Misalnya membandingkan keadaan perspektif
seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain. Kemudian juga
membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan. Dalam hal ini
penulis melakukan perbandingan wawancara dari informan satu ke informan lain
dan juga melakukan wawancara terhadap hasil dari observasi yang penulis
lakukan.
34 Mohammad Nasir D, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), h. 405.
35 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 330.
-
b. Ketekunan/ keajegan pengamatan, dengan maksud menemukan ciri-ciri dan
unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang
sedang dicari. Kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
Dengan kata lain peneliti hanya memusatkan jawaban sesuai dengan rumusan
masalah saja. Dalam teknik keabsahan ketekunan ini, penulis melakukan
pengamatan hanya kepada masalah yang sedang diteliti yaitu tahapan
penanggulangan bencana Situ Gintung oleh PKPU.
7. Pedoman Penulisan Skripsi
Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, maka peneliti menggunakan
teknik penulisan berdasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang
diterbitkan oleh CeQda UIN Jakarta, 2007.
8. Tinjauan Pustaka
Sebagai bahan perbandingan, maka penulis memaparkan beberapa skripsi sebagai
berikut:
1) Dalam skripsi yang berjudul: Upaya Pekerja Sosial dalam Menumbuhkan
Semangat Membangun Kembali Masyarakat Korban Bencana Gempa Bumi di
Klaten (Jawa Tengah) pada Tahap Rehablitasi.
Di susun oleh : Dedi Gunawan
Univ/ Prog Studi : Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta/
Kesejahteraan Sosial
Lulus : 1428 H/ 2007 M
-
Skripsi ini jelas berbeda dengan skripsi saya, adapun letak perbedaannya antara
lain:
a. Subjek dan objeknya: subjek skripsi ini adalah pekerja sosial di wilayah
Klaten (Jawa Tengah) dan objeknya adalah kegiatan rehabilitasi yang
dilaksanakan untuk korban bencana gempa bumi di Klaten (Jawa Tengah).
b. Adapun masalah yang dibahas dalam skripsinya yaitu, Pertama: Bagaimana
proses rehabilitasi untuk korban bencana gempa bumi di Klaten (Jawa
Tengah)? Kedua: Bagaimana kontribusi pekerja sosial dalam menumbuhkan
semangat membangun kembali masyarakat korban bencana gempa bumi di
Klaten (Jawa Tengah)?.
Dengan melihat skripsi diatas, maka skripsi saya berbeda materi yang dibahas,
yaitu tentang: Tahapan Penanggulangan Bencana Situ Gintung oleh PKPU.
Adapun masalah yang penulis bahas adalah:
a. Apa saja tahapan penanggulangan bencana yang dilakukan PKPU untuk Situ
Gintung ?
b. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam tahapan penanggulangan
bencana Situ Gintung oleh PKPU ?
9. Teknik Penulisan
Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Disertasi yang diterbitkan oleh UIN
Jakarta Press Tahun 2007.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi ini berdasarkan sistematika penulisan, yaitu sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
-
Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II Landasan Teori
Pengertian Bencana, Jenis-Jenis Bencana, Penyebab Bencana, Dampak-
Dampak Bencana, Pengelolaan Bencana (Disaster Management), Tahapan
Penanggulangan Bencana meliputi tahap Pra bencana yaitu Pencegahan
(prevention); Kesiapsiagaan (preparedness); Mitigasi (mitigation), Tanggap
Darurat (response), Pasca Bencana (Pemulihan/ recovery) yaitu Rehablitasi
(rehabilitation) dan Rekonstruksi (reconstruction).
BAB III Gambaran Umum PKPU
Sejarah Berdiri, Visi dan Misi, Tujuan, Nilai Budaya Organisasi, Aktivitas
Lembaga, Struktur Lembaga, Jaringan Kerja dan Profil Situ Gintung.
BAB IV Temuan dan Analisis
Analisis Tahapan Penanggulangan Bencana Situ Gintung oleh PKPU, Analisis
Faktor Pendukung dan Penghambat Program Penanggulangan Bencana Situ
Gintung oleh PKPU.
BAB V Penutup
Kesimpulan dan Saran.
-
BAB II
LANDASAN TEORI
B. Bencana
1. Pengertian Bencana
Istilah bencana dapat diartikan sebagai sesuatu yang menimbulkan kesusahan,
kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan mara bahaya.36 Bencana
merupakan kejadian yang luar biasa, diluar kemampuan normal seseorang
menghadapinya, menakutkan dan juga mengancam keselamatan jiwa. Akibatnya,
berbagai bangunan penting hancur, korban jiwa berjatuhan dan mempengaruhi
kondisi psikologis dari mereka yang terkena dampak bencana.37
Bencana adalah keadaan yang mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat
yang disebabkan oleh gejala alam atau perbuatan manusia. Bencana dapat terjadi
36 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
h. 100. 37
Nani Nurrachman, ed., Pemulihan Trauma: Panduan Praktis Pemulihan Trauma Akibat Bencana Alam (Jakarta, LPSP3 Fakultas psikologi UI, 2007), h. 3.
-
melalui proses yang panjang atau situasi tertentu dalam waktu yang sangat cepat tanpa
adanya tanda-tanda.38 Bencana merupakan sumber kesulitan dan kemalangan yang
potensial untuk sementara waktu, menjerumuskan kelompok-kelompok tertentu ke
bawah garis kemiskinan. Bencana dapat menimbulkan kehilangan jiwa, rumah dan
aset, mengganggu peluang penghidupan, pendidikan dan penyelenggaran pelayanan-
pelayanan sosial, menggerogoti tabungan dan menciptakan masalah-masalah
kesehatan, seringkali dengan konsekuensi-konsekuensi yang berjangka panjang.39
Bencana merupakan gangguan atau kekacauan pada pola normal kehidupan.
Gangguan atau kekacauan ini biasanya hebat, terjadi tiba-tiba, tidak disangka-sangka
dan wilayah cakupan cukup luas. Dampak kepada manusia seperti kehilangan jiwa,
luka-luka dan kerugian harta benda. Dampak ke pendukung utama struktur sosial dan
ekonomi seperti kerusakan infrastruktur berupa sistem jalan, air bersih, listrik,
komunikasi dan pelayanan penting lainnya.40
Dalam UU RI No. 24/ 2007 dikatakan bahwa bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan serta penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau non-alam maupun faktor
manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.41
Dengan demikian, maka dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
pengertian bencana yaitu suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang dapat
menimbulkan ancaman dan gangguan terhadap keberfungsian suatu masyarakat
38 Deny Hidayati, Panduan Siaga Bencana Berbasis Mayarakat (Jakarta: LIPI Press. Vol. 8 no. 1, 2005), h.
65. 39
ProVention Consortium Secretariat, Perangkat untuk Mengarusutamakan Pengurangan Resiko Bencana: Catatan Panduan bagi Lembaga-Lembaga yang Bergerak dalam Bidang Pembangunan (Yogyakarta: Circle Indonesia, 2007), h. 40.
40 Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu (Jakarta: Yarsif Watampone,
2006), h. 67. 41
Sentosa Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana (Bandung: Nuansa Aulia, 2009), h. 10.
-
melebihi batas kemampuannya, sehingga mengakibatkan kerusakan, kerugian serta
penderitaan bahkan sampai jatuhnya korban jiwa, baik terjadi karena alam ataupun
non-alam (seperti oleh manusia) ataupun karena faktor keduanya.
C. Jenis - Jenis Bencana
Dalam UU RI No. 24/ 2007 berdasarkan jenis dan klasifikasinya, bencana yang
terjadi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Bencana Alam :
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
b. Bencana non-Alam :
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam
yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah
penyakit.
c. Bencana Sosial :
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa karena
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat dan terror.42
Sedangkan jenis bencana menurut UU No. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air
yaitu banjir, erosi dan sedimentasi, tanah longsor, banjir lahar dingin, tanah ambles,
perubahan sifat dan kandungan kimiawi, biologoi dan fisik air, terancam punahnya
jenis tumbuhan dan satwa, wabah penyakit, intrusi, perembesan dan kekeringan.
Kemudian dalam Disaster Management Handbook, jenis bencana yaitu gempa bumi,
42 Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 11.
-
letusan gunung berapi, tsunami, angin topan, banjir, tanah longsor, kebakaran,
kekeringan, wabah/ epidemik, kecelakaan besar, kerusuhan massal.43
Bencana yang menimbulkan ancaman dan kerugian bagi umat manusia, juga dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: geologi (gempa bumi, tsunami, longsor, gerakan
tanah), hidro-meteorologi (banjir, topan, banjir bandang, kekeringan), biologi
(epidemi, penyakit tanaman, hewan), teknologi (kecelakaan transportasi, industri),
lingkungan (kebakaran, kebakaran hutan, penggundulan hutan), sosial (konflik,
terrorisme).44
D. Penyebab Bencana
Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua yaitu alam dan manusia (dapat juga
karena faktor keduanya). Secara alami bencana akan selalu terjadi di muka bumi,
misalnya tsunami, gempa bumi, gunung meletus, jatuhnya benda-benda dari langit ke
bumi, tidak adanya hujan pada suatu lokasi dalam waktu yang relatif lama sehingga
menimbulkan bencana kekeringan atau sebaliknya curah hujan yang sangat tinggi di
suatu lokasi menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor. Bencana oleh aktivitas
manusia adalah terutama akibat eksploitasi alam yang berlebihan, alih tata guna lahan
meningkat, pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan kebutuhan pokok dan non-
pokok meningkat, kebutuhan infrastrukturpun meningkat.45 Bencana yang
dikarenakan ulah manusia, antara lain dapat pula disebabkan oleh gencarnya
43 Kodoatie dan Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 5.
44 Pengantar Bencana, artikel diakses pada Jumat, 07 Agustus 2009 dari http://www.pirba.hrdp-
network.com/e5781/e5795/e5809/e14422/eventReport14449/pengantar bencana(FILEminimizer).ppt 45
Kodoatie dan Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 68.
-
pembangunan fisik terutama di kota, yang tidak atau kurang memperhatikan aspek
kelestarian dan keseimbangan alam.46
Salah satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan bencana adalah penegakan
hukum (law enforcement). Peraturan perundangan telah banyak diterbitkan, namun
pada implementasinya sering dilanggar. Pelanggaran tidak diikuti dengan sanksi
maupun hukuman yang tegas walaupun sudah dinyatakan dalam aturan. Sehingga ada
istilah yaitu low law enforcement.47
Proses penggunaan lahan yang terus-menerus, lama kelamaan dapat menimbulkan
gerakan masa. Gerakan masa yang dapat menimbulkan bencana adalah gerakan masa
yang terjadi pada daerah yang berpenghuni, sehingga menimbulkan resiko kerugian
terhadap harta maupun jiwa. Penggunaan lahan bersifat dinamis, mempunyai
kecenderungan merubah faktor-faktor topografi, keadaan tanah, batuan dan vegetasi
alam, sehingga dapat mengganggu stabilitas.48
BAKORNAS PBP (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Pengungsi) dalam Panduan Pengenalan Karakter Bencana dan Upaya Mitigasi di
Indonesia menjelaskan empat faktor utama yang dapat menimbulkan terjadinya
bencana, yaitu kekurangan pemahaman terhadap karakteristik bahaya (hazard), sikap
atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya alam
(vulnerability), kurangnya informasi atau peringatan dini (early warning) yang
menyebabkan ketidaksiapan dan ketidakmampuan/ ketidakberdayaan dalam
menghadapi ancaman bahaya.49
46 Warto dkk, Ujicoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi
Daerah (Yogyakarta: Departemen Sosial RI, 2003), h. 11. 47
Kodoatie dan Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 93. 48
Sutikno, dkk., Dampak Penggunaan Lahan Terhadap Bencana Alam Akibat Gerakan Massa Tanah/ Batuan di Daerah Temanggung, Jateng (Laporan Penelitian Fakultas Geologi Universitas Gajah Mada, 1992), h. 10.
49 A.B. Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan
Bencana (Jakarta: PT Aksara Grafika Pratama, 2006), h. 3.
-
E. Dampak - Dampak Bencana
Dampak bencana yaitu pengaruh atau segala sesuatu yang terjadi akibat bencana.
Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana adalah kematian, luka-
luka, kerusakan, kehilangan dan kehancuran harta benda, sumber mata pencaharian
dan hasil pertanian, gangguan proses produksi, gangguan gaya hidup, kehilangan
tempat tinggal, kerusakan infrastruktur, gangguan sistem pemerintahan, kerugian
ekonomi, dampak psikologi, dll.50
Dampak bencana bervariasi tergantung pada kondisi, kerentanan lingkungan dan
masyarakat.51 Namun seiring dengan berjalannya waktu, dampak bencana secara fisik
perlahan teratasi dengan berbagai program bantuan dari berbagai organisasi, baik
pemerintah maupun LSM. 52
Para korban selamat saat terjadi bencana mengalami persoalan dalam penyesuaian
diri terhadap kondisi fisik, psikologis dan sosial yang ada setelah terjadinya bencana.
Seringkali kondisi tersebut memunculkan konflik batin bagi korban yang
bersangkutan untuk bisa menerima kenyataan bahwa kondisi kini sudah tidak seperti
dulu.53 Bencana sebagai suatu pengalaman traumatik, karena dalam waktu sekejap
perubahan di lingkungan dan diri sendiri terjadi secara sangat bermakna.54
Secara sederhana trauma bermakna pukulan atau luka yang mengacu pada
pengalaman-pengalaman mengagetkan dan menyakitkan, bahkan mengancam nyawa
50 Kodoatie dan Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 146.
51 Hidayati, Panduan Siaga Bencana Berbasis Mayarakat, h. 65.
52 Nurrachman, Pemulihan Trauma: Panduan Praktis Pemulihan Trauma Akibat Bencana Alam, h. 11.
53 Saru Arifin, Studi Model Kebijakan Mitigasi Difabel Korban Bencana Alam (Studi Kasus di Kabupaten
Bantul, Yogakarta), (Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2008), h. 5. 54
Nurrachman, Pemulihan Trauma: Panduan Praktis Pemulihan Trauma Akibat Bencana Alam, h. 4.
-
yang memukul dan menimbulkan luka, dimana situasinya melebihi situasi sulit yang
dialami manusia sehari-hari pada kondisi wajar.55
Reaksi terhadap trauma tidak dapat disamaratakan antara seseorang dengan
lainnya. Demikian pula dengan faktor yang melatarbelakangi perbedaan seseorang
dalam reaksi trauma. Sifat pengalaman traumatik, ciri/ kualitas diri seseorang yang
mengalami dan ada/ tidak adanya dukungan sosial juga mempengaruhi reaksi
seseorang terhadap trauma yang dialami.56
Bencana juga merupakan salah satu faktor besar yang dapat menghambat lajunya
pembangunan nasional. Dalam pembangunan terdapat fungsi-fungsi pembangunan,
dimana fungsi tersebut mempunyai tugas yang harus dilaksanakan yaitu peningkatan
pertumbuhan ekonomi (economic growth), perawatan masyarakat (community care)
dan pengembangan manusia (human development).57 Semua fungsi pembangunan
tersebut dapat terhambat atau bahkan hilang apabila terjadi suatu bencana. Bencana
juga merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya tingkat kesejahteraan
masyarakat. Untuk itu, berbagai unsur terkait harus menjadikan pengurangan resiko
bencana sebagai prioritas pembangunan nasional, sehingga bencana dapat dicegah
atau paling tidak dapat dikurangi dampaknya.58
F. Pengelolaan Bencana (Disaster Management)
Manajemen bencana membahas tentang bagaimana mengelola resiko bencana.
Meliputi persiapan, pemberian dukungan dan pembangunan kembali masyarakat
ketika bencana terjadi. Manajemen bencana adalah sebuah proses yang berkelanjutan
55 Kristi poerwandari, Psikologi Korban Pasca Bencana, Jurnal Perempuan no. 40, Maret 2005, h. 47.
56 Ibid., h. 38.
57 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Bandung: Refia Aditama, 2005), h. 5.
58 Syamsul Maarif, SIP, M.Si. Indonesia Supermarket Bencana, Komunika, Edisi 12/tahun V (Agustus
2009): h. 9.
-
dimana setiap individu, kelompok dan masyarakat mengelola bahaya dalam sebuah
usaha untuk menghindari dan mengatasi pengaruh bencana sebagai akibat dari
bencana tersebut. Manajemen bencana adalah sebuah proses yang terus-menerus
dimana pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sipil merencanakan dan mengurangi
pengaruh bencana, mengambil tindakan segera setelah bencana terjadi dan mengambil
langkah-langkah untuk pemulihan. Prinsip manajemen bencana adalah bagaimana
mengatasi keterbatasan manusia dalam memprediksi dan menghadapi bencana, yang
kemudian dituangkan dalam strategi dan kebijakan dalam mengantisipasi, mencegah
dan menangani bencana melalui tahapan penanggulangan bencana.59
Ada beberapa substansi yang perlu dalam filosofi pengelolaan bencana, meliputi:
1. Bencana memberi dampak mulai yang sangat kecil sampai ke yang sangat besar,
tergantung dari antara lain jenis bencana, luas area yang terkena, land-use.
2. Kerugian baik jiwa maupun materi (harta) dialami oleh semua lapisan masyarakat,
stakeholders maupun pemerintah
3. Penanggung jawab utama pengelolaan bencana ada di Pemerintah yang berperan
dominan sebagai enabler
4. Pemerintah dibantu oleh stakeholder terkait.60
Pengelolaan bencana adalah suatu proses terpadu yang mempromosikan
koordinasi pengembangan dan pengelolaan bencana juga pengelolaan aspek lainnya
yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam rangka mengoptimalkan
kepentingan ekonomi dan kesejahteraan sosial dan untuk meningkatkan tindakan-
59 Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h.
10. 60
Kodoatie dan Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 21.
-
tindakan (measures) yang terorganisir dan sistematis terkait dengan preventif,
mitigasi, persiapan, respon darurat dan pemulihan.61
Pengelolaan bencana dapat dikelompokan dalam 3 elemen penting, yaitu the
enabling environmental, peran-peran institusi (institutional roles) dan alat-alat
manajemen (management instruments).62
1. Enabling Environmental
Sebagai suatu pengkondisian yang memungkinkan terjadi terhadap hal-hal
utama atau substansi pokok yang membuat pengelolaan dilakukan dengan cara-
cara, strategi dan langkah-langkah ideal yang tepat sehingga tercapai tujuan
pengelolaan bencana yang optimal. Ada 3 hal substansi di dalam pengkondisian
tersebut, yaitu kebijakan, kerangka kerja legislatif dan finansial.
a. Kebijakan, Visi dan Misi
Pengelolaan bencana harus dibuat sesuai dalam tahapan siklus pengelolaan
bencana mulai dari pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Kebijakan
ditetapkan oleh pemerintah yang dapat dimengerti dan diterima oleh semua
lapisan masyarakat. Secara makro hal-hal yang perlu diakomodir dalam
penentuan kebijakan diantaranya:
1. Pengelolaan bencana harus dilihat dari multi aspek meliputi: teknik, sosial-
budaya, ekonomi, hukum, kelembagaan dan politik.
2. Semua stakeholder harus terlibat dengan masing-masing peran sebagai
pengelola bencana yang meliputi: penyedia pelayanan (service provider),
pengatur (regulator), perencana (planner), organisasi pendukung (support
organization), pelaksana kegiatan, pemakai (user) dari hasil pelaksanaan
61 Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h.
79. 62
Ibid, h. 105.
-
dari rencana tindak dan penerima dampak bencana baik langsung maupun
tidak langsung.
3. Keterkaitan kebijakan pengelolaan bencana dengan kebijakan-kebijakan
lainnya
4. Kebutuhan biaya untuk pengelolaan bencana
b. Kerangka kerja legislatif
Adalah kebijakan tentang bencana yang diterjemahkan dalam aspek
hukum. Perlu adanya peraturan perundangan tentang bencana sebagai acuan
hukum. Kerangka legislatif ini berperan sebagai rambu-rambu yang harus
dipatuhi oleh semua pihak.
1. Reformasi peraturan yang ada
a. Kerangka kerja institusi, meliputi peran legal dan tanggung jawab dari
institusi, interelasi antar institusi dan para pihak lainnya yang sesuai
dengan fungsi-fungsi penyedia pelayanan, pengatur, perencana,
pelaksana, organisasi pendukung dan pemakai (user).
b. Mekanisme para pihak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan bencana
c. Mekanisme penyelesaian konflik
2. Peraturan tentang bencana
RUU tentang bencana telah disusun oleh DPR RI yang terdiri dari 10
bab dan 72 pasal.
3. Penegakan hukum
Salah satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan bencana adalah
penegakan hukum. Peraturan perundangan telah banyak diterbitkan namun
sering dilanggar. Pelanggaran tidak diikuti dengan sanksi maupun
hukuman yang tegas.
-
c. Finansial
Pembiayaan untuk pengelolaan bencana meliputi semua biaya untuk
kegiatan struktural maupun non-struktural, baik yang berskala kecil, skala
kabupaten, skala propinsi maupun skala nasional. Substansi pentingnya adalah
menyangkut waktu terjadi bencana sesuai dengan siklus tahapan
penanggulangan bencana yaitu pada masa pra bencana, saat bencana dan pasca
bencana. Aspek-aspek finansial yang harus dikaji meliputi proses anggaran,
pengelolaan finansial, pengertian biaya, penentuan manfaat, hubungan
manfaat-biaya, ekonomi publik.
2. Peran Institusi
a. Penciptaan kerangka kerja organisasi-bentuk dan fungsi
Pengelolaan bencana adalah kompleks dan saling ketergantungannya sangat
tinggi, maka dalam kelembagaan perlu dibuat organisasi lintas batas, baik
secara nasional, propinsi maupun kabupaten kota. Untuk institusi nasional
resmi dan legal yang menangani adalah Bakornas PBP (Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi) yang bersifat
non struktural dan bertanggung jawab langsung pada Presiden.
b. Para pihak pengelolaan bencana
Meliputi unsur pemerintah (enabler), perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), sukarelawan/ti (volunteer), swasta/ investor, kontraktor,
konsultan, masyarakat. Pada prinsipnya pihak-pihak ini dikelompokan menjadi
5 group, yaitu: pengatur (regulator), perencana (planner), pemakai (user),
organisasi pendukung (support organizations), penyedia pelayanan (service
provider).
-
c. Institutional Capacity Building
Adalah semua usaha usaha dan upaya untuk melatih, mendidik, mengajar,
mengembangkan kemampuan dan kecakapan sumber daya manusia.
Tujuannya agar sumber daya manusia dapat lebih efektif dan efisien bekerja di
bidangnya, dapat bekerja sama dan menjalin komunikasi secara lebih baik
dengan sumber daya manusia dibidang lainnya dalam konteks pengelolaan
bencana.
1) Kapasitas pengelolaan
Diperlukan pendidikan, pelatihan dan pengajaran yang sistematis baik
untuk jangka pendek, menengah dan panjang termasuk juga situasi dan
kondisi normal maupun darurat.
2) Kapasitas pengaturan
Building capacity yang menonjolkan keterampilan daripada alih ilmu
pengetahuan dapat dipakai untuk meningkatkan penampilan organisasi
yang terstruktur termasuk dalam organisasi pengelolaan bencana. Pelatihan
dapat meliputi pelatihan manajemen, pemberdayaan sumber daya manusia,
tindakan-tindakan terapan dalam pengelolaan bencana, pengenalan
bencana spesifik dan pengelolaannya.
3) Berbagai (Alih) ilmu pengetahuan
Karena bencana dapat dialami oleh semua orang maka pengertian alih
pengetahuan dan teknologi perlu dibuat secara tersistem dan terfokus
kepada SDM yang menerimanya. Dapat saja alih ilmu ini untuk substansi-
substansi yang canggih dan modern sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan namun perlu juga dilakukan transfer teknologi yang sederhana
dan tepat guna.
-
3. Alat-alat manajemen atau instrument-instrumen pengelolaan
Instrumen-instrumen pengelolaan bencana meliputi:
1. Analisis penilaian bencana
Terkait pemahaman tentang kebencanaan oleh para pihak. Analisis meliputi
kuantitas dan kualitas terhadap potensi bencana. Terkait dengan pertumbuhan
penduduk dan ekonomi, tata guna lahan, keseimbangan antara keberlanjutan
ekologi, ekonomi dan sosial, otonomi daerah, perpaduan sistem alam dan
sistem manusia, proses terjadinya, lokasi kejadian, penyebarannya, daerah
rawan, dll.
2. Perancangan dan perencanaan pengelolaan bencana terpadu
Pengelolaan bencana (disaster management) harus menyeluruh dan terpadu dan
merupakan proses, harus kontinyu dan bukan tindakan periodic (sesaat). Unsur
manajemennya antara lain: manusia (SDM), alam (SDA), infrastruktur,
institusi, keuangan, kebijakan, legalitas dan kemampuan pengelolaan.
3. Instrument perubahan sosial
Meliputi pendidikan, pelatihan, komunikasi, partisipasi dan kepedulian
4. Pengendalian perencanaan tata guna lahan dan perlindungan alam
Penentuan zona khusus dari pemakaian tanah dilarang, peraturan pembangunan,
standar aplikasi daerah konservasi dan suaka alam, peraturan pembuangan
sampah,dll.
5. Pengalihan dan pengelolaan data dan informasi
Meliputi sistem informasi, penyelenggaraan dan materi informasi, jaringan
informasi, penyelenggaraan informasi, pembagian data dan alih teknologi.
G. Tahapan Penanggulangan Bencana
-
Pengertian kata tahapan dapat diartikan sebagai suatu tingkatan ataupun jenjang.63
Sedangkan pengertian penanggulangan adalah suatu proses, perbuatan dan cara
menanggulangi.64 Penanggulangan bencana menurut UU RI No. 24/ 2007 adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi.65
Upaya penanggulangan bencana merupakan usaha berkelanjutan yang
direncanakan dan dikoordinir untuk mereduksi atau meminimalisir dampak suatu
bencana dengan tujuan agar masyarakat daerah rawan bencana merasa aman dalam
melakukan aktivitas sehari-hari, namun tetap mengerti dan memahami betul kondisi
lingkungannya sehingga selalu waspada.66
Penanganan bencana berangkat dari keterbatasan manusia dalam memprediksi dan
menghadapi bencana. Jadi pengertian ini justru berangkat dari sikap bahwa bencana
tidak sepenuhnya dapat dikendalikan.67
Para pihak yang terlibat untuk pengelolaan bencana meliputi unsur-unsur
pemerintah (enabler), perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
sukarelawan/ti (volunteer), swasta/ investor, kontraktor, konsultan, masyarakat dan
lain-lain. Pemerintah dibantu stakeholders lainnya sebagai mitra dalam pengelolaan
bencana secara terpadu. Para pihak dapat memberikan kontribusi sesuai dengan peran
masing-masing, mulai dari jauh sebelum bencana, saat bencana dan pasca bencana.68
63 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 884
64 Ibid., h. 898.
65 Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 10.
66 Herryal Z. Anwar, Penanggulangan Bencana di Daerah Rawan Bencana, dalam Kompas, 20 Februari
2003, h. 9. 67
Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h. 3.
68 Kodoatie dan Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 105.
-
Penanggulangan bencana tidak dapat dilaksanakan dengan mengandalkan suatu
instansi saja, melainkan mutlak diperlukan adanya kerja sama antar instansi. Karena
sebagai suatu sistem kerja sama, disini dapat secara langsung bersama-sama
menangani proyek tertentu. Namun juga dapat secara partial yaitu tidak langsung,
dimana saling melengkapi untuk penanggulangan bencana yang terjadi di suatu
daerah.69
Prinsipnya, manajemen bencana adalah bagaimana mengatasi keterbatasan
manusia dalam memprediksi dan menghadapi bencana, yang kemudian dituangkan
dalam strategi dan kebijakan dalam mengantisipasi, mencegah dan menangani
bencana.70
Sehingga tahapan penanggulangan bencana dapat diartikan sebagai suatu proses
berjenjang dan berkelanjutan yang bertujuan untuk meminimalisir dampak suatu
bencana, melalui serangkaian kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi, agar terciptanya suatu kondisi yang aman namun tetap
waspada terhadap bencana. Berikut tabel tahapan penanggulangan bencana:
Tabel 2: Siklus Penanganan Bencana
69 Soeladi, Manajemen Bencana Alam Tsunami (Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 1995), h. 9. 70
Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h. 18.
Saat Pra Bencana
Pasca Bencana
PENCEGAHAN
MITIGAS
TANGGAP DARURAT
REHABILITASI REKONSTRUKSI
KESIAPSIAGAAN
-
(Sumber: Depkes, 2007)
Jadi manajemen bencana bukanlah hanya sekedar memberikan pertolongan
kepada korban yang terkena bencana seperti yang selama ini dipahami. Penanganan
bencana harus dilakukan jauh sebelum bencana terjadi dan juga setelah terjadinya
bencana.71 Berikut tahapan penanggulangan bencana, yang meliputi kegiatan pra
bencana (pencegahan, kesiapsiagaan, mitigasi), tanggap darurat dan pasca bencana/
pemulihan (rehabilitas, rekonstruksi):
d. Pra Bencana
Bencana hampir seluruhnya datang mendadak, oleh karena itu perlu
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan apabila terjadi musibah. Apalagi
pada daerah yang tidak terduga akan terjadi bencana, karena tidak termasuk
daerah rawan bencana sebab sudah puluhan atau ratusan tahun tidak pernah ada
bencana didaerah tersebut.72
Persiapan menghadapi bencana yaitu berbagai kegiatan yang dipersiapkan
untuk menghadapi kemungkinan timbulnya bahaya dari bencana.73 Untuk itu
dalam masa pra bencana, dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
4) Pencegahan (prevention)
71 Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h.
9. 72
Soeladi, Manajemen Bencana Alam Tsunami, h. 44. 73
Warto, Ujicoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 12.
-
Pencegahan bencana menurut UU RI No. 24/ 2007 adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko
bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan
pihak yang terancam bencana.74 Fungsi pencegahan (prevention) disini adalah
mengidentifikasi penyebab-penyebab maupun akibat-akibat yang ditimbulkan
lebih dini. Dengan demikian beberapa tindakan dapat dilakukan untuk
meminimalisir kemungkinan tejadinya bencana.75
Tindakan pencegahan (prevention) menurut UU RI No. 24/ 2007, meliputi:
a. Identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau
ancaman bencana.
b. Kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang
secara tiba-tiba dan berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana.
c. Pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan berangsur
berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana.
d. Pengelolaan tata ruang dan lingkungan hidup.
e. Penguatan ketahanan sosial masyarakat.76
Dari penjelasan diatas, pencegahan bencana dapat diartikan sebagai suatu
upaya untuk mengelola dan mengidentifikasi penyebab-penyebab maupun
akibat-akibat bencana terhadap sumber-sumber yang berpotensi menjadi
sumber ancaman bencana, dengan tujuan agar dapat mengurangi atau
menghilangkan resiko bencana. Upaya pencegahan/ prevention yaitu seperti
pengelolaan dan perawatan tanggul, pengerukan endapan situ/ danau, kelola
tata kota.
74 Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 12.
75 Banjir, artikel diakses pada jumat, 16 Oktober 2009 dari http://climatecoolnetwork.n
ing.com/profilesnblogs/ banjir-1 76
Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 28.
-
Namun dalam pelaksanaannya, berbagai permasalahan dalam pencegahan
bencana pada umumnya yaitu:
a. Terbatasnya dana dan biaya.
b. Prioritas nasional yang lain.
c. Aspek politik (kadang terjadi masalah bencana yang kurang populer atau
tidak menarik dari sudut pandang poitik, sehingga tidak dilakukan upaya-
upaya pengelolaan secara terpadu). Umumnya pencegahan bencana
menjadi perhatian yang besar dan yang penting tatkala bencana sudah
terlanjur terjadi.
d. Masalah pembangunan.
e. Keseimbangan pengelolaan bencana alam dengan pengelolaan yang lain.
f. Pandangan tradisional yang sudah melekat (sulit melakukan perubahan).
g. Pandangan bahwa program pengelolaan bencana adalah proyek
pemerintah semata.77
5) Kesiapsiagaan (preparedness)
Kesiapsiagaan (preparedness) menurut UU RI No. 24/ 2007 adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian dan langkah yang tepat guna serta berdaya guna.78
Kesiapsiagaan juga merupakan setiap aktivitas sebelum terjadinya bencana
yang bertujuan untuk mengembangkan kapabilitas operasional dan
memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi.79
77 Kodoatie dan Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 142.
78 Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 11.
79 Disaster Management, artikel diakses pada Selasa, 23 Februari 2010 dari http://
www.siagabencana.lipi.go.index/i php?q=node/17
-
Tindakan kesiapsiagaan (preparedness) menurut UU RI No. 24/ 2007,
meliputi:
a. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana.
b. Pengorganisasian, pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini.
c. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar.
d. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan gladi tentang mekanisme
tanggap darurat.
e. Penyiapan lokasi evakuasi.
f. Penyusunan data akurat, informasi dan pemutakhiran prosedur tetap
tanggap darurat bencana.
g. Penyediaan dan penyimpanan bahan, barang dan peralatan untuk
pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.80
Mitigation dan preparedness adalah aktivitas yang beririsan. Mitigasi/
mitigation dan juga planning (perencanaan) adalah elemen utama dalam
preparedness. Pendidikan kesiapsiagaan bencana dilakukan sebagai bagian
dari mitigation yang otomatis juga merupakan bagian dari preparedness.
Ragam pendidikan yang dilakukan dapat berupa konsep-konsep pencegahan
bencana ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Baik di sekolah dasar,
menengah hingga tinggi. Dapat melalui training untuk siswa, guru ataupun
karyawan sekolah. Materinya dapat berupa peningkatan ketrampilan
menghadapi bencana (emergency response skill) ataupun perencanaan
menghadapi bencana (disaster preparedness planning). Bagi masyarakat
umum, dapat berupa penyuluhan secara reguler ataupun melaksanakan latihan
pencegahan bencana (disaster drill) secara rutin yang melibatkan unsur
80 Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 29.
-
masyarakat umum, LSM, pemerintah, lembaga kesehatan, pemadam
kebakaran, palang merah, angkatan bersenjata hingga pekerja kantor dan para
profesional.81
Dengan demikian, kesiapsiagaan (preparedness) dapat diartikan sebagai
suatu upaya yang tepat guna dan berdaya guna menghadapi bencana, melalui
penyusunan perencanaan yang efektif dalam mengantisipasi bencana. Lingkup
preparedness ini seperti pemberian training emergency response, pelatihan
komunikasi dan koordinasi antar lembaga terkait untuk saling memberikan
bantuan seperti peralatan, informasi, personil dan bantuan keuangan selama
terjadinya bencana.
Sistem peringatan dini (early warning system) sebagai bagian dari
kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan pemberian tanda peringatan
sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
bencana di suatu tempat.82 Karena pada prinsipnya, dapat bencana tersebut
diatas/ dicegah lebih dini sehingga tidak perlu mengorbankan begitu banyak
harta benda dan jiwa yang tak ternilai harganya.
Beberapa contoh sistem peringatan dini yang dapat digunakan, seperti:
a. Alat pengukur curah hujan otomatis antara hulu dan poros bendungan,
yang akan mengirimkan data ke komputer pusat/ server (komunikasi/
pengiriman datanya bisa melalui radio/ seluler/ lainnya). Komputer pusat
akan mengolah dan menganalisa data, jika ada sesuatu parameter/ nilai
yang melewati ambang dan dianggap bahaya, maka komputer pusat secara
otomatis akan memberikan peringatan/ warning dan menyebarkan
informasinya ke pejabat-pejabat terkait (ke handphonenya misalnya),
81 Disaster Management.
82 Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 11
-
instansi-instansi terkait maupun ke posko-posko dan masyarakat yang
berkepentingan dengan adanya alarm tanda bahaya.83
b. Mengadopsi teknologi georadar dan geolistrik. Georadar dapat memantau
kondisi ketebalan sedimentasi waduk atau situ hingga kedalaman 5 meter,
sedangkan dengan geolistrik bisa hingga kedalaman 100 meter.
c. Memasang jaring penyelamatan.
d. Sirene yang bisa didengarkan masyarakat sekitar.84
e. Memasang alat deteksi longsor yang ditanamkan sebagai pengukur tingkat
kejenuhan air.85
f. Penyediaan informasi satu menit (atau kurang), dengan lebih
menitikberatkan pada penyebaran informasi lewat Internet, yang cocok
untuk negara yang sudah memiliki tingkat pemakaian Internet tinggi dan
ini merupakan solusi alternatif yang lebih murah dan berbasis pada
khalayak pemakai teknologi informasi.86
3. Mitigasi (mitigation)
Mitigasi (penjinakan) yaitu segala kegiatan yang bertujuan memperkecil
kerugian yang timbul akibat peristiwa bencana, terutama terhadap jiwa raga
manusia, harta benda dan berbagai bangunan.87
83 Imam Marzuki Shofi, Belajar dari Situ Gintung, Perlu Sistem Realtime Peringatan Dini Bahaya
Jebolnya Bendungan, artikel diakses pada Selasa, 23 Februari 2010 dari http://imamshofi.wordpress.com/2008/11/25/sistem-pemantau-curah-hujan-dengan-memanfaatkan
-teknologi-layanan-komunikasi-bergerak/ 84
MH Habib Shaleh, Sekar Langit akan dipasangi Sistem Peringatan Dini, artikel diakses pada Selasa, 23 Februari 2010 dari http://suaramerdeka.com/v1/ind ex.php/read/news/2010/02/15
/47084/Sekar-Langit-akan-Dipasangi-Sistem-Peringatan-Dini 85
Nugroho, Faktor Curah Hujan hanya Pemicu. 86
Ikhlasul Amal, Sistem Peringatan Dini Bencana Alam, artikel diakses pada Selasa, 23 Februari 2010 dari http://direktif.web.id/arc/2006/05/sistem-peringatan-dini
87 Warto, Ujicoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h.
15.
-
Mitigasi (mitigation) menurut UU RI No. 24/ 2007 adalah serangkaian
upaya untuk mengurangi dan meminimalkan risiko serta dampak bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.88
Tindakan mitigasi (mitigation) menurut UU RI No. 24/ 2007, meliputi:
a. Pelaksanaan penataan tata ruang.
b. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan
c. Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan dan pelatihan. 89
Isu utama dalam mitigasi, yaitu :
a. Sasaran mitigasi: tentukan dampak terbesar
Prinsip utama dalam mitigasi adalah menyelamatkan jiwa dan harta.
Skala bencana dan jumlah korban yang mungkin ditimbulkan adalah
alasan utama yang mendasari pentingnya mitigasi.
b. Mengurangi bahaya atau kerawanan
Perlindungan terhadap ancaman terjadinya bencana dapat dicapai
dengan menyingkirkan penyebab ancaman ataupun dampaknya
(mengurangi tingkat kerawanannya). Misalnya kebijakan penetapan
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR).
c. Peralatan, Power dan Anggaran
Pengurangan resiko bencana perlu dibangun melalui serangkaian
aktivitas yang dilakukan bersama. Misalnya, pemerintah dapat
memanfaatkan berbagai peralatan dan wewenang yang dimilikinya dalam
banyak cara untuk menjamin keselamatan masyarakat.
88 Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 11.
89 Ibid., h. 30.
-
d. Timing
Kebijakan mitigasi sering dikatakan penerapannya sebelum terjadinya
bencana. Kenyataannya, waktu yang paling tepat untuk
mengimplementasikan kebijakan mitigasi adalah setelah terjadinya
bencana. Kesadaran masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan akibat
bencana menjadi tinggi dan kemauan politik untuk melaksanakannya
biasanya sedang tinggi. Misalnya, pembangunan sistem peringatan dini
(early warning system).90
Rangkaian aktivitas yang dapat dimanfaatkan untuk merancang
serangkaian mitigasi bencana yang tepat adalah: 91
1. Engineering
Mengacu kepada memperkuat fasilitas melawan kekuatan bahaya.
Teknik-teknik bangunan tahan bencana adalah kebijakan bersifat defensif
yang paling penting untuk menghasilkan struktur engineering yang lebih
kuat.
2. Perencanaan tata ruang
Dampak ancaman bencana dapat dikurangi secara signifikan bila
pemanfaatan area atau daerah yang berbahaya sebagai daerah pemukiman
dapat dihindari.
3. Kebijakan ekonomi
Ekonomi yang kuat adalah perlindungan yang terbaik terhadap
bencana. Ekonomi yang kuat berarti lebih banyak dana yang akan
dibelanjakan untuk bangunan yang lebih kokoh, tempat-tempat yang aman
90 Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h.
32. 91
Ibid., h. 38.
-
dan cadangan keuangan yang lebih besar dalam berurusan dengan
bencana.
4. Manajemen dan institusionalisasi mitigasi bencana
Institusionalisasi mitigasi bencana bertujuan untuk mengurangi resiko
bencana sebagai hal penting yang harus selalu berlanjut. Agar dapat
bertahan untuk jangka waktu yang cukup panjang terhadap perubahan
politik dan perubahan prioritas anggaran, seperti adanya BAKORNAS
PBP.
5. Kemasyarakatan
Mitigasi bencana hanya akan efektif bila terdapat kesadaran dalam
masyarakat bahwa memang hal tersebut benar-benar diperlukan.
Sebaliknya jika kesadaran ini rendah, proses mitigasi tidak akan berjalan
mulus. Dibutuhkan kesadaran masyarakat akan potensi bahaya dan siap
mendukung usaha yang bersifat protektif.
Dengan demikian, mitigasi (penjinakan) dapat diartikan sebagai suatu
upaya mengurangi dan meminimalkan risiko serta dampak bencana melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Baik melalui pembuatan dan perkuatan
bangunan-bangunan fisik maupun non fisik-struktural melalui peraturan/
perundangan dan pelatihan.
Kebijakan mitigasi dapat dikalisifikasikan dalam beberapa cara:
1. Aktif dan pasif
Untuk kebijakan yang aktif, pemerintah mendorong tindakan yang
diharapkan dengan memberikan insentif. Untuk kebijakan yang bersifat
-
pasif, pemerintah mencegah tindakan yang tidak diharapkan dengan
menggunakan pengendalian dan hukuman.
2. Struktural dan non struktural
Mitigasi struktural melibatkan kebijakan yang bersifat fisik, dengan
cara memanfaatkan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk
pencegahan banjir, bangunan tahan gempa, memberikan tambahan sistem
perkuatan tanggul ataupun sistem peringatan dini (early warning system).
Sedangkan kebijakan non-struktural lebih bersifat non teknis seperti
legalitas, asuransi, sosialisasi dan arahan yang tepat tentang potensi risiko
bencana yang mungkin terjadi. Kebijakan mitigasi, baik yang bersifat
struktural maupun non struktural harus saling mendukung antara satu
dengan yang lainya.92
3. Jangka pendek dan jangka panjang
Kebijakan jangka pendek adalah kebijakan yang diambil dengan cepat
dan dampaknya sangat singkat. Kebijakan jangka panjang memakan waktu
yang lama dan memerlukan waktu, seperti merubah perilaku masyarakat
melalui pendidikan.
4. Restriktif dan insentif
Kebijakan restriktif adalah kebijakan untuk meningkatkan keselamatan
dengan melarang pembangunan proyek-proyek tertentu. Kebijakan insentif
menyediakan atau memberikan insentif keuangan, hukum dan insentif
lainnya yang mendorong proses mitigasi.93
92 Bencana Situ Gintung, artikel diakses pada Selasa, 23 Februari 2010 dari
http://www.christianpost.co.id/society/nation/20090329/4687/walhi- bencana-situ-gintung-akibat-arogansi/index.html
93 Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, h.
41.
-
Mengurangi resiko bencana juga dapat dilakukan dengan memelihara,
mengelola serta memperhatikan aspek lingkungan secara bijaksana, sehingga
dapat menjamin generasi mendatang agar dapat menjalani kehidupan yang
layak. Penurunan kualitas lingkungan akibat ulah manusia yang semena-mena
adalah sumber dari berbagai macam bencana.94
e. Tanggap Darurat (response)
Penanganan saat terjadi bencana adalah semua kegiatan yang dilakukan ketika
bencana melanda, yang tujuannya adalah menyelamatkan korban manusia (jiwa-
raga) dan harta benda. Meliputi kegiatan evakuasi korban ke tempat penampungan
sementara, penyelenggaraan dapur umum, distribusi atau penyaluran bantuan
dalam bentuk pangan, sandang, obat-obatan, bahan bangunan, peralatan
ekonomis-produktif (seperti alat pertanian dan pertukangan) serta uang sebagai
modal awal hidup pasca bencana, pendataan korban dan jumlah kerugian material
(harta benda).95
Dalam UU RI No. 24/ 2007 dikatakan bahwa tanggap darurat bencana adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat terjadinya bencana
untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan.96
Tindakan tanggap darurat (response) menurut UU RI No. 24/ 2007, meliputi:
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumber daya.
2. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.
3. Pemenuhan kebutuhan dasar.
4. Perlindungan terhadap kelompok rentan.
94 Ibid., h. 46.
95 Warto, Ujicoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otnomi Daerah, h.
12. 96
Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 11.
-
5. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.97
Tindakan respon (biasanya) terjadi dalam kondisi yang tidak normal,
misalnya: lokasi yang sulit dijangkau, kebutuhan alat berat yang besar namun
dengan transportasi jalan yang tak memadai (akses jalan sulit), cuaca yang tidak
menguntungkan, ko