eq n efikasi dengan pwb

Upload: ashomu-madfirok

Post on 10-Oct-2015

38 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kecerdasan emosi dan efikasi diri mampu mempengaruhi kesejahteraan ibu yang memiliki anak autis

TRANSCRIPT

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN EFIKASI DIRI DALAM MENGASUH ANAK DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS

Oleh:Ahmad Shofi Mubarok09082080HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN EFIKASI DIRI DALAM MENGASUH ANAK DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS

Latar Belakang MasalahKebahagiaan telah menjadi tujuan utama dalam hidup individu di seluruh bagian dunia (Oishi dkk, 2007). Dinyatakan pula bahwa setiap individu berhak mendapatkan kesejahteraan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu aspek yang cukup penting yaitu psikologis karena manusia tidak dapat terlepas dari unsur psikologis yang meliputi kognisi, emosi, perilaku dan sosialnya dalam kehidupan. Kehidupan yang berjalan baik digambarkan sebagai kesejahteraan psikologis (Huppert, 2009). Kesejahteraan psikologis dapat dimiliki oleh setiap individu termasuk pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus, salah satunya autisme.Hasil WawancaraBerdasarkan wawancara penulis pada bulan November 2013 dengan ibu berinisial DR dan ST yang memiliki anak autis, diketahui bahwa kedua narasumber tersebut merasa stres dalam keseharian mengasuh anaknya sehingga mudah marah pada semua orang yang ada di sekitarnya sedangkan segala keputusan yang berkaitan dengan anak diserahkan pada suami termasuk dalam hal pemilihan sekolah. DR dan ST belum merasa puas menjadi diri sendiri dan berharap bisa menjalani kehidupan yang berbeda dibanding sekarang. Selama memiliki anak autis, DR dan ST tidak menceritakan kepada teman kerja maupun tetangga tentang memiliki anak autis dan bila DR mendengar ada orang lain yang membicarakan kehidupannya maka akan cenderung marah. Dinyatakan pula bahwa DR merasa bosan dengan kehidupan yang dijalani dan kedua narasumber merasa hidupnya tertekan serta tidak terarah setelah mengetahui bahwa anaknya mengalami autis. Hal tersebut menandakan bahwa DR dan ST kurang dapat merasakan kesejahteraan psikologis setelah mengetahui memiliki anak autis.Seharusnya..Kasus tersebut berlawanan dengan penuturan Ryff (dalam Lianawati, 2008) bahwa untuk dapat sejahtera secara psikologis, individu tidak harus mengalami peristiwa menyenangkan dalam hidupnya. Apabila hal tersebut terjadi maka, hanya individu individu yang mengalami peristiwa menyenangkan saja yang akan merasa sejahtera. Dengan kata lain Ryff membuka kemungkinan bagi individu yang tertekan untuk tetap merasa sejahtera secara psikologis.Kesejahteraan PsikologisDefinisi kesejahteraan psikologis atau Psychological Well-Being menurut Ryff (1989) yaitu fungsi positif dari psikologis individu yang terdiri dari enam dimensi; meliputi suatu keadaan ketika individu dapat menerima diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu untuk mengarahkan tingkah laku sendiri, mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan dalam hidup. Faktor faktor yang MempengaruhiKesejahteraan PsikologisKesejahteraan psikologi dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya; demografis dan klasifikasi sosial (Robinson dalam Lakoy, 2009), dukungan sosial (Ryff dalam Lakoy, 2009), kecerdasan emosi (Adeyemo & Adeleye, 2008), dan efikasi diri (Adeyemo & Adeleye, 2008; Singh & Mansi, 2009). Peneliti memilih kecerdasan emosi dan efikasi diri sebagai faktor yang ingin diteliti dikarenakan merupakan variabel penting dalam tugas perkembangan subjek penelitian ini yang sudah memasuki masa dewasa awal.Kecerdasan EmosiKecerdasan emosi diperlukan bagi orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus termasuk autisme, karena gangguan yang dialami anak tersebut akan menambah beban emosi orangtua terutama ibu yang mengasuhnya (Pratiwi, 2013). Salovey dan Meyer (dalam Goleman, 1999) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengen-dalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan perasaan itu untuk memandu pikiran. Adapun tiga (3) komponen kecerdasan emosi menurut Salovey dan Mayer (1990) yaitu penilaian dan ekspresi emosi, pengaturan emosi, dan penggunaan emosi. Menurut Khan dan Nathawat (2012) kecerdasan emosi akan meningkatkan kestabilan, keberlanjutan dan keharmonisan baik bagi diri sendiri maupun lingkungan sehingga individu akan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik.Dinamika 1Goleman (1996) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi, akan mampu beradaptasi dengan per-masalahan serta perubahan pada dirinya dan lingkungan di sekitarnya. Individu tersebut dapat lebih mudah menghadapi permasalahan dengan mengatur emosinya sehingga mampu menguasai lingkungan dan terhindar dari stres yang akan memudahkannya mengembangkan diri pada hubungan positif dengan orang lain secara lebih baik. Smigla dan Dastoria (dalam Aprilinda, 2010) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosi baik, akan dapat mengelola emosi sehingga mampu menyelesaikan setiap permasalahan hidupnya dengan lebih efisien yang akan menjauhkannya dari stres dan akan meningkatkan kesejahteraan individu.Efikasi DiriFaktor kedua yang turut mampu mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah self efficacy atau efikasi diri. Hurlock (dalam Pieter & Lubis, 2010) menyatakan bahwa pada perkembangan dewasa awal berarti individu telah mampu menunjukkan sifat orang dewasa yaitu bertanggung jawab sosial, pekerjaan dan bersedia melaksanakan tugas. Oleh karena itu, diperlukan efikasi diri agar dapat mencapai kesuksesan tugas perkembangan tersebut. Bandura (1997) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan tindakan tertentu yang dibutuhkan demi mencapai suatu hasil atau tujuan berdasarkan tingkatan kesulitan (level), keleluasaan bidang (generality) dan kekuatan (strength); sebagai pertimbangan individu dalam mengambil keputusan.

Dinamika 2 Susanto dan Wirawan (2008) menyatakan bahwa efikasi diri yang tinggi akan mendorong orangtua yang memiliki anak autis untuk terus bekerja keras dan bertahan dalam membantu penanganan anak autisnya. Hal tersebut selaras dengan penuturan Bandura dan Locke (2003), bahwa individu dengan efikasi diri tinggi memiliki keyakinan untuk mampu mengatasi masalah ketika mengalami kesulitan, maka individu tersebut akan mengarahkan perhatian dan usahanya pada tuntutan situasi, serta akan lebih giat berusaha.Singh dan Mansi (2009) menyatakan bahwa efikasi diri yang tinggi, membantu menciptakan perasaan ketenangan dalam melaksanakan tugas sulit serta menampakkan kesejahteraan psikologis yang tinggi pula.Dinamika 3Individu yang sejahtera akan mengalami sejumlah keuntungan yang dirasakan baik dari kesehatan fisik hingga hubungan relasi yang lebih baik dan jauh dari stres (Valerand, 2012). Muallifah (2009) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosi akan mampu menguasai situasi menantang, yang biasanya dapat menimbulkan stres dan kecemasan, sehingga akan lebih tangguh dalam menghadapi permasalahan hidup, juga akan berhasil mengendalikan reaksi dan perilakunya, serta mampu menghadapi kegagalan dengan baik. Berkaitan dengan hal itu, Adeyemo dan Adeleye (2008) menjelaskan bahwa efikasi diri juga dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental, serta menyeimbangkan keyakinan kompetensi diri untuk secara efektif dalam menghadapi berbagai situasi penuh stres.Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi dan efikasi diri mampu mempengaruhi tingkat stres individu. Sesuai dengan hasil penelitian Saryanti (2012) bahwa kecerdasan emosi dan efikasi diri bersama sama memiliki hubungan negatif dengan tingkat stres individu, maksudnya semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi dan efikasi diri individu, maka tingkat stresnya akan semakin rendah, sebaliknya semakin rendah tingkat kecerdasan emosi dan efikasi diri individu, maka semakin tinggi tingkat stresnya. Individu yang jauh dari stres dapat dikatakan sejahtera Pendapat tersebut sesuai dengan pernyataan Winefield (2012) bahwa bila stres yang dirasakan individu rendah, maka akan meningkatkan kesejahteraan psikologisnya.Tujuan dan Manfaat PenelitianTUJUAN PENELITIANPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dan kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis?Apakah ada hubungan antara efikasi diri dalam mengasuh anak dan kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis?Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dan efikasi diri dalam mengasuh anak dengan kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis?MANFAAT PENELITIANManfaat TeoritisBagi dunia pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi disiplin ilmu psikologi dan menambah khasanah teoritis khususnya Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian terkait dengan kecerdasan emosi dan efikasi diri dalam mengasuh anak dengan kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis.

Manfaat PraktisSecara praktis penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi baru mengenai hubungan antara kecerdasan emosi dan efikasi diri dalam mengasuh anak dengan kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis. Variabel PenelitianVariabel TergantungKesejahteraan PsikologisVariabel Bebas 1Kecerdasan EmosiVariabel Bebas 2Efikasi Diri dalam Mengasuh AnakSubjek PenelitianSubjek penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak autis. Pengambilan subjek menggunakan teknik purposive sampling sesuai karakteristik yang diinginkan penulis. Karakteristik subjek yang digunakan sebagai berikut:Wanita yang telah menjadi Ibu dan berusia minimal 21 tahun yang berarti berada pada rentang minimal perkembangan dewasa awal. Alasan menggunakan batasan subjek tersebut karena menurut Ericson (dalam Santrock, 1995) bahwa pada masa tersebut individu telah dihadapkan pada tahap perkembangan keakraban atau keterkucilan. Lebih lanjut digambarkan keakraban sebagai penemuan jati diri. Harapannya pada usia tersebut, individu sudah memantapkan identitas diri yang dimiliki, termasuk konsep kesejahteraan psikologis bagi dirinya sendiri.Memiliki anak yang didiagnostik mengalami keterbatasan yaitu autis, hal ini dikarenakan menurut Stoneman (dalam Abbedutto, 2004) memiliki anak berkebutuhan khusus termasuk autisme merupakan suatu tantangan bagi orangtua. Hal tersebut menjadikannya menarik untuk diteliti, terkait kesejahteraan psikologis ibu yang memiliki anak autis.Tinggal di rumah bersama anak autisnya. Karakteristik ini digunakan sesuai dengan penelitian Abbedutto (2004) untuk melihat seberapa dekat ibu dan anak autisnya, sehingga dapat diketahui dari hubungan tersebut seberapa tinggi kesejahteraan psikologis ibu. Dikaitkan dengan asumsi bahwa ibu melakukan tugasnya untuk mengasuh anak autisnya. Sesuai dengan pernyataan Setiasih (2005) bahwa merawat dan mengasuh anak merupakan tugas seorang ibu dalam keluarga.Pelaksanaan PenelitianPenyebaran skala dilakukan sejak 25 April 25 Mei 2014 kepada 55 ibu yang memiliki anak autis yang ada di Yogyakarta. Terdapat 6 skala yang tidak kembali, sehingga hanya terdapat 49 skala yang didapatkan peneliti, di lain pihak dari 49 skala tersebut hanya 30 skala saja yang dapat dianalisis sedangkan yang lainnya gugur. Hal tersebut dikarenakan 19 skala tidak sesuai kriteria penelitian dan ada beberapa data yang kosong sehingga tidak dapat dijadikan bahan analisis. Terdapatnya skala gugur yang tidak sesuai kriteria disebabkan berbagai hal misalnya, tidak adanya kedekatan emosi antara peneliti dengan subjek penelitian karena melalui perantara sekolah sehingga dapat terjadi faking good / faking bad dalam pengisian skala, serta ada kemungkinan subjek tidak teliti bila tidak diawasi.

Hasil Try OutPada penelitian ini digunakan metode tryout terpakai, yaitu menggunakan tiap skala yang diberikan kepada subjek sekali saja, lalu menganalisis hasilnya. Hal tersebut berkaitan dengan kendala sulitnya mendapatkan subjek, sedikitnya jumlah populasi subjek penelitian dan minimnya jumlah subjek yang bersedia menjadi subjek penelitian dikarenakan hal ini merupakan sesuatu yang bersifat sensitif.

Hasil Uji PrasyaratBerdasarkan hasil uji normalitas diketahui bahwa kesejahteraan psikologis dan kecerdasan emosi tidak terdistribusi normal dengan p < 0,05 sedangkan efikasi diri dalam mengasuh anak terdistribusi normal.Selanjutnya pada uji linearitas, kedua variabel bebas tampak linear terhadap kesejahteraan psikologis dengan p < 0,05.VariabelNormalitasLinearitasK-S ZpFpKesejahteraan Psikologis0,2200,001Kecerdasan Emosi0,2450,00011,7010,000Efikasi Diri dalam Mengasuh Anak0,1540,0683,1170,013Hasil PenelitianHipotesis 1 dan 2 (Product Moment)Secara statistik berarti hipotesis diterima, terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan kesejahteraan psikologis (p < 0,01), arah korelasi positif dan sumbangan korelasi yang diberikan sebesar 58 %.Selanjutnya tampak bahwa terdapat hubungan antara efikasi diri dalam mengasuh anak dengan kesejahteraan psikologis (p < 0,01), sehingga hipotesis diterima. Arah korelasi positif dan sumbangan korelasi yang diberikan efikasi diri dalam mengasuh anak terhadap kesejahteraan psikologis sebesar 34,1 % sedangkan selebihnya yaitu 65,9 % dapat dijelaskan oleh sebab sebab lain yang tidak dilibatkan dalam penelitian ini. Misalnya faktor demografis dan klasifikasi sosial, dukungan sosial, daur hidup keluarga, dan evaluasi terhadap bidang bidang kehidupan tertentu (dalam Lakoy, 2009)VariabelrxypRKecerdasan Emosi0,7620,0000,580Efikasi Diri dalam Mengasuh Anak0,5840,0010,341Hasil PenelitianHipotesis 3Berdasarkan hasil tersebut, koefisien regresi sebesar 0,833 dengan nilai p < 0,01 dan hasil analisis varian regresi diperoleh harga F = 33,239 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosi dan efikasi diri dalam mengasuh anak dengan kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis. Koefisien determinasi R2 = 0,693. Berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan emosi dan efikasi diri dalam mengasuh anak dengan kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis maka dalam hal ini bahwa hipotesis ketiga pada penelitian ini diterima.Pada uji kolinearitas, diharapkan antar sesama variabel independen tidak saling berkolerasi, nilai kolinearitas yang tidak diperbolehkan adalah 0,9 atau lebih (Ghozali dalam Aprilinda, 2010). Pada penelitian ini diperoleh nilai colinearity sebesar 0,874 dan nilai VIF 1,144. berdasarkan hasil uji kolinearitas pada penelitian ini maka disimpulkan bahwa kecerdasan emosi dan efikasi diri dalam mengasuh anak tidak kolinier atau tidak saling berkolerasi.

KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa 30 ibu yang berpartisipasi sebagai subjek penelitian memiliki kecenderungan kategori sedang pada kedua variabel yaitu: kesejahteraan psikologis, dan kecerdasan emosi sedangkan subjek pada variabel efikasi diri dalam mengasuh anak termasuk kategori tinggi. Selanjutnya didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan kesejahteraan psikologis, terdapat pula hubungan positif antara efikasi diri dalam mengasuh anak dengan kesejahteraan psikologis, serta adanya hubungan positif antara kecerdasan emosi dan efikasi diri dalam mengasuh anak dengan kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis.Berdasarkan hasil koefisien determinasi yang didapat dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa kecerdasan emosi memberikan sumbangan efektif sebesar 58 % terhadap tingginya tingkat kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis, sedangkan efikasi diri dalam mengasuh anak memberikan sumbangan efektif sebesar 34,1 % terhadap tingginya tingkat kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis, dan berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa kecerdasan emosi dan efikasi diri dalam mengasuh anak bersama sama memberikan sumbangan efektif sebesar 69,3 % terhadap tingkat kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis.SaranBagi ibu yang memiliki anak autisBerdasarkan hasil penelitian, disarankan pada ibu yang memiliki anak autis untuk mampu mempertahankan sekaligus meningkatkan kecerdasan emosi dan efikasi diri dalam mengasuh anak autisnya sehingga ibu mampu merasakan tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi. Hal tersebut disebabkan meskipun memiliki anak autis dapat disebut suatu tekanan, namun Ryff (1989) menyatakan bahwa setiap orang termasuk yang sedang tertekan dalam hal ini berarti menghadapi anak autisnya, akan tetap mampu merasakan kesejahteraan psikologis.Bagi guru yang mengajar anak autisPenelitian ini dapat memberikan informasi kepada guru sekolah autis bahwa kecerdasan emosi dan efikasi diri dalam mengasuh anak merupakan bagian penting agar mencapai kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis. Berdasarkan penelitian ini, peneliti menyarankan perlu adanya psiko-edukasi mengenai pentingnya kecerdasan emosi dan efikasi diri dalam mengasuh anak dari pihak sekolah kepada ibu yang memiliki anak autis.SaranBagi peneliti selanjutnyaBagi peneliti selanjutnya yang berminat mengambil tema yang sama diharapkan mempertimbangkan variabel variabel lain yang diperkirakan mampu mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak autis. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah perlu adanya wawancara dan observasi yang lebih mendalam, karena tidak semua hal mampu diungkap menggunakan skala penelitian. Selanjutnya yang perlu dipertimbangkan adalah jumlah subjek yang terbatas serta tingkat kejenuhan subjek yang terhitung tinggi dalam mengerjakan penelitian jenis pengisian skala, sehingga peneliti sarankan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan ibu yang memiliki anak autis agar mengganti metode penelitian tanpa menggunakan skala. Lebih lanjut, peneliti menyarankan agar penelitian diminta dikerjakan subjek secara langsung dihadapan peneliti dengan meminta waktu luang subjek tanpa melalui perantara sekolah kecuali perihal perijinan, agar dapat meminimalisir kemungkinan ada hal yang kurang dipahami subjek dalam data penelitian (skala) atau bahkan data tidak kembali.SekianTERIMA KASIH