epilepsi final

21
1.1. DEFINISI Epilepsi merupakan penyakit pada otak akibat peningkatan kerentanan sel neuron terhadap kejadian kejang epileptik yang berdampak pada aspek neurobiologis, psikologis, kognitif dan sosial individu. 7 Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada salah satu dari kondisi berikut: (1) terdapat minimal dua episode kejang tanpa diprovokasi. (2) terdapat satu episode kejang tanpa diprovokasi, namun risiko rekurensi dalam 10 tahun sama dengan risiko rekurensi setelah dua episode kejang tanpa provokasi serta (3) sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan elektroensefalografi) 7 Bangkitan kejang merupakan satu manifestasi daripada lepas muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat. Keadaan ini merupakan gejala terganggunya fungsi otak. Gangguan ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis, atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat mengganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. Dengan demikian dapatlah difahami bahwa bangkitan kejang dapat disebabkan oleh banyak macam penyakit atau kelainan diantaranya adalah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolism, gangguan elektrolit, demam, reaksi toksik-alergis, keracunan obat atau zat kimia, jaringan parut, faktor hereditas. 10 1

Upload: arifin-ayob

Post on 14-Dec-2015

247 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

PKMRS, REFARAT

TRANSCRIPT

1.1. DEFINISI

Epilepsi merupakan penyakit pada otak akibat peningkatan kerentanan sel neuron terhadap kejadian kejang epileptik yang berdampak pada aspek neurobiologis, psikologis, kognitif dan sosial individu.7

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada salah satu dari kondisi berikut: (1) terdapat minimal dua episode kejang tanpa diprovokasi. (2) terdapat satu episode kejang tanpa diprovokasi, namun risiko rekurensi dalam 10 tahun sama dengan risiko rekurensi setelah dua episode kejang tanpa provokasi serta (3) sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan elektroensefalografi) 7

Bangkitan kejang merupakan satu manifestasi daripada lepas muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat. Keadaan ini merupakan gejala terganggunya fungsi otak. Gangguan ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis, atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat mengganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. Dengan demikian dapatlah difahami bahwa bangkitan kejang dapat disebabkan oleh banyak macam penyakit atau kelainan diantaranya adalah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolism, gangguan elektrolit, demam, reaksi toksik-alergis, keracunan obat atau zat kimia, jaringan parut, faktor hereditas.10

Bila menghadapi anak dengan bangkitan kejang, haruslah dicari kelainan atau penyakit yang menyebabkannya. Kadang-kadang kita berhasil menemukannya, tapi sering pula kita tidak berhasil (idiopatik).10

Manifestasi bangkitan kejang dapat bermacam-macam, dari yang ringan seperti rasa yang tidak enak di perut sampai kepada yang berat (kesadaran menghilang disertai kejang tonik-klonik). Semua ini bergantung kepada sel-sel neuron mana yang terangsang dan sampai berapa luas rangsangan ini menjalar. Dalam bahasa Inggris, bangkitan kejang dapat diterjemahkan dengan ‘seizure’, ‘convulsion’ atau ‘fit’.10

Rendahnya ambang kejang dapat disebabkan faktor hereditas atau faktor didapat, dapat reversible atau irreversible. Chao (1958) mengatakan bahwa bila bangkitan kejang yang disebabkan oleh kelainan serebral timbul secara berulang, maka hal demikian disebut epilepsi.7

1

Pennfield menyebutkannya sebagai ‘a tendency to recurring seizures, a tendency to periodic involuntary neuronal explosions.’ Gibbs dkk. (1937) menyebutkannya sebagai disritmia serebral proksimal.

1.2 EPIDEMIOLOGI

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000.7

Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan usia lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus). 9 Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000. 10

1.3 ETIOLOGI

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :11

• Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil.

• Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.

• Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik

2

1.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981: 12

I . Kejang Parsial (fokal)A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

1.         Dengan gejala motorik2.         Dengan gejala sensorik3.         Dengan gejala otonomik4.         Dengan gejala psikik

B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)1.         Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaranb. Dengan automatisme

2.         Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejanga. Dengan gangguan kesadaran sajab. Dengan automatisme

C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau klonik)

1.         Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum2.         Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum3.        Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,

dan berkembang menjadi kejang umum

II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)Kejang umum adalah kejang yang melibatkan kedua belah hemisfer dan menyebabkan hilangnya kesadaran. Kejang umum tidak harus selalu tampak simetris.7

A. Lena/ absensAbsens atau petit mal adalah kejang non-konvulsif ketika tiba-tiba semua aktivitas motorik terhenti, pasien tampak kosong, dapat disertai sedikit automatisme terutama di daerah wajah seperti mata mengedip-ngedip, dan tidak disertai aura. Absens umumnya berlangsung selama 30 detik, tidak ada periode kebingungan atau mengantuk post-iktal sehingga pasien akan langsung melanjutkan aktivitas sebelumnya.7

B.       Mioklonik

3

Mioklinik adalah kontraksi tiba-tiba, aritmik, dan singkat (<1 detik) dari otot atau kelompok otot di berbagai bagian tubuh (ekstremitas distal, proksimal, maupun aksial). 7

C.       TonikKejang tonik adalah terjadinya peningkatan kontraksi otot yang menetap beberapa detik hingga menit, biasanya melibatkan otot kepala, batang tubuh dan ekstremitas.7

D.       AtonikAtonik adalah hilang atau melemahnya tonus otot tanpa mioklonik maupun tonik ≥ 1 detik sebelumnya, melibatkan kepala, batang tubuh dan ektremitas.7

E. KlonikMioklonik yang berulang secara regular melibatkan kelompok otot yang sama, pada frekuensi 2-3 kali/detik disebut kejang klonik.7

F.        Tonik-klonikKejang tonik-klonik juga disebut gran mal adalah jenis kejang yang paling sering ditemui, terjadi sebagai kombinasi dari kejang tonik diikuti oleh fase klonik, atau dapat juga berupa klonik-tonik-klonik. Anak akan kehilangan kesadaran secara tiba-tiba, mata berputar ke belakang, seluruh tubuh menjadi tonik (kaku) bahkan dapat tampak sianotik karena apnea, kemudian dilanjutkan fase kejang klonik yang ritmik dan makin lama makin lambat hingga berhenti secara tiba-tiba. Selama kejang pasien sering kehilangan kontrol sfingter vesika urinaria sehingga mengompol dan dapat menggigit lidahnya sendiri. 7

III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :I. Berkaitan dengan letak fokus

A. Idiopatik      Benign epilepsy with centrotemporal spikes (BECTS)      Childhood epilepsy with occipital paroxysm2

B. Simptomatiko Lobus temporalis

o Lobus frontalis

o Lobus parietalis

o Lobus oksipitalis

4

II. Epilepsi Umum

A. Idiopatik     Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal

convulsions      Benign myoclonic epilepsy in infancy      Childhood absence epilepsy      Juvenile absence epilepsy      Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal) (JME)      Epilepsy with grand mal seizures upon awakening      Other generalized idiopathic epilepsies

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik      West’s syndrome (infantile spasms)      Lennox gastaut syndrome      Epilepsy with myoclonic astatic seizures      Epilepsy with myoclonic absences

C. Simtomatik      Etiologi non spesifik      Early myoclonic encephalopathy      Specific disease states presenting with seizures

1.5 PATOFISIOLOGI

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.13

5

Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.13

Silbernagl S. ,Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000

6

1.6 GEJALA

Kejang parsial simplekSerangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:

- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.

- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan

- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubuh tertentu.

- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu- Halusinasi

Kejang parsial (psikomotor) kompleks Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:

- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan

pakaiannya- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan

berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal). Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik, terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.14

7

1.7 DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. 15

1. AnamnesisAnamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.

Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:- Pola / bentuk serangan- Lama serangan- Gejala sebelum, selama dan pasca serangan- Frekuensi serangan- Faktor pencetus- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang- Usia saat serangan terjadinya pertama- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

8

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologisMelihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan

epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.10

3. Pemeriksaan penunjanga. Elektro ensefalografi (EEG)

Elektroensefalografi adalah rekaman aktifitas listrik neuron otak. Fluktuasi arus listrik tersebut didapatkan dari perbedaan voltase yang diukur dari elektrode yang ditempel di kulit kepala, langsung dipermukaan korteks serebri, atau di dalam jaringan otak. EEG merupakan salah satu alat diagnostik dan monitoring penting di bidang Neurologi yang berfungsi menilai neurofisiologis neuron otak.

Penempatan electrode skalp dan aktifitas EEG normal

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi EEG bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya

9

kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila:

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnyagelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.10

Gambaran EEG yang dihasilkan akan dinyatakan normal bila tidak ditemukan gelombang abnormal. Pada kondisi terjaga (awake) dan menutup mata maka irama background akan muncul di regio posterior berbentuk sinus berfrekuensi alfa dan gelombang beta yang maksimum di fronto sentral. Pada saat tidur maka akan nampak beberapa gelombang petanda stadiumStadium 1: background menghilang, frekuensi gelombang melambat , artefak otot mulai berkurang, muncul POST, K komplek dan vertaxStadium 2 : gelombang sleep spindleStadium 3: gelombang delta mulai munculStadium 4: gelombang delta dominon

Kategori EEG abnormal

10

Temuan EEG pada Epilepsi Anak-anak

b. Rekaman video EEGRekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan RadiologisPemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk

melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.

1.8 TERAPISAAT KEJANG

Pertama pastikan jalan napas bebas, ventilasi dan sirkulasi dalam keadaan yang baik. Longgarkan pakaian yang ketat, baringkan anak dalam posisi miring agar lendir dan cairan dapat mengalir keluar. Leher dan rahang hiperekstensi agar jalan napas bebas. Boleh masukkan handuk kecil ke dalam mulut untuk mencegah lidahnya tergigit, namun jangan dipaksa baik menggunakan benda keras maupun

11

jari agar tidak ada gigi yang tanggal dan tertelan atau teraspirasi. Lakukan pemeriksaan tekanan darah, suhu dan glukosa darah. Singkirkan setiap penyebab yang berbahaya yang dapat menyebabkan kejang, seperti trauma, infeksi atau keracunan. Langkah berikutnya adalah memastikan bahwa kejang disebabkan karena epilepsi, bukan karena etiologi lain.

MEMILIH ANTIKONVULSAN

International League Against Epilepsy pada tahun 2006 mengeluarkan pedoman pemilihan antikonvulsan monoterapi pada anak berdasarkan jenis bangkitan kejang.

Pemilihan obat harus berdasarkan efektivitas mengontrol kejang dan efek samping paling sedikit. Berikan dosis awal seminimal mungkin yang dapat mengontrol kejang, dosis dinaikkan secara bertahap sampai kejang terkontrol atau efek samping yang tidak diinginkan muncul. Jika dengan obat dosis maksimal kejang belum terkontrol, evaluasi ulang

(1) Keteraturan minum obat(2) Apakah diagnosis epilepsi sudah benar(3) Apakah serangan yang masih timbul memang manifestasi kejang(4) Adakah faktor pencetus seperti kurang tidur, kelelahan.

Obat lini kedua dapat ditambahkan bila faktor pencetus dapat disingkirkan. Pasien seharusnya dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap jika pasien membutuhkan 2 macam anti-epilepsi .Bila tanpa melihat jenis bangkitan kejang, dapat diberikan terapi berikut,

Obat lini pertama- Asam volproat 10-40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis

- Fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis

- Karbamazepin 10-30 mg/kgBB/hari, dalam 2-3 dosis

- Fenitoin 5-7 mg/kbBB/ hari dalam 2 dosis

Obat lini kedua

- Topiramate (Topamax). Dosis inisial 1-3 mg/kgBB/ hari. Naikkan perlahan dengan interval 1-2 minggu. Lalu dinaikkan

- Lamotrigine (Lamictal) dosis inisial 10 mg/kgBB/hari

- Levetirasetam (Keppra). Dosis inisial 10mg/kgBB/hari dalam 2 dosis

- ACTH atau steroid dapat digunakan untuk infantile spasm atau epilepsi berat yang tidak terkontrol dengan medikasi.

12

Kejang fokal

Kejang umum tonik-klonik

Absence epilepsi

BECTS JME

Pilihan pertama

OXC CBZ, PB, PHT, TPM, VPA

ESM, VPA, LTG

CBZ, VPA CZP, LTG, TPM, VPA, ZNS

Alternatif CBZ, PB, PHT,TPM, VPA

OXC Tidak ada, GBP harus dihindari

GBP, STM

CBZ: Carbamazepin, PB: Phenobarbital, PHT: Phenytoin, TPM: Topiramate, OXC: Oxcarbazepine, ESM: ethosuximide, ETH : ethotoin, GBP: GabapentinCZP: Clonazepam, STM: Sulthiame, VPA: valproic acid, LTG: Lamotrigin, ZNS: zonisamide,

Lamanya terapi antikonvulsan diberikan bergantung pada jenis bangkitan kejang dan gambaran klinis serta EEG, yaitu:- Pada kejang neonatus, antikonvulsan dapat diberikan hingga satu tahun

hingga terjadi perbaikan klinis dan EEG- Pada anak dengan kejang umum tonik klonik, antikonvulsan dilanjutkan

hingga 2 tahun bebas kejang, namun bila pada pemeriksaan EEG masih ditemukan kelainan terapi dilanjutkan hingga 3 tahun bebas kejang.

- Pada anak dengan kejang fokal, antikonvulsan dilanjutkan hingga 3 tahun bebas kejang.

- Pada anak dengan kejang absens, antikonvulsan diberikan hingga 2 tahun bebas kejang.

- Pada anak dengan Juvenile myoclonic, antikonvulsan dapat diberikan seumur hidup.

Pemberhentian terapi antikonvulsan harus dilakukan secara bertahap dalam 3-4 bulan, karena bila dilakukan tiba-tiba dapat memicu episode kejang lainnya.

PROGNOSIS

13

Banyak jenis epilepsi berprognosis baik. Remisi didefinisikan sebagai periode bebas kejang, minimal 5 tahun dengan penggunakan obat-obatan anti-epileptik. Sebanyak 70% penderita epilepsi dapat mengalami remisi dengan terapi yang optimal, bahkan 75% diantaranya dapat berhenti menggunakan obat antikonvulsan tanpa kembali mengalami rekurensi. Pasien yang memiliki prognosis lebih buruk adalah pasien dengan defisit neurologi sebelumnya (seperti retardasi mental atau palsi serebral), usia saat onset pertama > 12 tahun, riwayat kejang neonatus sebelumnya, dan frekuensi kejang yang tinggi sebelum kontrol optimal tercapai. Pada kelompok pasien ini, angka remisi lebih rendah dan rekurensi lebih tinggi.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.epilepsy.ca/eng/content/sheet.html2. http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf3. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi.

In : Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005. p119-127.

4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007

5. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/158169396. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical

development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.7. Chris Tanto, Frans Liwang, Sonia Hanifati, Kapita Selekta Kedokteran :

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014. p 98-102.8. http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm9. http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-

epilepsi-pada-anak-210. Rusepno Hassan, Husein Alatas, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1985. Pg 855-862.11. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and

Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005

12. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC

13. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.14. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 200515. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 200816. http://www.medscape.com/viewarticle/72680917. Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of Pediatrics.

Philadelphia: Saundres Elsevier. 2008. 593(6)

15