epilepsi feliz

41
Makalah Farmasi EPILEPSI Oleh : Fernando Feliz Christyan G 99141050 1

Upload: fernando-feliz-christian

Post on 22-Dec-2015

237 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fs

TRANSCRIPT

Makalah Farmasi

EPILEPSI

Oleh :

Fernando Feliz Christyan

G 99141050

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

S U R A K A R T A

2015

1

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti serangan. Otak

adalah struktur yang kompleks, terbuat dari jutaan sel saraf (neurones). Otak

mengkontrol banyak tugas, seperti kesadaran, gerakan, dan postur. Otak mengirim

dan menerima pesan-pesan sehingga kegiatan-kegiatan ini terjadi. Jika ada kesalahan

dalam pengiriman atau penerimaan pesan yang disebabkan oleh lepas muatan listrik

abnormal atau berlebihan sel saraf, beberapa atau bahkan seluruh fungsi otak akan

berhenti untuk sementara. Jika itu terjadi, orang akan merasakan bangkitan epilepsi

(seizure). Jadi secara klinis, suatu bangkitan dinyatakan epilepsi jika disebabkan oleh

hiperaktifitas listrik di saraf otak, bukan karena penyakit otak akut (Epilepsi

Indonesia, 2007).

Epilepsi adalah sindrom, bukan penyakit. Keadaan ini bisa disebabkan oleh

sebab apapun yang mempengaruhi korteks serebri. Epilepsi juga tidak selalu berciri

kejang. Sebaliknya kejang tidak secara otomatis berarti epilepsi (Sudomo, 2004).

Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran,

luka kepala, stroke, tumor otak, serta alkohol. Epilepsi mungkin dapat juga

disebabkan oleh genetika, namun epilepsi bukan penyakit keturunan. Sampai saat ini

penyebab pasti epilepsi belum diketahui (Epilepsi Indonesia, 2007). Kurang lebih

60% epilepsi termasuk jenis idiopatik maupun kriptogenik. Prevalensi sebesar 1%

hampir seragam di beberapa negara. Sedangkan puncak serangan terjadi pada umur di

bawah 16 tahun atau di atas 70 tahun (Sudomo, 2004).

Penatalaksanaan epilepsi sendiri tidak hannya terapi medisinal. Terapi

medisinal yang bertujuan untuk memberantas atau mengelola timbulnya serangan

hanya merupakan salah satu aspek dari perawatan seorang penderita epilepsi.

Penatalaksaan epilepsi sebenarnya terdiri dari penerangan tentang epilepsi, advis cara

hidup sehari-hari, follow up, pemberian antikonvulsan dan advis mengenai tindakan-

tindakan yang harus dikerjakan bila serangan epileptik bangkit. Sedangkan tujuan

2

utama dari terapi farmakologik untuk epilepsi adalah mengendalikan serangan

epilepsi dengan satu jenis obat. Sebisa mungkin dengan dosis terendah namun dapat

mengendalikan epilepsi (lowest but best control) (Sudomo, 2004).

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Epilepsi adalah manifestasi gangguan fungsi (malfungsi) otak secara

intermitten sebagai kondisi kronis hasil dari muatan listrik abnormal neuron-

neuron secara paroksismal akibat berbagai macam sebab selain penyakit otak

akut (unprovoked) (Sudomo, 2004).

Tahapan epilepsi meliputi:

1. Prodromal, terdapat perubahan perilaku maupun mood, timbul berjam-

jam dan seringkali mendahului timbulnya serangan.

2. Aura, merupakan gejala sesaat sebelum serangan.

3. Ictus, yaitu serangan atau seizure itu sendiri.

4. Post ictal period, merupakan sesaat sesudah ictus, dimana pasien

kadang bingung ataupun disorientasi.

Sedangkan status epileptikus adalah serangan berkepanjangan tanpa

disertai recovery (pemulihan kesadaran) dan berakhir lebih dari 30 menit atau

dua serangan atau lebih tanpa disertai recovery diantara dua serangan

(Sudomo, 2004). Namun kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit sangat

jarang berhenti dengan spontan, oleh karena itu dalam praktek sehari harus

dianggap sebagai status epileptikus (Handryastuti, 2011).

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa

(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan

sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh

hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh

suatu penyakit otak akut (unprovoked).

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi

yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis

serangan, faktor pencetus, kronisitas. Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari

4

sel-sel neuron diotak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan

fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan

manifestasi baik lokal maupun general. Gangguan tidak terbatas aktifitas

motor yang terlihat oleh mata, tetapi juga oleh aktifitas lain misalnya emosi,

pikiran dan persepsi (Oktaviana, 2008).

B. ETIOLOGI

1. Idiopatik. Tidak diketahui dan diduga akibat kelainan genetik

2. Kriptogenik. Dicurigai akibat lesi pada otak

3. Simptomatik. Lesi otak dapat dikenal

4. Psikogenik

5. Multifaktorial. Merupakan gabungan dari kelainan genetik, faktor predisposisi,

kelainan metabolik maupun faktor mendadak akut.

6. (Sudomo, 2004).

C. PATOFISIOLOGI

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih

dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi

aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion

channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya

dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas

neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan

intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran

neuron.

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada

korteks mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi

tinggi dalam merespon depolarisasi diperpanjang akan

5

menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+

secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory

connection), yang memungkinkan adanya umpan balik positif

yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan sel-sel piramidal pada

daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang

bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena

aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial

luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik

dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga

merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik

di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps

inhibitor rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa

aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron

abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan

cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik

abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-neuron yang terkait di dalam

proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari

sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama membentuk

suatu badai aktivitas listrik di dalam otak.

Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi

yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak

yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi

tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :

6

1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan

seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang

lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi

hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini

dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab

atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan

epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya

bangkitan epilepsy pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita

dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive

seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi

sebagai hal dasar. Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut

sekarang adalah : Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh

ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion

kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel

( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi.

Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion

natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya

dengan ion kalsium.

Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam

otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari

impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di

otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.

1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA

dan Glisin ) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls

epileptik secara berlebihan.

7

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat

dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls

epileptik berlebihan juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila

konsentrasi GABA ( gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak

manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah.

Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs =

inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu

hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau

kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter

inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak

sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa

perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak

lengkap yang akan menambah rangsangan.

Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja,

sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang

berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda

dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron

penghambat kurang optimal (GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls

epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik

(Glutamat) berlebihan.

Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan

keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan

heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin.

Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau

meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada

rangsangan yang memadai.

Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak

antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu

8

menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung

berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada

pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan

kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila

lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis

dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan

(Rahardjo, 2007)

C. KLASIFIKASI

Klasifikasi menurut Commission on classification and terminology of the

international Leauge against Epilepsy :

1. Kejang parsial (fokal, lokal)

a. Kejang parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu)

1) Dengan gejala motorik

a) Fokal motorik tidak menjalar

b) Fokal motorik menjalar (epilepsy Jackson)

c) Versif

d) Postural

e) Disertai gangguan fonasi

2) Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (halusinasi

sederhana)

a) Somatosensoris

b) Visual

c) Auditoris

d) Olfaktoris

e) Gustatoris

f) Vertigo

9

3) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,

pucat, berkeringat, memberat, piloereksi, dilatasi pupil)

4) Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

a) Disfasia

b) Demensia

c) Kognitif

d) Afektif

e) Ilusi

f) Halusinasi kompleks (berstruktur)

b. Kejang parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)

1) Awitan parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran

a) Dengan gejala parsial sederhana

b) Dengan automatisme

2) Dengan penurunan kesadaran sejak awitan

a) Hanya dengan penurunan kesadaran

b) Dengan automatisme

c. Kejang parsial yang berkembang menajdi bangkitan umum (tonik-klonik,

tonik, klonik)

1) Kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum

2) Kejang parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum

3) Kejang parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks

lalu berkembang menjadi bangkitan umum

2. Kejang umum (konvulsif atau nonkonvulsif)

a. Bangkitan lena (absence)

1) Hanya penurunan kesadaran

2) Dengan komponen klonik ringan

3) Dengan komponen atonik

4) Dengan komponen tonik

5) Dengan automatisme

10

6) Dengan komponen otonom

b. Lena tidak khas (atypical absence), dapat disertai :

1) Gangguan tonus yang lebih jelas

2) Awitan dan handekan yang tidak mendadak

c. Kejang mioklonik, kejang mioklonik sekali atau berulang

d. Kejang klonik

e. Kejang tonik

f. Kejang tonik klonik

g. Kejang atonik

3. Kejang tidak tergolongkan (Shih, 2007)

D. DIAGNOSIS

1. Anamnesa/aloanamnesa

a. Fokalitas: dari penderita atau orang-orang yang pernah menyeksikan

serangan epileptiknya harus didapati lukisan lengkap. Bila fokalitas

sudah ditetapkan, maka interogasi harus diarahkan ke penentuan jenis

serangan fokal. Bila unsur fokalitas tidak ada, maka jenis epilepsi umum

idiopatik harus ditentukan.

b. Riwayat keluarga yang dapat mengungkapkan adanya anggota keluarga

yang epileptik.

c. Riwayat penyakit dahulu yang dapat memberikan informasi tentang

faktor kausatif yang relevan.

d. Riwayat kehamilan dan kelahiran yang berhubungan dengan trauma

lahir atau gangguan serebral dalam masa intrauterine (Sudomo, 2004).

2. Pemeriksaan klinis umum

3. Pemeriksaan penunjang

a. EEG

11

Pada epilepsi gelombang yang muncul adalah gelombang abnormal, yaitu

gelombang tajam (tajam lambat) dapat saat atau di luar serangan, dan

gelombang paku ombak (paku lambat)

b. Rontgen kepala fraktur?

c. CT-scan infark? hematom? tumor?

d. Laboratorium hipoglikemi? hiponatremi? Uremia?

e. MRS (Magnetic Resonance Spectroscopy)

f. Lumbal pungsi indikasi infeksi SSP akut

E. PENATALAKSANAAN

Tujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan pasien dari serangan epilepsi,

tanpa mengganggu fungsi normal SSP agar pasien dapat menjalani kehidupannya

tanpa gangguan. Terapi dapat dibagi dalam 2 golongan (Utama dan Gan, 2007):

1. Terapi kausal

Terapi kausal dilakukan pada epilepsi simptomatik yang sebabnya dapat

ditemukan (sekunder), misalnya :

a. Pada meningoensefalitis, diberikan antibiotik

b. Pada neoplasma dan perdarahan intrakranial diperlukan tindakan operatif

c. Pada gangguan vaskularisasi otak diberi oksigen untuk mengatasi hipoksia

2. Terapi medikamentosa antikejang

Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka

mendasar pada beberapa faktor, antara lain blok kanal natrium, kalsium,

penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi

eksitatorik glutamat. Beberapa obat antiepilepsi yang dikenal sampai sekarang

ini antara lain :

a. Golongan hidantoin

Fenitoin merupakan yang sering dipakai. Fenitoin bekerja menginhibisi

hipereksitabilitas kanal natrium yang berperan dalam memblok loncatan

listrik sehingga mencegah penjalaran ke bagian otak yang lain.

12

Indikasi : epilepsi umum khusunya grandmal tipe tidur, epilepsi fokal, dan

dapat juga untuk epilepsi lobus temporalis.

Dosis : dewasa 300-600 mg/hari

Anak 4-8 mg/hari, maksimal 300 mg/hari

b. Golongan barbiturat

Fenobarbital merupakan golongan barbiturat yang long acting. Merupakan

agonis reseptor GABA, sehingga meningkatkan transmisi inhibitori dengan

mengaktifkan kerja reseptor GABA.

Indikasi : epilepsi umum khusus epilepsi grand mal tipe sadar, epilepsi

fokal.

Dosis : dewasa 200 mg/hari

Anak 3-5 mg/kgBB/hari

c. Golongan benzodiazepin

Diazepam dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat pilihan

utama status epileptik. Memiliki cara kerja yang sama dengan golongan

barbiturate.

Dosis : dewasa 2-10 mg im/iv, dapat diulang stiap 4 jam

Anak > 5 tahun 5-10 mg im/iv

Anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg im/iv

d. Golongan suksinimid

Etosuksimid

Indikasi : epilepsi petit mal murni

Dosis : 20-30 mg/kgBB/hari

e. Golongan lain

Sodium valproat

13

Indikasi : epilepsi petit mal murni, dapat pula untuk epilepsi pada lobus

temporalis yang refrakter, sebagai kombinasi dengan obat lain.

Dosis : dewasa 0,8-1,4 g/hari dimulai dengan 600mg/hari

Anak 20-30 mg/kgBB/hari

Asetazolamid : dikenal sebagai diuretik, tetapi pada pengobatan epilepsi

mempunyai cara kerja menstabilkan keluar masuknya Na pada sel otak.

Indikasi : epilepsi petit mal, grand mal, dimana serangannya sering

berhubungan dengan siklus menstruasi

Dosis : sehari total 8-30 mg/kgBB

f. Karbamazepin

a. Sediaan : 200 mg/tab

b. Indikasi : epilepsi parsial dengan gejala kompleks dan sederhana

c. Farmakokinetik :

a. Kecepatan absorbsi berbeda-beda antar pasien, tetapi umumnya dapat

terabsorbsi secara sempurna. Obat lambat diabsorpsi jika diberikan

setelah makan.

b. Kadar puncak tercapai setelah 6-8 jam.

c. Waktu paruh 36 jam untuk pasien dosis tunggal pertama, kemudian

turun 20 jam untuk yang mendapatkan terapi berlanjut.

d. Farmakodinamik :

Pada membran permeabilitas menunjukkan bahwa CBZ menutup

saluran Na pada konsentrasi terapi dan dapat menstabilkan membran

neuron yang hiperaktif, menghalangi kerusakan neuron berulang dan

mengurangi perambatan sinaptik impuls yang berasal dari luar.

e. Efek samping

Efek sedasi, sakit kepala, pusing, mual, muntah dan ataksia, yang

bersifat sementara. Efek samping lainnya seperti anoreksia, demam,

dermatitis (perubahan pigmentasi kulit, eritema multiformis, SJS, TEN,

14

reaksi fotosensitivitas, urtikaria) dan gangguan psikis. Selain itu, obat ini

juga dapat mempengaruhi kardiovaskular, GIT, hepar, neuromuskular,

tulang, mata, dan telinga, menyebabkan gangguan darah seperti anemia

aplastik dan agranulositosis, hepatitis, dan SLE. Oleh karena itu, perlu

dilakukan pemeriksaan darah setiap minggu atau per bulan.

f. Dosis :

Awal anak : 15-25 mg/kgBB/hari

Dewasa : 1000-2000mg/hari

Maintenance anak 6-12 tahun : 400-800 mg/hari

Dewasa : 800-1000 mg/hari

Berikut adalah pemilihan obat AED berdasarkan jenis epilepsinya :

Jenis Bangkitan Pilihan Pertama Pilihan Kedua

ParsialSederhanaKompleksUmum Sekunder

FenitoinKarbamazepinFenobarbital

Klobazam,Gabapentin, Lamotrigin,Primidon, Tiagabin,Topiramat, Vigabatrin,Valproat

Serangan UmumTonik-klonik

FenitoinFenobarbitalValproatKarbamazepin

Vigabatrin,Klobazam, Gabapentin,Lamotrigin, Primidon,Tiagabin, Topiramat

Absans/Lena Valproat Etosuksimid

Asetazolamid, Klobazam,Felbamat, Lamotrigin,Topiramat

Tonik,atonik,klonik

Valproat Klobazam,Felbamat,Lamotrigin,Topiramat.

Mioklonik Valproat Asetazolamid, klobazam,klonazepam, felbamat,lamotrigin, topiramat.

15

Juvenile Myoclonic Valproat Topiramat,lamotrigin

Sindrom Lennox-Gestaut

TopiramatFelbamatLamotrigin

Valproat,fenobarbital, BZDs,ZNS

Sindrom West HormonalValproatVigabatrin

Topiramat,lamotrigin, ZNS,BZDs,piridoksin

(Ropper, 2005)

F. PROGNOSIS

Prognosis epilepsi tergantung dari beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,

faktor penyebab, umur saat serangan pertama kali, lamanya dan ada tidaknya

kelainan struktur otak. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup baik. Pada 50-

70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan

sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi

primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan absence mempunyai

prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya dimulai pada

usia 3 tahun atau yang disertai dengan kelainan neurologik dan atau retardasi

mental mempunyai prognosis relatif jelek (Sudomo, 2004).

BAB III

16

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS

Nama : Ny. S

Umur : 26 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Petoran, RT03/ RW 02, Surakarta

Suku : Jawa

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Karyawan swasta

No. RM : 01 28 76 54

B. ANAMNESIS

1. Keluhan utama :

Tidak sadar

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Ny. S (26 th) datang dengan keluhan tidak sadar setelah kejang kurang

lebih 1 jam sebelum masuk RS. Kejang berlangsung 15-20 menit, seluruh

anggota badan kaku, keluar busa pada mulut pasien. Sebelum kejang, pasien

mengeluh kepalanya pusing. Kemudian saat di RS, pasien kembali kejang 1

kali dengan gejala yang sama ± 10 menit. Setelah kejang pasien sempat tidak

sadar ± 15 menit.

Kurang lebih 6 tahun yang lalu dan 2 bulan yang lalu dengan gejala

serupa. Saat itu pasien sempat tidak sadar ±1 jam setelah kejang. Pasien

kemudian dibawa ke RS Kustati (mondok). Pasien mendapatkan obat tetapi

tidak tahu obat apa yang didapat dan obat tidak diminum teratur.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

17

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat sakit jantung : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat alergi/asma : disangkal

Riwayat batuk lama : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat merokok : disangkal

Riwayat minum jamu : disangkal

Riwayat minum minuman keras : disangkal

Riwayat olah raga teratur : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum :

Keadaan umum : Keadaan umum sakit berat, soporokomatus, gizi

cukup.

Derajat kesadaran : soporokomatus

2. Tanda vital

Nadi : 80x/menit, reguler, kuat, isi dan tegangan cukup

Respirasi : 18x/menit, reguler

Suhu : afebris

Tensi : 130/80 mmHg

3. Leher : limfonodi tidak membesar, JVP tidak meningkat.

4. Thoraks : retraksi (-), pelebaran sela iga (-)

5. Cor : Bunyi jantung I – II intensitas normal, reguler, ictus

cordis di SIC IV-V, bising (-)

18

6. Pulmo : pengembangan dada kanan/kiri sama, fremitus taktil

kanan/kiri sama, perkusi sonor/sonor, suara tambahan

(-), ronchi (-)

7. Abdomen

Inspeksi : dinding perut // dinding dada, venektasi (-)

Auskultasi : peristaltik (+) normal

Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

8. Ekstremitas :

Akral dingin - - edema - - sianosis - -

- - - - - -

Status Neurologis

Kesadaran : GCS E4V5M6

Fx luhur : dalam batas normal

Fx vegetatif : dalam batas normal

Fx sensorik :

a. N N

N N

Fx motorik

Kekuatan Tonus Ref. Fisiologis Ref. Patologis

Nervus Cranialis

N. II : dbn

N. III : RC (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)

N.VII : dbn

N.XII : dbn

19

N N

N N

- -

- -

5 5

5 5

Tanda meningeal : (-)

Fx koordinasi : dismetria (-), disdiadokokinesia (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

CT Scan Kepala Non Kontras

Didapatkan hasil : Calvaria intak, gyri dan sulci dalam batas normal, parenkim

cerebri tidak didapatkan adanya lesi, ventrikel lateralis dan tertius tidak

didapatkan adanya kelainan.

Kesan : CT Scan Kepala Non Kontras tidak didapatkan adanya kelainan.

E. ASSESMENT

Diagnosis Klinis: Epilepsi, general seizure tonic clonic

Diagnosis Topis: Korteks

Diagnosis Etiologis: Idiopatik

F. PLANNING

Cek darah rutin, gula darah, kolestrol, ureum, kreatinin, elektrolit

EEG

G. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

IVFD RL 20 tpm

Inj Fenitoin 100mg/8jam dalam 20cc NS

Inj Diazepam 1 amp (k/p)

20

Resep

Cito!

R / Diazepam inj. amp No II

Cum disposable syringe cc 3 No I

∫ imm

R / Infus RL flab No III

Cum

Infuse set No I

Iv catheter no 22 No I

∫ imm

R / Fenitoin inj. amp No III

Nacl 0,9% flab No I

Cum

disposable syringe cc 3 No I

disposable syringe cc 20 No I

∫ imm

Pro : Ny. S ( 25 th )

H. PEMBAHASAN

Obat pilihan utama terdiri dari fenobarbital atau fenitoin. Dua-duanya baik

sekali dan murah harganya. Fenitoin mempunyai sifat-sifat yang unggul, yaitu

tidak membuat orang mengantuk, tidak akan menimbulkan manifestasi overdose

yang fatal dan bila dihentikan tidak akan membangkitkan status epileptikus. Efek

samping yang kurang enak ialah sakit epigastrik, dermatitis, anemia, hipertrofi

gusi, hirsutismus, nistagmus, dan ataksia (Sidharta, 2009).

21

Jika pasien tidak mau dirawat di RS dan diberikan fenitoin maka terapi

dimulai dengan dosis tinggi yaitu 10-15 mg/kgBB/hari untuk orang dewasa atau

200-400 mg/hari dan 5-8 mg/kgBB/hari untuk anak-anak di bawah 6 tahun

(Sidharta, 2009).

Anak-anak, bayi, dan wanita lebih baik diobati dengan fenobarbital,

mengingat efek buruk kosmetik dari fenitoin. Sedangkan efek samping

fenobarbital hanya mengantuk saja. Dosis fenobarbital untuk anak-anak di bawah

6 tahun ialah 3-5mg/kgBB/hari atau 60-120 mg/hari (Sidharta, 2009).

Bila serangan grand mal masih belum dapat diberantas dengan obat-obat

tersebut di atas baik secara kombinasi maupun obat tunggal, dapat digunakan

primidone (Sidharta, 2009). Primidone efektif untuk semua bangkitan kecuali

bangkitan lena. Efeknya baik untuk bangkitan tonik klonik yang telah refrakter

terhadap terapi yang lazim, dan lebih efektif lagi dalam kombinasi dengan fenitoin

(Utama dan Gan, 2007). Dosis untuk anak dibawah umur 6 tahun ialah 10-25

mg/kgBB/hari. Sedangkan orang dewasa 300-600 mg/hari. Dosis permulaan harus

rendah misalnya 100-150 mg/hari. Efek samping primidone dapat berupa ngantuk,

vertigo, ataksia, dermatitis, dan anemia (Sidharta, 2009).

Di bawah ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai fenobarbital dan

fenitoin:

1. Fenobarbital

Fenobarbital sebagai antiepilepsi bekerja dengan membatasi penjalaran

aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital

merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif dan murah. Dosis

efektifnya relatif rendah. Efek samping yang terjadi adalah efek sedatif.

Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan

kejang demam pada anak. Dosis anak ialah 100-300 mg/hari sedangkan dewasa

dua kali 120-250 mg/hari. (Utama dan Gan, 2007)

22

2. Fenitoin

Obat yang dipilih sebagai antiepilepsi pada kasus diatas adalah fenitoin.

Fenitoin merupakan golongan hidantoin yang merupakan obat utama untuk

hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena. Fenitoin diindikasikan

terutama untuk bangkitan tonik klonik dan bangkitan parsial.

a. Farmakodinamik

Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambatan

penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Fenitoin juga

mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel, dalam hal ini,

khususnya menggiatkan pompa Na+, K+, Ca2+ neuron dan mengubah

neurotranmitor NEPI, asetilkolin, dan GABA.

b. Farmakokinetik

Pemberian secara per oral mengalami absorpsi secara lambat dan

sesekali tidak lengkap. Pemberian secara IM menyebabkan fenitoin

mengendap ditempat suntikan kira-kira 5 hari dan absorpsi

berlangsung lambat.

Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya

bertahan lebih lama, tetapi mula kerjanya lebih lambat daripada

fenobarbital. Metabolit fenitoin akan di ekskresi melalui ginjal.

c. Interaksi obat

Interaksi fenitroin dengan fenobarbital atau karbamazepin akan

menyebabkan fenitoin menurun kadarnya karena fenobarbital atau

karbamazepin menginduksi enzim mikrosom hati, tetapi kadang-

kadang kadar fenitoin dapat meningkat akibat inhibisi kompetitif

dalam metabolisme.

d. Efek samping

Efek samping yang dapat ditimbulkan dari fenitoin adalah

keracunan pada SSP, saluran cerna, gusi dan kulit, sedangkan yang

lebih berat mempengaruhi kulit, hati, dan sumsum tulang.

23

e. Dosis

Kadar plasma untuk terapi fenitoin terdapat antara 10-20µg/ml.

Ketika terapi oral sudah dimulai, dosis dewasa biasanya 300 mg/hari

tanpa memperlihatkan berat badan. Jika kejang berlanjut, dosis yang

lebih tinggi biasanya diperlukan untuk mendapatkan kadar plasma

dalam batas-batas terapi yang lebih tinggi. (Utama dan Gan, 2007)

Sedangkan di bawah ini adalah alternatif obat yang digunakan untuk epilepsi

tonik klonik

1. Karbamazepin

Karbamazepin efektif terhadap bangkitan parsial kompleks dan

bangkitan tonik klonik. Efek samping karbamazepin cukup sering terjadi.

Efek samping yang terjadi setelah pemberian obat jangka lama berupa pusing,

vertigo, ataksia, diplopia, dan penglihatan kabur. Frekuensi bangkitan dapat

meningkat akibat dosis berlebih.

Dosis anak di bawah 6 tahun 100 mg/hari, 6-12 tahun 2x 100 mg/hari,

dewasa: dosis awal 2x 200 mg sehari pertama, selanjutnya dosis ditinggkat

secara bertahap. Dosis pemeliharaan 800-1200 mg.hari. (Utama dan Gan,

2007)

2. Asam valproat

Asam valproat terutama untuk terapi epilepsi umum dan kurang efektif

terhdap epilepsi fokal. Efek antikonvulsi valproat didasarkan meningkatnya

kadar GABA di dalam otak. Valproat efektif terhadap epilepsi umum yakni

bangkitan lena yang disertai oleh bangkitan tonik klonik. Sedangkan terhadap

epilepsi fokal lain efektivitasnya kurang memuaskan. Terapi dimulai dengan

dosis awal 3x 200 mg/hari dengan dosis harian berkisar 0,8-1,4 g.

Valproat telah diakui efektivitasnya sebagai obat untuk bangkitan lena,

tetapi bukan merupakan obat terpilih karena efek toksiknya terhadap hati.

(Utama dan Gan, 2007)

24

3. Diazepam

Diazepam digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status

epileptikus. Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa

disuntikkan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam IV secara

lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu 15-20

menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20-30 mg.

Efek samping berat dan berbahaya yang menyertai penggunakan

diazepam IV ialah obstruksi saluran napas oleh lidah akibat relaksasi otot.

Disamping itu dapat terjadi depresi napas sampai henti napas, hipotensi, henti

jantung, dan kantuk. (Utama dan Gan, 2007)

Pada kasus Ny. S diatas, Ny. S didiagnosis general seizure tonik klonik dan

masuk dalam kriteria status epileptikus karena kejang berlangsung selama lebih

dari 5 menit dan diantara dua serangan tidak disertai recovery atau pemulihan

kesadaran. Status epileptikus tonik klonik umum merupakan suatu keadaan yang

membahayakan jiwa.

Diazepam merupakan obat yang paling efektif pada beberapa pasien untuk

menghentikan serangan dan diberikan secara langsung dengan dosis intravena total

20-30 mg pada orang dewasa. Efek diazepam tidak lama, tetapi 30-40 menit pada

interval bebas kejang memberikan suatu awal terapi yang lebih berarti. Pasien

yang tidak dalam keadaan kejang, terapi diazepam dapat dihilangkan dan segera

diobati dengan obat berjangka panjang seperti fenitoin. Pengobatan status

epileptikus yang paling tepat adalah fenitoin intravena, efektif, dan nonsedatif.

Diberikan dengan dosis tunggal intravena 13-18 mg/kgBB pada orang dewasa.

Untuk pasien yang tidak responsif pada fenitoin, fenobarbital dapat diberikan

dalam dosis besar, 100-200 mg IV sampai jumlah total 400-800 mg (Katzung,

2002)

25

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Epilepsi merupakan suatu manifestasi klinis akibat lepasnya muatan listrik

abnormal, berlebihan, dan sinkron dari SSP, terutama korteks serebri, yang

berupa serangan paroksismal berulang dan timbul tanpa provokasi.

2. Pengobatan epilepsi terdiri atas pengobatan kausatif (terapi penyebab primer)

dan antikonvulsi. Pengobatan dilakukan dalam jangka panjang (tergantung

kondisi dan kepatuhan pasien) dan dihentikan setelah 2-5 tahun pasien bebas

kejang. Terapi farmaka harus dipantau karena efek samping dan reaksi

hipersensitivitas obat yand dapat terjadi pada pasien yang sensitif.

B. Saran

1. Melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan CT scan kepala untuk

mengetahui penyebab kejang (menyingkirkan penyebab sekunder karena

penyakit lain, misalnya neoplasma, perdarahan intrakranial, metabolik)

2. Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai penyakit, terapi, dan prognosis

3. Edukasi untuk rutin kontrol dan minum obat secara teratur

4. Melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan tes fungsi hepar karena efek

samping pengobatan dapat menyebabkan gangguan hepar dan kelainan darah.

26

DAFTAR PUSTAKA

Adrian T. Carbamazepin dalam Terapi Epilepsi Sebagai Penyebab Eritema

Multiformis Mayor. Skripsi. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra

Utara. 2009.

Budiarto.I. Beberapa Karateristik Kejang Demam Sebagai Faktor

Risiko Terjadinya Epilepsi. Tesis. Program Pendidikan Dokter

Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf. FK UNDIP, Semarang. 2007

Harsono. Buku Ajar Neurologis Klinis . Edisi pertama. Yogyakarta.

Gadjah

Mada University Press. 2006

Ropper AH, Brown RH. Epilepsy and other seizure disorders In Adams and Victor’s

principles of neurology. 8th ed. USA: McGraw-Hill, 2005.

Shih T. Epilepsy and seizures. In: Brust JCM. Current diagnosis and treatment in

neurology. International ed. USA: McGraw-Hill,2007.

Sidharta P. 2009. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: Penerbit Dian

Rakyat

Sudomo A. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surakarta: BEM FK UNS Press

Utama H. dan Gan V. 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi. Dalam Farmakologi dan

Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI

Oktaviana F. Epilepsi : Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter. Medicinus.

2008. Vol.21 (4) : 121-2.

World Health Organization. Epidemiology, Prevalence, Incidence,

Mortality of

Epilepsy. 2001. Fact Sheet. URL http : // www. who.in/ inf-fs/ en/

fact 165. html.

27