epidural hemorrhage
DESCRIPTION
FreeTRANSCRIPT
Epidural Hemorrhage
Perdarahan epidural adalah sebuah bentuk cedera kepala yang mudah ditangani
yang selalu berhubungan dengan prognosa yang baik. Pada beberapa kejadian yang
jarang, perdarahan seperti itu bisa terjadi spontan. Kemajuan dalam pencitraan CT
kontemporer telah memberi konfirmasi diagnosa perdarahan epidural dengan cepat dan
akurat. (1)
Perdarahan epidural muncul dalam ruang potensial diantara dura dan
kranium. Epi dalam bahasa Yunani berarti diatas. Sebuah perdarahan epidural bisa juga
merujuk pada ekstradural (diluar dura). (1)
Perdarahan epidural akibat gangguan pembuluh darah dura, termasuk cabang-
cabang arteri dan vena meningea media, sinus venosus dura, dan pembuluh darah
kranium. Perdarahan dan pertumbuhan berkelanjutan bisa mengakibatkan hipertensi
intrakranial. (1)
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering
terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak yang kaku
dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang
disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan
membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di
kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan
menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan
dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam
ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inilah yang dikenal dengan sebutan
epidural hematom (EDH).
EDH sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan
dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan
perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan
berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang
terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila
terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.
Sebanyak 10-20% dari semua pasien dengan cedera kepala diperkirakan
mendapat perdarahan epidural, insiden yang sebanding dengan usia terdapat pada
populasi pediatri. Kira-kira 17% pasien yang sebelumnya sadar lalu memburuk menjadi
koma setelah trauma diketahui mendapat perdarahan epidural. (1)
DEFENISI
Perdarahan epidural adalah perdarahan yang menghasilkan sekumpulan darah
diluar dura mater otak atau tulang belakang. Perdarahan biasanya sebagai akibat dari
robeknya arteri meningea media dan mungkin dengan cepat mengancam jiwa. Juga
disebut perdarahan ekstradural. (2)
ETIOLOGI
Trauma merupakan penyebab khas perdarahan epidural, meskipun perdarahan
spontan bisa saja muncul. Trauma seringnya berupa benturan tumpul pada kepala akibat
serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan gaya melintang.
Distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir juga
mencakup perdarahan pada bayi baru lahir.(1,3)
INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan EDH dan sekitar 10%
mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian hematoma epidural hampir
sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH
adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.
60 % penderita EDH adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur
kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang
berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.
Tipe- tipe :
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala-
gejala klinis yaitu:
1) Perdarahan akut, perdarahan dari arteri
Gejala yang timbul segera hingga berjam – jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada
pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam
foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini
dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah.
2) Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 – 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan
karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma
ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda
status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan
dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan
respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan
peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
otak.
3) Perdarahan kronik, perdarahan dari vena
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati
hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula
jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih
belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada
araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh
darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma.
Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada
tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang
berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
imbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa
tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7
sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan
adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak.Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan.Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan
gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk
dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
sakit kepala yang menetap
rasa mengantuk yang hilang-timbul
linglung
perubahan ingatan
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
PATOFISIOLOGI
Tidak seperti perdarahan subdural, kontusio serebral, ataupun cedera aksonal
difusa otak, perdarahan epidural tidak diakibatkan sekunder dari gerakan kepala atau
akselerasi. Perdarahan epidural disebabkan gangguan struktural pembuluh darah kranium
dan dura umumnya dihubungkan dengan fraktur calvaria. Laserasi arteri meningea media
dan sinus dura yang menyertainya adalah etiologi yang paling umum. (1)
Pada fossa posterior, gangguan sinus venosus dura (misal, sinus transversum atau
sigmoid) oleh fraktur dapat menyebabkan perdarahan epidural. Gangguan sinus sagitalis
superior dapat menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber perdarahan
epidural non-arterial lainnya termasuk venous lakes, diploic veins, granulasi arachnoid,
dan sinus petrosus. (1)
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan ini
lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media
robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang
terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan
durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya
tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di
medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf
cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan
ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada
daerah ini, menyebabkan kelemahan respon motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau
sangat cepat, dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda
lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan
tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga
makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita
pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan
merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur
menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer
yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya
hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi
lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami
fase sadar.
Sumber perdarahan :
Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
Sinus duramatis
o Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan
vena diploica
Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media,terletak antara duramater dan
lamina interna tulang pelipis.
Os Temporale (1), Hematom Epidural (2), Duramater (3), Otak terdorong kesisi lain (4)
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf karena
progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga langsung
mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra tentorial.
Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala yang
berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di rawat dan diperiksa
dengan teliti.
Sejumlah kecil perdarahan epidural telah dilaporkan tanpa adanya trauma.
Etiologinya termasuk penyakit infeksi kranium, malformasi vaskuler dura mater, dan
metastase ke kranium. Perdarahan epidural spontan juga bisa berkembang pada pasien
dengan koagulopati sehubungan dengan masalah medis primer lainnya (misal, penyakit
hati stadium akhir, alkoholisme kronik, keadaan penyakit lain sehubungan dengan
disfungsi trombosit). (1)
GAMBARAN KLINIS
Kebanyakan perdarahan epidural asalnya adalah trauma, seringnya melibatkan
benturan tumpul pada kepala. Pasien mungkin memiliki bukti eksternal cedera kepala
seperti laserasi kulit kepala, cephalohematoma, atau kontusio. Cedera sistemik juga dapat
muncul. Tergantung pada daya benturan, pasien mungkin saja tidak kehilangan
kesadaran, kehilangan kesadaran singkat, atau kehilangan kesadaran berkepanjangan. (1)
Gejala yang sering tampak :
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
Bingung
Penglihatan kabur
Susahbicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan
epilepsi fokal. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi
cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi
tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir,
kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan
tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan
adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.
Jika EDH di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan
terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan
kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga.
Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini
harus diobservasi dengan teliti.
Interval lucid klasik muncul pada 20-50% pasien dengan perdarahan epidural. Pada
awalnya, tekanan mudah-lepas yang menyebabkan cedera kepala mengakibatkan
perubahan kesadaran. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas sampai
efek massa perdarahan itu sendiri menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial,
menurunnya tingkat kesadaran, dan kemungkinan sindroma herniasi. Interval lucid yang
bergantung pada luasnya cedera, merupakan kunci untuk menegakkan diagnosa
perdarahan epidural. (1,3)
Dengan hipertensi intrakranial berat, respon Cushing mungkin muncul.
Trias Cushing klasik melibatkan hipertensi sistemik, bradikardia, dan depresi pernafasan.
Respon ini biasanya muncul ketika perfusi serebral, terutama sekali batang otak,
dikompromi oleh peningkatan tekanan intra kranial. Terapi anti hipertensi selama ini
mungkin menyebabkan iskemia serebral akut dan kematian sel. Evakuasi lesi massa
mengurangi respon Cushing. (1)
Penilaian neurologis penting. Perhatian terutama diberikan pada tingkat kesadaran,
aktivitas motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil, dan
tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia. GCS penting dalam menilai
kondisi klinis terkini. GCS positif berhubungan dengan hasil akhir. Pada pasien yang
sadar dengan lesi massa, fenomena drift pronator mungkin membantu dalam menilai arti
klinis. Arah ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan teregang keluar
dengan kedua telapak tangan menghadap keatas mengindikasikan efek massa yang sulit
dipisahkan namun penting. (1)
Pada pencitraan yang dihasilkan oleh CT scan dan MRI, perdarahan epidural
biasanya tampak berbentuk konveks karena ekspansinya berhenti pada sutura kranium,
dimana dura mater sangat erat melekat ke kranium. Perdarahan epidural dapat muncul
dalam kombinasi dengan perdarahan subdural, ataupun dapat muncul sendiri. CT-scan
mengungkap perdarahan subdural atau epidural pada 20% pasien yang kehilangan
kesadaran. (3)
ANATOMI
Dibawah tulang kranium terletak dura mater, yang terletak diatas struktur
leptomeningeal, arachnoid, dan pia mater, yang pada gilirannya, terletak diatas otak. Dura
mater terdiri atas 2 lapisan, dengan lapisan terluar bertindak sebagai lapisan periosteal
bagi permukaan dalam kranium. (1)
Seiring bertambahnya usia seseorang, dura menjadi penyokong pada kranium,
mengurangi frekuensi pembentukan perdarahan epidural. Pada bayi baru lahir, kranium
lebih lembut dan lebih kecil kemungkinan terjadinya fraktur. Perdarahan epidural dapat
terjadi ketika dura terkupas dari kranium saat terjadi benturan. (1)
Dura paling menyokong sutura, yang menghubungkan berbagai tulang pada
kranium. Sutura mayor merupakan sutura coronalis (tulang-tulang frontal dan parietal),
sutura sagitalis (kedua tulang parietal), dan sutura lambdoidea (tulang-tulang parietal dan
oksipital). Perdarahan epidural jarang meluas keluar sutura. (1)
Regio yang paling sering terlibat dengan perdarahan epidural adalah regio temporal
(70-80%). Pada regio temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningea media dekat
dengan skema bagian dalam kranium. Insiden perdarahan epidural pada regio temporal
lebih rendah pada pasien pediatri karena arteri meningea media belum membentuk alur
dalam skema bagian dalam kranium. Perdarahan epidural muncul pada frontal, oksipital,
dan regio fossa posterior kira-kira pada frekuensi yang sama. Perdarahan epidural muncul
kurang begitu sering pada vertex atau daerah para-sagital. (1)
Berdasarkan studi anatomi terbaru oleh Fishpool dkk, laserasi arteri ini mungkin
menyebabkan campuran perdarahan arteri dan vena.(1)
Perdarahan epidural jika tidak ditangani dengan observasi atau pembedahan yang
hati-hati, akan mengakibatkan herniasi serebral dan kompresi batang otak pada akhirnya,
dengan infark serebral atau kematian sebagai konsekuensinya. Karenanya, mengenali
perdarahan epidural sangat penting. (1)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam
penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma. (1)
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan
akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan
intra-operatif.(1)
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang
signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume
darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka
yang menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian
mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan
berhati-hati dan sering terhadap level hematokrit. (1)
PENCITRAAN
Radiografi (1)
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan
vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau
vertex juga mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan
fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan
kranium yang lebih besar.
CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema
bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan
lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien
dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar mendesak efek
massa dan menghambat ventrikel keempat.
o Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedera intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu
bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),
berbentuk bikonveks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi
kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma,
Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan
adanya peregangan dari pembuluh darah.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu
hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam
hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak
dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan
hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian
menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu
tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati sebagai
isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin mengindikasikan
perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum yang
rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex
dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial
tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek
massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus,
rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan untuk mengevaluasi
hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio
serebral, dan hematom intraserebral
MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang
tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun,
dapat diamati ketika meluas. (1)
MRI akan menggambarkanmassahiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.
DIAGNOSIS BANDING
1. Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara duramater dan arachnoid.
Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang
berkembang lambat. Bisa disebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan
bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis.
Biasanya di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma
subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.
Hematoma Subdural Akut
2. Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di
dalamnya.
Kepala panah menunjukkan hematoma subarachnoid, panah hitam menunjukkan
hematoma subdural dan panah putih menunjukkan pergeseran garis tengah ke kanan
PENGOBATAN
Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang
kurang baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi
struktural, herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial. (1)
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang
memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume
lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan
pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute konservatif. (1)
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera.
Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati
pasien dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal. (1)
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan
penilaian klinis, publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of Traumatic
Brain Injury” merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan
epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis
fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus
digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi
perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan. Jika
meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria
atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan. Embolisasi arteri
meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural, khususnya
ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati. (1)
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit
primer yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental
yang telah didiskusikan diatas. (1)
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan
cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a.Hiperventilasi.
b.Cairan hiperosmoler.
c.Kortikosteroid.
d.Barbiturat.
a.Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme
anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2
dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.
b.Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk “menarik” air dari ruang
intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang
cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit.
Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa,
harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali
(diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
c.Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu yang
lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang
ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa
obat ini menstabilkan sawar darah otak.
Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :
Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd
4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan
Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
d.Barbiturat
Digunakan untuk mem”bius” pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah
mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang
rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi,
walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan
yang ketat.
e.Cara lain
Pala 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24 jam agar
tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur
dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30° akan menurunkan tekanan intrakranial.
Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama, ialah:
kepala dan leher diangkat 30°. sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°. telapak kaki
diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai bawah
3. Obat-obat Neurotropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan
metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a. Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi
metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut
diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian
intravena karena sifat-nya asam sehingga mengiritasi vena.
b.Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA – suatu neurotransmitter penting di otak.
Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c.Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan untuk
sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam dosis 10Q-500
mg/hari intravena.
4. Hal-hal lain
Perawatan luka dan pencegahan dekubitus harus mulai di-perhatikan sejak dini; tidak
jarang pasien trauma kepala juga menderita luka lecet/luka robek di bagian tubuh lainnya.
Anti-biotika diberikan bila terdapat luka terbuka yang luas, trauma tembus kepala, fraktur
tengkorak yang antara lain dapat me-nyebabkan liquorrhoe. Luka lecet dan jahitan kulit
hanya memerlukan perawatan lokal.
Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan
fungsi pembekuan normal. Per- darahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan
hemostatik. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma
tembus kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat
diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan 250-
500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd 100 mg/hari per oral
atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital tidak
dianjurkan ka-rena efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan depresi
pernapasan.
Terapi Operatif
Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury“,
perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa
mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5
mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan
status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi. (1)
Operasi di lakukan bila terdapat :
Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 5 mm
fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang
Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergenci.
Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc à desak ruang supra tentorial
> 10 cc à desak ruang infratentorial
> 5 cc à desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom
temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan
perburukan lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering
berhubungan dengan gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi
yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang
supratentorial. (1)
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang
biasa, khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan
yang cepat. Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan. (1)
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini : (1)
Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi
intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas
hemodinamik yang berat.
Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.
KOMPLIKASI
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang
mereka kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi
subyek herniasi subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat,
menyebabkan infark serebral. (1)
Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak,
paling sering di pons. (1)
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang
seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan.
Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan
ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah. (1)
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista
leptomeningeal atau fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan
pertumbuhan otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura
dan batas fraktur membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya
memperlihatkan massa scalp pulsatil. (1)
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka
pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Perawatan luka dan
pencegahan dekubitus pada pasien post operasi harus mulai diperhatikan sejak dini.
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
KOMPLIKASI
Kejang dalam 6 bulan pertama dan berangsur membaik dalam 2 tahun
Risiko Kegagalan Operasi: EDH, ketika observasi atau operasi gagal, dapat
mengakibatkan herniasi cerebral dan kompresi batang otak, dengan infark cerebral atau
kematian sebagai konsekuensinya.
Rehabilitasi pada perdarahan otak
Hal-hal yang timbul akibat perdarahan otak menyebabkan gangguan fungsi dan menjadi
masalah pokok pada rehabilitasi medik, adalah : lokomotor, ketrampilan tangan,
gangguan bicara, gangguan koordinasi, gangguan sensorik dan kejiwaan). Untuk
menangani banyak masalah tersebut perlu kerja sama tim yang terpadu.
1. Gangguan Lokomotor
Penyebab gangguan lokomotor yang paling umum adalah hemiplegia motorik akibat
gangguan pembuluh darah atau para-plegia dan quadriplegia akibat penekanan pada
sumsum tulang belakang atau penyakit demyelinasi; masalah tersebut akan memerlukan
fisioterapi tergantung dari luasnya lesi saraf ter-sebut apakah statis, memburuk atau
membaik.
Pertimbangan utama adalah mobilisasi dan ketergantungan penderita; anggota gerak yang
sehat harus dipelihara kekuatan-nya dan anggota yang lumpuh digerakkan secara pasif
untuk memelihara gerakan sendi yang normal jangan sampai kaku. Bila ada spastisitas,
harus diusahakan sedemikian rupa sehingga fungsi untuk berjalan bisa terpenuhi; baik
dengan cold pack atau hot pack maupun dengan vibrasi atau menggunakan refleks
hambatan. Kadang-kadang diperlukan suntikan lokal langsung pada saraf dengan phenol
atau alkohol yang bermanfaat untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, sehingga
penderita telah dapat diperbaiki mobilitasnya.
2. Ketrampilan tangan
Sistim piramidalis sangat mempengaruhi kemahiran ketrampilan tangan; walaupun
proses penyakit telah sembuh namun dalam hal ini selalu ada defisit. Walaupun kekuatan
otot telah pulih, gerakan sendi telah balk, pengendalian anggota gerak telah dikuasai
namun ketrampilan tangan ini masih bagian yang penting dalam proses rehabilitasi.
Sebagian dapat dikerjakan fisioterapist tetapi lebih terperinci lagi oleh okupasi terapist.
Ketrampilan dapat dipulihkan melalui latihan terapi okupasi seperti menulis, mengetik,
memasukkan kancing baju, bertukang dan menjahit. Akhirnya kemampuan yang
semakin rumit se-hubungan dengan kebutuhan penderita dalam pekerjaannya,
memerlukan latihan yang lebih rumit pula.
3. Gangguan bicara
Gangguan berkomunikasi merupakan cacat penting yang bisa disandang oleh penderita.
Cacat demikian memerlukan evaluasi yang teliti dan penanganan khusus. Berbagai
klasifikasi gangguan berkomunikasi, diantaranya yang mudah dan praktis adalah
klasifikasi Sehuell :
Gol. 1 : Afasia sederhana.
Terdapat pengurangan semua bahasa, tidak ada gangguan sensorik dan motorik, ada
disarthria.
Gol. 2 : Serupa dengan gol. 1 ditambah dengan gangguan visual dan terdapat gangguan
diskriminasi, pengenal-an dan pengungkapan simbol visual.
Gol. 3 : Afasia disertai gangguan proses pendengaran dan sensorik-motorik.
Gol. 4 : Campuran gangguan pendengaran, penglihatan dan motorik dan tanda-tanda
kerusakan otak yang me-nyeluruh.
Gol. 5 : Afasia, ireversibel dan hilangnya semua modalitas fungsi berbahasa. Dari
klasifikasi dapat diduga prognosisnya; gol. 1 afasia sederhana adalah baik sedang gol. 5
afasia ireversibel adalah jelek. Apapun golongan penderita ada kemungkinan memberi
bantuan komunikasi yang sesuai oleh speech therapist.
4. Gangguan kordinasi
Gangguan kordinasi timbul akibat kerusakan pada serebellum. Lesi serebellum, dan
campuran lesi serebellum dan piramidal mengakibatkan gangguan koordinasi dan
kurangnya gerak trampil. Suatu hal yang perlu diperhatikan apakah lesi bersifat tetap,
sembuh atau memburuk dan hubungannya dengan cacatnya apakah permanen atau
sementara.
Gangguan kordinasi anggota gerak atas dilatih dengan latihan sederhana dimulai dari
gerakan jari-jari sendiri-sendiri, ditingkatkan dengan antar jari, berarti sudah ada
kordinasi tangan dan mata. Sangat menolong adalah rekreasi permainan benda kecil atau
kerajinan tangan.
Gangguan kordinasi anggota gerak bawah, tidak perlu di-paksakan untuk latihan jalan
(walking gait); cukup dengan memulai yang sederhana menempatkan kaki dalam
berbagai posisi secara statik, dilanjutkan dengan kordinasi pergerakan sendi. Sebelum
berdiri ada baiknya posisi tegak dilatih padatilting table dulu, latihan keseimbangan
berdiri di lantai, baru latihan jalan dengan bantuan terapis. Selanjutnya dapat dilatih
dengan alat bantu seperti kruk, tripod atau tongkat untuk ber-jalan sendiri.
Gangguan kordinasi karena defek pada ekstrapiramidal lebih sulit diatasi terutama kalau
bilateral. Selain kekuatan yang menghambat untuk bergerak, ada kegagalan mulai
bergerak walaupun penderita sudah mengerti instruksi dan penerangan. Kadang-kadang
bisa ditolong dengan bantuan visual dan pendengaran; pasien dengan sindrom Parkinson
lebih sulit berjalan pada jalan yang rata daripada berlekuk-lekuk karena rangsangan
sensorik kerikil akan memudahkan gerakan.
5. Gangguan sensorik
Selain pendengaran, mengecap, penciuman dan penglihatan, perasaan merupakan
modalitas yang penting. Gangguan sensorik ini dapat dibagi 3 :
a. Perasaan dalam (proprioseptif).
b. Perasaan superfisial (eksteroseptif).
c. Stereognosis.
a. Perasaan dalam (proprioseptif) :
Memberi perasaan posisi dan pergerakan badan, reseptor terletak pada jaringan tubuh :
otot, tendon, periost dan sendi juga memberi informasi tegangan otot dalam setiap
gerakan. Gangguan proprioseptif akan mengganggu hubungan sensorik motorik.
b. Perasaan superfisial (eksterosepuf) :
Reseptor terletak pada kulit sangat penting untuk perabaan, tekanan, panas dingin dan
nyeri. Gangguan sensorik superfisial ini akan menyebabkan mudah cederapada kulit
tanpa disadari.
c. Stereognosis
Perasaan ini adalah kemampuan mengenal benda tiga dimensi dengan meraba,
tampaknya merupakan kombinasi perasaan dalam dan superfisial.
Gangguan stereognosis ini menyebabkan astereognosis atau hilangnya perasaan taktil-
kinestetik.
Test yang penting secara praktis adalah :
a. Perasaan superfisial
b. Suhu
c. Nyeri
d. Perasaan dafam
e. Pembedaan ringan-berat
f. Stereognosis
g. Bentuk persepsi dsb.
Untuk mengatasi gangguan sensorik ini perlu latihan berulang-ulang setiap rangsangan
untuk memulihkan fungsi anggota gerak misalnya untuk berdiri, jalan, ADL memasang
kancing baju, sikat gigi, makan dengan garpu dan sebagainya. Variasi rangsangan bisa
diberikan melalui permainan dengan bahan berlainan misalnya balok-balok kayu, plastik
dan tanah fiat. Latihan secara bertahap dari ringan sampai berat sesuai dengan
kemampuan yang telah dicapai.
6. Gangguan kejiwaan
Gangguan kejiwaan yang timbul akan sangat menghambat usaha-usaha rehabilitasi
pemulihan fungsi-fungsi tubuh. Akibat kerusakan otak bisa timbul hilangnya intelek,
perubahan kepribadian dan jadi agresif. Perlu pemeriksaan dan evaluasi oleh psikiater.
Depresi, cemas, kelelahan berlebihan, konsentrasi pikiran yang rendah dan kurangnya
ingatan bisa karena defisit neurologik tetapi belum tentu karena kerusakan otak.
Gambaran gangguan jiwa dapat diobati sehingga penderita dapat diubah keadaannya,
program rehabilitasi dapat dimulai.
PROGNOSIS
Meksipun tujuan akhir adalah mencapai angka kematian 0% dan hasil akhir
fungsional baik sebesar 100%, angka kematian keseluruhan pada kebanyakan seri pasien
dengan perdarahan epidural berkisar antara 9,4-33%, rata-rata sekitar 10%. Secara umum,
pemeriksaan motorik pre-operatif, skor GCS, dan reaktivitas pupil secara pasti
berhubungan dengan hasil akhir fungsional pasien dengan perdarahan epidural akut jika
mereka berhasil bertahan. Karena banyaknya perdarahan epidural yang terisolasi tidak
melibatkan kerusakan struktural otak yang mendasarinya, hasil akhir secara keseluruhan
akan menjadi sempurna jika evakuasi bedah yang tepat dilakukan. (1)
Pada pasien trauma cedera otak dengan perdarahan epidural, prognosis lebih baik
jika ada interval lucid (sebuah periode kesadaran sebelum kembalinya koma)
dibandingkan jika pasien koma sejak mendapat cedera. (3)
Prognosis tergantung pada :
Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
Besarnya
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15%
dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami
koma sebelum operasi.
http://www.jevuska.com/2008/01/09/epidural-hematoma/