epidemiologi spasial kasus malaria kota lubuk...

212
EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK LINGGAU PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2009-2013 SKRIPSI Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) OLEH : TRI BAYU PURNAMA NIM : 1110101000042 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M

Upload: ngokhuong

Post on 09-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA

KOTA LUBUK LINGGAU PROVINSI SUMATERA SELATAN

TAHUN 2009-2013

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH :

TRI BAYU PURNAMA

NIM : 1110101000042

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1435 H/2014 M

Page 2: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

i

Page 3: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

ii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

SKRIPSI, MEI 2014

TRI BAYU PURNAMA, NIM 1110101000042

EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK LINGGAU

PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2009-2013

(xiii + 180 halaman, 2 bagan, 17 gambar, 6 grafik, 30 tabel, 3 lampiran)

ABSTRAK

Malaria adalah penyakit bersumber binatang yang menjadi masalah kesehatan

masyarakat dunia. Orang yang berisiko malaria sebesar 2,3 miliar atau 41% dari populasi

dunia. Riskesdas 2013 mencatat bahwa 50% provinsi di Indonesia memiliki prevalensi

malaria di atas angka nasional. Epidemiologi spasial dapat digunakan untuk

menggambarkan distribusi kasus malaria berdasarkan keruangan. Insiden malaria di Kota

Lubuk Linggau masih diatas indikator MDGs dan kota ini belum melakukan pemetaan

endemis malaria. Oleh karena itu penelitian ini bermaksud untuk mengetahui

epidemiologi spasial kasus malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.

Desain penelitian epidemiologi ini adalah ecological study. Pengumpulan data

dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data kasus malaria, BMKG

Provinsi Sumatera Selatan untuk data lingkungan dan BAPPEDA Kota Lubuk Linggau

untuk data wilayah potensi perindukan nyamuk. Analisis data dilakukan dengan ukuran

frekuensi penyakit berupa rate, proporsi dan rasio.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kasus malaria yang diperiksa laboratorium

masih jauh dibawah indikator nasional sehingga perlu upaya pencapaian target ditahun

selanjutnya dan tidak terdapat pola khusus kasus malaria ditiap bulan, curah hujan, suhu

dan kelembaban. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk terinfeksi

malaria dengan kelompok anak-anak sebagai kelompok paling banyak terserang malaria

serta diindikasikan terjadi penularan setempat malaria. Analisis spasiotemporal kasus

malaria pada wilayah endemis malaria pada kecamatan selalu mengalami perubahan dan

wilayah potensi perindukan nyamuk adalah semak belukar, hutan, ladang/kebun, sawah,

dan permukiman.Perlindungan kelompok rentan dilakukan dengan penyuluhan kesehatan

dan kerja sama lintas sektor dan program, pengobatan dengan ACT, membangun sistem

kewaspadaan dini dan modifikasi lingkungan melalui upaya larvasidasi.

Kata Kunci : Epidemiologi, Spasial, Malaria

Daftar Bacaan : 104 (1993-2014)

Page 4: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

iii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

DEPARTEMEN OF EPIDEMIOLOGY

UNDERGRADUATED THESIS, May 2014

TRI BAYU PURNAMA, NIM 1110101000042

MALARIA INCIDENCE IN LUBUK LINGGAU CITY SOUTH SUMATERA

PROVINCE AT 2009-2013 : SPATIAL EPIDEMIOLOGY APPROACH

(xiii + 180 pages, 2 charts, 17 pictures, 6 graphics, 30 tables, 3 attachments)

ABSTRACT

Malaria is a mosquito borne disease that become a public health problem.

Population at risk in malaria is as 2,3 billion or 41% at population in the world. Basic

Health Research 2013 noted that 50% of provinces in Indonesia have malaria prevalence

above national rate. Spatial epidemiology can be used to describe malaria cases that based

on spatial distribution. Malaria incidence in Lubuk Linggau city is still above the MDGs

indicator and this city is not yet endemic malaria mapping. Therefore, aim of this research

describes the spatial epidemiology incidence in Lubuk Linggau city at 2009-2013.

Design of this epidemiological research is ecological studies. Data is collected at

health departement Lubuk Linggau city for malaria cases data, Bureau Meteorology,

Klimatology and Geophysics South Sumatera for enviromental data and Planning and

Developing City in Lubuk Linggau for breeding places region data. Data are analyzed by

measuring the frequency of disease by means of rate, ratio and proportion.

Result of this research is malaria cases that laboratorium confirmation still under

national indicator so that need to efforts raising target in next years. Trends of this cases

by month don’t show a spesific patterns and as well as the temperature, rainfall and

humidity. Men and women have same opportunity to infecting malaria. Majority children

are infected malaria and indicated to occur indigenous transmission. Spatiotemporal

analysis of malaria cases at endemic malaria region always changes. The potential

breeding places are shrubs, woods, garden, fields and resident. Protection of group risk

could do by communication, information and education along with cooperation accross

sector and programms, treatments by ACT, building early warning systems and

enviromental modification by larvaciding.

Keyword : Epidemiology, Spatial, Malaria

Reading List : 106 (1993-2014)

Page 5: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

iv

Page 6: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

v

Page 7: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

vi

Page 8: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : Tri Bayu Purnama

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat, tanggal lahir : Lubuk Linggau, 14 Oktober 1992

Warganegara : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jalan Hujan Gerimis No 545 RT 07 Kelurahan

Bandung Kiri Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2

Kota Lubuk Linggau Provinsi Sumatera Selatan

Telepon : 081996294483

Email : [email protected]

Pendidikan Formal:

1. SD Negeri 18 Kota Lubuk Linggau (1998-2004)

2. SMP Negeri 1 Kota Lubuk Linggau (2004-2007)

3. MA Negeri 1 (Model) Kota Lubuk Linggau (2007-2010)

4. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Kesehtaan Masyarakat,

Peminatan Epidemiologi (2010-2014)

Page 9: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena

berkat taufik dan hidayahNya skripsi ini dapat terselesaikan dengan judul

“Epidemiologi Spasial Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Provinsi

Sumatera Selatan tahun 2009-2013”. Skripsi ini penulis susun dalam rangka

memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat,

pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak

kekurangannya. Namun berkat bimbingan Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS

dan Ibu Riastuti Kusuma Wardani, MKM serta dorongan dari berbagai pihak

maka hambatan itu sedikit banyak dapat diatasi.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan

umumnya bagi siapa saja yang memerlukannya. Akhir kata pada kesempatan ini

penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih

yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak (alm) dan Mamak yang telah memberikan semangat, motivasi dan

kasih sayang kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Serta kedua

kakak dan adik yang menjadi tempat motivasi dan semangat penulis untuk

menyegerakan menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas doa dan

usahanya. You raise me up, to more than I can be”.

3. Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS selaku pembimbing I skripsi. Terima kasih

atas waktu, ilmu, bimbingan, arahan, masukan, doa, dan kepercayaannya

yang diberikan kepada penulis.

4. Riastuti Kusuma Wardani, SKM, MKM selaku pembimbing II skripsi.

Terima kasih atas bimbingan, arahan, masukan, doa, waktu dan ilmu yang

diberikan kepada penulis.

5. Minsarnawati Tahangnacca SKM., M.Kes selaku dosen penanggungjawab

Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

6. Para Dosen Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta yang telah memberikan

ilmunya kepada penulis.

7. Para Dosen Peminatan Epidemiologi UIN Jakarta yang telah meluangkan

waktu sibuknya kepada mahasiswa epidemiologi untuk menggali ilmu yang

dimiliki. Terima Kasih Dr I Nyoman Kandun, DR dr Hariadi Wibisono, dr

Page 10: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

ix

Toni Wandra PhD, Dr Cicillia Windianingsih, dr Sholah Imari M.Sc dll.

Terima kasih atas dedikasinya untuk dunia pendidikan terutama mendidik

calon epidemiolog handal di masa yang akan datang.

8. Gubernur Sumatera Selatan dan Kepala Kementerian Pendidikan Provinsi

Sumatera Selatan berserta para pegawai bidang Dikmenti yang memberikan

kesempatan kepada penulis berupa beasiswa sehingga dapat menyelesaikan

studi di Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta.

9. Kepala Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau dan Kepala Bidang

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Terima kasih atas

kebijaksanaannya yang memberikan kesempatan untuk penulis untuk meneliti

di Lubuk Linggau.

10. Defit Kurniawan, S.Kep yang bersedia direpotkan oleh penulis untuk tempat

konsultasi tentang malaria.

11. Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Lubuk Linggau

yang memberikan penulis data tata guna lahan. Terima kasih untuk Pak

Safran yang membantu perizinan penelitian di BAPPEDA dan Staf Bidang

Fisik dan Sarana yang mau memberikan data Shapefile tata guna lahan.

12. Ketua Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Kenten

Provinsi Sumatera Selatan. Terima kasih atas segala kemudahan yang

diberikan kepada peneliti dalam proses perizinan penelitian.

13. Indra Purna, ST, M.Si yang berbaik hati kepada penulis dengan memberikan

data yang diinginkan dalam 1 hari. Terima kasih atas segala kebaikan dan

ilmu yang bapak berikan kepada penulis.

14. Fajar Nugraha, S.Si yang memberikan ilmu spasialnya kepada penulis.

Terima kasih atas kepercayaan, ilmu, arahan dan masukkannya kepada

penulis.

15. Dr Sholah Imari, M.Sc yang memberikan ilmu epidemiologinya kepada

penulis. Semoga ilmu, kebaikan, ketekunan dan pengabdian yang diberikan

dapat menular kepada penulis. Terima kasuh atas waktu dan bimbingannya

Pak Sholah.

16. Thanks to rekan seperjuangan para epidemiolog muda. Karlina, Tika, Nida,

Najah, II, Ati, Rizka, Wiwid, Putri, Bebe, dan Luthfi. Terima kasih teman

sejawat atas segala kontribusi, ilmu, semangat dan motivasinya kepada

penulis.

17. Thanks to rekan sejawat teman mahasiswa beasiswa kemitraan santri jadi

dokter angkatan 2010. Harun, Zata, Ayu, Ana, Randi, Arum, Rendy, Iid,

Luther, Lukluk, Finti, Lisa, Rusti, Rosi, Choyin, Rico, Ali, Qori, Nando, Fifin

dan Meli. Terima kasih atas segala kontribusinya.

18. Thanks to para ahli kesehatan masyarakat di masanya nanti, teman-teman

kesmas 2010. Uda Randika, Ucup, Ilham, Fuad, Prima, Alul, Supri, Mono,

Page 11: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

x

Aziz, Agung, Angga, Richo, Angger, Akbar, Febri, dan Furin Terima kasih

atas segala kerjasamanya.

19. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih

jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi

kita semua dan berharap ada kritik atau saran yang membangun untuk

kesempurnaan skripsi ini.

Ciputat, Mei 2014

Penulis

Page 12: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

xi

DAFTAR ISI

Lembar Pernyataan....................................................................................................... i

Abstrak ......................................................................................................................... ii

Lembar Persetujuan ...................................................................................................... iv

Daftar Riwayat Hidup .................................................................................................. vi

Kata Pengantar ............................................................................................................. vii

Daftar Isi....................................................................................................................... x

Daftar Tabel, Gambar, Grafik dan Bagan .................................................................... xii

Daftar Istilah................................................................................................................. xiii

BAB I Pendahuluan ..................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 7

1.3. Pertanyaan Penelitian ...................................................................................... 8

1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 8

1.5. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 9

1.6. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................... 10

BAB II Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 12

2.1.Malaria ............................................................................................................. 12

A. Definisi Malaria ......................................................................................... 12

B. Gejala Klinis Malaria ................................................................................. 13

C. Etiologi Malaria ......................................................................................... 14

2.2.Epidemiologi Malaria....................................................................................... 15

A. Rantai Infeksi Malaria ................................................................................ 15

B. Segitiga Epidemiologi Malaria .................................................................. 20

2.3.Sistem Informasi Geografis.............................................................................. 40

A. Definisi Sistem Informasi Geografis .......................................................... 40

B. Analisis Spasial .......................................................................................... 42

C. Epidemiologi Spasial ................................................................................. 44

2.4.Kerangka Teori................................................................................................. 48

BAB III Kerangka Konsep Dan Definisi Operasional ................................................. 50

3.1. Kerangka Konsep ............................................................................................ 51

3.2. Definisi Operasional ....................................................................................... 52

BAB IV Metodologi Penelitian .................................................................................... 57

4.1.Desain Penelitian .............................................................................................. 57

4.2.Lokasi Dan Waktu Penelitian .......................................................................... 58

4.3.Populasi Dan Sampel ....................................................................................... 58

4.4.Cara Pengumpulan Data ................................................................................... 58

4.5.Rencana Manajemen Data................................................................................ 60

4.6.Analisis Data .................................................................................................... 62

4.7.Teknik Validasi Data Sekunder ....................................................................... 63

BAB V Hasil ................................................................................................................ 65

5.1.Gambaran Kasus Malaria Di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-

2013 .................................................................................................................. 65

A. Frekuensi Kasus Malaria ............................................................................ 65

Page 13: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

xii

B. Kecenderungan Kasus Malaria ................................................................... 72

5.2.Karakteristik Faktor Host (Populasi) Pada Kasus Malaria di Kota

Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 .................................................................... 74

A. Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin ................................................ 74

B. Kasus Malaria Berdasarkan Umur ............................................................. 78

5.3.Karakteristik Faktor Agent (Penyebab) Pada Kasus Malaria di Kota

Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 ................................................................... 81

A. Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Plasmodium .......................................... 81

5.4.Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Pada Kasus

Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 ........................................ 83

A. Kasus Malaria Berdasarkan Curah Hujan .................................................. 83

B. Kasus Malaria Berdasarkan Suhu .............................................................. 84

C. Kasus Malaria Berdasarkan Kelembaban .................................................. 85

5.5.Epidemiologi Spasial Malaria di Kota Lubuk Linggau ................................... 86

A. Pemetaan Endemisitas Malaria .................................................................. 86

B. Pemetaan Ketinggian .................................................................................. 117

C. Pemetaan Wilayah Potensi Perindukan Nyamuk ....................................... 118

BAB VI Pembahasan ................................................................................................... 121

6.1.Keterbatasan Penelitian .................................................................................... 121

6.2.Kejadian Malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 ........................... 126

6.3.Karakteristik Karakteristik Faktor Host (Populasi) Pada Kasus

Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 ........................................ 130

A. Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin ............................................... 130

B. Kasus Malaria Berdasarkan Umur ............................................................ 134

6.4.Karakteristik Faktor Agent (Penyebab) Pada Kasus Malaria di Kota

Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 ................................................................... 137

A. Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Plasmodium ......................................... 137

6.5.Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Pada Kasus

Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 ........................................ 145

A. Kasus Malaria Berdasarkan Curah Hujan ................................................. 145

B. Kasus Malaria Berdasarkan Suhu ............................................................. 148

C. Kasus Malaria Berdasarkan Kelembaban ................................................. 152

6.6.Epidemiologi Spasial Malaria di Kota Lubuk Linggau ................................... 155

A. Pemetaan Endemisitas Malaria ................................................................. 155

B. Pemetaan Ketinggian di Kota Lubuk Linggau .......................................... 167

C. Pemetaan Wilayah Potensi Perindukan Nyamuk ...................................... 170

BAB VII Kesimpulan dan Saran .................................................................................. 175

7.1. Simpulan ......................................................................................................... 175

7.2. Saran ............................................................................................................... 176

Daftar Pustaka .............................................................................................................. 178

Page 14: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

xiii

DAFTAR BAGAN, GAMBAR, GRAFIK, DAN TABEL

Bagan 2.1. Segitiga Epidemiologi ....................................................................................... 49

Bagan 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ............................................................................. 51

Gambar 5.1. Pemetaan Endemisitas Malaria Tahun 2009 .................................................. 89

Gambar 5.2. Pemetaan Endemisitas Malaria Tahun 2010 .................................................. 91

Gambar 5.3. Pemetaan Endemisitas Malaria Tahun 2011 .................................................. 93

Gambar 5.4. Pemetaan Endemisitas Malaria Tahun 2012 .................................................. 95

Gambar 5.5. Pemetaan Endemisitas Malaria Tahun 2013 .................................................. 96

Gambar 5.6 Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 .............................. 98

Gambar 5.7. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 ............................. 101

Gambar 5.8. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 ............................ 104

Gambar 5.9. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2 ............................ 106

Gambar 5.10. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 ........................ 108

Gambar 5.11. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 ........................ 110

Gambar 5.12. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 ........................... 111

Gambar 5.13. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Utara 2 ........................... 113

Gambar 5.14. Pemetaan Ketinggian Kota Lubuk Linggau ................................................. 117

Gambar 5.15. Pemetaan Wilayah Potensial Perindukan Nyamuk ...................................... 116

Gambar 6.1. Stadium P. falcifarum Malaria Pada Sediaan Darah Tepi ............................. 136

Gambar 6.2. Stadium P. vivax dan P. ovale Malaria Pada Sediaan Darah ......................... 137

Gambar 6.3. Stratifikasi Endemis Malaria di Indonesia ..................................................... 156

Grafik 5.1. Kecenderungan Kasus Malaria Menurut AMI dan API ................................... 71

Grafik 5.2. Kecenderungan Kasus Malaria Menurut Bulan ................................................ 72

Grafik 5.3. Kecenderungan Kasus Malaria tahun 2009-2013 ............................................. 73

Grafik 5.4. Kecenderungan Kasus Malaria Menurut Jenis Kelamin .................................. 77

Grafik 5.5. Kecenderungan Kasus Malaria Menurut Umur ................................................ 80

Grafik 5.6. Kecenderungan Kasus Malaria dan Curah Hujan ............................................. 83

Grafik 5.7. Kecenderungan Kasus Malaria dan Suhu ......................................................... 84

Grafik 5.8. Kecenderungan Kasus Malaria dan Kelembaban ............................................. 85

Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian ......................................................................... 52

Tabel 4.1. Daftar Variabel, Instrumen, dan Instansi Pengumpul Data Sekunder ............... 60

Tabel 5.1. Frekuensi Kasus Malaria Klinis Tahun 2009-2013 ........................................... 66

Tabel 5.2. Frekuensi Kasus Malaria Positif Tahun 2009-2013 ........................................... 66

Tabel 5.3. Annual Malaria Incidence Tahun 2009-2013 .................................................... 68

Tabel 5.4. Annual Parasite Incidence Tahun 2009-2013 ................................................... 69

Tabel 5.5. Rasio Kasus Malaria Klinis yang Terkonfirmasi Laboratorium ........................ 70

Tabel 5.6. Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin ........................................................ 75

Tabel 5.7. Rasio Jenis Kelamin Kasus Malaria................................................................... 75

Tabel 5.8. Distribusi Kelompok Rentan Malaria Menurut Jenis Kelamin .......................... 76

Tabel 5.9. Distribusi Kasus Malaria Menurut Umur........................................................... 78

Tabel 5.10. Distribusi Kelompok Malaria Menurut Umur ................................................. 79

Tabel 5.11 Distribusi Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Plasmodium ................................ 82

Tabel 5.12. Distribusi Kasus Malaria Berdasarkan Kecamatan Tahun 2009-2013 ............ 87

Tabel 5.13. Distribusi Kasus Malaria (AMI) Tahun 2009 .................................................. 88

Tabel 5.14. Distribusi Kasus Malaria (AMI) Tahun 2010 .................................................. 90

Page 15: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

xiv

Tabel 5.15. Distribusi Kasus Malaria (AMI) Tahun 2011 .................................................. 92

Tabel 5.16. Distribusi Kasus Malaria (AMI) Tahun 2012 .................................................. 94

Tabel 5.17. Distribusi Kasus Malaria (AMI) Tahun 2013 .................................................. 96

Tabel 5.18. Kecamatan dengan Jumlah Kasus Malaria (AMI) Terbesar ............................ 98

Tabel 5.19 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 ..................... 99

Tabel 5.20 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 ..................... 101

Tabel 5.21 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 .................... 104

Tabel 5.22 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2 .................... 107

Tabel 5.23 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 .................. 109

Tabel 5.24 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 .................. 111

Tabel 5.25 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 ..................... 113

Tabel 5.26 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Utara 2 ..................... 114

Tabel 5.27. Kelurahan Dengan Jumlah Kasus Malaria Terbesar (AMI) ............................ 116

Tabel 6.1. Perubahan Siklus Sporogony Nyamuk Anopheles ............................................. 146

DAFTAR ISTILAH

ABER Annual Blood Examination Rate

ACD Active Case Detection

ACT Artemisinin-based Combination Therapy

AMI Annual Malaria Incidence

API Annual Parasite Incidence

IRS Indoor Residual Spraying

LLiN Long-Lasting Insecticidal Net

MBS Mass Blood Survei

MFS Mass Fever Survei

MS Survey malariometrik,

PCD Passive Case Detection

PMD Pembantu Malaria Desa

POSMALDES Pos Malaria Desa

RDT Rapid Diagnostic Test

SPR Slide Positivity Rate

Page 16: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Malaria adalah salah satu penyakit yang penularannya bersumber

melalui nyamuk (Kemenkes, 2011 dan Arsin, 2012). Nyamuk Anopheles sp

membawa parasit Plasmodium sp infektif yang masuk ke dalam tubuh

manusia melalui gigitan nyamuk betina (Chin,2012). Parasit Plasmodium sp

yang ditemukan pada manusia terdiri dari Plasmodium malariae,

Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium ovale dan

Plasmodium knowlesi (Sutanto,2008). Plasmodium yang dibawa oleh

nyamuk Anopheles sp yang menginfeksi kepada manusia menimbulkan

masalah serius dalam kesehatan masyarakat (Rumbiak, 2006).

Malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Nizar, 2011,

Nurbayani, 2013 dan Chahaya, 2003). Hal ini dikarenakan penyakit ini

dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat melalui angka kesakitan

dan kematian pada masyarakat akibat malaria (Capah, 2008). Kelompok

masyarakat yang berisiko tertular malaria adalah bayi, ibu hamil dan

seseorang yang berkunjung ke daerah endemik malaria seperti wisatawan

dan pengungsi (Harijanto, 2000 dalam Rumbiak, 2006). Penularan penyakit

tidak hanya didaerah endemis malaria saja tetapi juga pada daerah tropis dan

di dunia (Putri, 2012).

Page 17: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

2

Malaria sekarang ini hampir ditemukan di seluruh belahan dunia

terutama pada daerah tropis dan subtropis dengan penduduk yang berisiko

terkena malaria berjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41% dari populasi dunia

(Arsin, 2012). Sedangkan World Health Organization (WHO) tahun 2011

mengestimasikan bahwa insiden malaria di dunia mencapai 215 juta kasus

dan diantara yang terinfeksi parasit Plasmodium sekitar 655 ribu. Kemudian

wilayah yang memiliki insiden malaria tertinggi adalah wilayah Afrika

dengan estimasi jumlah kesakitan akibat malaria sebesar 174 juta kasus dan

estimasi angka kematian akibat malaria sebesar 596 ribu kasus.

Selain wilayah Afrika, wilayah Asia Tenggara merupakan wilayah

kedua terbesar jumlah kasus malaria. Estimasi jumlah angka kesakitan

malaria di Asia Tenggara sebesar 28 juta kasus dengan angka kematian

akibat malaria sebesar 38 ribu kasus. Indonesia menjadi salah satu wilayah

di Asia Tenggara yang endemis malaria (WHO,2011).

Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat variasi endemisitas

malaria. Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2013 melaporkan bahwa dari 33

Provinsi di Indonesia, 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria di atas

angka nasional dimana sebagian besar berada di Indonesia Timur. Hal ini

dapat mengindikasikan bahwa hampir separuh dari populasi Indonesia

bertempat tinggal di daerah endemik malaria dan diperkirakan ada 30 juta

kasus malaria setiap tahunnya. Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2010

melaporkan bahwa angka kesakitan malaria di Indonesia sebesar 22,9 per

1000 penduduk dan prevalensi kasus malaria secara klinis per bulan antara

Page 18: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

3

bulan Mei – Juni 2010 adalah 10,6% dan konfirmasi mikroskopis sebesar

0,6% (Riskesdas, 2010 dalam Isnawati, 2011). Tahun 2014, Indonesia sudah

harus menurunkan jumlah kasus malaria sebesar 1 per 1000 penduduk

berdasarkan Millenium Development Goals (MDGs). Oleh karena itu

diperlukan upaya pengendalian malaria melalui pencegahan dan pengobatan

malaria dalam program pengendalian malaria oleh Kementerian Kesehatan

dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi.

Program pengendalian malaria telah disusun oleh Kementerian

Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria Di Indonesia.

Kebijakan pemerintah dalam melakukan eliminasi malaria adalah kegiatan

pengendalian yang dilakukan secara menyeluruh dan terpadu oleh

Pemerintah, Pemerintah Daerah bersama mitra kerja pembangunan

kesehatan. Mitra kerja pembangunan kesehatan adalah LSM, dunia usaha,

lembaga donor, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan

masyarakat yang saling bersinergi dengan Pemerintah (Kemenkes, 2009).

Pemerintah telah menyusun program pengendalian malaria tetapi masih ada

permasalahan dalam program pengendalian malaria di Pemerintah Daerah

terutama di era desentralisasi.

Pemerintah Daerah di zaman desentralisasi memiliki kewenangan

dalam mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan masyarakat dan peningkatan daya

saing daerah (Roosihermiatie,2012). Hal ini telah diamanahkan oleh

Page 19: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

4

Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah kepada

Pemerintah Daerah. Kemudian peran Pemerintah Daerah dalam

penanggulangan malaria dalam era otonomi dan desentralisasi dilaksanakan

berdasarkan surat edaran Mendagri No. 443.41/465/SJ tentang eliminasi

malaria di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka peran aktif Pemerintah

Daerah menjadi hal yang menentukan dalam eliminasi malaria dan

menyusun program pengendalian malaria. Peran Pemerintah Daerah melalui

Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten dalam pengendalian dan eliminasi malaria

adalah merencanakan, mengorganisasi dan mengevaluasi program

pengendalian malaria. Penyusunan program pengendalian malaria harus

berdasarkan evidence base (Rumbiak, 2006).

Ilmu dasar yang dapat membuat program pengendalian malaria

berbasis evidence base adalah epidemiologi. Epidemiologi adalah ilmu yang

digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan dengan mempelajari

distribusi, frekuensi dan determinan suatu penyakit (Last, 1983 dalam

Bhopal, 2002). Dengan mengetahuinya hal tersebut, epidemiologi

memberikan informasi tentang pemetaan distribusi kasus malaria

berdasarkan orang, tempat dan waktu yang akan digunakan dalam

penyelesaian masalah malaria. Salah satu cara dalam menyelesaikan

masalah malaria adalah melakukan penyusunan dan perencanaan program

pengendalian malaria.

Perencanaan program pengendalian malaria berbasis epidemiologi

diawali dengan menggambarkan kasus malaria berdasarkan orang, tempat

Page 20: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

5

dan waktu. Penggambaran distribusi kasus malaria berdasarkan hal tersebut

akan membantu dalam tindakan pencegahan kasus malaria di masyarakat.

Kementerian Kesehatan RI (2009) menjelaskan bahwa tindakan pencegahan

kasus malaria dapat dilakukan dengan sistem kewaspadaan dini kejadian

luar biasa malaria dengan melihat kecenderungan waktu yang ada,

perlindungan kelompok yang paling rentan terhadap malaria berdasarkan

karakteristik masyarakat dan tindakan intervensi di daerah endemis malaria.

Namun untuk melengkapi informasi terkait karakteristik tempat, maka cara

yang dilakukan adalah dengan epidemiologi spasial.

Pendekatan epidemiologi spasial dapat menggambarkan kasus malaria

berdasarkan analisis tempat sehingga menghasilkan informasi yang lebih

detail dan komprehensif. Epidemiologi spasial adalah analisis epidemiologi

yang mampu menjelaskan analisis keruangan wilayah kasus malaria.

Analisis keruangan ini dapat membantu dalam melakukan pemetaan dan

memetakan kasus yang ada disuatu komunitas/kelompok dengan pendekatan

analisis wilayah dan lingkungan (Lawson, 2006 dan Lai, 2007).

Salah satu penyakit yang dapat menggunakan pendekatan

epidemiologi spasial adalah malaria. Epidemiologi spasial kasus malaria

memberikan informasi yang lebih komprehensif untuk menjelaskan

bagaimana kasus malaria, peran lingkungan, tempat perindukan nyamuk,

dan peta wilayah endemisitas malaria saling mempengaruhi dalam analisis

keruangan/spasial. Oleh karena itu perlu pemanfaatan pendekatan

epidemiologi spasial dalam penyelesaian masalah malaria. Tetapi salah satu

Page 21: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

6

daerah endemis malaria yang belum melakukan pendekatan ini dalam

penyelesaian masalah malaria adalah Kota Lubuk Linggau.

Kota Lubuk Linggau merupakan salah satu kota yang berada di

Provinsi Sumatera Selatan. Angka kesakitan malaria di kota ini dari tahun

2008 sampai 2012 secara berurutan adalah 13,05 ‰, 17,88‰ (Pusdatin,

2013), 13,58 ‰, 13,13 ‰ dan 10,21 ‰ (Dinkes Lubuk Linggau, 2013).

Annual Paracite Incidence (API) di Kota Lubuk Linggau di tahun 2012

sebesar 2,79 per 1000 penduduk (Dinkes Kota Lubuk Linggau, 2013)

padahal standar yang telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi

Sumatera Selatan sebesar < 1,25 per 1000 penduduk (Dinkes Provinsi

Sumsel, 2010).

Angka kesakitan malaria di Kota Lubuk Linggau berada diperingkat

ke 3 setelah Kabupaten Ogan Komering Ulu (27,07 ‰) dan Kabupaten

Lahat (22,08 ‰) dengan jumlah malaria klinis sebesar 17,88 ‰. Hal ini

berarti bahwa angka kesakitan malaria di Kota Lubuk Linggau berada diatas

rata-rata angka kesakitan malaria di Provinsi Sumatera Selatan (8,44 ‰).

Oleh karena itu program pengendalian malaria perlu disusun untuk

menurunkan angka kesakitan malaria. Penyelesaian masalah malaria ini

harus berdasarkan fakta lapangan yang telah ada sehingga penyusunan

program perencanaan malaria dapat efektif dan efisien.

Fakta lapangan selama ini sudah dikumpulkan oleh Dinas Kesehatan

melalui laporan bulanan penemuan dan pengobatan kasus malaria

berdasarkan laporan rutin puskesmas tiap bulan. Tetapi laporan yang telah

Page 22: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

7

dikumpulkan tiap bulan belum dianalisis secara rinci dan diinterpretasi lebih

lanjut. Laporan yang telah dikumpulkan akan menghasilkan sebuah

informasi baru tentang kelompok yang berisiko, waktu kasus malaria

terbanyak, pemetaan wilayah endemis malaria, dan analisa spasial secara

deskriptif kasus malaria.

Selain itu, Kota Lubuk Linggau belum melakukan pemetaan wilayah

endemis kasus malaria sehingga pada saat adanya pendistribusian kelambu

berinsektisida yang dibagikan oleh petugas program malaria puskesmas ke

masyarakat tidak dibagikan berdasarkan daerah dengan endemis malaria.

Proporsi pembagian kelambu ke masyarakat hanya berdasarkan pengalaman

petugas sehingga program pengendalian yang dilakukan tidak efektif untuk

melindungi kelompok rentan. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui

gambaran epidemiologi spasial kasus malaria di Kota Lubuk Linggau.

1.2. Rumusan Masalah

Kasus malaria yang masih tinggi di Kota Lubuk Linggau dibanding

dengan pencapaian MDGs tahun 2010-2014, jumlah malaria di Provinsi

Sumatera Selatan, status endemisitas kota dan program pengendalian

malaria belum berdasarkan evidence base sehingga malaria di Kota Lubuk

Linggau menjadi masalah kesehatan. Selain itu Kota Lubuk Linggau belum

melakukan pemetaan daerah endemis malaria sehingga pembagian kelambu

berinsektisida dan larvasida sebagai program pengendalian malaria tidak

diberikan pada wilayah yang endemis malaria. Oleh karena itu, rumusan

Page 23: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

8

masalah penelitian ini adalah bagaimana epidemiologi spasial malaria di

Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana frekuensi dan kecenderungan kejadian malaria berdasarkan

indikator AMI dan API di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013?

2. Bagaimana karakteristik faktor host (populasi) pada kasus malaria

berdasarkan jenis kelamin dan umur di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-

2013 ?

3. Bagaimana karakteristik faktor agent (penyebab) pada kasus malaria

berdasarkan jenis Plasmodium di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013

?

4. Bagaimana karakteristik faktor environment (lingkungan) pada kasus

malaria berdasarkan curah hujan, suhu dan kelembaban di Kota Lubuk

Linggau tahun 2009-2013 ?

5. Bagaimana epidemiologi spasial malaria berdasarkan pemetaan

endemisitas malaria, ketinggian dan potensi perindukan nyamuk di Kota

Lubuk Linggau ?

1.4. Tujuan Penelitian

A. Tujuan Umum Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui

epidemiologi spasial kasus malaria di Kota Lubuk Linggau

Page 24: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

9

B. Tujuan Khusus Penelitian

1. Diketahuinya frekuensi dan kecenderungan kejadian malaria

berdasarkan indikator AMI dan API di Kota Lubuk Linggau

tahun 2009-2013.

2. Diketahuinya karakteristik faktor host (populasi) pada kasus

malaria berdasarkan jenis kelamin, dan umur di Kota Lubuk

Linggau tahun 2009-2013.

3. Diketahuinya karakteristik faktor agent (penyebab) pada kasus

malaria berdasarkan jenis Plasmodium di Kota Lubuk Linggau

tahun 2009-2013.

4. Diketahuinya karakteristik faktor environment (lingkungan)

pada kasus malaria berdasarkan curah hujan, suhu, dan

kelembaban di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.

5. Diketahuinya epidemiologi spasial malaria berdasarkan

pemetaan endemisitas malaria, ketinggian dan potensi

perindukan nyamuk di Kota Lubuk Linggau.

1.5. Manfaat Penelitian

A. Manfaat untuk Peneliti

Menambah wawasan mengenai gambaran perencanaan program

pengendalian malaria dan diharapkan dapat menjadi pengembangan

kompetensi diri sesuai dengan ilmu yang diperoleh selama

perkuliahan dalam meneliti masalah yang berkaitan dengan

epidemiologi perencanaan dan pelayanan kesehatan, epidemiologi

Page 25: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

10

penyakit menular dan program penanggulangan penyakit menular

serta menjadi bahan bacaan dan bahan referensi bagi penelitian

selanjutnya.

B. Manfaat untuk Program Studi Kesehatan Masyarakat

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan untuk

penelitian berikutnya dengan mengembangkan metode yang lebih

luas ruang lingkupnya.

C. Manfaat untuk Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau

1. Memberikan informasi epidemiologi deskriptif dan pemetaan

endemisitas wilayah kasus malaria sehingga pengambil keputusan

dapat menyusun rencana dan strategi yang efektif dalam

penanganan malaria.

2. Memberikan informasi tambahan bagi pemerintah Kota Lubuk

Linggau dalam identifikasi masalah kesehatan berbasis data

laporan malaria untuk dijadikan landasan perencanaan program

malaria secara khusus dan perencanaan program kesehatan

lainnya.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini tentang gambaran epidemiologi spasial malaria di Kota

Lubuk Linggau tahun 2009-2013. Penelitian ini menggunakan pendekatan

epidemiologi spasial dengan desain penelitian ecological studies. Cara

pengumpulan data dilakukan dengan analisis data laporan bulanan

Page 26: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

11

puskesmas di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau, data iklim dari Badan

Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Sumatera Selatan dan data

spasial/keruangan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota

Lubuk Linggau.

Penelitian dilaksanakan oleh mahasiswa peminatan Epidemiologi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Februari 2014

sampai Mei 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

kasus malaria berdasarkan karakteristik host, agent dan enviroment kasus

malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013. Setelah diketahui

gambaran kasus malaria berdasarkan variabel penelitian, maka peneliti akan

melanjutkan dengan menganalisis spasial tingkat endemisitas malaria dan

wilayah berpotensi perindukan nyamuk di Kota Lubuk Linggau.

Page 27: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Malaria

A. Definisi Malaria

Malaria sebagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Plasmodium. Penyakit ini dapat menyerang manusia, kera, burung,

dan hewan primata lainnya. Plasmodium yang menginfeksi manusia

beragam (Chin,2011. Sutanto, 2008 dan Mandal, 2008). Keempat

jenis malaria dan parasit penyebabnya adalah

1. Malaria tertiana disebabkan oleh P. vivax. Malaria tipe ini

memiliki gejala demam yang terjadi setiap dua hari sekali setelah

gejala pertama.

2. Malaria tropika (jungle fever/aestivo-autumnal/demam rimba)

disebabkan oleh P. falciparum. Parasit ini menghambat jalan

darah ke otak sehingga menyebabkan koma dan kematian.

3. Malaria kuartana disebabkan oleh P. malariae. Gejala pertama

terjadi 18-40 setelah terinfeksi. Pengulangan gejala terjadi tiap

tiga hari.

4. Malaria yang paling jarang ditemukan disebabkan oleh P. ovale.

Page 28: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

13

B. Gejala Klinis Malaria

Gejala malaria terdiri dari demam dengan rentang waktu tertentu

(parokisme) dan diselingi oleh suatu periode dimana penderita tidak

menimbulkan demam (periode laten). Gejala yang khas pada penderita

malaria timbul pada kelompok penderita non imun. Sebelum

timbulnya fase demam, biasanya penderita merasa lemah, mengeluh

sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual, di ulu hati, atau

muntah. Semua gejala awal ini disebut gejala prodormal (Arsin, 2011

dan Kemenkes, 2011).

Selain gejala umum yang disebutkan diatas, manifestasi klinis

juga menjadi khas pada jenis malaria tertentu. Gejala dari malaria

falciparum memberikan gambaran klinis yang sangat bervariasi

seperti demam, menggigil, berkeringat, batuk, diare, gangguan

pernafasan, sakit kepala dan dapat berlanjut menjadi ikterik, gangguan

koagulasi, syok, gagal ginjal dan hati, ensefalopati akut, edema paru

dan otak, koma, dan berakhir dengan kematian. Pada orang yang

mengalami koma dan gangguan serebral dapat menunjukkan gejala

disorientasi dan delirium. (Chin,2012 dan Kemenkes, 2011).

Selain malaria falciparum, gejala klinis parasit yang lain lebih

ringan dibanding falciparum. Gejala klinis yang ditimbulkan yaitu

mulai timbulnya rasa lemah, kenaikan suhu badan secara perlahan

dalam beberapa hari serta diikuti dengan menggigil dan kenaikan suhu

badan yang cepat. Gejala lain yang timbul pada fase ini adalah sakit

Page 29: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

14

kepala, mual dan diakhiri dengan keluar keringat yang banyak (Chin

2012).

Orang yang pertama kali terserang malaria dan tidak diobati

berlangsung selama satu minggu sampai satu bulan/lebih.

Kekambuhan akan terjadi ditandai dengan tidak adanya parasitemia

dapat berulang sampai jangka waktu 5 tahun. Infeksi malaria kuartana

dapat bertahan seumur hidup dengan atau tanpa adanya episode

serangan demam. Orang yang mempunyai kekebalan parsial atau yang

telah memakai obat profilaksis tidak menunjukkan gejala khas malaria

dan mempunyai masa inkubasi yang lebih panjang (Chin,2012 dan

Kemenkes, 2011).

C. Etiologi Malaria

Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium.

Parasit Plasmodium berasal dari genus Plasmodia, famili

Plasmodiidae, orde Coccidiidae dan sub-orde Haemosporiidae.

Sekarang ini telah teridentifikasi 100 spesies dari Plasmodia yang

terdapat pada burung, monyet, binatang melata, dan manusia. Pada

manusia hanya 4 (empat) spesies yang dapat berkembang yaitu: P.

falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale (Sutanto, 2008 dan

CDC, 2012).

Page 30: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

15

2.2. Epidemiologi Malaria

A. Rantai Infeksi Malaria

Infeksi adalah proses masuknya mikroorganisme, beradaptasi dan

menjadi patogen didalam tubuh manusia (Timmrect, 2004). Infeksi

dapat ditimbulkan oleh adanya virus, bakteri, parasit, dan jamur yang

masuk ke dalam tubuh. Infeksi ini terjadi akibat dari adanya proses

seperti rantai yang saling terkait. Proses yang saling terkait ini terdiri

dari berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Faktor tersebut adalah

agent, reservoir, portal exit, mode of transmission, portal of entry dan

host/pejamu yang rentan. Faktor ini dapat terjadi pada penyakit menular

dan salah satunya malaria. Berikut dijelaskan secara detail tentang

rantai infeksi pada malaria.

1. Agent Malaria

Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium,

genus Plasmodia, famili Plasmodiidae, orde Coccidiidae dan sub-

orde Haemosporiidae. Pada manusia hanya 5 spesies yang dapat

berkembang yaitu: P. falciparum, P. vivax, P. malariae, P. ovale

dan P. knowlesi (Loka Litbang P2B2 Ciamis, 2013, Sutanto, 2008

dan CDC, 2012). Agen penyakit ini dapat berkembang di tubuh

manusia dan nyamuk Anopheles untuk menjadi infektif.

2. Reservoir Malaria

Keberadaan nyamuk malaria sangat tergantung pada kondisi

lingkungan, keadaan wilayah seperti perkebunan, keberadaan

Page 31: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

16

pantai, curah hujan, kecepatan angin, suhu, sinar matahari,

ketinggian tempat dan bentuk perairan yang ada. Selain itu,

keberadaan nyamuk juga dipengaruhi oleh pola tanam padi. Hal ini

dapat diketahui dari tingkat kepadatan nyamuk. Jentik-jentik

nyamuk akan nampak di sawah kira-kira padi berumur 2-3 minggu

setelah tanam dan banyak ditemukan pada saat padi mulai

berbunga sampai menjelang panen. Hal yang berbeda jika musim

tanam padi yang tidak serempak maka nyamuk dapat ditemukan

sepanjang tahun dengan dua puncak kepadatan yang terjadi sekitar

bulan februari-april dan sekitar bulan Juli-Agustus (Loka Litbang

P2B2 Ciamis, 2013).

Pada dasarnya nyamuk malaria Tempat

perkembangbiakannya di genangan-genangan air yang terkena

sinar matahari langsung seperti genangan air di sepanjang sungai,

pada kobakan-kobakan air di tanah, di mata air-mata air dan

alirannya dan pada air di lubang batu-batu (Sutanto,2008). Tetapi

hasil temuan dari Centre of Disease Controls tahun 2012

menjelaskan bahwa tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles

juga terdapat pada habitat yang digenangi air bersih/tidak tercemar.

Banyak spesies lebih memilih habitat dengan vegetasi pohon

seperti pohon salak dan pakis haji serta beberapa spesies

berkembang biak di lubang pohon maupun di beberapa tanaman.

Page 32: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

17

3. Portal of Exit

Nyamuk Anopheles betina mengisap darah manusia yang

mengandung parasit pada stadium seksual (gametosit). Darah yang

dihisap oleh Anopheles berupa gamet jantan dan betina yang

selanjutnya bersatu membentuk ookinet di perut nyamuk yang

kemudian menembus di dinding perut nyamuk. Lalu ookinet yang

berada di dinding perut nyamuk akan membentuk kista pada

lapisan luar dimana akan menghasilkan ribuan sporozoit. Proses

pembentukan kista ini membutuhkan waktu 8-35 hari dan sangat

tergantung dari jenis parasit dan kondisi lingkungan. Sporozoit-

sporozoit tersebut berpindah ke seluruh tubuh nyamuk dan

beberapa mencapai kelenjar ludah nyamuk. Sporozoit yang telah

matang didalam kelenjar ludah nyamuk akan siap untuk

menularkan penyakit (Sutanto, 2008).

4. Mode of Transmission Malaria

a. Penularan Secara Alamiah

Penularan secara alamiah terjadi melalui gigitan

nyamuk Anopheles betina yang telah terinfeksi oleh

Plasmodium. Sebagian besar nyamuk menggigit pada waktu

senja dan menjelang malam hari. Beberapa vektor

mempunyai waktu puncak menggigit pada tengah malam dan

menjelang fajar (Loka Litbang P2B2 Ciamis, 2013).

Page 33: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

18

b. Penularan Bawaan

Penularan malaria dapat terjadi dengan malaria

bawaan (congenital) yaitu terjadi penularan antara ibu yang

menderita malaria ke bayi yang baru lahir melalui tali

pusat/plasenta. Selain itu penularan terjadi melalui transfusi

darah lewat jarum suntik. Penularan malaria lewat jarum

suntik banyak terjadi pada para pengguna morfinis yang

menggunakan jarum suntik yang tidak steril (Arsin,2011).

Selain itu penularan lewat oral terjadi pada burung, ayam (P.

gallinasium), burung dara (P. relectum) dan monyet (P.

knowlesi). (Susanna, 2005).

5. Portal of Entry

Parasit infektif masuk kedalam tubuh manusia melalui

gigitan nyamuk betina Anopheles dalam bentuk sporosit. Sporosoit

yang masuk kedalam tubuh manusia akan memasuki sel-sel hati

dan membentuk stadium skison eksoeritrositer. Selanjutnya sel hati

yang terinfeksi akan pecah dan parasit aseksual memasuki aliran

darah dan berkembang membentuk siklus eritrositer. Pada tahap ini

gejala klinis akan muncul akibat dari pecahnya sebagian skison-

skison eritrositik. Didalam eritrosit yang terinfeksi, beberapa

merosoit berkembang menjadi bentuk seksual yaitu gamet jantan

(mikrogamet) dan gamet betina (makrogamet) (Sutanto, 2008 dan

CDC, 2012).

Page 34: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

19

Gametosit biasanya muncul dalam aliran darah dalam waktu

3 hari setelah parasitemia pada P. vivax dan P. ovale, dan setelah

10-14 hari pada P. falciparum. Beberapa bentuk eksoeritrositik

pada P. vivax dan P. ovale mengalami bentuk tidak aktif

(hipnosoit) yang tinggal dalam sel-sel hati dan menjadi matang

dalam waktu beberapa bulan atau beberapa tahun yang

menimbulkan relaps. Fenomena ini tidak terjadi pada malaria

falciparum dan malaria malariae, dan gejala-gejala penyakit ini

dapat muncul kembali sebagai akibat dari pengobatan yang tidak

adekuat atau adanya infeksi dari strain yang resisten. Pada P.

malariae sebagian kecil parasit eritrositik dapat menetap bertahan

selama beberapa tahun untuk kemudian berkembang biak kembali

sampai ke tingkat yang dapat menimbulkan gejala klinis (Chin,

2012. Arsin, 2011).

6. Host / pejamu yang rentan

Semua masyarakat merupakan kelompok rentan terhadap

malaria karena penyakit ini tidak mengenal kelompok usia tertentu.

Hanya saja akan terjadi kegawatdaruratan jika malaria menyerang

kelompok ibu hamil, bayi, pengungsi dan wisatawan sehingga akan

menimbulkan komplikasi seperti malaria selebral, anemia berat,

gagal ginjal akut dan sampai menimbulkan kematian (CDC, 2012,

Sutanto, 2008 dan Kemenkes 2011).

Page 35: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

20

B. Segitiga Epidemiologi Malaria

1. Definisi Segitiga Epidemiologi Modern Malaria

Segitiga epidemiologi modern adalah model pengembangan

segitiga epidemiologi Jhon Gordon tahun 1950 yang menekankan

pada konsep penyebab penyakit berdasarkan single causal. Konsep

segitiga epidemiologi yang dikembangkan oleh Gordon ini terdiri

dari host, agent dan environment. Penerapan konsep single causal

ini, dapat menerangkan pada kasus penyakit yang disebabkan oleh

faktor tunggal seperti penyakit menular tapi akan sangat sulit

menggambarkan penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor

seperti penyakit kronik.

Berdasarkan kelemahan pada konsep segitiga epidemiologi

tradisional ini, maka dikembangkanlah konsep segitiga

epidemiologi modern. Konsep yang diperbaiki adalah pertama,

dengan mengganti variabel faktor agent menjadi faktor penyebab.

Kedua, faktor environment lebih dikembangkan lagi yaitu

pendekatan lingkungan tidak hanya pada konsep biologis

timbulnya penyakit tapi juga konsep lingkungan sosial dan perilaku

yang juga mempengaruhi status penyakit seseorang. Ketiga, faktor

host yang tidak hanya berorientasi pada individu saja tetapi juga

pada mempertimbangkan pada aspek kelompok dan

karakteristiknya (Timmrect, 2004).

Page 36: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

21

2. Komponen Segitiga Epidemiologi Modern Malaria

Komponen segitiga epidemiologi modern pada kasus malaria

adalah sebagai berikut

a. Faktor Penyebab (Agent)

1) Plasmodium sp

Agent atau penyebab penyakit malaria adalah semua

unsur atau elemen hidup ataupun tidak hidup dalam

kehadirannya bila diikuti dengan kontak yang efektif

dengan manusia yang rentan akan memudahkan terjadinya

suatu proses penyakit. Agent penyebab malaria adalah

protozoa dari genus Plasmodium. Penyebab penyakit ini

adalah parasit genus Plasmodia, famili Plasmodiidae, orde

Coccidiidae dan sub-orde Haemosporiidae. Sampai saat

ini dikenal hampir 100 spesies dari Plasmodia yang

terdapat pada burung, monyet, binatang melata, dan pada

manusia hanya 4 (empat) spesies yang dapat berkembang

yaitu: P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale

(Loka Litbang P2B2 Ciamis, 2013, Sutanto, 2008 dan

CDC, 2012).

Sifat parasit berbeda-beda untuk setiap spesies

malaria dan hal ini mempengaruhi terjadinya manifestasi

klinis dan penularan. P. falciparum mempunyai masa

infeksi yang paling pendek, namun menghasilkan

Page 37: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

22

parasitemia paling tinggi, gejala yang paling berat dan

masa inkubasi paling pendek. Gametosit P. falciparum

baru berkembang setelah 8 – 15 hari sesudah masuknya

parasit ke dalam darah. Gametosit P. falciparum

menunjukkan periodisitas dan infektivitas yang berkaitan

dengan kegiatan vektor menggigit. P. vivax dan P. ovale

pada umumnya menghasilkan parasitemia yang rendah,

gejala yang lebih ringan dan mempunyai masa inkubasi

yang lebih lama. Sporozoit P. vivax dan P. ovale dalam

hati berkembang menjadi Skizon jaringan primer dan

Hipnozoit. Hipnozoit ini yang menjadi sumber untuk

terjadinya relaps (Arsin, 2011 dan Sutanto, 2008).

2) Pemeriksaan Agent

a) Pemeriksaan mikroskop

Salah satu cara pemeriksaan parasit Plasmodium

sp didalam darah manusia dilakukan dengan

menggunakan mikroskop. Penggunaan mikroskop

dalam penentuan jenis parasit merupakan cara

konvensional yang dilakukan pemerintah melalui

puskesmas. Pengecekan melalui mikroskop dilakukan

dengan menggambil sediaan darah tepi dari ujung jari

lalu sedian darah tersebut diwarnai dengan pewarnaan

giemsa. Sediaan darah tersebut ditetesi cairan imersi

Page 38: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

23

dan diperiksa dibawah mikroskop menggunakan lensa

objektif. Jika dalam sediaan darah tersebut ditemukan

parasit, maka penderita dinyatakan positif malaria

(Kemenkes, 2007)

b) Pemeriksaan rapid diagnostic test.

Rapid diagnostic test (RDT) adalah test yang

digunakan untuk mendeteksi parasit malaria. Test ini

berdasarkan deteksi antigen dari parasit malaria yang

lisis/hancur dalam darah dengan menggunakan

metode imunokhromatografi. Prinsi uji

imunokhromatografi adalah cairan akan bermigrasi

pada permukaan membrane nitroselulosa. Bila darah

penderita mengandung antigen tertentu, maka

kompleks antigen antibodi akan bermigrasi pada fase

“mobile” sepanjang strip nitroselulosa dan akan diikat

dengan antibodi momoklonal pada fase “immobile”

sehingga terlihat sebagai garis yang berwarna.

Sensitivitas rapid test dapat mencapai 90% dalam

mendeteksi P. falciparum jika jumlah parasit > 100µl

darah. Keuntungan dalam menggunakan rapid test

dibanding dengan pemeriksaan mikroskopik

(Kemenkes, 2007) adalah

Page 39: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

24

a. Lebih sederhana dan mudah diinterpretasikan,

tidak memerlukan listrik, tidak memerlukan

pelatihan khusus seperti pada pemeriksaan

mikroskopik.

b. Mudah dipelajari atau dilatih dalam beberapa

jam sampai dengan 1 hari, masih dapat diingat

dalam waktu 1 tahun setelah mempelajarinya.

c. Variasi dari interpretasi adalah kecil antara

pembaca satu dengan pembaca yang lain.

d. Dapat disimpan pada temperatur kamar.

e. Rapid test dapat mendeteksi P. falciparum pada

waktu parasit bersekuestrasi pada kapiler darah.

Hal yang sama dapat ditemukan juga pada

placenta ibu hamil dengan infeksi P.

falciparum.

Selain itu, kekurangan pada rapid test adalah

a. Rapid test yang menggunakan HRP-2 hanya

dapat digunakan untuk mendeteksi P.

falciparum. Tidak dapat mendeteksi infeksi

Plasmodium lainnya.

b. Parasit didalam darah dapat memberikan hasil

positif dalam waktu 2 minggu setelah

pengobatan, walaupun secara pemeriksaan

Page 40: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

25

mikroskopik parasit tidak ditemukan sehingga

membuat rancu dalam menilai hasil pengobatan.

c. Harga RDT lebih mahal daripada pemeriksaan

mikroskopik.

d. Rapid test bukan pemeriksaan yang bersifat

kuantitatif sehingga tidak digunakan untuk

menilai hasil pengobatan.

e. Kit yang digunakan dapat membedakan P.

falciparum dan non P. falciparum, tetapi tidak

dapat membedakan P.vivax, P. ovale, dan P.

malariae.

b. Faktor Kelompok dan Karakterstiknya

1) Manusia (host intermediate)

Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya

setiap orang dapat terkena penyakit malaria. Perbedaan

prevalensi menurut umur dan jenis kelamin, ras dan riwayat

malaria sebelumnya sebenarnya berkaitan dengan

perbedaan tingkat kekebalan karena variasi keterpaparan

terhadap gigitan nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria

mendapat perlindungan antibodi maternal yang diperoleh

secara transplasental.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita

mempunyai respons imun yang lebih kuat dibandingkan

Page 41: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

26

dengan laki-laki, namun kehamilan menambah risiko

malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai dampak

yang buruk terhadap kesehatan ibu dan anak, antara lain

berat badan lahir rendah, abortus, partus prematur dan

kematian janin intrauterin.

Penyakit malaria dapat menginfeksi setiap manusia,

ada beberapa faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi

manusia sebagai penjamu penyakit malaria antara lain:

a. Umur. Penyakit malaria tidak mengenal tingkatan

umur akan tetapi akan sangat rentan pada kelompok

anak-anak. Menurut Gunawan (2000) dalam Arsin

(2011), perbedaan kejadian malaria menurut umur dan

jenis kelamin berhubungan dengan kekebalan yang

ada pada kelompok tertentu. Hal ini dikarenakan

terdapat variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk.

Orang dewasa yang melakukan aktivitas di luar rumah

dan malam hari akan sangat memungkinkan untuk

kontak dengan nyamuk.

b. Jenis kelamin. Infeksi malaria tidak membedakan

jenis kelamin hanya saja manifestasi klinis malaria

akan menjadi berat jika menyerang ibu hamil.

c. Ras. Ras manusia atau kelompok penduduk

mempunyai kekebalan alamiah terhadap malaria. Hal

Page 42: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

27

ini dikarenakan kelompok penduduk yang mempunyai

Haemoglobin S (Hb S) yang dapat lebih tahan

terhadap infeksi Plasmodium falciparum. Hb S

terdapat pada penderita sickle cell anemia. Penyakit

ini adalah suatu kelainan dimana sel darah merah

penderita berubah bentuknya mirib sabit apabila

terjadi penurunan tekanan oksigen udara.

d. Riwayat malaria sebelumnya yaitu orang yang pernah

terinfeksi malaria sebelumnya. Orang yang telah

menderita malaria sebelumnya akan membentuk

imunitas terhadap malaria sehingga dapat lebih tahan

terhadap infeksi malaria.

e. Pola hidup. Pola hidup seseorang atau sekelompok

masyarakat dapat mempengaruhi terjadinya penularan

malaria. Contoh pola hidup yang mempengaruhi

terjadinya penularan malaria adalah kebiasaan tidur

tidak pakai kelambu dan sering berada di luar rumah

pada malam hari tanpa menutup badan.

f. Status gizi. Status gizi berkaitan dengan sistem

kekebalan tubuh. kekurangan zat besi dan riboflavin

mempunyai efek pencegah terjadinya malaria berat

(Harjanto, 2003).

Page 43: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

28

2) Nyamuk Anopheles (host definitif)

Nyamuk Anopheles di Indonesia berjumlah lebih 80

spesies dan 24 spesies Anopheles dapat menularkan

malaria sehingga tidak semua spesies Anopheles dapat

menularkan malaria. Anopheles hidup beradaptasi dengan

kondisi ekologi setempat seperti hidup di air payau pada

tingkat salinitas tertentu (An. sundaicus, An. subpictus),

sawah (An. aconitus), air bersih di pegunungan (An.

maculatus), dan genangan air yang dapat sinar matahari

(An. punctulatus, An. farauti). Selain itu, nyamuk

Anopheles yang menghisap darah hanya nyamuk

Anopheles betina. Darah yang dihisap dibutuhkan untuk

pertumbuhan telurnya.

a. Umur nyamuk

Gametosit membutuhkan waktu untuk

berkembang menjadi sporozoit. Apabila umur

nyamuk lebih pendek dari proses sporogoni (5 hingga

10 hari) maka dapat dipastikan nyamuk tersebut tidak

dapat menjadi vektor.

b. Peluang kontak dengan manusia

Nyamuk tidak hanya menggigit manusia tapi

juga menggigit binatang ternak. Nyamuk memiliki

kebiasaan menggigit di luar rumah pada malam hari.

Page 44: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

29

Setelah menggigit, nyamuk akan beristirahat di dalam

maupun di luar rumah.

c. Kepadatan nyamuk

Umur nyamuk dipengaruhi oleh suhu dimana

suhu yang paling baik untuk kepadatan nyamuk

berkisar antara 250C - 30

0C dan kelembaban 60-80%.

Kalau populasi nyamuk cukup banyak sedangkan

populasi binatang atau manusia di sekitar tidak ada

maka kepadatan nyamuk akan merugikan populasi

nyamuk itu sendiri. Sedangkan bila pada satu wilayah

cukup padat maka akan meningkatkan kapasitas

vektor yakni kemungkinan tertular akan lebih besar

(Depkes RI, 2003).

d. Kebiasaan menggigit

Nyamuk Anopheles betina menggigit antara

waktu senja dan subuh, dengan jumlah yang berbeda-

beda menurut spesiesnya. Sedangkan kebiasaan

makan dan istirahat nyamuk Anopheles dapat

dikelompokan sebagai:

a) Endofilik yakni suka tinggal dalam

rumah/bangunan

b) Eksofilik yakni suka tinggal di luar rumah

Page 45: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

30

c) Endofagik yakni suka menggigit dalam

rumah/bangunan

d) Eksofagik yakni suka menggigit di luar rumah.

e) Antroprofilik yakni suka menggigit manusia

f) Zoofilik yakni suka menggigit binatang

c. Enviroment (Lingkungan)

1) Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik yang mempengaruhi kasus malaria

adalah sebagai berikut (Kuswanto, 2005 dan Arsin, 2011)

a) Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang

semakin bertambah, hal ini berkaitan dengan

menurunnya suhu rata-rata. Pada ketinggian di atas

200 m jarang ada transmisi malaria. Hal ini bisa

berubah bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh

El–Nino. Di pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang

ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan

malaria. Ketinggian paling tinggi masih

memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m diatas

permukaan laut. Alat yang digunakan untuk

mengukur ketinggian suatu tempat adalah altimeter.

Altimeter adalah alat untuk mengetahui ketinggian

suatu tempat terhadap MSL (mean sea level =

1013,25 mb = 0 mdpl). Altimeter sebenarnya adalah

Page 46: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

31

barometer aneroid yang skala penunjukkannya telah

dikonversi terhadap ketinggian.

b) Kelembaban yang rendah memperpendek umur

nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit.

Sistem pernafasan pada nyamuk menggunakan pipa

udara yang disebut trachea dengan lubang-lubang

pada dinding tubuh nyamuk yang disebut spiracle.

Adanya spiracle yang terbuka tanpa ada mekanisme

pengaturnya, pada waktu kelembaban rendah akan

menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh

nyamuk yang dapat mengakibatkan keringnya cairan

pada tubuh nyamuk. Salah satu musuh nyamuk adalah

penguapan. Pengukuran kelembaban di BMKG

dilakukan dengan alat Higrometer. Higrometer

rambut adalah sebuah alat pengukur kelembaban

udara dengan satuan persen yang menggunakan

prinsip muai panjang rambut dimana rambut akan

memanjang ketika kelembaban udara bertambah.

Adapun rambut yang digunakan adalah rambut

manusia atau kuda yang sudah dihilangkan lemaknya

yang kemudian dikaitkan dengan pengungkit (engsel)

yang dihubungkan dengan jarum yang menunjuk

kepada skala sehingga memperbesar perubahan skala

Page 47: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

32

dari perubahan kecil dari panjangnya rambut

(BMKG,2014).

c) Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam

nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20 - 30°

C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin

pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan

sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa

inkubasi ekstrinsik. Pengaruh suhu ini berbeda bagi

setiap spesies, pada suhu 26,7° C masa inkubasi

ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P. falciparum dan

8-11 hari untuk P. vivax, 14-15 hari untuk P. malariae

dan P. ovale. Pengukuran suhu dan temperatur udara

dilakukan dengan menggunakan thermometer.

Pengukuran temperatur dan suhu udara yang

dilakukan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan

Geofisika adalah thermometer kaca untuk peralatan

konvensional dan thermometer PT-100 untuk

peralatan digital. Thermometer kaca menggunakan air

raksa (mercury) untuk pengukuran temperatur diatas

suhu freezing point (>-38,50) dan menggunakan

alkohol jika penggukuran dibawah/sekitar freezing

point.

Page 48: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

33

d) Curah Hujan akan mempengaruhi naiknya

kelembaban dan menambah jumlah tempat

perkembangbiakan (breeding places). Curah hujan

yang lebat menyebabkan bersihnya tempat

perkembangbiakan vektor oleh karena jentiknya

hanyut dan mati. Kasus penyakit yang ditularkan

nyamuk biasanya meninggi beberapa waktu sebelum

musim hujan atau setelah hujan. Pengaruh hujan

berbeda-beda menurut banyaknya hujan dan keadaan

fisik daerah. Pengukuran curah hujan yang dilakukan

oleh BMKG adalah Penakar hujan jenis Hellman.

Penakar hujan jenis hellman ini merupakan suatu alat

penakar hujan berjenis recording atau dapat mencatat

sendiri.Alat ini dipakai di stasiun-stasiun pengamatan

udara permukaan.Pengamatan dengan menggunakan

alat ini dilakukan setiap hari pada jam-jam tertentu

mekipun cuaca dalam keadaan baik/hari sedang

cerah.Alat ini mencatat jumlah curah hujan yang

terkumpul dalam bentuk garis vertikal yang tercatat

pada kertas pias. Alat ini memerlukan perawatan yang

cukup intensif untuk menghindari kerusakan-

kerusakan yang sering terjadi pada alat ini

(BMKG,2014).

Page 49: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

34

e) Arus air juga mempengaruhi nyamuk Anopheles. An.

Barbirostris lebih menyukai perindukan yang airnya

statis/mengalir lambat, sedangkan An. Minimus lebih

menyukai aliran yang deras dan An. Letifer lebih

menyukai air yang tergenang.

f) Angin yaitu kecepatan dan arah angin dapat

mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut

menentukan jumlah kontak antara nyamuk dengan

manusia. Alat yang digunakan untuk mengukur

kecepatan angin adalah cup counter anemometer. Alat

ini terdiri dari tiga buah mangkuk yang dipasang

simetris pada sumbu vertikal. Pada bagian bawah dari

sumbu vertical dipasang generator, yang terputar oleh

ketiga mangkuk. Tegangan dari generator sebanding

dengan kecepatan berputar dari mangkuk - mangkuk.

Wind Vane atau alat penunjuk arah angin adalah

sebuah instrumen yang digunakan untuk mengetahui

arah horizontal pergerakan angin (angin permukaan).

Alat ini terdiri dari suatu objek tidak simetris

(contohnya suatu anak panah atau panah berbentuk

ayam jago yang menempel pada pusat gravitasinya

sehingga panah itu dapat bergerak dengan bebas di

sekitar poros horizontalnya) yang dihubungkan pada

Page 50: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

35

vane/weather cock sensor pada anemometer

(BMKG,2014).

g) Sinar Matahari yaitu pengaruh sinar matahari terhadap

pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An.

sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh, An.

Hyrcanus sp dan An. Pinculatus sp lebih menyukai

tempat terbuka. An. Barbirostis dapat hidup baik di

tempat yang teduh maupun yang terang. Salah satu

cara untuk melakukan pengukuran sinar matahari

dilakukan dengan mengetahui intensitas dan berapa

lama/ jam matahari bersinar mulai terbit hingga

terbenam. Matahari dihitung bersinar terang jika

sinarnya dapat membakar pias Campble stokes.

Lamanya matahari bersinar dapat dinyatakan dalam

presentase atau jam. Untuk keperluan pemasangan

dan pengamatan perlu diketahui hal-hal yang

menyangkut waktu smeu lokal dan waktu rata-rata

lokal. True Solar Day yaitu waktu antara dua gerakan

matahari melintasi meridian. Waktu yang didasarkan

panjang hari ini disebut apparent solartime atau waktu

semu lokal. Waktu ini dapat ditunjukkan oleh

sunshine recorder. Waktu semu lokal ialah waktu

yang ditentukan oleh gerakan relatif matahari

Page 51: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

36

terhadap horizon. Sepanjang tahun lamanya

(panjangnya) True Solar Day berbeda-beda. Untuk

memudahkan perhitungan dibayangkan adanya

matahari fiktif yang beredar mengelilingi bumi

dengan kecepatan tetap selama setahun. Alat yang

digunakan adalah pengukuran sinar matahari

menggunakan jenis jordan. Alat ini mencatat sendiri

lamanya matahari bersinar dalam sehari yang terdiri

dari dua kotak berbentuk setengah silinder dan

tertutup. Di bagian dalam dipasang kertas yang sangat

peka terhadap sinar matahari langsung. Apabila

seberkas matahari langsung mengenai kertas ini akan

meninggalkan bekas yang gelap. Alat ini diatur

sedemikian sehingga satu pias dipakai untuk pagi dan

pias lainnya untuk siang hari. (Klimatologi, 2008).

h) Kadar Garam yaitu nyamuk An. Sundaicus tumbuh

optimal pada air payau yang kadar garamnya 12 –

18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% ke

atas. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula

perindukan An.sundaicus dalam air tawar. Suatu alat

untuk mengukur kadar garam pada genangan-

genangan air di pantai. Digunakan pada waktu survei

nyamuk pra-dewasa. Cara penggunaan letakkan setitik

Page 52: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

37

air yang akan diukur kadar garamnya pada kaca

spektrometer, kemudian diteropong ketinggian skala

dari kadar garam air tersebut dengan mengarahkan

spektrometer pada cahaya/tempat yang terang

(Kemenkes, 2010).

b. Lingkungan Biologi

Nyamuk sebagai vektor malaria merupakan serangga yang

sukses memanfaatkan air lingkungan, termasuk air alami dan air

sumber buatan yang sifatnya permanen maupun temporer.

Semua serangga termasuk dalam daur hidupnya (siklus

hidupnya) mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu dan kadang-

kadang tingkatan itu satu dengan yang lainnya sangat berbeda.

Semua nyamuk akan mengalami metamorfosa sempurna

(holometabola) mulai dari telur, jentik, pupa dan dewasa. Jentik

dan pupa hidup di air, sedangkan dewasa hidup didarat. Dengan

demikian nyamuk dikenal memiliki dua macam alam

kehidupannya, yaitu kehidupan di dalam air dan di luar air

(Depkes, 2003).

Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai

tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena

dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan

mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan

larva seperti ikan kepala timah (panchx spp), gambusia, nila,

Page 53: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

38

mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di

suatu daerah dataran tinggi dan dataran rendah. Adanya hewan

ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah

gigitan nyamuk pada manusia, apabila hewan ternak tersebut

dikandangkan tidak jauh dari rumah tempat tinggal manusia

(Arsin,2011).

3. Penilaian Kasus Malaria

Situasi malaria disuatu daerah dapat ditentukan melalui kegiatan

surveilans (pengamatan) epidemiologi. Surveilans epidemiologi dalam

pengamatan yang terus menerus atas distribusi dan kecenderungan suatu

penyakit melalui pengumpulan data yang sistematis agar dapat

ditentukan penanggulangan yang secepat-cepatnya.

Penilaian kasus malaria berdasarkan Kemenkes tahun 2006 adalah

pengamatan dapat dilakukan secara rutin melalui PCD (Passive Case

Detection) oleh fasilitas kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit

atau ACD (Active Case Detection) oleh petugas khusus seperti PMD

(Pembantu Malaria Desa) di Jawa dan di Bali. Di daerah luar Jawa da

Bali yang tidak memiliki program pembasmian malaria dan tidak

memiliki PMD, maka pengamatan rutin tidak bisa dilaksanakan. Untuk

daerah tersebut pengamatan malaria dilakukan melalui survey

malariometrik (MS), Mass Blood Survei (MBS) dan Mass Fever Survei

(MFS). Parameter yang digunakan pada pengamatan rutin malaria adalah

:

Page 54: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

39

a. Annual Parasite Incidence (API)

Indikator insidens merupakan peninggalan masa

eradikasi/pembasmian dengan pencarian baik secara aktif (ACD)

maupun pasif (PSD) diperhitungkan dapat menjangkau seluruh

penduduk, sehingga penderita baru dapat dietahui melalui sediaan

darah. Karena kasus malaria yang ditemukan baik melalui

pencarian aktif (ACD) maupun pasif (PCD) akan dikonfirmasikan

dengan pemeriksaan darah secara miskrokopis. API merupakan

jumlah dari penderita baru di suatu daerah dalam satu tahun

terhitung per seribu penduduk.

API =

Kasus malaria yang dikonfirmasikan(secara

mikroskopis/Lab) dalam satu tahun X 1000

Jumlah penduduk daerah tersebut

b. Annual Malaria Incidence

Annual malaria incidence (AMI) adalah kasus malaria klinis

selama satu tahun di suatu wilayah per 1.000 penduduk, dan

didapatkan dengan rumus sebagai berikut :

AMI =

Jumlah penderita malaria klinis di suatu wilayah/tahun

X 1000

Jumlah penduduk daerah tersebut

Page 55: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

40

c. Annual Blood Examination Rate (ABER)

Annual Blood Examination Rate (ABER) adalah jumlah sediaan

darah yang diperiksa dari penduduk yang diperiksa dalam waktu satu

tahun dan dinyatakan dalam prosen (%). ABER diperlukan untuk

menilai API, karena penurunan API disertai penurunan ABER belum

berarti penurunan insiden, penurunan API berarti penurunan insidens

bila ABER meningkat.

ABER =

Jumlah sediaan darah yang diperiksa

X 1000

Jumlah penduduk yang diamati

d. Slide Positivity Rate (SPR)

Slide Positivity Rate (SPR) adalah persentase sediaan darah yang

positif dari seluruh sediaan darah yang diperiksa. Seperti penilaian

API nilai SPR baru bermakna bila nilai ABER meningkat.

2.3. Sistem Informasi Geografis

A. Definisi Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis merupakan sebuah sistem yang

saling berangkaian satu dengan yang lainnya. Sistem Informasi

Geografis sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras

komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang didesain

untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi,

menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi lingkungan

Page 56: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

41

dan geografi. Dengan demikian, basis analisis dari sistem informasi

geografis adalah data spasial dalam bentuk digital yang diperoleh

melalui data satelit atau data lain terdigitasi. (Nuarsa, 2004).

Sistem ini pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun

1972 dengan nama Data Banks for Development. Munculnya istilah

Sistem Informasi Geografis seperti sekarang ini setelah dicetuskan

oleh General Assembly dari International Geographical Union di

Ottawa Kanada pada tahun 1967. Sistem Informasi Geografis dapat

dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mendapatkan data-data

yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau

obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari

data spasial dan data atribut dalam bentuk digital. Sistem ini

merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan data non spasial,

sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa

informasinya dengan berbagai cara (Aini, 2007).

Sistem informasi geografis diharapkan mampu memberikan

menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan (Nuarsa, 2004) :

1. Penanganan data geospasial menjadi lebih baik dalam format

baku

2. Revisi dan pemutakhiran data menjadi lebih muda

3. Data geospasial dan informasi menjadi lebih mudah dicari,

dianalisa dan direpresentasikan

4. Menjadi produk yang mempunyai nilai tambah

Page 57: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

42

5. Kemampuan menukar data geospasial

6. Penghematan waktu dan biaya

7. Keputusan yang diambil menjadi lebih baik.

Sistem informasi geografis dapat diaplikasikan di dunia

kesehatan. Aplikasi utama Sistem Informasi Geografis dalam

kesehatan masyarakat adalah (Nuarsa, 2005)

1. Membuat gambaran spasial dari peristiwa kesehatan.

2. Identifikasi risiko pekerjaan, lingkungan, kelompok risiko

tinggi dan daerah kritis

3. Stratifikasi faktor risiko

4. Analisis situasi kesehatan di suatu daerah geografis tertentu

5. Analisis pola penyakit pada berbagai tingkat agregasi

6. Surveilans dan monitoring kesehatan masyarakat

7. Perencanaan dan target upaya kesehatan

8. Alokasi sumber daya kesehatan

9. Evaluasi suatu intervensi kesehatan.

B. Analisis Spasial

Spasial berasal dari kata space yaitu ruang yang berarti bahwa

selalu mempertimbangkan aspek waktu/temporal dan juga ketinggian

atau variabel lain (Achmadi, 2005). Analisis spasial adalah satu

bidang utama di mana sistem informasi geografis dan penelitian

kesehatan digabungkan melalui studi epidemiologi lingkungan.

Page 58: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

43

Definisi geografis atau spasial epidemiologi yang digunakan untuk

melakukan analisis spasial adalah deskripsi, eksplorasi dan pemodelan

kasus penyakit yang tidak selalu melibatkan hubungan langsung

dengan faktor lingkungan. Metode ini menggambarkan klaster

penyakit, identifikasi klaster, asosiasi dengan potensi titik dan garis

sumber polusi, dan kasus penyakit ruang-waktu (Gatrell, 1998 dalam

Lai 2007).

Pendekatan analisis melihat kasus penyakit ruang dan waktu

disebut dengan analisis spasial. Spasial mempunyai arti sesuatu yang

dibatasi oleh ruang, komunikasi dan atau transformasi sedangkan data

spasial menunjukkan posisi, ukuran dan kemungkinan hubungan

topologis (bentuk dan tata letak) dari obyek di muka bumi

(Ruswanto,2010). Selanjutnya analisis spasial adalah bagian

manajemen penyakit berbasis wilayah yang menguraikan data

penyakit secara geografi yang berkenaan dengan kependudukkan,

persebaran, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, kasus kasus

penyakit dan hubungan antar variabel tersebut (Ahmadi, 2005).

Data yang digunakan dalam analisis spasial dibagi menjadi

empat yaitu (Bailey, 2001)

1. Data Agregat yang dikumpulkan dari hasil sensus atau

administrasi seperti jumlah kasus, populasi berisiko, status

ekonomi, sosial, penilaian lingkungan dll

Page 59: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

44

2. Data kasus yang dikumpulkan berdasarkan lokasi orang yang

sakit/kasus, fasilitas pelayanan kesehatan, faktor risiko

lingkungan dll.

3. Data Geostatistik yang dikumpulkan langsung sampel di lokasi

4. Data yang diukur terus menerus seperti data hasil penginderaan

jarak jauh, iklim, curah hujan dll.

C. Epidemiologi Spasial

Epidemiologi spasial menurut Lawson tahun 2006 adalah salah

satu cabang ilmu epidemiologi yang fokus pada analisis distribusi

geografis/spasial/keruangan kasus penyakit. Dalam hal yang paling

sederhana, epidemiologi spasial ini menggambarkan/menyangkut

penggunaan dan interpretasi peta lokasi penyakit serta isu-isu yang

berkaitan dengan pembuatan peta dan analisis statistik data yang

dipetakan. Selain itu, sifat peta penyakit memastikan bahwa konsep

epidemiologi banyak memainkan peran penting dalam analisis. Kedua

aspek yang berbeda dari subjek yang diamati memiliki dampak sendiri

pada metodologi yang telah dikembangkan untuk mengatasi dengan

banyak masalah yang timbul di daerah ini yang tidak dapat dijelaskan

dalam metodologi lainnya.

Pertama, jika data yang dipetakan adalah data keruangan dialam,

maka aplikasi metode statistik spasial sebagai bentuk bagian utama

dalam wilayah penelitian/subjek. Alasan ini untuk keadaan yang

faktanya studi beberapa data tersebut mengacu pada analisis

Page 60: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

45

georeferenced yang mungkin memiliki cara yang berhubungan pada

lokasi data individu dan juga data disekitarnya. Kedua, Hal yang unik

dalam mendefinisikan epidemiologi spasial adalah data yang

digunakan dalam analisisnya data diskrit. Tidak seperti analisis

statistik spasial yang lain yang menggunakan dan fokus pada data

kontinu seperti metode geostatistik. Data yang ditemukan dalam

epidemiologi spasial sering mengambil bentuk dari lokasi titik (alamat

kasus penyakit) atau jumlah penyakit hasil laporan yang diambil

dalam jumlah yang besar seperti sensus dsb (Lawson,2006).

Sebuah studi epidemiologi spasial kemungkinan akan

menggunakan data untuk mengetahui analisis keruangan. Dua jenis

data yang diperlukan adalah penyakit dan spasial. Data penyakit akan

sangat membutuhkan konteks geografis dalam upaya

memvisualisasikan kasus penyakit. Data tambahan pada karakteristik

lingkungan atau sosiodemografi diperlukan untuk membantu dalam

memvisualisasikan baik menambah atau mendukung analisis yang

lebih mendalam dari penyakit atau status kesehatan (Lai, 2009).

Studi epidemiologi spasial suatu kejadian penyakit dan

hubungannya dengan faktor risiko yang potensial menjadi hal yang

cukup penting dalam analisis epidemiologi spasial. Berdasarkan hal

tersebut, maka ada 4 jenis pendekatan statistik yang telah

teridentifikasi yang digunakan dalam epidemiologi spasial (Bailey,

2001) yaitu;

Page 61: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

46

1. Pemetaan penyakit (disease mapping) yaitu fokus pada

menghasilkan peta yang sebenarnya terjadi akibat dari distribusi

geografis penyakit. Hal ini berguna dalam membangun sebuah

hipotesis dalam investigasi atau bagian dalam surveilans

kesehatan dan monitoring masalah kesehatan. Sebagai contoh,

penggunaan pemetaan penyakit ini untuk mendeteksi penyakit

yang berpotensi wabah atau mengidentifikasi kecenderungan

penyakit berdasarkan waktu atau bisa juga digunakan untuk

pemetaan fasilitas pelayanan kesehatan.

2. Studi ekologis fokus pada hubungan antara penyakit yang

diamati dengan faktor risiko yang berpotensi ada di sebuah

kelompok dibanding dengan individu. Dimana kelompok

tersebut memiliki kondisi geografis yang sama. Beberapa studi

ini membantu dalam menginvestigasi etiologi penyakit dan

mungkin dapat membantu dalam target penelitian serta

memungkinkan melakukan tindakan pencegahan.

3. Studi kluster penyakit yaitu fokus untuk mengidentifikasi

wilayah geografis dengan tingkat risiko yang berbeda atau

menilai bukti/fakta yang diduga menjadi sumber bahaya. Hal ini

termasuk dalam menguatkan alasan terhadap penyebab penyakit

yang terjadi didalam tingkatan kelompok.

4. Penilaian dan monitoring lingkungan yaitu fokus pada distribusi

spasial faktor lingkungan yang berhubungan dengan kesehatan

Page 62: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

47

dan paparan terhadap penyakit sehingga dapat dibuat/ditegakkan

kebutuhan dalam menggontrol tindakan pencegahan.

Semua studi diatas sangat tergantung pada konteks kesehatan

masyarakat dan epidemiologi. Data yang akan digunakan berdasarkan

jenis data yang tersedia. Hal ini berarti bahwa data yang tersedia

seperti data kasus-kasus individual penyakit berdasarkan tingkat

daerah/tempat maupun data dimensi waktu/temporal yang akan

digunakan untuk dianalisis dalam dimensi spasial. Tetapi perbedaan

antara empat jenis studi ini juga agak kabur/bias dalam praktek di

lapangan. Sebagai contoh, kejadian penyakit yang dipetakan sering

memainkan peran penting dalam studi awal clustering penyakit,

pemetaan penyakit umumnya menggabungkan hubungan dengan

penyebab yang mewakili faktor risiko yang diketahui untuk penyakit

ini sedangkan penilaian lingkungan mungkin menjadi awal dari

sebuah studi yang dirancang untuk menyelidiki apakah ada hubungan

antara beberapa faktor risiko yang dicurigai dan kejadian penyakit

(Bailey, 2001). Selain keempat studi diatas, epidemiologi spasial juga

menggunakan beberapa pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam epidemiologi spasial

membantu dalam menggembangkan analisis spasial. Analisis spasial

yang digunakan menggunakan pendekatan geografis, statistik, dan

software/tools.

Page 63: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

48

2.4. Kerangka Teori

Segitiga epidemiologi modern adalah dasar dan landasan dalam

bidang epidemiologi yang tidak hanya menjelaskan penyakit menular

berdasarkan pendekatan biologis tapi juga memperhitungkan pendekatan

perilaku dan sosial (Timmrect, 2004). Sehingga model ini dapat

mencangkup semua aspek dalam penyakit menular dan masalah perilaku,

gaya hidup dan penyakit kronik yang ditemukan sekarang ini. Oleh karena

itu, model ini bertujuan untuk menyempurnakan kelemahan yang terdapat

pada segitiga epidemiologi tradisional. Pada model segitiga epidemiologi

modern menjelaskan bahwa kondisi dan status penyakit yang

mempengaruhi populasi tidak terjadi hanya pada satu faktor tertentu saja

tetapi juga ada faktor lain yang ikut mempengaruhi (multi faktor).

Pada kasus malaria, gambaran segitiga epidemiologi modern terdiri

dari faktor penyebab, kelompok/populasi dan karakteristiknya serta faktor

lingkungan seperti lingkungan, budaya, perilaku, faktor fisiologis dan unsur

ekologi. Penjelasan segitiga epidemiologi modern untuk kasus malaria

berdasarkan faktor penyebab dijelaskan penyebab malaria tidak hanya

ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles saja, tetapi juga terjadi

penularan antara ibu hamil ke bayinya.

Selain faktor penyebab, faktor kelompok/populasi yang rentan juga

mempengaruhi kasus malaria seperti umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, penghasilan, status gizi, riwayat malaria dan ras. Kemudian

faktor lingkungan juga mempengaruhi kasus malaria seperti perilaku

Page 64: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

49

manusia yang keluar dimalam hari dengan tidak menggunakan baju lengan

panjang, tidur tidak menggunakan kelambu, memelihara hewan ternak

dibelakang rumah, suhu, curah hujan, kelembaban, salinitas, ketinggian dan

tempat perindukan nyamuk malaria. Berdasarkan uraian diatas, maka

kerangka teori penelitian ini adalah

Sumber : Timmrect, 2004

Faktor Penyebab

Kelompok/populasi

dan

Karakteristiknya

Lingkungan, Budaya,

Perilaku, Ekologis dan

Faktor Fisiologis

Waktu

Bagan 2.1

Segitiga Epidemiologi

Modern

Page 65: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

50

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui epidemiologi spasial kasus

malaria berdasarkan karakteristik faktor penyebab, kelompok/populasi dan

karakteristiknya serta lingkungan. Hal ini dilakukan karena dapat

memberikan sebuah informasi yang bisa dijadikan sebagai bahan

perencanaan program pengendalian malaria di Kota Lubuk Linggau.

Perencanaan program ini akan menghasilkan rencana kegiatan operasional

yang dapat membantu dalam menurunkan kasus malaria.

Kasus malaria dalam penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang

dikumpulkan oleh Dinas Kesehatan dan Puskesmas, Badan Meteorologi,

Klimatologi, dan Geofisika serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

Karena adanya keterbatasan data yang dicatat dalam laporan di tiap-tiap

instansi dan hanya beberapa variabel tertentu yang memiliki kaitan dalam

kasus malaria maka peneliti mempertimbangkan data yang digunakan

dalam penelitian ini.

Data sekunder yang didapatkan dalam instansi Dinas Kesehatan dan

Puskesmas adalah data kasus malaria klinis, positif (umur, jenis kelamin,

jenis plasmodium), nama puskesmas beserta wilayah kerjanya. Data

sekunder dari BMKG adalah data curah hujan, suhu, dan kelembaban

sedangkan data sekunder dari BAPPEDA Kota Lubuk Linggau adalah data

Page 66: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

51

ketinggian dan tata guna lahan. Peneliti membatasi penelitian ini pada

menggambarkan secara spasial dan deskriptif antara variabel independen

dan dependen sehingga tidak melihat adanya interaksi antar variabel

independen sebagaimana yang dimaksud dalam segitiga epidemiologi

modern yang menyatakan bahwa adanya interaksi antar 3 komponen

pembentuk segitiga epidemiologi modern tersebut.

Data yang dikumpulkan dianalisis berdasarkan kasus menurut waktu

dan orang serta analisis keruangan kasus malaria. Hasil analisis ini akan

melihat distribusi kasus, kecenderungan waktu per bulan dan tiap tahun,

distribusi kasus dan pengaruh iklim serta pemetaan daerah endemis dan

daerah risiko tinggi berdasarkan analisis keruangan/spasial. Berdasarkan

teori yang telah diuraikan pada studi kepustakaan dan tujuan dari peneliti,

maka kerangka konsep penelitian ini adalah

Bagan 3.1

Kerangka Konsep Penelitian

Faktor Penyebab

1. Jenis Plasmodium

Faktor Populasi

1. Umur

2. Jenis Kelamin

Faktor Lingkungan

1. Endemisitas Kecamatan

2. Analisis Curah Hujan

3. Analisis Kelembaban

4. Analisis Suhu

5. Analisis Ketinggian

6. Analisis Potensi Perindukan Nyamuk

Kasus Malaria

dalam Dimensi Waktu

Page 67: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

52

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1

Definisi Operasional Penelitian

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala

Ukur

1 Malaria

klinis

Jumlah kasus malaria

berdasarkan gejala klinis

yang tercatat dalam laporan

bulanan penemuan dan

pengobatan malaria di

Puskesmas dan Dinas

Kesehatan

Observasi laporan

Bulanan Penemuan

dan Pengobatan

Malaria

Laporan Bulanan Penemuan

dan Pengobatan Malaria

yang disajikan dalam bentuk

dummy table

Jumlah Kasus Malaria Klinis dalam

Satuan Kasus

Rasio

2 Malaria

positif

Jumlah kasus malaria yang

terkonfirmasi laboratorium

puskesmas dan tercatat

dalam laporan bulanan

penemuan dan pengobatan

malaria di Puskesmas dan

Dinas Kesehatan

Observasi laporan

Bulanan Penemuan

dan Pengobatan

Malaria

Laporan Bulanan Penemuan

dan Pengobatan Malaria

yang disajikan dalam bentuk

dummy table

Jumlah Kasus Malaria Positif dalam

Satuan Kasus

Rasio

3 Umur Umur kasus malaria positif

yang tercatat dalam laporan

bulanan penemuan dan

Observasi laporan

Bulanan Penemuan

dan Pengobatan

Laporan Bulanan Penemuan

dan Pengobatan Malaria

yang disajikan dalam bentuk

1. 0-11 bulan

2. 1-4 tahun

3. 5-9 tahun

Nominal

Page 68: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

53

pengobatan malaria di

Puskesmas dan Dinas

Kesehatan.

Malaria dummy table 4. 10-14 tahun

5. ≥ 15 tahun

4 Jenis

Kelamin

Jenis kelamin kasus malaria

positif yang tercatat dalam

laporan bulanan penemuan

dan pengobatan malaria di

Puskesmas dan Dinas

Kesehatan

Observasi laporan

Bulanan Penemuan

dan Pengobatan

Malaria

Laporan Bulanan Penemuan

dan Pengobatan Malaria

yang disajikan dalam bentuk

dummy table

1. Laki-Laki

2. Perempuan

Nominal

5 Jenis

Plasmodium

Jenis Plasmodium kasus

malaria positif yang tercatat

dalam laporan bulanan

penemuan dan pengobatan

malaria di Puskesmas dan

Dinas Kesehatan.

Observasi laporan

Bulanan Penemuan

dan Pengobatan

Malaria

Laporan Bulanan Penemuan

dan Pengobatan Malaria

yang disajikan dalam bentuk

dummy table

1. P. falciparum

2. P. vivax

3. P. malariae

4. P. ovale

5. Mix

Nominal

6 Bulan Laporan per bulan kasus

malaria klinis yang tercatat

dalam laporan bulanan

penemuan dan pengobatan

malaria di Puskesmas dan

Dinas Kesehatan.

Observasi laporan

Bulanan Penemuan

dan Pengobatan

Malaria

Laporan Bulanan Penemuan

dan Pengobatan Malaria

yang disajikan dalam bentuk

dummy table

1. Januari

2. Februari

3. Maret

4. April

5. Mei

6. Juni

7. Juli

8. Agustus

9. September

10. Oktober

11. November

12. Desember

Nominal

Page 69: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

54

7 Tahun Laporan per tahun kasus

malaria klinis yang tercatat

dalam rekapan laporan

bulanan penemuan dan

pengobatan malaria di

Puskesmas dan Dinas

Kesehatan.

Observasi laporan

Bulanan Penemuan

dan Pengobatan

Malaria

Laporan Bulanan Penemuan

dan Pengobatan Malaria

yang disajikan dalam bentuk

dummy table

Tahun dalam satuan Masehi Rasio

8 Endemisitas Tingkat endemisitas wilayah

kasus malaria per

puskesmas dan kelurahan

berdasarkan perhitungan

nilai AMI dari Laporan

Bulanan Penemuan dan

Pengobatan Malaria

Observasi laporan

Bulanan Penemuan

dan Pengobatan

Malaria

Laporan Bulanan Penemuan

dan Pengobatan Malaria

yang disajikan dalam bentuk

dummy table dan peta

endemisitas

1. Non Endemis/Endemis Rendah

(Low Case Incidence) jika AMI ≤

10 (Hijau)

2. Endemis Sedang (Moderate Case

Incidence) jika AMI 10-50

(Kuning)

3. Endemis Tinggi (High Case

Incidence) jika AMI ≥ 50 (Merah)

Ordinal

9 Kecamatan Kecamatan yang tercatat

dalam laporan bulanan

penemuan dan pengobatan

malaria di Dinas Kesehatan

yang berada pada kolom 2

Observasi laporan

Bulanan Penemuan

dan Pengobatan

Malaria

Laporan Bulanan Penemuan

dan Pengobatan Malaria

yang disajikan dalam bentuk

dummy table

Daftar Nama Kecamatan Nominal

10 Curah Hujan Curah hujan Kota Lubuk

Linggau yang tercatat dalam

Observasi data

Badan Meteorologi,

Laporan Bulanan curah

hujan yang disajikan dalam

Data curah hujan tiap bulan dan tahun

dalam satuan ml/bulan dan ml/tahun

Rasio

Page 70: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

55

laporan bulanan BMKG

stasiun Kenten Provinsi

Sumatera Selatan

Klimatologi dan

Geofisika Stasiun

Sumatera Selatan

bentuk dummy table

11 Kelembaban Kelembaban Kota Lubuk

Linggau yang tercatat dalam

laporan bulanan BMKG

stasiun Kenten Provinsi

Sumatera Selatan

Observasi data

Badan Meteorologi,

Klimatologi dan

Geofisika Stasiun

Sumatera Selatan

Laporan Bulanan

kelembaban yang disajikan

dalam bentuk dummy table

Data kelembaban tiap bulan dan tahun

dalam satuan persentase

Rasio

12 Suhu Suhu Kota Lubuk Linggau

yang tercatat dalam laporan

bulanan BMKG stasiun

Kenten Provinsi Sumatera

Selatan

Observasi data

Badan Meteorologi,

Klimatologi dan

Geofisika Stasiun

Sumatera Selatan

Laporan Bulanan suhu yang

disajikan dalam bentuk

dummy table

Data suhu rata-rata tiap bulan dan

tahun dalam satuan 0C

Interval

13 Potensi

Perindukan

Nyamuk

Daerah potensi perindukan

nyamuk yang dipetakan

oleh BAPPEDA Kota

Lubuk Linggau.

Observasi Laporan

Pemetaan

BAPPEDA Kota

Lubuk Linggau

Data potensi perindukan

nyamuk yang dipetakan

oleh BAPPEDA Kota

Lubuk Linggau yang

disajikan dalam bentuk

Tabel Peta Wilayah Potensi

Perindukan Nyamuk.

1. Belukar

2. Kebun

3. Ladang

4. Sawah

5. Pemukiman

Nominal

Page 71: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

56

14 Ketinggian Ketinggian yang dipetakan

oleh BAPPEDA Kota

Lubuk Linggau.

Observasi Laporan

Pemetaan

BAPPEDA Kota

Lubuk Linggau

Data ketinggian yang

dipetakan oleh BAPPEDA

Kota Lubuk Linggau yang

disajikan dalam bentuk

Tabel Peta Wilayah Potensi

Perindukan Nyamuk.

Data ketinggian pada seluruh wilayah

Kota Lubuk Linggau dalam satuan

meter diatas permukaan laut (mdpl)

Rasio

Page 72: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

57

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan

menggunakan pendekatan kuantitatif. Desain penelitian epidemiologi ini

adalah studi ekologi yaitu menggunakan data dari seluruh populasi untuk

membandingkan frekuensi penyakit yang berbeda pada dari suatu populasi

pada periode waktu yang sama dan kelompok yang sama pada periode

waktu yang berbeda (Rothman, 2008 dan Webb, 2011).

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kasus malaria dan

pemetaan wilayah endemis malaria berdasarkan karakteristik host, agent

dan enviroment di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013. Selain dengan

menggunakan analisis tersebut dalam menggambarkan kasus malaria,

penelitian ini menggunakan analisis spasial untuk menggambarkan analisis

keruangan masalah malaria berdasarkan wilayah sehingga nantinya dapat

menjadi model intervensi wilayah program pengendalian malaria dan

program pengendalian penyakit lainnya.

Page 73: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

58

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Lubuk Linggau dengan jumlah

kecamatan di Kota Lubuk Linggau sebanyak 8 Kecamatan dan Penelitian

ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2014

4.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah semua laporan bulanan penemuan dan

pengobatan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau. Sedangkan sampel

penelitian ini adalah laporan penemuan dan pengobatan kasus malaria di

Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013. Data sekunder kasus 5 tahun

terakhir ini digunakan untuk melihat trend/kecenderungan kasus malaria

(Kemenkes, 2002).

4.4. Cara Pengumpulan Data

A. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data

sekunder yang didapat dari laporan bulanan penemuan dan

pengobatan malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013

kemudian data curah hujan, kelembaban, dan suhu yang didapat dari

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Sumatera

Selatan serta data ketinggian dan tata guna lahan dari Badan

Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Lubuk Linggau. Data

yang telah dikumpulkan dan dianalisis disajikan dalam bentuk dummy

table, grafik, dan peta.

Page 74: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

59

Penyajian data dalam bentuk tabel berupa kasus berdasarkan

orang, tempat dan waktu. Penyajian data dalam bentuk grafik berupa

analisis kecenderungan (trend) kasus malaria dari tahun 2009-2013 di

Kota Lubuk Linggau dan analisis kasus malaria dengan curah hujan,

suhu dan kelembaban. Penyajian data dalam bentuk peta digunakan

untuk pendekatan keruangan dalam kasus malaria baik dalam bentuk

analisis wilayah endemis kasus malaria serta endemisitas kasus

malaria dengan wilayah potensi perindukan nyamuk yang nantinya

ditumpang susunkan dengan basis data yang telah dikumpulkan dari

data sekunder.

B. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk

pengumpulan data penelitian. Instrumen penelitian ini adalah laporan

bulanan yang telah dikumpulkan oleh masing-masing instansi.

Variabel, instrumen dan instansi penelitian tersebut adalah

Page 75: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

60

Tabel 4.1

Daftar Variabel, Instrumen dan Instansi Pengumpul Data Sekunder

No Variabel Instrumen Instansi

1 Kasus malaria, jenis

kelamin, umur, jenis

Plasmodium,

kecamatan.

Laporan Bulanan

Penemuan dan

Pengobatan Kasus

Malaria Kota Lubuk

Linggau

Dinas Kesehatan

Kota Lubuk

Linggau

2 Curah hujan, suhu, dan

kelembaban.

Laporan Bulanan

Iklim Kota Lubuk

Linggau

BMKG Provinsi

Sumatera

Selatan

3 Wilayah potensi

perindukan nyamuk

dan Ketinggian

Peta Tata Guna

Lahan, Shapefile

Ketinggian

BAPPEDA Kota

Lubuk Linggau

4.5. Rencana Manajemen Data

A. Pemeriksaan Data

Data yang telah dikumpulkan dalam tabel dummy table

diperiksa kembali untuk melihat apakah data yang telah dikumpulkan

telah lengkap. Data yang dikumpulkan dari Dinas Kesehatan,

Puskesmas, BAPPEDA, dan BMKG dikumpulkan menjadi satu lalu

dipilih data yang diinginkan dari tiap-tiap laporan tersebut. Setelah

data yang ingin dikumpulkan didapat, maka dimasukkan kedalam

tabel yang telah disiapkan agar dapat diketahui apakah data yang telah

dikumpulkan telah lengkap dan siap untuk dianalisis tahap lanjut.

Page 76: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

61

B. Pemberian Kode

Data yang telah lengkap diberikan kode berdasarkan tujuan dari

tiap variabel. Pemberian kode juga dilakukan untuk pemetaan wilayah

dalam analisis spasial endemisitas sebuah wilayah. Data endemisitas

didapat berdasarkan perhitungan nilai AMI. Pemberian kode 1

didalam tabel (warna hijau) jika daerah tersebut non endemis/rendah,

kode 2 (warna kuning) untuk daerah endemis sedang dan kode 3

(warna merah) untuk daerah endemis tinggi. Pemberian kode ini

mempermudah dalam menganalisis spasial didalam software yang

digunakan nantinya sehingga peneliti tidak perlu melakukan analisis

data spasial secara manual dalam memetakan daerah endemis.

C. Pemasukan Data

Pemasukan data yaitu memasukan data dengan bantuan komputer

dengan aplikasi pengolah data tabular dan menggunakan aplikasi

pengolah data spasial untuk kemudian dianalisis berdasarkan

pemetaan wilayah endemisitas kasus malaria. Data yang dimasukkan

kedalam aplikasi pengolah data tabular dilakukan tahap normalisasi

data tabular. Tahapan dalam normalisasi data tabular adalah

menghapus kolom tabel yang tidak diperlukan didalam analisis data

seperti judul tabel dan menyederhanakannya judul tabel sehingga

tidak membutuhkan lebih dari 1 sel di lembar kerja pada pengolah

data tabular.

Page 77: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

62

Setelah disederhanakan, tahap selanjutnya adalah membuka file

dbf dari atribut shapefile yang telah tersedia dari BAPPEDA. Setelah

filenya terbuka, maka tahap selanjutnya adalah menyalin kolom

primary key dalam file .dbf tadi untuk dimasukkan kedalam lembar

kerja yang telah dibuat dan memindahkan kolom primary key untuk

dicocokkan dengan nama kelurahan dengan menggunakan tekhnik

dragging. Lalu dilakukan pengecekan kembali apakah data yang

dimasukkan sudah tidak terjadi kesalahan. Tahap berikutnya adalah

menyimpan lembar kerja pengolah data tabular dalam bentuk CSV

dan data tabular tersebut siap untuk diintegrasikan kedalam data

spasial.

D. Pembersihan Data

Data yang telah dimasukkan kedalam komputer dicek kembali

untuk memastikan bahwa data tersebut tidak terdapat kesalahan, baik

kesalahan pengkodean maupun kesalahan dalam membaca kode.

Dengan demikian diharapkan data tersebut benar-benar siap untuk

dianalisis.

4.6. Analisis Data Penelitian

Data yang telah melalui tahap pengolahan data dianalisis dengan

menggunakan analisis data univariat yaitu melihat distribusi kasus malaria

berdasarkan jenis kelamin, umur, jenis Plasmodium, curah hujan, suhu, dan

kelembaban. Kemudian distribusi kasus dipetakan berdasarkan wilayah

dengan tingkat endemisitas yang telah ditentukan dalam definisi

Page 78: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

63

operasional. Selanjutnya dipetakan dengan tumpang susun antara wilayah

endemis dengan wilayah yang berpotensi perindukan nyamuk dengan

menggunakan analisis spasial.

Analisis data penelitian untuk kasus malaria dilakukan dengan

menggunakan indikator AMI dan API. Indikator ABER dan SPR tidak

digunakan karena pada laporan bulanan penemuan dan pengobatan kasus

malaria tidak didapatkan data terkait jumlah sediaan darah yang diperiksa

sehingga analisis data menurut indikator ABER dan SPR tidak dapat

dilakukan.

4.7. Teknik Validasi Data Sekunder

Validitas data sekunder yang dilakukan dengan membandingkan data.

Pada data tersebut dicari laporan yang berbeda antara data Puskesmas dan

Dinas Kesehatan. Data digunakan ketika kasus Puskesmas dan Dinas

Kesehatan sama. Pada data yang berbeda, dilakukan tahap verifikasi data

dengan menanyakan langsung ke petugas Puskesmas dan Dinas Kesehatan

serta melakukan perhitungan sendiri untuk perhitungan matematis yang

salah rumus seperti perhitungan jumlah kasus, AMI dan API.

Data yang telah dikumpulkan dilakukan uji normalitas data untuk

mengetahui apakah data terdistribusi secara normal sebagai salah satu cara

untuk menguji validitas data yang ada. Jika data tidak terdistribusi normal

maka tahapan selanjutnya adalah dilakukan pemeriksaan kembali data

Page 79: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

64

tersebut untuk membuktikan data yang dimasukkan tersebut memang benar

seperti yang tercatat didalam laporan.

Selain itu, validitas data sekunder juga melihat kelengkapan dokumen

laporan penemuan dan pengobatan kasus malaria. Kelengkapan dokumen

kasus malaria dari tahun 2009-2013 di Kota Lubuk Linggau yang disimpan

oleh Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau sebesar 100% dan hal yang

sama juga pada kelengkapan dokumen laporan penemuan dan pengobatan

kasus malaria berdasarkan puskesmas pada tahun 2011-2013 sebesar 100%.

Page 80: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

65

BAB V

HASIL

5.1. Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

A. Frekuensi Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-

2013

Kasus malaria di Kota Lubuk Linggau masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus malaria

masih diatas indikator yang ditetapkan Provinsi Sumatera Selatan.

Berdasarkan profil laporan malaria yang dibuat oleh Provinsi

Sumatera Selatan tahun 2013, Kota Lubuk Linggau dikategorikan

sebagai daerah endemis sedang menurut indikator API tetapi Dinas

Kesehatan Provinsi masih belum menyatakan dengan tegas kategori

endemis sedang ini karena masih lemahnya peran laboratorium di

Sumatera Selatan dalam membantu diagnosis malaria.

Dalam laporan bulanan kasus malaria, diketahui bahwa kasus

malaria dibagi menjadi 2 yaitu kasus malaria klinis dan kasus malaria

positif. Pembagian 2 kasus malaria ini berdasarkan adanya

pemeriksaan laboratorium. Kasus malaria yang bersumber pada gejala

klinis saja disebut malaria klinis. Berikut jumlah kasus malaria klinis

Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.

Page 81: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

66

Tabel 5.1

Frekuensi Kasus Malaria Klinis Kota Lubuk Linggau 2009-2013

Tahun N

2009 3329 Kasus

2010 2434 Kasus

2011 2768 Kasus

2012 2103 Kasus

2013 2090 Kasus

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria klinis

di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 masih diatas 1000 kasus per

tahun. Selain malaria klinis, kasus malaria yang ada didalam laporan

bulanan malaria adalah kasus malaria positif. Kasus malaria positif

adalah kasus malaria yang bersumber dari identifikasi gejala klinis

dan laboratorium untuk membantu diagnosis kasus. Berikut jumlah

kasus malaria positif di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.

Tabel 5.2

Frekuensi Kasus Malaria Positif Kota Lubuk Linggau 2009-2013

Tahun N

Total Mikroskop RDT

2009 842 Kasus 0 Kasus 842 Kasus

2010 450 Kasus 0 Kasus 450 Kasus

2011 951 Kasus 0 Kasus 951 Kasus

2012 570 Kasus 0 Kasus 570 Kasus

2013 318 Kasus 21 Kasus 339 Kasus

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa sebanyak 842 kasus

malaria yang telah diperiksa secara mikroskop di tahun 2009 dan

tahun 2013 sudah mulai dikembangkan pemeriksaan sediaan darah

Page 82: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

67

untuk pengecekan Plasmodium dengan menggunakan RDT sebanyak

21 kasus yang pada tahun sebelumnya tidak ada kasus malaria yang

diperiksa RDT. Kemudian kasus malaria yang diperiksa mikroskop

sebanyak 318 kasus pada tahun 2013. Hal ini berarti bahwa

pemeriksaan menggunakan laborarorium membantu dalam

meningkatkan level kasus dari suspek menjadi probable yang

kemudian kasus memang terinfeksi oleh parasit malaria.

Salah satu cara untuk membandingkan kasus malaria antar

waktu adalah dengan melakukan penilaian kejadian malaria. Frekuensi

kasus malaria ini dapat dibandingkan antar tahun dengan

menggunakan indikator AMI dan API. Hal ini dikarenakan pada kasus

malaria ini harus melihat seberapa besar kelompok yang menjadi

kelompok rentan dalam kasus malaria ini. Dengan kata lain,

membandingkan kasus malaria antar tahun harus mempertimbangkan

seberapa besar populasi yang ada di Kota Lubuk Linggau. Oleh

karena itu indikator AMI dan API berperan penting dalam penilaian

kejadian malaria secara epidemiologis.

AMI (Annual Malaria Incidence) adalah kasus malaria selama

satu tahun di suatu wilayah per 1.000 penduduk. Malaria klinis adalah

kasus malaria berdasarkan hasil pemeriksaan gejala klinis oleh tenaga

kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan

pustu. Kasus malaria klinis ini berada pada tingkatan suspek yaitu

kasus yang dicurigai menderita malaria berdasarkan hasil dari

Page 83: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

68

diagnosis oleh petugas pelayanan kesehatan. Karena status dari kasus

malaria klinis ini sebagai suspek malaria, maka perlu pemeriksaan

laboratorium untuk menyakinkan bahwa suspek kasus malaria ini

adalah benar sebagai penderita malaria. Hasil penilaian kejadian

malaria berdasarkan hasil laboratorium ini dikenal dengan indikator

API. Berikut jumlah kasus malaria klinis Kota Lubuk Linggau Tahun

2009-2013.

Tabel 5.3

Annual Malaria Incidence (AMI) Kota Lubuk Linggau

Tahun 2009-2013

Tahun Jumlah Penduduk

(Orang)

N

(Kasus)

AMI (Per 1000

Penduduk)

2009 186056 3329 17,89

2010 201308 2434 12,10

2011 206086 2768 13,43

2012 208893 2103 10,07

2013 214298 2090 9,75

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa jumlah kejadian

malaria terbesar selama 5 tahun terakhir adalah tahun 2009 dengan

kejadian 17,89 kasus per 1000 penduduk sedangkan jumlah kejadian

malaria yang paling kecil selama 5 tahun terakhir berada pada tahun

2013 dengan 9,75 kasus per 1000 penduduk. Selama 5 tahun terakhir,

penurunan kejadian malaria hampir 50%. Tetapi penurunan ini belum

mampu mencapai target yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota

Lubuk Linggau dan Provinsi Sumatera Selatan. Oleh karena itu,

malaria masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat

Page 84: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

69

karena target pencapaian AMI pada tahun 2013 sebesar 7 per 1000

penduduk. Selain indikator AMI, indikator lain yang digunakan adalah

API.

API (Annual Parasite Incidence) adalah kasus malaria yang

sudah dikonfirmasikan dengan pemeriksaan darah secara miskrokopis.

Dalam kasus malaria, penilaian kejadian API berdasarkan kasus

malaria positif yang sudah terkonfirmasi jenis Plasmodium didalam

darah oleh kasus malaria positif. Kasus malaria positif adalah kasus

malaria yang sudah probable yang berarti bahwa kasus malaria ini

masih dimungkinkan menderita malaria. Oleh karena ini masih

kategori dimungkinkan, maka dalam laporan bulanan kasus malaria

positif menggunakan 2 metode pemeriksaan parasit malaria dalam

darah yaitu menggunakan mikroskop dan rapid diagnostic test (RDT).

Berikut nilai API kasus malaria Kota Lubuk Linggau tahun 2009-

2013.

Tabel 5.4

Annual Parasite Incidence Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Tahun Jumlah Penduduk

(Orang)

N

(Kasus)

API (Per 1000

Penduduk)

2009 186056 842 4,53

2010 201308 450 2,24

2011 206086 951 4,61

2012 208893 570 2,73

2013 214298 339 1,58

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Page 85: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

70

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa tahun 2009

merupakan kasus dengan jumlah kasus yang terinfeksi malaria

terbanyak selama 5 tahun terakhir. Sedangkan pada tahun 2013,

jumlah kasus yang terinfeksi malaria menurun dibanding tahun 2009-

2012. Selain itu kasus malaria yang terkonfirmasi laboratorium

menjadi penting dalam kasus malaria positif dan API. Berikut rasio

kasus malaria yang terkonfirmasi laboratorium di Kota Lubuk

Linggau tahun 2009-2013

Tabel 5.5

Rasio Kasus Malaria Klinis Yang Terkonfirmasi Laboratorium di

Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

No Tahun

Jumlah

Malaria

Positif

Jumlah

Malaria

Klinis

Rasio

(Malaria

Positif/Malaria Klinis)

1 2009 842 3329 25,29

2 2010 450 2434 18,49

3 2011 951 2768 34,36

4 2012 570 2103 27,10

5 2013 339 2090 16,22

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria klinis

yang diperiksa laboratorium pada tahun 2009-2013 sebesar 16,22%-

34,36%. Perbandingan jumlah kasus malaria klinis yang dikonfirmasi

laboratorium puskesmas di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013

masih dibawah target pencapaian nasional. Masih rendahnya

pemeriksaan malaria positif membuat indikator API tidak dapat

menggambarkan besar masalah malaria tersebut. Oleh karena itu,

Page 86: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

71

indikator AMI yang digunakan untuk menggambarkan besar masalah

malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.

Kasus malaria selama 5 tahun terakhir mengalami

kecenderungan penurunan jumlah kasus. Hal ini dapat diketahui

selama 5 tahun terakhir dengan nilai AMI kasus malaria di Kota

Lubuk Linggau pada tahun 2009 sebesar 17,89 per 1000 penduduk

turun menjadi 9,75 per 1000 penduduk pada tahun 2013. Berikut

grafik kecenderungan kasus malaria berdasarkan AMI dan API tahun

2009-2013 di Kota Lubuk Linggau.

Grafik 5.1

Kecenderungan Kasus Malaria Menurut AMI dan API

di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013,

Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa kecenderungan

kasus malaria selama 5 tahun terakhir menurun. Hal ini dapat dilihat

dari kecenderungan API dan AMI yang menurun. Tetapi terjadi

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

5

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

2009 2010 2011 2012 2013

AP

I (P

er

10

00

Pe

nd

ud

uk)

AM

I (P

er

10

00

Pe

nd

ud

uk)

Tahun

AMI

API

Page 87: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

72

peningkatan kasus malaria berdasarkan indikator AMI dan API pada

tahun 2011. Selanjutnya kasus malaria cenderung mengalami

penurunan kasus malaria kembali.

B. Kecenderungan Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun

2009-2013

Kecenderungan kasus malaria berdasarkan waktu.

Kecenderungan kasus malaria berdasarkan waktu dibagi menjadi

beberapa hal yaitu kecenderungan kasus pada tiap bulan pada tahun

2009-2013. Penjelasan kecenderungan kasus malaria di Kota Lubuk

Linggau berdasarkan hal tersebut akan diketahui hasilnya secara rinci

dalam penjelasan dibawah ini.

Penemuan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau melalui

Passive Case Detection ditiap Puskesmas dan kemudian secara rutin

tiap bulan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.

Berdasarkan hasil pelaporan ini dapat diketahui kecenderungan kasus

malaria berdasarkan bulan selama tahun 2009-2013. Berikut

kecenderungan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau selama 2009-

2013.

Grafik 5.2

Kecenderungan Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

0

50

100

150

200

250

300

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jun

lah

Kas

us

Bulan

Kasus Malaria

Sumber : Dinas

Kesehatan Kota

Lubuk Linggau 2013

Page 88: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

73

Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa kecenderungan

kasus malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 menunjukkan

kota ini sebagai daerah endemis malaria. Hal ini dapat dilihat dari

kecenderungan kasus malaria yang stabil. Kemudian pola kasus

malaria dapat dilihat dari dengan membandingkan kecenderungan

kasus malaria ditiap tahun. Berikut kecenderungan kasus malaria di

Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.

Grafik 5.3

Kecenderungan Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013,

Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa kecenderungan

kasus malaria di Kota Lubuk Linggau pada tahun 2009-2013

cenderung tidak memiliki pola spesifik. Hal ini dapat dilihat dari

kecenderungan kasus malaria yang terjadi bulan tertentu. Hanya pada

bulan februari-maret kasus malaria selama 5 tahun terakhir mengalami

kecenderungan peningkatan kasus. Hal ini dapat dilihat pada ada

kenaikan kasus malaria pada bulan februari dan maret tahun 2009,

0

50

100

150

200

250

300

Jum

lah

Kas

us

Bulan

2009

2010

2011

2012

2013

Page 89: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

74

2010 dan 2012 tetapi untuk tahun 2011 dan 2013 kasus cenderung

mengalami penurunan jumlah kasus. Sebaliknya pada bulan April

sampai Juni di tahun 2010, 2011 dan 2013 kasus malaria cenderung

turun tetapi tahun 2009 dan 2012 kasus malaria dibulan tersebut

cenderung naik. Oleh karena itu selama 5 tahun terakhir ini diketahui

bahwa kecenderungan kasus malaria ditemukan disemua bulan.

5.2. Karakteristik Faktor Host (Populasi) Pada Kasus Malaria di Kota

Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Konsep segitiga epidemiologi modern menjelaskan bahwa salah satu

faktor yang dapat menggambarkan kasus malaria adalah faktor karakteristik

manusia. Karakteristik kasus yang menderita malaria yang tercatat dalam

laporan bulanan penemuan dan pengobatan malaria adalah umur dan jenis

kelamin. Berikut akan dijelaskan secara jelas tentang karakteristik kasus

malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 berdasarkan karakteristik

orang.

A. Gambaran Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin di Kota

Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Kasus malaria dapat menginfeksi pada laki-laki dan perempuan.

Berikut distribusi frekuensi kasus malaria berdasarkan jenis kelamin

Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013

Page 90: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

75

Tabel 5.6.

Distribusi Frekuensi Kasus Malaria Positif di Kota Lubuk Linggau

Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2009-2013

Tahun

Kasus Malaria Jumlah

(%) Laki-Laki

(Kasus)

% Perempuan

(Kasus)

%

2009 438 52,02 404 47,98 842 (100%)

2010 231 51,33 219 48,67 450 (100%)

2011 474 49,84 477 50,16 951 (100%)

2012 249 43,68 321 56,32 570 (100%)

2013 160 47,20 179 52,80 339 (100%)

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria

menurut jenis kelamin di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013

menginfeksi pada laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari

jumlah kasus malaria pada kelompok laki-laki dan perempuan tidak

terlalu berbeda secara kuantitatif. Hal ini dapat diketahui dari

rasio/perbandingan laki-laki dan perempuan yang terserang malaria.

Berikut rasio jenis kelamin kasus malaria di Kota Lubuk Linggau

tahun 2009-2013.

Tabel 5.7.

Rasio Jenis Kelamin Kasus Malaria Kota Lubuk Linggau 2009-2013

Tahun Rasio Kasus

2009 1,08

2010 1,05

2011 0,99

2012 0,77

2013 0,89

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa perbandingan laki-

laki dengan perempuan yang menderita malaria ditahun 2009 sebesar

Page 91: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

76

1,08. Hal ini berarti bahwa perbandingan laki-laki yang terinfeksi

malaria sebesar 1,08 dibanding dengan perempuan yang terinfeksi

malaria. Perbandingan ini memiliki kecenderungan yana sama selama

5 tahun terakhir akibat dari perbandingan laki-laki yang menderita

malaria dibanding perempuan yang menderita malaria hampir 1:1. Hal

ini berarti bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang

sama untuk terinfeksi malaria di Kota Lubuk Linggau. Walaupun

malaria menginfeksi kedua kelompok tersebut, tetapi kelompok yang

paling rentan untuk terinfeksi malaria belum tentu sama. Hal ini

disebabkan kedua kelompok ini memiliki jumlah populasi yang

berbeda di masyarakat. Oleh karena itu, untuk melihat distribusi

kelompok rentan kasus malaria berdasarkan jenis kelamin maka

digunakan indikator incidence rate. Berikut kelompok rentan kasus

malaria berdasarkan jenis kelamin di Kota Lubuk Linggau tahun

2009-2013

Tabel 5.8.

Distribusi Kelompok Rentan Berdasarkan Jenis Kelamin Kasus

Malaria Kota Lubuk Linggau 2009-2013

Tahun

Kasus Malaria

Laki-Laki Perempuan

Jumlah

Penduduk N ‰

Jumlah

Penduduk N ‰

2009 94.154 438 4,7 91.902 404 4,4

2010 100.924 231 2,3 100.384 219 2,2

2011 103.295 474 4,6 102.791 477 4,6

2012 104.621 249 2,4 104.272 321 3,1

2013 107.328 160 1,5 106.970 179 1,7

Sumber 1. Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013

2. BPS Kota Lubuk Linggau 2014

Page 92: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

77

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa tidak ada perbedaan

kelompok yang paling rentan terinfeksi malaria. Kasus malaria pada

kedua kelompok tersebut memiliki risiko yang sama menjadi

kelompok yang rentan untuk terinfeksi malaria. Hal ini dikarenakan

tidak ada perbedaan yang sangat signifikan antara jumlah penduduk

yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan serta jumlah kasus

malaria pada laki-laki dan perempuan. Selain itu kasus malaria

berdasarkan jenis kelamin mengalami kecenderungan turun selama 5

tahun terakhir. Berikut kecenderungan kasus malaria berdasarkan jenis

kelamin di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013

Grafik 5.4

Kecenderungan Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin di

Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013

Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa selama tahun 2009-

2013 kasus malaria berdasarkan jenis kelamin mengalami

kecenderungan penurunan jumlah kasus pada laki-laki dan

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

5

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

5

2009 2010 2011 2012 2013

Pe

r 1

00

0 P

en

du

du

k

Pe

r 1

00

0 P

em

du

du

k

Tahun

Laki-Laki

Perempuan

Page 93: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

78

perempuan. Hanya pada tahun 2011, terjadi kenaikan jumlah kasus

malaria pada laki-laki dan perempuan dengan insiden kasus yang

hampir sama. Tetapi pada 2009-2013 dapat dilihat bahwa terjadi

penurunan kasus malaria yang cukup besar dikedua kelompok

tersebut.

B. Gambaran Kasus Malaria Berdasarkan Umur di Kota Lubuk

Linggau Tahun 2009-2013

Malaria adalah penyakit yang dapat menginfeksi ke semua

kelompok umur. Berikut distribusi frekuensi kasus malaria

berdasarkan umur di Kota Lubuk Linggau yang tercatat dalam laporan

bulanan penemuan dan pengobatan kasus malaria 2009-2013.

Tabel 5.9.

Distribusi Frekuensi Kasus Malaria Menurut Umur

Kota Lubuk Linggau 2009-2013

Tahun Kasus Malaria

0-11 bln 1-4 thn 5-9 thn 10-14 thn ≥ 15 thn

2009 6 65 158 164 359

2010 4 28 66 81 271

2011 9 70 161 232 479

2012 3 59 84 124 300

2013 2 22 33 50 232

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kelompok yang

paling banyak menjadi kasus malaria 5 tahun terakhir adalah

kelompok umur ≥ 15 tahun. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus

malaria dikelompok tersebut lebih banyak dibanding kelompok yang

lain. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa kelompok tersebut adalah

Page 94: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

79

kelompok yang paling banyak terserang malaria. Kelompok yang

paling banyak terinfeksi malaria dapat dilihat dari insiden kasus

malaria berdasarkan tiap kelompok umur. Berikut kelompok malaria

berdasarkan kelompok umur.

Tabel 5.10

Distribusi Kelompok Kasus Malaria Menurut Umur

di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Tahun

Kasus Malaria

0-4 tahun 5-9 thn 10-14 thn ≥ 15 thn

Jmlh

Pddk N

Per

1000

pddk

Jmlh

Pddk N

Per

1000

pddk

Jmlh

Pddk N

Per

1000

pddk

Jmlh

Pddk N

Per

1000

pddk

2009 12.588 71 3,33 18.424 158 7,85 19.904 164 7,99 135.140 359 2,44

2010 20.251 32 1,50 20.269 66 3,28 20.864 81 3,95 139.942 271 1,84

2011 20.742 79 3,71 20.314 161 7,99 20.855 232 11,3 144.175 479 3,26

2012 21.311 62 2,91 20.137 84 4,17 20.519 84 4,09 146.926 300 2,04

2013 21.950 24 1,10 20.740 33 1,60 22.682 50 2,20 149.094 232 1,56

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa selama 5 tahun

terakhir distribusi kelompok umur yang paling banyak terinfeksi

malaria adalah kelompok umur 10-14 tahun, 5-9 tahun, 0-4 tahun dan

≥ 15 tahun. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk pada kelompok ≥

15 tahun lebih besar dibanding dengan kelompok lain walaupun

jumlah kasus malaria pada kelompok ini cukup banyak tetapi setelah

distandarisasikan maka dapat diketahui bahwa kelompok kasus

malaria paling banyak adalah kelompok usia 10-14 tahun secara

Sumber 1. Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013

2. BPS Kota Lubuk Linggau 2014

Page 95: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

80

khusus dan kelompok anak pada umumnya selama 5 tahun terakhir.

Oleh karena itu diperlukan upaya penanggulangan malaria kepada

kelompok rentan anak.

Upaya penanggulangan malaria pada kelompok rentan selain

dengan mengetahui insiden kasus malaria, dapat juga menggunakan

kecenderungan kasus malaria berdasarkan kelompok umur. Berikut

kecenderungan kasus malaria berdasarkan kelompok umur pada tahun

2009-2013.

Grafik 5.5

Kecenderungan Kasus Malaria Berdasarkan Umur di

Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa terjadi penurunan

jumlah kasus malaria pada semua kelompok umur. Hanya saja terjadi

peningkatan jumlah kasus malaria ditahun 2011 yang diakibatkan dari

jumlah kasus malaria disemua kelompok umur mengalami kenaikan

0

2

4

6

8

10

12

2009 2010 2011 2012 2013

Pe

r 1

00

0 P

en

du

du

k

Tahun

0-4 tahun

5-9 tahun

10-14 tahun

≥ 15 tahun

Page 96: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

81

jumlah kasus malaria. Tetapi jumlah kasus malaria selama 5 tahun

terakhir mengalami penurunan jumlah kasus yang cukup banyak

kecuali tahun 2011.

5.3. Karakteristik Faktor Agent (Penyebab) Pada Kasus Malaria di Kota

Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Malaria disebabkan oleh Plasmodium yang menginfeksi manusia

sehingga parasit ini menjadi faktor penyebab (Agent) dalam kejadian

malaria. Laporan bulanan malaria mencatat bahwa pemeriksaan

Plasmodium dilakukan dengan menggunakan bantuan mikroskop sehingga

dapat diketahui jenis Plasmodium yang menginfeksi kasus malaria.

A. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Plasmodium di

Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang ada didalam

tubuh kasus malaria. Jenis parasit malaria yang tercatat dalam laporan

bulanan penemuan dan pengobatan malaria adalah P. falcifarum, P.

vivax, P. malariae, P. ovale dan mix. Berikut adalah gambaran

distribusi kasus malaria menurut jenis plasmodium di Kota Lubuk

Linggau tahun 2009-2013

Page 97: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

82

Tabel 5.11.

Distribusi Frekuensi Kasus Malaria Positif Menurut Jenis Plasmodium

Kota Lubuk Linggau 2009-2013

Tahun

Malaria Positif

P.

falciparum %

P.

vivax %

P.

malariae %

P.

ovale % Mix %

2009 26 3,1 806 96,9 0 0 0 0 0 0

2010 6 1,3 444 98,7 0 0 0 0 0 0

2011 6 0,9 629 99,1 0 0 0 0 0 0

2012 27 4,8 539 95,2 0 0 0 0 0 0

2013 53 17,2 255 82,8 0 0 0 0 0 0

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa Plasmodium yang

paling banyak ditemukan pada kasus malaria di Kota Lubuk Linggau

tahun 2009-2013 adalah P. vivax dan P. falciparum. Selama 5 tahun

terakhir, tidak pernah ditemukan P. malariae, P. ovale dan gabungan

Plasmodium yang menginfeksi manusia di Kota Lubuk Linggau.

Penentuan jenis Plasmodium didalam darah kasus berdasarkan hasil

laboratorium secara mikroskopis dan RDT.

Kasus malaria positif di Kota Lubuk Linggau hanya berdasarkan

beberapa puskesmas saja yang melakukan pemeriksaan laboratorium

sehingga tidak semua kasus malaria positif dapat terjaring dalam

pelaporan. Hal ini dikarenakan banyak puskesmas yang belum

memiliki tenaga laboratorium dan belum terlatihnya dalam

mendeteksi kasus malaria

Page 98: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

83

5.4. Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Kasus Malaria di

Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

A. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Curah Hujan di Kota

Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Kasus malaria ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina.

Nyamuk ini dapat berkembang biak pada tempat yang menampung

air. Salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

berkembang biaknya nyamuk Anopheles adalah curah hujan. Berikut

kecenderungan kasus malaria dan curah hujan di Kota Lubuk Linggau

tahun 2009-2013.

Grafik 5.6

Kecenderungan Kasus Malaria dan Curah Hujan

di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Sumber : 1. Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013,

2. BMKG Provinsi Sumatera Selatan 2013

Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa pola curah hujan di

Kota Lubuk Linggau mulai mengalami peningkatan pada bulan juli-

oktober. Kemudian jika dilihat kecenderungan kasus malaria dengan

curah hujan, maka dapat dilihat bahwa tidak terdapat pola khusus

0

50

100

150

200

250

300

0

100

200

300

400

500

600

700

800

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Cu

rah

Hu

jan

Jum

lah

Mal

aria

Klin

is

Curah Hujan Kasus Klinis

Page 99: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

84

antara curah hujan dan kasus malaria. Pada tahun awal dapat diketahui

bahwa kasus malaria mengalami peningkatan ketika curah hujan

mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan mulai timbulnya tempat

perkembangbiakan nyamuk Anopheles sehingga membuat semakin

tingginya kepadatan nyamuk yang berakibat pada aktivitas nyamuk

untuk menginfeksi manusia menjadi tinggi. Oleh karena itu jumlah

kasus malaria menjadi tinggi.

B. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Suhu di Kota Lubuk

Linggau Tahun 2009-2013

Selain curah hujan, faktor lain yang dapat mempengaruhi

perkembangbiakan nyamuk malaria adalah suhu. Berikut

kecenderungan kasus malaria dan suhu maksimum-minimum Kota

Lubuk Linggau tahun 2009-2013.

Grafik 5.5

Kecenderungan Kasus Malaria, Suhu Minimum dan Suhu Maksimum

di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Sumber :1. Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013,

2. BMKG Provinsi Sumatera Selatan 2013

0510152025303540

0

50

100

150

200

250

300

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Suh

u ͦC

Kas

us

Mal

aria

Bulan

Kasus Malaria Suhu Minimum Suhu Maksimum

Page 100: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

85

Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa suhu di Kota Lubuk

Linggau berkisar 220C-32

0C. Suhu ini sangat optimum untuk

perkembangbiakan parasit dalam tubuh nyamuk sehingga terjadi kasus

malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013. Kecenderungan

kasus malaria dengan suhu tidak memiliki pola yang jelas. Hal ini

berarti bahwa belum dapat dipastikan bahwa pada suhu tertentu akan

menyebabkan jumlah kasus malaria.

C. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Kelembaban di Kota

Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Faktor yang mempengaruhi kasus malaria selain curah hujan

dan suhu adalah kelembaban. Berikut kecenderungan kasus malaria

dan kelembaban.

Grafik 5.6

Kecenderungan Kasus Malaria dan Kelembaban

di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Sumber :1. Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013,

2. BMKG Provinsi Sumatera Selatan 2013

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0

50

100

150

200

250

300

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Jan

uar

i

Ap

ril

Juli

Okt

ob

er

Ke

lem

bab

an

Jum

lah

Kas

us

AMI Kelembaban

Page 101: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

86

Kelembaban di Kota Lubuk Linggau selama 5 tahun terakhir

cenderung stabil. Kelembaban yang ada di Kota Lubuk Linggau ini

dapat mempengaruhi endemisitas malaria. Hal ini dikarenakan

kelembaban di Kota Lubuk berada pada suhu optimum untuk nyamuk

lebih aktif untuk menggigit dan berkontribusi untuk

perkembangbiakan nyamuk.

5.5. Epidemiologi Spasial Malaria di Kota Lubuk Linggau

Kasus malaria di Kota Lubuk Linggau berasal dari laporan bulanan

penemuan dan pengobatan malaria di Puskesmas. Laporan bulanan ini akan

dikumpulkan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk diketahui

kejadian kasus malaria. Laporan yang dikumpulkan ini dapat diketahui

daerah yang memiliki kasus malaria yang paling banyak dan

endemisitasnya. Didalam laporan bulanan malaria yang dimiliki puskesmas

dalam mewakili kecamatan telah disusun berdasarkan kelurahan/wilayah

kerja puskesmas. Oleh karena itu akan lebih baik analisis kasus malaria

berdasarkan epidemiologi spasial di Kota Lubuk Linggau.

A. Pemetaan Endemisitas Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun

2009-2013

Kota Lubuk Linggau terdiri dari 8 kecamatan. Tiap kecamatan

melaporkan kejadian malaria yang tercatat oleh petugas kesehatan

melalui laporan puskesmas ke dinas kesehatan. Hal ini berarti bahwa

kasus malaria yang tercatat oleh petugas puskesmas adalah kasus

Page 102: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

87

malaria yang datang berobat ke puskesmas/passive case detection.

Berikut kasus malaria berdasarkan kecamatan tahun 2009-2013

Tabel 5.12

Distribusi Frekuensi Kasus Malaria Berdasarkan Kecamatan

Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

No Kecamatan Kasus

2009 2010 2011 2012 2013

1 Lubuk Linggau Barat 1 112 54 53 61 203

2 Lubuk Linggau Barat 2 1469 1304 1267 886 668

3 Lubuk Linggau Timur 1 407 149 9 2 0

4 Lubuk Linggau Timur 2 283 108 110 116 97

5 Lubuk Linggau Selatan 1 178 195 315 308 272

6 Lubuk Linggau Selatan 2 89 190 304 289 151

7 Lubuk Linggau Utara 1 335 29 29 256 319

8 Lubuk Linggau Utara 2 436 405 327 309 344

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria di

Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 dari tahun 2009-2013 sebesar 407

kasus, 149 kasus, 9 kasus, 28 kasus dan tidak ada kasus sama sekali di

tahun 2013. Kemudian Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 memiliki

jumlah kasus malaria selama 5 tahun terakhir sebanyak 1469 kasus,

1304 kasus, 1613 kasus, 722 kasus dan 715 kasus. Untuk mengetahui

wilayah yang paling besar untuk terinfeksi malaria, cara yang dapat

dilakukan adalah dengan mengetahui insiden kasus malaria tersebut.

Oleh karena itu kasus malaria di kecamatan tersebut distandarisasikan

kedalam indikator AMI. Berikut kasus kejadian malaria dalam AMI

berdasarkan Kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.

Page 103: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

88

Tabel 5.13.

Distribusi Kasus Malaria (AMI) Berdasarkan Kecamatan

di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009

No Kecamatan Jumlah Penduduk Kasus AMI

1 Lubuk Linggau Barat 1 28109 112 4,0

2 Lubuk Linggau Barat 2 19421 1469 75,6

3 Lubuk Linggau Timur 1 29566 407 13,8

4 Lubuk Linggau Timur 2 25327 283 11,2

5 Lubuk Linggau Selatan 1 12544 178 14,2

6 Lubuk Linggau Selatan 2 23276 89 3,8

7 Lubuk Linggau Utara 1 26413 335 12,7

8 Lubuk Linggau Utara 2 14575 436 29,9

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria

terbanyak tahun 2009 adalah Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2

dengan kasus malaria sebanyak 75,6 kasus per 1000 penduduk.

Selanjutnya adalah Kecamatan Lubuk Linggau Utara 2 dengan jumlah

kasus 29,9 kasus per 1000 penduduk dan Kecamatan Lubuk Linggau

Selatan 1 dengan jumlah kasus sebesar 14,2 kasus per 1000 penduduk.

Sebaliknya, kecamatan dengan jumlah kasus malaria paling sedikit

adalah Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 dengan jumlah kasus

sebesar 3,8 kasus per 1000 penduduk. Berikut pemetaan endemisitas

malaria berdasarkan kecamatan di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009.

Page 104: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

89

Gambar 5.1

Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan

di Kota Lubuk Linggau tahun 2009

Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa terdapat 1

kecamatan dengan endemisitas tinggi, 5 kecamatan dengan

endemisitas sedang dan 2 wilayah dengan endemisitas rendah.

Kecamatan dengan endemisitas tinggi adalah kecamatan Lubuk

Linggau Barat 2. Pemetaan endemisitas tahun 2009 ini sebagai peta

awal dalam membandingkan kasus malaria dengan pemetaan

endemisitas malaria tahun berikutnya

Selanjutnya, distribusi kasus malaria berdasarkan kecamatan

dapat diketahui dengan jumlah kasus malaria di tiap-tiap kecamatan.

Berikut ini distribusi kasus malaria tahun 2010.

Page 105: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

90

Tabel 5.14.

Distribusi Kasus Malaria (AMI) Berdasarkan Kecamatan

Kota Lubuk Linggau Tahun 2010

No Kecamatan Jumlah Penduduk Kasus AMI

1 Lubuk Linggau Barat 1 28109 54 1,9

2 Lubuk Linggau Barat 2 19421 1304 67,1

3 Lubuk Linggau Timur 1 29566 149 5,0

4 Lubuk Linggau Timur 2 25327 108 4,3

5 Lubuk Linggau Selatan 1 12544 195 15,5

6 Lubuk Linggau Selatan 2 23276 190 8,2

7 Lubuk Linggau Utara 1 26413 29 1,1

8 Lubuk Linggau Utara 2 14575 405 27,8

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria

terbesar ditahun 2010 adalah Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2

sebesar 67 kasus per 1000 penduduk, selanjutnya Kecamatan Lubuk

Linggau Utara 2 sebesar 27,8 per 1000 penduduk dan Kecamatan

Lubuk Linggau Selatan 1 sebesar 15,5 per 1000 penduduk. Puskesmas

dengan jumlah kasus malaria paling sedikit adalah Kecamatan Lubuk

Linggau Utara 1 dengan jumlah kasus sebesar 1,1 kasus per 1000

penduduk. Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan

kecamatan di Kota Lubuk Linggau Tahun 2010.

Page 106: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

91

Gambar 5.2

Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan

di Kota Lubuk Linggau tahun 2010

Berdasarkan hasil pemetaan diatas, diketahui bahwa terdapat 1

kecamatan dengan endemisitas tinggi, 2 kecamatan dengan

endemisitas sedang dan 5 kecamatan dengan endemisitas rendah.

Adanya penurunan kecamatan yang endemisitas malaria ditahun 2010.

Kecamatan yang mengalami penurunan kasus malaria adalah

Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1, Kecamatan Lubuk Linggau

Timur 2, Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1. Kecamatan Lubuk

Linggau Barat 2 masih stabil menjadi wilayah dengan endemisitas

tinggi sedangkan Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 dan Kecamatan

Lubuk Linggau Selatan 2 stabil menjadi wilayah dengan endemisitas

rendah. Jika dibandingkan dengan pemetaan endemisitas malaria

tahun 2011, akan ada perubahan pemetaan endemisitas malaria.

Page 107: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

92

Selanjutnya kasus malaria ditahun 2011 dijelaskan dalam tabel

dibawah ini.

Tabel 5.15.

Distribusi Kasus Malaria (AMI) Berdasarkan Kecamatan

Kota Lubuk Linggau Tahun 2011

No Kecamatan Jumlah Penduduk Kasus AMI

1 Lubuk Linggau Barat 1 21290 53 2,5

2 Lubuk Linggau Barat 2 30522 1267 44,5

3 Lubuk Linggau Timur 1 30899 9 0,3

4 Lubuk Linggau Timur 2 30645 110 3,6

5 Lubuk Linggau Selatan 1 12239 315 25,7

6 Lubuk Linggau Selatan 2 26414 304 11,4

7 Lubuk Linggau Utara 1 26413 29 1,1

8 Lubuk Linggau Utara 2 32356 327 10,1

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kecamatan dengan

jumlah kasus terbesar di Kota Lubuk Linggau ditahun 2011 adalah

Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 dengan jumlah kasus sebesar 44,5

per 1000 penduduk lalu Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 dengan

jumlah kasus sebanyak 25,7 kasus per 1000 penduduk. Selanjutnya

jumlah kasus paling sedikit adalah Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1

dengan 0,3 kasus per 1000 penduduk. Berikut pemetaan endemisitas

malaria berdasarkan kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2011

Page 108: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

93

Gambar 5.3

Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan

di Kota Lubuk Linggau tahun 2011

Pada dasarnya pemetaan endemisitas malaria tahun 2011 hampir

sama dengan hasil pemetaan endemisitas kasus malaria berdasarkan

kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2010. Hanya saja ada

peningkatan jumlah kasus malaria di Kecamatan Lubuk Linggau

Selatan 2. Oleh karena adanya peningkatan jumlah kasus, maka

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan menjadi daerah dengan

endemisitas sedang malaria.

Berdasarkan laporan bulanan yang dimiliki oleh Dinas

Kesehatan Kota Lubuk Linggau, dapat diketahui juga daerah dengan

jumlah kasus malaria untuk tahun 2012. Berikut distribusi kasus

malaria berdasarkan Puskesmas tahun 2012.

Page 109: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

94

Tabel 5.16.

Distribusi Kasus Malaria (AMI) Berdasarkan Puskesmas

Kota Lubuk Linggau Tahun 2012

No Kecamatan Jumlah Penduduk Kasus AMI

1 Lubuk Linggau Barat 1 21290 61 2,8

2 Lubuk Linggau Barat 2 30522 886 29,0

3 Lubuk Linggau Timur 1 29566 2 0,6

4 Lubuk Linggau Timur 2 25357 116 4,6

5 Lubuk Linggau Selatan 1 12239 308 25,2

6 Lubuk Linggau Selatan 2 26414 289 10,9

7 Lubuk Linggau Utara 1 26413 256 9,7

8 Lubuk Linggau Utara 2 32356 309 9,5

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diakui bahwa jumlah kasus malaria

yang paling besar berdasarkan kecamatan di Kota Lubuk Linggau

adalah Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 dengan jumlah kasus

sebesar 29,0 per 1000 penduduk yang selanjutnya disusul oleh

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 dengan jumlah kasus sebesar

25,2 per 1000 penduduk. Ada perbedaan wilayah terbesar kasus

malaria antara tahun 2009-2012 dimana jumlah kasus malaria

terbanyak berada pada wilayah Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2.

Sedangkan untuk tahun 2012, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1

mengalami jumlah kasus yang cukup signifikan sehingga menjadi

wilayah Kota Lubuk Linggau yang memiliki jumlah kasus malaria

paling besar. Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan

kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2012

Page 110: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

95

Gambar 5.4

Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan

di Kota Lubuk Linggau tahun 2012

Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa tidak didapatkan

kecamatan dengan endemisitas tinggi. Endemisitas kasus malaria di

Kecamatan Lubuk Linggau 2 sudah turun dari wilayah dengan

endemisitas tinggi menjadi wilayah dengan endemisitas sedang.

Pemetaan kasus malaria tahun 2012 hampir sama dengan pemetaan

kasus malaria tahun 2011. Setelah tahun 2012 terjadi perubahan

jumlah kasus yang cukup signifikan di beberapa Puskesmas, berikut

jumlah kasus malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2013.

Page 111: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

96

Tabel 5.17.

Distribusi Kasus Malaria (AMI) Berdasarkan Kecamatan

Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

No Kecamatan Jumlah Penduduk Kasus AMI

1 Lubuk Linggau Barat 1 22361 203 9,1

2 Lubuk Linggau Barat 2 32027 668 20,8

3 Lubuk Linggau Timur 1 33482 0 0

4 Lubuk Linggau Timur 2 33670 97 2,8

5 Lubuk Linggau Selatan 1 14773 272 18,4

6 Lubuk Linggau Selatan 2 28803 151 5,2

7 Lubuk Linggau Utara 1 15811 319 20,2

8 Lubuk Linggau Utara 2 34622 344 9,9

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa jumlah kasus malaria

terbesar tahun 2013 berada pada Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2

dengan jumlah kasus sebesar 20,8 per 1000 penduduk. Selanjutnya

diikuti oleh Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 sebesar 20,2 per

1000 penduduk. Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan

kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2013.

Gambar 5.5

Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan

di Kota Lubuk Linggau tahun 2013

Page 112: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

97

Berdasarkan gambar diatas, pemetaan endemisitas malaria

berdasarkan kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2013 adalah

terdapat 3 kecamatan dengan endemisitas sedang dan 5 wilayah

dengan endemisitas rendah. Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1

cenderung stabil menjadi daerah dengan endemisitas sedang dan

Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 stabil menjadi daerah dengan

endemisitas rendah.

Selanjutnya adanya penurunan tingkat endemisitas wilayah

malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 yang ditahun 2009-

2011 adalah daerah endemis tinggi lalu turun menjadi daerah dengan

endemis sedang di 2012 dan 2013. Selanjutnya Kecamatan Lubuk

Linggau Utara 2, Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 dan 2 yang juga

terjadi penurunan endemisitas wilayah yang berawal dari endemisitas

sedang menjadi endemisitas rendah. Tetapi Kecamatan Lubuk

Linggau Utara 1 dan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 yang

cenderung mengalami perubahan endemisitas wilayah. Oleh karena

itu, dapat disimpulkan bahwa selama tahun 2009-2013 Puskesmas

dengan jumlah kasus malaria terbanyak adalah

Page 113: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

98

Tabel 5.18.

Kecamatan dengan Jumlah Kasus Malaria (AMI) Terbesar

Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Tahun Puskesmas

Peringkat 1 Peringkat 2 Peringkat 3

2009

Kecamatan Lubuk

Linggau Barat 2

(75,6 Per 1000

Penduduk)

Kecamatan Lubuk

Linggau Utara 2

(29,9 Per 1000

Penduduk)

Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan 1

(14,2 Per 1000

Penduduk)

2010

Kecamatan Lubuk

Linggau Barat 2

(67,1 Per 1000

Penduduk)

Kecamatan Lubuk

Linggau Utara 2

(27,8 Per 1000

Penduduk)

Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan 1

(15,5 Per 1000

Penduduk)

2011

Kecamatan Lubuk

Linggau Barat 2

(44,5 Per 1000

Penduduk)

Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan 1

(25,7 Per 1000

Penduduk)

Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan 2

(11,4 Per 1000

Penduduk)

2012

Kecamatan Lubuk

Linggau Barat 2

(29 Per 1000

Penduduk)

Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan 1

(25,2 Per 1000

Penduduk)

Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan 2

(10,9 Per 1000

Penduduk)

2013

Kecamatan Lubuk

Linggau Barat 2

(20,8 Per 1000

Penduduk)

Kecamatan Lubuk

Linggau Utara 1

(20,2 Per 1000

Penduduk)

Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan 1

(18,4 Per 1000

Penduduk)

Kecamatan di Kota Lubuk Linggau memiliki beberapa wilayah

kerja yaitu kelurahan. Kasus yang datang berobat ke puskesmas akan

dicatat pada laporan kasus malaria berdasarkan kelurahan. Sehingga

dapat dipastikan bahwa dimana kasus dengan jumlah kasus malaria

yang paling tinggi di kecamatan tersebut. Berikut jumlah kasus

malaria berdasarkan kelurahan di Kota Lubuk Linggau tahun 2011-

2013.

Kelurahan pertama yang digambarkan pemetaan endemisitas

malaria adalah kelurahan di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1.

Page 114: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

99

Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 memiliki 8 kelurahan yang

menjadi wilayah kerja. 8 Kelurahan ini memiliki kasus malaria yang

hampir tersebar di tiap kelurahan. Berikut jumlah kasus malaria di

Kelurahan Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 tahun 2011-2013.

Tabel 5.19

Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan

Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Kelurahan Jumlah Penduduk

Kasus Malaria

2011 2012 2013

2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI

Bandung Kanan 1539 1539 1672 5 3,0 5 2,9 9 5,4

Sidorejo 4396 4396 4529 7 1,5 7 1,5 60 13,2

LLG Ulu 2116 2116 2249 8 3,5 8 3,5 10 4,4

LLG Ilir 1523 1523 1656 5 3,0 6 3,6 6 3,6

Pemiri 2675 2675 2808 5 1,8 5 1,9 40 14,2

Keputraan 2886 2886 3019 6 2,0 8 2,6 22 7,3

Ulak Lebar 3922 3922 4055 10 2,5 14 3,4 43 10,6

T Lebar 2233 2233 2366 7 2,9 8 3,4 13 5,5

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria di

tahun 2011 dan 2012 tidak terlalu dominan berada di tiap kelurahan

Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1. Sebaliknya terjadi di 2013, Kasus

malaria terbesar berada di Kelurahan Pemiri dengan 14,2 kasus per

1000 penduduk, Kelurahan Sidorejo dengan 13,2 kasus per 1000

Page 115: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

100

penduduk dan Kelurahan Ulak Lebar dengan 10,6 kasus per 1000

penduduk. Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan

kelurahan di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1.

Gambar 5.6

Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Barat 1

Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

2011 2012

2013

Page 116: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

101

Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa terjadi peningkatan

kasus malaria di Kelurahan Sidorejo, Kelurahan Ulak Lebar dan

Kelurahan Pasar Permiri ditahun 2012 dan 2013. Peningkatan kasus

ini berdampak pada peningkatan endemisitas wilayah yang ada di

Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 selama 2011-2013. Kelurahan di

Kecamatan selanjutnya adalah kelurahan di Kecamatan Lubuk

Linggau Barat 2. Berikut distribusi kasus malaria berdasarkan

kelurahan di kecamatan Lubuk Linggau Barat 2.

Tabel 5.20.

Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan

Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Kelurahan Jumlah Penduduk

Kasus Malaria

2011 2012 2013

2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI

Lubuk Durian 1125 1125 1262 78 61,8 16 12,7 29 23,0

Kayuara 2678 2678 2815 70 24,7 91 32,3 80 28,4

Lubuk Tanjung 3405 3405 3542 82 23,2 54 15,2 36 10,2

Tanjung Indah 2694 2694 2831 74 26,1 32 11,3 16 5,7

Tanjung Aman 3393 3393 3530 134 38,0 59 16,7 42 11,9

Lubuk Aman 1778 1778 1915 201 104,7 150 78,3 44 23,0

Pelita Jaya 1884 1884 2021 68 33,6 49 24,2 62 30,7

Bandung Ujung 3383 3383 3520 105 29,8 40 11,4 30 8,5

Sukajadi 3085 3085 3222 264 81,9 216 67,0 208 64,6

Bandung Kiri 3360 3360 3497 91 26,0 30 8,6 25 7,2

Muara Enim 3735 3735 3872 100 25,8 149 38,5 96 24,8

Page 117: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

102

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria paling

banyak ditahun 2011 adalah Kelurahan Lubuk Aman dengan 104,7

per 1000 penduduk, Kelurahan Sukajadi dengan 81,9 kasus per 1000

penduduk dan Kelurahan Lubuk Durian dengan 61,8 kasus per 1000

penduduk. Kemudian untuk tahun 2012, jumlah kasus malaria

terbanyak di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 adalah Kelurahan

Lubuk Aman dengan 78,3 kasus per 1000 penduduk, Kelurahan

Sukajadi dengan 67 kasus per 1000 penduduk dan Kelurahan Muara

Enim dengan 38,5 per 1000 penduduk. Selanjutnya di tahun 2013

jumlah kasus malaria terbanyak berada pada Kelurahan Sukajadi

dengan 64,6 kasus per 1000 Penduduk, Kelurahan Pelita Jaya dengan

30,7 per 1000 penduduk dan Kelurahan Kayu Ara sebesar 28,4 per

1000 penduduk. Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan

kelurahan di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 tahun 2011-2013.

Page 118: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

103

2013

2012

2011

Gambar 5.7

Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Barat 2 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Page 119: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

104

Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa kelurahan dengan

endemisitas tinggi berkurang dari tahun 2011-2013 dan daerah dengan

endemisitas rendah yang bertambah di Kecamatan Lubuk Linggau

Barat 2. Kemudian Kelurahan Sukajadi menjadi wilayah yang

endemisitas tinggi malaria dari tahun 2011-2013.

Selain Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2, Jumlah kasus malaria

juga tercatat di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 tetapi jumlah

kasus yang tercatat tidak sebanyak di Kecamatan Lubuk Linggau

Timur 1. Berikut jumlah kasus malaria di wilayah kerja Kecamatan

Lubuk Linggau Timur 1

Tabel 5.21.

Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan

Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Kelurahan Jumlah Penduduk

Kasus Malaria

2011 2012 2013

2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI

Cereme 6988 6840 7275 0 0 0 0 0 0

Wirakarya 3391 3391 3826 0 0 2 0,5 0 0

Jawa Kiri 2769 2769 3204 0 0 0 0 0 0

Jawa Kanan 1113 1113 1548 0 0 0 0 0 0

Jawa Kanan SS 4923 4923 5358 0 0 0 0 0 0

Mesat Seni 1647 1647 2082 1 0,5 0 0 * *

Mesat Jaya 3996 3996 4431 3 0,7 0 0 * *

Dempo 1898 1898 2333 1 0,4 0 0 * *

Karya Bakti 2990 2990 3425 4 1,2 0 0 * *

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Page 120: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

105

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa jumlah kasus malaria

di kecamatan ini tidak terlalu banyak. Hal ini dapat dilihat dari AMI di

kelurahan Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 tidak terlalu besar.

Kelurahan dengan jumlah kasus terbesar adalah Kelurahan Karya

Bakti. Pada tahun 2013, Kelurahan Mesat Seni, Kelurahan Mesat

Jaya, Kelurahan Dempo dan Kelurahan Karya Bakti menjadi wilayah

kerja Puskesmas Swasti Saba sehingga jumlah kasus malaria tidak

ditahun 2013 tidak diketahui. Hal ini dikarenakan tidak ditemukannya

laporan bulanan untuk Puskesmas Swasti Saba di Program

Penanggulangan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.

Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan kelurahan di

Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1.

Page 121: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

106

Gambar 5.8

Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Timur 1

Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

2011

2012

2013

Page 122: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

107

Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa Kelurahan

Majapahit menjadi wilayah yang memiliki peningkatan jumlah kasus

malaria selama 2 tahun terakhir sehingga berpengaruh pada

endemisitas wilayah kelurahan tersebut menjadi endemisitas sedang.

Setelah kelurahan di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1, berikut

distribusi kasus malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2 tahun

2011-2013.

Tabel 5.22

Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan

Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Kelurahan Jumlah Penduduk

Kasus Malaria

2011 2012 2013

2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI

Taba Koji 2578 1917 2497 6 2,4 0 0,0 0 0

Taba Jemekeh 7800 7139 7719 29 3,8 20 2,6 12 1,6

Batu Urip Taba 3312 2651 3231 26 8,0 11 3,4 12 3,7

Watervang 4572 3911 4491 9 2,0 4 0,9 1 0,2

Majapahit 4305 3644 4224 29 6,9 65 15,4 66 15,6

Air Kuti 3120 2459 3039 1 0,3 1 0,3 3 1,0

Nikan Jaya 3401 2740 3320 4 1,2 8 2,4 1 0,3

Taba Lestari 1555 894 1474 6 4,1 7 4,7 2 1,4

Page 123: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

108

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kelurahan dengan

jumlah kasus malaria terbanyak di tahun 2011 adalah Kelurahan Batu

Urip Taba dengan jumlah kasus sebanyak 8 kasus per 1000 penduduk.

Selanjutnya Kelurahan Majapahit memiliki kasus malaria paling

banyak di tahun 2012 dan 2013 dibanding kelurahan lain di

Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2. Jumlah kasus di Kelurahan

Majapahit di tahun 2012 dan 2013 adalah 15,4 kasus per 1000

penduduk dan 15,6 per 1000 penduduk.

Gambar 5.9

Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Timur 2

Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

2011 2012

2013

Page 124: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

109

Kecamatan berikutnya yang jumlah kasus yang berbeda dengan

Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2 adalah Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan 1. Berikut jumlah kasus di kelurahan Kecamatan

Lubuk Linggau Selatan 1.

Tabel 5.23.

Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Kelurahan Jumlah Penduduk

Kasus Malaria

2011 2012 2013

2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI

Lubuk Kupang 2953 2953 3111 49 15,7 52 16,7 53 17,0

Air Temam 1644 1644 1802 47 26,1 44 24,4 43 23,9

Rahmah 2519 2519 2677 63 23,5 47 17,5 44 16,4

P. Rahmah 895 895 1053 65 61,7 38 36,1 24 22,8

Jukung 1748 1748 1906 31 16,3 27 14,2 27 14,2

Air Kati 1539 1539 1697 34 20,0 47 27,7 39 23,0

Lubuk Binjai 947 947 1105 26 23,5 53 48,0 42 38,0

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa Kelurahan P. Rahmah

adalah Kelurahan yang memiliki jumlah kasus malaria terbesar di

tahun 2011 dengan 61,7 per 1000 penduduk. Tetapi pada tahun 2012

dan 2013, Kelurahan Lubuk Binjai menjadi kelurahan yang memiliki

kasus malaria paling besar di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1

yaitu 48 kasus per 1000 penduduk dan 38 kasus per 1000 penduduk.

Page 125: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

110

Gambar 5.10

Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Selatan 1

Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan 1 adalah daerah dengan endemisitas sedang. Hal ini

dapat dilihat dari seluruh kelurahan adalah daerah dengan endemisitas

sedang dari tahun 2011-2013. Selanjutnya kecamatan yang memiliki

kasus malaria adalah Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2. Berikut

kasus malaria di kelurahan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2.

2011

2012

2013

Page 126: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

111

Tabel 5.24.

Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Kelurahan Jumlah Penduduk

Kasus Malaria

2011 2012 2013

2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI

Taba Pingin 3280 3280 3283 27 8,2 21 6,4 14 4,3

Moneng Sepati 1249 1249 1252 4 3,2 2 1,6 6 4,8

Marga Mulya 4080 4080 4083 64 15,7 24 5,9 20 4,9

Marga Rahayu 4905 4905 4908 36 7,3 42 8,6 19 3,9

Tanah Periuk 3949 3949 3952 39 9,9 27 6,8 11 2,8

Simpang Periuk 2583 2583 2586 74 28,6 91 35,2 45 17,4

Siring Agung 2535 2535 2538 23 9,1 35 13,8 13 5,1

Eka Marga 2262 2262 2265 14 6,2 21 9,3 9 4,0

Karang Ketuan 1571 1571 1574 23 14,6 26 16,5 14 8,9

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa Kelurahan Simpang

Periuk adalah kelurahan yang memiliki jumlah kasus paling banyak di

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 tahun 2011-2013. Jumlah kasus

malaria ditahun 2011-2013 adalah 28,6 kasus per 1000 penduduk,

35,2 kasus per 1000 penduduk dan 17,4 kasus per 1000 penduduk.

Page 127: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

112

Gambar 5.11

Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Selatan 2

Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Pada gambar diatas, diketahui bahwa Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan 2 adalah kecamatan yang memiliki kelurahan

endemisitas rendah kecuali Kelurahan Simpang Periuk yang

cenderung menjadi wilayah dengan endemisitas sedang selama 2011-

2013. Kecamatan selanjutnya yang akan dilihat jumlah kasusnya

adalah Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1. Berikut ini adalah jumlah

kasus malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1.

2011 2012 2013

Page 128: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

113

Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 memiliki 1 wilayah kerja

yang tercatat dalam laporan bulanan penemuan dan pengobatan kasus

malaria. Berikut distribusi kasus malaria di wilayah kerja Kecamatan

Lubuk Linggau Utara 1.

Tabel 5.25.

Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Wilayah Kerja

Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Kelurahan Jumlah Penduduk

Kasus Malaria

2011 2012 2013

2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI

Petanang 26413 26413 26413 29 1,1 256 9,7 319 12,1

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria di

kelurahan Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 tahun 2011-2013 adalah

1,1 per 1000 penduduk, 9,7 kasus per 1000 penduduk dan 12,1 kasus

per 1000 penduduk. Berikut adalah jumlah kasus malaria terbanyak

berdasarkan kelurahan di Kota Lubuk Linggau tahun 2011-2013.

Gambar 5.12

Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Utara 1

Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Kelurahan di kecamatan terakhir yang digambarkan pemetaan

endemisitas malaria adalah kelurahan di Kecamatan Lubuk Linggau Utara

2. Berikut distribusi kasus malaria berdasarkan kelurahan di Kecamatan

Lubuk Linggau Utara 2 tahun 2011-2013. 2011 2012 2013

Page 129: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

114

Tabel 5.26.

Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan

Kecamatan Lubuk Linggau Utara 2 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Kelurahan Jumlah Penduduk

Kasus Malaria

2011 2012 2013

2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI

Kali Serayu 1287 1287 1704 25 14,7 23 13,5 32 18,7

Joyoboyo 3568 3568 3985 8 2,0 22 5,5 32 8,0

Megang 2919 2919 3336 3 1,0 26 7,8 26 7,8

Kemuning 3983 3983 4400 57 12,9 54 12,3 32 7,3

Ponorogo 2700 2700 3117 100 32,1 37 11,9 42 13,5

Pasar Satelit 3378 3378 3795 68 17,9 26 6,8 18 4,7

Ulak Surung 4678 4678 5095 6 1,2 25 4,9 22 4,3

Senalang 3372 3372 3789 7 1,8 25 6,6 51 13,5

Batu Urip 2106 2106 2523 48 19,0 50 19,8 53 21,0

Kenanga 4368 4368 4785 5 1,0 21 4,4 36 7,5

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa Kelurahan Ponorogo

adalah kelurahan dengan jumlah kasus terbanyak di Kecamatan Lubuk

Linggau Barat 1 tahun 2011 dengan jumlah kasus sebesar 32,1 kasus

per 1000 penduduk. Selanjutnya ditahun 2012 dan 2013 diketahui

Kelurahan Batu Urip menjadi kelurahan dengan jumlah kasus yang

paling banyak di wilayah kerja Kecamatan Lubuk Linggau Utara 2

dengan jumlah kasus sebanyak 19,8 kasus per 1000 penduduk dan 21

kasus per 1000 penduduk.

Page 130: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

115

Gambar 5.13

Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Utara 2

Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa Kecamatan Lubuk

Linggau Utara 2 memiliki variasi dalam tingkat endemisitas malaria

tahun 2011-2013. Kelurahan Batu Urip, Kelurahan Ponorogo, dan

Kelurahan Kali Serayu adalah kelurahan yang cenderung stabil

menjadi daerah dengan endemisitas sedang. Sedangkan Kelurahan

2011 2012

2013

Page 131: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

116

Senalang mengalami peningkatan endemisitas malaria menjadi sedang

ditahun 2013. Berikut daftar kelurahan jumlah kasus malaria terbesar

di Kota Lubuk Linggau tahun 2011-2013.

Tabel 5.27

Kelurahan dengan Jumlah Kasus Malaria (AMI) Terbesar

di Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013

Tahun Kelurahan

Peringkat 1 Peringkat 2 Peringkat 3

2011

Lubuk Aman

(104,7 Per 1000

Penduduk)

Sukajadi

(81,9 Per 1000

Penduduk)

Lubuk Durian

(61,8 Per 1000

Penduduk)

2012

Lubuk Aman

(78,3 Per 1000

Penduduk)

Sukajadi

(67 Per 1000

Penduduk)

Lubuk Binjai

(48 Per 1000

Penduduk)

2013

Sukajadi

(64,6 Per 1000

Penduduk)

Lubuk Binjai

(38 Per 1000

Penduduk)

Pelita Jaya

(30,7 Per 1000

Penduduk)

Page 132: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

117

2

3

4 5

7

8

6

1

2

3

4

5

B. Pemetaan Ketinggian di Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Ketinggian di Kota Lubuk Linggau sangat bervariasi. Hal ini

dapat dilihat dari rentang ketinggian minimum dan maksimum di Kota

Lubuk Linggau adalah 50 mdpl-650 mdpl (gambar 5.14). Pada

gambar tersebut dapat diketahui bahwa ada beberapa daerah yang

memiliki wilayah berbukit dengan ketinggian wilayah yang paling

banyak adalah 50-170 mdpl. Ketinggian ini akan mempengaruhi jenis

perkembangbiakan nyamuk di Kota Lubuk Linggau.

Gambar 5.14

Ketinggian Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Sumber : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Lubuk Linggau, 2014

Page 133: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

118

C. Pemetaan Wilayah Potensi Perindukan Nyamuk Anopheles di

Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Permasalahan malaria tidak hanya dimulai dari adanya

penularan kasus malaria melalui gigitan nyamuk Anopheles saja tetapi

juga muncul permasalahan dari tempat perkembangbiakan nyamuk

Anopheles. Tempat perkembangbiakan nyamuk malaria berada pada

daerah dengan memiliki genangan air yang keruh. Kota Lubuk

Linggau terdiri dari wilayah yang memiliki variasi dalam tata guna

lahan. Tata guna lahan ini terdiri dari hutan, kebun, ladang,

permukiman, sawah, semak belukar, perkebunan, bandara dan kolam

ikan. Berdasarkan tata guna lahan tersebut ada beberapa wilayah yang

menjadi daerah yang dapat berkembangbiakan nyamuk Anopheles.

Berikut gambaran pemetaan tata guna lahan di Kota Lubuk Linggau

tahun 2013.

Page 134: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

119

Gambar 5.15

Pemetaan Potensi Perindukan Nyamuk Anopheles

di Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Sumber : Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Lubuk Linggau 2013

Gambar 5.5

Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan

di Kota Lubuk Linggau tahun 2013

Page 135: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

120

Berdasarkan hasil pemetaan diatas, diketahui bahwa Kota Lubuk

Linggau didominasi dengan daerah perkebunan. Pada dasarnya daerah

pemukiman di Kota Lubuk Linggau dikelilingi oleh ladang, semak

belukar, kebun, hutan dan sawah yang menjadi daerah yang dapat

berkembangbiaknya nyamuk Anopheles. Ketika dibandingkan dengan

pemetaan endemisitas malaria, Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2,

Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 dan Kecamatan Lubuk Linggau

Selatan 1 cenderung memiliki banyak hutan, ladang, sawah dan semak

belukar.

Page 136: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

121

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang dapat

mempengaruhi hasil penelitian, diantaranya adalah

1. Penelitian ini berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan kasus

malaria di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau. Pencatatan kasus

malaria belum dapat menggambarkan karakteristik kasus malaria lebih

luas dan dimungkinkan terjadi kesalahan penelitian yang tidak dapat

dikendalikan oleh peneliti (random error) seperti kasus malaria

ditegakkan berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan kemudian hal ini

dapat menimbulkan terjadinya differential diagnosis kasus malaria

sehingga membuat terjadi kesalahan dalam menetapkan diagnosis

malaria. Selanjutnya kesalahan yang muncul adalah adanya kasus

malaria yang tidak terdeteksi di fasilitas pelayanan kesehatan milik

pemerintah.

2. Data kasus malaria berdasarkan kelurahan hanya tersedia dari tahun

2011-2013 sehingga untuk pemetaan endemisitas wilayah, trend kasus

hanya bisa dilakukan selama 3 tahun terakhir.

3. Penentuan besar masalah malaria di Kota Lubuk Linggau berdasarkan

indikator AMI. Hal ini disebabkan karena kurangnya tenaga analis

laboratorium di Puskesmas, ketidaklengkapan peralatan laboratorium

Page 137: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

122

dan kurangnya kemampuan tenaga analis dalam memeriksa

mikroskopis malaria

4. Tidak didapatkannya kasus malaria berdasarkan kelurahan di

Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 sehingga tidak bisa dilakukan

pemetaan daerah dengan tingkat endemisitas di kecamatan tersebut.

Sehingga peneliti hanya dapat melakukan pemetaan endemisitas

berdasarkan Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1.

6.2. Kejadian Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

A. Frekuensi Kasus Malaria Berdasarkan Indikator AMI dan API

Di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013

Kasus malaria klinis di Kota Lubuk Linggau pada tahun 2009-

2013 adalah sebesar 3329 kasus ditahun 2009, 2423 kasus ditahun

2010, 2768 kasus pada tahun 2011, 2103 kasus ditahun 2012 dan pada

tahun 2013 sebanyak 2090 kasus malaria. Penetapan kasus malaria

klinis di Kota Lubuk Linggau berasal dari diagnosa petugas

puskesmas yang menemukan penderita malaria berdasarkan gejala

klinis. Besar masalah kasus malaria klinis dapat diketahui dengan

menggunakan indikator Annual Malaria Incidence (AMI) (Kemenkes,

2007).

Indikator AMI dapat digunakan pada wilayah yang melakukan

pengumpulan data kasus malaria klinis. Kota Lubuk Linggau memiliki

nilai AMI pada tahun 2009-2013 adalah sebesar 17,89 kasus per 1000

penduduk pada tahun 2009, 12,10 kasus per 1000 penduduk ditahun

2010, pada tahun 2011 sebesar 13,43 kasus per 1000 penduduk,

Page 138: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

123

10,07kasus per 1000 penduduk ditahun 2012 dan pada tahun 2013

sebesar 9,75 per 1000 penduduk. Indikator AMI di Kota Lubuk

Linggau dapat menggambarkan besar masalah malaria dan

endemisitas malaria di Kota Lubuk Linggau.

Indikator AMI adalah kasus malaria klinis selama satu tahun di

suatu wilayah per 1.000 penduduk. Indikator ini digunakan untuk

mengetahui tingkat endemisitas dan besar masalah malaria disuatu

wilayah. Suatu wilayah dapat dikatakan endemis malaria rendah jika

diketahui nilai AMI < 10 kasus per 1000 penduduk, endemisitas

sedang jika AMI sebesar 10-50 kasus per 1000 penduduk dan wilayah

dengan endemis tinggi jika AMI > 50 kasus per 1000 penduduk

(Kemenkes, 2007). Berdasarkan kategori ini, maka dapat dipastikan

bahwa Kota Lubuk Linggau adalah wilayah dengan tingkat

endemisitas sedang berdasarkan indikator AMI pada tahun 2009-2013.

Kota Lubuk Linggau melakukan pengumpulan data kasus

malaria positif di Puskesmas dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota

Lubuk Linggau sehingga dapat dilihat besar masalah malaria

berdasarkan indikator API (Annual Parasite Incidence). Kota Lubuk

Linggau pada tahun 2009-2013 berdasarkan indikator API adalah

sebesar 4,53 kasus per 1000 penduduk pada tahun 2009, 2,24 kasus

per 1000 penduduk pada tahun 2010, pada tahun 2011 sebesar 4,61

kasus per 1000 penduduk, pada tahun 2012 sebesar 2,73 kasus per

1000 penduduk dan pada tahun 2013 sebesar 1,58 kasus per 1000

Page 139: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

124

penduduk. Berdasarkan nilai API ini dapat diketahui besar masalah

malaria dan endemisitas malaria di Kota Lubuk Linggau berdasarkan

indikator API.

Endemisitas wilayah berdasarkan indikator API dapat diketahui

jika nilai API < 1 kasus per 1000 penduduk maka wilayah tersebut

dapat dikategorikan endemis rendah, API 1-5 kasus per 1000

penduduk dikategorikan sebagai endemis sedang dan endemis tinggi

jika API > 5 kasus per 1000 penduduk (Kemenkes, 2007).

Berdasarkan indikator tersebut, maka dapat dipastikan bahwa Kota

Lubuk Linggau adalah wilayah dengan endemis sedang. Selain itu,

indikator API dapat digunakan sebagai penentuan besar masalah

malaria di Kota Lubuk Linggau.

Berdasarkan Riskesdas 2013 menjelaskan bahwa insiden kasus

malaria sebesar 1% (Kemenkes, 2014). Dinas Kesehatan Provinsi

Sumatera Selatan tahun 2013 mencatat bahwa kejadian malaria positif

sebesar 0,46 per 1000 penduduk (Dinkes Provinsi Sumatera Selatan,

2014). Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki

kasus malaria terbanyak adalah Kabupaten Lahat (2,92 per 1000

penduduk), Kabupaten OKU (2,68 per 1000 penduduk) dan Kota

Lubuk Linggau (1,67 per 1000 penduduk). Berdasarkan hal tersebut

dapat diketahui bahwa malaria di Kota Lubuk Linggau masih menjadi

masalah kesehatan.

Page 140: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

125

Malaria yang masih menjadi masalah kesehatan membuat

perlunya upaya untuk menurunkan kasus malaria di Kota Lubuk

Linggau. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan tahun

2013 menjelaskan bahwa Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi

Sumatera Selatan belum bisa menggunakan indikator API dalam

menentukan besar masalah dan endemisitas malaria. Hal ini

dikarenakan laboratorium yang ada di Puskesmas belum maksimal

digunakan. Malaria klinis yang diperiksa menggunakan laboratorium

antara 16-34% sehingga malaria positif yang teridentifikasi.

Penentuan besar masalah malaria dengan menggunakan

indikator API dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat

dibanding dengan menggunakan indikator AMI. Hal ini dapat dilihat

dari penegakkan kasus malaria berdasarkan hasil identifikasi gejala

klinis malaria masih menimbulkan banyak permasalahan. Gejala klinis

malaria memiliki kesamaan dengan gejala klinis penyakit lain

sehingga diagnosis pembanding (differential diagnosis) menjadi lebih

besar mengalami kesalahan dalam mendiagnosis malaria. Gejala klinis

penyakit malaria hampir sama dengan gejala klinis penyakit demam

kuning fase awal, demam Lassa dan demam tifoid (Chin, 2012).

Gejala klinis malaria yang banyak membuat perlu peningkatan

diagnosis malaria. Menurut Bres (1986) dalam Bustan (2002)

membagi klasifikasi kasus menjadi suspect (kasus yang diduga),

probable (kasus yang dimungkinkan) dan confirm (kasus yang sudah

Page 141: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

126

pasti). Peningkatan kasus ini berdasarkan hasil pemeriksaan yang

mendekati kebenaran/pasti. Pada kasus malaria probable adalah kasus

malaria yang terkonfirmasi laboratorium sederhana seperti mikroskop

dan alat diagnostik cepat (Kemenkes, 2009). Pengukuran kasus

malaria yang terkonfirmasi laboratorium disebut dengan malaria

positif dan kejadian malaria positif disuatu daerah dalam rentang

waktu yang ditentukan adalah annual parasite incidence (API).

Indikator API menjadi cukup penting dalam menggambarkan

besar masalah malaria disuatu wilayah (Kemenkes, 2009). Hal ini

dikarenakan indikator API lebih baik dari indikator AMI akibat dari

indikator API menggambarkan kasus malaria secara lebih akurat.

Keakuratan tersebut disebabkan oleh penegakkan kasus malaria

berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium bukan hanya berdasarkan

hasil anamnesis/diagnosis gejala klinis oleh tenaga kesehatan.

Pentingnya peran laboratorium dalam mengidentifikasi malaria positif

sehingga dapat menggambarkan besar masalah dan endemisitas

malaria dengan tepat sehingga program pengendalian malaria dapat

tepat sasaran.

B. Kecenderungan Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun

2009-2013

Kecenderungan kasus malaria terjadi pada jeda waktu antara

peralihan hujan ke kemarau. Hal ini dikarenakan terjadinya tempat

perindukan nyamuk Anopheles yang baru dan kepadatan nyamuk

Page 142: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

127

yang tinggi (Arsin, 2012). Kepadatan dan tempat perindukan nyamuk

ini berpengaruh pada kecenderungan meningkatnya kasus malaria.

Kecenderungan kasus malaria dapat diketahui dengan adanya

pola malaria tiap bulan. Kecenderungan kasus malaria pada tahun

2009-2013 di Kota Lubuk Linggau meningkat pada bulan februari-

april dan juli-september walaupun kecenderungan kasus ini tidak

stabilselama 5 tahun terakhir. Kecenderungan peningkatan kasus ini

dipengaruhi oleh faktor musim hujan dan kemarau. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Arsin (2004).

Arsin (2004) menemukan bahwa kepadatan nyamuk menjadi

tinggi pada bulan Maret dan Desember (musim hujan) dan kurang

pada bulan Juni dan September (musim kering). Pengaruh waktu pada

kasus malaria dipengaruhi oleh curah hujan yang pada penelitian ini

mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian malaria (p =

0,04 < 0,05).

Hal yang sama juga dalam hasil penelitian yang dilakukan

Himeidan (2007) dalam Arsin (2012) di New Harfa Eastern Sudan.

Penelitian ini tentang variabel iklim dan penyebaran parasit malaria

falciparum yang dilakukan pengamatan selama 17 tahun (1986-2002).

Kesimpulan pada penelitian ini adalah kejadian malaria lebih tinggi

pada musim gugur (Juli-September), musim dingin (Februari-April),

dan pola curah hujan mempunyai hubungan yang bermakna dengan

kejadian malaria di daerah tersebut.

Page 143: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

128

Penelitian yang dilakukan Odago (2005) di Uganda tentang

infeksi malaria dengan pola curah hujan. Penelitian ini menyimpulkan

bahwa ada hubungan antara kapadatan parasit malaria dalam darah

dengan pola curah hujan, dimana parasit malaria ditemukan paling

banyak pada musim hujan (bulan Februari dan puncaknya pada bulan

Mei) karena pada bulan tersebut terdapat banyak tempat perindukan

nyamuk, dan menurun pada bulan Juni–Agustus (musim panas) dan

terjadi peningkatan lagi pada bulan September sampai dengan Januari

dan pada saat permulaan musim hujan.

Kemudian pada penelitian yang sama juga dijelaskan bahwa

daerah yang musim tanamnya tidak serempak dan sepanjang tahun

ditemukan tanaman padi pada berbagai umur, maka nyamuk

Anopheles ditemukan sepanjang tahun dengan dua puncak kepadatan

yang terjadi sekitar bulan Pebruari-April dan sekitar bulan Juli-

Agustus (Odago, 2005). Syarifuddin (2008) dalam Arsin (2012)

melakukan pengamatan terhadap pola musim penularan malaria di

Sumba Timur Provinsi NTT menyimpulkan bahwa parasit malaria

(semua spesies) lebih banyak ditemukan pada musim hujan (maret)

dari pada saat musim kemarau (agustus).

Kecenderungan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau

berdasarkan indikator AMI dan API dari tahun 2009-2013 cenderung

menurun. Hal ini dapat dilihat dari AMI Kota Lubuk Linggau pada

tahun 2009 sebesar 17,89 per 1000 penduduk turun menjadi 9,75 per

Page 144: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

129

1000 penduduk ditahun 2013. Penurunan AMI ini diikuti dengan

penurunan API dari tahun 2009 sebesar 4,53 per 1000 penduduk

menjadi 1,75 per 1000 penduduk. Kasus malaria yang cenderung

menurun ini, polanya sama dengan kasus malaria di Provinsi Sumatera

Selatan.

Kasus malaria berdasarkan indikator API di Provinsi Sumatera

Selatan tahun 2009 sebesar 0,91 kasus per 1000 penduduk dan turun

menjadi 0,46 per 1000 penduduk di tahun 2013. Selain itu,

kecenderungan penurunan kasus malaria juga terjadi di Indonesia

secara nasional. Pada tahun 2007, insiden kasus malaria di Indonesia

sebesar 2,9 % dan cenderung turun pada tahun 2013 menjadi 1,9%.

Kecenderungan terjadinya malaria setiap tahunnya cenderung

meningkat pada bulan februari-april begitu pula pada juli-september,

tetapi kecenderungan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau pada

bulan-bulan tersebut memiliki pola yang tidak khas/tidak stabil selalu

terjadi. Pola malaria yang khas/stabil banyak terjadi pada bulan

Februari-April dan Juli-Agustus karena pada bulan tersebut

berhubungan dengan intensitas curah hujan yang berpotensi pada

tingginya kepadatan nyamuk Anopheles spp. Sehingga perlu

ditingkatkan sistem kewaspadaan dini malaria yang sudah ada di

Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.

Sistem kewaspadaan dini malaria dikembangkan berdasarkan

hasil kajian epidemiologi. Salah satu sumber data dan informasi yang

Page 145: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

130

digunakan untuk kajian epidemiologi adalah laporan data penemuan

penderita malaria di Puskesmas dan Rumah Sakit serta fasilitas

pelayanan kesehatan lainnya selama 5 tahun terakhir (Imari, 2012).

Oleh karena itu perlu upaya peningkatan sistem kewaspadaan dini

malaria berupa pengamatan dan survei vektor, laporan hasil penemuan

penderita malaria melalui penemuan penderita secara aktif, penemuan

penderita demam massal dan pemeriksaan darah massal, cakupan

program malaria dan pembangunan daerah yang berhubungan dengan

ancaraman penularan malaria, migrasi penduduk antar wilayah serta

laporan hasil penyelidikan dan penanggulangan KLB malaria selama 5

tahun. Berdasarkan hasil dari sember data kasus malaria tersebut dapat

untuk menunjang pengkajian epidemiologi di sistem informasi

kesehatan dan surveilans malaria

6.3. Karakteristik Faktor Host (Populasi) Pada Kasus Malaria Di Kota

Lubuk Linggau Tahun 2009-2013.

A. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin di Kota

Lubuk Linggau tahun 2009-2013.

Rasio kasus malaria yang berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan pada tahun 2009-2013 secara berurutan adalah 1,08, 1,05,

0,99, 0,77, dan 0,89. Oleh karena itu kasus malaria berdasarkan jenis

kelamin ini menyerang semua kelompok jenis kelamin. Hal ini

dikarenakan perbandingan kasus malaria pada laki-laki dan

perempuan sebesar 1:1. Hal ini senada dengan beberapa hasil

penelitian sebelumnya.

Page 146: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

131

Penelitian yang dilakukan oleh Ritawati (2012) mencatat bahwa

proporsi kasus malaria pada laki-laki sebesar 51% sedangkan untuk

perempuan sebanyak 49%. Hal yang sama juga diketahui pada

Riskesdas 2013. Riskesdas 2013 melaporkan bahwa diketahui

proporsi kasus malaria positif berdasarkan jenis kelamin cenderung

sama. Hal ini dikarenakan proporsi kasus malaria pada laki-laki

sebesar 1,6% sedangkan pada perempuan sebesar 1,1%. Hal yang

berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Nurlette tahun 2011.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Nurlette (2011)

menjelaskan bahwa sebanyak 84,4% penderita malaria adalah laki-laki

sedangkan perempuan sebesar 23,8%. Rentang selisih proporsi kasus

malaria berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini cukup besar

dikarenakan 71,4% responden yang diteliti pada penelitian ini adalah

perempuan dan karakteristik pekerjaan responden paling banyak

adalah ibu rumah tangga (33,9%). Oleh karena itu proporsi malaria

pada kelompok laki-laki jauh lebih besar dibandingkan dengan

proporsi malaria pada perempuan.

Pada dasarnya infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin.

Hal ini dikarenakan nyamuk Anopheles betina tidak membedakan

manusia yang akan digigitnya. Sehingga laki-laki dan perempuan

memiliki peluang yang sama untuk terinfeksi malaria tapi jika

berkaitan dengan patogenitas dan virulensi malaria berdasarkan jenis

kelamin, maka perempuan berisiko lebih berat patogenitas dan

Page 147: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

132

virulensi terinfeksi malaria dibanding laki-laki (Harmendo, 2008 dan

Chin, 2012).

Perempuan lebih berisiko untuk lebih berat patogenitas dan

virulensi malaria karena perempuan memiliki fase kehamilan. Pada

ibu hamil, gejala malaria dapat menjadi berat seperti anemia berat

badan lahir rendah, abortus, partus prematur dan kematian janin

intrauterin (Chahaya, 2003 dan Putri, 2012). Hal ini tergantung dari

kekebalan terhadap parasit malaria dan paritas (jumlah kelahiran).

Penelitian yang dilakukan oleh Rogerson (2003) diketahui bahwa

lebih dari 50 miliar ibu hamil berisiko terinfeksi malaria setiap tahun

karena pada wanita hamil terjadi penurunan respon imun sehingga

dapat menularkan malaria secara kongenital ke bayinya.

Infeksi malaria pada ibu hamil dapat merusak plasenta karena

terjadi penipisan membran dasar trofoblas. Sinusoid plasenta tertutup

oleh penggumpalan eritrosit yang mengandung pasasit dan bersamaan

dengan ini akan terjadi penumpukan makrofag intervillus dan deposit

fibrin perivillus yang diduga sebagai penyebab obstruksi

mikrosirkulasi dan penurunan aliran nutrisi terhadap janin sehingga

terjadi hipoksia. Kemudian kerusakan selanjutnya adalah terjadi

kerusakan pertumbuhan dan vaskularisasi, menurunnya uptake nutrisi

sehingga mengakibatkan retardasi pertumbuhan interurin dan

menyebabkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) (Rogerson, 2003

dan Chahaya, 2003).

Page 148: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

133

Kasus malaria di Kota Lubuk Linggau berdasarkan jenis

kelamin dapat menyerang laki-laki dan perempuan sehingga dapat

dipastikan bahwa jumlah kasus malaria tersebar berdasarkan jenis

kelamin. Tetapi patogenitas dan virulensi malaria pada perempuan

menjadi cukup besar. Patogenitas dan virulensi malaria pada

perempuan dipengaruhi oleh tingkat kekebalan terhadap infeksi

parasit malaria dan paritas. Ibu hamil yang tinggal pada daerah

endemis dan tidak memiliki kekebalan terhadap malaria akan

menimbulkan malaria klinis berat sampai kematian. Salah satu gejala

klinis malaria yang timbul pada ibu hamil adalah anemia.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Gregor (1984) dalam

Chahaya (2003) menjelaskan bahwa penurunan kadar Hb dalam darah

berhubungan dengan parasitemia disebabkan oleh lisis sel darah

merah yang mengandung parasit. Oleh karena itu malaria pada

perempuan dapat menyebabkan kematian pada ibu akibat dari anemia

yang hebat dan menyebabkan bayi mejadi berat badan lahir rendah

dan kematian pada bayi. Selain itu parasit yang ada pada ibu hamil

dapat merusak plasenta sehingga parasit dapat masuk kedalam

sirkulasi darah janin.

Pada penelitian yang dilakukan Bray (1983) dalam Chahaya

(2003) menjelaskan bahwa terjadinya penularan malaria dari ibu ke

anak ini diakibatkan dari adanya kerusakan mekanik dan patologi oleh

parasit, fragsilitas dan permeabilitas plasenta yang meningkat akibat

Page 149: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

134

demam akut dan akibat infeksi kronis. Berdasarkan hal tersebut

terjadinya penularan malaria secara kongenital kepada bayi yang

dikandungnya.

B. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Umur di Kota Lubuk

Linggau tahun 2009-2013.

Malaria di Kota Lubuk Linggau terjadi pada semua kelompok

umur. Hal ini dapat dilihat dari insiden kasus malaria di semua umur

selama 2009-2013. Kelompok malaria yang paling banyak jumlah

kasusnya pada tahun 2013 adalah kelompok umur pada anak yaitu 10-

14 tahun (2,4 per 1000 penduduk) dan 5-9 tahun (1,6 per 1000

penduduk). Penderita malaria di Sumatera Selatan tahun 2013

diketahui sebanyak 78 kasus untuk umur 0-11 bulan dan 433 kasus

pada umur 1-4 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi

penularan setempat kasus malaria di Sumatera Selatan (Dinkes

Provinsi Sumatera Selatan, 2014).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Rubianti (2009)

menjelaskan bahwa kelompok umur yang paling banyak menderita

malaria adalah umur 15-24 tahun sebanyak 36,1%. Kemudian menurut

Sunarsih (2009) diketahui bahwa kasus malaria banyak diderita oleh

responden yang berumur 21-25 tahun (17,6%) dan 36-40 tahun

(14,7%). Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian yang

dilakukan oleh Notobroto (2009) menjelaskan bahwa terdapat kasus

Page 150: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

135

malaria menurut kelompok umur didapatkan 48,6% yang berusia

kurang dari 40 tahun dan 51,4% berusia lebih dari 40 tahun.

Riskesdas 2013 menjelaskan bahwa kelompok umur 25-54

tahun memiliki insiden malaria sebesar 2,1%. Sedangkan untuk

kelompok umur 5-14 tahun diketahui bahwa terdapat 1,9% menderita

malaria dan balita yang menderita malaria sebesar 1,45%.

Berdasarkan hal diatas, diketahui bahwa malaria menyerang pada

semua kelompok umur.

Pada dasarnya kasus malaria menyerang semua kelompok umur.

Hal yang membedakan adalah sistem kekebalan tubuh kasus terhadap

malaria. Kekebalan yang diperoleh bayi dari ibunya memberikan

perlindungan terhadap kejadian malaria. Pada orang dewasa yang

mempengaruhi kejadian malaria adalah aktivitas kegiatan diluar

rumah yang memiliki tempat perindukan nyamuk pada waktu gelap

sehingga memungkinkan untuk kontak dengan nyamuk (Harijanto,

2009).

Kasus malaria yang ditemukan pada bayi dapat mengindikasikan

adanya penularan setempat (kasus indigenous) di wilayah tersebut

(Kemenkes, 2007). Hal ini dikarenakan terjadinya penularan kasus

didalam rumah dimana bayi tidak terlindungi oleh kelambu

berinsektisida. Pendistribusian kelambu berinsektisida di Kota Lubuk

Linggau tahun 2013 tidak tersebar pada seluruh wilayah yang endemis

sedang. Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 mendapatkan kelambu

Page 151: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

136

berinsektisida sebanyak 68 buah tetapi Kecamatan Lubuk Linggau

Utara 1 dan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 tidak mendapatkan

kelambu berinsektisida dari Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau

padahal ketiga kecamatan tersebut dikategorikan sebagai daerah

dengan tingkat endemis sedang. Oleh karena itu terjadi penularan

kasus malaria didalam rumah.

Penularan kasus didalam rumah disebabkan oleh Anopheles

balanbacensis yang memiliki tempat perkembangbiakan dan

peristirahatan di kandang ternak seperti sapi dan kerbau. Berdasarkan

hasil survei pertanian tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Pusat

Statistik Kota Lubuk Linggau diketahui bahwa Kecamatan

Lubuklinggau Utara I (521 ekor), Kecamatan Lubuklinggau Barat II

(21 ekor), dan Kecamatan Lubuklinggau Selatan I (172 ekor).

Kelompok umur malaria di Kota Lubuk Linggau menyerang

semua kelompok umur tetapi banyak pada kelompok anak-anak yang

terserang malaria. Pada penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012)

menjelaskan bahwa malaria kongenital pada bayi menimbulkan

manifestasi klinis terjadinya BBLR 6,4 kali dan hepatomegali 12,5

kali dibanding bayi yang tidak menderita malaria kongenital. WHO

(2014) menjelaskan bahwa tiap menit terjadi kematian pada anak-anak

di Afrika akibat malaria. Salah satu cara pengendalian malaria pada

kelompok anak-anak adalah kelambu berinsektisida. Kelambu

Page 152: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

137

berinsektisida dapat melindungi sebesar 2,39 kali untuk tidak

terinfeksi malaria (Babba, 2006).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Jagannathan (2012)

menjelaskan bahwa adanya hubungan antara penggunaan kelambu

berinsektisida dan pemberian profilaksis malaria terhadap peningkatan

kejadian malaria pada anak. Selain penggunaan kelambu

berinsektisida pada anak-anak untuk mengurangi kejadian malaria,

pemberian suplementasi zat besi pada anak 24-48 bulan atau 5-12

tahun di daerah endemis tinggi malaria dapat mengurangi kejadian

malaria (WHO, 2014).

6.4. Karakteristik Faktor Agent (Penyebab) Pada Kasus Malaria

Berdasarkan Jenis Plasmodium di Kota Lubuk Linggau tahun

2009-2013.

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh Plasmodium

yang dibawa oleh Anopheles. Plasmodium vivax menyebabkan

terjadinya malaria vivaks/malaria tersiana dan banyak ditemukan

pada daerah subtropik dan tropik. Malaria pada jenis Plasmodium ini

memiliki fase hipnozoit/fase istirahat sehingga malaria jenis ini

dapat menginfeksi kembali (relaps) tetapi sebaliknya dengan

Plasmodium falcifarum. Plasmodium falcifarum/malaria tropika

banyak ditemukan pada daerah tropil terutama Afrika dan Asia

Tenggara (Sutanto, 2008).

Plasmodium falcifarum merupakan spesies yang paling

berbahaya karena penyakit yang ditimbulkan dapat menjadi berat

Page 153: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

138

(Sutanto, 2008). Hal ini disebabkan oleh parasit yang menginfeksi

eritrosit sehingga terjadi beberapa gangguan seperti gangguan

hemodinamik (gangguan pada fungsi ginjal, otak dan syok),

gangguan immunologik (gangguan pada respon imun yang berbeda)

dan gangguan metabolik (gangguan pada membran eritrosit,

kebutuhan nutrisi parasit, peningkatan gangguan hemodinamik dan

immunoogik serta efek pengobatan). Akan tetapi jenis Plasmodium

dapat ditemukan melalui pemeriksaan sediaan darah dengan

mikroskop dan rapid diagnostic test (RDT).

Kota Lubuk Linggau telah memeriksa kasus malaria klinis

dengan menggunakan mikroskop dan RDT. Hasil pemeriksaan

tersebut pada tahun 2013 diketahui adalah 17,2% kasus malaria

positif dikonfirmasi disebabkan oleh Plasmodium falcifarum dan

82,8% kasus malaria positif dikonfirmasi disebabkan oleh

Plasmodium vivax.

Kasus malaria di Indonesia didominasi oleh P.vivax. Pada

tahun 2009, penyebab malaria yang tertinggi adalah P. vivax (55,8%)

dan P. falcifarum sebesar 40,2%. Tetapi Riskesdas 2010 mencatat

bahwa 86,4% penyebab malaria adalah P. falcifarum, dan P. vivax

sebanyak 6,9%. (Kemenkes, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh

Ritawati (2012) diketahui bahwa jenis parasit yang ditemukan di

Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan yaitu P.

falciparum sebanyak 23,7% dan P. vivax sebanyak 76,3%.

Page 154: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

139

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit genus

Plasmodia, keluarga Sporozoa Plasmodiidae, orde Coccidiidae dan

sub-orde Haemosporiidae. Sampai saat ini dikenal hampir 100

spesies dari Plasmodia yang terdapat pada burung, monyet, binatang

melata, dan pada manusia hanya 4 (empat) spesies yang dapat

berkembang yaitu: P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale

(Bruce-Chwatt, 1985 dalam Arsin, 2012).

Kota Lubuk Linggau adalah kota dengan iklim tropik. Oleh

karena itu kebanyakan Plasmodium yang menginfeksi manusia

adalah P. vivax. Penyebaran Plasmodium malaria berbeda menurut

geografi dan iklim. P. falciparum banyak ditemukan didaerah tropik

beriklim panas dan basah. P.vivax banyak ditemukan didaerah

beriklim dingin, sub tropik sampai daerah tropik, P.ovale lebih

banyak ditemukan di Afrika yang beriklim tropik dan pasifik barat

(Arsin, 2012).

P.falcifarum adalah parasit yang memiliki masa infeksi yang

paling pendek namun menghasilkan parasitemia paling tinggi, gejala

yang paling berat dan masa inkubasi paling pendek. Berikut

gambaran tahapan P.falcifarum dari trophozoites sampai gametosit.

Page 155: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

140

Gambar 6.1

Stadium P.falcifarum Malaria Pada Sediaan Darah Tipis.

\

Sumber : Kementerian Kesehatan, 2007

Selain P. falcifarum, terdapat Plasmodium lain yang dapat

menginfeksi manusia tetapi memiliki tingkat keparahan yang

berbeda. P. vivax dan P. ovale pada umumnya menghasilkan

parasitemia yang rendah, gejala yang lebih ringan dan mempunyai

masa inkubasi yang lebih lama. Sporozoit P. vivax dan P. ovale

dalam hati berkembang menjadi Skizon jaringan primer dan

Hipnozoit. Hipnozoit ini yang menjadi sumber untuk terjadinya

relaps (Arsin, 2012). Berikut gambaran stadium pada P. vivax dan P.

ovale

Page 156: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

141

Gambar 6.2

Stadium P. vivax dan P. ovale malaria pada sediaan darah tipis

Sumber : Kementerian Kesehatan, 2007

Penyebab malaria adalah adanya parasit yang masuk ke dalam

darah manusia. Ukuran parasit Plasmodium yang sangat kecil

membuat parasit ini hanya dapat dilihat dengan menggunakan

mikroskop. Selanjutnya untuk dapat melihat parasit ini dalam

mikroskop, diperlukan bantuan pewarnaan giemsa pada sediaan

daram malaria. Sediaan darah ditetesi minyak imersi dan diperiksa

dibawah mikroskop menggunakan lensa objektif. Jika ditemukan

adanya parasit dalam pemeriksaan, maka penderita malaria

dinyatakan positif malaria (Kemenkes,2007)

Page 157: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

142

Pemeriksaan parasit dengan gold standart adalah dengan

menggunakan mikroskop. Penggunaan mikroskop dapat dilihat

dengan secara langsung pada sediaan darah yang diambil pada kasus

yang dicurigai malaria. Pemeriksaan menggunakan pewarnaan

flourescensi dengan acridine orange yang memberikan warna

spesifik terhadap eritrosit yang terinfeksi Plasmodium (Wempi,

2011). Walaupun pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop ini

merupakan gold standart, kekurangan dari cara ini adalah tidak

dapat menghitung jumlah parasit, tidak dapat membedakan antar

spesies dan harganya yang relatif mahal (Wempi, 2011 dan

Kemenkes, 2007).

Selain penggunaan mikroskop, cara lain untuk melihat adanya

parasit Plasmodium dalam darah adalah dengan menggunakan rapid

diagnostic test (RDT). Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi

antigen dari parasit malaria yang lisis dalam darah. Metode yang

digunakan adalah imunokhromatografi yakni cairan akan bermigrasi

pada permukaan membran nitroselulosa. Uji ini berdasarkan

“capture antigen” didarah perifer oleh antibodi monoklonal terhadap

suatu antigen malaria yang dikonjugasikan dengan zat pewarna.

Antibodi monoklonal kedua/ketiga diaplikasikan pada strip

nitroselulosa sebagai fase immobile. Jika darah penderita malaria

mengandung antigen tertenti, maka kompleks antigen antibodi akan

bermigrasi pada fase mobile sepanjang strip nitroselulosa dan akan

Page 158: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

143

diikat dengan antibodi monoklonal pada fase immobile sehingga

dapat membentuk sebagai garis yang berwarna (Kemenkes, 2007).

Kebijakan penggunaan RDT di Indonesia dikhususkan

penderita dengan gejala klinis malaria (Kemenkes, 2007) seperti

1. Pada puskesmas terpencil didaerah endemis malaria yang

belum dilengkapi dengan mikroskop atau sarana

laboratorium pemeriksaan parasit malaria.

2. Rumah sakit yang membutuhkan karena sering adanya

penderita malaria yang datang di luar jam kerja rutin RS.

3. Pada puskesmas daerah endemis malaria yang ada fasilitas

rawat inap untuk digunakan diluar jam kerja rutin.

4. Pada daerah dengan KLB malaria

5. Daerah dimana terdapat pengungsian karena bencana alam

atau hal lain.

Keuntungan dari penggunaan RDT dibanding mikroskop

adalah lebih sederhana dan mudah untuk dinterpretasikan, mudah

dipelajari, variasi dari interpretasi adalah kecil antara pembaca satu

dengan pembaca yang lain, serta dapat mendeteksi P.falcifarum pada

waktu parasit bersekuestrasi pada kapiler darah dan dapat ditemukan

juga pada plasenta ibu hamil dengan infeksi P.falcifarum. tetapi

kelemahan dalam menggunakan RDT ini adalah hanya mampu

mendeteksi P.falcifarum dan non P.falcifarum (tidak dapat

membedakan antara P.vivax, P.ovale dan P.malariae), bukan

Page 159: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

144

pemeriksaan yang bersifat kuantitatif sehingga tidak digunakan

untuk menilai hasil pengobatan dan harga RDT lebih mahal dari

pemeriksaan mikroskopik (Kemenkes, 2007).

Jenis Plasmodium berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium

akan menentukan jenis obat yang digunakan untuk mengatasi

malaria. Berdasarkan laporan penemuan dan pengobatan malaria di

Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 diketahui bahwa tidak ada

kasus malaria positif yang diberikan pengobatan ACT. Hal ini dapat

dilihat dari laporan penemuan dan pengobatan kasus malaria.

Pengobatan malaria yang ada di Puskesmas terdiri dari pengobatan

radikal dan pengobatan klinis. Pengobatan radikal terdiri dari

pengobatan ACT dan non ACT.

Pola pengobatan pada fasilitas pelayanan kesehatan milik

pemerintah daerah Kota Lubuk Linggau dan Kabupaten Musi Rawas

seperti Puskesmas Perumnas, Puskesmas Simpang Periuk, Rumah

Sakit Umum Daerah Siti Aisyah dan Rumah Sakit Umum Daerah dr

Sobirin memberikan obat non ACT pada kelompok kasus malaria

positif. Jenis obat yang digunakan pada kelompok non ACT radikal

adalah klorokuin. Penggunaan klorokuin sudah dilarang oleh

pemerintah pusat karena resistensi obat terhadap Plasmodium

(Dasuki, 2011, Simammora, 2007 dan Kemenkes, 2007).

Plasmodium pada kasus malaria di Kota Lubuk Linggau

terbanyak diinfeksi oleh Plasmodium vivax. Hal ini dikarenakan

Page 160: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

145

Plasmodium jenis ini banyak ditemukan di daerah yang memiliki

iklim tropik dan subtropik seperti di Indonesia dan Kota Lubuk

Linggau sehingga frekuensi Plasmodium jenis ini lebih banyak

dibanding Plasmodium jenis lainnya. Selain itu, kemampuan dari

Plasmodium vivax yang memiliki fase hipnozoit sehingga kasus

malaria vivax dapat relaps/kambuh kembali. Oleh karena itu di Kota

Lubuk Linggau masih endemis malaria karena adanya infeksi

berulang pada orang yang telah memiliki riwayat menderita malaria

sehingga untuk mencegah timbulnya relaps pada orang yang telah

menderita malaria sebelumnya, diperlukan upaya pengobatan yang

sesuai dengan jenis Plasmodium yang menginfeksi

6.5. Karakteristik Faktor Enviroment (Lingkungan) Pada Kasus Malaria di

Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013.

A. Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Pada Kasus

Malaria Berdasarkan Curah Hujan Di Kota Lubuk Linggau

Tahun 2009-2013 Kejadian malaria dipengaruhi oleh faktor curah hujan. Curah

hujan di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 adalah antara 184,1

mm - 280,8 mm. Pada curah hujan dengan rentang tersebut merupakan

curah hujan yang ideal untuk perkembangbiakan nyamuk Anopheles.

Nyamuk Anopheles memerlukan curah hujan minimum untuk

berkembang biak.

Curah hujan minimum yang diperlukan nyamuk untuk

berkembang biak dalah kurang lebih 1,5 mm per hari (Martens, 1999

dalam Arsin 2012). Curah hujan 150 mm per bulan mengakibatkan

Page 161: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

146

perkembangan yang pesat bagi populasi An. Gambiae, vektor di

Kenya, dengan meletakkan telur nyamuk di kolam kecil dan genangan

air (Malakooti, 1998). Frekuensi curah hujan dengan penyinaran

matahari yang rendah akan membuat menambah habitat nyamuk dan

luasan habitat nyamuk tiap spesies Anopheles bervariasi. Curah hujan

yang terus berkurang pada lahan pertanian akan menciptakan kondisi

laguna dan tambak menjadi payau sehingga menciptakan habitat bagi

Anopheles sundaicus (Sukowati, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Nawangsasi (2012) menjelaskan

bahwa terjadi peningkatan kejadian malaria pada bulan Agustus 2011

seiring dengan rendahnya curah hujan. Hal yang sama juga dijelaskan

oleh penelitian yang dilakukan oleh Hakim (2013) menjelaskan bahwa

ada hubungan yang positif antara curah hujan dengan kepadatan

nyamuk Anopheles. Ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya curah

hujan berpengaruh pada tinggi rendahnya kepadatan menggigit

nyamuk An. sundaicus bulan berikutnya. Selanjutnya kepadatan

menggigit nyamuk An. sundaicus mempengaruhi tingginya kasus

malaria pada bulan berikutnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan

bahwa peningkatan jumlah curah hujan akan berpengaruh pada

peningkatan jumlah kasus malaria.

Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan

nyamuk dan peningkatan jumlah kasus malaria. Besar kecilnya

kejadian akan tergantung dari jenis dan deras hujan, jenis vektor dan

Page 162: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

147

jenis perindukan nyamuk. Hujan yang diselingi panas akan

memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles

(Harijanto, 2000). Pengaruh curah hujan dalam penyebaran malaria ini

adalah terbentuknya tempat perindukan nyamuk.

Peningkatan penularan malaria sangat terkait dengan intensitas

hujan yang turun baik dalam musim hujan maupun dalam musim

kemarau. Pergantian musim akan berpengaruh terhadap vektor

pembawa penyakit malaria (Babba, 2007). Pada musim kemarau

dengan sedikit hujan, genangan air yang terbentuk merupakan tempat

ideal sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk vektor malaria.

Dengan bertambahnya tempat perkembangbiakan nyamuk, populasi

nyamuk vektor malaria juga bertambah sehingga akan terjadi

kemungkinan peningkatan penularan kasus malaria (Harmendo, 2008)

Kota Lubuk Linggau memiliki curah hujan sebesar 184,1 mm -

280,8 mm sehingga memungkinkan untuk membuat tempat

perindukan dan perkembangbiakan nyamuk malaria. Pada curah hujan

diatas membuat nyamuk Anopheles dapat berkembang biak dengan

maksimal sehingga dapat membuat terjadi peningkatan jumlah kasus

dan penularan malaria. Selain itu curah hujan berpotensi membuat

tempat perindukan nyamuk yang baru dimana tataguna lahan di Kota

Lubuk Linggau cenderung menjadi tempat perindukan dan

peristirahatan nyamuk. Akibatnya peningkatan jumlah kasus malaria

bertambah pada waktu transisi antara musim hujan dan kemarau

Page 163: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

148

apalagi terjadi perubahan cuaca yang secara cepat yang

memungkinkan untuk terjadi genangan air dan berakhir pada

perkembangbiakan nyamuk.

B. Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Pada Kasus

Malaria Berdasarkan Suhu Di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-

2013 Suhu maksimum Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 adalah

31,90C - 34,13

0C sedangkan suhu minimum Kota Lubuk Linggau

tahun 2009-2013 adalah 21,60C -23,4

0C. Suhu di Kota Lubuk

Linggau tahun 2009-2013 sebesar 21,6 0C -34,13

0C memungkinkan

untuk nyamuk Anopheles dapat berkembang biak dengan baik. Hal ini

dikarenakan idealnya nyamuk Anopheles dapat berkembang biak

dengan optimal pada suhu 20 – 270C.

Penelitian yang dilakukan oleh Sunarsih (2009) diketahui bahwa

kondisi suhu lingkungan di lokasi penelitian mempunyai rerata 26,7OC

dengan kisaran 24,9 – 29,90C. Suhu lingkungan di lokasi penelitian ini

sangat mendukung perkembangan parasit malaria. Keadaan dengan

suhu tersebut sangat memungkinkan untuk berkembangnya vektor

penyakit malaria. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Sibala

diketahui bahwa proporsi penderita malaria yang tinggal pada risiko

tinggi suhu rumah 20-300C diketahui sebanyak 58,3% (Sibala, 2013)

dan hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan

oleh Sand (2013) yang mencatat bahwa proporsi kasus malaria yang

Page 164: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

149

suhu rumahnya tidak memenuhi syarat suhu disekitar rumahnya

adalah sebanyak 58,3%.

Suhu mempengaruhi kecepatan parasit untuk berkembangbiak

dalam tubuh nyamuk dan mempengaruhi langsung perkembangan

nyamuk itu sendiri. Suhu optimum yang dibutuhkan untuk

perkembangan parasit adalah 20 – 270C (Dale, 2005). Pada kondisi

suhu yang hangat (warmer temperature), nyamuk dapat berkembang

lebih cepat dan lebih sering mencari darah, dan parasit berkembang

lebih awal dalam tubuh nyamuk (Sunarsih, 2009).

Menurut Harijanto (2000) menjelaskan bahwa suhu optimum

yang dapat mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk

adalah 20-300C. Makin tinggi suhu pada batas tertentu akan membuat

makin pendek masa inkubasi ekstrinsik parasit dan sebaliknya makin

rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik (masa inkubasi

yang diperlukan parasit untuk berkembang biak ditubuh vektor).

Pengaruh suhu ini berbeda bagi setiap spesies, pada suhu 26,7° C

masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P. falciparum dan 8-

11 hari untuk P. vivax, 14-15 hari untuk P. malariae dan P. ovale.

Peningkatan suhu akan mempengaruhi aktifitas pencarian darah

pada nyamuk sehingga akan berpengaruh pada penyebaran penyakit.

Perubahan iklim juga mempengaruhi siklus sporogony yaitu waktu

yang dibutuhkan Plasmodium dalam darah sejak masuk kedalam

Page 165: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

150

darah manusia sampai Plasmodium tersebut matang dan siap kembali

menularkan kepada manusia. Gambaran perubahan siklus sporogony

pada suhu yang berbeda adalah sebagai berikut

Tabel 6.1

Perubahan Siklus Sporogony Nyamuk Anopheles sp.

Pada suhu 200C dan 25

0C

Spesies Parasit Jumlah Hari

20°C 25°C

Plasmodium falciparum 20-23 hari 12-14 hari

Plasmodium vivax 16-17 hari 9-10 hari

Plasmodium malariae 30-35 hari 23-24 hari

Plasmodium ovale - 15-16 hari

Sumber: WHO, 1975 dalam Bouma, et al., 1996)

Selain mempengaruhi perkembangbiakan Plasmodium, suhu

juga mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk Anopheles. Semua

spesies Anopheles dan parasit malaria pada dasarnya memerlukan

suhu antara 21 – 32oC untuk melangsungkan siklus hidupnya. Suhu

optimum untuk perkembangannya adalah 25 – 27oC dan

perkembangan nyamuk akan terhenti ketika suhu dibawah 100C dan

diatas suhu 400C. Terjadinya perubahan suhu lingkungan akibat

pemanasan global mempercepat pematangan parasit di dalam tubuh

nyamuk, meningkatkan frekuensi gigitan nyamuk, dan memberikan

kondisi yang lebih sesuai untuk perkembangan hidup nyamuk

(Soedarto, 2011)

Suhu juga merupakan karakteristik tempat perindukan yang

mempengaruhi metabolisme, perkembangan, pertumbuhan, adaptasi

Page 166: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

151

dan sebaran geografik larva nyamuk. Peningkatan suhu 10C dapat

meningkatkan kecepatan angka metabolisme dengan rata-rata

konsumsi O2 dan CO2 sebesar 10%. Pengaruh peningkatan suhu juga

mempengaruhi proses biologis nyamuk seperti kegiatan bernafas,

detak jantung, ritme sirkulasi darah dan kegiatan enzim (Ward, 1992

dalam Arsin, 2012).

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change ke tiga

menyatakan bahwa pada tahun 2010 suhu global akan meningkat 1,8-

400C. Meningkatnya suhu bumi seiring dengan meningkatnya

konsentrasi gas CO2. Pada kejadian malaria, perubahan iklim yang

terjadi berdampak secara tidak langsung terhadap kejadian malaria.

Perubahan suhu mempunyai efek terhadap periode perkembangan

nyamuk meliputi siklus hidup nyamuk, frekuensi mengisap darah,

umur nyamuk dan siklus gonotropik yakni suatu periode waktu

dimana untuk pematangan telur sejak nyamuk mengisap darah sampai

dengan telur matang dan siap untuk dikeluarkan (Arsin, 2012).

Suhu di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 sebesar 21,6 0C -

34,13 0C sedangkan suhu optimal untuk berkembangbiak nyamuk

Anopheles adalah sebesar 20 – 270C sehingga berdasarkan hal tersebut

suhu di Kota Lubuk Linggau menjadi suhu yang optimal untuk

nyamuk berkembang biak. Selain mempengaruhi berkembang biak

nyamuk, suhu juga mempengaruhi masa inkubasi ekstrinsik

Plasmodium didalam tubuh nyamuk. Semakin tinggi suhu di Kota

Page 167: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

152

Lubuk Linggau, maka semakin pendek masa inkubasi ekstrinsik

Plasmodium dan semakin sedikit waktu yang diperlukan nyamuk

untuk menginfeksi manusia serta terjadinya penularan malaria

semakin kecil.

C. Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Pada Kasus

Malaria Berdasarkan Kelembaban Di Kota Lubuk Linggau

Tahun 2009-2013

Kelembaban Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 adalah 83,2-

87%. Kelembaban ini dapat mempengaruhi terjadinya

perkembangbiakan nyamuk Anopheles di Kota Lubuk Linggau.

Kelembaban yang diperlukan nyamuk Anopheles untuk dapat

berkembang biak dengan baik adalah paling rendah 60%.

Harmendo (2008) menjelaskan bahwa kelembaban lingkungan

rumah di wilayah objek penelitian minimum sebesar 57%, maksimum

sebesar 86% dan kelembaban rata-rata sebesar 64,7%. Hal ini sangat

sesuai untuk hidup dan berkembang biak vektor malaria, karena

tingkat kelembaban paling rendah untuk mungkin hidupnya nyamuk

adalah 60 %.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Penelitian yang

dilakukan Sunarsih (2009) juga menjelaskan bahwa di Pangkalpinang

terdapat rerata kelembaban udaranya adalah 83% dengan kisaran 77,4

– 87,3%. Sehingga dengan kondisi kelembaban yang relatif tinggi ini

dimungkingkan nyamuk bisa hidup lebih lama, dan nyamuk akan

Page 168: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

153

lebih lama pula dalam menjalankan perannya sebagai vektor penular

penyakit malaria. (Sunarsih, 2009). Kemudian menurut penelitian

yang dilakukan oleh Karim (2009) menjelaskan bahwa adalah terdapat

korelasi negatif yang rendah antara kelembaban dan kasus malaria

klinis di Kabupaten Halmahera Tengah.

Kelembaban tidak berpengaruh langsung terhadap

perkembangan parasit, tetapi mempengaruhi aktivitas dan kemampuan

bertahan nyamuk Anopheles (Sunarsih, 2009). Malhotra dan

Srivastava (1996) dalam Muslim (2008) menjelaskan bahwa

kelembaban menjadi faktor yang berpengaruh terhadap adanya vektor

di lingkungan. Jika kelembaban relatif di suatu lingkungan berada

pada kelembaban diatas 60% akan menyebabkan terjadinya

penularan/perpindahan malaria yang tinggi tetapi sebaliknya jika

kelembaban relatif berada dibawah 60% maka penularan/perpindahan

malaria akan rendah.

Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk,

meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60%

merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya

nyamuk, pada kelembaban lebih tinggi menyebabkan aktifitas nyamuk

menjadi lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan

malaria. Kelembaban secara tidak langsung mempengaruhi parasit

tetapi dapat mempengaruhi aktivitas dan tingkat ketahanan dari

nyamuk Anopheles. Kelembaban relatif yang dibawah 60%, hidup

Page 169: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

154

nyamuk mungkin dapat diperpendek pada masa inkubasi eksternal

(sekitar 2 minggu) sehingga tidak akan terjadi transmisi malaria

(Gilles, 1993).

Lama hidup nyamuk yang rendah akibat dari kelembaban yang

rendah dipengaruhi oleh sistem pernafasan nyamuk. Sistem

pernafasan nyamuk menggunakan pipa-pipa udara yang disebut

trachea dengan lubang-lubang dinding yang disebut spiracle. Pada

waktu kelembaban rendah, spiracle terbuka lebar tanpa ada

mekanisme pengaturnya sehingga menyebabkan penguapan dari

dalam tubuh nyamuk (Suroso, 2001). Kisaran kelembaban udara

dipengaruhi oleh suhu udara. Namun jelas bagi serangga, kelembaban

udara yang optimum untuk perkembangan adalah 73% - 100% (Arsin,

2012).

Kelembaban Kota Lubuk Linggau berkisar pada 83,2 - 87%

yang berarti bahwa nyamuk Anopheles dapat berkembang biak dengan

baik dimana batas minimal nyamuk Anopheles dapat berkembang biak

pada kelembaban 60%. Selanjutnya kelembaban mempengaruhi

kejadian malaria dengan aktifitas nyamuk Anopheles menggigit

semakin meningkat dengan kelembaban yang tinggi dan berakibat

pada penularan malaria menjadi lebih sering. Selain mempengaruhi

pada Anopheles, hal lain yang dipengaruhi oleh kelembaban terhadap

malaria adalah parasit yang ada didalam tubuh nyamuk yang terus

berkembang biak dan dapat bertahan lebih lama pada masa inkubasi

Page 170: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

155

eksternal yang dikarenakan kelembaban di Kota Lubuk Linggau yang

cenderung tinggi. Oleh karena itu, masa inkubasi eksternal yang

begitu lama dan ditambah perkembangbiakan nyamuk yang ideal pada

kelembaban tersebut membuat kasus malaria di Kota Lubuk Linggau

masih tinggi.

6.6. Epidemiologi Spasial Malaria Di Kota Lubuk Linggau.

A. Pemetaan Endemisitas Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun

2009-2013

Pemetaan wilayah endemis malaria di Kota Lubuk Linggau

tahun 2009-2013 menjelaskan bahwa terjadi perubahan wilayah yang

endemis malaria. Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 mengalami

perubahan wilayah endemis malaria selama 5 tahun terakhir. Pada

tahun 2009-2011, kecamatan ini adalah wilayah yang memiliki tingkat

endemis tinggi malaria tetapi pada tahun 2012-2013 terjadi penurunan

tingkat endemisitas malaria menjadi endemis sedang. Sebaliknya

terjadi ketidakstabilan endemisitas malaria pada beberapa wilayah.

Kota Lubuk Linggau memiliki 4 wilayah dengan endemis tinggi

ditahun 2011, 2 wilayah ditahun 2012 dan 1 wilayah di 2013. Wilayah

yang masih menjadi endemis tinggi selama 3 tahun terakhir adalah

Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2. Kelurahan

ini berada di pusat kota dimana akses informasi, transportasi, dan

komunikasi masih mudah untuk didapatkan. Hanya saja kondisi

lingkungan di kelurahan ini yang masih banyak tempat perindukan

Page 171: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

156

nyamuk seperti kolam ikan yang tidak terawat. Selain itu memang

Kelurahan Sukajadi adalah wilayah yang endemis tinggi malaria.

Analisis penyakit berdasarkan tempat dapat dilihat dengan

memperhatikan pola penyakit berdasarkan batas-batas daerah

pemerintahan secara administratif baik desa, kecamatan,

kabupaten/kota, provinsi dan negara maupun berdasarkan batas-batas

alam yang terbentuk secara alami. Manfaat yang didapat dalam

analisis pola penyakit berdasarkan tempat adalah dapat membentuk

peta epidemiologi, membandingkan jumlah kasus antar wilayah, spot

area dan sistem informasi geografis. Salah satu penerapan analisis

pola penyakit berdasarkan tempat dapat dilakukan pada penyakit

malaria (Bustan, 2002).

Malaria adalah penyakit yang bisa muncul berulang kali sesuai

dengan keadaan lingkungan serta perubahan fenomena alam (Hakim,

2009). Pada umumnya lokasi endemis malaria adalah desa-desa

terpencil, sarana transportasi dan komunikasi sulit, akses pelayanan

kesehatan kurang, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat

yang rendah, serta perilaku hidup sehat yang kurang (Roy, 2012).

Hal ini menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat endemisitas

malaria di suatu wilayah.

Penelitian yang dilakukan oleh Ompusunggu (2002) diketahui

bahwa terdapat 11 desa yang menjadi objek wisata di Provinsi Jawa

Barat pernah menjadi daerah endemis malaria tinggi selama 3 tahun

Page 172: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

157

terakhir. Karakteristik wilayah penelitian adalah desa yang sebagian

besar penduduknya adalah petani dan pedagang serta berada

dipinggir pantai. Selain itu, letak desa jauh dari fasilitas pelayanan

kesehatan dan akses informasi serta transportasi umum yang sulit.

Penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto (2011) menjelaskan

bahwa faktor risiko malaria di daerah endemis malaria adalah

pemakaian anti nyamuk, konstruksi rumah, pengetahuan responden

mempengaruhi kejadian malaria di daerah endemis malaria. Hal ini

dikarenakan pengaruh lingkungan terhadap adanya nyamuk

Anopheles disekitar rumah.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada dan berinteraksi di

sekitar manusia, baik berupa benda hidup, benda mati, benda nyata

ataupun abstrak, termasuk manusia lainnya. Lingkungan memiliki

peran penting dalam menentukan endemisitas wilayah yang ada.

Sehingga diperlukan sebuah upaya kesehatan dalam program

kesehatan lingkungan dimana berperan besar dalam mengukur,

mengawasi, dan menjaga kesehatan lingkungan (Arsin, 2012).

Endemisitas malaria di Kota Lubuk Linggau dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan yang menjadi tempat breeding places dan resting

places nyamuk malaria. Hal ini dapat dilihat dari tersebar secara

merata tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk seperti kebun,

sawah, ladang, pemukiman, hutan. Endemisitas malaria berdasarkan

wilayah ini memungkinkan untuk menyusun sebuah program

Page 173: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

158

pengendalian malaria berbasis lingkungan dalam menurunkan kasus

malaria melalui kegiatan pemberantasan tempat perindukan dan

peristirahatan nyamuk.

Pada tahun 2009, Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 adalah

puskesmas dengan endemisitas sedang dan terjadi penurunan tingkat

endemisitas pada tahun 2010-2012 menjadi endemis rendah. Tetapi

pada tahun 2013, terjadi peningkatan kembali tingkat endemisitas

malaria di wilayah ini sehingga menjadi wilayah yang endemis

sedang. Analisis spasiotemporal juga digunakan dalam melihat

distribusi malaria di daerah lain.

Analisis spasio temporal juga dapat menggambarkan situasi

endemisitas Kota Lubuk Linggau. Kota Lubuk Linggau adalah

wilayah dengan tingkat mesoendemis malaria (endemis sedang).

Pada tahun 2009, terdapat 1 kecamatan yang endemis tinggi, 5

kecamatan endemis sedang dan 2 kecamatan dengan endemis

rendah. Kemudian pada tahun 2013, tidak terdapat kecamatan

dengan endemis tinggi, 3 kecamatan dengan endemis sedang dan 5

kecamatan dengan endemis rendah. Endemis malaria ini sangat

tergantung dari identifikasi kasus malaria oleh petugas puskesmas.

Pada tahun 2013, Provinsi Sumatera Selatan menjadi daerah

dengan kategori hipoendemis malaria. Hal ini dikarenakan nilai

indikator API pada tahun 2013 sebesar 0,46 per 1000 penduduk.

Tetapi masih ada wilayah di Provinsi Sumatera Selatan yang

Page 174: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

159

dikategorikan menjadi daerah dengan mesoendemis. Wilayah dengan

kategori mesoendemis malaria adalah Kabupaten Lahat (2,92 per

1000 penduduk), Kabupaten OKU (2,68 per 1000 penduduk) dan

Kota Lubuk Linggau (1,67 per 1000 penduduk).

Endemis malaria tidak terjadi pada seluruh Indonesia. Endemis

malaria terjadi di Indonesia bagian timur. Berdasarkan Kementerian

Kesehatan tahun 2009, stratifikasi endemis malaria berdasarkan

indikator API di Indonesia seperti gambar dibawah ini.

Gambar 6.3

Stratifikasi Endemisi Malaria di Indonesia Tahun 2009

Sumber : Kemenkes, 2009

Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa persebaran

endemisitas malaria di Indonesia hampir menyebar merata dengan

variasi endemisitas yang berbeda pada tiap pulau. Pada tahun 2013,

tingkat endemisitas malaria dibedakan menjadi hiperendemis,

mesoendemis dan hipoendemis. Dikatakan hiperendemis bila API

(Annual Parasite Incidence) lebih besar dari 50 per 1.000 penduduk

Page 175: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

160

yaitu di Provinsi Papua, Papua Barat, dan NTT. Mesoendemis bila

API berkisar antara 1 sampai kurang dari 50 per 1.000 penduduk

yaitu di Provinsi Maluku, Bangka Belitung, Jambi, Sumatera,

Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Jawa

Tengah, Jawa. Hipoendemis bila nilai API 0 - 1 per 1.000,

diantaranya sebagian Jawa, Kalimantan dan Sulawesi (Kemenkes,

2013). Salah satu Provinsi yang masih endemis malaria adalah

Provinsi Sumatera Selatan.

Pada tahun 2013, Provinsi Sumatera Selatan menjadi daerah

dengan kategori hipoendemis malaria. Hal ini dikarenakan nilai

indikator API pada tahun 2013 sebesar 0,46 per 1000 penduduk.

Tetapi masih ada wilayah di Provinsi Sumatera Selatan yang

dikategorikan menjadi daerah dengan mesoendemis. Wilayah dengan

kategori mesoendemis malaria adalah Kabupaten Lahat (2,92 per

1000 penduduk), Kabupaten OKU (2,68 per 1000 penduduk) dan

Kota Lubuk Linggau (1,67 per 1000 penduduk).

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya kasus malaria

disuatu daerah adalah pelayanan kesehatan (Arsin, 2012). Riskesdas

(2010) menjelaskan bahwa persentase rumah tangga yang tinggal

diperkotaan yang mengetahui keberadaan fasilitas pemeriksaan

malaria pada tiap unit pelayanan kesehatan adalah pada rumah sakit

sebesar 82%, Puskesmas/Pustu 75,1% dan praktek dokter 52,5%.

Pengetahuan masyarakat terhadap tersedianya fasilitas kesehatan

Page 176: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

161

yang melakukan pemeriksaan malaria tidak berbanding lurus dengan

pemanfaatan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tersebut.

Persentase pemanfaatan pemeriksaan darah malaria di rumah sakit

adalah 14,6 persen, Puskesmas 10,4 persen, praktek dokter 6,1

persen, praktek bidan 1,9 persen, Polindes 5,6 persen dan Poskesdes

4,2.

Hal yang sama juga pada penelitian yang dilakukan oleh

Efransyah (2009) di Kota Lubuk Linggau. Akses masyarakat ke

puskesmas masih cukup sulit. Hal ini dikarenakan masyarakat harus

mengeluarkan biaya Rp 20.000 untuk satu kali ke Puskesmas.

Kemudian biaya ini akan bertambah jika masyarakat tidak memiliki

persyaratan yang lengkap dalam berobat gratis. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Sari (2013) menjelaskan bahwa ada hubungan antara

akses pelayanan kesehatan dengan pengobatan sendiri malaria klinis.

Permasalahan ini dapat membuat terjadinya fenomena gunung es

dalam menemukan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau dan

ditambah lagi pada daerah endemis malaria gejala klinis malaria

tidak begitu jelas (Chin, 2012).

Salah satu cara untuk mengatasi masalah penemuan kasus

malaria ini adalah pengendalian malaria dengan pendampingan key

person. Pendampingan key person ini dapat berupa peningkatan

pengetahuan masyarakat tentang malaria dan pencegahannya melalui

kegiatan pemasaran sosial. Key person ini dapat berupa orang yang

Page 177: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

162

dipercaya oleh masyarakat sekitar dalam struktur organisasi sosial

dan petugas puskesmas yang datang membina wilayah kerja

puskesmas. Sehingga paradigma penemuan kasus malaria dapat

menjadi active case detection (Yudhastuti, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Darundiati (2002) menjelaskan

bahwa desa yang terletak di dataran rendah diketahui bahwa hanya

sedikit anggota keluarga responden yang menderita malaria. Pada desa

di daerah peralihan diketahui bahwa kasus malaria dijumpai lebih

banyak dan pada desa diperbukitan memiliki jumlah kasus malaria

yang lebih banyak dari daerah peralihan. Hal ini dikarenakan jarak

rumah responden dengan breeding places Anopheles maculatus yang

berbeda antar desa sehingga mempengaruhi jumlah kasus malaria

ditempat tersebut.

Selanjutnya hal yang sama juga didapatkan oleh Ritawati

(2012). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ritawati (2012)

menjelaskan bahwa kasus malaria di Kecamatan Lengkiti Kabupaten

Ogan Komering Ulu tahun 2011 tersebar secara mengelompok. Hal ini

dikarenakan letak rumah kasus malaria yang berdekatan sehingga

dimungkinkan terjadi penularan antar warga di kecamatan tersebut

serta letak rumah warga dengan breeding places An.aconitus, An.

vagus dan An. schuefieri yang berdekatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Karim (2012) diketahui bahwa

distribusi penderita malaria di kabupaten Halmahera Tengah pada

Page 178: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

163

tahun 2008 tersebar merata di seluruh kecamatan. Kecamatan dengan

jumlah titik kasus malaria terbanyak adalah kecamatan Weda dengan

jumlah titik kasus sebanyak 233 titik kasus, sedangkan kecamatan

dengan jumlah titik kasus paling sedikit adalah Kecamatan Gebe

dengan jumlah titik kasus sebanyak 68 titik kasus. Pemanfaatan

analisis spasial ini digunakan untuk gambaran deskriptif distribusi dan

penyebaran penyakit (Aprisa, 2007 dalam Karim, 2012).

Sipe (2003) menjelaskan bahwa analisis spasial dapat digunakan

dalam penelitian tentang malaria dan program pengendalian malaria.

Analisis spasial terhadap malaria menjadi 4 kategori yaitu

1. Pemetaan insiden malaria yaitu pemetaan insiden malaria

berdasarkan lingkungan geografis. Fokus dari pemetaan ini adalah

menguji/melihat kecenderungan malaria diwaktu lampau dan

mengaitkannya dengan situasi sekarang (Mara, 1998).

2. Menghubungkan pemetaan antara insiden malaria dengan

variabel yang berpotensi berhubungan dengan insiden malaria

seperti suhu, curah hujan, tata guna lahan, ketinggian, jenis

kelamin, umur, migrasi penduduk, breeding site dan program

pengendalian. Pada kategori ini, perlu uji statistik untuk melihat

hubungan sebab akibat dari variabel yang berpotensi memiliki

hubungan sebab akibat (Gunawardena, 1996 ).

3. Metode yang inovatif dalam pengumpulan data. Pengumpulan

data adalah salah satu keterbatasan dalam penggunaan sistem

Page 179: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

164

informasi geografis/analisis spasial. Sehingga keberhasilan dalam

menggunakan sistem informasi geografis dan analisis spasial

adalah tergantung dari cara inovatif dalam mengumpulakn data.

Salah satu cara yang paling sering digunakan adalah remote

sensing dengan menggunakan bantuan pemetaan satelit, aerial

photography (Hay, 2002).

4. Pemodelan risiko malaria yang akan terjadi di masa yang akan

datang (de Vries, 2000).

Anis (2007) dalam Karim (2009) menjelaskan analisis spasial

dapat menjelaskan karakteristik tempat dan pemetaan pada penyakit

menular termasuk malaria. Pemetaan akan memberikan tiga kontribusi

utama yaitu

1. Peta diharapkan muncul gambaran deskriptif mengenai distribusi

serta penyebaran penyakit.

2. Peta diharapkan dapat memberikan aspek prediktif penyebaran

penyakit menular.

3. Model interaktif, jika pada tahap dua, pola prediksi hanya sebatas

ramalan penyakit, tetapi jika menggunakan pendekatan interaktif,

kita dapat menentukan intervensi serta dampaknya bagi masa

depan.

Sunaryo (2010) menjelaskan bahwa sebagian besar jenis

penyakit berhubungan dengan aspek spasial karena salah satu sumber

terjadinya penyakit tidak terlepas dari aspek

Page 180: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

165

spasial/keruangan/lingkungan. Kejadian malaria tidak terlepas dari

pengaruh ekologi wilayah yang memungkinkan nyamuk berkembang

cepat dan berpotensi kontak dengan manusia. Pengaruh ekologi yang

terjadi pada kejadian malaria inilah yang membuat faktor lingkungan

ini perlu dipetakan terutama kejadian malaria dengan tempat

perindukan nyamuk. Kemudian perlu memetakan kerawanan manusia

terserang malaria akibat dari kepadatan penduduk. Kerawanan

manusia terserang malaria akibat dari kepadatan penduduk dan tempat

perindukan nyamuk ini akan dianalisis dengan analisis jarak nyamuk

dari tempat perindukan nyamuk ke pemukiman penduduk.

Pembuatan jarak pemukiman dari tempat perindukan nyamuk

sangat mudah dilakukan dengan menggunakan analisis spasial.

Kemudian melakukan tindakan optimalisasi kesehatan masyarakat

dalam kegiatan pencegahan mejadi lebih tepat sasaran. Hal ini

dikarenakan analisis spasial membantu dalam menggambarkan peta

sebaran fasilitas pelayanan kesehatan dan kejadian malaria (Sunaryo,

2012).

Aplikasi sistem informasi geografis dan analisis spasial dalam

penelitian tentang malaria di Indonesia masih menjadi tantangan. Hal

ini dikarenakan ada 3 hal yang menjadi masalah besar. Permasalahan

yang pertama adalah data yang masih lemah. Permasalahan data

tentang malaria akan membuat aplikai sistem informasi geografis dan

analisis spasial menjadi tidak bermanfaat. Permasalahan yang kedua

Page 181: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

166

adalah tekhnologi terutama komputer, software sistem informasi

geografis dan pelatihan. Permasalahan terakhir adalah fokus pada

metode yang diasumsikan bahwa jika data dan tekhnologi tidak

menjadi masalah lagi, maka pertanyaan yang muncul adalah

bagaimana sistem informasi geografis digunakan dalam meningkatkan

pemahaman tentang malaria jika analisis spasial secara statistik tidak

disetujui sebagai sebuah metodologi standar dalam peningkatan

pemahaman tentang malaria (Sipe, 2003).

Kota Lubuk Linggau belum melakukan pemetaan wilayah

endemis malaria dengan menggunakan analisis spasial. Sehingga Kota

Lubuk Linggau tidak dapat mengetahui apakah terjadi perubahan

wilayah endemis malaria selama tahun 2009-2013. Aplikasi analisis

spasial bermanfaat bagi Kota Lubuk Linggau pada pemetaan wilayah

endemis malaria, menghubungkan malaria dengan iklim, mengetahui

jarak pemukiman dan tempat perindukan nyamuk, model interaktif

dalam penyajian data serta membangun sistem informasi geografis.

Tetapi ada beberapa hal yang perlu diperbaiki sebelum menggunakan

analisis spasial dalam penyelesaian masalah malaria dan penyakit

lainnya seperti penguatan pengelolaan data di Dinas Kesehatan Kota

Lubuk Linggau, pelatihan teknologi sistem informasi geografis,

penguatan sumber daya manusia, sarana dan prasarana.

Permasalahan selanjutnya adalah kasus malaria di Kota Lubuk

Linggau masih menggunakan indikator AMI yang berarti bahwa

Page 182: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

167

tingkat endemisitas malaria berdasarkan kecamatan hanya pada kasus

malaria klinis. Penegakan diagnosis malaria klinis berdasarkan hasil

identifikasi tenaga puskesmas yang ada di Kota Lubuk Linggau

berdasarkan gejala klinis yang dialami oleh pasien. Gejala klinis untuk

kasus malaria hampir sama dengan diagnosis pada penyakit lain

seperti demam dengue, demam thypoid, dan demam berdarah dengue.

Sehingga kasus malaria klinis masih dalam tahapan dugaan yang

berakibat pada endemisitas malaria pada daerah ini masih dalam tahap

dugaan endemis. Oleh karena itu perlu upaya pemeriksaan

laboratorium pada kasus diduga malaria yang selama ini pemeriksaan

laboratorium pada kasus malaria klinis masih lemah di Puskesmas.

B. Gambaran Pemetaan Ketinggian di Kota Lubuk Linggau Tahun

2013

Ketinggian di Kota Lubuk Linggau sebesar 50 mdpl-650 mdpl.

Ketinggian ini mempengaruhi jenis perkembangbiakan nyamuk.

Semakin tinggi suatu wilayah maka semakin berkurang jumlah kasus

malaria. Hal ini dikarenakan pengaruh suhu dan kelembaban di

ketinggian tersebut.

Penyebaran malaria dapat terjadi pada ketinggian wilayah yang

sangat bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari ketinggian 400 m dibawah

permukaan laut seperti laut mati dan 2.800 m diatas permukaan laut

seperti di Bolivia (Arsin, 2012). Penyebaran malaria dan

Page 183: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

168

ketinggian/topografi mempengaruhi perkembangan nyamuk dan

spesiesnya.

Ketinggian memiliki hubungan dengan spesies nyamuk

Anopheles di Pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat dari di daerah pantai

banyak ditemykan An. sundaicus dan An. tesselatus. Kemudian An.

maculatus, An. aconitus dan An. vagus ditemukan di daerah pantai dan

perbukitan. Tetapi berbeda dengan An. subpictus, An. annularis, An.

indefinitus, An. kochi dan An. flavirostis hanya ditemukan di daerah

perbukitan. Demikian pula pada An. barbirostis yang bisa ditemukan

di daerah pantai dan perbukitan/daerah dataran tinggi (Ndoen et al,

2011 dalam Lokalitbang Ciamis, 2013).

Gambar 6.4.

Skema Distribusi Nyamuk Anopheles spp. Berdasarkan Karakteristik

Topografi dan Penggunaan Lahan di Pulau Jawa

Sumber : Ndoen et al, 2011 dalam Lokalitbang Ciamis, 2013

Page 184: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

169

Pada penelitian yang dilakukan di Raharjo (2003) menjelaskan

bahwa An. aconitus berada pada ketinggian 100-130 m dengan tempat

perkembangbiakan adalah sungai pada musim kemarau dan

persawahan pada musim penghujan. Perkembangan nyamuk An.

aconitus pada ketinggian tersebut dipengaruhi oleh faktor suhu udara

dan kelembaban. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yawan (2006)

menjelaskan bahwa pada ketinggian berkisar 20-40 mdpl diketahui

bahwa terdapat jenis nyamuk An. farauti. Perkembangan jenis nyamuk

pada ketinggian tertentu dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban.

Bertambahnya ketinggian pada suatu wilayah akan membuat

menurunnya suhu rata-rata di wilayah tersebut sehingga hanya jenis

Anopheles spp tertentu yang dapat berkembang biak.

Pada daerah yang dataran tinggi, perilaku nyamuk dipengaruhi

dengan kesenangan dan kebutuhannya. Pada spesies tertentu, ada

nyamuk yang senang pada tempat yang terkena sinar matahari

langsung dan ada pula yang senang pada tempat yang teduh. Tetapi

pada daerah dataran rendah, pada umumnya nyamuk memilih tempat

yang teduh, lembab dan aman. Perilaku nyamuk pada daerah ini

hanya hinggap di tempat-tempat rendah seperti tanah dan ada pula

spesies yang dinggap di persawahan, pinggiran sungai, rawa-rawa,

kolam kangkung, dan parit (Arsin, 2012).

Page 185: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

170

C. Gambaran Pemetaan Wilayah Endemis Malaria Berdasarkan

Tata Guna Lahan Di Kota Lubuk Linggau tahun 2013.

Gambaran tata guna lahan di Kota Lubuk Linggau tahun 2013

terdiri dari hutan, kebun, ladang, permukiman, sawah dan

semak/belukar. Persebaran luasan wilayah ini didominasi oleh hutan,

kebun dan pemukiman. Pada tata guna lahan seperti ini merupakan

tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk Anopheles. Nyamuk

Anopheles berkembangbiak dan menularkan penyakit pada tempat-

tempat tersebut. Salah satu tempat yang memiliki karakteristik

geografis yang hampir sama dengan Kota Lubuk Linggau adalah

Provinsi Bengkulu.

Pada penelitian yang dilakukan Husin (2007) diketahui bahwa

nyamuk yang menjadi vektor malaria di Provinsi Bengkulu adalah

Anopheles maculatus yang hidup di air jernih daerah pegunungan dan

An. sundaicus yang tempat perkembangbiakannya di air payau

(Prabowo, 2004) serta Anopheles nigerrimus dan An. Sundaicus.

Spesies nyamuk Anopheles yang ditemukan dan sudah dinyatakan

sebagai vektor malaria di Bengkulu dan Sumatera pada umumnya

adalah An. sundaicus sebagai vektor malaria di daerah pantai, An.

maculutus, An. nigerrimus, An. tessellatus, An sinensis sebagai vektor

malaria di pedalaman dan persawahan.

Hasil identifikasi di jenis-jenis tempat perindukan nyamuk

malaria diketahui bahwa sungai, selokan/got, dan bandar merupakan

Page 186: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

171

tempat perindukan nyamuk yang ada di Pangkalbalam Pangkalpinang

tahun 2009. Selokan dan bandar merupakan tempat perindukan

nyamuk yang cukup dekat dengan rumah responden. Sedangkan

sungai merupakan tempat perindukan nyamuk yang keberadaannya

cukup jauh (lebih 200 m) dari rumah-rumah responden. Pada tempat

perindukan tersebut dilakukan identifikasi keberadaan jentik yang

diduga sebagai jentik nyamuk Anopheles sp (Sunarsih, 2009).

Pada daerah pantai kebanyakan tempat perindukan nyamuk

terjadi pada tambak yang tidak dikelola dengan baik, adanya

penebangan hutan bakau secara liar merupakan habitat yang potensial

bagi perkembangbiakan nyamuk An. sundaicus dan banyak aliran

sungai yang tertutup pasir (laguna) yang merupakan tempat

perindukan nyamuk An.sundaicus (Harmendo, 2008).

Tempat perindukan nyamuk Anopheles adalah di genangan-

genangan air, baik air tawar atau air payau tergantung dari jenis

nyamuk, seperti Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus hidup

di air payau, Anopheles aconitus hidup di air sawah, Anopheles

maculatus hidup di air bersih pegunungan. Nyamuk Anopheles

aconitus dijumpai di daerah-daerah persawahan, tempat

perkembangbiakan nyamuk ini terutama di sawah yang bertingkat-

tingkat dan di saluran irigasi (Husin, 2007).

Page 187: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

172

Selain tempat perindukan nyamuk, tata guna lahan juga dapat

digunakan sebagai tempat peristirahatan nyamuk. Hasil observasi

lingkungan mikro menunjukkan bahwa tempat peristirahat nyamuk

yang ada meliputi: tanaman hias, pohon ilalang, pohon bambu, semak

semak, pohon nipah, dan sebagian pohon bakau. Pengamatan pada

resting places tersebut juga menunjukkan keberadaan nyamuk yang

beristirahat di tempat tersebut walau relatif sedikit. (Sunarsih, 2009).

Tempat peristirahatan nyamuk Anopheles berbeda berdasarkan

spesiesnya. An. Aconitus memiliki tempat peristirahatan di lubang

serasah yang lembab dan teduh, terletak ditengah kebun salak serta

beristirahat dipagi hari. Selain itu, nyamuk ini juga hinggap didaerah-

daerah yang lembab seperti pinggir-pinggir parit, tebing sungai, dekat

air yang selalu basah dan lembab (Husin, 2007).

Tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk akan

berpengaruh pada pencegahan dan pemberantasan nyamuk Anopheles

yang ada disekitar rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2005)

mencatat bahwa jarak tempat perindukan dekat < 50 m akan

mempunyai risiko untuk terkena malaria 33,58 kali. Kemudian

penelitian yang dilakukan oleh Weraman (2000) di Kabupaten Sumba

Barat diketahui bahwa adanya genangan air di tempat perindukan

nyamuk disekitar rumah akan meningkatkan risiko tertular malaria

sebesar 8 kali. Kemudian pada penderita malaria risikonya ditemukan

larva nyamuk malaria di sekitar lingkungan rumahnya lebih besar

Page 188: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

173

dibanding dengan yang tidak menderita malaria (Sarumpaet, 2006).

Oleh karena itu, peningkatan jumlah kasus malaria dan tata guna lahan

akan mempengaruhi tingkat endemisitas malaria.

Tata guna lahan di Kota Lubuk Linggau berupa hutan, kebun,

ladang, permukiman, sawah dan semak/belukar. Tata guna lahan ini

merupakan salah satu tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk

Anopheles. Tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk ini

dipengaruhi oleh faktor curah hujan dalam perkembangbiakan

nyamuk sehingga dapat menimbulkan genangan air yang

memungkinkan nyamuk Anopheles berkembang biak.

Nyamuk yang berkembang biak akan menggigit manusia di

tempat kerja atau di pemukiman rumah. Jarak rumah dari tempat

perindukan nyamuk dapat digambarkan dengan menggunakan analisis

spasial karena dapat melihat kemungkinan pemetaan wilayah yang

akan digigit nyamuk Anopheles berdasarkan jarak rumah ke tempat

perindukan nyamuk. Sehingga dapat memetakan kerentanan manusia

terserang malaria akibat dari kepadatan penduduk di Kota Lubuk

Linggau.

Page 189: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

174

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

1. Kasus malaria klinis yang terkonfirmasi laboratorium dari tahun 2009-

2013 di Kota Lubuk Linggau sebesar 16,22%-34,36% dan

kecenderungan kasus malaria tidak memiliki pola khusus musim

bulanan selama 5 tahun terakhir.

2. Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama untuk terinfeksi

malaria. Hal ini dapat dilihat dari rasio insiden kasus malaria yang tidak

berbeda (1:1). Remaja umur 10-14 tahun adalah kelompok usia yang

paling banyak diserang malaria selama tahun 2009-2013 dan masih ada

bayi (< 1 tahun) yang ditemukan terinfeksi malaria di Kota Lubuk

Linggau selama 5 tahun terakhir.

3. Kasus malaria berdasarkan jenis Plasmodium di Kota Lubuk Linggau

tahun 2009-2013 lebih banyak disebabkan oleh Plasmodium vivax

dibanding dengan jenis Plasmodium lainnya.

4. Karakteristik faktor environment seperti curah hujan, suhu dan

kelembaban tidak menunjukkan kaitan dengan kejadian malaria di Kota

Lubuk Linggau tahun 2009-2013.

5. Epidemiologi spasial malaria berdasarkan kelurahan yang endemis

tinggi di Kota Lubuk Linggau adalah Kelurahan Lubuk Durian,

Kelurahan Lubuk Aman, Kelurahan Perumnas Rahma, Kelurahan

Page 190: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

175

Sukajadi pada tahun 2011, Kelurahan Lubuk Aman dan Kelurahan

Sukajadi pada tahun 2012 serta pada tahun 2013 adalah Kelurahan

Sukajadi pada tahun 2013.

6. Epidemiologi spasial malaria menurut wilayah potensial perindukan

nyamuk di Kota Lubuk Linggau tahun 2013 adalah hutan, kebun,

ladang, pemukiman, sawah dan semak belukar. Pada daerah endemis

sedang (Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2, Kecamatan Lubuk Linggau

Utara 2 dan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1), tempat yang

potensial untuk perindukan nyamuk adalah kebun, hutan, ladang dan

semak belukar. Ketinggian Kota Lubuk Linggau berkisar pada 50-650

mdpl yang memungkinkan terjadinya variasi dalam spesies nyamuk

Anopheles.

7.2. Saran

1. Penguatan peran laboratorium dalam mendiagnosis malaria dan

penetapan endemisitas wilayah malaria seperti penambahan petugas

laboran di puskesmas yang belum aktif laboratoriumnya dan

pengendalian mutu laboratorium dengan menggunakan indikator error

rate.

2. Prioritas program pencegahan pengendalian malaria pada remaja

dengan kegiatan upaya kesehatan sekolah dan pembinaan orang tua

murid. Program pencegahan malaria pada perempuan terutama ibu

hamil dengan dilakukan skrining Plasmodium.

Page 191: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

176

3. Program pengendalian malaria perlu diprioritaskan pada daerah yang

endemis tinggi dengan kegiatan pemberantasan malaria seperti

pendistribusian kelambu berinsektisida, pengobatan dengan Artemisinin

combination theraphy dan larvasida.

4. Kecenderungan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau pada bulan-bulan

februari-april dan juli-september memiliki pola yang tidak khas/tidak

stabil selalu terjadi sehingga perlu meningkatkan sistem kewaspadaan

dini yang disesuaikan dengan situasi daerah Kota Lubuk Linggau

seperti pengamatan dan survei vektor, laporan hasil penemuan penderita

malaria melalui penemuan penderita secara aktif, penemuan penderita

demam massal dan pemeriksaan darah massal, cakupan program

malaria dan pembangunan daerah yang berhubungan dengan ancaman

penularan malaria, migrasi penduduk antar wilayah serta laporan hasil

penyelidikan dan penanggulangan KLB malaria selama 5 tahun.

5. Modifikasi lingkungan dan menggalang kemitraan dengan masyarakat

endemis malaria seperti kerja bakti, menanam padi dalam waktu

bersamaan, larvasidasi, dan indoor residual spraying dalam rangka

untuk membersihkan tempat perindukan nyamuk.

Page 192: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

177

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, S. (2008). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Desa Lubuk Nipis

Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim. Semarang: Program

Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Ahmadi, U. F. (2005). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit

Buku Kompas.

Aini, Anisah. (2007). Sistem Informasi Geografis: Pengertian Dan Aplikasinya.

Yogyakarta. STMIK AMIKOM

Arsin, Arsunan. (2004). Analisis Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian

Malaria di Pulau Kapoposang kabupaten Pangkajene Kepulauan. Jurnal

Kedokteran dan Farmasi MEDIKA; Jakarta.

Arsin, Andi Arsunan. (2012). Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi.

Semarang: Masagena Press.

Babba, Ikrayama, Suharyo Hadisaputro, Suwandi Sawandi. (2007). Faktor-faktor

Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Malaria (Studi Kasus di Wilayah

Kerja Puskesmas Hamadi Kota Jayapura).

Bailey, Trevor C. (2001). Spatial Statistical Methods In Health. Cad. Saúde

Pública, Rio de Janeiro, 17(5):1083-1098.

Beale, Linda, Juan Jose Abellan, Susan Hodgson, dan Lars Jarup. (2008).

Methodologic Issues and Approaches to Spatial Epidemiology. Environ

Health Perspect 116:1105–1110.

Bhopal, R. (2002). Concepts of Epidemiology : An Integrated Introduction To The

Ideas, Theories, Principles And Methods Of Epidemiology. New York:

Oxford University Press.

BMKG. (t.thn.). Instrumentasi Dan Rekayasa Meteorologi. Dipetik 1 28, 2014,

dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika:

http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/Inskal_Rek_Jarkom/Instrumentasi/

Budiyanto, Anif. (2011). Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian

Malaria Di Daerah Endemis Di Kabupaten OKU. Jurnal Pembangunan

Manusia Vol.5 No.2 Tahun 2011.

Bustan, (2002). Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta

C.Gatrell, A., & Löytönen, M. (2003). GIS and Health. London: Taylor & Francis

e-Library.

Page 193: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

178

Capah, T. (2008). Kajian Perencanaan Manajemen Lingkungan Dalam Program

Pengendalian Malaria Di Kabupaten Asmat Tahun 2008 . Semarang:

Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

CDC. (2012, 9 12). Malaria. Dipetik 2 7, 2014, dari Anopheles Mosquitoes:

http://www.cdc.gov/malaria/about/biology/mosquitoes/index.html

Chahaya, N. (2003). Pengaruh Malaria Selama Kehamilan. Kesehatan

Lingkungan. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

Chin, J., & Kandun, I. N. (2012). Manual Pemberantasan Penyakit Menular.

Jakarta: CV Infomedika.

Darundiati, Yusniar Hanani. (2002). Analisis Faktor-Faktor Risiko Malaria di

Daerah Endemis dengan Pendekatan Spasial di Kabupaten Purworejo.

Tesis. Universitas Diponegoro.

de Vries PM. (2000). A CAMERA Focus On Local Eco-Epidemiological Malaria

Risk Assessment. Universiteit Maastricht: Maastricht, Netherlands 45.

Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau (2013). Laporan Bulanan Penemuan dan

Pengobatan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2009. Lubuk

Linggau: Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.

Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau (2013). Laporan Bulanan Penemuan dan

Pengobatan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2010. Lubuk

Linggau: Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.

Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau. (2013). Laporan Bulanan Penemuan dan

Pengobatan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2011. Lubuk

Linggau: Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.

Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau. (2013). Laporan Bulanan Penemuan dan

Pengobatan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2012. Lubuk

Linggau: Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.

Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau (2013). Laporan Bulanan Penemuan dan

Pengobatan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013. Lubuk

Linggau: Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan (2010). Profil Kesehatan Provinsi

Sumatera Selatan Tahun 2010. Palembang: Dinas Kesehatan Provinsi

Sumatera Selatan.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. (2014). Profil Malaria Provinsi

Sumatera Selatan Tahun 2013. Palembang: Dinas Kesehatan Provinsi

Sumatera Selatan.

Page 194: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

179

Efransyah, Lutfan Lazuardi, Mubasysyir Hasanbasri. (2009). Akses Pelayanan

Puskesmas Setelah Kebijakan Pelayanan Kesehatan Gratis di Kota Lubuk

Linggau. Jogjakarta: KPMK Universitas Gajah Mada

Gilles, H.M. (1993). The Malaria Parasitsm. Essential Malariology. Gilles, H.M.

and Warrell, D.A. (ed) Third Edition. London.

Gunawardena DM, Muthuwattac L, Weerasingha S, Rajakaruna J, Kumara WU,

Senanayaka T, Kumar Kotta P, Wickremasinghe AR, Carter R, Mendis KN.

(1996). Spatial Analysis Of Malaria Risk In An Endemic Region Of Sri

Lanka. IDRC (International Development Research Centre).

Hadi, Bambang. (2005). Kandang Ternak dan Lingkungan Kaitannya dengan Kepadatan

Vektor Anopheles Aconitus di Daerah Endemis Malaria. Tesis. Universitas

Diponegoro.

Hakim, Lukman. (2013). Faktor Risiko Penularan Malaria Di Desa Pamotan Kabupaten

Pangandaran. Aspirator. Vol.5, No. 2, 2013 : 45-54.

Hakim, Lukman. (2009). Prevalensi Malaria Asymptomatic Pada Kelompok Penduduk

Paling Berisiko Tertular di Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Jawa Barat.

Aspirator Vol. 1 No. 1 tahun 2009: 04-10.

Harijanto, Nugroho dan Gunawan Carta A. (2009). Malaria Dari Molekuler Ke Klinis.

Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Harijanto, P.N. (2003). Malaria : Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan

Penanganan. Jakarta: EGC

Harmendo. (2008). Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas

Kenanga Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka. Tesis. Program Pasca Sarjana

Universitas Diponegoro Semarang.

Hay S, Cox J, Rogers DJ, Randolph SE, Stern DI, Shanks GD, Myers MF, Snow RW.

(2002). Climate Change And The Resurgence Of Malaria In The East African

Highlands. Nature 2002, 415:905-909.

Hinelo, S. (2006). Analisis Spasial Evaluasi Program Penanggulangan Malaria di Subdit

Malaria Depkes RI (Aplikasi Provinsi Papua) Tahun 2001-2004. Depok: Program

Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Husin, H. (2007). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Puskesmas Sukamerindu

Kecamatan Sungai Serut Kota Bengkulu Propinsi Bengkulu. Semarang: Program

Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Imari, Sholah. (2012). Draft Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Dan Sistem Informasi

Malaria Daerah Pemberantasan Dan Daerah Eliminasi Malaria Di Indonesia.

Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Direktorat Jenderal Pp&Pl

Kementerian Kesehatan RI.

Isnawati, A., Gitawati, R., Tjitra, E., Rooslamiati, I., Raini, M., & Delima. (2011).

Rasionalisasi Penggunaan Obat Simptomatik Dan Obat Lain Yang Diberikan

Page 195: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

180

Bersamaan Dengan Obat Artesunate-Amodiakuin Pada Subyek Malaria Di

Delapan Puskesmas Sentinel Kalimantan Dan Sulawesi. Media Litbang Kesehatan

Volume 21 Nomor 3, 124-137.

Jagannathan, Prasanna et all. (2012). Increasing incidence of malaria in children despite

insecticide-treated bed nets and prompt anti-malarial therapy in Tororo, Uganda.

Malaria Journal 2012, 11:435

Karim, Sarbaini A, A. Arsunan Arsin. (2009). Pola Spasial Kasus Malaria Dengan

Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Kabupaten Halmahera Tengah 2008.

Jurnal Masyarakat Epidemiologi Indonesia Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2012 : 84-

89

Kemenkes. (t.thn.). Insiden Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2007-2008. Dipetik

May 12, 2013, dari Data Base Kesehatan:

http://www.bankdata.depkes.go.id/propinsi/public/report/createtablepti.

Kemenkes. (2002). Analisis Situasi Dan Penyusunan Renstra Gebrak Malaria

Kabupaten/Kota. Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Dirjen

PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI.

Kemenkes. (2006). Pedoman Surveilans Malaria. Jakarta: Subdit Pengendalian Penyakit

Bersumber Binatang, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,

Kementerian Kesehatan.

Kemenkes RI. (2007). Pedoman Penemuan Kasus Malaria. Jakarta: Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2007). Pedoman Teknis Pemeriksaan Parasit Malaria. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Loka Litbang Ciamis. (2013). Fauna

Anopheles. Ciamis: Kemenkes RI.

Kemenkes. (2009). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

293/MENKES/SK/IV/2009 Tentang Eliminasi Malaria. Jakarta: Kementerian

Kesehatan.

Kemenkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

Kemenkes. (2011). Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria. Jakarta: Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

374/MENKES/Per/III/2010 Tentang Pengendalian Vektor. Jakarta: Direktorat

Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian

Kesehatan.

Kemenkes RI. (2014). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

Klimatologi. (2008). Alat-alat Klimatologi Konvensional. Dipetik 1 28, 2014, dari

Staklim Banjarbaru Article:

Page 196: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

181

http://www.klimatologibanjarbaru.com/artikel/2008/12/alat-alat-klimatologi-

konvensional/comment-page-2/

Kuswanto. (2005). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di Kecamatan Kemrajen

Kabupaten Banyumas. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.

Lai, P. C., & Mak, A. S. (2007). GIS for Health and the Environment. Verlag Berlin

Heidelberg: Springer.

Lai, P. C., So, F. M., & Chan, K. W. (2009). Spatial Epidemiological Approaches in

Disease Mapping and Analysis. New York: CRC Press.

Lawson, A. B. (2006). Statistical Methods in Spatial Epidemiology. England: John Wiley

& Sons Ltd.

Loka Litbang P2B2 Ciamis (2013). Fauna Anopheles. Ciamis: Kemenkes RI.

Maantay, J. A., & McLafferty, S. (2011). Geospatial Analysis of Environmental Health.

New York: Springer.

Malakooti. (1998). Developing a Malaria Early Warning System for Ethiopia.

Mandal, E. W. (2008). Lecture Notes : Penyakit Infeksi . Jakarta: Erlangga.

MARA. (1998). Towards an atlas of malaria risk in Africa: First technical report of the

MARA/ARMA collaboration. Durban, South Africa.

Muslim. (2008). Studi Makro Epidemiologi Kejadian Malaria dengan Pendekatan

Spasial dan Temporal Terkait Tata Guna Lahan dan Meteorologi di Kecamatan

Bintan Utara Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Tesis. Yogyakarta:

Universitas Gajah Mada

Musthofa, Arif. (2012). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Pencariang

Pengobatan Malaria Klinis Pekerja Musimam Keluar Pulau Jawa Di Puskesmas

Tegalombo Kabupaten Pacitan Tahun 2012. Tesis. Depok: Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia.

Nawangsasi, Catur Pangesti. (2012). Kajian Deksriptif Kejadian Malaria Di Wilayah

Kerja Puskesmas Rowokele Kabupaten Kebumen Tahun 2011 - April 2012. Skripsi.

Nizar, Muhammad, Lukman Hakim. (2011). Diagnostik Klinis Malaria di Kabupaten

Musi Rawas Sumatera Selatan. Aspirator Vol. 3 No. 1 Tahun 2011:49-54.

Notobroto, Hari Basuki, Atik Choirul Hidajah. (2009). Faktor Risiko Penularan Malaria

di Daerah Perbatasan. J. Penelit. Med. Eksakta, Vol. 8, No. 2, Agust 2009: 143-

151.

Nuarsa, I. W. (2005). Belajar Sendiri: Menganalisis Data Spasial Dengan Arcview GIS

3.3 Untuk Pemula. Jakarta: Elex Media Computindo.

Nurbayani, L. (2013). Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas

Mayong 1 Kabupaten Jepara. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol 2 No 1.

Page 197: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

182

Nurdin, E. (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Malaria Di

Wilayah Tambang Emas Kecamatan IV Nagari Kabupaten Sijunjung Tahun 2011 .

Padang: Skripsi Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.

Nurlette, Febriyana Rahima, Hasanuddin Ishak, Syamsuar Manyullei. (2013). Hubungan

Upaya Masyarakat Menghindari Keterpaparan Nyamuk Dengan Kejadian Malaria

Di Wilayah Kerja Puskesmas Rijali Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2012.

Makasar:Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Hasanudin Makassar.

Odago, et al., (2005). is Mosquito Larval Source Management Appropriate for Reducing

Malaria in Areas of Extensive Flooding in The Gambia? A Cross-over Intervention

Trial.

Ompusunggu, Sahat dkk. (2002). Endemisitas Malaria di Beberapa Daerah Pariwisata

Jawa Barat. Media Litbang Kesehatan Vol. XII No. 1 Tahun 2002.

P.N. Harijanto. (2011). ACT Sebagai Obat Pilihan Malaria Ringan di Indonesia. CDK

183/Vol.38 No.2/Maret - April 2011

Prabowo, A. (2004). Malaria, Mencegah dan Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara.

Pratjojo, H. (2001). Studi Faktor-Faktor Internal dan Eksternal Sebagai Bahan

Penyusunan Rencana Strategis Gerakan Berantas Kembali (GEBRAK) Malaria di

Kampung Laut Kabupaten CIlacap . Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas

Diponegoro.

Putri, A. R. (2012). Hubungan antara infeksi malaria pada ibu hamil dengan kejadian

berat badan lahir rendah dan kejadian malaria kongenital di RSUD Lewobata

Lembata. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Raharjo, Mursyid. (2003). Studi Karakteristik Wilayah Sebagai Determinan Penyebaran

Malaria Di Lereng Barat Dan Timur Pegungungan Muria Jawa Tengah.

Ritawati, Yahya. (2012). Distribusi Spasial Malaria Di Kecamatan Lengkiti Kabupaten

Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2011. Jurnal Pembangunan

Manusia Vol.6 No.1 Tahun 2012.

Rogerson SJ, Pollina E, Getachew A, Tadesse E, Lema VM, Molyneux ME. (2003).

Placental monocyte infiltrates in response to Plasmodium falciparum infection and

their association with adverse pregnancy outcomes. Am J Trop Med Hyg 68: 115–

119.

Rothman, Kenneth J. (2008). Modern Epidemiology, 3rd Edition. Lippincott Williams &

Wilkins

Roosihermiatie, B., & Rukmini. (2012). Analisis Implementasi Kebijakan Eliminasi

Malaria Di Provinsi Bali. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 2 ,

143–153.

Roy Nusa. (2012). Prevalensi Dan Keberadaan Vektor Malaria di Desa Teluk Limau,

Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung. Aspirator

Vol. 4 No. 1 Tahun 2012

Page 198: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

183

Rubianti, Irma, Trisno Agung Wibowo, Solikhah. (2009). Faktor-Faktor Risiko Malaria

di Wilayah Kerja Puskesmas Paruga Kota Bima Nusa Tenggara Barat.

Yogyakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan.

Rumbiak, H. (2006). Analisis Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Malaria Di

Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak - Numfor Papua. Semarang: Program

Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Ruswanto, B. (2010). Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau Dari

Faktor Lingkungan Dalam Dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan. Semarang:

Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Sand, Ibrahim, Hasanuddin Ishak, Makmur Selomo. (2013). Faktor Risiko Kejadian

Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Baraka Kecamatan Baraka Kabupaten

Enrekangtahun 2013. Makasar: Universitas Hasanudin

Sari, Rika Maya, Lasbudi P. Ambarita. Hotnida Sitorus. (2013). Akses Pelayanan

Kesehatan Dan Kejadian Malaria Di Provinsi Bengkulu. Media Litbangkes Vol 23

No. 4, Des 2013, 158-164.

Sarumpaet, Sori Muda., Richard Tarigan. (2006). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di

Kawasan Ekosistem Leuser Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Universitas

Sumatera Utara

Schlagenhauf P (2004). Malaria: from prehistory to present. Infect Dis Clin North Am.

2004; 18: 189-205

Sibala, Rosdiana, Hasanuddin Ishak, Indar. (2013). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di

Kabupaten Toraja Utara. Makasar: Universitas Hasanudin.

Sipe, Neil G, Pat Dale. (2003). Challenges in using geographic information systems (GIS)

to understand and control malaria in Indonesia. Malaria Journal 2003, 2:36

Soedarto. (2011). Malaria. Jakarta: Sagung Seto.

Sukowati S. (2004). Hubungan Iklim Dengan Penyakit Tular Vektor (DBD & Malaria).

Makalah Seminar Sehari Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan, 6 April

2004 di Jakarta.

Sunarsih, Elvi, Nurjazuli, Sulistyani. (2009). Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku

Yang Berkaitan Dengan Kejadian Malaria di Pangkalbalam Pangkalpinang. J

Kesehat Lingkung Indones Vol.8 No.1 April 2009:1-9

Sunaryo. (2010). Sistem Informasi Geografis Untuk Kajian Masalah Kesehatan.

BALABA Vol. 6, No. 01, Jun 2010 : 26-27.

Suroso, T. (2001). Perubahan Iklim dan Kejadian Penyakit yang Ditularkan Vektor.

Makalah pada Semiloka Perubahan Iklim dan Kesehatan 27-29 Maret 2001 di

Ciloto. Direktorat PPBB Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan RI.

Page 199: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

184

Susanna. (2005). Dinamika Penularan Malaria di Ekosistem Persawahan, Perbukitan,

dan Pantai (Studi di Kabupaten Jepara, Purwokerto dan Kota Batam). Depok.

Program Doktor. FKM Universitas Indonesia.

Sutanto, Inge, Pudji K. Sjarifudin Is Suhariah Ismid, dan Saleha Sungkar. (2008). Buku

Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Departemen Parasitologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Timmrect, T. C. (2004). Epidemiologi : Suatu Pengantar. alih bahasa, Munayah Fauziah.

Jakarta: EGC.

Webb, Penny & Chris Bain. (2011). Essential Epidemiology An Introduction for Students

and Health Professionals Second Edition. UK; Cambridge University Press

Wempi, I Gede. (2011). Analisis Pemeriksaan Laboratorium Pada Penderita

Malaria. BALABA Vol. 8, No. 02, Des 2012 : 58-59.

Weraman, P., (2000). Faktor Risiko Malaria dan Upaya Penanggulangan Melalui

Perawatan Kesehatan Masyarakat di Kabupaten Sumba Barat. Tesis S2,

UGM, Yogyakarta.

WHO. (2011). World Malaria Report 2011 Fact Sheet. Global Malaria

Programme.

WHO. (2013). Malaria in children under five. Diakses dari

http://www.who.int/malaria/areas/high_risk_groups/children/en/ Tanggal

12 Juni 2014 Pukul 12.00.

WHO. (2013). Malaria deaths halved among children in last decade. Diakses dari

http://www.who.int/tdr/news/2013/malaria-deaths-among-children/en/ pada

tanggal 12 Juni 2014 Pukul 13.00.

Wise, S., & Craglia, M. (2008). GIS and Evidence-Based Policy Making. Boca

Raton: CRC Press.

Yawan, S. F. (2006). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja

Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor Papua.

Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Yudhastuti, Ririh, Rahmat Hargono. (2006). Pengendalian Malaria Di Daerah

Endemis Dengan Pendampingan Key Person. Jurnal Kesehatan

Lingkungan, Vol.3, No.1, Juli 2006 : 77 – 86.

Page 200: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

120

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Suh

u

Bulan

Suhu Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Kota Lubuk Linggau Tahun 2009

Suhu Minimum

Suhu Maksimum

Suhu Rata-Rata

0

5

10

15

20

25

30

35

Suh

u

Bulan

Suhu Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Kota Lubuk Linggau Tahun 2010

Suhu Minimum

Suhu Maksimum

Suhu Rata-Rata

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Suh

u

Bulan

Suhu Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Kota Lubuk Linggau Tahun 2011

Suhu Minimum

Suhu Maksimum

Suhu Rata-Rata

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Suh

u

Bulan

Suhu Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Kota Lubuk Linggau Tahun 2012

Suhu Minimum

Suhu Maksimum

Suhu Rata-Rata

DATA CURAH HUJAN, KELEMBABAN, DAN SUHU

DI KOTA LUBUK LINGGAU TAHUN 2009-2013

LAMPIRAN 3

Page 201: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

121

0

5

10

15

20

25

30

35

Suh

u

Bulan

Suhu Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Kota Lubuk Linggau Tahun 2013

Suhu Minimum

Suhu Maksimum

Suhu Rata-Rata0

100

200

300

400

500

600

700

800

Cu

rah

Hu

jan

Bulan

Curah Hujan Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2011

2009

2010

2011

2012

2013

0102030405060708090

100

Ke

lem

bab

an

Bulan

Kelembaban Kota Lubuk Linggau Tahun 2012-2013

2012

2013

65

70

75

80

85

90

95

Ke

lem

bab

an

Bulan

Kelembaban Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2011

2009

2010

2011

Page 202: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

120

Page 203: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

121

Page 204: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

122

Page 205: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

123

Page 206: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

124

Page 207: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

125

Page 208: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

126

Page 209: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

127

Page 210: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

128

Page 211: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

129

Page 212: EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25692/1/Tri Bayu... · dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data

130