ep_bab i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Evaluasi merupakan bagian terpenting dalam pendidikan, hal ini dapat mengetahui berhasil tidaknya suatu pembelajaran yang berdasarkan kepada tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Dalam melakukan evaluasi ada beberapa hal yang harus dinilai, diantaranya ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Hasil tes yang dilakukan dalam mengevaluasi materi perlu adanya pengolahan yang objektif agar hasil dari evaluasi tersebut sesuai dengan tujuan evaluasi itu sendiri.
Tes yang seharusnya disusun adalah tes yang mengatur tingkat pencapaian mahasiswa terhadap perilaku yang terdapat dalam tujuan intruksional. Tes tersebut mungkin tidak dapat mengukur penguasaan mahasiswa terhadap seluruh uraian pengajar dalam proses intruksional, sebab apa yang diberikan pengajar selama proses tersebut belum tentu seluruhnya relevan dengan tujuan intruksional. Isi pelajaran bukanlah kriteria untuk mengukur keberhasilan proses pelaksanaan intruksional.
Untuk mengetahui pencapaian hasil belajar siswa dapat dilakukan dengan berbagai
cara, salah satunya adalah dengan menggunakan tes-tes dengan standar-standar tertentu
sesuai dengan perkembangannya. Maka dari itu bagi seorang pendidik harus mengetahui
bagaimana cara atu teknik-teknik yang baik untuk mengevaluasi anak didiknya,
sejauhmana pencapaian siswa dalam menguasai materi yang disampaikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan teknik pengolahan hasil tes?
2. Apa yang dimaksud dengan skor total?
3. Apa yang dimaksud dengan konversi skor?
4. Bagaimana cara memberi skor untuk skala sikap?
5. Bagaimana cara memberi skor untuk domain psikomotor?
6. Bagaimana pengolahan data hasil tes?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengolahan hasil tes.
2. Mengetahui pengertian dari skor total.
3. Mengertahui cara untuk melakukan konversi skor.
4. Mengetahui cara memberi skor untuk skala sikap.
5. Mengetahui cara dalam memberi skor untuk domain psikomotor.
6. Mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengolahan data hasil tes.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teknik Pengolahan Hasil Tes.
Pada umumnya pengolahan data hasil tes menggunakan bantuan statistik. Analisis
statistik digunakan jika ada data kuantitatif, yaitu data-data yang berbentuk angka-angka,
sedangkan untuk data kualitatif, yaitu data yang berbentuk kata-kata, tidak dapat diolah
dengan statistik. Jika data kualitatif itu akan diolah dengan statistik, maka data tersebut harus
diubah terlebih dahulu menjadi data kuantitatif (kuantifikasi data). Meskipun demikian, tidak
semua data kuantitatif dapat diubah menjadi data kuantitatif sehingga tidak mungkin diolah
dengan statistik.
Menurut Zainal Arifin (2006) dalam mengolah data hasil tes, ada empat langkah pokok
yang harus ditembuh. Pertama, menskor, yaitu memberi skor pada hasil tes yang dapat
dicapai oleh peserta didik. Untuk memperoleh skor mentah diperlukan tiga jenis alat bantu,
yaitu kunci jawaban, kunci skoring dan pedoman konversi. Kedua, mengubah skor mentah
menjadi skor standar sesuai dengan norma tertentu. Ketiga, mengkonversikan skor standar ke
dalam nilai, baik berupa huruf atau angka. Keempat, melakukan analisis soal (jika
diperlukan) untuk mengetahui derajat validitas dan reliabilitas soal, tingkat kesukaran soal
(difficulty index) dan daya pembeda.
Jika data sudah diolah dengan aturan-aturan tertentu, langkah selanjutnya adalah
menafsirkan data sehingga dapat memberikan makna. Langkah penafsiran data sebenarnya
tidak dapat dilepaskan dari pengolahan data itu sendiri, karena setelah mengolah data dengan
sendirinya akan menafsirkan hasil penafsiran itu. Memberikan interpretasi maksudnya adalah
membuat pernyataan (statement) terhadap hasil pengolahan data. Interpretasi terhadap suatu
hasil evaluasi didasarkan atas kriteria tertentu yang disebut norma. Norma dapat ditetapkan
terlebih dahulu secara rasional dan sistematis sebelum kegiatan evaluasi dilaksanakan, tetapi
dapat pula dibuat berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh dalam melaksanakan evaluasi.
Sebaliknya, jika penafsiran data itu tidak berdasarkan kriteria atau norma tertentu, maka ini
termasuk kesalahan besar. Misalnya, seorang peserta didik naik kelas. Kenaikan kelas itu
kadang-kadang tidak berdasarkan kriteria-kriteria yang disepakati, tetapi hanya berdasarkan
pertimbangan pribadi dan kemanusiaan, maka keputusan ini termasuk keputusan yang tidak
objektif dan merugikan semua pihak.
Dalam melaksanakan penafsiran data, baik secara kelompok maupun individu, guru
harus menggunakan norma-norma yang standar sehingga data yang diperoleh dapat
2
dibandingkan dengan norma-norma tersebut. Berdasarkan penafsiran ini, guru dapat
memutuskan bahwa peserta didik mencapai taraf kesiapan yang memadai atau tidak, ada
kemajuan yang berarti atau tidak, ada kesulitan atau tidak. Jika guru ingin menggambarkan
pertumbuhan anak, penyebaran skor dan perbandingan antar kelompok, maka perlu
menggunakan garis (kurva), grafik atau beberapa hal diperlukan profil, dan bukan dengan
daftar angka-angka. Daftar angka-angka biasanya digunakan untuk melukiskan posisi atau
kedudukan anak.
Setelah melaksanakan kegiatan tes dan lembar jawaban peserta didik diperiksa
kebenaran, kesalahan, dan kelengkapannya, selanjutnya menghitung skor mentah untuk setiap
peserta didik berdasarkan rumus-rumus tertentu dan bobot setiap soal. Kegiatan ini harus
dilakukan dengan ekstra hati-hati karena menjadi dasar bagi kegiatan pengolahan haasil tes
sampai menjadi nilai prestasi. Sebelum melakukan tes, guru harus menyusun pedoman
pemberian skor, bahkan sebaiknya guru sudah berfikir tentang strategi pemberian skor sejak
merumuskan kalimat pada setiap butir soal. Pedoman penskoran sangat penting disiapkan,
terutama bentuk soal esai. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi subjektifitas penilai.
Begitu juga ketika melakukan tes domain ak=fektif dan psikomotor peserta didik, karena
harus ditentukan ukuran-ukuran sikap dan pilihan tindakan dari peserta didik dalam
menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Rumus penskoran yang digunakan bergantung
pada bentuk soalnya, sedangkan bobot (weight) bergantung pada tingkat kesukaran soal
(difficulty index), misalnya sukar, sedang, dan mudah.
1. Cara Memberi Skor Mentah untuk Tes Uraian.
Dalam bentuk uraian biasanya skor mentah dicari dengan menggunakan sistem bobot. Sistem
bobot iini ada dua cara, yaitu :
Pertama, bobot dinyatakan dalam skor maksimum sesuai dengan tingkat kesukarannya.
Misalnya, untuk soal yang mudah skor maksimum adalah 6, untuk soal sedang skor
maksimumnya adalah 7, dan untuk soal sukar skor maksimalnya adalah 10. Cara ini tidak
memungkinkan peserta didik mendapat skor maksimum sepuluh. Kedua, bobot dinyatakan
dalam bilangan-bilangan tertentu sesuai dengan tingkat kesukaran soal. Misalnya, soal yang
mudah diberi bobot 3, soal sedang diberi bobot 4, dan soal sukar diberi bobot 5. Cara ini
memungkinkan peserta didik mendapat skor sepuluh.
Contoh 1 :
Seorang peserta didik diberi tiga soal dalam bentuk uraian. Setiap soal diberi skor (X)
maksimum dalam rentang 1-10 sesuai dengan kualitas jawaban peserta didik.
3
Tabel 1.1
Perhitungan Skor dengan Sistem Bobot Pertama.
No. Soal Tingkat Kesukaran Jawaban Skor (X)
1 Mudah Betul 6
2 Sedang Betul 7
3 Sukar Betul 10
Jumlah 23
Rumus skor = ∑X Keterangan : ∑X : jumlah skor
∑s s : jumlah soal
Jadi, skor peserta didik A= 23/3 = 7,67
Contoh 2 :
Seorang peserta didik dites dengan tiga soal dalam bentuk uraian. Masing-masing soal diberi
bobot sesuai dengan tingkat kesukarannya, yaitu bobot 5 untuk soal sukar, 4 untuk soal
sedang, 3 untuk soal mudah. Tiap-tiap soal diberikan skor (X) dengan rentang 1-10 sesuai
denga kualitas jawaban yang betul. Kemusian skor (X) yang dicapai oleh peserta didik
dikalikan dengan bobot setiap soal. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut :
Tabel 1.2
Perhitungan Skor dengan Sistem Bobot Kedua
No. Soal Tingkat Kesukaran Jawaban Skor (x) Bobot (B) X.B
1 Mudah Betul 10 3 30
2 Sedang Betul 10 4 40
3 sukar Betul 10 5 50
Jumlah 12 120
Rumus : skor = ∑XB *Keterangan : TK : Tingkat Kesukaran
∑B X : skor setiap soal
B : bobot sesuai dengan tingkat kesukaran soal
∑XB : jumlah hasil perkalian X dengan B
Jadi, skor peserta didik 120/12 = 10
Untuk memudahkan pemberian skor ada baiknya digunakan sistem yang kedua. Sistem bobot
diberikan kepada soal bentuk uraian dengan maksud untuk memberikan skor secara adil
kepada peserta didik berdasarkan kemampuannya masing-masing dalam menjawab soal-soal
yang berbeda tingkat kesukarannya. Agaknya kurang adil apabila peserta didik yang sanggup
4
menjawab soal yang sukar itu diberi skor sama dengan peserta didik yang hanya sanggup
menjawab soal yang mudah saja.
Pedoman penskoran diatas hanya dapat digunakan untuk bentuk uraian biasa, yaitu uraian
bebas dan uraian terbatas. Untuk Bentuk Uraian Objektif (BUO) dan Bentuk Uraian Non-
Objektif (BUNO) harus menggunakan uraian seperti berikut ini :
Contoh 3 :
Indikator : dapat menyebutkan lima menu dalam EXCEL.
Soal : sebutkan lima menu dalam Excel?
Tabel 1.3
Pedoman penskoran (BUO)
No. Kunci Jawaban Skor
01. File 1
02. Edit 1
03. View 1
04. Insert 1
05. Format 1
Skor maksimum 5
Contoh 4 :
Indikator : Siswa dapat menjelaskan tentang rasa bangganya sebagai bangsa Indonesia.
Butir Soal : Jelaskan alasan apa saja yang membuat kita perlu berbangga sebagai bangsa
Indonesia!
Tabel 1.4
Pedoman Penskoran (BUNO)
KRITERIA JAWABAN RENTANG
SKOR
Kebanggan yang berkaitan dengan alam Indonesia 0 – 2
Kebanggan yang berkaitan dengan keindahan tanah air Indonesia
(pemandangan alamnya, geografisnya, dsb.)
0 – 2
Kebanggan yang berkaitan dengan kenekaragaman budaya, suku,
adat istiadat, tetapi dapat bersatu
0 – 2
Kebanggan yang berkaitan dengan keramahtamahan masyarakat
Indonesia
0 – 2
Skor mkasimum 8
5
2. Cara Membuat Skor Mentah untuk Tes Objektif
Ada 2 cara untuk memberikan skor pada soal tes bentuk objektif, yaitu :
a. Tanpa Rumus Tebakan (Non-Guessing Formula)
Biasanya digunakan apabila soal belum diketahui tingkat kebaikannya. Caranya adalah
menghitung jumlah jawaban yang betul saja. Setiap jawaban betul diberi skor 1, dan
jawaban yang salah diberi skor 0. Jadi, skor = jumlah jawaban yang betul.
b. Menggunakan Rumus Tebakan (Guessing Formula)
Biasanya rumus ini digunakan apabilasoal-soal tes ini sudah pernah diujicobakan dan
dilaksanakan sehingga dapat diketahui tingkat kebenarannya. Penggunaan rumus tebakan
ini bukan karena guru sudah mengetahui bahwa peserta didik itu menebak, tetapi tes
bentuk objektif ini memang sangat memungkinkan peserta didik untuk menebak. Adapun
rumus-rumus tebakan tersebut adalah sebagai berikut :
i. Untuk item bentuk benar-salah (true- false)
Rumus :
Keterangan :
S = jumlah skor
R = jawaban yang benar
W = jawaban yang salah.
ii. Bentuk item pilihan ganda (multiple choice)
Rumus :
Keterangan :S = skor yang dicari
∑B = jumlah jawaban yang benar∑S = jawaban yang salah
n = jumlah alternatif jawaban yang disediakan
1 = bilangan tetap.
iii.Bentuk soal menjodohkan (matching).
Rumus : S = R
Keterangan :
S = skor yang diperoleh anak
R = jumlah jawaban yang benar.
iv. Bentuk soal jawaban singkat (short answer) dan melengkapi (completion)
Rumus :
6
S = R – W
S = ∑B - ∑S n-1
S = R
Keterangan :
S = skor yang diperoleh anak
R = jumlah jawaban yang benar
Contoh :
Dalam suatu pelajaran, guru mengadakan evaluasi dengan memberikan soal sebanyak 95 soal
dengan rincian sebagai berikut :
A. Pilihan ganda = 30 soal ( dengan 4 alternatif jawaban)
B. B – S = 20 soal
C. Menjodohkan = 20 soal
D. Melengkapi = 20 soal
Siswa A dapat menjawab soal yang benar terdapat pada table berikut:
Jenis soal Jawaban benar Jawaban salah
Pilihan ganda 15 soal 15 soal
B –S 15 soal 5 soal
Menjodohkan 10 soal 10 soal
Melengkapi 10 soal 10 soal
Cara menskornya yaitu:
i. Pilihan ganda
Rumus : S = ∑B - ∑S
n-1
= 15 – 5
= 10
ii. B – S
S = R – W = 15 – 5 = 10
iii.Menjodohkan
S = R = 10
iv. Melengkapi
S = R = 10
B. Skor total (Total Score)
Skor total adalah jumlah skor yang diperoleh dari seluruh bentuk soal setelah diolah dengan
rumus tebakan (guessing formula). Skor ini disebut skor mentah (raw score). Setelah dihitung
7
skor mentah setiap peserta didik, langkah selanjutnya adalah mengolah skor mentah tersebut
menjadi nilai-nilai jadi. Pengolahan skor dimaksudkan untuk menetapkan batas lulus (passing
grade) dan untuk mengubah skor mentah menjadi skor terjabar (drived score) atau skor
standar. Untuk menentukan batas lulus, terlebih dahulu harus dihitung rata-rata (mean) dan
simpangan baku (standart deviation), kemudian mengubah skor mentah menjadi skor terjabar
atau skor standar berdasarkan kriteria.
C. Konversi Skor
Konversi skor adalah proses transformasi skor mentah yang dicapai peserta didik kedalam
skor terjabar atau skor standar untuk menetapkan nilai hasil belajar yang diperoleh. Secara
tradisional, dalam menentukan nilai peserta didik pada setiap mata pelajaran, guru
menggunakan rumus sebagai berikut :
Nilai : ∑X 10 (skala 0-10)
∑S
Keterangan : ∑X : jumlah skor mentah
∑S : jumlah soal
Contoh :
Seorang peserta didik dites dengan menggunakan bentuk soal B-S (Benar – Salah). Dari
jumlah soal 30, peserta didik tersebut memperoleh jawaban betul 25, dan jawaban salah 5.
Dengan demikian, skor mentahnya adalah 25-5 = 20
Nilai = (25/30) x 10 = 6,67
Disamping cara tersebut diatas, ada juga guru yang langsung menentukan nilai berdasarkan
jumlah jawaban yang betul, tanpa mencari skor mentah terlebih dahulu. Sesuai dengan contoh
soal diatas, maka nilai peserta didik dapat ditemukan seperti berikut ini :
Nilai = (25/30) x 10 =8,33
Kedua pola konversi seperti ini mengandung banyak kelemahan, antara lain guru belum
mengantisipasi item-item yang tidak seimbang dilihat dari tingkat kesukaaran dan banyaknya
item yang disajikan dalam naskah soal. Padahal, setelah menentukan nilai, guru perlu
meninjau kembali tentang seberapa besar peserta didik memperoleh nilai dibawah batas lulus
(passing grade). Untuk itu, sudah saatnya guru meninggalkan pola konversi yang tradisional
tersebut. Guru hendaknya menggunakan pola konversi sebagai berikut :
a. Membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan suatu standar atau norma
absolut. Pendekatan ini disebut juga Penilaian Acuan Patokan (PAP).
8
b. Membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan standar atau norma relatif atau
disebut juga Penilaian Acuan Norma (PAN).
c. Membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan norma gabungan (kombinasi)
antara norma absolut (PAP) dengan norma relatif (PAN).
D. Cara Memberi Skor untuk Skala Sikap.
Salah satu prinsip umum evaluasi adalah prinsip komprehensif, artinya objek evaluasi tidak
hanya domain kognitif, tetapi juga domain afektif dan psikomotor. Tidak hanya dimensi
hasil, tetapi juga dimensi proses. Dalam domain afektif, paling tidak ada dua komponen
penting untuk diukur, yaitu sikap dan minat peserta didik terhadap suatu pelajaran. Sikap
peserta didik terhadap suatu pelajaran bisa positif, negatif, atau netral. Harapan kita terhadap
peserta didik tentu yang positif sehingga dapat menimbulkan minat belajar. Baik sikap
maupun minat belajar dapat mempengaruhi prestasi belajar. Oleh sebab itu, tugas guru adalah
mengembangkan sikap positif dan meningkatkan minat belajar peserta didik terhadap suatu
pelajaran.
Untuk mengukur sikap dan minat belajar, guru dapat alat penilaian model skala, seperti skala
sikap dan skala minat. Skala sikap dapat menggunakan lima skala, yaitu Sangat Setuju (SS),
Setuju (S), Tidak Tahu (TT), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Skala yang
digunakan adalah 5, 4, 3, 2, dan 1 (untuk pernyataan positif) dan 1, 2, 3, 4, dan 5 (untuk
pernyataan negatif). Begitu juga untuk skala minat, guru dapat menggunakan lima skala,
seperti Sangat Berminat (SB), Berminat (B), Sama Saja (SS), Kurang Berminat (KB), dan
tidak berminat (TB). Contoh :
Pak Aryo adalah seorang guru mmata pelajaran Akuntansi. Dia ingin mengukur minat peserta
didik terhadap pelajaran Akuntansi. Dia menyusun skala minat dengan 10 pernyataan. Jika
rentangan skala yang digunakan adalah 1-5, maka skor terendah peserta didik adalah
10 (10 x 1 = 10) dan skor tertinggi adalah 50 (10 x 5 = 50). Dengan demikian, mediannya
adalah (10 + 50)/2 = 30. Jika dibagi empat kategori, maka akan diperoleh tingkatan minat
sebagai berikut : Skor 10 – 20 termasuk tidak berminat, skor 21- 30 termasuk kurang
berminat,skor 31 – 40 termasuk berminat, skor 41 – 50 termasuk sangat berminat.
E. Cara Memberi Skor untuk Domain Psikomotor
Dalam domain Psikomotor, pada umumnya yang harus diukur adalah penampilan atau
kinerja. Untuk mengukurnya, guru dapat menggunakan tes tindakan melalui simulasi, unjuk
kerja atau tes identifikasi. Salah satu instrument yang dapat digunakan adalah skala penilaian
9
yang terentang dari sangat baik (5), baik (4), cukup baik (3), kurang baik (2), sampai
dengantidak baik (1).
Contoh :
Pak Budi, seorang guru agama ingin mengetahui bagaimana seseorang peserta didik
melaksanakan sholat yang baik dan benar. Untuk itu, Pak Budi meminta peserta didik A
untuk menunjukkan gerakan-gerakan shalat. Alat ukur yang digunakan adalah skala penilaian
sebagai berikut :
Tabel 1.5
Pemberian Skor untuk Praktik Gerakan Shalat
No. Aspek-aspek Penilaian Skala Penilaian
1. Gerakan Takbiratul Ikram 5 4 3 2 1
2. Gerakan Rukuk 5 4 3 2 1
3. Gerakan Sujud 5 4 3 2 1
4. Gerakan Tahiyat Awal 5 4 3 2 1
5. Gerakan Tahiyat Akhir 5 4 3 2 1
6. Salam 5 4 3 2 1
Skor
Jika peserta didik A memperoleh skor 6 ( 6 x1 ) berarti peserta didik tersebut gagal (tidak
baik), dan bila memperoleh skor 30 ( 6 x 5 ) berarti peserta didik tersebut berhasil (sangat
baik). Dengan demikian, mediannya adalah ( 30 + 6 ) / 2 = 18. Jika dibagi menjadi empat
kategori, maka akan diperoleh tingkatan nilai sebai berikut : skor 06 – 12 berarti tidak /
kurang baik (gagal), skor 13 – 18 berarti cukup baik (cukup berhasil), skor 19 – 24 berarti
baik (berhasil), skor 25 – 30 berarti sangat baik (sempurna).
F. Pengolahan Data Hasil Tes Menurut PAP dan PAN
Setelah diperoleh skor setiap peserta didik, guru hendaknya tidak tergesa-gesa menentukan
prestasi belajar atau nilai peserta didik yang didasarkan pada angka yang diperoleh setelah
membagi skor dengan membagi soal, karena cara tersebut dianggap kurang proporsional.
Misalnya, seorang peserta didik memperoleh skor 60, sementara skal nilai yang digunakan
untuk mengisi buku rapor adalah skala 0-10 atau skala 0-5, maka skore tersebut harus
dikonversikan terlebih dahulu menjadi skor standar sebelum ditetapkan sebagai nilai akhir.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa ada dua pendekatan penafsiran hasil tes,
yaitu pendekatan Penilaian Acuan Patokan (PAP) dan pendekatan Penilaian Acuan Norma
(PAN).
10
Pendekatan penilaian acuan patokan (PAP) pada umummnya digunakan untuk menafsirkan
hasil tes formatif, sedangkan penilain acuan norma (PAN) digunakan untuk menafsirkan hasil
tes sumatif.
1. Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Pendekatan ini lebih menitik beratkan pada apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik.
Dengan kata lain, kemampuan-kemampuan apa yang telah dicapai peserta didik sesudah
menyelesaikan satu bagian kecil dari suatu keseluruhan program. Jadi, PAP meneliti apa
yang dapat dikerjakan oleh peserta didik dan bukan membandingkan seorang peserta didik
dengan teman sekelasnya, melainkan dengan suatu kriteria atau patokan spesifik. Kriteria
yang dimaksud adalah suatu tingkat pengalaman belajar yang diharapkan tercapai sesudah
selesai kegiatan belajar atau sejumlah kompetensi dasar yang telah ditetapkan terlebih
dahulu sebelum kegiatan belajar berlangsung.
Contoh :
Diketahui skor 52 orang peserta didik sebagai berikut :
32 20 35 24 17 30 36 27 37 50
36 35 50 43 31 25 44 36 30 40
27 36 37 32 21 22 42 39 47 28
50 27 43 17 42 34 38 37 31 32
22 31 38 46 50 38 50 21 29 33
34 29
Pedoman konversi yang digunakan dalam mengubah skor mentah menjadi skor standar
pada norma absolut skala 5 adalah :
Tingkat penguasaan Skor standar
90 % - 100 % A
80 % - 89 % B
70 % - 79 % C
60 % – 69 % D
>59% E
Jika skor maksimum ditetapkan berdasarkan kunci jawaban = 60, maka penguasaan 90% =
0, 90 x 60 =
55,
11
Skor mentah Skor standar
54 -60 A
48 -53 B
42 -47 C
36 – 41 D
>35 E
penguasaan 80% = 0,80 x 60 = 48, penguasaan 70% = 0,70 x 60 = 42, penguasaan 60% =
0,60 x 60 =36. Dengan demikian diperoleh tabel konversi sebagai berikut:
Jadi, peserta didik yang memperoleh skor 50 berarti nilainya B, skor 35 nilainya E (tidak
lulus), skor 44 nilainya C, dan seterusnya.
2. Penilaian Acuan Norma (PAN).
Penilaian acuan norma (PAN) merupakan pendekatan klasik, karena tampilan pencapaian
hasil belajar siswa pada suatu tes dibandingkan dengan penampilan siswa lain yang
mengikuti tes yang sama. Pengukuran ini digunakan sebagai metode pengukuran yang
menggunakan prinsip belajar kompetitif. Menurut prinsip pengukuran norma, tes baku
pencapaian diadministrasi dan penampilan baku normative dikalkulasi untuk kelompok-
kelompok pengambil tes yang bervariasi. Skor yang dihasilkan siswa dalam tes yang sama
dibandingkan dengan hasil populasi atau hasil keseluruhan yang telah dibakukan. Guru
kelas kemudian mengikuti asas yang sama, mengukur pencapaian hasil belajar siswa,
dengan tepat membandingkan terhadap siswa lain dalam tes yang sama. Seperti evaluasi
empiris, guru melakukan pengukuran, mengadministrasi tes, menghitung skor,
merangking skor, dari tes yang tertinggi sampai yang terendah, menentukan skor rerata
menentukan simpang baku dan variannya .
Berikut ini beberapa ciri dari Penilaian Acuan Normatif :
a. Penilaian Acuan Normatif digunakan untuk menentukan status setiap peserta didik
terhadap kemampuan peserta didik lainnya. Artinya, Penilaian Acuan Normatif
digunakan apabila kita ingin mengetahui kemampuan peserta didik di dalam
komunitasnya seperti di kelas, sekolah, dan lain sebagainya.
b. Penilaian Acuan Normatif menggunakan kriteria yang bersifat “relative”. Artinya,
selalu berubah-ubah disesuaikan dengan kondisi dan atau kebutuhan pada waktu
tersebut.
c. Nilai hasil dari Penilaian Acuan Normatif tidak mencerminkan tingkat kemampuan
dan penguasaan siswa tentang materi pengajaran yang diteskan, tetapi hanya menunjuk
kedudukan peserta didik (peringkatnya) dalam komunitasnya (kelompoknya).
12
d. Penilaian Acuan Normatif memiliki kecendrungan untuk menggunakan rentangan
tingkat penguasaan seseorang terhadap kelompoknya, mulai dari yang sangat istimewa
sampai dengan yang mengalami kesulitan yang serius.
e. Penilaian Acuan Normatif memberikan skor yang menggambarkan penguasaan
kelompok.
3. Persamaan dan Perbedaan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan
(PAP).
Penilaian Acuan Norma dan Penilaian Acuan Patokan mempunyai beberapa persamaan
sebagai berikut:
a. Penilaian acuan norma dan acuan patokan memerlukan adanya tujuan evaluasi
spesifik sebagai penentuan fokus item yang diperlukan. Tujuan tersebut termasuk
tujuan intruksional umum dan tujuan intruksional khusus.
b. Kedua pengukuran memerlukan sample yang relevan, digunakan sebagai subjek yang
hendak dijadikan sasaran evaluasi. Sample yang diukur mempresentasikan populasi
siwa yang hendak menjadi target akhir pengambilan keputusan.
c. Untuk mandapatkan informasi yang diinginkan tenyang siswa, kedua pengukuran
sama-sama nenerlukan item-item yang disusun dalam satu tes dengan menggunakan
aturan dasar penulisan instrument.
d. Keduanya mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang akan diukur.
e. Keduanya menggunakan macam tes yang sama seperti tes subjektif, tes karangan, tes
penampilan atau keterampilan.
f. Keduanya dinilai kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitasnya.
g. Keduanya digunakan ke dalam pendidikan walaupun untuk maksud yang berbeda.
Perbedaan kedua penilaian adalah sebagai berikut:
a. Penilaian acuan norma biasanya mengukur sejumlah besar perilaku khusus dengan
sedikit butir tes untuk setiap perilaku. Penilaian acuan patokan biasanya mengukur
perilaku khusus dalam jumlah yang terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap
perilaku.
b. Penilaian acuan norma menekankan perbedaan di antara peserta tes dari segi tingkat
pencapaian belajar secara relatif. Penilaian acuan patokan menekankan penjelasan
tentang apa perilaku yang dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap peserta
tes.
13
c. Penilaian acuan norma lebih mementingkan butir-butir tes yang mempunyai tingkat
kesulitan sedang dan biasanya membuang tes yang terlalu mudah dan terlalu sulit.
Penilaian acuan patokan mementingkan butir-butir tes yang relevan dengan perilaku
yang akan diukur tanpa perduli dengan tingkat kesulitannya.
d. Penilaian acuan norma digunakan terutama untuk survey. Penilaian acuan patokan
digunakan terutama untuk penguasaan.
BAB III
PENUTUP
14
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian singkat yang telah penulis sampaikan, maka penulis dapat memberikan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Mengolah data hasil tes, ada empat langkah pokok yang harus ditembuh. Pertama,
menskor, yaitu memberi skor pada hasil tes yang dapat dicapai oleh peserta didik.
Untuk memperoleh skor mentah diperlukan tiga jenis alat bantu, yaitu kunci jawaban,
kunci skoring dan pedoman konversi. Kedua, mengubah skor mentah menjadi skor
standar sesuai dengan norma tertentu. Ketiga, mengkonversikan skor standar ke dalam
nilai, baik berupa huruf atau angka. Keempat, melakukan analisis soal (jika
diperlukan) untuk mengetahui derajat validitas dan reliabilitas soal, tingkat kesukaran
soal (difficulty index) dan daya pembeda.
2. Skor total adalah jumlah skor yang diperoleh dari seluruh bentuk soal setelah diolah
dengan rumus tebakan (guessing formula).
3. Penilaian acuan patokan adalah penilaian yang mengacu kepada tujuan instruksional
atau untuk mengukur tingkat penguasaan peserta didik terhadap perilaku yang
terdapat dalam tujuan instruksional khusus tersebut. Penilaian acuan norma adalah
penilaian yang mengacu kepada norma untuk menentukan kedudukan atau posisi
seorang peserta didik di antara kelompoknya.
4. Persamaan penilaian acuan norma dan acuan patokan antara lain adalah keduanya
mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang diukur, disusun dari
sampel butir-butir tes yang relevan dan representatif, keduanya dinilai kualitasnya
dari segi validitas dan reliabilitas dan digunakan ke dalam pendidikan walaupun untuk
maksud yang berbeda.
B. Saran
Dalam hal ini penulis mencoba memberikan saran dari uraian di atas :
1. Pendidik sebaiknya mengetahui berbagai macam teknik dalam pengolahan dan
pengonversian hasil evaluasi dengan memanfaatkan metode penilaian acuan norma dan
acuan patokan.
2. Pendidik mampu menangani peserta didiknya dalam proses pembelajaran
DAFTAR PUSTAKA
15
Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Kasiran. 1984. Teknik Analisa Item. Surabaya: Usaha Nasional
Mardapi, Djemari. 2008. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes.Yogyakarta: Mitra
Cendikia
Nurgiyantoro, Burhan. 2011. Penilaian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: BPFE
16