energi terbarukan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Krisis energi global berdampak pada peningkatan harga listrik dan
keterbatasan pasokan listrik sehingga pengembangan bioenergi sebagai sumber energi
berkelanjutan berpotensi untuk diwujudkan. Tebu merupakan sumber energi potensial
untuk menghasilkan listrik. Tebu dikenal sebagai tanaman multiproduk. Lebih dari
150 macam ko-produk tebu telah ditemukan dan lebih dari 50 jenis di antaranya telah
diproduksi secara komersial (Rao 1997). Salah satu ko-produk tebu yang telah
dikembangkan secara komersial adalah energi listrik. Perkembangan teknologi yang
pesat ikut mendorong produksi energi listrik dari tebu menjadi makin efisien, baik
konversi ampas menjadi uap maupun konversi uap menjadi energi listrik. Dengan
menggunakan teknologi konvensional, untuk memproduksi 1 kWh energi listrik
diperlukan 10 kg ampas, tetapi dengan teknologi modern hanya dibutuhkan 2 kg
ampas (Lamonica et al. 2005). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa produksi energi
listrik dari ampas tebu makin kompetitif.
Harga minyak bumi yang sulit diprediksi dalam satu dekade terakhir telah
mendorong pengembangan bioenergi sebagai sumber energi alternatif, di luar sumber
energi fosil yang semakin langka. Tanaman tebu merupakan alternative sumber
energi yang potensial karena tebu menghasilkan biomassa berupa ampas tebu
(bagasse) dan daun tebu kering (daduk). Tebu juga tergolong sebagai tanaman yang
paling efektif dalam mengubah energi matahari menjadi energi kimia dalam bentuk
biomassa. Tanaman tebu mampu memproduksi biomassa tidak kurang dari 100 t/ha
dalam waktu kurang dari 1 tahun. Dengan demikian, biomassa tebu merupakan
sumber energi terbarukan yang potensial sebagai sumber energi listrik karena tersedia
dalam jumlah yang cukup besar di pabrik gula (PG).
Industri gula dikenal sebagai industri yang memasok energinya sendiri (self
sufficiency energy) karena energi yang diperlukan untuk mengolah tebu menjadi gula
berasal dari biomassa tebu. Bahkan banyak industri gula di dunia memiliki surplus
energi dan mampu memproduksi energi listrik sehingga menghasilkan nilai tambah
ekonomis yang cukup menarik (Hassuani 2001; Morris dan Waldheim 2001;
Verbanck et al. 2001). Sebagian PG di Indonesia memiliki potensi untuk
menghasilkan surplus listrik apabila dilakukan penataan kembali terhadap produksi
dan konsumsi energi PG secara efisien sehingga mampu mencapai tingkat efisiensi
energi yang memadai (Susmiadi et al. 2008a; 2008b). Dengan konsumsi energi yang
efisien, PG berpeluang menjual listrik ke PLN. Di samping itu, beberapa keuntungan
lain dapat diperoleh, seperti menghindari suplesi energi, menghemat biaya energi,
membuka peluang untuk optimasi penggunaan peralatan, dan meningkatkan daya
saing perusahaan.
Dengan menggunakan teknologi condensing/extraction turbines (TCE),
pabrik gula (PG) berpotensi menghasilkan listrik 150 kWh/t tebu, bahkan dengan
teknologi biomass integrated gasification to gas turbines (BIG-GT)
mampu
memproduksi 300 kWh/t tebu. Produksi listrik dengan teknologi TCE berpotensi
untuk diterapkan pada sebagian PG di Indonesia. Potensi produksi listrik yang bisa
digali dalam jangka pendek atau menengah diperkirakan sebesar 379.310 MWH dari
surplus ampas tebu dan 1.029.630 MWH dari daun tebu kering, sehingga total potensi
produksi listrik dari tebu sebesar 1.408.940 MWH.
1.2 TUJUAN
1. Untuk mengetahui potensi listrik sebagai ko-produk tebu dengan
menggunakan teknologi condensing/extraction turbines (TCE)
dan
biomass integrated gasification to gas turbines (BIG-GT)
2. Upaya yang diperlukan untuk menggali potensi industri gula Indonesia
1.3 BATASAN MASALAH
1. Pabrik gula (PG) yang dimaksudkan disini adalah pabrik gula pasir.
2. Limbah dari PG yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit yaitu
limbah padat (ampas tebu/ bagasse).
BAB II
DASAR TEORI/LANDASAN TEORI
2.1 Ampas Tebu
Ampas tebu adalah suatu residu dari proses penggilingan tanaman tebu
(saccharum oficinarum) setelah diekstrak atau dikeluarkan niranya pada
Industri pemurnian gula sehingga diperoleh hasil samping sejumlah besar produk
limbah berserat yang dikenal sebagai ampas tebu (bagasse).
Pada proses penggilingan tebu, terdapat lima kali proses penggilingan dari
batang tebu sampai dihasilkan ampas tebu. Pada penggilingan pertama dan kedua
dihasilkan nira mentah yang berwarna kuning kecoklatan, kemudian pada proses
penggilingan ketiga, keempat dan kelima dihasilkan nira dengan volume yang tidak
sama. Setelah proses penggilingan awal yaitu penggilingan pertama dan kedua
dihasilkan ampas tebu basah. Untuk mendapatkan nira yang optimal, pada
penggilingan ampas hasil gilingan kedua harus ditambahkan susu kapur 3Be yang
berfungsi sebagai senyawa yang mampu menyerap nira dari serat ampas tebu,
sehingga pada penggilingan ketiga nira masih dapat diserap meskipun volumenya
lebih sedikit dari hasil gilingan kedua. Pada penggilingan seterusnya hingga
penggilingan kelima ditambahkan susu kapur 3Be dengan volume yang berbeda-beda
tergantung sedikit banyaknya nira yang masih dapat dihasilkan.
Gambar 1 Proses penggilingan tebu
Rata - rata ampas yang diperoleh dari proses giling 32 % tebu. Dengan
produksi tebu di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 21 juta ton potensi ampas yang
dihasilkan sekitar 6 juta ton ampas per tahun. Selama ini hampir di setiap pabrik gula tebu
menggunakan ampas sebagai bahan bakar boiler.
Tiap berproduksi, pabrik gula selalu menghasilkan limbah yang terdiri dari
limbah padat, cair dan gas. Limbah padat, yaitu: ampas tebu (bagas), Abu boiler dan
blotong (filter cake). Ampas tebu merupakan limbah padat yang berasal dari perasan
batang tebu untuk diambil niranya. Limbah ini banyak mengandung serat dan gabus.
Ampas tebu selain dimanfaatkan sendiri oleh pabrik sebagai bahan bakar pemasakan
nira, juga dimanfaatkan oleh pabrik kertas sebagai pulp campuran pembuat kertas.
Kadang kala masyarakat sekitar pabrik memanfaatkan ampas tebu sebagai bahan
bakar. Ampas tebu ini memiliki aroma yang segar dan mudah dikeringkan sehingga
tidak menimbulkan bau busuk. Limbah padat yang kedua berupa blotong, merupakan
hasil endapan (limbah pemurnian nira) sebelum dimasak dan dikristalkan menjadi
gula pasir. Bentuknya seperti tanah berpasir berwarna hitam, memiliki bau tak sedap
jika masih basah. Bila tidak segera kering akan menimbulkan bau busuk yang
menyengat. (Mahmudah Hamawi,2005)
Kebutuhan energi di pabrik gula dapat dipenuhi oleh sebagian ampas dari
gilingan akhir. Sebagai bahan bakar ketel jumlah ampas dari stasiun gilingan adalah
sekitar 30 % berat tebu dengan kadar air sekitar 50 %. Berdasarkan bahan kering,
ampas tebu adalah terdiri dari unsur C (carbon) 47 %, H (Hydrogen) 6,5 %, O
(Oxygen) 44 % dan abu (Ash) 2,5 %. Menurut rumus Pritzelwitz (Hugot, 1986) tiap
kilogram ampas dengan kandungan gula sekitar 2,5 % akan memiliki kalor sebesar
1825 kkal.
Kelebihan ampas (bagasse) tebu dapat membawa masalah bagi pabrik gula,
ampas bersifat bulky (meruah) sehingga untuk menyimpannya perlu area yang luas.
Ampas mudah terbakar karena di dalamnya terkandung air, gula, serat dan mikroba,
sehingga bila tertumpuk akan terfermentasi dan melepaskan panas. Terjadinya kasus
kebakaran ampas di beberapa pabrik gula diduga akibat proses tersebut. Ampas tebu
selain dijadikan sebagai bahan bakar ketel di beberapa pabrik gula mencoba
mengatasi kelebihan ampas dengan membakarnya secara berlebihan (inefisien).
Dengan cara tersebut mereka bisa mengurangi jumlah ampas tebu.
2.2 Prospek Industri Gula
Produksi tebu di dunia terus meningkat sejak awal tahun 1960 dengan
pertumbuhan rata-rata sekitar 3 % pertahun. Saat ini produksi tebu telah mencapai 1
milyar ton. Sedangkan produktivitas perkebunan tebu rata-rata berkisar 58
ton/ha/tahun yang setara dengan produksi kayu bakar kering sebesar 38 ton/ha/tahun.
Dengan tingkat produksi seperti saat ini, sektor industri gula merupakan lahan yang
potensial untuk memanfaatkan energi biomasa secara lebih ekonomis.
Di Indonesia industri gula dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : industri
gula pasir, industri gula merah, dan industri gula siwalan. Industri gula pasir dan gula
merah menggunakan bahan baku tebu, sedangkan industri gula siwalan menggunakan
bahan baku legen. Untuk pembahasan selanjutnya, akan dibahas industri gula yang
menggunakan bahan baku tebu.
Konsumsi bahan baku yang terbesar adalah industri gula pasir. Indonesia
mempunyai 68 buah perusahaan yang terdiri atas 52 buah perusahaan BUMN dan 16
buah perusahaan swasta. Produksi gula di Indonesia saat ini mencapai 3,8 juta ton
dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi 5 juta ton pada tahun 2015 (Gambar
1), dengan pertumbuhan sekitar 3,5 % pertahun dan pada tahun 2015 akan sedikit
menurun menjadi 2,5 % pertahun. Hal ini sangat berkaitan dengan semakin
meningkatnya produksi pemanis yang menggunakan bahan baku selain tebu.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Produksi Tenaga Listrik di PG
Disamping menghasilkan etanol, pabrik-pabrik gula di beberapa Negara
(Australia, Brazil, Thailand) juga mulai mengembangkan produksi tenaga listrik (co-
gen) sebagai ko-produk dari tebu. Dengan peningkatan pemakaian energi dalam
proses di pabrik terjadi kelebihan uap (steam) dari pembakaran ampas. Kelebihan
tenaga uap ini kemudian dipakai sebagai pembangkit generator untuk menghasilkan
listrik. Upaya menghasilkan etanol dan listrik ini merupakan bagian dari upaya
mempertahankan eksistensi industri gula yang selalu terancam jika hanya bertumpu
pada industri produk tunggal (gula). Secara sederhana skema pengolahan tebu
menjadi gula, etanol dan tenaga listrik pabrik gula disajikan pada Gambar 3 .
Gambar 3. Secara sederhana skema pengolahan tebu menjadi gula, etanol dan tenaga listrik pabrik gula
Bila PG-PG di Jawa ingin dikembangkan untuk menghasilkan tenaga listrik, masalah
yang harus diatasi terlebih dahulu adalah mengatasi persoalan inefisiensi energi.
Berdasarkan data yang ada, rata-rata konsumsi energi PG-PG di Indonesia sekitar 20-
25% lebih tinggi dari standar internasional.
Gambar 4. Proses pengolahan tebu sampai menjadi energi listrik
3.2 Teknologi Turbin Gas/Gasifier Biomasa
Salah satu teknologi baru untuk memanfaatkan biomasa sebagai energi
(bioenergi) secara modern yang dapat beroperasi secara komersial dalam waktu dekat
ini adalah teknologi turbin gas/gasifier biomasa (BIG/GT : Biomass Integrated
Gasifier/Gas Turbine). Penggunaan turbin gas dengan berbagai konfigurasi
merupakan teknologi terdepan yang banyak dipilih untuk pembangkit listrik karena
biaya investasi yang relatif rendah dan mempunyai efisiensi yang tinggi. Hal ini juga
didukung dengan banyaknya riset turbin gas baik untuk keperluan militer maupun
untuk kepentingan industri penerbangan yang terus dilakukan secara intensif. Dua
konfigurasi aeroderivatif turbin gas yaitu STIG (Steam- Injected Gas Turbine)
dan ISTIG (Intercooled Steam-Injected Gas Turbine).
Teknologi BIG/GT dapat dikembangkan dengan memodifikasi teknologi
turbin gas/gasifier batubara (CIG/GT : Coal Integrated Gasifier/Gas
Turbine).
Disamping itu biomasa lebih mudah untuk digasifikasi dari pada batubara. Teknologi
BIG/GT diperkirakan lebih cepat dapat dikomersialkan dibandingkan dengan
CIG/GT karena biomasa mempunyai kandungan belerang yang lebih rendah,
sehingga biaya untuk pengurangan emisi SOX lebih rendah.
Table 1. Unjuk Kerja Sistem Cogeneration Biomasa
Secara umum ada empat teknologi cogeneration yang dapat digunakan di
industri gula
untuk memproduksi uap dan energi listrik, yaitu : Condensing Extraction
Steam Turbine, Biomass Integrated Gasifier/Steam-Injected Gas
Turbine, dan Biomass Integrated Gasifier/Intercooled Steam-Injected
Gas Turbine.
3.2.1 CEST (Condensing Extraction Steam Turbine)
Industri gula yang mempunyai hasil sampingan alkohol pada umumnya
menggunakan boiler konvensional berbahan bakar ampas tebu (bagasse) (Gambar 5).
Boiler ini menghasilkan uap dengan tekanan 1,5 - 2,5 MPa dan cukup untuk
keperluan penggilingan tebu dan proses industri serta membangkitkan listrik. Setiap
ton tebu yang digiling menghasilkan uap antara 350 - 500 kg dan listrik antara 15 - 25
kWh.
Secara umum, industri ini kurang efisien dalam memanfaatkan energi, karena
hanya menggunakan ampas tebu sesuai dengan keperluan produksinya. Kelebihan
produksi ampas tebu akan ditimbun, sehingga dapat menimbulkan masalah bila
sarana untuk penimbunannya tidak ada.
Gambar 5. Sistem Cogeneration di Industri Gula dengan Boiler Konvensional
Beberapa industri gula yang modern telah menggunakan teknologi CEST,
tekanan uap yang dihasilkan boiler adalah sebesar 4,0 - 5,0 MPa. Dengan sistem ini,
untuk setiap ton tebu yang digiling dapat menghasilkan uap sebesar 350 - 500 kg uap
yang cukup untuk penggilingan tebu dan proses industri ditambah 70 - 120 kWh
listrik atau dihasilkan kelebihan energi listrik sekitar 50 - 100 kWh. Kelebihan listrik
ini dapat disalurkan ke jaringan interkoneksi listrik yang sudah ada. Selama musim
giling bahan bakar yang dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik berasal dari 50 %
ampas tebu kering hasil penggilingan. Bila tidak musim giling bahan bakarnya
berasal dari sisa ampas tebu, daun atau pucuk tebu yang kering (barbojo), kayu bakar
atau menggunakan minyak diesel.
Meskipun penggunaan teknologi CEST dapat meningkatkan unjuk kerja dari
industri gula, tetapi ditinjau dari kondisi uap yang dihasilkan serta pemanfaatannya
untuk skala yang lebih besar, penggunaan siklus Rankine dalam sistem ini masih
relatif kurang efisien. Teknologi CEST hanya menarik untuk diterapkan di skala
sedang, sedangkan teknologi BIG/GT penerapannya lebih fleksibel dan akan dapat
memperbaiki unjuk kerja baik secara termodinamik dan ekonomi. Penggunaan
teknologi BIG/GT, yang dapat berupa BIG/STIG atau BIG/ISTIG dan akan dibahas
pada sub-bab berikut.
Gambar 6. Sistem Cogeneration di Industri Gula dengan Teknologi CEST
Gambar 7. Sistem Cogeneration untuk Industri Gula dengan Teknologi BIG/STIG
Dalam BIG/STIG, biomasa digasifikasi dan diubah dalam bentuk gas yang
mempunyai nilai kalor sekitar 15 - 20 % dari nilai kalor gas alam. Uap yang
digunakan untuk proses gasifikasi, penggilingan tebu, dan proses produksi gula
diperoleh dari HRSG (Heat Recovery Steam Generator).yang memanfaatkan
gas
buang dari turbin gas. Uap yang tidak dipakai dapat diumpankan ke ruang bakar atau
turbin untuk menaikkan daya output listrik dan meningkatkan efisiensi sistem.
Seperti pada sistem CEST, sistem BIG/STIG dapat menggunakan ampas tebu
sebagai bahan bakar selama masa giling. Jika menggunakan gasifier fixed bed yang
didesain dengan bahan bakar batubara, maka ampas tebu harus dipadatkan dalam
bentuk briket dan pelet.
3.2.2 BIG/ISTIG (Biomass Integrated Gasifier/Intercooled Steam-Injected GasTurbine)
Teknologi BIG/ISTIG serupa dengan BIG/STIG dengan memodifikasi sistem
kompresor. Penambahan intercooler pada kompresor dapat menaikkan efisiensi
turbin yang akhirnya meningkatkan unjuk kerja, sehingga output dari turbin akan
meningkat secara pula. Peningkatan output turbin dapat berlipat ganda, karena
kompresor yang dimodifikasi dengan penambahan intercooler akan bekerja lebih
ringan dan temperature gas masukan dapat dinaikkan. Bahan bakar yang digunakan
sama dengan sistem BIG/STIG yaitu menggunakan ampas tebu yang dipadatkan.
Teknologi BIG/STIG dan BIG/ISTIG saat ini masih dalam pengembangan dan
belum beroperasi secara komersial. Riset dan pengembangan terus dilakukan dengan
menggunakan dasar teknologi gasifikasi batubara terintegrasi. Teknologi BIG/STIG
(Gambar 6) diperkirakan dapat komersial dalam 5 tahun mendatang dengan tahap
awal menggunakan bahan bakar gas bumi.
BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
1. Teknologi turbin gas/gasifier biomasa terintegrasi memungkinkan untuk
segera diterapkan sejalan dengan perkembangan teknologi turbin gas/gasifier
yang berbahan bakar batubara.
2. Pengembangan teknologi BIG/GT untuk industri gula merupakan strategi
yang tepat dalam mengembangkan biomasa sebagai sumber energi, disamping
secara simultan membantu mengurangi emisi CO2 yang diakibatkan oleh
pembakaran bahan bakar fosil.
3. Penerapan teknologi BIG/GT untuk industri gula dapat turut menambah
partisipasi pihak swasta dalam pengadaan energi listrik untuk umum.
DAFTAR PUSTAKA
[1] J.M. Ogden, R.H. Williams, and M.E. Fulmer (1991). Cogeneration
Applications of Biomass Gasifier / Gas Turbine Technology in
the Cane Sugar and Alcohol Industries, Energy and Environmental in
the 21-st Century Proceeding, The MIT Press.
[2] Bagian Evaluasi dan Laporan Statistik (1996). Statistik Indonesia 1995, Biro
Pusat Statistik, Jakarta.
[3] BPS (1995). Statistik Industri 1994, Biro Pusat Statistik, Jakarta.
[4] BPPT-KFA (1988). MACRO : Macro-economic Computer Model, Final
Program and Input/Output Listing.
[5] AEEMTRC (1996). Biomass-Fuel of The Past and for The Future, Effergy,
Vol.2, No.1.