energi terbarukan

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Krisis energi global berdampak pada peningkatan harga listrik dan keterbatasan pasokan listrik sehingga pengembangan bioenergi sebagai sumber energi berkelanjutan berpotensi untuk diwujudkan. Tebu merupakan sumber energi potensial untuk menghasilkan listrik. Tebu dikenal sebagai tanaman multiproduk. Lebih dari 150 macam ko-produk tebu telah ditemukan dan lebih dari 50 jenis di antaranya telah diproduksi secara komersial (Rao 1997). Salah satu ko-produk tebu yang telah dikembangkan secara komersial adalah energi listrik. Perkembangan teknologi yang pesat ikut mendorong produksi energi listrik dari tebu menjadi makin efisien, baik konversi ampas menjadi uap maupun konversi uap menjadi energi listrik. Dengan menggunakan teknologi konvensional, untuk memproduksi 1 kWh energi listrik diperlukan 10 kg ampas, tetapi dengan teknologi modern hanya dibutuhkan 2 kg ampas (Lamonica et al. 2005). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa produksi energi listrik dari ampas tebu makin kompetitif. Harga minyak bumi yang sulit diprediksi dalam satu dekade terakhir telah mendorong pengembangan bioenergi sebagai sumber energi alternatif, di luar sumber energi fosil yang semakin langka. Tanaman tebu merupakan alternative sumber energi yang potensial karena tebu menghasilkan biomassa berupa ampas tebu (bagasse) dan daun tebu kering (daduk). Tebu juga tergolong sebagai

Upload: fitrah-alamsyah

Post on 30-Nov-2015

72 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Krisis energi global berdampak pada peningkatan harga listrik dan

keterbatasan pasokan listrik sehingga pengembangan bioenergi sebagai sumber energi

berkelanjutan berpotensi untuk diwujudkan. Tebu merupakan sumber energi potensial

untuk menghasilkan listrik. Tebu dikenal sebagai tanaman multiproduk. Lebih dari

150 macam ko-produk tebu telah ditemukan dan lebih dari 50 jenis di antaranya telah

diproduksi secara komersial (Rao 1997). Salah satu ko-produk tebu yang telah

dikembangkan secara komersial adalah energi listrik. Perkembangan teknologi yang

pesat ikut mendorong produksi energi listrik dari tebu menjadi makin efisien, baik

konversi ampas menjadi uap maupun konversi uap menjadi energi listrik. Dengan

menggunakan teknologi konvensional, untuk memproduksi 1 kWh energi listrik

diperlukan 10 kg ampas, tetapi dengan teknologi modern hanya dibutuhkan 2 kg

ampas (Lamonica et al. 2005). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa produksi energi

listrik dari ampas tebu makin kompetitif.

Harga minyak bumi yang sulit diprediksi dalam satu dekade terakhir telah

mendorong pengembangan bioenergi sebagai sumber energi alternatif, di luar sumber

energi fosil yang semakin langka. Tanaman tebu merupakan alternative sumber

energi yang potensial karena tebu menghasilkan biomassa berupa ampas tebu

(bagasse) dan daun tebu kering (daduk). Tebu juga tergolong sebagai tanaman yang

paling efektif dalam mengubah energi matahari menjadi energi kimia dalam bentuk

biomassa. Tanaman tebu mampu memproduksi biomassa tidak kurang dari 100 t/ha

dalam waktu kurang dari 1 tahun. Dengan demikian, biomassa tebu merupakan

sumber energi terbarukan yang potensial sebagai sumber energi listrik karena tersedia

dalam jumlah yang cukup besar di pabrik gula (PG).

Industri gula dikenal sebagai industri yang memasok energinya sendiri (self

sufficiency energy) karena energi yang diperlukan untuk mengolah tebu menjadi gula

berasal dari biomassa tebu. Bahkan banyak industri gula di dunia memiliki surplus

energi dan mampu memproduksi energi listrik sehingga menghasilkan nilai tambah

ekonomis yang cukup menarik (Hassuani 2001; Morris dan Waldheim 2001;

Verbanck et al. 2001). Sebagian PG di Indonesia memiliki potensi untuk

menghasilkan surplus listrik apabila dilakukan penataan kembali terhadap produksi

dan konsumsi energi PG secara efisien sehingga mampu mencapai tingkat efisiensi

energi yang memadai (Susmiadi et al. 2008a; 2008b). Dengan konsumsi energi yang

efisien, PG berpeluang menjual listrik ke PLN. Di samping itu, beberapa keuntungan

lain dapat diperoleh, seperti menghindari suplesi energi, menghemat biaya energi,

membuka peluang untuk optimasi penggunaan peralatan, dan meningkatkan daya

saing perusahaan.

Dengan menggunakan teknologi condensing/extraction turbines (TCE),

pabrik gula (PG) berpotensi menghasilkan listrik 150 kWh/t tebu, bahkan dengan

teknologi biomass integrated gasification to gas turbines (BIG-GT)

mampu

memproduksi 300 kWh/t tebu. Produksi listrik dengan teknologi TCE berpotensi

untuk diterapkan pada sebagian PG di Indonesia. Potensi produksi listrik yang bisa

digali dalam jangka pendek atau menengah diperkirakan sebesar 379.310 MWH dari

surplus ampas tebu dan 1.029.630 MWH dari daun tebu kering, sehingga total potensi

produksi listrik dari tebu sebesar 1.408.940 MWH.

1.2 TUJUAN

1. Untuk mengetahui potensi listrik sebagai ko-produk tebu dengan

menggunakan teknologi condensing/extraction turbines (TCE)

dan

biomass integrated gasification to gas turbines (BIG-GT)

2. Upaya yang diperlukan untuk menggali potensi industri gula Indonesia

1.3 BATASAN MASALAH

1. Pabrik gula (PG) yang dimaksudkan disini adalah pabrik gula pasir.

2. Limbah dari PG yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit yaitu

limbah padat (ampas tebu/ bagasse).

BAB II

DASAR TEORI/LANDASAN TEORI

2.1 Ampas Tebu

Ampas tebu adalah suatu residu dari proses penggilingan tanaman tebu

(saccharum oficinarum) setelah diekstrak atau dikeluarkan niranya pada

Industri pemurnian gula sehingga diperoleh hasil samping sejumlah besar produk

limbah berserat yang dikenal sebagai ampas tebu (bagasse).

Pada proses penggilingan tebu, terdapat lima kali proses penggilingan dari

batang tebu sampai dihasilkan ampas tebu. Pada penggilingan pertama dan kedua

dihasilkan nira mentah yang berwarna kuning kecoklatan, kemudian pada proses

penggilingan ketiga, keempat dan kelima dihasilkan nira dengan volume yang tidak

sama. Setelah proses penggilingan awal yaitu penggilingan pertama dan kedua

dihasilkan ampas tebu basah. Untuk mendapatkan nira yang optimal, pada

penggilingan ampas hasil gilingan kedua harus ditambahkan susu kapur 3Be yang

berfungsi sebagai senyawa yang mampu menyerap nira dari serat ampas tebu,

sehingga pada penggilingan ketiga nira masih dapat diserap meskipun volumenya

lebih sedikit dari hasil gilingan kedua. Pada penggilingan seterusnya hingga

penggilingan kelima ditambahkan susu kapur 3Be dengan volume yang berbeda-beda

tergantung sedikit banyaknya nira yang masih dapat dihasilkan.

Gambar 1 Proses penggilingan tebu

Rata - rata ampas yang diperoleh dari proses giling 32 % tebu. Dengan

produksi tebu di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 21 juta ton potensi ampas yang

dihasilkan sekitar 6 juta ton ampas per tahun. Selama ini hampir di setiap pabrik gula tebu

menggunakan ampas sebagai bahan bakar boiler.

Tiap berproduksi, pabrik gula selalu menghasilkan limbah yang terdiri dari

limbah padat, cair dan gas. Limbah padat, yaitu: ampas tebu (bagas), Abu boiler dan

blotong (filter cake). Ampas tebu merupakan limbah padat yang berasal dari perasan

batang tebu untuk diambil niranya. Limbah ini banyak mengandung serat dan gabus.

Ampas tebu selain dimanfaatkan sendiri oleh pabrik sebagai bahan bakar pemasakan

nira, juga dimanfaatkan oleh pabrik kertas sebagai pulp campuran pembuat kertas.

Kadang kala masyarakat sekitar pabrik memanfaatkan ampas tebu sebagai bahan

bakar. Ampas tebu ini memiliki aroma yang segar dan mudah dikeringkan sehingga

tidak menimbulkan bau busuk. Limbah padat yang kedua berupa blotong, merupakan

hasil endapan (limbah pemurnian nira) sebelum dimasak dan dikristalkan menjadi

gula pasir. Bentuknya seperti tanah berpasir berwarna hitam, memiliki bau tak sedap

jika masih basah. Bila tidak segera kering akan menimbulkan bau busuk yang

menyengat. (Mahmudah Hamawi,2005)

Kebutuhan energi di pabrik gula dapat dipenuhi oleh sebagian ampas dari

gilingan akhir. Sebagai bahan bakar ketel jumlah ampas dari stasiun gilingan adalah

sekitar 30 % berat tebu dengan kadar air sekitar 50 %. Berdasarkan bahan kering,

ampas tebu adalah terdiri dari unsur C (carbon) 47 %, H (Hydrogen) 6,5 %, O

(Oxygen) 44 % dan abu (Ash) 2,5 %. Menurut rumus Pritzelwitz (Hugot, 1986) tiap

kilogram ampas dengan kandungan gula sekitar 2,5 % akan memiliki kalor sebesar

1825 kkal.

Kelebihan ampas (bagasse) tebu dapat membawa masalah bagi pabrik gula,

ampas bersifat bulky (meruah) sehingga untuk menyimpannya perlu area yang luas.

Ampas mudah terbakar karena di dalamnya terkandung air, gula, serat dan mikroba,

sehingga bila tertumpuk akan terfermentasi dan melepaskan panas. Terjadinya kasus

kebakaran ampas di beberapa pabrik gula diduga akibat proses tersebut. Ampas tebu

selain dijadikan sebagai bahan bakar ketel di beberapa pabrik gula mencoba

mengatasi kelebihan ampas dengan membakarnya secara berlebihan (inefisien).

Dengan cara tersebut mereka bisa mengurangi jumlah ampas tebu.

2.2 Prospek Industri Gula

Produksi tebu di dunia terus meningkat sejak awal tahun 1960 dengan

pertumbuhan rata-rata sekitar 3 % pertahun. Saat ini produksi tebu telah mencapai 1

milyar ton. Sedangkan produktivitas perkebunan tebu rata-rata berkisar 58

ton/ha/tahun yang setara dengan produksi kayu bakar kering sebesar 38 ton/ha/tahun.

Dengan tingkat produksi seperti saat ini, sektor industri gula merupakan lahan yang

potensial untuk memanfaatkan energi biomasa secara lebih ekonomis.

Di Indonesia industri gula dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : industri

gula pasir, industri gula merah, dan industri gula siwalan. Industri gula pasir dan gula

merah menggunakan bahan baku tebu, sedangkan industri gula siwalan menggunakan

bahan baku legen. Untuk pembahasan selanjutnya, akan dibahas industri gula yang

menggunakan bahan baku tebu.

Konsumsi bahan baku yang terbesar adalah industri gula pasir. Indonesia

mempunyai 68 buah perusahaan yang terdiri atas 52 buah perusahaan BUMN dan 16

buah perusahaan swasta. Produksi gula di Indonesia saat ini mencapai 3,8 juta ton

dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi 5 juta ton pada tahun 2015 (Gambar

1), dengan pertumbuhan sekitar 3,5 % pertahun dan pada tahun 2015 akan sedikit

menurun menjadi 2,5 % pertahun. Hal ini sangat berkaitan dengan semakin

meningkatnya produksi pemanis yang menggunakan bahan baku selain tebu.

Gambar 2. Statistik dan Prospek Produksi Gula di Indonesia

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Produksi Tenaga Listrik di PG

Disamping menghasilkan etanol, pabrik-pabrik gula di beberapa Negara

(Australia, Brazil, Thailand) juga mulai mengembangkan produksi tenaga listrik (co-

gen) sebagai ko-produk dari tebu. Dengan peningkatan pemakaian energi dalam

proses di pabrik terjadi kelebihan uap (steam) dari pembakaran ampas. Kelebihan

tenaga uap ini kemudian dipakai sebagai pembangkit generator untuk menghasilkan

listrik. Upaya menghasilkan etanol dan listrik ini merupakan bagian dari upaya

mempertahankan eksistensi industri gula yang selalu terancam jika hanya bertumpu

pada industri produk tunggal (gula). Secara sederhana skema pengolahan tebu

menjadi gula, etanol dan tenaga listrik pabrik gula disajikan pada Gambar 3 .

Gambar 3. Secara sederhana skema pengolahan tebu menjadi gula, etanol dan tenaga listrik pabrik gula

Bila PG-PG di Jawa ingin dikembangkan untuk menghasilkan tenaga listrik, masalah

yang harus diatasi terlebih dahulu adalah mengatasi persoalan inefisiensi energi.

Berdasarkan data yang ada, rata-rata konsumsi energi PG-PG di Indonesia sekitar 20-

25% lebih tinggi dari standar internasional.

Gambar 4. Proses pengolahan tebu sampai menjadi energi listrik

3.2 Teknologi Turbin Gas/Gasifier Biomasa

Salah satu teknologi baru untuk memanfaatkan biomasa sebagai energi

(bioenergi) secara modern yang dapat beroperasi secara komersial dalam waktu dekat

ini adalah teknologi turbin gas/gasifier biomasa (BIG/GT : Biomass Integrated

Gasifier/Gas Turbine). Penggunaan turbin gas dengan berbagai konfigurasi

merupakan teknologi terdepan yang banyak dipilih untuk pembangkit listrik karena

biaya investasi yang relatif rendah dan mempunyai efisiensi yang tinggi. Hal ini juga

didukung dengan banyaknya riset turbin gas baik untuk keperluan militer maupun

untuk kepentingan industri penerbangan yang terus dilakukan secara intensif. Dua

konfigurasi aeroderivatif turbin gas yaitu STIG (Steam- Injected Gas Turbine)

dan ISTIG (Intercooled Steam-Injected Gas Turbine).

Teknologi BIG/GT dapat dikembangkan dengan memodifikasi teknologi

turbin gas/gasifier batubara (CIG/GT : Coal Integrated Gasifier/Gas

Turbine).

Disamping itu biomasa lebih mudah untuk digasifikasi dari pada batubara. Teknologi

BIG/GT diperkirakan lebih cepat dapat dikomersialkan dibandingkan dengan

CIG/GT karena biomasa mempunyai kandungan belerang yang lebih rendah,

sehingga biaya untuk pengurangan emisi SOX lebih rendah.

Table 1. Unjuk Kerja Sistem Cogeneration Biomasa

Secara umum ada empat teknologi cogeneration yang dapat digunakan di

industri gula

untuk memproduksi uap dan energi listrik, yaitu : Condensing Extraction

Steam Turbine, Biomass Integrated Gasifier/Steam-Injected Gas

Turbine, dan Biomass Integrated Gasifier/Intercooled Steam-Injected

Gas Turbine.

3.2.1 CEST (Condensing Extraction Steam Turbine)

Industri gula yang mempunyai hasil sampingan alkohol pada umumnya

menggunakan boiler konvensional berbahan bakar ampas tebu (bagasse) (Gambar 5).

Boiler ini menghasilkan uap dengan tekanan 1,5 - 2,5 MPa dan cukup untuk

keperluan penggilingan tebu dan proses industri serta membangkitkan listrik. Setiap

ton tebu yang digiling menghasilkan uap antara 350 - 500 kg dan listrik antara 15 - 25

kWh.

Secara umum, industri ini kurang efisien dalam memanfaatkan energi, karena

hanya menggunakan ampas tebu sesuai dengan keperluan produksinya. Kelebihan

produksi ampas tebu akan ditimbun, sehingga dapat menimbulkan masalah bila

sarana untuk penimbunannya tidak ada.

Gambar 5. Sistem Cogeneration di Industri Gula dengan Boiler Konvensional

Beberapa industri gula yang modern telah menggunakan teknologi CEST,

tekanan uap yang dihasilkan boiler adalah sebesar 4,0 - 5,0 MPa. Dengan sistem ini,

untuk setiap ton tebu yang digiling dapat menghasilkan uap sebesar 350 - 500 kg uap

yang cukup untuk penggilingan tebu dan proses industri ditambah 70 - 120 kWh

listrik atau dihasilkan kelebihan energi listrik sekitar 50 - 100 kWh. Kelebihan listrik

ini dapat disalurkan ke jaringan interkoneksi listrik yang sudah ada. Selama musim

giling bahan bakar yang dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik berasal dari 50 %

ampas tebu kering hasil penggilingan. Bila tidak musim giling bahan bakarnya

berasal dari sisa ampas tebu, daun atau pucuk tebu yang kering (barbojo), kayu bakar

atau menggunakan minyak diesel.

Meskipun penggunaan teknologi CEST dapat meningkatkan unjuk kerja dari

industri gula, tetapi ditinjau dari kondisi uap yang dihasilkan serta pemanfaatannya

untuk skala yang lebih besar, penggunaan siklus Rankine dalam sistem ini masih

relatif kurang efisien. Teknologi CEST hanya menarik untuk diterapkan di skala

sedang, sedangkan teknologi BIG/GT penerapannya lebih fleksibel dan akan dapat

memperbaiki unjuk kerja baik secara termodinamik dan ekonomi. Penggunaan

teknologi BIG/GT, yang dapat berupa BIG/STIG atau BIG/ISTIG dan akan dibahas

pada sub-bab berikut.

Gambar 6. Sistem Cogeneration di Industri Gula dengan Teknologi CEST

Gambar 7. Sistem Cogeneration untuk Industri Gula dengan Teknologi BIG/STIG

Dalam BIG/STIG, biomasa digasifikasi dan diubah dalam bentuk gas yang

mempunyai nilai kalor sekitar 15 - 20 % dari nilai kalor gas alam. Uap yang

digunakan untuk proses gasifikasi, penggilingan tebu, dan proses produksi gula

diperoleh dari HRSG (Heat Recovery Steam Generator).yang memanfaatkan

gas

buang dari turbin gas. Uap yang tidak dipakai dapat diumpankan ke ruang bakar atau

turbin untuk menaikkan daya output listrik dan meningkatkan efisiensi sistem.

Seperti pada sistem CEST, sistem BIG/STIG dapat menggunakan ampas tebu

sebagai bahan bakar selama masa giling. Jika menggunakan gasifier fixed bed yang

didesain dengan bahan bakar batubara, maka ampas tebu harus dipadatkan dalam

bentuk briket dan pelet.

3.2.2 BIG/ISTIG (Biomass Integrated Gasifier/Intercooled Steam-Injected GasTurbine)

Teknologi BIG/ISTIG serupa dengan BIG/STIG dengan memodifikasi sistem

kompresor. Penambahan intercooler pada kompresor dapat menaikkan efisiensi

turbin yang akhirnya meningkatkan unjuk kerja, sehingga output dari turbin akan

meningkat secara pula. Peningkatan output turbin dapat berlipat ganda, karena

kompresor yang dimodifikasi dengan penambahan intercooler akan bekerja lebih

ringan dan temperature gas masukan dapat dinaikkan. Bahan bakar yang digunakan

sama dengan sistem BIG/STIG yaitu menggunakan ampas tebu yang dipadatkan.

Teknologi BIG/STIG dan BIG/ISTIG saat ini masih dalam pengembangan dan

belum beroperasi secara komersial. Riset dan pengembangan terus dilakukan dengan

menggunakan dasar teknologi gasifikasi batubara terintegrasi. Teknologi BIG/STIG

(Gambar 6) diperkirakan dapat komersial dalam 5 tahun mendatang dengan tahap

awal menggunakan bahan bakar gas bumi.

BAB IV

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

1. Teknologi turbin gas/gasifier biomasa terintegrasi memungkinkan untuk

segera diterapkan sejalan dengan perkembangan teknologi turbin gas/gasifier

yang berbahan bakar batubara.

2. Pengembangan teknologi BIG/GT untuk industri gula merupakan strategi

yang tepat dalam mengembangkan biomasa sebagai sumber energi, disamping

secara simultan membantu mengurangi emisi CO2 yang diakibatkan oleh

pembakaran bahan bakar fosil.

3. Penerapan teknologi BIG/GT untuk industri gula dapat turut menambah

partisipasi pihak swasta dalam pengadaan energi listrik untuk umum.

DAFTAR PUSTAKA

[1] J.M. Ogden, R.H. Williams, and M.E. Fulmer (1991). Cogeneration

Applications of Biomass Gasifier / Gas Turbine Technology in

the Cane Sugar and Alcohol Industries, Energy and Environmental in

the 21-st Century Proceeding, The MIT Press.

[2] Bagian Evaluasi dan Laporan Statistik (1996). Statistik Indonesia 1995, Biro

Pusat Statistik, Jakarta.

[3] BPS (1995). Statistik Industri 1994, Biro Pusat Statistik, Jakarta.

[4] BPPT-KFA (1988). MACRO : Macro-economic Computer Model, Final

Program and Input/Output Listing.

[5] AEEMTRC (1996). Biomass-Fuel of The Past and for The Future, Effergy,

Vol.2, No.1.