enamel hipoplasia linier
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Enamel Hipoplasia Linier adalah salah satu bentuk kelainan dalam pembentukan enamel yang dapat terjadi pada gigi sulung maupun gigi permanen yang berupa garis linier seperti cincin pada seluruh permukaan enamel gigi.TRANSCRIPT

BAB I
Pendahuluan
Enamel merupakan jaringan dalam tubuh dengan kadar kalsium dan
mineral yang tinggi. Pembentukan enamel membutuhkan interaksi dari beberapa
faktor, dapat berupa faktor genetik dan juga lingkungan. Faktor-faktor ini harus
berjalan secara sinkron dengan baik untuk menghasilkan enamel yang baik secara
kuantitatif dan kualitatif. Adanya gangguan yang terjadi pada sinkronisasi ini
dapat menyebabkan hipoplasia (Jayam, et al., 2013). Adapun saat terjadinya
gangguan bervariasi dapat terjadi saat dalam kandungan, maupun saat sesudah
lahir. Saat sesudah lahir dapat terjadi pada periode neonatal, ataupun masa anak
anak (Syarief, 2011).
Keadaan ini dapat terjadi karena adanya gangguan yang disebabkan baik
faktor herediter, dan lingkungan baik lingkungan lokal maupun lingkungan
sistemik (Syarief, 2011). Faktor-faktor lingkungan yang umumnya terlibat dalam
hipoplasia enamel adalah kekurangan mineral seperti kalsium, defisiensi vitamin,
kekurangan gizi; penyakit sistemik seperti hypothyroidism, penyakit ginjal
hypoparathyroidism; obat-obatan seperti tetrasiklin, polusi lingkungan seperti
fluoride, logam berat, dan beberapa penyebab lainnya. Beberapa faktor
lingkungan bertindak pada periode yang berbeda dari waktu keterlibatan dan
lamanya waktu sehingga menghasilkan berbagai tipe hipoplasia. Pembentukan
enamel gigi terjadi pada interval waktu yang berbeda dan pada tingkat yang
1

berbeda. Gangguan yang terjadi pada periode waktu tertentu akan terlihat secara
fisik di bagian enamel yang terbentuk pada waktu tersebut. Oleh karena itu
perbedaan hipoplasia akibat faktor lingkungan dari hipoplasia karena faktor
genetik (seperti amelogenesis imperfekta) adalah tidak semua bagian dari gigi
terlibat pada hipoplasia akibat faktor lingkungan (Jayam, et al., 2013).
Defek email merupakan kelainan struktur email yang lebih memudahkan
terjadinya kerusakan baik pada gigi sulung maupun gigi permanem, bila
dibanding dengan gigi normal tanpa defek. Hal ini menurunkan kualitas emailnya
sehingga rapuh, dan mempunyai nilai estetika yang buruk. Oleh karena itu hal ini
harus segera diintervensi secara dini agar kerusakannya tidak bertambah parah
(Syarief, 2011).
Hipoplasia enamel linier adalah jenis hipoplasia spesifik akibat faktor
lingkungan yang ditandai dengan beberapa defek simetris dan seperti cincin yang
melibatkan semua permukaan gigi pada banyak gigi. Amelogenesis adalah salah
satu proses yang berjalan dalam satu waktu, setiap malformasi yang terjadi dapat
menyebabkan kelainan permanen pada enamel. Satu kali enamel yang rusak telah
terbentuk maka tidak dapat diperbaiki seperti jaringan tubuh lainnya; maka setiap
defek yang terbentuk memiliki dampak yang kuat terhadap kesehatan dan kualitas
hidup seseorang. Konsekuensi hipoplasia tergantung pada tingkat keparahan
hipoplasia yang terjadi, interaksi agen etiologi dan usia pasien datang
memeriksakan giginya dengan keluhan hipoplasia. Berbagai keluhan yang
bervariasi dapat muncul terkait dengan hipoplasia enamel linier, yang meliputi
rasa sensitif terhadap stimulus udara, dingin, hangat dan mekanik,
2

ketidakmampuan untuk mengunyah makanan, karies gigi, dan seterusnya. Pasien
mungkin juga merasakan keluhan kegagalan restorasi yang berulang ulang. Oleh
karena itu diagnosis awal dan rencana perawatan serta penentuan hipoplasia
enamel linier sangat diperlukan (Jayam, et al., 2013).
3

BAB II
Presentasi Kasus
Anak laki-laki berusia 14 tahun, datang dengan keluhan adanya goresan
pada permukaan banyak gigi. Sejarah lebih lanjut mengungkapkan bahwa goresan
tersebut telah ada sejak gigi tumbuh dalam rongga mulut. Tidak ada riwayat
trauma yang ditemukan. Dilaporkan bahwa gigi sulung tidak memiliki kelainan
yang serupa. Orang tua yang datang menyertai anaknya tersebut ditanyakan
mengenai riwayat pre-natal dan post-natal. Orang tua pasien menjelaskan bahwa
anaknya sempat dirawat di rumah sakit untuk jangka waktu yang signifikan,
sekitar 1 tahun pada usia 2-3 tahun. Alasan yang disebutkan untuk rawat inap
tersebut yaitu kekurangan gizi. Pemeriksaan umum yang dilakukan juga
mengungkapkan bahwa pasien menderita kekurangan gizi.
Pemeriksaan intraoral menunjukkan gigi yang telah tumbuh sesuai dengan
usia erupsi kronologis untuk anak berusia 12 tahun. Beberapa lesi hipoplasia
(kuantitatif) terlihat pada beberapa gigi. Deformitas hipoplasia terlihat di 1/3
servikal dari gigi 12, 13, 22, 23, 33, 43; 1/3 tengah dari gigi 14, 24, 34 dan 44, serta
puncak cusp gigi 15, 25, 35 dan 45. (Gambar 1-5) (Pada gambar 2 dan 3 ditandai
dengan pensil untuk membedakan hipoplasia dari enamel normal untuk
kepentingan fotografi dan representasi yang lebih baik bagi pembaca). Keunikan
dari lesi ini adalah bahwa lesi yang nampak berupa garis linier, seperti cincin
(semua permukaan gigi terlibat), simetris (gigi di kontralateral rahang memiliki
4

lesi yang sama pada posisi gigi yang sama) dan yang paling penting kronologis
(area gigi berhubungan dengan mineralisasinya pada titik waktu tertentu). Dengan
demikan, berdasarkan posisi dapat disimpulkan bahwa hipoplasia terjadi sekitar
usia 2- 2 ½ tahun. Temuan ini sesuai dengan riwayat medis pasien, di mana anak
tersebut dirawat di rumah sakit untuk jangka waktu yang signifikan.
Gambar 1. Aspek labial
Gambar 2. Aspek lateral kanan
Gambar 3. Aspek lateral kiri
5

Gambar 4. Aspek palatal
Gambar 5. Aspek lingual
Orangtua pasien tidak menyetujui untuk dilakukan prosedur perawatan
dengan restorasi estetik. Oleh karena itu yang akan dilakukan hanya prosedur
perawatan preventif seperti fluoride topikal untuk mengurangi gejala yang
diakibatkan dari hipoplasia. Pasien disarankan untuk melakukan follow-up.
6

BAB III
Tinjauan Pustaka
1. Hipoplasia Enamel
Amelogenesis terjadi dalam dua tahap. Pada tahap pertama,terjadi
pembentukan matriks enamel, dan pada tahap kedua, matriks mengalami
mineralisasi atau kalsifikasi. Faktor lokal atau sistemik yang mengganggu proses
normal amelognenesis menyebabkan pembentukan matriks permukaan enamel
tidak sempurna dan terjadi penyimpangan yang disebut dengan hipoplasia enamel.
Faktor-faktor yang mengganggu kalsifikasi dan pematangan enamel menimbulkan
suatu kondisi yang disebut dengan hipokalsifikasi enamel (McDonald, et al.,
2004).
2. Etiologi Hipoplasia Enamel
3.2.1 Faktor Genetik
Amelogenesis imperfekta (AI) merupakan defek enamel akibat faktor
genetik. Kelainan ini adalah hasil dari mutasi gen yang diikuti autosomal
dominan, autosomal resesif, atau pola X-link. (Welbury, 2001). AI terjadi akibat
adanya mutasi dari berbagai tipe gen yang terlibat dalam proses amelogenesis.
Mutasi yang terjadi pada gen yang berperan terhadap pembentukan matriks
7

enamel seperti seperti ENAM (enamelin), AMELX (amelogenin), menghasilkan
enamel yang hipoplastik dan hipomineralisasi (hipokalsifikasi). Termasuk adanya
pitting dan groove pada enamel, serta enamel yang tipis dan perubahan struktur
normal enamel rod. Mutasi gen MMP20 (enamelysin) dan KLK4 (kallikrein)
menghasilkan enamel yang terhipomineralisasi, walaupun ketebalan enamel
normal (Hand & Frank, 2014). Studi molekular lebih lanjut menyatakan terdapat
berbagai proses mutasi pada gen yang terlibat dalam proses amelogenesis,
menyebabkan timbulnya tampilan klinis pada macam-macam tipe AI (Welbury,
2001). Amelogenenesis imperfekta diklasifikasikan menjadi 4 tipe :
1. Hipoplasia
Karakteristik enamel pada AI tipe ini adalah enamel yang tipis, sehingga
dentin dapat terlihat dan menunjukkan warna kuning kecokelatan pada gigi.
Bentuk enamel bervariasi, dapat memiliki pit, kasar, atau halus dan mengilap.
Bentuk kontur enamel tidak seperti biasa, namun berbentuk kotak. Berkurangnya
ketebalan enamel juga menyebabkan gigi tampak kecil, dan tidak memiliki kontak
proksimal (White & Pharoah, 2004).
Gambar 6. AI tipe hipoplasia yang menunjukkan adanya tampilan pitted (Laskaris, 2011)
8

2. Hipomaturasi
Pada AI tipe hipomaturasi, enamel memiliki ketebalan yang normal tetapi
memiliki tampilan mottled, yaitu lebih lunak dari normal, dan mudah terkelupas
dari mahkota. Warna yang muncul bervariasi dari putih, kuning, atau coklat. Salah
satu bentuk dari tipe hipomaturasi ini adalah snow-capped (enamel berwarna putih
opak) (White & Pharoah, 2004).
Gambar 7. AI tipe hipomaturasi (Laskaris, 2011)
3. Hipokalsifikasi (Hipomineralisasi)
Kepadatan enamel pada tipe normal, tetapi mudah fraktur dan terabrasi jika
dipakai untuk fungsi karena permukaannya yang lunak-kasar (“soft-rough”).
Warna gigi yang tampak berwarna putih opak, kuning, atau cokelat tua. Gejala
yang dirasakan berupa rasa sensitif, dan pembentukan kalkulus sangat mudah
pada AI tipe ini (Hand & Frank, 2014).
Gambar 8. AI tipe hipokalsifikasi (Laskaris, 2011)
9

4. Hipomaturasi dan hipoplasia
Klasifikasi ini mengindikasikan kombinasi antara hipomaturasi dan
hipoplasia. Enamel tampak mottled dan berwarna kuning dan coklat (Hand &
Frank, 2014).
3.2.2 Faktor Lingkungan
Defek enamel yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dapat disebabkan
oleh adanya kelainan sistemik atau dari faktor lokal yang mengganggu
perkembangan gigi. Defek yang berasal dari faktor lingkungan ini dapat terjadi
pada masa perkembangan enamel gigi sulung dan gigi permanen (Welbury, 2001).
Waktu terjadinya defek dari faktor lingkungan ini diindikasikan dari posisi gigi
yang terkena serta gigi apa yang terkena. Jika gangguan terjadi saat in utero maka
defek akan terlihat pada gigi sulung, gangguan yang terjadi setelah lahir hingga 2
tahun maka defek akan terlihat pada gigi anterior permanen dan gigi molar
pertama permanen, dan jika gangguan terjadi pada usia 4 dan 5 tahun maka defek
akan terlihat pada gigi kaninus, premolar, dan molar kedua permanen
(Warnakulasuriya & Tilakaratna, 2013).
10

3.2.2.1 Kelainan Sistemik
1. Defisiensi Nutrisi
Malnutrisi dapat menyebabkan hipoplasia enamel akibat kurangnya
komponen yang dibutuhkan oleh sel untuk membentuk matriks enamel (DeLong
& Burkhart, 2013). Defisiensi nutrisi merupakan etiologi yang paling sering
ditemukan dalam kasus hipoplasia enamel, terutama defisiensi vitamin A, C, dan
D, kalsium, dan fosfor (McDonald, et al., 2004). Hipoplasia juga banyak
ditemukan pada bayi berat lahir rendah (BBLR) dan prematur dibandingkan
dengan bayi berat lahir normal (BBLN) (Franco, et al., 2007).
2. Defek Neurologis
Herman dan McDonald melakukan penelitian terhadap 120 orang anak
berusia 2½ hingga 10½ tahun dengan cerebral palsy dengan tujuan untuk melihat
prevalensi hipoplasia gigi. Penelitian tersebut dilakukan dengan kelompok
pembanding yaitu 117 orang anak dalam keadaan normal dengan usia yang sama.
Hasilnya menunjukkan kasus hipoplasia enamel ditemukan pada 36% anak
dengan cerebral palsy, dan hanya 6% pada anak yang tidak menderita kelainan
tersebut (McDonald, et al., 2004).
3. Sindrom Nefrotik
Hasil observasi Oliver dan Owings menjelaskan bahwa hipoplasia enamel
pada gigi permanen terjadi pula pada anak dengan sindrom nefrotik (penyakit
ginjal) dan memiliki prevaliensi yang cukup tinggi. Selain itu, Koch et al. juga
11

menemukan insidensi hipoplasia enamel yang tinggi pada anak yang didiagnosa
memiliki kelainan ginjal pada waktu bayi (McDonald, et al., 2004).
4. Obat-obatan
Administrasi obat-obatan seperti tetrasiklin terutama pada setengah akhir
masa kehamilan ibu, dan anak dibawah usia 8 tahun dapat menyebabkan
hipoplasia enamel dengan tampilan diskolorasi kuning-abu-cokelat. Selain itu,
radioterapi dan obat-obatan kemoterapi juga dapat mempengaruhi terjadinya
hipoplasia enamel (Saraf, 2008).
5) Fluoride (Dental Fluorosis)
Ingesti fluoride secara berlebihan dapat mengakibatkan dampak terhadap
ameloblas selama tahap pembentukan gigi dan dapat menghasilkan keadaan klinis
yang disebut dengan dental fluorosis atau mottled enamel. Dental fluorosis
umumnya terlihat pada gigi permanen, tetapi dapat juga terjadi pada gigi sulung
jika ibu mengonsumsi fluoride berlebihan saat nmasa kehamilan (McDonald, et
al., 2004). Asupan fluoride yang berlebih hingga usia anak 8 tahun dapat
menyebabkan fluorosis pada gigi yang berbeda dan derajat keparahat yang
berbeda tergantung dosis, periode, dan waktu eksposur (Warnakulasuriya &
Tilakaratna, 2013). Fluorosis umumnya mengenai permukaan terluar enamel
dengan menampilkan flek putih yang acak, dan garis opak yang berwarna putih
chalky atau kecokelatan (Welbury, 2001).
12

Gambar 9. Mottled enamel pada fluorosis.
3.2.2.2 Trauma
1. Celah Bibir dan Langit-Langit
Anak-anak dengan celah bibir dan langit-langit memiliki prevalensi tinggi
dalam defek enamel pada gigi rahang atas yang merupakan akibat dari trauma
prosedur bedah (Welbury, 2001). Mink melakukan penelitian mengenai insidensi
hipoplasia enamel gigi anterior rahang atas pada 98 pasien dengan celah bibir
bilaterak dan unilateral yang telah dikoreksi; usia pasien antara 1½ hingga 18
tahun. Diantara pasien dengan celah bibir dan langit-langit yang telah dikoreksi
tersebut, 66% diantaranya menunjukkan tanda-tanda hipoplasia enamel pada satu
atau lebih gigi sulung anterior rahang atas mereka; demikian halnya pada 92%
orang pasien dengan gigi tetap anterior rahang atas yang sudah tumbuh
menunjukkan adanya hipoplasia enamel. Dari penelitian tersebut, Mink
menyimpulkan bahwa gigi permanen yang masih dalam tahap perkembangan
sangat rentan terhadap kerusakan akibat prosedur bedah (McDonald, et al., 2004).
13

Gambar 10. Hipoplasia pada gigi insisivus sentral rahang atas, akibat intervensi bedah saat pasien berusia 2 tahun (Laskaris, 2011).
2. Infeksi
Adanya area yang hipoplastik atau hipokalsifikasi pada mahkota gigi
permanen individual dapat disebabkan karena infeksi. Turner pertama kali
menemukan hipoplasia tipe ini, ia melihat adanya defek pada enamel dua gigi
premolar dan juga adanya infeksi pada apikal gigi molar sulung yang dekat
dengan dua gigi premolar tersebut. Hipoplasia enamel yang diakibatkan oleh
infeksi lokal disebut dengan gigi Turner atau hipoplasia Turner (McDonald, et al.,
2004).
Gambar 11. Hipoplasia pada gigi premolar rahang atas akibat infeksi pulpa kronik pada gigi sulung sebelumnya (Laskaris, 2011)
Bauer menyimpulkan dari hasil studi autopsi material bahwa inflamasi
periapikal pada gigi sulung dapat menyebar ke calon gigi permanen dibawahnya
14

selama tahap erupsi prefungsionalnya. Infeksi menyebar secara difus melalui
tulang sekitar benih gigi di bawahnya dan mengenai lapisan protektif enamel
muda, sehingga merusak kesatuan dari epitel enamel, dan mengakibatkan enamel
terekspos terhadap edema inflamasi dan jaringan granulasi (McDonald, et al.,
2004).
3. Trauma Fisik
Trauma maksilofasial merupakan masalah yang memberikan dampak
fisiologis dan fisik yang serius pada anak-anak dan orangtua anak. Anak usia 1-4
tahun paling sering terkena masalah ini, karena pada usia tersebut kontrol motorik
anak masih buruk dan sering terjatuh sehingga menghasilkan trauma
dentoalveolar. Trauma dentoalveolar yang terjadi pada gigi sulung dapat
menyebabkan dampak terhadap gigi permanen di bawahnya, dan pada
kebanyakan kasus disebabkan oleh trauma luksatif (intrusi dan ekstrusi) dan
avulsi. Adanya trauma tersebut dapat memberikan tekanan pada gigi permanen
dibawahnya dan merusak matriks enamel pada folikel benih gigi permanen,
sehingga menghasilkan defek enamel lokal (Sandhu, et al., 2014).
3.3 Manifestasi Klinis
Baik hipoplasia maupun hipokalsifikasi dapat bersifat ringan maupun
berat. Hipoplasia ringan memperlihatkan beberapa lekukan atau lubang-lubang
sehingga permukaan email tidak halus, dapat pula berupa garis horizontal
sepanjang mahkota gigi. Sedangkan pada keadaan berat, lekukan atau celah
15

berjumlah sangat banyak pada mahkota gigi, bahkan dapat kehilangan sebagian
email atau seluruh email. Bila penyebabnya faktor sistemik maka baik lesi yang
ringan maupun yang berat dapat timbul secara simetris (bilateral) pada rahang,
sedangkan bila penyebabnya faktor lokal, lesi bersifat asimetris terdapat secara
unilateral saja pada gigi yang terkena. Hipoplasia berat misalnya pada hipoplasia
akibat kelainan genetik yaitu amelogenesis imperfekta. Hipokalsifikasi
bermanifestasi suatu keadaan tanpa kehilangan email tetapi menunjukkan gigi
dengan area buram tidak tembus cahaya disebut juga enamel opacity, atau
opasitas, dimana enamel dapat menunjukkan warna kuning atau coklat, disertai
rasa sensitif terhadap perubahan suhu (Syarief, 2011).
Hipoplasia dikategorikan menjadi beberapa tipe menurut Silberman, et al.,
yaitu : a) Tipe I, diskolorasi enamel akibat hipoplasia; b) Tipe II, peleburan
enamel abnormal akibat hipoplasia; c) Tipe III, beberapa bagian enamel hilang
akibat hipoplasia; d) Tipe IV, kombinasi ketiga tipe hipoplasia (Sandhu, et al.,
2014). Hipoplasia enamel berdasarkan gambaran klinisnya dapat memperlihatkan
suatu garis linier atau sirkuler.
1. Hipoplasia Enamel Linier
Hipoplasia enamel linier adalah jenis hipoplasia spesifik akibat faktor
lingkungan yang ditandai dengan beberapa defek simetris dan seperti cincin yang
melibatkan semua permukaan gigi pada banyak gigi (Jayam, et al., 2013).
Umumnya hipoplasia enamel yang disebabkan karena kelainan sistemik akan
menampilkan gambaran ini.
16

Gambar 12. Hipoplasia enamel linier
2. Hipoplasia Enamel Sirkuler
Hipoplasia enamel sirkuler adalah hipoplasia pada enamel yang terlihat
sebagai garis horizontal tidak beraturan pada mahkota gigi di area servikal gigi
permanen sebagai akibat dari trauma gigi sulung. Hipoplasia yang
memperlihatkan gambaran ini adalah hipoplasia Tipe IV (Sandhu, et al., 2014).
Gambar 13. Hipoplasia enamel sirkuler (Sandhu, et al., 2014)
3.4 Perawatan
Beberapa keluhan dapat muncul sebagai akibat dari kelainan dalam
perkembangan enamel, terdapat empat masalah klinis utama yang disebabkan oleh
kegagalan perkembangan enamel, yaitu estetika yang buruk, atrisi pada enamel,
17

eksposur pada dentin yang menyebabkan sensitivitas, OH buruk, gingivitis, dan
karies (Welbury, 2001):
Pencegahan pada kasus hipoplasia enamel sulit dilakukan, karena
prosesnya terjadi saat gigi masih dalam tahap pembentukan dan perkembangan.
Oleh karena itu tindakan yang mungkin dilakukan adalah prosedur berikut
(Welbury, 2001) :
1. Pencegahan kerusakan yang lebih lanjut
Pencegahan kerusakan yang lebih lanjut merupakan tahap perawatan yang
penting pada anak dengan hipoplasia enamel. Kebersihan mulut pada anak dengan
kondisi ini buruk karena permukaan enamel yang kasar sehinga mempermudah
retensi plak sehingga menghasilkan OH yang buruk. Maka dari itu OHI harus
dijelaskan secara detail pada pasien. Tindakan preventif terhadap karies dengan
konseling pola makan, pemberian suplemen fluoride, dan aplikasi fluoride topikal
juga dapat dilakukan (Welbury, 2001).
2. Restorasi
Prosedur restoratif yang dilakukan dapat bervariasi tergantung usia pasien
dan keparahan lesinya. Prinsip utama perawatan adalah intervesi minimal
(Welbury, 2001).
3. Estetik
Biasanya estetik bukan menjadi masalah utama pada gigi sulung. Jika anak
cukup kooperatif dalam menjalani prosedur perawatan, penggunaan semen glass
18

ionomer sudah cukup untuk mendapatkan kepuasan pasien. Jika gigi permanen
telah erupsi, maka dapat dilakukan prosedur restoratif dengan menggunakan
veneer dan mahkota (Welbury, 2001).
19

BAB IV
Diskusi
Hipoplasia enamel linier dapat menyebabkan beberapa masalah pada gigi
seperti estetika yang buruk, gigi sensitif, maloklusi dan kecenderungan untuk
terjadinya karies. Dalam bentuk paling ringan LEH sering tidak terdiagnosis,
biasanya ketika ditemukan didiagnosis sebagai karies profunda, karena sebagian
besar gigi mudah rentan terhadap karies, sebelum LEH didiagnosis, gigi sudah
terkena karies profunda. Caufield PW mengusulkan adanya klasifikasi karies baru
terkait dengan hipoplasia; dimana bentuk karies karena hipoplasia sebagian besar
mengenai anak-anak yang hidup pada atau di bawah kemiskinan, ditandai dengan
kerusakan struktur utama gigi yang sangat rentan terhadap karies gigi.
Diagnosis dini dan rencana perawatan serta penentuan prognosa dari
hipoplasia enamel linear penting untuk mencegah gejala yang akan muncul.
Pendekatan berikut dapat berguna dalam penanganan hipoplasia enamel (1)
pengenalan risiko; (2) diagnosis dini; (3) antisipasi karies dan kerusakan
posterupsi; (4) remineralisasi dan desensitisasi; (5) restorasi dan ekstraksi; dan (6)
pemeliharaan.
Karena enamel sekali terbentuk tidak dapat direformasi kembali, maka
pencegahan LEH harus dilakukan. Namun, pencegahan hipoplasia enamel lebih
mudah diucapkan daripada dilakukan; karena sebagian besar proses terjadi selama
pembentukan enamel yang terjadi pada periode prenatal dan awal postnatal dan
20

screening untuk semua faktor lingkungan yang berperan dalam pembentukan
enamel sangat sulit. Hanya pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu dengan
mengurangi jumlah faktor risiko. Oleh karena itu intersepsi dari efek buruk dari
hipoplasia adalah satu-satunya pengobatan yang mungkin. Agen regeneratif gigi
seperti fluoride, agen kalsium fosfat dapat mencegah kerusakan lebih lanjut dan
menghentikan proses karies yang dapat terjadi pada pasien. Konsultasi mengenai
makanan yang baik bagi gigi dan menjaga kebersihan mulut yang baik juga harus
dilakukan untuk mencegah aktivitas karies. Pelindung pit dan fisur serta restorasi
resin juga dapat dilakukan sebagai pencegahan. Jig akrilik atau blok gigitan yang
dibuat khusus dapat diberikan untuk mencegah efek atrisi. Pada kasus ini setelah
diagnosis ditegakkan, konseling tentang faktor risiko seperti diet dan instruksi
kebersihan mulut yang buruk dilakukan pada pasien. Remineralisasi dengan
fluoride dilakukan.
Restorasi dengan semen glass ionomer , komposit, mahkota stainless steel,
veneer mahkota metal-keramik, gigi tiruan sebagian lepasan dan atau implan
adalah pilihan perawatan yang berbeda yang dibahas dalam berbagai penelitian.
Ekstraksi harus dipertimbangkan jika gigi sudah tidak dapat direstorasi lagi.
Dalam kasus yang mengharuskan tindakan ekstraksi, pendekatan interdisipliner
harus direncanakan untuk pemulihan fungsi pada anak-anak.
21

BAB V
Kesimpulan
Hipoplasia enamel linier adalah jenis hipoplasia spesifik akibat faktor
lingkungan yang disebabkan karena kelainan sistemik, ditandai dengan beberapa
defek simetris dan seperti cincin yang melibatkan semua permukaan gigi pada
banyak gigi, dapat terjadi pada gigi sulung maupun gigi permanen.
1. LEH berbeda dari hipoplasia karena penyebab genetik.
2. LEH dapat dengan mudah dibedakan dari bentuk lain dari hipopolasia.
3. Pencegahan hipoplasia sulit, sehingga intersepsi faktor resiko dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya hipoplasia.
22

DAFTAR PUSTAKA
DeLong, Leslie; Burkhart, Nancy. 2013. General and Oral Pathology for the Dental Hygienist. Philadephia : Lippincott William & Wilkins.
Hand, Arthur R.; Frank, Marion E. 2014. Fundamentals of Oral Histology and Physiology. Iowa : John Wiley & Sons, Inc.
Jayam, Cheranjeevi; et al. 2013. Linear Enamel Hypoplasia. Journal of Advanced Oral Research,Vol 4; Issue 3: Sept–Dec2013. www.joaor.org.
Laskaris, George. 2011. Color Atlas of Oral Diseases in Children and Adolescents. New York : Thieme.
McDonald, Ralph E.; Avery, David R.; Dean, Jeffrey A. 2004. Dentistry For The Child and Adolescent. Missouri, US : Mosby, Inc.
Saraf, Sanjay. 2008. Textbook of Oral Pathology. New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers.
Sandhu, Meera; Gulia, Swetha; Nagpal, Mehak; Sachdev, Vinod. 2014. Circular Enamel Hypoplasia : A Rare Enamel Developmental Disturbance in Permanent Teeth. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 2014 Aug, Vol 8 (9). www.jodr.net
Syarief, Willyanti S. 2011. Rencana Perawatan Defek Email Gigi Sulung Pada Anak Kecil Masa Kehamilan Berdasarkan Prediksi Keparahannya. Bandung : Pustaka Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.
Welbury, Richard R. 2001. Paediatric Dentistry 2d Edition. New York : Oxford Univeristy Press.
White, Stuart C; Pharoah, Michael J. 2004. Oral Radiology, Principles and Interpretation. Missouri : Mosby, Inc.
23