emergency reaksi obat (sken.3)

18
Skenario 3 Reaksi obat Seorang laki-laki, 28 tahun datang ke UGD dengan sesak nafas, nafas nya berbunyi disertai gatal-gatal ditubuhnya, kulit merah dan melepuh sejak dua hari yang lalu. Keluhan ini dialami setelah pasien mendapat injeksi obat disebuah pelayanan kesehatan primer. Oleh dokter UGD yang memeriksanya di dapatkan : KU : sedang, sens : CM Vital sign : TD : 100/70mmHg ; Nadi : 100x/menit ; RR : 30x/ menit ; suhu :36,5 C Pemeriksaan fisik : THT : sesak nafas jacson deraja II-III Regio thorax : Inspeksi : simetris Palpasi : SF kanan = kiri Perkusi : sonor Auskultasi : vesikuler kanan – kiri Status dermatologis : Lokasi I : mata Ujud kelainan : mata merah, sekret (+) Lokasi II : kulit wajah, badan dan ekstremitas atas dan bawah Ujud kelainan : vesikel, bula berbagai ukuran, lesi target (+), erosi. Lokasi III : bibir Ujud kelainan kulit : krusta hemoragi Kulit tubuh hiperemis (+), bullae (+)

Upload: juwitut

Post on 20-Feb-2016

30 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

reaksi obat pbl

TRANSCRIPT

Page 1: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

Skenario 3

Reaksi obat

Seorang laki-laki, 28 tahun datang ke UGD dengan sesak nafas, nafas nya berbunyi disertai gatal-gatal ditubuhnya, kulit merah dan melepuh sejak dua hari yang lalu. Keluhan ini dialami setelah pasien mendapat injeksi obat disebuah pelayanan kesehatan primer. Oleh dokter UGD yang memeriksanya di dapatkan :

KU : sedang, sens : CM

Vital sign : TD : 100/70mmHg ; Nadi : 100x/menit ; RR : 30x/ menit ; suhu :36,5 C

Pemeriksaan fisik :

THT : sesak nafas jacson deraja II-III

Regio thorax :

Inspeksi : simetris

Palpasi : SF kanan = kiri

Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler kanan – kiri

Status dermatologis :

Lokasi I : mata

Ujud kelainan : mata merah, sekret (+)

Lokasi II : kulit wajah, badan dan ekstremitas atas dan bawah

Ujud kelainan : vesikel, bula berbagai ukuran, lesi target (+), erosi.

Lokasi III : bibir

Ujud kelainan kulit : krusta hemoragi

Kulit tubuh hiperemis (+), bullae (+)

Page 2: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

Sasaran belajar

1. Memahami dan menjelaskan laringitis akut

1.1 Definisi

1.2 klasifikasi

1.3 Etiologi

1.4 Patofisiologi

1.5 Gejala klinis

1.6 Pemeriksaan dan diagnosis

1.7 Diagnosis banding

1.8 Penatalaksanaan

1.9 Prognosis

2. Memahami dan menjelaskan sindrom steven johnson

2.1 Definisi

2.2 klasifikasi

2.3 etiologi

2.4 patofisiologi

2.5 gejala klinis

2.6 pemeriksaan dan diagnosis

2.7 diagnosis banding

2.8 penatalaksanaan

2.9 komplikasi dan prognosis

Page 3: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

1. Memahami dan menjelaskan laringitis akut

1.1 Definisi

Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcuspneumoniae. Biasanya laringitis akut merupakan suatu fase infeksi virus pada saluran nafas atas yang dapat sembuh sendiri, factor prediposisi dapat berupa rhinitis kronik, penyalahgunaan alcohol, tembakau serta pemakaian suara yang berlebihan.

1.2 KlasifikasiSumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan kriteria Jackson.

Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis.

Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah.

Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas.

Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang gagal napas.

1.3 Etiologi1. Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti

influenza atau common cold. infeksi virus influenza (tipe A dan B) parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.

2. Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca3. Pemakaian suara yang berlebihan4. Trauma5. Bahan kimia6. Merokok dan minum-minum alkohol7. Alergi

1.4 PatofisiologiHampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri mungkin sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi mungkin berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi mucus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi tersebut akan merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring. Dan

Page 4: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika berlebihan akan merangsang peningkatan suhu tubuh.

1.5 Gejala Klinis1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang

kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).

2. Sesak nafas dan stridor3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara.4. Gejala radang umum seperti demam, malaise5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental6. Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,

sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.

7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang disertai dengan nyeri diseluruh tubuh.

8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis, membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal atau paru

9. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak.

1.6 Pemeriksaan dan diagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1. Foto rontgen leher AP : bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis(Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.

2. Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika disertai infeksi sekunder, leukosit dapat meningkat.

3. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek akan ditemukan mukosa laring yangsangat sembab, hiperemis dan tanpa membran serta tampak pembengkakan subglotis yaitu pembengkakan jaringan ikat pada konus elastikus yang akan tampak dibawah pita suara.

Page 5: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

1.7 Diagnosis Banding1. Benda asing pada laring2. Faringitis3. Bronkiolitis4. Bronkitis5. Pnemonia

1.8 PenatalaksanaanUmumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada indikasi masuk rumah sakit apabila :

· Usia penderita dibawah 3 tahun· Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted· Diagnosis penderita masih belum jelas· Perawatan dirumah kurang memadai

Terapi :1. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari2. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit3. Istirahat4. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila ada

muncul sumbatan dihidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline 0,9 %) yang dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray.

5. Medikamentosa : Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik jika pasien ada demam, bila ada gejala pain killer dapat diberikan obat anti nyeri / analgetik, hidung tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA), efedrin, pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk oral ataupun spray. Pemberian antibiotika yang adekuat yakni : ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena, terbagi 4 dosis atau kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena, terbagi dalam 4 dosis atau sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau ceftriakson) lalu dapat diberikan kortikosteroid intravena berupa deksametason dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, diberikan selama 1-2 hari.

6. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan ini tidak berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi bila sudah terjadi obstruksi jalan nafas.

7. Pencegahan : Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara, minum banyak air karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat pada tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan, batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan kering. jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara, meningkatkan pembengkakan dan berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir.

Perawatan khusus, yaitu:Terapi merikamentosa

Page 6: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

Antibiotika golongan penisilin Anak 50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis. Dewasa 3x500mg/hari Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin atau bactrim

Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengatasi edem laringTerapi bedah

Tergantung pada stadium sumbatan laring. Pada anak bila terjadi gejala sumbatan jalan nafas menurut klasifikasi Jackson, dilakukan terapi sebagai berikut: Stadium I : Rawat, observasi, pemberian oksigen dan terapi adekuat Stadium II-III : Trakheostomi Stadium IV : Intubasi dan oksigenasi, kemudian dilanjutkan

dengantrakeostomi.

Pada laringitis kronis penatalaksanaan yaitu menghindari dan mengobati faktor-faktor penyebab dengan: Istirahat bersuara (vocal rest), tidak banyak bicara atau bersuara keras Antibiotika, bila terdapat tanda infeksi

1.9 PrognosisPrognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini dapat menyebabkan udem laring dan udem subglotis sehingga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan endotrakeal atau trakeostomiaik

2. Memahami dan menjelaskan sindrom steven johnson2.1 Definisi

Sindroma Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain: sindroma de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindroma muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis.

SSJ merupakan kelainan sistemik serius dengan potensi morbiditas berat bahkan kematian, Oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan cepat. 1 Nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan bentuk yang lebih parah dari SSJ. 2 Gejala kulit yang paling penting adalah epidermolisis generalisata yang lebih jarang melibatkan mukosa.

Page 7: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

2.2 klasifikasiTerdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

2.3 Etiologi

2.4 PatofisiologiStevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai

oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.

1. Reaksi Hipersensitif tipe III.

Page 8: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

2.5 Gejala KlinisGejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyeri menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di:

Kulit; berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Lesi yang spesifik berupa lesi target, bila bula kurang dari 10% disebut Steven Johnson Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson S yndrome-Toxic Epidermolysis Necroticans (SJS-TEN), lebih dari 30% Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN). Sekitar 80% penyebab TEN adalah obat.

Mukosa (mulut, tenggorokan dan genital); berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah,

Mata; berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea.

2.5 Pemeriksaan dan diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab.

Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ .

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

Page 9: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan. Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat

peninggian eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan

dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis

sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial.

Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.

2.7 Diagnosis banding

2.8 Penatalaksanaan

Page 10: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab SSJ, sementara itu kemungkinan infeksi herpes simplex dan Mycoplasma pneumoniae harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik.

1. Antihistamin dianjurkan untuk m engatasi gejala pruritus / gatal bisa dipakai feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari, diphenhidramin hidrokloride (Benadril) 1m g/kg BB tiap kali sampai 3 kali per hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; >6 tahun: 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.

2. Blister kulit bisa dikompres basah dengan larutan larutan burowi. 3. Papula dan makula pada kulit baik intak diberikan steroid topikal,

kecuali kulit yang terbuka. 4. Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotika. Antibiotika yang paling

beresiko tinggi adalah B-lactam dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan antibiotika spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2 kali/hari.

5. Kotikosteroid: deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus intravena, kemudian dilanjutkan 0,2-0,5 m g/kg BB intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. Beberapa peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistem ik beralasan bahwa kortikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit, mempercepat konvalesensi, mencegah komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit dan mencegah kekambuhan. Beberapa literatur menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa lipokortin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid dapat meregulasi respons imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin. Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid berargumentasi bahwa kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahan gastro-intestinal dan meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu harus tappering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari, maka sebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

6. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.

Perawatan konservatif ditujukan untuk: Perawatan lesi kulit yang terbuka, seperti perawatan luka bakar. Koordinasi

dengan unit luka bakar sangat diperlukan. Terapi cairan dan elektrolit. Lesi kulit yang terbuka seringkali disertai

pengeluaran cairan disertai elektrolit. Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna

menyebabkan kesulitan asupan makanan dan minuman.

Page 11: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

Pengendalian nyeri. Penggunaan NSAID beresiko paling tinggi sebaiknya tidak digu-nakan untuk mengatasi nyeri.

2.9 Komplikasi dan prognosisKomplikasi Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:

Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan Gastroenterologi - Esophageal strictures Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis

vagina Pulmonari - pneumonia Kutaneus - timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit

sekunder Infeksi sitemik, sepsis Kehilangan cairan tubuh, shock

Prognosiso SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat

menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.

o Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

Page 12: Emergency Reaksi Obat (Sken.3)

Daftar pustaka

1. dr. Ariyanto Harsono. 2006. Steven Johnson: Diagnosis dan penatalaksanaan

2. Hermani B,Kartosudiro S & Abdurrahman B, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi ke 5, Jakarta:FKUI,2003,190-200

3. Bambang Supriyatno, Lia Amalia. 2004. Papiloma Laring pada Anak

4. Steven Johnson Syndrom. Available on :

http://www.hopkinsmedicine.org/wilmer/conditions/stevens-johnson.html (diakses September

2001)

5. Djuanda, adhi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

6. Eritema Multiforme. Available on :

http://www.fpnotebook.com/ENT/DER/ErythmMltfrm.htm (diakses September 2001)