elmasusu kefir dan daging

34
PENDAHULUAN Susu Pasteurisasi Salah satu usaha untuk menekan jumlah mikroorganisme di dalam susu tanpa mengurangi nilai gizinya, dapat dilakukan dengan pasteurisasi. Proses pasteurisasi pada susu bertujuan untuk membunuh bakteri pathogen yang tidak berspora dan sebagian besar bakteri asam laktat (Gamman dan Sherrington, 1992). Susu pasteurisasi merupakan susu segar yang diberi perlakuan panas 63ºC–66ºC selama minimum 30 menit atau pemanasan 72ºC selama minimum 5 detik, kemudian segera didinginkan sampai 10ºC, selanjutnya diperlakukan secara aseptis dan disimpan pada suhu maksimum 4,4ºC. Susu jenis ini memiliki umur simpan sekitar 14 hari. Tujuan Pasteurisasi: a. Untuk membunuh bakteri patogen, yaitu bakteri- bakteri yang berbahaya karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia (Mycobacterium tubercolosis)

Upload: yonna-almayera

Post on 20-Oct-2015

106 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

Susu Pasteurisasi

Salah satu usaha untuk menekan jumlah mikroorganisme di dalam susu

tanpa mengurangi nilai gizinya, dapat dilakukan dengan pasteurisasi. Proses

pasteurisasi pada susu bertujuan untuk membunuh bakteri pathogen yang tidak

berspora dan sebagian besar bakteri asam laktat (Gamman dan Sherrington, 1992).

Susu pasteurisasi merupakan susu segar yang diberi perlakuan panas

63ºC–66ºC selama minimum 30 menit atau pemanasan 72ºC selama minimum 5

detik, kemudian segera didinginkan sampai 10ºC, selanjutnya diperlakukan secara

aseptis dan disimpan pada suhu maksimum 4,4ºC. Susu jenis ini memiliki umur

simpan sekitar 14 hari.

Tujuan Pasteurisasi:

a. Untuk membunuh bakteri patogen, yaitu bakteri-bakteri yang berbahaya

karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia (Mycobacterium

tubercolosis)

b. Untuk membunuh bacteri tertentu yaitu dengan mengatur tingginya suhu

dan lamanya waktu pasteurisasi

c. Untuk mengurangi populasi bakteri dalam bahan susu

d. Untuk mempertinggi atau memperpanjang daya simpan bahan

e. Dapat memberikan atau menimbulkan cita rasa yang lebih menarik

konsumen

f. Pada pasteurisasi susu, proses ini dapat menginaktifkan fosfatase dan

katalase, yaitu enzim-enzim yang membuat susu cepat rusak.

Standar Nasional Indonesia (SNI) menerapkan persyaratan minimal

kandungan mikroba pada susu pasteurisasi adalah 3 x 104 dengan kandungan

Coliform minimal 10. Cemaran mikroba yang tinggi merupakan indikasi

terjadinya kerusakan pada susu, maupun terjadinya kontaminasi bakteri. Hal ini

harus dihindari, karena kandungan gizi pada susu yang tinggi menjadikan susu

merupakan media yang cocok untuk berkembangbiaknya mikroba, diantaranya

Salmonella dan E.coli yang merupakan mikroba patogen.

Susu Kefir

Pengolahan pangan dengan berbagai macam teknik pengolahan banyak

dilakukan. Salah satu teknik pengolahan pangan adalah fermentasi (Buckle

dkk.,1985). Kefir merupakan salah satu produk fermentasi susu yang memiliki

kekentalan seperti krim serta mempunyai rasa asam dan beralkohol. Nilai gizi

kefir hampir sama dengan susu yang digunakan sebagai bahan kefir tetapi ada

beberapa kelebihan apabila dibandingkan dengan susu segar. Kelebihan tersebut

adalah asam yang terbentuk dapat memperpanjang masa simpan, mencegah

pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen sehingga meningkatkan

keamanan produk kefir (Anonimus,1997). Selain itu meningkatkan ketersediaan

vitamin dan mineral (B2, B12, asam folat, fosfor dan kalsium) yang baik untuk

tubuh, mengandung asam amino esensial/triptopan (Surono, 2004).

Kefir dibuat dari susu sapi, susu kambing atau susu domba yang

ditambahkan starter kefir berupa granula kefir atau biji kefir (Kosikowski dan

Mistry, 1982; Bottazi, 1983 dalam Metanggui, 2002). Menurut Hidayat dkk

(2006), starter kefir terdiri dari bakteri asam laktat (BAL) dan khamir yang

berperan dalam pembentukan cita rasa dan struktur kefir. BAL menghasilkan

asam laktat dari pemecahan glukosa. Khamir penting dalam proses fermentasi

kefir karena menghasilkan senyawa etanol dan komponen pembentuk flavor

sehingga menghasilkan cita rasa yang khas (Usmiati, 2007).

Komposisi susu kefir terdiri dari kadar asam laktat berkisar 0,8-1,1%,

alkohol 0,5-2,5%, sedikit gas karbon dioksida, kelompok vitamin B serta diasetil

dan asetaldehid. Komposisi dan kadar nutrisi kefir adalah air 89,5%, lemak 1,5%,

protein 3,5%, abu 0,6%, laktosa 4,5% dengan nilai pH 4,6. Komponen dan

komposisi ini bervariasi, bergantung pada jenis mikrobia starter, suhu, lama

fermentasi, serta bahan baku yang digunakan. Bahan baku susu yang berkadar

lemak tinggi menghasilkan kefir dengan kadar lemak yang tinggi. Banyak

sedikitnya asam laktat dan alkohol dalam kefir sangat dipengaruhi oleh kadar

laktosa bahan baku, jenis mikrobia starter, dan lama fermentasi (Usmiati, 2007).

Susu kefir bermanfaat sebagai minuman yang bergizi tinggi dengan

kandungan gula susu (laktosa) yang relatif rendah dibandingkan susu murni, kefir

sangat bermanfaat bagi penderita lactose intolerant atau tidak tahan terhadap

laktosa, karena laktosanya telah dicerna menjadi glukosa dan galaktosa oleh

enzim laktase dari mikrobia dalam biji kefir. Di samping itu, kefir juga dipercaya

oleh sebagian masyarakat dapat menyembuhkan beberapa penyakit metabolisme

seperti diabetes, asma, dan jenis tumor tertentu, walaupun penelitian secara ilmiah

tentang hal itu belum dilakukan.

CARA KERJA

Pembuatan susu kefir yang dilakukan adalah dengan menggunakan susu

kambing. Susu kambing 400 ml dipasteurisasi dahulu (susu dipanaskan pada suhu

650 C selama 15 detik) untuk membunuh mikroorganisme patogen. Selanjutnya

susu didinginkan. Sebanyak 200 ml susu ditambahi starter kefir sebanyak 5%, dan

diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam, sedangkan 200 ml susu yang tersisa

dibiarkan pada suhu kamar selama 24 jam.

HASIL PENGAMATAN

Karakteristik Susu

pasteurisasi

Susu kefir Susu basi

Awal

(sebelum

inkubasi)

hasil

Warna Khas susu

(putih

kekuningan)

Putih

kekuningan

Kuning

sedikit

kecoklatan

Putih keruh

Bau Khas susu Khas susu yeasty

(seperti

tape)

Basi

Konsistensi Homogen cair Homogen

cair

kental Kental

berlendir

Rasa Khas susu Khas susu Asam dan

bersoda

-

pH 7 4 6

Derajat SH 11,58 4,4 5,52

TPC 7,2x107 8,8x103 3,0x108 3,2x108

PEMBAHASAN

Warna

Warna susu yang normal adalah putih kekuningan. Warna putih disebabkan

karena refleksi sinar matahari dengan adanya butiran-butiran lemak, protein dan

garam-garam didalam susu. Warna kekuningan merupakan cerminan warna karoten

dalam susu. Hasil pengamatan menunjukkan warna susu pasteurisasi normal yaitu

putih kekuningan.

Biji kefir berbentuk seperti kembang kol, berwarna putih kekuningan

dengan diameter tiap butirnya 2-15 mm dan bobot tiap butir hanya beberapa gram

saja. Bakteri asam laktat dan khamir yang hidup bersimbiosis dan tumbuh di

dalam biji kefir berada dalam perbandingan yang seimbang. Bakteri asam laktat

yang berbentuk batang akan menempati lapisan perifer (luar) biji, sedangkan ragi

ada di dalam intinya. Biji kefir yang diinokulasikan ke dalam susu akan

mengembang (diameternya membesar) dan warnanya menjadi kecoklatan karena

diselubungi partikel-partikel susu menyebabkan warna susu kefir agak kuning

sedikit kecoklatan. Sedangkan Warna susu basi masih terlihat putih kekuningan

namun tampak lebih keruh akibat perubahan konsistensinya.

Konsistensi

Konsistensi susu menunjukkan imbangan jumlah air dan bahan padat

yang ada d idalam susu sebagai suatu emulsi yang baik. Apabila ke dalam

susu ditambahkan bahan-bahan tertentu maka konsistensi susu dapat berubah,

sehingga sistem emulsi terganggu dan beberapa komponen susu terpisah dari

air.

Susu pasteurisasi memiliki konsistensi yang normal, sedangkan susu

kefir lebih kental, dan susu basi berlendir. Salah satu faktor yang

mempengaruhi viskositas (kekentalan) kefir adalah kadar asam laktat yang dapat

menggumpalkan protein dalam susu. Menurut Tamime dan Deeth (1980),

pembentukan asam laktat sangat penting dalam pembuatan susu fermentasi. Selain

sebagai penyokong cita rasa juga membantu destabilisasi protein. Destabilisasi

protein akan menyebabkan terjadinya penggumpalan, sehingga produk susu

fermentasi menjadi kental. Pada susu basi juga terjadi proses fermentasi yang

sama dengan susu kefir, hanya saja berbeda bakteri. Pada susu basi terjadi

fermentasi laktosa oleh koli menghasilkan asam laktat yg memecah protein

sehingga susu tampak kental, pecah, dan berlendir.

Rasa dan bau

Rasa dan bau susu sering kali sulit dipisahkan dan keduanya bergabung

menghasilkan kesan spesifik yang disebut sebagai flavor susu. Potineni and

Peterson (2005) melaporkan bahwa senyawa vanilin didalam susu yang

terdegradasi menjadi asam vanilat dapat menyebabkan Off-flavor selama

penyimpanan. Degradasi tersebut terkait erat dengan reaksi oksidatif dari enzim

xanthine oksidase yang secara intrinsik ada didalam susu. Senyawa lain yang ikut

berperan menentukan flavor susu adalah beberapa senyawa phenol khususnya

alkyl-phenol (Kilic and Lindsay, 2005).

Kefir merupakan salah satu produk fermentasi yang memiliki rasa, warna

dan konsistensi yang menyerupai yoghurt dan memiliki aroma khas yeasty (seperti

tape). Hal ini dipengaruhi oleh hasil metabolit bakteri dan khamir yang ada di

dalam kefir, yaitu asam laktat dan alkohol yang menyebabkan kefir memiliki rasa

asam (karena adanya asam laktat) dan bersoda seperti soft drink (karena adanya

alkohol).

Kerusakan pada susu (susu basi) disebabkan oleh terbentuknya asam laktat

sebagai hasil fermentasi laktosa oleh koli. Fermentasi oleh bakteri ini akan

menyebabkan aroma susu menjadi berubah dan tidak disukai oleh konsumen.

Keasaman

Salah satu cara untuk menentukan jumlah asam laktat adalah dengan

metode titrasi. Titrasi merupakan cara analisis dengan mengukur jumlah larutan

yang diperlukan untuk bereaksi secara tepat dengan zat yang terdapat dalam

larutan lain (Ranggana, 1997).

Tingkat keasaman atau pH adalah jumlah konsentrasi ion H+ dalam

larutan yang ditunjukkan dengan skala 1-14. Skala pH merupakan suatu cara yang

tepat untuk menggambarkan konsentrasi ion-ion hidrogen dalam larutan. Makin

besar konsentrasi ion hidrogen, maka larutan semakin asam.

Dari tabel hasil pengamatan susu pasteurisasi memiliki pH 7 dan derajat

keasaman paling tinggi, yaitu 11,580SH yang berarti paling basa diantara susu

kefir (pH 4; 4,40SH) dan susu basi (pH 6; 5,50SH), sedangkan pH dan derajat

keasaman susu kefir adalah paling rendah yang berarti paling asam diantara susu

pasteurisasi dan susu basi, dan susu basi lebih asam daripada susu pasteurisasi.

Derajat keasaman menunjukkan banyak sedikitnya asam yang terbentuk di

dalam susu akibat pertumbuhan mikroba. Total asam pada kefir dihitung

sebagai asam laktat. Asam merupakan metabolit primer dalam proses fermentasi

kefir yang dihasilkan dari pemecahan glukosa oleh bakteri Lactobacillus

bulgaricus sebagai bakteri homofermentatif. Dalam proses fermentasi kefir, pH

yang rendah mengindikasikan adanya akumulasi asam laktat (Azizah, 2004). Hal

inilah yang menyebabkan susu kefir dan susu basi lebih asam daripada susu

pasteurisasi. Jumlah mikroba penghasil asam laktat pada susu kefir lebih banyak

dibandingkan susu basi sehingga memiliki sifat asam yang lebih tinggi.

Pemeriksaan Mikrobiologis

Pada proses fermentasi kefir, akan dihasilkan metabolit primer dan

metabolit sekunder. Metabolit primer adalah senyawa-senyawa kimia yang

dihasilkan oleh mikroba dan dibutuhkan oleh mikroba tersebut untuk

pertumbuhannya (Rahman dkk., 1992). Metabolit primer antara lain asam laktat

dan alkohol. Lactobacillus bulgaricus merupakan bakteri homofermentatif yang

terutama memproduksi asam laktat melalui proses glikolisis/pemecahan glukosa,

sedangkan Candida kefir dalam proses fermentasi akan menghasilkan alkohol dan

karbondioksida.

Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesis oleh mikroba tetapi

tidak merupakan kebutuhan fisiologis pokok (Pawiroharsono, 2007). Salah satu

metabolit sekunder yang dapat berfungsi sebagai antibakteri adalah bacteriocin.

Semakin lama fermentasi dan semakin banyak glukosa yang ditambahkan,

mikroorganisme berkembang biak semakin banyak, sehingga kemampuan

mikroba (Lactobacillus bulgaricus dan khamir Candida kefir) memecah glukosa

menghasilkan metabolit primer (asam laktat dan alkohol) dan metabolit sekunder

(aktivitas antibakteri dan polifenol), akan semakin banyak (Astawan, 2008). Itulah

sebabnya hasil perhitungan TPC (Total Plate Count) pada susu kefir dan susu basi

sangat tinggi karena sudah terjadi pertumbuhan mikroorganisme di dalam susu

yaitu 3 x 108 bakteri/ml dan 3,2 x 108 bakteri/ml. Sedangkan pada susu

pasteurisasi belum terjadi pertumbuhan mikroba sehingga hasil TPC susu

pasteurisasi lebih rendah yaitu 7,2 x 107 bakteri/ml daripada susu kefir dan susu

basi. TPC susu kefir sebelum diinkubasi diperoleh kandungan mikroba 8 x 103

bakteri/ml yang berarti lebih rendah dibandingan susu kefir hasil setelah

diinkubasi, hal ini disebabkan oleh belum adanya pertumbuhan mikroba, karena

pertumbuhan BAL dan khamir yang menjadi starter kefir membutuhkan waktu

dan suhu yang sesuai saat diinkubasi. TPC susu pasteurisasi yang diperoleh

tersebut memiliki angka cemaran mikroba yang sangat jauh di atas persyaratan

yang ditetapkan oleh SNI yaitu 3 x 104 bakteri/ml, hal ini diperkirakan karena

pada susu pasteurisasi yang diuji terjadi kontaminasi.

KESIMPULAN

Kandungan mikroba di dalam air susu akan mempengaruhi karakteristik

susu (warna, bau, konsistensi, rasa, dan keasaman). Semakin lama fermentasi

maka mikroba akan berkembang biak semakin banyak. Susu kefir mengandung

asam laktat dan alkohol dari hasil fermentasi BAL dan khamir yang berasal dari

biang kefir menyebabkan rasa asam dan jumlah mikroba yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. (1997). Kefir, Susu Asam Berkhasiat. http://www.indomedia.com/intisari/1997/nov/kefir.htm (Diakses 24 September 2007).

Astawan, M. (2008). Brem. http://cybermed.cbn.net. (Diakses 2 Juli 2008).

Azizah U.(2004). Larutan Asam Basa. Proyek Pengembangan Kurikulum Pendidikan Nasional.

Buckle K. A., Edward R.A., dan Flet G. H.(1987). Ilmu Pangan. UI-Press, Jakarta.Gamman P.M. dan K.B. Sherrington.(1992). Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kilic, M. ve R. C. Lindsay. (2004). Short Communication: Utilization of sheep’s milk cheese whey in the manufacture of an alkylphenol flavor concentrate. Journal of Dairy Science. 87(12), 4001-4003.

Kosikowski, F. and Mistry V. V. (1982). Cheese and Fermented Milk Foods (3rd eds). New York.

Mettanggui, A. S.(2002). Pengaruh Jenis Kemasan Low Density Polythylene (LDPE) dan Botol Gelas terhadap Karakteristik Starter Kefir Beku. Skripsi Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pawiroharsono S. (2007). Prospek dan Manfaat Isoflavon untuk Kesehatan. Direktorat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.

Potineni, R.V. and Peterson, D.G. (2005). Influence of thermal processing conditions on flavor stability in fluid milk: benzaldehyde. J. Dairy Sci. 88:1-6.

Fardiaz, W.P. Rahaju, Suliantari dan C.C. Nurwitri. (1992). Bahan Pengajaran Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ranggana, S. (1997). Manual Of Analysis of Fruit and Vegetables Product. Tata. M. C. Graw Publishing Company Limited, New Delhi.

Surono, I.S. (2004). Probiotik, Susu Fermentasi, dan Kesehatan. Tri Cipta Karya, Jakarta.

Tamime A.Y. dan Deeth H. C. Yoghurt :Technology and Biochemistry. J. Food Protection.

Usmiati, S. 2007. Kefir, Susu Fermentasi dengan Rasa Menyegarkan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.29 (2): 1-3.

PENDAHULUAN

Daging adalah otot hewan yang tersusun dari serat-serat yang sangat kecil,

masing-masing berupa sel memanjang yang disatukan oleh jaringan ikat,

membentuk berkas ikatan yang pada kebanyakan daging jelas kelihatan lemak

pembuluh darah dan urat syaraf (Gamman dan Sherrington, 1992). Bila potongan

daging diamati secara teliti maka tampak dengan jelas bahwa daging terdiri atas

tenunan yang terdiri atas air, protein, tenunan lemak dan potongan tulang

(Winarno, 1993).

Komposisi kimia daging tergantung dari spesies hewan, kondisi hewan,

jenis daging karkas, proses pengawetan, penyimpanan dan metoda pengepakan

serta kandungan lemak daging tersebut. Daging tanpa lemak mengandung 70%

air, 9% lemak serta 1% abu (Winarno dan Rahayu, 1994).

Kebusukan dan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawa-

senyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan

hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging yang rusak

memperlihatkan perubahan organoleptik, yaitu bau, warna, kekenyalan,

penampakan, dan rasa. Diantara produk-produk metabolisme dari daging yang

busuk, kadaverin, dan putresin merupakan dua senyawa diamin yang digunakan

sebagai indicator kebusukan daging.

CARA KERJA

Daging sapi segar dipisahkan menjadi 4 bagian dengan berat masing-

masing bagian adalah 50 gr.

Bagian pertama daging segar untuk langsung diuji.

Bagian kedua dikemas dalam aluminium foil dan dimasukkan ke dalam

freezer selama 7 hari.

Bagian ketiga dikemas dalam aluminium foil dan dimasukkan ke dalam

refrigerator selama 24 jam.

Bagian keempat dibiarkan pada suhu kamar hingga membusuk.

HASIL PENGAMATAN

Karakteristik Daging

segar

Daging

refrigerator 24

jam

Daging

freezer 7

hari

Daging

busuk

Uji Eber negatif negatif negatif positif

Uji Postma negatif negatif negatif positif

Uji H2S negatif negatif negatif positif

Malachit green

test

negatif negatif negatif negatif

pH 7,24 6,94 5,8 9,4

TPC 1,5x105 9,6x105 2,3x106 1,2x107

PEMBAHASAN

Pemeriksaan Permulaan Pembusukan

Pemeriksaan awal pembusukan yang dilakukan dengan uji Eber. Jika

terjadi pembusukan, maka pada uji ini ditandai dengan terjadi pengeluaran asap di

dinding tabung, dimana rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl)

sehingga akan terbentuk NH4Cl (gas). Pada daging sapi segar, refrigerator, dan

freezer yang diperiksa hasilnya negatif dimana tidak terdapat NH4Cl setelah diuji

dengan mengunakan larutan Eber karena pada daging-daging tersebut belum

terbentuk gas NH3 . Pada daging busuk jelas terlihat gas putih (NH4Cl) pada

dinding tabung karena pada daging busuk gas NH3 sudah terbentuk.

Selain uji Eber, bisa dilakukan uji Postma. Hasil pemeriksaan uji Postma

menunjukkan bahwa sampel daging segar belum mulai terjadi pembusukan,

sampel daging refrigerator dan daging freezer juga menunjukkan hasil negatif.

Hasil positif hanya ditunjukkan oleh sampel daging busuk, yaitu dengan adanya

perubahan warna kertas lakmus pada cawan petri. Pada prinsipnya, daging yang

sudah mulai membusuk akan mengeluarkan gas NH3. NH3 bebas akan mengikat

reagen MgO dan menghasilkan NH3OH. Pada daging yang segar tidak terbentuk

hasil NH3OH karena belum adanya NH3 yang bebas. Jika tidak terjadinya

perubahan warna kertas lakmus karena MgO merupakan ikatan kovalen rangkap

yang sangat kuat sehingga walaupun terdapat unsur basa pada MgO tersebut,

namun basa tersebut tidak lepas dari ikatan rangkapnya. Jika adanya NH3 maka

ikatan tersebut akan terputus sehingga akan terbentuk basa lemah NH3OH yang

akan merubah warna kertas lakmus dari merah menjadi biru.

Dari hasil uji H2S pada sampel daging segar menunjukkan bahwa daging

tersebut belum terjadi pembusukan, sampel daging refrigerator dan daging freezer

juga menunjukkan hasil negatif. Uji H2S pada dasarnya adalah uji untuk melihat

H2S yang dibebaskan oleh bakteri yang menginvasi daging tersebut. H2S yang

dilepaskan pada daging membusuk akan berikatan dengan Pb acetat menjadi Pb

sulfit (PbSO3) dan menghasilkan bintik-bintik berwarna coklat pada kertas saring

yang diteteskan Pb acetat tersebut. Hanya kelemahan uji ini, bila bakteri penghasil

H2S tidak tumbuh maka uji ini tidak dapat dijadikan ukuran. Pembusukan dapat

terjadi karena dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif lama sehingga

aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses fermentasi oleh enzim-

enzim yang membentuk asam sulfida dan amonia.

Pengukuran pH Ekstrak Daging

Frazier and Westhoff (1981) menyatakan bahwa pembusukan adalah

dekomposisi protein oleh bakteri yang menghasilkan senyawa yang berbau busuk,

seperti indol, skatol, merkaptan aminamin dan H2S serta gas NH3. Diantara

senyawa-senyawa tersebut hanya merkaptan, H2S, dan NH3 yang bersifat asam

lemah sedangkan indol, skatol bersifat basa dan amin-amin serta kadaverin adalah

basa kuat, sehingga proses pembusukan ini akan diikuti dengan peningkatan pH.

Standar pH daging hewan sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih

adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam sampai beberapa hari. Jika

terjadi pembusukan maka pH nya akan kembali ke 7. Jarak penurunan pH tersebut

tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan antara hewan juga

berbeda. Nilai pH daging post mortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat

yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan akan terbatas

bila hewan terdepresi karena lelah. Setelah hewan disembelih, penyedian oksigen

otot terhenti. Dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa

metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari otot. Jadi daging hewan yang sudah

disembelih akan mengalami penurunan pH (Purnomo dan Adiono, 1985).

Hasil perhitungan pH daging segar adalah 7,2 yang berarti daging tersebut

berasal dari hewan yang sehat. Setelah 24 jam di dalam refrigerator pH daging

mengalami penurunan menjadi 6,94 karena adanya aktivitas mikroba yang

menyebabkan proses glikolisis menghasilkan asam laktat. Begitu pula yang terjadi

pada daging freezer yang memiliki pH 5,8. Namun, pada daging busuk pH

meningkat karena penurunan aktivitas mikroba penghasil asam laktat akibat

persediaan glikogen yang semakin terbatas dan diikuti oleh aktivitas mikroba

pembusuk penghasil senyawa basa.

Uji Malachit Green

Pada uji Malachit Green test ini untuk mengetahui hewan disembelih

dengan sempurna atau tidak. Hasil uji yang dilakukan memberikan hasil negatif,

yang berarti daging tersebut berasal dari hewan yang disembelih sempurna.

Penyembelihan dan pengeluaran darah yang tidak sempurna akan diketahui,

karena akan dijumpai banyak Hb dalam daging sehingga O2 dari H2O2 3% tidak

mengoksidasi Malachit Green menyebabkan warna larutan hijau. Sebaliknya, jika

tidak ada Hb, maka O2 akan mengoksidasi Malachit Green menjadi warna biru.

Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk

serta mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya

dapat dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995).

Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat

membusuk serta mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang

efektif hanya dapat dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie,

1995).

Pemeriksaan Mikrobiologi

Dari hasil pemeriksaan mikroba pada daging sapi segar didapat hasil Total

Plate Count (TPC) 1,5 x 105 bakteri/ml, daging sapi yang telah di simpan di dalam

refrigerator selama 24 jam diperoleh 9,6 x 105 bakteri/ml, daging freezer selama 7

hari 2,3 x 106 bakteri/ml, dan pada daging busuk 1,2 x 107 bakteri/ml. Hasil dari

daging sapi segar dan daging sapi yang telah disimpan di dalam refrigerator

selama 24 jam berada di bawah angka standar yang diperbolehkan untuk

dikonsumsi yaitu 1 x 106 koloni bakteri/ml. Seperti bahan makanan lainnya daging

sangat disenangi oleh mikroba pembusuk. Apabila mikroba tersebut telah

menginfasi dan berkembang biak di dalam daging maka dapat menyebabkan

pembusukan. Pada daging sapi yang disimpan di dalam freezer selama 7 hari dan

daging busuk hasil yang di dapat di atas standar yaitu 2,3 x 106 dan 1,2 x 107

bakteri/ml, daging-daging tersebut sudah banyak mengandung bakteri sehinga

tidak baik lagi untuk di komsumsi.

Menurut Lawrie (1995) mengatakan bahwa kontaminasi mikroba pada

daging dapat terjadi pada saat hewan tersebut masih hidup sampai sewaktu akan

dikonsumsi. Sumber kontaminasi dapat berasal dari tanah, kulit hewan, alat

jeroan, air pencelupan, alat yang dipakai selama proses persiapan karkas, kotoran

hewan, udara dan dari pekerja.

Pada umumnya, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme

pada daging ada dua macam, yaitu (a). Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi

daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi

pengahalang atau penghambat; (b). Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur,

kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging (Fardiaz,

1992).

KESIMPULAN

Dari hasil pemeriksaan, daging sapi segar dan daging yang disimpan di

dalam refrigerator selama 24 jam yang diuji maka dapat diambil kesimpulan

bahwa daging-daging itu masih layak untuk dikonsumsi karena uji organoleptik

dan pemeriksaan mikrobiologi masih memenuhi persyaratan mutu SNI.

Sedangkan daging yang disimpan di dalam freezer selama 7 hari yang diuji dapat

diambil kesimpulan bahwa daging tersebut tidak layak untuk dikonsumsi karena

walaupun uji organoleptik masih baik, jumlah mikroba yang terdapat di dalam

daging tersebut sangat tinggi di atas batas maksimum cemaran mikroba yang

ditetapkan oleh SNI.

DAFTAR PUSTAKA

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. (1981).Food Microbiology. Tata McGraw-Hill Publication Co. Ltd, New Delhi.

Gamman P.M. dan K.B. Sherrington.(1992). Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Lawrie. (1995). Ilmu Daging. Penerjemah Parakkasi. UI Press, Jakarta.

Purnomo, H. dan Adiono. (1985). Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Winarno, F. G. dan Rahayu T. S. (1994). Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Winarno, F.G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.