elastisitas permintaan kedelai
TRANSCRIPT
CONTOH KASUS ANALISIS ELASTISITAS
PERMINTAAN KEDELAI DI INDONESIA
BAB. I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kedelai merupakan bahan pangan yang penting bagi masyarakat
Indonesia. Dari seluruh protein yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, sekitar
10 persen bersumber dari produk olahan kedelai (Hayami, dkk, 1988). Tidak
seperti tanaman pangan lainnya, kedelai dikonsumsi melalui berbagai
bentuk produk olahan seperti tahu, tempe, kecap dan tauco. Beberapa
modifikasi pengolahan kedelai lainnya juga telah dikembangkan di berbagai
daerah seperti keripik tempe, susu kedelai dan kedelai goreng. Kedelai
digunakan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan protein manusia, tetapi
juga digunakan sebagai sumber protein pada hewan. Bahan baku pakan
ternak menggunakan kedelai dan sekitar 90 persen protein makanan ternak
berasal dari kedelai (Tomich, 1992).
Selama tahun 1990 an, terdapat penurunan produksi kedelai yang
disebabkan turunnya luas areal dan relatif stabilnya produktivitas kedelai.
Disisi lain terdapat peningkatan konsumsi kedelai yang cukup besar baik
permintaan sebagai bahan baku produk olahan maupun permintaan sebagai
bahan baku industri bahan makanan ternak. Pada tahun 2000 sebesar 41
persen dari konsumsi kedelai di Indonesia berasal dari kedelai impor
sedangkan tahun 2003 sebesar 29 persen (lihat Tabel 4) dan diperkirakan
tahun 2004 menurun terjadi sedikit peningkatan produksi kedelai dalam
negeri. Namun demikian tingkat ketergantungan industri olahan dan industri
makanan ternak terhadap kedelai impor masih besar. Ketergantungan
terhadap impor kedelai tentu saja akan menyebabkan perubahan situasi
pedagangan kedelai dunia dan akan mempengaruhi fluktuasi harga dan
permintaan kedelai dalam negeri. Fluktuasi harga ini pada akhirnya akan
1
mempengaruhi harga dan produksi komoditi olahan kedele baik itu untuk
manusia maupun pakan ternak. Seperti diketahui, untuk produk tahu dan
tempe misalnya, 75% biaya produksi tahu dan tempe adalah biaya yang
dikeluarkan untuk bahan baku kedelai (Rachmawati, 1999).
Dampak perubahan output dan harga pada industri turunan kedelai
akan mempengaruhi ketersediaan dan kemampuan masyarakat untuk
membeli produk tersebut. Perubahan kebijakan pemerintah setelah tahun
1998 dimana sebagai bagian dari Paket pemulihan ekonomi, pemerintah
Indonesia setuju untuk menderegulasi beberapa kebijakan perdagangan,
diantaranya menyangkut kedelai. Impor kedelai yang semula merupakan
monopoli pemerintah dalam hal ini Bulog, sejak 1 januari 1998 bebas
diimpor dengan mengunakan lisensi impor. Tarif impor yang semula 20%
turun menjadi 5 % pada tahun 2003 (Soesastro dan Basri, 1998. Walaupun
dalam kesepakatan tersebut Indonesia masih diperkenankan untuk
menerapkan tarif impor kedelai, tapi dalam kenyataan, kedelai dapat masuk
dengan bebas. Fasilitas GSM 102 yang diberikan oleh Amerika Serikat yang
memudahkan importir kedelai Indonesia(Perindag 2002), juga
mempengaruhi semakin besarnya impor kedelai ke Indonesia. Disini terlihat
bagaimana peran Amerika Serikat sebagai negara pengekspor dan importir
akan cukup besar dalam mempengaruhi perdagangan kedele dalam negeri.
Kedelai merupakan sumber protein nabati yang tinggi serta sumber
lemak, vitamin dan mineral yang sering dikonsumsi masyarakat dalam
negeri. Angka konsumsi kedelai dalam negeri cukup besar. Kebutuhan
kedelai tahun 2002 mencapai 1,2 juta tonUntuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri, Indonesia masih harus terus melakukan impor yang rata-rata sebesar
40% dari kebutuhan kedelai nasional meningkat dari tahun ke tahun,
produksi dalam negeri masih relatif rendah dan memiliki kecenderungan
terus menurun. Hal ini menyebabkan ketergantungan akan kedelai impor
terus berlangsung dan memiliki kecenderungan terus meningkat.
2
B. RUMUSAN MASALAH & TUJUAN
Berdasarkan latar belakang tersebut muncul beberapa permasalahan.
Faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan kedelai impor dan kedelai
domestik. Bagaimana hubungan permintaan kedelai domestik dengan
kedelai impor. Bagaimana kinerja produksi kedelai domestik dan permintaan
kedelai dari tahun ketahun.
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah mengidentifikasi
variabel variabel yang mempengaruhi permintaan kedelai impor dan kedelai
domestik. Mengidentifikasi hubungan permintaan kedelai domestik dengan
kedelai impor. Mengetahui proyeksi kinerja produksi kedelai domestik, impor
dan permintaan kedelai dari tahun ketahun.
3
BAB. II
PEMBAHASAN
DEFINISI ELASTISITAS PERMINTAAN
Elastisitas dapat diartikan sebagai besarnya perubahan relatif dari variabel
yang diterangkan, sebagai akibat perubahan variabel yang menerangkan.
Apabila variabel yang diterangkan dimisalkan Q (quantity) dari suatu barang,
dan variabel yang menerangkan adalah P (Price) harga tersebut , maka kita
bisa rumuskan bahwa elastisitas adalah :
Ada 2 macam elastisitas secara umum yaitu :
1. Elastisitas titik (Point elasticity), yaitu mengukur elastisitas pada satu
titik tertentu atau pada pergerakan dari beberapa titik.
2. Elastisitas Busur (Arc Elasticity), yaitu mengukur elastisitas pada
beberapa titik secara bersamaan.
Elastisitas Permintaan
Adalah suatu pengukuran kuantitas untuk menunjukan seberapa besar
pengaruh perubahan harga terhadap permintaan suatu barang.
Ada 3 jenis elastisitas permintaan yaitu :
1. Elastisitas permintaan harga
2. Elastisitas Permintaan pendapatan
3. Elastisitas Permintaan Silang
Penentu-penentu Elastisitas Permintaan
Tersedianya Barang Substitusi yang Terdekat
Barang-barang dengan substitusi terdekat cenderung memiliki permintaan
yang lebih elastis karena mempermudah para konsumen untuk mengganti
barang tersebut dengan yang lain. Misalnya, mentega dan margarin
merupakan barang yang mudah diganti dengan yang lain. Kenaikan harga
mentega sedikit saja, jika harga margarin tetap, akan mengakibatkan jumlah
mentega yang terjual turun dratis. Sebaliknya, karena telur merupakan
4
makanan tanpa substitusi dekat, maka permintaan akan telur tidak seelastis
permintaan akan mentega.
Kebutuhan versus Kemewahan
Kebutuhan cenderung memiliki permintaan yang inelastic, sebaliknya
kemewahan memiliki permintaan yang elastis. Ketika biaya berobat ke
dokter meningkat, oreng tidak akan secara dramatis mengubah frekuensi
mereka ke dokter, meskipun mungkin tidak sesering sebelumnya. Sebaliknya
ketika kapal pesiar meningkat, maka jumlah permintaan kapal pesiar akan
turun banyak. Alasannya karena kebanyakan orang melihat berobat ke
dokter sebagai suatu kebutuhan, sedangkan kapal pesiar sebagai suatu
kemewahan. Suatu barang merupakan suatu kebutuhan atau suatu
kemewahan tidak tergantung pada sifat hakiki barang itu, tetapi pada pilihan
pembeli. Bagi seorang pelaut yang tidak terlalu memperhatikan
kesehatannya, kapal pesiar mungkin sebuah kebutuhan dengan permintaan
yang inelastis, sedangkan berobat ke dokter adalah kemewahan dengan
permintaan yang elastis.
Definisi Pasar
Elastisitas permintaan dalam segala jenis pasar bergantung pada bagaimana
kita menggambarkan batas-batas pasar. Pasar yang terdefinisi sempit
cenderung memiliki permintaan yang lebih elastis dibandingkan yang
terdefinisi luas, karena lebih mudah menemukan substitusi untuk barang-
barang yang terdefinisi secara sempit. Misalnya, makanan, sebuah kategori
yang luas, memiliki permintaan yang inelastis karena tidak ada barang
substitusi untuk makanan. Es krim, sebuah kategori yang lebih sempit,
memiliki permintaan yang lebih elastis karena mudah untuk menggantinya
dengan pencuci mulut lain. Es krim vanilla, sebuah kategori yang sangat
sempit, memiliki permintaan yang sangat elastis karena rasa lain es krim
merupakan barang substitusi yang hampir sempurna untuk vanilla.
5
Rentang Waktu
Barang-barang cenderung memiliki permintaan yang lebih elastis selama
kurun waktu yang lebih panjang. Ketika harga bensin naik, jumlah
permintaan bensin hanya sedikit mengalami kemerosotan pada beberapa
bulan pertama. Namun setelah itu, bagaimanapun juga,orang-orang akan
membeli mobil-mobil yang lebih irit bahan bakar, menggunakan transportasi
umum, dan pindah ke tempat kerja yang lebih dekat dengan tempat tinggal
mereka. Dalam beberapa tahun, jumlah permintaan bensin akan menurun
dratis.
Menghitung Elastisitas Permintaan
Para ekonom menghitung elastisitas permintaan sebagai perubahan
persentase jumlah permintaan dibagi perubahan persentase variable yang
mempengaruhi, yang bisa dimisalkan dengan variable harga
Elastisitas harga permintaan = perubahan jumlah prosentase permintaan /
perubahan prosentase harga
Sebagai contoh anggaplah bahwa peningkatan 10 persen harga es krim
mengakibatkan jumlah es krim yang anda beli turun hingga 20 persen. Kita
menghitung elastisitas permintaan anda sebagai berikut:
Elastisitas harga permintaan = 20% / 10% = 2
Faktor- faktor yang mempengaruhi Elastisitas :
1. Seberapa besar barang-barang lain dapat menggantikan barang yang
bersangkutan.
2. Seberapa besar dari pendapatan yang akan dibelanjakan untuk
membeli barang yang bersangkutan.
3. waktu analisis
4. Banyak tidaknya macam penggunaan barang yang bersangkutan.
Manfaat pengukuran Elastisitas Permintaan :
6
1. Kepada perusahaan, dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat
suatu kebijakan atau strategi penjualan.
2. Kepada pemerintah, dengan mengetahui dari sifat barang (eksport dan
import) dapat disusun suatu kebijakan yang mendukung.
KASUS ANALISIS PERMINTAAN KEDELAI
Hipotesis penelitian ini (1) Diduga permintaan kedelai domestik dan
permintaan kedelai impor dipengaruhi oleh harga kedelai domestik, harga
kedelai impor, jumlah penduduk dan pendapatan penduduk. (2) Diduga
elastisitas harga kedelai domestik terhadap permintaan kedelai domestik
bernilai negatip. Elastisitas harga silang kedelai domestik terhadap
permintaan kedelai impor bernilai positif untuk barang substitusi. Elastisitas
pendapatan penduduk terhadap permintaan kedelai bernilai positif untuk
barang normal. (3) Diduga kinerja produksi kedelai domestik dan permintaan
kedelai dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
meliputi data produksi kedelai domestik, jumlah kedelai impor, harga kedelai
domestik dan harga kedelai impor, kurs tengah Dolar terhadap Rupiah,
pendapatan penduduk dan jumlah penduduk. Data tersebut diambil dari Biro
Pusat Statistik (BPS) dan Food Organitation (FAO).
Dalam menganalisis data digunakan tiga metode analisis (1) Untuk
menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dalam analisis
statistik, digunakan fungsi bentuk Regresi linear berganda yang
menggunakan persamaan Y=a+ bX+ bX+bX + bX + εi. Dimana; Y = Jumlah
permintaan kedelai, X = Harga kedelai domestik, X= Harga kedelai impor,
X= Pendapatan penduduk, X= Jumlah penduduk, a= Konstanta, b- b= Nilai
koefesien, εi = Error term. (2) Untuk mengetahui keterkaitan permintaan
kedelai impor dan kedelai domestik maka digunakan model elastisitas
permintaan yang meliputi:
(a)Elastisitas harga barang itu sendiri E= .
7
(b)Elastisitas harga silang terhadap permintaan E= .
(c)Elastisitas pendapatan terhadap permintaan E= . ,
(3) Untuk memproyeksi kinerja produksi kedelai domestik, volume impor dan
permintaan kedelai dari tahun ke tahun maka digunakan analisa trend.
Y = a + bx.
Dimana;
x = Periode waktu,
Y = Permintaan kedelai,
a = Nilai Y apabila x = 0, b= Besarnya perubahan variabel Y yang
terjadi pada setiap perubahan satu unit variabel x.
Dari hasil penelitian dan pembahasan didapatkan bahwa (1) Variabel yang
mempengaruhi permintaan kedelai domestik adalah variabel harga kedelai
domestik (X1) sebesar 0,501 berarti bahwa setiap penambahan Rp.1,- per
ton harga kedelai domestik akan meningkatkan permintaan kedelai domestik
sebesar 0,501 ton. Variabel harga kedelai impor (X2) sebesar 4.759,670,
berarti bahwa setiap penambahan $ 1,- per ton harga kedelai impor akan
menyebabkan penurunan permintaan kedelai domestik sebesar 4759,670
ton. Variabel pendapatan penduduk (X3) sebesar 0,665 berarti bahwa setiap
penambahan pendapatan penduduk sebesar Rp. 1,- perkapita pertahun
maka permintaan kedelai domestik akan turun sebesar 0,665 ton. Variabel
jumlah penduduk (X4) sebesar 64,317 menyatakan bahwa setiap
penambahan jumlah penduduk sebanyak 1000 jiwa maka akan
meningkatkan permintaan kedelai domestik sebesar 64,317 ton. (2) Variabel
yang mempengaruhi permintaan kedelai impor adalah variabel harga kedelai
impor (X2) sebesar 5.773,237 berarti bahwa setiap penambahan $ 1,- per
ton harga kedelai impor akan menyebabkan penambahan permintaan
kedelai impor sebesar 5.773,237 ton . (3) Nilai elastisitas harga kedelai
domestik terhadap permintaan kedelai domestik adalah -0,880. Hal tersebut
berarti apabila harga kedelai domestik bertambah sebesar1% maka
permintaan kedelai domestik akan menurun sebesar 0,880% per tahun. Nilai
elastisitas harga kedelai impor terhadap permintaan kedelai domestik adalah
8
0,984. Hal tersebut berarti apabila harga kedelai impor meningkat sebesar
1% maka permintaan kedelai domestik akan naik sebesar 0,984% per tahun.
Karena E adalah positif maka hubungan antara kedelai domestik dan kedelai
impor adalah subtitusi. Nilai elastisits pendapatan penduduk terhadap
permintaan kedelai domestik bernilai 2,684. Hal tersebut berarti apabila
pendapatan penduduk meningkat sebesar 1% maka permintaan kedelai
domestik akan naik sebesar 2,684% (karena En>0) maka kedelai domestik
disebut barang normal. (4) Nilai elastisitas harga kedelai impor terhadap
permintaan kedelai impor adalah –2,446. Hal tersebut berarti apabila harga
kedelai impor meningkat sebesar1% maka permintaan kedelai impor akan
turun sebesar 2,446%. Nilai elastisitas pendapatan penduduk terhadap
permintaan kedelai impor bernilai -3,611. Hal tersebut berarti apabila
pendapatan penduduk naik sebesar 1% maka permintaan kedelai domestik
akan turun sebesar 3,611% (karena En<0 maka kedelai impor disebut
barang tuna nilai. (5) Trend produksi kedelai domestik pada tahun 1991-
2002 memiliki nilai slope (kemiringan) negatif sebesar 46052,1 dan laju
pertumbuhan tiap tahunnya sebesar –0,033%. Trend permintaan kedelai
domestik antara tahun 1991-2002 memiliki nilai slope negatif sebesar
44.829,2 dan laju pertumbuhannya sebesar -11%. Trend permintaan kedelai
impor pada tahun 1991-2002 memiliki slope (kemiringan) positif sebesar
29945,42 dan laju pertumbuhan tiap tahunnya 0,035%.
Selama ini pemerintah banyak melakukan kebijakan proteksi di sektor
komoditas pertanian, seperti beras, gula dan kedelai, yang bertujuan untuk
mencapai swasembada. Akan tetapi, sebaiknya kebijakan tersebut juga perlu
diikuti dengan program pemerintah yang jelas dan terukur. Peluang untuk
meningkatkan produktivitas kedelai sulit untuk dapat dicapai, tanpa disertai
penyediaan lahan khusus untuk upaya itu. Apabila petani tetap melakukan
pola tanam yang terus berganti, maka produktivitas sulit untuk bisa
ditingkatkan. Dengan demikian, harus dilakukan program perluasan lahan
tanaman kedelai untuk swasembada kedelai. Selain itu, juga perlu diadakan
program budidaya bibit kedelai secara berkesinambungan yang langsung
9
bisa dimanfaatkan oleh para petani. Rencana pengenaan tarif bea masuk
(BM) kedelai sebesar 10-15 % akan meningkatkan harga jual kedelai yang
gilirannya akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi. Dengan demikian,
pengusaha akan membagi adanya penambahan beban itu kepada konsumen
dengan cara menaikkan harga jual produknya di tingkat eceran oleh karena
itu pemerintah hendaknya mencari solusi terbaik sehingga harga kedelai
impor bisa diproteksi tetapi juga tidak merugikan konsumen.
Keragaan Ekonomi Kedelai Dunia
Keadaan ekonomi kedelai dunia dapat dilihat dari perkembangan produksi,
ekspor dan impor kedelai dunia dan negara-negara utama pengekspor dan
pengimpor kedelai. Situasi kedelai dunia dapat mempertajam analisis posisi
Indonesia dalam perdagangan internasional kedelai. Dengan mengetahui
posisi kedelai Indonesia di pasar internasional, pemerintah dapat
mengantisipasi kebijakan apa yang akan diambil untuk mendukung
pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Pilihan
kebijakan mana yang diambil pemerintah tentu saja sangat dipengaruhi
keinginan politik penguasa.
Perkembangan produksi, ekspor dan impor kedelai di pasar Internasional
dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian
besar produksi kedelai digunakan oleh negara penghasil kedelai atau dapat
dikatakan perdagangan kedelai di pasar internasional adalah tipis. Indikasi
ini ditunjukkan dari kecilnya nilai perdagangan kedelai yang dilihat dari
besarnya ekspor dan impor dibandingkan dengan produksi kedelai. Sebagai
produk pangan yang sangat rentan terhadap perbedaan iklim dan lokasi,
kedelai lebih banyak digunakan oleh negara penghasil daripada
diperdagangkan.
Produksi kedelai dunia mengalami peningkatan yang cukup berarti dengan
tingkat rata-rata produksi per tahun selama kurun waktu 1999-2004 sebesar
187,22 ton. Diantara negara-negara produsen kedelai, Amerika Serikat
adalah negara dengan produksi terbesar dan menguasai 39 persen produksi
dunia. Produktivitas kedelai per ha di Amerika adalah tertinggi dibandingkan
10
negara produsen lainnya. Hal ini disebabkan perkembangan teknologi
kedelai yang sudah maju dan ditunjang keadaan alam yang mendukung
dengan kelembaban yang rendah. Dapat dilihat disini bahwa peran Amerika
Serikat sebagai negara dengan pangsa produksi terbesar adalah cukup
besar. Perubahan kebijakan perdagangan luar negeri Amerika Serikat tentu
saja akan sangat mempengaruhi situasi perdagangan internasional kedelai.
Pesatnya pertumbuhan produksi negara-negara penghasil kedelai terutama
pada tahun-tahun terakhir dan laju permintaan impor yang lebih rendah
dapat diduga akan menurunkan harga kedelai di pasar dunia. Antisipasi
Indonesia sebagai negara pengimpor dan mempunyai pangsa impor yang
tinggi di pasar domestik diperlukan untuk menghindari terjadinya
ketidakstabilan harga di pasar domestik yang akan mempengaruhi
permintaan kedelai lokal dan tentu saja akan merugikan petani. Di satu sisi
tentu saja hal ini akan menguntungkan konsumen. Tapi disisi lain, produsen
dalam negeri akan kehilangan motivasi untuk menanam kedelai dan hal ini
akan meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor.
Tabel 1. Perkembangan Produksi, Ekspor dan Impor Kedelai Dunia (Ton)
Tahun
Produksi
(ton)
Ekspor
(ton)
Impor
(ton)
1999 159,92 45,54 71,21
2000 175,18 53,82 81,37
2001 184,87 53,63 80,61
2002 197,27 62,39 100,50
2003 193,41 62,69 90,31
2004 212,67 64,84 102,59
Rata-
rata 187,22 57,15 87,77
Sumber: USDA dalam Departemen Pertanian, 2005
Tabel 2. Produsen Utama Kedelai Dunia (Juta Ton) 1995-1998
Negara Tahun Rata Shar
11
-rata
e
Ratio
Rata
-
Rata
199
9
200
0
200
1
200
2
200
3
200
4
99-
04 (%)
United
States
72,2
2
75,0
6
78,6
7
75,0
1 65,8
74,5
3
73,5
5 39
Brazil 34,2 39 43,5 52,5 56
62,0
9
47,8
8 26
Argentin
a 21,2 27,8 30 35,5 35 37,5
31,1
7 17
China
14,2
9 15,4
15,4
1
16,5
1 16,2
16,9
1
15,7
9 8
India 5,2 5,25 5,4 4 6,8 6,45 5,52 3
Paragua
y 2,91 3,5 3,55 4,5 4 4,68 3,86 2
Lainnya 9,9 9,17 8,34 9,25 9,61
10,5
1 9,46 5
Total
159,
92
175,
18
184,
87
197,
27
193,
41
212,
67
187,
22 100
USDA dalam Departemen Pertanian, 2005
Di pasar internasional, selain sebagai produsen utama kedelai,
Amerika juga menguasai hampir 47 % ekspor dunia (Tabel 3). Penguasaan
pangsa pasar ini dari tahun ke tahun terus meningkat. Dengan menguasai
sebagian besar pangsa pasar, Amerika dapat dipandang sebagai negara
besar dalam perdagangan internasional kedelai. Perubahan dari penawaran
kedelai Amerika akan dapat menentukan harga kedelai di pasar
Internasional. Kebijakan apapun yang diambil Amerika Serikat dalam
12
perdagangan internasional akan mempengaruhi kondisi perdagangan
internasional kedele. Tentu saja hal ini akan mengkhawatirkan situasi
perdagangan kedele domestik. Sebaliknya, Indonesia adalah negara kecil di
pasar internasional kedelai. Indonesia adalah negara pengimpor nomor 12
dengan proporsi impor rata-rata dari tahun1993-1997 terhadap dunia
sebesar 2.18 % (Rachmawati, 1999). Posisi Indonesia sebagai negara kecil
menyebabkan perubahan permintaan impor dari Indonesia, baik karena
kebijakan pemerintah maupun karena perubahan permintaan dalam negeri
tidak akan merubah harga dan jumlah keseimbangan pasar kedelai dunia.
Dengan demikian, jika pemerintah ingin mengaplikasikan kebijakan
pengurangan impor kedelai dengan tujuan menggairahkan produk dalam
negeri, hal ini tidak akan berdampak besar terhadap keseimbangan pasar
kedelai dunia.
Tabel 3. Ekspor Kedelai dari Negara Produsen Utama
Negara
Tahun
Rat
a-
rata
Shar
e
Rati
o
Rata
-
Rata
1999 2000 2001 2002 2003 2004
99-
04 (%)
United
States 26,54 27,1 28,95 28,44 24,49 26,48 27 47
Brazil 11,16 15,47 15 20,4 23,5 23,79
18,2
2 32
Argentin
a 4,13 7,42 6,01 8,71 10,25 9,46 7,66 13
13
Paragua
y 2,03 2,51 2,39 3,2 2,57 2,92 2,60 5
Lainnya 1,68 1,32 1,28 1,64 1,88 2,19 1,67 3
Total 45,54 53,82 53,63 62,39 62,69 64,84
57,1
5 100
USDA dalam Departemen Pertanian, 2005
Keragaan Ekonomi Kedelai Indonesia
Dengan posisi Indonesia sebagai negara kecil, Indonesia dapat menerapkan
kebijakan perdagangan internasional kedelai tanpa mempengaruhi kondisi
pasar internasional kedelai, karena kebijakan apapun yang akan
dicanangkan pemerintah untuk kedelai lebih besar pengaruhnya terhadap
keragaan ekonomi kedelai di dalam negeri. Pengetahuan tentang keragaan
konsumsi dan produksi kedelai, keragaan harga dan keterkaitan kedelai
dengan produk lainnya diperlukan untuk menganalisa dampak impor
kedelai .
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa produksi kedelai Indonesia terus menurun
hingga tahun 2002 dan kemudian meningkat relative kecil hingga tahun
2004. Ketidakstabilan produksi yang cenderung menurun dari tahun-tahun
sebelumnya lebih disebabkan oleh adanya penurunan luas panen kedelai
yang tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas kedelai per ha.
Dibandingkan dengan negara lain penghasil kedelai, produktivitas kedelai
Indonesia masih rendah. Sebagai contoh, pada tahun 1999 produktivitas
kedelai Indonesia sebesar 1.20 ton/ha (FAO, 2002), dimana jauh lebih rendah
dibandingkan dengan produktivitas kedelai rata-rata dunia, 2.05 ton/ha
(Tabel 2).
Konsumsi kedelai yang juga semakin meningkat yang disebabkan
peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi per kapita ternyata tidak dapat
dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Hal ini menyebabkan impor kedelai
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan impor terbesar selama
kurun waktu 5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2002. Impor kedelai masih
14
tinggi pada tahun 2003. Walaupun angka sementara pada tahun 2004
menunjukkan penurunan impor, besarnya impor masih disebabkan oleh
rendahnya tingkat efisiensi di dalam negeri, sementara subsidi ekspor di
negara-negara eksportir tetap tinggi. Dibukanya pasar bebas mengakibatkan
komoditi kedelai Indonesia kalah bersaing dengan kedelai impor.
Besarnya ketergantungan Indonesia akan kedelai impor (sekitar 41 % tahun
1999 dan 15% tahun 2004 (angka sementara)), adalah mengkhawatirkan
mengingat pentingnya kedelai sebagai bahan makanan dan pakan penghasil
protein. Kebijakan pengendalian impor harus diperhitungkan secara seksama
sehingga tidak hanya menguntungkan produsen tapi juga konsumen. Perlu
diperhatikan bahwa pada tahun 1997 proporsi penggunaan kedelai untuk
tahu dan tempe adalah sebesar 78% (CIC, 1998 dalam Rachmawati, 1999)
dimana tahu dan tempe adalah makanan olahan yang merupakan sumber
protein yang tidak hanya digemari oleh masyarakat golongan ekonomi
menengah bawah tapi juga golongan masyarakat ekonomi tinggi.
Tabel 4. Ketersediaan Kedelai Indonesia, Tahun 1999-2004<
Tah
un
Produ
ksi
Bersi
h
Tkt.Kons/
Kap
Konsu
msi
Keterse
diaan
Kecuku
pan Impor
Rasio
Impor
terhad
ap
Konsu
msi
(ton)
(kg/
kapita/
thn) (ton) (ton) (ton) (ton) (%)
199
9
1,267,
847 15,60
3,038,1
78
2,569,59
7
-
468.581
15
200
0
933,9
05 15,60
3,092,8
72
2,211,06
9 -881803
1,277,
685 41.31
200
1
758,5
40 15,60
3,204,4
12
1,893,77
1
-
1.310.6
41
1,136,
419 35.46
200
2
598,3
56 19,46
4,058,3
44
1,963,37
3
-
2.094.9
71
1,365,
252 33.64
200
3
617,4
44 19,46
4,120,2
27
1,809,99
2
-
2.310.2
35
1,192,
717 28.95
200
4*
659,2
91 19,46
4,186,1
57
1,311,19
6
-
2.874.9
61
651,9
79 15.57
Sumber:BPS dan Pusat PKP-Badan Bimas Ketahanan Pangan dalam
Departemen Pertanian, 2005
Keterangan :
*= Angka Sementara Tahun 2004
1 = Produksi kotor dikurangi untuk kebutuhan bibit 39,84 kg/ha dan kedelai
tercecer 5%
2 = Jumlah penduduk dikalikan konsumsi per kapita
3 = Produksi + Impor – Ekspor
Keragaan Harga Kedelai dan Analisis Transmisi Harga
Perkembangan harga kedelai yang dianalisa adalah perkembangan harga
internasional, harga di tingkat produsen dan konsumen. Dengan semakin
terintegrasinya negara-negara di dunia, perkembangan harga kedelai di
pasar dunia diramalkan akan memberikan pengaruh terhadap
perkembangan harga di tingkat domestik. Gambar 1 menunjukkan bahwa
harga rata-rata kedelai di tingkat pedagang, konsumen dan pasar
internasional memiliki pola pergerakan yang hampir sama. Harga di pasar
16
internasional lebih rendah dari di tingkat produsen dalam negeri sehingga
akan lebih menguntungkan bagi konsumen menggunakan kedelai impor.
Pada permulaan krisis ekonomi tahun 1998, dengan turunnya nilai tukar
Rupiah terhadap $ Amerika, harga fob dalam Rupiah menjadi meningkat
dengan tajam. Hal ini juga diikuti dengan peningkatan harga di tingkat
produsen dan konsumen dalam negeri.
Fenomena melemahnya nilai tukar rupiah menunjukkan bahwa kenaikan
harga fob dalam rupiah juga memacu meningkatnya harga di tingkat
produsen dan konsumen. Peningkatan harga di tingkat produsen dan
konsumen cenderung lebih besar dibandingkan dengan peningkatan harga
fob tetapi jika harga fob turun, penurunan harga domestik akan lebih lambat.
Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya gap antara harga produsen dan
konsumen dengan harga fob dalam rupiah. Dengan demikian, jika
pemerintah ingin membatasi impor kedelai dengan meningkatkan harga
impor melalui penetapan tarif masuk, maka hal ini akan segera diikuti
peningkatan harga produsen dan konsumen. Bagi produsen hal ini
menguntungkan jika dibarengi dengan harga input yang tetap. Bagi
konsumen yang memerlukan kedelai sebagai bahan baku, tentu saja hal ini
akan mengurangi keuntungan output olahannya. Sebagai konsekwensinya,
konsumen kedelai (sebagai industrti pengolah) akan meningkatkan harga
produk olahannya untuk mengurangi atau menghindari kerugian.
Pengaruh perubahan relatif harga di pasar dunia terhadap harga di pasar
domestik dan pengaruh relatif harga di tingkat konsumen terhadap harga di
tingkat produsen pasar domestik dapat dilihat dengan analisis transmisi
harga. Besarnya nilai transmisi harga yang mendekati 1 menunjukkan bahwa
kuatnya pengaruh harga di satu pasar dengan pasar lainnya. Pada Tabel 5
dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya, kedelai
mempunyai transmisi harga yang paling besar (Rachman, dkk, 2000).
Tabel 5. Transmisi Harga Konsumen terhadap Harga Produsen, dan Harga Dunia terhadap Harga
Domestik
Komodita Transmisi Harga
17
s
Konsumen terhadap
Produsen
Dunia terhadap
Domestik
Beras 0,942 0,676
Jagung 0,888 0,653
Kedelai 0,962 0,786
Sumber: Rachman, dkk (2000)
Transmisi harga kedelai baik di tingkat konsumen terhadap produsen
maupun di tingkat dunia terhadap domestik mempunyai nilai transmisi harga
terbesar dan mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa harga komoditas
kedelai di tingkat produsen lebih dipengaruhi harga di tingkat konsumen
dibandingkan dengan komoditas palawija lainnya. Demikian juga harga di
tingkat dunia lebih berpengaruh terhadap harga domestik dibandingkan
dengan komoditas pangan lainnya.
Jika dibandingkan nilai transmisi harga dari konsumen ke produsen dan nilai
transmisi harga di tingkat dunia dan domestik, maka pengaruh harga
konsumen lebih besar. Dengan demikian fluktuasi harga di tingkat domestik
lebih dipengaruhi oleh harga di tingkat konsumen dibandingkan harga dunia.
Hal ini kemungkinan disebabkan elastisitas substitusi kedelai domestik
terhadap kedelai impor yang rendah karena bentuk dan kualitas yang
berbeda. Dengan demikian usaha-usaha peningkatan mutu kedelai sangat
diharapkan untuk dapat meningkatkan daya substitusinya terhadap kedelai
impor.
Pengendalian harga oleh pemerintah di tingkat domestik pada kedelai
dengan dilepasnya monopoli impor komoditas kedelai oleh Bulog dan tidak
adanya kebijakan harga dasar kedelai lebih sulit dilakukan. Hal yang
mungkin dilakukan oleh pemerintah adalah dengan penetapan tarif impor .
Penetapan tarif impor juga harus hati-hati dilakukan karena kemungkinan
adanya retaliasi negara pengekspor dan harus mengikuti kesepakatan yang
telah disetujui pemerintah dalam kerjasama bilateral, regional maupun
multilateral. Didalam negeri sendiri, penetapan impor tarif harus dilakukan
18
dengan hati-hati dengan perhitungan yang matang karena bisa saja
menguntungkan produsen tetapi merugikan konsumen.
Besarnya tarif yang akan ditetapkan ditujukan untuk dapat merangsang
produsen menanam kedelai pada tingkat harga tertentu sehingga kompetitif
terhadap penanaman tanaman palawija lainnya. Besarnya tarif dapat
dihitung sehingga dapat meningkatkan harga sampai pada tingkat harga
minimal pada kedelai untuk dapat bersaing dengan tanaman palawija
lainnya. Berdasarkan penelitian Siregar (1999), dengan asumsi tingkat hasil
dan harga input tidak berubah, maka penanaman kedelai di Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur masih memberikan keuntungan bersih yang lebih
tinggi dibandingkan menanam jagung walaupun harga kedelai turun sekitar
30 % dari harga yang telah terjadi. Sebaliknya jika bersaing dengan ubi jalar,
maka harga kedelai harus meningkat lebih dari 85 % di ketiga propinsi
dengan asumsi tingkat hasil dan harga input tetap.
Penerapan tarif pada komoditi kedelai segar di Indonesia pada tahun 1997
mencapai 10 persen. Pada tahun 2002 sempat dihapuskan, sehingga
merangsang peningkatan impor tertinggi kedelai. Pada tahun 2005 tarif
impor kedelai diterapkan kembali sebesar 10 persen. Besarnya tarif yang
ditetapkan tersebut masih lebih kecil dari binding rate nya. Sebenarnya
Indonesia masih dibolehkan untuk menetapkan tarif sebesar binding rate.
Untuk produk kedelai olahan tidak lagi dikenakan tarif kecuali minyak
kacang kedelai dimodifikasi secara kimia yang mencapai 5 persen. Secara
keseluruhan, binding rate yang ditetapkan masih cukup tinggi, yaitu
mencapai 27 hingga 40 persen.
Tingkat binding rate yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan
penerapan tarif untuk impor kedele menunjukkan bahwa Indonesia belum
memanfaatkan besarnya tarif yang telah disepakati. Transmisi harga
konsumen yang tinggi terhadap harga produsen merupakan salah satu
pertimbangan mengapa pemerintah tidak menetapkan tarif sesuai dengan
binding rate yang telah disepakati. Jika diperlukan, pemerintah bisa
menerapkan tarif impor sesuai dengan tingkat binding rate nya.
19
Tabel 6. Binding Rate dan Applied Rate Produk Kedelai
HS
Description
Bindin
g Rate
of
Duty
Implementat
ion Applied rate
Period from/to
199
7
200
2
200
5
12.01
Kacang,
kedelai,
pecah atau
utuh
1201.00.
100 - Kuning 27 1995-2004 10 0 10
1201.00.
200 - Hitam 27 1995-2004 10 0 10
1201.00.
300 - Hijau 27 1995-2004 10 0 10
1201.00.
400 - Coklat 27 1995-2004 10 0 10
1201.00.
500 - Campuran 27 1995-2004 10 0 10
1201.00.
900 - Lain-lain 27 1995-2004 0 0 10
1208.10.
000
Tepung halus
dan kasar
dari kacang
kedelai 10 1995-2004 0 0 0
1507.10.
000
Minyak
mentah dari
kacang
kedelai,
dipisahkan
gumnya
35 1995-2004 0 0 0
20
maupun tidak
1507.9
Minyak
lainnya dari
kacang
kedelai
1507.90.
100
Minyak
kacang
kedelai
lainnya,
dinetralkan
dan
dikelantang 35 1995-2004 0 0 0
1507.90.
900
Minyak
kacang
kedelai
lainnya,
selain
dinetralkan
dan
dikelantang 35 1995-2004 0 0 0
1518.00.
120
Minyak
kacang
kedelai
dimodifikasi
secara kimia 40 1995-2004 5 5 5
2304.00.
000
Bungkil dan
ampas padat
lainnya dari
ekstrasi
minyak
30 1995-2004 0 0 0
21
kedelai
Sumber: Bea dan Cukai dalam Departemen Pertanian, 2005
Pengaruh Permintaan Impor dengan Analisis Model Armington.
Teori Armington tentang permintaan impor menyatakan bahwa komoditas
yang diimpor adalah berbeda berdasarkan tempat asalnya dan juga jenisnya
(Babula, 1987). Dengan demikian komoditas domestik dan impor
bersubstitusi secara tidak sempurna. Karena jenis kedelai Indonesia berbeda
dengan jenis kedelai Amerika sebagai negara pengekspor utama, maka
produksi kedelai domestik Indonesia dapat diprediksikan bersubstitusi tidak
sempurna dengan kedelai impor dari Amerika. Model Armington sering
digunakan untuk menganalisa perdagangan suatu produk di pasar
internasional. Dengan model Armington kita dapat mengetahui pengaruh
peubah-peubah eksogenous yang mempengaruhi arus perdagangan dan
harga kedelai di Indonesia. Kemudian respon suatu negara terhadap
perubahan perdagangan ini pun dapat diprediksi. Salah satu cara untuk
melihat bagaimana dampak impor kedelai terhadap stabilitas harga dapat
dilihat dengan mengaplikasikan model Armington. Bagaimana model
Armington dapat menjelaskan pola perdagangan kedelai internasional dan
respon Indonesia sebagai negara pengimpor dapat dilihat secara lebih rinci
di Rachmawati (1999) dan Rahmina, dkk (1999).
Pengaruh kebijakan dan faktor-faktor eksogenous lainnya terhadap arus
perdagangan kedelai di pasar internasional telah dianalisa oleh Rachmawati
(1999) dan Rahmina, dkk (1999). Faktor-faktor eksogenous terdiri dari: (a)
penggeser eksogenous permintaan seperti perubahan pendapatan dan
selera konsumen, (b) penggeser eksogenous harga permintaan seperti
perubahan nilai tukar mata uang, tarif impor, pajak ekspor dan biaya
transportasi, dan (c) penggeser eksogenous penawaran seperti perubahan
biaya produksi, teknologi, perkreditan dan penanaman modal. Pada kedua
penelitian tersebut, faktor-faktor eksogenous yang dimunculkan adalah
perubahan pajak ekspor dan perubahan biaya transportasi. Kedua
perubahan tersebut akan mempengaruhi harga dan permintaan impor
22
Indonesia dari masing-masing negara dan juga akan mempengaruhi harga
dan permintaan kedelai domestik. Untuk mendapatkan hasil simulasi,
dilakukan pemecahan jangka pendek dan jangka panjang. Pemecahan
jangka pendek adalah jika diasumsikan bahwa penawaran ekspor adalah
eksogenous pada periode tertentu dan dianggap konstan atau kurva
penawaran ekspor adalah vertikal dengan elastisitas 0. Pada pemecahan
jangka panjang asumsi tersebut tidak digunakan. Pada pembahasan
makalah ini, digunakan analisis dengan menggunakan pemecahan jangka
panjang karena dianggap bahwa penawaran ekspor kecil sekali
kemungkinannya konstan dengan peningkatan produksi dan produktivitas
yang pesat di negara produsen kedelai. Hasil pendugaan jangka panjang
pada pergeseran harga permintaan kedelai dapat dilihat pada Tabel 6.
Simulasi yang akan dilihat adalah kebijakan subsidi di Amerika dan pajak
ekspor dari negara lain serta biaya transportasi dari negara pengekspor.
Hasil simulasi jangka panjang menunjukkan secara umum bahwa kebijakan
perdagangan pajak ekspor di negara pengekspor akan menaikkan harga dan
menurunkan volume permintaan impor dari negara pengekspor dan juga
akan meningkatkan harga dan volume permintaan kedelai lokal. Sebaliknya,
peningkatan subsidi ekspor di Amerika Serikat akan menurunkan harga
impor dan meningkatkan volume impor yang lebih besar dari penurunan
harga impor dan juga akan menurunkan harga dan permintaan kedelai lokal.
Karena jenis dan kwalitas produk yang berbeda, maka besarnya dampak
perubahan kebijakan terhadap terhadap harga dan permintaan domestik
lebih kecil daripada terhadap harga dan permintaan impor dari negara
pengekspor. Walaupun demikian, secara khusus penurunan pajak ekspor di
Amerika Serikat memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap harga dan
permintaan impor, dan harga dan volume kedelai domestik dibandingkan
dengan pengaruh peningkatan pajak dari negara pengekspor lainnya. Hal ini
menunjukkan angka ketergantungan impor kedelai Indonesia dari Amerika
Serikat yang tinggi.
23
6. Hasil Simulasi Pemecahan Jangka Panjang Perdagangan Kedelai
Indonesia
Peubah
Eksoge
nus
Perubahan Volume
Permintaan dari
Perubahan Harga
Permintaan dari
Indone
sia
US
A
Basil
ia
Argent
ina
RO
W
Indone
sia
US
A
Brasi
lia
Argent
ina
RO
W
Penggese
r harga
perminta
an
1. Pajak
ekspor
Amerika
Serikat
turun 5%
-0.96 7.8
3
-7.1 -7.16 -
7.09
-1.57 -
4.9
7
0.01 0.03 0
2. Pajak
ekspor di
Brasilia
meningkat
5 %
0.06 0.4 -14.5 0.39 0.4 0.09 0 5 0.01 0
3. Pajak
ekspor di
Argentin
meningkat
5%
0.13 0.9
7
0.99 -13.91 0.99 0.22 0.0
1
0 4.97 0
4. Pajak
ekspor di
ROW
meningkat
0.03 0.1
8
0.18 0.17 -
14.8
2
0.04 0 0 0 5
24
5%
5. Biaya
transpor
ke seluruh
mitra
dagang
meningkat
5%
1.09 -
6.0
8
-6.17 -5.91 -
6.19
1.94 4.9
6
4.99 4.9 4.99
Sumber: Rachmawati (1999) dan Rahmina, dkk (1999)
Hasil simulasi jika terjadi peningkatan biaya transportasi menunjukkan
bahwa peningkatan harga impor yang terjadi sebesar 5 % menyebabkan
penurunan volume impor sebesar 6%. Atau dengan kata lain elastisitas
permintaan terhadap perubahan harga lebih besar dari 1 atau bersifat elastis
sehingga perubahan volume impor peka terhadap perubahan harga impor.
Berkurangnya volume impor menyebabkan permintaan terhadap kedelai
lokal dan harga kedelai lokal meningkat. Walaupun perubahan harga dan
volume kedelai lokal lebih besar karena pengaruh biaya transportasi
dibandingkan jika negara pengekspor menerapkan kebijakan perdagangan,
pengaruh perubahan harga dan volume permintaan produk domestik masih
lebih kecil dibandingkan dengan perubahan harga dan volume impor. Hal ini
menggambarkan kedelai lokal tidak dapat mensubstitusi sepenuhnya untuk
menggantikan peran kedelai impor.
Hasil simulasi di atas menunjukkan bahwa perubahan kebijakan yang diambil
oleh negara pengekspor akan memberikan dampak terhadap keadaan
ekonomi kedelai di Indonesia sehingga antisipasi kebijakan nasional perlu
dilakukan. Tingginya peran Amerika Serikat terhadap pangsa impor kedelai
mengharuskan pemerintah menerapkan strategi perdagangan yang jitu
untuk merespon kebijakan perdagangan kedelai Amerika. Adanya pemberian
kredit impor dan subsidi ekspor kedelai Amerika akan mempengaruhi kondisi
harga dan permintan kedelai lokal lebih besar dari perubahan kebijakan
negara pengekspor lainnya. Kompensasi yang selayaknya dilakukan
25
pemerintah adalah transfer teknologi penanaman kedelai dari Amerika
sehingga kedelai lokal dapat bersubstitusi sempurna dengan kedelai
Amerika. Argumen pengentasan kemiskinan dapat diajukan untuk bantuan
dana transfer teknologi.
Karena pemerintah tidak dapat mempengaruhi kebijakan perdagangan
negara pengekspor kedelai, yang dapat dilakukan untuk menghemat
pengeluaran devisa misalnya dengan memilih impor dari negara yang
mempunyai biaya transportasi yang rendah. Jika pemerintah ingin
menigkatkan permintaan kedelai lokal, salah satu cara adalah dengan
menerapkan kebijakan tarif impor. Dampak dari penerapan tarif impor dapat
dianalogkan dengan peningkatan biaya transportasi dimana menyebabkan
perubahan harga dan volume permintaan kedelai domestik lebih kecil
dibandingkan dengan perubahan harga dan volume impor. Dengan demikian
pengenaan tarif tidak terlalu mempengaruhi fluktuasi harga kedelai di pasar
domestik. Analog dengan peningkatan biaya transportasi, peningkatan tarif
sebesar 5% akan meningkatkan harga kedelai impor sebesar 5 % dan
menurunkan permintaan kedelai impor sebesar 6%. Hal ini akan
meningkatkan permintaan kedelai lokal sebesar 1 % dan harga kedelai lokal
sebesar 2%.
26
BAB. III
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Peranan impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan kedelai Indonesia selalu
meningkat dengan semakin menurunnya produksi kedelai lokal, walaupun
pada tahun-tahun terakhir terdapat penurunan. Dengan demikian ekonomi
kedelai Indonesia akan sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi di
pasar internasional kedelai. Antisipasi terhadap perubahan ekonomi kedelai
dunia selayaknya diperhatikan pemerintah mengingat kedelai adalah
salahsatu sumber protein yang penting bagi manusia dan hewan.
Produksi kedelai dunia mengalami peningkatan yang cukup berarti dengan
Amerika Serikat sebagai negara dengan produksi terbesar menguasai
perdagangan kedelai dunia. Posisi Indonesia sebagai negara kecil
menyebabkan perubahan permintaan impor dari Indonesia, baik karena
kebijakan pemerintah maupun karena perubahan permintaan dalam negeri
tidak akan merubah harga dan jumlah keseimbangan pasar kedelai dunia.
Jika dibandingkan nilai transmisi harga dari konsumen ke produsen dengan
nilai transmisi harga di tingkat dunia dan domestik, maka pengaruh harga
konsumen lebih besar. Dengan demikian fluktuasi harga di tingkat domestik
lebih dipengaruhi oleh harga di tingkat konsumen dibandingkan harga dunia.
Hal ini kemungkinan disebabkan elastisitas substitusi kedelai domestik
terhadap kedelai impor yang rendah karena bentuk dan kualitas yang
berbeda. Dengan demikian usaha-usaha peningkatan mutu kedelai sangat
diharapkan untuk dapat meningkatkan daya substitusinya terhadap kedelai
impor.
Pengendalian harga oleh pemerintah di tingkat domestik pada kedelai
dengan perubahan kebijakan yang ada sulit untuk dilakukan. Hal yang
mungkin dilakukan oleh pemerintah adalah dengan penetapan tarif impor
dengan tetap memperhatikan adanya kemungkinan retaliasi dari negara
27
pengekspor dan mengikuti kesepakatan yang telah disetujui pemerintah
dalam kerjasama regional. Penetapan tarif impor juga harus
memperhitungkan dampaknya pada produsen dan konsumen. Sampai saat
ini pemerintah telah menetapkan tarif impor kedelai yang masih lebih
rendah dibandingkan dengan binding rate nya. Pemerintah perlu
mempertimbangkan penetapan tarif optimal dengan memperhatikan
keuntungan konsumen dan produsen.
Berdasarkan model Armington, penurunan pajak ekspor di Amerika Serikat
memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap harga dan permintaan
impor, dan harga dan volume kedelai domestik dibandingkan dengan
pengaruh peningkatan pajak dari negara pengekspor lainnya. Hal ini
menunjukkan angka ketergantungan impor kedelai Indonesia dari Amerika
Serikat yang tinggi. Diperlukan negosiasi agar kemudahan impor yang
ditawarkan dikompensasi dengan transfer teknologi penenaman kedelai.
Pengaruh biaya transportasi akan meningkatkan harga dan permintaan
kedelai lokal walaupun tidak sebesar perubahan permintan dan harga impor
yang terjadi. Jika Indonesia akan menerapkan kebijakan pengenaan tarif
impor, maka kebijakan yang mendukung kegiatan intensifikasi dan
ekstensifikasi kedelai selayaknya diterapkan. Berdasarkan simulasi kebijakan
dengan menggunakan model Armington (Rachmawati, 1999), peningkatan
penawaran kedelai lokal sebesaar 10 % karena program ekstensifikasi dan
intensifikasi akan menaikkan permintaan kedelai lokal sebesar 4 % dan
menurunkan impor kedelai Amerika sebesar 2 % dan impor dari negara
lainnya dengan besaran yang lebih kecil.
Karena penurunan kedelai impor tidak dapat disubstitusikan secara
sempurna oleh permintaan impor kedelai lokal, impor kedele tidak dapat
dihindari sama sekali.Kelayakan ekonomis kedelai juga harus
dipertimbangkan sehingga Indonesia tidak terperangkap dengan program
swasembada kedelai yang memaksa penanaman kedelai yang tidak
mempunyai keunggulan komparatif di suatu wilayah tertentu. Dari hasil
simulasi harga kompetitif kedelai menunjukkan bahwa untuk menggantikan
28
tanaman ubi jalar diperlukan harga kedelai yang meningkat lebih dari 85% di
beberapa daerah di Pulau Jawa. Pada daerah yang memproduksi ubi jalar
tidak perlu dipaksakan untuk mengganti tanamannya dengan kedelai.
Perubahan harga dan volume impor kedelai sebenarnya tidak hanya
mempengaruhi harga dan volume permintaan kedelai domestik, tapi juga
akan mempengaruhi produksi dan harga output komoditas lainnya yang
menggunakan bahan baku kedelai. Dampak perubahan ini juga dapat dilihat
pada perubahan peubah ekonomi makro seperti inflasi, penyerapan tenaga
kerja dan konsumsi. Secara ekonomi pengaruh perubahan tersebut dapat
dihitung misalnya dengan menggunakan model ekonomi keseimbangan
umum (lihat Oktaviani, 2000 untuk dampak dari perdagangan bebas APEC
terhadap ekonomi Indonesia dan sektor pertanian). Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk melihat dampak impor kedelai terhadap peubah selain
harga dan permintaan kedelai domestik.
29
BAB. IV
Daftar Pustaka
Babula, R. A. (1987), An Armington model of U.S cotton exports, “The Journal
of Agricultural Economics Research” 39: 12-22.
Biro Pusat Statistik (1999), Statistik Impor, BPS. Jakarta
Bulog (1999), Statistik Harga Eceran, Harga Produsen dan Harga
Perdagangan Besar, Bulog. Jakarta.
Departemen Pertanian (2005), Data Base Pemasaran Internasional Kedele,
Departemen Pertanian, Jakarta.
FAO Home Page: http://www.fao.org/, 16 Januari 2002
Oktaviani (2000), The Impact of APEC Trade Liberalisation on Indonesian
Economy and Its Agricultural Sector, Disertasi PhD, tidak dipublikasikan,
Sydney University, Sydney
Perindag (2002), Analisis Bea Masuk Impor Kedelai, Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta.
Rachman, B, Susilowati, S.H., Marlian, H., dan Kariyasa, K. (2000), Dinamika
dan Prospek Harga dan Perdagangan Komoditas Pertanian dalam “Analisis
Kebijakan Pembangunan Pertanian: Respon terhadap Isu Aktual”, Departmen
Pertanian.
Rachmawati (1999), Analisis Perdagangan Kedelai di Indonesia (Penerpan
Model Armington), Skripsi Sarjana (tidak dipublikasikan), Jurusan Ilmu-ilmu
Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Rahmina, D., Suryana, R.N., dan Wahida (1999), Analisis Permintaan Impor
dan Respon Penawaran Kedelai di Indonesia, Laporan Penelitian, Kerjasama
Lembaga Penelitian IPB dengan badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor
Siregar, M. (1999), Metoda Alternatif Penentuan Tingkat Hasil dan Harga
Kompetitif: Kasus Kedelai, “Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE)”, Volume
17 No1. Juli 1999. Halaman 66-73
30
Tomich, Thomas P (1992), Survey of Recent Development, “Bulletin of
Indonesian
Economic Studies”, Vol 28 No 3, December 1992, Halaman 3-39.
31