eksplorasi etnomatematika masyarakat sidoarjo (chapter 2)
DESCRIPTION
Tiada gading yang tak retak, begitu pula tulisan ini. Penulis hanyalah orang awam yang masih lemah ilmu pengetahuan dan masih belajar menulis jalan pikirannya sesuai pemahaman pengetahuannya dan beberapa tambahan teori hasil kutipan dari penulis lain yang lebih senior. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran, dan diskusi yang membangun, guna penyempurnaan di masa yang akan datang..bismillah, semoga bermanfaat.. ^_^TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Budaya
Kata "kebudayaan" berasal dari istilah buddhayah (bahasa Sanskerta),
yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal" (Koentjaraningrat,
1985). Sehingga kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan akal. Sedangkan kata budaya dikupas sebagai suatu perkembangan dari
bentuk majemuk budi-daya, yang berarti "daya dari budi" yang berupa cipta, karsa
dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.
Namun, dalam istilah antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya
dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama.
E.B.Tylor mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan aktivitas manusia,
termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan
kebiasaan-kebiasaan lain (Ratna, 2005). Sedangkan menurut ilmu antropologi,
budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. (Koentjaraningrat, 1985). Hal tersebut mengartikan bahwa hampir seluruh
aktivitas manusia merupakan budaya atau kebudayaan karena hanya sedikit sekali
tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak memerlukan
belajar dalam membiasakannya. Sedangkan ahli sejarah budaya mengartikan
budaya sebagai warisan atau tradisi suatu masyarakat.
Koentjaraningrat (1985) berpendapat bahwa wujud budaya (kebudayaan)
ada tiga macam, yaitu 1) sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, peraturan,
9
10
dan sebagainya; 2) sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat; dan 3) sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Sedangkan untuk memudahkan pembahasan, kebudayaan dibagi menjadi tujuh
unsur yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, meliputi:
1. Bahasa, dengan wujud ilmu komunikasi dan kesusteraan mencakup bahasa
daerah, pantun, syair, novel-novel, dan lain sebagainya.
2. Sistem pengetahuan, meliputi science (ilmu-ilmu eksak) dan humanities
(sastra, filsafat, sejarah, dsb).
3. Organisasi sosial, seperti upacara-upacara (kelahiran, pernikahan, kematian).
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi, meliputi pakaian, makanan, alat-alat
upacara, dan kemajuan teknologi lainnya.
5. Sistem mata pencaharian hidup.
6. Sistem religi, baik sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa,
roh, neraka, surga, maupun berupa upacara adat maupun benda-benda suci
dan benda-benda religius (candi dan patung nenek moyang) dan lainnya.
7. Kesenian, dapat berupa seni rupa (lukisan), seni pertunjukan (tari, musik,)
seni teater (wayang), seni arsitektur (rumah, bangunan, perahu, candi, dsb),
berupa benda-benda indah, atau kerajinan yang lain.
B. Matematika sebagai Produk Budaya
Matematika tumbuh dan berkembang di berbagai belahan bumi ini, tidak
hanya di satu lokasi atau wilayah saja. Ada yang tumbuh dan berkembang di
wilayah India, Amerika, Arab, Cina, Eropa, bahkan Indonesia dan juga daerah
yang lain. Pertumbuhan dan perkembangan matematika terjadi karena adanya
11
tantangan hidup yang dihadapi manusia di berbagai wilayah dengan berbagai latar
belakang budaya yang berbeda. Setiap budaya dan subbudaya mengembangkan
matematika dengan cara mereka sendiri. Sehingga matematika dipandang sebagai
hasil akal budi (pikiran) manusia dalam aktivitas masyarakat sehari-hari. Hal ini
meyimpulkan bahwa matematika merupakan produk budaya yang merupakan
hasil abstraksi pikiran manusia, serta alat pemecahan masalah. Sebagaimana
diungkapkan oleh Sembiring dalam Prabowo (2010) bahwa matematika adalah
konstruksi budaya manusia.
Pembelajaran matematika di sekolah pada dasarnya dapat menjadi awal
pembentukan masyarakat maju. Dalam pembelajaran matematika guru tidak
selayaknya hanya memberikan simbol-simbol abstrak dan teorema yang
membosankan bagi sebagian besar siswa, karena melalui penyampaian tujuan
pembelajaran yang jelas dan pendekatan realistis, matematika akan menjadi teman
keseharian siswa. Pembelajaran matematika di sekolah selayaknya dibelajarkan
kepada siswa sesuai dengan realitasnya, bahwa matematika merupakan produk
budaya. Sehingga perlu dikaitkan dengan permasalahan kontekstual yang ada
dalam masyarakat dengan menyertakan konteks budaya.
C. Nilai Matematika bagi Masyarakat
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat dan
menakjubkan secara tidak langsung telah berhutang kepada matematika. Setiap
orang yang diuntungkan dari fasilitas teknologi dan sains harus mengetahui paling
tidak sedikit matematika agar berhasil dan baik dalam menggunakannya.
12
Namun disayangkan selama ini pemahaman tentang nilai-nilai dalam
pembelajaran matematika yang disampaikan para guru belum menyentuh ke
seluruh aspek yang mungkin. Matematika dipandang sebagai alat untuk
memecahkan masalah-masalah praktis dalam dunia sains saja, sehingga
mengabaikan pandangan matematika sebagai kegiatan manusia (Soedjadi, 2007)
Kedua pandangan itu sama sekali tidaklah salah, keduanya benar dan sesuai
dengan pertumbuhan matematika itu sendiri. Namun akibat atau dampak dari
rutinitas pengajaran matematika selama ini, maka pandangan yang menyatakan
matematika semata-mata sebagai alat menjadi tidak tepat dalam proses pendidikan
anak bangsa. Banyak terjadi guru lebih menekankan mengajar alat, guru
memberitahu atau menunjukkan alat itu, bagaimana alat itu dipakai, bagaimana
anak belajar menggunakannya, tanpa tahu bagaimana alat itu dibuat ataupun tanpa
mengkritisi mengapa alat itu dipakai. Bahkan, tidak sedikit guru yang terpancing
untuk memenuhi target nilai ujian yang tinggi sehingga banyak nilai-nilai lain
yang jauh lebih penting bagi siswa terlupakan. Proses pendidikan matematika
seperti itu sangat memungkinkan anak hanya mengahafal tanpa mengerti, padahal
semestinya boleh menghafal hanya setelah mengerti.
Sebenarnya dengan seringnya guru memaparkan dan menggali nilai-nilai
matematika dalam pembelajaran, maka diyakini motivasi siswa akan terus tumbuh
dan timbul ketertarikan pada matematika, sehingga siswa baik dengan bantuan
guru, maupun dengan sendirinya mampu memahami dasar dan alasan mengapa
matematika ada dan bagaimana matematika diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari, termasuk dalam pembentukan pola pikir. Ada tujuh nilai yang dapat secara
13
bertahap kita sampaikan kepada siswa atau mereka yang sedang belajar
matematika, diantaranya:
1. Nilai Praktis dan Nilai Guna
Nilai praktis meliputi kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-
hari dan kegunaan matematika untuk mempelajari cabang ilmu yang lain.
Seperti perlunya mempelajari matematika saat mempelajari pola pertumbuhan
penduduk dalam ilmu Geografi, mempelajari bagaimana kecepatan sebuah
benda jatuh akibat pengaruh grafitasi dalam ilmu Fisika, dan lainnya.
Seseorang yang menganggap matematika berguna baginya akan berusaha
mempelajari dan melaksanakannya walaupun ia tidak tertarik. Dalam kondisi
ini tampak bahwa motivasi yang terjadi merupakan motivasi ekstrinsik,
namun pada akhirnya pemahaman yang terbentuk dari pembelajaran
matematika yang tidak diminati tersebut akan membawa seseorang cenderung
mengembangkan ilmu matematika dan penerapan ilmu tersebut dalam
kehidupan sehari-harinya. Bagi pada pekerja terlatih, seperti seorang petugas
kebersihan, pembantu rumah tangga, kuli bangunan, dan lainnya adalah hal
mudah untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan baik tanpa belajar
membaca dan menulis, tetapi mereka tidak akan bisa bekerja dengan sangat
baik tanpa mempelajari ilmu berhitung, sebagai bagian dari matematika.
2. Nilai Kedisiplinan
Nilai disiplin matematika tumbuh akibat penerapan aturan berupa
aksioma, rumus, atau dalil secara ketat dalam belajar matematika, sehingga
membentuk pola pikir yang disiplin, sistematis dan teratur. Kebiasaan siswa
14
menganalisis dengan teliti suatu situasi sebelum pengambilan keputusan
sangat membantu dalam situasi hidup yang kompleks, di mana pengambilan
keputusan menjadi makin sulit. Pengetahuan matematika membantu anggota
masyarakat untuk mengorganisasi idenya lebih logis dan mengungkapkan
pemikirannya secara lebih akurat. Matematika melatih anggota masyarakat
tidak take for granted (langsung membenarkan) terhadap suatu hal, tetapi
menyandarkan pada pemberian alasan.
3. Nilai Budaya
Nilai budaya matematika terpancar dari peran matematika dalam
dunia seni, serta penampakan matematika dalam menunjukkan tingkat
peradaban manusia. Mode hidup anggota masyarakat sangat besar ditentukan
oleh kemajuan teknologi dan sains, yang pada gilirannya tergantung pada
kemajuan dan perkembangan matematika. Oleh karena itu, perubahan gaya
hidup dan begitu pula budaya secara kontinyu terpengaruhi oleh kemajuan
matematika. Selain itu, matematika juga membantu dalam pemeliharaan dan
penerusan tradisi budaya kita.
4. Nilai Sosial
Matematika membantu menyesuaikan organisasi dan memelihara
suatu struktur sosial yang berhasil. Matematika berperan penting dalam
menyusun institusi sosial seperti bank, koperasi, rel kereta, kantor pos,
perusahaan asuransi, industri, pengangkutan, navigasi dan lain sebagainya.
Transaksi bisnis yang efektif, ekspor dan impor, perdagangan dan komunikasi
15
kini tak dapat berlangsung tanpa matematika. Kesuksesan seseorang dalam
sebuah masyarakat tergantung sebaik apa dia dapat menjadi bagian
masyarakat, kontribusi apa yang dapat dia berikan bagi kemajuan masyarakat,
dan sebagus apa dia dapat diuntungkan oleh masyarakat. Saat ini, keberadaan
sosial kita secara total diatur oleh pengetahuan sains dan teknologis yang
hanya dapat diperoleh dengan studi matematika. Berbagai metode dan logika
matematika digunakan untuk menyelidiki, menganalisis, dan menyimpulkan
mengenai pembentukan berbagai aturan sosial dan pemenuhannya. Nilai-nilai
diperoleh melalui pembelajaran matematika akan membantu seseorang
melakukan penyesuaian diri dan membimbingnya pada keselarasan hidup.
5. Nilai Moral
Studi matematika menolong siswa dalam pembentukan karakternya
lewat berbagai cara. Matematika membentuknya ke sikap yang sesuai, seperti
tidak ada ruang untuk perasaan yang merugikan, pandangan yang
menyimpang, diskriminasi, dan berpikir tak masuk akal. Matematika
membantunya dalam analisis obyektif, memberikan alasan yang benar,
kesimpulan yang valid (sah) dan pertimbangan yang tak berat sebelah. Nilai-
nilai moral ini tertanam dalam pikiran karena perulangan dan membantunya
menjadi anggota masyarakat yang berhasil.
6. Nilai Estetika (Seni/Keindahan)
Matematika makin kaya dengan daya tarik keindahannya. Kerapian
dan kecantikan hubungan matematis menyentuh emosi kita, lebih seperti
16
musik dan seni yang dapat mencapai kedalaman jiwa dan membuat kita
merasa benar-benar hidup. Kehalusannya, keharmonisannya, kesimetrian
segala sesuatunya menambah kecantikannya. Musik atau seni adalah keluaran
sederhana dari kecantikan abadi ini.
7. Nilai Rekreasi (Hiburan)
Matematika memberikan suatu ragam peluang hiburan untuk
mendewasakan orang sebagaimana anak-anak. Matematika menghibur orang
lewat aneka puzzle, permainan, teka-teki, dan lain-lain. Permainan video
komputer modern juga dibangun melalui penggunaan matematika yang
semestinya. Arti penting dari jenis rekreasi matematis adalah ia
memampukan seseorang membangun imajinasinya, menajamkan
intelektualitasnya dan mengukir rasa puas pada pikirannya. Otak manusia
adalah sebuah organ yang makin baik dengan berlatih. Studi matematika
dengan begitu memberikan latihan yang cukup bagi otak seseorang. Untuk
beberapa praktisi matematik, kesenangan harian menguraikan hubungan
matematis yang aneh selalu menjadi hal yang menghibur.
Dalam dunia yang sudah melek teknologi ini, kita tidak dapat
memikirkan suatu masyarakat yang bebas matematika. Masyarakat harus
membuka mata dan mengakui kebaikan dan manfaat matematika. Hal inilah yang
akan membuat masyarakat kita maju dengan kekuatan yang dahsyat. Harus ada
pergeseran dari matematika yang cuma digeluti guru dan akademisi menuju ke
matematika yang memasyarakat, yaitu matematika yang tidak hanya diajarkan
tetapi juga dibelajarkan, khususnya dalam hal nilai sosial-budayanya.
17
D. Riwayat dan Peta Masyarakat Sidoarjo
Sidoarjo adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang
berbatasan dengan Kabupaten Surabaya dan Gresik di utara, Selat Madura di
timur, Kabupaten Pasuruan di selatan, serta Kabupaten Mojokerto di barat.
Berdasarkan hasil wawancara kepada pak Wiyono, Kepala Seksi Pembinaan
Pengembangan Kebudayaan Sidoarjo, pada masa kolonialisme Belanda, daerah
Sidoarjo bernama Sidokare, yang merupakan bagian dari Kabupaten Surabaya.
Kemudian tahun 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah Belanda No. 9/1859
tanggal 31 Januari 1859, daerah Kab. Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu
Kab. Surabaya dan Kab. Sidokare. Selanjutnya, tanggal 28 Mei 1859, nama Kab.
Sidokare, yang memiliki konotasi kurang bagus diubah menjadi Kab. Sidoarjo.
Sidoarjo disebut sebagai Kota Delta, karena berada di antara dua sungai
besar pecahan Sungai Brantas, yaitu Sungai Mas dan Sungai Porong. Kabupaten
Sidoarjo terdiri atas 18 kecamatan, meliputi Kecamatan Krembung, Porong,
Jabon, Tulangan, Prambon, Tarik, Balong Bendo, Krian, Wonoayu, Sukodono,
Taman, Waru, Sedati, Gedangan, Buduran, Sidoarjo, Candi, dan Tanggulangin.
Gambar 2.1 Peta Masyarakat Sidoarjo
18
Perikanan, pertanian, industri, dan jasa merupakan sektor perekonomian
utama Sidoarjo. Selat Madura di sebelah Timur merupakan daerah penghasil
perikanan, diantaranya ikan, udang, dan kepiting. Logo Kabupaten menunjukkan
bahwa Udang dan Bandeng merupakan komoditi perikanan yang utama kota ini.
Sidoarjo dikenal pula dengan sebutan "Kota Petis". Oleh-oleh makanan khas
Sidoarjo adalah Bandeng Asap dan Kerupuk Udang.
Sektor pertanian di Sidoarjo sudah mulai berkurang, karena mulai
berkembangnya sektor industri. Beberapa daerah kecamatan yang masih
mengembangkan usaha di sektor pertanian diantaranya kawasan Sidoarjo bagian
tengah, meliputi daerah Krembung, Tulangan, Prambon, Wonoayu, Sukodono dan
Gedangan. Sektor industri di Sidoarjo berkembang cukup pesat karena lokasi yang
berdekatan dengan pusat bisnis kawasan Indonesia Timur (Surabaya), dekat
dengan Pelabuhan Laut Tanjung Perak maupun Bandara Juanda, memiliki sumber
daya manusia yang produktif serta kondisi sosial politik dan keamanan yang
relatif stabil. Sektor industri kecil juga berkembang cukup baik, diantaranya sentra
industri kerajinan tas dan koper, serta kain bordir di Tanggulangin, sentra industri
batik tulis di Kampung Jetis, Sidoarjo dan Kenanga, Tulangan, sentra industri
sandal dan sepatu di Wedoro, Waru dan Tebel, Gedangan, sentra industri kerupuk
di Rejeni dan Kandangan, Krembung serta Telasih, Tulangan.
E. Pengertian Etnomatematika
Istilah ethnomathematics yang selanjutnya disebut etnomatematika
diperkenalkan oleh D'Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977.
Definisi etnomatematika menurut D'Ambrosio adalah:
19
The prefix ethno is today accepted as a very broad term that refers to
the socialcultural context and therefore includes language, jargon,
and codes of behavior, myths, and symbols. The derivation of
mathema is difficult, but tends to mean to explain, to know, to
understand, and to do activities such as ciphering, measuring,
classifying, inferring, and modeling. The suffix tics is derived from
techné, and has the same root as technique (Rosa & Orey 2011)
Secara bahasa, awalan “ethno” diartikan sebagai sesuatu yang sangat luas
yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode
perilaku, mitos, dan symbol. Kata dasar “mathema” cenderung berarti
menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti
pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan, dan pemodelan.
Akhiran “tics “berasal dari techne, dan bermakna sama seperti teknik. Sedangkan
secara istilah etnomatematika diartikan sebagai:
"The mathematics which is practiced among identifiable cultural
groups such as national-tribe societies, labour groups, children of
certain age brackets and professional classes" (D'Ambrosio, 1985)
Artinya: “Matematika yang dipraktekkan di antara kelompok budaya
diidentifikasi seperti masyarakat nasional suku, kelompok buruh,
anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas profesional"
(D'Ambrosio, 1985).
Istilah tersebut kemudian disempurnakan menjadi:
"I have been using the word ethnomathematics as modes, styles, and
techniques ( tics ) of explanation, of understanding, and of coping
with the natural and cultural environment ( mathema ) in distinct
cultural systems ( ethnos )" (D'Ambrosio, 1999, 146).
Artinya: "Saya telah menggunakan kata Etnomatematika sebagai
mode, gaya, dan teknik (tics) menjelaskan, memahami, dan
menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema) dalam sistem
budaya yang berbeda (ethnos)" (D'Ambrosio, 1999, 146).
Dari definisi tersebut etnomatematika dapat diartikan sebagai matematika
yag dipraktikkan oleh kelompok budaya, seperti masyarakat perkotaan dan
pedesaan, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu, masyarakat
20
adat, dan lainnya. D'Ambrosio (1985) menyatakan bahwa tujuan dari adanya
etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam
melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika
akademik yang dikembangkan oleh berbagai sektor masyarakat serta dengan
mempertimbangkan modus yang berbeda di mana budaya yang berbeda
merundingkan praktek matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung,
mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya).
Ada beberapa istilah yang digunakan para peneliti yang merujuk
matematika yang tidak dikembangkan secara formal di sekolah, antara lain istilah
matematika informal (gerdes, 1994), "m" (Pinxten, 1994), matematika di luar
sekolah (Nunes, 1992), matematika budaya (Shirley, 1995), matematika yang
mengandung muatan lokal Keneddy, Tip, Redresel, dkk dalam Munaldus, 1998
atau D’Ambrosio dan Bishop, 1994 dengan istilah "Etnomatematika"nya.
Sedangkan bidang yang dapat dikembangkan dalam etnomatematika ada tiga
macam (Bishop, 1994). Pertama, ilmu matematika dalam konteks budaya
tradisional. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Asher (1991), Zaslavsky
(1973), Lean (1986) dan Harris (1991) yang menggunakan pendekatan
antropologi. Kedua, perkembangan matematika dalam masyarakat di negera-
negara yang bukan Negara Barat. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Ronan
dan Needham (1981), Yoseph (1991), dan Gerdes (1991). Penelitian tersebut
menggunakan pendekatan sejarah yang didasarkan pada dokumen-dokumen masa
lampau. Ketiga, ilmu matematika yang dimiliki oleh berbagai kelompok.
Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Lave (1984), Saxe (1990), Deabreu
21
(1988), dan Carraher (1985). Penelitian tersebut menggunakan pendekatan
psikologi sosial, yang fokusnya menekankan pada penggunaan matematika dalam
situasi kehidupan nyata. (Sayu, 1999)
Dengan demikian, sebagai hasil dari sejarah budaya matematika dapat
memiliki bentuk yang berbeda-beda dan berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat pemakainya. Etnomatematika menggunakan konsep
matematika secara luas yang terkait dengan berbagai aktivitas matematika,
meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan
atau alat, bermain, menentukan lokasi, dan lain sebagainya.
F. Etnomatematika dan Geometri
Salah satu contoh dari kajian historis-etnomatematika menganalisis dan
merekontruksi tradisi Sona. Tradisi ini dikembangkan oleh Chokwe dari timur
laut Angola dan masyarakat terkait. Budaya Chokwe terkenal karena seni
dekoratif ornamennya pada anyaman tikar dan keranjang, hasil karya dari besi,
keramik, seni pahat dan ukiran pada Calabash, lukisan di dinding rumah, dan
gambar di pasir yang disebut "Sona" (tunggal/singularis, dari kata "Lusona").
Sebagian besar Sona Chokwe adalah simetris dan monolinear.
Monolinear berarti terdiri hanya satu garis, sebuah bagian dari garis yang
mungkin dapat berseberangan dengan bagian lain dari garis itu, tetapi tidak pernah
menjadi bagian dari garis yang tidak berpotongan bagian lain. Gambar berikut
menunjukkan simetri dan ketunggalan garis lurus memainkan peran penting
sebagai nilai-nilai budaya.
22
Gambar 2.2 Geometri Sona
Bandingkan dengan lukisan suku Asmat yang juga monolinier. Ternyata
lukisan suku Asmat merupakan bagian dari garis yang mungkin dapat
berseberangan dengan bagian lain dari garis itu, tetapi tidak pernah menjadi
bagian dari garis yang tidak berpotongan dengan bagian lain (Gambar kiri),
pasangan garis yang mempunyai satu titik potong (Gambar kanan).
Gambar 2.3 Lukisan Kayu Suku Asmat
Demikian juga ornamen rumah Tanah Toraja berbentuk persegi atau
belah ketupat dengan gambar yang simetris. Dibagian lain ornamen berbentuk
lingkaran dengan gambar yang juga simetris.
Gambar 2.4 Ornamen Rumah Tanah Toraja
23
Berikut ini motif kain khas Bengkulu yang dapat digunakan untuk
pembelajaran berkaitan dengan etnomatematika Bengkulu.
Gambar 2.5 Motif Kain Khas Bengkulu
Motif kain ini dapat digunakan sebagai model matematika pada materi
translasi si SMA maupun pengenalan geometri fractal. Pola simetris pada Gambar
2.5. dapat digunakan sebagai materi pembelajaran pencerminan maupun
pengubinan untuk anak siswa SMP. Tidak hanya Bengkulu, motif kain khas Jawa
pun dapat digunakan untuk pembelajaran berkaitan dengan etnomatematika Jawa.
Seperti beberapa contoh motif berikut.
Gambar 2.6 Motif Kain Khas Jawa
Sedangkan bagian-bagian dari rumah adat ini dapat digunakan untuk
menjelaskan konsep bangun ruang prisma maupun bangun datar seperti
24
jajargenjang, persegipanjang, trapezium, segitiga atau persegi, dimana bangun-
bangun tersebut mempunyai simetri lipat maupun putar.
Gambar 2.7 Rumah Adat Bengkulu
Gambar 2.8 Rumah Adat Jawa
Para ahli lukisan mengembangkan seluruh rangkaian algoritma geometris
untuk pembuatan desain monolinear dan simetris. Gambar di bawah menampilkan
dua monolinear Sona sesuai kelas-kelas yang sama, dalam arti bahwa meskipun
pola-pola dimensi yang mendasari berbeda, kedua sona tersebut digambar dengan
menerapkan algoritma geometris yang sama.
Gambar 2.9 Desain Monolinear Sona
Berikut ini gambar kukusan (alat menanak nasi dari bambu) yang dapat
digunakan sebagai motivasi pembelajaran berkaitan dengan materi kerucut.
25
Gambar 2.10 Kukusan (Alat Menanak Nasi dari Bambu Khas Jawa)
Selain Bengkulu dan Jawa, Ethnomatematika juga telah ada dalam
kehiduan masyarakat Bali. Hal ini ditinjau dari sejarah mengenai arsitektur Bali
yang ternyata memiliki dimensi khusus yang hanya dimiliki masyarakat Bali
untuk melakukan aktivitas matematika yaitu pengukuran dalam perancangan suatu
bangunan. Pembangunan bagunan harus sesuai dengan tata cara yang ditulis
dalam sastra Asta Kosala Kosali yang merupakan Fengshui-nya Bali, yaitu sebuah
tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta
bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis,
Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan,
hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Pada jaman tersebut masyarakat Bali belum mendapatkan pendidikan
mengenai matematika formal. Sehingga untuk melakukan pengukurannya pun
lebih menggunakan ukuran dari tubuh pemilik rumah dan mereka tidak
menggunakan meter tetapi menggunakan satuan lokal seperti Hasta (ukuran
sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangansampai
ujung jari tengah yang terbuka), Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang
tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan), dan lainnya. Adapun ilustrasi dari
dimensi pengukuran tradisional Bali dapat dilihat pada gambar berikut:
26
Gambar 2.11 Dimensi-dimensi Tradisional Bali
Dimensi-dimensi inilah yang digunakan oleh masyarakat Bali
untuk pengukuran dalam merancang dan membangun suatu bangunan baik itu
tempat tinggal maupun tempat ibadah. Untuk pembangunan tempat tinggal,
digunakan ukuran tubuh dari pemilik rumah, sedangkan untuk pembangunan
tempat ibadah yang dalam hal ini mengkhususkan pada Umat Agama Hindu yang
dikenal dengan nama Pura, digunakan ukuran tubuh dari Sulinggih selaku
pengemong Pura tersebut. Tidak hanya Bengkulu dan Bali daerah Indonesia
lainpun memiliki unsur budaya yang dapat dikaji secara matematika, termasuk
daerah Sidoarjo, karena pada dasarnya Indonesia merupakan negeri yang kaya
akan budaya.
27
G. Gagasan Etnomatematika dalam Pembelajaran di Sekolah
Matematika bukanlah sesuatu yang bebas budaya dan bebas nilai.
Matematika telah menyatu, dipraktikkan dan menjadi tradisi dalam seluruh aspek
kehidupan masyarakat budaya (Sayu, 1999). Penelitian pendidikan matematika
yang sudah ada umumnya lebih terfokus pada ruang kelas. Namun, terdapat
temuan baru yang menunjukkan bahwa banyak pengetahuan matematika yang
juga dapat diperoleh di luar sekolah, salah satunya temuan tentang
etnomatematika.
Pengajaran matematika bagi setiap orang seharusnya disesuaikan dengan
budayanya (D’ambrosio dalam Shirley, 1995). Untuk itu diperlukan suatu
jembatan yang menghubungkan antara matematika di luar sekolah dengan
matematika di dalam sekolah. Salah satu caranya dengan memanfaatkan
etnomatematika sebagai awal dari pembelajaran matematika formal yang sesuai
dengan tingkat perkembangan peserta didik yang berada pada tahapan operasional
konkret. Pada dasarnya peserta didik, telah memiliki pengetahuan awal (konsep
awal) yang diperoleh dari lingkungan sosial budayanya. Hanya saja pengetahuan
tersebut masih perlu digali, dibangun dan dikembangkan selama proses belajar
mengajar, sehingga menghasilkan pengetahuan baru yang lebih aktual. Sedangkan
memahami konsep awal peserta didik merupakan kegiatan yang tidak mudah,
karena konsep awal peserta didik bersifat individual. Namun, jika guru tidak
memperhatikan konsep awal tersebut akan berakibat munculnya kesulitan belajar.
Dalam pembelajaran di sekolah, guru dapat memotivasi siswa agar lebih
tertarik mempelajari matematika dengan mengaitkan materi yang akan diajarkan
28
dengan contoh konkret model matematika materi tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya, guru mengajarkan materi geometri dengan terlebih dahulu
memberikan contoh model matematika benda hasil budaya yang telah siswa
ketahui dalam lingkungan budayanya sebagai pengetahuan awal siswa. Bagi
sebagian besar siswa yang telah memiliki pengetahuan awal tentang benda
tersebut, hal ini akan menjadi konsep awal mereka untuk mempelajari materi.
Sedangkan kemungkinan akan sebagian kecil siswa yang belum mengetahui
tentang model matematika tersebut, walaupun dalam lingkungan budayanya sudah
ada, siwa akan merasa tertantang untuk mencari tahu keberadaan dan wujud benda
tersebut, apakah benar sesuai dengan apa yang telah guru sampaikan merupakan
salah satu model matematika materi yang telah mereka pelajari atau tidak. Secara
tidak langsung hal ini akan memberikan motivasi belajar untuk lebih memahami
materi ajar yang telah guru sampaikan sekaligus mengenal lingkungan budayanya.
Dengan berbagai usaha yang dilakukan dalam proses pembelajaran
matematika di sekolah, maka diharapkan matematika tidak lagi dipandang secara
parsial oleh siswa, guru, masyarakat, atau pihak lain. Melainkan mereka dapat
memandang matematika secara utuh yang pada akhirnya dapat memacu dan
berpartisipasi membangun peradaban dunia demi kemajuan sains dan teknologi.
Strategi yang dapat digunakan guru untuk mengajarkan matematika berbasis
etnomatematika adalah dengan cara menerapkan pembelajaran Contextual
Teaching and Learning atau pembelajaran matematika dengan pendekatan
matematika realistik Indonesia (PMRI). Keduanya merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi
29
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk
kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru
ke siswa. Selain itu salah satu cara lain memanfaatkan pengetahuan
etnomatematika dalam pembelajaran di sekolah adalah dengan menjadikan
pengetahuan tetatang etnomatematika tersebut sebagai bahan rujukan dalam
penyampaian materi maupun pembuatan soal-soal pemecahan masalah
kontekstual yang sesuai dengan latar belakang budaya siswa.
Cara terbaik memasukkan etnomatematika dalam pembelajaran
memerlukan kreativitas para guru dalam memanfaatkan lingkungan setempat.
Salah satunya dengan mengembangkan pengetahuan dasar etnomatematika siswa
menjadi salah satu alternatif pembelajaran matematika di luar kelas. Misalnya,
guru secara kreatif dapat mengelola kegiatan belejar mengajarnya menjadi
pembelajaran berbasis etnomatematika melalui bentuk permainan tradisional.
Siswa akan secara aktif dan langsung terlibat dalam pembelajaran,
mempraktikkan sekaligus memahami konsep matematika yang diajarkan guru
melalui kegiatan pembelajaran matematika di luar kelas tersebut. Siswa akan
merasa lebih bebas berekspresi dan menyatakan idenya dalam pembelajaran
karena tidak lagi terbatasi oleh ruang kelas, sehingga tidak hanya pengetahuan
matematika yang akan siswa pelajari, tetapi juga kemampuan komunikasi dan
kerjasamanya dalam permainan.