ekspedisi gila mandar jepang

132

Click here to load reader

Upload: muhammad-ridwan

Post on 18-Mar-2016

459 views

Category:

Documents


63 download

DESCRIPTION

Tulisan tentang Ekspedisi The Sea Great Journey, pelayaran perahu bercadik dari Mandar ke Jepang

TRANSCRIPT

Page 1: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Ekspedisi Gila Mandar - Jepang

M U H A M M A D R I D WA N A L I M U D D I N

Edisi Teks

Page 2: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Hak Cipta

© Muhammad Ridwan Alimuddin 2011

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mereproduksi atau memperban-yak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penulis.

Penulis: Muhammad Ridwan Alimuddin

Diterbitkan dalam bentuk e-book oleh Teluk Mandar Kreatif

Jl. Dg. Rioso No. 10 Tinambung, Jl. Haji Dg. No. 71 Pambusuang, Balanipa, Pole-wali Mandar, Sulawesi Barat 91354. Email: [email protected], website: ridwanmandar.com

Foto sampul: Dua perahu bercadik dari Mandar bernama Pakur dan Jomon yang melakukan Ekspedisi The Sea Great Journey. Foto diambil di Teluk Mandar, pada hari pertama pelayaran, 13 April 2009 (c) Muhammad Ridwan Alimuddin.

i

Page 3: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Pengantar

Saya pertama kali bertemu langsung Prof. Yoshiharu Sekino pada April 2008. Dikenalkan oleh Prof. Osozawa Katsuya, dosen Universitas Ehime, Jepang. Saya kenal Prof. Oso, demikian panggilannya, pada tahun 2002. Hampir tiap tahun saya bertemu dan menemaninya dalam beberapa kegiatan pelayaran, khususnya pelayaran-pelayaran yang menggunakan pinisi penelitian milik Lembaga Perahu, Cinta Laut.

Ya, sejak 2004 sampai 2009 selalu ikut berlayar bersama Cinta Laut, yang sele-sai dibuat pada tahun 2003, baik dalam riset-riset bersama peneliti-peneliti Jepang (khususnya Universitas Kyoto) maupun sebagai fasilitator di kegiatan “Sailing Prac-tice” yang diikuti mahasiswa-mahasiswa dari UGM, Unhas, Universitas Negeri Gorontalo, dan Universitas Ehime Jepang.

Dalam rangka ekspedisi The Sea Great Journey, Prof. Osozawa mengenalkan saya ke Prof. Sekino. Sebab, Prof. Osozawa tahu bahwa saya banyak dan terus mendalaman pengetahuan kemaritiman nusantara dan Mandar. Jadi saya diminta terlibat. Selain saya, juga Aziz Salam, dosen Universitas Negeri Gorontalo. Dia murid Prof. Osozawa. Setamat Universitas Hasanuddin, Azis Salam kuliah S2 dan S3 di Universitas Ehime, Jepang. Yang mana Prof. Oso adalah pembimbingnya. Azis Salam menfokuskan penelitiannya pada pembuatan perahu berbahan kayu, khususnya pinisi. Pinisi Cinta Laut adalah obyek penelitiannya, mulai dari desain sampai ikut pembuatan dan beberapa pembuatannya.

Jadi, saya banyak bersama Azis Salam dalam kegiatan-kegiatan Cinta Laut dan Ekspedisi The Sea Great Journey. Khusus di kegiatan ekspedisi Prof. Sekino, Azis Salam lebih banyak dan lebih dalam terlibat sebab dia bisa berbahasa Jepang. Jadi

ii

Page 4: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

dia sekaligus menjadi penerjemah. Tapi tidak seperti penerjemah pada umumnya karena Azis Salam juga memiliki banyak pengetahuan tentang kebudayaan bahari nusantara.

Saya lebih banyak mengurusi riset yang berkaitan dengan budaya bahari Man-dar, pengurusan dokumen di Mandar, membantu mencarikan dan mengenalkan pihak-pihak di Mandar yang berkaitan dengan ekspedisi. Seperti tukang perahu, penebang pohon, tempat tinggal, nelayan yang mengajarkan teknik-teknik ber-layar, tempat pembuatan tali dan layar, dan lain sebagainya. Tapi tidak semua juga, sebab orang Jepang sendiri banyak inisiatif mencari kontak langsung jika su-dah saya bukakan jalan.

Dalam kegiatan pelayaran, awal pemberangkatan (13 April 2009) saya tidak ikut serta sebab masih ada beberapa dokumen pelayaran dan kru belum beres, khususnya paspor. Urusan paspor tidak cepat kelar sebab proses rekrut sawi ada masalah. Awalnya akan melibatkan nelayan-nelayan dari Luwaor, Majene, yang juga terlibat dalam pembuatan perahu. Awalnya mereka mengiyakan, tapi menje-lang pengurusan dokumen, mereka menuntut gaji lebih tinggi. Dan ada juga yang dilarang berlayar jauh dan lama oleh keluarganya. Katanya, takut diculik. Ada-ada saja.

Kemudian mencoba merekrut sawi dari Pambusuang sebagian, juga ada masa-lah. Juga berkaitan dengan penggajian. Ini gara-gara di Pambusuang telah pernah ada ekspedisi yang juga melibatkan orang Jepang. Jadi mereka banding-bandingkan. Walau sebenarnya untuk bandingkan langsung tidak tepat juga sebab ada perbedaan antara ekspedisi oleh Yamamoto (Pambusuang) dengan Prof. Sekino.

Akhirnya ditentukan mengambil sawi dari Karama. Kebetulan saya ada ban-yak kenalan pelaut di sini, yang terlibat di Sandeq Race. Masalahnya, mereka ma-sih tergolong muda. Dengan kata lain, tidak begitu mahir melayarkan perahu pa-kur, sebagaimana pelaut-pelaut dari Luwaor, Majene (kampung terakhir di Man-dar yang melayarkan perahu bercadik jenis pakur). Untunglah, pelaut-pelaut dari Lambe, Karama yang saya ajak, yakni Gusman dan Danial, tahu pelaut yang ma-sih bisa melayarkan pakur, yaitu Zainuddin dan Jabir. Mereka tinggal di Manjo-

iii

Page 5: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

pai, sekitar 1 km dari Lambe. Nanti dari mereka, Gusman dan Danial belajar tek-nik melayarkan pakur. Untuk perahu Jomon, tergolong mudah sebab menggu-nakan layar jenis lete.

Sawi terakhir yang direkrut ialah Irsan. Juga pelayar sandeq di kegiatan San-deq Race, yakni dari sandeq Lincah. Asalnya dari Ga’de, sekitar 2 km dari Lambe. Adapun Abdul Latief, meski bukan pelaut, tapi dia orang pertama yang dipastikan ikut sebagai kru di pelayaran. Sebab sama-sama waktu menebang pohon untuk bakal perahu.

Selain masalah perekutan sawi yang lama, juga pengurusan dokumen paspor. Hampir semua sawi tidak beres dokumennya, khususnya KTP, KK, ijazah, akte kelahiran, dan buku nikah. Ada salah nama, beda tanggal lahir dengan dokumen lain, dan ada yang tidak ada. Jadi, seperti mengurus dari awal. Belum lagi bila kekurangan baru diketahui saat di Kantor Imigrasi. Harus balik lagi ke Tinam-bung untuk urus kelengkapan dokumen. Saat keberangkatan, paspor Irsan yang belum beres. Tapi ini bukan masalah besar sebab masih ada waktu satu bulan sebe-lum perahu memasuki perairan Malaysia.

Saat melakukan pelayaran menyusuri pesisir barat Pulau Sulawesi hingga menyeberang ke Pulau Kalimantan, saya banyak berada di Jawa. Yakni menunggu proses dokumen di Jakarta. Pengurusan dilakukan oleh agen yang digu-nakan Sekino, yaitu Muroya. Setelah selesai, saya bersama Muroya menuju Ta-rakan untuk menunggu kedatangan perahu Pakur dan Jomon.

Di Tarakan, Azis Salam harus segera balik ke Sulawesi. Selain untuk urusan ke-luarga juga urusan kampus. Jadi saya menggantikan posisinya sebagai penghubun-gan antara tim Sekino dengan pelaut Mandar.

Buku ini adalah catatan harian saya sewaktu ikut pelayaran Ekspedisi The Sea Great Journey. Saya tidak membuat tulisan dalam sebuah kertas, tapi lebih banyak menggunakan Blackberry. Kenapa? Alasannya saya tulis di dalam catatan harian saya.

Seteleh catatan harian, terdapat lampiran “Catatan-catatan Harian” dan “Ar-tikel di Media”. Catatan-catatan harian adalah catatan-catatan pendek yang saya buat selama kegiatan persiapan dan pembuatan perahu. Saya buat pendek-pendek

iv

Page 6: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

sebab saya menggunakan handphone (waktu itu belum memiliki Blackberry dan proses pengiriman email lewat hp belum selancar sekarang) dan catatan-catatan tersebut saya simpan di inbox email saya. Menggunakan teknik demikian agar data saya aman, bisa diakses dimana saja-sewaktu-waktu, dan ada detail tanggal.

Isi catatan tersebut tidak amat lengkap sebab banyak aktivitas juga tidak saya catat. Untuk menutupi kekurangan di catatan harian, juga saya lampirkan artikel di media. Semua adalah tulisan saya. Jadi, beberapa informasi yang tidak lengkap di lampiran catatan harian, penjelasannya ada di artikel. Sebab memang peruntuk-kannya beda. Maksud saya, catatan harian lebih banyak berfungsi sebagai pengin-gat saja; untuk saya pribadi. Sedang artikel, adalah tulisan yang didesain sebagai bahan bacaan untuk publik.Bila mau lebih mudah memahami isi buku ini secara instan, langsung saja baca lampiran artikel yang dimuat di media.

Sengaja saya lampirkan catatan harian untuk memperlihatkan beberapa hal yang mungkin tidak diketahui publik, tapi menurut saya itu penting untuk diketa-hui. Misalnya latar belakang beberapa kejadian, kesan saya pribadi, dan beberapa masalah. Setidaknya ini bisa memberi pemahaman atau semacam pembanding bila ada kegiatan yang sama. Baik di Mandar maupun di daerah lain.

Buku ini mungkin buku “terjelek” yang pernah saya buat bila berkaitan den-gan penyuntingan ejaan atau kalimat. Ya, memang sengaja demikian untuk men-jaga semaksimal mungkin orisinalitas atau nuansa catatan harian yang saya buat. Banyak ejaan yang salah (mungkin banyak juga yang “okkot”: kurang “g”, kelebi-han “g” untuk beberapa kata), kalimat-kalimat yang tidak teratur, dan tidak kro-nologis. Ya, memang begitu bila membuat catatan harian. Setidaknya beginilah gaya saya. Yang lain bisa lebih baik; bisa lebih “buruk” (baca: malah tidak mem-buat sama sekali catatan lapangan).

Harapan saya, dengan metode seperti ini, generasi muda Indonesia yang lain tidak takut, tidak khawatir untuk membuat catatan harian atau tulisan ilmiah. Maksud saya, untuk awal, pasti banyak salah-salah. Tapi itu bukan dalih utama un-tuk tidak menulis; tidak membuat catatan. Kekeliruan, ketidaklengkapan hal ma-nusiawi. Intinya, catat saja. Urusan diperbaiki nanti; urusan diterbitkan nanti, itu urusan belakangan. Sekali lagi, yang penting dicatat!

v

Page 7: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Ada sedikit rasa sesal sebab saya tidak ikut ekspedisi ‘gila’ tersebut sampai ke Je-pang. Bukan apa-apa, setahu saya, ini adalah ekspedisi pelayaran perahu yang berasal dari Nusantara menuju luar negeri paling gila dan paling lama. Rasa sesal sebab saya tidak bisa mendokumentasikan seluruh perjalanan ini dan ketika tiba di Jepang. Alasannya jelas, ini adalah ekspedisi terhebat yang pernah berlangsung Memang sih pelayaran tidak berlangsung sepanjang 2009 sampai 2011, tapi bagai-mana pun juga, total waktunya amat lama. Bisa sampai dua tahun. Jauh berbeda ekspedisi-ekspedisi sebelumnya; lainnya, misalnya Ekspedisi Perahu Borobudur dari Indonesia ke Afrika Barat, Ekspedisi Phinisi Nusantara Indonesia – Kanada, dan ekspedisi yang menuju Jepang. Ekspedisi itu hanya hitungan bulan, yang ke Kanada 69 hari saja, yang ke Afrika kalau tidak salah dua bulan saja. Dan, semua ekspedisi itu menggunakan mesin dalam pelayaran dan perahunya berukuran be-sar. Lalu bagaimana ekspedisi The Sea Great Journey?

Ekspedisi ini sama sekali tak menggunakan mesin, tak pernah ditarik mesin. Kasarnya, mulai penebangan kayu hingga tiba di Jepang tak pernah disentuh me-sin. Baik yang bertujuan mempercepat pembuatan maupun tibanya. Hebatnya lagi, kedua perahu tersebut amat kecil. Hanya sebatang kayu bulat yang digali ten-gahnya. Khusus pakur, ada tambahan dua lembar papan, sedang Jomon tak ada sama sekali.

Walau ada sesal, saya bahagia bisa terlibat banyak dalam ekspedisi ini dan bisa mencicipi pelayarannya, walau itu sebulan saja, dari Nunukan sampai Sandakan. Walau hanya sebagian kecil dari total pelayaran, tapi ini (catatan ini) adalah ‘harta’ pelayaran yang bisa dipersembahkan ke masyarakat Indonesia. Mengapa? Sebab hanya saya (warga Indonesia) yang menuliskannya, orang Indonesia lain yang terlibat dalam pelayaran tidak (belum).

Sengaja dalam tulisan ini tak ada foto-foto. Nanti ada buku khusus yang isinya foto-foto saja. Sengaja saya buat demikian sebab bila buku ini dicampur teks dan foto, foto yang bisa masuk tidak akan banyak. Padahal, ekspedisi ini, sejak persia-pan hingga pelayarannya (khususnya yang saya ikuti) memiliki banyak dokumen-tasi yang saya anggap penting sebagai pengaya khazanah dokumentasi ilmu penge-tahuan, khususnya di bidang kemaritiman.

vi

Page 8: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Sudah pasti saya berterima kasih kepada semua pihak sehingga saya bisa terli-bat dalam Ekspedisi The Sea Great Journey Mandar – Japan; sehingga naskah ini bisa terwujud. Akan panjang pengantar ini bila saya sebut satu-satu. Tapi nama-nama mereka ada di dalam buku ini. Dedikasi khusus saya persembahkan kepada Bapak Zainuddin, almarhum. Beliau hilang di lautan sebelum perahu yang beliau nakhodai tiba di Jepang. Tapi beliau wafatnya tidak dalam perjalanan, melainkan di laut Indonesia, Teluk Mandar. Kala pergi menangkap ikan. Kesan khusus ten-tang dirinya ada di dalam salah satu lampiran tulisan ini (In Memoriam Zainud-din, Pelaut Mandar Nakhoda Ekspedisi Mandar – Japan)

Kepada keluarga saya, ibu, bapak dan saudara-saudara. Dukungannya mewa-jibkan saya menyampaikan terima kasih. Demikian juga istri saya, Hadijah Nurun dan putra kami, Muhammad Nabigh Panritasagara. Walaupun saya belum ber-samanya dan putra kami belum lahir sewaktu saya menjalani proyek The Sea Great Journey, keterlibatannya dalam proses penyelesaian naskah amat penting. Dan kepada istri dan anakku, buku ini saya persembahkan.

Mandar, November 2011

Penulis

vii

Page 9: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

B A G I A N 1

Catatan Pelayaran

Pakur dan Jomon Tiba di Tarakan (02/06/09)

Dermaga Lanal Tarakan. Kecepatan angin rata-rata 13 km/jam. Angin da-tang dari selatan. Mudah-mudahan keberuntungan bagi dua perahu bercadik yang 50 hari lalu meninggalkan Teluk Mandar berlayar ke utara, ke arah Malay-sia. Dari tempat saya berdiri, di atas dermaga kayu yang memanjang dari garis pantai lebih 100 meter, Pakur dan Jomon belum terlihat. Namun bila berdasar ka-bar dari perahu, sejam lalu mereka telah meninggalkan Tanjung Batu (ujung sela-tan P. Tarakan), menuju ke utara, kota Tarakan. Mungkin lekuk teluk dan bangu-nan yang banyak di pesisir membuat keduanya tak terlihat.

Matahari sangat menyengat. Untung saya mengenakan baju tipis, sirkulasi udara berjalan baik, tapi karena lengan pendek, terasa kulit lengan dan tengkuk mulai terpapar. Sepertinya nanti malam kulit akan pedih-panas. Tidak apa-apa, wajar sebagai awal. Paling-paling beberapa hari kemudian kulit legam, tebal, ber-minyak, dan “normal”. Bila tak kena panas lagi beberapa hari, kulit seperti mele-puh, laksana ular yang berganti kulit. Jeleknya bukan main, seperti penyakit kulit. Belum lagi bila kejadiannya di wajah. Tidak apa-apa, sudah biasa. Namanya juga kalau lama di laut. Pasti hitam.

Pukul 11.30, salah satu perahu mulai terlihat jelas. Itu Pakur. Bentuk layarnya segiempat. Disebut layar “tanjaq”, sedang Jomon segitiga, ujung layarnya yang mengecil tertahan di haluan (untuk membedakan layar segitiga pada sandeq yang bagian mengecilnya di bagian atas). Layar jenis ini disebut “lete”.

8

Page 10: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Kecepatan angin tak begitu baik, hanya 1 knot. Artinya, untuk jarak 1 km bu-tuh waktu sampai dua jam. Belum kalau arus mengganggu atau anginnya dari arah berlawanan. Untung Pakur dan Jomon membawa dayung panjang, “gayung” bahasa Mandarnya, jadi bisa menggerakan perahu meski angin tak begitu menghembus. Cara mendayungnya seperti budak-budak di kapal perang, prajurit Viking di atas armadanya.

Menjelang pukul 13.00, Pakur mulai tampak jelas. Postur tubuh orang yang ada diatas sudah bisa dikenali, bahwa itu si anu, itu si anu. Di dekat pelabuhan Ta-rakan, layar tanjaq-nya digulung. Tak berfungsi di kondisi angin yang tak bisa mendorong. Lebih baik andalkan dayung. Perlahan Pakur semakin mendekat. Agar tak terlalu kepanasan, awak-awak di atas menggunakan “kayang” sebagai atap mobile. Dua orang Jepang yang ada di atas, Jiro dan Yohei kulitnya sudah tak menampakkan bahwa kulit aslinya putih. Coklat, legam. Khususnya Jiro. Seperti lelaki Amerika Latin, sebab wajahnya tetap berbeda dengan wajah orang Mandar. Sedang empat pelaut Mandar tak ada perubahan, memang kulit dari sono-nya me-mang coklat.

Gusman, nakhoda Pakur, nampak sehat. Sedikit gemuk. Demikian juga Irsan yang hanya mengenakan kolor. Perutnya tampak lebih kembung, rambutnya se-dikit panjang. Kulitnya coklat seperti kayu yang dilumuri minyak. Menyilaukan. Abdul Latif dan Jabir Yongnye biasa saja. Syukurlah, pelayar-pelayar yang diper-caya menjadi motor utama The Sea Great Journey baik-baik saja.

Perlahan Pakur memasuki area antara jembatan dermaga dengan pemukiman penduduk. Pakur menuju pantai yang dasarnya lumpur. Saat Pakur melaju den-gan dayung, saya mengiringinya di atas jembatan dermaga. Rasanya, kecepatan jalan saya lebih laju dari pada pakur. Ya, begitulah, seperti kura-kura. Karena air surut, Pakur tak bisa mencapai pantai. Pakur pun berhenti. Awak di atas Pakur dan saya saling menanyakan kabar. Mereka tampak kelelahan tapi tetap ceria.

Beberapa jam kemudian, menjelang jam empat sore, Jomon tiba. Ukuran pan-jangnya lebih kecil dua meter dari Pakur. Jomon tampak lebih gempal. Tinggi dan lebar lambungnya beberapa cm lebih besar dari Pakur.

9

Page 11: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Jomon terus menggunakan layar sampai tiba di sisi dermaga. Saat tiba, awak di atas langsung menggulung layarnya. Saya sedikit kaget dan tertawa, dua orang Je-pang di atas Jomon, Prof. Sekino dan Junichiro, hanya mengenakan celana pen-dek. Kulitnya juga legam. Perut Prof. Sekino tampak kempis. Dia bugar. Danial dan Zainuddin tetap mengenakan baju. Bila dilihat sekilas atau bagi orang yang tidak tahu siapa saja yang ada di atas Jomon, yang pelaut adalah orang Je-pangnya, sedang pelautnya adalah penumpang. Lucu kan? Syukurlah semuanya sehat-sehat saja.

Posisi Jomon dari Pakur agak jauh, sebab Jomon masuk area dermaga di saat air sangat surut. Saat surut sudah mencapai puncak, keduanya seperti terjebak lumpur. Demikian juga speedboat yang ada banyak di sekitar Jomon dan Pakur. Ya, dasar perairan sudah terlihat jelas. Tak ada lagi genangan. Semua lumpur, dan sampah.

Awak di atas menunda diri untuk naik ke dermaga. Susah untuk lewat. Untuk turun pun berpikir beberapa kali. Lumpur pasti membuat kotor. Demikian juga saya yang ada di dermaga. Alasan lain, dermaga tinggi sekali, hampir 3 meter. Naik-turunnya susah.

Ya, begitulah. Akhirnya Pakur dan Jomon berhasil tiba di Tarakan. Esok akan melanjutkan perjalanan menuju Nunukan.

Meninggalkan Tarakan (03/06/09)

Gerimis. Awan mendung pekat. Kecepatan angin sekitar 4 knot dari barat. Pa-kur dan Jomon berlabuh kira-kira 100 meter dari Dermaga Lanal. Semalam dua perahu itu dipindahkan dari tempat "berlabuh dan mendarat-nya" (karena saat tiba air pasang, beberapa lama kemudian air surut, perahu seperti duduk di atas lumpur) di belakang Lanal Tarakan. Sekitar jam 1 malam air mulai pasang. Di saat lambung perahu lepas dari dekap lumpur, perahu dibawa ke tempat lebih da-lam sebelum air surut lagi.

Rencana jam tujuh nanti Pakur dan Jomon memulai pelayaran, menyusuri pe-sisir utara P. Tarakan (memutar). Tapi karena sekarang hujan menuju deras, ren-cana pemberangkatan kemungkinan ditunda. Bila hujan deras, kembangan layar yang terbuat dari serat alam daun lanu tidak sempurna. Kuyup. Layar pun cepat

10

Page 12: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

rusak bila selalu basah dan proses pengeringannya tidak sempurna (lapuk, mem-busuk).

Sekarang saya berada di kapal motor (dalam bahasa Mandar disebut kappa-kappal atau bodi-bodi) "Baitul Hamdi". Merupakan kapal pengiring Pakur dan Jo-mon. Kapal ini membawa sebagian besar logistik tim, dua kameraman dari Je-pang, dan koordinator pelayaran (saya dan Azis Salam) bila tidak sedang berada di Pakur dan Jomon. Kapal ini disewa mulai dari Mandar sampai perbatasan Indo-nesia - Malaysia, kemungkinan sampai Nunukan. Panjangnya sekitar 12 meter, bagian terlebar sekitar 2 meter.

Baitul Hamdi berlabuh di ujung dermaga, di samping kapal tanker kecil yang kemarin ditangkap aparat keamanan. Nakhodanya ternyata orang Mandar (Cam-palagian) dan seorang awaknya juga orang Mandar, lainnya orang Bugis dan Ban-jar. Kapalnya karatan, bila tak hati-hati bisa mengiris tangan, misalnya di saat akan naik Baitul Hamdi. Baitul Hamdi diawaki lima orang pelaut, semua dari Karama, Tinambung. Masih muda-muda, hanya nakhodanya yang tua, belum sampai 40 tahun. Setelah tiba di Nunukan, selesai pemindahan barang ke kapal pengantar dari Malaysia, Baitul Hamdi akan kembali ke Mandar.Hujan masih tu-run. Awak di atas Pakur dan Jomon memasang tenda agar mereka bisa memasak dan makan.

Sekitar pukul 08.30 WITA, Pakur dan Jomon angkat sauh. Mereka melanjut-kan pelayaran. Walau masih gerimis, mereka tetap berangkat. Lebih baik mengam-bil resiko basah daripada dikena arus ketika terjadi perubahan tinggi permukaan air. Mereka menuju barat daya. Di saat tiba di ujung utara P. Tarakan, mereka akan memutar haluan ke arah timur untuk selanjutnya menuju P. Bunyu untuk kemudian berlabuh. Dari P. Bunyu mereka tembak Nunukan. Demikian ren-cana pelayaran. Setidaknya dari hasil pembicaraan semalam. Realitas di lapangan mungkin berubah. Lihat situasi dan kondisi dulu. Tapi sedapat mungkin tidak ber-labuh di perairan utara Pulau Tarakan. Ada banyak perampok di sana, yaitu perampok yang menunggu petambak selesai panen. Kedengaran lucu “perampok udang”, kampungan. Ya, mereka merampok udang yang baru selesai dipanen. Me-ski kedengaran kampungan, keuntungannya jauh menggiurkan daripada kawanan Kapak Merah di Jakarta.

11

Page 13: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Menuju Bunyu

Sekarang pukul 14.00, Jomon dan Pakur berada di antara P. Tarakan dengan Pulau Bunyu. Tapi P. Bunyu masih beberapa mil, Tarakan kurang sekilo dr sini. Sekitar 13 mil jarak dari Lanal ke posisi Jomon dan Pakur sekarang. Kurang lebih lima jam untuk menempuh jarak itu, hari ini. Kecepatan angin lemah. Layar me-mang berkembang, tapi tak seberapa daya dorongnya.Awak Jomon ada yang men-dayung, Pakur santai-santai. Mungkin capek mendayung. Kemudinya dijaga Jun-san. Didampingi Gusman yang mengenakan kaos Sandeq Race-nya, warna biru. Irsan Tari duduk di "teras" perahu, memandang ke laut, entah apa yang dipikirkannya.

Jomon dan Pakur berjarak 500 meter, pakur di depan.Awal pelayaran Pakur menggunakan layar tanjaq, di Bakenkeng (Mamuju) diganti dengan layar lete. Di-ganti dengan beberapa alasan, selain karena robek dihantam angin barat, juga ter-lalu besar. Karena besar, lajunya cepat. Selalu meninggalkan Jomon. Kecepatan angin sekarang tak menentu. Sesekali rata-rata 4 km/jam, pernah sampai 10-15 km/jam. Pakur dan Jomon melaju perlahan tapi pasti. Malam ini, jam 7 lewat 15 menit.

Awak-awak di atas Pakur bermain-main dengan ikan. Memasang lampu di atas cadik, lalu salah seorang memegang keranjang. Satu dua ekor ikan melompat. Hup! Setiap ada ikan yang masuk, mereka tertawa. Beginilah situasi malam ini, be-berapa ratus meter dari Pulau Tarakan.Arus air sangat kencang. Itu tampak dari turbulensi di buritan katir (palatto).

Angin tidak sepoi, tidak juga terlalu kencang. Bulan tak terlihat. Dihalangi awan. Yang tampak di angkasa seperti isi buah kapuk yang kotor. Bintang tak ada. Bila situasi seperti ini yang terjadi ketika berlayar, parameter untuk menentukan arah haluan adalah arus, angin, dan tanda-tanda di darat. Misalnya lampu-lampu di perkampungan. Idealnya kampung atau kota tersebut diketahui. Ada empat or-ang malam ini yang di dekat atau pas di kepalanya terdapat senter penerang. Di atas Pakur, Yohei, sedang mencatat. Saya tidak tahu tentang apa sebab menggu-nakan huruf kanji. Kedua, Abdul Latif. Kelihatannya juga seperti mencatat tapi sebenarnya isi TTS. Sedang di Jomon, Jiro yang juga membuat catatan dan bias-

12

Page 14: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

anya juga ada sketsa-sketsa, dan Prof. Sekino. Dia menggunakan komputer khusus yang keyboardnya bisa dilipat, layar monokrom beberapa inci. Fitur sepertinya hanya untuk mengetik saja, tapi kelihatan mahal. Menurut sawi-sawi, setiap ma-lam Prof. Sekino begitu. Misalnya dia membuat catatan setiap malam sekitar 2-3 halaman selama 3 bulan, itu sudah jadi buku. Jadi sebenarnya yang dibutuhkan untuk bisa melahirkan buku adalah ketelatenan! Teknologi urusan belakangan.

Chill Factor (04/06/09)

Sekitar jam 5 subuh, Pakur dan Jomon berlayar beriringan menuju arah 20 derajat (utara). Kecepatan angin berkisar 6-9 km/jam, chill factor sampai 28 dera-jat celcius. Bandingkan dengan suhu badan saya yang 32 derajat celcius. Lama-lama, apalagi kalau kecepatan angin bertambah, chill factor-nya tambah berkurang. Jadi, chill factor adalah suhu yang dipengaruhi hembusan angin yang terpapar ke tubuh atau alat ukur (termometer).

Permukaan laut tak bergelombang, di permukaan tampak jejak-jejak angin. An-gin tidak merata di semua tempat, itu terlihat dari tidak ratanya "kerutan" di atas permukaan.Bagang,ada banyak bagang di sini, sekitar 2 km dr P. Bunyu. Kon-struksi tidak sama dengan bagang-bagang pada umumnya yang hanya terdiri dari satu "rumah", bentuk segiempat. Di sini bentuk memanjang, bisa sampai 50 me-ter. Lebar hanya 5 meter

Tampak dari jauh, sepertinya tak ada alat pengangkat jaring. Mungkin jar-ingnya ditarik manual dengan tangan. Mungkin juga metodenya hampir sama dengan jermal, yaitu berada di daerah berarus untuk menjebak ikan. Kalau ba-gang lebih mengandalkan cahaya sebagai alat pemikat untuk kemudian menje-baknya dengan jaring yang muncul dari bawah. Ya, itulah kepintaran manusia di-banding ikan.

Matahari menandakan kira-kira jam 7, kira-kira 30 derajat dari horizon. Meski bisa mencapai panas 34-35 derajat jika terpapar terus-menerus, panasnya nikmat, sehat. Beda bila paparannya terjadi di siang bolong. Membakar.

Awak Pakur dan Jomon sibuk mendayung. Tapi Pakur lebih santai, mau tenaga penuh dilema sebab Jomon akan tertinggal. Agar tak tertinggal jauh, semua awak Jomon harus mendayung, punggawa juga demikian meski tidak

13

Page 15: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

seterusnya.Gagang dayung panjang yang digunakan, di bagian tengah telah aus. Sebab tergesek cincin rotan yang menahan gagang agar tetap berada di sisi perahu. Ya, laksana tuas. Dengan cara ini, mendayung berat bisa lebih ringan. Po-sisi tubuh membelakangi haluan. Sedang punggawa, bila mendayung, tetap menghadap ke depan, mendayung dengan cara biasa.

Lumutan

Sebelum bergabung dengan tim, terakhir saya melihat Pakur dan Jomon di hari kedua pelayarannya, 14 April 2009, di Luwaor, Majene, tempat pembuatan-nya. Lalu kembali bertemu pada 2 Juni di Tarakan. Bagian atas perahu tidak ada perubahan mendasar, kecuali warna beberapa bagian yang pudar, misalnya layar karoro yang tak lagi terlalu coklat kekuningan.Yang tampak kontras ialah bagian bawah lambung perahu, lumutan! Kentara bila perahunya tak pernah digosok.

Menurut pelaut Mandar yang ikut, yang sejatinya sering merawat perahu, lu-mut mulai banyak tumbuh ketika berada di pesisir Kalimantan. Ya, perairan di wi-layah tersebut bercampur dengan air muara. Air kehijauan, subur. Airnya juga tak sedalam Selat Makassar. Pesisir Kalimantan, khususnya yang dilalui ekspedisi lak-sana sarang muara sungai. Lumut cepat tumbuh. Keruh tidak hanya disebabkan sedimen alami, tapi juga sedimen yang diakibatkan eksploitasi alam di P. Kaliman-tan, baik penebangan hutan maupun penambangan batubara.

Pelaut tak punya kesempatan mengeringkan untuk kemudian menggosok lam-bung dan palatto yang berlumut. Tiap hari berlayar, berangkat jam 5 subuh, berla-buh menjelang Maghrib. Direncanakan, perawatan dan perbaikan signifikan akan dilakukan di Nunukan, sebelum masuk wilayah Filipina.Untung lambung dilapisi kapur yang tebal, meski tak ada tambahan anti fouling, teritip tidak gampang menerobos.

Kecepatan mendayung

Lima orang mendayung, angin berhembus tidak sampai 5 km/jam, kecepatan pakur sekitar 3 km/jam. Mendayung dengan cara menyamping, dengan ga-gang panjang, dan bagian tengah gagang tertahan di sisi perahu sedikit repot. Kaki telentang lurus. Rasanya tidak ergonomis dibanding bila bengkok. Tapi lama kelamaan akan terbiasa. Otot yang bekerja keras otot pinggang, lengan atas. Agar

14

Page 16: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

tak besar sebelah, harus ganti-ganti kiri-kanan perahu. Bisa dalam satu hari, bisa juga beberapa kali dalam sehari. Bebas koq.

Sekarang, menjelang 10 menit jam 11, ada enam atap kayang terpasang. Sejuk, segar, sirkulasi udara berjalan sempurna. Perahu tidak terlalu goyang. Gusman tetap menjaga kemudi, Latif memasak, Jabir memejamkan mata, Irsan isi TTS. Apakah bisa jawab atau tidak? Entah sebab tangannya tidak memegang pulpen meski ada pulpen terselip di buku TTS-nya. Jun mengamati haluan dengan meng-gunakan teropong kecil, Yohei memotret. Sebelumnya dia mempelajari peta sela-tan Filipina dari sebuah buku tentang orang Sama di Filipina. Buku ditulis Osamu Monden, kurang lebih 20 tahun lalu. Saya pernah membantu risetnya tentang or-ang Kajang dan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bius. Sekarang dia sudah tua.

Main halma

Irsan bertarung dengan Latif. Senjatanya potongan-potongan kayu kecil, seuku-ran lebar-panjang kuku. Arenanya balik pintu palka yang dibuat garis silang-menyilang. Main halma. Serius bukan main. Latif bertelanjang dada, badan kekar, hitam legam. Irsan pakai kaos lengan panjang putih. Baju dari caleg. Bagian bawah di belakangnya tersingkap ke atas. Lilitan jimat tampak di pung-gungnya, di atas celana dalam bermerk Bontex. Dulu waktu tamat SD saya pakai celana dalam merek yang sama. Mengenakan celana ketat selama di laut, kalau bagi saya, kurang oke. Repot bila mau buang air. Belum lagi kalau lembab dan lama tak dicuci. Dan kalau lama dalam keadaan basah, bisa membuat lecet selang-kangan. Sekarang Jabir pegang kemudi, Gusman barusan sholat. Hanya dia dan Irsan yang sholat diantara kru. Biasanya memang begitu, pelaut (dan nelayan) ti-dak kuat praktek agama yang wajib.

Gusman sesekali mengecek haluan yang dituju. Katanya, di sana ada ombak pecah. Ada tanjung. Harus hati-hati, jangan sampai kandas. Sambil itu, dia juga cek kedalaman laut. Caranya: menurunkan ke dalam laut tali monofilament yang diujungnya ada pemberat. Lalu dia tarik naik sekaligus mengukur dengan menggu-nakan depa (antar ujung tapak tangan kanan dengan tangan kiri).

15

Page 17: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Ikan berlompatan. Lewat tengah hari. Seperti semalam, di sekitar perahu ikan-ikan tembang berlompatan. Satu dua ekor sampai ke atas perahu, tapi kembali ke laut sebab lantai di sisi kiri kanan perahu hanya berupa jalinan belah bambu. Di ember hanya ada satu ekor. Tembang biasa disebut sarden. Tadi ada "angkot" Ta-rakan – Nunukan yang lewat. Cepat sekali, pakai dua mesin "tempel". Haluannya terangkat, buritan di bawah, meninggalkan jejak ombak yang membuat Pakur dan Jomon yang hanya berjarak 20 meter dari jalurnya turun naik beberapa saat, seperti dihantam ombak.

Di bawah perahu masih terdengar bunyi sarden yang menabrak lambung. Membayangkan bagaimana sakitnya. Hanya bisa mendengar, mau tangkap bagai-mana. Lompatannya cepat sekali. Baik di Pakur maupun di Jomon ada yang siap-kan ember. Siapa tau ikannya nyasar masuk ke ember. Meski setiap hari ada di laut, beberapa hari belakangan hanya makan ikan asin, nasi dan mi instan. Makanya bersemangat sekali mau dapat ikan besar. Tapi karena pelaut yang ikut ini spesialisasi air dalam, mereka tidak bawa alat tangkap untuk air dangkal, semisal jaring atau pukat. Buat apa juga, sebab memberati perahu.

Waktu di Donggala (Sulawesi Tengah) Pakur dan Jomon banjir ikan. Pelaut-pelaut Mandar yang melaut di sana banyak menyumbang ikan. Sisanya dijemur. Itulah yang dimakan sampai saat ini. Si Latif masih bertahan dengan ember di tangan. Berharap ada ikan melombat. Tetap tak ada. Yang lain berbaring, yaitu Yohei dan Irsan. Gusman tidur di dalam lambung perahu. Kalau di perahu nelayan yang asli, tempat paling tidak enak adalah di da-lam lambung. Biasanya ikan juga disimpan di dalam. Untung perahu ini bukan un-tuk tangkap ikan, jadi tidak perlu tidur ditemani ikan kering yang masih basah.

Rembulan

Lagi dua atau tiga malam lagi purnama, tapi rembulan telah memperlihatkan keindahannya. Bintang-bintang terlihat jelas, memudahkan belajar navigasi dari para pelaut. Malam ini kami melanjutkan pelayaran, meski malam, menuju Nunu-kan. Angin baik hembusannya tapi tidak kencang. Pandara' atau pendaran cahaya dari pemukiman menjadi tanda utama untuk menentukan haluan, bukan bintang, bukan bulan. Tadi sore, sekitar jam tiga sore bulan telah terlihat. Ya, meski siang,

16

Page 18: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

bulan juga biasa nampak. Bagi yang ahli, bisa tahu jam berapa bulan mulai mun-cul di kala siang, jam berapa tenggelam di kala malam. Itu berguna untuk menen-tukan saat pasang-surut.Terangnya cahaya bulan juga salah satu faktor yang mem-buat Jomon dan Pakur tetap berlayar malam. Sangat terang, horizon terlihat jelas.

Buang air

Buang air di kapal atau perahu tidak lagi "water closed" (WC), sebaliknya "open water", di perairan terbuka, di suasana yang betul buka-bukaan. Tak ada sekat di sekeliling. Buang air di perahu bercadik, untuk kecil, gampang, tinggal "arahkan". Air besar sedikit susah, secara naluriah akan cari tempat tersembunyi. Ada banyak tempat, tergantung arah angin dan pandangan awak yang lain. Bias-anya pilihan awal adalah cadik. Tinggal jongkok. Tapi terlalu kentara. Alternatif-nya, di atas katir. Untuk cebok pun tinggal turunkan pantat. Kalau di atas katir ha-rus pakai timba. Timba di atas pakur ada tambahan kayu, jadi panjang ga-gangnya.

Tadi saya buang air di cadik haluan sisi kiri. Tersembunyi sebab layar pas me-motong atau menjadi semacam tirai antara saya dengan tempat kumpul awak. Me-mang bunyi kedengaran, tapi tersamar bunyi hentakan katir di permukaan laut. Tenang, tidak ada rona di wajah.

Apakah pakai sabun? Tidak! Selesai cebok, tangan digosokkan saja ke kayu. Beres!.Ya begitulah. Di atas perahu rasa jijik harus dibuang. Mau super bersih mus-tahil. Orang Jepang juga telah terbiasa. Sampai saat ini tidak ada yang sakit perut. Saya sedikit yakin, di laut itu tak ada penyakit (kecuali gatal-gatal karena lama ti-dak mandi). Mungkin dibawa hembusan angin ke darat. Entah kenapa ada mitos orang Jawa bahwa sumber kejahatan adalah laut. Koq bisa sampai berpikir be-gitu? Mungkin mereka tidak pernah melaut.

Angin kencang (05/06/09)

Jumat, jam 10 pagi. Tadi malam angin bertiup kuat. Campur hujan. Kami ha-rus berlabuh, padahal Nunukan tinggal 25 km. Tenda terpal plastik dipasang, per-sis sedang berkemah. Kayang menjadi alas agar tak basah oleh air laut yang ter-percik dari bawah "teras" perahu. Salah seorang sawi, Irsan, memanfaatkan hu-jan. Dia mandi dan mencuci celana dalam Bontex-nya. Kulit dan lemaknya tebal.

17

Page 19: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Dia tak kedinginan. Bandingkan dengan saya yang mengenakan baju sintetik dan jaket anti air. Kepalaku juga dibungkus tutup kepala khusus agar tak kedinginan oleh hembusan angin. Sawi yang lain hanya mengenakan baju kaos, kecuali Gusman sang nakhoda yang juga mengenakan jaket sama seperti saya. Jun dan Yo-hei juga mengenakan jaket. Sayangnya saya tidak membawa pasangan jaket saya, yaitu celana panjang, jadi perut ke bawah tetap dingin. Tapi tak apa, yang penting kepala hangat. Masih aman untuk suhu di kisaran 25 derajat celcius.

Agar tak terlalu dingin, saya menjadikan plastik terpal sebagai sarung. Luma-yan. Hangat. Tidur saya nyenyak, hanya sesekali terbangun untuk memperbaiki "sarung" terpal.Menjelang subuh, angin masih kencang, ombak tambah besar. Se-sekali air laut naik ke atas perahu. Saya masih bertahan dengan jaket, Irsan lak-sana badak. Hanya mengenakan kolor.

Hari ini tetap berlabuh, Jomon tak berdaya pada situasi seperti ini: arus kuat, angin dari haluan. Kalau dipaksakan berlayar, dia lari ke samping. Bahasa Mandar-nya: pere.

Sampai jam 10 pagi, masih di sini. Perahu memang pindah, tapi terbawa arus padahal jangkar tetap mencakar di dasar perairan. Kedalaman di perairan sini kira-kira lima depa, sekitar delapan meter.Sambil menunggu pemberangkatan atau untuk mengisi luang, sawi-sawi main halma. Jun baca majalah, Yohei mem-buat catatan. Saya sendiri isi TTS, aktivitas yang jarang saya lakukan. Mungkin karena tidak ada alternatif lain untuk mengisi waktu. Untung sampul TTS-nya hanya terpampang wajah gadis, kalau tubuh juga dipasang (biasanya ada TTS seperti itu), bisa membuat pusing. Khususnya pelaut. Dalam beberapa pembi-caraan, mereka bercanda bertema perempuan.

Makanan

Sejam lagi matahari tepat ada di atas ubun-ubun. Barusan Yohei menghidang-kan irisan-irisan semangka. Ah segar! Sejak dari Tarakan, barusan makan maka-nan segar. Sebelumnya hanya makan nasi, mie yang hanya disiram air panas, dan ikan asin. Saya tanya ke pelaut kenapa orang Jepang tidak beli sayur-sayuran. “Dulu sering beli tapi mubazir sebab akan busuk karena lama tidak diolah”, jawab Irsan. Ya, tidak ada kulkas di perahu.

18

Page 20: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Kemarin ikan asin khas Mandar "toppa" diolah dengan cantik oleh Irsan: toppa diiris-iris, digoreng bersama santan yang dicampur pammaissang dan kunyit. Orang Mandar suka, orang Jepang juga.

Air tawar disimpan didalam jerigen (yang telah mulai berlumut)). Itu air galon yang dibeli didarat. Air baru dimasak kalau bila akan buat air panas. Pelaut suka kopi susu. Orang Jepang Coffemix. Saya juga, sesekali kopi pahit.

Baik Pakur ataupun Jomon membawa satu tungku masak. Tungku masak Pa-kur terletak di buritan, tepat di depan tempat juru mudi sedang Jomon ada di ha-luan. Jomon lebih pendek, tak banyak tempat luang untuk barang. Air panas di-masak dengan menggunakan cerek. Jika ada sisa, disimpan di dalam termos yang diikat agar tak tumbang.

Di perahu beda dengan darat. Untuk mencuci alat makan minum di sini san-gat simpel: ambil saja air laut, bilas, bila sudah tak ada lengket sisa makanan, beres. Langsung disimpan di keranjang rotan (saya biasa membuangnya saja, tak perlu diatur posisinya). Tak ada sabun, tak ada bilasan air tawar. Yang radikal, masukkan saja ke dalam air laut, goyang-goyang, selesai. Bila mau minum air ta-war, remas-remas saja alat pompa, air pun keluar dari pipa dari dalam jerigen.

Suasana di atas pakur

Pakur perahu bercadik yang panjangnya sekitar 9 meter. Lebar, termasuk teras sekitar 4m. Bila memasukkan cadik dan katir, bisa sampai 8m ke samping. Buritan tempat mengemudi. Kemudi dipasang di sisi kanan buritan, di celah sanggar ke-mudi atau sanggilang. Di sisi kiri terdapat lepa-lepa. Lepa-lepa jarang digunakan, jadi difungsikan saja sebagai "lemari". Tapi lemari mengarah ke atas, tak ada pintu. Didalamnya ada banyak barang, umumnya alat masak, alat makan, dan bumbu-bumbu yang terdapat dalam boks plastik transparan.

Maju sedikit ke tengah perahu, di teras sisi kanan terdapat tungku, didekatnya kayu bakar yang ditutupi terpal, agar tak basah. Di sekitar pintu palka buritan ter-dapat jerigen air tawar dan termos. Maju lagi, di tengah, ada sekoci. Dibungkus terpal dan kayang. Dilihat dari luar, mungkin orang tak pikir bahwa benda itulah alat keselamatan utama tim The Sea Great Journey. Harganya lebih sepuluh juta.

19

Page 21: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Setelah itu, pintu palka tengah. Disisi-sisinya diletakkan kayang. Bila panas, kay-ang dibuka, dipasang di atas bambu yang memanjang dari tiang layar ke arah buri-tan. Bambu yang juga menjadi tempat jemuran. Kemudian di haluan, hanya ada tali dan jangkar untuk berlabuh. Ada tiga batang bambu yang berjarak semeter dari palka. Selain bambu tempat gulungan layar (bila tak digunakan), yang lain tumpuan bila kayang atau tenda dipasang, tentunya juga sarung atau baju yang dijemur. Agar tak terbang, jemuran tidak dibuka, tapi dililit membentuk semacam simpul. Jadi kelihatannya tidak seperti dijemur, melainkan bambu yang dililiti kain. Lama-lama kering juga.

Berkat Blackberry

Saya membuat catatan ini, setidaknya tulisan yang ini, menggunakan gadget Blackberry Curve 8310. Sengaja saya beli sebelum bergabung dengan ekspedisi agar saya bisa membuat catatan lebih bebas, mobile, bila dibandingkan alat ketik digital lain (laptop atau netbook). Saya tidak perlu landasan atau tempat luas, cu-kup tempat duduk. Saya memilih BB (panggilan Blackberry) sebab keyboard-nya telah QWERTY, sangat memudahkan untuk mengetik. Yang paling penting, saya bisa langsung mem-backup tulisan saya langsung ke alamat email, selama ada jar-ingan GPRS. Bagian mentah catatan-catatan ini (dan sesekali foto) saya kirim ke beberapa orang, dan ke Facebook saya.

Mudah-mudahan selama berlayar, termasuk di Malaysia, Filipina, Taiwan dan Jepang alat ini tetap bisa digunakan untuk mem-backup tulisan saya ke dunia maya. Jika tidak bisa (tak bisa mengirim tulisan ke internet), kapasitas memori 1 GB sangat cukup bila hanya teks saja yang disimpan. Tinggal berharap saja alat ini tidak hilang atau rusak. Nah begitulah, menggabungkan teknologi dengan te-pat, efektif dalam kegiatan yang nasib tak menentu, khususnya di laut seperti sekarang. Hanya saja, tetap ada kekurangan, misalnya kekuatan baterei. Seperti semalam, saya tidak bisa membuat catatan karena telah “lobet” (lowbattery). Pada-hal, momentum sangat tepat untuk membuat catatan: datang badai tapi suasana di atas perahu tetap memungkinkan untuk membuat catatan, khususnya aktivitas awak menghadapi badai. Sebenarnya sih bukan badai besar, masih angin kece-patan 15 km/jam dan hujan deras.

20

Page 22: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Jomon memang kuno

Menurut pelaut Mandar yang ikut ekspedisi, Gusman, Jomon memiliki banyak hal tidak ideal tentang perahu. Menurut saya itu ada hikmah! Lambung Jomon gempal, pendek, berat, katirnya berat karena bambu yang retak terisi air. Daya apung tak maksimal. Membuat Jomon tak bisa berlayar cepat sebagaimana Pakur. Saya menduga, perahu kuno, yang awal-awal dibuat manusia adalah perahu jelek (untuk keadaan sekarang), lambat, tebal berat. Nah, ketika perahu itu jadi dan mereka layarkan, mereka (orang-orang dulu) menyadari kekurangan pada pera-hunya. Mereka pun, ketika membuat perahu berikut, membuat pembaharuan-pembaharuan; inovasi-inovasi yang bisa menutupi kekurangan perahu yang aw-alnya mereka buat.

Kesimpulannya, mereka melakukan evolusi. Bandingkan dengan pakur, yang pasti desainnya berasal dari perbaikan-perbaikan perahu yang pernah dibuat di Mandar, jauh lebih cepat daripada Jomon. Koq bisa cepat, sebab para tukang perahu telah mengetahui bentuk perahu yang ideal: panjang, ramping, dan lunas yang menyempit. Tentu mereka bisa menyimpulkan sebab telah ada pembanding-pembanding dengan bentuk perahu sebelum pakur.Jadi, kekunoan Jomon seakan sempurna. Tidak hanya dari proses pembuatan dan penggunaan bahan yang menggunakan cara tradisional, bahan alami. Ini suatu berkah tak terduga!

Beberapa ratus meter dari mulut selat yang mengantarai Pulau Nunukan den-gan Pulau Sebatik (pulau ini terbagi dua: milik Indonesia dan milik Malaysia), Pa-kur kembali membiarkan layar tak didorong angin. Jomon jauh tertinggal di be-lakang. Harus ditunggu sebelum memasuki selat, menuju Nunukan. Arah da-tangnya angin sangat tepat, arus juga demikian. Meski layar tak difungsikan, perahu tetap terdorong ke arah Nunukan.

Perkiraan, tiba sekitar Magrib di Nunukan. Saat Jomon dekat dan Yohei telah konsultasi dengan Sekino dengan menggunakan radio komunikasi. Bila salah sa-tunya mengusulkan untuk berkomunikasi, salah satunya memberi kode berupa ki-basan kain (sarung, handuk, atau baju kaos). Nah yang lihat meng-on-kan radio-nya dan mulailah mereka komunikasi. Bila keadaan gelap, senter yang digunakan.

21

Page 23: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Pakur bergerak perlahan melalui selat. Layar difungsikan, arus juga men-dorong. Rencana tempat berlabuh selama di Nunukan adalah dermaga Lanal Nunukan. Telah ada teman dari Mandar yang menunggu di sana. Dia membantu navigasi Pakur memasuki dermaga. Sekitar jam tujuh malam, hari Jumat, Pakur merapat di pasir Pantai (wisata) Enching, Nunukan.

Tiba di Nunukan (5/6/2009)

Gara-gara baju kaos, tak perlu proposal yang harus ditawarkan kemana-mana, bisa dihelat acara besar dan mengharukan untuk melepas pelayaran The Sea Great Journey di Nunukan. Koq bisa? Begini ceritanya.

Beberapa pekan lalu, seorang perantau Mandar yang sukses di Nunukan da-tang ke Tinambung, ke kerabatnya. Tepatnya di usaha sablon punya Sdr. Thalib. Perantau ini melihat ada baju kaos bertuliskan The Great Journey Mandar – Je-pang. Singkat cerita, Sdr. Thalib menceritakan prihal ekspedisi pelayaran tersebut. Sesaat kemudian, muncul ide untuk mengadakan acara penyambutan di Nunu-kan.

Kebetulan saat itu saya dalam tahap persiapan untuk menyusul tim di Kaliman-tan Timur. Saya masih ada di Mandar. Thalib menyampaikan ide, saya menyam-but baik.

Maka dipersiapkanlah acara penyambutan di Nunukan. Secara bersamaan saya melakukan perjalanan dari Tinambung – Mamuju – Balikpapan (via fery) – Tarakan (via pesawat) – Nunukan (via Pakur). Dalam perjalanan, terus dikoordina-sikan tentang posisi perahu ekspedisi (via hp). Setelah ditimbang-timbang, diperki-rakan tim akan merapat di Nunukan sebelum Minggu, 7 Juni 2009. Untuk itu, acara pelepasan direncanakan diadakan pada hari itu di Pantai Enching, pantai wisata di Nunukan yang keindahannya jauh dibawah Pantai Palippis kita di Man-dar.

Awalnya kerukunan Mandar di Nunukan mengidekan acara penyambutan, tapi saya sampaikan itu sulit sebab jam merapat didarat tidak bisa ditebak tepat. Kalau terlambat masuk kan repot. Kalau undangan sudah pada datang tapi perahu belum datang-datang, pasti malu. Panitia menerima.

22

Page 24: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Saat saya berada di Tarakan dan berlayar menuju Nunukan, saya terus dikabari teman-teman Mandar di Nunukan bahwa mereka sedang sibuk latihan. Akan ada sayang-sayang, pattu'du, macca', dan lain-lain. Begitu seriusnya persia-pan mereka, mereka harus mendatangkan langsung aktivis kesenian dari Tinam-bung untuk membantu acara, yaitu Sdr. Agung. Sekedar catatan, Sdr. Agung juga-lah yang membantu acara pembukaan PORDA I Sulawesi Barat beberapa waktu lalu.

Alhamdulillah, Pakur dan Jomon tiba di Nunukan pada hari Jumat malam. Sangat pas! Saat tiba, kami disambut hangat orang-orang Mandar di sana. Sete-lah merapikan perahu, saya ikut teman-teman Mandar di Nunukan untuk mem-bantu persiapan acara. Sedang kru Mandar dan Jepang tetap tinggal diperahu.

Saya dibawa menuju rumah sesepuh Mandar di Nunukan. Di sana banyak berkumpul orang Mandar yang sedang latihan. Saya disambut dengan hangat. Be-berapa di antaranya saya kenal, tetangga di Tinambung, teman berorganisasi (pra-muka), dan teman sewaktu kuliah (tapi beda kampus).

Menjelang pelaksanaan, persiapan terus dimatangkan. Menjahit perhiasan pe-nari masih berlangsung menjelang acara dimulai.

Pelepasan

Sekitar jam 10 WITA, Minggu, 7 Juni 2009, dimulailah Acara Pelepasan The Sea Great Journey Mandar – Jepang. Acara dihadiri Bupati Nunukan dan pejabat setempat. Sebelum acara dimulai, saya bertemu dengan bupati untuk memberi gambaran kegiatan. Di waktu yang sama, di lain tempat tapi masih di lokasi yang sama (Pantai Enching), orang Jepang dan pelaut Mandar sibuk mendorong pera-hunya ke bagian air yang dalam. Ya, supaya tidak terjebak surut (sehingga perahu tidak bisa bergerak). Untuk itu mereka basah, kaki becek, pakaian seadaannya.

Saya yang berada di antara acara dan perahu menjadi dilema. Dalam arti, ini acara akan berlangsung tapi yang akan dilepas masih sibuk. Sedikit saya tertawa. Untung ada beberapa acara hiburan, jadi acara inti bisa diulur-ulur. Panitia terus menelponku agar segera meminta orang Jepang ke tempat acara. Saya iyakan saja. Kalau saya sampaikan ke orang Jepang, pasti mereka lebih mementingkan perahunya. Menjelang perahu terbebas, saya ke tempat acara. Tidak lama kemu-

23

Page 25: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

dian, dengan masih tetap menggunakan celana pendek yang masih basah, baju Sandeq Race oranye, dan tanpa alas kaki, saya memberi kata sambutan pertama di tengah lokasi acara. Ratusan pasang mata menyaksikan momen itu. Syukurlah, saat saya sedang berbicara, satu per satu orang Jepang dan orang Mandar yang melayarkan perahu datang. Untuk kemudian saya memperkenalkan mereka.

Saat saya perkenalkan Prof. Sekino, dia pun menuju mic. Dia juga akan berbi-cara. Wah bagaimana nih, dia sedang makan kue tallo' panynyu. Tapi dia segera habisi. Karena makannya buru-buru, lapisan bubuk putih menghias bibirnya. Dia usap, tambah parah, wajahnya tambah “koris” dengan serbuk dari tallo'panynyu. Yang liat pasti tersenyum. Kelucuan diwajahnya melengkapi penampilannya yang juga bercelana pendek dan kaos putih yang kotor. Tapi dia (dan semua kru yang semuanya kotor) santai-santai saja. Yang hadir pasti mahfum dengan kondisi de-mikian.

Berturut-turut acaranya diisi dengan sambutan dari bupati lalu hiburan. Hiburannya beragam, semua nuansa Mandar.Tentu ada juga makanan-makanan khas Mandar, termasuk Jepa.

Ada ratusan orang yang hadir pada acara tersebut di atas. Mereka mengeru-muni dua perahu dari Mandar. Berfoto-foto didekatnya. Krunya seakan menjadi artis, khususnya orang Jepang. Banyak yang mengajaknya berfoto bersama. Saya sibuk diwawancarai, baik oleh Trans TV maupun media lokal di sana (Radar Ta-rakan). Lama baru suasana di pantai sepi.

Menjelang sore, setelah semua dokumen ijin berlayar dikeluarkan syahbandar setempat, Jomon dan Pakur melanjutkan pelayaran, menuju Tawao, Malaysia.

Melintas Perbatasan

Berangkat 15.27 dari Nunukan. Sekarang melintasi Pelabuhan Tunontaka, pe-labuhan kecil tapi bisa digolongkan pelabuhan internasional sebab tiap hari men-jadi gerbang lalu lintas manusia dari-ke Indonesia – Malaysia. Sepertinya saya ke-nal pelabuhan ini. Di mana ya? Oh iya, saat saya menulis tulisan tentang pembo-man ikan. Pelabuhan ini salah satu titik masuknya ke Indonesia pupuk Urea berkualitas bagus, titik masuk ke Malaysia hasil tangkapan dengan bom. Menurut pengolah ikan di Kampung Baru, Balikpapan, ikan kering “biji nangka” disukai

24

Page 26: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

orang Indonesia yang bekerja di perkebunan kelapa sawit Malaysia. Di dermaga-nya merapat satu Kapal Republik Indonesia bernomor lambung 873. Tidak ada namanya tertulis di lambung. Bisa saya tebak, kapal itu salah satu kapal yang ikut berperan dalam patroli di perairan blok Ambalat. Kan lagi panas-panasnya sekarang.

Menjelang setengah jam lagi matahari terbenam, melintasi batas Indonesia – Malaysia. Bagi saya, ini pengalaman pertama kali melintasi batas negara dengan rasa sadar. Itu terjadi di laut. Ya, saya memang pernah ke Jepang yang melintas be-berapa negara. Tapi pasti tidak tahu posisi perbatasannya. Agar momen itu ter-catat, saya minta Yohei untuk memotret saya berdiri di haluan Pakur yang perla-han memasuki wilayah Malaysia. Panasnya isu Blok Ambalat tak terasa di sini.

Armada Pakur dan kapal pengantar dicek oleh patroli perbatasan, oleh Polis Malaysia. Menggunakan speedboat kecil, lambung biru tua, atas putih. Pakai atap. Kayaknya mereka sudah tahu bahwa tim ekspedisi akan lewat, jadi setelah men-dengar informasi lisan dari kru dari kapal pengantar, yang biasa lewat perbatasan, patroli menjauh, hanya melihat dari jauh. Mereka menunggu Jomon, yang jauh dari buritan Pakur.

Tim Ekspedisi SGJ, bukan atas dasar adanya konflik perbatasan, tidak melin-tasi perairan Blok Ambalat, yang terletak di timur P. Sebatik. Saat ini, sekitar pu-kul 17.45, kami melintasi perairan di ujung barat P. Sebatik, Malaysia. Kami sen-gaja lewat sini sebab arah arus pasang yang terjadi di selat antara Nunukan dan Sebatik mengarah ke barat, jadi kami tidak terlalu repot mendayung. Lagian me-mang lebih dekat bila akan menuju Tawao bila datang dari Nunukan.

Kurang 50 meter di sisi kanan Pakur hutan mangrove. Lebat. Suara burung mengiringi bunyi gesekan palatto (katir) dengan air, membelah permukaan laut yang warnanya mirip sungai dikampungku. Kehijauan. Burung berkicau memberi kedamaian. Kontras nuansa di sisi timur. Damai. Kusuka suasana saat ini. Indah. Tenang.

Di atas pakur, di buritan. Awak ngobrol. Irsan memotong-notong sayur kang-kung. Di sisinya, antara tungku dan panci, api memberi panas beras dan air yang sebentar lagi menjalani nasib menjadi makan malam kami. Pemandangan khas hu-

25

Page 27: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

tan mangrove, jenis Rhizopora "akar yang mengangkat pohonnya". Susah melin-tasinya. Pakur perlahan melintasi selat kecil. Di sisi kiri pakur pulau kecil yang seperti hanya terdiri rimbunan mangrove. Entah apa nama pulau milik Malaysia itu.

Jabir baru mengukur kedalaman. Kira-kira empat depa. Irsan selanjutnya men-giris bawang yang telah bertunas (sebab dibeli dua bulan lalu,di Mandar), Latif mengaduk isi panci, agar masaknya nasi merata.Tadi, sebelum berangkat, Pakur dan Jomon mendapat suplai masing-masing 1 karung (25kg) beras. Ada gambar lele, si Irsan selalu memuju beras itu "Ah, samelang". Kayaknya beras itu kualitas bagus. Soalnya Irsan pernah ke Malaysia. Jun dan Yohei memperhatikan haluan. Kira-kira akan berlabuh di mana untuk menunggu Jomon. Kami berjarak kira-kira 500 meter darinya. Mereka jauh di belakang Pakur.

Bertemu Polis(i)

Purnama menyambut Pakur dan Jomon di selat kecil pulau kecil Malaysia, di pesisir P. Sebatik. Awak-awak mendayung. Angin tenang, angin sepoi dari arah ha-luan. Mangrove tak jauh, membuat nyamuk bisa menjangkau kulit-kulit manusia di atas Pakur. Tapi itu tak membuat diriku, Irsan, Latif, dan Gusman untuk tidak membuka baju. Memang ada angin, tapi hangat suhunya. Saya heran, bila saya di darat, buka baju lama-lama membuat diriku langsung pilek. Di laut, itu tak ter-jadi. Terus mendayung.

Halo rembulan menyentuh horizon pucuk-pucuk mangrove. Cantik. Jengkel se-bab tidak bisa mendokumentasikan dengan baik. Meski meningkatkan ISO, ha-silnya kurang baik sebab tempat saya berdiri memegang kamera terus bergoyang. Jadinya proses merekam imej dengan diafragma terbuka lama terganggu.

Tumben Jomon berada di depan kami. Juga mendayung. Malam ini diputus-kan untuk menjangkau Tawao tanpa berlabuh sebelumnya. Tadi kami singgah di pos Polis Malaysia. Petugasnya ramah-ramah, santun. Kayaknya saya pertama kali mendengar logat Malaysia asli, langsung dari penuturnya. Saya tak bisa berlo-gat Melayu, tapi mengerti maksudnya. Salah seorang dari mereka hanya menge-nakan sarung. Markasnya bagus, di atas air. Ada ruang lapang. Perahu bisa langs-ung merapat di sisi terasnya. Pakur agak susah sebab ada cadik yang terlalu lebar.

26

Page 28: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Selesai bercakap-cakap, kami melanjutkan pelayaran. Beberapa saat kemudian, melewati perahu yang sedang dimuati kelapa sawit. Ya, di perbukitan Sebatik me-mang banyak ditanami tanaman industri itu, khususnya di tanah-tanah Malaysia. Menurut teman saya di Nunukan, kalau mau melihat tanda perbatasan Indonesia dengan Malaysia di P. Sebatik, lihat saja ada tidaknya mana yang ada kebun sawit, mana yang tidak. Yang ada, itulah Malaysia.

Rembulan begitu sempurna malam ini. Angin juga centil belaiannya. Nyamuk sesekali menggodaku.

Mana Tawao?

Sebab pelayaran ini diusahakan tidak menggunakan kompas, apalagi GPS, me-nentukan letak kota Tawao gampang-gampang susah. Kami hanya mengandalkan peta skala besar, sehingga tak detail. Nah, ketika kami beberapa mil dari Tawao, masih di pesisir barat P. Sebatik (dan pulau-pulau lain di timurnya, yang terletak di muara sungai), dari posisi kami ada beberapa pendaran cahaya di angkasa. Bila ada satu, bisa dipastikan itu Tawao. Tapi ada banyak. Tawao yang mana ya? Tapi bukan masalah besar sebab antar pendaran tidak terlalu jauh. Bila salah memilih, mengganti alternatif bukan masalah berarti. Semakin mendekat, sumber penda-ran semakin terlihat. Juga bayangan bukit.

Tapi spekulasi tidak berlangsung begitu lama. Angin berhenti, arus juga de-mikian. Dipilih untuk berlabuh saja. Istirahat dipilih. Mendayung dihindari. Se-mua kru capek. Juga tidak ada alasan tepat untuk harus segera tiba. Beda saat ber-angkat, harus segera berangkat beberapa jam setelah surat ijin berlayar dari syah-bandar setempat ditandatangani.

Berselimut daun

Dari tempat berlabuh, Tawao telah kelihatan. Saya tidur berselimutkan daun pohon lanu yang dijahit-jahit. Itu satu-satunya pilihan. Untuk pinjam sarung dan jaket dari kru lain untuk saat sekarang tidak perlu. Barang-barang saya banyak berada di kapal yang kami sewa untuk membawa barang dari Nunukan ke Ta-wao. Membuatku harus kreatif agar tak kedinginan didera hembusan angin. Un-tuk kedua kalinya saya menggunakan kayang sebagai selimut.

27

Page 29: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Kayang adalah jalinan daun lanu yang berbentuk segiempat panjang. Kira-kira dua meter lebih, lalu dilipat. Nah, benda bersahaja ini multifungsi, bisa sebagai atap (baik satu saja yg digunakan maupun disusun ke samping dengan menggu-nakan beberapa kayang), bisa sebagai selimut (tapi tidak seelastis selimut atau sa-rung lho!), pelindung tungku dari angin bila masak, dan sebagai tikar dikala bar-ing di atas geladak perahu. “Kayang” bahasa Mandarnya, "kajang" bahasa suku laut di Selat Malaka! Ada akar sejarah yang sama?

Menjelang tiba

Selasa, 9 Juni, saya bangun sekitar jam 6 waktu Malaysia timur. Masuk Indone-sia apa ya? Semua masih pada tidur. Hembusan angin sedikit menusuk. Saya ubah posisi kayang menjadi semacam benteng mengerucut ke arah angin. Lumayan ti-dak membuat suhu tubuhku turun. Satu per satu awak Pakur terbangun. Melihat angin lumayan hembusannya, diputuskan untuk segera berlayar menuju Tawao.

Langit gelap berarak di atas perbukitan Malaysia. Sepertinya akan ada hujan. Latif membakar kayu dengan bantuan minyak tanah, memasak air. Tidak lama lagi akan ada hidangan kopi. Oh iya, saat memasuki wilayah Malaysia, secara oto-matis (tentunya bukan berdasar batas negara, tapi jangkauan antena operator tel-pon seluler), tulisan Telkomsel di monitor hp-ku berganti dengan DiGi. Disamp-ingnya ada simbol segitiga. Sekarang kena roaming. Menerima telpon ternyata ha-rus bayar juga, demikian juga SMS. Kalau perhatikan, menerima SMS harus bayar sekitar Rp 200, mengirim SMS sampai Rp 4500! Mahal!Di dekat Tawao, DiGi digantikan My Maxis. Tetap ada simbol segitiga. Biayanya tak jauh beda.

Tadi malam, disaat saya tidur, Blackberry-ku menangkap signal yang bisa mem-buat fungsi internetan di BB-ku berfungi. Mungkin signal dari menara Telkomsel di Indonesia. Email dan pesan di Facebookku masuk. Tapi pagi ini tidak. Di sudut kanan atas masih tertulis GSM. DiGI yang lagi aktif. Pukul 06.46, telah ada hidan-gan kopi susu didekatku. Nikmat!

Berlabuh

Berlabuh di pelabuhan peti kemas, sekitar 9.30 pagi. Tadi kami ketemu dengan palata', benda hanyut di laut yang "bergerombol memanjang". Sengaja masuk ke tengahnya agar bisa memunguti benda-benda berguna, kayu, cangkir plastik.

28

Page 30: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Awak-awak laksana anak kecil berebutan mainan yang berserakan. Kayu menjadi rebutan. Lumayan untuk kayu bakar. Hampir semua awak memindai (scanning) sampah, mencari-cari sampah yang berharga. Sesekali saya melihat kondom yang hanyut. Awak tertawa-tawa bila melihatnya.

Banyak kayu basah teronggok di teras perahu. Latif memotong-motongnya. Saya menjemurnya. Polis yang melihat polah kami tersenyum. Entah apa yang ada di benak mereka melihat prilaku tetangganya, dan saudara jauhnya.

Mendekati pesisir Tawao, sesekali kami mendayung. Di pesisir, semuanya ban-gunan. Ada yang baru direklamasi. Kami mencari-cari kapal yacht. Menurut agen yang mengurus dokumen imigrasi kami di Malaysia, nanti berlabuh di samping ka-pal Australia. Tapi mana? Beberapa kilometer terus melaju ke arah timur dengan perlahan. Mendekat ke pelabuhan, ada yang memanggil-manggil. Ternyata agen kami di Malaysia. Dia orang Jepang. Pakur segera putar haluan. Tidak lama kemu-dian kami merapat di balik dermaga. Kapal Australianya mana?

Dengan menggunakan speedboat Polis Malaysia, agen orang Jepang men-dekat. Dia meminta kami untuk menunggu. Speed menuju arah lain untuk men-cari perahu kecil yang bisa membawa kami ke daratan. Sekitar 11.25 waktu Ta-wao, Malaysia, untuk pertama kalinya saya menginjak Malaysia. Tepatnya di Ta-wao Yacht Club. Tempatnya mewah. Semua kru, termasuk orang Jepang, dijamu Cocacola. Tapi saya tidak sempat sebab harus melapor ke pejabat pelabuhan se-tempat tentang ketibaan kami. Agen yang bantu mengurus telah ada. Namanya Amat.

Kami menuju Jabatan Laut Sabah, Cawangan Tawau. Loket Ketibaan/Pelepasan Kapal. Pak Amat yang urus. Saya duduk-duduk saja di tempat tunggu bersama tiga staf orang Nomura (yang membantu mengurus dokumen kami di Malaysia). Salah satunya bernama Branden, orang Malaysia asli, yang akan men-jadi koordinator wilayah Malaysia. Dia mengenakan kaos hitam. Ada tulisan PADI. Sepertinya dia seorang penyelam. Ada juga gadis cantik. Namanya Asian, orang Malaysia keturunan Toraja. Bahasa Inggrisnya lancar. Bila berbahasa Ma-laysia, langsung ingat suara St. Nurhaliza. Mirip.

29

Page 31: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Di kantor Jabatan Laut Sabah ada beberapa loket. Selain yang ditempati Pak Amat melapor, yang lain adalah loket: Pembayaran, Pendaftaran/Persilijidan Pe-laut, Perlesenan Bot/Survey, dan Pertanyaan. Ada poster yang bergambar wajah anak kecil. Tulisan besar terbaca jelas: Senyumlah dan Dunia Akan Tersenyum Bersamamu. Ya, betul gumanku dalam hati!

Sambil menunggu urusan dokumen kapal selesai, kami menuju kantor imigrasi setempat. Saya lupa namanya. Panjang. Pokoknya ada kata “Kastem, imigrasen, ...” (asal kata Custom atau beacukai dalam bahasa Indonesia). Lokasinya pas samp-ing pasar ikan. Saya kaget saat pengantar kami mengatakan “Di sini orang Indone-sia diterima”. Saya pikir di pasar ikannya, ternyata di sampingnya, yang juga Pela-buhan Tawao.

Di sini kami agak lama. Harus mendapat “cok”, yaitu cap di paspor. Selain paspor dicek, juga harus menjalani pemindaian sidik jari. Tapi hanya ibu jari tan-gan kiri. Kalau orang Jepang, mereka harus isi semacam formulir. Indonesia tidak. Tapi lama bisa tinggal di Malaysia beda. Indonesia hanya satu bulan, Jepang tiga bulan.

Ada tempat antri di antara dermaga pelabuhan dengan loket. Juga ada sema-cam pagar besi. Di depan tempat antri, ada ruang untuk mendeteksi barang. Seperti bandar udara. Ada jalur Green Line, ada Red Line. Menarik juga berada di tempat seperti ini.

Setelah semua selesai, kami pergi makan siang. Tak jauh dari “Kastem”. Rupa-nya milik orang Sulawesi. Nama warungnya “Warung Bone”. Kami pesan nasi campur dan ayam. Minumnya es Milo. Sayang nasinya agak keras, saya tak bisa menghabisinya.

Selanjutnya kami kembali ke TYC (Tawao Yacht Club) untuk memindahkan posisi Pakur dan Jomon serta melihat kapal pengantar (supporting boat) yang akan kami gunakan ke perbatasan Malaysia – Filipina.

Mau pulang

Kemarin (Minggu, 7 Juni) ada dua kejadian menarik: upacara pelepasan pe-layaran ekspedisi The Sea Great Journey di Nunukan oleh orang Mandar di sana

30

Page 32: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

dan keluhan sawi yang ujungnya keinginan untuk mundur dari anggota tim alias ingin kembali ke kampung. Yang pertama akan saya ceritakan belakangan.

Setelah Pakur dan Jomon didorong ke perairan yang bisa membuatnya tera-pung di Pantai Enching, Nunukan, saya ngobrol-ngobrol dengan Danial dan Zainuddin di atas Jomon. Salah satu pembicaraan menginformasikan kepada saya bahwa ada rumor keinginan sawi untuk pulang. Alasannya belum tahu persis. Un-tuk lebih jelasnya, saya pindah ke Pakur. Di sana tempat kebanyakan awak, empat orang, di Jomon hanya ada dua. Lagian di Pakur ada Gusman, yang paling ber-pengaruh di antara keempatnya.

Lalu saya mengajak mereka bicara, mengungkapkan apa saja masalah yang ada di hati sehingga ingin pulang. Awalnya saling tunjuk, tapi akhirnya Gusman juga yang mengawali. Belakangan diiyakan sawi lainnya.

Ada dua yang membuat mereka "seakan memiliki alasan tepat untuk mening-galkan tim", tapi bagi saya (dan tentunya juga orang Jepang) bukan alasan yang masuk akal sebab tergolong ringan. Yaitu, pertama, kurangnya logistik di atas ka-pal yang dimata awak seolah-olah gambaran bawah mereka tidak diperhatikan, kedua, sikap salah satu kru Jepang, Jiro Maeda, yang gaya bicara dan sikapnya seperti memarahi sawi-sawi. Semua mengalaminya, khususnya sawi-sawi yang berada di Jomon: Danial dan Zainuddin.

Masalah pertama, bagi saya hanyalah salah paham. Sebab, apa yang ada di ka-pal, itu juga yang dinikmati orang Jepang. Dengan kata lain, bila ada kekurangan logistik, orang Jepang juga tidak makan. Jadi tidak berarti orang Jepang tidak memberi perhatian. Di sisi lain, orang Mandar yang ikut malu-malu untuk menga-takan kedua-ketiga. Kalau sudah permintaan pertama tidak langsung diiyakan, un-tuk mengingatkan mungkin tidak. Yang terjadi malah “sekalian lapar saja semua”. Setelah dikonfirmasi ke orang Jepang tentang hal di atas, mereka malah mengi-yakan hal yang sama, “kurang logistik, koq tidak dilengkapi”.

Setelah masalah itu dibicarakan, di Nunukan beli dua karung beras, di Tawao belanja “sepuasnya” untuk logistik kapal. Jatah pun tidak dibagi rata: Pakur lebih banyak sebab ada banyak kru di sana, Jomon hanya ada empat.

31

Page 33: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Sedang yang kedua, setelah Yohei (yang menerima keluh kesah langsung pelaut Mandar lewat saya) menyampaikan ke Jiro tentang sikap sensitif sawi, sikap Jiro pun berubah. Pada dasarnya Jiro tidak marah, hanya saja dia lebih disiplin diband-ing orang Jepang lain. Sisi lain, kebiasaan orang Mandar yang “sembarangan” se-dikit banyak berbeda dengan orang Jepang.

Sebagai contoh. Jiro meminjamkan tas anti air ke salah satu kru, saat giliran-nya sedang ada di Pakur. Ketika si kru Mandar pindah ke Jomon, tas itu dibawa serta. Penggunaan tas itu dikritik Jiro. Dengan alasan, tas itu hanya digunakan un-tuk kru Pakur. Dalam hati, si kru Mandar jengkel.

Bagi saya, itu hanya salah paham. Orang Mandar pun harus menyesuaikan diri bergaul dengan budaya orang lain.

Di Balik Layar

Pikirnya hari-hari saya di bulan April, Mei, Juni (dan mungkin juga Juli, Agus-tus) 2009 ini diisi dengan kesengsaraan di laut, dalam ekspedisi The Sea Great Journey. Ternyata tidak, ternyata tidak selalu saya di laut, ternyata sering kali saya berada di situasi sebaliknya.

Perahu Jomon dan Pakur berangkat 13 April 2009, saya belum ikut serta sebab masih ada beberapa dokumen yang belum selesai, khususnya paspor dan visa pe-laut Mandar yang melayarkan dua perahu ekspedisi. Selesai mengurus dokumen di Polewali dan Parepare, saya ke Makassar untuk mengurus visa Jepang. Karena pertimbangan tertentu, pengurusan visa Jepang diurus belakangan, visa Taiwan saja dulu. Untuk itu saya harus ke Jakarta.

Menjelang keberangkatan, ada informasi dari agen di Jakarta bahwa visa Tai-wan belum bisa diurus karena ada negosiasi antara pihak Jepang dan Taiwan, juga Malaysia berkaitan dengan prosedur masuk ke negara tersebut dengan cara yang berbeda (kami akan masuk menggunakan perahu kayu super-lambat).

Agar tak terlalu banyak keluar biaya hidup, sambil melepas masa-masa kuliah, saya “berlabuh” di Yogyakarta. Semenjak gempa bumi di kota pendidikan terse-but, saya tidak pernah lagi menginjaknya. Lama, lama menunggu! Hampir sebu-lan saya ada di Yogya. Pada diri sendiri jadi malu, koq teman-temannya di laut

32

Page 34: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

saya malah ada di kota yang berbudaya darat? Untung saya bisa meluangkan waktu untuk membagi pengetahuan dengan teman-teman di Yogya tentang ekspe-disi.

Sempat ada tiga diskusi yang bertema ekspedisi The Sea Great Journey, yaitu di Jurusan Perikanan UGM, bersama IKAMI Sulawesi Selatan (di Asrama Merapi Empat), dan Kerukunan Keluarga Mandar (di Asrama Todilaling).

Di pekan terakhir di Jawa, saya tinggal di Solo. Nah di sini kontras yang sangat kentara mulai terjadi: saya tinggal di hotel mewah, namanya Lor In. Makan enak, ada kolam renang. Air panas sampai puas. Koq bisa? Kebetulan teman-teman saya yang tergabung dalam anggota Komisi Penyiaran Daerah Sulawesi Barat ikut hajatan KPI Pusat. Salah satu anggota tidak bisa hadir. Agar jatah tak lewat be-gitu saja, saya diminta ikut saja daripada tidak ada kegiatan. Lagian saya salah satu stakeholder penyiaran di Sulawesi Barat, meski tak tergabung secara formal. Maka, hari-hariku diisi dengan tidur di hotel mewah, makan-makanan “aneh”. Meski ada rasa “aneh” di hati, saya tetap terima sebab bisa manfaatkan waktu un-tuk menulis.

Singkat cerita, pengurusan visa di Jakarta ditunda karena kalau terlalu cepat di-urus, visa akan kadaluarsa (sebab masuknya kami ke Taiwan dan Jepang tidak bisa diprediksi, paling cepat dua-tiga bulan, sedang visa akan kadaluarsa setelah bulan ketiga). Ah, cobanya saya ikut berlayar!

Balik ke Mandar

Di tengah persiapan pesanan dari tim yang tengah ekspedisi (mereka meminta serbuk damar 3 kg, empat batang “tadiq”, dan beberapa ikat serat alam “pap-pas”), saya menyempatkan diri untuk mewujudkan ide saya terhadap ketua KPID Sul-Bar, Adi Arwan Alimin, untuk membuat portal berita, kabar warga khas Man-dar. Maka, pada tanggal 20 Mei 2009 bertempat di Kantor Camat Tinambung, diluncurkanlah secara resmi portal berita khas Mandar yang pertama di Mandar: www.mandarnews.com. Kerabat saya di Jepang, Azhari Sastranegara, yang men-jembatani pengurusan kami dengan server sekaligus webmaster.

Satu Juni 2009, saya tiba di Balikpapan dengan setumpuk barang. Yang paling merepotkan empat tadiq. Untung salah satu koordinator, Moriyama san, yang se-

33

Page 35: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

hari sebelumnya baru datangdari Jakarta, menjemputku. Dari pelabuhan feri, kami langsung menuju Bandara Sepinggan menggunakan taksi (sebenarnya pete-pete) untuk selanjutnya terbang ke Tarakan. Menjelang jam dua siang, dengan menggunakan Sriwijaya Air, kami terbang ke Tarakan. Jengkel dalam hati sebab tak duduk dekat jendela. Saya tak bisa foto-foto.

Kembali saya “terpaksa” tinggal di hotel, Hotel Harmonis. Hotelnya bisa jalan kaki ke Lanal Tarakan, yang direncanakan sebagai tempat berlabuhnya Pakur dan Jomon selama di Tarakan, di hotel ini ada fasilitas Wifi. Ya,untuk internetan. Itu yang dibutuhkan Moriyama san (terus terang, saya juga).

Keesokan harinya Pakur dan Jomon datang. Lusanya, untuk pertama kalinya saya bersama tim di laut. Tapi belum terlalu puas sebab saya tidak berada di Pa-kur atau Jomon, melainkan di kapal pengantar. Konsekuensi yang harus saya ter-ima sebab dalam tim saya berperan lebih banyak di darat. Tak apalah.

Hari kedua, saya tak tahan untuk tidak berada di salah satu perahu ekspedisi. Saya memilih Pakur sebab perahunya lebih besar, lagian saya tidak akan meng-ganggu proses shoting di Jomon. Sekedar info, dalam proses dokumentasi audio-visual The Sea Great Journey, Jomon-lah yang menjadi aktor utama, yang mana diatasnya Prof. Sekino sebagai salah seorang kru-nya. Dan jangan ada tambahan orang di atas sebab akan mengganggu jalannya cerita (penonton mungkin tanya, koq ada orang lain lagi?).

Tiba di Nunukan untuk selanjutnya Tawao saya menggunakan Pakur. Syukur-lah, saya bisa membuat catatan ekspedisi langsung sebagai orang pertama atau se-bagai orang kedua, di atas salah satu perahu, menggunakan Blackberry.

Tapi kenikmatan khas di atas perahu ekspedisi kembali terhenti. Di Tawao, dua malam harus nginap di hotel (lagi), Hotel Grace. Bedanya dengan hotel di In-donesia, hotel ini tak ada sarapannya. Untung ada penjual roti di depan hotel.

Pikirnya saya akan kembali di laut, setidaknya mengikuti Pakur dan Jomon dari belakang, pada hari pemberangkatan meninggalkan Tawao, 10 Juni 2009. Karena ada masalah dokumen kapal pengantar yang kami sewa di Malaysia, pemberang-katannya ditunda. Rencananya siang-sore berangkat.

34

Page 36: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Saya lama menunggu. Untung di Tawao Yacht Club (TYC) ada Wifi, jadi bisa cek Facebook dan kirim tulisan. Tidak bosanlah.

Menjelang malam, rencana berubah. Paling cepat kapal pengantar bisa berang-kat esok (11 Juni), jadi, menurut Numora san (koordinator untuk wilayah Malay-sia), lebih baik saya (dan dia) menunggu tim di resortnya: Sipadan Water Village (SWV). Dalam hati, “Apalagi nih?”.

Sekitar jam tujuh malam saya dijemput Nomuran san (dan sopirnya) di TYC. Karena saya lama menunggu, Nomura san minta maaf dan sebagai “imbalan-nya”, saya ditraktrir makan di restoran Jepang. Bisa ditebak, pasti makan maka-nan mewah. Yah, itulah yang terjadi. Untung saya ada sedikit pengetahuan ten-tang makanan Jepang (dan bisa menggunakan sumpit), jadi tidak terlalu kaku.

Selesai makan, kami menuju Sampurna. Ah, tidak lewat laut, ah tak lewat dekat Ambalat!!! Kami menggunakan mobil. Untuk kesekian kalinya saya tak enak terhadap diri sendiri. Skenario yang ingin saya tulis buyar. Yang lain lewat laut, saya lewat darat. Sebenarnya bukan masalah “ketidakadilan”, tapi ada ban-yak pengalaman yang hilang. Padahal di otak sudah ada banyak rencana akan ban-yak membuat catatan ketika melintasi “pinggir” Blok Ambalat, menyisiri wilayah bekas konflik Sipadan – Ligitan, dan lain, dan lain.

Agar tak terlalu kecewa, saya menenangkan diri sendiri. Mencari-cari dalih bahwa meski saya lewat darat pasti ada hikmah. Yang paling sering dan memang paling ampuh adalah apa yang saya alami harus sesuatu yang baru, yang bisa saya tulis. Memang itu yang terjadi. Untuk pertama kalinya saya berjalan jauh di da-ratan Malaysia. Sebelumnya kan cuma keliling-keliling kota Tawao. Kali ini me-nempuh jarak lebih 100 km, menuju Sampurna. Rencananya, dari Sampurna, dengan menggunakan speedboat milik resort, saya dan Nomura san akan menuju resort SWV di Pulau Mabul.

Saya tahu Sampurna. Ada buku saya tentang Suku Bajau, berbahasa Inggris, yang risetnya dilakukan seorang antropolog di Sampurna dan sekitarnya. Sejak tahu itu, saya selalu ingin mengunjungi tempat tersebut. Tapi tak pikir akan sece-pat ini dengan cara yang terlalu mudah.

35

Page 37: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Hampir dua jam menempuh perjalanan. Jalan-jalan di Malaysia jauh beda den-gan di Indonesia. Jalan raya di Malaysia, setidaknya separuh jalan antara Tawao dengan Sampurna, sama dengan kualitas jalan tol di Indonesia. Ya, di Malaysia bagus-bagus jalannya. Selain bagus, juga sepi. Tak ada bis yang kebut-kebutan. Setidaknya itu yang terjadi pada malam perjalanan saya ke Sampurna. Kiri-kanan jalan banyak kebun kelapa sawit. Sangat jarang ada perkampungan di ping-gir jalan sebagaimana di Indonesia. Bila pun ada, pemandangannya tak seramai di Indonesia. Oh, kenapa bangsaku begitu tertinggal untuk hal-hal yang sepele?

Kota Sampurna tergolong kota kecil di Malaysia, lebih kecil dari Tawao. Tapi di pesisirnya ada hotel bintang tiga, misalnya Seafast Hotel, resort. Kampung tera-pungnya pun tertata rapi. Kapal patroli polisi lautnya sangat mewah! Di Indone-sia ada seperti itu? Kalau pun ada, mungkin hanya terlabuh di Jakarta.

Tidak lama setelah tiba, saya, Nomura san, dan nakhda speedboat yang diburi-tannya tertempel dua mesin “jonson” berukuran besar menuju P. Mabul. Bulan tertutup awan, tapi masih bisa melihat bayangan-bayangan rumah dan pulau. Na-manya juga speedboat, lajunya pasti kencang. Perutku sampai merasakan “perasaan mual bila berada di atas kendaraan yang turun naik secara cepat”. Bunyi gedebuk-gedebuk sering terdengar. Bagi yang tidak terbiasa mungkin ada panik. Pikirnya perahu akan pecah. Tapi bagi nakhoda, itu biasa-biasa saja. Bukti-nya, speed stabil kelajuannya. Pulau Mabul jauh letaknya, hampir 30 km.

Menikmati resort

Memandang dari jauh kelap-kelip di Pulau Mabul saya sudah bisa membayang-kan kemewahan yang akan saya lihat (mudah-mudahan saya alami juga). Mera-pat! Saya tak bisa membuat outline tulisan yang akan saya buat untuk mendiskrip-sikan apa yang saya lihat. Rumah kayu, mewah, terpisah-pisah dihubungkan jembatan-jembatan kayu. Jembatan dipenuhi lampu kuning. Hangat. Cahaya yang memantul ke air memperlihatkan ikan yang mencari makanan. Cantik.

Naik diatas jetti, saya bersama Nomura san menuju resepsionis. Bangunan ka-yunya luas. Saya melakukan “pemindaian” untuk merasakan kemewahannya. Saya masih tak percaya saya berada di resort mewah ini. Dari beberapa resort dan hotel yang pernah saya kunjungi di Indonesia, tak ada yang sebagus ini. Per ma-

36

Page 38: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

lam berapa ya? Awalnya saya pikir satu jutaan. Saat saya tanya ke salah seorang resepsionis, permalam di sini setara Rp 2,5 juta! Itu pun kamar paling murah dire-sort ini. Ah? Artinya malam ini saya sama saja “membuang-buang” uang Rp 2,5 juta! Saya tertawa dalam hati.

Di lobby ada fasilitas Wifi gratis, membuatku tambah tak percaya. Setelah mengisi formulir (seolah-olah saya betul-betul pelancong yang membayar, padahal dibayarkan), kopi dihidangkan. Lalu seorang gadis cantik mengantarku ke kamar (menurutkun itu lebih tepat disebut rumah!) 110. Letaknya sekitar 50 meter dari bangunan resepsionis, melintasi jembatan kayu dan “rumah-rumah” (maksudnya kamar lain).

Setelah menemukan “rumah” yang akan saya tempati, si gadis kembali (Ah ke-cele hehe!). Tanganku membuka pintu. Awalnya saya berada di ruang kecil, kira-kira berukuran 2x3 meter. Di situ hanya ada dua pasang sandal, satu payung, dan satu tabung pemadam kebakaran. Di dinding sebelah kiriku, ada pintu. Itu pintu kamar. Kamarnya mewah, luasnya sekitar 8x4 meter. Ada dua ranjang, satu meja panjang yang dinding dibelakangnya terdapat cermin besar.

Dinding warna krem, pintu kayu warna coklat tua. Ada satu kipas angin di atas plafon, selembar batik tergantung di dinding yang membatasi kamar dengan ka-mar mandi. Di dinding yang berlawanan dengan dinding teras ada satu hiasan yang terbuat dari buah kelapa kering: dibentuk sedemikian rupa sehingga mirip ikan. Ruangnya tampak elegan. Untung tak ada televisi, bisa damai.

Di sisi lain kursi rotan dan bar mini. Di atas lemari es terdapat layanan gratis standar hotel, kopi. Tapi di sini terlalu banyak. Isi wadah kecil: empat sachet Milo, lima kremer Nestle, lima gula sintetik, lima gula pasir, dan beberapa bungkus teh. Juga ada gelas dan pemanas air. Beda di Tawao, pemanas airnya tidak ada. Per-nah saya sempat meminta layanan air panas, tapi yang dibawa datang termos pe-manas yang ada di dapur hotel mereka! Besarnya bukan main.

Memasuki kamar mandi. Juga luas. Ada dua westafel yang didindingnya tertem-pel cermin. Ukurannya hampir sama setengah tempat main tennis meja. Tak ada kolam untuk berendam, hanya “kotak” kaca untuk mandi berdiri di dalam. Ada shower. Tentu ada “dudukan” untuk buang air. Hampir semua perabot yang ada

37

Page 39: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

di dalam kamar ada cap, cetakan, atau sulaman logo SWV. Wah...wah...wah, saya tak bosan-bosannya bergumam.

Selesai mandi, saya minum Milo. Rasa ngantuk membuatku ingin untuk segera terlelap. Karena hanya membawa baju yang menempel di badan, untuk tidur saya hanya mengenakan handuk. Kalau pakai baju kotor lagi, percuma dong mandi-nya. Suhu juga tak terlalu dingin.

Pagi P. Mabul, di salah satu kamar di resort Sipadan Water Village (“Desa Tera-pung Sipadan). Saya membuka pintu teras. Pintunya seperti pintu toko, yang terli-pat secara vertikal. Ada empat bilah. Ukurannya sekitar 2,5x2,5 meter. Saat saya dorong ke samping, pemandangan yang terlihat membuatku kaget: kampung Ba-jau. Tak jauh dari pantai beberapa perahu berlabuh, tapi ada satu yang membu-atku terkesima: di atas satu keluarga Bajau.

Sang ibu sedang memandikan bayinya. Perahunya kumuh, demikian juga kam-pung yang jaraknya dari tempat saya berdiri kira-kira 50an meter. Bagaikan langit dan bumi. Saya belum tahu bagaimana kerjasama penduduk di pulau dengan pengelola hotel. Baik buruk? Mungkin baik sebab tak ada penghalang antara kam-pung dengan resort. Jika ada yang mau merampok atau datang mencuri sangatlah gampang, tinggal naik ke teras. Tapi sepertinya itu tidak terjadi. Pengelola hotel tak memasang pagar besi atau tanda-tanda yang memberikan peringatan bahwa “kalian” hanya bisa disitu.

Sayangnya, mungkin hanya sehari dua hari saya di sini. Membuatku tak bisa memberi kesimpulan tentang apa yang terjadi disini. Yang jelas, saya bersyukur bisa merasakan resort mewah. Sebenarnya bukan kenikmatan menikmati fasili-tasnya (secara gratis), tapi itu bisa menjadi pengalaman dan pengetahuan bagi saya, bisa menjadi pembanding. Baik dalam rangka pembicaraan tentang pariwi-sata bahari di Indonesia maupun tentang kehidupan masyarakat suku laut di Asia Tenggara.

Oh iya, Nomura san adalah pemilik resort super elegan ini. Orangnya ceria, si-gap, lincah, lancar bahasa Inggrisnya, dan respek terhadap lawan bicara. Saya dan orang-orang Mandar yang terlibat dalam proyek pelayaran ini dibuat terke-sima atas kebaikan hatinya.

38

Page 40: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Koki berkostum aneh

Bunyi panci bersaing dengan suara lidah ombak. Sayup-sayup suara generator di darat, milik penduduk di sini. Irsan pelaut yang pintar masak. Rata-rata pelaut Mandar lihai memasak. Bunyi bawang yang kaget dengan panas minyak goreng barusan terjadi. Irsan sesekali menyanyi. Barusan saya melihat koki yang hanya mengenakan celana dalam di kala masak. Itu pemandangan rutin setiap Irsan masak.

Tubuhnya tinggi, perutnya gempal, temperamental, tapi sigap masak. Sekarang jemarinya mengeluarkan telur yang dimasaknya di dalam cerek. Lalu dia kupas kulitnya. Tak lupa tangannya dicuci di laut agar bersih tangannya. Se-sekali mengaduk sambal. Latif baru saja menyiapkan hidangan. Nasi di mangkok plastik oranye. Telur yang selesai dikupas langsung dimasukkan ke dalam panci.

Perutku semakin keroncongan. Jika saja saya mau untuk makan makanan ma-hal dan beragam, saya tinggal menuju resort. Tapi saya pikir-pikir untuk kesana. Bajuku sudah dua hari tak diganti. Nanti pelayan pada curiga, ini tamu koq dari tadi bajunya itu-itu terus. Untung di saat sarapan dan makan siang saya selalu bawa DSLR Nikon D80-ku, jadi kelihatan seperti turis. Bawa-bawa kamera ma-lam hari sedikit kelihatan aneh. Ya, itu juga yang menghambat niatku untuk makan di restoran resort (padahal gratis lho!).

Saat ini Pakur dan Jomon berlabuh di pantai P. Mabul, di "halaman" belakang resort SWV, milik koordinator ekspedisi wilayah bagian Malaysia. Tadi siang, sekitar jam dua tiba. Semalam berlabuh tak jauh dari Kalumpang. Menurut pengemudi kapal pengantar sementara, perairan yang ditempati sema-lam merupakan daerah rawan. Pernah terjadi perompakan di sana. Tapi rawan-nya wilayah tak disampaikan ke pelaut dan orang Jepang. Nanti khawatir.

Ah, lauk masakan Irsan telah masak. Makan yuk!

Baru makan. Lauknya hanya telur sebutir, diselimuti sambal tomat buatan Ir-san. Kalau makan di restoran, biasa diawali kebingungan memilih lauk. Di perahu tidak. Pilihannya cuma satu, maksimal dua. Jadi enak, sebab tak ada sesal di hati sebagaimana kalau makan di restoran "Seharusnya yang tadi saya ambil juga". Di perahu pasrah, tak ada pusing.

39

Page 41: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Habis makan di perahu biasanya diisi dengan santai-santai. Setidaknya baring atau duduk-duduk. Bagi perokok, ya hisap-hisaplah. Tak lupa buat air panas. Seperti sekarang, Irsan sedang masak air. Kalau air mendidih, saya mau buat Milo yang tadi saya ambil di kamar resort. Ada juga kremer dan gula. Saya sering be-gitu, fasilitas gratis hotel atau hotel selalu saya ambil, kecuali yang besar-besar atau tak terlalu dibutuhkan. Misalnya tutup kepala disaat mandi. Itu tidak saya bu-tuhkan. Segelas Milo yang saya campur dengan kremer Nestle dan kopi Nescafe telah ada didepanku. Milo menjadi salah satu kata kunci bila membicarakan oleh-oleh dari Malaysia. Kenapa bisa begitu? Saya tidak tahu apa penyebabnya. Karena susu lebih murah di Malaysia? Ya, dibanding Indonesia, memang sangat murah di sini. Bila kerabat saya datang dari Malaysia, oleh-oleh buat keluarga pastinya susu bubuk Milo. Pelaut Mandar yang ikut ekspedisi ini, ketika kirim oleh-oleh ke Mandar lewat kapal pengantar dari Mandar, juga kirim Milo.

Bajau di mata pelaut Mandar (12/06/09)

Semalam (12 Juni) di depan netbook urusin Facebook sampai jam dua dinihari. Meski tidak ngantuk, saya berusaha terlelap di kursi lobby resort. Alarm kuset jam lima, jangan sampai saya terbangun gara-gara dibangunkan staf resort.

Ternyata saya kecele. Memang saya bangun sebelum jam yang kuinginkan tetapi yang membangunkan saya adalah suara tiga orang Jepang. Mereka baru da-tang dari Sampurna. Kusegera bangun, ke tandasan (toilet di mulut orang Malay-sia), lalu balik ke Pakur. Hanya satu sawi yang terbangun. Sepertinya dia cari tem-pat untuk lepaskan hajat di pasir pantai. Yang lain terlelap. Sebab masih ngantuk, saya lanjutkan tidur. Tidak lagi beralaskan sofa empuk, tapi lantai bambu yang di-lapisi daun kayang. Selimutku terpal plastik. Sarung dan jaketku ada di kapal pen-gantar yang masih berlabuh di Tawao. Sedikit kedinginan.

Bangun sekitar jam tujuh. Kru Jepang tidak ada. Tadi, menurut kru Mandar, di saat saya masih tertidur, semua orang Jepang pergi melaut bersama nelayan. Sekarang bersama kru Mandar, minum susu Milo. Membicarakan banyak hal. Sa-lah satunya tentang anggapan orang Bajau di sini tentang kami. Sambil bercanda, salah satu kru mengatakan, mungkin orang di sini dan orang Bajau anggap kami Mandar-Bajau (sebagaimana penyebutan Bugis-Makassar). Sebabnya kami juga

40

Page 42: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

memilih tinggal di perahu dengan perahu seadanya. Bajau “kami” lebih kuno se-bab pakai layar daun.

Menurut kru Mandar, perahu orang Bajau itu sarang kecoa. Saya sendiri be-lum pernah lihat sebab di saat tim expedisi bertemu mereka di pesisir Kaltim, saya belum bergabung. Dan menurut Karino yang sangat jijik terhadap kecoa, can-danya, kira-kira ada dua juta. Tanda banyaknya.

Kru Mandar tak habis pikir dengan gaya hidup orang Bajau, baik yang mereka lihat langsung (misalnya kebersihan perahu) maupun cerita-cerita orang. Seperti, kalau orang Bajau baru melahirkan, anaknya akan diturunkan ke laut. Bila tera-pung, betul dia anaknya, kalau tenggelam, bukan anaknya. Jadi dibiarkan mati. Entahlah betul atau tidak hal itu, entah berdasar siapa bahwa bayi itu anaknya, apakah sang ayah atau sang ibu, apakah bukan anak secara biologis (bukan atas hubungan dengan suami yang sah) atau bukan anak secara mistik (mungkin anak jin atau setan?).

Sekarang Irsan bersolek. Lagi cukur jenggot. Alatnya alat cukur yang masih bisa bongkar pasang, mirip punya bapakku dulu. Tanpa pakai sabun, ditebas bulu didagunya. Ah, kalau saya pasti sakit. Cerminnya tempat bedak perempuan. Warna putih.

Keliling pulau

Mengelilingi P. Mabul baru saja kulakukan. Berlagak bule, tidak pake baju, hanya celana sebatas lutut, kamera di tangan kanan.. Bukannya sok, tapi satu-satunya baju yang kubawa ke pulau sedang dijemur. Jadi sambil tunggu kering, saya pusing pulau. Itu menurut bahasa Malaysia. Terdengar lucu di telinga Indon (maksudnya Indonesia), tapi memang begitu. Keliling-keliling disebut “pusing-pusing”, di Indonesia sih artinya sakit kepala.

Jumlah rumah/kamar milik beberapa resort di pulau ini, bila ditotalkan ham-pir sama jumlah rumah penduduk lokal. Kebanyakan pemukiman berada di sela-tan pulau. Rumahnya saling dempet, tidak seperti resort yang jarang-jarang, dan tentunya bersih-bersih.

41

Page 43: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Memasuki kawasan pemukiman, mirip berada di pemukiman (kumuh) Jakarta. Sebenarnya sih tak terlalu kotor. Hanya saja kontras dengan resort. Meski tidak ketat, ada beberapa gerbang keluar masuk antara resort dengan pemukiman. Juga, pagar kawat. Saya bebas keluar masuk karena gayanya memang gaya pelan-cong. Dikira orang kaya, banyak duit, tapi beli kalung gigi hiu saja saya tak bisa, setidaknya saat ini. Kasihan! Pemandangan indah di pulau ini sama saja dengan pulau-pulau lain, misalnya di Kep. Takabonerate, Spermonde, Karimunjawa, dan pulau kecil lainnya yang pernah saya kunjungi. Tak ada kontras. Mau lihat kehidu-pan Bajau, di P. Rajuni juga ada. Aktivitas nelayan, hampir semua ada di pulau, tentunya yang berpenduduk. Tapi yang beda adalah tinggal pengelolaan saja.

Sebagai perbandingan, resort yang juga punya orang Jepang di Selayar (nasib-nya sekarang bagaimana ya?) sangat membatasi orang lokal untuk masuk di wi-layahnya. Baik di darat maupun perairan di sekitar resort. Sedikit lumayan di sa-lah satu resort di Kep. Togian, tapi memang jauh dari pemukiman penduduk se-hingga tak tau tingkat pergaulannya dengan penduduk setempat.

Mengenai keindahan terumbu karang, saya belum bisa berkomentar sebab saya belum liat karang yang diandalkan di kawasan ini. Mungkin bagus sebab pe-laku wisata di sini, setidaknya Nomura san, amat mengedepankan konsep ecotour-ism. Contoh kecil dan sangat sepele adalah abu rokok. Bila pelaut Mandar datang ke lobby untuk santai-santai lalu mereka merokok, Nomura san (ingat: dia adalah pemilik resort berharga miliaran ini) selalu datang membawa asbak rokok. Sangat mengesankan!

Agenda-agenda wisata juga demikian, banyak menawarkan pendidikan lingkun-gan. Misalnya musim “tanam” terumbu karang, bersih laut, dan lain sebagainya. Cukup menarik sebagai salah satu tempat studi banding bagi pengelola wisata ba-hari di Indonesia.

Pakur dan Jomon (13/06/09)

Sabtu, 13 Juni 2009, tepat dua bulan Pakur dan Jomon memulai pelayarannya. Telah menempuh jarak hampir 900 km, dari Teluk Mandar ke salah satu pulau ke-cil di negara bagian Sabah, Malaysia (timur). Pulau Mabul, kurang lebih 25 mil dari P. Sipadan yang pernah menjadi sengketa antara Malaysia dengan Indonesia

42

Page 44: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

(dikenal dengan kasus “Sipadan-Ligitan”). Sudah tiga malam di sini. Masalah ka-pal pengantar dan proses shooting perahu dari bawah air menjadi penghambat un-tuk segera berlayar.

Tidak ada kerusakan berarti atas perahu, kecuali beberapa perbaikan kecil. Ke-marin Danial dan Latief menambal salah satu tambalan di lambung haluan Jo-mon. Sebenarnya Jomon terbuat dari satu kayu utuh tanpa papan tambahan un-tuk meninggikan lambungnya, tapi di salah satu bagian ada yang hancur/lapuk (memang dari sononya yang rusak, sejak belum ditebang), maka harus ditambal. Nah, tambalan itu dilewati air sejak perjalanan dari Tawao. Penambalan menggu-nakan damar yang dicampur minyak tanah. Sudah baik. Selain bagian di atas, sela-sela yang masih ada di lubang pemasangan baratang juga ditambal, khususnya Pakur. Sewaktu di Tawao, layar Jomon di beberapa bagian ditambal un-tuk menutupi/mengganti bagian yang robek. Itu membuat layar Pakur tampak ada belang-belang.

Kilas balik setelah dua bulan; Perahu yang digunakan

Prof. Sekino, Junichiro memperhatikan kebocoran di lambung perahu Jomon. Yohei menyiram bambu katir agar tak pecah oleh panas matahari, Danial dan Jiro membuat bahan tambalan perahu. Lebih mirip buat kue. Di perahu lain, Gusman, Zainuddin, Latief main halma, Jabir dan Irsan menyiapkan makan si-ang. Lauknya cuma telur dadar.

Pakur, perahu cadik khas Mandar, telah punah di tempat asalnya, namun ma-sih bisa ditemukan dilayarkan orang Mandar yang beranak-pinak di Kep. Kan-gean (100 km utara Bali). Namanya diambil dari nama jenisnya, "pakur". Modifi-kasi konstruksi pakur tahun 30-an melahirkan "Sandeq", perahu bercadik tra-disional tercepat di dunia saat ini. Hanya ada di Mandar, Sulawesi Barat.

Jomon. Istilah untuk menyebut nama era pra-sejarah dalam khazanah pengeta-huan Jepang. Menjadi inspirasi memberi nama perahu bercadik yang lambungnya terbuat dari satu kayu utuh, tak ada tambahan. Jenisnya tak diketahui dalam bu-daya bahari Mandar, bukan olanmesa, bukan pakur, bukan sandeq. Memang ber-cadik persis sama jenis pakur, menggunakan layar lete (yang juga digunakan pakur dan perahu dagang ba'go), tapi karena tak ada tambahan balok kayu untuk mem-

43

Page 45: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

bentuk ujung atas haluan dan buritan, komunitas pelaut Mandar beragam dalam menamakannya. Begitulah, perbedaan sedikit saja membuat jenis perahu menjadi beda.

Melintasi laut 4.000 km, puluhan selat, ratusan teluk, lima negara, menyaksi-kan ragam budaya adalah kerja fisik Pakur dan Jomon. Misinya, menapaktilasi penyebaran umat manusia lewat laut, nenek moyang orang Jepang dari kawasan Asia Tenggara. Konsepnya kekunoan, makanya proses kerja dan melayarkannya menggunakan cara-cara orang dulu. Pakur memang masih bisa disentuh bor dan gergaji tangan, tapi Jomon jangan sampai. Untuk membuat Jomon sedekat mung-kin cara orang dulu. Hanya menggunakan kapak, parang, pahat, dan ketam.

Baik Pakur ataupun Jomon, semua bahan konstruksinya seratus persen dari alam. Lambung, paku, tiang layar jelas semua dari kayu. Layar dari serat daun po-hon lanu, sejenis palem. Tali-temali untuk mengikat antar beberapa bagian dan konstruksi layar menggunakan rotan, sabut kelapa dan ijuk. Melihat ukuran dan bahan konstruksi Pakur dan Jomon, banyak orang tak percaya.

Ya, Pakur hanya 9 meter, Jomon 7 meter, memiliki lebar dan tinggi lambung re-latif sama, hanya beberapa senti dari semeter. Untung ada tambahan semacam teras di sisi lambung, jadi ada tempat lapang untuk berehat di atas perahu ini. Pa-kur dilayarkan enam orang, Jomon empat. Dilakukan bergantian, tapi komposisi tetap. Di tiap perahu ada dua orang Jepang, Prof. Sekino hampir selalu berada di Jomon. Sebab aktor dalam ekspedisi pelayaran bersejarah ini adalah Jomon dan Prof. Sekino. Prof. Yoshiharu Sekino seorang petualang legendaris Jepang. Melaku-kan ekspedisi napak tilas penyebaran umat manusia lewat darat dengan cara berja-lan kaki, naik sepeda, kendaraan bertenaga binatang, dari ujung selatan Amerika Selatan hingga Afrika Timur, selama 12 tahun.

Seorang guru besar humaniora di Musashino Art University, juga seorang dok-ter. Telah melahirkan kurang lebih 60 buku. Dia juga seorang fotografer profe-sional. Ulang tahun ke-60nya dilakukan di Luwaor, Majene, Sulawesi Barat kala perahu Jomon dan Pakur tengah dibuat delapan tukang perahu Mandar.

Menuju Sampurna (15/06/09)

44

Page 46: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Senin, 15 Juni 2009, Pakur dan Jomon berada di perairan antar pulau kecil, menuju kota Sampurna. Sekarang saya berada di Pakur. Selama saya hanya berada di perahu ini, sesekali di kapal pengantar, tidak pernah di Jomon sebab sempit dan akan membebani, membuatnya tidak tambah laju.Kami barusan makan siang. Kali ini menunya beragam: ayam kaleng dan ikan goreng yang dida-pat Irsan dan Jabir ketika baru meninggalkan Pulau Mabul . Kami berada di Mabul empat malam (kecuali saya, lima malam sebab duluan ke sana).Urusan ka-pal dan pengambilan gambar bawah air membuat lama menunggu.

Hari ini menuju Sampurna. Rencana di sana dua hari, esok Yohei dan Ju-nichiro serta Kodama akan menyelam esok pagi di Pulau Sipadan. Sewaktu akan memasuki kepulauan yang berada di pesisir Sampurna, Pakur dan Jomon sempat dibuat keder oleh "kebun" rumput laut. Ada ratusan botol. Jika botol-botol itu ran-jau, pasti Pakur dan Jomon telah hancur. Untung hanya botol lumutan yang men-gapungkan tali-tali tempat rumput laut digantung. Kelihatannya seperti akan mengganggu tapi tidak. Tali bentang jauh di bawah permukaan, jadi ujung pa-latto atau katir tidak terkait. Daun kemudi pun bisa dilonggarkan sehingga tali yang terkait bisa langsung lolos.

Saat berhadapan dengan rintangan rumput laut, Pakur bertemu satu unit sam-pan tanpa layar dan mesin. Di atasnya ada lima orang: dua lelaki dewasa yang juga pendayungnya, dua wanita, satunya menggendong bayi dan satunya sudah tua, dan anak kecil yang lagi tertidur. Mereka keluarga Bajau.

Kami mendekat untuk menanyakan arah Sampurna. Saat lelaki tua merapat ke Pakur lewat buritan, terlihat jelas suasana di atas. Menyedihkan. Mereka meminta makanan, kami memberi beberapa bungkus mie dan rokok. Ya, meny-edihkan kehidupan Bajau di kawasan "benteng terakhir" komunitas Bajau di Asia Tenggara ini, khususnya yang masih berusaha mempraktekkan gaya hidup no-maden atau berpindah. Kemarin lusa, tiga anak kecil naik ke pakur, juga untuk meminta makanan. Kru-kru Mandar terenyuh melihatnya. Mereka pun menghi-dangkannya.

Anak kecil menikmati meski sepiring bertiga. Saya juga beberapa kali menyaksi-kan anak kecil memunguti serasah makanan di bawah dapur dan restoran resort.

45

Page 47: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Mungkin kalau lama dan lebih banyak mengunjungi orang dan kampung Bajau, akan melihat banyak hal. Insya Allah setelah ekspedisi ini saya akan melakukan riset etnografi tentang Bajau di Kalimantan Timur dan Malaysia.

Orang Mandar di perantaun

Kemarin siang, 15 Juni, saya dijemput kerabatku yang tinggal di Sampurna. Hampir dua dekade tidak ketemu. Namanya Sudirman, sepupu satu kali. Seumu-ran kakak pertamaku (saya anak kelima dari tujuh bersaudara). Sewaktu dia tamat SMP, Sudir langsung merantau ke Malaysia. Sekarang dia mandor di salah satu perkebunan kelapa sawit, sekitar 25 km dari pekan (kota kecil) Sampurna atau 80an km dari Tawao. Semalam saya diantar ke rumah kakaknya (artinya, juga se-pupuku). Dia kerja dengan keluarga Cina. Juga telah lama di Sampurna. Panggi-lannya Papa' Mail, sebab nama anak pertamanya Ismail. Terus kakak tertua mereka, Buraerah namanya, bermukim di Sandakan. Kalau Pakur dan Jomon singgah di Malaysia, saya akan mengontaknya.

Oh iya, di P. Mabul saya ketemu dengan beberapa orang Mandar. Yang menarik untuk ditulis di sini adalah seorang yang bernama “Kidil”. Dia staf di re-sort dekat Sipadan Water Village. Resortnya lebih mewah, semalam ada yang sam-pai Rp 10 juta! Kidil orang yang disegani di Pulau Mabul. Pernah ayamnya di-makan anjing resortnya orang Jepang. Dia ke sana menggorok semua anjing yang ditemui. Tak ada yang melawan. Kidil orang Peto'osang, sudah lama di Sampurna dan P. Mabul. Saat banjir Januari 2009 lalu, dia kebetulan ada di Peto'osang.

Juga ada teman Kidil, masih terhitung keponakanku. Kira-kira dia lima tahun lebih tua dari saya. Selain bekerja di ladang sawit, dia seorang “passabung manu'” (penyabung ayam). Dulu, waktu masih muda, sempat terlibat beberapa kejahatan. Saat ngobrol dengan pelaut di atas Pakur, cerita-cerita praktek ilmu kebal yang banyak dimiliki orang Mandar perantau membuat terkesima. Mungkin kalau saya tidak sekolah, mungkin juga saya menuntut ilmu yang sama.

Begitulah, saya ada banyak kerabat di Malaysia. Belum yang terlacak sebab ke-banyakan pekerja ilegal. Yang saya tempati saat ini telah berkewarganegaraan Ma-laysia, negara bagian Sabah. Merantau ke Malaysia banyak dilakukan orang-orang di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat. Bukan hanya keluargaku. Di atas

46

Page 48: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

hanya contoh kasus. Salah satu alasan, mencari penghidupan lebih baik. Jika pun mereka balik, alasan yang sering saya dengar: sudah tua, bosan atau tidak tahan kerja keras, dan bila baru melakukan tindak kejahatan di Malaysia.

Memotret diri sendiri

Beberapa hari ini saya meminjamkan salah satu kamera digitalku ke pelaut. Ka-lau ada yang mau pakai, silahkan. Daripada menganggur, lebih baik digunakan. Kemungkinan rusak kecil sebab saya tempatkan di dalam “housing” anti air, jadi aman.

Foto-foto yang dibuat orang-orang yang selama ini menjadi obyek kajian antro-pologi maritim, termasuk dalam ekspedisi The Sea Great Journey ini adalah hal penting. Selain menarik. Artinya, mereka memiliki kesempatan untuk mendoku-mentasikan diri mereka sendiri. “Kita” bisa melihat apa yang menarik di mata “mereka” tentang diri “mereka”. Selama ini, saya dan orang-orang Jepang men-dokumentasikan apa yang mereka lakukan, misalnya memasak, mandi, mengisi waktu luang, dan aktivitas jalan-jalan mereka, serta apa yang ingin mereka foto.

Nah, bagaimana sudut pengambilan gambar ketika mereka yang melakukan hal di atas terhadap “sesamanya”. Dan yang menarik, apa yang menjadi target mereka. Saat mereka ada di resort, yang jadi target utama adalah cewek-cewek seksi yang lewat perahu. Terlepas gambarnya akan jelek atau tidak, mereka tetap mengusahakan menekan tombol “shutter”. Ya begitulah untuk mengisi waktu yang membosankan. Bisa menjadi bahan canda antar mereka. Berhasil mendapat gambar yang menarik adalah kebanggaan.

Abdul Latief yang antusias memotret, Irsan suka membawa kamera tapi lebih suka menjadi obyek. Ya, narsis-lah. Yang lain juga suka difoto. Mereka saling mele-dek sebab kelihatan lucu membawa kamera menyelam untuk jalan-jalan di darat.

Keuntungan juga mereka bisa memotret (koq saya terlambat meminjamkan mereka kamera?) selain alasan di atas adalah, sedikit banyak juga ada fotoku. Ya, selama ini saya saja yang memotret mereka. Padahal dalam hati saya juga mau ada satu-dua foto sebagai kenang-kenangan dan untuk dipamer di Facebook. Kan fotografer juga manusia.

47

Page 49: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Selain cara menggunakan kamera, saya juga mengenalkan mereka tentang komputer. Dalam pelayaran ini, saya membawa netbook (lebih kecil daripada lap-top) Asus EeePC 900. Layarnya hanya 9 inci, ringan, praktis, dan aman dibawa kemana-mana. Sebab kecil. Saya jarang menggunakannya di atas pakur. Bisa dika-takan tidak pernah. Saya gunakan hanya di saat akses internet di area wifi. Tapi kemarin lusa (hari ini, Selasa, 16 Juni) saya membuka netbook saya di atas Pakur. Pelaut mau dihibur dengan lagu Mandar! Kebetulan di dalam netbookku ada be-berapa lagu Mandar. Adanya bunyi lagu Mandar membuat pelaut sangat bahagia. Gembira.

Irsan sangat hapal siapa yang menyanyi ketika dia mendengar alunan. Irsan pernah mendamprat tivinya gara-gara di dalam video klip artis favoritnya, (kalau tidak salah Iis Gazali) digendong model klip lelaki yang tampannya tak seberapa. Kami yang mendengar ceritanya tertawa-tawa.

Akhirnya, setelah mereka tahu ada lagu Mandar dinetbook-ku, setiap ada waktu luang, saya diminta untuk memutarnya. Dengan senang hati kulakukan. Agar saya tak repot, untuk beberapa operasional saya ajarkan ke mereka, khususnya mengatur volume. Tak lupa kusampaikan untuk melakukan apa yang mereka betul-betul tahu. Kalau tidak tahu, tidak usah dulu. Ya, sebab cara opera-sional komputer beda dengan tivi atau radio.

Berlabuh di tempat rawan (17/06/09)

Rabu, 17 Juni, malam. Pakur dan Jomon berlabuh sekitar 500 meter dari kam-pung Tungku. Angin kencang, ombak sedikit besar, jarak pandang tidak begitu jauh membuat Pakur dan Jomon kesulitan mencari tempat berlabuh yang dekat ke pantai. Lingkungan pesisir yang tidak begitu dikenal membuat pelaut hati-hati un-tuk berlabuh. Kalau kandas di saat ombak besar, agak bahaya. Belum lagi tana-man agar-agar yang banyak di dekat pantai.

Meski berombak, sauh tetap diturunkan. Memang ada nuansa ombang-ambing, tapi masih aman. Di atas, setelah layar digulung dan kayang dirapikan, Irsan dan Zainuddin main halma. Yang lain menuju tidur. Saya usahakan charge sedikit Blackberry-ku dengan EeePC sebelum tidur, sambil membalas SMS dari staf Nomura (koordinator Malaysia) yang khawatir sebab tak ada pengawalan di

48

Page 50: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

sekitar kami. Saya selalu melakukan komunikasi dengan Branden (staf Nomura) untuk memastikan posisi dan kondisi Pakur dan Jomon. Juga dengan aparat kea-manan Malaysia, baik polis marin maupun polisi di Tungku. Tampaknya komuni-kasi dan koordinasi dengan aparat keamanan di Malaysia mudah/gampang dila-kukan. Juga, karena sering salah pencet (maunya cek pulsa), saya sering tekan no-mor darurat. Sekian detik langsung ada operator manusia (bukan mesin). Beda di Indonesia, panggilan daruratnya belum ada!

Mandi sama-sama

Sekitar jam 6 sore, kami berlabuh di suatu tempat yang belum tahu namanya. Kami hanya berdasar pada adanya mesjid dan tak jauh dari lampu suar. Lingkun-gan lautnya pun aman untuk berlabuh dekat ke darat. Setelah labuh perahu stabil, saya, Jun, Yohei, Danial, dan Latif turun ke darat. Bersama tiga jerigen kosong. Kami akan pergi ambil air minum, sekaligus cari tahu posisi kami berada. Saya ha-rus sampaikan lokasi kami ke beberapa aparat keamanan, baik polisi maupun ang-katan laut Malaysia. Oh iya, saat saya turun, saya naik pundak Irsan. Saya malas untuk basah. Alasan lain saya bawa alat elektronik, khususnya hp yang harus saya charge sebab sangat penting untuk mengkomunikasikan posisi Pakur dan Jomon ke beberapa pihak.

Kami berjalan sejauh 500 meter, menemukan kampung. Di sana ada pompa mekanik. Airnya segar. Tempatnya beratap, memang khusus untuk ambil air mi-num dan mandi. Untuk memastikan di sana bisa mandi, saya meminta ijin ke ru-mah terdekat. Kebetulan teras di bawah rumah beberapa orang berkumpul.Selesai itu, setelah meminta kesediaaan tuan rumah untuk men-charge hpku, saya dan beberapa kru mandi sama-sama. Secara bergantian pompa air dengan tenaga tangan. Senang juga ada pengalaman seperti ini, ingat kampung. Selesai mandi, saya sholat di rumah Bajau dan mengulur waktu, dengan membuat tulisan ini, agar tenaga hpku bisa tahan satu-dua hari.

Sekarang kami berada di tempat rawan perompak. Itu anggapan banyak or-ang. Menurut informasi, kawasan ini paling rawan. Ya, sebab dekat dengan perba-tasan Filipina. Artinya, "markas" atau kampung asal perompak yang terkenal, ratu-

49

Page 51: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

san tahun lampau sampai saat ini, tak begitu jauh. Bukit tertinggi yang ada di Ke-pulauan Tawi-tawi terlihat jelas. Batas negara Malaysia - Filipina sekitar 20 km.

Pelaut, khususnya Zainuddin sangat risau. Malah mau pindah lokasi berlabuh. Saya malah menambah-nambahi, sesekali menghilangkan kerisauannya. Dia tam-bah risau sebab saya dan Irsan, yang baru datang mandi dari kampung Tanjung Batu, membawa cerita bahwa setiap rumah tangga di kampung tersebut menyim-pan setidaknya 10 pucuk senjata sebagai jaga diri. Dan ternyata kampung tersebut adalah kampung orang Bajau yang pindah dari pantai gara-gara kampung mereka sering didatangi perompak "lanun". Ih ngeriii ...

Ya, dalam hati saya juga sedikit gundah tapi tak segelisah Zainuddin. Menurut saya, tingkat kejahatan lampau mungkin beda dulu dengan sekarang. Aparat kea-manan Malaysia juga tahu posisi kami. Bila memang rawan, tentu mereka meminta kami pindah atau secara terpaksa mendatangkan penjaga. Jabir, Irsan, Zainuddin dan saya terus ngobrol. Mereka semua risau jika ada cahaya di darat. Cahanya senter dan mobil mereka analisis, "Jangan-jangan itulah perompaknya". Demikian juga bunyi mesin perahu.

Sejak saya dan Irsan balik dari darat, semua cahaya lampu ditiadakan. Yohei yang asyik mencatat untuk sementara diminta stop dulu agar tak ada cahaya di da-rat. Hp pun demikian, saya hadapkan ke bawah layarnya.Walau tidak sampai keta-kutan, kalimat-kalimat mereka menandakan kerisauan. Kalau Irsan, kalau me-mang datang, ya mau diapa lagi. Tak lama kemudian saya tertidur. Tetap yakin tak akan ada apa-apa. Dari tadi Yohei, Jun, dan Latif tertidur. Entah apa yang ada di benak mereka. Apakah risau juga? Kalau di Jomon saya tak tahu.

Naik kapal perang (19/06/09)

Kemarin dan hari ini, Jumat, 19 Juni, Pakur dan Jomon menyisir pesisir bagian paling timur salah satu pulau terbesar di dunia, Kalimantan atau Borneo. Entah tanjung apa namanya. Tanjung ini masih lebih "keluar" daripada Tanjung Mang-kalihat.

Kecepatan perahu sekitar 2 mil/jam. Tadi saya tidur-tidur ayam, antara sadar dan tidak. Ya, tidak ada aktivitas penting. Seperti hari-hari sebelumnya, pelaut main halma. Jun mengemudi, Yohei antara rapikan barang dengan lihat-lihat ha-

50

Page 52: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

luan. Sekarang dia tertidur. Pukul dua tigah puluh, siang. Angin lumayan hembu-sannya. Pakur dan Jomon berlayar beriringan. Bila memanggil, masih bisa diden-gar. Kami berlayar menyisir ke arah timur, nantinya belok ke utara, meninggalkan Teluk Darvel.

Kemarin, dari Sampurna ke Tungku, Pakur dan Jomon melintasi teluk ini se-lama 12 jam, jarak kira-kira 60 km. Termasuk jarak jauh yang ditempuh cepat. Yang lain rata-rata 25 km per hari.Tampak ada kapal perang mendekati Jomon. Jomon menarik bagian bawah layar ke atas agar “tak makan angin”. Teknik su-paya perahu dalam keadaan tak terdorong oleh angin (kecuali angin kencang). Se-cara perlahan, kapal perang dan Jomon berdekatan. Merapat. Tak terdengar apa yang dibicarakan, hingga kemudian terdengar “Iwan, dokumen”. Saya yang santai-santai di atas Pakur langsung masuk ke “roang” (bagian dalam lambung) un-tuk mengambil dokumen yang saya bungkus sarung dilapisi kantong plastik (tas kresek).

Kapal perang dan Jomon terpisah. Sekarang giliran Pakur. Saya siap-siap un-tuk naik. Pasti repot sebab Pakur (dan Jomon) perahu bercadik. Ada kayu panjang di sisi kiri-kanan. Cadik (baratang) dan katir (palatto) adalah benda yang mengha-langi Pakur (juga sandeq) dan Jomon bila merapat di pelabuhan atau dengan ka-pal lain. Kapal perang cukup tinggi palkanya, lebih dua meter. Tapi tetap bisa naik dengan teknik improvisasi. Tidak standar.

Cara naiknya unik: meniti cadik - manjat punggung Irsan - menggapai jangkar - melompat masuk. Kakiku panas sebab tak beralas di lantai palka besi yang berjam-jam terpapar panas. Semua ramah-ramah, prajuritnya. Tampan, khususnya yang peranakan India. Tidak menyeramkan. Sebelumnya mereka me-motret Pakur dan Jomon. Pakai hp kamera.

Di atas kapal, di ruang kemudi yang canggih, saya memperlihatkan beberapa dokumen. Tidak begitu ketat, tak banyak tanya ini-itu yang seolah mencari kesala-han. Tak ada nuansa konflik/masalah Blok Ambalat. Sayangnya saya tak bawa kamera, jadi tidak foto-foto bersama mereka di atas. Tak sampai lima menit di atas, saya pun turun dengan cara yang hampir sama. Kecuali saya harus ber-pegang ke tali layaknya Tarzan. Kapal menjauh, situasi di perahu kembali nor-

51

Page 53: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

mal. Saya sedikit ngantuk, lanjutkan tidur. Tapi tak lama, Irsan dan Jabir beker-jasama mengolah pisang mentah, yang diberikan sepupuku di Sampurna, menjadi pisang goreng. Barusan Jabir mengekspor sepiring pisang goreng ke Jomon. Sete-lah saya buat catatan yang ini, saya akan ikut makan.

Tiba di Sandakan (24/06/09)

Rabu, 24 Juni. Pakur dan Jomon berada di Sandakan. Kemarin siang tiba di sini, rencana 10 hari berada di sini. Lama. Sebab menunggu kedatangan kamera-man kedua dari Jepang dan akan ada acara shooting di taman nasional tak jauh dari sini 27 nanti. Bila waktu selama itu digunakan berlayar, bisa sampai perba-tasan Malaysia - Filipina. Tapi tak digunakan sebab, sepertinya, ekspedisi ini san-gat mengutamakan pembuatan filmnya. Sehingga beberapa realitas atau ken-yataan yang terjadi dalam pelayaran ini ditiadakan. Ambil misal keberadaan saya di Pakur. Bila aktivitas di Pakur di shooting, saya harus sembunyi, tak boleh terekam. Ya, tidak apa-apa bila saya termasuk tim shooting (seperti Kodama dan Karino). Tapi karena bukan, sebab di dalam dokumen saya Koordinator Pelayar, maka saya pikir tak apa. Namun itu berbeda dalam "skenario" acara pembuatan film dokumenter ini, mungkin yang berlayar hanya 10 orang. Tapi tak apalah, itu realitas yang terjadi.

Beberapa hari ini, tanggal 20,21,22, 23 Juni saya tidak membuat catatan. Itu juga memperlihatkan kekurangan mengandalkan teknologi canggih untuk men-dokumentasikan pelayaran ini, setidaknya dari sudut pandang saya (yang pasti ada rasa subyektif), dalam bentuk tulisan. Kalau foto dan film, jelas harus menggu-nakan teknologi. Dalam media tulisan, memang pengerjaannya (menulis) tetap ada nuansa manual (menorehkan tinta atau mengetik), tapi media bisa sangat ber-beda.

Antara kertas dan sebuah gadget, dalam hal ini smartphone atau netbook yang saya gunakan. Meski ada kekurangan, sampai saat ini saya tetap mempergunakan Blackberry saya guna membuat catatan. Jika pun ada masalah kemarin, ke depan mudah-mudahan bisa di atasi.

Masalah yang terjadi sehingga media pencatat saya tak berguna, dikarenakan kapal pengantar (supporting boat) yang kami gunakan tak bisa mengikuti pe-

52

Page 54: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

layaran Pakur dan Jomon sejak dari Sampurna hingga Sandakan. Sekitar lima hari. Jelas Blackberry dan Asus EeePC yang saya bawa tak bisa bertahan lama bila selalu digunakan.Untung saya bisa memanfaatkan waktu ketika mendatangi kampung di Tanjung Batu untuk mencash hp-ku (tapi tidak penuh). Sejak kami tiba di Malaysia, masalah kapal pengantar menjadi masalah terbesar dan berlangs-ung dalam tempo lama.

Masalah kapal pengantar

Sewaktu akan pindah atau menyebrang ke Tawao (dari Nunukan), kami menyewa kapal motor yang terbuat dari kayu. Milik orang Bugis yang tinggal di Nunukan. Kapalnya disewa sebab dokumennya resmi, bisa masuk Malaysia. Ren-cananya kapal ini hanya digunakan antara Nunukan dan Tawao, setelah di Tawao ganti kapal. Pakai kapal berbendera Malaysia. Setelah satu hari di Tawao, da-tanglah kapal yang diusulkan Nomura san sebagai kapal pengantar. Kapalnya pan-jang, dua mesin "jonson" di buritannya, baru, dan cantik. Tapi, kapalnya ramping dan labil. Mengayunkan langkah ke samping saja sudah membuat oleng (tapi ti-dak sampai terbalik), apalagi kalau banyak barang serta banyak orang.

Saya, beberapa pelaut Mandar, dan (khususnya) kameraman, tidak menyetujui calon kapal pengantar tersebut. Maka diusahakanlah kapal lain. Pada hari itu juga (hari kedua), oleh Nomura, membeli kapal pengantar (sementara) yang kami gu-nakan dari Nunukan. Kalau tidak salah, harganya sampai Rp 40 juta. Nilai tak se-berapa di kantong Nomura yang punya kekayaan miliaran. Maka dokumen pun diurus.

Ternyata pengurusan makan waktu beberapa hari. Karena akan lama, Pakur dan Jomon duluan berangkat diikuti calon kapal pengantar yang tak jadi digu-nakan (yang juga milik Nomura). Di atas ada Kodama dan Karino. Saya belakan-gan bersama kapal pengantar, bila dokumen selesai. Dokumen tak beres-beres, bersama Nomura, saya menuju Sampurna lewat darat. Langsung menuju P. Mabul. Semalam berada di P. Mabul, esoknya Pakur dan Jomon datang. Kapal pengantar belum. Singkat kata, Pakur dan Jomon sampai empat malam di P. Mabul, salah satunya disebabkan masalah kapal pengantar.

53

Page 55: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Lalu menuju Sampurna. Pakur dan Jomon telah diikuti kapal pengantar. Masa-lah muncul kembali ketika akan meninggalkan Sampurna (setelah dua hari di Sampurna). Kapal pengantar menghadapi banyak masalah, mulai dari awaknya yang peragu, penakut, dan mencari-cari masalah teknis pada kapal, hingga keingi-nan Kodama untuk menggunakan kapal yang tidak terlalu besar (agar bisa sejajar dengan Pakur dan Jomon) dan bisa masuk ke perairan dangkal. Hal tersebut me-munculkan kembali ide untuk mengganti kapal pengantar. Saya tidak tahu masa-lah persisnya, sebab duluan berlayar bersama Pakur, yang jelas menurut informasi Brenden (staf Nomura), kapal pengantar diganti. Belakangan, saat tengah ber-layar, kapal pengantar baru kehilangan daun kemudi. Jadi harus kembali ditarik ke darat.

Gonta-ganti kapal dan beragam masalah itulah yang menyebabkan pelayaran selama beberapa hari dari Sampurna ke Sandakan praktis tak didukung kapal pen-gantar. Pada gilirannya beberapa masalah muncul di Pakur dan Jomon. Misal kekurangan air, bahan bakar kayu, dan penyuplai energi untuk beberapa alat di Pakur dan Jomon. Untung di hari-hari terakhir, dengan menggunakan salah satu speedboat-nya, Nomura san menyuplai Pakur dan Jomon dengan bahan logistik, serta hadiah baju kaos dari Jepang buat pelaut Mandar.

Sekedar informasi, sehari sebelum kami meinggalkan Mabul, Nomura ke Je-pang. Pelaut Mandar hampir tak percaya Nomura ke Jepang sebentar saja. Zainud-din mengatakan, Nomura ke sana untuk ganti baju saja. Ya, sewaktu bersama di Tawao, selama beberapa hari, Nomura mengenakan baju, rompi, celana, dan se-patu yang sama. Nah, sewaktu ketemu lagi, baju dan celananya telah beda. Tapi masih pakai rompi.

Lama tak mencatat

Baru beberapa hari berlalu, tapi banyak yang terlupa. Ya, sejak BB-nya tak ak-tif, tak buat catatan. Memang pernah membuat tulisan setengah halaman A4 den-gan font kecil, tapi tak bisa kontinyu, ribet dan punggungku agak sakit. Bisa karena terlalu banyak mendayung, bisa juga karena posisi menulis yang harus duduk dan menunduk. Beda bila pakai BB, seperti saat saya buat bagian catatan

54

Page 56: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

ini, sambil berbaring. Di sampingku, Zainuddin, Jabir dan Latif main halma. Satu-satunya permainan di atas Pakur.

Masih untung, Jomon malah tak ada lapangan halma dibalik pintuk "peta'-nya". Harus memulai dari mana catatannya? Sebelum-sebelumnya, saya mencatat apa yang baru saja dan sedang berlangsung didekatku, tapi sekarang, saya harus mengingat-ingat. Jadi, yang baca tulisan ini, mohon pengertiannya bila ada tulisan yang lompat-lompat dan tidak kronologis (tidak ada catatan pada tanggal 20-23. Mau bagaimana lagi? Bisa sih dengan berdasar pada metadata yang ada di foto, tapi agak repot prosesnya jika dilakukan di atas perahu. Goyang membuat pusing, cipratan air laut bisa saja mampir. Kan berabe.

Berlabuh di markas Marin Polis

Sekarang kami berlabuh di dermaga Polis Marin Sandakan. Kompleksnya luas, beberapa kapal pemburu, speedboat yang canggih-canggih ada banyak. Ada sedang berlabuh, ada juga sedang naik dok. Sedang dicet loreng-loreng pun ada. Ada speedboat hitam yang membuatku jatuh cinta. Sering ada di film-film Amerika. Saat pasukan elit bergerak di laut. Bentuknya mirip perahu karet, tapi yang ini panjang. Mesinnya kapasitas besar. Minimalis tapi elegan. Kalau berlayar di atas, tenteng senjata, loreng-loreng di wajah, pasti bangga.

Dermaganya juga semacam bengkel. Ada bangunan khusus untuk docking. Bangunan tinggi hampir 30m, hanya ada dinding samping. Muka belakang tak ada. Di dalam ada kapal patroli sedang dirawat. Kapal-kapal di sini, namanya (kode?) diawali huruf P. Ada PX, ada PA, ada PC, ada PVC. Lalu diikuti angka, misalnya PX 22 yang pernah mengawal Pakur dan Jomon.

Lainnya, misalnya ukuran lebih kecil bernama Polcat 5, tapi ada juga Rover 4. Selain kode di atas, kata lain yang ada di semua kapal adalah POLIS. Pada umumnya kapal Polis Malaysia berwarna biru bagian atas dan putih untuk lam-bung (saat bagian ini kutulis, ada yang baru datang, namanya Pelindung 2). Untuk beberapa kapal, ada hitam, ada loreng-loreng biru.

Sejujurnya saya sebagai warga Indonesia cemburu dengan fasilitas yang di-miliki Malaysia. Sandakan kota kecil, hampir sama Pare-pare di Sulawesi Selatan. Malah di sini, jam 10 malam sudah lengang. Hanya satu dua orang lewat.Ya kecil,

55

Page 57: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

tapi armada keamanannya cukup komplit. Tapi bisa saja kelengkapan ini ada karena Sandakan tidak jauh letaknya dari perbatasan dengan Filipina dan sering terjadi perompakan. Ya, okelah kalau memang begitu. Tapi apakah hal yang sama juga ada di kota-kota di Indonesia yang letaknya dengan dengan perbatasan dan rawan bajak laut? Misalnya Batam, Aceh, Jayapura. Yang jelas Nunukan dan Ta-rakan yang paling dekat dengan lokasi konflik Blok Ambalat tidak, saya sudah li-hat koq. Fasilitas tak seberapa. POLAIRUD-nya entah di mana markasnya. TNI Angkatan Laut tak jauh beda.

Ah, memang menyedihkan bangsa (maritim) Indonesia. Kalau betul terjadi per-ang, bila berdasar fasilitas, jelas kita kalah. Oh ya, di area ini dilarang ambil foto dan shoting. Saya sudah dua kali kena teguran. Alasannya, tempat tersebut adalah bagian dari sistem pertahanan Malaysia. Tapi bila betul saya mata-mata, kebera-daan saya di Polis Marin Sandakan selama beberapa hari, sudah bisa membaca peta kekuatan. Untungnya saya bukan seorang spionase (termasuk anggota pe-layaran yang lain) sehingga Malaysia tak perlu khawatir. Ya, memang kami menda-pat pelayanan khusus selama di markas Polis Marin. Baik sekali!

Makan di restoran

Restoran Ocean King. Kesekian kalinya, kami, khususnya orang Mandar yang jarang makan-makanan mahal (yang belum tentu enak) berada di restoran sea food (makan laut). Zainuddin hanya satu-dua suap nasi ke dalam mulutnya. Ayam goreng lemon yang dihidangkan tak cocok dilehernya. Apa yang diharapkan, yaitu ayam goreng (saja) tak ada. Sekarang dia santai-santai merokok di pagar teras restoran. Jauh dari kami.

Yang lain, meski tak seradikal Zainuddin, juga seakan memaksa. Mungkin karena masih muda, bisa adaptasi dengan rasa aneh di ikan dan ayam. Kami duduk di meja bundar.

Enam belas orang mengelilingi meja yang di atas ada bagian yang bisa diputar. "Wainna Pua' Farid malolo" (airnya Pua' Farid yang enak), Irsan mengusulkan ke-pada Gusman (disapa Pua' Farid) untuk mencoba kuah ikan kerapu sebesar betis. Irsan menikmatinya. Yang lain sudah menikmati. Kalo orang Jepang tak ada masa-lah. Hidangan laut beragam rupa sudah biasa. Bagi orang Mandar aneh-aneh.

56

Page 58: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Malam terakhir (25/06/09)

Malam Jumat, 25 Juni 2009. Malam terakhirku di Pakur, malam terakhir ber-sama Irsan, Zainuddin, dan Jabir (yang sedang main halma). Esok, 26 Juni, hari terakhir saya bersama tim The Sea Great Journey (minus Sekino yang malam ini menginap di hotel sebab esok pagi akan ke Jepang). Sepi. Tiga lampu merkuri mirip lampu pembuatan film menerangi Pakur dan Jomon. Salah satu hp-ku saya gantung di bentang bambu. Mendengarkan musik. Barusan lagunya Melly, sekarang lagunya Ahmad Dhani, tentang enaknya berpoligami.

Berpisah/meninggalkan/mundur (?) dari pelayaran adalah dilema. Ada ban-yak faktor yang membuat saya tidak tergabung lagi pada kegiatan utama The Sea Great Journey: berlayar. Kapan-kapan akan saya ceritakan. Jangan khawatir se-bab akan tertulis dalam rangkaian catatan perjalanan saya ini. Saat ini saya hanya ingin membuat catatan di malam "penting" bersama Pakur. Saya tak bermaksud membanggakan diri yang berlebihan, tapi saya ingin membagi perasaan bahagia sebab saya terlibat banyak dalam kegiatan ini, khususnya persiapannya.

Menurutku, cukuplah saya berperan dalam persiapan. Saya tak perlu menambah-nambah peran di kegiatan berikut, yang mungkin saja diriku tak bisa berbuat maksimal, sebagaimana di persiapan. Mas Halim HD (networker kebu-dayaan, bermukim di Solo) selalu mengusulkan agar saya mendokumentasikan ek-spedisi ini secara utuh, baik persiapan maupun proses pelayarannya. Tapi rasanya harapan itu tak bisa terwujud sepenuhnya. Saya hanya bisa mendokumentasikan dalam bentuk foto (ada seribuan foto tentang kegiatan The Sea Great Journey, se-jak persiapannya di Indonesia hingga hari terakhir saya bersama tim di Sanda-kan).

Tadi saya membagi perasaan dengan tiga sawi Pakur, bahwa saya layaknya or-angtua yang telah menyekolahkan anak. Sekarang dia dewasa, silahkan menentu-kan masa depan sendiri. Sebagai orangtua, tak perlu menggurui dan terlalu khawa-tir akan langkah yang akan diambil sang anak. Mengutip Khalil Gibran, orangtua hanyalah busur yang mengarahkan.

Di sisi lain, terus terang kukatakan bahwa dalam pelayaran ini ada beberapa hal yang kurang berkenan dihatiku. Apa yang dulu saya kritik di salah satu ekspe-

57

Page 59: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

disi pelayaran Yamamoto dan beberapa pelaut Mandar, terjadi juga dalam ekspe-disi yang saya terlibat banyak didalamnya. Saya seperti menjilat ludah sendiri. Se-bagai pertanggungjawaban moral, dengan terpaksa dan dengan cara amat halus, mengundurkan diri. Ada beberapa alasan wajar dan normal yang saya kemu-kakan baik ke orang Jepang maupun pelaut Mandar. Berhasil. Tapi saya tak ber-maksud menyembunyikan selamanya sebab kutulis juga dalam tulisan ini. Semua orang bisa membaca.

Hari terakhir

Beberapa hari belakangan, setiap bangun tidur di antara subuh dan pagi, sete-lah sujud, saya masak air. Ketika yang lain masih tidur. Seperti saat ini, saya jong-kok di atas pintu palka buritan. Di depanku tungku ber-bahanbakar-kan kayu bakau yang dibeli di Sampurna. Satu ikat kecil isinya hanya empat batang, pan-jang kira-kira 50 cm. Menurut pelaut Mandar yang ikut pelayaran ini, jenis itu ba-gus. Cepat kering, bagus nyalanya. Memang begitu realitasnya, nyala api bagus saat ini, memanaskan pantat cerek hitam beberapa ratus derajat celcius.Ya gam-pang terbakar, tapi saya (dan yang biasa memasak) tetap menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar pemanasan. Lebih praktis bila dibandingkan mem-bakar sedikit-sedikit kayu bakar dengan hanya bantuan korek api.

Saya stop dulu catatan ini, airnya telah mendidih.

Cepat memang kayu bakau! Sudah.

Tapi saya hanya mengeluarkan sisa kayu yang belum terbakar. Cerek masih di tungku. Airnya pun belum saya tuang ke termos, isinya masih banyak.

Yang lain belum pada bangun, kecuali Zainuddin yang baru saja keluar dalam ruang perahu saat kuketik kata "termos" di atas. Dia langsung pergi kencing. Saya memang membelakanginya, tapi bunyi permukaan laut yang mendapat "tamba-han" menandakannya. Dengan masih membelakang, saya tahu dia memulai mem-buat susu Milo. Bunyi bungkus Milo terdengar khas, diikuti suara membuka tem-pat gula (dia biasanya menggunakan dua sendok Milo, satu sendok penuh gula), dan mengambil air panas dari air yang baru saja saya masak. Karena dia buat sen-diri Milo-nya, saya bisa lanjutkan tulisan ini.

58

Page 60: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Irsan, Jabir, dan Jun masih tidur. Yohei entah tidur di mana, mungkin di hotel bersama Sekino (yang akan pulang hari ini ke Jepang), Jiro (yang juga biasa bersa-maan memasak air dengan saya, di Jomon, tapi pagi ini Gusman yang terlihat me-masak), dan Karino. Kemarin sore mereka pergi bersamaan.

Nakhoda Zainuddin masih jongkok di atas buritan, tak ada aktivitas. Nakhoda Gusman jongkok di haluan sambil menggoreng sesuatu. Bunyi minyak mendidih terdengar. Irsan yang berselimut sarung (Jabir juga) sesekali bergerak, kayak bayi. Jun terbungkus terpal plastik. Latif, salah satu kru Pakur, tidak di sini saat ini. Mungkin dia di Jomon. Dia lebih dekat dengan Danial dibanding dengan kru yang lain.

Kami tidur di bawah tenda plastik, mirip tenda kemah. Hujan kemarin dan gerimis di subuh tadi tak mengenai kami sebab ada tenda itu. Jika siang, tenda di-ganti dengan kayang sebab lebih sejuk.Begitulah suasana pagi ini di Jomon dan Pa-kur, di hari terakhirku, di kompleks dermaga markas Marin Polis Sandakan, Ma-laysia.

Perjalanan ekspedisi masih 3000 km, baru seperempat yang dilalui. Masih jauh. Masih lama. Saya hanya ikut beberapa puluh kilometer, dari Tarakan - Ta-wau; Pulau Mabul (Sampurna) - Sandakan. Rencananya, maunya saya ikut dari Teluk Mandar hingga Naha, Okinawa, Jepang. Tapi itu tak terjadi.

Sejak tak ikut pelayaran awal, rasanya kurang komplit pengalaman saya. Ditambah beberapa persoalan yang terjadi, akhirnya hari ini hari terakhir saya di Pakur. Sampai saat ini belum ada rasa sedih. Mungkin nanti bila telah berpisah dengan sawi-sawi yang saya rekrut langsung, yaitu Gusman, Danial, dan Irsan. Zainuddin dan Jabir atas rekomendasi Gusman yang setelah saya setujui diajukan ke Sekino.

Semoga Pakur dan Jomon tiba di Jepang. Saya mau akhiri tulisan ini sebab saya mau minum Milo. Irsan juga telah bangun dan langsung berkata kepada Zainuddin yang telah berpindah tempat ke depanku sambil makan mentah mie in-stan "Enaknya pagi ini bersama isteri". Zainuddin mengiyakan sambil tertawa nakal.

59

Page 61: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

B A G I A N 2

Catatan Sebelum Berlayar

Sunday, March 23, 2008 12:27 PM, Jadwal Sekino

Saya baru bisa terlibat membantu Oso dan Sekino pada tgl 30/31 Maret. Se-bab masih banyak urusan di Mandar. Berikut jadwal yang datang dari Jepang.

tgl 23 11:00 berangkat dr Narita, tiba di Denpasar 17:25 (rencana lihat kapal nelayan di pantai Sanur dan Kuta).

tgl 24, tiba di Mks 10:15. Meet dgn Sakuma "itu" di Konsulat Jepang. Lunch dgn Bu Agnes,Pak Dadang etc anggota Lembaga Perahu. Beli peta laut.

tgl 25: ke Spermonde (Langkai, Lanyukang) dgn CL

tgl 26:Kapoposang,Kodongbali

tgl 27: ke Tana Beru

tgl 28:Tana Beru, (Bira), Panrang Luhuk, dan mlm ke Benteng(Selayar).

tgl 29: tiba di Benteng: Ketemu Pak Effendi "itu",cari info ikan segar/hidup, See "drum Dong Song". Siang ke Bahuruan

tgl 30: Barhuruan dan Apatana(kampung Bajau), mlm back ke Bira

tgl 31: pagi2 ke Mks...diskusi rencana selanjutnya dan rest

tgl 1-April: Ke Mandar dan di Mandar sampai tgl 3. Lihat sandeq, pembuatan perahu dan kampung nelayan. Mau naik Cinta Bahari

tgl 4: ke Mks,sore terbang ke Gorontalo, sampai tgl 7. Kunjung pantai selatan (Desa Olele) dan pantai utara.

60

Page 62: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

tgl 7: Oso ke Mks lalu back ke Jepang. Sekino etc tetap di Gorontalo or balik ke SulSel/Mandar di mana Sekino mau sampai

tgl 11. nanti Sekino yg tentukan mau ke mana.

tgl 12: Sekino etc terbang dr Mks ke Denpasar utk pulang ke Jepang.

Sunday, April 6, 2008 8:16 PM, Ke Gorontalo

Saya tiba2 ke Gorontalo. Saat hari terakhir, Sekino dan Oso ajak saya ikut ke Gorontalo. Krn saya blm pernah ke sana, maka saya mau ikut. Juga, msh ada waktu utk atur dng urusan lain. Utk kegiatan Sekino, dia ajak saya utk ikut jour-ney ke Jepang. Oso pernah tanya ke Sekino "Kapan ajak Iwan ikut". Sekino ja-wab: "Saat pertama lihat Iwan" ha..ha.. Sekino juga minta bantu dlm journey nanti take picture. Menurutnya, foto2 saya bagus. Saya, Oso, dan 1 "staf" sekino sdh balik ke gorontalo. Yg lain masih di bagian barat Sulawesi Utara (perbatasan dng Gorontalo). Kami duluan balik krn esok pulang.

Sekino juga minta saya utk ajak 2 pelaut Mandar yg akan jadi "master" dlm pe-layaran nanti. Masalahnya, Sekino blm tentukan akan pakai jenis perahu apa dan dibuat di mana? Bagi saya itu penting sbb meski pelaut Mandar oke tapi kalau pakai perahu jenis lain yg dibuat di daerah lain, kemampuan mereka tdk akan maksimal. Saya tdk bermaksud subeyktif or tonjolkan Mandar, tapi kalau see per-janalan kami selama ini, khususnya yg di gorontalo, blm ada yg kalahkan kekuatan dan kemampuan perahu Mandar.

Sekino dan Oso pernah make wawancara spesial di dirumahku, malam tera-khir di Mandar, tanya pendapat saya ttg jenis perahu yg cocok. Saya jawab, utk utamakan "original" agak susah sbb tdk ada bukti ilmiah. Jadi, kalau mau uta-makan "kuno", maka utamakanalah saat pembuatan yaitu pakai alat2 yg sangat tradisional seperti yg direncanakan Sekino san. "Kelebihan" yg dimiliki Mandar if lakukan project di sana: semua alat2 tradisional tersedia, khususnya yg berkaitan dng perahu. Kecuali bahan kayu bulat. Utk buat layar dr daun "karoro", buat tali "hitam" dr serat alam, dan bambu besar utk palatto ada. Demikian juga ilmu pe-laayaran yg dimiliki pelaut Mandar. Kalau di tempat lain, blm tentu ada semua.

Tuesday, April 8, 2008 8:02 AM, perkenalan awal dengan Sekino

61

Page 63: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Saya menyambut kedatangan Sekino di Mandar pd tgl 1 April. Awalnya Oso ajak saya ikut pelayaran CL, tapi krn sibuk saya tdk bisa. Saya jemput mereka di "tengah" jalan (dekat lapangan Tinambung) krn Oso/Azis "lupa" lokasi desa tangnga2. Kami komunikasi via HP.

Mereka pakai 2 mobil, 1 mobil putih yg biasa use turis (di atas ada Azis dan all anak2 muda teman Sekino) dan 1 mobil "pribadi" yg di atas ada Oso, Sekino dan seorang dosen muda kehuatan dr UGM. Saya ikuti di sini dan sama2 ke Tangn-ga2. Oso perkenalkan saya ke Sekino.

Tiba di Tangnga2. Tdk ada kendala berarti, semua lancar sebab Pak Haruna dan keluarga juga sdh siap sambut.

Saya balik sekitar Magrib sebab mau siapkan film sandeq utk perlihatkan ke team Sekino. Agar oke, saya minta teman utk pinjamkan proyektor. Sekitar jam 9, saya kembali ke rumah Pak Haruna. Agak lama karena harus edit sedikit film2 sande yg saya punya.

Tiba di sana, mulai setting alat dan pasang screen di dinding rumah. Dan kami pun see film sandeq: urutannya:

- nasib yang dialami "mayat" perahu sandeq di Mandar: digunakan sebagai alat angkut pasir, bagang, dan rusak saja di tanah

- tradisi lomba sandeq kecil, yaitu perahu sandeq kecil yg use seperti surfing.

- proses tebang - pembuatan sandeq

- dua "clip" sandeq race: etape Majene - Polewali dan etape Pare2 Barru.

Dari hasil putar, mereka dapat banyak info ttg sandeq!!!

After diskusi, saya back ke rumah

Esoknya kami ke Pambusuang utk coba sandeq. Ke laut sekitar jam 9. Awalnya tdk ada angin. Ketika tiba di luar, angin oke dan mulai balap. Dari 6 anggota team Sekino hanya 1 yg tdk coba timbang yaitu seorang pemuda yg tugasnya shooting. Tapi saat naik sandeq dia tdk bawa kamera karena sangat beresiko.

62

Page 64: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Sekino juga coba, tapi karena dia tdk pintar seimbangkan diri, dia tdk lama dan sempat jatuh. Kalau saya hanya timbang di bagian depan krn mau shooting/foto dan lebih aman (hanya pegang ke tali sandeq).

Oh iya, punggawa Kunci Alam ajak Anhar yg pernah ikut Yamamoto ke Je-pang. Saya juga ike sebab bisa bantu nelayan yg masih malu2. Juga Anhar oke utk bantu saya sebab dia pintar bawa sandeq dan timbang.

Sekitar jam 11 lewat, kami back ke darat.

Idenya sdh selesai tapi Oso usul utk juga coba kemudikan sandeq (oso sendiri tdk ikut naik sandeq). utk itu, kami janji dng nelayan utk back pada jam 2 siang.

Kami back ke Tangnag2 utk makan siang. Sekitar jam 2 kami back ke Pam-busuang.

Kali ini angin cukup oke, jadi bisa bolak2 ke tengah laut agar bisa rasakan kece-patan sandeq. All enjoy dan cukup menegangkan. Sandeq dipacu penuh hingga beberapa kali hampir terbalik. Meski ada banyak orang di atas sandeq (lebih 10), bisa terbalik sbb yg bisa timbang hanya 3.

Awalnya yg "mangguling" adalah "partner Sekino" (saya lupa namanya, yg pake kacamata) dan Sekino. Yg muda2 mattimbang. Partner Sekino sedikit lebih pintar dari Sekino utk bawa sandeq.

Saya dampingi mereka. Maksud saya, di belakang mereka ada punggawa asli yg jaga. Saya ada di depan pengguling utk bantu "terjemahkan". Maksudku, karena sandeq sangat cepat, maka harus hati2 utk belok kiri-kanan. Karena Sekino dan yg lain masih baru, harus didampingi. Jadi ada 2 yg dampingi, saya dan punggawa asli.

Sambil dampingi mereka, saya catch foto dan film. Di trip ke-2 saya tdk tim-bang di depan sandeq sebab bantu mereka belajar mangguling. Kecuali salah satu anggota team sekino, all coba mangguling. Mereka puas

Sekitar jam 4.30 kami back ke darat. utk kegiatan ini kami bayar ke passandeq Rp 700.000. Selain kasih ilmu, juga mereka tdk go melaut karena booking time mereka.

63

Page 65: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Malamnya, adakan diskusi ttg sandeq di rumah Pak Haruna. Saya perlihatkan hasil shooting pengalaman berlayar mereka dng sandeq. Mereka happy. Setelah diskusi selesai, Oso ajak saya ke rumahku karena Sekino mau tanya macam-macam.

Di rumah dia tanya pendapat saya ttg ide pelayaran dan ajak "secara resmi" utk gabung ke dlm team.

Di sini saya tahu bahwa Sekino masih sangat sedikit info ttg perahu. Saya pikir dia sdh baca/see buku "The Prahu", tapi ternyata belum. Hampir 1 jam di ru-mah. Kemudian mereka back. Oh iya, Oso ajak saya ke Makassar krn ada yg mau dibicarakan dng Lembaga Perahu.

Esoknya, saya dan mereka ke Makassar. dalam perjalan, saya diajak ikut ke Gorontalo. Saya kaget sebab tdk persiapkan diri ke Gorotntalo. Walau demikian, dlm hati saya berharap saya diajak sebab belum pernah ke sana.

Wednesday, August 6, 2008 12:11 AM, Rencana di mandar

Sy pikir rencana make perahu di mandar susah utk ubah sbb sekino sdh tentu-kan berdasar masukan sy & ketersediaan time. dr dulu sekino mau pelayar org mandar, jd mmg hrus dimandar. begitupun model prahu, sekino mau olanmesa. ya, kami sdh bcara dg azis & azis jg rcana ke mandar stelah urusannya dimaksar selesai. oso pernah bilang lebih baik di mandar drpd flores. tp sy tdk tahu yg sebe-narnya.

Thursday, August 7, 2008 12:40 AM, Dari Kupang!

tiba di bali skitar jam 9! Ah, merpati sngat tdk oke. saya pakai pesawat yg sebe-lumnya saya diminta turun. untung bukan saya saja, jd tdk malu. Saya jg tdk ter-lalu khawatir sbb sekino, etc sdh tiba.barang2ku jg sdh dibawa,jd hanya bersama laptop & kamera. Banyak yg jengkel dg merpati airline,tp tdk bisa buat apa2 sbb hanya itu pilihan.

Rencana esok kami ke tempat horst utk diskusikan bentuk perahu dg lebih matang. sy sdh buat janji. Trus nginapnya di hotel transit,dekat bandara krn wi-sata inn sdh full.

64

Page 66: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Friday, August 8, 2008 5:51 AM, hasil meet Horst

Ya,sepertinya sekino etc tambah bingung after meet horst.t api tdk akan ubah total plan. Horst perlihatkan iro2 buku perahu yg cukup lengkap,termasuk orang mandar orang laut, dan tim sekino pun semangat make copy. Jd kami pinjam bu-ku,ttip di tempat copy,next week selesai sbb banyak copy.

Horst usul,kalo mmg mau buat yg sangat kuno yg digunakan saat migrasi ma-nusia, harus dugout. dugout yg bisa go jauh adalah yg 2 lambung/katamaran. Tapi dr segi teknik susah sbb sdh tdk ada tradisi itu di mandar saat ini.

Usul lain,idealnya pakai 2 perahu ekspedisi agar aman:ada yg rusak,yg1 bisa lanjut.jg bisa bw banyak logistik&person.if 1 susah.

Usul next&mungkin diterima adalah jenis perahu.horst usul pakur.sy jg demikian.tp pakur dibuat dg teknik tradisional:tali ijuk,lambung sebagian dija-hit&layar karoro.

Dr segi tempat mandar yg paling cocok,jd utk pindah pun sekino pasti berat sannaq.

Agar tdk kena efek “Yamamoto” (sebab sdh pernah ada ekspedisi yg pera-hunya dibuat di sana), lokasi utama tdk diusahakan di pambusuang tapi dikarama.sbb disana msh ada pelayar dg pakur,ada usaha buat tali&dekat dg ru-mahku. pelaut juga banyak.jd gampang dr segi urusan.

Ya pasti sangat susah utk buat perahu yg sangat kuno. dr segi pengetahuan bisa lacak bentuknya, tapi apakah masih ada yg bisa buat dana layarkan? Belum lagi pengetahuan sekino yg minim ttg perahu.

Jadi saya ttp pada pendapat dulu bahwa yg ideal dan cocok dng realitas adalah pilih perahu bercadik yg "tertua', masih bisa dibuat dan dilayarkan orang2 lokal, yang dibuat dng teknik tradisional. misalnya tdk use listrik dan alat penghalus pa-pan. juga tdk pakai cat, etc.

Pakur sangat cocok sbb bisa muat banyak, msh tradisional. dan yg paling oke adalah dari bentuk layar pakur masih berciri layar austronesia. jadi beda dng san-deq yg meski body mirip sannaq dng sandeq tapi layar beda.

65

Page 67: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Friday, August 8, 2008 5:58 AM, hubungan sekino-kohtaro

Kemarin diskusi lama dng Bu Agnes mengenai plan, khususnya di Mamuju/Mandar.Sekino juga sampaikan ttg hasil di Lamalera.ternyata Kohtaro dng Skino ada "rasa benci": Kohtaro tdk mau ada nihonjin ke Lamalera, ter-masuk tim sekino. Saya yg tdk tahu separah itu jadi kaget. Ternyata Sekino "usa-hakan" tdk meet dng Kohtaro. Mungkin ini alasan mereka tdk lama ngobrol di Larantuka. Kayaknya sikap Kohtaro/Ibu Tomoko kurang oke. Kalau memang kekhawatiran "org jepang suka beri uang" itu tdk ada di tim Sekino sbb mereka sangat hemat. Malah jadi korban atas "ganasnya money minded" org2 Lamalera! Ibu Tomoko/Kohtaro harus berani buat tulisan atas perubahan di sana.

Sunday, August 10, 2008 6:36 AM, after meet Horst 2

Saat Sekino bertemu Horst, Sekino sedikit "bingung" dng info2 "baru". Saya pikir "baru" itu relatif. Maksudku, mungkin Sekino pernah tahu/baca but mung-kin lupa lagi. Ide utk make perahu sangat kuno yg bisa utk ekspedisi

bisa dikatakan "mustahil". Perahu paling kuno adalah "dug out". Gampang kan? Tapi apakah perahu itu bisa dipakai ekspedisi?

Dan kalau see catatan ilmiah ttg perahu kuno, utk Mandar tdk ada. Yg ada dan mungkin tdk jauh beda adalah perahu2 Micronesia dan sekitarnya. Tapi apa bisa tukang Mandar disini buat?

Karena Sekino hadapi realitas, maka ada perubahan mendasar dalam ide perahu yg akan dipakai utk ekspedisi.

Kalau see keadaan di depan (time, persiapan yg telah dilakukan dan link), Sekino harus pilih: sandeq atau pakur.

Mengapa bukan olanmesa?

Sebab olanmesa adalah perahu bercadik Mandar yg kecil. Utk ekspedisi tdk bisa. Beda dng pakur dan sandeq yg ada konstruksi khusus utk bawa barang da-lam "room". Dan pakur sandeq bisa ukuran "big" bila dibandingkan dng olan-mesa.

66

Page 68: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Saya dan Horst pilih pakur sebab masih ada "jejak" kuno yg kantan dilihat, yaitu bentuk layar. Kalau sandeq sdh segitiga, itu effect dr Eropa.

Monday, August 11, 2008 6:30 AM, Sekino dan realitas

Now sdg print manual D80 versi "baru" yg tadi pagi saya download. Dia jelas-kan macam2 ttg bagian2 di kamera. Lebih ringkas (53 halaman) dibanding dng manual asli. Tdk apa2 sbb ini sdh cukup.

Mengenai "makanan" yg Sekino mau use buat pelayaran. Setahu saya (dan menurut isi artikel Asahi-shinbun=artinya ide dr Sekino), Sekino mau coba maka-nan yg dikira terdapat pd "zaman itu"("10000" tahun yg lalu!). Jadi beras/nasi pasti tdk mau dibawa if "ikut" cita2 Sekino,atau rencananya yg awal.

Seperti dng perahu, tdk bisa betul2 perfect dng budaya 10.000 tahun lalu. Ka-lau memang mau: jangan pakai baju, jangan bawa kamera, GPS, etc. Kalau tdk bawa nasi dan tdk masak, pasti pelaut Mandar tdk mau ikut ha..ha...

Tapi saya kira Sekino hrs pikir2 lagi ttg soal makanan sbb bukan Sekino saja yg terlibat dlm proyek ini. Walau Sekino(dan mahasiswa2nya) ingin bertantangan "tanpa nasi", keinginan mereka blm tentu "diterima" pihak org Indo! Apa lagi se-mua org hrs keep tenaga/kesehatan selama pelayaran.

Saya menduga, Sekino akan banyak "dilenma" di antara keinginan(ingin "dekat" dgn zaman kuno) dan realitas sekarang( termasuk pendapat org2 yg terli-bat khususnya org Indo)...Sampai mana memegang keinginannya(tujuan utama/ide awal) yg berisiko? Sampai mana mengubah ide awal dan menyesuaikan dgn re-alitas? Apa yg hrs paling diutamanakan? Apakah suksessnya pelayaran yg selamat or pengalaman/kerja sama utk mendekati tantangan "10000 tahun lalu" walau gagal?...Pasti banyak dilenma muncul nanti. "CL dibutuhkan atau tdk?" adalah peprsoalan yg sangat big yg hrs dipikirkan secara dalam dgn rancangan pelayaran practical,dan hrs didiskusikan dgn pihak Oso yg selama ini bantu Sekino dr be-lakang. If Sekino tentukan dgn sendiri "Tdk usah CL", saya kira pihak Oso meresa "negative" terhadap Sekino(tapi if itu keputusan after diskusi, OK).

Kalau pendapat saya, CL bisa tdk ikut sebab pelayaran dilakukan dr pesisir, tak jauh dr pantai. Saya pikir tim dr darat bisa tetap bantu sbb ada komunikasi cang-

67

Page 69: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

gih, misalnya telepon satelit dan GPS. Jadi bisa "janji" ketemu di suatu tempat dan bantu kasih stock or etc.

Kalau CL ikut, sepertinya 2 perahu yg lakukan ekspedisi. Maksudku, karena CL juga adalah perahu kayu yg lama dan tdk diisi pelaut2 profesional (beda dng kapal mesin yg diisi kru khusus), tak ada alat canggih, pernah rusak, maka utk ikut ekspedisi harus pikir2 sangat matang.

Friday, August 15, 2008 2:54 PM, Hasil today

tulisan ini saya buat di atas kapal, di atas laut, jd spesial. Pelayaran dari Kambu-nong ke mamuju. Td mlm lama dipantai krn wait kendaraan yg akan bw ke ru-mah pengusaha kayu yg lokasinya pas pinggir jalan trans sulawesi.

Lebih 2jam wait.saya masak mie dirmh penduduk sbg dinner.sekitar jam 10 ke antalili,nama dusun yg jarak dr kambunong 3km.melalui bekas hutan mangrove yg luas sannaq yg use utk tambak udang. Tiba kami ngobrol,tanya2 apakah bisa dpt kayu tippulu yg ideal utk make lopi. Dpt jawaban dan tadi sdh kesana.

Jarak sekitar 5km dr rmah,but juga didekat jalan raya.sekitar 500m dr jln.juga bekas hutan yg konversi utk kebun sawit. Ada bbrp pohon tippulu.kami pilih 2 sbb jg sbg bahan papan. Krn use all tippulu,perahunya 'mewah' krn pakai bahan ideal. Harga perpohon 3,5jt.ini wajar sbb dihitung kubik.harga kayu disini skitar 800rb-1jt/kubik.

Sekino sdh bayar uang muka 2jt sbg tanda jadi. Penduduk or org2 yg bantu oke,jd sama sekali tdk ada kesulitan. Lokasi pohon sangat ideal. Skrg balik kemamuju.tiba mlm.

Esok msh dimamuju krn mau see star sandeq race.after itu ke tinambung utk urus macam2. Tgl 19 balik lg ke kambunong utk mulai project tebang.disini 2minggu. Kameraman 'utama' akan dtg tgl 18agustus.

Msh sdikit flu but krn angin.jd tdk terlalu apa2. Azis back use bis krn mau ce-pat tiba dimakasar.

68

Page 70: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Sekino juga tanya ttg doa. saat tanya ke penjual kayu: tergantung permintaan yg pesan kayu,bisa ada doa bisa tdk.tergantung juga siapa yg tebang. Krn utk make perahu,akan cari orangtua yg biasa tebang.

Ttg desain,tetap pakur.tak ada usulan ubah dr azis. Kami akan make dg cara tradisional sannaq.yg jd dilema adalah alat utk make papan.kayaknya ttp harus use chainshaw sbb if tdk akan banyak kayu yg terbuang&use waktu lama.

Monday, August 18, 2008 6:16 PM, today dng tim sekino (TS)

tadi "tiba2" ke lokasi finish SR krn Sekino mau ambil foto. Jadi after belanja di Majene, kami langsung ke sana dg sewa pete2. Lokasinya di Pelabuhan Palipi, seki-tar 10 km dr Somba tempat banyak warung tuing2. Lokasi bagus dan luas. Peman-dangan juga oke sebab langsung dekat dng bukit yg berhutan.

Di sana kurang lebih 1 jam. Kami jalan dari ujung ke ujung utk ambil foto. Suasana ada "kurang spirit". Tdk tahu apa. Wajah2 nelayan agak lesu. Bukan karena capek tapi penyambutan yg tdk ada ke pemenang. Jadi tdk ada kebanggan yg "fresh" yg dirasakan pemenang lomba.

Demikian juga hal2 lain. Banyak yg dikeluhkan, termasuk rokok yg tdk enak, posisi start yg tdk teratur, dll.

Back dr sana kami singgah lunch ikan tuing2. Sengaja tdk singgah di warung "itu" krn disitu tdk ada "lemari pendingin" yg simpang coca cola, sprite, dan minu-man lain yg disuka org jepang.

Sebelum ke Mandar, Tim Sekino singgah di rumahku utk sarapan dan akses internet. Sdh lama Sekino "stress" krn akses internet via HP tdk lancar. Saat di ru-mahku koneksi lumayan cepat dibanding via hp, jadi email2 Sekino lancar masuknya. Yg lain juga cek email.

After itu, salah satu mahasiswa make desain utk baju kaos. Beberapa hari lalu saya idekan utk make t-shirts banyak sebagai ganti "gaji" utk org2 yg bantu tim. Ini oke dibanding uang.

Sekitar 1 jam lalu 2 staf yg "baru" datang. Satu laki2, 1 perempuan. Mereka use "panther". Azis yg "kirim" dr Makassar. Saya jemput dekat mesjid Tinam-

69

Page 71: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

bung. Saat ketemu saya langsung antar ke Lambe. Saya tdk lama disana, now di rumah.

Info lain, utk makan TS, yg masak adalah Ibu dan org2 di rumah. Sengaja agar kantan atur menu mereka. Kalau warung pasti monoton. Saat ini diperki-rakan utk 1 org biayanya Rp 10.000/org utk 1 kali makan.

Ini relatif murah dibanding warung yg 15 ribu dan jauh lebih murah diband-ing di restoran Majene yg sampai 300 ribu per 1 kali makan. Tapi pengalaman bbrp hari ini Rp 10.000 agak kurang (kecuali pagi) sbb now harga ikan mahal.

Tapi tdk apa2 saat ini sbb esok akan ke Mamuju lama. Nanti puasa baru back. Jadi di saat puasa baru naikkan dng alasan harga2 naik saat puasa (memang be-gitu, harga naik saat puasa). Adapun yg antar makanan ke sana adalah tukang ojek. Ada tetangga yg di "booking" utk antar makanan pada jam2 tertentu (pagi, siang, malam).

Meski beberapa bulan ini saya "dikontrak" Sekino, tapi hampir semua lokasi ada di Mandar. Jadi bisa dikatakan saya dalam keadaan normal.

Sekino pernah kidding saat bingung cari penerjemah kalau Azis tdk ada.

Sampai saat ini impression mereka terhadap saya oke dan dianggap fotografer yg baik. Maksudnya, waktu mereka see foto2ku di Lamalera, mereka bilang be-berapa kali "Sashin ... sugoi ..." haha

After buat catatam ini saya akan ke Lambe utk bicaraka teknis pemberangka-tan esok.

Monday, September 1, 2008 8:23 AM, laporan

Saat ini saya kumpul iro2 foto pakur yg saya punya, baik yg saya foto sendiri maupun dr buku. Sebentar siang mau diskusi ttg desain perahu. Kayaknya saya akan tentukan desain pakur yg akan dibuat. Tapi krn tdk terlalu kantan menggam-bar, mungkin pakai tangan mahasiswa Sekino yg pintar gambar. Namanya Jiro. Dia tdk pernah use kamera, tapi selalu make catatan dan gambar benda2 tertentu dlm book khususnya. Katanya itu utk project yg saat ini dilaksanakan. Ya, itu san-gat oke! Saya mau juga begitu tapi gambarx mungkin jelek.

70

Page 72: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Friday, September 5, 2008 1:43 AM, bagaimana di Lambe?

dalam 5 hari ini, ts tiap pagi latihan naik sandeq kecil. kami kontrak dua nelayan/perahu agar kasih latihan kepada ts. tiap hari 3 jam. pembayaran luma-yan "mahal" karena ts ambil jam melaut nelayan. maksud saya, tiap subuh-siang, pelaut yg kami pakai seharusnya di laut tangkap ikan. krn kami mau pakai il-munya, maka dia tdk bisa melaut. agar tetap ada pendapatan, maka kami kasih gaji.

tapi cara di atas tdk lama. after dr makassar kami akan beli perahu kecil yg be-bas kami use. adapun trainer kami use nelayan lain yg tdk bekerja pada pagi hari.

saya belum sempat latihan karena masih sibuk urus beberapa persiapan ts, khususnya teknis pembuatan perahu, antar shoting kameraman (misalnya ke ma-jene), dan urusan lain di rumah.

Saturday, September 6, 2008 3:36 AM, wisata inn

Barusan makan sahur. TS juga, kecuali 1 org yg akan back ke Jepang sore ini. Rencana today ada 2 meeting: saya, Oso, bu Agnes, dan jam 1: Oso, Agnes, dan TS serta saya. Kayaknya ada hal serius sehingga ada meeting awal utk internal lembaga perahu, yg berkaitan dng kegiatan TS.

Sunday, September 7, 2008 4:48 PM, tadi ...

Saya baru mandi. Sebelumnya, sekitar jam 12 saya ke bandara jemput Yamada san. All 3 nihonjin, satunya mahasiswa Sekino, trus yg satunya bernama Muroya Masahita. Dia kerja di Tomosei Company dg jabatan Executive Director. Saya tdk tahu itu bidang apa. dia pintar bahasa Indonesia, kenal Makassar dan Toraja dan pernah lama tinggal di Jakarta.

After tiba di Wisata Inn, kami langsung adakan rapat di room Sekino. Isinya penjelasan Sekino ttg rencana yg akan dishooting:

- Ambil bambu besar di Toraja (kalau ada upacara akan lebih baik!)

- Ambil bambu di Mandar dg use rakit

- Pembuatan bahan layar dan jahit layar

71

Page 73: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

- Pembuatan jepa

- Ubah sandeq bekas menjadi pakur (sebagai perahu latihan)

- Pengambilan rotan (tapi ini see situasi, sbb rotan diambil di hutan)

- Kegiatan latihan berlayar Sekino

- Pembuatan tali dari ijuk

Susunan shoting nanti disesuaikan keadaan di Mandar. Maksud saya, utk be-berapa hal tiap hari ada, jadi bise segera shoting misalnya pembuatan jepa, buat tali. Sedangkan rakit bambu saya harus survei dulu sebab lokasi jauh dan tdk tiap hari. demikian juga org yg bisa jahit layar. Rencana di Toraja selama 7 hari. Ah, pasti dingin. Meeting sekitar 2 jam. After itu, kami bertujuh pergi belanja iro2 di sebuah mall. Ada sabun, makanan, buah, tools, dll.

Kami sewa mobil Latif, sekitar 250.000

Now di kamar sendiri. Yg lain kumpul di kamar Sekino. Tadi saya mandi. Ka-lau meeting resmi pasti ajak saya, tapi kalau nggak dipanggil berarti bicarakan hal lain.

Sekarang Bu Agnes, Oso, Azis dan 1 staf lembaga perahu sedang meeting di bawah. Kayaknya bicarakan pembagian gaji/keuangan after Cinta Laut disewa. Karena saya tdk iktu kegiatan CL selama ini, saya tdk perlu ikut meeting itu.

Friday, September 12, 2008 6:52 AM, tidak jd ke toraja tapi …

Tadi malam saat meeting, yg berdasar dr meeting saya dng Tukang Zainuddin, rencana ke Toraja dibatalkan, diganti perjalanan ke Mamasa. Ceritanya begini, ke-marin saya pergi kumpul info yg berkaitan dg rencana next Sekino.

Salah satu informan adalah Tukang Zainuddin (TZ). Saya harapkan dapat info kontak person dia di Tator yg kerjanya siapkan bambu2 utk dikirim ke Mandar dan dijadikan balakang.

Kedatangan pertama langsung dpt kontak (nama dan no. telepon), tapi saat call, H. Syaiful tdk ada di tempat. Menurut anaknya, dia akan ada after shalat Magrib. Jadi, saya back.

72

Page 74: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Dr rumah TZ, saya jalan kaki ke rumah S. Jafar. Anaknya yg bernama S. Fauzi. Isterinya baru saja melahirkan tepat pada hari pertama Ramadhan. Ini hari baik. Saya barusan ketemu dia sejak dia merried. Disini ngobrol macam2.

Menjelang shalad dhuhur, saya dan Fauzi go ke Sabang Subik utk temui te-man. Saya lanjutkan acara kumpul info. TS mau ikut tangkap ikan. Jadi saya cari-kan kapal yg bisa bawa mereka ke laut. Dpt kapal, kebetulan ada teman yg punya kapal. AFter itu, saya ke Lambe utk kasih laporan ke TS.

Berikut hasil awal:

- Kontak person di Tator sdh ada tapi belum bicara krn wait malam dan usa-hakan TZ sebagai "jembatan".

- Bisa ikut tangkap ikan dng kapal motor but baru bisa dilakukan setelah back dr Toraja

- Proses making rakit dpt dilihat di dua waktu: Minggu tebang, Selasa bawa ke Tinambung via sungai; Kamis tebang, Jumat bawa ke Tinambung.

Nah itu diskusi utama di atas. Yg saya mau fokus disini adalah rencana ke To-raja. After buka puasa, saya back ke Pambusuang. Pakai motor (Udi) sendiri. Kena hujan sedikit deras dekat kuburuan "ikan terbang".

Tiba di rumah TZ, kembali lanjutkan negosiasi bambu palatto. But tdk bisa se-gera do it krn H. Syaiful sedang keluar. Sambil wait, TZ dan saya ke mesjid shalat Isya. After shalat, saya back duluan. Nah saya bisa bicar dng HS via hp.

Salah satu isinya adalah dia harus survei lokasi bambu dulu baru bisa tebang dan itu baru bisa dilakukan sekitar minggu depan. Dan ternyata lokasi penyedia bambu ini tinggal di Kab. Enrekang, sekitar 30 km dr ibukotanya. Jadi bukan Ta-tor!!!

Nah, dr hasil di atas, khususnya bambu yg ternya bukan dr Tator (Tana To-raja), TS ubah plan: tdk jadi ke Tator tapi ke Mamasa. Alasannya, krn bambu juga bukan dari Tator maka "link" dng film menjadi "tdk menarik". Dan memang tdk ada hubungan.

73

Page 75: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Tapi ide/kesimpulan TS di atas terlambat. Maksud saya, saya sdh pernah sam-paikan bahwa Toraja "tdk oke" dan tdk ada link kuat dng budaya Mandar di waktu lampau. Tapi Sekino ngotot utk tetap ke sana krn memang mau shoting dan filmnya ada "kuat". Maka diputuskan go ke Mamasa esok!!

Saya jadi agak "panik" krn set di otak sdh masukkan toraja dng kuat dan saya pun sdh negosiasi dng beberapa pihak yg seolah2 pastikan saya akan ke Toraja. Krn batal, tentu saya harus bicara baik2 dng mereka.

Saya juga berpendapat TS terlalu gampangkan persoalan. Tapi krn mereka siap utk jalani hal2 yg "tdk enak", maka saya sedikit "lega". Maksudku, kalau me-mang ada masalah2 dihadapi di Mamasa, itu "di luar tanggung jawab" saya.

Ide saya, saya mau survei lokasi dulu. Tapi TS bilang tdk usah. Ada "enaknya" datang dan do it all sendiri. Ya terserah, kalau memang mau begitu tdk apa2.

TS sdh masukkan pendapat dr Yamada san dan perjemahnya (yg juga biasa jadi koordinator shoting), jadi keinginan mereka jadi iro2 juga. Tapi tak apa. Saya hanya khawatirkan proses perjalanan tdk lancar gara2 persiapan yg tdk oke. Tapi krn mereka sendiri yg inginkan, saya sih tdk apa2 juga!! Jadi kesimpulannya, jam 9 today saya dan TS akan ke mamasa!!!

:::::::::::::

Sekarang jam 7.30, tadi stop masak karena shalat, mandi, dan packing. Meski agak "berat" ke Mamasa (lebih berkaitan masalah persiapan/tiba2), saya tetap se-mangat sebab saya belum pernah sampai ke Mamasa, baru sampai Sumarorong (sdh masuk kab. mamasa but masih jauh). Jadi, saya bisa dokumentasikan iro2 bu-daya disana. Karena disana pasti dingin, saya siapkan iro2 baju hangat.

Rencana di Mamasa sampai hari Minggu. Tujuan utama, selain cari bambu (saya masih ragu apakah bisa dapat di sana haha), juga utk shoting budaya di sana. Yg menarik, Mamasa masuk Mandar tapi kontras dg Mandar pesisir yg ber-budaya laut dan Islam. Kalau Mamasa, mayoritas kristen dan budaya dekat To-raja.

Saturday, September 13, 2008 6:39 AM, oke di Mamasa

74

Page 76: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

now diatas bed,di losmen matana,mamasa.oh ada panggilan utk go dinner! Suasana mamasa oke. orangnya ramah,tdk agresif.maksudku,biasanya sopir,tu-kang ojek kejar2 org asing.disini tdk. Kami tiba skitar jam 3.30.

Perjalanan oke tp banyak ngantuk. jd beberapa tempat terlewatkan,misalnya tempat kak mas kerja. Tapi kak mas skrg ada dimakasar bersma all anaknya.

Kami sdh buka,masih minuman. Makanan sdg dihidangkan. Menunya ayam goreng,ikan bandeng goreng,sayur nangka. Jg ada kue onde2,mirip telur penyu tapi pakai kelapa sbg pembalut.

Td pergi ke kebun bambu.ada yg lurus but diameter msh dibawah target,yaitu 20cm&panjang 14m. Rencana esok kami ttp puasa.hanya 1 org yg tdk puasa to-day,yaitu penerjemah.

Monday, September 15, 2008 7:20 PM, Catatan meet Oso!

Rencana sekino akan back ke jepang sebentar after ambil kayu di mamuju.

Untuk urusan dokumen pelaut indo di indo mungkin sy terlibat urus.yg di-makassar oleh lembaga perahu.sedang yg luar diurus tim GJ di jepang.

Ya,wajar saya dpt beban berat. Makanya saya digaji big. Barusan dpt gaji ban-yak dlm suatu project.beda bila terlibat dg urusan oso. Jd,mau tdk mau hrus sy jalani beban ini.utk jalani sy enjoy,tdk ada yg terlalu berat.masalah tanggung ja-wab bukan jg ada sama saya,tp ttp disekino sbb semua hal penting sy minta pertim-bangan sekino. Dlm hal ini sy lebih bnyak sbg guide. Bila ada hal2 teknik pent-ing,yg tdk saya tahu sy minta pertimbangan yg ahli,misalnya tukang perahu&pe-laut.

Monday, September 22, 2008 7:48 AM, busy dan ide "gile" TS

Skrg sibuk krn nanti sore ada acara big di rumah (sekitar 100 org hadir), yaitu buka puasa. Di sisi lain, saya juga urus TS. Tadi malm juga meeting di sana, ma-sih berkaitan dng urusan yg "berubah". Saya sampaikan disini: TS akan cari kayu yg lebih big utk dibuat perahu. Ini sangat beresiko utk (mahal dan makan waktu), tapi krn mereka yg mau, ya saya terima saja (meski sebelumnya ada diskusi "panas"). Dan mereka bilang "uang banyak keluar utk kejar "konsep kuno" tdk

75

Page 77: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

apa-apa". Kalau memang begitu, ya "terpaksa biarkan" mereka masuk resiko utk tdk bisa kejar time.

Monday, September 29, 2008 7:44 AM, aktivitasku

Entah apa yg terjadi dng "kebiasaan menulisku"! Ya, dlm otak ada banyak ide/bahan utk masak dan make tulisan, tapi ketika akan make, ada "lemah". Seperti yg juga pernah saya sampaikan, saya butuh time utk "rest dan diam" disuatu tem-pat agar saya ada time utk tenangkan pikiran dan make tulisan.

Disini, saat ini, ramai dan sibuk terus macam2. Mulai dari urusan TS, urusan dikeluarga, bantu teman, puasa, dll. Now TS ada di Mamuju, di Desa Muhajir utk cari kayu big berdiameter sekitar 1,5 meter utk dibuat balakang.

Koq cari lagi? Sebab TS "takut" use perahu yg balakang-nya kecil yg jika use papan tambahan akan membuat lambung perahu tdk kuat.

Koq tdk kuat? Karena TS tdk mau use gergaji, maka utk buat rata persambun-gan antar papan akan tdk cepat rata. Maksudnya tdk cepat sebab if krn hanya use parang dan ketam (alat penghalus). Kalau use gergaji, bisa cepat.

Ketika gergaji tdk boleh use, itu membuat tukang perahu tdk cepat utk selesai-kan perahu dan ada resiko persambungan papan tdk rapat. Tapi itulah resiko tdk use gergaji.

Kalau saya pribadi, saya tetap bertahan utk use kayu yg sdh ada. Kalau use yg big, memang itu oke tapi krn waktu terbatas, maka resiko terlambat agak big.

Ya, memang kalau hitung2 masih ada 6-7 bulan, tapi juga ada hal lain yg ha-rus diurus. Bukan cuma urusan make perahu: harus urus bahan lain, latihan ber-layar, adminisrasi (paspos, visa), dll.

Konsep utk tdk use alat2 tertentu memang sesuatu yg menantang, tapi disisi lain TS tetap use alat/kebiasaan modern. Kalau memang konsisten, idealnya ttp bertahan utk keep hal2 tradisional.

Misalnya kalau saat berlayar, pasti bawa makanan iro2 yg modern, termasuk peralatan. Perahu pakur juga tergolong perahu yg "baru" dibanding perahu kuno lain (tp yg diketahui utk mandar, pakur mmg ideal utk kegiatan ini).

76

Page 78: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Zaman adanya gergaji, bor, parang menurut saya masih perdebatan, kapan munculnya. Jadi, pelarangan use alat2 tertentu sepertinya berdasar "mood": bahwa itu "baru", ini "kuno".

Misalnya penggunaan parang/kapak yg dibuat Jepang. Mereka buat berdasar model/teknik di Jepang. Tapi ketika digunakan disini, semuanya tdk cocok. Ya, memang use, tapi ditangan tukang/pemotong kayu, itu kurang oke. Lebih pilih use alat mereka sendiri.

Di sini, riset mereka "lemah". Ini menjadikan kegiatan mereka akan jadi perde-batan bahwa apakah betul perahu mereka kuno? Teknik pembuatan kuno?

Juga masalah uang. Bagi saya tdk ada masalah. Tapi saya usahakan agar mereka tdk keluar banyak uang dlm project ini. Sebagaimana yg pernah disampai-kan, saya diharapkan utk bawa mereka ke hal2 hemat.

Tapi ketika ada diskusi "hangat" di Lambe, mereka bicarakan project ini "kem-bali ke garis". Maksud saya, mereka khawatir mereka belok dr konsep awal. Makanya muncul ide utk cari ulang kayu yg lebih big agar bisa tdk use gergaji. Menurut saya, alasan gergaji terlalu "rendah" utk dijadikan alasan utk cari kayu yg baru. Ya, memang resiko tdk terlalu aman jika papan disusun, tapi itu harus diha-dapi. Dan bagi saya, perahu ttp aman digunakan!

Dari hasil diskusi, demi konsep mereka tdk apa2 keluar uang banyak. Ya, kalau begitu yg diinginkan, bagi saya juga bukan masalah.

Maka, mulailah mereka keluar uang banyak: sewaktu ke Mamuju, mereka ha-rus bayar car Rp 2,5 juta. Itu hanya 1x jalan dan utk 5 org saja. Waktu saya bw be-berapa org (yg if use mobil, perlukan 2), saya hanya bayar sekitar 2 juta. Bisa mu-rah sebab use kapal sewaktu di Mamuju, yg bisa bawa org banyak.

Itu belum urusan di Mamuju. Kontak person yg kami pakai dulu kurang begitu oke. Menurut tukang2 yg bantu dia gali kayu, mereka tdk dibayar begitu oke, pa-dahal uang yg kami berikan ke kontak person cukup banyak (sesuai permintaan).

Tapi krn sdh terlanjur bersama, maka tdk ideal utk tarik diri.

77

Page 79: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Kegiatan sekarang akan keluar uang lebih banyak sebab harus cari kayu big, beli dari perusahaan, dan sewa truk utk bawa kayu. Belum lagi momentum saat ini yg membuat org2 di sana "malas" kerja krn menghadapi lebaran. Ya, mungkin mau kerja, tapi harus dibayar tinggi.

Saya tdk ikut kesana bukan krn ada masalah dng TS, tapi krn saya harus leba-ran di sini bersama keluarga. Ya, memang saya dikontrak selama beberapa bulan, but utk hal2 tertentu mereka harus mengerti posisi saya. Untung TS mengerti, jadi saya "tdk diajak" ke sana.

Yg temani ke sana seorang guide, namanya Pak Marcel. Guide profesional. Dia teman Oso/Bu Agnes. Masalahnya, pak Marcel org baru dlm kegiatan ini. Jadi pasti ada banyak hal yg tdk dia mengerti sehingga lakukan penjelasan ulang ke TS padahal TS sdh mengerti.

Sebagai contoh, saat Marcel tanya jenis perahu apa yg akan dibuat? Saya ja-wab Pakur. Sesaat kemudian, dia terjemahkan ke TS bahwa yg akan digunakan adalah Pakur. TS jawab "Hai, .. hai" haha. Ya, pasti mereka tahu.

Rencana TS back dr Mamuju tgl 1 atau 2 Oktober. Mudah2an kegiatan di sana berhasil!

Tuesday, September 30, 2008 2:35 AM, aktivitasku!

Saya baru datang meeting utk acara after lebaran. Hampir tiap malam meet-ing dan sampai sahur sebab bicara iro2, khususnya masalah teknis acara nanti. Meski saya terlibat banyak dlm persiapan acara, saya tetap siap utk go bersama TS ke Mamuju if memang harus ke sana. Jadi tdk apa2. Yg jelas akalau saya ada di Mandar/Tinambung, saya bantu kegiatan teman2 disini if saya dibutuhkan. Nggak mungkin juga saya tutup kerjasama dng teman2 disini krn sdh "kontrak" dng TS. Maksud saya, saya ttp ada fungsi sosial disini.

Tuesday, September 30, 2008 4:28 PM, hasil TS dari Mamuju

tadi pagi saya pergi ke Lambe, after ada call dr Sekino. Sekitar jam 3 mereka back dr Mamuju use mobil teman Marcel yg dipanggil dr Makassar. Tahu itu, nampaknya mereka terpaksa keluar uang banyak dlm kegiatan yg dilakukan. Ya,

78

Page 80: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

kepadanya sdh disampaikan akan susah dpt transportasi sbb now nuansa ramad-han.

Hasil dr Mamuju "tdk berhasil" sbb misi cari kayu big tdk berhasil. Pohon yg ditargetkan tdk ada hingga akhirnya muncul kembali ide utk ke kegiatan semula: menggunakan beberapa papan utk make perahu. Tapi ide kayu big ttp ada di otak mereka.

Disana mereka dpt info "baru" bahwa utk keringkan kayu papan butuh time 3 bulan. Info ini dikatakan kontak person disana tapi saya tdk percaya. Dugaan saya kontak disana "bohong" sbb ada masalah dng penggali kayu waktu lalu (kami ka-sih uang banyak tapi yg diberikan ke penggali hanya 50 ribu /hari). Sehingga usa-hakan utk cari kayu jenis lain di tempat lain.

Sebagai jalan tengah, tadi kami temui seorang tukang di Rangas dan tanya apakah utk keringkan papan butuh time selama 3 bulan? Tukang jawab, 2 bulan sdh kering betul. Jadi versi saya cocok.

Dng tukang TS tanya2 ulang. Disini agak "jengkel" sbb diskusi dng tukang mereka sepertinya "baka": info yg sdh pernah saya sampaikan, sepertinya mereka tanya lagi, misalnya perbedaan layar perahu pakur dengan sandeq, etc.

Dan juga TS tanya mengenai kemungkinan use gergaji utk buat papan lebar (agar papan tambahan hanya use 1). Dlm hati saya jadi bertanya2, koq mau lagi use gergaji utk make papan? Kenapa perahu tdk bisa?

Tadi TS pergi ke Tator. Menurut Pak Marcel ada upacara kematian di sana. Sambil isi waktu "liburan" (sbb tak ada aktivitas saat nuansa lebaran), TS ke sana, seperti yg pernah rencanakan sebelumnya.

Kesimpulannya, hasil di Mamuju tdk saya tahu persis. Tapi apa yg mereka rencanakan/inginkan tdk terpenuhi. Dan ternyata mereka sdh kasih lagi uang 3 juta ke kontak person di sana sebagai ongkos kerja. Ah, mudah2an tdk terjebak dlm persoalan uang. Tapi karena bagi TS uang "tdk masalah", ya bagi saya, "tdk apa2".

Monday, October 6, 2008 12:28 AM, ide TS yg "baru"

79

Page 81: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Baru saja teman2 pulang,cek hasil soting utk sesuaikan adegan teater yg mereka make.esok saya soting latihan mereka agar film yg saya buat bisa cocok. ah,waktu sangat sempit haha. Lusa saya dan TS ke Mamuju. Ide barunya: make 2 perahu: pakur dan model "kuno". Nanti saya cerita after dr Luwaor esok utk meet tukang. Kayaknya Sekino gampang "jatuh cinta" if ketemu tukang yang "tadi baru ketemu". Saya sdh kenalkan beberapa tukang, Sekino "suka" tukang yg "tera-khir".

Thursday, October 16, 2008 7:35 AM, Pagi ini

now minum kopi&makan soyjoy. Ts bw banyak. mereka slalu bw if go field.sy jarang bw sbb mereka yg keep.tp kalo box soyjoy disimpan ditempat logistik umum,sy biasa makan. Ts bw iro2 kelambu/net.ada 2 yg menarik bentuk.harganya pasti mahal sbb ada bone/rangka dr logam yg bisa dilipat2.bentuknya seperti bukit.bisa masuk 3org.merk-nya LOGOS.

Ts iro2 bw equipment.ada yg berguna,ada yg sedikit berguna,ada yg tdk berguna.tidak tahu nanti kalau berlayar,mereka pasti bw lebih banyak/macam2 outdoor gear. Kalau sy hanya butuh box anti air kecil yg merk PELICAN agar bisa keep kamera,laptop,,dokumen pribadi&alat2 yg tdk boleh basah.lainnya tas saja utk keep baju.sy tdk bw banyak barang sbb sisanya ts yg pasti bw,misalnya makanan,alat2 lain. Selain itu,kalau dilaut,tdk serepot didarat yg harus mandi atau ganti2 baju.

If dilaut ambil banyak foto,ide utk backup data ada iro2: save ke dvd lalu send ke rumah atau use banyak memory card.cara pertama,harus bw dvd writer&dvd blank.kalau tb disuatu tempat yg ada post office,lalu kirim.cara kedua agak lebih mudah but mahal sbb butuh banyak memory card.

If hanya bw harddisk backup,memang bisa keep banyak foto but bahaya if ter-jadi accident dijalan:hd rusak,foto hilang. Jd ide kirim ke rumah menurut sy msh lebih aman meski repot.

Rencana saat ini,kami start pertengahan mei.menuju kalimantan.selama diperairan indonesia,pelayaran tdk perlu cepat2 sbb ts berlayar sambil belajar.disini juga bw 5 pelaut mandar&1 kapal nelayan.ide pertama pakai cinta laut, but tdk efektif&mahal.

80

Page 82: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Sebelum masuk malaysia,2 pelaut indo akan back. 2 pelaut indo itu adalah ca-dangan utk 3 pelaut utama.maksud sy,if pelaut utama sakit or ada masalah lain,ada yg bisa ganti. Oleh sbb itu,meski sbg cadangan,2 pelaut cadangan itu akan ttp diuruskan dokumen utk go keluar negeri sama seperti 3 pelaut utama.

Utk saat ini,idenya:3 pelaut dr luwaor,2 dr lambe.

Ada bbrp pertimbangan.tp nanti liat akan use type layar apa utk perahu kedua:if use type sandeq,maka pelautnya dr lambe,if type lete (segitiga tp posisi beda) maka pelaut semua dr lambe.kesimpulannya,nanti setelah perahu selesai baru tentukan.

Thursday, October 30, 2008 9:50 PM, Dipanggil Oso

Td mlm ada call,oso akan bw dtg lagi mahasiswa utk lakukan sailing practice di bulukumba&mandar.mreka dtg 9 november.kemungkinan besar sy terlibat sbb itu urusan lembaga perahu.maksudku,sekino hrus beri ijin bila lembaga perahu minta.

Agar ada kepastian peran sy dlm proyek sekino,sy akan minta lembaga perahu (oso/agnes) utk buatkan sy kontrak. kalo cuma lewat mulut, tdk ada kekuatan hukum.demikian jg posisi sy di lembaga perahu.kalau tdk ada,sy jg punya alasan utk bebas. Maksud bebas,di mandar sy jg punya fungsi/peran sosial yg berat utk sy lepaskan.

Friday, October 31, 2008 12:15 PM, Masalahku

Now pikiran/kondisi pikiran saya agak iro2.banyak yg dipikirkan.urusan dg project sekino,lembaga perahu,urusan ibu yg akan naik haji,dan urusan pribadiku.

Sdh hampir 2 minggu sy tinggalkan tim sekino di muhajir/mamuju.kesan saya di mata mereka pasti jelek. Ya,saya akui hal itu. Disisi lain,urusan keluarga disini juga menyita perhatian. Artinya,saya ada dlm dilema.

Kemudian di november nanti,saya dibooking oso utk bantu kegiatan mereka. Otomatis sy tinggalkan lagi Tim sekino. Kemudian ditambah aktivitas ibu utk naik haji. Sebelum go,ada macam2 dirumah.lalu harus ke mamasa pd tgl 27 november. Saya diminta ibu ikut bersama keluarga yg lain (bapak,istri sepupu mc,istri kak

81

Page 83: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

rida). sy hrus ikut utk shoting krn kak rida jaga anak2nya. Kalau saya ijin/tinggalkan terus TS,pasti tambah tdk oke.

Ya,kembali dilema. If saya staf kantor di jepang,saya seharusnya dipecat/keluarkan dr pekerjaan.

Saya pribadi bisa terima dan siap mundur. Tapi siapakah yg bisa gantikan po-sisi saya dlm TS. If saya mundur,itu akan jd masalah big. Ya,saya bisa minta po-tong saja gaji or sisa waktu ini saya kerja amal saja. Tapi bgm saya dpt uang if kerja amal saja?

Friday, October 31, 2008 6:13 PM, Mail to sekino

Saya mengirim email ke Sekino. Ini isinya:

Saya sudah lebih satu minggu berada di Tinambung. Sewaktu bawa kamera yang tertinggal di Muhajir ke Makassar, saya belum balik ke Muhajir. Ini pasti menjadi masalah besar sebab saya tinggalkan teman-teman disana. Padahal sebe-lumnya saya juga tinggalkan lokasi sekitar 3 hari gara-gara saya ada acara di Ti-nambung dan agak kelelahan sehingga tidak bisa segera ke Muhajir.

Saya lama di Tinambung karena bibi yang saya anggap orangtua sendiri sakit keras. Keluarga besar saya meminta saya untuk tetap di Tinambung sampai beliau meninggal. Perkiraan awal (karena lama tdk makan), 3 hari. Tapi ternyata lebih dari itu. Kemarin, 28 November, bibi saya meninggal dunia. Berhubung masih ada beberapa acara setelah kematian dan beberapa jembatan menuju Muhajir ru-sak, saya tidak bisa segera ke sana.

Untuk masalah yang saya timbulkan, saya ingin bertanggung jawab. Ide saya, bisa lewat pemotongan gaji atau diminta mundur dari project ini.

Tapi bila memilih pilihan kedua, mungkin ada masalah lain dalam tim sebab tdk ada pengganti saya.

November ini saya juga harus meninggalkan tim sebab Lembaga Perahu meminta saya membantu kegiatan Oso. Jadwalnya 7-16 November. Salah satu tu-juan kegiatan adalah Luwaor, Majene.

82

Page 84: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Selama ini saya belum ada pegangan/dasar apa kewajiban saya dalam kegi-atan ini. Saya usul ada kontrak tertulis antara saya/Lembaga Perahu dan Great Journey Project.

Bila ada kontrak tertulis, maka saya ada dasar apa yg harus saya lakukan.. Rid-wan

:::::::::::::::::

Ya, saya sadar saya telah dibayar mahal utk membantu mereka. Tapi apakah saya harus memutus hubungan sosial karena telah "dikontrak" tim sekino?

Posisi saya ada merit demeritnya, khususnya dengan cara kontrak. Meritnya, ada "kepastian" pendapatan selama saya dikontrak. Demeritnya, saya tdk bisa la-kukan apa2 karena harus fokus ke kegiatan tim. Yg "terganggu" adalah hubungan sosial saya

Friday, October 31, 2008 6:17 PM, Sambungan catatan

Yg "terganggu" adalah hubungan sosial saya di Mandar, kegiatan dokumentasi budaya mandar, kegiatan menulis sandeq dan ensiklopedi mandar, dan lain2. Tapi itu adalah resiko krn telah dikontrak.

Menjalani proses kontrak, rasanya berat. Kalau diminta memilih, baiknya saya digaji dengan sistem "per hari". Kalau tdk datang, digaji, tdk datang tdk digaji.

Ide ini saya ditambahkan ke dalam isi surat ke Sekino.

Sunday, November 2, 2008 8:21 PM, Perkembangan kegiatan

Menurut pak hasanuddin,sebagian besar kayu yg dibutuhkan sdh selesai dibuat.11papan,1 body perahu (yg digali sekitar 2minggu) sdh dibuat. Now kerja-kan bahan atas perahu,bahan dayung dan 1 lepa2.but lepa2 bisa use senso.demikian info yg sy dptkan malam ini dr pak hasanuddin. Rmh pak has-anuddin berjarak sekitar 15km dr base tim sekino. Base ts terletak di muhajir,s-edang rmh pak hasanuddin di antalili,tak jauh dr kambunong.

Di pulau kambunong  hanya tinggal sedikit org tua yg ahli make bagian bawah sandeq. Rencana sy mau kesana seblm back ke tinambung. Kalau dengar info dr

83

Page 85: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

pak hasanuddin,butuh time 1 minggu lagi utk kerjakan sisa.ini agak repot buat saya sbb tgl 7 hrus dimakasar utk urusan cl.

Kalau sy ke mksr,tinggalkan ts,maka yg jd masalah adalah urusan pindah dr lambe ke luwaor. Jd tambah masalah sbb tujuan kegiatan oso kali ini adalah kegi-atan ts diluwaor. Jd mana yg harus didahulukan?ah repot. Blm lagi kesan ts terha-dap sy yg selalu tinggalkan mereka.

Sunday, November 2, 2008 8:31 AM, Skrg di lokasi

Saya sdh di antalili.30 menit naik mobil ke muhajir,lokasi ts nginap. Saya sing-gah disini utk rest sbb naik mobil capek sannaq.saya mabuk td mlm but tdk mun-tah.

Nanti siang saya ke muhajir.

Ya,utk bbrp hal saya dilema dlm jalani kegiatan sekino.maksudku,saya juga ada kegiatan lain dimandar&kerjasama dg lembaga perahu.masalahnya,org seperti saya jarang,jd susah cari pengganti.kalau saya pribadi mau bantu semuanya.tapi kalau tabrakan bgm?

If ada kontrak,jelas ada merit-demerit. If ada,saya, TS bisa make rule yg jelas dan masing2 ada kewajiban. Memang oso pernah sampaikan bahwa posisi saya di TS sbg manager director cukup berat.tapi adakah pihak lain yg bisa bantu saya?

Azis bisa tapi krn dia dosen,dia tdk sebebas saya. Ke depan hrus pikirkan alter-natif selain saya.maksudku,tdk ada jaminan saya sehat terus.kalau tiba2 sakit or tdk sempat,siapa yg bisa gantikan posisi?

Sunday, November 2, 2008 9:33 PM, Mail to sekino (dia sdg di jepang)

Kemarin malam saya sdh tiba, tapi singgah di antalili,rumah pak hasanuddin. Sy tdk langsung ke muhajir krn saya agak kurang fit dlm perjalanan. Hari ini saya blm ke muhajir krn masih istirahat.

Berdasarkan informasi dr pak hasanuddin,urusan kayu berjalan lancar. Tapi agak lama. Kayu binuang yg digali sdh dipindahkan ke tempat yg bisa mobil masuk. Proses pindah butuh waktu 3 hari dan memerlukan tenaga puluhan orang.

84

Page 86: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Papan2 jg sdh dibuat. Tinggal bbrpa bagian perahu yg sedang dikerjakan. Diperkirakan butuh waktu 1 minggu sampai semua kayu bisa dibawa ke luwaor.

Sebelum ke mamuju,saya temui kama' darma. Saya juga sdh cek rumah yg bisa ditempati,yaitu rumah kama' darma.

Lokasi pembuatan perahu bukan yang ditempati kama' darma buat kapal sekarang,tapi dipantai yg dekat rumahnya.makanya kita akan ditempatkan diru-mah kama' darma sendiri.

Masalahnya,dirumah kama' darma tdk ada kamar mandi dan toilet.

Sebagai jalan keluar,kami pinjam punya tetangga/kerabat kama' darma. Lo-kasinya tdk jauh dr rmh kama' darma.krn rumah itu tdk ada mesin,ide saya,kita belikan mesin penghisap air.

Saya diminta oso sense utk bantu kegiatan cinta laut 7-15 november.

Masalahnya,sekitar tgl 5-6 november, Jiro/yohei san baru bisa tinggalkan mu-hajir menuju Luwaor. Artinya, saya harus ada di luwaor saat bawa kayu dari ma-muju. Saya juga harus ada saat pindah dari lambe ke luwaor.

Rencananya kegiatan oso dan mahasiswanya tahun ini adalah luwaor.untuk me-lihat kegiatan pembuatan perahu yg sedang kita lakukan.

Monday, November 3, 2008 3:10 PM, balasan dr Sekino

Tentang teknologi yg bisa dibawa saat berlayar,tdk ada aturan ketat but ada batasan.misalnya GPS. Bisa bawa gps but tdk boleh digunakan kecuali pd keadaan emergensy,misalnya saling konfirmasi perahu A dg perahu B bila berjauhan.utk bantu navigasi tdk boleh.

Peta bisa digunakan,kamera bisa bawa.adapun laptop,itu termasuk barang 'pribadi',jd tdk ada hubungan langsung dg 'kuno-modern' pelayaran. Saya pikir sekino pasti akan bawa laptop sbb dia selalu nulis dan cek/simpan foto2nya.

Ide saya dulu adalah mau beli laptop keccu yg murah. Kalau tdk salah 'merk-nya' EePC. Dikeluarkan oleh pabrik ASUS.menurut teman sekino yg jg pernah da-tang (dia dosen komputer,khusus urus alat2 elektronik dlm project) di jepang harga-

85

Page 87: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

nya sekitar 2jt. Dia yg kasih ide ke saya. Jadi kalau pun saya mau beli,mungkin le-wat dia.nanti sekino yg bayar (potong gajiku).

Selain laptop,saya juga butuh case utk nikon d80. Sy blm tahu jenis/harga case-nya.apakah ada yg hanya lindungi dr air (tdk boleh utk dive) or langsung case waterproof yg bisa utk dive.

Tentu saya akan bawa d80 saat go.agar aman,memang harus pakai case. But blm tahu harganya. Utk alat lain? Kayaknya saya hanya butuh 2 alat itu.sisanya nanti tim yg siapkan.

Monday, November 3, 2008 12:52 PM, Masalah yg kami timbulkan

Oh iya,kayaknya ada bom yg kami tinggalkan disini. Begini,ada konflik antara pak hasanuddin (ph) dengan papa aco (pa). Ph adalah kontak person pertama kami disini. Yg hubungkan kami/ts dg ph adalah nelayan yg bawa saya dan taro go motangnga. Ph pengusaha kayu.

Sewaktu kami pertama datang,ph bw kami ke rumah pa. Antara ph dng istri pa ada hubungan kekerabatan.

Sewaktu kedatangan pertama kami selesai,ada masalah muncul mengenai gaji. Menurut pa dan bbrp pekerja,ph tdk memberi gaji yg memuaskan.padahal ts ka-sih uang banyak. Pa yg selalu bantu gali kayu malah tdk dpt gaji.

Ini masukan buat ts.

Pd kedatangan ke2,masalah menjadi big sbb ph menjadi pembicaraan di-masyarakat sbb katanya terlalu ambil uang banyak. Dan yg dicurigai adalah pa. Kesimpulannya,setiap saya bersama salah satu dr mereka,mereka pasti jelekkan satu sama lain.

Dan td mlm ada sedikit ancaman dr ph bahwa kalau ts sdh back,mungkin ada 'kejadian' (kasarnya pemukulan ke pa). Dlm hati saya khawatir,kalau betul itu ter-jadi,meski kami sdh tdk disini, itu akan menjadi kesan jelek buat ts sbb bagai-manapun yg menyebabkan konflik adalah kedatangan kami.

Kebetulan pa bukan org mandar.dia org palopo.orangnya msh muda,mungkin seumuran dg saya.tapi sdh punya 6 anak (2 sdh meninggal). Pa usahakan agar

86

Page 88: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

kami tdk terjebak dlm pengeluaran yg banyak krn all diurus oleh ph. Tp bagi ka-mi,tdk apa2 juga keluar uang banyak agar urusan lancar (demikian pesan sekino).

Disisi lain,ph punya rasa tanggung jawab utk bereskan urusan kami. Kalau li-hat perannya,memang 'wajar' ambil uang banyak.namanya juga bisnis,apalagi ka-lau ditempat seperti ini. Ya,beginilah kalau org asing lama disuatu tempat.ada saja masalah yg muncul.biasanya ttg uang.

Mudah2an tdk terjadi masalah besar. Seblm back,saya akan bicara baik2 dg ph.

Monday, December 1, 2008 6:01 AM, Pembuatan perahu

Proses pembuatan perahu TS relatif berjalan cepat krn perkiraan waktu yg dikemukakan tukang perahu "tdk tepat'. Tidak tepat wajar krn mereka tdk pernah kerjakan perahu dg cara sperti sekarang, jd tdk bisa tahu. Dan ternyata, saat kerja-kan, pekerjaan berjalan cepat. Jumlah tukang ada 8 org.

Perahu utama sdh selesai dihaluskan, tinggal pasang papan dek. Blm pasang sbb kayu jati yg akan dipakai sbg rangka blm ada. Kalau itu ada, bisa lebih cepat selesai. Skrng perahu pakaur juga sdh mau diselesaikan, tp krn msh ada bahan kayu yg blm ada (bahan di Mamuju, menurut kontak person yg urus di sana, kayu sdh ada tp blm ada kendaraan utk bw datang).

Faktor lain, tukang bersemangat kerja sbb gaji perhari rp 70.000 dan pakai sistem "semi-borongan". Krn Sekino mau cepat selesaikan perahu, maka ada pem-bicaraan dng tukang bahwa total gaji addalah 8 org x 70.000 x 60 hari (jutaan). ka-lau perahu cepat selesai, sisa gaji yg diterima akan dibagi rata ke sesama tukang. jadi ada untung disitu. Tapi faktor utama adalah ternyata tukang perahu cepat ker-janya!

Menjelang selesainya perahu, didepan sdh wait bbrp pekerjaan: rekruitmen sawi. Rekruitmen sawi berkaitan dg siapa orgnya,dr mana, urusan dokumen, dan proses finishin perahu (pemasangan bagian2, sebagaimana yg saya sebut di email saya ke Azis. Td malam Azis sdh bicara dng Sekino. Saya blm tahu bgm tangga-pan Sekino).

Utk menentukan sawi ada bbrp tahap.

87

Page 89: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Pertama adalah dr Sekino: mau dr Luwaor semua atau dr tempat lain sebagian (misal Lambe or Pambusuang). Misal dr Luwaor all, maka yg cari adalah kepala tukang disini. Namanya Abdullah atau Kama' Darma. Setelah itu, saya yg "se-leksi". Hasil dr seleksi, dikonsultasikan dng Sekino dan tim yg lain.

Oh iya, kemunginan besar salah satu fotoko yg kutip aktivitas Sekino akan masuk National Geoghraphic Jepang. Bbrp hari lalu Sekino minta ijin utk pakai foto itu (waktu dr Muhajir, saya kasih bbrp file foto ke Sekino/stafnya). itu foto utk diri Sekino. Mudah2an jadi dimuat. Selain ada gaji, juga sebgai portofolio saya.

Tuesday, December 2, 2008 6:50 PM, Ambil jati

hari ini back lebih cepat dr biasanya. Ini krnjati terakhir sdh ditebangtadi pagi. sebelum kami datang.dan kebetulan lokasinya lebih dekat dr jati2 sebelumnya. Se-telah makan siang dan negosiasi biaya turunkan jati, kami back.

Hari ini ada masalah dng perutku. Maag kambuh, jd agak perih. Saya sdh mi-num obat maag yg dikasih Sekino, but msh ada sisa. Saya kurang tahu penyebab-nya, tapi mungkin krn td pagi terlalu banyak makan pisang goreng haha

rencana beli case utk D80 saya give up saja sebab mahal. Oh iya, kameraman yg baru datang (umur 27, laki2) juga pakai kamera Nikon D80 yg sama dg pun-yaku. dia bawa serta beberapa lensa: tele (200mm) dan macro. Dua hari lalu dia sampaikan saya bebas pakai lensa2nya. Kemungkinan saya tambah bebas sebab kemarin ada accident: kameranya mandi di dalam tasnya. Koq bisa? Sebab botol air minum yg dia simpan di dlm tas bersama kamera fotonya tdk tertutup oke. Jadi kamera kena air/basah. Dan kayaknya tdk bisa pakai. Now dia simpan kamera-nya bersama "bahan penghisap air".

Untuk sementara blm ada rencana kira2 bagaimana output dokumentasi saya selama ikut kegiatan TS. Apakah make buku or buku foto. Saya tdk tahu sampai dimana batas "hak' (right) saya dlm kegiatan ini. Maksud saya, kegiatan TS atau Great Journey ini jelas 'dibooking' FujiTelevision utk filmnya (sekino jual ke FT, se-bagaimana kegiatan2 sebelumnya). Saya blm tahu apakah demikian juga utk pen-erbitan buku or bentuk publikasi lainnya.

88

Page 90: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Nah posisi saya kira2 bgm? Apakah saya bebas utk "jual" hasil dokumentasi saya sendiri or not? Utk saat ini saya hanya make dokumentasi dlm bentuk foto. Utk video saya give up sebab sepertinya kgiatan GJ fokus pada dokumentasi video (dan itulah yg akan dijual). Kalau foto kayaknya hak individu/person yg terlibat.

Sekitar 2 minggu lalu, Asmadi (adik bang ali) datang kunjungi pembuatan perahu. Dia usul kepada saya utk lakukan penulisan buku dan foto2 mengenai ke-giatan GJ. Mas Halim HD juga usul kepada saya (khususnya dokumentasikan all proses GJ).

Kegiatan GJ di Luwaor sdh tersebar ke publik. Sdh pernah dimuat di Radar Sulbar, but isinya ada yg keliru sbb berdasar wawancara kepala dinas kebudayaan dan pariwisata majene. Saat azis msh ada (dua minggu lalu), saya pertemukan TS dng bupati majene dirumahnya. Saya sengaja agar kegiatan TS tdk ada yg "ganggu". Maksud saya, di awal2 keberadaan TS disini, ada polisi yg sepertinya mau ambil profit dr kegiatan ts.yaitu dng sengaja tanya iro2 ttg dokumen.

Thursday, December 4, 2008 8:02 AM, rekrut eks sawi Yamamoto

Email ke Aziz Salam

Assalamu alaikum

Tadi malam Anhar, salah satu kru Yamamoto ke jepang yang juga ikut berlayar saat Sekino dkk mencoba sandeq di Pambusuang, ada di rumah Kama Darma.

Cerita2 mengenai pengalamannya berlayar ke Jepang. sampai bisa datang ke sini krn Anhar adalah kerabat istri Pak Nurdin (salah satu kru yg diusulkan Kama Darma). Awalnya Pak Nurdin mau minta informasi ke Anhar ttg pengalamannya. Maka Anhar bisa sampai ke Luaor.

Singkat kata, Nurdin dan Kama Darma usulkan Anhar sbg kru. Sekino juga sepertinya setuju. Tapi bagi saya akan kurang setuju sbb dia terlibat di pelayaran Yamamoto. Secara pribadi dia sangat layak utk ikut berlayar dng tim Sekino. Saya juga kenal lama dng dia.

Tapi rasanya ada yg "kurang oke" sebab sepertinya di mandar kurang pelaut yg ikut pelayaran ke Jepang. Saya pribadi ingin melibatkan pelaut Mandar yg lain,

89

Page 91: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

kalau memang kegiatan ini dianggap rezeki. dengan kata lain, meratakan rezeki dan pengalaman ke pelaut yg lain (makanya dlm kegiatan ini tdk terlalu libatkan org Pambusuang, sebab di sana sdh 3-4 kali berlangsung ekspedisi ke luar negeri, desa lain kayaknya belum pernah).

Dan karena dia eks kru di Yamamoto, rasanya ekspedisi Sekino menjadi "tdk murni" sbb ada guide. Peran passandeq/punggawa asli (misalnya dlm hal ini Kama Darma dan pelaut lain) menjadi tertutupi.

Kalau dianalogikan, Anhar itu GPS, padahal Sekino awalnya hanya mau pakai Kompas (pelaut yg blm ada pengalaman berlayar ke Jepang). Jadi kalau pelayaran Sekino sukses, maka akan muncul pendapat bahwa pelayaran sukses karena penga-ruh Yamamoto.

Kayaknya Sekino mau bawa Anhar krn dia masih muda. Kalau itu alasan, msh banyak pelaut muda di mandar.

Ya, memang ada banyak keuntungan bila Anhar dijadikan kru: sdh punya paspor, bisa bergaul dng org Jepang, dan punya pengalaman ikut ekspedisi ber-layar ke Jepang.

Tapi krn bagi saya lebih baik libatkan pelaut "perawan" (kalau memang sekino mau utamakan konsep originalitas), maka Anhar tdk usah ikut ke Jepang.

::::::

Sampai saat ini saya blm pergi konfirmasi ulang utama pelaut dr Lambe. Ka-lau saya blm kasih uang 1 juta ke Pua' Kaccang di Lambe, saya ndak enak kalau ke sana sbb sdh bbrp kali janji sandeqnya akan dibeli org Jepang. Seperti yg saya sampaikan dulu, kalau mereka cancel beli, saya saja yg beli/kasih uang ke Pua Kaccang tp pakai uang project dulu sbb saat ini saya tdk punya cash.

Tanggapan bisa lewat email langsung ke Sekino atau kalau mauki' lewat tel-pon, sms saja saya utk kemudian saya telpon balik.

iwan

Thursday, December 4, 2008 8:03 AM, ttg jati dan email ke azis

90

Page 92: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Kalau tdk salah, Sekino "tdk mau ada unsur Yamamoto" dlm projectnya. Ka-lau betul demikian, koq dia mau menjadikan ANhar sbg kru? Makanya saya kirim email ke Azis utk terjemahkan maksud saya.

Diskusi semalam sampai jam 10.30, jd agak terlambat membuat tulisan.

Utk urusan jati juga butuh biaya banyak, lebih 10 juta utk: 2 tiang layar, 4 ba-ratang, 4 bahan sanggilang, 40 utk tulang perahu, tadi (yg pegang palatto).

Biaya turunkan dr gunung 1,5 juta, biaya potong2, etc. Pokonya mahal. Jadi ke-marin bendahara sekino negosiasi ketat dng pemilik jati. Kayaknya mereka mau hemat. Tapi disisi lain, Sekino mau beli sandeq kecil seharga 2 juta hanya utk di-pakai latihan selama 2 minggu. Kemarin lusa sdh pergi lihat2 sandeq, tapi saya minta tunda dulu sbb waktu masih ada.

Hari ini ada bbrpa rencana, pergi ambil jati (kemarin blm ada truk) dan bambu. Bambu big masih kurang, jadi mau cari. menurut tukang, ada di daerah majene yg banyak bambu big.

Sisa kayu dr mamuju sdh tiba kemarin, dibawa oleh salah satu tukang gali kayu disana. Yg jg jd masalah, Sekino juga usulkan/mau tukang gali kayu yg bernama Latif dibawa ke Jepang. Saya kaget sbb Latief kayaknya tdk punya background sbg pelaut. Dan kalau pun ikut, fungsinya tdk ada. Maksud saya, kan saya dan org2 Jepang jg tdk punya pengalaman berlayar but kami punya fungsi.

Di sisi lain, utk bawa pelaut, pilihannya tdk banyak, hanya 5 org termasuk saya. Nah, kalau Laief ikut, pelaut asli yg ikut hanya 3 org padahal kita use 2 perahu. Idealnya 4 agar pelaut bisa dibagi 2: perahu pakur dan perahu "binuang" (saat ini disebut perahu binuang sbb bahan kayunya dr kayu binuang).

91

Page 93: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

B A G I A N 3

Artikel di Media

Ada selusin artikel berikut ini. Banyak pengulangan sebab saya tulis untuk me-dia yang berbeda dan waktu pemuatan berbeda pula. Sebab saya anggap pem-baca tidak memiliki informasi dasar tentang ekspedisi, maka terdapatlah duplikasi beberapa informasi.

Beberapa bagian artikel mungkin berbeda, sebab apa yang direncanakan atau diperkirakan dari awal tidak terpenuhi. Misalnya rute, tempat-tempat yang akan disinggahi, personil yang akan dilibatkan, alat-alat yang akan dibawa, dan sebagai-nya. Untuk itu, informasi tanggal pemuatan tulisan amatlah penting untuk menje-laskan “setting” kejadian. Adapun fakta atau kejadian yang terlah berlangsung, tetap demikian adanya.

Mengintip Rencana Pelayaran “Gila” Arus Hitam

www.panyingkul.com Rabu, 30-04-2008

Sebuah rencana “gila” digelar penjelajah kenamaan dunia dari Jepang, Prof. Sekino Yoshihara: melakukan napak tilas laut penyebaran manusia purba dari Se-latan menuju kepulauan Jepang, dengan menggunakan perahu cadik tradisional. Citizen reporter Muhammad Ridwan Alimuddin yang ikut dalam survai awal ren-cana pelayaran ini menuliskan catatan berikut ini. (p!)

Rabu, 2 April 2008, sekitar satu kilometer dari pantai Pambusuang (Polman, Sulawesi Barat) perahu sandeq “Kunci Alam”, salah satu dari generasi terakhir sandeq di Mandar yang masih digunakan untuk menangkap ikan, berlayar mem-belah Teluk Mandar. Pelayaran kali ini istimewa. Awak berbeda, tujuan juga ber-beda.

92

Page 94: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Awaknya terdiri dari lima orang Mandar (kecuali saya, yang lain adalah pe-laut), satu orang Salemo (dosen di Universitas Gorontalo), satu orang Yogya (dosen UGM), dan enam orang Jepang (dua orang berumur 50an, lainnya diba-wah 30 tahun).

Secara bergantian, orang-orang Jepang yang baru pertama kali mengenal dan berlayar dengan sandeq tersebut, mencoba atraksi paling menantang di atas san-deq, “mattimbang”, yakni menjadikan tubuh kita sebagai bahan pemberat agar perahu tidak terbalik. Mereka berlatih dari pukul 10 sampai 12 siang.

Sekitar pukul 14.30 kami kembali lagi berlayar ke Teluk Mandar. Angin luma-yan bertiup kencang. Sesekali sandeq hampir terbalik karena sang punggawa mem-perlihatkan kepada pelaut “kagetan” kecepatan dan kelincahan sandeq.

Salah satu mahasiswa Jepang yang antusias mattimbang jatuh sampai tiga kali karena belum kuat berdiri di atas bambu licin yang bergerak menderas di atas per-mukaan Teluk Mandar ketika perahu oleng ke samping. Untung dia tetap ber-pegang pada ujung tali sehingga tubuhnya tidak tertabrak daun kemudi yang kokoh di samping buritan sandeq.

Selain “mattimbang”, mereka juga mencoba “mangguling” atau mengemudi-kan sandeq. Ini kelihatan gampang tapi susahnya bukan main. Selain harus men-getahui arah angin, kecepatan arus, kekuatan gelombang, dan kemampuan perahu, juga harus memiliki kekuatan ekstra. Bukan apa-apa, “gas dan rem-nya” sandeq adalah kontrol terhadap besar bukaan kain layar terhadap arah angin.

Lalu, mengontrol kemudi pun tidaklah seringan memegang kemudi mobil, mo-tor, becak, apalagi sepeda. Beratnya bukan main sebab leher kemudi diikat kuat ke lekukan “sanggilang” (sanggar kemudi). Begitu beratnya, otot leher akan tertarik disaat menarik atau mendorong gagang kemudi.

Saya sendiri sibuk menjadi “kaca spion” sekaligus penerjemah antara pung-gawa perahu dengan orang Jepang yang sedang belajar mengemudi. Ya, karena mengemudikan sandeq berbahaya, maka harus didampingi. Jadi kelihatannya punggawa memberi instruksi ke saya tapi sebenarnya itu ditujukan ke orang Je-pang yang berada di antara saya dan punggawa.

93

Page 95: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Kegiatan pelayaran ini adalah salah satu sesi kegiatan rombongan Jepang yang ingin mengenal kebudayaan bahari Nusantara, khususnya di pesisir barat Pulau Sulawesi.

Beberapa hari sebelumnya mereka berlayar dengan pinisi Cinta Laut menyam-bangi beberapa pulau di Kepulauan Spermonde, Kepulauan Selayar dan Boner-ate, Bira, dan Tana Beru untuk menyaksikan jenis-jenis perahu di sana serta teknik pembuatannya.

Setelah tinggal di Mandar selama tiga hari, rombongan kembali ke Makassar . Esoknya menuju Gorontalo, tinggal sepekan di sana untuk mengenal kebudayaan bahari di pesisir utara Gorontalo, baik di wilayah Provinsi Gorontalo sendiri mau-pun di Provinsi Sulawesi Utara.

Penjelajah dunia

Meski saya sudah beberapa kali berlayar dengan orang Jepang baik dengan pin-isi maupun dengan sandeq, mulai dari mahasiswa hingga peneliti, kali ini ada yang luar biasa. Sebabnya, salah satu awak atau pemimpin rombongan dari Je-pang adalah seorang yang amat terkenal di Jepang, khususnya di komunitas penje-lajah. Dia adalah Professor Sekino Yoshihara, dosen Mushashino Art University (semacam ISI atau IKJ-nya Jepang) dan telah menulis lebih dari 40 buku.

Prof. Sekino telah menapaktilasi secara terbalik rute penyebaran umat manusia dari Chili di ujung selatan Amerika Selatan sampai ke Tanzania Afrika antara ta-hun 1993 sampai 2002. Kemudian, sejak tahun 2004, dia juga telah menapaki jalur perjalanan darat manusia purba yang menuju Kepulauan Jepang. Lalu Seme-nanjung Korea selesai dia telusuri dalam tahun 2005.

Hebatnya, dia melakukan itu dengan berjalan kaki, bersepeda, dan dengan perahu kayak (khususnya ketika melintasi Selat Bering, antara Rusia dan Alaska ).

Meski Prof. Sekino seorang dosen di universitas “seni”, dia adalah seorang dok-ter dan petualang. Kuliah kedokteran pun dia tempuh ketika di dalam dirinya tim-bul keinginan mengabdi di hutan Amazon, Brasil. Di hutan tropis paling terkenal tersebut dia pernah tinggal selama beberapa tahun untuk memberi layanan medis kepada suku-suku Indian.

94

Page 96: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Empat juta tahun perjalanan Homo sapiens

Penjelajahan Prof. Sekino diberi nama “The Great Journey” sebab rutenya ada-lah rute terpanjang yang dilalui oleh manusia purba Homo sapiens dalam penye-barannya mulai dari Afrika melalui darat ke seluruh bagian bumi sampai Amerika Selatan.

Menurut hasil-hasil penelitian mutakhir, manusia (Homo sapiens) pertama yang meninggalkan Afrika mencapai Semenanjung Arabia melalui bagian selatan Laut Merah.

Mereka mencapai Anak Benua India melalui Timur Tengah dan mencapai Oseania melalui Indonesia . Diperkirakan 50 sampai 60 ribu tahun lalu mereka te-lah sampai di Australia lebih dahulu sebelum menyebar di wilayah Asia lainnya.

Pada Jaman Es, ketika permukaan air laut lebih rendah, Indocina , Indonesia bagian barat dan sebagian kecil Filipina menyatu membentuk Paparan Sunda yang dianggap sebagai cikal bakal negara-negara Asia saat ini. Australia dan Pu-lau Papua ( New Guinea ) juga bergabung membentuk Paparan Sahul yang dipi-sahkan dari Paparan Sunda oleh Selat Sahul. Namun demikian beberapa kelom-pok manusia berhasil menyeberanginya dan mencapai pulau-pulau di Oseania.

Sementara itu beberapa kelompok manusia juga meninggalkan Afrika menuju Eropa melalui bagian utara Laut Merah, Asia Tengah dan Timur Jauh, tapi lebih banyak yang menuju timur ke arah Paparan Sunda karena tertarik dengan iklim yang lebih bersahabat dan alam yang subur. Kemudian tercipta koloni-koloni dan jumlah populasi meningkat. Diperkirakan bahwa dalam kurun waktu perpinda-han itu di antara mereka juga terjadi percampuran antar ras.

Kemudian pada saat terjadi pemanasan global dan es di kutub mencair, Pa-paran Sunda kemudian terbagi menjadi tiga bagian: Indocina , Indonesia, dan se-bagian Filipina. Karena semakin padatnya populasi dan semakin menyempitnya daratan akibat naiknya permukaan air laut, wajar bila beberapa kelompok dari populasi itu harus meninggalkan Paparan Sunda.

Beberapa kelompok di antaranya menuju Kepulauan Jepang melalui Cina dan Semenanjung Korea , atau langsung dari daratan Cina. Yang lainnya mendarat di

95

Page 97: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Kyushu (Jepang) melalui Indonesia , Filipina , Taiwan dan Okinawa melalui laut yang disebut dengan Rute Arus Hitam.

Napak Tilas Rute Arus Hitam

Setelah menapaktilasi rute perjalanan Homo Sapiens di darat lebih dari satu dekade, kali ini Prof. Sekino dan timnya merencanakan hal yang sama tapi lewat laut.

Menurutnya, ada tiga kemungkinan rute menuju Kepulauan Jepang yang dike-mukakan dari hasil-hasil penelitian interdisiplin antropologi fisik, arkeologi, ge-netika, palenteologi dan arkeologi budaya. Yaitu dua jalur darat: rute utara yang didasari dengan penemuan-penemuan mikrolith dan rute selatan dari Pegunun-gan Himalaya melalui China dan jalur laut dari Indonesia melalui Filipina dan Taiwan .

Akhir Maret hingga April 2008, Prof. Sekino melakukan survei dan perenca-naan untuk membuat perahu bercadik yang akan digunakannya berlayar menem-puh jalur laut yang disebut “The Black Current Route” atau Rute Arus Hitam.

Tujuan pelayaran

Tujuan dari perjalanan napak tilas sendiri adalah: menyaksikan rute laut manu-sia purba dari Selatan menuju Kepulauan Jepang, menyaksikan rute laut perjala-nan manusia dalam beradaptasi dan menyebar melalui lautan, melakukan peneli-tian terhadap masyarakat yang beradaptasi dengan lingkungan laut sepanjang rute tersebut, mengumpulkan sampel DNA penduduk di sepanjang rute laut terse-but untuk meneliti hubungan genetiknya dengan manusia Jepang, memikirkan apa yang sebenarnya dibutuhkan manusia modern dengan membuat perahu seder-hana, dan memikirkan bagaimana seharusnya peradaban masa depan diciptakan.

Manifestasi dari dua tujuan terakhir di atas adalah, pada kegiatan pelayaran nanti, perahu yang digunakan adalah perahu yang sekuno mungkin: perahu dibuat dengan hanya menggunakan parang dan cangkul (ini pun sangat terpaksa sebab menggunakan batu atau kerang pasti sangat susah dan lama). Dengan cata-tan parang dan cangkul kayu mereka buat sendiri! Dan tidak boleh menggunakan gergaji, bor, dan paku.

96

Page 98: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Tali dan layar yang berbahankan serat alam harus mereka buat sendiri, de-mikian juga perahu yang akan digunakan!

Desain perahunya adalah perahu bercadik dan bertenaga angin (layar), ukuran-nya disesuaikan dengan jumlah awak yang akan ikut pelayaran (5-8 orang), dan bisa memuat logistik. Pelayaran yang rencanananya dimulai April 2009 menda-tang akan didampingi satu kapal motor. Rencana saat ini yang menjadi pendamp-ing adalah pinisi Cinta Laut.

Karena pelayaran menempuh lautan luas selama berhari-hari, artinya bukan pelayaran main-main, Prof. Sekino dan anggota timnya akan mempersiapkan diri jauh hari sebelumnya dan akan mengikutsertakan dua pelaut asli dari Mandar.

Pada bulan Juni-Juli mereka akan kembali ke Sulawesi (saat ini belum ditentu-kan lokasi yang dipilih sebagai tempat pembuatan perahu) untuk mempersiapkan perahu dan mempelajari teknik berlayar dengan perahu bercadik dari para pelaut tradisional.

Diharapkan saat perahu selesai dan anggota tim telah memiliki keterampilan ilmu navigasi orang Austronesia menjelang akhir tahun 2008.

Rute yang akan ditempuh adalah pesisir barat Sulawesi – Kalimantan Timur (secara resmi pelayaran akan dimulai di sini sebagai batas Paparan Sunda di bagian timur) – Malaysia – Filipina – Taiwan – Okinawa .

Dari Okinawa akan digunakan jenis perahu tradisional lain untuk kemudian melanjutkan pelayaran ke pulau-pulau utama Jepang.

Bisa dikatakan, rencana kegiatan Prof. Sekino, mulai dari pembuatan perahu hingga pelayarannya, adalah pelayaran “gila”. Alasannya, berlayar sejauh ribuan mil dengan perahu berteknologi ratusan tahun lalu sepertinya tak mungkin dan seakan hanya mencari sensasi belaka. Proses pembuatan perahunya pun de-mikian.

Menurut Prof. Sekino, “Ya, tidak mungkin kita kembali hidup di Jaman Batu, tetapi peradaban kita saat ini juga sepenuhnya tidak dapat dikatakan lebih baik!”.

Ya, kita tunggu pelayaran “gila” sang penjelajah dunia!

97

Page 99: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

The Sea Great Journey: Pelayaran Mandar - Okinawa

Harian Radar Sulbar, Rabu, 17 Desember 2008

Maret - April 2007 lalu, beberapa orang Jepang melakukan kunjungan ke be-berapa daerah di Indonesia bagian tengah untuk mengenal kebudayaan bahari masyarakat setempat, khususnya cara pembuatan perahu, jenis-jenis perahu yang digunakan, dan teknik navigasi perahu.

Awal perjalanan dimulai dari Tana Beru (Bulukumba), beberapa pulau di Se-layar, beberapa pulau di Kepulauan Spermonde di Selat Makassar (Pangkep), Karama dan Pambusuang (Polewali Mandar), pesisir utara Gorontalo yang berba-tasan dengan Sulawesi Utara, dan pesisir selatannya, tepatnya di perkampungan Bajau di Torisiaje.

Lalu pada Juli 2008 berkunjung ke kampung nelayan yang terkenal dengan tra-disi pemburuan ikan paus, di Lamalera, Nusa Tenggara Timur.

Kegiatan tersebut di atas merupakan bagian kegiatan proyek “gila” The Sea Great Journey: The Black Current Route (Perjalanan Besar: Rute Arus Hitam), yaitu ekspedisi laut dari Paparan Sunda ke Kepulauan Jepang yang dipimpin Pro-fessor Sekino Yoshihara, guru besar antropologi budaya di Mushashino Art Uni-versity, Tokyo dan telah menulis lebih dari 40 buku.

Dia lulus (hukum) dari Hitotsubashi pada tahun 1975, dan (kedokteran) dari Universitas Yokohama City pada tahun 1982. Saat ini, selain sebagai dosen huma-niora juga bekerja sebagai dokter di sebuah rumahsakit di pinggir kota Tokyo.

Prof. Sekino telah menapaktilasi secara terbalik rute penyebaran umat manusia dari Chili di ujung selatan Amerika Selatan sampai ke Tanzania Afrika antara ta-hun 1993 sampai 2002. Kemudian, sejak tahun 2004, dia juga telah menapaki jalur perjalanan darat manusia purba yang menuju Kepulauan Jepang. Lalu Seme-nanjung Korea selesai dia telusuri dalam tahun 2005.

Hebatnya, dia melakukan itu dengan berjalan kaki, bersepeda, kendaraan di salju yang ditarik binatang, dan dengan perahu kayak (khususnya ketika melintasi Selat Bering, antara Alaska dan Rusia).

98

Page 100: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Meski Prof. Sekino seorang dosen di universitas “seni” yang mengajar mata ku-liah tentang humaniora, dia adalah seorang dokter dan petualang. Kuliah kedok-teran pun dia tempuh ketika di dalam dirinya timbul keinginan mengabdi di hu-tan Amazon, Brasil. Di hutan tropis paling terkenal tersebut dia pernah tinggal se-lama beberapa tahun untuk memberi layanan medis kepada suku-suku Indian.

Akhirnya, dari survei yang dilakukan di beberapa daerah, kebudayaan bahari Mandar dipilih sebagai “alat” yang diharapkan dapat mewujudkan The Great Journey melalui laut. Dari perbandingan beberapa daerah yang dikunjungi, disim-pulkan teknologi pembuatan perahu oleh orang Mandar masih banyak memiliki unsur tradisional yang juga digunakan pelayar-pelayar purba, setidaknya penggu-naan layar. Meski demikian itu tidak berarti teknologi dan teknik berlayar orang Mandar tidak mumpuni, malah sebaliknya.

Berdasar dari beberapa referensi/buku, masukan dari kolega Prof. Sekino di Je-pang dan ahli perahu Nusantara, dan pengamatan di lapangan (praktek berlayar bersama sandeq), kebudayaan maritim Mandar-lah yang bisa mewujudkan cita-cita napak tilas penyebaran umat manusia melalui laut. Sebab orang-orang Man-dar masih menggunakan perahu layar untuk mengarungi lautan luas, perahu ber-cadik buatannya tangkas dan kuat, dan pelaut-pelautnya pun pemberani. Seti-daknya itu tercermin dari even Sandeq Race yang hasil dokumentasinya dipelajari oleh tim The Sea Great Journey dan mereka pun sempat menyaksikan salah satu etape Sandeq Race 2008.

Tujuan pelayaran

Tujuan dari perjalanan napak tilas sendiri adalah: menyaksikan rute laut manu-sia purba dari selatan menuju Kepulauan Jepang, menyaksikan rute laut perjala-nan manusia dalam beradaptasi dan menyebar melalui lautan, melakukan peneli-tian terhadap masyarakat yang beradaptasi dengan lingkungan laut sepanjang rute tersebut, mengumpulkan sampel DNA penduduk di sepanjang rute laut terse-but untuk meneliti hubungan genetiknya dengan manusia Jepang, memikirkan apa yang sebenarnya dibutuhkan manusia modern dengan membuat perahu seder-hana, dan memikirkan bagaimana seharusnya peradaban masa depan diciptakan.

Empat juta tahun perjalanan Homo sapiens

99

Page 101: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Penjelajahan Prof. Sekino secara umum diberi nama “The Great Journey” se-bab rutenya adalah rute terpanjang yang dilalui oleh manusia purba Homo sapi-ens dalam penyebarannya mulai dari Afrika melalui darat ke seluruh bagian bumi sampai Amerika Selatan.

Menurut hasil-hasil penelitian mutakhir, manusia (Homo sapiens) pertama yang meninggalkan Afrika mencapai Semenanjung Arabia melalui bagian selatan Laut Merah.

Mereka mencapai Anak Benua India melalui Timur Tengah dan mencapai Oseania melalui Indonesia. Diperkirakan 50 sampai 60 ribu tahun lalu mereka te-lah sampai di Australia lebih dahulu sebelum menyebar di wilayah Asia lainnya.

Pada Jaman Es, ketika permukaan air laut lebih rendah, Indocina, Indonesia bagian barat dan sebagian kecil Filipina menyatu membentuk Paparan Sunda yang dianggap sebagai cikal bakal negara-negara Asia saat ini. Australia dan Pu-lau Papua (New Guinea) juga bergabung membentuk Paparan Sahul yang dipisah-kan dari Paparan Sunda oleh Selat Sahul. Namun demikian beberapa kelompok manusia berhasil menyeberanginya dan mencapai pulau-pulau di Oseania.

Sementara itu beberapa kelompok manusia juga meninggalkan Afrika menuju Eropa melalui bagian utara Laut Merah, Asia Tengah dan Timur Jauh, tapi lebih banyak yang menuju timur ke arah Paparan Sunda karena tertarik dengan iklim yang lebih bersahabat dan alam yang subur. Kemudian tercipta koloni-koloni dan jumlah populasi meningkat. Diperkirakan bahwa dalam kurun waktu perpinda-han itu di antara mereka juga terjadi percampuran antar ras.

Kemudian pada saat terjadi pemanasan global dan es di kutub mencair, Pa-paran Sunda kemudian terbagi menjadi tiga bagian: Indocina, Indonesia, dan se-bagian Filipina. Karena semakin padatnya populasi dan semakin menyempitnya daratan akibat naiknya permukaan air laut, wajar bila beberapa kelompok dari populasi itu harus meninggalkan Paparan Sunda.

Beberapa kelompok di antaranya menuju Kepulauan Jepang melalui Cina dan Semenanjung Korea, atau langsung dari daratan Cina. Yang lainnya mendarat di Kyushu (Jepang) melalui Indonesia, Filipina, Taiwan dan Okinawa melalui laut yang disebut dengan Rute Arus Hitam.

100

Page 102: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Napak Tilas Rute Arus Hitam

Setelah menapaktilasi rute perjalanan Homo Sapiens di darat lebih dari satu dekade, kali ini Prof. Sekino dan timnya merencanakan hal yang sama tapi lewat laut, maka perjalaan kali ini disebut “The Sea Great Journey”.

Menurutnya, ada tiga kemungkinan rute menuju Kepulauan Jepang yang dike-mukakan dari hasil-hasil penelitian interdisiplin antropologi fisik, arkeologi, ge-netika, palenteologi dan arkeologi budaya. Yaitu dua jalur darat: rute utara yang didasari dengan penemuan-penemuan mikrolith dan rute selatan dari Pegunun-gan Himalaya melalui China dan jalur laut dari Indonesia melalui Filipina dan Taiwan .

Karena pelayaran menempuh lautan luas selama berhari-hari, artinya bukan pelayaran main-main, Prof. Sekino dan anggota timnya akan mempersiapkan diri jauh hari sebelumnya dan akan mengikutsertakan pelaut asli dari Mandar.

Rencananya, rute yang akan ditempuh adalah pesisir barat Sulawesi – Kalim-antan Timur (secara resmi pelayaran akan dimulai di sini sebagai batas Paparan Sunda di bagian timur) – Malaysia – Filipina – Taiwan – Okinawa.

Dari Okinawa akan digunakan jenis perahu tradisional yang dianggap mewak-ili zaman Jomon (zaman purba di Jepang) lain untuk kemudian melanjutkan pe-layaran ke pulau-pulau utama Jepang.

Bisa dikatakan, rencana kegiatan Prof. Sekino, mulai dari pembuatan perahu hingga pelayarannya, adalah kegiatan “gila”. Alasannya, berlayar sejauh 4.000 km dengan perahu berteknologi ratusan tahun lalu sepertinya tak mungkin dan seakan hanya mencari sensasi belaka. Proses pembuatan perahunya pun de-mikian. Pada penyediaan bahan baku, hanya digunakan alat-alat manual, seperti kapak, parang, dan cangkul kayu. Gergaji mesin sama sekali tak boleh digunakan.

Menurut Prof. Sekino, “Ya, tidak mungkin kita kembali hidup di Jaman Batu, tetapi peradaban kita saat ini juga sepenuhnya tidak dapat dikatakan lebih baik!”.

Perahu Yang Digunakan

Harian Radar Sulbar, Kamis, 18 Desember 2008

101

Page 103: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Ada perahu khas Mandar yang jarang dikenal masyarakat, padahal jenis perahu tersebut “lebih khas” Mandar daripada sandeq! Yaitu perahu pakur!

Di Mandar (Sulawesi Barat), tak ada lagi perahu pakur yang digunakan ber-layar. Artinya, perahu pakur sudah punah di tanah Mandar. Walau demikian, bangkainya masih bisa ditemukan saat ini. Ada satu di Manjopai’, Kecamatan Ti-nambung, Polman; satunya lagi di Luaor (biasa ditulis Luwaor), Kecamatan Pam-boang, Majene.

Bangkai pakur di Manjopai’ masih ada penutup lambung (dek) dan baratang, sedang di Luwaor, tinggal balakang-nya (kayu gelondongan yang dikeruk) saja. Melihat ukuran lambung pakur, pakur adalah jenis perahu bercadik berukuran be-sar.

Rata-rata tinggi lambung pakur lebih satu meter. Bandingkan dengan sandeq yang biasa digunakan berlomba: bekas balakang (kayu utuh yang dikeruk yang menjadi lunas perahu) pakur di Luaor tingginya lebih semeter; balakang pakur sandeq Raditya (juara Sandeq Race 2007) tak sampai 50 cm.

Pakur adalah perahu gempal: bodinya tinggi, tapi panjangnya rata-rata 8 me-ter. Sedang sandeq lomba, lambung pendek tapi ukurannya panjang, rata-rata le-bih 10 meter. Sebenarnya pakur Mandar masih bersiliweran berlayar di beberapa bagian laut Nusantara, yaitu di perbatasan Laut Jawa, Selat Makassar, dengan Laut Flores, tepatnya Laut Bali (perairan utara Bali). Koq bisa? Lalu siapa yang menggunakan pakur Mandar di sana?

Ada beberapa pulau di Kepulauan Kangean di Laut Bali (masuk wilayah ad-ministratif Provinsi Jawa Timur) yang dihuni oleh orang Mandar. Beberapa dian-taranya Pulau Pagarungan Besar, Pulau Pagarungan Kecil, dan Pulau Sakala. Se-kedar catatan, perahu Samuderaksa, replika perahu borobudur yang digunakan berlayar dari Indonesia ke Ghana, Afrika dibuat oleh orang-orang Mandar di Pu-lau Pagarungan.

Dari riset yang saya lakukan pada tahun 2005, di pulau tersebut nelayan Man-dar yang masih menggunakan perahu bercadik dan layar sebagai tenaga pen-dorong, dipastikan menggunakan pakur! Malah banyak pakur yang berasal dari Mandar.

102

Page 104: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Tapi bentuk layar yang digunakan bukan lagi jenis tanjaq (segiempat), tapi jenis lete. Nelayan di Majene biasa menyebutnya layar “tigaroda”. Meski bentuknya se-gitiga, tapi teknik penggunaan dan konstruksi tiang layarnya berbeda dengan san-deq.

Pakur adalah jenis perahu kuno. Dikatakan demikian sebab jenis layarnya ma-sih menggunakan jenis layar tanjaq, jenis layar khas Austronesia. Bentuk layar ini dapat dilihat di relief Candi Borobudur.

Seorang peneliti perahu dari Jepang, Prof. Osozawa Katsuya, jenis perahu pa-kur adalah salah satu bentuk evolusi perahu bercadik yang dibuat orang-orang Austronesia, yaitu penggunaan papan dek sebagai penutup lambung. Dari sekian banyak perahu bercadik yang ada di kawasan Austronesia (dari Pulau Madagaskar di barat hingga pulau-pulau di Samudera Pasifik di bagian timur), lambung pera-hunya tidak kedap air (tidak ada papan yang menutupi seluruh lambung). Sedang-kan pakur selangkah lebih maju: meski permukaan air sejajar dek, selama penutup dek masih tertutup rapat, perahu masih bisa melaju alias tidak tenggelam!

Ketika pelaut/nelayan/tukang perahu Mandar bersinggungan dengan teknologi pelayaran orang Eropa (karena banyak pelaut Mandar yang berlayar ke Makassar, Surabaya, hingga Tumasik/Singapura), orang Mandar mengadopsi tek-nik layar segitiga orang Eropa (yang juga terjadi pada perahu dagang orang Makassar). Maka, pada tahun-tahun 30-an, secara perlahan muncul jenis perahu baru di Mandar: sandeq.

Sandeq adalah perahu pakur yang tidak lagi menggunakan layar tanjaq, tetapi layar segitiga yang bentuknya “masandeq” (runcing), karena itu, perahu tersebut disebut “sandeq” (runcing).

Konstruksi pakur pun sedikit berubah: letak baratang (cadik) digeser lebih ke haluan dan tiang layar yang lebih tinggi. Dari teknik penggunaan, jenis layar segi-tiga lebih mudah dan lebih aman, dan yang lebih penting, relatif lebih cepat.

“Jomon”, Perahu Terkuno Saat Ini

Harian Radar Sulbar, Jumat, 19 Desember 2008

103

Page 105: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Ada dua unit perahu bercadik yang nantinya digunakan dalam pelayaran Man-dar – Jepang pada proyek The Sea Great Journey, selain pakur perahu jenis lain-nya tak ada nomenklaturnya dalam kebudayaan bahari Mandar, perahu ini diberi nama “Jomon” (kira-kira berarti “zaman pra-sejarah”). Malah yang kedua inilah menjadi pemeran utama dalam pelayaran berjarak 4.000 km ini!

Perahunya lebih kuno, tak boleh disentuh gergaji dan bor dalam proses pembu-atannya meski itu manual dan tidak ada papan tambahan untuk meninggikan lam-bung (papang tobo dalam bahasa Mandar).

Dengan kata lain, jenis perahu layar “paling kuno” (yang digunakan manusia bermigrasi) pada dasarnya tidak diketahui persis bentuknya. Alatnya juga. Untuk itu diambil jalan tengah: dibuat perahu yang dianggap kuno dengan cara paling tradisional yang bisa dilakukan tukang perahu setempat.

Maka dibuatlah perahu yang hanya menggunakan satu batang kayu berukuran panjang sekitar tujuh meter, lebar dan tinggi lebih satu meter, kemudian digali. Demi alasan keamanan, dipasangi papan dek atau penutup lambung (bisa diperki-rakan bagian ini tidak ada pada perahu-perahu jaman dulu) dan cadik (agar perahu tidak mudah terbalik).

Lalu cara pembuatannya digunakan cara paling tradisional namun tetap bisa dilakukan: hanya boleh menggunakan kapak, cangkul kayu, parang, dan ketam. Dengan hanya menggunakan alat ini, tukang perahu masih mampu. Beda bila hanya menggunakan batu, sebagaimana teknologi ribuan tahun lalu.

Gergaji, bor baik manual maupun listrik tidak boleh digunakan. Jadi bisa dibay-angkan begitu rumitnya pembuatan perahu ini sebab tukang-tukang sudah amat terbiasa menggunakan alat-alat modern. Ya, bor listrik masih bisa ditoleransi se-bab masih baru. Tapi bagaimana dengan gergaji? Bukankah gergaji sudah ada jauh sebelum tukang perahu yang membuat perahu saat ini lahir?

Sebagai alat pemotong digunakan parang atau kampak atau pahat. Agar rata/halus, digunakan ketam.

Perahu ini bentuknya amat sederhana: hanya kayu yang digali dan ditutupi dek. Tidak ada papan tambahan atau papang tombo/tobo, tak ada pa’lea atau

104

Page 106: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

sangawing (papan tambahan yang akan menjadi haluan/buritan perahu), dan tak ada paccong (ujung perahu yang menonjol ke atas). Bagian-bagian tersebut selalu ada pada perahu-perahu bercadik di Mandar.

Jadi, perahu utama yang digunakan bukanlah perahu khas Mandar yang per-nah kita kenal/ketahui. Maksudnya, sejauh penggalian referensi baik pustaka mau-pun informasi masyarakat setempat, bentuk perahu demikian tidak dikenal di Mandar saat ini. Tapi waktu-waktu lampau mungkin saja ada sebab pada dasarnya evolusi perahu bercadik selalu bermula dari kayu yang digali. Dan ini pasti ada di Mandar. Meski demikian, ada yang pelaut Mandar perahu “Jomon” mirip olanmesa dan bilolang.

Namun itu untuk bagian tubuh/lambung perahu saja. Konstruksi cadik dan ka-tir mengandung kekhasan budaya bahari Mandar dalam unsur pengetahuan dan teknologi. Itu dapat dilihat dalam cara/bentuk ikatan antara cadik dengan katir. Demikian juga sanggar kemudi di bagian buritan, masih menerapkan teknologi pembuatan perahu Mandar.

Sewaktu penebangan kayu, rencananya perahu utama akan dibuat menyerupai perahu bercadik Mandar yang paling tua: olanmesa. Jenis perahu inilah yang ter-dapat pada logo Kabupaten Majene.

Ukuran olanmesa lebih pendek daripada pakur, tapi sama-sama menggunakan jenis layar tanjaq. Perbedaan mencolok antara pakur dengan olanmesa adalah pada ujung haluan/buritan perahu. Olanmesa runcing paccongnya dan sudut antara lunas dengan sisi haluan buritan membentuk sudut 90 derajat. Dan olan-mesa pun tidak menggunakan penutup lambung atau papan dek (karena alasan ini, olanmesa dianggap sebagai perahu penangkap ikan saja dan sepertinya tidak digunakan berniaga).

Tapi karena bahan kayu mengalami kerusakan (lapuk) pada beberapa bagian, bentuk olanmesa tak bisa diikuti. Belakangan diputuskan tak ada tambahan apapun pada bagian haluan/buritan perahu (sebab mengikuti konsep kekunoan), pokoknya rata saja. Tak ada paccong. Jadi kriteria untuk disebut olanmesa tak me-menuhi.

105

Page 107: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Layar pun begitu. Bila di perahu pakur akan digunakan jenis layar tanjaq (perahu olanmesa juga menggunakan layar tanjaq), pada perahu utama ini akan digunakan layar lete dan layar sandeq ukuran kecil. Artinya apa, semakin jelas bahwa jenis perahu dengan konstruksi demikian “tidak dikenal” di Mandar.

Kesimpulan dalam hal ini, pada dasarnya ekspedisi The Great Journey versi laut tidak semata-mata berdasar pada kebudayaan Mandar, khususnya pada ben-tuk perahu utama. Ini perlu ditekankan agar tidak terjadi kesalahpahaman, baik di masyarakat Mandar sendiri maupun di luar Mandar.

Kegiatan pelayaran The Sea Great Journey berdasar pada konsep “menggu-nakan cara kuno” ketika menyiapkan bahan, membuat perahu, dan dikala me-layarkannya. Dasar ilmiahnya sangat terbuka untuk diperdebatkan atau dipertan-yakan.

“Apakah bentuk perahu yang dibuat sama dengan bentuk perahu yang digu-nakan bermigrasi?”, “Betulkan orang Mandar yang membuat atau bermigrasi?”, “Mengapa tidak membuat perahu yang dalam pustaka merupakan perahu paling kuno yang pernah dikenal?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain.

Jadi, semangat The Sea Great Journey bukan semata-mata pada dasar ilmiah atau tidaknya. Sangat sulit (mungkin mustahil?) untuk melakukan hal itu. Pertama, tidak diketahui bentuk perahu apa yang digunakan, kayunya apa, perahunya dibuat di mana. Kedua, bisakah dipakai berlayar. Kedua, bisakah dipakai berlayar dengan tetap mengutamakan keselamatan orang yang berlayar. Ya, kita anggap perahu kuno hanya sebatang kayu yang digali atau sekumpulan batang bambu (rakit). Tapi bisakah itu dipakai sampai ke Jepang dalam waktu singkat?

Alasan lain, migrasi umat manusia pada dasarnya berlangsung ribuan tahun, bertahap. Tidak sekaligus dalam tiga bulan dari Nusantara ke Jepang, sebagai-mana rencana lama pelayaran tim The Sea Great Journey.

Jenis perahunya pasti beda-beda, sebab di setiap tempat yang dilalui/disinggahi pasti dikembangkan teknologi agar bisa sesuai dengan kondisi setem-pat.

106

Page 108: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Walau dasar ilmiahnya “tidak kuat” (khususnya dalam bentuk perahu utama yang digunakan), semangat ilmiah sangat mendasari dalam proyek ini. Semua yang terlibat berlatarbelakang perguruan tinggi. Ada riset sebelum memulai proyek, ada diskusi, perdebatan, permintaan masukan dari ahli budaya maritim, dan prinsip-prinsip ilmiah lainnya.

Jejaring Kampung Dalam Budaya Bahari Di Mandar

Harian Radar Sulbar, Sabtu, 20 Desember 2008

Beberapa ekspedisi bertema maritim yang pernah berlangsung di Sulawesi Ba-rat, sepengetahuan saya, selalu di Kabupaten Polewali Mandar (dulu Polewali Ma-masa).

Oleh Yamamoto, yang dua kali membuat perahu di Mandar, ekspedisi perta-manya (kurang lebih 20 tahun lalu) bertempat di Kampung Baru, perkampungan kecil di perbatasan Majene – Polmas (kala masih tergabung di Sulawesi Selatan), dan kedua di Pambusuang (2005 dan 2007).

Seorang Perancis yang pernah melayarkan sandeq ke Thailand, juga berangkat dari Pambusuang. Ekspedisi sandeq KORPALA (Korps Pecinta Alam) Universitas Hasanuddin menuju Brunai Darussalam dan Malaysia juga berangkat dari Pam-busuang (1995).

Tidak dipungkiri, Pambusuang penuh dengan pelaut ulung yang lihai melayar-kan sandeq layak untuk diajak berpetualan di laut. Demikian juga kampung-kampung pesisir disekitarnya.

Berangkat dari Majene, Mamuju, dan Mamuju Utara (Mamasa tidak usah di-masukkan sebab letaknya di pegunungan) kayaknya belum pernah. Bila berbasis pada budaya kemaritiman, memang hanya ada dua tempat yang bisa dijadikan lo-kasi pembuatan perahu dan tempat berangkat: Polman dan Majene.

Sebab di kedua kabupaten itu bermukim pelaut-pelaut Mandar dan tukang-tukang perahu, khususnya pembuatan perahu bercadik. Walau ada di daerah lain, pada dasarnya mereka berasal dari kampung-kampung nelayan di Polman dan Majene.

107

Page 109: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Tapi, tidak serta merta kampung-kampung lain di luar Pambusuang dan seki-tarnya tak ada peran. Malah sebaliknya, amat penting. Rasanya, keulunan pelaut di Pambusuang tak ada arti apa-apa tanpa ada keterlibatan orang-orang dan keahlian dari daerah atau kampung lain.

Nah, sekarang saya mencoba untuk merunut “jaring-jaring kebudayaan bahari Mandar”, dari gunung ke pantai; dari hutan ke laut. Saya mengambil kasus yang terjadi dalam kegiatan The Sea Great Journey yang pada proses penyiapan bahan dan proses pembuatan berbasis pada tradisi pembuatan perahu Mandar.

Bagian dasar perahu disebut balakang atau belang (dalam bahasa Mandar, belang juga diartikan sebagai telanjang atau tak mengenakan apa-apa). Bagian ini berasal dari Desa Muhajir, sekitar 30 km sebelum sampai ke ibukota Kecamatan Korossa, Mamuju (atau sekitar 600 km dari Makassar); dari pantai sekitar 3 km.

Meski relatif dekat dengan pantai, Muhajir adalah kampung para petani ke-bun (coklat, kelapa, kelapa sawit, dll). Penduduk Muhajir amat besar perannya da-lam membantu proses pemindahan balakang dari hutan ke laut. Kebanyakan or-ang yang tinggal di sini merupakan anak cucu dari para migran dari daerah lain, Majene, Polman, Palopo, dan beberapa orang Bugis. Dari tempat ini juga berasal bahan kayu untuk bagian-bagian perahu yang lain, papan tobo, papan dek, dan rotan.

Berikutnya adalah Pulau Kambunong, pulau kecil tak jauh dari jalan trans Su-lawesi. Masih masuk Kecamatan Korossa. Di pulau ini bermukim para ahli penge-ruk kayu gelondongan atau pembuat balakang. Menurut salah seorang pembuat balakang, yang ahli membuat balakang untuk perahu bercadik besar hanya bisa dihitung jari.

Orang Kambunong amat terkenal di kalangan pelaut dan tukang perahu Man-dar yang tinggal di sekitar muara Sungai Mandar (sekitar 500 km ke arah selatan dari Kambunong). Konon, orang Kambunong punya ilmu melembekkan kayu, yang bisa mereka gunakan ketika membuat balakang. Kayu yang tadinya keras bisa lembek bak batang pohon pisang ketika digali. Wow hebat!

Tapi ada efek negatif bila mempraktekkan ilmu itu: perahu cepat rusak, rezeki sedikit. Jadi jarang digunakan.

108

Page 110: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Sebelum orang Jepang menuju hutan Mamuju di Muhajir untuk mengusa-hakan kayu yang akan dibuat perahu, mereka terlebih dahulu mengenal, mempela-jari dan menjiwai kebudayaan bahari Mandar. Di kampung manakah orang Je-pang melakukannya?

Kampung yang dipercaya bisa menfasilitasi orang Jepang mengenal lebih da-lam kebudayaan bahari Mandar adalah Dusun Lambe, Desa Karama, Polewali Mandar.

Lambe adalah dusun kecil yang mana dari dusun kecil di berjarak kurang sekilo dari muara Sungai Mandar ini bermukim pelaut-pelaut tangguh yang tak diragukan lagi, yaitu awak sandeq-sandeq tercepat (dalam kegiatan lomba perahu sandeq, Sandeq Race) di Mandar: Masya Allah, Lincah, Sempurna, dan Tung-gang Samudra.

Bukan hanya kegesitan dan kelincahan yang dimiliki pelaut-pelaut di Lambe, mereka dan keluarganya pun ramah terhadap orang asing, senang membantu, ter-buka, dan gampang akrab.

Di Lambe juga terdapat industri tradisional Mandar yang amat signifikan per-annya dalam kebudayaan bahari Mandar, yaitu kegiatan pembuatan tali. Hampir semua orang di Lambe, termasuk gadis kecil yang masih sekolah di TK, punya ket-erampilan dasar membuat tali.

Nah, di Lambe anggota tim The Sea Great Journey belajar melaut (melayar-kan sandeq ukuran kecil) dan mengenal proses pembuatan tali. Bukan hanya itu, di Lambe mereka juga menyaksikan beberapa bentuk kebudayaan Mandar: perni-kahan, tradisi di bulan puasa, saeyyang pattu’du, syukuran, dan lain-lain.

Lambe menjadi basis kegiatan tim The Sea Great Journey ketika mempersiap-kan bahan baku perahu. Dari sini berkembang informasi bahan-bahan kayu, bambu, rotan dan layar berasal dari mana.

Pada bulan Ramadhan 1429 lalu, tim The Sea Great Journey melakukan aktivi-tas pengumpulan bambu. Bambu kecil mereka ambil dari Desa Allu, Kecamatan Allu, Polewali Mandar. Bersama petani bambu di sana, orang Jepang menebang

109

Page 111: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

sendiri bambu dan bersama dua orang Allu, merakitkan sendiri bambunya hingga sampai di muara Sungai Mandar.

Adapun bambu untuk bahan palatto (katir), lokasi yang dituju adalah Mamasa, daerah yang rasa-rasanya tak ada kaitan dengan kebudayaan bahari Mandar, tapi ternyata amat penting perannya. Ya, harga bambu hanya 50ribuan di Mamasa, tapi biaya angkut ke pantai amat mahal. Itulah sebabnya harga palatto yang pas untuk sandeq ukuran besar cukup mahal: Rp 1 juta untuk satu batang bambu!

Kampung berikutnya yang tak pernah dikenal di permukaan tapi amat besar perannya dalam kebudayaan bahari Mandar di masa lampau adalah kampung Lanu, sekitar 2 km dari Desa Sumarrang, Kecamatan Campalagian (masuk wi-layah Botto), Polewali Mandar. Kampung Lanu dulunya adalah penghasil bahan baku layar tradisional yang digunakan pelaut Mandar: layar karoro’.

Begitu banyaknya pohon lanu (janurnya adalah bahan dasar pembuatan pap-pas [benang dari serat alam], kayang [atap], dan karoro [tenunan yang terbuat dari pappas]), kawasan tersebut disebut Kappung Lanu. Tapi itu dulu, sekarang pohon lanu tidak begitu banyak karena sebagian besar dipotong. Alasannya, indus-tri pembuatan layar karoro sudah punah. Jadi buat apa pohon lanu dipelihara banyak-banyak? Kan lebih baik lahan digunakan untuk bertanam padi. Itu alasan penduduk di Lanu.

Untung, masih bisa mendapati perempuan-perempuan di Lanu yang bisa me-nenun serat pappas untuk dibuat lembar-lembar karoro. Ternyata di zaman mille-nium ini masih bisa menyaksikan salah satu teknologi penting dalam kebudayaan maritim.

Berikutnya adalah Luaor, kampung pelaut di Kecamatan Pamboang, Kabu-paten Majene. Di tempat inilah perahu dibuat! Mengapa Luaor? Satu-satunya kampung di Mandar yang kaum lelakinya masih banyak yang bisa melayarkan perahu berlayar tanjaq adalah Luaor. Alasannnya, kampung inilah kampung tera-khir di Mandar yang nelayan dan pelautnya menggunakan pakur.

Pakur terakhir di Luaor “mati” setidaknya 4-5 tahun lalu, relatif belum lama. Jadi, nelayan yang melayarkannya masih ada. Di Luaor juga banyak tukang-tukang perahu, khususnya pembuat perahu niaga dan perahu bercadik kecil. Ke-

110

Page 112: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

simpulannya, Luaor merupakan tempat yang tepat untuk membuat perahu berca-dik yang menggunakan layar tanjaq/lete dan pelautnya masih ada yang bisa me-layarkan pakur.

Kampung lain yang berperan serta menyumbangkan sumberdayanya adalah Parabaya, kampung kecil berjarak sekitar 50 km ke arah utara dari Luaor atau 6 km dari Baturoro. Dari tempat ini, jati yang akan dibuat baratang, tanjoq, kalan-dara, pa’lea, tadi’, dan guling (kemudi) berasal.

Demikianlah jejaring antar kampung yang berperan penting dalam kegiatan The Sea Great Journey, pelayaran perahu bercadik Mandar ke Jepang.

Para Pelayar dan Rutenya

Harian Radar Sulbar, Senin, 22 Desember 2008

Setelah melalui proses pembuatan selama dua bulan oleh sekitar 15 orang tu-kang perahu di Luaor, saatnya perahu pakur dan “Jomon” dipersiapkan untuk me-lalui perjalanan panjang melalui laut, 4.000 km, yaitu berangkat dari Dusun Lambe, Desa Karama, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat.

Di salah satu kampung nelayan di Mandar ini, orang Mandar akan beker-jasama dengan orang Jepang mempersiapkan pelayaran, baik dalam bentuk lati-han melayarkan perahu maupun persiapan non-teknis lainnya, misalnya menjalin hubungan agar lebih akrab.

Sewaktu dilayarkan dari tempat pembuatan (Desa Luaor), yang berjarak kira-kira 15 km, waktu tempuh pakur sekitar 2 jam dan 4 jam untuk “Jomon”. Ber-beda kecepatan sebab ukuran layar pakur jauh lebih besar dari pada layar “Jo-mon”. Namun itu bukanlah kecepatan maksimal, sebab sewaktu dilayarkan, kekua-tan angin belumlah ideal.

Meski tergolong lambat, itu bukan masalah sebab dalam ekspedisi The Sea Great Journey tidak mengutamakan kecepatan perahu, melainkan konsep yang digunakan. Dengan kata lain, jika mengutamakan kecepatan, maka konsep tentu dikorbankan. Sebab kalau mau cepat, perahu tentu dibuat ringan (yang akan men-gurangi kekuatan!), dibuat lebih halus (akan dicet?), dan akan menggunakan alat-

111

Page 113: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

alat sintetis, misalnya untuk layar dan tali-temali. Tapi bukan itu yang diuta-makan, melainkan konsep kekunoannya.

Ekspedisi diikuti empat orang Jepang: Prof. Yoshiharu Sekino (60), Tanigawa Junichiro (55), dua mahasiswa dari Mushashino Art University, yaitu Sato Yohei (26) dan Maeda Jiro (26); dua peneliti kemaritiman: Azis Salam (35) dari Universi-tas Negeri Gorontalo dan Muhammad Ridwan Alimuddin (30), peneliti/saya men-genai kebudayaan bahari; dan enam pelaut Mandar Gusman Harun, Danial Ca-dang, Abdul Latif, Zainuddin, Jabir Yongnge, dan Irsan Tari. Tim akan dibagi dua, di pakur dan “Jomon”. Meski dibagi dua, pembagian kelompok tidak kaku, melainkan digilir atau di-rolling.

Pelaut Mandar yang ikut sebagian besar adalah “alumni” lomba perahu terce-pat, terjauh, terkeras di dunia: Sandeq Race. Yaitu Gusman, Danial, dan Irsan. Zainuddin dan Jabir tidak perah ikut Sandeq Race tapi lihai melayarkan sandeq dan perahu bercadik yang menggunakan layar jenis tanjaq. Adapun Abdul Latief, sebenarnya bukan pelaut. Dia adalah ahli menggunakan gergaji mesin. Saya dan orang Jepang mengenalnya ketika mengambil bakal kayu di daerah Mamuju. Si-kapnya yang baik membuat orang Jepang terkesan sehingga dia diajak serta ber-layar.

Pelayaran dimulai pada 13 April 2009. Dua unit perahu yang lambungnya ber-warna putih (sebab dilapisi cat alami yang terbuat dari campuran bubuk batu ka-pur dan minyak kelapa) akan menyusuri pesisir barat Pulau Sulawesi, dari Teluk Mandar hingga perairan Toli-toli.

Dari Toli-toli, perahu akan menyeberang ke Pulau Kalimantan untuk selanjut-nya melintasi pulau-pulau yang banyak terdapat di antara Malaysia dan Filipina. Setelah menyusuri Kepulauan Filipina bagian barat, perahu akan menyeberang lebih ke utara yaitu Kepulaun Taiwan.

Penyeberangan ke Taiwan merupakan kegiatan melintasi lautan lepas, yaitu Ce-lah Bashi atau Selat Luzon, yang kedua (yang pertama Selat Makassar). Jaraknya sekitar 150 km. Rata-rata diperlukan waktu sepekan untuk menempuh jarak de-mikian. Artinya, selama sepekan perahu yang tak bermesin akan berada di tengah

112

Page 114: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

lautan. Dari sini, perahu akan sudah berada dalam kawasan iklim yang berbeda, sebab sudah berada di area sub-tropik.

Setelah menyusuri pesisir timur Taiwan, pakur dan “Jomon” akan menuju Ke-pulaun Ryuku. Bagian pertama akan melintasi bagian kepulauan ini di bagian sela-tan barat daya. Dari pulau paling timur (Miyako Jima) perahu akan menuju Pulau Okinawa, yang juga merupakan rute terakhir ekspedisi The Sea Great Journey. Rute ini terjauh ketiga atau terakhir, jadi mungkin bagian paling berbahaya. Dise-but demikian sebab di kawasan ini sering melintas angin topan (taifun)!

Sebagai perahu utama yang terhadapnya dibebani konsep kekunoan, di atas “Jomon” diminimalkan teknologi modern, baik yang berhubungan langsung den-gan peralatan berlayar maupun alat pendukung teknis, misalnya komputer. Arti-nya, alat-alat modern yang bisa tidak ada atau tidak terlalu penting ditiadakan di atas “Jomon”. Namun alat-alat keselamatan, seperti perahu sekoci (yang ukuran paketnya kecil tetapi ketika ditarik tali akan menjadi perahu yang bisa memuat 6 orang), alat komunikasi, dan peralatan logistik (untuk memasak) tetap ada.

Adapun peralatan pendukung lainnya yang bisa dikategorikan canggih ditem-patkan di perahu pakur. Jadi, pakur sebenarnya adalah pendamping atau perahu pendukung. Meski demikian, teknik pembuatan pakur tidak jauh beda dengan “Jo-mon”. Yang membedakan, pada pakur bisa digunakan bor dan gergaji.

Pada tahap awal pelayaran, yaitu dari Teluk Mandar sampai ke Tanjung Mang-kalihat (ujung paling timur Pulau Kalimantan) orang-orang Jepang akan mempela-jari teknik-teknik pelayaran pelaut Mandar. Asumsinya, setelah belajar selama be-berapa pekan, mereka akan bisa melayarkan sendiri perahu tanpa dukungan ban-yak dari pelaut Mandar.

Bila orang Jepang sudah terampil dalam melayarkan perahu, semua orang Je-pang dan satu orang pelaut Mandar akan berada di atas “Jomon” dan melayarkan-nya sampai ke Okinawa. Adapun orang-orang Indonesia akan mengikuti/mendampingi dari atas perahu pakur. Namun ini adalah rencana saat ini, realitas di lapangan mungkin saja berbeda.

Lama tempuh dari satu tempat ke tempat yang lain sulit untuk diperkirakan saat ini. Alasanya, kecepatan perahu dan kondisi fisik lautan tidaklah sama. Jadi

113

Page 115: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

bisa saja, misalnya jarak 10km, dapat ditempuh dalam waktu lima jam, bisa juga dua hari! Ya, tergantung pada angin dan kondisi laut.

Angin kencang pun tidak serta merta akan melajukan perahu. Sebab bila ter-lalu kencang, akan membahayakan pelayaran. Untuk itu, biasanya, layar akan digulung dan jalannya perahu tergantung arus.

Pelayaran juga tidak berlangsung cepat sebab direncanakan, sewaktu menyusuri pesisir pulau-pulau, perahu akan berlabuh di kala malam. Dan akan melanjutkan pelayaran ketika kondisi terang. Alasannya, bila berlayar malam di ka-wasan pesisir sedikit berbahaya sebab ada banyak karang. Tapi bila kondisi aman, bisa saja perahu tetap berlayar.

Ekspedisi The Sea Great Journey adalah petualangan laut yang kesekian yang pernah berlangsung di Indonesia, benua maritim. Dari semua kegiatan ekspedisi ada beberapa kesamaan, salah satunya, semuanya direncanakan oleh orang asing! Ya, pembaca bisa lihat sendiri, misalnya ekspedisi perahu Borobudur, yang pi-onirnya adalah pelaut Eropa. Ekspedisi pelayaran beberapa perahu tradisional dari Nusantara ke Jepang pun dilaksanakan oleh orang Jepang. Adakah ekspedisi antar negara yang dilakoni sendiri oleh orang Indonesia?

Ada banyak dalih yang bisa dikemukakan mengapa itu bisa terjadi. Memang bukan hal negatif bila orang asing yang melaksanakannya, tapi itu merupakan se-buah ironi. Maksudnya, kita bangsa Indonesia selalu mengklaim diri sebagai cucu pelaut ulung. Tapi buktinya apa? Ya, kita tidak harus menjadi pelaut ulung, tapi paling tidak ada semangat petulangan di laut sebagaimana yang dimiliki orang as-ing.

Memang orang asing “tidak bisa apa-apa” tanpa peran pelaut pribumi, tapi hal itu biasanya tertutupi oleh peran pelaksana utama. Sebab merekalah yang meng-idekan, membiayai, dan melaksanakan ekspedisi. Adapun orang Indonesia “hanya” ikut saja. Jadi sangat wajar jika peran orang asing lebih berharga.

Untuk itu, masyarakat Indonesia harus berterima kasih kepada orang asing yang kegiatan mereka baik langsung maupun tidak langsung telah membantu pele-starian dan pendokumentasin kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan ba-

114

Page 116: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

hari. Di sisi lain, kita harus mengambil banyak pelajaran dari apa yang telah mereka lakukan buat bangsa dan kebudayaan kita.

Ambalat, Manohara dan Perahu Cadik

www.panyingkul.com, Senin, 08-06-2009

Berita bebasnya Manohara nampak di semua layar televisi di ruang tunggu Bandara Sepinggan, Balikpapan. Saya mendekati salah satu televisi. Suara yang keluar dari kotak kaca itu begitu sayup. Saya harus mendongakkan kepala agar bisa menangkap audio dan visualnya. Proses pembebasan model belia itu diberi-takan dramatis oleh media. Katanya melibatkan FBI. Entah betul atau tidak.

Beberapa saat setelah penumpang tujuan Surabaya bergerak menuju pesawat, suasana ruang tunggu sepi. Petugas kebersihan memunguti sampah yang ditinggal-kan penumpang. Koran baru pun dianggap sampah. Karena hari ini (Minggu, 31 Mei 2009), saya belum mengetahui kejadian-kejadian kemarin (karena saya berada di laut), sontak saya meminta koran yang akan dibuangnya. Ada berita ten-tang Ambalat, konflik perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Pikiran pun langsung merangkai benang merah antara konflik Blok Ambalat dengan kegiatan ekspedisi pelayaran yang saya terlibat di dalamnya: The Sea Great Journey. (SGJ)

Hal ini menarik, sebab paling cepat tim ekspedisi SGJ akan melewati perba-tasan Indonesia – Malaysia, tak jauh dari episentrum konflik: Blok Ambalat.

Apakah konflik ini menghambat perjalanan ekspedisi? Rasanya tidak. Bagi saya, melintasi perbatasan antar negara lewat laut, tak jauh beda dengan udara dan darat. Apakah gara-gara kasus Ambalat penerbangan antar bandara di Ma-laysia dengan Indonesia tertahan? Apakah pintu-pintu perbatasan di darat juga di-tutup? Rasa-rasanya tidak. Nah, begitu juga lewat laut. Selama ada dokumen resmi, kenapa harus ditahan?

Terus terang, dalam hati kecil saya ada keinginan yang “nakal”: perahu cadik kuno, rapuh, udik atau “kampungan” yang kami gunakan melintas tenang di antara garis depan pertempuran Malaysia – Indonesia. Ah, kalau itu yang terjadi, asal tidak kena peluru nyasar, menyenangkan juga. Perahu kayu yang kami gu-

115

Page 117: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

nakan sepertinya terlalu berlebihan bila harus ditembaki mortir-mortir Malaysia. Jadi saya pribadi tidak terlalu khawatir.

Tapi berhubungan ekspedisi ini dikomandoi orang Jepang, barangkali pemerin-tah di negeri Matahari Terbit itu akan panik bukan main bila mengetahui ada war-ganya yang berada di daerah konflik.

Dua Cadik dengan misi "Tak Masuk Akal"

Ekspedisi The Sea Great Journey adalah ekspedisi pelayaran antropologi dari Mandar ke Okinawa, Jepang. Ekspedisi ini berlangsung atas kerjasama enam pe-laut Mandar (Gusman Harun, Zainuddin, Iran Tari, Abdul Latif, Danial Cadang, dan Jabir Yongnge), empat petualang Jepang (Prof. Yoshiharu Sekino, Tanikawa Yunichiro, Jiro Maeda, dan Yohei Sato); dan dua penelitia maritim: saya dan Azis Salam (staf dosen Universitas Negeri Gorontalo kelahiran Pulau Salemo, Pang-kep).

Ekspedisi menggunakan dua perahu bercadik yang dibuat di Mandar, yaitu “Pakur” dan “Jomon”. Perahunya baru, tapi modelnya kuno. Pembuatannya pun menggunakan cara sangat tradisional. Bila Pakur masih bisa menggunakan bor dan gergaji tangan, si Jomon sama sekali tidak bisa. Pun tidak ada bahan besi dan plastik di dalam konstruksi kedua perahu tersebut. Layar, tali temali semuanya dari bahan alami.

Itulah sebabnya, perahu baru bisa tiba di Pulau Tarakan hari ini,setelah memu-lai pelayaran dari Teluk Mandar (Dusun Lambe, Desa Karama, Kabupaten Pol-man, Provinsi Sulbar) 13 April 2009 lalu. Hampir dua bulan! Bandingkan bila menggunakan kapal motor. Mungkin hanya sekitar 24 jam!

Untuk menuju Tarakan saja butuh waktu hampir dua bulan, bagaimana ke Okinawa-nya? Ya, memang begitulah. “Tidak masuk akal” sering dikemukakan oleh orang-orang yang baru mendengar ekspedisi ini. Yang dipentingkan dalam ekspedisi ini adalah konsep tradisional, bukan cepat-tidaknya tiba. Tujuan ekspe-disi sendiri adalah menapaktilasi penyebaran nenek moyang orang Jepang, khususnya yang berasal dari Asia Tenggara.

116

Page 118: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Rute pelayaran melalui pesisir barat Pulau Sulawesi. Beberapa puluh kilometer ke arah barat dari Toli-toli, perahu ekspedisi menyeberang ke Pulau Kalimantan, tepatnya Tanjung Mangkaliat. Butuh dua hari untuk melintasi Selat Makassar. Dari daratan paling timur Pulau Kalimantan tersebut, perahu menuju ke utara, melintasi Kepulauan Derawan, menuju Tarakan, Nunukan, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan akhirnya akan berhenti di Pulau Okinawa, Jepang.

Sehari menjelang memasuki perairan Pulau “minyak” Tarakan, hujan deras menghantam. Antar perahu sempat terpisah jauh dan berhasil saling memantau menjelang siang (Senin, 1 Juni 2009). Tim SGJ akan berada di kota Tarakan sam-pai 3 atau 4 Juni. Dari Tarakan akan menuju Nunukan, kota terakhir sebelum me-masuki negara Malaysia. Tempat yang akan dituju di Malaysia guna mendapat stempel dokumen imigrasi adalah Tawao. Direncanakan 7 atau 8 Juni Pakur dan Jomon, akan melintasi perbatasan. Nah ini yang ditunggu-tunggu.

Dibanding kasus Manohara dan Ambalat, ekspedisi SGJ tak menarik di mata media. Setidaknya kesan ini saya tangkap dari salah satu kelompok wartawan sta-siun televisi di Jakarta. Saya satu penginapan dengan mereka, sering bersua di lobi hotel saat mereka akan mengadakan laporan langsung(seolah-olah dari Blok Am-balat sebagaimana tertulis di dalam layar kaca, padahal Blok Ambalat dan tempat berdiri reporternya berjarak puluhan kilometer).

Ketika saya membuat laporan hasil pemantauan pelayaran tim, kru televisi ini tak terlalu merespon apa yang saya lakukan dengan teman-teman pelaut Mandar dan tim Jepang dalam ekspedisi SGJ. Tapi tak apalah. Kami memang bukan ber-ita sensasional.

O ya, sekedar informasi, sebenarnya Ambalat yang “asli” adalah nama tempat di Pulau Kalimantan yang berjarak sekitar 50 km ke arah timur dari Tarakan. Tempat ini jelas-jelas wilayah Indonesia. Jaraknya dari perbatasan, bila ditarik garis lurus ke arah utara, sekitar 120 km.

Adapun Ambalat yang terkenal saat ini hanyalan nama blok atau area (rencana pengeboran minyak) di laut yang terletak di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Jarak antara Ambalat “asli” dengan Karang Unarang (di sini ada tanda perba-tasan) yang masuk wilayah Blok Ambalat, hampir 150 km.

117

Page 119: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Blok Ambalat adalah wilayah yang pasti dilewati perahu Pakur dan Jomon di saat menuju Malaysia. Sekilas seperti cari mati: memasuki area(rencana) pertempu-ran. Kok berani-beraninya berlayar tanpa mesin di wilayah konflik?

Terlepas dari diijinkan-tidaknya perahu Jomon dan Pakur melintasi daerah kon-flik; terlepas ditembakinya Jomon dan Pakur (entah oleh siapa?), ekspedisi SGJ ada-lah peristiwa “kecil”yang bisa menjadi simbol bagaimana sejatinya hubungan In-donesia dengan Malaysia. Saya masih optimis pihak Malaysia akan menfasilitasi kegiatan SGJ, khususnya ketika akan memasuki wilayah Malaysia. Bagi saya, kasus Blok Ambalat dan seorang Manohara hanya noda setitik di bentang putihnya hubungan Indonesia dengan Malaysia.

Ya, memang Malaysia mendapat peran “hanya dilewati daerahnya” oleh perahu ekspedisi. Namun bagaimana pun juga, peran itu sangat penting.

Saat pengurusan dokumen di Kedutaan Malaysia, pihak Malaysia tak menakut-nakuti. Malah ada canda, perairan Malaysia itu lebih aman daripada perairan Indonesia.

Ekspedisi SGJ adalah kegiatan berbasis kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Se-andainya Indonesia perang dengan Malaysia, tak ada alasan menghalangi pe-layaran SGJ. Apatah lagi kasus Manohara. Apa yang terjadi di perairan Blok Am-balat sepertinya hanya main kucing-kucingan antara kapal peran Malaysia den-gan kapal perang Indonesia. Menurut pihak Indonesia, kapal perang Malaysia ser-ing melanggar perbatasan. Tapi mengapa tidak berani juga menembak, seti-daknya menyergapnya? Menurut saya, ya bila memang posisi kita benar, sergap saja kapalnya.

Atau kalau mau cara nyeleneh, pemerintah Indonesia menfasilitasi pelaut-pelaut Mandar memasang puluhan rumpon di Blok Ambalat. Mereka dijaga dari gangguan kapal perang Malaysia. Jadi, secara langsung pemerintah Indonesia te-lah memanfaatkan kawasan tersebut. Kalau Malaysia masih mengganggu, ya tem-bak saja.

Memang SGJ tidak secara langsung membawa pesan perdamaian. Walau de-mikian, kita bisa mengambil pesan perdamaian dari kegiatan tersebut. Bahwa

118

Page 120: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

pada dasarnya konflik itu tidak serta merta memutus hubungan antar-manusia; ti-dak serta merta merusak kesamaan akar budaya dan

latar belakang sejarah hubungan Indonesia dengan Malaysia; tidak menghan-curkan perdamaian antar orang Malaysia dengan orang Indonesia yang berada di akar rumput.

Tak berarti nasionalisme dipinggirkan. Bagi saya, yang harus dikedepankan adalah sikap tenang, tidak emosional. Apakah harus membenci dan melaknat Ma-laysia hanya karena kasus Blok Ambalat dan Manohara? Jika dua perahu yang la-hir dari rahim Bumi Pertiwi berhasil menyeberang dengan tenang dan damai di wilayah Malaysia karena dibantu pihak Malaysia, saya yang notabene warga Indo-nesia tentu mengucapkan terima kasih. Ini pandangan pribadi saya, tentu saja.I

In Memoriam Zainuddin, Pelaut Mandar Nakhoda Ekspedisi Mandar – Japan

Koran Mandar, Edisi 005, 11-20 April 2011

Berkaitan dengan gempa bumi dan tsunami di Jepang, Rabu, 16 Maret 2011, saya menanyakan kabar Prof. Sekino, petualang Jepang yang memimpin ekspedisi Mandar – Japan “The Sea Great Journey”, ke kolega saya. Syukurlah, dia tidak kena dampak langsung tsunami. Sekarang riset tentang orang Bajau di perbatasan Malaysia – Indonesia.

Tapi ada kabar duka, bahwa salah satu pelaut Mandar yang menjadi nakhoda di salah satu perahu bercadik (dari dua perahu yang digunakan), yakni pak Zainud-din, hilang di laut. Bukannya dalam rangka ekspedisi, tapi sewaktu melaut me-nangkap ikan di rumpon, di Teluk Mandar! Kejadiannya Jumat, 11 Maret 2011 lalu.

Saya kaget sebab saya baru tahu padahal kejadiannya hanya beberapa kilome-ter dari Pambusuang, tempat saya bermukim. Malah saya mendapat kabar dari te-man saya di Malaysia. Esoknya, saya ke kediaman Pak Zainuddin di Manjopai’, Desa Karama, Tinambung, Polewali Mandar.

Sekilas ekspedisi

119

Page 121: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Ekspedisi The Sea Great Journey mulai berlangsung pada 13 April 2009. Ber-angkat dari Lambe’, Karama. Disebabkan pada saat tertentu di utara garis khatu-listiwa ada musim angin topan (taifun), ekspedisi tidak bisa langsung diselesaikan.

Misalnya pada pemberangkatan pertama, berlangsung empat bulan. Dua perahu Mandar berhenti di selatan Filipina. Pelaut-pelaut Mandar, yang terdiri dari Zainuddin, Gusman, Jabir, Danial, Abdul Latif, dan Irsan untuk sementar kembali ke kampung halaman di Mandar.

Ekspedisi kembali dilanjutkan ketika musim angin topan lewat. Pelaut-pelaut Mandar kembali ke Filipina dengan menggunakan pesawat terbang. Pelayaran hanya berlangsung dua bulan, sampai di utara Filipina. Menunggu musim topan lewat, kembali pelaut Mandar mudik. Rencananya, kelanjutan pelayaran tahap ketiga akan dimulai awal April 2011 ini.

Nah, pada saat manajemen ekspedisi meminta pelaut Mandar untuk memper-siapkan pemberangkatan, kabar bahwa Zainuddin hilang di laut diperoleh.

Menurut istri Zainuddin, Nur Alam, suaminya hilang sewaktu melaut dengan menggunakan sandeq (kecil). Suaminya menangkap ikan di rumpon, yang mana perahunya ditemukan tertambat di situ. Tak ada tanda-tanda kecelakaan. Perahu tak terbalik, alat-alat tangkap ada semua.

Memang pak Zainuddin rutin melaut dengan perahu kecilnya. Pergi sekitar jam 3 dinihari dan kembali menjelang sore hari. Bila Jum’at, kembali sebelum sha-lat Jum’at.

Pada hari kejadian, Jumat, hilangnya pak Zainuddin tidak sengaja diketahui. Maksudnya, pada Jumat pagi, orangtua Zainuddin merasa kurang enak badan. Hampir pingsan. Sebab dalam kondisi darurat, pihak keluarga memutuskan untuk menghubungi Zainuddin di laut agar segera pulang.

Ternyata, perahu yang bertugas mencarinya, hanya menemukan sandeq Zainuddin tertambat di rumpon. Kira-kira berjarak 10km dari pantai. Zainuddin dinyatakan hilang! Tak diketahui sebabnya! Ada nelayan yang masih sempat meli-hat Zainuddin di atas perahunya sekitar jam 7 pagi.

120

Page 122: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Pihak keluarga pun melapor ke Polsek Tinambung. Polsek Tinambung kemu-dian mengeluarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan bernomor STPL/19/III/2011/Sek-Tnb, bahwa orang yang bernama Zainuddin dinyatakan hilang.

Hampir sepekan kemudian, Kamis 17 Maret 2011, tubuh Zainuddin belum ditemukan. Secara supranatural Zainuddin dianggap masih hidup. Itu berdasar in-formasi dari dukun yang dihubungi pihak keluarga. Katanya, Zainuddin ditahan makhluk tertentu. Walau demikian, pihak ahli waris tetap mengurus surat keteran-gan kematian Zainuddin.

Pada waktu persiapan ekspedisi, 2008 lalu, saya bertugas sebagai peneliti dan membantu proses administrasi di Indonesia, termasuk perekrutan awak yang akan mengantar orang Jepang melakukan ekspedisi. Dari enam awak, tiga saya rekrut langsung, yakni Gusman (juga nakhoda), Danial, dan Irsan. Kepada mereka, saya meminta untuk juga ikut mencari dua awak yang bisa melayarkan perahu pakur.

Oleh Gusman, dia mengusulkan Zainuddin dan Jabir, pelaut dari Manjopai’, Karama. Akhirnya, Zainuddin dan Jabir saya rekomendasikan ke Prof. Sekino. Mereka pun diterima sebagai awak.

Dalam pelayaran, diputuskan dua nakhoda, yakni Zainuddin dan Gusman. Mereka bergantian menakhodai dua perahu, apakah itu “Jomon” ataupun “Pa-kur”. Lainnya sebagai awak atau “sawi”.

Ekspedisi “The Great Journey: The Black Current Route” (Perjalanan Besar: Rute Arus Hitam) dipimpin Professor Sekino Yoshihara, guru besar antropologi budaya di Mushashino Art University, Tokyo dan telah menulis lebih dari 40 buku.

Prof. Sekino telah menapaktilasi secara terbalik rute penyebaran umat manusia dari Chili di ujung selatan Amerika Selatan sampai ke Tanzania Afrika antara ta-hun 1993 sampai 2002. Kemudian, sejak tahun 2004, dia juga telah menapaki jalur perjalanan darat manusia purba yang menuju Kepulauan Jepang. Lalu Seme-nanjung Korea selesai dia telusuri dalam tahun 2005.

Meskipun ekspedisi dipimpin dan dibiayai orang Jepang, tak bisa dipungkiri, ke-berhasilan ekspedisi sampai sejauh ini tak lepas dari peran orang-orang Mandar

121

Page 123: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

yang melayarkan perahu. Dengan kata lain, orang Jepang hanyalah penumpang di atas perahu. Adapun pelayar-pelayarnya adalah orang Mandar.

Dan salah satu pahlawan yang berhasil melayarkan perahu tak bermesin yang dibuat dengan cara paling kuno dan dengan alat-alat alami dari Lambe sampai ke utara Filipina adalah pak Zainuddin, putra Manjopai’, Karama.

Dalam peta tokoh-tokoh di Mandar, Zainuddin tak dikenal. Tak ada rangkaian bunga ucapan belasungkawa di halaman rumahnya; tak ada iklan dukacita di ko-ran untuk dirinya. Beliau hanya nelayan biasa dengan seorang istri, lima anak, lima cucu. Tapi dalam sejarah hubungan Indonesia - Jepang, dia akan dicatat seba-gai orang penting dan berjasa. Orang Mandar harus tahu itu!

Sayangnya, beliau “hilang” (baca: meninggal) sebelum menyelesaikan tugasnya melayarkan perahu Mandar hingga ke Okinawa, Jepang.

Tuhan menakdirkan lain. Menjadikan seorang Zainuddin sebagai pelaut Man-dar yang paripurna. Abadi di pelukan Teluk Mandar. Tempatnya mempelajari ilmu-ilmu kebaharian, tempatnya mencari penghidupan untuk diri dan keluarga-nya. Selamat jalan Pak!

Setelah 3 Tahun Berlayar, Perahu Kuno dari Mandar Akhirnya Tiba di Jepang

www.koranmandar.com, 14 Juni 2011

Jomon dan Pakur sudah mencapai finish di Pelabuhan Ishigaki, Pulau Ishigaki, Okinawa. (Dikirim oleh: Aziz Salam)

Setelah berlayar selama 36 jam dari Pelabuhan Chenggong, pantai timur Tai-wan bagian selatan, Jomon dan Pakur mencapai pantai barat Pulau Iriomote - Ok-inawa  dan berlabuh semalam di tempat itu. Jomon dan Pakur meninggalkan Tai-wan pada pukul 09.00 pagi tanggal 10 Juni 2011 dengan angin selatan yang ber-tiup terus menerus selama pelayaran. Sebelum berlayar team The Great Journey sempat khawatir dengan kemunculan Taipun No.3, tapi karena taipun (angin to-pan puting beliung) mengarahj ke sebelah selatan pulau Taiwan dan segera akan berakhir di darata Cina, maka akhirnya tidak mengganggu rencana semula untuk berangkat pada hari itu. Sebelumnya para kru Mandar sudah menyaksikan kega-

122

Page 124: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

nasan angin topan Taipu No.2 yang terjadi di Basco, Pulau Batanes Filipina, yang membuat mereka harus menunggu sekitar seminggu.

Dengan memperhitungkan arus Kuro Shio yang berkecapatan sekitar 3 knot ke arah utara, Jomon dan Pakur memutuskan untuk berlayar menyeberangi Laut Cina dengan arah pelayaran Timur serong sedikit ke utara (arah 80 derajat) dan berharap dengan dorongan arus yang membawanya ke utara akan mencapai pulau-pulau bagian selatan Okinawa.  

Angin Selatan yang bertiup kencang (10 sampai 12 meter per detik) serta arus Kuro Shio yang mengalir kontinu dengan kecepatan 3 - 4 mil per jam (knot) men-imbulkan gelombang dengan alunan setinggi 2,5 - 4 meter.

Sekitar pukul 09.00 malam tanggal 11 Juni 2011 Jomon dan Pakur buang sauh di Pulau Iriomote untuk beristirahat sejenak. Pagi-pagi jam 06.00 keesokan harinya Jomon dan Pakur angkat jangkar lagi menuju timur ke Pulau Ishigaki. An-gin selatan yang tetap bertiup kencang dengan ombak yang relatif masih besar (se-kitar 2 meter), Jomon mengalami kesulitan menembak sasaran akhir Pelabuhan Ishigaki yang terletak di ujung Selatan Pulau Ishigaki. Badannya yang pendek dan perutnya yang bulat memang selama ini adalah kelemahannya. Jomon dengan mu-dah terseret arus ke utara dan akhirnya mencapai pulau Ishigaki pada sekitar pu-kul 11 pagi tanggal 12 Juni. Karena angin selatan tetap bertiup dengan kencangn-ya dan mempertimbangkan kondisi sanggilang (konstruksi penyangga kemudi) Jo-mon yang sudah tidak prima, diputuskan untuk tidak melakukan karakkaji (ber-layar secara zig-zag) pada hari itu, tetapi menunggu angin selatan agak reda.

Pakur, dengan badannya yang panjang dan langsing, sebenarnya dapat saja mencapai sasaran dengan mudah, tetapi karena tak ingin berpisah dengan Jomon, maka Pakur pun berlabuh di tempat yang sama dengan Jomon sekitar 20 km di se-belah utara Kota/Pelabuhan Ishigaki.  

Diputusakan untuk berlayar lagi pada jam 02.00 dinihari (tgl 13 Juni). Namun karena jangkar Jomon maupun Pakur tersangkut di karang dan butuh waktu seki-tar 1 jam untuk melepaskannya dengan bantuan seorang penyelam (scuba diver) dari kapal pengantar. Jomon dan Pakur akhirnya berlayar ke selatan dengan angin selatan-barat-daya (kec. 7 mps) yang tentu saja tetap sangat menyulitkan bagi Jo-

123

Page 125: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

mon. Bagi Pakur kondisi itu bisa dilalui dengan baik. Setelah karakkaji yang mele-lahkan karena layar harus dibantu dengan gayung Jomon memutuskan untuk ber-istirahat sejenak dan berkonsultasi dengan Pakur yang sudah berlabuh di sebelah tanjung menunggu Jomon. Diputuskan untuk berlayar tandem dengan Pakur di depan dan Jomon mengikat tali di belakangnya. 

Akhirnya dengan pelayaran karakkaji yang melelahkan, kedua perahu berhasil merapat di Pelabuhan Ishigaki pada sekitar pukul 6 sore.  Matahari masih tinggi di ufuk barat, karena matahari tenggelam pada pukul 07.30 di tempat ini pada mu-sim panas. Jarak 20 km ditempuh dalam waktu 15 jam.

Petugas pelabuhan silih berganti melaksanakan tugasnya, mulai dari agen pe-layaran, karantina hewan, karantina tanaman, bea cukai, Japan Coast Guard (Jaga Pantai), dan akhirnya proses imigrasi. Setelah semua proses dilalui, maka kru baru boleh meninggalkan perahu menuju hotel tempat beristirahat. Para kru mandi kemudian menuju restoran untuk makan malam.

Rencana berikutnya adalah Jomon dan Pakur akan dibongkar dan untuk se-mentara disimpan di suatu tempat. Para kru akan dibawa dengan pesawat udara sampai Osaka, kemudian dari Osaka mereka akan naik kereta tercepat dunia Shinkansen ke Tokyo, sesuai keinginan mereka untuk merasakan kecepatan kereta Shinkansen ini setelah tiga tahun lamanya mereka merasakan santainya (lambat-nya) pelayaran dengan Jomon.

Demikian, semoga dapat menjadi berita yang menggembirakan di Mandar dan Sulawesi. 

“Pakur” dan “Jomon”

Koran Mandar Edisi 10, Juni 2011

Banyak ekspedisi pelayaran dari Nunsatara ke luar negeri, misalnya “Pinisi Nu-santara” ke Kanada beberapa tahun lalu, ekspedisi perahu Borobudur “Damar Sagara” ke Afrika Barat dan lain sebagainya. Hampir semuanya menggunakan mesin dalam pelayaran. Pembuatan perahunya pun demikian. Jadi yang kuno hanya bahannya saja, yakni kayu.

124

Page 126: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Beda dengan ekspedisi The Sea Great Journey Mandar – Japan, mulai dari pe-nebangan kayu hingga pelayarannya amat sangat kuno, yakni tak boleh disentu mesin!

Saat kayu untuk pembuatan perahu ditebang, baik itu tubuh hingga bagian-bagian lain, seperti cadik (baratang), katir (palatto), kayu yang menghubungkan ka-tir dengan cadik (tadiq), tiang layar (pallayarang), dan lainnya hanya menggu-nakan kapak atau parang. Bila ada bagian yang dihaluskan menggunakan cangkul kayu dan ketam tangan (kattang lima). Yang namanya gergaji masih bisa ditoler-ansi, khususnya untuk salah satu jenis perahu yang digunakan. Tapi gergaji listrik (senso) sama sekali tak boleh. Itulah keunikan atas perahu “Pakur” dan “Jomon”.

Pakur adalah salah satu jenis perahu bercadik di Mandar. Perahu ini sudah pu-nah, tapi bangkainya masih bisa ditemukan di Karama (Tinambung, Polman) dan Luwaor (Pamboang, Majene). Selain nama jenis, juga sebagai nama untuk salah satu perahu yang digunakan ekspedisi. Jadi, perahu pakur diberi nama “Pakur”. Alasannya sederhana, supaya perahu jenis pakur bisa lebih dikenal.

Punah di Mandar, namun masih bisa ditemukan dilayarkan orang Mandar yang beranak-pinak diKep. Kangean (100 km utara Bali). Modifikasi konstruksi pa-kur tahun 30-an maka lahirlah "sandeq", perahu bercadik tradisional tercepat di dunia saat ini. Dan perahu itu hanya ada di Mandar, Sulawesi Barat.

Jomon adalah nama perahu kedua yang digunakan. Kata “jomon” adalah kata bahasa Jepang, yakni istilah untuk menyebut nama era pra-sejarah dalam khazanah pengetahuan Jepang. Menjadi inspirasi memberi nama perahu bercadik yang lambungnya terbuat dari satu kayu utuh, tak ada tambahan.

Jenisnya tak diketahui dalam budaya bahari Mandar, bukan olanmesa, bukan pakur, bukan sandeq. Memang bercadik persis sama jenis pakur, menggunakan layar lete (yang juga digunakan pakur dan perahu dagang ba'go), tapi karena tak ada tambahan balok kayu untuk membentuk ujung atas haluan dan buritan, komunitas pelaut Mandar beragam dalam menamakannya. Begitulah, perbedaan sedikit saja membuat jenis perahu menjadi beda. Jadi, bila dibahasa Mandar-kan perahu bernama Jomon, mungkin dikatakan, “Lopi dioloq” (perahu lampau).

125

Page 127: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Melintasi laut 4.000 km, puluhan selat, ratusan teluk, lima negara, menyaksi-kan ragam budaya adalah kerja fisik Pakur dan Jomon. Misinya, menapaktilasi penyebaran umat manusia lewat laut, nenek moyang orang Jepang dari kawasan Asia Tenggara.

Konsepnya kekunoan, makanya proses kerja dan melayarkannya menggu-nakan cara-cara orang dulu. Pakur memang masih bisa disentuh bor dan gergaji tangan, tapi Jomon jangan sampai. Untuk membuat Jomon sedekat mungkin cara orang dulu. Hanya menggunakan kapak, parang, pahat, dan ketam.

Baik Pakur ataupun Jomon, semua bahan konstruksinya seratus persen dari alam. Lambung, paku, tiang layar jelas semua dari kayu. Layar dari serat daun po-hon lanu, sejenis palem. Tali-temali untuk mengikat antar beberapa bagian dan konstruksi layar menggunakan rotan, sabut kelapa dan ijuk. Melihat ukuran dan bahan konstruksi Pakur dan Jomon, banyak orang tak percaya.

Pakur hanya 9 meter, Jomon 7 meter, memiliki lebar dan tinggi lambung relatif sama, hanya beberapa senti dari semeter. Untung ada tambahan semacam teras di sisi lambung, jadi ada tempat lapang untuk berehat di atas perahu ini. Pakur di-layarkan enam orang, Jomon empat. Dilakukan bergantian, tapi komposisi tetap.

Di tiap perahu ada dua orang Jepang, Prof. Sekino hampir selalu berada di Jo-mon. Sebab aktor dalam ekspedisi pelayaran bersejarah ini adalah Jomon dan Prof. Sekino. Prof. Yoshiharu Sekino seorang petualang legendaris Jepang. Melaku-kan ekspedisi napak tilas penyebaran umat manusia lewat darat dengan cara berja-lan kaki, naik sepeda, kendaraan bertenaga binatang, dari ujung selatan Amerika Selatan hingga Afrika Timur, selama 12 tahun.

Seorang guru besar humaniora di Musashino Art University, juga seorang dok-ter. Telah melahirkan kurang lebih 60 buku. Dia juga seorang fotografer profe-sional. Ulang tahun ke-60nya dilakukan di Luwaor, Majene, Sulawesi Barat kala perahu Jomon dan Pakur tengah dibuat delapan tukang perahu Mandar.

Ini Dia Pahlawan Mandar

Koran Mandar Edisi 10, Juni 2011

126

Page 128: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Bisa dikatakan, Ekspedisi The Sea Great Journey Mandar – Japan adalah ek-spedisi terbaik dalam dunia kemaritiman di Nusantara. Ada beberapa alasan un-tuk menyebut demikian. Selain konsep kekunoan yang digunakan (tak menggu-nakan mesin selama berlayar), peran orang Mandar dalam ekspedisi tersebut amat penting dan utama. Yaitu sebagai pembawa (pelayar) perahu.

Ekspedisi-ekspedisi lain, misalnya dua ekspedisi perahu bermodel perahu yang ada di Candi Borobudur, baik yang ke Afrika Barat maupun keliling Asia Teng-gara, itu selalu dinakhodai prajurit Angkatan Laut. Beda dengan Ekspedisi The Sea Great Journey, nakhoda dan awaknya asli pelaut Mandar. Dan merekalah pahlawan-pahlawan ekspedisi, yang hendaknya tidak tertutupi oleh peran penting orang Jepang di dalam ekspedisi.

Sederhananya, orang Mandar itu sopir dan kernetnya, penumpangnya orang Jepang. Secara logika, yang banyak berjasa kan sopirnya (baca: pelayarnya). Me-mang orang Jepang juga sering melayarkan (bergantian), tapi mereka bisa melaku-kan itu setelah belajar dari orang Mandar. Baik sebelum pelayaran maupun se-lama pelayaran.

Ekspedisi diikuti empat orang Jepang: Prof. Yoshiharu Sekino (60), Tanigawa Junichiro (55), dua mahasiswa dari Mushashino Art University, yaitu Sato Yohei (26) dan Maeda Jiro (26); dua peneliti kemaritiman: Azis Salam (35) dari Universi-tas Negeri Gorontalo dan Muhammad Ridwan Alimuddin (30, ikut di etape Ta-rakan – Sandakan/Malaysia), peneliti/saya mengenai kebudayaan bahari.

Adapun pelayarnya enam pelaut Mandar yaitu Gusman Harun (1971, Lambe, Karama), Danial Cadang (1972, Lambe, Karama), Abdul Latif (1976, Majene), Zainuddin (1958, Manjopai, Karama), Jabir Yongnge (1967, Manjopai, Karama), dan Irsan Tari (1975, Ga’de, Tangnga-tangga).

Sewaktu kembali ke Mandar untuk menunggu selesainya musim taifun di utara khatulistiwa awal 2011, Zainuddin hilang di laut Teluk Mandar sewaktu mencari ikan. Dia digantikan kakak Danial Cadang, bernama Sadar (1968, Lambe, Karama).

Pelaut Mandar yang ikut sebagian besar adalah “alumni” lomba perahu terce-pat, terjauh, terkeras di dunia: Sandeq Race. Yaitu Gusman, Danial, Irsan, dan Sa-

127

Page 129: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

dar. Almarhum Zainuddin dan Jabir tidak perah ikut Sandeq Race tapi lihai me-layarkan sandeq dan perahu bercadik yang menggunakan layar jenis tanjaq. Adapun Abdul Latief, sebenarnya bukan pelaut. Dia adalah ahli menggunakan gergaji mesin. Perekrut sawi, Muhammad Ridwan, dan orang Jepang men-genalnya ketika mengambil bakal kayu di daerah Mamuju. Sikapnya yang baik membuat orang Jepang terkesan sehingga dia diajak serta berlayar.

Dalam pelayaran, terbukti sikap dan prilaku serta keterampilan orang Mandar berhasil memenuhi misi pelayaran Prof. Sekino. Untuk itulah, sudah seharusnya orang Mandar dan masyarakat Indonesia menyampaikan takzim hormat dan ter-ima kasih kepada Gusman, Danial, Irsan, (almarhum) Zainuddin, Jabir, dan Sa-dar. Merekalah pelaku ekspedisi yang sebenarnya!

Peran Ekspedisi dalam Kebudayaan

Koran Mandar Edisi 10, Juni 2011

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, ekspedisi berarti “n 1 pengiriman surat, ba-rang, dsb; 2 Huk salinan yg sama bunyinya (tt vonis atau akte); 3 perjalanan penye-lidikan ilmiah di suatu negeri yg kurang dikenal; 4 Mil pengiriman tentara untuk memerangi (menyerang, menaklukkan) musuh di suatu daerah yg jauh letaknya”.

Untuk kasus Ekspedisi The Sea Great Journey, defenisi yang digunakan adalah bagian ketiga, “perjalanan penyelidikan ilmiah di suatu negeri yg kurang dikenal”. Meski demikian, defenisi tersebut kurang tepat lagi untuk saat sekarang. Sebab hampir semua wilayah di permukaan di muka bumi ini pernah didatangi umat ma-nusia. Untuk ekspedisi-ekspedisi waktu lampau mungkin ya. Orang lebih banyak mengartikan ekspedisi adalah sebuah perjalanan. Tapi ada perbedaan dengan “jalan-jalan”, sebab ekspedisi ada unsur ilmiahnya. Jalan-jalan lebih kepada unsur kesenangan.

Ekspedisi berlatar belakang maritim telah banyak dilakukan di Indonesia, baik murni ilmiah maupun sebuah petualangan berunsur ilmiah. Yang dimaksud murni ilmiah, seperti ekspedisi yang dilakukan lembaga-lembaga ilmu pengeta-huan (misalnya LIPI) yang melakukan pendataan arus, spesies ikan, dan data lain. Sedang yang kedua, ekspedisi perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang alat/media perjalanan atau perjalanannya mengusung misi tertentu. Kesamaan

128

Page 130: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

keduanya, sama-sama menghasilkan data ilmiah. Ada yang ditulis populer ada juga hanya terbatas pada jurnal-jurnal ilmiah.

Ekspedisi The Sea Great Journey adalah petualangan laut yang kesekian yang pernah berlangsung di Indonesia, benua maritim. Dari semua kegiatan ekspedisi ada beberapa kesamaan, salah satunya, semuanya direncanakan oleh orang asing! Ya, pembaca bisa lihat sendiri, misalnya ekspedisi perahu Borobudur “Damar Sagara” (tahun 2003), yang pionirnya adalah pelaut Eropa untuk kemudian diikuti oleh ekspedisi (juga) perahu Borobudur oleh Yamamoto (2010 - 20110. Ek-spedisi pelayaran beberapa perahu tradisional dari Nusantara ke Jepang pun dilak-sanakan oleh orang Jepang. Adakah ekspedisi antar negara yang dilakoni sendiri oleh orang Indonesia?

Ada banyak dalih yang bisa dikemukakan mengapa itu bisa terjadi. Memang bukan hal negatif bila orang asing yang melaksanakannya, tapi itu merupakan se-buah ironi. Maksudnya, kita bangsa Indonesia selalu mengklaim diri sebagai cucu pelaut ulung. Tapi buktinya apa? Ya, kita tidak harus menjadi pelaut ulung, tapi paling tidak ada semangat petulangan di laut sebagaimana yang dimiliki orang as-ing.

Memang orang asing “tidak bisa apa-apa” tanpa peran pelaut pribumi, tapi hal itu biasanya tertutupi oleh peran pelaksana utama. Sebab merekalah yang meng-idekan, membiayai, dan melaksanakan ekspedisi. Adapun orang Indonesia “hanya” ikut saja. Jadi sangat wajar jika peran orang asing lebih berharga.

Untuk itu, masyarakat Indonesia harus berterima kasih kepada orang asing yang kegiatan mereka baik langsung maupun tidak langsung telah membantu pele-starian dan pendokumentasin kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan ba-hari. Di sisi lain, kita harus mengambil banyak pelajaran dari apa yang telah mereka lakukan buat bangsa dan kebudayaan kita.

Terlepas dari ketimpangan ekonomi (yang berpengaruh pada pola pikir “nga-pain susah-susah jalan-jalan sedang kebutuhan ekonomi belum terpenuhi”), di In-donesia ataupun di Mandar harus digalakkan ekspedisi di kalangan generasi muda. Tak perlu seheboh ekspedisi-ekspedisi raksasa, misalnya berlayar ke Jepang, mendaki Himalaya, menyusuri kawasan Amazon, tapi yang dekat-dekat saja.

129

Page 131: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Yang berguna dalam usaha pengayaan khazanah ilmu pengetahuan dan kebu-dayaan Mandar.

Apakah telah ada ekspedisi menyusuri Sungai Mandar? Apakah sudah ada yang melakukan perjalanan di pedalaman-pedalaman Mandar? Pernakah dilaku-kan ekspedisi ilmiah mendata sumberdaya kelautan di pesisir Sulawesi Barat? Un-tuk melakukan itu semua biayanya tak seberapa dibanding ekspedisi hebat lain. Kemampuan sumberdaya di Sulawesi Barat pun bisa memenuhi, tak perlu oleh or-ang luar/asing.

Sebab bila ekspedisi-ekspedisi itu dilakukan untuk kemudian didokumentasikan (tulisan, foto, dan film) hasilnya, maka apa yang diperoleh amat sangat berguna. Baik kepada individu ekspeditor maupun peradaban Mandar.

130

Page 132: Ekspedisi Gila Mandar Jepang

Penulis

Muhammad Ridwan Alimuddin. Lahir di Tinambung (Mandar, Sulawesi Barat) pada 23 Desember 1978. Menuntut ilmu di TK Nusaputra Tinambung, SDN 002 Tinambung, MTsN Tinambung, SMU 01 Tinam-

bung, dan Universitas Gadjah Mada. Kegiatan dokumentasi kebudayaan Mandar dan kebudayaan bahari Nu-santara, fotografer dan jurnalis. Karya: Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut (2004), Orang Mandar Orang Laut (2005), kontributor di dua buku terbitan panyingkul.com Makassar di Panyingkul: Pilihan Kabar Orang Biasa 2006 – 2007 (2008) dan Indonesia di Panyingkul: Pilihan Kabar Orang Biasa 2007 – 2008 (2009), Sandeq Perahu Tercepat Nusantara

(2009), Mandar Nol Kilometer (2011), Kabar dari Laut (2011), Alam, Budaya dan Manusia Polewali Mandar (2012), dan Ekspedisi Garis Depan Nusantara: Pelayaran Cinta Laut di Tenggara Indonesia (2012).

131