eksistensi pengadilan niaga-editan baru

Download Eksistensi Pengadilan Niaga-Editan Baru

If you can't read please download the document

Upload: ira-oktafia

Post on 03-Jul-2015

974 views

Category:

Documents


34 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Reformasi Undang-Undang Kepailitan Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 merupakan suatu keputusan bersifat darurat (emergency) yang harus dilakukan oleh Pemerintah, sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan para pelaku pasar, baik nasional maupun internasional, dalam upaya penyelesaian sengketa utang-piutang yang meningkat pesat sebagai akibat dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia ketika itu. Peraturan Kepailitan peninggalan Belanda, yakni Failisement Verordering Stb. 1905:207 juncto Stb. 1906:348, yang telah lama dijadikan acuan, dinyatakan tidak lagi mampu mengikuti perkembangan yang ada, sehingga tidak layak lagi digunakan sebagai perangkat hukum yang mampu menyelesaikan konflik utang-piutang tersebut secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Beberapa perubahan penting yang dilakukan dalam upaya mewujudkan kehadiran Undang-Undang Kepailitan yang adil, cepat, terbuka, dan efektif tersebut, antara lain dengan cara: 1. Melakukan perubahan terhadap persyaratan untuk dapat dipailitkannya seorang debitor; dari keharusan untuk lebih dulu membuktikan bahwa seorang debitor telah dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya (insolvency test) seperti yang diatur dalam pasal 1 ayat 1 Failisement Verordering 1905, berubah menjadi keharusan untuk hanya membuktikan bahwa seorang debitor telah tidak melunasi paling sedikit satu utang yang telah jatuh tempo (due date and payable debt) dan memiliki minimum dua kreditor. 1

2. Melakukan perubahan tentang penggunaan waktu dalam memeriksa dan memutuskan permohonan pailit, dari ketentuan beracara yang sebelumnya diatur dalam hukum acara perdata HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement Staatblaad 1926:559 juncto Staatsblad 1941:44) yang pada umumnya membutuhkan waktu 5 (lima) sampai dengan 7 (tujuh) tahun hingga pada putusan Peninjauan Kembali (PK), berubah secara drastis melalui hukum acara yang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menjadi sekitar 225 hari sampai pada putusan PK oleh Mahkamah Agung. 3. Mendirikan sebuah Pengadilan Khusus untuk memeriksa dan memutuskan permohonan pailit dan permohonan PKPU, yang disebut dengan Pengadilan Niaga, walaupun pengadilan tersebut masih tetap berada dalam wilayah Peradilan Umum yang letaknya masih dalam Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga tersebut dijalankan oleh Hakim-Hakim Niaga yang (secara teori seharusnya) merupakan hakim-hakim yang terpilih karena berkemampuan dan bereputasi baik, yang mempunyai kewenangan khusus dalam memeriksa dan memutuskan permohonan pailit dan PKPU. 4. Memperkenalkan Profesi Kurator dan Pengurus dari kalangan Profesional Swasta, dimana berdasarkan Failisement Verordening 1906 kewenangannya untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit sebelumnya dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). Tetapi dari beberapa perubahan penting tersebut diatas, terlihat meskipun telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 sebagai penyempurna Failisement Verordering, dapat dikatakan masih banyak terdapat berbagai macam kontroversi yang muncul, misalnya mengenai saat jatuh tempo dari suatu hutang, mengenai penilaian kreditur kedua, mengenai keberadaan klausula arbitrase dalam perjanjian pokok yang menjadi dasar timbulnya utang yang telah jatuh tempo, dan hal prinsip lain yang belum memberikan titik temu terbaik.

2

Undang-Undang Kepailitan hasil revisi tersebut belum membedakan subyek hukum dalam kepailitan (debitur pailit) dengan segala akibat hukumnya secara riil. Peraturan perundangan tersebut belum mengatur mengenai kelanjutan atau eksistensi dari suatu subyek hukum yang dinyatakan pailit dengan konkret dan tegas, sehingga masih terbuka kemungkinan untuk diselewengkan dalam prakteknya di lapangan. Untuk itu, belakangan pihak legislatif mengusulkan dibentuknya aturan legislasi mengenai Pengadilan Niaga, terpisah dari Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), guna memberikan legitimasi badan peradilan dan menjamin asas kepastian hukum.

B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah, diantaranya yaitu : 1. Bagaimana Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga setelah

diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo. UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004? 2. Bagaimana Eksistensi Pengadilan Niaga ditinjau dari cara penyelesaian perkara, perspektif kuantitatif perkara yang ditangani, perspektif

kelembagaan, dan kewenangan Kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit?

3

BAB II PEMBAHASAN A. TINJAUAN KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1998 Jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menambah satu bab baru yaitu Bab Ketiga mengenai Pengadilan Niaga. Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan efektif. Pengadilan Niaga merupakan diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan pembentukanya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 1970 Jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, tidak mengatur Pengadilan Niaga pada bab tersendiri, akan tetapi masuk pada Bab V tentang Ketentuan Lainlain mulai dari Pasal 299 sampai dengan Pasal 303. Demikian juga dalam penyebutannya pada setiap pasal cukup dengan menyebutkan kata

Pengadilan tanpa ada kata Niaga karena merujuk pada Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 bahwa Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam Lingkungan peradilan umum. Mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Niaga ini pada UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal 300. Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit; 2) Memeriksa dan memutus permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; 3) Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya sengketa di bidang HaKI. 4

Sementara itu, dalam Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tentang syaratsyarat kepailitan. Oleh karena itu, Pengadilan Niaga memiliki yurisdiksi substansif eksklusif yang dapat mengesampingkan kewenangan absolut dari arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana yang telah diperjanjikan. Dalam hal ini juga berlaku asas lex posteori yaitu Pasal 303 UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 terhadap Pasal 11 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagai lex priori. Terdapatnya karakteristik tersendiri dalam perkara kepailitan antara lain dari sisi kewenangan absolut dan relatif Pengadilan Niaga yang berwenang memeriksa dan memutus perkara pailit, hukum acara yang digunakan, dan syarat adanya utang yang dapat ditagih serta eksistensi adanya 2 kreditor atau lebih. Sehingga jelaslah bahwa sengketa utang piutang yang dapat diselesaikan melalui forum arbitrase sangat berbeda dengan perkara utang piutang yang penyelesaiannya melalui permohonan pailit di Pengadilan Niaga. Kompetensi relatif yang dimiliki oleh Pengadilan Niaga adalah berdasarkan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dimana putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal -hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor. Artinya dari lima Pengadilan Niaga sampai saat ini maka hanya Pengadilan Niaga pada wilayah hukumnya masing-masing yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Sedangkan pengecualian terhadap kompetensi relatif 5

tersebut terdapat dalam pasal 3 ayat (2) sampai (5) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Kemudian kompetensi absolut yang berkaitan dengan masalah

kewenangan mengadili antara berbagai macam pengadilan, maka pengaturan tentang kompetensi absolut Pengadilan Niaga adalah pada pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dimana Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang -undang. Hukum acara yang berlaku dan diterapkan pula di Pengadilan Niaga adalah Hukum Acara Perdata kecuali ditentukan lain dengan undang-undang. Dari ketentuan hukum acara yang berlaku tersebut terlihat bahwa pengakuan atas keberadaan dan eksistensi Pengadilan Niaga dalam U ndang-Undang No. 37 Tahun 2004 belum bersifat integratif dan koordinatif karena dalam pemeriksaan perkara kepailitan masih menggunakan ketentuan Herziene Indonesisch Reglement/Rechstsreglement Buitengewesten (HIR/Rbg). Permohonan pailit menurut pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu permohonan penyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1). Pembuktian secara sederhana ini maksudnya adalah bahwa dalam sidang pengadilan tidak lagi dibuktikan apakah debitor mempunyai utang atau tidak karena pada dasarnya kedua belah pihak telah mengakui adanya utang piutang. Oleh karena itu yang dipermasalahkan dalam sidang pengadilan adalah apakah permohonan pailit debitor diterima atau tidak (dapat dipailitkan atau tidak). Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, telah memindahkan kewenangan absolut dari Pengadilan Umum atas permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 280 Undang-Undang 6

Kepailitan 1998 menyatakan bahwa kewenangan secara komprehensif yang dimiliki Pengadilan Niaga adalah kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan seputar Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta memeriksa dan memutus perkara lain di bidang pemiagaan. Pengadilan Niaga di Indonesia yang terbentuk hingga saat ini adalah 5 (lima) Pengadilan Niaga yaitu Pengadilan Niaga Jakarta, Pengadilan Niaga Surabaya, Pengadilan Niaga Ujung Pandang, Pengadilan Niaga Semarang dan Pengadilan Niaga Medan. Tidak semua permohonan pailit yang diajukan dapat dinyatakan pailit pada putusan akhirnya. Namun ada kalanya permohonan pailit tersebut ditolak karena tidak memenuhi persyaratan permohonan pailit sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepailitan. Eksistensi Pengadilan Niaga sangat membantu jalannya pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merupakan bagian dari fungsi peradilan di Indonesia serta berperan dalam meningkatkan dan mendukung kegiatan perekonomian di Indonesia. Selain itu, didalam pelaksanaan dan

penyelenggaraan fungsi peradilan di Indonesia, Pengadilan Niaga juga menghadapi berbagai hambatan di dalam penyelesaian perkara-perkara niaga, khususnya sengketa kepailitan baik permohonan pailit maupun Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Adapun hambatan-hambatan tersebut adalah jumlah hakim Pengadilan Niaga yang masih sangat terbatas, sarana dan prasarana yang tersed dalam ia Pengadilan Niaga hingga saat ini kurang memadai sehingga kurang mendukung proses penyelesaian sengketa kepailitan, khususnya dalam hal pemanggilan pihak-pihak yang terkait untuk menghadiri jalannya sidang maupun rapat kreditor.

7

B. EFEKTIVITAS

PENGADILAN

NIAGA

DITINJAU

DARI

BEBERAPA ASPEK a. Efektivitas Pengadilan Niaga Dalam Menyelesaikan Perkara Indikasi munculnya berbagai pengadilan khusus dapat dipastikan karena kepercayaan berbagai pihak yang semakin melemah terhadap pengadilan konvensional dalam menjalankan fungsinya. Parameter paling jelas dapat dilihat dari masih tingginya tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan pengadilan yang seringkali dianggap bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Dalam kondisi demikianlah Pengadilan Khusus diharapkan menjadi jalan pintas yang akan mampu menjawab berbagai kelemahan yang disinyalir ada pada pengadilan konvensional antara lain kelemahan kompetensi dan kualitas hakim dalam penanganan perkara, rendahnya integritas, minimnya akuntabilitas dan transaparansi di

pengadilan serta problem-problem pengadilan lainnya. Namun demikian dalam prakteknya, ternyata pembentukan beberapa pengadilan khusus seperti Pengadilan Niaga menuai berbagai kritik. Beberapa pengadilan khusus tersebut ternyata tidak mampu menjawab tantangan perubahan yang diharapkan oleh masyarakat bahkan dapat , dikatakan tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. a.i Kelebihan Pengadilan Niaga Keunggulan Pengadilan Niaga adalah sistem beracara yang relatif cepat (dalam 30 hari sudah ada putusan). Hal tersebut dirasakan sangat aspiratif bagi dunia bisnis untuk menyelesaikan masalahnya, misalnya masalah utang-piutang. Sebagai contoh di dunia perbankan, dengan terjadinya kredit macet, segala kekuatan perjanjian kredit (pasal 1338 KUH Perdata sebagai ketentuan umumnya) dengan tujuan untuk dapat segera melunasi utang-piutangnya, hanya menjadi kekuatan di atas kertas saja. Menurut undang-undang, sebelum ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), maka putusan tidak dapat langsung dieksekusi begitu saja. 8

Lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu

bersifat sederhana. Untuk membuktikan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Pengadilan Niaga mendasarkan pada ketentuan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan, yang menyatakan bahwa debitor dapat dinyatakan pailit apabila telah terbukti bahwa debitor tersebut mempunyai paling tidak satu kreditor yang tagihannya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor lainnya. Kemudian, dari sudut peninjauan yuridik, eksistensi Pengadilan Niaga dapat kita kaji dengan mengaitkan segi peninjauan yuridik Undangundang, baik secara horizontal maupun vertikal, yaitu

menghubungkannya dengan hukum positif yang telah ada sebelumnya, apakah itu terhadap peraturan perundang-undangan yang setingkat, atau terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. a.ii. Kelemahan Pengadilan Niaga Salah satu alasan diadakannya perubahan terhadap Undang-Undang Kepailitan adalah dimaksudkan agar Pengadilan Niaga menjadi pengadilan yang cepat dan sederhana. Namun dalam prakteknya terdapat persepsi bahwa beracara di Pengadilan Niaga tidaklah secepat dan sesederhana sebagaimana dari maksud dibentuknya. Dalam beberapa kasus, para hakim niaga, khususnya majelis hakim tingkat Mahkamah Agung tampaknya kurang memperhatikan jangka waktu tersebut, seperti dalam beberapa putusan, majelis hakim kasasi ataupun Peninjauan Kembali memberikan putusan pailit melebihi jangka waktu yang telah ditetapkan, tanpa akibat hukum apapun. Selain itu sistem pembuktian yang sederhana pada perkara kepailitan dirasakan tidak dapat diterapkan pada Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa HaKI, sehingga jangka waktunya diperpanjang. Namun dalam kenyataannya, untuk beberapa kasus perkara kepailitan yang diajukan ke 9

Pengadilan Niaga, pembuktiannya pun tidak sesederhana seperti yang seharusnya. Disamping adanya putusan-putusan yang tidak konsisten, putusan kontroversial dapat dilahirkan melalui persyaratan pernyataan pailit yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. karena Undang-undang ini tidak mensyaratkan adanya insolven (unable to pay) dan tidak pula harus mempertimbangkan kepentingan para kreditor secara keseluruhan (common pool problem). Penghilangan kedua persyaratan yang esensial itu dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dapat menimbulkan kerancuan, karena penggunaan hukum kepailitan ini tidak ada bedanya dengan prosedur gugatan perdata biasa (nonbankruptcy judicial trial procedures) yang harus ditempuh di peradilan perdata. Hukum kepailitan ini telah digunakan secara menyimpang oleh para kreditor. Hal ini memang tidak aneh karena esensi dari hukum kepailitan itu adalah sebagai debt collection, debt forgiveness, dan debt adjustment.

b. Eksistensi Pengadilan Niaga Ditinjau Dari Perspektif Kuantitatif Perkara Yang Masuk Ke Pengadilan Niaga Pengadilan Niaga dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kewenangan pengadilan niaga adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU) dan Hak Kekayaan Intelektual (meliputi: hak cipta, merek, paten, tata sirkuit terpadu dan desain industri). Saat ini terdapat lima Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan Niaga Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, dan Ujung Pandang. Sebelum diberlakukannya Undang-undang Kepailitan, para pelaku ekonomi memperkirakan sedikitnya ada 1800 perusahaan di Indonesia yang dikenai proses kepailitan. Kenyataannya, setelah setahun Undang-Undang Kepailitan diberlakukan, kasus kepailitan tidak lebih dari 100 dan dari data 10

statistik tahun 1998-1999, permohonan pailit hanya 29 persen yang dikabulkan. Berdasarkan data hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh Bappenas, jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga pada periode 1998-2002 terbanyak di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yaitu sejumlah 315 perkara. Di pengadilan Niaga Surabaya hanya ada 1 perkara, sementara di Pengadilan Niaga Semarang hanya 5 perkara. Dari jumlah tersebut yang berhasil diputus Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebanyak 308 perkara dan diputus Pengadilan Niaga Semarang sebanyak 5 perkara. Di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk. Pada tahun 1999 terdapat 100 perkara. Tahun berikutnya menurun jadi 84 perkara dan tahun 2001 menurun lagi menjadi 61 perkara. Dan pada tahun 2002 tinggal 39 perkara. Sebagai perbandingan, selama tahun 2010, perkara yang masuk ke pengadilan niaga berjumlah 254 perkara. Sisa perkara tahun 2009 berjumlah 4 perkara. Sehingga jumlah yang ditangani Pengadilan Niaga berjumlah 258 perkara. Jumlah perkara yang masuk tersebut naik 54,88 % dari tahun sebelumnya yang berjumlah 164 perkara. Dari jumlah perkara niaga yang ditangani selama tahun 2010 tersebut, 198 perkara telah diputus oleh Pengadilan Niaga dan 6 perkara dicabut oleh para pihak. Dengan demikian rasio penyelesaian perkara niaga sebesar 79,07 %. Hal penurunan berperkara di Pengadilan Niaga dapat disebabkan berbagai faktor, seperti faktor ekonomi, sosial dan yuridis dimana hal tersebut juga terkait dengan rasa keadilan yang diharapkan dari para kreditur dan debitur pailit untuk memenuhi kebutuhan aset yang telah dinyatakan pailit tersebut.

11

c. Eksistensi Pengadilan Niaga Ditinjau Dari Perspektif Struktural Kelembagaan Pengadilan Niaga didirikan pada tahun 1998 dimana pada awalnya Pengadilan Niaga terbatas hanya mengadili perkara berdasarkan Undang Undang Kepailitan yang baru. Tetapi pada tahun 2001, terjadi perluasan yang mencakup kewenangan untuk mengadili perkara Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), meliputi kewenangan memeriksa sengketa merek, paten, hak cipta, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Pengadilan Niaga pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Pasal 306 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Kemudian, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97 tahun 1999 didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Semarang dan Medan. Pembentukan Pengadilan Niaga membawa beberapa pembaruan, sebagai contoh adanya standar waktu penyelesaian perkara dan diperkenalkannya hakim Ad Hoc. Pengadilan Niaga juga merupakan Pengadilan pertama yang memberikan kewenangan bagi hakimnya untuk mengajukan pendapat yang berbeda atau dissenting opinion dalam putusan. Oleh karena Pengadilan Niaga hanya merupakan chamber dari pengadilan umum, seperti pada halnya dengan pengadilan anak dan pengadilan lalu lintas, maka tidak ada jabatan ketua Pengadilan Niaga karena Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan juga membawahi Pengadilan Niaga. Dalam strukturnya, Pengadilan Niaga merupakan bagian dari Pengadilan Negeri sehingga Ketua Pengadilan serta Panitera Pengadilan juga bertindak sebagai Ketua Pengadilan dan Panitera Pengadilan Niaga. Namun, Hakim yang menangani perkara niaga merupakan Hakim karir yang khusus ditunjuk atau ditugaskan untuk itu. Selain menangani perkara niaga, hakim-hakim pengadilan niaga juga menangani perkara-perkara umum (pidana dan perdata) yang masuk ke Pengadilan Negeri. Pada lingkungan pengadilan umum dimana dalam 12

pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal ini, hakim di pengadilan niaga juga dapat merupakan hakim ad hoc yang dalam penunjukan dan pengangkatannya ditentukan dalam undang-undang. Adapun ruang lingkup kompetensi untuk mengadili pada Pengadilan Niaga dapat dikelompokkan antara lain : Pada Pengadilan Negeri Surabaya, meliputi wilayah :

1. Jawa Timur 2. Kalimantan Selatan 3. Kalimantan Tengah 4. Kalimantan Timur 5. Bali 6. Nusa Tenggara Timur 7. Nusa Tenggara Barat Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan

meliputi wilayah provinsi : 1. Sumatera Utara 2. Riau 3. Sumatera Barat 4. Bengkulu 5. Jambi 6. Daerah Istimewa Aceh Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung

Pandang meliputi wilayah provinsi : 1. Sulawesi Selatan 2. Sulawesi Tenggara 3. Sulawesi Utara 4. Maluku 5. Irian Jaya 13

Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta

meliputi wilayah provinsi : 1. Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2. Jawa Barat 3. Lampung 4. Sumatera Selatan 5. Kalimantan Barat Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang

meliputi wilayah provinsi : 1. Jawa Tengah 2. Daerah Istimewa Yogyakarta

d. Eksistensi Pengadilan Niaga Ditinjau Berdasarkan Kewenangan Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta PailitTerhitung sejak tanggal putusan pailit diucapkan debitor pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaan yang telah dinyatakan pailit (harta pailit). Selanjutnya pelaksanaan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit tersebut diserahkan kepada kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan diawasi oleh hakim pengawas yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan. Pengangkatan tersebut harus ditetapkan dalam putusan pernyataan pailit tersebut. Pelaksanaan pengurusan harta pailit tersebut oleh kurator bersifat seketika, dan berlaku saat itu terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, meskipun terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Jika ternyata kemudian putusan pailit tersebut dibatalkan oleh putusan kasasi atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat bagi debitor pailit. Hal demikian ditegaskan dalam Undang-Undang Kepailitan pada ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang merumuskan:

14

Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.Kemudian ayat (2) berbunyi:

Dalam hal tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitor pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit. d.i.Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Belum Memahami

Sepenuhnya Fungsi dan Peran Seorang Kurator Walaupun dipahami bahwa sangat dibutuhkan kemampuan dan keberanian seorang kurator untuk dapat segera melakukan pengamanan atas seluruh harta pailit (bankruptcy estates) terhitung sejak debitor tersebut dinyatakan pailit, kemampuan dan keberanian tersebut haruslah

dilaksanakan dengan dasar hukum yang jelas dan tegas. Sayangnya, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 belum memiliki ketentuanketentuan yang jelas dalam mengatur dan mendukung pelaksanaan tugas tugas kurator di lapangan, demikian pula dalam mengatur hubungan kurator dengan Pengadilan Niaga. Hal tersebut membuat seorang kurator sejak awal mulai melakukan tugas dan kewenangannya, telah berada dalam

ketidakpastian hukum yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi boedel pailit. 1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak jelas mengatur kapan sebenarnya seorang kurator benar-benar mulai berwenang dalam melakukan pengurusan atau pengamanan harta boedel pailit ; Bila ditanya, kapan secara hukum seorang kurator dapat mulai melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit?, ternyata Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak dapat menjawabnya dengan pasti. Jika didasarkan pada pasal 15 ayat (1) dan pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, kedua pasal tersebut telah secara jelas mengatur bahwa seorang kurator diangkat bersamaan dengan putusan pailit, dimana sejak tanggal putusan pailit itu pulalah, kurator telah berwenang untuk melaksanakan tugas dan 15

kewenangannya dalam mengurus dan membereskan harta pailit, walaupun terhadap putusan pailit tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali. Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) juga menegaskan bahwa debitor demi hukum telah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta pailit, yang menurut pasal 21, telak diletakkan dalam sita umum terhitung sejak pukul 00.00 pada tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Dengan demikian, seharusnya sudah sangat jelas terjawab, bahwa seorang kurator sudah harus segera memulai tugas dan kewenangannya segera setelah pengangkatannya, apalagi keharusan untuk melakukan tindakan cepat dalam upaya untuk segera mengamankan harta pailit, misalnya dengan segera menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya milik debitor pailit seperti yang diharuskan oleh pasal 98 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Resikonya adalah pertanggungjawaban pribadi kurator (personal liability) apabila terjadi kerugian ataupun kehilangan harta pailit pada masa pengurusan dan pemberesan boedel pailit tersebut. Akan tetapi sayangnya, dalam pelaksanaannya ketentuan dalam pasalpasal tersebut sama sekali tidak berguna dan tidak dapat dilaksanakan , karena tanpa memegang salinan putusan pailit, mustahil seorang kurator dapat melaksanakan tugas yang dimaksudkan oleh pasal pasal tersebut diatas. Dengan pengertian lain, ternyata kurator baru akan dapat memulai tugas dan kewenangannya, setelah mendapatkan salinan putusan pailit. Sementara bila berdasarkan pasal 9 Undang-Undang Kepailitan itu sendiri, salinan putusan pailit baru dapat diterima secara resmi paling cepat 4 (empat) hari, dimana sangat memungkinkan terjadinya penghilangan, pencurian, dan pengrusakan boedel pailit oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Ketidakpastian dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut diperburuk lagi dengan fakta dalam praktek bahwa tidak jarang salinan putusan pailit tersebut diterima oleh kurator dalam waktu sangat 16

terlambat dari waktu yang seharusnya ditentukan oleh undang -undang, khususnya puusan-putusan pailit pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung yang keterlambatannya bahkan dapat lebih dari sebulan dari tanggal diputusnya seorang debitor pailit. Dapat dibayangkan bagaimana akibat dari keterlambatan diterimanya putusan pailit oleh seorang kurator terhadap keselamatan boedel pailit, khususnya apabila debitor pailit tersebut merupakan Perseroan Terbatas (PT) yang bersifat terbuka. Keadaan ketidakpastian sejak awal mulanya pengurusan boedel pailit ini akan memberikan pengaruh ketidakpastian pada proses-proses berikutnya. Agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, maka pasalpasal yang mengatur tentang dimulainya tugas dan kewenangan kurator setelah mendapat salinan putusan pailit haruslah dihapus, dan terhadap Pengadilan Niaga (baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun di Mahkamah Agung), suka tidak suka, harus segera melakukan perubahan, yaitu dengan memastikan bahwa kurator dapat segera mengetahui dan mendapatkan putusan pailit (atau paling tidak amar putusan pailit) pada hari dan tanggal yang sama diputuskannya pernyataan pailit tersebut. Karena dengan begitulah, prinsip zero hour principle yang digunakan dalam pasal 24 ayat (2), serta tindakan yang dimaksudkan dalam pasal 98 tersebut memungkinkan untuk dilakukan. 2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak mempunyai ketentuan yang tegas untuk melindungi kehormatan dari putusan-putusan Pengadilan Niaga yang didirikannya; Dalam pelaksaan tugasnya, sudah menjadi rahasia umum bila dikatakan bahwa tidak jarang seorang kurator mengalami perlawanan, ancaman, pengusiran, dan bahkan penganiayaan dari debitor pailit ataupun pekerja-pekerjanya, ketika kurator tersebut memulai

melaksanakan tugasnya untuk melakukan pencatatan dan pengamanan harta pailit. Khususnya bila terhadap putusan pailit tersebut masih dilakukan upaya hukum Kasasi atau Peninjauan Kembali, akan semakin 17

mempersulit kurator untuk mulai bekerja, walaupun dengan tegas pasal 16 Undang-Undang Kepailitan menegaskan tentang pelaksanaan putusan pailit yang bersifat serta-merta (uit vorbaar bij voraad). Keadaan ini jelas-jelas telah menimbulkan potensi ketidakpastian pada status harta debitor pailit sejak awal pengurusan, padahal kurator telah

mengumumkan status dari kepailitan tersebut dikoran dan telah pula mengundang semua kreditor untuk mendaftarkan tagihan-tagihannya. Dalam keadaan seperti ini, hampir dipastikan bahwa tidak ada perangkat hukum Kepailitan yang dapat menolong kurator untuk mengatasi hal tersebut. Satu-satunya ketentuan dalam pasal 93 ayat (1) tentang secara teori dimungkinkannya untuk meng-gijzeling (menerapkan tahanan badan) bagi debitor-debitor yang melakukan ketidakpatuhan terhadap eksekusi putusan Pengadilan Niaga, hingga saat ini total tidak berguna karena tidak dapat dilaksanakan (unenforceable). Keadaan ini, sangat menimbulkan ketidakpastian hukum dan rasa apatis (bahkan frustasi) bagi kurator dalam melaksanakan tugasnya, mengingat dalam hal setiap waktu terjadinya kerugian akibat dari situasi tersebut, sangat memungkinkan setiap kreditor-yang merasa dirugikan akibat dari kehilangan, pengurangan nilai dari boedel pailit terhitung sejak dalam masa pengurusan kurator-untuk melakukan gugatan perdata meminta pertanggungjawaban pribadi kurator atas kerugian tersebut. Keadaan ini, jelas-jelas sangat berpengaruh terhadap nasib dari kepengurusan dan pemberesan boedel pailit berikutnya. Untuk itu, sangat disarankan agar Undang-Undang Kepailitan memberikan perangkat hukum yang pasti dalam mengawal kewenangan besar yang diberikan kepada kurator, baik dengan menggunakan fungsi Pengadilan Niaga secara aktif dalam memastikan ketundukan dari debitor, dan pihak-pihak lain yang terkait, begitu pula dengan keterlibatan pihak kepolisian dalam proses penegakan hukum dalam hal terjadinya pembangkangan terhadap putusan pailit tersebut.

18

3) Pasal 100 yang mengharuskan kurator telah membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima Salinan Putusan Pailit adalah pasal yang ilusif karena tidak memungkinkan untuk dilaksanakan; Pasal 100 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga memberikan kontribusi terhadap ketidakpastian hukum dalam pekerjaan kurator sejak awal, karena ketentuan dalam pasal tersebut yang mengharuskan kurator telah membuat pencatatan harta pailit maksimum 2 (dua) hari sejak kurator mulai berwenang, adalah ketentuan yang sangat tidak mungkin untuk dilaksanakan, atau paling tidak memungkinkan dilaksanakan secara seragam pada debitor pailit, khususnya dalam hal debitor merupakan sebuah Perseroan Terbatas (PT) yang berkedudukan diluar wilayah Jakarta, ataupun memiliki cabang dibanyak kota, atau bahkan diseluruh wilayah hukum ataupun diluar wilayah hukum Indonesia. Terhadap harta debitur palit, akan membutuhkan seorang kurator untuk melakukan pencatatan, tidak saja berdasarkan laporan dokumen, akan tetapi juga berdasar hasil tinjauan fisik dari setiap harta pailit tersebut, dimanapun letaknya diseluruh Indonesia, kecuali dalam hal kurator telah mendapatkan keyakinan maksimal terhadap status keberadaan dan nilai dari aset debitor pailit tersebut tanpa harus melakukan tinjauan lapangan. Oleh karena itu, ketentuan dalam pasal 100 Undang-Undang Kepailitan harus diubah dan secara sinkron pencatatan harus disesuaikan dengan maksud dari pelaksanaan kewenangan kurator, yaitu segera setelah debitor dinyatakan pailit. Dan, terhadap masa waktu pencatatan yang dibutuhkan, harus disesuaikan dengan tingkat kerumitan jumlah dan jarak dari lokasi dimana aset-aset tersebut berada. Dengan pengertian lain, apa gunanya pasal tersebut jika memang faktanya tidak memungkinkan untuk dipenuhi, sementara dengan kehadiran dari pasal tersebut akan memberikan kerentanan hukum pada kedudukan dari kurator dalam memulai pelaksanaan tugas dan kewenangannya. 19

4) Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) dalam upaya penyelesaian sengketa yang terjadi antara debitor dan kreditor sehubungan dengan besarnya piutang (Renvoi); Kehadiran pasal 127 ayat (1) memberikan permasalahan tersendiri pada pelaksanaan tugas seorang kurator. Pada prinsipnya, berdasarkan pasal 3 ayat (1) permasalahan yang berhubungan dengan jumlah utangpiutang yang masih tidak dapat dicapai penyelesaiannya walaupun telah melibatkan Hakim Pengawas, dapat dilakukan melalui Renvoi dengan mengajukan ke Majelis Hakim Niaga yang memutuskan permohonan pailit tersebut. Akan tetapi, pasal 127 dalam penjelasannya menyatakan bahwa Hakim Pengawas memerintahkan penyelesaian permasalahan jumlah piutang tersebut. Justru bukan ke Pengadilan Niaga, akan tetapi ke Pengadilan Negeri. Ketentuan Pasal 127 ayat (1) ini, jelas akan dapat menimbulkan kebingungan hukum dan membuat proses pengurusan dan pemberesan harta pailit menjadi terganggu. Karena dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 secara tegas telah terjadi salah cetak terhadap pengertian dalam penjelasan yang diuraikan dalan Ketentuan Umum pasal 1 ayat (7), yang dimaksud dengan Pengadilan adalah Pengadilan Niaga. Akan tetapi, alasan tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar intepretasi dari pasal 127 ayat (1) tersebut sebelum tegas dilakukan revisi terhadap penjelasan dari pasal 127 tersebut, aga tidak terjadi dualisme kewenangan absolut antar pengadilan. 5) Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan merupakan pasal yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa seluruh permasalahan-permasalahan yang muncul sehubungan dengan proses pengurusan dan pemberesan harta pailit hanya dapat diperiksa dan diputuskan di Pengadilan Niag a. 20

Esensinya, pasal ini hendak mensinkronkan seluruh proses pemeriksaan perkara kepailitan dan segala bentuk-bentuk perkara yang terlibat didalamnya dalam satu atap, agar dapat diperiksa dengan irama yang sama, cepat, efisien, transparan, dan adil. Akan tetapi, yang sangat dilupakan oleh pembuat Undang-Undang dalam memasukkan pasal ini adalah bahwa Pengadilan Niaga mempunyai keterbatasan dalam melakukan kewenangannya. Dengan pengertian lain, paling tidak berdasarkan pasal 8 ayat (4) Pengadilan Niaga hanya mempunyai kewenangan dalam memutuskan perkara yang proses pembuktiannya sederhana, dan time frame penyelesaiannya harus dilakukan dengan sangat cepat. Lebih jauh, jikapun kewenangan yang dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) tersebut ingin diwujudkan, maka berdasarkan pasal 300 Undang-Undang Kepailitan haruslah kewenangan tersebut dilaksanakan dengan tatacara pemeriksaan perkara yang terpisah dari ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Kepailitan tersebut. Penulis sangat tidak sependapat bila dalam penanganan kasus-kasus lain yang muncul pada saat pengurusan dan pemberesan boedel pailit tersebut, dasar kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa kasuskasus yang muncul pada saat pailit tersebut didasarkan pada pasal 299 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, karena, selain salah kaprah, secara otomatis akan menyamakan tatacara pemeriksaan, tahapan, dan waktu pemeriksaan perkara sama dengan kewenangan yang selama ini dimilki oleh Pengadilan Negeri. Pasal 299 hanyalah pelengkap dalam hal terjadinya ketidakjelasan dalam pelaksanaan ketentuan dalam acara pemeriksaan permohonan pailit dan PKPU, bukan dalam hal memberikan perluasan kewenangan kepada Pengadilan Niaga untuk memeriksa perkara-perkara yang tidak merupakan kewenangannya. Ketidakpastian hukum terhadap pelaksanaan pasal 3 ayat (1) beberapa kali terjadi dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Misalnya, dalam hal terdapat laporan yang menduga bahwa debitor telah memasukkan kreditor fiktif dalam data-data permohonan perdamaian 21

yang diajukannya untuk tujuan memenangkan voting right, Pengadilan Niaga pada dasarnya tidak pernah secara serius menindaklanjutinya. Kemungkinan besar tindakan tersebut terjadi karena Pengadilan Niaga kebingungan dalam menentukan pengadilan mana yang sebenarnya berwenang untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dugaan penggunaan kreditor fiktif tersebut. Mengingat bahwa dugaan penggunaan kreditor fiktif tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana, maka seharusnyalah lebih dahulu dugaan tersebut dilaporkan ke pihak kepolisian sebagai lembaga yang secara hukum berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap bukti-bukti telah terjadi atau tidaknya dugaan tindak pidana tersebut. Sama halnya terhadap dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan pasal 396 sampai dengan pasal 402 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentunya jelas bukan kewenangan Pengadilan Niaga untuk mengadilinya. Akan tetapi, sebaliknya, jika dilakukan dengan lebih dulu melakukan laporan ke Polisi, maka besar kemungkinan penanganan perkara dugaan penggunaan kreditor fiktif tersebut akan menjadi kewenangan dari Pengadilan Negeri dengan tatacara

pemeriksaan sesuai dengan ketentuan dalam hukum acara pidana. Bila hal tersebut terjadi, maka akan terjadi ketidaksinkronan penggunaan waktu dalam proses pemeriksaan dugaan penggunaan kreditor fiktif tersebut dengan proses pengurusan dan pemberesan harta pailit yang pada dasarnya harus dilakukan secepat mungkin. Demikian pula misalnya terhadap permasalahan dalam penentuan berapa sebenarnya kewajiban pajak yang menjadi beban debitor pailit, hingga saat ini masih menimbulkan kebingungan dari Pengadilan Niaga, karena berdasarkan pasal 3 ayat (1) permasalahan tersebut seharusnya merupakan kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutuskannya. Dalam prakteknya, Pengadilan Niaga bersikap mendua terhadap sengketa perpajakan tersebut, dimana pada satu putusan Pengadilan Niaga menyatakan berwenang memeriksa sengketa 22

perpajakan antara debitor pailit dengan Ditjen Pajak sehubungan dengan kewajiban pajak debitor pailit berdasarkan pasal 3 ayat (1), akan tetapi pada kasus lain, menyatakan bahwa Pengadilan Niaga tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa kasus tersebut, mengingat telah adanya kewenangan khusus yang diberikan Undang-Undang Perpajakan kepada Pengadilan Sengketa Pajak. Sikap-sikap seperti hal tersebut diatas jelas menimbulkan persoalan tersendiri dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit, mengingat kedudukan istimewa dari pajak yang memiliki kedudukan tertinggi untuk memperoleh pembayaran dari harta debitor pailit, termasuk harta debitor pailit yang diagunkan (dijaminkan). Selama kasus tersebut belum memperoleh kepastian hukum, dan jumlah kewajiban pajak yang ditetapkan menjadi kewajiban debitor pailit tersebut jumlahnya sangat besar, dan bahkan diduga melebihi jumlah harta debitor pailit yang ada, maka pada umunya kurator tidak akan berani untuk melakukan pembayaran terhadap kreditor-kreditor dari debitor pailit yang berhak, sampai dengan kejelasan sengketa pajak tersebut. Ketidakpastian hukum sehubungan dengan pelaksanaan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga terjadi dalam pemeriksaan terhadap tindakan actio pauliana yang diduga dilakukan oleh debitor yang merugikan kreditor. Pengadilan Niaga juga mengalami ketidaktegasan dalam penanganan perkara tersebut, mengingat bahwa kasus-kasus yang berhubungan dengan tindakan actio pauliana oleh pengurus PT yang telah pailit, tidaklah dapat dikategorikan sebagai kasus sederhana, sehingga tidak dapat dengan begitu saja diputuskan oleh Pengadilan Niaga tanpa didahului suatu proses pemeriksaan ataupun pembuktian yang kompleks. Ketidakpastian-ketidakpastian seperti tersebut diataslah yang menjadi dasar-dasar yang menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi seorang kurator untuk melakukan langkah pengurusan dan pemberesan pailit secara cepat, transparan, dan berkepastian. Oleh karena itu, ketentuan pasal 3 23

ayat (1) yang dengan begitu saja secara umum menyatakan bahwa seluruh pemeriksaan kasus-kasus yang muncul setelah kepailitan merupakan dalam kewenangan Pengadilan Niaga, haruslah secara tegas ditindaklanjuti dengan peraturan lanjutannya, yang mengatur lebih jelas tentang hukum acara khusus yang akan digunakan oleh Pengadilan Niaga dalam mengadili gugtaan actio pauliana tersebut. Jika tidak, maka penanganan gugatan actio pauliana hanya dilakukan melalui suatu keterpaksaan hukum, yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu putusan yang sangat diragukan keadilannya. Mengingat langkah pemeriksaan dengan menggunakan ketentuan pasal 8 ayat (4) UndangUndang Kepailitan tidak tepat untuk itu.

24

BAB III KESIMPULAN

A. EKSISTENSI PENGADILAN NIAGA DITINJAU DARI PERSPEKTIF YURIDIS Dalam lingkungan peradilan umum terdapat beberapa pengadilan khusus atau spesialisasi seperti Pengadilan Pajak, Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, dan Pengadilan Hak Asasi Manusia. Landasan yuridis keberadaan pengadilan khusus, dalam hal ini Pengadilan Niaga mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pada Pasal 1 ayat (5) sebagaimana termaktub, Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. Pengadilan Niaga lahir melalui penyempurnaan Staatsblad (Stb)1095217 jo Stb 1906-348 tentang Verordening op het faillissement en surceance van betaling (Faillissement verordening) Terkait dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Perpu Nomor 1 Tahun 1998 maka dibentuklah Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus pada Pengadilan Negeri, dengan pertimbangan bahwa krisis moneter di Indonesia telah memberi pengaruh tidak menguntungkan terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang-piutang untuk meneruskan kegiatannya dan menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat. Hak dan kewajiban Pengadilan Niaga diatur antara lain menurut pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu : Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban 25

Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Dengan demikian berdasarkan pasal di atas maka terdapat tiga kewenangan yang melekat pada Pengadilan Niaga yaitu : 1) Memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit; 2) Memeriksa dan memutus permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; 3) Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya sengketa di bidang HaKI. Pengadilan Niaga berdasarkan pasal 65 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, wajib mengumumkan putusan pailit yang telah diputus Majelis Hakim dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dua surat kabar harian oleh Kurator yang ditunjuk oleh hakim pengadilan. Hal ini berfungsi sebagai sarana pemberitahuan bagi para kreditor-kreditor yang tidak tauh bahwa debitornya telah dinyatakan pailit. Majelis Hakim Pengadilan Niaga juga wajib menunjuk hakim pengawas utuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. B. MENGKAJI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN:

MEMPERKUAT LEGITIMASI ATAUKAH DUALISME HUKUM ?Terkait dengan masih adanya kelemahan -kelemahan mendasar dalam Undang-Undang Kepailitan, maka pihak legislatif mengupayakan untuk menyusun rancangan undang-undang tentang Pengadilan Niaga guna

memberikan legitimasi badan peradilan dan menjamin asas kepastian hukum.Aturan tersebut menyoroti beberapa hal substansial dalam meminimalisir kelemahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, antara lain: a. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dapat mendukung dan menjamin kepastian,

26

ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran; b. Era globalisasi, terutama di bidang perniagaan, menimbulkan banyak permasalahan hukum di masyarakat yang memerlukan penanganan secara cepat, adil, terbuka dan efektif; c. Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; d. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum; e. Penanganan permasalahan hukum di bidang perniagaan menjadi kewenangan pengadilan niaga yang berada dalam lingkungan peradilan umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

Jadi, pengaturan yang belum secara tegas diatur dalam undang -undang Kepailitandan diupayakan perlu diperbaiki dalam Undang-Undang Pengadilan Niaga, yaitu:

a. Pengertian Pengadilan Niaga Dalam Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 1 angka 7 hanya disebutkan pengertian Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum, sedangkan dalam RUU Pengadilan Niaga, pengertian Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang dibentuk dalam lingkungan peradilan umum. b. Perkara-perkara niaga Dalam Undang-Undang Kepailitan sebelumnya belum dikenal perkara niaga secara eksplisit, tapi dalam RUU Pengadilan Niaga hal mengenai perkara niaga itu antara lain sebagai berikut: 27

1. Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), serta hal-hal yang berkaitan dengannya, termasuk kasus-kasus actio pauliana dan prosedur renvoi tanpa memperhatikan apakah

pembuktiannya sederhana atau tidak; 2. Hak atas Kekayaan Intelektual : 1) Desain Industri 2) Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu 3) Paten 4) Merek 5) Hak Cipta 3. Lembaga Penjamin Simpanan : 1) Sengketa dalam proses likuidasi. 2) Tuntutan pembatalan segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha. 3) Perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang. c. Susunan Pengadilan Niaga Dalam Pengadilan Niaga, dimana dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 bahwa Pengadilan Niaga adalah Pengadilan khusus yang dibentuk dalam lingkungan peradilan umum dimana dalam Pasal 5 Susunan Pengadilan Niaga terdiri dari: 1. Pimpinan; 2. Hakim; 3. Penitera; 4. Panitera Muda Niaga; 5. Panitera Pengganti Niaga; 6. Juru Sita Pengganti.

28

DAFTAR PUSTAKA

Buku Hardjono. 2010. Bahan Perkuliahan Hukum Acara Peradilan Niaga. Surakarta : UNS. Rahayu Hartini. 2009. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia. Jakarta : Kencana. Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Yogyakarta : Liberty.

Perundang-undangan dan Internet Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12075/1/09E01694.pdf ,diakses 26 Maret 2011 pukul 17. 40 WIB. http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/statistik-perkara/109.html, diakses 24 Maret 2011 pukul 14.00 WIB. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/19307423435.pdf , diakses 20 Maret 2011 pukul 14.00 WIB. http://radianadi.wordpress.com/2011/03/14/kedudukan-pengadilan-niaga-pnmenurut-uu-no-37-tahun-2004/, diakses 24 Maret 2011 pukul 15.00 WIB. http://pn-medankota.go.id/images/stories/file/RUU%20Pengadilan%20Niaga.pdf, diakses 6 April 2011 jam 14.00 WIB.

29