ekosistem mangrove

Upload: amir-uddin

Post on 11-Jul-2015

2.796 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

buku ekosistem mangrove

TRANSCRIPT

STUDI KEANEKARAGAMAN HEXAPODA TANAH DI BERBAGAI JENIS PENUTUPAN LAHAN PADA EKOSISTEM MANGROVE(Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah)

ABD. WAHID

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASIDengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove (Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2007

Abd. Wahid NIM P052050041

iii

ABSTRACTABD. WAHID. Study of Soil Hexapods Diversity in Different Type of Land Cover on Mangrove Ecosystem in Togean Island National Park, Tojo Una-Una Regency. Under direction of HADI S. ALIKODRA, and YAYUK R. SUHARDJONO. Soil fauna is known compose 75% of each one million type of teresterial animal in the world. That number is dominated by Arthropods, specially Hexapods. In Indonesia, the research of soil Hexapods on mangrove ecosystem is very limited. Consequently, the information about diversity and role of Hexapods is also limited. Based on the reasons as mentioned above, this research focused on inventarisation of soil Hexapods diversity in ecosystem of mangrove. This research was conducted on the six types of land cover in the area of National Park of Togean Island, Tojo Una-Una Regency, Central Sulawesi Province. The data were collected from February to July 2007 by using Pitfall Traps (PFT) and soil sampel (PCT) method. The result showed that, the different density of population and diversity of soil Hexapods is influenced by compositioin of vegetation, litter layer, and composition of organic matter (C-organic) on six types of land. Soil environment factor like: temperature, humidity, pH, organic matter (C-organic and N-total) are also influence the abundance of soil Hexapods. This research collected 2,567 individu of soil Hexapods, compose of 2,078 Collembola, 489 Insect, which where grouped on 28 family and 12 ordo. Mangrove ecosystem with high density of different type of vegetation have a good composition and diversity of soil Hexapods. The number family that have a role as decomposition is more (78.8%-100%) than as fitofag, predator, and parasit. The variation of family with different role will emprove the stabilization of mangrove ecosystem. Keywords : Land cover, soil Hexapods diversity, soil environment factor, soil Hexapods role.

iv

RINGKASANABD. WAHID. Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una - Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA dan YAYUK R. SUHARDJONO.Pada kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean hutan mangrove umumnya rusak karena kegiatan konversi hutan mangrove untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, daerah pertanian, perkebunan, tambak, pemukiman dan pembangunan. Fenomena ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai ekologi dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan Salah satu keanekaragaman hayati yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah. Fauna tanah (serangga, Arachnida, dan lainnya) menyusun 75% dari setiap satu juta jenis binatang teresterial yang telah diketahui di dunia saat ini. Jumlah yang besar tersebut didominasi oleh kelompok Arthropoda khususnya Hexapoda (serangga) (Biological Survey of Canada, 1991). Hexapoda tanah berfungsi sebagai perombak bahan organik tanah, serasah, bangkai, penghancur kayu, parasit dan pemangsa, serta sebagai pengendali penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur. Peranannya tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia tetapi dapat dimanfaatkan setelah melalui jasa biota lain. Oleh karena itu, peran utamanya di dalam ekosistem mangrove menjadi kurang mendapat perhatian. Padahal tanpa kehadiran Hexapoda tanah, perombakan tumpukan bahan organik di sekeliling kita akan berjalan sangat lambat. Data dasar mengenai keanekaragaman dan keadaan populasi Hexapoda tanah pada suatu habitat akan berguna dalam mengkaji lebih rinci peran dan manfaatnya yang berkaitan dengan kemapanan ekosistem tempat mereka hidup. Informasi yang lengkap mengenai Hexapoda tanah pada suatu habitat tertentu akan membantu dalam pengelolaan kawasan yang lebih berkesinambungan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji kepadatan populasi dan keanekaragaman Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove, peran/fungsi masing-masing suku Hexapoda tanah dalam ekosistem mangrove, serta mengkaji faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah) yang mempengaruhi kelimpahan Hexapoda tanah. Penelitian dilakukan di Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah pada enam lokasi penelitian yaitu hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan mangrove jarang, kebun campuran, tambak dan lahan kosong. Pengumpulan Hexapoda tanah dilakukan dengan menggunakan metode perangkap sumuran atau Pitfall Traps (PFT) dan pengambilan contoh tanah (PCT). Untuk analisis data digunakan indeks Hill (Ludwig dan Reynolds, 1988) dengan program BioDAP for Windows v.1988, dan analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan parameter faktor lingkungan tanah (MINITAB Versi 14.01). Hexapoda tanah yang diperoleh dengan menggunakan metode PFT dan PCT sebanyak 2.567 individu yang tergolong atas 28 suku, 12 ordo, dan 2 kelas. Komposisi kelas Collembola terdiri atas 3 ordo, 4 famili, dan 2.078 individu; sedangkan kelas Insecta 9 ordo, 24 famili dan 489 individu. Collembola memiliki kekayaan spesies/individu paling tinggi. Dengan menggunakan PFT, perolehan jumlah individu, suku dan ordo

v

Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada lokasi penelitian lebih tinggi daripada dengan menggunakan PCT, kecuali pada tambak non tumpangsari perolehan jumlah ordo dan suku lebih tinggi pada PCT. Namun jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah dan yang paling melimpah dengan menggunakan PCT lebih tinggi daripada dengan PFT. Takson dengan jumlah individu paling banyak dan ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan pada daerah permukaan tanah adalah Collembola, disusul Hymenoptera (Formicidae) dan Orthoptera, sedangkan di dalam tanah adalah Collembola dan Psocoptera. Collembola dan Hymenoptera (Formicidae) merupakan takson yang ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah dengan kelimpahan individu tinggi. Ditemukannya kedua takson tersebut hampir di setiap jenis penutupan lahan menunjukkan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai kondisi fisik setempat. Di samping itu (terutama Collembola), merupakan takson yang jumlah individunya cukup besar dan memiliki keanekaragaman yang tinggi serta penyebarannya relatif luas di tanah. Secara keseluruhan dengan menggunakan metode PFT dan PCT total jumlah individu Hexapoda tanah dan rata-rata jumlah suku Hexapoda tanah di hutan mangrove yang belum dikonversi lebih rendah daripada hutan mangrove yang telah dikonversi (terutama pada komunitas kebun campuran). Hal ini diduga berkaitan dengan beragamnya vegetasi yang tumbuh di daerah yang telah dikonversi, serta adanya perubahan vegetasi di atas permukaan tanah, memberi pengaruh tidak langsung terhadap kehadiran Hexapoda tanah. Selain itu diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan tingginya kandungan bahan organik tanah (C-organik dan N-total). Dengan metode PFT, pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah individu (485) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove lebat, sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah (N1) dan yang paling melimpah (N2) tertinggi pada di hutan mangrove jarang. Di daerah yang telah dikonversi total jumlah individu (710) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di kebun campuran, sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah dan paling melimpah tertinggi di lahan kosong, selain itu jumlah suku yang melimpah tertinggi juga ditemukan di kebun campuran. Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, dengan metode PCT, total jumlah individu di hutan mangrove sedang menempati urutan tertinggi (31). Sedangkan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah serta nilai kelimpahan suku dan nilai dominansi suku tertinggi di hutan mangrove lebat dan mangrove sedang. Di hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah populasi Hexapoda tanah tertinggi (76) di kebun campuran, demikian pula dengan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah (NO) serta nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) tertinggi semuanya ditemukan di kebun campuran. Tingginya nilai keanekaragaman Hexapoda tanah ini diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan kandungan bahan organik (C-organik) di lokasi tersebut. Menurut Suhardjono (1992), kelimpahan Collembola dan Hexapoda tanah lainnya bergantung pada ketersediaan bahan organik dan ketebalan lapisan serasah. Lapisan tanah yang jumlah individu fauna tanahnya paling tinggi adalah lapisan tanah yang banyak serasah dan humusnya. Pada lapisan ini ditemukan jamur dan sisa bahan organik sebagai sumber pakan. Lokasi kebun campuran dan hutan mangrove lebat memiliki komposisi Hexapoda tanah yang lebih baik. Keadaan ini akan menciptakan suatu kondisi ekosistem yang lebih mantap (kestabilan ekosistem). Sedangkan lahan kosong dan mangrove jarang

vi

memiliki komposisi Hexapoda tanah yang rendah, mengindikasikan kondisi ekosistem yang kurang stabil. Berdasarkan perannya dalam lingkungan, kelompok perombak mendominasi pada setiap jenis penutupan lahan, baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah. Persentase perombak dipermukaan tanah (metode PFT) berkisar 78,8% - 99,5%, sedangkan di dalam tanah (metode PCT) 93,3% - 100%. Dengan metode PFT, jumlah individu Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak memiliki jumlah terbesar, baik pada hutan mangrove yang belum dikonversi (kisaran 78,8% - 86,4%), maupun pada hutan mangrove yang telah dikonversi (kisaran 94,0% - 99,5%). Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok Hexapoda perombak berjumlah 717 individu didominasi oleh Collembola (641), diikuti oleh ordo Hymenoptera/Formicidae (38) dan Diptera (25). Hexapoda tanah yang berperan sebagai pemangsa (130 individu) sebagian besar berasal dari ordo Orthoptera (114), Hymenoptera (11). Serangga yang berperan sebagai fitofagus (8 individu) umumnya berasal dari ordo Coleoptera (4) dan Homoptera (3), sedangkan kelompok pemarasit tidak satupun yang ditemukan. Pada hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah perombak 1.471 individu umumnya berasal dari Collembola (1.379), Hymenoptera (44) dan Diptera (31). Kelompok yang berperan sebagai pemangsa (42 individu), sebagian besar berasal dari ordo Orthoptera (19) dan Hymeoptera (14). Kelompok fitofagus (11 individu) didominasi ordo Homoptera (5) dan Hemiptera (4), sisanya dari ordo Coleoptera dan Lepidoptera. Pada kelompok pemarasit tidak satupun individu yang ditemukan, seperti pada hutan mangrove yang belum dikonversi. Pada metode PCT, jumlah perombak yang diperoleh sangat dominan baik pada hutan mangrove yang belum dikonversi (kisaran 96,4% - 100%) maupun hutan mangrove yang telah dikonversi (kisaran 93,3% - 97,4%). Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok Hexapoda perombak berjumlah 76 individu didominasi oleh ordo Psocoptera (36), Collembola (14) dan Diptera (14). Kelompok predator/pemangsa hanya ditemukan pada ordo Diptera (1 individu), sedangkan kelompok fitofagus diwakili oleh ordo Homoptera (1 individu). Pada hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah perombak 112 individu umumnya berasal dari Collembola (44), diikuti ordo Psocoptera (32) dan Coleoptera (20). Kelompok peran yang lain yaitu pemangsa/predator ditemukan dalam populasi yang rendah (4 individu) diwakili oleh ordo Diptera, Hymenoptera dan Coleoptera. Dua kelompok peran yang lain, yaitu fitofagus dan pemarasit tidak ditemukan pada lokasi tersebut. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa faktor lingkungan terutama suhu dan kelembaban tanah, pH, salinitas dan bahan organik (C-organik) tanah lebih berpengaruh terhadap kelimpahan Hexapoda yang aktif di permukaan tanah. Sedangkan faktor lingkungan yang berpengaruh pada kelimpahan Hexapoda yang hidup di dalam tanah (eudafik) adalah suhu dan kelembaban tanah, porositas, pH, dan kandungan bahan organik (C-organik, N-total) tanah. Kata kunci : vegetasi mangrove, penutupan lahan, keanekaragaman, Hexapoda tanah.

vii

Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

viii

STUDI KEANEKARAGAMAN HEXAPODA TANAH DI BERBAGAI JENIS PENUTUPAN LAHAN PADA EKOSISTEM MANGROVE(Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah)

ABD. WAHID

Tesissebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

ix

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Etty Riani, MS.

x

Judul Tesis

: Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove (Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah) : Abd. Wahid : P052050041

Nama NIM

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. Ketua

Prof. Dr. Yayuk R. Suhardjono Anggota

Diketahui

Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Etty Riani, MS.

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian : 30 Oktober 2007

Tanggal Lulus :

November 2007

xi

PRAKATAPuji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Tak lupa shalawat dan salam dipersembahkan kepada Nabiullah Muhammad SAW atas keteladannya. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Pebruari 2007 Juli 2007 adalah Keanekaragaman Hayati dengan judul Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah di Berbagai Jenis Penutupan Lahan pada Ekosistem Mangrove (studi kasus di TN Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah). Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS dan Ibu Prof. Dr. Yayuk R. Suhardjono selaku komisi pembimbing atas arahan dan diskusi yang sangat berharga selama ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi serta seluruh staf pengajar Pascasarjana Program Studi PSL yang telah memberikan pengetahuan yang tak ternilai selama masa perkuliahan. Disamping itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Rektor serta Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB. Demikian pula pada Pengelola Biaya Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS) Dikti atas dukungan biaya selama masa studi. Apresiasi yang tinggi juga penulis sampaikan kepada Saudara Risman alias Koa warga desa Lembanato di kepulauan Togean atas semua bantuan dan fasilitas yang diberikan selama pengumpulan data di lapangan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Fatimah dan Bapak Darmawan dari Laboratorium Zoologi LIPI di Cibinong atas bantuannya selama pengamatan di laboratorium, serta semua pihak yang telah memberi bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penghargaan yang tinggi disampaikan kepada teman-temanku angkatan 2005 program studi PSL terima kasih untuk persahabatan, bantuan serta dukungan dalam menyelesaikan studi. Pada akhirnya, karya tulis ini penulis persembahkan buat Mama dan Papa tercinta karena dengan doa dan keridhaan semua ini dapat berjalan lancar, serta kepada istri tercinta Dra. Amna Thahir, ketiga anakku Fahrul Ramadhan Junus, Nurfadhila Junus dan Farhana Shinta Wahid atas keikhlasan, pengertian, doa dan dorongan serta semangat untuk pencapaian semua ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kita semua yang membutuhkan. Bogor, Oktober 2007 Abd. Wahid

xii

RIWAYAT HIDUPPenulis dilahirkan di Soni, Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah pada tanggal 05 Oktober 1967 dari Ayah Jasin Junus (Purnawirawan ABRI) dan Ibu Hj. Zakia Maseng. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Tahun 1986 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri I Kotamadya Gorontalo dan pada tahun yang sama melanjutkan studi ke Universitas Samratulangi (UNSRAT) Manado Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1991. Sejak Pebruari tahun 1993 penulis tercatat sebagai tenaga pengajar pada Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (UNTAD) Palu. Pada tahun ajaran 2005/2006 penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister Sains, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor dengan biaya pendidikan dari BPPS Dikti, dan suporting biaya riset dari Yayasan Fuji Xerox Asia Pacific Astra Graphia. Penulis dinyatakan lulus dengan penilaian Sangat Baik pada tanggal 30 Oktober 2007 dalam sidang ujian magister sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) IPB Bogor.

xiii

DAFTAR ISIHalaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A Latar Belakang ...................................................................................... 1 B Kerangka Pemikiran .............................................................................. 4 C Perumusan Masalah ............................................................................... 7 D Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 8 E Hipotesis ................................................................................................ 8 II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... A Tinjauan Umum Hutan Mangrove ........................................................ B Tinjauan Umum Fauna Tanah ............................................................... C Serangga (Hexapoda) ............................................................................ D Indeks Keanekaragaman ....................................................................... III METODE PENELITIAN ........................................................................... A Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... B Bahan dan Alat Penelitian ..................................................................... C Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..................................................... D Metode Pengambilan Data .................................................................... E Identifikasi dan Analisis Peran Hexapoda Tanah .................................. F Analisis Data .......................................................................................... IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. A Hasil ...................................................................................................... A.1 Faktor Lingkungan Fisik dan Kimia ....................................................... A.2 Vegetasi ......................................................................................... A.3 Serasah ........................................................................................... A.4 Keanekaragaman Hexapoda Tanah ............................................... A.5 Peran Hexapoda Tanah .................................................................. B Pembahasan ........................................................................................... B.1 Keanekaragaman Hexapoda Tanah ............................................... B.2 Peran Hexapoda Tanah .................................................................. B.3 Hubungan Kelimpahan Hexapoda Tanah dengan Faktor Lingkungan Fisik Tanah ............................................................. V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. A Kesimpulan ........................................................................................... B Saran ..................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ ..... LAMPIRAN ................................................................................................ 9 9 13 18 21 23 23 23 23 28 32 33 36 36 36 39 40 42 51 52 52 59 65 67 67 68 69

74-84

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Deskripsi titik koordinat lokasi penelitian ..................................................... 2 3 4 5 6 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada masing-masing lokasi penelitian .................................................................................................... Jenis dan kerapatan tumbuhan pada masing-masing lokasi ...................... Hasil pengamatan keadaan serasah di berbagai jenis komunitas pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian ................................................... Jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas di ekosistem mangrove dengan menggunakan metode Pitfall trap (PFT) ..................... Jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas di ekosistem mangrove dengan menggunakan metode Pengambilan contoh tanah (PCT) ......................................................................................................... Populasi serangga tanah dengan metode Pengambilan contoh tanah (PCT) pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ..................... Jumlah ordo, suku dan individu dari dua metode pengumpulan serangga pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ................ Nilai keanekaragaman famili atau suku Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian .................................................. 23 36 40 41 43

45 46 48 49

7 8 9

10 Suku serangga tanah berdasarkan nilai kelimpahan (N1) dan nilai dominansi (N2) Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ......................................................................................... 11 Jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam lingkungan pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ................................ 12 Koefisien korelasi1) antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan parameter lingkungan tanah .......................................................................

50 51 65

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ................................................ 6 24 26 29 30 31 35 2 Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas 362,605.00 ha di Kabupaten Tojo Una-Una ..................................................................... 3 Lokasi penelitian berdasarkan jenis tutupan hutan mangrove di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean .................................................. 4 6 7 8 Tata letak petak penelitian di lapangan ..................................................... Alat pemisah serangga dari serasah dan tanah (Corong barlese modifikasi) ................................................................................................. Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian ................................................................................... Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pitfall trap (PFT) .......................................................................................................... Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pengambilan contoh tanah (PCT) ............................................................. 5 Perangkap sumuran (PFT) di lapangan ..................................................

44

9

48 60 62

10 Perbandingan persentase jumlah suku serangga berdasarkan peran dalam lingkungan dengan metode PFT ................................................. 11 Perbandingan persentase jumlah suku serangga berdasarkan peran dalam lingkungan dengan metode PCT .....................................................

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang belum di konversi dengan metode PFT (Pitfall trap) ............................................................................................... 2 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang telah di konversi dengan metode PFT (Pitfall trap) ............................................................................................... 3 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang belum di konversi dengan metode PCT (Pengambilan contoh tanah) ..................................................................... 4 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang telah di konversi dengan metode PCT (Pengambilan contoh tanah) ..................................................................... 5 6 Hasil analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dan parameter faktor lingkungan pada hutan mangrove lebat .................... Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah yang ditemukan di lokasi penelitian ...............................................................................

75

76

77

78 79 80

1

I. PENDAHULUANA. Latar BelakangMangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, muara laguna, muara sungai). Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove (The Mangrove Information Center, 2006). Ekosistem mangrove bersifat unik, karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut yang dipengaruhi oleh periode pasang surut air laut, oleh karena itu tidak semua jenis fauna yang mampu beradaptasi sehingga kelompok fauna yang bertahan merupakan jenis fauna yang spesifik. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Pengertian hutan mangrove tidak terbatas pada daerah bervegetasi, tetapi daerah terbuka atau berlumpur, selalu atau secara teratur tergenang air laut, atau terletak di antara hutan dan laut, yang sering dikenal dengan daerah payau. Mangrove merupakan jalur hijau yang terdapat di teluk-teluk, delta, muara sungai, sampai menjorok ke arah pedalaman dan garis pantai. Di dalam ekosistem hutan mangrove terintegrasi dua tipe ekosistem yaitu ekosistem darat dan laut, sehingga kerusakan di hutan mangrove akan mengakibatkan rusaknya dua tipe ekosistem tersebut. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman hayati

2

(biodiversity) dan plasma nutfah yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan penutupan tajuk (canopy) yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya. Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama, yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai, serta wisata alam. Secara ekonomi, hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya secara lestari untuk bahan bangunan, arang (charcoal) dan bahan baku kertas. Hutan mangrove juga merupakan pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang sangat unik, merupakan sumber daya alam yang sangat potensial. Menurut Alikodra dalam Wetlands International (2007) luas mangrove Indonesia sekitar 3,5 juta ha atau 18-32% total luas mangrove seluruh dunia. Angka ini merupakan yang terluas dibandingkan dengan Brasil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha), dan Australia (0,9 juta ha). Di Indonesia sendiri, perusakan hutan mangrove sudah tergolong cukup parah. Menurut Kusmana dalam Harian Berita Sore (2007) bahwa sekitar 6,7 juta ha atau 70% dari luas 9,4 juta ha hutan mangrove di Indonesia dalam keadaan rusak. Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi mangrove yang sangat intensif pada tahun 1990-an menjadi pertambakan terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor komoditas perikanan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan, pada tahun 1999 luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi pertambakan mencapai 840.000 ha, sehingga hutan mangrove banyak yang mengalami kerusakan (Gunarto dan Hanafi, 2000 dalam Gunarto, 2004). Saat ini, kerusakan dan degradasi hutan mangrove merupakan fenomena umum di berbagai negara, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Kerusakan hutan ini terutama disebabkan oleh konversi mangrove untuk kegiatan-kegiatan produksi lainnya (industri, pertambangan dan lain-lain) yang tidak berlandaskan asas kelestarian serta oleh kegiatan eksploitasi yang tidak terkendali. Adanya konversi hutan mangrove ini telah menyebabkan semakin menyusutnya luas hutan mangrove Indonesia. Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah menyebabkan keseimbangan ekologi lingkungan pantai terganggu. Misalnya melimpahnya bahan

3

organik yang berasal dari sisa pakan pada usaha budidaya tambak intensif di lingkungan perairan pantai juga menyebabkan bakteri oportunistik patogen berubah menjadi betulbetul patogen seperti bakteri Vibrio harveyi. Dampak lainnya adalah menurunnya keanekaragaman hayati organisme komunitas terestis akuatik (Soeriaatmadja, 1997). Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) menempati luas kawasan sebesar 362.605 ha (SK Menhut RI No. 418/Menhut/2004) dengan luas daratan yang relative sempit (sekitar 25.832 ha) selebihnya merupakan wilayah perairan, terdiri dari pulaupulau yang terpisah dan kondisi topografi yang berbukit-bukit memberikan korelasi yang signifikan tentang adanya hubungan yang erat antara kondisi daratan dengan pesisir dan laut. Dampak ekologis yang terjadi di bagian daratan akan sangat berpengaruh terhadap kondisi ekologis daerah pesisir dan laut (Anonim, 2007). Hutan mangrove yang merupakan tumbuhan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut memberikan sumbangan yang besar bagi kelestarian pesisir dan laut di kepulauan Togean, dengan luas hutan mangrove diperkirakan sekitar 5.051 ha yang tersebar di beberapa gugusan pulau seperti Batudaka, Togean, Talatakoh dan sebagian pulau Walea. Keberadaan hutan mangrove (hutan bakau) di Kepulauan Togean selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Togean. Meski memiliki luasan yang tidak terlalu besar, namun hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi kepulauan Togean (Anonim, 2007; CII-Togean Program, 2005). Survey yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII) di sekitar Taman Nasional Kepulauan Togean menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Kerusakan terbesar terjadi akibat penebangan pohon mangrove untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, konversi hutan mangrove untuk perluasan pemukiman penduduk, usaha pertambakan, serta pengambilan kulit bakau jenis Rhizophora ( 20-30 cm) untuk bahan pewarna jaring, akibatnya pohon yang dikuliti lambat laun akan mati karena terganggunya suplai makanan dari akar menuju ke daun (CII-Togean Program, 2005). Fenomena ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai ekologi dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati

4

yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah. Fauna tanah (serangga, Arachnida, dan lainnya) menyusun sekitar 75% dari setiap satu juta jenis binatang teresterial yang telah diketahui di dunia saat ini. Jumlah yang besar tersebut didominasi oleh kelompok Arthropoda khususnya Hexapoda/serangga (Biological Survey of Canada, 1991 dalam Suhardjono dkk. 2000). Hexapoda tanah dapat mempercepat proses perombakan bahan organik tanah, serasah, bangkai, penghancur kayu. Selain itu berperan sebagai parasit, pemangsa dan pengendali penyakit tanaman terutama yang disebabkan oleh jamur. Peranan tersebut tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia tetapi dapat dimanfaatkan setelah melalui jasa biota lainnya. Oleh karena itu, peran utamanya di dalam ekosistem mangrove menjadi kurang mendapat perhatian. Padahal tanpa kehadirannya, perombakan tumpukan bahan organik di sekeliling kita akan berjalan sangat lambat. Mengingat pentingnya peranan Hexapoda tanah dan terbatasnya informasi mengenai keberadaannya pada ekosistem mangrove, maka hal ini menjadi sangat menarik dan bermanfaat untuk dikaji lebih lanjut, terutama pengaruh konversi hutan mangrove terhadap keberadaan Hexapoda tanah di sekitar kawasan TNKT. Hasil kajian ini di harapkan dapat bermanfaat untuk membantu melestarikan keanekaragaman hayati serta memberi masukan dalam pengelolaan hutan mangrove yang berwawasan lingkungan.

B. Kerangka PemikiranTaman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) mempunyai keanekaragaman flora dan fauna yang unik dan tinggi dengan luas daratan yang relative sempit (sekitar 25.832 ha), terdiri dari gugusan pulau-pulau yang terpisah dan kondisi topografi yang berbukit-bukit, serta memiliki berbagai tipe ekosistem baik di darat maupun di laut mulai dari hutan dataran rendah (low-land forest), pantai berbatu, hutan bakau (mangrove), padang lamun (sea-grass bed) dan terumbu karang (coral reefs). Hal ini memberikan korelasi yang signifikan tentang adanya hubungan yang erat antara kondisi daratan dengan pesisir dan laut. Dampak ekologis yang terjadi di bagian daratan akan sangat berpengaruh terhadap kondisi ekologis daerah pesisir dan laut (CII-Yayasan Pijak, 2001). Kerusakan fisik habitat ekosistem wilayah pesisir dan laut di TNKT umumnya terjadi pada hutan mangrove. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan oleh konversi

5

hutan

mangrove

menjadi

kawasan

pemukiman,

pertambakan,

dan

eksploitasi

(penebangan) hutan mangrove untuk bahan bangunan, padahal mangrove berfungsi sangat strategis dalam menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan organisme dari komunitas terestis akuatik. Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai ekologi di dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah di antaranya Hexapoda tanah. Kehadiran Hexapoda tanah dibutuhkan karena kemampuannya dalam menghancurkan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi, sehingga unsur hara yang terbebaskan dapat berperan dalam daur kehidupan dan pengendalian aneka fenomena di dalam tanah. Selain itu Hexapoda tanah juga berperan dalam proses perombakan bahan organik tanah dan keberadaan serta aktifitasnya berpengaruh positif terhadap sifat fisik tanah (Setiadi, 1989; Suhardjono dan Adisoemarto, 1998; Poerwowidodo, 1992). Sumberdaya tanah merupakan salah satu komponen lahan yang langsung berhubungan dengan pertumbuhan tanaman hutan yang memiliki kemampuan berbeda antara satu jenis dengan jenis yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh sifat fisik-kimia, faktor iklim dan keberadaan organisme tanah termasuk di dalamnya Hexapoda pada setiap jenis tanah tersebut. Oleh karena itu diperlukan kajian dalam bentuk eksplorasi mengenai keanekaragaman Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada kawasan ekosistem mangrove di sekitar TNKT, terutama pengaruh konversi hutan mangrove terhadap keberadaan Hexapoda tanah, mengingat keberadaannya sebagai salah satu komponen ekosistem dalam menjaga keseimbangan ekosistem mangrove yaitu sebagai perombak dan penyubur tanah. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

6

TAMAN NASIONAL KEPULAUAN TOGEAN (TNKT)SK Menhut. RI No. 418/Menhut/2004 Luas Kawasan sebesar 362.605 ha

POTENSI SDASD Hutan Laut dan Perikanan Pariwisata (Bahari dan Budaya)

HUTAN MANGROVE (EKOSISTEM MANGROVE)Sangat berperan bagi kelestarian kawasan pesisir & laut di TNKT Habitat ekosistem yang terus di eksploitasi/kerusakan fisik di TNKT

KONVERSI HUTAN MANGROVEKawasan Pemukiman Usaha pertambakan Eksploitasi hutan untuk kegiatan lain.

PERUBAHAN FAKTOR LINGK TANAH (fisik & kimia tanah)

FUNGSI EKOLOGIS TERGANGGUDampak Terhadap Mata Rantai Ekologis Hutan Mangrove

PERUBAHAN STRUKTUR/ VEGETASI

Sumber KEHATIFAUNA TANAH HEXAPODA TANAH

Eksplorasi Keanekaragaman Hexapoda tanah

Faktor lingk. Tanah (fisik & kimia tanah)

Peran/fungsi (takson) Hexapoda tanah

KELESTARIAN KEHATI (Hexapoda tanah) UPAYA MENJAGA KESEIMBANGAN EKOSISTEM MANGROVE

Ket. :

: Ruang lingkup penelitian

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.

7

C. Perumusan MasalahPertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai sekitar kawasan TNKT mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, antara lain hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak. Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi terbesar bagi pengrusakan mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah menyebabkan keseimbangan ekologi lingkungan pantai terganggu. Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai ekologi di dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah di antaranya Hexapoda tanah. Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah sehingga kehidupannya sangat ditentukan oleh faktor fisik dan kimia tanah serta lingkungan di sekitarnya. Menurut Poerwowidodo (1992) kelompok fauna tanah berperan penting dalam perombakan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi. Dengan demikian anasir hara dan senyawa lain yang terbebaskan dapat berperan dalam daur kehidupan dan pengendali aneka fenomena di dalam tanah. Dengan kata lain dilihat dari fungsi, organisme tanah ini memainkan peranan yang sangat penting dalam mempertahankan dinamika dan keseimbangan ekosistem alam. Adanya konversi hutan mangrove akibat aktifitas manusia menyebabkan perubahan fungsi pada ekosistem mangrove, sehingga akan memberikan dampak terhadap keberadaan kelompok fauna tanah terutama Hexapoda tanah pada ekosistem tanah hutan mangrove. Berdasarkan perumusan permasalahan yang dikemukakan dan pendekatan yang digunakan, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah :

8

1. Bagaimana mangrove.

dampak

konversi

hutan

mangrove

terhadap

keberadaan

(keanekaragaman takson) Hexapoda tanah pada ekosistem tanah hutan

2. Bagaimana pengaruh faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah) terhadap kelimpahan Hexapoda tanah. 3. Bagaimana peran/fungsi Hexapoda tanah dalam membantu menjaga keseimbangan ekosistem mangrove.

D. Tujuan dan Manfaat PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk mengkaji : 1. Keanekaragaman Hexapoda tanah pada tahap suku/famili di berbagai jenis penutupan lahan pada kawasan ekosistem mangrove. 2. Peran atau fungsi masing-masing takson/suku Hexapoda tanah di dalam ekosistem mangrove. 3. Faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah) yang mempengaruhi kelimpahan Hexapoda tanah di dalam ekosistem mangrove. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Memperoleh informasi mengenai keanekaragaman takson dan peran penting Hexapoda tanah dalam membantu mangrove. 2. Meningkatkan pengetahuan tentang keanekaragaman Hexapoda tanah sehingga membantu memotivasi untuk tetap melestarikan keanekaragaman hayati. 3. Memberi masukan dalam pengelolaan hutan mangrove yang berwawasan lingkungan dengan berdasar pada keanekaragaman Hexapoda tanah. menjaga keseimbangan ekosistem

E. HipotesisHipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Keanekaragaman Hexapoda tanah berbeda pada berbagai jenis penutupan lahan di kawasan ekosistem mangrove. 2. Kelimpahan Hexapoda tanah dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, porositas, kandungan bahan organik, pH dan salinitas tanah.

9

II. TINJAUAN PUSTAKAA. Tinjauan Umum Hutan MangroveA.1. Pengertian Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewwable natural resources). Berdasarkan S.K. Dirtjen Kehutanan No. 60/Kpts/Dj./I/1978; hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, yang tergenang air laut pada saat pasang dan bebas dari genangan air laut pada saat surut (Arief, 2007). Seringkali kata mangrove disamakan dengan kata mangal, tetapi MacNae (1968) dalam Arief (2007) menyarankan agar kata "mangrove" digunakan untuk satuan pohon, sedangkan kata "mangal" berlaku untuk komunitas tumbuhan tersebut. Di Suriname, kata mangro pada awalnya merupakan kata umum yang dipakai untuk jenis Rhizophora mangle. Di Portugal, kata mangue digunakan untuk menunjukkan suatu individu tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di Perancis, kata mangrove sama artinya dengan kata manglier. Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati bagian zone intertidal tropika dan subtropika, berupa rawa atau hamparan lumpur yang terbasahi oleh pasang surut. Halofil merupakan sebutan bagi makluk yang tidak dapat hidup dalam lingkungan bebas garam; khusus yang berupa tumbuh-tumbuhan disebut halofita (halophytic vegetation) (Arief, 2007). Berbagai pengertian mangrove tersebut sebenarnya mempunyai arti yang sama, yaitu formasi hutan khas daerah tropika dan sedikit subtropika, terdapat di pantai rendah dan tenang, berlumpur, sedikit berpasir, serta mendapat pengaruh pasang surut air laut. Mangrove juga merupakan mata rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di suatu perairan (Arief, 2007). A.2. Fungsi Mangrove Fungsi ekologis ekosistem mangrove adalah sangat khas dan kedudukannya tidak tergantikan oleh ekosistem lainnya (Anwar et al., 1984). Hutan mangrove memiliki banyak fungsi, di antaranya:

10

a. Fungsi biologis Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrien untuk kelangsungan proses ekologis dan biologi. Hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan ekosistem pantai, termasuk kehidupan biotanya, misalnya sebagai tempat pencarian pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang, dan biota air lainnya, tempat bersarang berbagai jenis burung, dan habitat berbagai jenis fauna (Anwar et al., 1984; Genisa, 1994). Selain itu juga merupakan suatu habitat yang kaya akan keanekaragaman hayati. Oleh sebab itu, hutan mangrove merupakan habitat yang sangat disukai sebagai tempat mencari makan (feeding ground), bersarang (nesting ground) dan berkembang biak (nursery ground) oleh banyak satwa (Komar, dkk., 1994; Sumarhani, 1994). Diana dkk. (1994) menyatakan bahwa, fungsi biologi yang diperoleh dari hutan mangrove adalah: a) sebagai produsen primer energi makhluk hidup melalui serasah yang menjadi basis rantai makanan yang kompleks, b) sebagai tempat bertelur, memijah dan mencari makan benih-benih udang, ikan, dan kerangkerangan, c) sebagai tempat bersarang burung, kepiting, reptil, ular, dan satwa lainnya, dan d) sebagai habitat alami bagi banyak jenis biota. b. Fungsi fisik Hutan mangrove berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, serta penyerap bahan pencemar (Anwar et al., 1984; Genisa, 1994). Peranan sebagai fungsi lindung ditunjukkan oleh hutan mangrove di sepanjang pantai, yaitu sebagai penangkis gelombang laut, sehingga melindungi pantai dari hempasan gelombang, pelindung alami yang paling kuat terhadap erosi pantai (abrasi), dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan (Sikong, 1978; Widatra dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk., 1994). Selain itu, hutan mangrove juga berkemampuan memperbaiki tanah dengan bentuk sistem perakarannya. Manfaat perakaran mangrove adalah untuk menenangkan gerakan air yang berkelanjutan, menahan kembalinya atau terhanyutnya bahan organik dan lumpur dari sungai ke laut, dan menguatkan garis-garis pantai (Hardjosentono, 1994 dalam Rahmawaty, 2000).

11

c. Fungsi ekonomis Hutan mangrove mempunyai fungsi potensial sebagai tambak, tempat pembuatan garam, tempat rekreasi, penyedia bahan bakar, bahan bangunan, dan bahan baku industri (chips, pulp, dan kertas) (Sikong, 1978; Kartawinata dkk., 1978; Anwar et al., 1984; Widatra dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk., 1994). Menurut Wibawa dkk. (1994), mangrove merupakan sumberdaya modal (capital resource) yang dapat memberi pelayanan ekonomi, antara lain: memberikan kesempatan kerja, peluang berusaha sebagai sumber pendapatan dan pelayanan dalam perlindungan sumberdaya alam lainnya (misalnya kerusakan pantai, karang, dan kemusnahan flora dan fauna). A.3. Adaptasi Mangrove Mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal dalam kondisi tempat terjadinya penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus-menerus. Sirkulasi yang tetap (terusmenerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien, untuk keperluan respirasi dan produksi yang dilakukan oleh tumbuhan (Dahuri dkk., 1996). Setiap tipe mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya, di antaranya tanah, genangan air pasang, salinitas, erosi, penambahan lahan pesisir, fisiografi, kondisi sungai, dan aktivitas manusia (Sukardjo, 1984). Hutan mangrove dengan vegetasinya yang khas, memiliki rantai makanan yang mendukung kehidupan berbagai jenis makhluk dari tingkat yang paling sederhana hingga tingkat yang kompleks (Odum, 1996). Pohon mangrove mempunyai sejumlah ciri morfologi khusus yang memungkinkan mereka hidup di perairan lautan yang dangkal, yaitu berakar pendek, menyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh dari batang dan/atau dahan. Daun-daunnya kuat, mengandung banyak air dan mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garamnya tinggi (Nybakken, 1992). Sugianto (1983) dan Whitten et al., (1987) menyatakan bahwa hutan mangrove mempunyai cara yang khas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Cara yang dimaksud antara lain bentuk jenis-jenis akar khas yang merupakan salah satu ciri khas pohon mangrove, yaitu: 1) Akar tunjang dan akar udara yang dijumpai pada pohon bakau (Rhizophora sp. dan Ceriops tagal), 2) Akar nafas pada pohon api-api (Avicennia

12

sp. dan Sonneratia sp.), dan 3) Akar lutut pada pohon Bruguiera sp., Lumnitzera sp., dan Xylocarpus sp. A.4. Fauna Mangrove Anwar et al. (1984) membagi fauna hutan mangrove menjadi dua bagian, yaitu: komponen yang mutlak hidup bergantung pada air (fauna aquatik) seperti: kepiting, siput. kerang; cacing, dan ikan; dan yang hidup di daratan atau tidak langsung tergantung pada air laut, antara lain serangga, laba-laba, ular, kadal, tikus, monyet dan burung. Mac Nae (1968) dalam Arief (2007), telah menyelidiki secara intensif hewan yang ada di hutan mangrove dan menyimpulkan bahwa hutan mengrove dapat dibagi menjadi enam macam habitat. yaitu: 1. Tajuk pohon pada pokoknya dihuni oleh burung, mamalia, dan insekta yang datang dari hutan/tempat sekitarnya. (habitat yang sangat baik bagi larva nyamuk). 3. Permukaan tanah dan di bawah tanah hidup berbagai jenis siput dan kepiting. Selanjutnya ditambahkan oleh Hutching and Saenger (1987), bahwa selain yang telah disebutkan, di atas permukaan tanah juga hidup berbagai jenis semut. 4. Bagian batang dan akar nafas (tempat hidup bangsa kerang dan mollusca). Akar mangrove merupakan substrat yang baik untuk berbagai jenis binatang yang menempel, selain itu ikan dan berbagai jenis moluska dan krustasea yang hidup bebas juga menemukan tempat berlindung di antara akar mangrove (Sikong, 1978) 5. Pohon kecil dihuni oleh jenis-jenis kepiting, larva nyamuk, dan katak. 6. Bagian yang berair dihuni oleh ikan, buaya, dan jenis-jenis biawak. Fauna mangrove memiliki banyak peran, antara lain : 1. Sumber protein hewani. Jenis-jenis yang umum dikonsumsi penduduk adalah ikan; moluska, dan kepiting. 2. Bahan produksi, seperti kulit yang dihasilkan oleh kelompok reptilia, yaitu ular. Supriyatna (1984 dalam Suhardjono dan Adisoemarto, 1998), melaporkan bahwa sedikitnya diketahui delapan jenis ular yang dapat ditemukan di hutan mangrove, . 2. Lubang pada cabang busuk dan air pada celah retakan antara batang dan ranting

13

beberapa jenis di antaranya yang potensial sebagai penghasil kulit yang dapat dikembangkan. 3. Perombak bahan organik. Penelitian mengenai dekomposisi serasah hutan mangrove sering dilakukan, namun belum pernah melibatkan peran fauna mangrove dalam proses perombakan. Pada umumnya Arthropoda ini berperan sebagai pemotong dan pencerna, agar sisa bahan organik menjadi potongan atau bagian lebih kecil dan lunak, sehingga jasad renik dengan mudah melanjutkan proses perombakannya (Kevan, 1965 dalam Adianto, 1993). 4. Penyerbukan. Beberapa jenis serangga seperti kelompok lebah madu (Apis spp.), tawon endas (Xylocopa spp.) dan kumbang mudah ditemukan di antara bungabunga mangrove. Besar kemungkinan kelompok lain seperti kelelawar dan burung juga berperan sebagai penyerbuk mangrove atau anggota vegetasi lain (Suhardjono dan Adisoemarto, 1998). Whitten, et al. (1987) melaporkan bahwa di sepanjang pantai Sulawesi terdapat 34 jenis burung laut yang digolongkan sebagai jenis yang bermigrasi dan menghabiskan sebagian waktunya di mangrove.

B. Tinjauan Umum Fauna TanahB.1. Pengertian Fauna Tanah Fauna tanah adalah organisme yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya dihabiskan di dalam tanah (Wallwork, 1976; Kimmins, 1987). Suhardjono dan Adisoemarto (1997) menyatakan bahwa, Arthropoda tanah adalah semua kelompok binatang yang sebagian atau seluruh daur hidupnya bergantung kepada tanah karena sumber pakannya terdapat di tanah. Jasad tanah yang dinyatakan oleh Poerwowidodo (1992) adalah semua jasad hidup yang seluruh atau sebagian besar daur hidup dan kegiatan untuk kelangsungan hidupnya dilakukan di dalam tanah. Kelompok ini mencakup jasad tanah yang kasat mata dan jasad renik dari golongan binatang misalnya protozoa dan tumbuhan misalnya bakteri. Wallwork (1976) melaporkan adanya lima kelompok Arthrophoda yang sering ditemukan di tanah, yaitu: Crustaceae, Myriapoda, Aptergyota, Arachnida dan beberapa Hexapoda.

14

B.2. Macam Fauna Tanah Kelompok fauna tanah sangat banyak dan beraneka-ragam, mulai dari Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda, hingga Vertebrata. Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya, yang mempengaruhi sistem tanah dan kegiatan makannya (Suin, 2003; Hole, 1981). a. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh. Berdasarkan ukuran tubuhnya, fauna tanah dikelompokkan menjadi: (1) Mikrofauna, adalah kelompok yang berukuran tubuh berkisar antara 20 dan 200 , misalnya: Protozoa, Acarina, Nematoda, Rotifera, dan Tardigrada, (2) Mesofauna, adalah kelompok ukuran tubuh berkisar antara 200 dan 1 cm, contohnya adalah: Acarina, Collembola, Nematoda, Rotifera, Araneida, larva serangga, dan Isopoda, (3) Makrofauna, adalah kelompok yang berukuran tubuh lebih besar dari 1 cm, termasuk pada kelompok ini adalah: Megascolesidae, Mollusca, Insecta, dan Vertebrata (Wallwork. 1970; Brown, 1980; Kimmins, 1987). Sedangkan menurut Suhardjono dan Adisoemarto (1997), berdasarkan ukuran tubuh fauna tanah dikelompokkan menjadi: (1) Mikrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran tubuh < 0.15 mm, seperti: Protozoa dan stadia pradewasa beberapa kelompok lain misalnya Nematoda, (2) Mesofauna adalah kelompok yang berukuran tubuh 0.16 - 10.4 mm dan merupakan kelompok terbesar dibanding kedua kelompok lainnya, seperti: Insekta, Arachnida, Diplopoda, Chilopoda, Nematoda, Mollusca, dan bentuk pradewasa dari beberapa binatang lainnya seperti kaki seribu dan kalajengking; (3) Makrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran panjang tubuh >10.5 mm, seperti: Insekta, Crustaceae, Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan termasuk juga vertebrata kecil. b. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan kehadiran Berdasarkan kehadiran fauna tanah dibagi atas kelompok transien, temporer, periodik, dan permanen (Suin, 2003). Sedangkan Hole (1981) membagi binatang tanah ke dalam enam kategori berdasarkan keberadaannya di dalam tanah, yakni: 1) Permanen, yaitu fauna tanah yang seluruh daur hidupnya berada di dalam tanah, contohnya cacing tanah dan Collembola, 2) Sementara, yaitu binatang tanah yang salah satu fase hidupnya berada di tanah, sedangkan fase lainnya tidak atau secara berkala di tanah, contohnya

15

larva-larva serangga, 3) Periodik, yaitu binatang-binatang tanah yang sering berpindahpindah masuk dan keluar dari tanah, contohnya bentuk-bentuk aktif serangga, 4) Bertukar-tukar, yaitu satu atau lebih generasi binatang yang berada di dalam tanah, generasi lainnya hidup di atas tanah, contohnya Rhopalosiphoninus dan Biorhiza, 5) Mendiami sementara, yaitu fase inaktif (telur, pupa, fase hibernasi) berada di tanah dan fase aktif berada di atas tanah, contohnya serangga, 6) Kebetulan, yaitu binatang yang jatuh atau tertiup angin dari tajuk dan masuk ke dalam tanah, contohnya larva serangga dari tajuk pohon dan binatang permukaan yang jatuh ke dalam lubang tanah. Dari pendapat Hole (1981) tersebut menurut Suhardjono (1997), dibedakan menjadi empat kelompok saja, karena sebenarnya pembagian nomor 2, 4, dan 5 hampir serupa, yaitu singgah (transit), sementara, berkala (periodik), dan menetap (permanen). c. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan tempat hidup pada lapisan tanah Berdasarkan tempat hidupnya pada lapisan tanah, digolongkan sebagai : (1) Epigon, yaitu fauna tanah yang hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, (2) Hemiedafon, hidup pada lapisan organik tanah, (3) Euedafon, yang hidup pada lapisan mineral tanah (Suin, 2003). d. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan cara mempengaruhi sistem tanah Menurut Hole (1981), binatang tanah dibagi menjadi dua golongan berdasarkan caranya mempengaruhi sistem tanah, yaitu: (1). Binatang eksopedonik (mempengaruhi dari luar tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran besar, sebagian besar tidak menghuni sistem tanah; meliputi kelas Mamalia, Aves, Reptilia, dan Amphibia. (2) Binatang endopedonik (mempengaruhi dari dalam tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran kecil sampai sedang ( < 1,0 cm), umumnya tinggal di dalam sistem tanah dan mempengaruhi penampilannya dari sisi dalam, meliputi kelas Hexapoda, Myriapoda, Arachnida, Crustacea, Tardigrada, Onychophora, Oligochaeta, Hirudinea, dan Gastropoda. e. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan jenis makanan/cara makan. Fauna tanah juga dibedakan berdasarkan jenis makanan, ada yang bersifat herbivora, saprovora, fungivora, dan predator (Suin, 2003). Wallwork (1970), Brown

16

(1980), dan Borror, et al. (1996) membagi binatang tanah berdasarkan kebiasaan makannya, yaitu: 1) Microphytic feeders, merupakan binatang pemakan tumbuhan mikro, seperti spora dan lumut. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa spesies semut, Nematoda, Protozoa, dan beberapa Mollusca. 2) Saprophytic feeders, merupakan pemakan bahan organik (serasah segar, setengah segar dan bahan organik yang telah melapuk), contohnya cacing tanah, Millipoda, Isopoda, Acarina, dan Collembola. Termasuk di dalamnya binatang tanah pemakan feses (coprophagous), pemakan kayu mati (xylophagous) dan pemakan bangkai (necrophagous). 3) Phytophagous, merupakan binatang pemakan tumbuhan (contohnya Mollusca dan larva Lepidoptera), pemakan sistem perakaran (contohnya kumbang Scarabidae, Lepidoptera, Mollusca dan jangkrik), pemakan bagian kayu (contohnya beberapa jenis rayap dan larva Coleoptera). 4) Carnivora, termasuk dalam kelompok ini adalah predator (pemakan binatang tanah lain) seperti Carabidae, Staphylinidae, laba-laba, kalajengking, Centipede, beberapa Nematoda dan Mollusca. B.3. Peran Fauna Tanah Secara esensial semua fauna yang menghuni lingkungan hutan mempengaruhi sifat-sifat tanah (Setiadi, 1989). Kehadiran jasad tanah yang beraneka ragam dengan populasi optimum di ekosistem hutan tanaman sangat penting untuk melestarikan kesinambungan dan kecukupan pasokan hara melalui keikutsertaannya dalam menghancurkan dan menguraikan bahan organik (Poerwowidodo dan Haneda, 1998). Fauna tanah berperan penting dalam menghancurkan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi. Dengan demikian anasir hara dan senyawa lain yang terbebaskan dapat berperan dalam daur kehidupan dan pengendalian aneka fenomena di dalam tanah. Kehidupan dan kegiatannya yang khusus ini menjadikannya sebagai salah satu faktor pembentuk tanah (Poerwowidodo, 1992). Selanjutnya Setiadi (1989) menambahkan bahwa organisme tanah berperan penting di dalam ekosistemnya, yaitu sebagai perombak bahan organik dan mensintesa kemudian melepaskan kembali dalam bentuk bahan anorganik yang tersedia bagi tumbuh-

17

tumbuhan hijau. Dengan kata lain, dilihat dari fungsi, organisme tanah ini memainkan peranan yang sangat penting dalam mempertahankan dinamika dan stabilitas ekosistem alam. Di dalam tanah telah diketahui bahwa komponen biotik memberikan sumbangan terhadap proses aliran energi dari ekosistem setempat. Hal tersebut dicapai karena kelompok biotis ini dapat melakukan penghancuran terhadap materi tumbuhan dan hewan yang telah mati. Proses inilah yang dikenal dengan proses dekomposisi atau perombakan (Burges and Raw, 1967). Serangga tanah berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu (Wallwork, 1976). Secara garis besar proses perombakan berlangsung sebagai berikut; pertama-tama perombak yang besar atau makrofauna meremah-remah substansi nabati yang telah mati, kemudian materi ini akan melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses. Butiran-butiran tersebut dapat dimakan oleh mesofauna dan atau makrofauna pemakan kotoran, seperti cacing tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam bentuk feses pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mikroorganisme terutama bakteri untuk diuraikan lebih lanjut. Selain dengan cara tersebut, dapat pula feses dikonsumsi lebih dahulu oleh mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang terdapat dalam saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna apabila hasil ekskresi hewan ini dihancurkan dan diuraikan lebih lanjut oleh mikroorganisme terutama bakteri hingga sampai pada proses mineralisasi. Melalui proses tersebut, mikroorganisme yang telah mati akan menghasilkan garam-garam mineral yang akan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan lagi (Burges and Raw, 1967). B.4. Pengaruh Tanah dan Vegetasi terhadap Keberadaan Fauna Tanah Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah sehingga kehidupannya sangat ditentukan oleh faktor fisik dan kimia tanah serta lingkungan di sekitarnya (Suin, 2003). Menurut Szujecki (1987), faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan serangga tanah di hutan, adalah: 1) struktur tanah berpengaruh pada gerakan dan penetrasi; 2) kelembaban tanah dan kandungan hara berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup; 3) suhu tanah mempengaruhi peletakan telur; 4) cahaya dan tata udara mempengaruhi kegiatannya. Fauna tanah bereaksi cepat terhadap perubahan di lingkungannya yang datang dari tanah itu sendiri, faktor

18

iklim atau akibat pengolahan tanah (Herbke, 1962; Brauns, 1968; Graff, 1971 dalam Adianto, 1993). Populasi fauna tanah umumnya meningkat pada tanah subur yang mampu menyuplai nutrisi tetapi sifat kimiawi tanah biasanya kurang berpengaruh langsung daripada sifat fisik tanah (Setiadi, 1989). Selain itu pula ditambahkan oleh Setiadi (1989) bahwa kegiatan organisme tanah juga dipengaruhi oleh musim dan kedalaman tanah, karena setiap organisme tanah mempunyai selang optimum untuk pertumbuhannya. Kegiatan organisme tanah yang terbesar terjadi pada musim semi dan gugur, menurun pada musim panas dan dingin serta kegiatan biasanya terpusat di permukaan tanah (Setiadi, 1989). Kedalaman lapisan tanah menentukan kadar bahan organik dan nitrogen. Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di lapisan atas setebal 20 cm, makin ke bawah makin berkurang. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia tanah dan meningkatkan aktifitas biota tanah. Sumber utama bahan organik tanah berupa jaringan tumbuhan, sedangkan sumber kedua adalah hewan. Kandungan bahan organik di dalam tanah dipengaruhi oleh keadaan iklim, terutama suhu dan curah hujan. Kandungan kapur, erosi, tekstur, drainase dan vegetasi penutup tanah juga dapat mempengaruhi penimbunan bahan organik tanah (Buckman dan Brady, 1982; Foth, 1998).

C. Serangga (Hexapoda)C.1. Klasifikasi Serangga Dunia binatang terbagi menjadi 14 filum berdasarkan tingkat kekompleksan dan urutan evolusinya, sehingga filum binatang disusun dari filum yang rendah ke filum yang tinggi. Semua serangga adalah anggota dari filum Arthropoda (binatang dengan kaki beruas-ruas), yang terbagi menjadi tiga sub filum, yaitu Trilobita (telah punah dan tinggal fosil), Chelicerata (terdiri atas beberapa kelas termasuk Arachnida), dan Mandibulata (terdiri atas beberapa kelas yang salah satunya adalah kelas Insecta/Hexapoda) (Lilies, 1997). Kelas Hexapoda dibagi menjadi beberapa ordo (Borror et al., 1996), yaitu Protura, Collembola, Diplura, Microcoryphia, Thysanura, Ephemeroptera, Odonata,

19

Grylloblattaria, Phasmida, Orthoptera, Mantodea, Blattaria, Isoptera, Dermaptera, Embiidina, Plecoptera, Zoroptera, Psocoptera, Pthiroptera, Hemiptera, Homoptera, Thysanoptera, Neuroptera, Coleoptera, Strepsiptera, Mecoptera, Siphonaptera, Diptera, Trichoptera, Lepidoptera, dan Hymenoptera. Sedangkan menurut Kristensen (1991), Hexapoda diangkat jadi super kelas dan terbagi ke dalam dua kelas, yaitu: Ellipura (Pra-insecta) dan Insecta. Ellipura terdiri atas ordo Collembola, Protura, dan Diplura. Sedangkan dalam kelas Insecta ada 25 ordo, meliputi : Orthoptera, Isoptera, Blattodea, Mantodea, Grylloblattodea, Phasmatodea, Strepsiptera, Dermaptera, Embioptera, Plecoptera, Psocoptera, Zoraptera, Thysanoptera, Hemiptera, Coleoptera, Neuroptera, Trichoptera, Lepidoptera, Diptera, Siphanoptera, Pthiroptera, Megaloptera, Rhapidioptera, Mecoptera, dan Hymenoptera. Berdasarkan klasifikasi Manton (1979 dalam Suhardjono, 2007) yang memisahkan Collembola dari kelas Insecta (Serangga). Selanjutnya Jordana dan Arbea (1989) membedakan kelas Collembola menjadi empat ordo berdasarkan bentuk tubuh. Ordo pertama adalah Poduromorpha bertubuh gilik dengan pembagian ruas-ruas toraks dan abdomen tampak jelas. Ordo kedua adalah Entomobryomorpha bertubuh gilik, bagian dorsal ruas toraks pertama tidak jelas. Ordo ketiga adalah Symphyleona dengan bentuk tubuh bulat, dengan ruas-ruas toraks masih terlihat dan ruas abdomen ke-4 menjadi abdomen kecil. Ordo keempat adalah Neelipleona juga bertubuh bulat, tetapi ruas-ruas toraks tidak jelas dan pada umumnya tidak bermata (Suhardjono, 2007). Pada umumnya serangga dewasa mempunyai ciri-ciri : tubuh terdiri dari tiga bagian (kepala, toraks dan abdomen), sepasang antena, dua pasang sayap, tiga pasang kaki serta mempunyai bagian-bagian mulut yang terdiri dari mandibula, maksila, hipofaring, epifaring, labium dan labrum (Mani, 1982; Natawigena, 1990; Borror et all., 1996). C.2. Peran Serangga Serangga tidak selalu bersifat hama. Lingkungan telah mempunyai sistem keseimbangan antara komponen-komponennya (Hardi dan Anggraeni, 1997). Ditinjau dari segi kepentingan manusia, serangga dapat digolongkan ke dalam: 1) serangga hama, termasuk serangga yang dapat menimbulkan kerugian, seperti ulat, wereng, kepik, belalang, ngengat, dan lain-lain, 2) serangga berfaedah, merupakan sumber

20

penghasil bahan makanan bagi manusia, ikan, dan burung, seperti lebah dan ulat sutera, 3) serangga penyerbuk, yang dapat membantu penyerbukan tanaman, sehingga menunjang keberhasilan pembuahan, seperti kupu-kupu, kumbang, dan beberapa spesies lebah (Natawigena, 1990). Serangga mempunyai peranan yang berguna bagi organisme lain, sebagaimana disebutkan oleh Partosoedjono (1985) adalah sebagai berikut: 1. Membantu dalam aktifitas penyerbukan, baik pada tanaman pertanian, perkebunan, maupun kehutanan. 2. Menghasilkan produk madu dari peternakan lebah madu. 3. Ulat sutera (Bombyx mori) banyak diternakkan sebagai penghasil kokon sutera yang merupakan bahan baku bagi industri tekstil. 4. Penyedia bahan makanan, baik bagi manusia, ikan, maupun burung. 5. Perombak, beberapa jenis serangga memakan sisa-sisa tumbuhan dan organisme lain yang telah mati. 6. Musuh alami, dalam hal ini sebagai parasit dan predator, misalnya dari ordo Odonata, Orthoptera, Hymenoptera dan Hemiptera. Beberapa di antara serangga mempunyai peranan amat kecil terhadap bahan organik tanah, sedang lainnya seperti semut dan kumbang sangat mempengaruhi susunan humus karena ditranslokasikan atau dicernakan. Hasil kerja semut sangat nyata, karena serangga ini menggunakan jaringan tumbuhan yang sedikit banyak telah terurai sebagai makanan. Jadi berperan sebagai pengurai perintis, proses yang akan dilanjutkan oleh bakteri dan fungi (Buckman dan Brady, 1982). Collembola merupakan kelompok serangga tanah, yang berperan penting dalam membantu mempercepat proses perombakan bahan organik tanah. Hal ini disebabkan karena mereka mengkonsumsi jamur dan bahan organik membusuk. Collembola juga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator (=indikator hayati) polusi tanah dari logam berat atau pestisida. Di samping itu, berkat perilakunya dalam mengkonsumsi jamur, maka Collembola dapat dimanfaatkan sebagai pengendali penyakit tanaman. Pada sawah yang diberakan dapat ditemukan Collembola dalam jumlah banyak. Dalam kondisi ini, Collembola merupakan cadangan pakan bagi para predator hama pertanian, dalam hal ini Collembola berlaku sebagai pakan

21

alternatif bagi predator. Dengan demikian, Collembola dinilai membantu menjaga keseimbang-an ekosistem lahan persawahan dengan mempertahankan populasi serangga predator (Suhardjono, 2007). C.3. Habitat Serangga Habitat adalah tempat suatu organisme hidup (Romoser dan Stoffolano, 1998). Pada dasarnya serangga merupakan hewan darat, walaupun sebagian besar ada yang hidup di air tawar, air asin dan macam habitat lain. Serangga banyak ditemukan pada lapisan serasah dan di lapisan tanah atas, baik secara berkoloni (seperti: Isoptera dan Hymenoptera) maupun secara individu (seperti: Diptera, Lepidoptera, Coleoptera, Orthoptera, Acarina, dan Collembola) (Daly, 1978). Collembola tanah terdapat pada lapisan tanah atas, berkisar pada kedalaman tanah dari 0 cm sampai 15 cm (Suhardjono, 1992). Selanjutnya Suhardjono (2007) mengemukakan bahwa sebagian besar anggota Collembola adalah penghuni tanah, namun ada beberapa yang dapat ditemukan pada kanopi dengan ketinggian 40 m. Binatang ini menempati berbagai macam habitat, dari tepi pantai sampai pegunungan tinggi bahkan yang bersalju.

D. Indeks KeanekaragamanBerbagai konsep dan ide pengukuran keanekaragaman hayati sampai saat ini masih merupakan bahan diskusi menarik di kalangan para ahli ekologi. Secara umum, seluruh konsep tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara lain: "kekayaan jenis" (species richness), "heterogenitas" (heterogenity), dan "eveness " (Bengen, 2000; Suin, 2003). Menurut Situmorang (1999) Hexapoda yang sering ditemukan di permukaan tanah kebanyakan berasal dari ordo Hymenoptera, Diptera, Orthoptera dan Collembola. Sedangkan menurut Salim (1998) keanekaragaman jenis Hexapoda tanah terbesar adalah di hutan daratan campuran, sedangkan yang terkecil di hutan mangrove yang rusak. Ordo Hemiptera memiliki kelimpahan tertinggi disusul oleh ordo Orthoptera, Hymenoptera, Diptera, Lepidoptera, Odonata dan Coleoptera. Namun Hexapoda dari ordo Hemiptera dan Coleoptera tidak ditemukan di tipe ekosistem hutan mangrove yang rusak.

22

Keanekaragaman Hexapoda di dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik dan pH tanah (Adianto, 1993). Sumber bahan organik di lantai hutan berasal dari guguran daun, ranting dan cabang atau disebut juga dengan serasah. Besarnya kandungan bahan organik ini dapat dilihat dari kandungan C-organik tanah. Sedangkan tingginya kemasaman suatu sistem tanah dapat mempengaruhi keberadaan fauna tanah. Wallwork (1976) mengatakan bahwa Collembola dan Acarina akan melimpah pada komunitas yang memiliki kemasaman yang cukup tinggi. Hal ini juga didukung oleh Adianto (1993) yang mengatakan bahwa Collembola merupakan fauna yang dominan karena habitatnya bersifat asam. Kehidupan di dalam tanah selain ditentukan oleh pH, kandungan C-organik dan salinitas juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti kandungan air tanah, faktor iklim mikro di dalam tanah dan cahaya matahari (Adianto, 1993). Faktor-faktor abiotis tersebut dapat menentukan kehadiran atau ketidak-hadiran suatu jenis tertentu dari Hexapoda tanah atau dapat pula menentukan kepadatan populasi fauna tanah. Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk mencirikan hubungan kelompok marga dan komunitas (Ludwig and Reynolds, 1988). Indeks keanekaragaman marga (genus diversity indices) dapat dilihat dari dua komponen, yaitu: 1) jumlah marga dalam komunitas, yang sering disebut kekayaan marga (genus richness) 2). kemerataan marga (genus eveness) atau keseimbangan, yang menggambarkan distribusi kelimpahan di antara jenis. Sehingga dapat dikatakan bahwa indeks keanekaragaman merupakan kombinasi nilai dari kekayaan jenis dan kemerataan. Berbagai metode dan rumus digunakan untuk mengukur indeks keanekaragaman serangga (Shannon and Wiener, Simpson, dan Hill), masingmasing metode mempunyai cara penghitungan dengan rumus dan tujuan tertentu.

23

III. METODE PENELITIANA. Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian dilakukan di hutan mangrove yang berada dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) Kabupaten Tojo Unauna. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan hasil survey pendahuluan serta dukungan data dari CII-Togean Program tentang situasi dan kondisi hutan mangrove di kawasan TNKT. Deskripsi titik koordinat masing-masing lokasi penelitian sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Penelitian ini dilaksanakan sejak Pebruari 2007 sampai Juli 2007. Tabel 1. Deskripsi titik koordinat lokasi penelitian No. 1 2 3 4 5 6 Lokasi Desa Lembanato Desa Taningkola Teluk kilat (Hole kilat) Desa Taningkola Desa Baulu Desa Baulu Koordinat S 00o2004,8 S 00o2550,0 S 00o2243,0 S 00o2550,0 S 00o2136,3 S 00o2140,9 E 121o5702,6 E 121o4933,8 E 121o5650,9 E 121o4933,8 E 121o5910,8 E 121o5908,2 Jenis penutupan lahan mangrove Hutan mangrove lebat Hutan mangrove sedang Hutan mangrove jarang Kebun campuran Tambak non tumpangsari Lahan kosong

B. Bahan dan Alat PenelitianBahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah; (1) contoh tanah komposit (serasah, humus dan tanah), (2) alkohol 70% digunakan selama analisis di laboratorium dan lapangan, (3) gliserin digunakan di lapangan untuk mengurangi penguapan alkohol, dan (4) bahan-bahan kimia untuk analisis tanah di laboratorium. Alat-alat yang digunakan adalah; (1) cangkul kecil, (2) parang/pisau, (3) ring sampel, (4) termometer tanah (5) tabung plastik bekas isi film, (6) gelas plastik, (7) kantong blacu/karung terigu, (8) pita ukur 200 cm, (9) penggaris 20 cm, (10) soil tester, (11) pinset, (12) kamera digital, (13) GPS (Garmin III plus), (14) tali plastik, (15) mikroskop binokuler, (16) peralatan untuk analisis tanah di laboratorium dan (17) peralatan untuk identifikasi Hexapoda tanah.

C. Gambaran Umum Lokasi PenelitianWilayah kepulauan Togean letaknya terpencil dan terisolasi dari daratan yang luas karena dibatasi oleh wilayah perairan. Kepulauan ini terdiri dari 50 pulau besar dan kecil dengan 7 pulau utama yaitu Batudaka, Togean, Talatakoh, Waleabahi, Waleakodi,

24

Una-Una dan Malenge (Gambar 2). Penunjukkannya sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 418/Menhut/2004, yang menempati luas kawasan sebesar 362.605 ha dengan luas daratan (termasuk kawasan hutan) sekitar 25.832 ha, dengan rincian : 1) hutan lindung 10.659 ha; 2) hutan produksi terbatas 193 ha; 3) hutan produksi tetap 11.759 ha; 4) hutan produksi yang dapat dikonversi 3.221 ha, selebihnya merupakan wilayah perairan. Secara geografis Kepulauan ini terletak di tengah Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur pada posisi koordinat 00o082100o4512 LS dan 121o3321-122o23136 BT, dengan luas daratan 755,4 Km2 (BPS, 2006; Anonim 2007).

Gambar 2. Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas 362,605.00 ha (berdasarkan SK Menhut. No. 418/Menhut-II/2004, tanggal 19 oktober 2004) Secara administrasi kepulauan Togean termasuk dalam wilayah Kabupaten Tojo Una-Una (sejak tahun 2003) yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Pengelolaannya masih mengacu pada Rencana Detail Tata ruang (RDTR) yang dibuat oleh Kabupaten Poso sebagai kabupaten induk. Dibagi menjadi 4 kecamatan yaitu Una-Una, Togean, Walea Kepulauan dan Walea dengan jumlah desa

25

keseluruhan mencapai 48 desa. Kecamatan Una-Una terdiri dari Pulau Una-Una dan Batudaka dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Wakai (Batudaka). Kecamatan Togean terdiri dari Pulau Togean dan beberapa pulau kecil dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Lebiti (Togean). Kecamatan Walea Kepulauan terdiri dari Pulau Talatakoh, Malenge dan Waleakodi dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Popolii (Waleakodi), sedangkan kecamatan Walea terdiri dari Pulau Waleabahi dan beberapa pulau kecil lainnya dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Pasokan (Waleabahi) (BPS, 2006; Anonim 2007). Kepulauan Togean dan sekitarnya mempunyai dua musim yakni musim kemarau dari bulan April sampai Oktober dan musim hujan dari bulan Desember sampai Maret. Berdasarkan tipe iklim Schmidt dan Ferguson, kepulauan ini umumnya termasuk dalam kawasan tipe E dan D (500-2000 mm/thn). Sumber mata air tersebar di daerah tertentu seperti lembah, daerah pesisir dan sekitar tanaman bakau (BPS., 2006). Kepulauan Togean merupakan bagian dari ekosistem terumbu karang penting dari Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) yang merupakan area-area yang memiliki keragaman karang tertinggi di dunia. Coral triangle ini meliputi wilayah Indonesia, Philipina, Malaysia, Papua Nugini, hingga Micronesia. Terumbu karang di kepulauan ini oleh Marine RAP (2001, dalam CII-Togean Program, 2005) dinyatakan sebagai The Heart of Coral Triangle, kaya akan keanekaragaman hayati laut dengan tipe terumbu karang (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), dan karang cincin (atoll) yang letaknya berdekatan satu sama lain. Kepulauan Togean memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, khususnya pada ekosistem hutan mangrove. Survey oleh CI-Indonesia dan Yayasan Pijak (2001) mengidentifikasi sekitar 33 spesies mangrove yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14 spesies mangrove ikutan (associate mangrove) yang dikelompokan ke dalam 26 genus dan 21 famili. Fauna yang teridentifikasi hidup di hutan mangrove yaitu sekitar 50 spesies yang tergolong dalam 47 genus, yaitu golongan Aves (10 genus), Pisces (10 genus), Amphibia (2 genus), Reptilia (3 genus), Mamalia (2 genus), dan Benthos (20 genus) (CII-Togean Program, 2005). Berdasarkan hasil klasifikasi citra, bahwa ekosistem mangrove tersebar hampir di sepanjang garis pantai pulau-pulau yang ada di Kepulauan Togean. Wilayah pesisir yang

26

paling banyak memiliki ekosistem mangrove adalah sepanjang garis pantai P. Togean, merupakan kawasan ekosistem mangrove yang terluas; pesisir timur P. Batudaka, yaitu pada kawasan pesisir yang bersebelahan dengan P. Togean; dan pantai di sebelah selatan P. Talatakoh yang bersebelahan dengan P. Togean. Sementara itu di pulau-pulau yang lain juga terdapat ekosistem mangrove, namun dengan luasan yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan ketiga pulau tersebut. Secara spasial, luasan mangrove yang diestimasi dari hasil klasifikasi citra satelit tahun 2001 dibandingkan dengan hasil klasifikasi peta citra tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas mangrove dari 5.322,837 ha turun menjadi 5.050,91 ha, atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas mangrove sebesar 271,93 ha (5,11 % dari luas pada tahun 2001) (Anonim, 2007).

3

Gambar 3. Lokasi penelitian berdasarkan jenis tutupan hutan mangrove di kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean. Keterangan lokasi pengamatan : 1). Desa Taningkola; 2). Teluk Kilat (desa Lembanato); 3). Desa Baulu Lokasi penelitian terletak di pulau Batudaka dan Togean. Kedua pulau ini

dipilih atas pertimbangan bahwa kedua pulau tersebut merupakan gugusan pulau yang terbesar dan memiliki garis pantai yang terpanjang di antara gugusan pulau lainnya di kepulauan Togean. Lokasi pengumpulan spesimen yang dipilih adalah hutan mangrove yang belum dikonversi (hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan mangrove jarang), dan hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi kebun campuran, tambak non tumpang-sari, dan lahan kosong. Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan

27

pada ekosistem mangrove di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Adapun deskripsi masing-masing lokasi pengamatan dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Hutan Mangrove Lebat Hutan mangrove lebat merupakan hutan mangrove yang vegetasinya didominasi oleh mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Xylocarpus dan Bruguiera. Kondisi hutan ini didominasi oleh tegakan dengan kerapatan pohon yang cukup tinggi, penutupan tajuk pohon yang cukup baik menyebabkan udara di dalam hutan terasa sejuk. Kondisi di lantai hutan relatif lembab atau basah dengan serasah yang tergolong tebal. Hutan mangrove lebat ini salah satunya terdapat di pulau Togean yaitu di sekitar teluk kilat, desa Lembanato. 2. Hutan Mangrove Sedang Hutan mangrove sedang merupakan hutan mangrove yang di tumbuhi oleh vegetasi mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Lumnitzera dan Bruguiera dengan kondisi tegakan pohon yang tidak terlalu rapat, sehingga berkas sinar matahari dapat mencapai lantai hutan dan keadaan di dalam hutan tidak terlalu gelap, kondisi lantai hutan sedikit lembab dan serasah tergolong sedang. Salah satu hutan mangrove tipe ini terdapat di pulau Batudaka yaitu di sekitar desa Taningkola. 3. Hutan Mangrove Jarang Lokasi pengambilan spesimen untuk hutan mangrove jarang ini dilakukan di pulau Togian yaitu di sekitar teluk kilat (hole kilat). Vegetasi hutan mangrove ini terdiri dari mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Heritiera dan Lumnitzera yang kondisi tegakan pohonnya sudah sangat jarang, sehingga sinar matahari dapat langsung menyinari lantai hutan yang di tumbuhi rumput. Di samping itu, di lokasi ini ditemukan juga mangrove ikutan seperti jenis pandan bakau, paku laut. Serasah di sekitar lokasi ini tergolong sedang sampai tipis, yang berasal dari rumput maupun tumbuhan di sekitarnya. 4. Kebun Campuran Kebun campuran merupakan kebun yang tumbuhannya terdiri dari berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman perkebunan. Daerah ini sebelumnya merupakan hutan mangrove yang oleh masyarakat setempat dikonversi menjadi kebun campuran. Lokasi

28

kebun campuran ini salah satunya berada di pulau Batudaka, tepatnya di desa Taningkola. Tanaman yang dominan ditemukan di kebun campuran ini adalah tanaman kelapa. Di samping itu, ditemukan juga vegetasi berupa semak dan tumbuhan bawah sejenis rumputrumputan. Hal ini dimungkinkan karena tajuk pohon tidak menghalangi cahaya matahari masuk ke lantai hutan, sehingga tumbuhan bawah bisa tumbuh. Banyaknya jenis tumbuhan yang terdapat di kebun campuran, sehingga serasah di lokasi ini tergolong tebal. 5. Tambak Non Tumpangsari Daerah ini merupakan daerah hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak. Tambak yang diamati ini bukan merupakan tambak tumpangsari, karena seluruh vegetasi mangrove di sekitar tambak telah dibersihkan. Di lokasi ini tidak ditemukan vegetasi, yang tersisa hanya akar-akar dari tumbuhan mangrove. Serasah di lokasi ini tergolong sedang yang berasal dari pohon dan ranting yang lapuk, serta akar pohon mangrove. Lokasi tambak non tumpangsari ini salah satunya terdapat di pulau Togean di sekitar desa Baulu. 6. Lahan Kosong Lahan kosong yang terdapat di sekitar desa Baulu pulau Togean, sebelumnya merupakan hutan mangrove. Vegetasi mangrovenya oleh penduduk setempat dimanfaatkan untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Setelah vegetasi mangrovenya dibabat untuk kepentingan komersial, kemudian lahan ini ditinggalkan tanpa dilakukan penanaman kembali (revegetasi). Eksploitasi berlebihan oleh masyarakat setempat menyebabkan kematian vegetasi mangrove secara alami, di lokasi ini hanya ditumbuhi oleh tumbuhan bawah jenis kangkung pantai (Ipomoea pes-caprae) dan paku cai (Acrostichum aureum L.). Kurangnya keberadaan rumput dan semak di sekitar lokasi, menyebabkan serasah di lahan kosong ini tergolong agak tipis.

D. Metode Pengambilan DataD.1. Penempatan Petak Penelitian Petak penelitian ditempatkan pada beberapa lokasi penelitian. Sebagai lokasi perlakuan adalah hutan mangrove yang belum dikonversi (hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan mangrove jarang), dan hutan mangrove yang telah dikonversi

29

(kebun campuran, tambak non tumpangsari, lahan kosong). Indikator hutan mangrove yang belum dikonversi adalah sebagai berikut : 1) hutan mangrove lebat, ditandai dengan kanopi yang rapat, serasah tebal, lantai basah, sinar matahari sedikit mencapai lantai. 2) hutan mangrove sedang, ditandai dengan kanopi yang kurang rapat, serasah kurang tebal (sedang), lantai basah, sinar matahari lebih banyak mencapai lantai. 3) hutan mangrove jarang, ditandai dengan proporsi kanopi yang lebih banyak terbuka, serasah agak tipis sampai sedang, lantai kurang basah (agak kering).5m 5m 5m 5m 5m

5m

5m

Gambar 4. Tata letak petak penelitian di lapangan. Keterangan : = Titik peletakan Pitfall traps (PFT) = Titik pencuplikan contoh tanah (PCT)

Pada setiap lokasi penelitian dibuat transek secara acak dari arah laut ke daratan, berukuran 25 m x 10 m (Gambar 4) sebanyak dua transek sebagai unit contoh primer. Selanjutnya pada setiap transek dibuat sub-transek sebagai plot pengamatan yang berukuran 5 m x 5 m secara silang kiri-kanan poros transek sebagai unit contoh sekunder (Mercianto, dkk. 1997; Rahmawaty, dkk. 2000). Penempatan perangkap sumuran (Pitfall traps) dan pengambilan contoh tanah pada plot/petak pengamatan dilakukan secara terstrata (stratified sampling) dan masing-masing lokasi penelitian diambil 5 satuan contoh secara sistematis. D.2. Pengumpulan Serangga Tanah Metode pengumpulan sampel Hexapoda tanah yang digunakan adalah metode Perangkap Sumuran atau Pitfall Traps (PFT) dan metode Pengambilan Contoh Tanah

30

(PCT). Pemilahan serangga tanah dari contoh tanah dilakukan dengan menggunakan Corong Barlese. (Mercianto, dkk. 1997; Rahmawaty, dkk. 2000; Suin, 2003). D.2.1. Metode Perangkap Sumuran/Pitfall Traps (PFT) Metode ini digunakan untuk mengumpulkan Hexapoda yang aktif di permukaan tanah. Metode PFT diterapkan langsung di lapangan. Perangkap sumuran dipilih atas dasar pemikiran praktis, harganya murah, mudah digunakan dan dibawa, karena perangkap sumuran tersebut berupa gelas plastik yang biasanya dipakai sebagai gelas minum dengan ukuran = 5 cm dan tinggi 10 cm. Perangkap sumuran cukup memberi hasil yang baik dalam jumlah dan keanekaragaman individu. Selain itu Hexapoda tanah yang dapat ditangkap adalah Hexapoda diurnal dan nokturnal. Namun metode ini mempunyai keterbatasan bahwa Hexapoda yang tertangkap hanyalah yang merayap dan aktif berkeliaran di permukaan lantai hutan (Golley, 1977 dalam Suhardjono, 1985).

Sketsa PFTGambar 5. Perangkap sumuran (PFT) di lapangan

Perangkap sumuran di pasang dengan cara menanam gelas yang berisi alkohol 70% setinggi 5 cm di atas tanah (Gambar 5) dan ditetesi 1 tetes gliserin untuk mengurangi penguapan alkohol. Permukaan gelas harus benar-benar rata dengan permukaan tanah. Pemasangan perangkap dipilih di daerah yang relatif kering agar dapat ditanam dan air tidak masuk. Pengumpulan Hexapoda dengan metode ini harus memperhatikan waktu-waktu pasang surut air laut di kawasan ekosistem mangrove. Lama pemasangan perangkap untuk masing-masing lokasi ditetapkan selama 22 jam, berdasarkan periode waktu pasang-surut air laut. Hasil tangkapan dipindahkan ke dalam kantong plastik dan diikat.

31

D.2.2. Metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT) Metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT) digunakan untuk memisahkan atau memilih Hexapoda dari serasah dan tanah. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan Hexapoda yang berada di dalam lapisan tanah. Adapun cara pengumpulan Hexapoda dengan metode ini adalah mengambil contoh tanah beserta serasah dan humus di atasnya. Contoh tanah yang diambil sebanyak 0.5 liter, ukuran petak pengambilan 10 cm x 10 cm dengan ketebalan antara 6-8 cm. Contoh tanah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kantong belacu/karung terigu untuk dibawa ke laboratorium. Contoh tanah yang telah diambil, selanjutnya di letakkan pada corong Barlese hasil modifikasi (Gambar 6).

Gambar 6. Alat pemisah serangga dari serasah dan tanah (Corong barlese modifikasi)

Contoh tanah kemudian diperlakukan di dalam corong Barlese Modifikasi selama satu minggu dan setiap tiga hari sekali dilakukan pembalikan tanah yang terdapat pada corong Barlese, apabila tanah tersebut kering diberi percikan air agar fauna di dalam tanah tersebut tidak mati. Sebagai larutan pembunuh sekaligus preservasi digunakan alkohol 70%. Selanjutnya fauna/Hexapoda yang tertampung kemudian dipisah-pisahkan (disortir), dan diidentifikasi sampai tahap suku atau famili dengan bantuan mikroskop. Hexapoda tersebut kemudian dihitung jumlahnya.

32

D.3. Pengambilan Data Sifat Fisik dan Kimia Tanah D.3.1. Sifat Fisik Tanah Analisis sifat fisik tanah meliputi : suhu tanah dan kelembaban tanah pengukuran-nya dilakukan langsung di lapangan, kecuali untuk tekstur tanah, bobot isi (bulkdensity) dan kadar air pengamatannya dilakukan di laboratorium. Pengambilan contoh tanah utuh menggunakan ring sample yang diletakkan di kedua sudut dan di tengah-tengah untuk setiap petak penelitian, kemudian dianalisis di laboratorium analitik Balai Penelitian Tanah, Balitbang Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. D.3.2. Sifat Kimia Tanah Untuk mengetahui sifat kimia tanah, diambil secara parsial t