efek pemberian ekstrak daun zaitun (olea...
TRANSCRIPT
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN ZAITUN (Olea
europaea L.) SEBAGAI TERAPI ASMA TERHADAP
HEPAR MENCIT BALB/c
SKRIPSI
Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Disusun oleh:
Nihayatul Kamila
NIM : 1113103000079
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/ 2016
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
iv
LEMBAR PENGESAHAN
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang
berjudul “EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN ZAITUN (Olea europaea L.)
SEBAGAI TERAPI ASMA TERHADAP HEPAR MENCIT BALB/c”. Shalawat
serta salam semoga tetap terlimpahkan pada nabi Muhammad SAW, beserta keluarga
serta sahabatnya.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir
guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) Program Studi Kedokteran dan
Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Secara umum skripsi ini berisi tentang latar belakang, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, prosedur penelitian serta hasil dan pembahasan dari pengujian
tentang efek pemberian ekstrak daun zaitun sebagai pengobatan asma terhadap hepar
mencit BALB/c.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan, arahan dan
bimbingan dari banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. dr. Achmad Zaki, M.Epid, Sp.OT, selaku Ketua Program Studi Kedokteran dan
Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. dr. Nurul Hiedayati, Ph.D dan Ibu Dr. Endah Wulandari, S.Si, M.Biomed selaku
dosen pembimbing I & II yang telah membimbing, memberikan arahan, nasihat
serta masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
vi
4. dr. Alyya Siddiqa, Sp.FK dan dr. Muniroh, Sp.PK selaku dewan penguji
penelitian saya untuk waktu, ilmu dan tenaga dalam memperbaiki laporan
penelitian ini
5. Ibu Nurlaely Mida R, M.Biomed, Ph.D selaku penanggungjawab laboratorium
Animal House yang telah membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini
khususnya dalam perlakuan hewan coba
6. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku penanggung jawab modul riset PSKPD 2013, dr.
Alyya Siddiqa, Sp.FK selaku PJ Laboratorium Farmakologi, Ibu Rr. Ayu Fitri
Hapsari, M.Biomed selaku PJ Laboratorium Histologi yang telah memberikan
izin atas penggunaan laboratorium pada penelitian ini
7. dr. Dyah Ayu Woro Setyaningrum, M.Biomed, Ibu Rr. Ayu Fitri Hapsari,
M.Biomed dan seluruh dosen pengajar Program Studi Kedokteran dan Profesi
Dokter dan FKIK UIN Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat
bermanfaat bagi penulis
8. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI
yang telah memberikan beasiswa sehingga saya bisa meneruskan pendidikan di
PSKPD FKIK UIN Jakarta
9. Kedua orang tua tercinta, Sarpin dan Sukiyati yang selalu memberikan kasih
sayangnya, nasihat, dukungan serta doa. Juga pada adik saya, Ahmad Rosyad
Hilmi serta seluruh keluarga besar saya yang selalu memberikan semangat dan
dukungan kepada saya dalam menempuh pendidikan di PSKPD FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
10. Abdirrohman Al-Hamdany, Aris Adi Purnomo, Muhammad Iqbal Dzaki Asy’ari,
Latifatul Bariyah dan Rahmei Sofia selaku kelompok riset saya yang telah
memberikan dukungan dan masukan dalam pengerjaan skripsi ini
11. Kak Syifa Qurrotu Aini, S.Ked, Tiara Bayyina dan teman-teman Program Studi
Kedokteran dan Profesi Dokter 2013 yang telah memberikan dukungan dalam
pengerjaan skripsi ini
vii
12. Mbak Dien Fitri selaku Laboran Histologi, Pak Rachmadi selaku Laboran
Farmakologi yang telah membantu kami dalam penggunaan laboratorium
13. Teman-teman Puri Laras 1 dan CSSMoRA UIN Jakarta 2013 yang selalu bersama
dan menemani saat duka maupun suka
14. Teman-teman Akselerasi Generasi 1 dan seluruh guru MA Matholi’ul Anwar
yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat
15. Semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung yang
namanya tidak penulis sebutkan dalam pengerjaan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan
dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik
dan masukan dari para pembaca agar laporan penelitian ini menjadi lebih baik.
Demikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca umumnya dan penulis pada khususnya.
Ciputat, 24 Oktober 2016
Nihayatul Kamila
viii
ABSTRAK
Nihayatul Kamila. Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter. Efek
Pemberian Ekstrak Daun Zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma
terhadap hepar mencit BALB/c, 2016
Penggunaan obat herbal telah meningkat di masyarakat dunia. Zaitun (Olea europaea
L.) adalah tanaman yang berasal dari kawasan Mediterania yang biasa digunakan
sebagai obat herbal. Meskipun telah banyak penelitian kesehatan tentangnya, namun
pelaporan tentang efek samping ataupun efek yang tidak diinginkan dari penggunaan
zaitun masih sedikit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek ekstrak daun
zaitun dengan dosis 100 dan 200 mg/kgBB terhadap hepar mencit BALB/c sebagai
pengobatan asma per oral dan inhalasi yang diberikan selama 7 hari. Hasil penelitian
adalah penurunan persentase hepatosit dengan nukleus abnormal pada dosis 100
mg/kgBB dibandingkan dengan kelompok kontrol (p >0,05 ; p >0,05). Sedangkan
pada dosis 200 mg/kgBB didapatkan peningkatan persentase hepatosit dengan
nukleus abnormal (p <0,05 ; p <0,05). Simpulan, ekstrak daun zaitun memberi respon
baik dan aman untuk digunakan dalam pengobatan asma pada dosis 100 mg/kgBB.
Kata kunci : daun zaitun, nekrosis hepatosit
ABSTRACT
Nihayatul Kamila. Medical Education Study and Doctor Profession. Effect of
Olive Leaves Extract (Olea europaea L.) in Asthma Treatment on Liver of
BALB/c Mice. 2016
The using of herbal medicine has been increasing worldwide. Olive (Olea europaea
L.) is native to the Mediterranean region that usually use for herbal medicine.
Although many studies have been conducted to prove its medical properties, often
report on the adverse effects or unwanted effects of olive is not sufficiently enough.
This aim of this study was to investigate the effects of 100 and 200 mg/kg body
weight doses of olive leaves extract on liver of BALB/c mice orally and intranasal
over the course of 7 days. The results indicated decreasing of hepatocyte with
abnormal nucleus percentage at 100 mg/kg body weight dose comparing with control
group (p >0,05 ; p >0,05). Whereas 200 mg/kg body weight dose was showed
increasing of hepatocyte with abnormal nucleus percentage (p <0,05 ; p <0,05).
Conclusion, olive leaves extract giving a good response and safety for using in
asthma treatment at 100 mg/kg body weight dose.
Keywords : olive leaves, hepatocyte necrosis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ........................................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
ABSTRAK ................................................................................................................ viii
DAFTAR ISI............................................................................................................... ix
BAB I ............................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG .................................................................................. 1
1.2. RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 3
1.3. HIPOTESIS .................................................................................................. 4
1.4. TUJUAN PENELITIAN .............................................................................. 4
1.5. MANFAAT PENELITIAN .......................................................................... 4
1.5.1 Penelitian ............................................................................................... 4
1.5.2 Pendidikan (Ilmu Pengetahuan) .......................................................... 4
1.5.3 Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan ............................................. 4
BAB II .......................................................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 5
2.1. Tanaman Zaitun (Olea europaea L.) ........................................................... 5
2.1.1. Morfologi dan Klasifikasi Tanaman ................................................... 5
2.1.2. Kandungan Kimiawi dan Manfaat Daun Zaitun ............................... 7
2.1.3. Farmakokinetik Zaitun ........................................................................ 9
2.2. Efek Samping Penggunaan Herbal ............................................................. 9
2.3. Hepar ........................................................................................................... 11
2.3.1. Anatomi Hepar .................................................................................... 11
2.3.2. Histologi Hepar ................................................................................... 13
2.3.3. Fisiologi Hepar .................................................................................... 19
x
2.4. Respon Sel dan Jaringan terhadap Jejas ................................................. 20
2.5. Respon Hepar terhadap Bahan Kimia atau Herbal ............................... 22
2.6. Respon Hepar terhadap Pemberian Ovalbumin ..................................... 24
2.7. Asma ............................................................................................................ 25
2.8. Definisi Operasional ................................................................................... 27
2.9. Kerangka Teori ......................................................................................... 28
2.10. Kerangka Konsep ................................................................................... 29
BAB III ....................................................................................................................... 30
METODE PENELITIAN ......................................................................................... 30
3.1. Desain Penelitian ........................................................................................ 30
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 30
3.3. Alat dan Bahan Penelitian ......................................................................... 30
3.3.1. Alat ....................................................................................................... 30
3.3.2. Bahan ................................................................................................... 31
3.3.3. Kriteria Inklusi .................................................................................... 31
3.3.4. Kriteria Eksklusi ................................................................................. 32
3.4 Variabel Penelitian ..................................................................................... 32
3.4.1 Variabel Bebas .................................................................................... 32
3.4.2 Variabel Terikat .................................................................................. 32
3.5 Cara Kerja Penelitian ................................................................................ 32
3.5.1. Penyimpanan Simplisa ....................................................................... 32
3.5.2. Pembuatan Ekstrak ............................................................................ 32
3.5.3. Adaptasi Hewan Coba ........................................................................ 33
3.5.4. Sensitisasi Hewan Coba ...................................................................... 33
3.5.5. Pemberian Ekstrak Daun Zaitun terhadap Mencit ......................... 33
3.5.6. Induksi Ovalbumin ............................................................................. 34
3.5.7. Pengambilan Organ Hepar ................................................................ 34
3.5.8. Pembuatan Preparat ........................................................................... 35
3.5.8.1. Dehidrasi ....................................................................................... 35
3.5.8.2. Clearing ......................................................................................... 35
3.5.8.3. Embedding .................................................................................... 35
3.5.8.4. Pencetakan.................................................................................... 36
xi
3.5.8.5. Pemotongan jaringan .................................................................. 36
3.5.8.6. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin ................................................. 36
3.5.9. Cara Pengamatan Mikroskop Hepar ................................................ 37
3.5.10. Penghitungan Persentase Kerusakan Hepatosit .............................. 38
3.6. Alur Penelitian ............................................................................................ 39
3.7. Managemen Data ........................................................................................ 40
BAB IV ....................................................................................................................... 41
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................. 41
4.1. Hasil dan Pembahasan ............................................................................... 41
4.2. Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 45
BAB V ........................................................................................................................ 46
SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 46
5.1. Simpulan ......................................................................................................... 46
5.2. Saran ................................................................................................................ 46
BAB VI ....................................................................................................................... 47
KERJASAMA PENELITIAN ................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 48
LAMPIRAN............................................................................................................... 52
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Produk herbal dengan potensi toksik.................................................................... 10
2.2 Kriteria untuk terminologi drug-induced liver injury.......................................... 23
3.1 Kelompok perlakuan............................................................................................. 31
7.1 Hasil uji normalitas............................................................................................... 59
7.2 Hasil uji homogenitas........................................................................................... 59
7.3 Hasil uji Kruskall Wallis....................................................................................... 59
7.4 Hasil uji post hoc LSD.......................................................................................... 60
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Buah zaitun (Olea europaea L.) .......................................................................... 6
2.2 Anatomi hepar mencit.......................................................................................... 12
2.3 Gambaran histologi hepar manusia...................................................................... 18
2.4 Perbandingan hepar mencit dan manusia pada perbesaran rendah....................... 18
2.5 Perbandingan hepar mencit dan manusia, area porta............................................ 19
2.6 Karakteristik morfologis nekrosis........................................................................ 22
4.1 Gambaran mikroskopik hepar setelah pemberian ekstrak zaitun......................... 42
4.2 Grafik persentase kerusakan hepatosit dengan nukleus abnormal....................... 43
7.1 Surat hasil determinasi bahan uji.......................................................................... 52
7.2 Aklimatisasi hewan coba...................................................................................... 55
7.3 Pemberian ekstrak daun zaitun oral……….......................................................... 55
7.4 Nebulisasi hewan coba......................................................................................... 56
7.5 Pembiusan hewan coba......................................................................................... 56
7.6 Pengambilan jaringan hewan coba....................................................................... 57
7.7 Penyimpanan jaringan hewan coba pada larutan formalin................................... 57
7.8 Timbangan............................................................................................................ 58
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Hasil Determinasi / Identifikasi Bahan Uji.............................................................. 52
2 Penghitungan Sampel.............................................................................................. 53
3 Penghitungan Dosis Ekstrak Daun Zaitun............................................................... 54
4 Dokumentasi Penelitian........................................................................................... 55
5 Hasil Uji Statistik..................................................................................................... 59
6 Riwayat Penulis....................................................................................................... 62
xv
DAFTAR ISTILAH
Al(OH)3 : Alumunium hidoksida
ALP : Alkaline phosphatase
ALT : Alanine aminotransferase
NO : Nitrit oksida
NF-κB : Nuclear Factor-κB
IL : Interleukin
OVA : Ovalbumin
PPAR-α : Peroxisome Proliferator-Activated Receptor-α
ROS : Reactive Oxygen Species
PBS : Phosphate Buffer Saline
TNF-α : Tumor Necrosis Factor-α
ACE : Angiotensin-converting-enzyme
LDL : Low-density lipoprotein
HSV : Herpes Simplex Virus
RBP : Retinol-Binding Protein
SRAA : Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
IGF : Insulin Growth Factor
DILI : Drug-induced liver injury
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Menurut WHO, pengobatan herbal meliputi tanaman, bahan, pengolahan dan
produk herbal yang mengandung zat aktif dari bagian tanaman tertentu, kandungan
lain tanaman, atau kombinasi keduanya. Praktik pelayanan pengobatan herbal telah
berkembang pesat saat ini dan digunakan secara luas di seluruh dunia.1 Di Amerika,
pengobatan herbal telah digunakan sekitar 20% populasi dewasa dan penggunaan
tersebut lebih tinggi di kawasan China, Afrika Selatan dan Amerika Latin.2 Di
Indonesia, penggunaan pengobatan herbal mengalami peningkatan pada tahun 2006
sebanyak lebih dari dua kali dibanding enam tahun sebelumnya.3
Zaitun (Olea europaea L.) merupakan salah satu tanaman yang digunakan
sebagai pengobatan, tanaman ini berasal dari Mediterania dengan penyebaran cukup
luas hingga ke beberapa negara seperti Yunani, Italia, Spanyol, Portugal, dan
Perancis. Meskipun pembuatan minyak zaitun dimulai pada dekade selanjutnya,
namun minyak zaitun telah disebutkan untuk pertama kalinya pada naskah ―San
Diego de Alcala Mission‖ pada tahun 1803.4 Selain kawasan Eropa, zaitun juga
mengalami penyebaran menuju daerah Asia dan Afrika.5 Naskah Yunani kuno juga
telah menyebutkan mengenai kegunaan minyak zaitun dalam kesehatan. Dalam
konteks keagamaan, zaitun beberapa kali disebutkan dalam ayat Al-Quran, salah
satunya dalam Surat An-Nur ayat 35 zaitun disebut sebagai buah yang diberkahi.5
Saat ini tanaman zaitun telah banyak dibudidayakan di Indonesia.
Dalam pengobatan tradisional zaitun digunakan sebagai senyawa diuretik,
hipotensif, laksatif, penurun panas, pembersih dan penghalus kulit, serta sebagai
terapi dari infeksi saluran kemih, batu empedu, asma bronkial, dan diare.
Sebagaimana telah diketahui bahwa minyak zaitun memiliki nilai nutrisi yang tinggi,
2
bagian lain dari tanaman zaitun juga mempunyai manfaat bagi kesehatan, diantaranya
daun zaitun. Daun zaitun telah banyak digunakan sebagai diuresis dan hipotensif
karena memiliki efek vasodilatasi. Selain itu, daun zaitun juga memiliki kandungan
calcium elenolate yang telah teruji sebagai agen antiviral. Studi lain juga
menyebutkan bahwa ekstrak daun zaitun memiliki manfaat sebagai antimikroba
terutama terhadap S. Aureus, P. Aeruginosa dan E. Coli serta antioksidan terkait
kandungannya yaitu oleuropein.6,7
Manfaat lain dari ekstrak tersebut yaitu sebagai
anti-diabetik dan anti-inflamasi.6 Flavonoid merupakan senyawa fenolik yang
berperan sebagai anti-inflamasi dengan kemampuan menghambat pelepasan mediator
kimiawi, sintesis sitokin Th2 (IL-4 dan IL-13), dan ekspresi ligan CD40 melalui
afinitasnya yang tinggi terhadap sel mast dan basofil sebagai pengekspresi reseptor
IgE.8
Asma merupakan penyakit inflamasi saluran napas yang ditandai dengan
bronkospasme episodik reversibel.9 Hal ini ditandai dengan peningkatan level IgE di
darah dan infiltrasi eosinofil di saluran napas. Perkembangan penyakit ini dimediasi
oleh sitokin IL-4 dan IL-5, IgE, eosinofil, serta beberapa mediator seperti leukotriene,
produk siklooksigenase, dan fosfolipase.10
Banyak studi yang membuktikan manfaat
zaitun terhadap asma melalui kandungan flavonoid yang dapat menghambat
pelepasan mediator inflamasi.8 Hal tersebut dibuktikan dengan penurunan respon IgE
dan eosinofil serta remodelling saluran napas dengan pemberian zaitun.11
Dalam masyarakat, berkembang opini bahwa suplemen atau produk herbal
lebih aman dibanding obat-obatan konvensional mengingat produk tersebut berasal
dari alam.1 Namun pada kenyataannya obat herbal juga memiliki efek samping yang
mungkin terjadi akibat penggunaan yang tidak benar, konsentrasi –baik dosis maupun
jangka pemberian– dan formulasi tertentu dari herbal.12
Selain itu, aspek ekstrinsik
berupa kontaminasi, gangguan pencampuran, dan kesalahan identifikasi tanaman juga
dapat menjadi penyebab terjadinya efek samping.1 Meskipun banyak khasiat yang
berhubungan dengan zaitun, namun belum banyak data yang menjelaskan mengenai
dosis yang menyebabkan efek samping dari penggunaan zaitun.13
Sebuah studi
3
mengemukakan bahwa pemberian ekstrak zaitun dalam dosis tinggi dapat
menginduksi perubahan hematologi, biokimia, dan gambaran histopatologi organ
hepar dan renal. 12,13
Secara farmakokinetik, obat, baik sintetik maupun herbal akan melalui
berbagai tahap yang mencakup 4 proses, yakni absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi.14
Begitupun zaitun sebagai obat herbal akan melewati keempat proses
tersebut, diantaranya metabolisme yang utamanya terjadi di organ hepar.15
Semua
bahan kimia, termasuk herbal pada jumlah konsentrasi dan frekuensi paparan tertentu
dapat memiliki potensi untuk menimbulkan cedera sel. Saat suatu zat sudah mencapai
kadar toksik, semua sel yang terpapar, termasuk sel-sel dalam organ hepar akan
berespon dan beradaptasi. Cedera sel tersebut dapat bermanifestasi dengan perubahan
jumlah, ukuran, fungsi, maupun fenotip dari sel yang terpajan zat toksik.9 Cedera
hepar akibat obat atau toksik (Drug-induced liver injury/DILI) terbagi menjadi 3
kategori, yaitu kerusakan hepatosit, gangguan vaskular, hiperplasia, dan neoplasia.9,16
Sebuah penelitian yang dilakukan R. Arantes Rodrigues, et al (2011) mengemukakan
bahwa pada pemberian ekstrak daun zaitun pada konsentrasi 0.25%, 0.50%, dan
0.75% didapatkan gambaran hiperplasia duktus biliaris, kolestasis, nekrosis hepatosit,
dan infiltrasi sel radang. Selain itu, pada dua dosis tertinggi didapatkan zaitun dapat
menyebabkan fibrosis hepar.13
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukan penelitian efek pemberian
ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma terhadap hepar mencit
BALB/c.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana efek pemberian
ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai terapi asma terhadap hepar mencit
BALB/c?
4
1.3. HIPOTESIS
Hipotesis penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea
L.) sebagai terapi asma tidak memberikan efek toksik dan tidak menyebabkan
kerusakan hepar yang signifikan pada organ hepar mencit BALB/c.
1.4. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui efek pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai
terapi asma terhadap hepar mencit BALB/c dengan melihat gambaran
histopatologi.
2. Mengetahui dosis ekstrak zaitun yang aman untuk digunakan.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
Diharapkan pada penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk:
1.5.1 Penelitian
Informasi mengenai efek daun zaitun pada fungsi hepar dapat digunakan
sebagai data untuk penelitian selanjutnya
1.5.2 Pendidikan (Ilmu Pengetahuan)
Melalui penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan dan meningkatkan
pemahaman mengenai efek daun zaitun pada fungsi hepar
1.5.3 Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Dapat digunakan sebagai dasar terapi alternatif pada pelayanan kesehatan bila
diketahui pengobatan dengan ekstrak daun zaitun memiliki efek samping minimal
melalui berbagai uji preklinik maupun uji klinik.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Zaitun (Olea europaea L.)
2.1.1. Morfologi dan Klasifikasi Tanaman
Zaitun merupakan tumbuhan dengan pohon yang tebal dan tidak terlalu tinggi,
umumnya panjangnya sekitar 10 meter. Batang zaitun memiliki diameter yang lebar
dan relatif bengkok serta sedikit terpelintir, serta memiliki banyak cabang. Zaitun
memilki daun yang berbentuk lanset atau oval, berukuran kecil, pendek, sempit dan
tipis dengan tekstur kasar dan warna hijau pucat pada permukaan atas serta keabuan
pada permukaan bawah. Ukuran daun zaitun 4-10 cm panjangnya dan lebar sekitar 1-
3 cm. Bunga dari zaitun kecil dan berwarna putih-krem dengan kelopak berjumlah 4
lobus. Buah zaitun berukuran kecil, dengan kulit luar berwarna hitam keunguan dan
biji yang keras. Kulit kayu tanaman zaitun berwarna abu pucat seperti pada gambar
2.1.17
Berdasarkan ilmu taksonomi, berikut adalah klasifikasi tumbuhan zaitun
(Olea europaea L.)4
Kingdom : Plantae
Filum : Magnoliophyta
Kelas : Rosopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Oleaceae
Sub-famili : Oleidae
Genus : Olea
Spesies : Olea europaea
Sub-spesies : cuspidate
laperrinei
maroccana
cerasiformis
guanchica
europaea
6
Gambar 2.1. Buah zaitun (Olea europaea L.).
Sumber: Olive Germplasm – The Olive Cultivation, Table Olive and Olive Oil Industry in Italy, 2012
Tanaman zaitun merupakan tanaman asli dari kawasan Mediterania dengan
penyebaran cukup luas hingga ke beberapa negara seperti Yunani, Italia, Spanyol,
Portugal, dan Perancis. Pada tahun 1560, penjelajah Spanyol membawa batang dan
biji zaitun menuju Peru, kemudian zaitun ditemukan di Meksiko. Tentara Perancis
membawa zaitun beserta tanaman lain dari Meksiko menuju Kalifornia. Meskipun
pembuatan minyak zaitun dimulai pada dekade selanjutnya, namun minyak zaitun
telah disebutkan untuk pertama kalinya pada naskah ―San Diego de Alcala Mission‖
pada tahun 1803.4 Selain kawasan Eropa, zaitun juga mengalami penyebaran menuju
daerah Asia dan Afrika.5
Tanaman zaitun tumbuh pada daerah tropis dan subtropis dengan letak
geografis 30° sampai 45° dari garis ekuator.4,5
Zaitun merupakan tanaman yang tidak
dapat tumbuh pada suhu di bawah 10°C.4 Oleh karena itu, tanaman zaitun dapat
tumbuh di Indonesia karena Indonesia merupakan negara tropis yang selalu mendapat
intensitas sinar matahari yang tinggi.
Menurut estimasi, tanaman zaitun telah dibudidayakan sejak 7000 tahun
silam. Sebuah bukti arkeologi menunjukkan bahwa zaitun telah ditanam di Crete pada
tahun 3000 SM. Naskah Yunani kuno juga telah menyebutkan mengenai kegunaan
7
minyak zaitun dalam kesehatan. Dalam konteks keagamaan, zaitun beberapa kali
disebutkan dalam ayat Al-Quran, salah satunya dalam Surat An-Nur ayat 35 zaitun
disebut sebagai buah yang diberkahi.5
2.1.2. Kandungan Kimiawi dan Manfaat Daun Zaitun
Zaitun mengandung setidaknya 30 komponen fenolik termasuk oleuropein,
hidroksitirosol dan tirosol, luteolin, katekin, dan apigenin. Konsentrasi komponen
fenolik sama pada setiap bagian tanaman zaitun, baik minyak maupun daunnya.18
Fenolik memiliki daya absorbsi dan bioavailabilitas yang baik.12
Polifenol merupakan senyawa yang terkandung dalam semua bagian tanaman
zaitun. Senyawa ini dapat meningkatkan konsentrasi NO (nitrit oksida) dan
memberikan efek vasodilatasi. Oleh karena itu, zaitun dapat digunakan dalam
pencegahan penyakit kardiovaskular. Bahkan ada studi yang mengatakan bahwa dosis
harian dalam terapi hipertensi dapat diturunkan dengan konsumsi minyak zaitun.12
Flavonoid merupakan polifenolik metabolit sekunder yang umumnya
ditemukan pada tanaman buah dan sayur, salah satunya zaitun. Sebagai antioksidan
dan anti-alergi, senyawa ini mampu menghambat pelepasan mediator kimiawi,
sintesis sitokin Th2, seperti IL-4 dan IL-13, dan ekspresi ligan CD40 melalui
afinitasnya yang tinggi terhadap sel pengekspresi reseptor IgE seperti sel mast dan
basofil. Konsumsi flavonoid dapat digunakan sebagai dietary treatment dan strategi
preventif asma.8 Luteolin merupakan salah satu jenis flavonoid yang dilengkapi
dengan efek anti-inflamasi dan anti-alergi. Sebuah studi menjelaskan bahwa luteolin
dapat memodulasi respon inflamasi. Zat ini dapat menginhibisi ekspresi gen untuk
NF-κB dan TNF-α, produksi sitokin pro-inflamasi (IL-5), pelepasan mediator seperti
leukotriene dan prostaglandin.10
Oleuropein merupakan suatu iriode monoterpene. Senyawa ini menjadikan
daun zaitun sebagai antioksidan alami paling kuat. Konstituen ini terbukti memiliki
aktivitas vasodilatasi pada aorta tikus yang diisolasi. Selain itu, ditemukan juga
8
aktivitas yang tinggi dalam menghambat angiotensin-converting-enzyme (ACE).12
Barbara, et al (2014) menyebutkan bahwa oleuropein dapat mencegah terjadinya
oksidasi LDL, baik in vitro maupun in vivo, zat ini mampu menginhibisi copper-
induced oxidation serta menurunkan kadar kolesterol total, bebas, dan kolesterol ester
dalam plasma pada studi yang menggunakan kelinci yang diinduksi diabetes.19
Efek
antioksidan ini juga dapat menjadikan zaitun bermanfaat dalam mengurangi risiko
penyakit degeneratif seperti rheumatoid artritis, diabetes, dan kanker. Maha, et al
(2013) menyebutkan bahwa pemberian ekstrak daun zaitun memiliki efek anti-
hiperglikemik dan hipolipidemik kuat pada tikus yang diinduksi streptozotocin.20
Oleuropein memiliki efek inhibisi terhadap generasi leukotriene B4 yang
berperan banyak dalam proses inflamasi dan juga dapat menghambat agregasi platelet
dan produksi eukosanoid.18
Selain itu, ekstrak daun zaitun melalui kandungannya
yaitu oleuropein mampu menjadi agen antimikroba yang efektif terhadap beberapa
patogen, seperti Salmonella typhi, Vibrio parahaemolyticus, dan Staphylococcus
aureus (termasuk penicillin-resistant strains); serta Klebsiella pneumonia, dan
Escherichia coli, kuman patogen pada infeksi saluran percernaan dan pernapasan.
Yaseen, et al (2007) melaporkan bahwa pada studi laboratorium, oleuropein secara
langsung dapat menstimulasi aktivasi makrofag.6
Kandungan lain dari daun zaitun yaitu luteolin, katekin, apigenin,
hidroksitirosol dan calcium elenolate. Luteolin memiliki kandungan anti-mutagenik
dan anti-tumorigenik. Katekin termasuk bagian dari flavonoid yang memiliki efek
antioksidan. Apigenin merupakan zat yang memiliki efek seperti oleuropein yang
mempunyai manfaat anti-inflamasi.18
Sama halnya seperti oleuropein, hidroksitirosol
juga memiliki efek antioksidan20
dan antimikroba yang bahkan lebih luas
spektrumnya meliputi spektrum dari antibiotik ampisilin dan eritromisin.6 Calcium
elenolate merupakan suatu derivat dari asam elenolik yang diketahui memiliki efek
antivirus. Beberapa virus mampu dihambat oleh calcium elenolate diantaranya
rhinovirus, myxovirus, herpes simplex virus 1 (HSV-1), HSV-2, herpes zoster,
9
encephalomyocarditis, polio 1, 2, 3, dua strain virus leukemia, serta berbagai strain
virus influenza dan para-influenza.6
Tidak semua zat aktif dalam zaitun ada dan sama kadarnya dalam setiap
bagian tanaman zaitun. Tidak seperti minyak zaitun, daun zaitun tidak mengandung
jumlah yang signifikan terhadap senyawa tertentu, seperti monounsaturated fatty
acids, asam oleik, dan squalene.18
2.1.3. Farmakokinetik Zaitun
Daun zaitun memiliki kandungan senyawa oleuropein yang paling banyak
dibanding bagian tanaman yang lain.19
Oleuropein akan mengalami serangkaian
proses farmakokinetik dalam tubuh. Sebagaimana obat yang diberikan secara oral,
oleuropein juga akan diabsorpsi utamanya di usus halus.21
Sebuah studi menyatakan
bahwa komponen fenolik, termasuk oleuropein memiliki daya absorpsi dan
bioavaibilitas yang baik.12
Selanjutnya herbal akan terdistribusi di dalam darah.
Metabolisme merupakan proses kelanjutan dari distribusi yang utamanya terjadi di
organ hepar. Metabolism ditujukan untuk mengubah obat yang nonpolar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresikan.14
Pada reaksi fase I, sebagian besar
oleuropein akan mengalami hidrolosis dan terbentuk senyawa hidroksitirosol yang
bersifat lebih polar. Selanjutnya pada reaksi fase II, akan terjadi glukoronisasi dan
sulfasi yakni reaksi konjugasi dengan substrat endogen seperti asam glukoronat dan
asam sulfat. Pada fase ini, herbal menjadi sangat polar sehingga dapat larut air dan
kemudian diekskresi di ginjal. Komponen terbanyak yang ditemukan dalam proses
ekskresi adalah hidroksitirosol yang telah mengalami proses glukoronidasi.22
2.2. Efek Samping Penggunaan Herbal
Dewasa ini, pengobatan herbal telah digunakan sekitar 20% populasi dewasa
di Amerika, dan penggunaan yang lebih tinggi di wilayah China, Afrika Selatan, dan
Amerika Latin.2 Tanaman herbal tradisional berbeda dengan zat tanaman herbal
serupa yang digunakan dalam kedokteran (morfin, digitalis, atropin, dll) karena
10
tersedia tanpa memerlukan resep. Herbal alternatif tidak seperti obat bebas, oleh
hukum dianggap sebagai suplemen makanan dan bukan obat sehingga tidak melalui
pengawasan.23
Secara tradisional, masyarakat mengganggap bahwa herbal adalah produk
yang aman dan tidak berbahaya. Padahal dalam penggunaan yang tidak benar,
konsentrasi –baik dosis yang terlalu tinggi atau pemberian jangka panjang– dan
formulasi tertentu dari herbal berpeluang menjadi bahaya.12
Beberapa literatur
mengemukakan herbal yang sudah umum digunakan di masyarakat memiliki potensi
toksik, seeperti yang tercantum pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Produk herbal dengan potensi toksik.2,23
Produk herbal Manfaat Efek toksik
Chaparral (Larrea tridentate) Antimikroba, anti-aging,
merawat kulit
Hepatitis akut, kolestasis, nekrosis
hepatoselular
Germander (Teucrium genus) Antiseptik, antipiretik,
abdominal ailments, obesitas
Hepatitis akut, nekrosis
sentrizonal, penyakit liver kronis
dengan sirosis
Pennyroyal (Mentha pulegium,
Hedeoma pulegioides)
Emmenagogue, abortifacient,
anti-kutu untuk hewan
peliharaan
Nekrosis sentrizonal
Glue thistle (Atractylis
gummifera)
Emetik, diuretik, antipiretik Nekrosis sentrizonal, nekrosis
parasinar
Jin bu huan (Lycopodium
serratum)
Sleeping aid, analgesik Hepatitis akut, hepatitis kronis,
steatosis mikrovesikular
Kava (Piper methysticum) Stress relief, anti-anxietas,
sleeping aid, premenstrual
syndrome
Hepatitis akut, hepatitis fulminan
Mistletoe (Phoradendron dan
Viscum geni)
Digestive aid, heart tonic,
sedatif
Hepatitis akut
Royal jelly (Apis mellifera) Tonik Bronkospasme
Poke root (Phytolacca
americana)
Antireumatik Gastritis hemoragik
Ma-Huang (Ephedra sp.) Membantu diet, stimulan, Toksik terhadap sistem saraf pusat
11
Produk herbal Manfaat Efek toksik
bronkodilator dan jantung
Aconite (Aconitum sp.) Analgesik Toksik terhadap jantung dan sistem
saraf pusat
Borage (Borago officinalis) Anti-inflamasi, diuretik Hepatotoksisitas
Dragana, et al (2014) melakukan studi untuk melihat efek akut dari
penggunaan ekstrak zaitun dosis tinggi pada tikus yang menderita hipertensi tanpa
intervensi dan tikus Wistar normotensi. Studi tersebut mengemukakan bahwa ekstrak
daun zaitun dosis tinggi menginduksi efek hipotensif sedang pada kelompok tikus
hipertensi, namun tidak memberikan efek yang membahayakan pada hemodinamik
(digambarkan melalui pTBAR/lipid peroxidation in plasma dan SOD/superoxide
dismutase) pada kedua kelompok.12
Studi lain menyebutkan bahwa feeding dose
(0.2-0.9%) ekstrak daun zaitun selama 6 minggu pada tikus Wistar dapat
menginduksi hematologi dan biokimia, seperti abnormalitas hepatoseluler dan renal.12
Dalam mengidentifikasi efek samping suatu herbal, perlu dipertimbangkan
aspek esktrinsik dari herbal selain kandungan intrinsiknya. Toksisitas herbal juga
dapat disebabkan karena kontaminasi, gangguan pencampuran, dan kesalahan
identifikasi tanaman.1 Kontaminan saat pengolahan herbal, seperti arsenik, cadmium,
plumbum (lead) atau merkuri perlu dipertimbangkan.2
2.3.Hepar
2.3.1. Anatomi Hepar
Hepar adalah organ visera terbesar dalam tubuh. Pada mencit, berat hepar
dapat mencapai 2 gram atau sekitar 6% dari berat badan mencit. Sedangkan hepar
manusia memiliki berat sekitar 1.500 gram atau 2% dari total berat badan. Secara
letak anatomi, hepar manusia berbeda dengan mencit. Pada manusia, hepar terutama
terletak di regio hipokondrium dextra dan epigastrium, serta meluas ke dalam regio
12
hipokondrium sinistra. Sedangkan pada mencit, hepar membentang sepanjang celah
subdiafragma. Namun, hepar mencit memiliki struktur dan jumlah lobus yang sama
dengan hepar manusia.24
Hepar memiliki 2 lobus, yakni lobus dextra dan sinistra
hepatis yang dipisahkan oleh fossa vesicae biliaris dan vena cava inferior.
Berdasarkan ukurannya, lobus dexter lebih besar daripada lobus sinister hepatis.
Selain itu, terdapat pula lobus-lobus kecil yang menjadi bagian dari lobus dexter
hepatis, yaitu lobus caudatus dan lobus quadratus. Ilustrasi organ hepar mencit
dipaparkan pada gambar 2.2.25
Lobus quadratus terletak di pars anterior facies visceralis hepar dan dibatasi di
sisi kiri oleh fissura ligament teretis dan pada sisi kanan oleh fossa vesicae biliaris.
Lobus caudatus terletak di pars posterior facies visceralis hepar. Struktur ini dibatasi
di sisi kiri oleh fissura ligament venosa dan di sisi kanan oleh sulcus vena cavae
(inferior).25
Dalam hal vaskularisasi, hepar disuplai oleh beberapa arteri yaitu arteria
hepatica dextra dari arteria hepatica propia dan arteria hepatica sinistra dari arteria
hepatica propia. Kedua arteri tersebut merupakan cabang dari arteria hepatica
communis dari truncus coeliacus.25
Truncus coeliacus sendiri menerima darah dari
aorta abdominalis.26
Gambar 2.2. Anatomi hepar.
Sumber: Comparative Anatomy and Histology – Liver and Gallbladder, 2012
13
2.3.2. Histologi Hepar
Komponen struktural hepar meliputi parenkim, stroma, sinusoid dan celah
sinusoid seperti pada gambar 2.3. Parenkim, terdiri dari susunan lempeng hepatosit,
yang pada orang dewasa lempeng tersebut terdiri atas satu baris sel yang dipisahkan
oleh kapiler sinusoid dan tersusun radial terhadap vena sentral. Pada individu yang
lebih muda berusia di atas 6 tahun, lempeng tersebut disusun oleh dua baris sel.
Stroma, merupakan jaringan ikat yang nantinya juga akan membentuk simpai yang
membungkus hepar, yakni kapsula Glisson. Pembuluh darah, saraf, pembuluh
limfatikus, dan duktus biliaris menjalar ke dalam hepar melalui stroma jaringan ikat
ini. Sinusoid, celah di antara lempeng hepatosit yang mengandung komponen
mikrovaskular. Sinusoid ini terdiri atas lapisan diskontinu sel endotel bertingkap.
Celah perisinusoid (celah Disse), merupakan celah antara epitel sinusoid dan
hepatosit. Mikrovili hepatosit menonjol ke dalam celah tersebut untuk pertukaran sel
hepatosit dengan plasma.26,27
Terdapat tiga cara untuk menggambarkan struktur hepar dalam
mendeskripsikan berbagai jenis fungsi hepatosit – termasuk sekresi faktor protein ke
dalam darah, sekresi komponen empedu, serta pengangkutan oksigen dan senyawa
kecil lainnya dari darah.26
Ketiga macam konsep tersebut adalah lobulus klasik hati
(classic hepatic lobule), lobulus porta (portal lobule), dan asinus hati (liver acinus).27
Lobulus klasik hati adalah cara tradisional untuk menggambarkan susunan
parenkim hepar yang relatif mudah untuk divisualisasikan. Struktur ini terdiri dari
anastomosis lempeng hepatosit dan didasarkan pada distribusi dari venula porta dan
arteriol hepatik sebagai sudut dari struktur yang berbentuk heksagonal ini. Pada setiap
pusat lobulus, terdapat vena sentral yang ukurannya relatif lebih besar dibandingkan
dengan venula porta. Vena sentral inilah yang menjadi muara dari aliran vaskular di
sinusoid.27
Pada beberapa hewan mamalia, seperti babi, lapisan jaringan ikat yang
mengelilingi tiap lobulus lebih tebal sehingga memudahkan untuk mengidentifikasi
struktur ini. Lobulus klasik hati mampu menjelaskan aliran darah dari area trias porta
14
-yang terdiri dari cabang vena porta, arteri hepatica, dan duktus biliaris- yang melalui
hepatosit hingga bermuara di vena sentral. Pemikiran mengenai konsep ini
menekankan fungsi endokrin struktur yang membentuk faktor untuk ambilan
plasma.26
Pada tepi kanal porta terdapat celah antara stroma jaringan ikat dan
hepatosit, celah sempit ini disebut sebagai celah periportal (space of Mall). Celah ini
dianggap sebagai salah satu tempat cikal bakal keberadaan limfatik di hepar.27
Lobulus porta adalah konsep yang digunakan untuk menggambarkan fungsi
eksokrin dari hepar yakni sekresi empedu. Morfologi dari lobulus porta menampilkan
duktulus biliaris dari trias porta di bagian tengah yang melibatkan beberapa lobulus
hepar sehingga secara kasar akan membentuk segitiga dengan vena sentral pada
ketiga lobulus klasik sebagai sudutnya. Konsep ini mampu menjelaskan mengenai
struktur parenkim hepar yang secara berlawanan dengan arah aliran darah
mengalirkan empedu dalam menjalankan fungsinya sebagai organ eksokrin.26,27
Asinus hati merupakan bentuk yang merepresentasikan unit fungsional
terkecil dari parenkim hepar. Aksis pendek dari asinus ini digambarkan oleh cabang
terminal trias porta yang membentang di tepi antara dua lobulus klasik. Aksis panjang
ditentukan dari dua vena sentral yang terdekat dari aksis pendek. Konsep ini
menekankan sifat suplai darah ke hepatosit dan gradient oksigen dari arteri hepatica
yang bercabang ke vena sentral. Hepatosit-hepatosit dalam konsep asinus
dikategorikan dalam tiga zona elliptical yang mengelilingi aksis pendek. 26,27
Zona 1 adalah susunan hepatosit yang terdekat dengan aksis pendek dan
suplai darah dari arteri hepatica. Zona ini memperoleh paling banyak oksigen dan
nutrien, sehingga mudah untuk melaksanakan sebagian besar fungsi yang
memerlukan metabolism oksidatif seperti sintesis protein. Jika terjadi gangguan
sirkulasi, Sel dalam zona ini paling cepat beregenerasi dan mati paling lambat. Sel
disini paling cepat mengalami perubahan morfologi ketika terjadi oklusi duktus
biliaris (bile stasis) maupun adanya senyawa toksik. 26,27
15
Zona 3 adalah yang terjauh dari aksis pendek, dengan kata lain yang paling
dekat dengan vena sentral. Zona ini memperoleh paling sedikit oksigen dan nutrient.
Hepatosit dalam zona ini merupakan tempat untuk glikolisis, pembentukan lipid,
biotransformasi obat, dan merupakan hepatosit pertama yang mengalami akumulasi
lemak dan nekrosis iskemik. Sel-sel inilah yang paling akhir dalam merespon
senyawa toksik dan keadaan bile stasis.26,27
Zona 2 memiliki kisaran pertengahan dalam hal morfologi dan fungsi
metabolik antara zona 1 dan zona 3. Sel dalam zona ini memiliki variasi normal, baik
aktivitas enzimatik, jumlah dan ukuran organel sitoplasmik, serta ukuran deposit
glikogen sitoplasmik.26,27
Pembagian zona ini penting untuk mendeskripsikan dan
menginterpretasikan pola degenerasi, regenerasi, dan efek toksik dari suatu senyawa
yang dapat dikaitkan dengan derajat perfusi vaskular terhadap sel hepar.27
Suplai darah untuk parenkim hepar dilakukan oleh pembuluh darah yang
menempati celah porta, yang disebut juga dengan pembuluh darah interlobular.
Pembuluh darah tersebut akan melewati celah yang dinamakan sinusoid. Vena porta
membawa darah yang berasal dari organ digestif dan mayoritas organ abdominal
lainnya dan arteri hepatica yang merupakan cabang dari trunkus coeliacus dari aorta
abdominalis yang kaya oksigen. Darah dari kedua sumber ini bercampur sesaat
sebelum terjadinya perfusi ke hepatosit dan selanjutnya mengalir menuju vena sentral
secara sentripetal. Vena sentral dari setiap lobulus klasik hati akan terkoneksi menjadi
vena yang lebih besar, yakni vena sublobular, kemudian vena-vena sublobular akan
berkonvergen menjadi vana hepatic yang lebih besar yang akhirnya mengalirkan
darah ke vena cava inferior.27
Secara histologi, struktur vena porta sama seperti vena pada umumnya.
Diameter lumennya lebih besar daripada arteri yang setara dengannya. Struktur dari
arteri hepatica juga sama seperti arteri lainnya yang memiliki dinding muskular yang
tebal. Vena sentral yang menerima darah dari aliran sinusoid juga merupakan
pembuluh berdinding tipis layaknya vena pada umumnya. Endotel vena ini dikelilingi
16
jaringan ikat tipis yang tersusun spiral. Sedangkan vena sublobular memiliki jaringan
ikat yang berbeda, yakni mengandung serat kolagen dan elastis.27
Sinusoid dikelilingi dan ditunjang selubung serat retikular halus.26
Selain sel
endotel, ada sel lain yang berhubungan dengan sinusoid, yakni makrofag stelata atau
disebut dengan sel Kupffer. Scanning electron microscope (SEM) dan transmission
electron microscope (TEM) menunjukkan bahwa sel ini ditemukan di antara endotel
dan permukaan luminal sinusoid. Sel Kupffer yang berasal dari monosit ini turut
andil dalam sistem fagositosis mononuklear.27
Fungsi utamanya dalah
menghancurkan eritrosit tua, menggunakan ulang heme, menghancurkan bakteri atau
debris, dan sebagai antigen presenting cell pada imunitas adaptif.26
Hal ini dibuktikan
dengan keberadaan fragmen eritrosit dan ferritin dalam sitoplasma sel Kupffer.27
Menurut Lopez, et al (2011) sel Kupffer dapat ditandai dengan mikrosfer lateks
berukuran 0.02 sampai 0.2 µm. Pada studi sebelumnya, disebutkan bahwa sel Kupffer
lebih banyak ditemukan di area porta dan ukurannya lebih besar daripada di sekitar
vena sentral.28
Sel ini mempunyai inti besar yang berbentuk bulat (ovoid) dan
sitoplasma dalam jumlah yang besar. Sel Kupffer terproyeksi ke dalam lumen seolah
menutup sinusoid, namun sel ini tidak menutup celah tersebut karena konturnya yang
bergerigi.27
Dalam celah perisinusoid, terdapat sel stelata hepatic (sek Ito). Sel ini
mengandung droplet kecil lipid yang menyimpan vitamin A dalam bentuk retinyl
ester. Vitamin A keluar dapat dikeluarkan dari sel ini sebagai retinol yang terikat
dengan retinol-binding protein (RBP), yang kemudian ditranspor ke retina guna
membentuk pigmen sel batang dan kerucut retina.27
Plasma yang terisa di celah perisinusoid dialirkan ke celah periportal (space of
Mall). Dari tempat ini, cairan mengalir ke pembuluh limfatikus yang berjalan
bersama komponen lain dari trias porta. Cairan limfatik mengalir searah dengan
aliran empedu (dari level hepatosit ke celah porta) menuju pembuluh yang lebih besar
kemudian ter-drainase di duktus thorasikus.27
17
Hepatosit merupakan sel poligonal besar dengan diameter 20 sampai 30 µm.
Pada sediaan yang dipulas dengan hematoksisilin dan eosin (H&E), sitoplasma
hepatosit bersifat eosinofilik karena banyaknya mitokondria, yang berjumlah hingga
2000 per sel.26
Sumber lain mengatakan bahwa jumlah mitokondria 800-1000 per sel.
Hepatosit memiliki inti sferis besar dengan dua atau lebih nucleolus. Kebanyakan sel
ini bersifat tetraploid. Pada pewarnaan H&E yang baik, glikogen juga dapat terlihat di
stoplasma hepatosit sebagai ruang irregular yang tampak seperti busa.27
Hepatosit
dapat mengandung pigmen sitoplasma seperti lipofusin, hemosiderin, pigmen
empedu, copper. Inti hepatosit berbentuk bulat dengan dengan kontur inti yang halus,
kromatin yang menyebar, dan nukleolus yang mencolok.29
Setiap hepatosit akan berkontak dengan dinding sinusoid melalui celah Disse,
dan permukaan hepatosit. Di tempat dua hepatosit berkontak, terbentuk celah tubular
yang dinamakan kanalikulus biliaris. Elemen apparatus Golgi terkonsentrasi di dekat
kanalikulus biliaris, hal ini diyakini sebagai alasan bahwa organel ini berhubungan
dengan sekresi empedu.27
Arsitektur lobulus hepar mencit memiliki kemiripan dengan lobulus hepar
manusia. Hanya saja, hepar mencit mempunyai ukuran lobulus yang lebih kecil,
jumlah jaringan ikat lebih sedikit, dan area porta tampak kurang jelas pada sediaan
histologi seperti yang terlihat pada gambar 2.4. dan 2.5. Meskipun mengalami cedera
hebat, hepar mencit tidak menunjukkan gambaran khas sirosis seperti berkas tebal
kolagen yang mengelilingi vena porta dan vena sentral serta hilangnya parenkim
hepar dan regenerasi nodular. Oleh karena itu, pewarnaan Masson’s trichrome
diperlukan untuk mendeteksi dan menghitung fibrosis yang terjadi pada tikus yang
mengalami cedera hepar.24
18
Gambar 2.3. Gambaran histologi hepar manusia memperlihatkan (S) sinusoid, (KC)
sel Kupffer, (CV) vena sentral, (F) fibrolas dan (EN) sel endothelial. 500x; inset
800x. H&E.
Sumber: Histology – a Text andAtlas – with Correlated Cell and Molecular Biology, 2011
Gambar 2.4. Perbandingan hepar mencit dan manusia pada perbesaran rendah. (A)
Area porta (panah) Nampak kurang jelas pada hepar mencit. (B) Area porta (B) pada
hepar manusia dapt dengan mudah diidentifikasi dengan perbesaran yang sama.
Sumber: Comparative Anatomy and Histology – Liver and Gallbladder, 2012
19
Gambar 2.5. Perbandingan hepar mencit dan manusia, area porta. Hepar manusia (B)
memiliki jumlah jaringan ikat kolagen yang lebih banyak daripada hepar mencit (A).
Sumber: Comparative Anatomy and Histology – Liver and Gallbladder, 2012
2.3.3. Fisiologi Hepar
Baik pada manusia maupun mencit, hepar adalah organ metabolik terbesar
dan terpenting di dalam tubuh. Perannya dalam sistem pencernaan yaitu sekresi
garam empedu yang membantu pencernaan lemak. Selain itu, hati juga memiliki
berbagai fungsi yakni sebagai tempat pemprosesan metabolik kategori-kategori utama
nutrien (karbohidrat, protein, dan lemak) setelah zat-zat ini diserap dari saluran cerna;
mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan
senyawa asing lain; membentuk protein plasma, termasuk protein yang digunakan
untuk pembekuan darah yang mengangkut hormon steroid dan tiroid serta kolesterol
dalam darah, dan angiotensin yang penting dalam SRAA yang mengonservasi garam;
menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin; mengaktifkan
vitamin D, yang dilakukan hati bersama dengan ginjal; mengeluarkan bakteri dan
eritrosit tua, berkat adanya makrofag residen (sel Kupffer); mensekresi hormon
trombopoietin, hepsidin, IGF-1 (insulin-like growth factor 1); memproduksi protein
fase akut yang penting dalam inflamasi serta mengekskresi kolesterol dan bilirubin.
Bilirubin adalah produk penguraian yang berasal dari destruksi eritrosit tua.15
20
Namun, terdapat perbedaan dari kedua spesies ini yang merefleksikan level
morfologis. Pada mencit, dengan cepat menyimpan glukosa dari system pencernaan
dalam bentuk glikogen di hepatosit sentrilobular. Hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan osmotic sitoplasma dan menimbulkan peningkatan ambilan air dan clearing
sitoplasma. Perubahan yang sebenarnya normal ini kadang dikaitkan dengan
degenerasi hidropik. Perbedaan lain yakni dalam proses molekular dan detoksifikasi.
Mencit yang distimulasi dengan metabolit PPAR-α lebih cenderung berakibat tumor
hepar. Sedangkan pada manusia, pemberian obat agonis PPAR-α justru memperbaiki
profil lipid dengan sedikit efek samping.24
Meskipun hepar memiliki beragam fungsi yang kompleks, sel-sel hati
(hepatosit) tidak banyak mengalami spesialisasi. Setiap hepatosit melakukan beragam
tugas metabolik dan sekretorik yang sama. Spesialisasi ditimbulkan oelh organel-
organel yang sangat berkembang dalam hepatosit. Fungsi yang tidak dilakukan oleh
hepatosit adalah aktivitas fagosit, hal ini dilakukan oleh sel Kupffer.15
Hepar dipersarafi oleh kedua macam saraf otonom, simpatik dan
parasimpatik. Saraf tersebut masuk ke hepar melalui kanal porta. Serat saraf simpatik
menginervasi pembuluh darah, dan meningkatkan resistensi vaskular, menurunkan
volume darah hepatic, serta secara cepat meningkatkan glukosa serum. Saraf
parasimpatik menginervasi duktus (yang mengandung otot polos) dan mungkin
pembuluh darah. Stimulasi parasimpatik menyebabkan peningkatan ambilan dan
penggunaan glukosa. Badan sel dari saraf parasimpatik sering terlihat di dekat porta
hepatic.27
2.4. Respon Sel dan Jaringan terhadap Jejas
Jejas sel dapat disebabkan oleh berbagai stress, mulai dari trauma fisik sampai
defek gen tunggal. Sebagian penginduksi jejas sel dapat digolongkan menjadi
deprivasi oksigen, bahan kimia, agen infeksius, reaksi imunologi, defek genetik,
ketidakseimbangan nutrisi, agen fisik, dan degenerasi. Semua bahan kimia dapat
21
menyebabkan jejas. Zat yang tak berbahaya, seperti glukosa atau garam jika
terkonsumsi atau terpajan dalam jumlah banyak juga akan bersifat toksik dan
menimbulkan cedera sel.9
Sel merupakan partisipan aktif yang berespon dan menyesuaikan diri terhadap
perubahan dan stress ekstrasel dalam upaya mempertahankan homeostasis.9 Inflamasi
didefinisikan sebagai respon fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan seperti
infeksi dan cedera jaringan. Inflamasi dapat lokal, sistemik, akut, dan kronis yang
menimbulkan kelainan patologis.30
Ketika terjadi inflamasi akut, respon pertama
tubuh adalah dengan meningkatkan perpindahan plasma dan leukosit, terutama sel
granulosit atau polimormonukleus seperti neutrofil, eosinofil, dan basofil akan ditarik
secara kemotaksis dan mengalami diapedesis menuju sel yang cedera. Leukosit lain
seperti monosit dan limfosit juga berperan dalam respon terhadap jejas yang
terjadi.15,31
Respon adaptasi tubuh terhadap injury mempengaruhi pertumbuhan dan
diferensiasi sel. Perubahan tersebut dapat berupa penurunan ukuran dan aktivitas
metabolik sel (atrofi), peningkatan ukuran dan aktivitas fungsi sel (hipertrofi),
peningkatan jumlah sel (hiperplasi), maupun perubahan fenotip sel (metaplasia).
Respon adaptif tersebut dapat reversibel dalam artian ketika stress sudah berkurang
ataupun hilang maka sel tersebut dapat kembali pada fungsi semula. Namun ketika
stress terlalu besar ataupun pajanan terjadi terus-menerus, maka respon sel menjadi
lebih progresif berupa adaptasi irreversibel, dan akhirnya dapat berujung pada
kematian sel. Kematian sel sendiri dapat dibagi menjadi 2 yakni apoptosis (kematian
sel yang sudah terjadwal) dan nekrosis (kematian patologis).9 Perbedaan mekanisme
molekuler yang terlibat dalam proses kematian sel menyebabkan perbedaan
morfologi pada sel yang terlibat. Apoptosis memiliki karakteristik khas berupa
fenomena penyusutan sel, dan adanya pembengkakan pada organel sel yang
menyebabkan ruptur sel pada mekanisme nekrosis.32
22
Kematian sel melalui mekanisme apopotosis dianggap sebagai sesuatu yang
accidental dan tidak terprogram. Sebagaimana jejas sel pada umumnya, nekrosis
dapat disebabkan oleh faktor stress seluler seperti deprivasi oksigen, sitokin, iskemia,
panas, irradiasi, dingin, patogen, dan toksin. Stimulus ini dapat memicu peningkatan
ROS yang menginduksi kerusakan biomolekuler menuju proses nekrosis. Secara
morfologi nekrosis sel tampak sebagai pembengkakan membran sel yang diikuti
konsolidasi kromatin dan degradasi DNA irreguler, dilatasi membran sitoplasma dan
organel yang menyebabkan keluarnya organel sel dan sitoplasma ke ruang
ekstraseluler. Hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan masif pada sel sekitar,
memicu reaksi inflamasi, dan reaksi imun yang berakhir dengan nekrosis sel seperti
yang digambarkan pada gambar 2.6.32
Gambar 2.6. Karakteristik morfologis nekrosis meliputi pembengkakan membran
organel, degradasi DNA, dan keluarnya komponen sitoplasma yang mempengaruhi
sel sekitar, menyulut respon inflamasi.
Sumber: Cell Death – Autophagy, Apoptosis and Necrosis – Necrosis as Programmed Cell Death,
2015
2.5.Respon Hepar terhadap Bahan Kimia atau Herbal
Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS)
membuat klasifikasi dan kriteria untuk liver injury seperti pada tabel 2.2.
23
Tabel 2.2. Kriteria untuk terminologi drug-induced liver injury.2
Terminologi Kriteria
Hepatocellular injury Peningkatan ALT > dua kali normal, atau ALT/ALP ≥5
Cholestatic injury Peningkatan ALP >dua kali normal, or ALT/ALP ≤2
Mixed injury ALT dan ALP menurun, dan 2<ALT/ALP<5
Acute injury Perubahan di atas terjadi <3 bulan
Chronic injury Perubahan di atas terjadi >3 bulan
Chronic liver disease Ditegakkan setelah konfirmasi histologis
Terdapat beberapa pola morfologi yang dapat diobservasi pada acute
hepatocellular injury, seperti hepatitis akut, nekrosis dan resolving hepatitis.
Hepatitis akut, karakteristik khusus acute hepatocellular injury adalah inflamasi porta
dan parenkim, hepatocellular injury, dan/atau nekrosis. Tidak ditemukan fibrosis.
Sisi regeneratif memperlihatkan hepatosit binuclear dan lempeng sel yang tebal. Sel
Kupffer yang prominen tampak di dalam sinusoid. Istilah ―hepatitis kolestasis‖
digunakan ketika perubahan morfologis disertai dengan adanya kolestasis.2 Nekrosis,
keadaan ini dapat terjadi pada satu hepatosit (spotty necrosis) atau sekelompok
hepatosit (confluent necrosis). Pada beberapa kasus, nekrosis konfluen dapat terjadi
pada zona tertentu dan membantu diagnosis. Nekrosis pada zona 3 (sentrizonal)
menandakan etiologi berasal dari asetaminofen, halotan, dan toksin seperti karbon
tetraklorida. Nekrosis pada zona 1 dan 2 jarang terjadi. Toksin seperti kokain dan
sulfat ferosus biasanya mempengaruhi zona 1, sedangkan berilium mempengaruhi
zona 2. Nekrosis yang luas dapat mengakibatkan gagal hati akut.2 Resolving hepatitis,
apabila biopsi dilakukan setelah perjalanan penyakit, hepatocellular injury dan
inflamasi tampak minimal. Keberadaan makrofag dalam jumlah banyak di makrofag
dapat membantu mendiagnosis kondisi ini.2
R. Arantes-Rodrigues, et al (2011) melakukan studi mengenai efek dari
pemberian beberapa konsentrasi ekstrak daun zaitun (0%, 0.25%, 0.50%, dan 0.75%)
24
dalam jangka waktu 14 minggu terhadap fungsi hepar mencit menemukan bahwa
terdapat peningkatan signifikan aktivitas alanine aminotransferase dan alkaline
phosphatase serum enzyme, serta gambaran fibrosis pada kelompok dengan dosis
tertinggi (0.5 dan 0.75%), serta terlihat peningkatan ekspresi kolagen yang terlihat
dengan pewarnaan Masson’s trichome. Semua kelompok memperlihatkan perubahan
makroskopik yaitu greenish liver staining dan gambaran mikroskopik hiperplasia
dari duktus biliaris, kolestasis, nekrosis hepatosit, dan infiltrasi sel radang. Kelompok
perlakuan dengan dosis tertinggi menunjukkan angka kematian dan variasi ponderal
homogeneity index (PH) tertinggi. Selain itu, kelompok tersebut menunjukkan angka
mitosis tertinggi pada pengamatan histopatologi. Semua kelompok kecuali kelompok
control memperlihatkan peningkatan ekspresi retikulin di parenkim hepar dan celah
porta.13
Sawsan, et al (2012) menyatakan bahwa pemberian ekstrak daun zaitun 0.9%
selama 6 minggu menunjukkan vakuolisasi sitoplasma hepatosit, nekrosis
hepatoselular, dan peningkatan area perdarahan di ginjal. Penulis berpendapat bahwa
penggunaan ekstrak daun zaitun dalam dosis besar dan jangka waktu yang lama perlu
diperhatikan.33
2.6. Respon Hepar terhadap Pemberian Ovalbumin
Putih telur mengandung 9.7-12% protein, ovalbumin merupakan salah satu
protein yang terkandung di dalamnya. Ovalbumin merupakan kandungan tertinggi
dengan berat kering 54% dari total protein. Terdapat tiga jenis fraksi dalam
ovalbumin, yaitu ovalbumin A1, A2, dan A3 yang dapat dideteksi menggunakan gel
elektroforesis. Ovalbumin memiliki 4 gugus sulfihidril bebas dan gugus disulfide.
Protein ovalbumin dapat mengalami denaturasi dengan paparan panas, absorpsi
permukaan, atau agen denaturasi lain.34
Secara farmakologi, pemberian suatu zat yang yang diberikan secara inhalasi
(dalam bentuk aerosol), secara klinis sekitar 10%-20% akan masuk ke dalam saluran
25
pernafasan, dan 80%-90% sisanya akan tertelan dan diabsorbsi pada saluran
pencernaan, yang kemudian akan masuk ke sistem sirkulasi dan menimbulkan
berbagai macam efek pada tubuh. 35
Menurut Amjad, et al (2011), sensitisasi
ovalbumin dapat menyebabkan cedera pada hepar dengan derajat sedang dan juga
peningkatan level ALT. Cedera hepar ini berkaitan dengan peningkatan adhesi
limfosit.36
2.7. Asma
Asma adalah keadaan patologi dimana saluran napas mengalami inflamasi.
Pada penderita asma episode berulang, saluran napas mengalami inflamasi kronik
sehingga menyebabkan respon berlebihan terhadap berbagai pajanan. Manifestasi
dari episode ini berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, serat batuk terutama
malam atau dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan luasnya obstruksi saluran
napas dan seringkali bersifat reversibel.9
Asma termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe 1, dimana reaksi ini
memiliki tiga fase, yakni sensitisasi, aktivasi, dan efektor. Fase sensitisasi adalah
proses pajanan antigen pertama kali sampai sel B plasma memproduksi IgE.30
Banyak
penelitian yang telah membuktikan bahwa sensitisasi menggunakan ovalbumin
mampu menginduksi peningkatan IgE, sitokin inflamasi, dan akhirnya menimbulkan
reaksi hipersensitivitas.37
Fase aktivasi adalah waktu yang dibutuhkan IgE untuk
berikatan dengan reseptor FcRɛ pada paparan antigen yang kedua dan fase efektor
adalah waktu dimana terjadinya degranulasi sel mast dan pengeluaran produk dari sel
basofil.30
Pelepasan IL-13 yang menstimulasi sel Goblet pada daerah submukosa
bronkus menyebabkan peningkatan sekresi mucus di saluran napas. Proses inflamasi
juga menyebabkan stimulasi reseptor vagal yang berada di daerah subepitel, termasuk
yang dimediasi oleh serat saraf C tak bermielin, yang menyebabkan terjadinya
kontraksi otot polos sehingga menimbulkan keadaan bronkokonstriksi. Selain itu,
keluarnya granul sel mast menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas
26
vaskular dan juga vasodilatasi. Ketiga hal tersebut merupakan reaksi yang terjadi
dalam fase awal asma.9
Dalam pengobatan kedokteran, terapi farmakologis untuk asma menggunakan
agonis adrenoreseptor atau agen simpatomimetik yang memiliki efek bronkodilator
sebagai reliever dan kortikosteroid yang memiliki efek anti-inflamasi sebagai
controller. Regimen seperti epinefrin, albuterol, terbutalin, metaproterenol,
pirbuterol, salmeterol, dan formoterol mampu mendilatasi bronkus pada penderita
asma. Inhalasi obat simpatomimetik menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya
aritmia jantung dan hipoksemia pada penggunaan akut serta takifilaksis dan toleransi
jika diberikan berulang. Obat agonis selektif reseptor B2 dapat menurunkan tekanan
oksigen arteri (PaO2), efek ini tentu akan semakin lebih besar pada agonis B kerja-
lama.23
27
2.8. Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Pengukuran Alat Ukur Skala
Dosis
ekstrak
daun zaitun
Jumlah dosis
ekstrak daun zaitun
yang diberikan
secara oral pada
mencit dalam
satuan mg per berat
(BB)
Menimbang berat
mencit kemudian
hitung dosis
100/mg/kgBB
dan 200mg/KgBB
Timbangan Numerik
Persentase
hepatosit
dengan
nukleus
abnormal
Jumlah nukleus
hepatosit dengan
bentuk tidak
bulat/oval,
disintegritas tepi
nukleus, warna
tidak ungu, dan
ukuran diatas 8µm
Pada perbesaran
400x foto dibuka
dengan ImageJ
dan dihitung
jumlah nukleus
hepatosit
abnormal dibagi
jumlah
nukleushepatosit
total
ImageJ
versi 1.5
Numerik
28
2.9. Kerangka Teori
Cedera letal
Nekrosis hepatosit
Cedera subletal
Sensitisasi ovalbumin +
alum (adjuvant)
intraperitoneal
Pembentukan
IgE spesifik-
OVA
Opsonisasi
Pajanan antigen kedua
Induksi dengan inhalasi
ovalbumin
IgE berikatan dengan
reseptor FcRɛ pada sel
mast
Peningkatan titer
IgE spesifik-OVA
Pelepasan mediator
inflamasi
Organ hepar
Disfungsi hepar
Organ pernapasan
Stimulasi sel
Goblet
Peningkatan
produksi mukus
Peningkatan
permeabilitas
vaskular
Vasodilatasi
Kontraksi otot
polos bronkus
Pemberian ekstrak etanol
daun zaitun (Olea europaea
L.) per oral
Zat aktif daun
zaitun
Stimulasi serat
sensori C
Flavonoid
Polifenol
Asma
Luteolin
-
29
2.10. Kerangka Konsep
Ovalbumin Terapi ekstrak
zaitun oral
Histo PA
H&E
Abnormalitas
hepatosit
Mencit BALB/c
Asma
Toksisitas
Hepar
30
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimental.
Penelitian ini menggunakan mencit jantan strain BALB/c yang diinduksi ovalbumin.
Kemudian diberikan ekstrak daun zaitun selama 7 hari dengan 2 jenis dosis, yaitu
100mg/kgBB dan 200mg/kgBB. Mencit selanjutnya dinekropsi untuk diambil
jaringan hepar untuk dilihat gambaran histologisnya.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari tanggal 12 Oktober 2015 sampai 30 Juni 2016.
Pemeliharaan dan perlakuan mencit dilakukan di Animal House FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pembuatan ekstrak daun zaitun dilakukan di BALITTRO.
Perlakuan dan pengambilan jaringan dilakukan di Laboratorium Farmakologi FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembuatan preparat dilakukan di Laboratorium
Histologi FKUI. Dokumentasi foto preparat dan analisis dilakukan di Laboratorium
Histologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.3. Alat dan Bahan Penelitian
3.3.1. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: kandang mencit, tempat
makan dan minum mencit, pakan dan minum mencit, perlengkapan kebersihan,
neraca kebersihan, spuit insulin, spuit 1cc, sonde, tabung reaksi, gelas ukur, kandang
untuk nebulasi, nebulizer, minor set, papan bedah, toples untuk eter.
31
3.3.2. Bahan
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak daun zaitun dengan
dosis 100mg/kgBB dan 200mg/kgBB.
Objek percobaan yang digunakan adalah mencit jantan strain BALB/c
sebanyak 15 ekor melalui perhitungan rumus Mead dengan 5 kelompok perlakuan.38
Perhitungan rumus Mead: E= N-B-T, dengan hasil 3 ekor mencit di setiap kelompok
perlakuan (lampiran 2).
Keterangan:
N = Jumlah total sampel pada penelitian (dikurangi 1)
B = Blocking component bernilai 0 jika tidak ada stratifikasi
T = Jumlah total perlakuan, termasuk kelompok kontrol (dikurangi 1)
E = Degree of freedom of error component, nilainya antara 10-20
Tabel 3.1 Kelompok perlakuan
NO KELOMPOK PERLAKUAN
1. Kontrol PBS i.p. + PBS oral + PBS inhalasi
2. P1 (Ekstrak daun zaitun 100
mg + OVA)
OVA-Alum 50 µg/ml i.p. + Ekstrak
daun zaitun 100 mg/KgBB oral +
OVA inhalasi
3. P2 (Ekstrak daun zaitun 200
mg + OVA)
OVA-Alum 50 µg/ml i.p. + Ekstrak
daun zaitun 200 mg/KgBB oral +
OVA inhalasi
4. P3 (Esktrak daun zaitun 100
mg)
Ekstrak daun zaitun 50 mg/KgBB i.p.
+ zaitun 100 mg/KgBB oral +
Ekstrak daun zaitun inhalasi
5. P4 (Ekstrak daun zaitun 200
mg)
Ekstrak daun zaitun 50 mg/KgBB i.p.
+ Zaitun 200 mg/KgBB oral +
Ekstrak daun zaitun inhalasi
3.3.3. Kriteria Inklusi
1. Kelompok N : mencit jantan strain BALB/c
2. Tidak ada kelainan anatomi sebelum perlakuan
32
3. Tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, atau botak.
3.3.4. Kriteria Eksklusi
1. Mencit yang betina atau sakit selama penelitian berlangsung.mencit
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun zaitun (Olea
europaea L.) per oral.
3.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat penelitian ini dalah gambaran mikroskopik hepar mencit
BALB/c.
3.5 Cara Kerja Penelitian
3.5.1. Penyimpanan Simplisa
Daun zaitun diperoleh dari BALITTRO (Balai Penelitain Tanaman Rempah
dan Obat) Bogor, Jawa Barat dalam bentuk ,serbuk halus . Serbuk simplisia disimpan
dalam wadah kering, tertutup rapat dan terlindungi dari cahaya.39
3.5.2. Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak daun zaitun menggunakan metode ekstraksi cara dingin
yaitu dengan remaserasi. Serbuk simplisia dimaserasi dengan pelarut n-heksan dalam
wadah gelap hingga terendam dan ditutup rapat. Sesekali diaduk selama 24 jam pada
suhu kamar. Pergantian pelarut dilakukan setiap 2 sampai 3 hari sekali. Proses
maserasi ini diulang hingga menghasilkan maserat yang berwarna pucat (mendekati
tak berwarna). Maserat yang telah didapat kemudian difiltrasi menggunakan kapas
33
dan kertas saring hingga didapatkan filtrat. Filtrat dipekatkan dengan vacuum rotary
evaporator sehingga didapatkan ekstrak.39,40
3.5.3. Adaptasi Hewan Coba
Mencit diadaptasikan di Animal House pada hari pertama sampai hari ke-21.
Sampel diadaptasikan terhadap tempat tinggal barunya, pemberian makanan maupun
pemberian minuman. Perlakuan disamakan pada semua mencit .
Menurut Aravind, et al (2012) adaptasi mencit BALB/c untuk dilakukan
sensitisasi asma cukup dilakukan selama 7 hari.41
Adaptasi ini bertujuan semua objek
penelitian tidak dalam kondisi stress dan dalam kondisi yang sama saat dimulai
penelitian.
3.5.4. Sensitisasi Hewan Coba
Sensitisasi dilakukan dengan menyuntikkan ovalbumin dan aluminium
hidroksida (sebagai adjuvan) selama 2 kali, yakni pada hari ke-8 dan hari ke-21.
Setiap mencit disuntikkan secara intraperitoneal sebanyak 50 µg ovalbumin dalam 2
mg Al(OH)3 sebagai adjuvant yang diemulsifikasikan 0.2 ml PBS.41
Sensitisasi ini
bertujuan untuk mengenalkan antigen pertama sehingga nantinya bisa timbul reaksi
inflamasi. Menurut Conrad, et al (2009) pemberian adjuvant ditujukan untuk
meningkatkan IgE dan IgG spesifik OVA dibandingkan non adjuvan.42
Sedangkan
kelompok mencit P3 dan P4 mendapatkan ekstrak daun zaitun 50 mg intraperitoneal.
3.5.5. Pemberian Ekstrak Daun Zaitun terhadap Mencit
Pada hari ke-22, mencit diberikan ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.)
dengan dosis 100mg/kgBB dan 200mg/kgBB secara oral dengan menggunakan sonde
selama 7 hari (hari ke-22 sampai hari ke-29).
34
3.5.6. Induksi Ovalbumin
Pada hari ke-30 dan hari ke-32, mencit pada kelompok P1 dan P2 diinduksi
dengan nebulisasi ovalbumin 2% dengan dosis 5-7ml/kali/hari selama 20 menit. Pada
hari ke-33, mencit diinduksi dengan nebulisasi ovalbumin 5% dengan dosis 5-
7ml/kali/hari selama 30 menit. Hal ini dilakukan agar ikus benar-benar terinduksi dan
menjadikan mencit dalam kondisi asma.41
Pada kelompok P3 dan P4 setelah diberikan ekstrak zaitun oral selama 7 hari
kemudian dilakukan challenge dengan inhalasi ekstrak daun zaitun 2% 5-7 ml dalam
20 menit selama dua hari. Challenge yang ketiga dengan inhalasi ekstrak daun zaitun
5% 5-7 ml dalam 30 menit.
3.5.7. Pengambilan Organ Hepar
Pada hari ke-33, mencit dipuasakan sebelum dinekropsi pada hari selanjutnya.
Hal ini dilakukan agar tidak banyak makanan tertinggal di organ mencit sehigga tidak
mengganggu proses pemotongan dan pembuatan preparat.
Pada hari ke-34, dilakukan nekropsi pada mencit. Sebelum dinekropsi, mencit
dijadikan lemah dengan larutan eter 95%. Mencit dimasukkan ke dalam toples yang
sudah diberi eter, sehingga eter tersebut akan terinhalasi dan menjadikan mencit
lemah. Dalam nekropsi, eksplorasi dapat dilakukan dengan teknik bedah dari bagian
leher atau abdomen. Mengingat penelitian ini dilakukan bersama pengambilan
jaringan trakea, eksplorasi dimulai dari bagian leher. Setelah trakea diambil,
dilanjutkan pembedahan sampai bagian abdomen sampai seluruh organ bagian hepar
terlihat. Organ hepar kemudian diambildan dimasukkan ke dalam larutan salin yang
selanjutnya akan disimpan dalam larutan formalin.43
35
3.5.8. Pembuatan Preparat
3.5.8.1. Dehidrasi
Proses dehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol dari konsentrasi
rendah ke konsentrasi tinggi. Setelah alkohol diencerkan sesuai konsentrasi yang
dibutuhkan, setiap alkohol dengan konsentrasi tertentu di tuangkan ke dalam 3 buah
pot plastik sebanyak setengah volume pot. Setiap pot diberi label dari I sampai III
untuk menandai urutan perlakuan. Jaringan yang telah disimpan dalam formalin
dimasukkan ke dalam pot plastik dengan label I, II, dan III secara berurutan dimulai
dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi yaitu 30%, 50%, 70%, 80%, 90%, 95%
dan alkohol absolut. Kemudian jaringan didiamkan selama 20 menit dalam masing-
masing pot.44,45
3.5.8.2. Clearing
Proses clearing dilakukan untuk menghilangkan alkohol dalam jaringan.
Bahan yang digunakan adalah toluol-alkohol 1:1 dan toluol murni. Jaringan yang
sudah melewati proses dehidrasi dimasukkan ke dalam wadah kaca bertutup yang
berisi toluol-alkohol 1:1 untuk direndam selama 25 menit. Setelah itu digunakan
larutan toluol murni untuk merendam jaringan selama 1 jam.45
3.5.8.3. Embedding
Proses embedding ditujukan untuk menghilangkan cairan dalam jaringan
setelah proses clearing karena cairan tersebut dapat mengkristal di dalam jaringan
dan menyebabkan jaringan mudah robek saat tahap pemotongan. Bahan yang
digunakan yaitu toluol-parafin 1:1 dan parafin murni. Pertama, jaringan didiamkan
dalam larutan toluol-parafin 1:1 yang telah dicairkan dalam 5 wadah kaca selama 24
jam. Kemudian wadah berisi jaringan tersebut dipanaskan untuk mencairkan toluol-
parafin 1:1. Organ selanjutnya dimasukkan ke dalam botol berisi parafin cair yang
36
telah diberi label sesuai urutan perlakuan selama 15 menit. Perendaman dalam parafin
harus dilakukan dalam inkubator 56-62°C agar parafin tetap cair.
45
3.5.8.4. Pencetakan
Proses pencetakan dilakukan untuk membuat parafin blok. Bahan yang
digunakan yaitu cetakan blok, embedding cassete, dan parafin cair. Parafin cair
dituangkan ke dalam cetakan secukupnya, kemudian jaringan direndam di dalam
cetakan berisi parafin tersebut dan ditelakkan embedding cassette di atasnya.
Selanjutnya untuk merekatkan dituangkan kembali parafin cair dan dibiarkan pada
suhu ruangan hingga blok membeku.45
3.5.8.5. Pemotongan jaringan
Pemotongan jaringan ditujukan untuk memotong blok sesuai dengan
ketebalan yang diinginkan dan dibuat preparat histologis. Alat dan bahan yang
digunakan yaitu mikrotom geser, kaca objek, paraffin waterbath, aquades dan es
batu. Pasangkan blok parafin di holder mikrometer geser, kemudian dipotong dengan
ketebalan 3-4 µm. Hasil potongan jaringan diambil dan direndam pada paraffin
waterbath yang berisi aquades dengan suhu 46°C sambil bentuk irisan dirapikan.
Potongan tersebut diletakkan di atas kaca objek yang telah dioleskan campuran
albumin dan gliserin yang didiamkan selama satu malam. Larutan ini berfungsi
sebagai bahan perekat. Setelah itu, kaca objek dengan jaringan di atasnya disusun
dalam rak khusus dan dimasukkan ke dalam incubator bersuhu 60°C sampai preparat
siap diwarnai.46
3.5.8.6. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin
Dalam proses pewarnaan,bahan yang digunakan adalah xyliol, alkohol
absolut, alkohol dengan konsentrasi 70%, 80%, 90% dan 95%, serta aquades,
Hematoksilin-Eosin (HE), dan asam alkohol yang merupakan campuran 200ml
37
alkohol 70% dengan 2ml HCl. Masing-masing bahan tersebut dituangkan dalam
staining jar sebanyak 200ml.45
Preparat yang telah dibuat kemudian disusun dalam cawan dan direndam
dalam xyliol selama 10 menit sebanyak 2 kali. Kemudian cawan dipindahkan dan
direndam dalam alkohol absolut selama 5menit sebanyak 2 kali. Lalu cawan
dipindahkan dan direndam dalam alkohol 90%, 80% dan 70% masing-masing selama
1 menit dan berurutan mulai dari konsentrasi tertinggi. Selanjutnya cawan
dipindahkan dan direndam dalam aquades selama 4 menit. Setelah itu, cawan
dipindahkan dan direndam dalam pewarna Hematoksilin-Eosin selama 4 menit.
Kemudian cawan dipindahkan dan direndam dalam asam alkohol selama 30 detik.
Lalu, cawan dipindahkan dan direndam dalam aquades selama 1 menit. Setelah itu,
preparat dilihat di bawah mikroskop untuk memeriksa pewarnaan.45
Setelah diperiksa, cawan direndam kembali dalam aquades selama 1 menit
sebanyak 3 kali. Kemudian cawan dipindahkan dan direndam dalam alkohol 70%,
80%, 90% dan alkohol absolut masing-masing selama 1 menit dan berurutan mulai
dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Selanjutnya cawan dipindahkan dan
direndam dalam xyliol selama 3 menit sebanyak 3 kali.45
Segera setelah perendaman dalam xyliol terakhir, preparat ditetesi
kanadalbasam secukupnya, lalu ditutup secara perlahan dan hati-hati dengan cover
glass untuk menghindari terbentuknya gelembung udara. Terakhir, preparat diberi
label sesuai dengan kode perlakuan dan dibiarkan hingga mengering.45
3.5.9. Cara Pengamatan Mikroskop Hepar
Setelah preparat kering, dilakukan dokumentasi preparat. Alat yang digunakan
adalah mikroskop konfokal (Olympus BX41) dan perangkat komputer dengan
software DP2-BSW. Pertama, komputer dan mikroskop dipastikan terkoneksi dengan
baik, kemudian nyalakan keduanya. Preparat diletakkan di meja objek selanjutnya
diamati dengan lensa perbesaran terkecil yaitu 40 kali hingga terlihat jaringan yang
38
hendak diamati. Kemudian tingkatkan perbesaran menjadi 400 kali dan foto bagian
dari preparat yang diinginkan, lalu simpan file hasil dokumentasi preparat.27
3.5.10. Penghitungan Persentase Kerusakan Hepatosit
Setelah foto selesai diambil, dilakukan analisis jaringan hepar yang
mengalami kerusakan. Penilaian kerusakan yaitu dengan menganalisis hepatosit
dengan nukleus abnormal yang ada pada lapang pandang tanpa vena porta, pembuluh
darah interlobular, dan duktus biliaris.27
Analisis dilakukan pada 5 lapang pandang
besar kemudian dirata-rata. Penghitungan dilakukan dengan bantuan aplikasi ImageJ
versi 1.5. Setelah itu dihitung dengan rumus:
39
3.6. Alur Penelitian
Mencit tiba di Animal House
Adaptasi selama 7 hari makan dan
minum ad libitum
Kel P3
(PBS+z100)
Kel P1
(z100+OVA) Kel K
(kontrol)
Mencit dibagi menjadi 5 kelompok
Evakuasi organ
hepar
Nekropsi
Sonde ekstrak
daun zaitun (Olea
europaea L.)
200mg/kgBB/hari
selama 7 hari
Sonde ekstrak
daun zaitun (Olea
europaea L.)
100mg/kgBB/hari
selama 7 hari
Sonde PBS
selama 7 hari
Pembuatan
preparat
Pengamatan
mikroskop
Analisa statistik
pada data
Kel P2
(z200+OVA) Kel P4
(PBS+z200)
Sonde ekstrak
daun zaitun (Olea
europaea L.)
100mg/KgBB/hari
selama 7 hari
Sonde ekstrak
daun zaitun (Olea
europaea L.)
200mg/KgBB/hari
selama 7 hari
Challenge dengan inhalasi
PBS Ovalbumin Ovalbumin Daun zaitun Daun zaitun
Dipuasakan satu hari
PBS i.p
Sensitisasi
ovalbumin i.p
Sensitisasi
ovalbumin i.p
Sensitisasi
zaitun i.p
Sensitisasi
zaitun i.p
40
3.7. Managemen Data
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan eksperimen langsung terhadap
mencit jenis BALB/c yang diberi perlakuan berupa pemberian ekstrak daun zaitun
(Olea europaea L.) dan induksi ovalbumin. Dilakukan juga dengan pencarian literatur
dan tinjauan pustaka untuk mendapatkan informasi mengenai efek daun zaitun
terhadap gambaran histopatologi hepar. Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan
data dengan Microsoft Excel dan analisis statistik dengan aplikasi Statistical Product
and Service Solutions (SPSS) versi 22.0.
Uji stastistik yang digunakan adalah Uji Oneway Annova karena penelitian
termasuk analitik komparatif lebih dari dua kelompok. Untuk melakukan uji Oneway
Annova, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dan uji homogenitas. Jika salah
satu uji tersebut tidak terpenuhi maka dilakukan transformasi data. Ketika uji
transformasi data tidak berhasil maka dilakukan uji Kruskal Wallis.47
41
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil dan Pembahasan
Penelitian efek pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai
terapi asma terhadap hepar mencit BALB/c dibagi menjadi 5 kelompok yaitu
kelompok mencit yang diberikan PBS oral dan challenge dengan inhalasi PBS
sebagai kelompok kontrol (K). Kelompok mencit yang diberikan ekstrak daun zaitun
(Olea europaea L.) 100mg/kgBB per oral dan challenge dengan inhalasi ovalbumin
sebagai kelompok perlakuaan 1 (P1). Kelompok mencit yang diberikan ekstrak daun
zaitun (Olea europaea L.) 200mg/kgBB per oral dan challenge dengan inhalasi
ovalbumin sebagai kelompok perlakuan 2 (P2). Kelompok mencit yang diberikan
ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) 100mg/kgBB per oral dan challenge dengan
inhalasi ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai kelompok perlakuan 3 (P3).
Kelompok mencit yang diberikan ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.)
200mg/kgBB per oral dan challenge dengan inhalasi ekstrak daun zaitun (Olea
europaea L.) sebagai kelompok perlakuan 4 (P4). Pelakuan dilakukan selama 7 hari.
Gambaran mikroskopik hepar berdasarkan pengelompokan di atas dengan
hasil perhitungan persentase nukleus hepatosit abnormal hepar mencit disajikan pada
gambar 4.1 dan 4.2.
Dari hasil pengamatan mikroskopik, didapatkan hasil bahwa persentase
nukleus hepatosit abnormal meningkat pada kelompok P1 (ekstrak daun zaitun
100mg/KgBB + ovalbumin inhalasi), P2 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB +
ovalbumin inhalasi) dan P4 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB + ekstrak daun zaitun
inhalasi). Sedangkan pada kelompok P3 (ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB + ekstrak
daun zaitun inhalasi) terlihat persentase nukleus hepatosit abnormal lebih rendah
dibandingkan kontrol. Peningkatan presentase nukleus hepatosit abnormal dapat
mengindikasikan toksisitas terhadap hepar. Secara histologi, abnormalitas struktur sel
42
Gambar 4.1 Gambaran mikroskopik hepar setelah pemberian ekstrak zaitun pada
mencit BALB/c pewarnaan H&E perbesaran 400x (tanda panah; a. biru: hepatosit
dengan nukleus normal b. kuning: hepatosit dengan nukleus abnormal).
K P1
P2 P3
P4
43
Gambar 4.2 Grafik persentase kerusakan hepatosit dengan nukleus abnormal setelah
pemberian ekstrak daun zaitun.
dapat dinilai dari nukleus, sitoplasma, maupun membran sel. Nukleus yang
mengalami perubahan ukuran menjadi kecil atau menggembung, warna yang tidak
ungu dengan pewarnaan H&E; sitoplasma yang tidak homogen; dan sel yang tidak
polihedral menggambarkan ciri-ciri jaringan nekrosis.9 Keadaan Animal House yang
tidak ideal juga memungkinkan terjadinya bias pada hasil penelitian. Kebersihan
kandang yang kurang baik, sirkulasi ruangan yang kurang lancar, pemberian makanan
yang dijual bebas di pasaran, dan sumber minum yang menggunakan air keran juga
dapat berpotensi menjadi faktor perancu dalam penelitian ini.
Cedera sel dapat disebabkan oleh deprivasi oksigen, bahan kimia, agen
infeksius, reaksi imunologi, defek genetik, ketidakseimbangan nutrisi, agen fisik dan
degenerasi.9 Dalam proses cedera, sel yang mengalami cedera subletal menunjukkan
manifestasi berupa perubahan degeneratif yang bersifat reversibel, perubahan ini
cenderung melibatkan sitoplasma sel. Namun, jika sudah mengarah pada cedera letal,
nukelus sel juga akan terkena dampaknya, gambaran yang sering terlihat adalah
perubahan integritas nukleus dan pembengkakan.32
K: PBSoral+inhala
si PBS
P1: Zaitun100mg/kgBB+inhalasiovalbumin
P2: Zaitun200mg/kgBB+inhalasiovalbumin
P3: Zaitun100mg/kgBB+inhalasi
zaitun
P4: Zaitun200mg/kgBB+inhalasi
zaitun
Persentase (%) 40.05 65.68 68.52 38.10 63.18
0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.00
Pre
sen
tase
nu
kle
us
hep
ato
sit
abn
orm
al (
%)
Perlakuan
* * *
44
Kelompok P1 (ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB + ovalbumin inhalasi) dan
P2 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB + ovalbumin inhalasi) menunjukkan gambaran
persentase kerusakan hepatosit yang lebih banyak dari kontrol. Ovalbumin
merupakan protein yang dapat mengaktivasi jalur inflamasi. Amjad, et al (2011)
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ovalbumin dapat meningkatkan level ALT
dan menyebabkan mild liver injury. 36
Pada kelompok P3 (ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB + ekstrak daun zaitun
inhalasi) dan P4 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB + ekstrak daun zaitun inhalasi)
menunjukkan gambaran persentase hepatosit abnormal yang lebih sedikit dari
kelompok ovalbumin. Namun, kelompok P4 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB +
ekstrak daun zaitun inhalasi) jika dibandingkan dengan P3 (ekstrak daun zaitun
100mg/KgBB + ekstrak daun zaitun inhalasi) menunjukkan persentase hepatosit
abnormal lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh dosis yang diberikan lebih besar.
Penyebab lain yang dapat mempengaruhi hal ini adalah jenis ekstrak zaitun yang
digunakan. Dengan digunakannya ekstrak kasar, tanpa dilakukan destilasi bertingkat
untuk mengambil zat aktif seperti oleuropein dan hidroksitirosol, maka masih ada zat
aktif lainnya yang dapat mempengaruhi kerja hepar.48
Kelompok P3 (ekstrak daun zaitun 100mg/KgBB + ekstrak daun zaitun
inhalasi) menunjukkan presentase hepatosit abnormal yang lebih rendah
dibandingkan kontrol, sedangkan kelompok dengan dosis zaitun lebih tinggi
menunjukkan peningkatan presentase abnormalitas. Hal ini menunjukkan bahwa efek
ekstrak daun zaitun terhadap hepar itu dosage dependent, dalam artian dalam dosis
tertentu dapat menimbulkan hepatotoksik. R. Arantes-Rodrigues (2011) melaporkan
bahwa perubahan morfologi hepar, nekrosis, dan infiltrasi sel radang yang diberikan
ekstrak daun zaitun selama 14 minggu berkaitan dengan penurunan energi sel sebagai
manifestasi malfungsi mitokondria. Mitokondria, dalam kondisi tertentu dapat
menjadi sumber ROS terhadap sel.13
45
Kelompok P2 (ekstrak daun zaitun 200mg/KgBB + ovalbumin inhalasi)
menunjukkan gambaran persentase kerusakan paling tinggi dibanding kelompok
kelompok lainnya. Hal ini disebabkan oleh pemberian ekstrak dalam dosis yang lebih
tinggi dan pemberian ovalbumin. Selain pemberian ovalbumin pada mencit
mengakibatkan cedera hepar seperti yang dijelaskan Amjad, et al (2011), efek ekstrak
daun zaitun yang bergantung dosis (dosage dependent ) seperti yang telah dilaporkan
R. Arantes-Rodrigues (2011) juga akan memperparah kondisi cedera hepar.
Setelah dilakukan pengamatan pada sediaan histologi dan dilakukan
penghitungan persentase nukleus hepatosit abnormal, untuk melihat signifikansi pada
hasil dari penghitungan dilakukan uji statistik. Pemilihan uji statistik menggunakan
Kruskal Wallis karena distribusi data tidak homogen. Kemudian dilanjutkan dengan
uji post hoc untuk melihat perbandingan antar kelompok.
Dari uji post hoc (lampiran) didapatkan bahwa kelompok P3 memiliki
persentase nukleus hepatosit abnormal yang lebih rendah bermakna dari kelompok P4
(p<0.05). Begitu pula dengan kelompok P1 memiliki persentase lebih rendah dari
kelompok P2 namun tidak bermakna (p>0.05).
4.2. Keterbatasan Penelitian
Selama penelitian berlangsung banyak hambatan yang didapat, antara lain
1. Tidak adanya kelompok kontrol positif (ovalbumin)
2. Dosis yang dipakai kurang bervariasi
3. Aspek subjektivitas dalam proses identifikasi nukleus
* *
46
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Dari hasil analisis statistik, didapatkan kesimpulan bahwa:
1. Pemberian ekstrak daun zaitun (Olea europaea L.) menurunkan persentase
kerusakan hepatosit melalui nukleus abnormal secara tidak signifikan pada dosis
100 mg/kgBB dibandingkan dengan kelompok lainnya
2. Dosis 100 mg/kgBB lebih aman diberikan dibandingkan dengan dosis 200
mg/kgBB.
5.2. Saran
Untuk peneliti selanjutnya:
1. Menambahkan kelompok kontrol positif (ovalbumin) untuk membandingkan efek
inflamasi secara pasti
2. Menambah durasi penelitian untuk membandingkan dengan reaksi kronik
3. Penelitian fungsi hepar setelah pemberian ekstrak daun zaitun
4. Analisis dan penghitungan nukleus dilakukan oleh minimal 2 orang untuk
meminimalisir subjektivitas.
47
BAB VI
KERJASAMA PENELITIAN
Penelitian ini merupakan bentuk kerjasama penelitian mahasiswa dan dosen
FKIK yaitu dr Nurul Hiedayati, Ph.D., dr Riva Auda, Sp.A., M. Kes. dan Nur Laely
Mida Rahmawati, M.Biomed, Ph.D. yaitu tentang efek pemberian ekstrak daun zaitun
untuk terapi asma terhadap organ pernapasan mencit BALB/c yang diinduksi
ovalbumin. Penelitian ini didanai oleh Lemlit UIN, dan Kementerian Agama.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Woo CSJ, Lau JSH, El-Nezami H. Herbal medicine: toxicity and recent trends
in assessing their potential toxic effects. Adv Bot Res. 2012;62:365–84.
2. Ramachandran R, Kakar S. Histological patterns in drug-induced liver disease.
J Clin Pathol. 2009;62(6):481–92.
3. Supardi S, Susyanty AL. Penggunaan obat tradisional dalam upaya pengobatan
sendiri di Indonesia (analisis data Susenas tahun 2007). Bul Penelit Kesehat.
2010;38(2):80–9.
4. Chiappetta A, Muzzalupo I. Botanical description. In: Olive Germplasm – The
Olive Cultivation, Table Olive and Olive Oil Industry in Italy in. 2012.
5. Ghanbari R, Anwar F, Alkharfy KM, Gilani A. Valuable nutrients and
functional bioactives in different parts of olive ( Olea europaea L.)— a review.
Int J Mol Sci. 2012;13:3291–340.
6. Khan Y, Panchal S, Vyas N, Butani A, Kumar V. Olea europaea : a phyto-
pharmacological review. Phcog Rev. 2007;1(1).
7. Boukhebti H, Chaker AN, Lograda T, Ramdani M. Pharmacology and
toxicology chemical and antimicrobial properties of essential oils of Olea
europea L . Int J Pharmacol Toxicol. 2015;5(1):42–6.
8. Tanaka T, Takahashi R. Flavonoids and asthma. Nutrients. 2013;5:2128–43.
9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi Robbins. 7th ed.
Hartanto H, Darmaniah N, Wulandari N, editors. Jakarta: EGC; 2007.
10. Das M, Ram A, Ghosh B. Luteolin alleviates bronchoconstriction and airway
hyperreactivity in ovalbumin sensitized mice. Inflamm Res. 2003;52(3):101–6.
11. Toledo A, Sakoda C, Perini A, Pinheiro N, Magalhães R, Grecco S, et al.
Flavonone treatment reverses airway inflammation and remodelling in asthma
murine model. Br J Pharmacol. 2013;168:1736–49.
12. Dekanski D, Mihailovic-Stanojevic N, Milanovic JG, Jovovic D, Miloradovic
Z. Effects of high dose olive leaf extract on the hemodynamic and oxidative
stress parameters in normotensive and spontaneously hypertensive rats. J Serb
Chem Soc. 2014;79(9):1085–97.
13. Arantes-Rodrigues R, Henriques A, Pires MJ, Colaço B, Calado AM, Rema P,
et al. High doses of olive leaf extract induce liver changes in mice. Food Chem
Toxicol. 2011;49(9):1989–97.
49
14. Setiawati A, Suryatna FD, Gan S. Pengantar farmakologi. In: Gunawan SG,
editor. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Gaya baru; 2007.
15. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. 8th ed. Ong HO, Mahode
AA, Ramadhani D, editors. Jakarta: EGC; 2014.
16. P Sharma O, Singh A, Bhat T k. Clinical biochemistry of hepatotoxicity. J Clin
Toxicol. 2011;4(1):1–19.
17. Hashmi MA, Khan A, Hanif M, Farooq U, Perveen S. Traditional uses ,
phytochemistry , and pharmacology of Olea europaea ( olive). Evidence-Based
Complement Altern Med. 2015;2015:1–29.
18. Braun L, Cohen M. Herbs and natural supplements herbs: an evidence-based
guide second edition. Elsevier. 2007;
19. Barbaro B, Toietta G, Maggio R, Arciello M, Tarocchi M. Effects of the olive-
derived polyphenol oleuropein on human health. Int J Mol Sci.
2014;15:18508–24.
20. Amin M El, Virk P, Elobeid MAR, Almarhoon ZM, Hassan ZK, Omer SA, et
al. Anti-diabetic effect of Murraya koenigii (L) and Olea europaea( L ) leaf
extracts on streptozotocin induced diabetic rats. Pak J Pharm Sci.
2013;26(2):359–65.
21. Omar SH. Oleuropein in olive and its pharmacological effects. Sci Pharm.
2010;78(2):133–54.
22. de Bock M, Thorstensen EB, Derraik JGB, Henderson H V., Hofman PL,
Cutfield WS. Human absorption and metabolism of oleuropein and
hydroxytyrosol ingested as olive (Olea europaea L.) leaf extract. Mol Nutr
Food Res. 2013;0:1–7.
23. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. 10th ed. Nirmala WK, Yesdelita
N, Susanto D, Dany F, editors. Jakarta: EGC; 2010.
24. Rogers AB, Dintzis RZ. Liver and gallbladder. In: Comparative Anatomy and
Histology. First Edit. USA: Elsevier Inc.; 2012. p. 193–202.
25. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AWM. Dasar-dasar anatomi Gray. Kalanjati
VP, editor. Singapore: Elsevier; 2014.
26. Mescher AL. Histologi dasar Junqueira. 12th ed. Hartanto H, editor. Jakarta:
EGC; 2011.
27. Ross MH, Pawlina W. Histology: a text and atlas: with correlated cell and
molecular biology. 6th ed. China: Wolters Kluwer; 2011.
50
28. Lopez BG, Tsai MS, Baratta JL, Longmuir KJ, Robertson RT.
Characterization of Kupffer cells in livers of developing mice. Comp Hepatol.
2011;10(1):2.
29. Conrad R, Castelino-Prabhu S, Cobb C, Raza A. Cytopathologic diagnosis of
liver mass lesions. J Gastrointest Oncol. 2013;4(1):53–61.
30. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. 12th ed. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2014.
31. Bajpai S, Pathak R, Hussain T. Anti-inflammatory activity of ethno-botanical
plants used as traditional medicine : RRJPP. 2014;2(1):24–34.
32. Escobar L, Echeverría OM, Vázquez-Nin GH. Necrosis as programmed cell
death. In Intech Open Science; 2015. p. 419–34.
33. Omer SA, Elobeid MA, Elamin MH, Hassan ZK, Virk P, Daghestani MH, et
al. Toxicity of olive leaves (Olea europaea L.) in wistar albino rats. Asian J
Anim Vet Adv. 2012;
34. Alleoni ACC. Albumen protein and functional properties of gelation and
foaming. Sci agric. 2006;63(3):291–8.
35. Brunton LL, Chabner BA, Knollmann. Goodman & Gilman’s the
pharmacological basis of therapeutics. Elsevier; 2012.
36. Horani A, Shoseyov D, Doron S, Mruwat R, Amer J, Kerem E, et al.
Immunobiology immune modulation of ovalbumin-induced lung injury in mice
using B-glucosylceramide and a potential role of the liver. Immunobiology.
2011;216(5):548–57.
37. Sun LZ. Comparison between ovalbumin and ovalbumin peptide 323-339
responses in allergic mice: humoral and cellular aspects. Scand J Immunol.
2010;71:329–35.
38. Singh AS, Masuku MB. Sampling techniques and determination of sample size
in applied statistics research: an overview. J Econ. 2014;2(11).
39. Mukhriani. Ekstraksi, pemisahan senyawa, dan identifikasi senyawa aktif. J
Kesehat. 2004;7(2):361–7.
40. Istiqomah. Perbandingan metode ekstraksi maserasi dan sokletasi terhadap
kadar piperin buah cabe Jawa (Piperis retrofracti fructus). UIN Syarif
Hidayatullah; 2013.
41. Reddy AT. Murine model of allergen induced asthma. J Vis axperiments.
2012;63:1–7.
51
42. Conrad ML, Yildirim AÖ, Sonar SS, Kiliç A, Sudowe S, Lunow M, et al.
Comparison of adjuvant and adjuvant-free murine experimental asthma
models. Clin Exp Allergy. 2009;39(8):1246–54.
43. Alferah MAZ. Toxicity induced histological changes in selected organs of
male ( Wistar ) rats by Lawsonia inermis leaf extract. European J Med Plants.
2012;2(2):151–8.
44. Jusuf AA. Histoteknik dasar. Bagian Histol Fak Kedokt Univ Indones. 2009;1–
33.
45. Suntoro SH. Metode pewarnaan: histologi dan histokimia. Bagian Anatomi
dan Mikroteknik Hewan Fakultas Biologi UGM. Jakarta: Bhatara Karya
Aksara; 1983. 1-76 p.
46. Muntiha M. Teknik pembuatan preparat histopatologi dari jaringan hewan
dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin (H&E). Temu Tek Fungsional Non
Peneliti 2001. 2001;156–63.
47. Dahlan SM. Langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang kedokteran
dan kesehatan. 3rd ed. Jakarta: Sagung Seto; 2008.
48. Waterman E, Lockwood B. Active components and clinical applications of
olive oil. Altern Med Rev. 2007;12(4):331–42.
52
LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil Determinasi / Identifikasi Bahan Uji
Gambar 7.1 Surat hasil determinasi bahan uji
53
Lampiran 2
Penghitungan Sampel
1. Rumus Mead
Keterangan
N = Jumlah total sampel pada penelitian (dikurangi 1)
B = Blocking component bernilai 0 jika tidak ada stratifikasi
T = Jumlah total perlakuan, termasuk kelompok kontrol (dikurangi 1)
E = Degree of freedom of error component, nilainya antara 10-20
10 ≤ E ≤ 20
E ≥ N – B – T E ≤ N – B – T
10 ≤ (N – 1) – 0 – (5 – 1) 20 ≥ (N–1) – 0 – (5–1)
10 ≤ N – 1 – 4 20 ≥ N – 1 – 4
10 ≤ N – 5 20 ≥ N – 5
N ≥ 15 N ≤ 25
15 ≤ N ≤ 25
54
Lampiran 3
Penghitungan Dosis Ekstrak Daun Zaitun
1. Pemberian esktrak daun zaitun
Berat mencit berkisar anatara 35-45 gram, diambil nilai tengah yaitu 40 gram.
Dosis 100 mg/kgBB (x)
Dosis 200 mg/kgBB (y)
55
Lampiran 4
Dokumentasi Penelitian
Gambar 7.2 Aklimatisasi hewan coba
Gambar 7.3 Pemberian ekstrak daun zaitun oral
56
(Lanjutan)
Gambar 7.4 Nebulisasi hewan coba
Gambar 7.5 Pembiusan hewan coba
57
(Lanjutan)
Gambar 7.6 Pengambilan jaringan hewan coba
Gambar 7.7 Penyimpanan jaringan hewan coba pada larutan formalin
58
(Lanjutan)
Gambar 7.8 Timbangan
59
Lampiran 5
Tabel 7.1 Hasil uji normalitas
Tests of Normality
Perlakuan
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kerusakan_
hepatosit
K: PBS oral+inhalasi PBS .263 3 . .955 3 .593
P1: Zaitun
100mg/kgBB+inhalasi
ovalbumin
.247 3 . .969 3 .663
P2: Zaitun
200mg/kgBB+inhalasi
ovalbumin
.268 3 . .951 3 .573
P3: Zaitun
100mg/kgBB+inhalasi zaitun .369 3 . .788 3 .086
P4: Zaitun
200mg/kgBB+inhalasi zaitun .299 3 . .915 3 .433
a. Lilliefors Significance Correction
Tabel 7.2 Hasil uji homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
Kerusakan_hepatosit
Levene Statistic df1 df2 Sig.
5.085 4 10 .017
Tabel 7.3 Hasil uji Kruskal Wallis
Test Statisticsa,b
Kerusakan_hep
atosit
Chi-Square 11.567
df 4
Asymp. Sig. .021
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
60
Tabel 7.4 Hasil uji post hoc LSD
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Kerusakan_hepatosit
LSD
(I)
Perlakuan (J) Perlakuan
Mean
Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence
Interval
Lower
Bound
Upper
Bound
K: PBS
oral+inhalasi
PBS
P1: Zaitun
100mg/kgBB+inhala
si ovalbumin
-.251* .039 .000 -.34 -.16
P2: Zaitun
200mg/kgBB+inhala
si ovalbumin
-.279* .039 .000 -.37 -.19
P3: Zaitun
100mg/kgBB+inhala
si zaitun
.025 .039 .535 -.06 .11
P4: Zaitun
200mg/kgBB+inhala
si zaitun
-.226* .039 .000 -.31 -.14
P1: Zaitun
100mg/kgB
B+inhalasi
ovalbumin
K: PBS oral+inhalasi
PBS .251
* .039 .000 .16 .34
P2: Zaitun
200mg/kgBB+inhala
si ovalbumin
-.029 .039 .478 -.12 .06
P3: Zaitun
100mg/kgBB+inhala
si zaitun
.276* .039 .000 .19 .36
P4: Zaitun
200mg/kgBB+inhala
si zaitun
.025 .039 .540 -.06 .11
P2: Zaitun
200mg/kgB
B+inhalasi
ovalbumin
K: PBS oral+inhalasi
PBS .279
* .039 .000 .19 .37
P1: Zaitun
100mg/kgBB+inhala
si ovalbumin
.029 .039 .478 -.06 .12
61
P3: Zaitun
100mg/kgBB+inhala
si zaitun
.304* .039 .000 .22 .39
P4: Zaitun
200mg/kgBB+inhala
si zaitun
.053 .039 .200 -.03 .14
P3: Zaitun
100mg/kgB
B+inhalasi
zaitun
K: PBS oral+inhalasi
PBS -.025 .039 .535 -.11 .06
P1: Zaitun
100mg/kgBB+inhala
si ovalbumin
-.276* .039 .000 -.36 -.19
P2: Zaitun
200mg/kgBB+inhala
si ovalbumin
-.304* .039 .000 -.39 -.22
P4: Zaitun
200mg/kgBB+inhala
si zaitun
-.251* .039 .000 -.34 -.16
P4: Zaitun
200mg/kgB
B+inhalasi
zaitun
K: PBS oral+inhalasi
PBS .226
* .039 .000 .14 .31
P1: Zaitun
100mg/kgBB+inhala
si ovalbumin
-.025 .039 .540 -.11 .06
P2: Zaitun
200mg/kgBB+inhala
si ovalbumin
-.053 .039 .200 -.14 .03
P3: Zaitun
100mg/kgBB+inhala
si zaitun
.251* .039 .000 .16 .34
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
62
Lampiran 6
Riwayat Penulis
Nama : Nihayatul Kamila
NIM : 1113103000079
Tempat, Tanggal Lahir : Gresik, 22 Mei 1996
Agama : Islam
Alamat : Jalan Asri 48 RT/RW 002/001 Karangcangkring, Dukun,
Gresik
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
2000-2002 : TK Dharma Wanita Persatuan Karangcangkring
2002-2008 : SDN Karangcangkring Dukun
2008-2011 : SMPN 1 Karanggeneng Lamongan
2011-2013 : MA Matholi’ul Anwar Lamongan
2013-sekarang : Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta