editing it l

Upload: dollies-shop

Post on 11-Oct-2015

33 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

editing

TRANSCRIPT

VINNY SOPHIA AMIRA(IS) THIS LOVE (?)Penerbit

Nama Penerbit

(Anda bisa memberi nama penerbit sesuai dengan keinginan. Kenapa? Karena ini selfpublishing, artinya penulis juga bertindak sebagai penerbit juga)(IS) THIS LOVE (?)Oleh: Vinny Sophia AmiraCopyright 2013 by Vinny Sophia AmiraPenerbit

(Nama Penerbit)

(Website)(Email)

Desain Sampul:

(Nama Disainer pembuat sampul)Diterbitkan melalui:

www.nulisbuku.com

Ucapan Terimakasih:DAFTAR ISI

(Jika menginginkannya, Anda bisa menggunakan halaman ini untuk halaman daftar isi)Bagian 1

Kirana

Jakarta, 14 September 2005

Senja di Jakarta. Dihiasi riuh klakson mobil, orang-orang yang mulai berteberan di jalanan, halte-halte bis yang mulai dipenuhi antrian masa, minimarket yang semakin ramai, dan aku salah satu diantara mereka. Aku memilih untuk singgah pada salah satu minimarket sambil mencoba beradpatasi dan mengamati kehidupan orang-orang disini. Ini adalah minggu keempat aku tinggal di Jakarta, dan hari ini hari pertama kuliahku di kampus baru.

Aku sangat ingin mentertawakan diriku sendiri saat aku memutuskan untuk kuliah disini. Aku ini termasuk salah satu dari sekian banyak yang membenci Jakarta, namun pada akhirnya harus menelan ludah sendiri karena harus mengadu nasib disini. Akan lebih terhormat mungkin jika aku harus kuliah disini karena aku mendapat beasiswa, namun aku memutuskan untuk berkuliah disini karena kemauanku sendiri. Dan itu yang selalu aku tertawakan keras-keras pada diriku sendiri.

Mungkin aku salah satu dari sekian banyak yang terpedaya dengan kalimat jika kamu mau mendapatkan semua mimpimu, Jakartalah tempatnya,. Dan, ya, aku 99,99 persen terpedaya. Mengapa tidak 100 persen? Bagiku 99,99 persen lebih meyakinkan dibanding 100 persen. Aku sebenarnya tidak terlalu terobsesi dalam mengejar mimpiku. Tapi, aku selalu penasaran terhadap batas kemampuan yang aku miliki. Aku juga bukan anak yang pintar. Sejak SD hingga SMA, aku adalah anak rata-rata. Artinya, prestasiku biasa saja. Aku tak pernah masuk 5 besar dikelas, apalagi 5 besar angkatan. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk rapat-rapat kegiatan OSIS dibandingkan dengan belajar. Sampai adik kelasku pernah menyeletuk, Mbak, kamu ini kok kayak panitia sejuta acara, saat ia melihat koleksi kaos dan ID card kepanitiaku.

Pun, aku bukan anak yang berasal dari keluarga serba ada. Orang tuaku bercerai sejak aku SD. Ibuku di Yogyakara, Ayahku di Jakarta. Aku tak punya sanak saudara di Yogya, mereka semua tumplek di Jabodetabek. Ayahku seorang pengusaha biasa. Perusahaan bengkelnya tidak begitu besar, hanya mempunyai beberapa cabang kecil di beberapa pelosok kota pinggiran Jakarta. Setidaknya, beliau masih mampu menguliahkanku hingga aku lulus Strata-1.

Sorry, boleh ikutan duduk? seseorang membuyarkan lamunanku. Aku menoleh sekilas lalu berdiri,

Duduk saja, mau pergi kok, ucapku sambil menyambar gelas kopiku, lalu pergi. Dan satu lagi, aku harus membiasakan diri dengan bahasa disini, tapi itu sangat mudah bagiku.

Anggara

Jadi begini rasanya kuliah di Kedokteran? Lumayan juga, gue bergumam pada diri gue sendiri. Akhirnya, setelah satu tahun harus rela menunggu karena gue belum mendapat kesempatan untuk kuliah di jurusan Kedokteran, tahun ini gue berhasil mendapatkannya. It must be my deal, big deal!

Meskipun kata orang kuliah di Kedokteran itu susah, ribet dan lama lulusnya, gue ngga peduli, because I know, Im different. Buat gue, ngga ada kata susah kalau kita serius mau berusaha, ngga ada kata lama, kalau kita ngga pernah punya niat buat lelet. Whatever theyre say, theyre judge, I just wanna get my dream.

Gue menyempatkan mampir ke sebuah minimarket dekat kampus setelah selesai mengikuti kuliah hari pertama. Dengan segelas kopi di tangan, gue mencari-cari bangku yang kosong untuk gue duduki. Tapi, sore-sore begini, minimarket ini malah semakin ramai, dan gue kesulitan untuk mencari tempat duduk yang masih kosong. Sampai pada akhirnya, gue menukan sebuah meja yang hanya ditempati oleh satu perempuan saja. Baguslah, dia mungkin tidak pelit untuk berbagi kursi dengan gue.

Gue meletakkan gelas kopi lalu mencoba menegur perempuan yang sepertinya sedang asyik di dunianya sendiri, Sorry, boleh ikutan duduk? tegur gue. Dia menoleh kikuk dan dengan gerakan cepat dia menyambar gelas kopinya sambil berdiri, Duduk aja, udah mau pergi kok, jawabnya lalu pergi. Bisa gue tebak, dia bukan asli sini, mungkin mahasiswa perantauan.

Gue menyuruput cappucinoinstan khas minimarket ini, namun rasanya agak beda. Saat gue angkat, gelasnya terasa ringan, padahal gue belum meminumnya setetes pun. Apa jangan-jangan perempuan tadi salah mengambil gelas ya? Oh, damn! Sore yang sedikit sial. Gue hanya memandang pasrah pada gelas kopi di hadapan gue, dan memutuskan untuk membeli satu gelas kopi yang baru yang gue pastikan tidak akan tertukar lagi dengan siapapun, karena sehabis itu gue akan langsung pulang.

*******************************

Kirana

Aku berhenti berjalan saat menyadari bahwa gelas kopi yang kupegang tidak seringan saat terakhir kali aku meyesap kopinya. Aku membuka tutup gelas karton itu. Mataku membelalak saat melihat isi kopi masih dalam keadaan penuh padahal tadi aku sudah menghabiskan lebih dari setengahnya.

Pasti tertukar dengan orang tadi, gumamku. Aku berniat untuk mengembalikan kopi itu sebelum seseorang tiba-tiba menarik leganku dan mendekapku. Gelas kopi itupun jatuh.

Bagian 2

KiranaJakarta, 25 Maret 2011

Aku dengan tergesa membereskan buku catatan dan beberapa diktat kuliahku yang berserakan dilantai. Diantara teman sekelasku yang lain, akulah yang paling berantakan bila usai kuliah. Teman sekelasku sepakat menjulukiku the hectic. Aku mendengus sebal setiap kali mendengar itu.

Hari ini aku akan mengikuti rekrutmen pengurus Badan Mahasiswa Eksekutif tingkat fakultas. Aku mendorong diri sendiri untuk terjun langsung dan mengetahui seperti apa organisasi mahasiswa di kota besar. Namun, dari informasi yang kudapat, BEM disini hanya sebatas BEM Fakultas dan belum terbentuk BEM Universitas karena sedikitnya mahasiwa yang ingin berkontribusi. Aku berniat untuk menjadi pelopor nantinya

Hei, Na! Genta menyapa seraya merangkul bahuku. Aku menyikut perutnya pelan.

Pacaran yuk siang ini, pintanya dengan nada genit. Aku menatapnya tajam. Genta terkekeh.

Pacaran, pacaran, siapa elo?! tukasku. Genta tertawa.

Ya udah, makan siang bareng aja deh kalo ngga mau pacaran, seminggu ngga ketemu, Na. Gue tau lo kangen banget sama gue, ya kan? godanya lagi. Aku meninju bahunya sambil terkekeh.

Pede banget lo kayak miss universe. Hidup gue adem malah selama ngga ketemu lo, kenapa ngga lebih lama aja di Yogyanya? balasku sambil berlalu. Genta mengikutiku, dia merangkul bahuku ringan.

Gue bosen di Yogya lama-lama. Kerjaan cuma makan, tidur, ke pasar, jalan-jalan ngga jelas, ngga ada lo yang bisa gue ajak kulineran kayak biasa, jawab Genta. Aku tertawa pelan.

Lo sibuk, Na, hari ini? tanya Genta

Lumayan, Cuma mau ikutan wawancara buat rekrutmen BEM aja sih, Gen. Lo? tanyaku balik

Gue ada praktek sih, paling sampai setengah enam. Balik bareng? tawar Genta

Iya deh, gue juga ngga bawa motor. Janjian di parkiran ya, Gen. Makannya sekalian nanti aja pas balik, gue udah telat nih, kataku.

Oke deh, sampai sore ya, Na, pamit Genta sambil menginjak kakiku dan berlari sebelum aku sempat melempar diktat kuliahku yang tebalnya mengalahkan kamus bahasa Inggris John Echlos ini.

Awww!!! Awas ya Genta, tau rasa lo entar, pas balik! ocehku sambil meringis kesakitan. Belum sembuh ngilu kakiku karena diinjak Genta, aku terhuyung karena seseorang menabrak tubuhku. Aku tersungkur, dan giliran pantatku yang terasa ngilu.

Awwww!!! Hati-hati kek kalau lari, lo kira ini GBK apa lari-lari seenak jidat! dumelku. Aku sibuk mengelus pantatku sambil berusaha berdiri. Orang yang menabraku menghampiriku tergesa

Sorry, sorry, gue ngga liat. Buru-buru tadi, sorry ya, pintanya sambil mencoba membantuku berdiri. Aku menepis tangannya dan memelototi wajahnya

Gunakan mata lo baik-baik kalo lagi lari-lari, oke? sindirku

Iya sorry, gue tadi buru-buru, kan gue...

Cukup gue aja korban tabrak lari lo, potongku sambil berlalu pergi dan masih mengelus pantatku yang rasanya semakin ngilu.

*******************************

Anggara

Gue tergesa membereskan beberapa alat praktek dan diktat kuliah gue. Sehabis ini gue akan langsung mengikuti rekrutmen untuk BEM tingkat fakultas. Meski sudah hampir dua tahun gue ada di kampus ini, harus gue akui, gue masih sering kebingungan mencari ruangan-ruangan. Beberapa kali gue salah masuk ruang praktek, salah masuk ruang dosen, masih untung tidak pernah salah masuk toliet. Am I fool? Not yet. Hehehe

Mungkin karena ketololan gue ini, gue punya fans hampir separuh mahasiswi di kampus ini. Tapi itu rumor, sih. Gue ngga tahu dan kurang berminat untuk tahu lebih jauh juga. Malah, kadang-kadang gue merasa risih kalau berpapasan dan ada yang menyapa gue dengan nada manja dibuat-buat. Atau jika gue salah masuk kelas ada yang menggoda gue, Disini aja, Ga. Hukumnya halal kok kalau elo yang salah masuk kelas, what the....zzzzz!

Kampus gue ini ada 6 lantai. Lantai teratas katanya fakultas ekonomi dan fakultas paling rame. Gue penasaran sih, beberapa kali ingin mencoba bermain kesana, tapi masih belum sempat. Dan, mungkin hari ini keinginan gue terkabul, karena wawancara rekrutmen itu dilakukan serempak oleh 4 Fakultas di lantai 6. Yah, setidaknya beberapa perempuan disana akan berbeda karena mungkin tidak semuanya mengenal gue.

Entah sejak kapan gue berubah menjadi manusia kepedeaan tingkat diri gue sendiri

Gue melirik jam tangan, refleks gue menepuk jidat karena jam menunjukan pukul 1 siang yang artinya wawancara sudah dimulai dua puluh menit yang lalu. Oke, gue terlalu santai berjalan sambil melamun. Gue mulai panik mencari-cari ruangan di lantai 6 ini. Saat sudah menanyakan pada beberapa orang yang lalu lalang di sekitar situ, gue secepat kilat berlari pada ruangan yang dituju

Bruuggg!!! Gue menabrak seseorang. Sialnya, orang yang gue tabrak malah tersungkur. Mau tidak mau gue menghentikan langkah gue dan menghampiri orang yang gue tabrak tadi.

Awwww!!! Hati-hati kek kalau lari, lo kira ini GBK apa lari-lari seenak jidat! dumelnya setengah berteriak. Mungkin dia tidak berteriak, tapi karena lorong ini sepi, dumelannya terdengar jelas oleh gue

Sorry, sorry, gue ngga liat. Buru-buru tadi, sorry ya, gue meminta maaf sambil mencoba berempati dengan mencoba memabantu dia berdiri. Tapi tangan gue ditepis dan perempuan itu memelototi wajah gue dengan sangat serius. Lebih serius dari dosen anatomi gue.

Gue mencoba bersikap cool dan tetap tenang meski kaki gue sudah tidak sabar untuk berlari meuju ruangan wawancara. Perempuan di hadapan gue masih ngedumel, gue mencoba meminta maaf lagi agar perkara ini cepat selesai

Cukup gue aja korban tabrak lari lo, potongnya, bahkan gue belum selesai merangkai kaimat maaf gue. Perempuan itu lalu berlalu pergi dan lebih sialnya lagi menuju arah yang sama dengan gue.

Kirana

Oke, setelah kakiku diinjak, tubuhku ditabrak dan efeknya pantatku luar biasa ngilunya, apalagi ketidakberuntungan yang akan aku dapat? Ummm, what next bad luck which I get? Aku berhenti sejenak saat aku merasakan ada yang mengikuti dari belakang. Sebenarnya aku tidak mau paranoid, mengingat ini lorong untuk umum dan siapa saja boleh melewatinya. Tapi terakhir kali memang hanya aku yang lewat sini. aku membalikkan badan dan seseorang di belakangku melonjak kaget.Elo? Mau apalagi sih? Minta maaf lagi? cecarku. Laki-laki itu menunjukka wajah herannya. Dia berjalan ke arahku, tapi dia tidak menggubrisku, dia melewatiku. Sekarang giliran aku yang heran. Apakah dia mahasiswa ekonomi juga? Tapi aku tak pernah melihat wajahnya disini. Benar-benar wajah yang asing.

Aku memutuskan untuk tidak peduli dan melanjutkan berjalan ke ruang wawancara. Dan saat sadar aku terlambat setengah jam, aku mempercepat jalanku. Dan, jantungku benar-benar mau lepas dari tempatnya saat orang yang pertama kali aku lihat di ruangan itu adalah laki-laki yang menabraku tadi. This is next my bad luck. Anggara

Sial sekali. Gue harus berjalan di belakangnya. Tapi, pemandangan mengelus pantat di depan gue ini membuat gue tak bisa menahan untuk terkekeh, karena gue menahan untuk tertawa keras.

Perempuan itu tiba-tiba berhenti dan berbalik ke belakang. Biar gue tebak, pasti dia mau mengira gue mengikuti dia. Dan tebakan gue benar. Dia berteriak menuduh gue mengikutinya. Gue ngga tahu kalau di kampus ini ada fakultas kehutanan, gue nyaris mengira dia berasal dari fakultas itu.

Untuk menjaga mood setidaknya sampai wawancara, gue memilih untuk mengabaikan nona-fakultas-kehutanan-tanpa-nama itu. Gue berjalan dengan gaya cool gue melewatinya, dan berkonsentrasi untuk menemukan ruangan wawancara itu.

Gue berhenti tepat di depan pintu yang bertuliskan Interviews Room. Gue masuk dan langsung mendapat giliran wawncara, karena peserta yang lainnya sudah selesai. Disini ada 3 orang pewawancara, dan gue baru sadar, ketiga orang itu adalah dosen. Wih, apakah di semua universitas semua dosen ikut turun ke lapangan ya buat merekrut calon anggota BEM nya? Lo fakultas apa? tanya seseorang yang gue yakini sebagai salah satu anggota BEM dari Universitas

Kedokteran jawab gue singkat. Orang itu langsung memberi angka 3 yang arrtinya gue harus ke meja nomor tigaSaat gue melangkah menuju meja nomor 3, gue menoleh dan refleks menelan ludah saat melihat perempuan yang tak asing bagi gue sejak beberapa menit lalu, tertahan di pintu masuk dengan wajah kagetnya karena mungkin melihat gue (lagi) disini

Oh! Jangan bilang dia mau ikut wawnacra ini juga.

BAGIAN 3

Anggara

Agustus 2014Entah berdasarkan fakta atau hanya isu belaka, tapi banyak orang bilang bahwa dokter sekarang jarang yang meraih gelar Dokternya dengan murni atau istilah lain dengan peluh sendiri. Tak dapat dipungkiri juga, beberapa diantaranya, banyak orang yang masuk ke fakultas kedokteran dengan cara-cara menyimpang. Nyogok lah, nepotisme lah, embel-embel jatah lah. Mungkin hanya sebagian kecil hingga level tengah yang bisa masuk kedokteran akibat dari kemampuan otaknya sendiri.Diantara semua itu, sebenarnya yang paling bahaya adalah kebiasaan menyalin pada saat ujian. Lha, nanti kalau mau operasi pasien, nyontek buku juga? Taruhannya bukan sekedar IPK, tapi nyawa manusia. Mungkin zaman sekarang nyawa bukan lagi hal berharga, buktinya adalah semakin banyak meluas Mal praktek pada pasien. Pertama mungkin musibah, namun apabila terus terjadi kedua, ketiga, keempat sampai keseratus satu kasus, masih musibah juga? Apa perlu gue pindah profesi menjadi jurnalis dan mengangkat tema Mal Praktek Massal Merupakan Trend 2014 di Lingkungan Kedokteran. Maaf, meskipun gue dokter, tapi iya gue sesinis itu.Bukan tanpa alasan gue berlaku sinis. Lama kelamaan gue mulai muak dengan kelakuan para dokter muda-yang-sok-kecakepan-berikut-sok-ketajiran itu.

Dua minggu lalu, gue mendapat kesempatan untuk koas di sebuah puskemas di daerah kecil di Jawa Barat, tepatnya Kabupaten Cianjur. Gue bertugas sebagai dokter jaga, siapa tau tengah malam ada yang kena diare.

Beradaptasi dengan masyarakat disini tak begitu sulit sebenarnya. Yang sulit adalah beradpatasi dengan sesama sarjana kedokteran yang sedang koas juga. Kebanyakan dari mereka terus mengeluh. Mungkin jika dipresentasikan, talk mereka lebih dominan dibanding do mereka.

Suatu hari, ada seorang pasien yang mengaku bahwa ia selalu kesakitan di bagian perut beberapa hari terakhir. Saat itu kebetulan gue sedang izin, karena gue ingin mewujudkan rasa penasaran gue untuk berjalan-jalan keliling kota. Dua rekan koas lainnya berjaga di puskesmas. Tak banyak yang gue dengar, namun hari besoknya jantung gue hampir mau lepas dari tempatnya saat mendengar ada pasien tak sadarkan diri setelah diperiksa di puskesmas tempat gue koas.Saat gue sudah mendapat informasi bahwa pasien itu dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah, gue langsung melesat dan menemui dokter yang menanganinya. Dokter itu mengatakan, bahwa pasien mengalami semacam salah obat. Setelah didiagnosis, saat kemarin datang ke puskesmas dan mengekuh perutnya sakit, sebenarnya dia hanya diare biasa. Akibat salah makan atau keracunan makan. Namun, dokter yang memeriksa disana mengdiagnosis pasien mengalami penyakit maag, dan langsung diberikan resep obat maag.

Selain itu, si koas tersebut juga menyuntikkan sesuatu untuk penghilang rasa sakit pada lambung akibat maag. Singkat cerita, pasien tersebut jatuh pingsan saat beberapa jam setelah disuntik dan setelah beberap menit dia meneguk obatnya.

Gue semakin geram. Mungkin ini sudah termasuk kasus mal praktek. Gue segera kembali ke puskesmas dan mencari tahu siapa dokter yang memeriksa pasien kemarin

Arlita! bentak gue pada salah satu rekan koas yang diduga memerikasa korban pasien tersebut, Kardi, office boy di Puskemsmas ini menduga juga kalau Arlita yang memerikasa pasien kemarinArlita menoleh, Apa? tanyanya malas. Gue menghampirinya sambil menahan nafas agar emosi gue terkendali. Bagi gue, menampar perempuan adalah haram hukumnya, sekurang ajar apapun dia.

Elo yang meriksa pasien kemaren yang katanya hari ini belum sadarkan diri dan masuk RSUD? cecar gue. Wajah Arlita berubah ketakutan. Beberapa kali dia menunduk dan menggigit bibir bawahnya

Jawab! seru gue pelan. Arlita memberanikan diri menatap gue, wajahnya mulai panik

Iya, jawabnya lemah. Gue menarik nafas dan menghembuskannya sekaligus. Gue mengepal tangan untuk menahan emosi agar tidak menonjok wajah mulus si Arlita ini

Selama kuliah lo ngapain aja sih? Masa bedain diare sama maag aja ngga tahu? sindir gue tajam. Arlita masih menunduk, bahunya sudah mulai naik turun. Oke, gue sudah membuat anak orang menangis, but I dont care.Aku minta maaf, jawabnya lirih. Gue menghentakkan kaki pelan masih dalam rangka menahan emosi.

Minta maaf sama pasien dan keluarganya sana. Gue denger beliau sudah siuman. Jangan sampai elo dituntut dan kelakuan ceroboh lo ini sampai masuk ke ranah hukum, ujarku gamblang. Arlita mengangkat kepalanya lalu menatap gue dengan wajah yang lebih ketakutan dua kali lipat.

Ga, aku ngga mau ditangkap polisi, Ga, aku harus gimana? tanyanya panik sambil menangis

Pertama, kalau lagi jaga, jangan cuman update status, ngegosip, dandan, baca majalah dan nonton tv aja. Kalau ngerasa ilmu lo masih kurang karena elo kurang serius waktu kuliah dulu, ya baca-baca buku kek, tanya-tanya dokter kek. Kedua, jangan gegabah dan jangan ceroboh waktu ngediagnosis. Pekerjaan kita ini taruhannya nyawa, Ta. Ketiga, pergi dan minta maaf sama keluarga pasien kalau perlu mohon-mohon supaya mereka tidak berniat untuk mengadukan masalah ini pada polisi, cecarku lebih sadis. Tangis Arlita semakin menjadi.

Ga, aku takut pergi kesana sendirian, aku ngga berani mengahadapi mereka, Ga. Aku harus gimana? rengeknya. Aku menggelengkan kepala. Kenapa Universitasnya meluluskan mahasiswi macam begini sih dulu?

Keempat, berhenti merenek and go away sebelum polisi datang dan menggrebek puskesmas ini, ujarku lalu meninggalkan dia sendiri. Sesekali orang seperti Arlita harus disadisi dengan kata-kata, juga sedikit ditakut-takuti agar dia mau bertanggung jawab atas perbuatannya.

Sebenranya gue berbohong. Gue sudah bertemu pasien dan keluarganya. Atas nama angPota koas di Puskesmas tersebut, gue memohon maaf. Diluar dugaan, pasien dan keluarga itu tidak dendam sama sekali, bahkan mereka tidak ada niat untuk membawa kasus ini ke pihak berwajib. Dengan sadarnya si paisen sudah berkah bagi mereka. Gue agak jadi sedikit terharu. Mungkin karena gue besar di metropolitan, jadi jarang menemukan sesuatu serba positif seperti ini. Entah, tapi gue tumbuh dengan pemikiran yang mendahulukan sisi negatifnya. Tak ada maksud lain sebenranya, hanya untuk melindungi diri dari kerasnya pergaulan di metropolitan

Kirana

September 2014Tak ada yang sia-sia jika kita melakukannya dengan ikhlas, tanpa pamrih. Kalimat sederhana nan klasik itu laris manis menjadi wejangan di setiap akhir motivator memberikan motivasinya. Kalimat sederhana itu selalu seperti itu bunyinya, namun maknanya akan menjadi luar biasa jika orang-orang berniat sungguh-sungguh dalam memaknainya.Seperti aku, yang sudah ratusan kali melihat, membaca dan mendengar kalimat itu, namun jiwaku masih saja belum cukup kebal. Aku masih sering bertanya dalam hati, apa aku ikhlas melakukan semua ini? Sebenarnya ukuran ikhlas itu bagaimana? Jika masih dipertanyakan, apakah aku benar-benar ikhlas? Kadang, hidup selalu mudah tertebak layaknya menebak pertanyaan guru soal presiden Indonesia yang pertama. Tapi, tak jarang juga, aku dibuat bingung dalam menghadapi beberapa fase dalam hidupku.Mimpi buatku adalah sesuatu yang harus aku dapatkan. Orang-orang mungkin menilaiku obsesius. Tapi aku tidak segila itu untuk menjadi orang yang sangat terobsesi sampai harus operasi plastik dan tidak mengkonsumsi makanan layaknya manusia demi mau menjadi seperti Barbie. Im not crazier like that.

Aku hanya bermimpi dan selalu berpikir untuk mewujudkannya. Tidak harus cepat, tapi setidaknya aku punya niat yang kuat untuk mau berusaha.

Seperti sekarang ini. Mimpiku yang paling dekat adalah melanjutkan kuliah ke jenjang Strata-2. Aku ingin menjadi dosen dan seorang ahli ekonomi, dan itu semua tidak cukup dengan gelar SE saja. Tapi, demi mewujudkan itu, aku harus menempuh jalan yang tidak lurus dan tidak pula dekat. Dan, ya, sebelumnya aku sudah mengira ini akan terjadi.Aku bekerja di perusahaan bengkel Ayahku. Belum menjadi usaha besar memang. Cabangnya masih belum tersebar di seluruh Indonesia, hanya bagian Jabodetabek saja, tapi setiap bulan sudah harus melakukan pembukuan dan sudah harus mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan pajak.

Ayah bilang, sebelum aku mengujikan ilmuku pada calon mahasiswaku nanti, beliau ingin mengujiku dulu tentang apa yang aku dapat selama 4 tahun aku kuliah. Ayah mengiming-imingi biaya strata-2 ku. Awalnya aku berpikir mungkin ini salah satu jalan terdekat, tapi kadang aku berpikir ini mungkin akan menjadi jalan terjauh. Aku tidak berani menebak untuk yang satu ini.Na, sudah makan? tanya Ayah dari balik pintu ruaanganku. Suara Ayah memang tidak keras, tapi aku lumayan tersentak dan hampir menjatuhkan gelas plastik berisi kopi instan yang sedang kupegang

Belum, Yah, sebentar lagi. Ayah duluan saja, kataku. Ayah masuk kedalam ruanganku dan menghampiri mejaku lalu menyambar gelas kopi ditanganku

Peraturannya, mulai besok kamu hanya boleh mengkonsumsi ini seminggu tiga kali saja. Ingat, dalam tubuh kamu ada rahim yang harus kamu jaga baik-baik, Na. Ayah sangat ingin punya cucu yang sehat suatu hari nanti, ujar Ayah sambil berlalu dan membuang gelas kopiku ke tempat sampah. Aku menelan ludah. Bukan apa-apa, tapi aku baru menyeruputnya dua kali. Ah, Ayah.

Aku merenggut sambil membereskan meja kerjaku dan bersiap-siap untuk makan siang di warung nasi padang sebelah. Ayah kembali masuk ke ruanganku, Na, jangan lupa lusa laporan yang bulan ini, habis makan ayah mau langsung ke Depok, mungkin menginap. Nanti taruh saja di meja Ayah, ujar Ayah lalu tersenyum dan pergi.

Aku menghela nafas. Seberapa ikhlaskah aku? Tanyaku lagi pada diriku sendiri.

September, 2009

Kirana

Masa lalu buatku adalah hal yang selayaknya ditaruh saja dengan rapi, meski kadang tidak semua masa laluku itu serapi terdengarnya. Aku tak mau ambil pusing dengan banyak terlibat atau selalu terbelenggu dengan masa lalu. Tetapi, jika ada bagian dari masa lalu kita yang belum sepenuhnya selesai, masih haruskah diselesaikan di masa sekarang?

Seseorang melambaikan tangan padaku dari arah luar minimarket ini. Aku tersenyum tipis. Orang itu sudah banyak berubah sejak tiga tahun yang lalu. Dan sejak tiga tahun lalu itupun, aku tak pernah berpikir akan bertemu lagi dengannya, apalagi dalam keadaan seperti ini; satu gedung kampus.

Sudah lama, Ran? tanyanya. Aku menggeleng pelan sambil menyeruput kopiku. Dia duduk di kursi sebelahku.

Gue seneng bisa liat lo lagi, ujarnya langsung. Aku nyaris tersedak oleh kopiku.

Kamu sudah bilang hal itu sama saya kemarin waktu kamu tiba-tiba memeluk saya di parkiran, ujarku sengit. Orang itu tertawa pelan

Maaf, Ran. Gue kesenangan aja ngeliat lo lagi. Waktu ospek, sekilas gue beberapa kali melihat wajah lo, hanya saja gue kurang yakin apakah itu beneran lo, atau hanya mirip saja. Saat gue ngeliat lo lagi di parkiran, dan gue benar-benar memastikan bahwa itu elo, gue refleks memeluk lo, Ran, jelasnya. Aku tersenyum sinisSetelah sekian lama, lo ngga mau tanya kabar gue, Ran? tanyanya lagi. Mengapa dia selalu to the point sih?Kamu kelihatannya baik-baik saja, apa lagi yang musti saya tanya? jawab gue masih sinis. Orang itu tersenyum

Lo masih aja sinis sama gue, Ran. Belum mau maafin gue? lagi-lagi dia betanya secara gamblang seperti itu. Aku makin berasa sedang ditikam bertubi-tubi.

Ma..af? tanyaku tergagap. Ternyata aku memang belum siap atau berpura-pura tidak siap untuk menyelsaikan masa lalu yang satu ini.

Aku menarik nafas, Ngga ada acara maaf memaafkan lagi kan? Saya udah anggap semuanya selesai, jawabku sebelum orang itu menaggapi kalimatku sebelumnya

Tapi sikap lo malah seperti ini sama gue, apa itu definisi memaafkan menurut lo? tanyanya lagi dan masih dengan sangat gamblang

Anggap saja ini efeknya. Yang penting saya sudah memaafkan, saya juga sudah lama tidak berurusan dengan kamu, jadi wajar kalau saya sekarang seperti ini sama kamu, timpalku

Orang itu mendekatkan kursinya ke kursiku, Ran, sejak kejadian itu, setiap hari gue kirim e-mail sama lo karena gue tau nomor handphone lo, lo ganti, karena gue tahu, lo ngga akan pernah mau ngomong sama gue kalo gue nelepon melalui telepon rumah lo, tapi, e-mail gue pun ngga lo balas satu pun,

Gue masih mengirimi lo e-mail sampai sebulan lalu, Ran. Karena gue dapat kabar, lo akan pindah ke Jakarta, dan gue berpikir akan lebih mudah menemui lo jika lo benar-benar ada di Jakarta. Dan ternyata, lebih mudah dari yang gue bayangkan, gue bertemu lo sebelum gue mencari lo, ujarnya. Aku terenyuh, namun gengsiku masih menutupi rasa haruku

Kalau begitu, saya minta sama kamu, tolong jangan ganggu saya. Setidaknya sampai kamu lulus kuliah, ucapku akhirnya. Aku benar-benar tidak pernah mengira bahwa kalimat sepeti ini akan keluar dari mulutku. Dosa tidak ya?Maksud lo? tanyanya. Mungkin kalimatku tadi agak ambigu

Kita pura-pura tak mengenal saja, Kirana tidak mengenal Gema, Gema tidak mengenal Kirana, saya rasa itu adil, jawabku lagi. Setelahnya aku merasa lebih kaget dengan kalimat yang aku ucapkan itu. Gema diam. Dia menatapku lekat. Aku tak bisa mengartikan, apakah tatapan memohon, apakah tatapan marah, apakah tatapan akan membunuhku detik itu juga, aku tak bisa membacaSeperti itu ya, yang lo inginkan? tanyanya. Mungkin dia bertanya pada diri sendiri. Gema mengangguk-anggukan kepalanya, dia lalu berdiri dan mengulurkan tangnnya padaku, Gue setuju. Kirana tidak mengenal Gema, dan Gema tidak mengenal Kirana. Untuk masalah ini, gue anggap selesai, katanya. Sekarang giliran aku yang tidak mengerti. Gema tersenyum dan masih mengulurkan tangannya padaku. Ragu-ragu, aku megulurkan tanganku.

Setelah beberapa saat, dia melepaskan tangannya. Gema lalu kembali duduk sambil tersenyum lebar. Aku semakin tidak mengerti.Hai, anak baru ya? Boleh gue duduk disini? tanyanya. Aku melongo. Gema tersenyum lagi, dia lalu mengulurkan tangannya lagi padaku, Kenalin gue Gema, Psikololgi 2007, lo dari fakultas mana? tanyanya.

Aku mengatupkan mulutku yang sedari tadi menganga melihat tingkah laku Gema. Aku mengerti sekarang, Gema belum mau menyerah, untuk menarikku keluar dari belenggu masa lalu dan membawaku pada situasi yang baru. Masalahnya, aku belum siap, dan mungkin seseorang lebih tidak siap daripada aku, karena itu terbukti saat tiba-tiba Genta datang lalu menarikku keluar dari minimarket itu. Samar-samar aku melihat Genta menatap Gema dengan tajam. Marah itu masih ada ternyata.April 2010

Tak banyak yang kulakukan hari ini selain kuliah. Jadi aku memutuskan untuk makan siang bersama dengan Genta. Aku memang tidak punya teman segerombolan. Teman-temanku hanya sebatas di kelas dan sesama anggota BEM Fakultas saja juga Genta.

Aku melihat Genta datang dengan senyum sumringah. Dia lalu menyeruput colaku dengan tak kalah semangat juga

Lagi seneng, Ta? tanyaku setengah menyindir. Genta manggut-manggut sambil terus meneguk colaku dan aku harus merelakannya habis

Karena cinta lo diterima sama Marsya? tebakku asal. Genta tersedak, aku tertawa sambil refleks menepuk-nepuk punggunya. Genta menepis tanganku sambil merenggut. Aku masih menahan tawa

Marsya masih menggantung gue, dan lo tahu itu, dan lo masih ngebahas juga, usaha banget ngejatohin gue ke tanah sementara gue udah terbang ke langit, dumelnya lalu menjitak kepalaku.

Awww!!! aku meringis. Genta tersenyum jahil. Dia lalu memamerkan sebuah kertas di hadapanku. Aku lansung menyambar dan membaca isinya. Sesaat kemudia aku refleks berteriak sehingga sukses membuat orang lain di sekitarku menoleh kearahku dan GentaLo jadi wisuda, Ta? tanyaku heboh. Genta cengengensan. Aku menggeleng-gelengkan kepala, Gila, canggih juga ya lo, kuliah ngga sampe 8 tahun, selorohku. Genta merenggut lagi, sekarang dia menyikut tanganku. Aku meringis sambil terkikik geli

Beneran niat ngejatohin gue banget sih lo, ujar Genta. Aku tertawa

Bercanda kali, Im proud of you and Ill give you a hug, come here, kataku. Genta ternseyum lalu memeluku, Congratulation, Buddy, dan jangan lama-lama pelukannya, karena Marsya sedang berjalan kearah sini, bisikku. Genta refleks melepas pelukannya lalu menoleh ke belakang

Sialan dikerjain lagi gue! umpatnya ketika dia tidak menemukan Marsya berjalan kearahnya. Aku tertawa kerasNih, undangan. Harus dateng ya lo, susah payah nih dapetinnya, harusnya kan cuma dua, demi lo gue minta tiga, ujarnya. Aku terpana.

Ngga nyuruh, wleeee, ujarku sambil mengerling lalu beranjak setelah menyambar sebuah undangan di tangan Genta dan kabur sebelum Genta menusuk mataku dengan garpu dihadapannya

Aku masih berlari sambil tertawa-tawa, hingga tak sadar menabrak seseorang

Eh, sorry, ujarku sambil mengangkat kepala. Aku terpana melihat seseorang dihadapanku, Gema.

Kirana? Kebetulan. Gue nyariin lo daritadi, ujarnya. Aku mengangkat alis

Gue ngga ada apa-apa sih, cuma mau kasih undangan sama lo, dua minggu lagi gue wisuda, tambahnya sebelum aku mengelak perkataannya yang pertama. Aku melirik udangan ditangannya. Undangannya sama dengan yang diberikan Genta tadi.

Gema meraih tanganku dan menyelipkan undagannya karena aku tak kunjung mengambilnya

Lo harus dateng ya, gue susah payah dapetin undangan ini, harusnya kan cuma dapet dua, tapi demi lo gue minta tiga dengan paksa, hahaha, ujaranya sambil terawa. Aku terpana. Kalimat yang nyaris sama dengan kalimat Genta beberapa menit laluBagian 3

Akhir Desember, 2012

Kirana

Jika terlalu cinta, maka jangan terlalu cinta, nanti akan cepat jadi benci. Jika terlalu benci, jangan terlalu benci, kapan saja bisa jadi cinta, jarak antara benci dan cinta setipis helai rambut. Inti dari pepatah itu sebenarnya jangan terlalu berlebihan atas segala hal. Banyak yang aku tak sukai dari pribadi Anggara. Dia itu si senyum tipis, si pelit kata, dan si hemat perhatian. Sampai sekarang aku masih tak mengerti mengapa dia bisa jadi pelopor BEM Universitas sekligus menjadi ketuanya, dan yang lebih aku tak mengerti aku adalah wakilnya.

Aku sempat berpikir akan mengundurkan diri saja, tapi tak semudah itu. Mengingat ini tahun-tahun terakhirku di kampus, dan mungkin jadi masa-masa terakhirku juga menjadi organisator.

Oke, kembali ke Anggara. Aku tak pernah tau asal-usulnya, darimana SMAnya, dimana rumahnya, siapa pacarnya, dimana tempat nongkrongnya. Hubungan kami juga sebatas ketua dan wakil, dan aku berkontribusi secara profesional saja. Aku hanya memiliki nomor ponsel dan alamat emailnya. Aku bahkan tak berteman dengannya di media sosial manapun, kontak BBMnya pun aku tak punya.

Aku tak pernah mengobrol panjang, bercerita tentang kehidupan satu sama lain. Aku hanya akan bertanya, Ga, rapat hari ini lo bisa mimpin? Kalo ngga bisa gue aja, dan dia hanya akan menjawab, Sesi pertama mungkin ditangani sama lo dulu, gue ada praktikum dua sks, sehabis itu gue bisa langsung ke ruang rapat, dan aku akan menimpali, Oke dan dia hanya akan tersenyum tipis lalu pergi sambil mengenakan jas putihnya. Rutinitas obrolanku dengan Anggara selama 8 bulan terakhir ini

Na, Mey mana? tanya Anggra membuyarkan lamunanku. Aku kikuk lalu menoleh ke kanan dan ke kiri dengan canggung

Oh, Mey izin, dia ngga masuk kuliah seharian ini, jawabku agak terbata. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal

Lo bisa jadi notulen? Daripada bengong disaat orang-orang berpikir keras tentang konsep acara seremonial demisioner kita nanti, sindirnya. Mulutku menganga. Teman-temanku yang lain cengengesan, beberapa menahan tawa daripada terpaksa melepaskan tawa dan membuat Anggara akan mengelarkan rudal sindirannya lagi

Bisalah, gue ngga niat gabut juga sih, balasku sengit sambil merogoh note dan pulpen di tasku

Selama ini tanpa lo suruh juga gue suka nulis hasil-hasil diskusi selama rapat kok, gue suka review, meski gue bukan sekretaris, meski gue hanya wakil lo, tapi gue ngga pernah gabut, selorohku. Aku sadar ini berlebihan. Semua yang ada diruangan itu diam. Ruangan mendadak senyap. Aku mengangkat kepalaku dan berkeliling mengedarkan pandangan pada sekitar,

Apa? Kata-kata gue ada yang salah? Gue menyinggung salah satu atau salah banyak diantara kalian? Atau gue menyinggung Ketua BEM kita yang terhormat ini? sindirku tajam dan melirik ke Arah Anggara. Anggara terpana sekilas, dia lalu berusaha mengontrol sikapnya lagi

Ehm, Anggara berdeham. Aku pura-pura menyibukkan diri dengan noteku,

Kita lanjutkan lagi rapatnya, tadi sampai mana? Pembahasan acara ya? Silakan progressnya dishare, ujar Anggara datar. Aku mulai menulis, namun konsentrasiku memudar saat aku tahu, Anggara tengah menatapku dengan wajah berekspresi, tidak datar seperti biasanyaAkhir Desember 2012

Anggara

Jatuh cinta itu mungkin mudah, hanya mengendalikannya yang sulit. Terkadang, orang-orang terlalu asyik dengan hal kapan ya, pertama kali gue jatuh cinta?, Fallin in love is amazing thing that I ever had in my life, Jadi begini rasanya jatuh cinta? beberapa tahun atau beberapa bulan setelah itu, mungkin beberapa minggu setelah itu, akan ada kalimat, Kalo tau jadinya gini, gue ngga akan pernah jatuh cinta,, Nyesel gue jatuh cinta, kalo ujungnya patah-patah juga hati gue,, Sumpah ya, jatuh cinta itu useless thing I ever do, yang akan menyusul kemudian

Beberapa hal itu kemudian membuat orang-orang menjadi naif. Jatuh cinta sejatuh-jatuhnya lalu patah hati sepatah-patahnya. Tertebak. Sama seperti si Kirana ini, yang selalu mengentengkan sesuatu. Suatu hari dia pernah menyeletuk saat sedang rapat kepengurusan mingguan, Halah, alur hidup ini mudah tertebak. Contoh kecilnya, kalo lo jatuh cinta pasti ujungnya patah hati, atau kalo lo belajar mati-matian semaleman, lo paling engga merasa aman karena tau bakal dapet nilai minimal B, untuk mahasiswa kedokteran dan minimal A- untuk mahasiswa ekonomi dan mahasiwa non-eksata lainnya,

Tapi, kalo lo ngga belajar, lo bakal terus menerus dihantui ketakutan, takut ini, takut itu, takut begini, takut begitu. Intinya adalah, lo tau resikonya apa, tapi lo tetep lakuin. Semua itu membuat segalanya jadi mudah tertebak kan? ujarnya polos

Semua orang di ruangan tertawa saat itu, (tentu kecuali gue), apalagi saat si polos Meyra menimpali dengan, Kalo gitu, lo bisa tebakin jodoh gue siapa dong, Na? dan tawa mereka semkain menjadi

Siang ini, jika saja Kirana tidak membalas sindiranku sepedas cabe rawit, mungkin seisi ruangan akan tertawa melihat tingkah lakunya. Tapi, kata-kata gue yang menyindir dia dan hobi bengongnya agak keterlaluan memang, seolah gue merendahkannya sampai titik minus derajat

Selama ini tanpa lo suruh juga gue suka nulis hasil-hasil diskusi selama rapat kok, gue suka review, meski gue bukan sekretaris, meski gue hanya wakil lo, tapi gue ngga pernah gabut, selorohnya. Gue tersentak. Kirana mengedarkan pandangan keseluruh ruangan, dan berhenti saat dia melirik gue

Apa? Kata-kata gue ada yang salah? Gue menyinggung salah satu atau salah banyak diantaraa kalian? Atau gue menyinggung Ketua BEM kita yang terhormat ini? sindirnya lebih tajam. Gue segera berdeham untuk menetralkan suasana yang menjadi hening karena rentetan kalimat terakhir Kirana

Gue mempersilakan divisi acara mempresentasikan progress kerjanya. Gue melirik Kirana, dan dia mulai fokus dengan tugas barunya sebagai notulen penggati Meyra. Dan mungkin, diruangan ini satu-satunya orang yang tak fokus adalah gue. Atau mungkin salah, karena tiba-tiba Kirana melirik gue, dan pandangan kami beradu. Gue bisa merasakan hawa aneh di tengah-tengah kami, untuk pertama kalinya setelah delapan bulan, kami merasa salah tingkah satu sama lain

Gue segera mengejar Kirana seusai rapat. Gue berniat bicara baik-baik pada Kirana menyangkut hal yang terjadi di ruang rapat tadi. Sebenarnya sih mau minta maaf, tapi gue harus tetap menjaga gengsi yang berkedok wibawa

Na!!! panggil gue. Kirana menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah gue. Gue berlari kecil menghampirinya

Lo beneran ketus sama gue tadi, atau bercanda? tanya gue langsung tanpa basa-basi. Kirana memandang gue sesaat dan tersenyum sinis

Lo aja, gue ada praktikum, iya gue bisa, hubungi anak-anak yang lain ya,, progress divisi seni bulan ini, gimana? Sorry kemarin gue ngga ikut rapat, dan hal formal lainnya yang selama delapan bulan ini gue denger dari mulut lo, jawab Kirana. Gue melongo tak mengerti

Setelah kalimat sindiran lo tadi, dan beberapa detik lalu lo bertanya sama gue seolah meyakinkan apakah gue beneran ketus atau bercanda sama lo, gue merasa aneh, jawabnya lagi. Gue mulai paham arah kalimat Kirana

Pertama, gue emang serius ketus sama lo tadi, karena, kedua, gue ngga bercanda dengan orang seperti lo, permisi, jawabnya sambil berlalu pergi. Bahkan gue belum sempat mengucapkan apa yang akan gue ungkapkan, kalimat maaf.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Januari 2014Kirana

Rutinitas adalah sesuatu yang harus dilakukan kalau mau bertahan hidup. Cuma disiplin yang benar-benar akan membuat kamu keep control to your own self. Setidaknya itulah yang aku pelajari dari Ayah selama satu tahun ini. Ya, setelah aku lulus kuliah dan pindah dari kosan kerumah Ayahku dan Mama tiriku. Entah kenapa, aku selalu malas beradaptasi, tapi hidupku selalu tak jauh-jauh dari si adaptasi tersebut.

Empat tahun lalu, aku harus beradaptasi dari anak daerah menjadi anak metropolitan. Termasuk didalamnya, kembali beradaptasi dengan kehadiran Gema. Beradaptasi dengan emosi Genta yang kadangkala tak kontrol jika bertemu Gema. Dan yang paling sulit adalah beradaptasi dengan seorang Anggara, si Kutub Utara dengan Sejuta Fans Wanita.

Eh, aku menyebut Anggara? Ya Tuhan, sudah lama aku tak pernah beretmu dengannya lagi. Semenjak demisoner BEM, aku benar-benar lepas kontak. Bahkan aku tak tahu dia lulus tahun berapa. Jadi, jangan harap aku tahu bagaimana dia sekarang. Sudah menjadi dokterkah? Atau sudah mempunyai istrikah? Ah, aku juga tidak mau terlalu peduli

Aku kembali fokus pada tumpukan kertas di depanku setelah beberapa menit aku menjalankan rutinitas sekaligus terapi pentaku; menyuruput kopi sambil melamun, kadang-kadang ditambah mengirim pesan singkat yang tak bermutu pada Genta seperti, Ta, Marsya ada di Bengkel gue, nih, dan setengah jam kemudian Genta akan hadir di Bengkelku dengan tampang harap-harap cemas yang disamarkan menjadi tampang sok kalem

Selanjutnya adalah Genta akan melempariku dengan map besar atau apa saja yang dia lihat, untk melampiaskan kekesalannya karena aku bohongi. Lumayan, hiburan pagi-pagi, meski kadang aku yang menjadi tokoh teraniaya

Sejak beberapa minggu lalu, aku kehilangan rutinitas menjahili Genta. Genta sudah pindah ke Vienna, menyusul kakak perempuannya. Genta belum tahu akan berbuat apa dia disana, tapi, Genta selalu meyakinkanku terlebih meyakinkan dirinya sendiri, bahwa dia akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah disana.Sejujurnya aku sangat sedih Genta pindah. Setelah 4 tahun berpisah karena dia pindah dari Yogya ke Jakarta, hingga akhirnya kami bertemu dan bersama lagi, lalu sekarang berpisah lagi. Sejak kecil aku terbiasa dengan Genta. Dia memang hanya sepupuku dari pihak Ibu, tapi Ayah tak melarangku sama sekali untuk tetap bermain dengan Genta meski Ayah dan Ibu sudah bercerai dulu

Saat SMA, ketika sedang rentannya aku mengalami patah hati karena dikhianati mantan pacarku, kadang aku berharap, Genta bukan sepupuku. Agar aku dapat memiliki rasa yang lain, agar dia akan selalu tetap menjagaku selamanya

Kalo gue bukan sepupu lo, dan gue jadi salah satu pacar lo, mungkin gue juga akan melakukan hal yang sama, Na. Tipe cowok kan cuma dua, kalo ngga homo, ya, brengsek. Gue emang ngga terlalu brengsek sih, tapi sumpah, meskipun gue cowok, tapi gue akuin kalau membuat perempuan menangis itu adalah hal yang brengsek, ujaranya ketika aku bercerita kenapa dia harus ditakdirkan menjadi sepupuku.

Namun, meski pindah dan kami berjauhan, Genta menyempatkan pulang ke Yogya sebulan dua kali atau satu bulan sekali. Dan kami akan selalu seharian bersama. Aku seperti mempunyai kakak laki-laki. Terlebih saat orang tuaku bercerai, dan aku harus menerima kenyataan Ayah cepat menikah lagi, Gentalah yang disisiku, yang menguatkanku dan yang mengeringkan air mataku sampai membuatku berjanji agar tak mejatuhkannya lagi

Sekarang, aku harus rela berjauhan lagi dengan Genta. Meskipun berbagai gadget canggih bisa menjaga kontaku dengan Genta, tapi rasanya tak lengkap saja jika tidak bertemu orangnya lansgung

Seseorang masuk ke ruanganku. Ayah.

Kenapa, Yah? tanyaku

Na, itu ada pelanggan, tolong tangani sebentar ya, Derian izin masuk agak telat tadi. Katanya tadi mobilnya mogok, accu mobilnya habis, tanya-tanya saja dulu sambil nunggu Derian ya, ujar Ayah. Aku mengangguk mengerti. Setelah merapikan pakaianku, sekali lagi aku mematut diri di hapadan cermin.

Celana denim 7/9, kemeja warna tosca bermotif siluet bunga di beberapa bagian, sepatu keds kesayanganku semenjak kuliah yang nyaris selalu dibuang oleh Mama karena saking sudah buluknya. Aku mencepol rambutku sekali lagi lalu melangkah keluar. Aku mengedarkan padangan mencari pelanggan yang dimaksud Ayah tadi.

Wid, mana calon pelanggan baru yang Bapak maksud tadi? tanyaku pada Widi yang sedan menyiapkan perlatan bengkel

Calon pelanggan apa sih, Mbak? Gue ngga tahu ah, elaknya. Aku kembali ke ruangan Ayah. Saat gue hendak berbalik badan, gue menabrak seseorang yang sudah berdiri di belakang gue entah sejak kapan,

Aww, sorry, sorry, ucapku. Aku menoleh dan terpana saat melihat orang yang kutabrak

Kirana? dia menyebut namaku terlebih dahulu. Aku masih melongo

Apa kabar? tanyanya dengan nada riang yang sama sekali tak dibuat-buat. Aku mengatur diriku. Aku tersenyum canggung

Baik...eh, Anggara? tanyaku tak karuan. Anggara tersenyum lalu mengangguk

Maksud gue, eh, apa kabar? tanyaku benar-benar gugup

as you see, Im fine jawabnya riang. Tak ada lagi nada datar seperti dulu. Aku masih melongo, Anggara masih memperhatikanku dengan tersenyum. Senyum yang tak pernah sekalipun aku lihat selama aku mengenalnya

Ya, sepertinya lo bertambah baik, balasku. Jantungku masih berdetak kencang

Dan sepertinya elo masih stagnan. Masih tetap judes, ujarnya. Wajahku memerah. Di sebelahku, Widi terkekeh.

Lo yang punya bengkel, Na? tanyanya kemudian. Aku mengangguk lalu menggeleng kemudian. Anggara mengerenyitkan dahi

Bokap gue, jawabku kemudian sambil berjalan kearah Kijang Innova yang sudah terparkir di depan bengkelku

Mobil lo? tanyaku singkat sambil menunjuk Kijang Innova itu. Anggara mengangguk lalu mendekatiku

Na, ini pertemuan pertama gue lagi setelah beberapa tahun, dan kita masih saja bertemu sambil bertabrakan. Sekarang elo yang nabrak gue, ujarnya. Aku mendadak membeku terlebih saat aku menoleh dan melihat Anggara tersenyum kepadaku

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Anggara

Percayakah kalian terhadap kebetulan? Sesekali mungkin tak apa untuk percaya, meski kalian tak menganutinya. Dulu, Kirana pernah menyeletuk sekali dalam rapat mingguan kami, bahwa dia tak percaya kebetulan dan dia bukan penganut setia paham kebetulan. Katanya semua hal sudah diatur, semua hal dapat tertebak dengan mudah, secara hidup ini kita yang menjalankan sendiri.

Saat itu, semua orang di ruangan ternganga mendengar ucapan Kirana, tak terkecuali gue. Saat itu kami baru saja berorganisasi bersama, gue lupa tepatnya kita sedang membahas apa, tapi justru kalimat Kirana yang selalu terngiang hingga sekarang. Beberapa anggota BEM pada saat itu satu fakultas dengan Kirana, bahkan beberapa ada yang satu kelas, jadi mereka tahu betul kebiasaan Kirana di kelas. Katanya Kirana itu Miss Hectic. Bangkunya yang selalu paling berantakan jika sudah selesai kuliah. Bicaranya ceplas-ceplos datar, dan jarang berbasa-basi.

Dan saat ini, gue harus percaya bahwa kebetulan itu ada. Atau lebih formal dibilang takdir. Tadi pagi, saat gue akan berangkat untuk interview di salah satu Rumah Sakit Swasta, mobil gue mogok. Sial sekali bukan, sejak kemarin gue kesana kemari memasukan lamaran, beberapa memang sudah menghubungi gue kembali dan menawarkan interview. Tapi diantara semua itu, gue memang sedang mengincar Rumah Sakit ini. Bad luck is mine this morning. Mobil gue tiba-tiba mogok, gue tidak pernah tahu nomor telepon derek itu berapa, beberapa orang yang gue mintai pertolongan tak begitu paham tentang mobil, dan sampai ada seorang mahaisswa menyarankan gue untuk menelepon sebuah bengkel yang tak jauh dari tempat mobil gue mogok

Gue menelepon bengkel tersebut dan meminta bantuan derek. Ngga mungkin banget sudah rapi nan kece ala orang mau interview gini harus dorong mobil sampai ke bengkel, meski katanya bengkelnya hanya 100 meter dari tempat mobil gue mogok. Sumpah, dalam keadaan dan penampilan gue yang seperti ini, its impossible. Dan, mungkin satu kebetulan lagi yang harus gue percaya, bertemu dengan seseorang yang bahkan lo sempat menduga ngga bakal pernah bertemu lagi.

Saat wisuda satu tahun lalu, gue mencari-cari sosok Kirana. Dari daftar mahasiswa yang ikut wisuda, gue tahu Kirana wisuda di tahun yang sama dengan gue. Tapi, gue tidak bisa menemukannya, sama ketika gue mencarinya dalam acara demisioner BEM, kami sama-sama sibuk, setelah evaluasi, Kirana langsung pulang. Tapi hari ini, tanpa gue cari, Kirana muncul dengan sendirinya. Dia menabrak gue. Tampangnya kaget saat pertama melihat gue. Tapi, Kirana tetap Kirana. Dia tetap judes dan pelit basa-basi. Dia langsung fokus pada tujuan utamanya, melayani pelanggan dengan baik, karena dia pemilik dan gue pelanggannya

Jadi, accu mobil lo mati? tanyanya mengalihkan saat gue sedang membahas pertemuan pertama kami yang selalu diawali dengan bertabrakan, tapi sekarang dia yang menabrak gue. Gue tersenyum sambil mengangguk

Lo lagi buru-buru? Ini harus ditingga soalnya. Dan lagi montir gue belum dateng, katanya lagi. Gue melirik jam tangan gue. Satu jam lagi interview, gue naik taksi saja deh

Iya, gue ada interview. Nanti hubungi gue aja saja ya, kalau sudah selesai, Na ujar gue. Kirana mengangguk paham

Gue duluan ya, Na. Oya, nomor handphone gue masih yang dulu kok. Kalau lo masih nyimpen...

Iya, masih gue save kok, nanti gue hubungi lo, potongnya datar. Aku tersnyum dan melambaikan tangan saya melangkah pergi dari bengkel Kirana.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Kirana

Jika saja aku dapat berteriak untuk melepaskan semua rasa gugupku, maka aku akan berteriak. Sungguh, ada beberapa masa lalu yang aku tidak siap untuk menemuinya lagi, yang pertama Gema dan Anggara menjadi hal yang kedua. Tak ada yang salah memang dengan sapaan apa kabar? juga tak ada yang salah jika dia mengungkit tentang bertabrakan saat pertemuan pertama kami, secara umum hal-hal tersebut tak ada yang salah. Tapi buat perasaanku, itu salah

Semenjak kejadian sindir menyindir di rapat terakhir BEM itu, aku sudah merasakan hawa antara aku dan dia. Entah bagaimana, tadi pagi baru saja aku membahasnya secara tidak sengaja, mengapa belum sampai satu jam aku tiba-tiba bertemu dengannya. Dan Anggara banyak berubah. Dia mudah tersenyum sekarang, dan riang. Mungkin itu sifat aslinya, aku tak pernah tahu. Yang aku tahu, perasaanku menjadi tak karuan lagi sekarang. What feel is?

Bagian 4

Kirana

TENTANG PENULIS:Contoh: Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus nec ante erat, ac imperdiet orci. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas. Fusce euismod bibendum convallis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas. Etiam pellentesque nisi id tellus cursus accumsan. In elementum risus tellus, sit amet consectetur sapien. Morbi pretium, mi et faucibus mollis, felis mi viverra leo, non dignissim augue leo ac tellus. Integer ut magna purus. Donec tortor nulla, lacinia nec luctus vitae, scelerisque sit amet mauris. Proin dolor nulla, bibendum sit amet elementum a, condimentum nec velit. Quisque quis leo in lectus molestie porta sit amet non sapien. Sed ut elementum nunc. Curabitur porta sagittis massa non iaculis. Pellentesque luctus eleifend nisl, ut sodales augue ultrices sed. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Nulla facilisi. Fusce eleifend nisl id elit pretium ac scelerisque neque euismod.

48 47