edisi 63 : pengurangan risiko bencana

28
KOMUNITAS MEMBANGUN JARINGAN INFORMASI Edisi ke-63, 2015 kombinasi.net

Upload: combine-resource-institution

Post on 25-Jul-2016

269 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Informasi yang disampaikan terus menerus sebelum bencana akan tertanam lebih kuat dan menjadi salah satu faktor yang membuat warga lebih siap. Sedangkan saat bencana datang, informasi akurat dan cepat menjadi kunci keselamatan. Edisi ini mengangkat tema pengurangan risiko bencana yang berasal dari pengalaman dan kegiatan.

TRANSCRIPT

Page 1: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

KOMUNITAS MEMBANGUN JARINGAN INFORMASI

Edisi ke-63, 2015 kombinasi.net

Page 2: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

2 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

D A R I R E D A K S I

Pemimpin RedaksiImung Yuniardi

Tim Redaksi:

Redaktur PelaksanaApriliana Susanti

EditorApriliana, Ferdhi Fahrudin Putra

FotoDokumentasi Combine, Fathur Rochman

KontributorFathur Rochman, Maryani, Muhammad Amrun, Ferdhi Fahrudin Putra

Sampul DepanAris Haryanto

Sampul BelakangBambang Nurdiansyah

Tata LetakYustina Yuliani

SekretariatUlfa Hanani

DistribusiSarjiman, Gandung Triyono

Alamat RedaksiJalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188Telp/Fax: 0274-411123Email: [email protected]: http://kombinasi.net

Kombinasi adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation.

Combine Resorce Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas.

Redaksi Majalah Kombinasi menerima opini, resensi, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema media komunitas. Panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces), dengan mencantumkan foto untuk tulisan non opini, dan dikirim ke [email protected]. Redaksi berhak memilih dan menyunting tulisan yang masuk ke majalah Kombinasi. Penulis yang karyanya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.

Butuh Pengelolaan Informasi Kebencanaan yang Lebih Serius

Dalam buku ”Belajar dari Gempa Bumi Besar Jepang Bagian Timur 2011”, disebutkan bahwa informasi bencana yang akurat menjadi pijakan yang berharga untuk pengambilan keputusan evakuasi dan penyelamatan.

Mereka sangat menganggap serius pengelolaan informasi kebencanaan agar tersampaikan secara tepat, cepat dan akurat pada publik. Ini dapat dilihat antara lain dari adanya grup kerja khusus dalam struktur Markas Kendali Bencana di Tohoku, termasuk penyiapan bagan mekanisme kerja pengelolaan informasi yang disandingkan dengan tata kalanya (timeline).

Bila menilik struktur BNPB pun, ada bagian Pusat Data, Informasi dan Humas. Namun saat meneliti per bagian, maka di bagian informasi pengelolanya lebih berkonsentrasi pada jaringan akses komunikasi. Demikian pula saat ajang besar tahunan Peringatan Bulan PRB 2015, dari sekian puluh diskusi dan lokakarya, hampir bisa dibilang tidak ada yang secara khusus membahas tata kelola informasi kebencanaan. Bahkan di seluruh gerai pameran BPBD, nyaris memajang barang yang sama yang merujuk pada kebutuhan tanggap darurat. Tidak ada yang memajang bagaimana skema informasi dari pinggir sungai rawan lahar hujan hingga ke warga desa sekitarnya misalnya.

Pasti akan muncul argumentasi bahwa pengelolaan informasi akan melekat pada penanganan bencana itu sendiri, sehingga tidak perlu dibicarakan terpisah. Tapi sebetulnya dengan logika itu, sulit mendapatkan skema standar pengelolaan informasi kebencanaan saat prabencana, tanggap darurat dan pascabencana.

Standar yang dimaksud mulai dari jenis informasi dan kemasannya, sasaran sosialisasi, media penyampaiannya, uji coba alur informasi saat bencana datang agar tidak simpang siur serta dapat segera dirilis, dan sebagainya. Sebagai contoh, seberapa banyak warga di sekitar lahan terbakar yang pernah menerima informasi utuh tentang bahaya pembakaran lahan, termasuk dari sisi regulasi? Atau seberapa sering informasi komprehensif tentang seringnya Yogyakarta terkena gempa disampaikan pada warga agar mereka tidak perlu panik?

Dalam beberapa pengalaman terjun di situasi bencana, inilah yang dihadapi Combine Resource Institution. Penggunaan radio komunitas, SMS Gateway, handytalkie, website hingga aplikasi android tidak lebih adalah alat. Yang lebih penting adalah pemetaan kultur media di warga secara menyeluruh dan kemudian perencanaan yang matang. Kapasitas SDM yang mengurusi ini harus disiapkan betul, tidak lantas mengikuti irama klasik birokrasi yaitu siap dimutasi tanpa perlu transfer pengetahuan. Inisiatif yang telah ada di warga maupun kelompok masyarakat sipil, hendaknya jangan lantas dijadikan satu-satunya andalan pemerintah, melainkan justru harus diorkestrasi dalam satu skema yang utuh.

Sederhananya, informasi yang disampaikan terus menerus sebelum bencana akan tertanam lebih kuat dan menjadi salah satu faktor yang membuat warga lebih siap. Sedangkan saat bencana datang, informasi akurat dan cepat menjadi kunci keselamatan. Bahkan pengalaman Jepang yang ditulis di buku itu menyebutkan, ”kita telah melakukan persiapan semaksimal mungkin, tapi ternyata belum cukup..”. Nah, apalagi kalau tidak disiapkan dan tidak dianggap penting. •

Page 3: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

3Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

I N F O S E K I L A S

Tambang Pasir Legal Ngawur, Ilegal MenjamurKlaten

Penambangan ilegal dengan alat berat di kawasan rawan bencana (KRB) lereng Merapi Kecamatan Kemalang, Klaten

semakin marak. Banyak penambang menambang di kawasan tersebut, padahal hanya ada satu penambang di lokasi KRB yang memiliki ijin. Aparat penegak hukum seolah tak berdaya menghadapi ulah oknum yang berpotensi merusak alam itu.

Beberapa warga di Kemalang mengemukakan, para penambang itu mengerahkan alat berat di beberapa lokasi. Tengok saja di Dukuh Tawang, Desa Sidorejo (1 alat berat), di Dusun Segadung, Desa Sidorejo (4 alat berat), Dusun Panggang (1 alat berat), di Trayu (2 alat berat), dan di Desa Kendalsari (3 alat berat). ”Tiap hari siang malam operasi, bahkan di pintu masuk Deles belok kanan saja ada kok. Truk-truk pasir juga lewat depan Polsek,” kata warga yang enggan disebut namanya.

Sebelumnya, Kapolres Klaten AKBP Langgeng Purnomo mengemukakan polisi tidak melakukan penindakan penambangan di wilayah KRB, Segadung, Sidorejo. Alasannya, pengelola memiliki ijin. Terkait zona, Kapolres menyatakan sebaiknya masyarakat melakukan upaya hukum untuk mengkritisi hal tersebut. ”Kalau polisi kan pada penegakan hukum, kita liat dari sisi perijinanya, dan dia punya ijin. Kalau yang lainnya, penambang-penambang ini kan sangat liar, saat kita datangi nurut, tetapi saat kita pergi operasi lagi,” kata Langgeng Purnomo.

Sementara itu, aktivis lingkungan hidup yang juga Divisi Hukum BLHI, Joko Yunanto mengatakan, pihak kepolisian tidak bisa lepas tangan dan membiarkan penambangan di Kawasan Rawan Bencana (KRB) dengan alasan pelaku telah memiliki ijin. Kepolisian, katanya, tidak bisa

menjustifikasi sendiri hanya dengan mengaitkan perijinan saja tanpa mengaitkannya dengan aspek lain, baik kelestarian lingkungan maupun KRB. Joko menegaskan, polisi seharusnya berkoordinasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan hidup, BPBD, maupun elemen lainnya. Joko menambahkan, ESDM (Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral) – Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Klaten telah merekomendasikan agar penambangan KRB di kawasan tersebut ditutup.

”Penegakan hukum itu bagian yang integral, mestinya ada tim, kepolisian bisa memanggil BPBD, LSM, Badan Lingkungan Hidup, dan lainnya. Pertanyakan kenapa ada KRB, pasti ada visi dan misi yang ingin dicapai. Tidak bisa menjustifikasi sendiri hanya mengaitkan masalah ijinnya saja,” tegasnya. •www.suarakomunitas.net•

Penambangan dengan alat berat menimbulkan ancaman kerusakan di lereng Merapi

Page 4: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

4 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

I N F O S E K I L A S

Jurnalis warga masih belum mendapatkan tempat dalam hukum Indonesia sehingga rentan dikriminalisasi. Agar

aktivitas jurnalistiknya mendapat dukungan, jurnalis warga harus taat dalam menerapkan nilai-nilai jurnalisme.

UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers hanya mengakui perusahaan media sebagai subyek hukum. Oleh karena itu, hanya jurnalis yang terikat dengan perusahaan medialah yang diakui UU Pers. Padahal umumnya jurnalis warga tidak terikat dengan perusahaan media manapun. Alhasil, secara legal formal, tak ada payung hukum yang melindungi kerja-kerja para jurnalis warga.

Kendati demikian, anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi menilai, jurnalis warga tidak perlu terjebak dengan hal-hal yang prosedural. Hal itu hanya akan menghambat kreativitas dan melewatkan hak untuk mendapatkan informasi sebagai warga negara.

”Jurnalis warga tak perlu merisaukan soal hukum. Selama mereka melakukannya dengan prinsip-prinsip jurnalistik, tidak akan ada masalah,” ujar Imam usai acara Seminar Nasional Peringatan

ke Dewan pers, sebagian besar di antaranya justru adalah aduan yang menyalahkan lembaga pers. Kebebasan pers yang dinikmati Indonesia pasca-Orde Baru membuat setiap orang bebas membuat media. Namun, ternyata tidak semua media menerapkan nilai jurnalisme dan justru memanfaatkan media untuk berbagai kepentingan. Oleh karena itu, banyak kalangan yang berpendapat bahwa pers harus kembali dikontrol.

”Banyak orang tidak suka kebebasan pers. Tetapi ancaman kebebasan pers bukan hanya dari luar pers. Kebebasan pers juga digerogoti dari dalam. Pers abal-abal dan jurnalis tidak profesional adalah ancaman terhadap kebebasan pers,” katanya.

Dalam seminar tersebut, pembicara dari AJI Indonesia, Aryo Wisanggeni, mengatakan bahwa posisi jurnalisme warga sangat dilematis. AJI sebagai salah satu lembaga yang gencar mengadvokasi kebebasan pers mengakui bahwa UU Pers belum mampu mengakomodasi keberadaan jurnalis warga.

”AJI belum berkeinginan untuk mengajukan revisi UU Pers, karena kami tidak percaya dengan parlemen yang ada saat ini,” papar Aryo dalam forum tersebut.

Meski begitu, AJI tidak menutup mata soal meningkatnya tren jurnalis warga di masyarakat Indonesia. Jika UU Pers belum bisa direvisi dalam waktu dekat, maka AJI memilih untuk melakukan apa yang bisa dilakukan.

”Pada kongres tahun lalu, AJI telah memutuskan untuk membuka pintu bagi jurnalis warga. Jurnalis warga diperbolehkan untuk menjadi anggota AJI,” ujar Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia ini. •www.

suarakomunitas.net•

Seminar Nasional Peringatan 19 Tahun Pembunuhan Wartawan Udin yang diadakan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Yogyakarta

19 Tahun Pembunuhan Wartawan Udin yang diadakan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Yogyakarta di Auditorium Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Jumat (21/8).

Imam mengatakan, Dewan Pers sudah mulai mendiskusikan perkembangan teknologi informasi yang melahirkan fenomena reporter warga (citizen reporter) maupun jurnalis warga. UU Pers yang ada saat ini belum bisa mengimbangi perkembangan tersebut. Oleh karena itu, perlu upaya bersama untuk mengubah pola pikir tentang siapa subyek yang perlu diatur dalam UU Pers.

Walaupun demikian, bukan berarti setiap reporter warga bisa disebut jurnalis. Seorang reporter bisa langsung menyampaikan informasi terkini yang ia saksikan. Sedangkan jurnalis berkaitan dengan nilai. Ia tidak sekadar melaporkan peristiwa, namun melaporkan berita yang disusun berdasarkan nilai jurnalisme. Maka siapapun yang menerapkan nilai jurnalisme dalam karyanya bisa disebut sebagai jurnalis, tanpa memandang apakah orang tersebut terikat dengan perusahaan media atau tidak. Sebaliknya, seseorang yang bekerja di perusahaan media namun membuat berita yang tidak seusai nilai jurnalisme tidak layak disebut sebagai jurnalis.

”Tidak perlu menyebut jurnalis warga. Selama warga melakukan kerja jurnalistik berdasarkan aturan, maka dia sudah menjadi jurnalis,” kata pria yang pernah menjadi Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia periode 2005-2012.

Ia menambahkan, meningkatkan kualitas jurnalis agar selalu menerapkan prinsip jurnalistik menjadi hal yang penting guna mempertahankan kebebasan pers. Berdasarkan daftar aduan

Jurnalis Warga Harus Taat pada Nilai JurnalismeYogyakarta

Page 5: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

5Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

Petani Dilarang Alih Fungsikan Lahan Sawahnya di Luar Tanaman Pangan

Sabbang

”Setiap petani dilarang m e n g a l i h f u n g s i k a n lahan sawahnya untuk komoditi lain di luar

tanaman pangan, terutama untuk perumahan dan sejenisnya.”

Demikian ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009. Penegasan itu didukung oleh Undang-undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan pada pasal 44 ayat 1 bahwa lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan Pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.

Berkaitan dengan hal tersebut, pelaksana tugas Kepala Dinas Pertanian Luwu Utara (Lutra), Sulawesi Selatan, Muhammad Pajar, mengingatkan agar petani tidak mengalihfungsikan lahan sawahnya

Alih fungsi lahan sawah untuk perumahan semakin marak

Keseriusan FKS, Wujudkan Kabupaten Padang Pariaman Sehat

Padang Pariaman

Kesehatan menjadi prasyarat utama untuk mencapai kehidupan yang layak, makmur, dan sejahtera bagi

setiap warga. Hal itulah yang menjadi alasan keseriusan Forum Kabupaten Sehat (FKS) Padang Pariaman untuk mewujudkan meraih predikat kabupaten sehat.

Keseriusan itu diwujudkan dengan partisipasi Padang Pariaman dalam penilaian kabupaten sehat melalui

verifikasi FKS oleh tim verifikasi dari pemerintah pusat tahun 2015 ini. Rapat koordinasi yang melibatkan berbagai elemen pun digelar, (5/8) di aula Dinas Kesehatan Parit Malintang.

”Melalui Forum Kabupaten Sehat Padang Pariaman ini, hendaknya ada kesenambungan antara forum dengan. Pokja (kelompok kerja-red) di nagari untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat, selain itu tidak hanya sehat dilingkungan keluarga namun juga dapat mewujudkan lingkungan atau fasilitas umum yang sehat dan bersih” kata Rahmat TK. Sulaiman selaku ketua FKS Padang Pariaman.

untuk komoditi di luar tanaman pangan.

”Perlu saya ingatkan bahwa sesuai Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, petani dilarang mengalihfungsikan lahan sawahnya di luar komoditi tanaman pangan, terlebih lagi jika diperuntukan sebagai perumahan dan infrastruktur lainnya,” ujar Pajar, (26/7).

Sejak tahun 2009 hingga 2014, produksi padi di Lutra meningkat hingga di atas 5 persen setahun. Tahun 2013 lalu, produksi beras di Lutra bahkan mengalami surplus 66.223,90 ton dan meningkat menjadi 81.142,42 ton di tahun berikutnya. Hal itu membuat kabupaten ini diganjar penghargaan dari presiden RI. Untuk tahun 2015 ini pun, produksi padi di Lutra masih bisa di atas 5 persen.

”Kita patut bangga dan bersyukur karena sudah enam tahun kita selalu mendapat penghargaan karena produksi padi kita selalu di atas 5 persen. Dan Insya Allah, 2015 ini kita masih bisa dapat, sesuai data statistik yang ada,” ungkap Wakil Bupati Lutra, Indah Putri Indriani, (26/7) •www.suarakomunitas.net•

Rahmat TK. Sulaiman menambahkan, prestasi dan penghargaan tidak akan berarti tanpa adanya komitmen bersama. Komitmen bersama itu, diwujudkan dalam bentuk Satuan Masyarakat Penggerak (Semarak) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

”FKS Padang Pariaman menyukseskan program dalam rangka mewujudkan lingkungan bersih dan sehat serta beberapa tatanan yaitu pertama tatanan lingkungan sehat dan bersih, kedua tatanan pariwisata sehat dan ketiga tatanan PHBS”, kata Aspiundi selaku Kepala Dinas Kesehatan Padang Pariaman, (5/8). •www.suarakomunitas.net•

Page 6: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

6 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

Rayakan Kemerdekaan, Warga Bersihkan Kali Code

Sewon

I N F O S E K I L A S

Perkumpulan Pemuda Pemudi Glondong (PPG) Dusun Bibis, Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul,

DI Yogyakarta melakukan kegiatan bersih sungai dan tebar benih ikan di Kali (sungai -red) Code, (19/8). Kegiatan itu merupakan salah satu rangkaian kegiatan untuk mengisi peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-70. Seluruh warga menyambut baik kegiatan tersebut dengan ikut terjun langsung membersihkan sungai.

Mengusung tema ”Gerakan Satu Orang Satu Karung Sampah”, kegiatan itu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Dukungan tak hanya dari warga dan pejabat desa saja, namun juga datang dari Dinas Perikanan dan Peternakan dengan memberikan bibit ikan untuk ditebar di kali Code.

Kampung Glondong merupakan salah satu kampung yang dilalui oleh aliran Kali Code. Tak sedikit sampah yang hanyut dan mengendap di bantaran sungai, baik sampah organik maupun sampah plastik. Saat musim penghujan, sampah dari hulu yang terbawa arus dan mengendap berpotensi mengganggu aliran sungai. Bahkan, endapan sampah itu pernah membuat air meluap sampai masuk ke pemukiman warga.

Selain untuk mengkampanyekan pemeliharaan lingkungan, kegiatan itu juga menjadi sarana untuk menanamkan rasa cinta dan peduli terhadap lingkungan yang bersih dan sehat kepada masyarakat. Kegiatan bersih Kali Code berlangsung sejak pagi hingga petang. Setelah bersih kali, aktivitas dilanjut dengan menebar benih

Kegiatan bersih kali dan tebar benih ikan di Kali Code

ikan. Tujuan penebaran benih ikan untuk menjaga ekosistem sungai yang semakin rusak. Rusaknya ekosistem Kali Code salah satunya karena penangkapan ikan dengan menggunakan obat dan setrum.

Tak kurang dari 5000 ekor bibit ikan yang ditebar di Kali Code. Kegiatan ini diharapkan dapat membawa manfaat dan berkah warga yang tinggal di bantaran sungai Code.

”Kami berharap dengan kegiatan tersebut masyarakat bisa menjaga lingkungan dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menyetrum dan tidak meracun ikan,” ungkap salah satu panitia, Miftahul. •www.suarakomunitas.net•

Page 7: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

7Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

Pekalongan akan semakin hijau dengan tambahan 2 hutan kota lagi oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan.

Hutan yang berlokasi di Kelurahan Tirto, Kecamatan Pekalongan Barat dan Kelurahan Klego, Kecamatan Pekalongan Timur tersebut masih proses lelang pengadaan konstruksinya. Pagu anggaran sebesar Rp. 383 juta untuk Hutan Kota Klego dan Rp. 452 juta untuk Hutan Kota Tirto pun dipersiapkan untuk pembangunan tersebut.

”Sumber dana pembuatan hutan kota itu dari DAK (Dana Alokasi Khusus) Kehutanan. Saat ini masih tahap lelang. Harapannya, akhir bulan ini sudah dimulai

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bisa menjadi jembatan efektif untuk melakukan sambung

rasa dengan warga. Seperti halnya yang dilakukan oleh Kepala Desa Jebed Utara, Pemalang, Setia Pambudi yang memanfaatkan video konferensi di desanya.

Video konferensi tersebut dipaparkannya dalam Seminar, Workshop dan Peluncuran Grombyang OS 2.0 Festival Detik Jawara di Hotel Regina Pemalang (23/8). Dengan sekali klik, Kades Jebed Utara melakukan komunikasi jarak jauh dengan salah satu perangkat desa yang berada di kantor desanya.

Menurut kades ”nyentrik” ini, UU Desa telah menjadi senjata

yang ampuh untuk membangun wilayahnya. Dengan memanfaatkan teknologi informasi berupa web desa, batik tulis ”Sekar Manggar” yang menjadi produk unggulan desa Jebed Utara mendunia. Bahkan, saat baru diluncurkan sudah ada pesanan dari Kalimantan.

”Saat (pemesan dari Kalimantan) ditanya, kok bisa tahu produk batik tulis Sekar Manggar, ternyata mereka tahu dari web desa Jebed Utara. Dengan memasang displai produk unggulan di web desa, produk desa makin dikenal oleh masyarakat secara luas dan dapat meningkatkan perekonomian warga setempat,” kata Setia Pambudi.

Kini, dengan memanfaatkan Sistem Informasi Desa dan Kawasan Pemalang (Sidekem), pelayanan

Warga Jebed Utara Manfaatkan Video KonferensiPemalang

Pemkot Pekalongan Tambah Hutan KotaPekalongan

surat-menyurat untuk warga bisa dilakukan dengan mengirim pesan singkat (SMS) saja. ”Malamnya warga kirim SMS untuk dibuatkan surat keterangan, pagi sudah bisa diambil di balai desa” tambahnya.

Lebih jauh lagi, untuk meningkatkan minat belajar siswa dan mempermudah akses buku-buku pelajaran sekolah, server desa dimanfaatkan untuk menyimpan buku-buku yang berfungsi sebagai perpustakaan digital. Dengan perpustakaan digital ini, guru dan pelajar dapat mengakses materi pembelajaran secara gratis. •www.

suarakomunitas.net•

pekerjaannya, dan akan berlangsung selama sekitar tiga bulan ke depan, jadi sebelum akhir tahun sudah rampung,” ungkap Dinas Pertanian Peternakan dan Kelautan (DPPK) Kota Pekalongan, Murdiyanto, Selasa (11/8).

Hutan Kota Tirto rencananya akan dibangun seluas setengah hektare di sebelah timur SDN 01 dan 02 Tirto yang merupakan milik Pemkot Pekalongan. Kedua hutan akan dilengkapi dengan pagar pembatas, jalan treking, hingga gardu jaga. Tanaman yang akan ditanam pun berjenis ‘MPTS’ (Multy Purposes Trees) atau tanaman multiguna. ”Jenis tanamannya adalah yang bisa

menjadi pelindung, sekaligus bisa diambil buahnya,” jelas Murdiyanto.

Murdiyanto menambahkan, hutan kota itu bertujuan untuk memperindah tata kota, menambah keasrian dan menyegarkan lingkungan karena bisa menjadi sumber oksigen. Lebih lanjut, hutan kota juga dibangun sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Sebelumnya, Kota Pekalongan telah memiliki beberapa hutan kota. Antara lain Hutan Kota Yosorejo, Kertoharjo, Mataram, dan beberapa RTH lainnya. Sosialiasi kepada warga setemat akan dilakukan sebelum pembangunan kedua hutan tersebut. •www.suarakomunitas.net•

Page 8: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

8 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

U T A M A

Belajar Mitigasi dari Volcano Meister,

Warga Pakar Gunung Berapi

Dari Lereng Merapi Hingga ke Jepang

Tiga perwakilan radio komunitas di lereng Gunung Merapi yang tergabung dalam Jalin Merapi, awal Oktober lalu berangkat ke Jepang atas undangan Radio FMYY Kobe, Jepang bekerja sama dengan Combine Resource Institution (CRI). Selama 10 hari, mereka saling berbagi pengalaman tentang mitigasi bencana dan pengelolaan radio komunitas dalam pengurangan resiko bencana dengan Komunitas Meister Toya-Usu Global Geopark di lereng Gunung Usu.

Oleh: Fathur Rochman

FOTO: FATHUR ROCHMAN

Page 9: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

9Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

Jepang. Dulu ketika warga belum memahami pentingnya pengetahuan mitigasi bencana, Gunung Usu yang sedang erupsi dianggap sebagai kejadian yang menarik. Mereka pun berbondong-bondong mendekati kawah gunung untuk melihat dari dekat erupsi Gunung Usu. Tentu saja keputusan itu membawa dampak mematikan bagi mereka. Kepanikan melarikan diri dari awan panas pun tak bisa dihindari. Saat itu tahun 1978, banyak kerusakan infrastruktur bangunan dengan 3 korban meninggal di Desa Toyako-Cho, Hokkaido, Jepang.

Sejarah panjang erupsi Gunung Usu dengan siklus letusan 30 tahun akhirnya membuat warga yang tinggal di sekitarnya belajar mengembangkan mitigasi bencana. Tahun 2000 silam, saat erupsi gunung ini terulang kembali, warga lebih siap menghadapinya. Tanda-tanda alam seperti gempa dan

pergeseran tanah sebelum erupsi membuat badan geologi dan

Ketiganya adalah Sukiman Mohtar dari Lintas Merapi FM di Klaten, Widodo dari Geminastiti FM Boyolali,

dan Temon Temu Selamet dari Gema Merapi FM Sleman. Mereka mengunjungi radio komunitas Wi FM Jepang. Radio yang berdiri 30 April 2015 itu menjadi perpanjangan tangan pemerintah lokal untuk menyiarkan informasi darurat saat bencana terjadi. Dalam kondisi normal, Wi FM memberikan informasi tentang pendidikan maupun hiburan kepada warga. Selain itu Wi FM juga mengadakan pelatihan kepada warga dalam upaya peningkatan ekonomi dan pariwisata. Buletin pun dibuat rakom ini untuk bisa menggaet sponsor.Hidup Harmonis dengan gunung berapi ala Meister Volcano

Menjulang di ketinggian 733 meter dpl, Gunung Usu menyuguhkan 2 sisi gunung berapi yang menawan sekaligus mematikan bagi warga Hokkaido,

pemerintah lokal bergerak cepat mengeluarkan peringatan dini tentang kondisi darurat gunung berapi.

Tak hanya mengeluarkan awan panas hingga setinggi 12 kilometer, letusannya saat itu juga menyebabkan permukaan tanah ikut terangkat dan menjadi miring hingga 8 meter akibat terbentuknya kawah di beberapa tempat. Salah satu kawahnya bahkan membentuk sebuah danau vulkanik yang oleh Global Geoparks Network, ditetapkan sebagai geopark (atau sering disebut taman bumi, yakni kawasan yang memiliki bentang alam geologi unggulan-red) dan kini dikenal dengan sebutan Danau Vulkanik Toya-Usu. Pengetahuan mitigasi bencana yang baik mampu meminimalisir jumlah korban jiwa dalam letusan tersebut. Tak satu pun warga yang menjadi korban jiwa dalam letusan tahun 2000 itu.

Menyusuri Desa Toyako-cho di Hokkaido yang berjarak hanya

Danau Vulkanik Toya-Usu ini terbentuk dari salah satu kawah yang muncul akibat erupsi Gunung Usu tahun 2000.

FOTO: FATHUR ROCHMAN

Page 10: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

10 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

U T A M A

2 kilometer dari puncak Gunung Usu, rombongan Jalin Merapi menyaksikan sisa-sisa letusan gunung ini termuseumkan dengan baik. Perumahan, pemandian umum, dan jembatan jalan raya yang meleleh oleh lahar panas dan abu vulkanik menjadi pemandangan edukatif di kawasan yang kini dikelola menjadi tempat wisata ini. Demikian halnya dengan sisa-sisa ladang gandum yang terangkat akibat deformasi pun dikemas apik untuk mengedukasi wisatawan yang ingin belajar tentang mitigasi gunung berapi.

Nire Kagaya, pemandu rombongan, adalah seorang warga pakar gunung berapi atau yang lebih akrab disebut dengan ”meister”. Nire tergabung dalam komunitas Toya-Usu Volcano Meister

”Meister adalah gelar yang diberikan kepada orang-orang yang tertarik pada gunung berapi dan telah menjadi akrab serta memahami pengetahuan tentang Gunung Usu,” kata Nire Kagaya.

Tak hanya memahami seluk beluk gunung berapi, seorang meister juga menguasai pengetahuan tentang mitigasi bencana. Sertifikat gelar "Toya-Usu Meisters Volcano" mereka peroleh setelah lulus dalam uji tentang pengetahuan mitigasi bencana kegunungapian. Setiap tahun,

sertifikasi itu diuji ulang. Nire Kagaya adalah salah satu dari 23 meister yang ada.

”Sebelum erupsi tahun 2000, ada sekitar 230 orang sakit yang menginap di rumah sakit Sobetsu-cho ini. Tetapi saat erupsi justru tidak satu pun dari mereka yang menjadi korban,” kata Nire saat rombongan melewati bangunan bekas rumah sakit yang menyisakan dua lantai teratas dari 3 lantainya.

Pengetahuan mitigasi bencana yang baik telah membantu menyelamatkan para pasien di rumah sakit itu. Kepala rumah sakit saat itu mengamati jika awan panas mengarah dari selatan ke utara, penghuni rumah sakit bisa tetap tinggal. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka seluruh penghuni rumah sakit harus segera mengevakuasi diri ke tempat yang lebih aman.

Profesor Hiromu Okada, sesepuh komunitas Meister menjelaskan pentingnya mengenali karakteristik gunung berapi agar warga dapat melakukan tindakan mitigasi bencana secara mandiri. Letusan tahun 2000 lalu membuktikan mitigasi yang mereka rintis telah membantu meminimalisisr jumlah korban jiwa. Meski kampung tersebut termasuk padat penduduk, tercatat tidak ada warga yang menjadi korban.

”Meister adalah gelar yang diberikan kepada orang-orang yang tertarik pada gunung berapi dan telah menjadi akrab serta memahami pengetahuan tentang Gunung Usu,”

Kawasan terdampak erupsi Gunung Usu kini dikelola menjadi tujuan wisata dengan apik untuk mengedukasi wisatawan yang ingin belajar tentang mitigasi gunung berapi.

FOTO: FATHUR ROCHMAN

Page 11: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

11Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

Wi FM Jepang, radio komunitas yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah lokal untuk menyiarkan informasi darurat saat bencana terjadi

FOTO: FATHUR ROCHMAN

Hokkaido dan komunitas Meister Toya-Usu Geopark juga memfasilitasi pengelolaan sisa harta milik warga yang terkena dampak letusan Gunung Usu tahun 2000 tanpa menghilangkan kearifan lokal.

”Saya pernah ke Indonesia dan belajar dari Indonesia tentang pengurangan resiko bencana, gunung berapi dan tentang pemetaan kawasan rawan bencana. Apa yang saya pelajari saya terapkan di Jepang dengan membuat sistem pembelajaran dan penyadaran mitigasi bencana. Sistem itu berjalan dengan baik sekali di sini.

Indonesia memang sangat maju dan berpengalaman dalam pengelolaan kebencanaan,” jelas Okada.

Tak sekedar dukungan dalam mitigasi bencana, baik pemerintah lokal Hokkaido maupun komunitas Meister Toya-Usu Geopark juga memfasilitasi pengelolaan sisa harta milik warga yang terkena dampak letusan Gunung Usu.

Mereka melindungi dan menjaga keutuhan dan keaslian sisa harta warga terdampak erupsi tanpa menghilangkan kearifan lokal.

Tampaknya, seperti inilah hidup harmonis bersama gunung berapi ala para meister volcano. Mereka membimbing warga dan wisatawan untuk lebih memahami bagaimana hidup berdampingan dengan gunung berapi. Gunung Usu telah memberi mereka intuisi dan kesadaran untuk melihat kedua sisi wajahnya.

Selama lebih dari 15 tahun, para meister itu membantu menyadarkan warga dan mendidik anak-anak sekolah dengan melihat perubahan Gunung Usu secara langsung tanpa rasa takut. Ketika anak-anak itu tumbuh dewasa, mereka akan dapat bereaksi dengan bijaksana dan mendukung evakuasi saat terjadi bencana di masa depan. Mereka pun mampu untuk lebih menghargai berkah gunung berapi yang memberi dorongan besar bagi peningkatan perekonomian lokal. •

Page 12: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

12 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

U T A M A

Panggung Rakyat: Media Sosialisasi yang Merakyat

Peringatan Bulan Pengurangan Resiko Bencana Nasional

Oleh: Maryani

Namun, panas yang menyengat itu tak lantas menyurutkan semangat ratusan masyarakat

untuk menyesaki tenda tempat berlangsungnya pameran dalam rangka Peringatan Bulan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Nasional yang berlangsung 16-18 Oktober 2015. Meski berpeluh,

Puluhan pendingin ruangan dan kipas angin di dalam tenda putih raksasa di Benteng Vansternburg tak mampu mengusir panasnya suhu Kota Solo yang mencapai 34 derajat celcius, 18 Oktober 2015 siang itu.

FOTO: MARYANI

Page 13: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

13Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

perhatian mereka tetap tersedot pada pertunjukan teater oleh Komunitas Tuna Netra Solo di panggung utama pameran itu.

”Manusia memburu ambisinya sendiri-sendiri. Bumi ini sudah tua. Mangan lan ngombe seko bumi (makan dan minum dari bumi-red). Ada waktunya ngopeni bumi iki lan awakmu dewe-dewe (merawat bumi dan diri sendiri-red). Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai,” ungkap tokoh Ibu dalam pertunjukan tersebut.

Bertajuk ”Bumi Anakku”, teater besutan Agatha Febriani itu menyajikan betapa ulah manusia yang tak bertanggung jawab telah menyebabkan bencana kerusakan alam. Saling menyalahkan bukanlah solusi untuk membenahi kerusakan yang terjadi. Pesan reflektif itulah sekiranya yang ingin disampaikan Komunitas Tuna Netra Solo terkait dengan berbagai bencana yang terjadi di Indonesia.

”Yen ono masalah, ojo nyalahke liyan. Dheloken wae opo sing dilakoni awakke dhewe (Kalau ada masalah, jangan menyalahkan orang lain. Tapi lihatlah apa yang kita lakukan),” ucap salah satu tokoh dalam pementasan itu.

Seperti halnya kelompok anak-anak dan lansia (lanjut usia-red), penyandang difabel merupakan kelompok yang rentan saat terjadi bencana. Di Jawa Tengah, tercatat lebih dari 11 ribu penyandang difabel rentan terhadap risiko menjadi korban bencana alam (Suara Merdeka, 18/09/2015). Risiko tersebut akan menjadi lebih besar jika mereka tidak mengetahui dan tidak dilibatkan dalam pengurangan risiko bencana.

”Harapannya melalui pertunjukan ini teman-teman difabel bukan hanya sebagai objek, tapi dapat berperan aktif terhadap pengurangan risiko bencana,” ungkap Agatha Febriani.

Selain kelompok difabel, wawasan tentang PRB perlu dilakukan sejak dini pada anak-anak yang juga termasuk kelompok rentan. Sekolah Dasar Muhammadiyah 1 Ketelan Surakarta adalah salah satu sekolah percontohan yang menanamkan PRB pada para muridnya. Sekolah yang mendapat predikat Sekolah Sehat ini mendorong para muridnya untuk peduli terhadap lingkungan melalui pendekatan seni. Dalam hajatan Panggung Rakyat PRB lalu, siswa-siswi sekolah ini unjuk kebolehan

”Selain kelompok

difabel, wawasan

tentang PRB perlu dilakukan sejak dini pada

anak-anak yang juga termasuk

kelompok rentan.”

”Wawasan tentang PRB perlu dilakukan sejak dini, baik pada kelompok difabel maupun pada anak-anak.”

Page 14: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

14 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

U T A M A

mempertunjukan karawitan dan wayang yang mengangkat kisah tentang dampak kebakaran hutan akibat ulah manusia.

”Sosialisasi tentang lingkungan melalui seni sudah sering kami lakukan di sekolah. Kami mendorong anak-anak untuk peduli terhadap lingkungan. Tidak hanya lingkungan hidup saja, tetapi juga masyarakatnya,” kata Sri Sayekti, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah 1 Ketelan Surakarta.

Upaya untuk menyosialisasikan pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana sejak dini kepada masyarakat cukup gencar dilakukan melalui Panggung Rakyat yang menjadi bagian pameran PRB ini. Selain teater, gelaran seni lainnya bertema PRB juga digelar di situ. Tengok

saja pementasan mini drama oleh para mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tentang potensi alam Indonesia dan persiapan ketika bencana terjadi. Pertunjukan seni lain seperti pentas musik dan Stand Up Comedy juga menjadi sarana sosialisasi PRB kepada masyarakat dalam Panggung Rakyat tersebut.

Pendekatan Seni lebih EfektifMelalui pendekatan seni dan budaya,

wawasan tentang pentingnya PRB ternyata lebih mudah diterima oleh masyarakat daripada sekedar ceramah dan diskusi. Tampaknya, pendekatan itulah yang coba ditempuh penyelenggara dalam memahamkan masyarakat tentang PRB.

”Biasanya di sekolah kami, sosialisasi dilakukan dengan ceramah. (Pengetahuan

”Melalui pendekatan seni dan budaya, wawasan tentang pentingnya PRB ternyata lebih mudah diterima oleh masyarakat daripada sekedar ceramah dan diskusi.”

Page 15: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

15Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

tentang PRB) lebih mudah dipahami jika sosialisasinya dibungkus melalui seni seperti ini,” ungkap Azzahra Hari Amalia, siswi SMPN 9 Surakarta yang sejak pagi menikmati setiap pertunjukan seni di Panggung Rakyat itu.

Penanaman wawasan PRB melalui pendekatan seni juga pernah dilakukan Combine Resource Institution (CRI) dan FMYY Jepang bekerja sama dengan Pemerintah Desa Sidorejo, Klaten pada April 2015 lalu (baca Kombinasi edisi 61-red). Saat itu, pendekatan yang dipakai adalah melalui pertunjukan kolaborasi ketoprak dan jathilan

Pengunjung stan CRI bisa berpartisipasi dalam kuis tentang aplikasi APIK melalui media sosial twitter.

yang memang akrab dengan keseharian masyarakat di lereng Merapi sana. Di samping lebih dekat dengan masyarakat, pendekatan melalui kesenian tradisional itu juga lebih komunikatif sehingga mudah dipahami.

Seni telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat kita. Tak heran jika pengetahuan PRB pun menjadi lebih efektif ketika disampaikan melalui media seni. Panggung Rakyat dengan beragam pertunjukan seni dalam hajatan Pameran PRB lalu telah menjadi media sosialisasi PRB yang efektif karena lebih merakyat. •

Salah seorang pengunjung mengamati papan informasi dalam pameran PRB berlangsung di Benteng Vanstenberg.

FOTO: APRILIANA

Page 16: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

16 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

U T A M A

Galeri Foto Stan CRI di Pameran Nasional PRB, Solo.

Page 17: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

17Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

Page 18: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

18 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

U T A M A

SIKK,Solusi Darurat Data Kebencanaan Tingkat Kabupaten

Saat mulai ikut terjun di persoalan bencana, mulai dari tsunami Aceh pada 2006 hingga erupsi Sinabung tahun 2015, salah satu kendala

utama yang ditemukan Combine Resource Institution (CRI) adalah terkait pengelolaan data dan informasi di daerah terdampak bencana. Tidak adanya koordinasi lintas sektor menjadi salah satu faktor terjadinya carut marut penanganan bencana. Ego sektoral yang muncul mengakibatkan penanganan yang tidak sesuai dengan kebutuhan para penyintas.

Carut-marut pencatatan data dalam penanganan bencana berdampak pada tidak akuratnya respon saat bencana.

Oleh: Muhammad Amrun

Selain itu sulit meminimalisir dampak mengingat penanganan dan pengurangan risiko bencana tidak cukup dilakukan hanya pada waktu tanggap darurat, namun juga berkelanjutan. Itulah sebabnya perlu tindakan nyata dari berbagai pihak yang punya kepedulian dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana.

Cakupan wilayah yang luas dengan jumlah penduduk yang besar membuat penanganan bencana di Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Pengelolaan data dan informasi terkait bencana berfungsi memperbaiki perencanaan penanganan dan pengurangan risiko bencana serta rehabilitasi rekonstruksi.

SIKK Solusi Darurat DataPembangunan sistem informasi

kebencanaan yang terintegrasi dengan perencanaan pun menjadi kebutuhan mutlak. Belajar dari pengalaman, CRI mencoba mengadopsi sebuah sistem bernama SIKK atau Sistem Informasi Kebencanaan Kabupaten. SIKK merupakan sinergi dari pengembangan Sistem Informasi Desa (SID), yang salah satu analisis kependudukan di dalamnya adalah untuk pengurangan risiko bencana.

SIKK adalah sebuah piranti lunak, sebagai alat untuk mengelola data kebencanaan untuk perencanaan dan penanggulangan yang lebih baik. Artinya tidak berhenti sebagai sebuah aplikasi semata, melainkan bagian dari sistem besar dan utuh.

Kegiatan yang dilakukan dalam SIKK mulai dari pengumpulan data, melakukan analisis, sampai munculnya diseminasi terhadap data dan informasi yang

Bagan SIKK dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana dengan sistem informasi dan tanpa sistem informasi.

Page 19: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

19Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

dilakukan secara cepat, tepat dan benar. Tujuannya adalah untuk menyediakan sistem pengelolaan data dan informasi kebencanaan di tingkat kabupaten yang valid, terbarukan, terukur, sistematis, terintegrasi, dan ramah pengguna (user friendly).

Proses dalam SIKKPengelolan informasi dalam SIKK

meliputi pengumpulan, pengolahan, serta distribusi data dan informasi. Dalam tahap pengumpulan data, SIKK membutuhkan penyediaan data dari banyak pihak. Jenis data yang diperlukan antara lain data kejadian, data pengamatan, data kegiatan, data kebijakan, data sektoral.

Data yang masuk dalam SIKK akan diolah menjadi informasi oleh tim BPBD tingkat kabupaten. Informasi akan dikategorikan berdasarkan waktu, wilayah, tema, dan format yang dirancang untuk mendukung perencanaan, koordinasi, pengambilan keputusan, dan pemantauan dalam semua fase penanggulangan bencana.

Sumber data SIKK berasal dari data internal BPBD kabupaten dan data eksternal. Data eksternal berasal dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kabupaten, pemerintah desa, dan masyarakat (radio komunitas, kelompok siaga bencana desa,

kelompok ternak dan tani). Data juga berasal dari instansi vertikal seperti BPBD Propinsi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTK) dan Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Format data yang digunakan secara prinsip mengacu pada Peraturan Kepala BNPB nomor 8 tahun 2011 tentang Standarisasi Data Kebencanaan. Format data internal disusun oleh tim BPBD. Sementara format data eksternal berasal dari lembaga penyedia data kemudian ditinjau dan dibuat format baru berdasarkan standar yang telah ditetapkan dalam SIKK.

Distribusi informasi dari SIKK dilakukan secara terbatas di kalangan internal maupun secara serentak kepada publik. Secara terbatas, distribusi informasi SIKK menggunakan telepon, fax, dan surat elektronik. Sedangkan distribusi secara lebih luas dan serentak bisa memanfaatkan SMS gateway dan media sosial. Website menjadi gerbang utama pengguna informasi karena difungsikan sebagai terminal terpadu dengna beragam fitur di dalamnya yang memungkinkan pembaruan data secara real time. •

Proses Alur SIKK.

Page 20: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

20 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

U T A M A

Kebakaran hutan tampaknya telah menjadi “bencana langganan” beberapa wilayah di Indonesia. Setiap tahun, ratusan titik api yang membakar hutan-hutan lahan gambut di sebagian Sumatera dan Kalimantan menjadi penyumbang bencana asap terbesar di Indonesia. Tahun 2015 ini, kebakaran hutan yang diperparah dengan fenomena el nino telah membuat Indonesia darurat bencana asap.

Arif Mengelola Alam, Kurangi Resiko Bencana

Bencana asap tak hanya merugikan masyarakat Sumatera dan Kalimantan saja, namun juga membuat

negara-negara tetangga kita kalang kabut. Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Filipina bersuara keras terhadap asap kebakaran hutan dari Indonesia yang mencemari udara di wilayah mereka. Selain mengganggu kesehatan masyarakat, bencana asap juga berimbas terhadap sektor perekonomian dan pariwisata di sebagian negara-negara ASEAN.

Kenapa lahan gambut bisa dengan mudah terbakar dan sangat sulit untuk dipadamkan?

Gambut muncul dari sisa-sisa tanaman hutan yang tertimbun sejak

ribuan tahun dengan kandungan air sangat besar. Berbeda dengan tanah mineral, gambut memiliki sifat seperti spons. Kondisinya mengikuti kandungan air di dalam lapisannya. Ketika hujan, gambut dapat menyimpan air sehingga bisa mengendalikan air sungai agar tidak banjir. Ketika airnya berkurang, gambut pun ikut menyusut. Namun, ketika gambut sudah rusak (baca: dikeringkan), ia kehilangan kemampuan untuk menyerap air. Itulah sebabnya percikan panas sekecil apapun bisa dengan mudah mengobarkan api di lahan gambut yang telah rusak itu.

”Lahan gambut kering adalah kayu bakar alami yang akan terus

terbakar,” kata Nyoman Suryadiputra dari Wetlands International dalam seminar bertema Solusi Inovatif untuk Masyarakat Tangguh Bencana dan Pembangunan Berkelanjutan, di Solo, (16/10).

Salah Kelola Lahan GambutTerbakarnya hutan lahan

gambut setiap tahunnya di sebagian Sumatera dan Kalimantan tak lepas dari maraknya pembukaan lahan kelapa sawit, baik secara ilegal maupun legal. Selama puluhan tahun, jutaan hektar lahan gambut dikeringkan paksa untuk menyesuaikan kebutuhan tanaman kelapa sawit yang hanya bisa hidup di lahan kering. Ribuan kilometer kanal-kanal pun dibangun di sepanjang petak lahan gambut. Tujuannya untuk menyedot air dari gambut agar kelapa sawit dapat tumbuh di situ.

Para oknum pemilik bisnis kelapa sawit seringkali berlindung di balik kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah tentang konsensi pengelolaan hutan. Salah satu kebijakan tersebut misalnya saja Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah. Kebijakan-kebijakan tersebut rawan disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhitungkan konsekuensinya terhadap lingkungan.

Oleh: Apriliana Susanti

Page 21: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

21Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

Lahan Adat Didesak, Komunitas Masyarakat Adat Semakin Rentan

Longgarnya konsensi pengelolaan hutan tidak saja merusak lingkungan, namun juga membuat komunitas masyarakat adat semakin rentan. Bagaimana tidak? Semakin banyak lahan adat yang didesak oleh para pemodal besar untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, maupun untuk lahan konservasi.

Bagi masyarakat adat, hutan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi saja, namun juga telah menjadi bagian dari budaya, adat, dan sosial komunitas. Kerusakan lingkungan yang semakin luas telah mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem dan penyangga kehidupan komunitas masyarakat adat. Ironisnya, beberapa pihak justru menuding masyarakat adat sebagai penyebab kebakaran hutan lantaran tradisi ladang berpindah mereka.

”Bencana asap bukan terjadi karena masyarakat adat membakar hutan. Begitu pun dengan ladang berpindah yang dilakukan masyarakat adat. Namun karena perusahaan perkebunan membakar hutan untuk ditanami (kelapa) sawit. Sebelum ada perusahaan perkebunan (kelapa sawit-red) tidak ada kabut asap (kebakaran hutan-red),” tampik Sahiyan, perwakilan komunitas masyarakat adat suku Dayak dari Propinsi Kalimantan Barat saat diskusi bertema ”Sinergi Bersama bagi Penanggulangan Bencana di Indonesia” dalam peringatan Bulan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) di Solo, (17/10).

Arif Kelola Hutan ala Masyarakat Adat Dayak

Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) mengungkapkan, komunitas masyarakat adat turut berperan dalam mengurangi kebakaran hutan gambut di Kalimantan. Mereka mengelola dan menjaga hutan dengan kearifan lokal yang diwariskan turun temurun.

”Pengelolaan-pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan masyarakat adat terbukti telah menjaga hutan kita tetap lestari. Dalam PRB, masyarakat adat punya motivasi yang paling kuat. Itu karena kaitannya dengan asal-usul mereka dimana mereka harus melestarikan tradisi leluhurnya,” jelas Annas Radin Syarif selaku

Deputi Sekjen AMAN Bidang Pemberdayaan dan Pelayanan Masyarakat Adat.

Apa yang dilakukan komunitas masyarakat adat suku Dayak di Kalimantan Barat menjadi bukti betapa kearifan lokal telah menyelamatkan hutan dari kerusakan yang lebih parah. Meneruskan tradisi leluhur mereka, komunitas ini membuat kolam-kolam penampungan air di tengah hutan. Mereka menyebutnya beje.

Ketika musim penghujan, air yang melimpah dalam beje dimanfaatkan komunitas masyarakat adat sebagai kolam ikan. Saat musim kemarau tiba, air yang tertampung dalam beje menjaga lahan gambut tetap basah. Lahan gambut yang basah inilah yang menyelamatkan hutan dari resiko kebakaran.

PRB Berbasis KomunitasDalam upaya mengurangi resiko

bencana, komunitas bisa mengembangkan energi terbarukan yang murah dan ramah lingkungan. Kearifan lokal komunitas masyarakat adat Dayak menjadi bukti bahwa PRB tidak melulu harus berbiaya mahal. Itulah kenapa masyarakat belum satu suara terkait rencana pemerintah untuk membangun kanal-kanal di lahan gambut.

”Kanal bukan jawaban untuk mencegah kebakaran hutan. Banyak tokoh desa yang menentang. Itu karena kanal (yang dibangun di masa lalu untuk keperluan perkebunan kelapa sawit-red) telah

Kanal menyodet air membuat gambut kering dan memicu kebakaran.

”Apa yang dilakukan

komunitas masyarakat

adat suku Dayak di Kalimantan Barat menjadi

bukti betapa kearifan

lokal telah menyelamatkan

hutan dari kerusakan yang

lebih parah.”

Page 22: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

22 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

U T A M A

mengeringkan semua air di sana sehingga membuat kebakaran semakin merajalela,” ungkap Rahadi, peserta diskusi bertajuk ”Solusi Inovatif untuk Masyarakat Tangguh Bencana dan Pembangunan Berkelanjutan” dari Kalimantan Tengah, di pada peringatan Bulan PRB di Solo, (16/10).

Sementara di sisi lain, pemerintah pusat telah berupaya keras memadamkan titik-titik api. Bahkan, negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Australia ikut membantu dalam upaya pemadaman tersebut, meski akhirnya api belum sepenuhnya bisa dipadamkan.

Memang, memadamkan kebakaran di lahan gambut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Penanganan kebakaran lahan gambut harus menyeluruh dan jangka panjang. Kalau tidak, bencana itu akan terus berulang. Skenario terburuknya, kebakaran lahan gambut bisa menjadi bencana abadi di Indonesia.

”Gambut itu seperti api yang makan sekam. Pemadamannya harus menyeluruh. Usaha-usaha (pemadaman-red) yang selama ini dilakukan tidak efektif untuk

memadamkan kebakaran lahan gambut. Terapinya adalah hujan yang cukup,” jelas Prof. Dr. Ir. Azwaar Ma'as, pakar gambut dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, (18/10).

Meski demikian, tentu saja kerusakan yang telah terjadi tidak serta merta dapat ditanggulangi oleh pemerintah ataupun masyarakat adat saja. Sinergi antar pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, masyarakat adat, masyarakat umum, media maupun pemangku kepentingan lahan gambut harus terus ditingkatkan.

”Pemerintah harus melibatkan masyarakat adat dalam upaya pengurangan bencana karena menjaga dan mengelola wilayah adat serta sumber daya alamnya secara lestari merupakan kewajiban adat mereka untuk mempertahankan pengetahuan lokal. Peran penting masyarakat adat dalam PRB akan efektif dan berkelanjutan jika hak-hak atas wilayah adat diakui, dipenuhi, dan dilindungi oleh negara,” ungkap Anas.

Mengembalikan lahan gambut seperti fungsinya semula sebagai penampung air menjadi syarat mutlak untuk mengurangi resiko

kebakaran hutan. Kanal-kanal yang sudah terlanjur ada bukan lagi difungsikan sebagai penyedot air dari lapisan gambut, melainkan disekat menjadi kolam-kolam penampung air yang berfungsi seperti beje. Kebijakan-kebijakan terkait konsensi pengelolaan hutan juga perlu dievaluasi kembali untuk mencegah penyalahgunaannya dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.. Demikian halnya dengan pelibatan seluruh pihak untuk melestarikan hutan lahan gambut harus terus ditingkatkan.

”Kanal yang sudah terlanjur ada itu dibuat sekat-sekat untuk mengisi air. Ketika musim hujan, kanal dan rawa akan penuh airnya. Saat musim kemarau, kanal bersekat itu akan membasahi lahan gambut. Kalau kita sepakat untuk menata ulang dengan mengembalikan fungsinya, mudah-mudahan kebakaran gambut yang tidak terus berulang tiap tahunnya. Beberapa caranya adalah mengatur zonasi untuk perkebunan dan harus ada cadangan air di lapisan gambut. Kalau ada kesadaran bersama dan kemauan baik (dari semua pihak), kebakaran gambut bisa dicegah,” pungkas Azwaar Ma'as. •

Para pakar kebencanaan membahas solusi inovatif.

Page 23: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

23Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

Sayangnya, kebutuhan para difabel belum terakomodasi dalam perencanaan manajemen mitigasi

bencana di Indonesia. Potensi diskriminasi terhadap para difabel masih kerap ditemukan baik dalam tahapan sebelum bencana, saat tanggap darurat, maupun saat masa pemulihan dan rekonstruksi bencana.

Pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana

Semua orang yang terkena bencana berhak menerima perlindungan dan bantuan, tak terkecuali para penyandang different ability (difabel). Mereka pun berhak mendapatkan pengetahuan tentang kebencanaan untuk meminimalisir dampak negatif yang mungkin terjadi.

(PRB) semestinya juga dimiliki mereka agar dapat meminimalisir risiko yang muncul ketika terjadi bencana. Melatih mereka dalam pengoperasian teknologi dan komunikasi dapat menjadi alternatif untuk persiapan menghadapi masa tanggap darurat.

Pelatihan nonteknis lain dan simulasi mitigasi bencana pun dapat dilakukan untuk menambah pengetahuan PRB bagi para difabel, seperti yang dilakukan oleh Sahabat Oleh: Fathur Rochman

Peserta diskusi difabel.

FOTO: Dokumentasi CRI

Mitigasi Bencana bagi Difabel

Page 24: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

24 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

mengurangi kerentanan mereka terhadap bencana. Selain itu, manajemen mitigasi bencana yang pro difabel juga dapat meningkatkan efektivitas penanganan bantuan dari pemerintah baik sebelum bencana, saat bencana dan masa pemulihan.

”Tugas kita adalah untuk memastikan kebutuhan para penyandang disabilitas masuk dalam rencana kontinjensi termasuk sebelum, saat dan setelah terjadi bencana. Sangat penting untuk menyertakan para penyandang disabilitas pada setiap tahap pengelolaan resiko bencana,” ungkap I Made Susmayadi dari Pusat Studi Bencana Alam UGM.

Dampak PsikososialManajemen mitigasi bencana yang

kurang bersahabat bagi para difabel menjadi tantangan tersendiri bagi upaya PRB di Indonesia. Sebagai kelompok minoritas, mereka menghadapi permasalahan yang lebih kompleks daripada orang kebanyakan. Bagi para difabel, kehilangan anggota tubuh tak hanya berdampak pada kondisi fisik, namun juga mempengaruhi psikis mereka. Tak heran, seringkali ditemui para difabel yang mengalami kecemasan, kebingungan, trauma, shock, bahkan depresi pascatanggap darurat bencana.

”Psikososial bencana merupakan segala macam aspek dalam kehidupan sosial yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung pada keadaan psikologis,” jelas Fuad Hamsyah, dosen Psikologi UGM.

Fuad Hamsyah memaparkan, penyintas yang mengalami trauma dapat sembuh kembali asalkan terpenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan, minum, dan tidur tempat tinggal. Lebih penting lagi, mereka juga harus mendapat dukungan sosial dan kasih sayang baik dari keluarga maupun lingkungan terdekatnya.

”Kunci pemulihan dari bencana adalah perasaan bahwa para penyintas memiliki sumber daya yang dapat digunakan untuk membangun kembali hidup mereka. Sumber daya yang paling dasar meliputi makanan, keamanan, dan tempat tinggal. Sumber lainnya yang tak kalah penting adalah keluarga, masyarakat, sekolah, dan teman-teman,” pungkas Fuad. •

”Untuk memenuhi kebutuhan para difabel dalam menghadapi bencana, perlu perencanaan yang lebih rinci terkait manajemen mitigasi bencana. Dukungan dari pemerintah baik di tingkat lokal maupun nasional dan berbagai pihak lainnya mutlak diperlukan.”

Percepatan Pengembangan Kepemimpinan Mahasiswa (SP4KM) Universitas Gadjah Mada. Mengusung tema ”Wedhus Gembel” Warning & Education System on Disaster for Diffable, SP4KM menggelar diskusi untuk menanamkan pengetahuan bencana bagi difabel di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi, pada 30–31 Oktober 2015 di Balai Desa Pakem, Sleman. Diskusi tersebut melibatkan para pihak seperti pakar kebencanaan, psikolog, tenaga-tenaga pendidik Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada penyandang difabel se-Kabupaten Sleman.

”Saat Merapi dalam status waspada, teman-teman difabel hendaknya diungsikan terlebih dahulu. Tujuannya agar (warga maupun pemerintah desa) tidak kerepotan lagi kalau sewaktu-waktu status Merapi naik jadi AWAS, karena saat itu orang-orang cenderung akan memikirkan keselamatan dirinya masing-masing,” ungkap Aslimah, penyandang difabel dari Tlogoputri saat menceritakan pengalamannya saat erupsi Merapi tahun 2010 silam.

Tak cukup hanya menanamkan pengetahuan PRB, para difabel juga perlu dilibatkan dalam perencanaan tempat pengungsian yang lebih ramah terhadap mereka. Keterlibatan para difabel perlu dilakukan karena merekalah yang paling mengetahui kebutuhan mereka baik pada masa sebelum bencana, saat bencana, dan setelah bencana.

Menengok pengalaman saat masa tanggap darurat, hampir semua tempat pengungsian belum ramah difabel. Jangankan mengakomordir MCK (mandi, cuci, kakus-red), distribusi makanan yang menjadi kebutuhan pokok pengungsi pun masih sulit untuk diakses oleh para difabel.

Untuk memenuhi kebutuhan para difabel dalam menghadapi bencana, perlu perencanaan yang lebih rinci terkait manajemen mitigasi bencana. Dukungan dari pemerintah baik di tingkat lokal maupun nasional dan berbagai pihak lainnya mutlak diperlukan. Tak sebatas peralatan teknis semata, dukungan juga dapat diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang pro terhadap para difabel.

Dimasukkannya kebutuhan para difabel dalam manajemen mitigasi bencana dapat

U T A M A

Page 25: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

25Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

Collapse: Peringatan untuk Masa Depan

Bicara soal bencana, Indonesia tak akan habis dikupas. Dari spektrum yang cukup luas, kita bisa melihat bencana sebagai apapun yang bersifat destruktif. Ia bisa menyebabkan kekacauan, dan yang paling parah, kehancuran. Sebut misalnya, bencana alam dan bencana sosial.

Oleh: Ferdhi Fachrudin Putra

R E S E N S I

Di Indonesia, terma (istilah-red) bencana tidak cukup fasih diperdengarkan atau dituliskan

untuk isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Terma bencana ini lebih banyak dilekatkan dengan peristiwa-peristiwa alam, seperti gunung meletus, tsunami, gempa bumi, angin topan, dsb. Setidaknya itu yang saya ketahui.

Ada sebuah buku tentang bencana yang sangat menarik untuk didedah. Judulnya Collapse yang disusun seorang profesor Geografi dan Ilmu Kesehatan Lingkungan University of California bernama Jared Diamond.

Sebenarnya, Collapse adalah lanjutan dari buku Guns, Germs

and Steel (Bedil, Kuman dan Baja, 1998) tentang kemunculan dan perkembangan peradaban. Buku ini juga merupakan hasil penelitian jangka panjang si penulis di berbagai belahan dunia. Namun, bukan berarti membaca Collapse, tanpa membaca Guns, Germs and Steel akan menjadi ahistoris. Tidak sama sekali. Kita tetap bisa menikmati paparan komprehensif dari Jared Diamond dengan bahasa yang ringan—kecuali istilah spesifik yang hanya dikenal pada disiplin pengetahuan tertentu.

Saya tak pernah berpikir sejauh yang dituliskan di buku ini: betapa eratnya ketertautan antar unsur-unsur kehidupan. Sejak pertama kali mengenal biologi, kita diajarkan tentang varian makhluk hidup: manusia, tumbuhan, dan hewan. Selanjutnya, kita berkenalan dengan iklim, cuaca dan ekosistem yang menunjang keberlangsungan kehidupan. Intinya, semua unsur-unsur alam itu memiliki sistem yang terbentuk secara alamiah selama ribuan bahkan jutaan tahun lamanya. Peradaban (civilization) adalah anak kandung dari proses evolusi semesta. Diamond dengan sangat jeli memperhatikan aspek-aspek tersebut dan menganalisis saling ketergantungannya. Hipotesisnya adalah bahwa runtuhnya peradaban tidak melulu disebabkan oleh satu aspek, misalnya bencana alam, melainkan sebuah kelindan antara alam dengan peradaban (manusia).

Keruntuhan (collapse) yang dikisahkan Diamond adalah sebuah evolusi. Ada tahap-tahap yang dilalui

hingga pada akhirnya tak ada satu pun yang bertahan. Keruntuhan, didefinisikan olehnya sebagai “penurunan drastis ukuran populasi dan/atau kompleksitas politik/ekonomi/sosial, di wilayah yang cukup luas, untuk waktu yang lama,” (hlm. 4). Keruntuhan di sini jelas tidak seperti kisah yang menyebutkan bahwa hujan meteor menjadi penyebab utama punahnya makhluk-makhluk purba. Keruntuhan tidak terjadi sejentikan jari, melainkan seperti bom waktu yang akan meledak saat detik menunjuk angka nol.

Sang Profesor menyusun lima faktor yang menjadi pertimbangan untuk melihat musabab runtuhnya suatu peradaban. Pertama, kerusakan lingkungan oleh manusia secara tidak sengaja. Lalu ada perubahan iklim dan tetangga yang bermusuhan, serta berkurangnya sokongan dari tetangga yang bersahabat. Terakhir, respons masyarakat terhadap masalah lingkungan maupun bukan lingkungan seperti masalah sosial, politik, budaya, dan sebagainnya (hlm. 14-18). Jika melihat faktor-faktor tersebut, Diamond memang tidak sedang bicara tentang kehancuran bumi dari sudut pandang environtmentalist (pakar lingkungan-red), karena ia memasukkan unsur non-lingkungan ke dalamnya, yakni soal relasi sosial antarmasyarakat. Ini juga argumen yang dipakai Diamond untuk membantah tudingan bahwa buku ini sangat ecology-determinism (atau yang disebut determinasi lingkungan, yakni paham bahwa lingkungan fisik mempengaruhi kebudayaan-red).

Poin-poin yang dibuat olehnya akan membantu kita membaca kemungkinan keruntuhan peradaban. Peradaban Maya, misalnya, boleh dikategorikan sebagai kasus yang kompleks. Lima poin tersebut hampir simultan terjadi di senjakala salah satu peradaban termahsyur yang pernah ada itu. Membludaknya populasi yang tak tertanggung sumber daya yang tersedia menyebabkan konflik sosial antarkelompok. Belum lagi bencana perubahan iklim dan penggundulan hutan di masa lampau yang turut memperparah krisis sumber daya seperti air dan tanaman pangan. Sikap para elit (raja) yang

Page 26: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

26 Kombinasi • Edisi ke-63 • 2015

Judul: Collapse – Runtuhnya Peradaban-peradaban Dunia

Pengarang: Jared Diamond

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Tahun terbit: 2014

Jumlah halaman: xii + 741

ISBN: 978-979-91-0682-7

mementingkan urusan jangka pendek seperti memperkaya diri, mengobarkan perang, membangun simbol kejayaan berupa monumen yang memicu persaingan antarsuku, juga ikut andil atas kehancuran Maya. Semua berkelindan dan Maya pun punah (hlm. 198-223).

Apakah Maya mengingatkan kita akan sesuatu yang terjadi hari ini? Tentu saja. Keserakahan kaum elit yang mengeksploitasi isi bumi demi menumpuk kekayaan, yang menyebabkan kerusakan lingkungan berdampak jangka panjang bagi peradaban manusia, serta perubahan iklim yang sudah ditakdirkan, kini sedang berlangsung. De javukah atau sejarah yang berulang?

Diamond juga mengambil contoh peradaban lampau yang masih bertahan hingga saat ini, yakni Viking yang berasal dari dataran Skandinavia. Meski menderita hal yang sama dengan mereka yang kalah dalam seleksi alam, Viking nyatanya mampu bersiasat dan bertahan. Sebagian Viking berhasil bertahan karena faktor kelima dalam kategorisasi Diamond, yakni tentang bagaimana menyikapi masalah. Bangsa Viking, berasal dari kata vikingar yang artinya penyerbu, melakukan penyerbuan-penyerbuan (invasion) ke luar wilayah mereka. Meski apa yang mereka lakukan cenderung negatif, ‘upaya’ itu berhasil memperkuat relasi dengan masyarakat lain. Berkat penyerbuan, mereka mendapat sokongan yang kuat dari tetangga. Beberapa di antaranya malah menciptakan relasi ekonomi (perdagangan) dan kultur (pernikahan). Penjelajahan Viking di masa lampau berhasil membawa mereka ke peradaban modern hari ini (Bab 6 dan 7).

Keberadaan teknologi yang digadang-gadang bisa mengatasi segala permasalahan manusia di masa lalu, dan bahkan dipercaya bisa membuat ras manusia abadi, justru menjadi persoalan lain. Kehadiran teknologi tidak begitu saja ada seperti kepercayaan bahwa Adam diciptakan oleh Tuhan. Teknologi ada berkat proses panjang yang melibatkan banyak eksploitasi, baik sumber daya manusia maupun sumber daya

alam. Dan, dalam prosesnya itu, cukup banyak, atau bahkan sangat banyak, kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan. Misalnya, kerusakan hutan dan lahan akibat tambang mangan untuk bahan baku baterai, pasir besi untuk setiap komponen logam, serta pencemaran air dan udara yang dihasilkannya. Itu saja sudah memberi dampak yang besar bagi ekosistem. Bisa dibayangkan ada berapa banyak jumlah tambang, sampah industri, dan perilaku manusia modern yang berdampak serius terhadap lingkungan?

Teknologi pun tak melulu menjadi penyebab keruntuhan. Diamond membuktikan bahwa di tengah keadaan penuh ketenangan, ketentraman, dan minim konflik sosial juga menyimpan potensi kehancuran. Montana (negara bagian di Amerika Serikat-red) adalah contoh yang ia pakai. Secara kasat, tempat itu adalah idaman bagi setiap manusia urban yang terjebak dalam rutinitas kerja dan modernitas gedung tinggi. Montana adalah surga yang diduplikasikan ke dunia: berada di lembah yang luas dengan hamparan rerumputan hijau dan latar gunung beratap salju.

Ironinya adalah, Diamond mengungkap bahwa yang terjadi hari ini di Montana adalah “mikrokosmos masalah-masalah lingkungan yang terjadi di bagian lain Amerika Serikat: populasi meningkat, imigrasi, semakin langka dan semakin buruknya kualitas air, kualitas udara yang buruk secara lokal mupun musiman, limbah beracun (akibat tambang), meningkatnya resiko kebakaran liar, kehancuran hutan, hilangnya tanah atau zat haranya, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan akibat spesies hama hasil introduksi, dan efek-efek perubahan iklim,” (hlm. 39). Montana adalah salah satu wilayah yang diprediksi collapse oleh Diamond.

Dalam sebuah acara talkshow, Jared Diamond menyebut Indonesia sebagai bangsa yang “close to collapse,” bersama dengan Nepal dan Kolombia. Kehancuran memang menjadi keniscayaan. Setiap agama atau kepercayaan bahkan menjanjikan kehadiran fase kehancuran tersebut.

Tetapi mungkin, menarik kiranya bila kita bisa mengetahui apa-apa saja yang bisa membuat Indonesia hancur. Apa karena industrialisasi yang brutal? Letak geografis yang tidak lagi kondusif? konflik sosial? Pencemaran dan berkurangnya sumber daya? Ataukah ada faktor lain yang menjadi khas dalam keruntuhan Indonesia?

Collapse membuat saya tertegun, sejenak berpikir, “akan seperti apa bumi pada satu atau dua abad ke depan.” Membayangkan analisis Diamond seperti melihat masa depan, meski ia berangkat dari masa lalu.

Ketimbang paparan hasil riset, Collapse, bagi saya, lebih seperti buku propaganda tentang skenario akhir dunia. Buku ini menjadi semacam peringatan bagi manusia yang hidup di zaman ini, bahwa sejatinya kita sedang menuju keruntuhan. Diamond seakan mengatakan, “Lihat pendahulumu, mereka punah karena mengabaikan cara alam bekerja.”

Bagi Diamond, hanya ada dua cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Pertama, menghentikan ‘bom waktu’ yang saat ini sedang berjalan–menjaga lingkungan, memperbaiki yang rusak, dsb. Atau kedua, diselesaikan dengan perang, wabah, kelaparan, dan sebagainya, yang artinya, jika boleh saya menafsirkan, memusnahkan manusia separuh ras manusia untuk menyelesaikan persoalan kekurangan sumber daya. •

Page 27: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana

Tertarik Menulis di Majalah Kombinasi?Redaksi Majalah Kombinasi menerima tulisan berupa opini, feature hasil liputan, dan resensi (buku dan film dokumenter) dengan tema-tema yang berhubungan dengan komunitas maupun media komunitas.

KETENTUAN TULISAN• Tulisan merupakan karya sendiri dan belum pernah

dipublikasikan di media lain.• Ditulis menggunakan bahasa Indonesia dengan mengikuti

kaidah penulisan yang benar.• Ditulis dengan font times new roman, ukuran 12, panjang

tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces).• Untuk tulisan feature dan resensi, harap sertakan foto dengan

resolusi standard (minimal 1.000 x 800 pixel).• Mencantumkan nama terang penulis dan aktivitas penulis• Mencantumkan nomor rekening penulis.• Redaksi berhak menyeleksi tulisan yang sesuai dengan

Majalah Kombinasi.• Untuk tulisan yang terpilih, redaksi berhak mengedit tulisan

tanpa mengubah maksud tulisan.• Penulis yang tulisan diterbitkan akan mendapatkan honor

sepantasnya.

Tulisan bisa dikirim ke redaksi Majalah Kombinasi di Jalan KH Ali Maksum RT 06 No.183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (kode pos 55188) atau melalui surat eletronik di [email protected]

Majalah Kombinasi (Komunitas Membangun Jaringan Informasi) adalah majalah yang diterbitkan Combine Resource Institution (CRI) sebagai media untuk menyebarkan gagasan, inspirasi, dan pengetahuan tentang media komunitas. Majalah ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Combine untuk membantu pelaku media komunitas dalam mengembangkan medianya, baik dalam hal teknis pengelolaan, keredaksian, maupun isu.

Page 28: Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana