eales disease.docx
TRANSCRIPT
REFERAT
EALES DISEASE
Pembimbing :
Dr. Hariindra Pandji Soediro Sp. M
Penyusun :
Giovanni Duandino
030.09.102
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA
RSUD BUDHI ASIH
PERIODE JULI-AGUSTUS 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, 2014
0
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat berjudul “EALES DISEASE” guna
memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Kedokteran Trisakti RSUD BUDHI ASIH. Disamping itu makalah ini bertujuan
untuk menambah pengetahuan bagi pembaca.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini, yaitu :
1. Orang tua
2. Dr. Hariindra Pandji Soediro, Sp.M selaku pembimbing referat.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini dapat menjadi lebih baik.
Penulis memohon maaf apabila banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan pada makalah
ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
sendiri dan pembaca.
( Penyusun )
1
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 3
1.2 BATASAN MASALAH 4
1.3 TUJUAN PENULISAN 4
1.4 METODE PENULISAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 ANATOMI RETINA 5
2.2 FISIOLOGI RETINA 9
2.3 EALES DISEASE 10
2.3.1 DEFINISI 10
2.3.2 EPIDEMIOLOGI 10
2.3.3 ETIOLOGI 11
2.3.4 PATOGENESIS 11
2.3.5 STADIUM 12
2.3.6 DIAGNOSIS 14
2.3.7 PENATALAKSANAAN 15
2.3.8 PROGNOSIS 18
BAB III KESIMPULAN 19
DAFTAR PUSTAKA 20
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Retina merupakan lapisan membran neurosensoris dan merupakan lapisan ketiga bola
mata setelah sklera yang merupakan jaringan ikat dan jaringan uvea yang merupakan
jaringan vaskuler yang terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid. Retina berbatas dengan
koroid dengan sel pigmen epitel retina. Pada Eales’ disease terjadi inflamasi pada pembuluh
darah retina yang dapat menyebabkan berbagai macam manifestasi klinis seperti penglihatan
yang mendadak buram.
Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri dari
lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya kompak dan tampak
sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf misalnya korteks serebrum, retina
memiliki daya pengolahan yang sangat canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh
otak, dan persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk berlangsung di korteks.
Pengolahan informasi di retina berlangsung dari lapisan fotoreseptor melalui akson sel
ganglion menuju ke saraf optikus dan otak.
Henry Eales seorang ahli penyakit mata yang menemukan penyakit ini menyatakan
bahwa penyakit ini adalah suatu penyakit mata yang penyebabnya masih belum diketahui dan
tidak berhubungan dengan inflamasi. Kasus yang terjadi kebanyakan di negara India dan
beberapa negara di timur tengah dengan rasio penderita 1 dari 200-250 pasien.
3
1.2. Batasan masalah
Pembahasan referat ini dibatasi pada anatomi retina, fisiologi retina, stadium Eales’
disease, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis Eales’ disease.
1.3. Tujuan penulisan
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan memahami tentang Eales’
disease.
1.4 Metode penulisan
Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Retina
Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan terdiri atas
beberapa lapis yang melapisi bagian dalam dua pertiga belakang bola mata. Retina membentang
ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan berakhir di tepi ora serrata.1
Gambar 1. Anatomi retina
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi luar ke dalam adalah sebagai berikut:
1. Epitelium pigmen retina
Merupakan lapisan terluar dari retina. Epitel pigmen retina terdiri dari satu lapisan
sel mengandung pigmen dan terdiri atas sel-sel silindris dengan inti di basal. Daerah
basal sel melekat erat membran Bruch dari koroid. Fotoreseptor dipelihara oleh epitel
pigmen retina, yang berperan pada proses penglihatan. Epitel pigmen ini bertanggung
jawab untuk fagositosis segmen luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi
hamburan sinar, serta membentuk sawar selektif antara koroid dan retina.3, 4, 5
5
2. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut.
Sel-sel batang dan kerucut di laisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya
menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks
penglihatan ocipital. Fotoreseptor tersusun sehingga kerapatan sel-sel kerucut
meningkat di di pusat makula (fovea), dan kerapatan sel batang lebih tinggi di
perifer. Pigmen fotosensitif di dalam sel batang disebut rodopsin. Sel kerucut
mengandung tiga pigmen yang belum dikenali sepenuhnya yang disebut iodopsin
yang kemungkinan menjadi dasar kimiawi bagi tiga warna (merah,hijau,biru) untuk
penglihatan warna. Sel kerucut berfungsi untuk penglihatan siang hari (fotopik).
Subgrup sel kerucut responsif terhadap panjang gelombang pendek, menengah, dan
panjang (biru, hijau merah). Sel batang berfungsi untuk penglihatan malam
(skotopik). Dengan bentuk penglihatan adaptasi gelap ini terlihat beragam corak abu-
abu, tetapi warnanya tidak dapat dibedakan. Waktu senja (mesopik) diperantarai oleh
kombinasi sel kerucut dan batang.2,4, 5
3. Membrana limitans externa
4. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, Ini terdiri dari inti dari
batang dan kerucut.3,6
5. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan – sambungan sel bipolar
dan sel horizontal dengan fotoreseptor .3,6
6. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal.
7. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan – sambungan sel
ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar .3,6
8. Lapisan sel ganglion, Ini terutama mengandung sel badan sel ganglion
9. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson – akson sel ganglion yang berjalan
menuju ke nervus optikus.3,6
10. Membrana limitans interna. Ini adalah lapisan paling dalam dan memisahkan retina
dari vitreous. Itu terbentuk oleh persatuan ekspansi terminal dari serat yang Muller, dan
pada dasarnya adalah dasar membran.. 3,6
6
Gambar 2.
Lapisan retina
Gambar 3.
Gambaran retina normal
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior. Di
tengah – tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula dapat didefinisikan
sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil) yang
berdiameter 1,5 mm. Secara histologis makula merupakan bagian retina yang lapisan
ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis sel. Secara klinis, makula adalah bagian yang
dibatasi oleh arkade – arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula sekitar 3,5
7
mm di sebelah lateral diskus optikus terdapat fovea yang secara klinis jelas – jelas merupakan
suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop.2
Fovea merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoresens. Secara histologi,
fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan – lapisan parenkim
karena akson – akson sel fotorreceptor (lapisan serat Henle) berjalan oblik dan pergeseran
secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan dalam retina. Foveola adalah
bagian paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah sel kerucut dan bagian retina
yang paling tipis. Semua gambaran histologis ini memberikan diskriminasi visual yang halus.
Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong potensial paling besar di makula dan
penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan di ekstrasel dapat menyebabkan daerah ini
menjadi tebal sekali.2
Gambar 4.
Anatomi makula
Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral
masuk retina melalui papil saraf optic yang akan memberikan nutrisi dalam retina. Lapisan luar
retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid. Retina menerima darah dari dua
sumber yaitu khoriokapilaria yang berada tepat diluar membrana Bruch, yang mendarahi
sepertiga luar retina termasuk lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreceptor, dan
lapisan epitel pigmen retina serta cabang – cabang dari arteri sentralis retinae yang mendarahi
dua pertiga sebelah dalam. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh khoriokapilaria dan mudah
terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki kalau retina mengalami ablasi. Pembuluh darah
8
retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang yang membentuk sawar darah retina.
Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat ditembus. Sawar darah retina sebelah luar terletak
setinggi lapisan epitel pigmen retina.2,3
2.2. Fisiologi Retina
Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus berfungsi
sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transducer yang
efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya
menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus
dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan
yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di
fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan
serat saraf keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Macula terutama
digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian retina
lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk
penglihatan perifer dan malam (skotopik).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler pada retina
sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mencetuskan proses
penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung rodopsin, yang merupakan suatu
pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk sewaktu molekul protein opsin bergabung
dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera
mengalami isomerisasi menjadi bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran
yang separuhnya terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar
fotoreseptor.
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang. Pada bentuk
penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi warna tidak
dapat dibedakan. Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut, jika
senja hari diperantarai oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam oleh
fotoreseptor batang.
9
2.3. Eales Disease
2.3.1. Definisi
Eales’ disease pertama kali dideskripsikan oleh Henry Eales , seorang Dokter Ahli
Penyakit Mata berkebangsaan Inggris, pada tahun 1880 dan 1882 Eales
mengklasifikasikan penyakit ini sebagai penyakit retina non-inflamasi. Untuk definisi dan
etiologi dari Eales’ disease sampai saat ini masih belum diketahui dengan adekuat. Pada
penelitian terbaru yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang baik tentang
Eales’ disease ini memberikan hasil yang cukup signifikan baik dari segi klinis , biokimia
, imunologi , dan biologi molekuler.
Henry Eales
Gambar 5
2.3.2. Epidemiologi
. Menurut penelitian, di Amerika Serikat jarang didapatkan penyakit ini. Eales’s disease
sering didapatkan di India dan beberapa daerah di Timur Tengah. Tidak didapatkan mortalitas
pada pasien dengan Eales’ disease. Tidak ada predileksi ras pada Eales’s disease, tapi dari segi
prevalensinya banyak menyerang ras India dan beberapa penduduk di Timur Tengah. Biasanya
pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu sebesar 80-90%. Usia rata-rata penderita yaitu
pada dewasa muda yang berusia kisaran 30-40tahun.
10
2.3.3. Etiologi
Dari penelitian terbaru , banyak yang menyimpulkan bahwa etiologi dari Eales’s disease
disebabkan oleh Tuberkulosis atau karena hipersensitifitas karena tuberkuloprotein. Hipotesa ini
ditunjang oleh didapatkannya spesies Mycobacterium pada epiretinal membran. Dengan teknik
PCR didapatkannya gen MPB64 milik kuman Mycobacterium Tuberculosis yang didapatkan
pada Epiretina membran pasien dengan Eales’ disease.
2.3.4 Patogenesis
Pada stadium inflamasi pada Eales’ disease (ED) didapatkannya peningkatan C-Reactive
Protein dan IL-6 (Interleukin 6) sebagai marker. Dari didapatkannya marker tersebut diambil
kesimpulan bahwa terjadi inflamasi yang di mediasi oleh sistem imun pada ED. Tapi sampai saat
ini , masih belum dapat diketahui secara adekuat antigen apa yang mencetuskan serangkaian
sistem imun tersebut.
Stres oksidatif juga dapat menyebabkan cedera jaringan, meningkatnya Thiobarbituric
acid Substances (TBARS) pada vitreus , eritrosit, platelet , dan monosit. Berkurangnya kadar
Vitamin E dan C dan glutathione mengindikasikan lemahnya aktifitas antioksidan pada ED.
Pigmen Epitelium Growth Factor (PEGF) adalah suatu Glycoprotein dan sebagai
inhibitor potent pada iskemia menginduksi neovaskularisasi. Hubungan antara (PEGF) dengan
Vaskuler Endotelial Growth Factor (VEGF) telah dipelajari dengan baik. Berkurangnya jumlah
(PEGF) pada Eales’ disease dan meningkatnya VEGF sebagai faktor utama penyebab
terbentuknya Neovaskularisasi pada ED.
11
2.3.5 Stadium
Berdasakan gejala klinis, Eales’ disease dibagi menjadi 4 stadium, yaitu:
1. Stadium 1 ( Inflamatory stage)
.
Pada Stadium Inflamasi terjadi tanda tanda radang yang cukup aktif , seperti yang terlihat pada
gambar diatas yaitu terdapat gambaran periflebitis dimana vena-vena menjadi lebih berdilatasi
dan aliran darah meningkat drastis.
2. Stadium 2 ( Iskemik stage)
Pada stadium ini , inflamasi terus berlanjut hingga mengenai pembuluh darah yang lebih
besar , karena inflamasi berjalan terus menerus tanpa perbaikan , maka terjadilah injury pada
endotel pembuluh darah vena retina yang mencetuskan terbentuknya trombus sehingga terjadi
oklusi vena yang menyebabkan terdapatnya daerah-daerah iskemik.
12
3. Stadium 3 (Neovaskularitation)
Pada stadium ini dimana merupakan stadium lanjutan dari stadium iskemik stage karena
pada stadium iskemik stage akan terjadi pelepasan suatu glycoprotein yang bersifat angiogenic
yaitu Vaskuler Endotelial Growth Factor (VEGF).
4. Stadium 4 (Complicated stage)
Pada stadium ini , terjadi banyak komplikasi karena tumbuhnya pembuluh darah baru
yang lemah dan rentan ruptur , pembuluh darah yang ruptur tersebut akan segera resolusi
dan kemudian akan terjadi ruptur berulang. Hal seperti ini dapat menyebabkan timbulnya
jaringan fibrovaskuler dimana jaringan fibrovaskuler ini dapat menyebabkan terlepasnya
retina (ablasio retina)
13
2.3.6. Diagnosis
Diagnosis pada Eales’s disease harus terlebih dahulu menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain seperti kemungkinan adanya suatu kelainan darah seperti leukemia ataupun
penyebab lain.
Pemeriksaan:
1. Pemeriksaan tajam penglihatan
2. Pemeriksaan lapangan pandang
3. Memeriksa apakah ada tanda-tanda trauma
4. Periksa reaksi pupil. Dilatasi pupil yang menetap mengindikasikan adanya trauma.
5. Pemeriksaan slit lamp; anterior segmen biasanya normal, pemeriksaan vitreous untuk
mencari tanda pendarahan atau tidak yang biasanya sering ditemukan pada pasien dengan
Eales’s disease.
6. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop (pupil harus dalam keadaan berdilatasi)
Pemeriksaan Penunjang :
1) Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit penyerta
seperti diabetes melitus.
2) Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan bila retina tidak dapat tervisualisasi oleh karena
perubahan kornea, katarak, atau perdarahan.
3) Teknik pencitraan seperti foto orbita, CT scan, atau MRI tidak diindikasikan untuk
membantu diagnosis ablasio retina tetapi dapat dibutuhkan untuk mendeteksi benda
asing intraokuli dan tumor.
14
2.3.7. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pasien dengan ED adalah membantu mengurangi
peradangan yang dapat berujung terjadinya manifestasi klinis pada ED. Kortikosteroid
menjadi pilihan utama pada stadium inflamasi. Dosis yang diberikan adalah 1mg/kg/bb
selama 6 minggu lalu masuk ke dalam dosis tapering off yaitu 10mg selama kurang lebih
2minggu . Setelah itu dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis pemeliharaan 15-20mg
selama 2-3 bulan.
Ada beberapa penelitian yang menyarankan pemberian Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) pada ED yang menurut penelitian dapat memberikan hasil yang cukup signifikan,
OAT yang dipilih adalah Rifampisin dan Isoniazid selama 9 bulan.
Fotokoagulasi merupakan terapi pilihan utama untuk mengatasi Eales’ disease
stadium proliferatif, tekniki fotokoagulasi yang dilakukan adalah “segmental scatter
photocoagulation”. Dilaporkan bahwa hasil dari fotokoagulasi cukup memuaskan diaman
terjadi penurunan kadar VEGF pada vitreus.
Bila stadium penyakit sudah mencapai stadium komplikasi dan terjadi ablasio retina, maka
sudah merupakan indikasi dari pembedahan. Pada pembedahan bila sudah terjadi ablasio retina
dilakukan dengan cara :
1. Scleral buckling :
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa terutama
tanpa disertai komplikasi lainnya. Prosedur meliputi lokalisasi posisi robekan retina,
menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan scleral buckle (sabuk). Sabuk
ini biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon padat. Ukuran dan bentuk sabuk yang
digunakan tergantung posisi lokasi dan jumlah robekan retina. Pertama – tama dilakukan
cryoprobe atau laser untuk memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen
retina. Sabuk dijahit mengelilingi sklera sehingga terjadi tekanan pada robekan retina
sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan
cairan subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari. 2,3,
15
Keuntungan dari tehnik ini adalah menggunakan peralatan dasar, waktu rehabilitasi
pendek,resiko iatrogenic yang menyebabkan kekeruhan lensa rendah, mencegah
komplikasi intraocular seperti perdarahan dan inflamasi.
Gambar 9.
Spons silikon dijahit pada bola mata untuk menekan sklera di atas robekan retina setelah drainase
cairan sub retina dan dilakukan crioterapi .
Gambar 10.
Penekanan yang didapatkan dari spons silikon, retina sekarang melekat kembali dan traksi pada
robekan retina oleh vitreus dihilangkan .
2. Retinopeksi pneumatic :
Retinopeksi pneumatik merupakan metode yang juga sering digunakan pada ablasio
retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada bagian superior retina.
16
Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas ke dalam
rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina dan mencegah pasase cairan
lebih lanjut melalui robekan. Jika robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan
subretinal biasanya akan hilang dalam 1-2 hari. Robekan retina dapat juga dilekatkan dengan
kriopeksi atau laser sebelum gelembung disuntikkan. Pasien harus mempertahankan posisi
kepala tertentu selama beberapa hari untuk meyakinkan gelembung terus menutupi robekan
retina.3,6
Gambar 11.
Setelah pengangkatan gel vitreus pada drainase cairan sub retina, gas fluorokarbon inert
disuntikan ke dalam rongga vitreus .
3.Pars Plana Vitrektomy :
Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat diabetes, dan juga
pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau perdarahan vitreus. Cara
pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil pada dinding bola mata kemudian
memasukkan instruyen ingá cavum vitreous melalui pars plana. Setelah itu dilakukan vitrektomi
dengan vitreus cutre untuk menghilangkan berkas badan kaca (viteuos stands), membran, dan
perleketan – perleketan. Teknik dan instruyen yang digunakan tergantung tipe dan penyebab
ablasio. Lebih dari 90% lepasnya retina dapat direkatkan kembali dengan teknik-teknik bedah
mata modern, meskipun kadang- kadang diperlukan lebih dari satu kali operasi.3,6
17
Keuntungan PPV:
1. Dapat menentukan lokasi defek secara tepat
2. Dapat mengeliminasi media yang mengalami kekeruhan karena teknik ini dapat
dikombinasikan dengan ekstraksi katarak.
3. Dapat langsung menghilangkan penarikan dari vitreous.
Kerugian PPV:
1. Membutuhkan tim yang berpengalaman dan peralatan yang mahal.
2. Dapat menyebabkan katarak.
3. Kemungkinan diperlukan operasi kedua untuk mengeluarkan silicon oil
4. Perlu follow up segera (terjadinya reaksi fibrin pada kamera okuli anterior yang
dapat meningkatkan tekanan intraokuler.
Gambar 12. Vitrektomi
2.3.8. Prognosis
Prognosis dari penyakit ini berdasarkan pada derajat atau stadium dari penyakit ini
Biasanya prognosis baik bila stadium inflamasi dapat diatasi dengan baik dan pendarahan
vitreus dapat dihentikan. Belum ada mortalitas yang dilaporkan karena penyakit ini. Tetapi
morbiditasnya cukup tinggi dikarenakan terlambat diagnosis dan tajam penglihatan tidak
kunjung membaik
18
BAB III
KESIMPULAN
Eales’ disease adalah suatu penyakit inflamasi yang menyerang pembuluh darah vena
bagian perifer dari retina. Trias yang terjadi pada Eales’ disease adalah terjadinya vaskulitis ,
neovaskularisasi , dan oklusi pembuluh darah. Eales’ disease biasanya menyerang pasien dewasa
muda dan umumnya pria lebih banyak terkena daripada wanita. Eales’ disease biasanya
dihubungkan dengan hipersensitifitas terhadap tuberkuloprotein.
Gejala pertama yang biasanya timbul pada Eales’ disease adalah penurunan tajam
penglihatan secara mendadak dan tanpa rasa sakit. Manifestasi klinis yang paling sering muncul
pada Eales’ disease adalah pendarahan vitreus.
Penatalaksanaan utama pada eales adalah pemberian kortikosteroid pada stadium
inflamasi , fotokoagulasi pada stadium proliferasi , dan bedah vitroretina bila sudah terjadi
komplikasi berupa ablasio retina.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2010. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta. p.1-10, 183-6
2. DR.Dr.Widya Artini, SpM, Pemeriksaan Dasar Mata, Edisi pertama, Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2011.
3. Bruce James, Chris Chew,Anthony Bron, Lecture Notes On Oftalmology , edisi
kesembilan ,Blackwell Science Ltd :Penerbit Erlangga
4. Ilyas, Sidarta. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata ,edisi keempat. 2009.. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. p.107-10.
5. Available at: . www.joii-journal.com/content/3/1/116. Available at: www.medscape.com/ealesdisease
20