e book regional

299
10019

Upload: mirza-ayunda-pratiwi-ales

Post on 05-Jul-2015

9.027 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: e Book Regional

10019

Page 2: e Book Regional

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang dengan izin-Nya buku ini telah berhasil saya tulis dan diterbitkan. Shalawat dan salam disampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW, yang telah memberikan motivasi yang kuat untuk ikut mengembangkan Ilmu Pengetahuan, dengan hadis beliau: “tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”.

Buku ini merupakan pengembangan dari sejumlah diktat kuliah yang pernah saya tulis sejak tahun 1987, setelah saya menyelesaikan studi Magister pada Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota di Institut Teknologi Bandung, dan mendapat tugas dari Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran untuk mencoba mengembangkan Mata Kuliah (MK) Ilmu Ekonomi Regional (sebagai salah satu mata kuliah pilihan) di jurusan tersebut. Buku-buku untuk rujukan mahasiswa S1 sangat terbatas, sedangkan buku-buku yang ada (seperti: Regional Economics dari HW Richardson) terlalu tinggi untuk mahasiswa S1. Buku-buku yang saya anggap dasar tersebut saya coba terjemahkan bagian-bagian yang saya anggap penting, dan mengelaborasinya agar lebih mudah dipahami mahasiswa S1 dan saya berikan sebagai diktat kuliah. Pada pembuatan kontrak belajar dengan mahasiswa, pada awal semester, saya meminjamkan buku-buku yang saya miliki untuk dicopy para mahasiswa karena tidak tersedianya di perpustakaan dan juga di toko-toko buku. Sampai dengan tahun 2000 saya membina MK ini di tiga Universitas, yaitu di Universitas Padjadjaran, Univesitas Islam Bandung, dan Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Sejak tahun 1995 saya ikut membina M.K. ini pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, dan terakhir 2004 juga di Program Magister Ekonomi Terapam (MET) Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Buku ini baik dijadikakan sebagai rujukan untuk mahasiswa S1, karena telah dielaborasi dengan berbagai contoh ilustrasi dan gambar-gambar, yang dapat membantu para mahasiswa dalam mempelajari subyek studi ini, sebagai salah satu spesialisasi ilmu ekonomi dengan pendekatandekatan spasial. Sedangkan untuk mahasiswa S2 juga baik, namun diwajibkan membaca buku-buku rujukannya yang asli, dan buku-buku lain yang baru diterbitkan dan jurnal-jurnal. Mereka juga diwajibkan menulis makalah 12 – 15 halaman untuk diseminarkan. Makalah tersebut sumbernya dapat dipilih dari studi perpustakaan, atau dari contoh-contoh kasus implenetasinya di dalam pembangunan. Buku ini juga memperlihatkan dengan jelas aspek-asper mikro dan makro ekonomi yang terkandung dalam pengajaran Ilmu Ekonomi Regional. Lahirnya Ilmu Ekonomi Perkotaan (Urban Economics), karena kebutuhan dari adanya sifat-sifat ekonomi perkotaan yang khas masih dilihat sebagai satu kesatuan obyek studi (wilayah). Idialnya ekonomi pedesaan (Rural Economics) juga kita kembangkan dengan kecepatan yang sama. Insya Allah pada suatu saat akan ditambah dengan bab-bab ekonomi pedesaan.

Saya yakin buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya akan sangat berterima kasih kepada para pembaca dan pengguna yang berkenan menyampaikan kritik dan sarannya bagi perbaikannya lebih lanjut.

Bandung, 6 Oktober 2005Penulis.

(Rusli Ghalib)

i

Page 3: e Book Regional

SAMBUTAN DEKANFAKULTAS EKONOMU UNIVERSITAS PADJADJARAN

Syukur Alhamdulillah, satu lagi buku yang merupakan karya tulis ilmiah dosen di lingkungan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran. Kali ini di bidang strudi Pembangunan spesialis Ekonomi Regional dan Perkotaan.

Saya sangat mengharapkan kiranya para dosen dapat memberikan perhatian yang seimbang terhadap tugas-tugas kita sebagai pengajar perguruan tinggi, yang meliputi aspek-aspek pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Karena dengan pelaksanaan tugas-tugas tersebut secara seimbang akan memberikan dampak ganda bagi kita, yaitu dampak kepada peningkatan mutu pengajaran sebagai tugas pokok/meningkatkan mutu lulusan, kedua yaitu: dampak kepada universitas sebagai wahana pelaksanaan misi mempercepat peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Salah satu indikator awal berkembangnya mutu pengajaran adalah meningkatnya penerbitan buku-buku yang ditulis dosen-dosen kita sebagai hasil studi perpustakaan, peningkatan jenjang studi, hasil penelitian, dan hasil pengabdian pada masyarakat. Dengan dapat diterbitkannya berbagai buku ajar juga berarti kita telah dapat membantu perguruan-perguruan tinggi lain yang masih perlu kita bantu, dimana buku tersebut berfungsi sebai sumber informasi perkembangan ilmu yang tidak pernah berhenti, tanpa kita selalu harus hadir sendiri secara fisik.

Kita sadari, banyak permasalahan yang membatasi para dosen kita untuk melaksanakan himbauan yang seperti ini. Oleh karena itu pula Fakultas Ekonomi khususnya, dan Universitas Padjadjaran umumnya, dalam upaya meningkatkan “Academic Atmosphere” melalui penerbitan buku ajar di kalangan dosen ini, tidak hanya menghimbau tepapi secara konkrit diupayakan melalui kebijakan insentif seta fasilitas untuk menulis dan menerbitkan buku.

Demikian, kiranya ajakan yang telah lama saya sampaikan ini menjadi lebih wujud. Akhirnya saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada sdr. Dr. H. Rusli Ghalib, SE., MSP. Dan saya harapkan terus memperki dan menyempurnakan buku ini dengan edisi berikutnya, dan terus menulis dengan judul-judul baru bagi pengembangan ilmu ekonomi.

Bandung, 10 Oktober 2005Dekan,

Prof. Dr. Hj. Sutyastie Soemitro Remi, M.S.

ii

Page 4: e Book Regional

DAFTAR ISI

PENGANTAR iSAMBUTAN DEKAN iiDAFTAR ISI iiiDAFTAR GAMBAR viiDAFTAR TABEL ixDAFTAR TABEL ixPENDAHULUAN 1

1.1. Aspek Sektoral 21.2. Aspek Regional 21.3 Perencanaan Pembangunan Ekonomi Regional 31.4 Perwilayahan (Regionalisasi) Pembangunan 41.5 Tujuan Pembangunan Regional di Indonesia 51.6 Masalah-masalah Perwilayahan (Regionalisasi) di Indonesia 51.7. Keserasian Pembangunan antar Daerah 61.8. Penggunaan Teori Ekonomi Mikro dan Makro 7

TEORI LOKASI PASAR (HARGA) SPASIAL 92.1 Teori Harga Spasial ( Spatial Price Theory) 9

2.1.1. Keseimbangan Harga Lokal dan Harga Spasial 92.1.2 Kasus 2 Wilayah 102.1.3 Kasus Wilayah Lebih Dari Dua 122.1.4 Kasus Tiga Wilayah 122.1.5 Kasus n- Wilayah 13

2.2. Pola-pola Sebaran Spasial Secara Umum 142.2.1. Pembeli Dengan Kurva Permintaan Sama Elastisitas Permintaannya Sama 152.2.2. Permintaan Pembeli Jauh Lebih Kecil tetapi Lebih Elastis. 162.2.3. Batas-batas Monopoly Spasial 172.2.4. Pengaturan Pasar Oleh Sebuah Industri 182.2.5.Dua Penjual di Lokasi-lokasi Yang Berbeda dan Dikitari Banyak Pembeli (Hukum Luas Areal Pasar). 192.2.6. Penjual Banyak Terkonsentrasi Sedangkan Pembeli Juga Banyak Tersebar.

242.2.7. Pembeli Banyak Terkonsentrasi Sedangkan Penjual Juga Banyak tetapi Tersebar 252.2.8. Para Penjual dan Para Pembeli Sama-sama Tersebar tetapi Mempunyai Sebuah Pusat Pasar Bersama (Kasus Pasar Transito ) 272.2.9. Pembeli Maupun Penjual Tersebar (Persaingan Monopolistik/Oligopoli Spasial) 292.2.10. Alternatif Sistem Harga Spasial 312.2.11. Keragaman-keragaman Harga Spasial : A Testable Model. 33

TEORI LOKASI INDUSTRI 353.1. Pendahuluan 353.2. Prinsip Lokasi Median 353.3. Persaingan Sepanjang Satu Garis Lurus 373.4. Industri Dengan Satu Pasar dan Satu Bahan Baku 383.5. Struktur Biaya Transpor (Transport Cost Structure) 393.6. Lokasi Industri Titik-Titik Ujung (End Points Location) 40

iii

Page 5: e Book Regional

3.7. Keunggulan Lokasi Transhitment 413.8. Lokasi Industri Kasus Satu Pasar dan Banyak Bahan Baku 423.9. Lokasi Industri dengan Pasar Banyak dan Bahan Baku Banyak 443.10. Peranan Biaya Produksi Error! Bookmark not defined.

EKONOMI PERKOTAAN 484.1. Pendahuluan 484.2. Sifat-sifat Wilayah Perkotaan 494.3. Proses Tumbuh dan Berkembangnya Sebuah Kota 494.4. Perkembangan Ekonomi Perkotaan 504.5. Aktivitas Masyarakat Kota Yang Multi Aspek 514.6. Berkembangnya Sebuah Kota 524.7. Masalah Kota di Indonesia 534.8. Perencanaan Penduduk Kota 544.9. Pertumbuhan dan Perencanaan Penduduk Kota di Indonesia 554.10. Aglomerasi 574.11. Program Anti Konsentrasi dan Pengendalian Pertumbuhan Kota 574.12. Beberapa Model Observasi Lokasi Pemukiman Kota 58

4.12.1. Model Hawley 594.12.2. Model William Alonso 594.12.3. Model Becman 604.12.4. Model Wendt 604.12.5. Model Harbert Stevens (model Linear Programming) 604.12.6. Model Lowrey 614.12.7. Model Artle 61

4.13. Keterkaitan Wilayah 624.14. Pembangunan Wilayah di Negara-Negara ASEAN 64

STRUKTUR TATA RUANG KOTA 665.1. Pendahuluan 665.2. Minimalisasi Biaya Ruang 665.3 Lingkungan Kota 685.4 Perilaku Konsumen Secara Spatial dan Lokasi Perdagangan Eceran 695.3. Model Banneal Ide 715.4. Perkiraan Dampak Transportasi Pada Penggunaan Lahan 72

5.4.1. Introduction and Overview (Oleh Paul F. Wendt) 725.4.2. Teori Pertumbuhan Kota 735.4.3. Model-model Land Use 74

5.5. Beberapa Observasi Pada Model-Model Struktur Tata Ruang Kota 765.6. Model Operasional 775.7. Keseimbangan Lokal Sebuah Perushaan Yang Beroperasi Di Kota N 805.8. Pemanfaatan Lahan 82

5.8.1.Persaingan dalam Pemanfaatan Lahan 835.8.2. Permintaan terhadap Lahan 835.8.3. Teori Lokasi dan Pertumbuhan Kota 85

KERANGKA WILAYAH 866.1. Wilayah Sebagai Sebuah Konsep 86

6.1.1 Wilayah Homogen 866.1.2 Wilayah Modal (Wilayah Polarisasi) 876.1.3 Wilayah Perencanaan (Planning Region) 88

iv

Page 6: e Book Regional

6.2. Akuntansi Wilayah (Regional Account) 906.2.1. Pendahuluan 906.2.2 Perhitungan Hasil Produksi dan Pendapatan Regional 926.2.3 Perhitungan Input-Output Wilayah 95

ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI WILAYAH 1007.1. Pendahuluan 1007.2. Analisis Indeks Konsentrasi 100

7.2.1. Angka Pengganda Tenaga Kerja 1017.2.2. Analisis Location Quotient (LQ) 1027.2.3. Analisis Concentration Indeks (CI) 1037.2.4. Spesialisasi Indeks (SI) 1047.2.5. Location Indeks (LI) 105

7.3 Analisis Shift and Share 105TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL 108

8.1 Pendahuluan 1088.2 Perpektif Neo Klasik 111

8.2.1 Hubungan Model Satu-Sektor dengan Model Dua-Sektor 1158.2.2. Akuntansi Pertumbuhan Wilayah dan Analisis Fungsi Produksi 1188.2.3. Teknologi dan Pertumbuhan Endogenous Wilayah 120

8.3 Pandangan Keynesian Tentang Pertumbuhan Wilayah 1248.3.1 Pendekatan Neraca Pembayaran Untuk Pertumbuhan 1258.3.2 Hukum Verdoorn dan Pertumbuhan Kumulatif 129

8.4 Fungsi Cobb-Douglas dan Akuntansi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah 133KEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH 138

9.1. Konsep Wilayah 1389.2. Kebijakan Pembangunan Wilayah (Daerah) 139

9.2.1 Perdebatan Kebijakan Perindustrian Nasional - Tindakan Khusus. 1409.2.2 Kebijakan Moneter dan Pajak. 1409.2.3 Kebijakan Sosial dan Kesejahteraan 1419.2.4 Pekerjaan dan Kebijakan Pelatihan. 1429.2.5 Kebijakan Perdagangan 1429.2.6 Kebijakan Pembangunan Regional/Lokal 1439.2.7 Kebijakan Nasional dan Pembangunan Ekonomi Regional 1449.2.8 Tantangan-tantangan Baru dan Kesempatan untuk Lokal 1459.2.9 Jenis-jenis Kumunitas dan Kesesempatan2 Pembangunan Ekonomi Lokal. 145

ANALISIS KEBIJAKAN EKONOMI 147PERKOTAAN DAN REGIONAL 147

10.1 Pendahuluan 14710.2 Kebijakan Perkotaan 149

10.2.1 Kebijakan-kebijakan Zoning Perkotaan 14910.2.2 Kebijakan Regenerasi Kota 15310.2.3 Pengelompokan (Centrification) 15810.2.4 Jalur Hijau (Greenbelts) 159

10.3 Kebijakan Regional 16110.3.2 Efek-efek Kesejahteraan dari Kebijakan Regional 16510.3.3 Efek-efek Ekonomi Makro dari Kebijakan Regional. 167

10.4 Kesimpulan 171KEUANGAN DAERAH DAN PERENCANAAN 173

v

Page 7: e Book Regional

PEMBANGUNAN DAERAH DI INDONESIA 17311.1. Pendahuluan 17311.2. Keuangan Daerah 173

11.2.1 Pendapatan Daerah 17411.2.2 DAU dan DAK 17511.2.3 Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah 175

11.3 Belanja Daerah 17611.3.1 Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 17611.3.2 Pinjaman Daerah 176

11.4 Surplus dan Defisit APBD 17711.5 Pemberian Insentif dan Kemudahan Iinvestasi 17711.6 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) 17811.7 Pengelolaan Barang Daerah 17811.8 APBD Dasar Pengelolaan Keuangan Daerah 178

11.8.1 Perubahan APBD 17811.8.2 Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 17911.8.3 Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daearah Tentang APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD.

17911.9 Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah 18011.10. Tidak Seluruh Pembiayaan Infrastruktur dan Pelayanan Harus Dibiayai Pemerintah Daerah 18110.11 Sumber Pembiayaan Sektor Swasta 182

DAFTAR PUSTAKA 185

vi

Page 8: e Book Regional

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1: Skema Analisis Ekonomi 1Gambar 1.2 : Mobilitas Faktor-Faktor Ekonomi Dua Wilayah 3Gambar 1.3 Kedudukan Ekonomi Regional di dalam Teori Ekonomi 8Gambar 2.1 Keseimbangan Harga Lokal 10Gambar 2.2: Interaksi Ekonomi Kasus Dua Wilayah (R1 dan R2) 10Gambar 2.3 Fungsi Biaya Transpor Non Linier Tanpa Biaya 11Gambar 2.4 : Diagram Keseimbangan Harga Spasial Kasus Dua Wilayah 12Gambar 2.5 Monopoli Spasial Kasus Dua Pasar 17Gambar 2.6 Pengendalian Pasar Spasial Oleh Monopolis 18Gambar 2.7: Pengaturan Pasar Dengan Cara Membagi Pasar Per Perusahaan 18Gambar 2.8: Dua Penjual di Dua Wilayah Yang Bertetangga 1Gambar 2.9 Batas Wilayah Jika Px = Py dan Txz = Tyz 21Gambar 2.10: Batas Wilayah (Pasar) Jika Px < Py dan Txz = Tyz 22Gambar 2.11: Batas Wilayah (Pasar) Jika Px = Py dan Txz < Pyz 23Gambar 2.12: Kasus Demanders Tersebar dan Suppliers Terkonsentrasi 24Gambar 2.13 Monopoli Spasial 25Gambar 2.14 Kasus Supplier Tersebar dan Demander Terkonsentrasi 26Gambar 2.15 Perbaikan Transportasi Menguntungkan Produsen Jauh 26Gambar 2.16 Demanders dan Supplier Tersebar Kasus Pasar Transito 27Gambar 2.17 Persaingan Pasar Lokal dan Pasar Transito 28Gambar 2.18 Demand dan Supply Pasar di Pasar Lokal dan Pasar Transito 28Gambar 2.19: Luas Are Pasar Masing-masing Perusahaan Berbentuk Segi Enam

( Losch ) 29Gambar 2.20 Persaingan Duopoli Secara Spasial 31Gambar 3.1: Sebaran Pelanggan Sepanjang Sebuah Garis 36Gambar 3.2: Proses Persaingan Sepanjang Garis Lurus 37Gambar 3.3 Biaya Transpor Industri Dengan Satu Bahan Baku dan Satu Pasar 38Gambar 3.4 Struktur Biaya Transpor Dengan dan Tanpa Biaya Terminal 39Gambar 3.5 Struktur Biaya Transpor Berdasarkan Jarak Angkut dan Pilihan Moda 40Gambar 3.6 Lokasi Industri Titik-titik Ujung 40Gambar 3.7: Keunggulan Lokasi Transhipment 41Gambar 3.8 Peta Isotims dan Isodapanes Penentuan Lokasi Optimal Error! Bookmark

not defined.Gambar 3.9: Peta Isotims Biaya Distribusi yang Dikombinasikan Error! Bookmark not

defined.Gambar 3.10: Isotims biaya perakitan yang dikombinasikan 45Gambar 3.11 Peta Isodapanes (Penjumlahan Isotims Biaya Distribusi dan Perakitan) 45Gambar 4.1 Prose Aglomerasi Menurut John Friedman 57Gamabar 5.1 Lokasi Optimal Perusahaan dalam Tata Ruang Kota 82Gambar 5.2 Struktur Biaya-biaya TC, AC dan MC 83Gambar 5.3 Hubungan antara Penerimaan dan Biaya dan Laba 84Gambar 5.4 Kemiringan Kurva Sewa Lahan 84Gambar 5.5 Kurva Sewa Bergelombang Pengaruh Pusat Yang Terstruktur 84Gambar 5.6 Kurva Sewa Gelombang Nail Pada Lokasi-lokasi Pusat kegiatan 85Gambar 8.1: Edgeworth-Bowley Box Antar Wilayah Model Satu-Sektor 112

vii

Page 9: e Book Regional

Gambar 8-2: Batas Kemungkinan Produksi Antar Wilayah Untuk Model Satu Sektor112

Gambar 8.3: Edgeworth-Bowley Box Antar Wilayah Untuk Model Dua Sektor 113Gambar 8.4: Penyesuaian di Pasar Output pada Perluasan Wilayah 114Gambar 8.5: Penyesuaian Pasar Output Wilayah yang Berkontraksi 114Gambar 8.6: PPFC Antar Wilayah Dua Sektor 115Gambar 8.7: Kotak Edgeworth-Bowley Antar Wilayah dari Dua-Sektor ke Satu-Sektor

116Gambar 8.8: PPF dari Model Dua-Sektor Disesuaikan kepada Model Satu-Sektor 117Gambar 8.9: Penyebaran Teknologi Sepanjang Waktu 120Gambar 8.10: Tingkat Investasi Wilayah 127Gambar 8.11 Ekpor Wilayah dan Investasi 128Gambar 8.12: Pertumbuhan Mantap (Steady-State) Wilayah 130Gambar 8.13: Pertumbuhan Kumulatif Wilayah 131Gambar 8.14 Pertumbuhan Regional Kumulatif 133Gambar 10.1 Tingkat Kemiringan Sewa Lahan Industri Kota Berdasarkan Kondisi Pasar

Lahan Persaingan 151Gambar 10.2: Kemiringan Kurva Sewa Lahan Industri Perkotaan Berdasarkan Sebuah

Kebijakan Zoning. 152Gambar 10.3: Lahan tempat Tinggal (Lokasi Perumahan) Kota 155Gambar 10.4 Tata-guna Lahan Perumahan Sebagai Akibat Skema Peremajaan Pusat

Kota. 156Gambar 10.5: Efek Kesejahteraan dari Skema Peremajaan Kota. 157Gambar 10.6: Penggabungan antar kota (Inter Urban Merging) 159Gambar 10.7 Efek-efek Harga Lahan dari sebuah Kebijakan Jalur Hijau. 160Gambar 10.8: Pengaruh-pengaruh Lingkungan Lokal dari Kebijakan Jalur Hijau

(Greenbelt Policy) 162Gambar 10.9: Efek-efek Efisiensi Kesejahteraan dari Infrastruktur Regional 166Gambar 10.10 Efek-efek Ekonomi Makro Kebijakan Regional 168

viii

Page 10: e Book Regional

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1: Contoh Matrik Hubungan Proyek-Proyek Sektoral dan Daerah......................6Tabel 3.1: Perhitungan Lokasi Median...........................................................................36Tabel 3.2: Standar Biaya Asembly dan Distribusi Industri Peti Baja.............................42Tabel 3.3: Standarisasi Biaya Bahan Baku......................Error! Bookmark not defined.Tabel 6.1 Tabel Perhitungan Produksi dan Pendapatan Wilayah Richard Stone............93Tabel 6.2: Perhitungan Input-Output Inter-Regional (dua wilayah, tiga

komoditas/sektor)....................................................................................................96Tabel 8.1: Kontribusi Unsur-unsur Pertumbuhan PDB kill AS, 1948 –1997...............137Tabel 9.1. Skema Pengelompokan Kebijakan...............................................................144Tabel 9.2. Ikhtiar Pembangunan oleh Jenis Komuniti..................................................145

ix

Page 11: e Book Regional

BAB IPENDAHULUAN

Perekonomian nasional suatu negara senantiasa memerlukan analisis. Analisis tersebut diperlukan untuk dapat melihat kondisi ekonomi maupun perkembangannya dari waktu ke waktu. Pengetahuan tentang kondisi ekonomi dan perkembangannya tersebut diperlukan untuk mendukung suatu kebijakan, atau untuk melihat hasil-hasil dari suatu kebijakan, atau untuk memperbaiki suatu kebijakan (evaluasi bagi suatu kebijakan). Analisis juga diperlukan untuk tujuan-tujuan pendidikan, misalnya untuk membuktikan hipotesis-hipotesis.

Suatu analisis dilakukan dengan memanfatkan model-model (teori-teori), yang lazim digunakan, yang telah terbukti akurat didalam membuat prediksi-prediksi. Ilmu ekonomi memang penuh dengan model-model dan contoh-contoh ilustratif. Dengan didukung oleh data empiris dapat dibuat kesimpulan-kesimpulan menyangkut suatu masalah, dan dapat prediksi-prediksinya.

Suatu perekonomian secara umum dapat dianalisis pada dua aspek, yaitu analisis aspek sektoral dan analisis aspek regonal. Kajian tersebut dapat dilakukan untuk tingkat ekonomi nasional, maupun untuk tingkat ekonomi daerah (lokal). Untuk tingkat ekonomi nasional aspek regional yang akan dilihat adalah ekonomi pada tingkat-tingkat subnasional. Model analisisnya bisa sektoral lagi atau bukan sektoral. Sedangkan untuk ekonomi regional/daerah maka ekonomi daerah yang akan dilihat adalah ekonomi subregional, dan pendekatan analisisnya pun bisa aspek sektoral atau aspek regional. Semua itu sangat tergantung kepada tujuan/kepentingan dari suatu kajian. Model-model analisis regional yang lazim dilakukan antara lain: model analisis sektoral untuk tingkat regional, atau subreginal; model analisis Input Output Regional (I-O Analysis); model analisis arus barang, jasa dan manusia (Flows Analysis), dan model analisis infrastruktur wilayah (Regional Infastructure Analiysis).

Pilihan model analisis akan tergantung kepada tujuan studi. Secara skematis diperlihatkan pada gambar 1.1. Demikian pula model-model analisis aspek regional meliputi berbagai pendekatan, seperti pendekatan sektoral sendiri, pendekatan input-output, pendekatan arus barang, jasa, manusia dan kendaraan, dan sebagainya.

Gambar 1.1: Skema Analisis Ekonomi

ANALISIS ASPEK SEKTORAL

ANALISIS EKONOMI NASIOAL

ANALISIS ASPEK REGIONAL

ANALISIS ASPEK SEKTORAL ANALISIS ASPEK REGIONAL

1

Page 12: e Book Regional

1.1. Aspek Sektoral

Analisis aspek sektoral, baik perekonomian tingkat nasional, tingkat regional (sub nasional), maupun tingkat subregional perekonomian dilihat berdasarkan sektor-sektor kegiatan ekonomi atau lapangan usaha penduduk. Selama periode Raelita I s/d Relita V Indonesia membagi perekonomiannya ke dalam 11 sektor, yaitu : (1) Sektor Pertanian, (2) Sektor Pertambangan, (3) Sektor Perindustrian, (4) Sektor Listrik, Gas dan Air Minum, (5) Sektor Bangunan atau Konstruksi, (6) Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7) Sektor Perangkutan dan Komunikasi, (8) Sektor Bank dan Lembaga Meuangan Lainnya, (9) Sektor Sewa Rumah, (10) Sektor Pemerintahan dan Pertahanan Keamanan, dan (11) Sektor Jasa. Namun, sejak pelita VI jumlah sektor diciutkan menjadi sembilan sektor, dimana sektor 8 dan 9 disatukan menjadi sektor 8 yang diberi nama sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, dan sektor 10 dan 11 disatukan menjadi sektor 9 yang diberi nama sektor Jasa-jasa. Sehingga nama-nama kesembilan sektor tersebut menjadi: (1) Sektor Pertanian, (2) Sektor Pertambangan, (3) Sektor Industri (baca Sektor Industri Pengolahan), (4) Sektor Listrik, Gas dan Air Minum, (5) Sektor Bangunan dan Konstruksi, (6) Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, (7) Sektor Angkutan dan Komunikasi, (8) Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, dan (9) Sektor Jasa-jasa. Mungkin ada sektor-sektor yang dipecah lagi menjadi subsektor-subsektor. Misalnya, Sektor Pertanian dipecah meliputi subsektor-subsektor: Tanaman Bahan Makanan, Tanaman Perdagangan Rakyat, Tanaman Perkebunan, Peternakan dan Hasil-hasilnya, Hasil Hutan, dan Hasil Perikanan .

Jika dilihat berdasarkan judul subsektor, maka seluruhnya menjadi 26 subsektor. Selanjutnya jika dilihat dari sektor komoditi maka jumlahnya ada 75 sektor komoditi. Pembagian ini penting diketahui, karena jika kita ingin membuat analisis Input-Output (I-O), kita akan mengenal analisis-analisis I-O 9 sektor, 26 sektor, dan 75 sektor. Dasar pemilahannya adalah bersumber dari pembahagian ini.

Berdasarkan sektor-sektor dan subsektor-subsektor tersebut suatu perekonomian, baik pada tingkat nasional, provinsi maupun pada tingkat daerah tingkat II (Kabupaten/kota) dapat dilihat kondisinya, dapat dilihat perkembangannya, dapat direncanakan pertumbuhannya, dapat pula direncanakan tingkat keseimbangan pertumbuhan antar sektor atau subsektornya, dan dapat direncanakan perbaikan dalam aspek distribusi (Equity) diantara sektor-sektor, dan/atau golongan-golongan masyarakat berdasarkan komposisi partisipasinya.

1.2. Aspek Regional

Dalam aspek regional ini perekonomian nasional dilihat berdasarkan wilayah-wilayah perekonomian (Regions of Economy). Namun, wilayah-wilayah perekonomian tersebut mungkin sama, dan mungkin juga tidak sama dengan wilayah-wilayah administrasi pemerintah daerah, mungkin merupakan kesatuan dua wilayah administrasi pemerintah daerah atau lebih, atau mungkin juga sebuah wilayah administrasi pemerintahan daerah dipecah masuk ke dalam wilayah ekonomi yang berbeda. Hal ini tidak menjadi masalah, karena konsep perwilahan (regionalisasi) sifatnya abstrak.

Regionalisasi juga bisa berbeda-beda pendekatannya, yang tergantung kepada system negara. Misalnya, regionalisasi untuk negara-negara federasi seperti AS, India, Malaysia, daerah berarti negara bagian. Sedangkan untuk negara-negara yang menganut sistem kesatuan, yang terbagi kepada provinsi-provinsi hingga distrik-distrik (seperti:

2

Page 13: e Book Regional

Inggeris, Cina, dan Indonesia), maka regionalisiasi bisa menjadi dua pendekatan, yaitu berdasarkan administrasi pemerintahan di daerah, atau tidak berdasarkan administrasi pemerintahan di daerah, antara lain dengan menggunakan pendekatan campuran dari sistem wilayah homogen dan wilayah nodal sebagai dasar perwilayahan perencanaan.

Menurut Richardson (1969) ada dua pola perwilayahan (regionalisasi), yaitu:(1) Wilayah sebagai lokasi-lokasi kegiatan ekonomi. Berdasarkan pola ini, wilayah merupakan lokasi-lokasi sumber daya ekonomi dan tempat penduduk berdomisili. Berdasarkan pola ini ekonomi wilayah dikembangkan sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki wilayah masing-masing, dengan memanfaatkan kota-kota secara berjenjang sebagai pusat-pusat pengembangan wilayah-wilayah sekitarnya (Hinterland). Pola ini diajarkan oleh teori pusat-pusat pertumbuhan (Growth Pole Theory). (2) Wilayah sebagai unit-unit ekonomi nasional, penyusun-penyusun ekonomi nasional yang otonom. Pola ini diajarkan oleh teori agropolitan, yang merupakan pengembangan teori ekonomi Marxis (Neo Marxis Theory).

1.3 Perencanaan Pembangunan Ekonomi Regional Relatif Lebih Sulit

Perencanaan pembangunan ekonomi regional jauh lebih sulit dibandingkan dengan perencanaan pembangunan ekonomi nasional. Hal itu disebabkan oleh batas-batas daerah yang lebih terbuka dibandingkan batas-batas nasional. Karena batas-batas daerah yang relatif terbuka tersebut, maka aliran factor-faktor produksi antar daerah lebih leluasa dibandingkan dengan antar negara. Daerah memiliki dasar hukum yang lemah dalam melakukan pengawasan terhadap arus keluar masuknya factor-faktor produksi atau hasil-hasil produksi. Tenaga kerja akan mengalir dari wilayah yang memiliki tingkat upah yang lebih rendah ke wilayah yang memiliki tingkat upah yang lebih tinggi. Begitu pula modal, akan mengalir dari daerah yang memiliki tingkat bunga rendah ke wilayah yang memiliki tingkat bunga yang tinggi.

Gambar 1.2 : Mobilitas Faktor-Faktor Ekonomi Dua Wilayah

Keterangan: RA = wilayah A; RB = wilayah B; wA = tingkat upah di wilayah A; wB = tingkat upah di wilayah B; rA = tingkat bunga modal di wilayah A; rB = tingkat bunga modal di wilayah B. Jika wB > wA maka tenaga kerja (N) akan mengalir (bermigrasi) dari wilayah A ke wilayah B. Begitu pula jika rB > rA maka modal (K) akan mengalir dari wilayah A ke wilayah B. Upah dan bunga sebagai balas jasa input

RA

wA

rA

RB

wB

rB

N

K

3

Page 14: e Book Regional

produksi tergantung pada penerimaan marginal (MRL; MRK) dari input tersebut masing-masing di wilayah A dan di wilayah B. Dalam kondisi yang seperti itu wilayah A akan sulit membuat perencanaan ekonominya.

1.4 Regionalisasi Pembangunan

Regionalisasi (Perwilayahan) pembangunan merupakan bahagian dari proses perencanaan pembangunan, sebagai usaha membagi wilayah nasianal menjadi wilayah-wilayah regional (subwilayah-subwilayah nasional), atau wilayah regional menjadi wilayah-wilayah subregional. Hasil penataan perwilayahan tersebut dinamakan wilayah perencanaan. Prinsip perwilayahan tidak sekedar membagi habis wilayah nasional menjadi sub-subwilayah nasional dan selanjutnya menjadi sub-subwilayah regional. Yang menjadi urgensinya adalah, pertama bagaimana ekonomi sub-subwilayah regional terintegrasi dengan baik ke dalam ekonomi regional, dan ekonomi-ekonomi regional terintegrasi dengan baik ke dalam ekonomi nasional, dan wilayah perencanaan itu efektif (unsur-unsur subjektifitas benar-benar diletakkan di atas suatu realitas).

Perwilayahan pembangunan di Indonesia, berdasarkan pengalaman pembangunan selama periode Orde Baru (Repelita) misalnya, menghadapi masalah-masalah kesulitan tertentu. Masalah-masalah kesulitan tersebut bersumber dari warisan kolonial. Sejarah penjajahan Belanda yang panjang, yang telah memilih Pulau Jawa sebagai pusat kekuasaannya dalam menguasai pulau-pulau nusantara. Sebagai wilayah pusat kekuasaannya mereka telah membangun berbagai infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan apa yang mereka bangun di luar Pulau Jawa. Kondisi tersebut mendorong perkembangan ekonomi dan sosial yang relatif lebih baik di Pulau Jawa, yang diikuti oleh arus manusia dan modal ke Pulau Jawa. Pulau Jawa disamping lebih ideal sebagai lokasi kegiatan investasi juga karena jumlah penduduknya banyak sekaligus merupakan pasar yang lebih potensial. Dampak lebih lanjut dari kondisi tersebut, maka investasi ke luar Jawa lebih pada kegiatan-kegiatan ekonomi yang berorientasi pada sumber daya alam, dan itupun akan terbatas pada sumber daya alam yang sulit dipindahkan secara efisien. Ditambah lagi dengan dampak dari kemajuan sektor transportasi, maka kegiatan ekonomi yang lokasinya dipengaruhi oleh lokasi bahan baku semakin terbatas.

Menurut Prantilla, dalam bukunya “National Development and Regional Policy” (1981), pada tahap-tahap awal pelaksanaan Repelita di Indonesia, kegiatan pembangunan cenderung terkonsentrasi ke Jakarta dan sekitarnya. Keadaan ini tidak dikehendaki, dan tidak menguntungkan bagi pembangunan Indonesia. Keadaan tersebut terjadi oleh karena investasi swasta yang dicoba dorong melalui pembangunan oleh pemerintah cenderung memilih lokasi Pulau Jawa, utamanya ke Jakarta dan sekitarnya. Oleh karena itu pada awal Repelita II dimunculkan konsep regionalisasi, dengan pola Growth Pole. Memang, pola pembangunan regional di Indonesia tidak murni menggunakan Model Growth Pole. Pada masa pemerintahan orde baru juga melaksanakan pembangunan berdasarkan wilayah-wilayah administratif pemerintah daerah, walaupun dengan mengkombinasikan berbagai model pembangunan wilayah lainnya seperti: model pembangunan daerah aliran sungai (DAS), model pembangunan daerah tertinggal, dan model-model lainnya. Artinya, disamping model pusat-pusat pengembangan juga dikombinasikan dengan model agropolitan, yang diwakili oleh inpres-inpres (seperti: inpres Tingkat I, inpres Tingkat II, dan inpres desa). Itu semua

4

Page 15: e Book Regional

diwujudkan baik dalam bentuk proyek-proyek sektoral di masing-masing daerah maupun dalam bentuk program-program Inpres (Precident Decree Programs).

1.5 Tujuan Pembangunan Regional di Indonesia

Pembangunan regional di Indonesia khususnya selama pelaksanaan Repelita lebih dimaksudkan sebagai pembangunan daerah (Local Dedvelopment). Tujuannya, seperti yang dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu untuk: (1) memelihara keseimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah. (2) memelihara keseimbangan ekonomi antar wilayah dan mencegah kesenjangan antar daerah. (3) meningkatkan prakarsa daerah dan peran serta masyarakat dalam pembangunan. (4) memelihara keserasian pembangunan antara pusat-pusat kegiatan pembangunan di wilayah-wilayah perkotaan dan di wilayah-wilayah sekitarnya.

Menurut Prantilla, konsep perwilayahan di Indonesia pada masa Repelita yang semula terdiri dari empat wilayah pembangunan utama (WPU) pada Repelita II (Medan dan sekitarnya, Jakarta dan sekitarnya, Surabaya dan sekitarnya dan Ujung Pandang dan sekitarnya), belumlah dibangun di atas dasar-dasar yang secara teoritis kuat (Spesific). Tetapi dengan adanya konsep perwilayahan pembangunan tersebut, sedikit banyak telah mendorong penyebaran kegiatan pembangunan ke seluruh wilayah nasional Indonesia. Dalam Repelita III konsep perwilayah tersebut dirubah lagi menjadi 5 WPU, dimana WPU Ujung Pandang dan sekitarnya dipecah 2, yaitu WPU Ujung Pandang dan sekitarnya dan WPU Ambon dan sekitarnya (yang Hinterland-nya meliputi wilayah provinsi Maluku dan provinsi Irian Jaya). Masing-masing WPU tersebut dipecah lagi menjadi Wilayah-wilayah Pembangunan (WP-WP), dan selanjutnya WP dipecah lagi atas Subwilayah-subwilayah Pekbangunan (SWP-SWP). Sampai dengan Repelita VI konsep perwilayahan tersebut masih terjadi perubahan-perubahan pada tingkat provinsi, seperti halnya di Jawa Barat. Perlu pula diketahui, bahwa selama konsep tersebut dirancang Badan Perencanaan Pembangunan, baik pada tingkat nasional, propinsi dan daerah tingkat II masih terus terjadi perubahan-perubahan dan mencari konsep perwilayahan yang lebih efektif. Bahkan untuk berbagai instansi, seperti Perusahaan Minyak Nasional (Pertamina), dan Perusahaan Negara Pos-Giro masing-masing memiliki konsep perwilayahannya sendiri.

1.6 Masalah-masalah Regionalisasi di Indonesia

Ada empat permasalahan Regionalisasi (perwilayahan) di Indonesia, yaitu:(1) Secara teoritis wilayah harus dapat memperlihatkan spesifikasinya masing-masing, seperti adanya variasi dalam hal sumber daya ekonomi yang potensial, sehingga dapat diambil kebijakan dalam pengembangan wilayah masing-masing yang lebih spesifik. Tetapi pada umumnya wilayah di Indonesia, memiliki kesamaan di dalam potensi dan permasalahan. (2) Wilayah nasional yang relatif luas dan berbentuk kepulauan. Kalau hanya dipecah menjadi 5 WPU dan kurang lebih 80 WP, maka WPU-WPU tersebut terlalu luas. Akibatnya integrasi kesatuan-kesatuan WPU relatif lemah, lebih-lebih mengingat sarana transportasi yang masih terbatas, ditambah lagi dengan kondisi kepulauan itu sendiri. Sebagai perbandingan, Philipina yang jauh lebih kecil dari Indonesia membagi wilayah nasionalnya waktu itu atas 12 WPU dan aspek kelembagaan relatif lebih kuat.

5

Page 16: e Book Regional

(3) Power daerah pada periode Repelita berada pada posisi yang sangat lemah, baik itu power politik, power financial, maupun power intelektual. Hal itu karena sistim pemerintahan sangat sentralistis.(4) Kontradiksi perwilayahan model pusat-pusat pertumbuhan dengan latar belakang tumbuhnya daerah di Indonesia, kalau WPU tersebut meliputi wilayah propinsi apalagi kalau sempat memisahkan bagian-bagian propinsi kedalam WPU-WPU yang berbeda. Daerah-daerah di Indonesia berasal dari berbagai kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri sebelum penjajah datang. Setelah penjajah Belanda datang mereka menjajah kerajaan-kerajaan tersebut, secara yuridis administratif dalam tingkatan atau status yang berbeda-beda. Ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Ada yang sempat dijajah atau diduduki selama 350 tahun dan ada yang kurang dari 50 tahun, itulah Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka prinsip otonomi daerah dijamin oleh Undang-undang Dasar. Namun dalam implementasi kondisi otonomi daerah terus berubah-ubah.

1.7. Keserasian Pembangunan antar Daerah

Keserasian pembangunan antar daerah pada masa Repelita dikembangkan Pemerintah Pusat (melalui perencanaan terpadu oleh Bappenas) berdasarkan pertimbangan sektoral, dimana proyek-proyek sektoral didistribusikan secara seimbang diantara berbagai daerah berdasarkan matrik tertentu (Bintoro Tjokroamidjojo, 1983). Proyek-proyek dirangking, diberi bobot, dipilih sesuai dengan kebutuhan nasional ataupun daerah. Proyek-proyek investasi diusahakan untuk dapat memberikan pemerataan, dapat memberikan pengaruh penyebaran (Spreading Effect) bagi perekonomian daerah. Setiap proyek investasi memperhitungkan seberapa besar efek multiplier bagi daerah, yang memberi dampak kepada perluasan kesempatan kerja, baik langsung maupun tidak langsung, memberi dampak bagi peningkatan produktivitas serta nilai tambah bagi perekonomian daerah.

Tabel 1.1: Contoh Matrik Hubungan Proyek-Proyek Sektoral dan Daerah Yang Dibuat Bappenas pada Masa Repelita

PROYEK

DAEARAH

p1 p2 p3 pn ∑

d1 d1p1 d1p2 d1p3 d1pn D1

d2 d2p1 d2p2 d2p3 d2pn D2

d3 d3p1 d3p2 d3p3 d3pn D3

d28 D28p1 d28p2 d28p3 d28pn D28

∑ P1 P2 P3 Pn I

Sumber : Bintoro Tjokroamidjojo, Perencanaan Daerah.

Keterangan : p1 p2 p3……………………….pn = proyek-proyek pembangunan; d1 d2

d3……………………….d27 = propinsi-propinsi yang ada di wilayah nasional (=27 propinsi);

6

Page 17: e Book Regional

d28 = nasional dianggap satu daerah lagi; p1 p2 p3, ……,pn= memiliki hubungan urut-urutan (rangking) dan hubungan-hubungan fungsional; p1, p2, p3, p4, .., pn = ditentukanI = Jumlah anggaran = jumlah nilai proyek: D1 , D2 , D3 , D4 ,……, D28 ditentukan.Dengan matrik tersebut diciptakan perimbangan antar daerah. Begitu pula pada level propinsi untuk antar kabupaten dari kabupaten untuk antar kecamatan.

Sebenarnya pengertian pembangunan atau ekonomi regional tidak hanya mempermasalahkan bagaimana membagi habis wilayah geografi nasional atas wilayah-wilayah pembangunan ataupun wilayah-wilayah administrasi pemerintahan daerah dan kemudian dikembangkan sesuai dengan potensi dan prospek spesialisasinya masing-masing, tetapi juga bagaimana mengembangkan wilayah-wilayah terbelakang (Depresed Area). Contohnya: Wilayah Appalachia di A.S, Wilayah Scotlandia di Inggris, Wilayah Perancis Selatan di Perancis, dan Wilayah Italia Selatan di Italia.

Untuk mengembangkan perekonomian daerah khususnya, dan seluruh aspek kehidupan masyarakat di daerah umumnya, pembangunan prasarana/sarana transportasi memegang peranan yang amat penting. Transportasi dapat meningkatkan derajat integrasi wilayah. Sektor transportasi dan sektor Komunikasi sangat Membantu dalam meningkatkan integrasi wilayah. Dampaknya dapat meningkatkan perdagangan antar daerah, spesialisasi produksi antar daerah. Meningkatkan efisiensi dalam berproduksi, meningkatkan nilai tambah, meningkatkan pemanfaatan sumberdaya wilayah, dan meningkatkan efisiensi penggunaannya. Selanjutnya produksi dan konsumsi regional menjadi meningkat.

Bagi Indonesia pembangunan sektor transportasi penting sekali, mengingat luasnya wilayah negara, besarnya jumlah penduduk, dan wilayah yang berbentuk kepulauan. Proses pembangunan (industrialisasi) harus ditunjang oleh aktivitas dan jaringan perdagangan yang lancar dan luas. Kegiatan perdagangan yang lancar dan luas tersebut hanya mungkin terjadi jika sarana dan prasarana transportasi, dan kebijakannya mendukung. Peningkatan standar hidup penduduk hanya mungkin ditingkatkan melalui peningkatan aktivitas ekonomi/investasi. Usaha untuk meningkatkan pendapatan rata-rata penduduk perlu diikuti dengan industrialisasi dan perdagangan yang luas, kalau tidak maka negara besar tetapi ekonomi kecil. Kondisi tersebut kita alami sampai sekarang, misalanya diantara negara-negara ASEAN, dalam ukuran GNP absolut Indonesia merupakan yang terbesar, tetapi dalam ukuran perkapita adalah yang terkecil. Artinya, betul bahwa GNP Indonesia merupakan yang terbesar diantara Negara-negara ASEAN tatapi produktivitas pertenaga kerja, pendapatan perkapita, konsumsi rata-rata masyarakat, sarana/prasarana pelayanan umum, konsumsi air bersih perkapita, konsumsi tenaga listrik perkapita, adalah yang terendah.

1.8. Penggunaan Teori Ekonomi Mikro dan Makro

Dalam Ekonomi Regional digunakan kedua aspek teori, baik teori ekonomi makro maupun teori ekonomi mikro. Pada tahap perkembangan pembangunan regional di Indonesia pada periode Reformasi sekarang ini, juga sudah menyentuh masalah pemerataan pembangunan antar daerah dengan mulai mencoba memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah tingkat II. Bahkan sejak tahun anggaran 1995/1996) daerah sudah dapat mengambil pinjaman (kredit) luar negeri untuk membiayai pembangunannya (seperti yang dilakukan oleh provinsi Jawa Tengah dalam membiayai pembangunan jalan tol kota Semarang).

7

Page 18: e Book Regional

Gambar 1.3 Kedudukan Ekonomi Regional di dalam Teori Ekonomi

Ekonomi Makro- Pendapatan daerah

(PDRB)

- PDRB Perkapita

- Investasi Daerah

- Efek Multiplier di

daerah

- Konsumsi daerah

- Tabungan daerah

- Ekspor daerah

- Pajak daerah

- dan sebagainya

Ekonomi RegionalEkonomi Mikro

Teori Harga SpasialTeori Lokasi industriDan sebagainya

8

Page 19: e Book Regional

BAB IITEORI LOKASI PASAR (HARGA) SPASIAL

2.1 Teori Harga Spasial ( Spatial Price Theory)

2.1.1. Keseimbangan Harga Lokal dan Harga SpasialHarga dari suatu barang tidak harus sama di seluruh wilayah, mungkin di bagian

pasar (wilayah) yang satu berbeda dengan di bagian pasar (wilayah) yang lain. Pasar-pasar yang secara tata ruang terpisah, kurva permintaan maupun kurva penawarannya mungkin berbeda satu dengan yang lain. Oleh karena itu harga dari satu barang tertentu mungkin lebih tinggi dari yang dapat diperoleh di pasar yang lain. Perbedaan harga yang seperti itu dapat berlangsung lama, kalau di antara pasar-pasar tersebut tidak terintegrasi (tidak berlaku sistem perdagangan bebas). Artinya kalau barang-barang yang berada di pasar yang memiliki harga yang lebih rendah tidak bebas mengalir ke pasar yang memiliki harga yang lebih tinggi. Terisolasinya pasar yang satu dari pasar yang lain bisa terjadi karena: (1) adanya biaya angkutan, (2) karena adanya pembatasan perdagangan, dan (3) karena kedua-duanya (adanya biaya angkutan dan juga pembatasan perdagangan).

Jika sistem perdagangan bebas diberlakukan, maka barang akan mengalir dari wilayah yang memiliki harga lebih rendah ke wilayah yang memiliki harga lebih tinggi. Aliran barang tersebut akan berlangsung sampai harga barang tersebut hanya dibedakan oleh unit biaya transpornya (tercapainya keseimbangan harga spasial). Misalkan, suatu barang diproduksi dan dikonsumsi di semua wilayah. Selanjutnya, diasumsikan bahwa setiap wilayah memiliki hanya satu pasar yang menganut sistem persaingan sempurna. Wilayah yang satu dengan yang lain terpisah secara nyata oleh jarak tertentu. Diasumsikan pula antara wilayah yang satu dengan yang lainnya tidak ada perdagangan, membentuk keseimbangan harga internal di masing-masing daerah (keseimbangan harga lokal). Keseimbangan harga lokal yaitu keseimbangan harga yang dibentuk oleh kekuatan-kekuatan permintaan dan penawaran local di masing-masing wilayah, atau keseimbangan harga pada masing-masing pasar berdasarkan wilayah-wilayah geografi dalam satu wilayah tata ruang).

Keadaan tersebut akan berlangsung lama kalau asumsinya tidak berubah, yaitu: adanya pembatasan perdagangan secara legal, ada biaya angkutan antara satu wilayah dengan wilayah lain yang cukup tinggi (melebihi perbedaan harga lokal). Dengan demikian tidak memungkinkan barang tersebut diperoleh (didatangkan) dari wilayah yang lain, yaitu dari wilayah yang memiliki harga relative rendah.

Akan lain halnya, kalau diberlakukannya sistem perdagangan bebas dan biaya transport antar wilayah nol. Barang akan mengalir dari wilayah yang memiliki harga rendah ke wilayah yang memiliki harga lebih tinggi, dan akan membentuk keseimbangan tunggal bagi semua wilayah. yang relatif rendah karena telah dikembangkan sistem transpor nasional/regional yang efisien. Kalau sistem perdagangan bebas diberlakukan, biaya transpor antar wilayah tetap positif, keseimbangan harga spasial akan terbentuk, dengan perbedaan-perbedaan harganya mendekati besarnya biaya transpor.

9

Page 20: e Book Regional

Gambar 2.1 Keseimbangan Harga Lokal

Keterangan: R1, R2, R3, dan R4 adalah wilayah-wilayah (regions) 1, 2, 3, dan 4. A1, A2, A3, dan A4

adalah harga-harga lokal di masing-masing wilayah (harga-harga tanpa perdagangan antar wilayah yang satu dengan yang lain).

Adapun proses terbentuknya keseimbangan spasial (untuk berbagai kasus) adalah sebagai berikut:

2.1.2 Kasus 2 Wilayah

Gambar 2.2: Interaksi Ekonomi Kasus Dua Wilayah (R1 dan R2)

R1 dan R2 dipisahkan oleh suatu jarak tertentu. Misalkan : Biaya transport antara R1 - R2 = T21. Biaya transpor dari R1 ke R2 tidak perlu sama dengan kalau dari R2 ke R1. Begitu pula biaya transport tersebut tidak harus memiliki fungsi linier, memungkinkan non linier juga.

Route (trayek) transpor tidak perlu bolak-balik. Pos-pos biaya transpor tersebut meliputi, antara lain: biaya asuransi, biaya bunga modal, biaya transit (biaya bongkar

P

Q

A2

D2

S2

qd2=qs2

P

Q

A1

D1

S1

qd1=qs1

P

Q

A4

D4

S4

qd4=qs4

P

Q

A3

D3

S3

qd3=qs3

R1

R4

R2

R3

R2R1

10

Page 21: e Book Regional

muat), dan lain-lain biaya yang dapat menambah biaya angkut. Diasumsikan pula, bahwa besar kecilnya volume angkutan tidak mempengaruhi biaya transpor per unit. Misalkan: tingkat harga di R1 = A1, di R2 = A2 (dalam keseimbangan konsumsi dan produksi lokal (kurva-kurva DD dan SS lokal ). Tidak ada pembatasan perdagangan antar wilayah (antara R1 dan R2 atau sebaliknya) . Biaya transport dari R2 ke R1 = T12, dari R1 ke R2 = T21, Proses pembentukan harga spasial akhir, yaitu tercapainya harga keseimbangan pada masing-masing wilayah (pasar) Spasial, yaitu P1 untuk R1 dan P2

untuk R2 setelah berlangsungnya perdagangan.Bila: A2 - A1 > T12 maka barang mengalir dari R1 ke R2. Jika A2 > A1 tetapi

A2 - A1 < T12 , maka kondisi yang demikian tidak akan terjadi perdagangan. Jika A1 > A2 dan A1 - A2 > T21 , maka barang akan mengalir dari R2 ke R1. Jika A1 > A2, tetapi A1 – A2 < T21, maka tidak akan terjadi perdagangan. Jadi, apabila perbedaan harga ≤ biaya transport tidak akan terjadi perdagangan (tidak terjadi perpindahan supply dari wilayah yang satu ke wilayah yang lain). Wilayah yang memiliki kondisi yang seperti itu A1 = P1 pada saat A2 = P2.

Gambar 2.3 Fungsi Biaya Transpor Non Linier

Tetapi apabila margin perdagangan lebih tinggi dari biaya transport, barang-barang yang diproduksi di wilayah tertentu dan harganya lebih rendah, akan mengalir ke wilayah yang harganya lebih tinggi. Ini adalah keseimbangan harga spasial untuk kasus dua wilayah. Harga diantara dua wilayah akan dibedakan oleh unit biaya transpor untuk berlangsungnya proses perdagangan. Kondisi perbedaan harga selebihnya tidak akan bertahan lama, karena kalau barang akan mengalir dari wilayah yang satu ke wilayah yang lain.

Keseimbangan Harga Spasial. Harga keseimbangan spasial adalah P1 dan P2. Besarnya arus barang ekspor E dan import – E, atau (E12 = -E21 ) ditentukan oleh skedul-skedul permintaan dan penawaran spasial di kedua wilayah (pasar) dan biaya-biaya transpor.

BT

Jarak

BT = f (jarak)

11

Page 22: e Book Regional

Gambar 2.4 : Diagram Keseimbangan Harga Spasial Kasus Dua Wilayah

2.1.3 Kasus Wilayah Lebih Dari DuaAsumsi yang dibuat tetap sama, yaitu jenis barang satu macam, dan berlaku

sistem perdagangan bebas antar wilayah. Jadi, ketentuan untuk kasus wilayah banyak (Multi Regions) ini adalah sebagai berikut :(i) ∑ E = 0, atau import = ekspor antar wilayah.(ii) Harga di wilayah yang mengekspor ditambah dengan biaya transpor per unit dari/ke

wilayah yang bersangkutan sama dengan harga di wilayah yang mengimpor.

2.1.4 Kasus Tiga WilayahKasus tiga wilayah masih relative mudah dipecahkan, dimana dibuat asumsi

bahwa ∑E =∑- E, harga keseimbangan spasial akhir dan perbedaan harga lokal wilayah semula masing-masing wilayah dapat ditulis :

E1 = b1 (P1 – A1); E2 = b2 (P2 – A2); E3 = b3 (P3 – A3)Keterangan: b1, b2 dan b3 = konstanta-konstanta untuk wilayah-wilayah R1, R2

dan R3..A1, A2, dan A3 adalah harga-harga lokal di wilayah-wilayah R1, R2 dan di R3.T23, T31 dan T32 adalah biaya-biaya transpor dari R3 ke R2, dari R1 ke R3 dan dari R2 ke R3, yang besarnya diketahui. P1, P2, P3 adalah harga-harga keseimbangan spasial akhir yang merupakan permasalahan yang ingin diketahui. Kesulitan: A (harga lokal wilayah), T (biaya transpor). Keduanya merupakan data yang harus terlebih dulu diketahui untuk menentukan wilayah-wilayah mana yang akan mengimpor, wilayah-wilayah mana yang akan mengekspor dan wilayah-wilayah mana yang tidak membentuk perdagangan.

Penentuan sifat-sifat perdagangan masing-masing wilayah tersebut merupakan langkah pertama yang harus dilakukan, terutama sekali wilayah-wilayah netral dengan nilai A sedang. Kalau A1 < A2 < A3, maka arus barang dari R1 ke R2 dan R3 tidak terjadi

A2

Q

Q

D2S2

S2 D2

R2

E12

P = Harga Keseimbangan Spasial

Keterangan:

R1 = Wilayah Harga

Rendah

Sumbu datar kiri (QR)

dinaikkan sebesar biaya

transport dari R2 ke R1

(T12) R1 mengekspor ke R2

S1 turun, S2S2 naik

P1 > A1 dan

P2 < A2 A1 =

Harga lokal di R1

Keseimbangan tercapai

dimana E12 = E21

dan P2 = P1 + T21

T21

R1

P

A1

-E21

D1

D1

S1

S1

1

'1S

'2S

'2S

S2

P2 P1

12

Page 23: e Book Regional

ekspor ke R1. Jika P1 > A1, P3 < A3. P3 = P1 + T13, dan A2 > A1 ; A2 < A3. Pertanyaannya, wilayah mana yang pengimpor, dan wilayah mana yang pengekspor ? R1 dan R2 akan menentukan lebih lanjut P1 dan P3. Bila E1 + E3 = 0, P3 = P1 + T13, R2 akan mengimpor kalau P3 < (A2 + T23) ; atau akan mengekspor kalau P3 > (A2 + T23). Tetapi kalau tidak, dimana tidak terjadi perdagangan dengan R2 (kondisi R2 dapat memenuhi sendiri kebutuhannya), maka P2 = A2 dan E = 0. Untuk R3, fungsi perdagangan dari R2 ke R3

pada mulanya terjadi, yaitu bersama-sama dengan R1 ke R3. Kalau impor dan ekspor R2

mencapai keseimbangan, dimana ditulis: P2 = ( P1 + T12 ), dan P3 = ( P1 + T13 ). E1 = - ( E2 + E3 ). Substitusi perdagangan diperlihatkan melalui fungsi ;

E1 = - ( E2 + E3 )

b1 ( P1 – A1) = { - b2 ( P1 + T12 – A2 ) + b3 ( P1 + T13 – A3 )}

dihasilkan :

P1 dapat diperkirakan ; P2 ; P3 ; E1 ; E2 dan E3 juga dapat dihitung

Sebaliknya jika R2 menjadi pengekspor, kemudian didalam keseimbangannya :

E1 + E2 = - E3 dan P3 = P2 + T23 = P1 + T13

Dalam kasus ini nilai P3 diperoleh dengan memecahkan persamaan :

Dan seterusnya, dimana nilai-nilai variabel lainnya dapat diperoleh.

2.1.5 Kasus n- WilayahPada contoh kasus tiga wilayah, volume perdangan antar wilayah masih lebih

mudah diperkirakan.Contoh : kalau E21 dan E31 negatif, maka: E12 = - E21; E13 = - E31

Pada kasus n-wilayah setiap wilayah mungkin mengimpor dari wilayah lain atau mengekspor ke wilayah yang lain. Dengan demikian jumlah netto perdagangan tiap wilayah, volumenya tidak secara otomatis diketahui. Prosedur perhitungannya lebih sulit.

Sejumlah metoda yang pernah diperkenalkan untuk memecahkan masalah keseimbangan harga spasial kasus n- wilayah, atau model pasar banyak, antara lain:

(1) Metoda Enke, yang menyusun sebuah sistem spasial tiruan dengan menggunakan sirkuit – sirkuit listrik. Harga-harga keseimbangan spasial dan biaya-biaya transpor dirancang sedemikian rupa untuk dapat dibaca pada alat-alat pengukur arus atau tegangan listrik yang diletakkan/dihubungkan secara spasial. Dengan menghidupkan saklar sistem akan bekerja dan membentuk keseimbangan akhir yang stabil dengan voltase-voltase meter serta amper-amper meter tertentu yang dapat dibaca, atau dipilih kemungkinan-kemungkinannya.

(2) Metode Samuelson, yang melihat bahwa model tersebut dapat menjadi sebuah permasalahan linier, dan bertujuan untuk memimimalkan “net social pay-off”, yaitu jumlah aljabar dari bagian-bagian wilayah di bawah kurva-kurva supply pada

13

Page 24: e Book Regional

setiap pasar dikurangi sejumlah biaya transport (sisa bayaran social). Model tersebut dibuat untuk mencoba menyederhanakan dan mengatasi permasalahan keseimbangan harga spasial, manfaat perdagangan antar wilayah (pasar) secara timbal balik yang dihubungkan dengan sarana-sarana transportasi dengan biaya-biaya yang minimum.

Disamping model linear yang di kembangkan oleh Samuelson tersebut juga diperkenalkan model non linear (kwadratik). Richardson sendiri tidak menguraikan lebih lanjut model-model tersebut secara mendetil. Dia hanya menggambarkan arus barang dari wilayah-wilayah yang memiliki harga lebih rendah ke wilayah-wilayah yang memiliki harga lebih tinggi dengan simbul-simbul panah, dan memperlihatkan alokasi barang-barang secara spasial. Kondisi keseimbangan spasial bertolak dari : total ekspor = total impor. Harga pada masing-masing wilayah = harga di wilayah-wilayah lain plus-minus biaya transpor per unit.

2.2. Pola-pola Sebaran Spasial Secara Umum

Sifat dasar dari wilayah secara spasial, atau pasar dalam suatu tata ruang, adalah sesuatu yang abstrak. Artinya, batas wilayah atau ruang lebih diartikan sebagai sesuatu yang berada di dalam pikiran. Di sini diasumsikan bahwa pembeli maupun produsen dipusatkan pada sejumlah titik (pasar) yang satu dengan yang lainnya terpisahkan oleh ruang tidak berkegiatan ekonomi. Kebenaran asumsi ini relatif. Selanjutnya diasumsikan pula bahwa komoditi homogen. Perbedaan-perbedaan spasial merupakan salah satu bentuk perbedaan terhadap produk. Produsen diasumsikan memberlakukan sistem harga pabrik (Pf.o.b).

Pertama : Space terbatas. Produsen dan konsumen berada pada titik yang sama. Bagaimana Efeknya? Kalau terdapat banyak produser dan juga banyak konsumen: memungkinkan terbentuk kondisi persaingan, tidak terdapat biaya transpor, hanya ada satu harga, es = ∞ dan ed = ∞. Cara yang paling sederhana untuk mengintrodusir kasus yang seperti ini adalah dengan membuat hipotesis 2 titik atau lebih. Pada setiap titik terdapat konsumen maupun produsen. Prosedur analisisnya sudah dibicarakan sebelumnya (kasus dua wilayah dengan sistem perdagangan bebas). Keseimbangan harga spasial tergantung arus keseimbangan perdagangan. Tingkat harga yang berbeda diantara berbagai titik (pasar) hanya ditentukan oleh biaya transport di antara berbagai titik (pasar) tersebut. Dalam kasus seperti ini taksiran-taksiran dapat dibuat mendekati kenyataan, khususnya bagi perekonomian industri serta masyarakat urban area (perkotaan).

Tetapi ini tidak berlaku untuk ruang (Space) dimana produsen dan konsumen tidak berada pada titik yang sama. Perbedaan harga spasial dipengaruhi oleh sistem pasar (tingkat persaingannya). Kalau sistem pasar yang berlaku adalah persaingan yang terbatas, permintaan relatif cukup besar dibandingkan hasil produksi, dalam kaitannya dengan LAC minimum perusahaan monopoli. Tetapi di dalam ekonomi ruang, kecepatan pertumbuhan permintaan terhadap hasil produksi sebuah perusahaan monopoli biasanya dipengaruhi oleh factor jarak (biaya transpor). Adanya biaya tanspor tersebut akan menggeser kurva permintaan ke kiri (menurun), dengan asumsi selera dan pendapatan tidak berubah. Kurva permintaan menjadi kurva jumlah keseluruhan (Aggregate) dari penyatuan permintaan-permintaan lokal. Tingkat barga tidak hanya ditentukan oleh luas area cakupan geografis, tetapi juga oleh volume penjualan pada pasar tersebut.

14

Page 25: e Book Regional

Kasus Produsen tunggal dengan pembeli banyak di sekitarnya (Spacial Monopoly).

Kasus Spacial Monopoly merupakan sebuah model sederhana untuk memperlihatkan pengaruh biaya transport dan jarak terhadap permintaan. Jadi, asumsinya: Produser tunggal, demander banyak. Pada kasus sistem pasar monopolist akan ada diskriminasi harga di antara berbagai pasar, yaitu pasar dengan para pembeli yang memiliki elastisitas permintaan yang rendah dan para pembeli dengan elastisitas permintaan tinggi. Pertanyaannya: apakah factor spasial membentuk diskriminasi harga spasial?

2.2.1. Pembeli Dengan Kurva Permintaan Sama Elastisitas Permintaannya Sama

Kasus ini dibatasi oleh asumsi: biaya transpor tidak berpengaruh terhadap permintaan, harga monopolist hanya satu (tunggal) untuk semua pembeli pada lokasi yang sama, harga monopolis berbeda untuk lokasi yang berbeda. T = biaya transport per unit dari lokasi produsen ke lokasi pembeli A. Pada lokasi tersebut permintaan pembeli A = Q produk, dengan harga P dan elastisitas permintaan E, adalah sama pada setiap titik pada kurva permintaan, untuk setiap pembeli. Harga tersebut dibayar pembeli sebelum monopolis mengenakan biaya angkut. MR dari penjualan kepada A menjadi :

………………………………..(1)

Elastisitas Demand =

…………………………(2)

Monopolist akan memaksimalisasikan penjualan kepada semua pembeli dimana MR = MC. Ini berarti, apabila MC = C, maka harga yang dibayar oleh setiap pembeli di pasar A dapat dihitung dari :

Jadi …………………………………..(3)

Harga yang diterapkan produsen pada lokasi pabrik (harga fob) :

…………………. ………..(4)

Harga f.o.b dikurangi MC :

……………………….….(5)

15

Page 26: e Book Regional

Harga f.o.b yang ditetapkan monopolist pada lokasi pabrik (yaitu P – T )

mengakibatkan adanya diskriminasi harga bagi para pembeli yang lebih jauh. Karena :

…………………………………..(6)

Berdasarkan persamaan (6) tersebut nilai P akan meningkat kalau T meningkat, misalnya kalau jarak bertambah. Pembeli pada lokasi pabrik, dimana T = 0 (biaya transport tidak ada), membayar harga dengan mengeyampingkan MC, dengan nilai yang

sebanding kepada . Bagaimanapun, elastisitas permintaan (E) tak terhingga pada

kondisi persaingan Chamberlin yang murni dan wilayah harga diskriminasi spasial dikurangi dengan sendirinya, merupakan perluasan antara P dan MC. Model sederhana ini mendorong maksimalisasi keuntungan monopolist pada suatu diskriminasi pasar spasial untuk pembeli-pembeli yang lebih jauh. Bagaimanapun, hasil penelitian menyangkut pembentukan harga secara praktis di seluruh dunia lebih sering didorong oleh diskriminasi harga antara pembeli yang lebih dekat dengan pembeli yang lebih jauh. Jadi factor-faktor jarak dan biaya transport mempengaruhi permintaan. Elastisitas permintaan keseimbangan diasumsikan konstan (tidak berubah) untuk semua pembeli dalam keadaan persaingan (pembeli banyak). Monpoli spasial yang murni sudah jarang ditemui di dunia, produsen semakin terdorong kepada situasi persaingannya.

2.2.2. Permintaan Pembeli Jauh Lebih Kecil tetapi Lebih Elastis.

Untuk mengilustrasikan dalil ini dan efeknya terhadap harga diskriminasi spasial, diasumsikan bahwa kurva permintaan linier dan kedua akses bekerja bersama-sama. Kita juga mengasumsikan bahwa para pembeli akan memiliki permintaan yang sama, yang mendapat pengaruh dari biaya-biaya transport yang sama. Biaya transport dapat diperlihatkan sebagai suatu pengurangan terhadap kurva demand (menggeser kurva demand ke arah yang lebih lemah dan sejajar), dalam gambar DBDB menjadi DADA, kedua kurva tersebut slope-nya sama bila unit biaya transport = T, diasumsikan tetap tanpa memperhatikan jumlah permintaan. Kurva permintaan untuk pembeli- pembeli jauh dari lokasi penjual menggeser kurva tersebut sebanding dengan biaya transport. Untuk kurva-kurva permintaan yang ada, DBDB dan DADA berarti B adalah pembeli yang memiliki jarak tertentu (jauh) dari lokasi pabrik, kurva demand DADA

lebih elastis. Perubahan pada harga akan memberikan perubahan mutlak yang sama pada jumlah permintaan A dan B, karena kemiringan (Slope) DA dan DB sama, tetapi proporsi perubahan pada permintaan B lebih rendah dibandingkan permintaan A karena total permintaan B lebih besar pada tiap tingkat harga yang berlaku. Elastisitas permintaan A lebih besar. Dalam hal ini, pembeli-pembeli terpencil memiliki elastisitas permintaan lebih besar dibandingkan dengan elastisitas permintaan pembeli-pembeli dekat. Untuk memperoleh laba maksimal, si monopolist akan memberlakukan diskriminasi terhadap pembeli-pembeli yang memiliki Ed elastis dengan yang memiliki Ed yang relative kurang elastis. Gambar berikut memperlihatkan bahwa pembeli-pembeli A dan pembeli-pembeli B diasumsikan memiliki kurva permintaan garis lurus, dan DA bergeser ke kiri (turun) sebesar T. Diasumsikan bahwa MC monopolist konstan pada level C, dengan demikian pada semua sekala output monopolis akan menyamakan

16

Page 27: e Book Regional

MC dengan MR bagi pembeli-pembeli A dan B, yaitu masing-masing di E dan F, dan harga pabrik (Pf.o.b) masing-masing PA dan PB.

Gambar 2.5 Monopoli Spasial Kasus Dua Pasar A dan B

2.2.3. Batas-batas Monopoly Spasial

Pengendalian yang sempurna dari sebuah perusahaan monopoly yang mencakup seluruh area pasar jarang terjadi. Diskriminasi harga terhadap konsumen-konsumen pasar yang berdekatan dalam praktek juga sulit dilakukan, karena pasar-pasar tersebut cenderung terintegrasi. Penjual dapat melakukan pengawasan paling baik, meliputi pembeli-pembeli di sekitar (pasar dengan jarak sedang). Ini sama halnya, bila sebuah industri yang terdiri dari sejumlah produsen, yang antara seorang produsen dengan produsen yang lain terpisah oleh jarak tertentu. Atau suplier tertentu akan memperoleh pasar yang diproteksi. Diskriminasi untuk pasar yang relatif jauh biasanya terbatas dilakukan.

Monopoly (produsen tunggal)

Keterangan:R1 = Pasar DekatR2 = Pasar Jarak SedangR3 = Pasar JauhPengendalian terbaik hanya dapat dilakukan di pasar jarak sedang. Untuk dapat mengendalikan semua pasar si monopolist harus menggunakan Pengaturan Suplier

Pasar Saingan dari perbatasan

Kontrol TerbatasKontrolTerbaik

R1 R2 R3

PasarTerintegrasi Q

MC

PB

PA

DB

DBDA

DA

0

C

FB

FA

17

Page 28: e Book Regional

Monopoli dapat menguasai pasar secara keseluruhan dengan cara membentuk agen-agen tunggal di masing-masing wilayah.

Gambar 2.6 Pengendalian Pasar Spasial Oleh Monopolis

2.2.4. Pengaturan Pasar Oleh Sebuah Industri

Gambar 2.7: Pengaturan Pasar Dengan Cara Membagi Pasar Per Perusahaan

Misalnya: Gula jatah Sumut = 6Aceh = 2DKI = 8Jabar = 20

Kendala dalam melakukan diskriminasi untuk pasar-pasar yang relatif jauh karena : Kemungkinan terjadinya penjualan kembali (Reshelling). Seorang penjual diskriminasi berhadapan dengan penjual yang jauh, pembeli dekat membeli sebagian dari barang-barang dari penjual jauh tersebut dan menjual kembali.

Jatah DKI hanya 8, dibeli lagi ½ jatah Aceh + 1½ jatah Sumut . Supply DKI menjadi 10 (naik/berlebih). Begitu pula jatah Jabar 20, dibeli lagi dari jatah-jatah

X1 X2 X3X4 X5 X6X7 X8 X9

X1 X2 X5X4X3

X6 X7 X8 X8X9

DimatikanSalah Satu

IndustriXi =Perusahaan-Perusahaan Sejenis (produsen Individu)

Masing-masing individu menguasai satu area pasar tertentu

Monopoli

Monopoly

Suplier

R1R2 R3

18

Page 29: e Book Regional

propinsi lain. P pasar jauh naik, P pasar dekat turun, maka akan terjadi pendjualan kembali ke pasar jauh melalui pasar tidak resmi (pasar gelap).

Lokasi-lokasi penjual saingan monopoli jauh cenderung berusaha memperlemah monopoli. Pasar jauh (wilayah belakang) cenderung saling membagi pasar diantara para penjual (menekan monopoli pada pengaruhnya yang minimum). Penjual terdekat memberlakukan harga distribusi = MR pada sekala produksi yang akan di pilih + biaya transpor. Kalau harga ditetapkan > MR + biaya transpor, dia akan tersisih. Kalau harga ditetapkan < MR + biaya transpor, dia tidak berusaha pada sekala produksi profit maximizing/loss minimizing.

Apabila pasar dirubah menjadi oligopoly, persaingan diantara penjual pada lokasi-lokasi tersebut akan berkurang, dapat ditetapkan harga kesepakatan. Permintaan dapat dihadapi bersama-sama. Harga dapat dikaitkan dengan sekala produksi masing-masing produsen secara kelompok. Setiap produsen dipersilahkan menggarap bagian pasarnya masing-masing. Namun oligopolist akan menemukan kesulitan dalam hal administrasi, karena biaya distribusi sama untuk wilayah yang luas dan kesulitan pengorganisasian, sehigga harga-harga kesepakatan dapat terjamin dicapai. Oleh karena itu diskriminasi harga bagi penjual-penjual jauh cenderung sulit dilaksanakan.

2.2.5.Dua Penjual di Lokasi-lokasi Yang Berbeda dan Dikitari Banyak Pembeli (Hukum Luas Areal Pasar).

Kasus pasar yang terdapat lebih dari satu penjual. Pada dua wilayah geografis terdapat pasar-pasar penjualan X dan Y. Menurut analisis Samuelson – Enke, apabila barang bebas bergerak dari pasar yang satu ke pasar yang lain, perbedaan harga di kedua pasar tersebut tidak mungkin lebih besar dari biaya transpor. Kasus Samuelson – Enke, dua pasar tersebut seperti dua kantung ekonomi di dalam sebuah wilayah kosong.

Di asumsikan pula lokasi-lokasi pasar X dan Y tetap. Waktu pergerakan mencapai lokasi yang satu dengan yang lain dapat diperkirakan (Teori Lokasi Hottelling, Chamberlain, Lerner, Linger, dan lain-lain). Juga diasumsikan bahwa diberlakukan harga f.o.b, sifat-sifat pasar duopoly dan oligopoly berlaku. Pada waktu yang tertentu semua pembeli mendapat harga yang sama. Pertanyaan : Bagaimana luas area pasar masing-masing penjual? Dan bagaimana pula wilayah di sekitarnya dibagikan di antara kedua penjual tersebut? Bagaimana menentukan batas-batas area pasar di antara kedua penjual, atau bagaimana batas-batas cakupan masing-masing perlu dipertegas. Tujuannya adalah untuk mendapat hukum-hukum ekonomi dari kedua pasar yang bersangkutan.

YX

Diasumsikan seolah-olah diantara dua pasar fakum kegiatan ekonomi (tanpa pembeli), pembeli ragu-ragu ( z )

Gambar 2.8: Dua Penjual di Dua Wilayah Yang Bertetangga

19

Page 30: e Book Regional

Kita asumsikan : Pasar X dan Y tetap dan dikitari oleh titik : Z1;Z2;Z3,……..Zn

sebagai titik-titik lokasi konsumen di luarnya; barang yang dijual satu macam dan homogen; Biaya transpor berfungsi linier, artinya biaya perunit sesuai dengan jarak pasar dari titik Z. Biaya angkut per unit antara X dan Z = Txz dan antara Y dan Z adalah Tyz. Jarak X – Z = dxz dan Y – Z = dyz. Jadi kalau konsumen di Z membeli barang di X, maka dia akan membayar :

Px + Txz . dxz per unit Apabila dia membeli di Y, dia akan membayar :

Py + Tyz . dyz per unit

Kalau Px + Txz . dxz = Py + Tyz . dyz, maka konsumen berada pada kepuasan yang sama ke mana dia akan berbelanja (ke X atau ke Y). Dengan demikian batas cakupan antara daerah-daerah yang dipengaruhi pasar X dan pasar Y ditentukan oleh persamaan :

Px + Txz . dxz = Py + Tyz . dyz ………………………………….. (1)

………………………………………….. (2)

Kalau selalu positif , mungkin ( + ) mungkin ( - )

Persamaan menjadi : …………………..…(3)

,

Persamaan tersebut membentuk kurva-kurva indiferen sebuah keluarga konsumen, yang disebut hypercicles (jaring-jaring lingkaran). Kurva-kurva yang dimaksud tersebut mewakili sifat-sifat dari masing-masing keluarga si konsumen, lokasi dari semua titik-titik angka perbandingan dari jarak dua lingkaran tertentu. Kurva tersebut kadang-kadang berbentuk “ bulat telur Descartes “

Persamaan (2) dan (3) memperlihatkan ketentuan-ketentuan tentang gejala-gejala pasar secara khusus, yang tergantung tidak hanya pada harga relatif di kedua

pasar, tetapi juga pada angka perbandingan biaya transpor yaitu t ( atau = ), dan

pada angka perbandingan selisih harga dengan biaya-biaya angkut p (atau = ).

Berdasarkan analisis ini dirumuskan hukum-hukum area pasar spasial secara umum sebagai berikut:

Pasar persaingan untuk barang yang sama (homogen) merupakan sebuah hyper circles.

Tiga Contoh Kasus Batas Wilayah (Area) Pasar Spasial Gambar 2.9, 2.10, dan 2.11 memperlihatkan tiga kasus sederhana sebagai bahan

ilustrasi untuk batas-batas pasar spasial.

a) Px = Py dan Txz = Tyz

20

Page 31: e Book Regional

Gambar 2.9 memperlihatkan kasus wilayah spasial apabila biaya angkut dan harga pasar sama (Txz = Tyz dan Px = Py). Kurva batas wilayah berbentuk sebuah garis lurus (BB), artinya batas antara pasar X dan pasar Y akan berbentuk sebuah garis lurus.

Gambar 2.9 Batas Wilayah Jika Px = Py dan Txz = Tyz

Setiap titik pada kurva yang sama berbeda biaya angkut dari masing-masing pasar, tetapi harga pasarnya sama mengingat perbedaan biaya angkut akan berbeda harga pasar. Angka perbandingan (Ratio) perbedaan harga dengan biaya angkut dari kedua pasar menentukan batas cakupan lokasi. Harga pasar yang relatif lebih tinggi dan biaya angkut yang relatif lebih rendah membentuk area pengaruh yang lebih luas. Kurva batas-batas area pasar dan luas pengaruh cakupan tiap pasar tergantung kondisi ekonomi wilayah masing-masing.

X Y

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1

4

3

2

B

B

21

Page 32: e Book Regional

b) Px < Py dan Txz = Tyz Gambar 2.10 memperlihatkan biaya angkut dari kedua pasar sama, tetapi harga

jual berbeda. Kurva batas kedua pasar tersebut akan merupakan suatu potongan hiperbola. Px < Py ; Txz = Tyz.

Gambar 2.10: Batas Wilayah (Pasar) Jika Px < Py dan Txz = Tyz

c) Px = Py; Txz < TyzGambar 2.11 memperlihatkan harga pasar sama, sedangkan biaya angkut

berbeda. Px = Py ; Txz < Tyz. Kurva batas area pasarnya berbentuk sebuah lingkaran.

X Y

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1

4

3

2

5

B

22

Page 33: e Book Regional

Gambar 2.11: Batas Wilayah (Pasar) Jika Px = Py dan Txz < Pyz

Diagram sebelah atas dilukis berdasarkan batas-batas luas yang dipengaruhi oleh para penjual dengan garis-garis batas penyebarannya, menggambarkan harga pasar dan biaya angkut yang berbeda-beda. Diagram tersebut berbentuk cabang-cabang yang berpotongan, hasil ilustrasi diagram luas area/pengaruh masing-masing pasar yang dilukiskan pada diagram bawah. Gambar-gambar tersebut memperlihatkan luas pasar masing-masing dari sekelompok penjual berpotongan, sebagai proyeksi dari angka-

angka perbandingan (Ratio) : dan

X Y

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1

4

3

2

5

B

23

Page 34: e Book Regional

2.2.6. Penjual Banyak Terkonsentrasi Sedangkan Pembeli Juga Banyak Tersebar.

Gambar 2.12: Kasus Demanders Tersebar dan Suppliers Terkonsentrasi

Misalnya: penjual (s) dalam jumlah banyak terpusat pada R1 (satu titik); pembeli (d) dalam jumlah banyak tersebar di sekelilingnya mereka berada di sub-sub wilayah R1

– R6; barang yang dihasilkan oleh semua produsen di R1 tersebut diasumsikan homogen. Barang bebas keluar masuk; Perusahaan-perusahaan dalam kondisi persaingan satu sama lain; Harga (P) tunggal; Revenue rata-rata dari setiap produsen sama; batas area pasar masing-masing perusahaan berbeda; harga yang diberlakukan adalah harga of pabrik; kurva permintaan individu bergeser ke kiri oleh biaya transport. Harga (Pf.o.b) untuk daerah dengan jarak tertentu akan lebih rendah bagi perusahaan yang bekerja pada maksimalisasi profit (bekerja pada MR = MC = MRB = MRA). Elastisitas permintaan lebih besar di lokasi yang relatif jauh. Di Lokasi yang sama jaraknya dengan lokasi produksi, dalam arti biaya transpornya sama, memiliki harga yang sama. Karena itu perlu diperhatikan sebaran konsumen secara tata ruang, bila ingin mengetahui sifat-sifat efektif pasar. Perubahan pada jumlah output perusahaan mengakibatkan perubahan pada harga output : menghendaki radius pasar yang lebih luas, perubahan dalam tingkat harga mengakibatkan perbedaan tingkat elastisitas. Ingat, pada P yang rendah .Ed lebih rendah di lokasi dekat dari lokasi yang lebih jauh. Ingat pula suasana persaingan sempurna dan adanya lokasi-lokasi penjualan yang terbagi-bagi/berbeda, tingkat harga tertentu. Terjadi gangguan batas-batas area pasar dengan harga tertentu sehubungan dengan perluasan radius area pasar oleh penjual tertentu.

R1

R3

R4

R6

R5

R2

d

d d

dd

d

d

dd

d d

dd

dddd

dd

d

dd

dss s

s

s

s

24

Page 35: e Book Regional

Kurva permintaan menjadi lebih

ciut semakin memiliki jarak dengan

pusat produksi ( RA ) penciutan

sebesar T.

Gambar 2.13 Monopoli Spasial

2.2.7. Pembeli Banyak Terkonsentrasi Sedangkan Penjual Juga Banyak tetapi Tersebar

Produsen-produsen tersebar pada lokasi-lokasi subwilayah R1 - R6. Konsumen terkonsentrasi di R1 (misalnya sebuah kota). Semua pembeli membayar harga yang berlaku yaitu harga pabrik (Pf.o.b). Penerimaan bersih setiap perusahaan sama, walau ada perbedaan jarak dengan lokasi pembeli (kota). Produk homogen, berlaku sistem pasar persaingan sempurna, dengan produk tunggal, dan kurva penerimaan individual firm (permintaan rata-rata per perusahaan) mendatar. Tidak menjadi masalah tentang diberlakukannya Pf.o.b, atau penyaluran bebas (tidak ada yang mengendalikan harga), juga tidak ada masalah tentang biaya transpor yang akan menciutkan kurva permintaan atau menambah biaya (harga pabrik atau harga lokasi pembeli). Tetapi tingkat harga pada lokasi dengan elastisitas permintaan sempurna dapat dibedakan diantara penjual yang satu dengan yang lain, berdasarkan jarak lokasinya dengan pasar.

PBTCPAMC QDBDA DBDAQBQA0 MRBMRA T MCE F

P

MC

Q0TABMRBMRA

PA

PB

C

QA QB

25

Page 36: e Book Regional

Gambar 2.14 Kasus Supplier Tersebar dan Demander Terkonsentrasi

Kalau barang-barang tersebut dijual dengan harga lokasi konsumen kurva permintaan rata-rata digeser ke kiri oleh biaya transport, Harga pasar (P) akan meningkat. Di lain pihak kalau T turun maka harga pasar (P) turun (rendah). Penjualan (Qs = Qd ) naik. Ini akan memberi manfaat, atau keuntungan, harapan baru bagi penjual-penjual yang memiliki jarak lokasi yang relative jauh. Para penjual dengan lokasi dekat (sekitar pasar) terpukul. Jadi penurunan biaya variabel (atau biaya transport) sebagian produsen akan menguntungkan (semakin mantap memasuki pasar) yaitu produsen yang jauh dari lokasi pasar, untuk sebagian produsen yang lain cenderung kehilangan pasar mereka. Persaingan menjadi semakin tajam.

Secara diagramatis diperlihatkan melalui gambar berikut :

Gambar 2.15 Perbaikan Transportasi Menguntungkan Produsen Jauh

Asumsi: Lokasi penjual-penjual terletak sepanjang garis LL; konsumen terkonsentrasi di M; biaya produksi konstan; biaya angkut perkesatuan jarak konstan;

R1

R3

R4

R6

R5

R2

s

s s

ss

s

s

ss

s s

ss

ssss

ss

d

dd

d

d

d d

d

d

d

L LX’ X M YA N A Y’

Z

Z’

P

26

Page 37: e Book Regional

MZ adalah harga dengan antaran (harga perangko konsumen); harga pabrik (Pf.o.b) untuk masing-masing produsen diperlihatkan dengan garis tegak lurus sisi dasar segi tiga XYZ. Penjual-penjual di X dan Y tidak hanya melayani pasar yang bersangkutan; penjual-penjual di X dan Y mewakili penjual terjauh untuk pasar M. Jika biaya transpor diturunkan maka kemiringan (Slope) XZ dan YZ akan berubah, dan batas wilayah pemasaran menjadi semakin luas. Kemiringan XZ menjadi X’Z’

dan YZ menjadi Y’; radius lokasi suppliers yang menjangkau pasar M semakin jauh, yaitu X’M dan Y’M. Harga di lokasi konsumen semakin rendah, dari MZ menjadi MZ”

. Para suppliers dekat mengalami pukulan, yaitu supplier yang berada di wilayah AA. Supplier di luar AA, yaitu AX’ dan AY’ memetik manfaat (keuntungan) dari menurunnya biaya transpor.

2.2.8. Para Penjual dan Para Pembeli Sama-sama Tersebar tetapi Mempunyai Sebuah Pusat Pasar Bersama (Kasus Pasar Transito)

Asumsi: Pembeli di d1, d2, d3, d4, d5 hanya dapat memperoleh barang tersebut di pasar M1 walaupun produk SS tersebar dimana-mana. Ed di M = ; revenue yang diperoleh masing-masing supplier sama, tetapi laba mungkin bervariasi, hal itu disebabkan, (diantaranya) dipengaruhi oleh jarak yang membedakan biaya transpor (T). Sungguhpun barang-barang tersebut dibawa kembali ke lokasi konsumen yang tersebar, tetapi barang-barang tersebut tetap disalurkan melalui pusat pasar M; ada persaingan baik diantara penjual maupun diantara pembeli.

Gambar 2.16 Demanders dan Supplier Tersebar Kasus Pasar Transito

Seperti diperihatkan gambar berikut ini, terbentuk dua garis harga yang mengerucut di pasar M. Setiap kesatuan jarak dari M harga keseimbangan bagi penjual tertentu dan berbeda dengan harga keseimbangan yang dibayarkan pembeli karena biaya transport menjadi 2X. Misalnya pada lokasi V, penjual menerima jumlah bersih Pv * V, sedangkan pembeli membayar CV * V (setiap unit). Padahal kalau para pembeli di V memesan barang pada produksi di V mungkin harga yang dibayar berada di antara PvV – CvV. Perbedaan penerimaan dan pengeluaran seperti itu merupakan manfaat bagi penjual maupun pembeli, lebih-lebih kalau letak lokasi mereka dari M relative jauh. Ini

M

ss

ss

ss

s s

s

d1d1

d2

d2

d5d5

d4

d4

d3

d3

27

Page 38: e Book Regional

merupakan alternative dengan manfaat tertentu. Faktor ini berfungsi memberikan kemantapan pada harga berdasarkan pada perkembangan biaya transport.

Gambar 2.17 Persaingan Pasar Lokal dan Pasar Transito

Gambar 2.18 Demand dan Supply Pasar di Pasar Lokal dan Pasar Transito

Harga di pasar transito M = ME. Harga pada setiap titik tergantung D dan S relative setempat. Perbedaan harga antara titik yang satu dengan titik yang lain tetap ada. Diagram permintaan dan penawaran di atas (Gambar 2.18) mengilustrasikan bahwa skedul-skedul permintaan dan penawaran dari setiap penjual dan pembeli mendatar pada limit-limit harga tertentu. Pada pasar-pasar lokal Ed dan Es = (pada harga Cv . V dan Pv . V). Para penjual lebih suka menyalurkan barangnya lewat M. Begitu pula pada harga > Cv . V pembeli lebih suka membeli di M. Semakin pendek penyaluran keuntungan akan lebih besar, oleh karena itu akan lebih banyak transaksi barang-barang berlangsung di pusat pasar M. Faktor kurangnya informasi pasar, fasilitas pemasaran di pasar M, maka M (pasar transito) tetap bersaing dengan pasar-pasar local.

jarak

P

0 Q

S

DPv

CvEd=

Es=

C1

CVC2

P1PV P2

E

V M

Harga yang diterima produsen di V/unit

Harga dibayar konsumen di V per unit

28

Page 39: e Book Regional

2.2.9. Pembeli Maupun Penjual Tersebar (Persaingan Monopolistik/Oligopoli Spasial)

Asumsi dasar : para pembeli dan penjual tersebar; para penjual tersebar dan jarang; perusahaan mempraktekkan produksinya pada sekala profit maximizing atau loss minimizing; barang diproduksi untuk mereka yang sanggup membeli pada harga tersebut; area penjualan berbentuk lingkaran (bundar); keluar masuk barang-barang bebas (Free Entry); industri terbentuk tetapi masing-masing perusahaan sejenis memiliki pasar sendiri-sendiri dengan jarak tertentu satu sama yang lain, memiliki jarak yang lebih jauh dengan perusahaan yang menjual dengan profit nol; area-area pasar dari masing-masing perusahaan akan berbentuk segi enam (area maksimum), akibat dari Free Entry perusahaan akan cenderung memadatkan area-area pasar yang ideal tersebut.

Gambar 2.19: Luas Are Pasar setiap Perusahaan Berbentuk Segi Enam (Losch)

Dengan terbentuknya industri, perusahaan-perusahaan secara individu harus dapat mempertahankan diri, yaitu dengan minimal profit = nol. Kalau ini yang terjadi, area pasar akan terbagi-bagi diantara penjual. Dengan kesenjangan tersebut harga-harga tidak dikaitkan dengan kondisi masing-masing bagian pasar, artinya tidak dilakukan suatu kebijakan harga. Produksi homogen, dengan demikian seorang produsen tidak terlepas dari persaingan. Memungkinkan masuknya barang-barang yang diproduksi produsen di wilayah perbatasan tetapi tergantung perkembangan biaya transport. Dengan kata lain ada kemungkinan terjadinya substitusi dengan barang import. Model ini menyerupai model monopolistic. Kalau barang bebas keluar masuk, maka harga fob = biaya rata-rata; Pf.o.b > MC; harga dengan antaran (harga di lokasi konsumen) > MC + T. Tingkat harga untuk keseimbangan jangka panjang (pada setiap pasar) ditentukan Average Cost (AC) perusahaan yang berproduksi di lokasi yang bersangkutan.

Persaingan monopoli merupakan bentuk pasar spasial yang paling umum (sering dipraktekkan). Keseimbangan jangka panjang akan lebih dimantapkan, dimana sebagian produsen tersisih, jumlah profit perusahaan-perusahaan yang bertahan terus beroperasi meningkat. Masing-masing penjual cenderung memiliki/menguasai lokasi masing-masing. Distribusi penjual akan lebih merata, sesuai dengan kondisi pembeli. Manfaat-manfaat pengelompokan penjual dikembangkan, atau terjadilah pengelompokkan penjual. Pusat-pusat pertumbuhan penduduk (kota-kota) menjadi kelompok-kelompok pembeli, dengan demikian secara umum area pasar menjadi tidak homogen. Penjualan cenderung berusaha mengontrol area pasar masing-masing. Dengan demikian dalam jangka panjang memungkinkan terbentuknya pasar oligopoly, area pasar menjadi pasar

29

Page 40: e Book Regional

yang dikontrol secara bersama-sama dengan terbentuknya kerja sama produsen yang jumlahnya semakin terbatas.

Walaupun para penjual dan pembeli diasumsikan dapat dikelompok-kelompokan meliputi perluasan area, tetapi sebenarnya tidak homogen, saling mempengaruhi. Setiap penjual ada pesaingannya. Pembeli dan penjual pada setiap lokasi dalam arti cukup banyak, akan tetapi pengaruh dari mereka masing-masing dibatasi oleh biaya transport. Setiap penjual dapat meningkatkan penjualannya dengan cara menjual pada harga yang lebih murah (pemotongan harga), atau dengan pemotongan-pemotongan biaya transpor. Jumlah pembeli banyak, pasar yang dikuasai menjadi lebih luas, menjangkau daerah-daerah yang lebih jauh. Lain halnya kalau mereka diorganisasi dan menetapkan harga bersama. Harga mungkin berbeda diantara penjual yang satu dengan yang penjual yang lain, tergantung pada lokasi masing-masing dimana mereka mendapatkan perlindungan organisasi dari persaingan dalam batas-batas ruang tertentu dan batas-batas biaya transport. Didalam kondisi yang demikian persaingan secara terbatas masih ada, kurva permintaan sudah tertentu dan kondisi ini dipakai sebagai stabilitas harga. Sistem keseimbangan harga spasial dapat memperbesar fungsi permintaan, dan ini dipakai sebagai alasan-alasan manfaatnya, terutama pada tahapan-tahapan pengembangan produk-produk yang mendatangkan sumberdaya-sumberdaya dari lokasi yang relatif jauh. Kurva permintaan lebih besar dari kurva penawaran oligopoly, tidak seperti kurva tiga bagian (lihat gambar untuk kasus 6). Bagian teratas memiliki elastisitas permintaan relative tinggi (Ed = tinggi). Bila diberlakukan harga yang lebih tinggi akan kehilangan sebagian pasarnya kalau pesaingnya menurunkan harga. Bagian bawah kurva memiliki Ed yang tidak elastis. Kalau harga pesaing tetap, suatu penurunan harga akan memperluas pasar baginya. Tetapi pada sisi lain akan memancing saingan menurunkan harga pula. Karena ketidakpastian reaksi pada tingkat-tingkat harga tersebut, maka oligopoly cenderung beroperasi pada bagian tengah-tengah kurva permintaan, bagian ini memiliki slope yang netral, melampaui sifat permintaan monopolistic. Dalam batas-batas ini monopolist dapat bekerja dengan kebebasan tertentu tanpa memperhitungkan adanya reaksi-reaksi dari para pesaing. Oligopplist memiliki jarak dengan pesaing maka mencapai sekala terpenting, dengan kata lain memiliki keuntungan aglomerasi yang cukup besar pada lokasinya.

Ilustrasi yang menggambarkan hubungan diantara berbagai aspek monopoly spasial dijelaskan melalui analisis sederhana Duopoly berikut ini:

Asumsi : Industri terdiri dari 2 penjual yaitu X dan Y, masing-masing dilokasikan pada ujung-ujung (batas-batas) yang berhadap-hadapan dari sebuah batas area pasar. Diberlakukan harga pabrik (Pf.o.b) yang sama yaitu P1X dan P1Y. Biaya transpor sama, baik dari X maupun dari Y. Harga di lokasi konsumen (dengan pengantaran = delivery price) pada lingkup wilayah yang beda akan berbeda, missal C1B1 di B1. Andaikan perusahaan X, yang memiliki kelompok pembeli tertentu didalam batas-batas wilayah tertentu menaikkan harga of pabriknya dari P1x menjadi P2x, maka perusahaan Y akan menetapkan harga menjadi P3y. Perusahaan Y akan memetik manfaat, karena P2x > P3y. Biaya transport tetap, kemiringan P2xC2 dan P3yC2 sama seperti P1XC1 dan P1YC1. Batas diantara kedua area pasar akan bergeser ke kiri (ke B2). Perusahaan X akan kehilangan area pasar penjualan dengan radius B2B1, dan area tersebut akan diambil oleh perusahaan Y. Perusahaan memperoleh tersebut tambahan permintaan dan kesempatan menaikkan harga dan keuntungannya.

30

Page 41: e Book Regional

Gambar 2.20 Persaingan Duopoli Secara Spasial

Tetapi andaikata perusahaan X menurunkan harga dari P1X menjadi P4X, maka perusahaan Y akan kehilangan sebagian area pasarnya yang semula dikuasai, yaitu B3B1

yang diambil oleh perusahaan X. Perusahaan Y akan menjawab dengan menurunkan harga dari P1Y menjadi P4Y . Batas diantara 2 pasar akan kembali ke B1, harga di B1 akan menjadi B1C4. Keuntungan bagi kedua perusahaan akan turun, sebagai akibat tindakan perusahaan X dan kemudian mendapat reaksi dari perusahaan Y, terkecuali kalau Ed

pada harga tersebut tinggi. Reaksi-reaksi yang lebih banyak akan timbul pada oligopoly spasial. Ini membuat semua produsen/penjual khawatir, dan mereka akan mencoba mempertahankan stabilitas harga dengan cara bekerja sama, melakukan diskriminasi harga dan sebagainya.

Ini adalah penerapan apa yang disebut dengan Game Theory, yang kemungkinan dikembangkan kalau zona-zona (area-area pasar) terdiri dari kesatuan-kesatuan yang luas, peka terhadap perubahan harga, perusahaan-perusahaan bekerja pada BEP. Masalahnya akan menjadi lebih rumit kalau kelompok penjual menjadi lebih besar jumlahnya, industri bebas keluar masuk perusahaan-perusahaan baru, biaya produksi tidak mendukung mencapai lokasi yang dekat dengan zona perbatasan.

Kemungkinan yang lain pada oligopoly spasial adalah terjadinya kerja sama dalam hal harga untuk zona-zona dekat perbatasan. Mereka mencoba meningkatkan keuntungan dengan cara memancing meningkatnya pengeluaran konsumen. Bentuk kerja sama yang dapat dipilih cukup banyak. Misalkan dengan memberlakukan “Price Leader “, “ Pembagian pasar berdasarkan geografi “, dan sebagainya. Keberhasilan kerja sama yang demikian tergantung pada apakah bersedia atau tidak menghindari hadirnya perusahaan-perusahaan baru.

2.2.10. Alternatif Sistem Harga Spasial

Selain diberlakukannya harga of pabrik (Pf.o.b) terdapat pula harga alternatif yang ditemukan pada oligopoly spasial, misalnya (yang terpenting) harga frangko pembeli,

P2X

P4X

P1X

XP4Y

P1Y

P3Y

C2

C1

C3

C4

B3B1B2X Y

31

Page 42: e Book Regional

atau harga dengan antaran (Delivered Price ). Harga ini oleh para penjual disusun dengan cara membebankan biaya transport rata-rata kepada Pf.o.b, dimana perusahaan berproduksi pada Profit Maximizing. Penyaluran barang-barang bebas ke seluruh areal pasar yang dikuasai semua penjual dan yang oleh para penjual juga diberlakukan sistem diskriminasi. Para pembeli yang berada di sekitar lokasi para penjual yang diperluas atau dipersempit oleh perkembangan dalam pendistribuasian ke area-area penting.

Volume penjualan kepada konsumen sangat dipengaruhi oleh sistem penyaluran yang bebas dan tingkat keseimbangan produsen masing-masing dimana harga fob diberlakukan. Biaya transport (per satuan jarak) keseluruh titik (lokasi) di dalam area pasar tetap. Demikian pula halnya bilamana para pembeli terkonsentrasi pada satu lokasi dan para penjual tersebar di sekitarnya.

Kalau pengusaha (penjual) mengelompok dan tidak diberlakukan diskriminasi diantara mereka, sistem penyaluran bebas dapat dioperasikan, dimana keseimbangan harga tidak perlu diatur diantara para penjual. Stabilitas harga tergantung pada penjual secara keseluruhan. Setiap penjual bebas melakukan diskriminasi harga dengan membedakan area-area pasar, tetapi diberlakukan harga prangko konsumen yang bebas, yang mana harga tersebut berbeda antara penjual yang satu dengan penjual yang lain. Dengan sifat harga yang bersaing tersebut, para penjual tidak dapat memperoleh keuntungan yang besar. Andaikata para penjual memiliki lokasi yang tertutup terhadap para pesaingnya, porsi area pasar yang berimpit cukup luas, maka harga perangko pembeli haruslah sama. Tanpa dapat membuat kesimpulan yang demikian (Delivered Price Same), terbuka peluang bagi sebuah perusahaan yang dekat dengan area pasar untuk menyalurkan barangnya dengan harga perangko pabrik. Dengan demikian mereka kehilangan konsumen dekat, sistem harga perangko konsumen akan terpecah. Metoda harga prangko konsumen paling cocok kalau kondisi permintaan inelastic (untuk pembeli dekat). Sedangkan bagi pembeli jauh, dimana permintaan elastis tidak cocok. Perluasan batas-batas area pasar dengan penurunan biaya, menghasilkan selisih harga konsumen dapat diterapkan untuk seluruh negeri. Tidak masuk akal, bahwa perluasan area pasar dengan harga-harga prangko konsumen dilakukan melalui penciutan laba bersih, ini artinya tidak mungkin dilakukan dengan cara memperkecil daya serap angkutan (berkurangnya partisipasi angkutan), yaitu di lain pihak untuk mendukung harga konsumen yang rendah.

Disamping itu juga dikenal pola harga ”Basing Point” yaitu harga dengan cara memberlakukan Pf.o.b pada lokasi-lokasi (kota-kota) tertentu (Basing Point), tanpa memperhatikan di mana barang di produksi dan berapa biaya transport dari pabrik ke lokasi basing point tersebut. Harga Basing Point memiliki sifat-sifat tertentu, dimana pada jarak tertentu dari basing point harga sama, tanpa memperhatikan dimana barang dijual atau siapa penjual, memungkinkan diskriminasi harga pada tahapan penjual yang dapat memberlakukan harga prangko pembeli (dari basing point ke lokasi pembeli yang telah terrefleksi biaya transport). Harga basing point diberlakukan untuk suatu tujuan penyimpangan dari pola kegiatan ekonomi spasial. Hal itu karena: pertama hal itu dapat dilakukan hingga titik persilangan harga dengan biaya angkutan lawan. Sebagian dari permintaan pembeli di wilayah hinterland sudah dipenuhi oleh saingan dari basing point lain yang mulai lebih efisien; kedua dia menyimpang dari pola lokasi optimal. Peranan perusahaan–perusahaan besar cenderung terpusat di sekitar lokasi, sedangkan perusahaan-perusahaan kecil melayani permintaan-permintaan kelompok pembeli jauh (di periphery), mungkin dari jalur supply yang besar-besaran. Metode ini bertahan, dan

32

Page 43: e Book Regional

kemungkinan dapat beroperasinya metode-metode harga lain, seperti Basing Point berganda (Multiple Basing Points), sebagai elemen-elemen berimbang.

2.2.11. Keragaman-keragaman Harga Spasial : A Testable Model

Pada umumnya analisis harga spasial dilakukan berdasarkan asumsi yang begitu abstrak dan disajikan di dalam terminology model-model formal. Ini dilakukan untuk memungkinkan diperolehnya suatu pendekatan studi harga-harga spasial yang dapat diuji secara empirisn seperti halnya pendekatan yang pernah dianjurkan W. Wentz. Analisis tersebut merupakan sumbangan yang berharga, dimana model itu tidak terikat dengan penentuan pembeli maupun penjual, tetapi dapat membantu pusat-pusat penduduk yang padat (kota-kota) dan pemukiman-pemukiman penduduk yang tidak padat (desa-desa). Adanya pengaruh-pengaruh waktu penyaluran terhadap dinamika harga sampai dengan jarak tertentu. Berhubung keterbatasan teknik, hanya dilakukan untuk kondisi pasar persaingan, dan dilakukan hanya untuk mempelajari pengaruh perbedaan-perbedaan geografis terhadap harga hasil-hasil pertanian.

Model ini sangat sederhana, sesuai dengan dalil bahwa harga ditentukan oleh penawaran dan permintaan, tetapi tidak meliputi pengaruh factor spasial kepada harga. Harga suatu komoditi beragam dalam suatu ruang, meliputi adanya pengaruh faktor spasial terhadap permintaan dan penawaran. Sumbangan Wentz dalam teori harga spasial adalah memperkenalkan metode-metode dengan intensitas penawaran dan permintaan yang terukur. Metode tersebut mengandalkan analisa gravity potential (Gravity Potential Analysis). Untuk mengukur permintaan Wentz menggambarkannya pada konsep potensi penduduk (Potential Population Concept). Konsentrasi penduduk berpengaruh langsung terhadap bagian-bagian lokasi. Tetapi pengaruh ini berkurang jika jarak meningkat. Kekuatan suatu area dipengaruhi oleh kelompok penduduk di sekitarnya, dan pada setiap titik pada sebuah area dapat diukur intensitasnya dengan pembagian area wilayah perekonomian oleh ukuran penduduk dan jarak. Potensi total penduduk pada setiap titik pada suatu wilayah perekonomian (area pasar, dan sebagainya) dapat dihitung dengan pembagian wilayah perekonomian ke dalam sejumlah besar unit-unit area wilayah. Kemudian dengan pembagian penduduk tersebut, untuk setiap unit area wilayah dengan rata-rata jaraknya ke titik tertentu dapat dihitung. Berapa total potensi penduduk untuk suatu titik, yang diekspresikan dengan menggunakan terminology berapa reaksi pada setiap mil jarak dari titik tersebut dapat dihitung. Perkiraan potensi penduduk dapat dihitung dari berbagai titik.

Permintaan bukan fungsi dari potensi penduduk saja. Setiap individu penduduk mungkin tidak memiliki bobot yang sama, tetapi juga dipengaruhi oleh pendapatannya. Ini diperhitungkan dalam memberikan bobot kepada penduduk di masing-masing area, dengan memperhitungkan besarnya pandapatan perkapita pertahun. Potensi tersebut disebut ”Gross Economic Population Potential” (GEPP), meliputi jumlah penduduk, lokasi, dan pendapatan. Kemudian dapat dubuat peta potensi melalui titik-titik yang memiliki volume sama (garis dengan potensi sama) dan GEPP dapat digambarkan sesuai dengan permintaan efektif yang terdistribusi secara geografis. Berdasarkan GEPP diperoleh pula permintaan spasial suatu komoditi. Sebagai tambahan, faktor-faktor tertentu seperti selera konsumen, elastisitas pendapatan dan permintaan untuk barang tersebut, dan harga barang penggantinya merupakan faktor-faktor pengembangan ekonomi penduduk secara menyeluruh dan merupakan efek pengembangan pendapatan secara tata ruang. Model dengan nilai-nilai yang mungkin ditambahkan itu disebut

33

Page 44: e Book Regional

“Produk Demand Space Potential” (PDSP). Akan terjadi pengaruh-pengaruh permintaan musiman dan siklus yang sifatnya sementara, memberikan pengaruh yang sama diukur dengan terminology permintaan persatuan waktu, yang disebut Product Demand Time Potential (PDTP ).

Pengaruh faktor jarak pada sisi penawaran juga harus diamati. Peta tersedianya produk secara potensial dapat dibuat seperti halnya membuat peta potensi penduduk. Keanekaragaman area dalam hal Product Supply Space Potential (PSSP), adalah sebagai gejala keragaman aksessibilitas lokasi dan total output. Titik dengan potensi wilayah tertinggi adalah titik yang paling besar aksesibilitasnya kepada komoditi tersebut dan pada titik ini besar pengaruh penawaran terhadap harga. PSSP juga dapat digambarkan sebagai sebuah peta countour wilayah permintaan dan penawaran produk yang bervariasi di antara berbagai produk, dan potensi wilayah penawaran produk memungkinkan bervariasi di antara komoditi-komoditi, karena luasnya wilayah geografi produksi dari berbagai barang.

Peta harga secara geografi juga memperlihatkan beberapa dimensi waktu yang penting, khususnya untuk barang-barang pertanian, sebagai output yang dihasilkan secara musiman. Refleksi pengaruh penawaran selalu akan terlihat pada harga, misalnya apakah barang-barang tersebut dapat disimpan selepas panen, jumlah persediaan, dan output yang bisa diharapkan di masa depan. Intensitas penawaran sepanjang waktu dapat diukur dengan menggunakan konsep “Product Supply Time Potential” (PSTP), yang diperhitungkan dalam terminology unit-unit produksi persatuan waktu.

Keragaman spasial di dalam intensitas penawaran dan permintaan cenderung membentuk keragaman secara geografis pada harga suatu komoditi. Suatu pembuktian hipotesis secara umum harus digambarkan secara sebanding dengan porsinya, bahwa harga cenderung dipengaruhi langsung oleh wilayah permintaan potensial (potensi waktu penawaran, dimana produk dengan output-output yang berfluktuasi besar menjadi dasar). Andaikata harga produk sebagai variable terikat, PDSP, PDTP, ESSP dan PSTP sebagai variabel-variabel bebas dan setiap variabel yang ingin diketahui diteliti di banyak lokasi (titik) didalam wilayah penelitian. Dengan asumsi bahwa variabel harga dan variabel-variabel lain tersebut merupakan sebuah fungsi, yang berarti bahwa faktor-faktor yang berinteraksi tersebut dapat dikwantitatifkan. Model Regresi multi variabel yang diluruskan (dilogkan), atau yang disebut “Multi Linear Regression” dapat dipakai untuk mencari koefisien regresinya. Koefisien-koefisien regresi tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat harga pada setiap titik di suatu wilayah, dengan memperlihatkan bagaimana interaksi harga pada setiap titik tertentu ditentukan oleh interaksi variabel-variabel bebas, keragaman spasial dan temporal di dalam intensitas penawaran dan permintaan.

Itulah sebetulnya ruang lingkup analisis keragaman harga spasial. Kita dapat meneliti akibat-akibat atau dampak-dampak pada harga sehubungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada lokasi-lokasi lain. Dampak umum kenaikan penawaran akan mendorong harga turun, tetapi turunnya harga pada lokasi-lokasi itu tergantung pada hubungan-hubungan spasial dari setiap titik yang dianalisis terhadap lokasi spesifik (yaitu lokasi dimana kenaikan penawaran terjadi). Hal yang lebih ambisius yang mungkin dilakukan adalah memperluas teori keseimbangan harga. Walrasian (suatu model yang tidak berdasarkan dimensi-dimensi static dan spaceless) dengan memasukkan waktu penawaran dan permintaan serta potensi ruang untuk berbagai barang dan input-input produksi yang ada dalam fungsinya.

34

Page 45: e Book Regional

BAB IIITEORI LOKASI INDUSTRI

3.1. Pendahuluan

Masalah lokasi industri adalah bagian dari masalah bagaimana menyebarluaskan kegiatan ekonomi di dalam suatu wilayah. Masalah ini secara spesifik terkait dengan masalah di mana suatu barang harus diproduksi, di mana dikonsumsi, dan bagaimana mendistribusikannya. Sebagaimana prisip ekonomi mikro, bahwa unit usaha ekonomi (perusahaan) haruslah senantiasa bekerja secara efisien, untuk menghemat sumberdaya, mampu bersaing, dan mampu menjawab keinginan konsumen secara maksimal. Salah satu faktor yang memungkinkan tercapainya tingkat efisiensi tersebut adalah mampu memilih lokasi yang optimal.

Banyak ahli ekonomi yang menulis tentang teori lokasi, antara lain: Van Thunen (1826), Webber (1909), Christaller (1933), August Losch (1940), William Alonso (1940), Hoover (1948), Perroux F (1950), dan Walter Isard (1956), yang intisari teori-teori tersebut akan disinggung pada bagian-bagian yang dianggap perlu, khususnya pada saat kita akan membahas Ekonomi Perkotaan. Seperti diketahui kota adalah wilayah, atau subwilayah dengan sifat-sifat tertentu, memiliki faktor-faktor daya tarik tertentu, dan cenderung menjadi lokasi konsentrasi berbagai aspek kegiatan manusia, utamanya aspek kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Alonso, Webber, dan Losch menulis teori tentang lokasi pasar (Theory of Market Area), dan Perroux menulis teori pengembangan wilayah dengan kutub-kutub pertumbuhan (Regional Space).

Himpunan perusahaan sejenis (Industry) dalam usahanya memaksimalisasikan keuntungan (Profit Maximizing) bagi masing-masing perusahaan (Individual Firm) cenderung mencari lokasi optimal. Pertanyaannya, apa faktor-faktor yang menetukan optimal tersebut, bagaimana memanipulasi variabel-variabel yang mempengaruhinya itu, yang banyak dan mungkin sulit dikuantifikasikan. Besar kemungkinan, para pengusaha yang lebih mampu mengkuantifikasikan variabel-variabel tersebut lebih memiliki peluang untuk berhasil, dan ini tentu terkait dengan kemampuan perusahaan untuk mempekerjakan para profesiaonal yang mampu membuat analisis-analisis untuk mendukung keputusan-keputusan manajerial. Namun demikian, sebagian variabel yang bersifat umum, pemerintah dapat membantunya, antara lain dengan perencanaan wilayah dan lokasi-lokasi (zona-zona) industri.

3.2. Prinsip Lokasi Median

Untuk menjelaskan prinsip lokasi median ini dibuat sebuah contoh ilustrasi. Misalkan ada rencana pendirian sebuah perusahaan roti, yang selain memproduksi roti juga mendistribusikannya kepada para langganan (konsumen). Baik biaya maupun volume produksi diasumsikan tidak berpengaruh terhadap lokasi perusahaan tersebut. Satu-satunya variabel yang berpengaruh adalah biaya pengiriman (Distribution Cost). Dengan demikian untuk maksimalkan keuntungan dilakukan dengan meminimalkan biaya pengiriman tersebut.

Misalkan pula, bila lebih lanjut diketahui bahwa langganan bakal pabrik roti tersebut ada 7 orang, mereka berada di sepanjang jalan (lihat gambar 3.1), dan perusahaan hanya bisa mengirim satu roti kepada seorang langganan pada setiap waktu

35

Page 46: e Book Regional

pengiriman. Maka pertanyaannya adalah, di mana lokasi perusahaan roti tersebut yang terbaik (yang optimal, atau yang meminimalkan biaya pengirimannya).

A B C D E F G

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16Gambar 3.1: Sebaran Pelanggan Sepanjang Sebuah Garis

Untuk menjawab pertanyaan teori tersebut, dicoba cari harga rata-rata dimana lokasi berjarak rata-rata (Mean) dianggap sebagai daya tarik, dengan menjumlahkan jarak antara satu langganan dengan langganan yang lainnya, mulai dari A sampai dengan G, lalu dibagi dengan jumlah pelanggan. Untuk itu, sebagai keterangan lebih lanjut, perhatikan tabel 3.1.

Tabel 3.1: Perhitungan Lokasi MedianLang

gananJarakDari A

Jarak darilokasi E

Jarak dari lokasi D

A 0 6 4B 1 5 3C 2 4 2D 4 2 0E 6 0 2F 14 8 10G 15 9 11

Total Jarak 42 34 32

Diperoleh nilai rata-rata (Mean) satuan jarak, berarti lokasi mean

adalah 6 satuan jarak dari A yaitu E. Tetapi ternyata lokasi ini tidak meminimalkan biaya distribusi. Perhatikan tabel jarak perjalanan dari lokasi D ke semua langganan ternyata lebih singkat jaraknya, atau lebih rendah biaya distribusinya. Lokasi D akan menghasilkan jumlah perjalanan total (Total Trips) lebih sedikit dibandingkan dengan lokasi E. Titik yang dapat meminimalkan jarak total ke seluruh titik langganan lainnya merupakan titik tengah-tengah (Median Point). Titik median adalah suatu titik dimana baik di sebelah kiri atau di sebelah kanan suatu garis lurus terdapat titik-titik distribusi yang jumlahnya sama. Sedangkan titik jarak rata-rata (Mean Point) pada hakekatnya meminimalkan jumlah kuadrat dari jarak-jarak perjalanan, sehingga titik ini tidak relevan dengan tujuan.

Logika teori ini diterapkan dalam memilih lokasi perusahaan industri. Semua industri pengolahan perlu mendatangkan bahan-bahan baku (Inputs) produksi, dan juga perlu menyalurkan hasil produksinya (Output). Perlu diperhitungkan, apakah bahan bakunya besar volumenya, banyak bahagian yang terbuang, dan sebagainya. Di sini ada masalah pilihan yang dikaitkan kepada biaya angkutan untuk mendatangkan bahan baku. Begitu pula menyangkut biaya distribusi hasil produksi, apakah produk tersebut barang yang mudah rusak atau tidak, bernilai tinggi atau tidak, dan sebagainya. Sehingga perlu menentukan dimana letak lokasi perusahaan yang paling ekonomis (Lokasi Optimal). Atau, dikaitkan contoh di atas (lokasi perusahaan roti), dengan pelanggan di kota-kota A, B, C, D, E, F dan G, berapa produk yang distribusikan ke

36

Page 47: e Book Regional

masing-masing kota. Misalnya ke kota A 200 unit, ke kota B 500 unit, ke kota C 650 unit dan seterusnya. Kota-kota ada yang besar dan yang kecil maka dimana seharusnya lokasi perusahaan dipilih. Dengan bantuan teori ini problem tersebut dapat dipecahkan.

3.3. Persaingan Sepanjang Satu Garis Lurus (Teori Hottelling)

Apa yang baik bagi sebuah perusahaan mungkin tidak baik bagi perusahaan yang lain. Dengan demikian pada waktu dinyatakan bahwa lokasi perusahaan optimal, maka perlu dipertanyakan “optimal” itu dari sudut pandang siapa? Optimal untuk sebuah perusahaan belum tentu optimal untuk perusahaan yang lain. Optimal bagi produsen belum tentu optimal bagi konsumen. Oleh karena itu, dalam permasalahan lokasi optimal ini ada tiga pihak yang memiliki sudut pandang yang berbeda, yaitu: (a) Konsumen, (b) Produsen, dan (c) Pemerintah.

Misalkan seorang penjual cendol yang menjajakan cendolnya untuk konsumen wisatawan sepanjang pantai. Pembelinya tersebar merata di sepanjang pantai tersebut. Setiap orang ingin membeli satu gelas dan bersedia berjalan kaki sejauh yang diperlukan untuk memperolehnya, walaupun sebenarnya orang-orang itu lebih suka kalau cendol tersebut dapat diperolehnya dengan berjalan sesingkat mungkin. Kalau penjual cendol itu satu-satunya (penjual tunggal), dia tidak perlu memperhitungkan dimana lokasi yang terbaik bagi semua pihak, karena semua konsumen yang ingin minum cendol akan tunduk pada keputusan si produsen tunggal itu. Tetapi pemerintah (perencana) berkepentingan untuk meminimalkan perjalanan konsumen, dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai pelayan masyarakat (memberi manfaat yang maksimal kepada masyarakat). Total perjalanan tersebut akan optimal kalau lokasi penjual cendol ada di tengah-tengah (Median Point) rentang garis pantai wisata tersebut.

Tetapi masalahnya akan berbeda kalau pedagang cendol ada dua, akan muncul persaingan diantara mereka. Keduanya ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, dan mereka sama sekali tidak berkepentingan terhadap fungsi pelayanan umum. Persaingan tersebut akan menghasilkan suatu lokasi keseimbangan bersama bagi kedua penjual. Proses itu akan menghasilkan konsentrasi kegiatan ke satu lokasi, atau yang disebut Aglomerasi. Tentu pemerintah tidak menginginkan keseimbangan lokasi yang seperti itu, tetapi menginginkan dekonsentrasi lokasi, atau lokasi optimal dari sudut pandang pemerintah. Seluruh proses tersebut dijelaskan pada gambar 3.2 :

. Gambar 3.2: Proses Persaingan Sepanjang Garis Lurus

Keterangan: I, II dan III adalah lokasi yang belum optimal bagi pengusaha

A BO

BO

AO

BO

AO

BO

AO

PANTAI

BO

AO

I.

IV

II.III.

V.

37

Page 48: e Book Regional

M

IV adalah lokasi keseimbangan bagi mereka, dan tercipta kondisi Aglomerasi.Lokasi optimal menurut pandangan pemerintah (lokasi yang direncanakan)

adalah V

3.4. Industri Dengan Satu Pasar dan Satu Bahan Baku

Misalkan sebuah pabrik peti baja yang menggunakan lembaran baja yang hanya dihasilkan oleh sebuah pabrik baja sebagai bahan bakunya. Peti baja tersebut dijual hanya ke kota C (perhatikan gambar).

Diasumsikan, bahwa biaya produksi peti baja tersebut sama dimanapun lokasi pembuatan dipilih. Dengan demikian satu-satunya pertimbangan pabrik adalah bagaimana meminimumkan biaya angkut bahan baku dan outputnya (Total Transport Cost). Total Transport Cost terdiri dari biaya perakitan (Assembly Costs) dalam mendatangkan input (plat-plat baja) dari kota M, dan biaya distribusi (Distribution Cost) dalam mengirimkan output (peti-peti baja) tersebut dari pabrik ke kota C.

Jelasnya perhatikan gambar berikut :

Gambar 3.3 Biaya Transpor Industri Dengan Satu Bahan Baku dan Satu Pasar

Misalkan biaya angkut plat baja = per peti, maka Assembly Cost per unit = . Bila biaya distribusi = rc / km per unit, maka total biaya distribusi = . Kalau total transport cost = k, maka:

k = ……………………………………… (1)Dengan demikian yang perlu dicari di dalam permasalahan ini adalah harga t0 yang meminimalkan k dari persamaan (1). Untuk lokasi yang berjarak t0 dari gambar dapat dilihat total transport cost sama dengan Total Assembly Cost ditambahkan dengan Total Distribution Cost.

Gambar memperlihatkan bahwa biaya transport terkecil akan diperoleh bila pabrik tersebut berlokasi di M (di lokasi bahan bakunya), atau t0 = 0. Sebabnya adalah karena biaya perakitan kurva lebih menanjak dibandingkan dengan kurva biaya

C

V=Lokasi Pabrik

Biaya Perakitan (Assembly Cost)

rm t0

rc(T- t0)

rm t0

T ( Jarak dari M ke C )

ot - Tto

Biaya Distribusi (Distribution Cost)

V

38

Page 49: e Book Regional

distribusi, dengan kata lain biaya angkut plat-plat baja km per unit lebih mahal dari biaya angkut peti km per unit (rc). Persamaan 1 dengan demikian:

k = (rm – rc)t0 + rc.T …………………………………. (2)Berdasarkan rumusan persamaan (2) dapat diperoleh kemungkinan lokasi pabrik tersebut, tergantung pada nilai rm dan rc, yaitu: (1) Bila rm > rc maka lokasi optimal adalah di M, (2) Bila rm < rc maka lokasi optimal adalah di C, dan (3) Bila rm = rc maka lokasi optimal memungkinkan di C, di M atau di setiap titik di antara C dan M.

3.5. Struktur Biaya Transpor (Transport Cost Structure)

Dalam kenyataannya kenaikan biaya transpor tidak proporsional dengan pertambahan jarak angkut. Hal itu disebabkan oleh:1. Adanya biaya terminal, seperti: (1) Biaya bongkar muat, (2) Biaya Pengepakan, dan

(3) Biaya Administrasi. Dengan demikian biaya transpor dapat ditulis :BT = Sm + rm.t

Keterangan: Sm adalah biaya terminal; rm adalah biaya transpor rata-rata/km, t = jarak.

Dalam bentuk diagram digambarkan sebagai mana diperlihatkan gambar 3.4:

Gambar 3.4 Struktur Biaya Transpor Dengan dan Tanpa Biaya Terminal

Keterangan: A adalah biaya angkut proporsional terhadap jarak; B biaya angkutan dengan mempertimbangkan biaya terminal; C adalah biaya angkutan dengan mempertimbangkan biaya terminal dan juga penurunan biaya marginal atas setiap pertambahan kesatuan jarak.

1. Adanya pengaruh kategori jarak tempuh terhadap biaya transpor (seperti jarak dekat, jarak menengah dan jarak jauh, serta penggunaan jenis moda transpor yang sesuai.

Sm

t

Rm (Rp)

A

C

B

Biaya Terminal

JauhSedangDekat

t

RpKereta api

Kapal laut

Truck

0 t1 t2

0

39

Page 50: e Book Regional

Gambar 3.5 Struktur Biaya Transpor Berdasarkan Jarak Angkut dan Pilihan Moda

Keterengan: 0-t1 = Jarak dekat; 0-t2 = jarak sedang; > 0-t2 = jarak jauh.

3.6. Lokasi Industri Titik-Titik Ujung (End Points Location)

Gambar 3.6 Lokasi Industri Titik-titik Ujung

Keterangan: X - Y adalah biaya terminalBiaya terminal dan bentuk kurva biaya transpor berpengaruh terhadap daya tarik

lokasi industri. Lokasi industri cenderung dipilih lokasi ujung (end points), seperti titik M dan C dalam gambar di atas. Dalam gambar, biaya transpor seperti untuk kasus plat

Biaya

Tt (Jarak)

Biaya distribusi

T CM

X

Y

Biaya transpor total

Biaya perakitan

M

40

Page 51: e Book Regional

baja dan peti baja, dikaji dengan menyesuaikan struktur biaya transpor yang lebih realistis. Diperlihatkan pada gambar untuk kasus rm = rc, maka lokasi optimal tidak lagi arbitrasi (dimana saja antara M dan C). Karena adanya biaya terminal, dan bentuk kurva biaya transpor yang realistis, maka biaya angkut terkecil terletak di M atau di C, sedangkan titik tengah menunjukkan biaya tertinggi.

3.7. Keunggulan Lokasi Transhitment

Lokasi transhitment adalah suatu lokasi dimana terjadi perpindahan barang dari satu jenis alat transpor (Moda) ke jenis alat transpor yang lain. Lokasi tersebut misalnya pelabuhan laut, yaitu lokasi perpindahan angkutan dari kapal laut ke moda transportasi darat, atau sebaliknya. Lokasi transhipment tersebut memiliki keunggulan, seperti dijelaskan dengan gambar 5.6.

Misalkan kasus pabrik peti baja seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, yang bahan bakunya adalah plat-plat baja yang didatangkan dari lokasi M sedangkan pasar hasil produksinya tunggal, yaitu kota C. Seandainya lokasi M dengan B dipisahkan oleh laut, dimana lokasi B adalah di lokasi pelabuhan. Sedangkan dari B ke C dapat ditempuh dengan angkutan darat (truck atau kereta api). Dengan memperhatikan gambar 3.7, maka kurva biaya perakitan (Assembly Cost) adalah a – b – c – d, dimana :

Gambar 3.7: Keunggulan Lokasi Transhipment

Keterngan: a adalah biaya terminal di M; b adalah biaya angkutan laut dari M ke B; c adalah biaya terminal di B; d adalah biaya angkut dengan kereta api dari B ke C. Kurva biaya distribusi (Distribution Cost) adalah e – f – g – h, dimana: e adalah biaya memindahkan output dari M ke B; f adalah biaya terminal di B; g adalah biaya memindahkan output dari B ke C; h adalah biaya terminal di C

Kurva paling atas merupakan biaya transportasi total, dan merupakan penjumlahan dari dua kurva lainnya. Karena ada biaya terminal dan biaya transhipment maka ada tiga titik minimum: (1) Kalau pabrik peti tersebut berlokasi di M maka biaya transport total menjadi e + f + g + h; (2) Kalau pabrik peti tersebut berlokasi di B maka biaya transport total menjadi a + b + g + h; dan (3) Kalau pabrik peti tersebut berlokasi di C maka biaya transport total menjadi a + b + c + d. Ketiga titik dengan biaya transport minimum tersebut memiliki biaya transport total yang sama, dimana lokasi terbaik tergantung dari nilai masing-masing komponen biayanya, yang mungkin berbeda-beda untuk kasus yang berbeda. Sering terjadi bahwa lokasi pelabuhan

B C M

a h

g

d

c f

b

e

41

Page 52: e Book Regional

merupakan lokasi terbaik. Biaya di pelabuhan (Transhipment Location) tergantung pada perkembangan teknologi kepelabuhan dan perkembangan teknologi transportasi.

3.8. Lokasi Industri Kasus Satu Pasar dan Banyak Bahan Baku

Untuk kasus seperti ini, maka jika digambarkan biaya transportasinya sudah menjadi berdimensi tiga. Sebagai contoh diambil kasus industri dengan dua macam bahan baku dan satu pasar. Misalkan dua bahan baku tersebut adalah N1 dan N2, satu pasar hasil produksi (Output) adalah C. Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah menstandarisasi ukuran jumlah (Quantitas) bahan baku untuk setiap unit hasil produksi (peti baja). Misalnya untuk membuat satu peti baja diperlukan 2 ton N1 dan 1 ton N2. Biaya terminal adalah $ 1 perton bahan baku (baik untuk N1 atau N2). Diketahui pula biaya angkut bahan baku N1 = $ 0,67 perton per 100 km. Sedangkan biaya angkut N2 = $ 1 perton per 100 km. Jadi, biaya angkut untuk bahan baku N1 dan N2 per unit peti baja tersebut adalah $ 1,34 + $ 1 = $ 2,34 perunit output per 100 km. Biaya terminal bahan baku perunit hasil produksi = $ 3. Biaya angkut output $ 1 perton per 100 km, atau $ 3 perunit per 100 km. Standard semua biaya diperlihatkan pada tabel 3.2.

Tabel 3.2: Standar Biaya Asembly dan Distribusi Industri Peti Baja

No. Objek Biaya

Jumlah ton yang dibutuhkan per

unit yang diangkut

Biaya terminal perton

Biaya angkut perton

per 100 Km

Biaya terminal per unit

Biaya angkut perunit per 100

Km

1 2 3 4=1*2 5=4*3

1 Bahan baku N1

2 Ton $ 1,00 $ 0,67 $ 2,00 $ 1,34

2 Bahan baku N2

1 Ton $ 1,00 $ 1,00 $ 1,00 $ 1,00

3 Hasil Produksi

3 Ton $ 1,00 $ 1,00 $ 3,00 $ 3,00

Bahan baku N1 didatangkan dari lokasi M1 dan bahan baku N2 dar M2. Selanjutnya digambarkan di sekeliling M1 biaya transpor bahan baku (2 Ton) untuk setiap unit produk (peti baja) diperlihatkan dengan garis perjalanan (trips). Kurva ini disebut isotim. Isotim adalah garis (kurva) yang menghubungkan titik-titik sekeliling N1

yang memiliki biaya transpor yang sama. Sekitar M2 juga digambarkan kurva isotims-nya (dengan kurva yang terputus-putus). Lingkaran garis putus-putus dengan titik pusat di C memperlihatkan isotim hasil produksi. Semuanya dengan harga (nilai) seperti yang tertera di dalam tabel 3.2 di atas.Biaya transport total pada setiap titik adalah jumlah isotims , misalnya pada titik X: biaya untuk mengangkut 2 ton N1 adalah $ 10, 1 ton N2 $ 4 dan 1 unit hasil produksi ke kota C $ 8. Total biaya transpor di lokasi X dapat dihitung, yaitu: $ 10 + $ 4 + $ 8 = $ 22. Bila dipetakan, maka kita akan memperoleh titik-titik atau lokasi-lokasi dengan total biaya transport yang sama. Garis-garis yang menghubungkan titik-titik (lokasi-lokasi) dengan total biaya transport yang sama disebut Isodapanes .

Gambar 3.8 Peta Isotims dan Isodapanes Penentuan Lokasi Optimal

42

Page 53: e Book Regional

kan di lokasi mana yang memiliki total biaya transpor Minimum (Perhatikan Gambar 3.7). Tetapi perlu pula diingat bahwa lokasi industri terbaik tidak hanya ditentukan oleh isodapan terendah, banyak lagi faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Paragaf 3.11 memperhitungkan faktor-faktor dimaksud.

Karena proporsi output yang diangkut ke setiap pasar dapat dipetakan

M1

C

M2

3

4

7

5

6

8

9

10

11

12

13

14

4

7

5

6

8

9

10

11

2

3

4

5

6

7

8

9

10

A

X

43

Page 54: e Book Regional

Lokasi pabrik terbaik adalah lokasi yang memiliki total biaya transpor minimum (Minimum Isodapan). Dalam gambar diperlihatkan oleh titik A. Titik A tersebut terletak di dalam isodapan $ 20. Biasanya titik total biaya transpor minimum ini tidak terletak di salah satu lokasi bahan baku ataupun di lokasi pasar hasil produksi, tetapi berada di antaranya (Intermediate Point). Lokasi intermediate A merupakan titik minimum relatif. Minimum karena dibandingkan dengan total biaya transport di titik-titik lainnya. Misalnya kalau di lokasi M1 maka biaya transport adalah $ 10 (dari M2) + $ 9 (dari C) = $ 19. Sedangkan di lokasi dipilih di M2 total biaya transpor menjadi $14 (dari M1) + $10 (dari C) = $24. Di lokasi C total biaya transpor sebesar $10 (dari M1) + $8 (dari M2) = $18. Ternyata dalam kasus ini lokasi C memiliki total biaya transpor yang paling

3.9. Lokasi Industri dengan Pasar Banyak dan Bahan Baku Banyak

Dengan menggunakan metode peta isodapanes di atas kita dapat memecahkan masalah yang lebih rumit, yaitu menentukan lokasi optimal dari industri yang berpasar dan berbahan baku banyak. Sebagai contoh, misal pasar-pasar hasil produksi terdiri dari C1, C2, dan C3 dan sumber bahan baku terdiri dari N1, N2, dan N3 didatangkan dari lokasi-lokasi M1, M2, dan M3.

Komposisi penjualan produk adalah 20 % ke C1, 30 % ke C2 dan 50 % ke C3. Berdasarkan kaidah lokasi median maka biaya distribusi minimum kalau lokasi industri di C3, namun peta Isotims diperlukan karena dalam metode ini total biaya transpor terdiri dari dua unsur, yaitu biaya angkut hasil produksi (Distrution Cost) dan biaya input, atau biaya perakitan (Assembly Cost). Kita dapat menggambarkan peta isodapanes (kurva-kurva dengan biaya transpor total sama) dan menentukan isodapanes minimum.

Tabel 3.3: Standarisasi Biaya Bahan Baku

  N1 N2 N3

Unit bahan baku yang diperlukan untuk setiap unit hasil produksi

2 1 1

Biaya transpor per unit bahan baku per 100 km

$ 0,50 $ 0,50 $ 2,00

Biaya transport per unit bahan baku yang diperlukan per unit hasil produksi

$ 1,00 $ 0,50 $ 2,00

. Begitu pula tingkat biaya transport perunit produk yang diangkut adalah $ 4 per 100 km. Dengan demikian dapat dihitung biaya transpor ke masing-masing pasar. Kalau dimasukkan biaya terminal, maka besarnya biaya terminal untuk masing-masing pasar akan terbagi secara sebanding. Hasil perhitungan ini, dapat dipakai sebagai dasar untuk menggambarkan peta isotims pada sekeliling masing-masing pasar, dan selanjutnya dijumlahkan untuk mendapatkan isotims biaya distribusi. Lokasi biaya terendah juga di C3, dimana biaya distribusinya mencapai $ 8,5 per unit. Dengan prosedur yang sama dapat digambarkan isotims untuk setiap bahan baku dan

44

Page 55: e Book Regional

menjumlahkannya untuk mendapatkan peta isotims biaya perakitan. Dasar pembuatan peta isotim diperlihatkan dalam tabel 3.3.

Dari kedua isotims di atas, yaitu masing-masing untuk biaya distribusi dan biaya perakitan, dapat diperoleh isodapanes yang menggambarkan total biaya transpor. Caranya yaitu dengan menjumlahkan isotims biaya distribusi dan isotims biaya perakitan. Biaya transport total minimum akan berada dimana biaya tersebut mencapai $ 19,70 per unit hasil produksi. Maka lokasi industri ditempatkan di A.

Gambar 3.10: Isotims biaya perakitan yang dikombinasikan

Gambar 3.11 Peta Isodapanes (Penjumlahan Isotims Biaya Distribusi dan Perakitan)

9101112131415161718 M3

M1

M2

20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 302021222324252627282930 A

M3

C1

C2

M1

M2

3131 3232

L

C3

Bahan N3 yang didatangkan dari M3 memiliki biaya transport yang relatif tinggi, karena volumenya besar. Karena itu M3 memiliki Total Transport Cost yang minimum.

Distribusi ke C = 50%, maka berdasarkan prinsip lokasi median Total Transport Cost minimum di C3

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19910111213141516171819 C3

M3

C1C2

M1

M2

45

Page 56: e Book Regional

Gambar 3.9: Peta Isotims Biaya Distribusi yang Dikombinasikan

3.10. Peranan Biaya Produksi

Misalkan pada titik L terletak di sebuah kota dengan kondisi surplus tenaga kerja. Dengan demikian upah buruh lebih rendah dibandingkan dengan di lokasi-lokasi lain. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan rendahnya upah buruh sebagai satu variabel baru tersebut memungkinkan lokasi optimal yang semula di A akan berpindah ke L?

Pengusaha harus menghitung penghematan per unit output yang dihasilkannya sebagai pengaruh upah buruh yang lebih rendah itu, sebagai salah satu faktor efisiensi. Misalkan penghematan mencapai $ 10, maka L akan menjadi lokasi optimal untuk

46

Page 57: e Book Regional

menggantikan A. Pada peta isodapanes dapat dibaca bahwa total biaya transport di L = $ 25,50. Ini berarti $ 5,80 lebih mahal dibandingkan dengan total biaya transpor di A, karena total biaya transpor di A = $ 19,70. Mahalnya total biaya transpor di L tersebut akan tergantikan oleh rendahnya upah buruh di lokasi L tersebut, yaitu sebesar $ 10. Jadi di L ada pengurangan biaya produksi sebesar $ 4,20 per unit produk.

Misalkan lagi di lokasi T terdapat keringanan pajak sebesar $ 1 per unit produk. Apakah Pengusaha akan memilih lokasi A, L atau T? Jelas pengusaha akan tetap memilih lokasi L, karena efisiensi di L = $ 4,20 lebih efisien, sedang di T hanya $1 penghematannya. Pemilihan lokasi disamping dipengaruhi oleh faktor-faktor biaya transportasi untuk perakitan dan distribusi, juga dipengaruhi oleh: upah buruh, tingkat pajak, dan faktor-faktor lainnya, seperti kondisi iklim yang khusus, kaitan dengan kegiatan-kegiatan usaha lainnya (faktor eksternalities), dan sebagainya.

47

Page 58: e Book Regional

BAB IVEKONOMI PERKOTAAN

4.1. Pendahuluan

Dewasa ini ekonomi perkotaan sudah menjadi salahsatu spesialis ilmu ekonomi, yang disebut Urban Economics. Lahirnya spesialis ilmu ekonomi perkotaan ini tidak terlepas dari sejarah munculnya masalah perkotaan pada pertengahan abad ke-20, dimana kota-kota menjadi miskin, kumuh, dan macet dalam segala aspek kehidupan. Proses urbanisasi pada awalnya membantu pemecahan masalah pengangguran di wilayah pedesaan, dan sekaligus membantu pertumbuhan sektor industri dan jasa di wilayah perkotaan. Proses tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi mikro dan makro. Namun, dalam prosesnya lebih lanjut (dalam jangka panjang), urbanisasi justru dapat menimbulkan masalah perkotaan, dimana pada waktu kota tidak mampu lagi menyediakan lapangan pekerjaan produktif kepada penduduknya yang semakin berlipat ganda, dan pemerintah kota tidak mampu lagi memberikan pelayanan yang memadai kepada penduduk kotanya. Kemakmuran berubah menjadi kemiskinan, keindahan berubah menjadi kekumuhan, kelancaran/keteraturan berubah menjadi kemacetan.

Sebelumnya, sebagian para ahli memandang ekionomi perkotaan sebagai bahagian dari ekonomi wilayah (Regional Economics). Kota sebagai bagian dari sestem wilayah yang tidak dapat dipisahkan dari wilayah yang lebih luas, yang terdiri dari subwilayah perkotaan (Urban Area) dan sub-subwilayah perdesaan (Rural Areas). Diantara kedua subwilayah tersebut, dilihat dari sistem ekonomi wilayah, saling memberikan pelayanan satu sama lain. Ide pengembangan spesialis ekonomi perkotaan dilandasi oleh kekhasan permasalahan perekonomian di wilayah perkotaan, seperti: pendapatan perkapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan di wilayah perdesaan di sekitarnya, lapangan pekerjaan yang lebih beraneka ragam, sifat pengangguran yang terbuka, nilai sewa lahan yang didasarkan kepada nilai bangunan dan aktivitas di atasnya, infrastruktur dan pelayanan yang lebih lengkap dan padat, dan sebagainya. Keberadaan spesialisasi ekonomi perkotaan tidak terlepas dari adanya kekhasan-kekhasan tersebut, dan adanya kebutuhan analisis bagi mendukung pengembangan ekonomi di wilayah perkotaan itu sendiri.

Ekonomi perkotaan, sebagaimana halnya ekonomi regional, meliputi studi ekonomi mikro dan makro. Sebagai contoh, yang termasuk studi ekonomi mikro antara lain teori sewa lahan, teori lokasi berbagai aktivitas ekonomi dan komplek perumahan di dalam struktur tata ruang sebuah kota, dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk studi ekonomi makro antara lain PDRB kota, PDRB perpekerja kota, PDRB perkapita kota, konsumsi rumah tangga kota, pajak kota, tabungan kota, investasi kota, ekspor – impor kota, tingkat pertumbuhan ekonomi kota, dan sebagainya.

Kota didefinisikan sebagai sebuah wilayah atau subwilayah yang memiliki sifat-sifat khusus tertentu, antara lain tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi dibandingkan dengan wilayah atau subwilayah di sekitarnya, lapangan pekerjaan yang lebih beraneka ragam, pendapatan perkapita yang relatif tinggi dibandingkan dengan wilayah atau subwilayah di sekitarnya, dan infrastruktur yang relatif lebih lengkap. Menurut John Frietmann (1979), kota merupakan inti (Core) dari sebuah wilayah, merupakan pusat dari semua aspek kegiatan penduduk wilayah.

48

Page 59: e Book Regional

4.2. Sifat-sifat Wilayah Perkotaan

John Freedman dan Cleyde Wever dalam bukunya Territory and Function: The Evaluation of Regional Planning (1979) membagi suatu wilayah atas Core dan Periphery. Core adalah pusat dari sebuah wilayah, sedangkan Periphery adalah wilayah di sekitar core atau subwilayah di sekitarnya atau hinterlandnya. Core merupakan lokasi pusat kegiatan atau lokasi pusat pertumbuhan kegiatan penduduk di suatu wilayah dalam semua aspek kehidupan, yang meliputi aspek-aspek sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Oleh karena itu core merupakan pusat kegiatan dan perkembangan semua aspek kehidupan penduduk wilayah, maka sifat-sifatnya dapat dibedakan dengan bagian wilayah yang lain (Periphery). Pertama, jumlah penduduk di lokasi tersebut persatuan luas wilayah (tingkat kepadatan) relatif lebih tinggi. Artinya bila tingkat kepadatan penduduk tersebut dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk di bagian wilayah yang lain di sekitarnya (di Hinterland-nya). Kedua, fasilitas pelayanan lebih lengkap. Yang dimaksud dengan fasilitas pelayanan adalah kemudahan-kemudahan bagi mendukung aktivitas penduduk dalam berbagai aspek, yang meliputi pelayanan fisik (seperti: jalan, kendaraan umum, listrik, telepon), pelayanan ekonomi (seperti: pasar, perbankan, lembaga asuransi, dsb.), pelayanan sosial (seperti: sekolah, rumah sakit), pelayanan rekreasi dan sebagainya. Ketiga, struktur pekerjaan penduduk di wilayah perkotaan lebih beraneka ragam. Core adalah subwilayah perkotaan dari sebuah wilayah yang luas, sedangkan Periphery adalah subwilayah pedesaannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu kota secara definitif sekurang-kurangnya haruslah memenuhi tiga criteria tersebut di atas, yaitu menyangkut: kepadatan penduduk, struktur pekerjaan penduduk, dan kondisi sarana dan prasarana pelayanan umum.

4.3. Proses Tumbuh dan Berkembangnya Sebuah Kota

Ada tiga teori tentang proses tumbuhnya sebuah kota, yaitu: (1) Teori yang mengatakan bahwa sebuah kota tumbuh dari proses perkembangan tempat-tempat peristirahatan dalam perjalanan. (2) Teori yang mengatakan bahwa sebuah kota tumbuh dari proses perkembangan lokasi transit (bongkar muat barang atau naik turun penumpang) diantara jenis-jenis angkutan. (3) Teori yang mengatakan bahwa sebuah kota tumbuh dari proses perkembangan lokasi distribusi atau koleksi barang-barang dan jasa-jasa di suatu wilayah yang subur.

Kota yang tumbuh dari perkembangan pusat-pusat peristirahatan dalam perjalanan. Sebagai contoh dikemukakan bagaimana asalmuasal tumbuhnya kota-kota di pesisir timur Amerika Serikat. Menurut sejarahnya kota-kota di wilayah tersebut bermula dari perkembangan lokasi-lokasi peristirahatan orang-orang yang melakukan perjalanan dengan kuda. Adanya orang-orang yang melepaskan lelah, kemudian disusul oleh adanya orang-orang yang mencoba menyediakan pelayanan, seperti warung, penginapan, dan sebagainya muncullah tempat-tempat yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Oleh karena itu jarak antara kota yang satu dengan yang lain di wilayah tersebut relatif dekat-dekat, yaitu seukuran dengan lelahnya kuda dan perlu diistirahatkan. Analog dengan kondisi perkembangan sarana transportasi dewasa ini, kota-kota baru bisa tumbuh dan berkembang sepanjang jalan raya, sejauh supir-supir truk/bus perlu beristirahat dan mengistirahatkan kendaraannya.

Kota yang tumbuh dari perkembangan lokasi transit. Lokasi transit bisa terjadi antara kapal laut dan angkutan sungai, kapal laut dengan angkutan darat (pelabuhan).

49

Page 60: e Book Regional

Lokasi pelabuhan juga bisa berkembang menjadi sebuah kota. Contoh lain, angkutan-angkutan jalan raya sering berhenti pada persimpangan-pesimpangan jalan masuk ke pedalaman yang dilayani oleh kenderaan-kedaraan kecil, sado/delman, becak, gerobak, ojek, dan sebagainya. Lama-kelamaan persimpangan jalan tersebut berproses menjadi kota, yang mula-mula tumbuh karena adanya kebutuhan penumpang yang melakukan transit akan barang-barang dan jasa-jasa (berbelanja) yang kemudian diikuti oleh munculnya pelayanan dari orang-orang yang ingin mencari keuntungan. Analog dengan lokasi transit ini mungkin persimpangan jalan tersebut berupa sebuah muara sungai dimana angkutan laut dan angkutan sungai saling melakukan kegiatan transit, mungkin juga lokasi pelabuhan laut, lokasi pelabuhan udara, persimpangan jalan arteri dengan jalan kolektor/distributor dan sebagainya.

Kota yang tumbuh dari perkembangan sebuah wilayah yang subur. Wilayah yang subur akan dimanfaatkan oleh penduduk, khususnya di sektor pertanian. Kegiatan produksi di sektor pertanian ini akan terbentuk pusat pelayanannya, yaitu lokasi pusat penyaluran hasil produksi pertanian dan tempat mendapatkan kebutuhan-kebutuhan konsumsi dan input-input produksi pertanian. Dari waktu ke waktu pusat pelayanan itu akan berkembang dan memenuhi syarat untuk dapat disebut sebagai sebuah kota.

Dalam perkembangan sekarang ini mungkin saja antara dibangun dan dikembangkannya sebuah kota dengan kebutuhan akan lokasi peristirahatan dalam perjalanan, dengan lokasi transit, dan lokasi pengembangan sebuah wilayah yang subur bisa terjadi secara bersamaan waktu. Sebagai contoh, di Indonesia, kota Palangkaraya dibangun dengan direncanakan terlebih dahulu, artinya dibangun bersamaan waktu dengan pembangunan/pembukaan hinterlandnya, yaitu pembangunan provinsi Kalimantan Tengah. Palangkaraya direncanakan dan dibangun sebagai pusat kegiatan pemerintahan (politik) dan pusat pelayanan ekonomi, pusat pelayanan sosial dan kebudayaan untuk Kalimantan Tengah. Sejarah lahirnya kota Palangka Raya tidak dapat dilepaskan dari peranan Presiden RI pertama, Bung Karno.

4.4. Perkembangan Ekonomi Perkotaan

Dewasa ini ekonomi perkotaan sudah menjadi suatu spesialisasi ilmu ekonomi. Bahkan sebagian para ahli berpendapat bahwa ekonomi perkotaan sudah merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri (Sukanto dan Karseno, 1994). Para ahli yang berpendapat demikian itu mendasarkan pandangannya kepada luasnya masalah kajian dalam Ekonomi Perkotaan. Adapun masalah-masalah tersebut: (1) Masalah perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan. (2) Masalah penganguran di wilayah perkotaan. (3) Masalah pendapatan di wilayah perkotaan, baik pendapatan kota maupun pendapatan perkapita penduduk kota. (4) Masalah pemanfaatan tanah (Land Use) dan nilai tanah di wilayah perkotaan. (5) Masalah pengangkutan (transportasi) di wilayah perkotaan. (6) Masalah infrastuktur di wilayah perkotaan. (7) Masalah fasilitas pelayanan di wilayah perkotaan. (8) Masalah-masalah wilayah perkotaan lainnya yang khas.

Semua masalah ini dapat diangkat aspek ekonominya, sebagai suatu aspek ekonomi yang khas, baik mikro maupun makro. Melalui pemecahan aspek ekonomi dari masalah-masalah tersebut diharapkan semakain berkembang pula Ilmu Ekonomi Perkotaan (Urban Economics).

50

Page 61: e Book Regional

4.5. Aktivitas Masyarakat Kota Yang Multi Aspek

Kota tidak saja merupakan konsentrasi kegiatan ekonomi tetapi juga konsentrasi kegiatan semua aspek kehidupan manusia. Masalah ini merupakan suatu kerumitan dalam pemecahan permasalahan ekonomi perkotaan. Aspek-aspek tersebut melahirkan sejarah, kelembagaan, pandangan hidup, dan sebagainya yang khas.

Sebuah kota dalam hubungan dengan tata ruang meliputi keterkaitan ke dalam kota sendiri, ke dalam wilayah, dan ke luar wilayah (intra regional relationship dan inter regional relationship). Faktor tersebut memberikan dampak terhadap kondisi dan lingkungan suatu kota, baik dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan, misalnya masuknya modal, tenaga kerja terampil dan terdidik, serta teknologi yang lebih maju. Sedangkan yang tidak diharapkan misalnya masuknya penduduk tenaga kerja kasar yang berlebihan (urbanisasi) dan modal (investasi) yang sporadis sehingga menimbulkan kemacetan di segala bidang dan pencemaran. Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh urbanisasi, setelah kota tidak mampu lagi menyediakan lapangan pekerjaan yang layak (lapangan kerja produktif) kepada penduduknya dapat menimbulkan kemiskinan, lingkungan pemukiman menjadi buruk (kumuh), kesehatan buruk, pendidikan buruk, transportasi tidak lancar, lingkungan tercemar, dan sebagainya.

Tentang masyarakat kota, menurut Sukanto dan Karseno (1982), terdapat tiga pandangan, yaitu: (1) Pandangan liberal, (2) Pandangan konservatif, dan (3) Pandangan radikal. Pandangan liberal dan pandangan konservatif bertolak dari hipotesis yang sama, yaitu; “bahwa masyarakat memiliki lembaga-lembaga tertentu dan hubungan-hubungan tertentu”. Hubungan-hubungan tersebut memunculkan perilaku-peilaku tertentu dari satuan-satuan pengambilan keputusan, sepeti rumah tangga pekerja, badan usaha, dan sebagainya. Masing-masing satuan masyarakat dan satuan kerja tersebut menyesuaikan diri. Putusan akhir individu-individu adalah pilihan masing-masing dengan atau tanpa memperdulikan lembaga-lembaga yang ada. Setiap orang bebas mengusahakan kesejahteraannya dalam batas-batas tertentu. Terdapat pula kegiatan-kegiatan masyarakat yang dikombinasikan, yang menghasilkan keseimbangan sosial yang stabil dan dinamis. Postulasi dasar pandangan-pandangan tersebut meliputi: (1) adanya keseimbangan dalam aspek sosial, (2) keseimbangan masyarakat dalam pengertian bebas dan komplek, dan (3) perubahan dalam masyarakat yang terjadi secara perlahan-lahan (evolusi).

Pokok-pokok dari ketiga pandangan tersebut adalah sebagai berikut: (a) Pandangan konservatif, dengan pokok-pokok pandangannya: (1) pemerintah harus dibatasi kegiatannya, (2) mekanisme pasar diandalkan untuk mengalokasikan sumberdaya secara efektif, efisien dan memberi hasil yang maksimal, (3) mengutamakan kebebasan individu dan keteraturan masyarakat. (b) Pandangan Liberal, dengan pokok-pokok pandangannya: (1) pemerintah harus membagi kembali pendapatannya, (2) bila mekanisme pasar tidak memuaskan konsumen, pemerintah harus berbuat sesuatu untuk memperbaikinya, dan (3) pemerintah harus menyediakan fasilitas-fasilitas yang tidak mampu diadakan melalui meknisme pasar, misalnya fasilitas pertahanan keamanan. (c) Pandangan Radikal, dengan pokok-pokok pandangannya: (1) Struktur dan evolusi masyarkat kota tergantung modus produksi yang dominan (masyarakat kapitalis tidak sama dengan masyarakat feodal dan tidak sama dengan masyarakat sosialis). (2) Modus produksi pada masyarakat kapitalis adalah organisasi buruh melalui kontrak-kontrak

51

Page 62: e Book Regional

kerja. (3) Metoda organisasi produksi meliputi usaha-usaha produksi dan distribusi. (4) Hubungan produksi dan distribusi menentukan dinamika masyarakat (masyarakat selalu menambah kekayaan). (5) Oleh karena hubungan produksi dan distribusi menentukan dinamika, maka orang selalu berusaha dengan menjadi pekerja. Kapitalis akan selalu berusaha menjadi dominan melalui akumulasi kekayaan lewat perusahaan. (6) Dinamika masyarakat menjurus kepada berbagai reaksi: (a) mekanisme dan pembagian kerja atau menghasilkan akibat-akibat yang tidak terkendali, (b) kapitalisme menimbulkan usaha-usaha sosialisasi kerja, mengakibatkan manusia saling tergantung, kelompok-kelompok saling menghancurkan persaingan merajalela, (c) konflik masyarakat timbul dari hasrat selalu ingin memperbesar kapasitas produksi. (7) Lembaga perlu diubah untuk dapat melayani perubahan-perubahan yang timbul dalam masyarakat.

Menurut Sukanto dan Karseno (1982), ketiga aliran tersebut ada di Indonesia. Tetapi berhubung sesuatu hal, tidak terlihat dengan jelas.

4.6. Berkembangnya Sebuah Kota

Sebuah kota lahir, kemudian tumbuh membesar dan mati. Apakah factor-faktor yang menyebabkan sebuah kota tumbuh dan membesar? Faktor-faktor tersebut adalah berkembangnya aktivitas penduduk kota dalam semua aspek kehidupan (utamanya kegiatan ekonomi), proses terkonsentrasinya kegiatan penduduk tersebut ke kota yang bersangkutan (Aglomerasi), yang kemudian diikuti oleh perpindahan penduduk dari wilayah pedesaan ke kota tersebut (Urbanisasi). Faktor-faktor yang menyebabkan terkonsentrasinya kegiatan ekonomi ke wilayah perkotaan tersebut ada empat. Pertama, adalah faktor Scale Economics. Artinya melakukan kegiatan usaha berproduksi di wilayah perkotaan dapat menerapkan sekala produksi yang besar, dapat memilih sekala produksi yang optimal, yang terkait dengan tujuan efisiensi (Economies of Sale), berdampak setidak-tidaknya dapat memenuhi volume penjualan minimum untuk pabrik-pabrik baru (Minimum Threshold). Kedua, adalah faktor Comparative Advantage. Artinya berproduksi di wilayah perkotaan lebih rendah biaya produksinya dibandingkan dengan berlokasi di wilayah pedesaan. Alasannya, karena adanya fasilitas pelayanan, dimana fasilitas pelayanan tersebut dapat dibangun dengan sekala produksi yang optimal dan dapat dipilih teknologi yang efisien. Ketiga faktor Proximity. Artinya kedekatan kota ke berbagai pasar input dan output. Jadi faktor tersebut dapat menekan biaya transpor Inputs (Assembly Cost) dan biaya distribusi Output (Delevery Cost). Faktor kedekatan ini temasuk kedekatan dengan perusahaan-perusahaan lain yang terkait, atau yang disebut faktor Externalities. Keempat, faktor Amenities. Artinya faktor kemudahan-kemudahan yang disediakan pemerintah kota untuk menarik investasi, dan penduduk ke kotanya. Contohnya pemerintah kota penyediaan Infrastruktur yang baik, keringanan pajak, termasuk pelayanan-pelayanan pemerintah yang bersifat Externalities bagi perusahaan. Pemerintah kota selalu memelihara kotanya indah, aman dan nyaman.

Industri memerlukan lahan lokasi. Lahan lokasi tersebut dipilih di mana yang paling ekonomis. Lahan lokasi yang paling ekonomis bukan di lokasi yang harga atau sewa lahannya paling rendah, tetapi di lokasi optimum (Optimum Location). Lokasi optimum adalah lokasi dimana titik kombinansi biaya sewa lahan dengan jumlah ouput maksimum yang dapat dicapai perusahaan bersinggungan (Richardson, 1969). Lahan kota relatif terbatas. Pemanfaatan input lain yang masuk ke wilayah kota dari waktu ke waktu semakin meningkat, sehingga nisbah (Ratio) input-input tersebut terhadap lahan

52

Page 63: e Book Regional

semakin meningkat. Harga atau sewa lahan kota menjadi terus meningkat. Salah satu kemungkinan dampaknya yang akan terjadi adalah memperluas aktivitas kota ke pinggiran kota. Kondisi tersebut mempercepat pertumbuhan area kota. Lahan-lahan pertanian di sekitar kota berubah fungsi menjadi lokasi-lokasi industri. Lalu diikuti dengan perubahan lokasi pemukiman kota. Proses tersebut dinamakan proses Penetrasi, yaitu proses desakan suatu sektor kegiatan terhadap sektor kegiatan lain. Proses terdesaknya sektor yang relatif kurang mampu membayar sewa lahan oleh sektor yang lebih mampu. Lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan lokasi industri, lokasi jasa dan lahan lokasi pemukiman penduduk kota. Perubahan fungsi ini mengakibatkan nilai ekonomis lahan meningkat tajam. Pemilik lahan menyukai dampak tersebut. Tetapi sisi negatifnya area lahan pertanian akan terus berkurang, produksi bahan makanan berkurang, dan pengangguran buruh tani akan meningkat. Oleh karena itu untuk menghindari perkembangan wilayah kota yang tidak diinginkan tersebut diberlakukan kebijakan tata guna lahan (Land Use) dan jalur hijau (Greenbelt) yang ketat.

Begitu pula di dalam kota, terjadi penetrasi dari satu sektor/subsektor kegiatan ke sektor/subsektor kegiatan yang lain, yaitu ke subsektor yang mampu membayar sewa lahan lebih tinggi. Subwilayah kota yang semula merupakan area perumahan penduduk berubah menjadi area pertokoan. Subwilayah kota yang semula area perkantoran atau industri berubah menjadi area pertokoan atau perhotelan. Ini terjadi karena kemampuan membayar sewa lahan dari masing-masing aktifitas/peruntukan bersaing. Kemampuan membayar sewa lahan ditentukan oleh kemampuan menciptakan nilai tambah dari jenis kegiatan masing-masing. Kemampuan menciptakan nilai tambah ditentukan oleh intensitas penggunaan lahan dan nilai sewa per m2 dari lahan tersebut. Kemampuan pedagang menyewa toko per m2/tahun atau kemampuan orang-orang yang sedang berpergian menyewa kamar hotel per m2 rata-rata per tahun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan penyewa ruangan kantor, penyewa rumah tinggal. Apalagi kalau dibandingkan dengan kemampuan petani yang ingin memanfaatkannya untuk pertanian. Terkait dengan jenis peruntukan wilayah itu sendiri memungkinkan perbedaan intensitas penggunaan, misalnya untuk peruntukan yang dapat menggandakan luas beberapa kali dengan cara menjadikannya lokasi gedung bertingkat, atau gedung pencakar langit. Inilah faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan fungsi lahan dan penetrasi lokasi peruntukan ruang di wilayah perkotaan dan sekelilingnya dan faktor tersebut adalah faktor ekonomis.

Biaya transport (Transport Cost) dan kegiatan penduduk akan menentukan besarnya kota (City Size). Besarnya kota dan lokasinya yang seimbang akan menentukan keunggulan lokasi (Comparative Advantage). Jadi, Proximities, Scale Economies, dan Comparative Advantage, merupakan faktor-faktor penawaran (Supply Factors). Disamping itu ada pula faktor lain yang dilihat sebagai faktor permintaan (Demand Faktor) yang juga menentukan perkembangan sebuah kota, yaitu faktor Amenities. Faktor Amenities ini berupa kemudahan-kemudahan yang tersedia di sebuah kota, yang berfungsi sebagai daya tarik bagi warganya. Misalnya pemerintah kota yang baik, fasilitas umum yang lengkap, lingkungan yang sehat dan baik karena bebas dari pencemaran, adanya rasa aman dan sebagainya.

4.7. Masalah Kota di Indonesia

Masalah kota di Indonesia, menurut Sukanto dan Karseno (1982) lebih komplek. Menurut dia ada tiga masalah pokok yang dapat diidentifikasi, yaitu: (a) Masyarakat

53

Page 64: e Book Regional

kota masih menonjol ciri-ciri masyarakat pedesaannya, seperti sikap acuh tak acuh. (b) Masih lemah dalam kesadaran hukum. (c) Juga, masih lemah dalam penegakan hukum.

Sebagai contoh, bila ada suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan umum, masyarakat cenderung tidak memperdulikan. Barang-barang kepentingan umum sering dirusak, bahkan dicuri. Aparat hukum cenderung memilih-milih masalah, bertindak jika diperintah, berperilaku ulur tarik, kurang ada kepastian, dan sebagainya.

4.8. Perencanaan Penduduk Kota

Jumlah penduduk kota tumbuh relatif cepat dan perlu direncanakan agar pertumbuhannya sebanding dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan dan berbagai pelayanan yang diperlukan. Angka pertumbuhan penduduk kota terdiri atas angka pertumbuhan alamiah dan migrasi. Oleh karena itu tingkat pertumbuhan penduduk kota umumnya jauh di atas rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk wilayahnya secara keseluruhan. Faktor yang menyebabkan perpindahan penduduk desa ke kota meliputi faktor ekonomis dan non ekonomis. Memang, faktor ekonomis merupakan faktor yang utama (Todaro, 1994). Adapun faktor ekonomis tersebut adalah tingkat upah di kota yang relatif lebih tinggi, atau pendapatan perkapita di kota yang relatif lebih tinggi. Faktor non ekonomis antara lain pelayanan yang lebih baik di kota, seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, hiburan, dan sebagainya. Di samping itu juga faktor rasa bangga tinggal di kota, faktor adat-istiadat yang relatif ketat di desa, faktor keamanan yang relatif kurang terjamin di desa, dan sebagainya. Semua faktor tersebut bisa dikelompokkan sebagai faktor-faktor daya tarik (Pole Factors) dan faktor-faktor pendorong (Push Factors).

Pada sisi yang lain penduduk memerlukan pekerjaan yang produktif, atau pekerjaan yang layak. Jika tidak, banyak angkatan kerja yang menjadi kurang produktif, bahkan banyak yang mengangur (tidak produktif), selanjutnya kota akan terjebak kepada kondisi kemiskinan. Kondisi kemiskinan tersebut akan berdampak pada kekumuhan, kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas, bahkan kemacetan dalam semua aspek kehidupan (seperti kurangnya pelayanan, suburnya kriminalitas, dan sebagainya). Untuk membangun dan memelihara kondisi kota yang baik perlu perencanaan yang komprehensif, meliputi aspek tata guna lahan, aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek hukum, dan aspek kependudukan.

Untuk negara yang sedang berkembang, seperti halnya Indonesia, komposisi relatif penduduk kota terhadap total penduduk wilayah masih perlu ditingkatkan. Karena peningkatan tersebut terkait dengan tujuan perubahan struktur ekonomi dalam jangka panjang. Namun proses perubahannya haruslah terencana dengan baik, sebab jika tidak perkembangan kota bisa terjebak kepada masalah kerusakan yang fatal, masalahnya akan menjadi lebih kompleks, yang akhirnya akan membutuhkan biaya yang jauh lebih besar untuk merehabilitasinya dibandingkan dengan biaya membangun dan memeliharanya secara berencana. Di samping itu ada titik optimal jumlah penduduk sebuah kota dikaitkan dengan tujuan pertumbuhan pendapatan perkapita wilayah (peningkatan standar hidup penduduk suatu wilayah) juga terkait dengan interval-interval pendapatan perkapita tertentu (Henderson, 1994). Di negara-negara maju komposisi relatif penduduk kotanya sekitar 80% dari total penduduk wilayah. Ini tidak berarti negara sedang berkembang lansung bisa menyamainya tanpa perencanaan secara komprenesif dan hati-hati.

54

Page 65: e Book Regional

4.9. Pertumbuhan dan Perencanaan Penduduk Kota di Indonesia

Kondisi penduduk di Indonesia dewasa ini masih perlu mendorong pertumbuhan penduduk dan pembesaran kota-kota. Tujuannya adalah untuk mendorong pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi, walau itu harus dilakukan dengan hati-hati. Artinya, aktifitas ekonomi di wilayah perkotaan perlu didorong dengan penawaran tenaga kerja yang cukup. Sektor-sektor ekonomi perkotaan (sekunder dan tersier) memang memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi dibandingkan dengan sector-sektor ekonomi perdesaan (primer) dan kalau didorong perkembangannya melalu rencana pembangunan akan meningkatkan pendapatan perkapita penduduk, mempercepat peningkatan standar hidup penduduk. Dengan keterkaitan yang baik antara kegiatan ekonomi perkotaan dan pedesaan di sekitarnya maka akan mendorong pula peningkatan pendapatan rata-rata penduduk pedesaan. Ini merupakan bagian dari rencana pembangunan, dimana dari waktu ke waktu jumlah penduduk yang berdiam di kota-kota akan didorong ke arah yang semakin seimbang dengan kemampuan sektor-sektor ekonomi dalam memberikan pekerjaan yang produktif di keseluruhan wilayah (pedesaan dan perkotaan sebagai satu kesatuan). Tampaknya apa yang diharapkan itu sedang terjadi juga di Indonesia, walau proses tersebut tidak merata di semua pulau atau wilayah .

Sebagai contoh pada tahun 1980 jumlah penduduk di Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan hanya 18% dari jumlah penduduk nasional pada saat itu. Pada tahun 1988 komposisi itu telah berubah, yaitu menjadi 71,5% yang tinggal di wilayah pedesaan dan 28,5% di wilayah perkotaan. Kalau dilihat berdasarkan wilayah-wilayah komposisi penduduk kota tersebut tidak merata. Kalau wilayah-wilayah diidentikkan berdasarkan pulau-pulau besar, maka keadaan tahun 1988 adalah sebagai berikut: (1) Pulau Sumatra dengan jumlah penduduk 35,8 juta jiwa (20,38% penduduk nasional) memiliki komposisi penduduk desa berbanding penduduk kota 76,7 : 23,3; (2) Pulau Jawa dengan jumlah penduduk 105,8 juta jiwa (60,22% penduduk nasional) memiliki komposisi 66,6 : 33,4; (3) Pulau Kalimantan dengan jumlah penduduk 8,5 juta jiwa (4,84% penduduk nasional) memiliki komposisi 75,0 : 25,0; (4) Pulau Sulawesi dengan jumlah penduduk 12,3juta jiwa (7,00% penduduk nasional) memiliki komposisi 83,0 : 17,0; (5) Pulau-pulau Bali dan Nusa Tenggara (termasuk Timor Timur) dengan jumlah penduduk 10 juta jiwa (5,69% penduduk nasional) memiliki komposisi 90 : 10; Pulau-pulau Maluku dan Irian Jaya dengan jumlah penduduk 3 juta jiwa (1,88 % penduduk nasional) memiliki komposisi 82 : 18.

Kalau dilihat wilayah berdasarkan wilayah-wilayah pembangunan utama, yaitu berdasarkan konsep enam WPU adalah sebagai berikut: (1) Untuk WPU-A, yang meliputi D.I. Aceh, Sumut, Sumbar, dan Riau dengan pusat pengembangannya Medan memiliki jumlah penduduk 20,02 juta jiwa. Jumlah penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan adalah 80 : 20; (2) Untuk WPU-B, yang meliputi Jambi, Sumatra Selatan, Begkulu dan Lampung dengan pusat pengembangannya Palembang memiliki jumlah penduduk 15,81 juta jiwa. Jumlah penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan adalah 79 : 21; (3) Untuk WPU-C yang meliputi DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta dan Kalimantan Barat dengan pusat pengembangannya Jakarta memiliki jumlah penduduk 66,3 juta jiwa. Jumlah penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan adalah 58 : 42; (4) Untuk WPU-D yang meliputi Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dengan pusat pengembangannya Surabaya memiliki jumlah penduduk 40,65 juta jiwa. Jumlah

55

Page 66: e Book Regional

penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan adalah 75 : 25; (5) Untuk WPU-E yang meliputi Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur dengan pusat pengembangannya Ujung Pandang memiliki jumlah penduduk 19,51 juta jiwa . Jumlah penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan adalah 84 : 16; (6) Untuk WPU-F yang meliputi Maluku dan Irian Jaya memiliki jumlah penduduk 3,28 juta jiwa. Jumlah penduduk wilayah pedesaan berbanding jumlah penduduk perkotaan 82 : 18.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi komposisi penduduk wilayah perkotaan tidak homogen diantara pulau-pulau besar dan juga diantara Wilayah-wilayah Pembangunan Utama di seluruh kepulauan wilayah nasional. Pada tahun 1988, komposisi penduduk kota di Pulau Jawa sudah mencapai 33,3%, sedangkan Pulau Sumatra dan Kalimantan antara 23%-25%. Pulau-pulau Nusa Tenggara dan Pulau Sulawesi antara 15%-17%. Begitu pula untuk pulau-pulau Maluku dan Irian Jaya antara 13%-23%. Kalau dilihat berdasrkan WPU-WPU, komposisi penduduk wilayah perkotaan WPU-C sudah sangat menonjol sudah hampir mencapai 42%. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh wilayah urban Jakarta yang berkembang pesat dalam jumlah penduduknya. Barangkali satu hal yang juga menarik diperhatikan adalah bahwa Pulau Kalimantan yang tergolong jarang penduduknya dan memiliki system transportasi yang relatif kurang baik itu memiliki pola permukiman penduduk kota yang menonjol (25,21%). Dan yang paling menonjol adalah Provinsi Kalimantan Timur dimana 42,6% penduduknya telah berdomisili di wilayah perkotaan .

Perlu juga diketahui, bahwa sampai dengan berakhirnya Repelita V, masalah struktur perkotaan di dalam kesatuan wilayah nasional tidak memperlihatkan suatu pola terstruktur/berjenjang sebagaimana kecenderungan berdasarkan teori. Kota-kota tidak tumbuh terstruktur. Diperkirakan hal itu disebabkan oleh sejarah orientasi wilayah atau keterkaitan aktifitas penduduk dalam berbagai aspek kehidupan di masa lalu, antara lain sejarah sistem transportasi nusantara, polarisasi wilayah dalam saling ketergantungannya, sejarah struktur kerajaan-kerajaan di nusantara, dan sejarah kekuasaan kolonial di masa lalu. Demikian pula pola pembangunan wilayah atau daerah selama Repelita, yang berlangsung lebih dari 25 tahun, dimana kota-kota dibangun lebih banyak berorientasi kepada tujuan yang ingin diwujudkan dibandingkan dengan usaha pengembangan potensi keterkaitannya secara alamiah.

Disamping itu, masalah kelebihan penduduk (Over Populated) dari beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung dan Ujung Pandang memerlukan dana subsidi yang besar sekali untuk merehabilitasi kekumuhan dan kesemerautannya. Pengertian kelebihan penduduk di sini dimaksudkan sebagai suatu kondisi dimana terbatasnya kemampuan kota-kota tersebut untuk mendukung tersedianya lapangan kerja dan pelayanan yang layak bagi penduduk (lapangan kerja, fasilitas sosial, lingkungan yang sehat, dan sebagainya). Pertumbuhan kota-kota tersebut tidak didukung oleh potensi ekonominya yang riil secara mandiri. Hidup dan perkembangannya sangat dipengaruhi anggaran subsidi. Pendapatan kota jauh lebih kecil dibanding pengeluarannya. Perencanaan pengembangannya tidak dikaitkan dengan titik optimasinya. Anggaran biaya tahunannya lebih besar dari penerimaan tahunan yang asli (Government Expenditure > Local Taxes). Ketahanan ekonomi kota di Indonesia khususnya di masa Repelita sangat ditentukan oleh kemampuan subsidi pemerintah pusat. Hal itu memang dimungkinkan pada periode-periode, dimana negara banyak menerima pajak dan laba dari perusahaan-perusahaan minyak bumi dan gas

56

Page 67: e Book Regional

alam yaitu periode 1974 samapi dengan 1983, dan lain-lain sumber yang tidak dikaitkan dengan potensi ekonomi lokal.

4.10. Aglomerasi

Aglomerasi merupakan kondisi terkonsentrasinya berbagai aspek kegiatan penduduk ke lokasi perkotaan/sekitarnya. Sedangkan aglomerasi ekonomi adalah kondisi terkonsentrasinya kegiatan ekonomi ke wilayah perkotaan/sekitarnya. John Friedmann membuat teori yang cukup jelas mengenai proses aglomerasi ini. Apabila suatu wilayah dengan kegiatan ekonomi yang kecil-kecil dan tersebar di seluruh wilayah, kemudian dibangun jalur transportasi (fasilitas perhubungan) yang baik maka kegiatan ekonomi yang kecil-kecilan dan tersebar itu akan menghilang dan akan muncul kegiatan-kegiatan ekonomi yang berskala besar yang terpusat di suatu lokasi (terkonsentrasi). Ini terjadi sebagai akibat adanya daya tarik kota terhadap kegiatan tersebut yang merupakan faktor ekonomis.

Gambar 4.1 Proses Aglomerasi Menurut John Friedman

Keterngan: x = aktivitas ekonomi = kota -- = jalan

Aktivitas-aktiviatas ekonomi yang semula tersebar, akan terkonsentrasi ke

sekitar kota jika wilayah diberikan infrastruktur transportasi, tanpa diikuti perencanaan

yang komprehensif, karena faktor kedekatan kota (Proximity) meningkat.

Lihat pula teori Hottelling tentang aglomerasi sepanjang garis.

4.11. Program Anti Konsentrasi dan Pengendalian Pertumbuhan Kota

Pertumbuhan kota perlu dibatasi, jangan sampai terjebak kepada kondisi kelebihan penduduk (Over Populated). Untuk itu pembangunan bidang transportasi di suatu wilayah perlu diimbangi dengan pembangunan perekonomian di wilayah pedesaannya. Tujuannya adalah untuk memelihara pendapatan rata-rata penduduk wilayah (antara penduduk kota dan desa) relatif seimbang. Kesenjangan pendapatan rata-rata ini adalah faktor ekonomis, yang menurut Todaro merupakan penyebab utama urbanisasi. Disamping faktor tersebut terdapat pula factor-faktor lain, seperti terbatasnya fasilitas-fasilitas pelayanan dan kurangnya rasa aman di wilayah pedesaan.

Urbanisasi yang tidak mampu diimbangi dengan kemampuan menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai pelayanan yang dibutuhkan di wilayah perkotaan akan

x x x x x x

x

x x x x x x

x

x x x x x

x

x x x x x x

x

x x x x x x x xx xx x x x

57

Page 68: e Book Regional

menimbulkan kemiskinan dan kekumuhan kota-kota. Kemiskinan akan menimbulkan masalah-masalah kota, baik yang berwujud fisik maupun sosial. Pada akhirnya pemerintahlah yang harus memikul biaya rehabilitasi yang sangat besar. Sebagai contoh: rehabilitasi kawasan Cicadas di kota Bandung, pada masa Repelita, membutuhkan biaya samapi U.S $30 juta, yang bersumber dari pinjaman Asing, yang ditangani oleh Bandung Urban Development Programme (BUDP). Dana sebesar itu tidak memungkinkan di biaya dari sumber pemerintah kota Bandung sendiri. Problema yang dipecahkan oleh BUDP ini hanya sebahagian kecil dari problem kekumuhan kota Bandung, yaitu hilangnya sungai Cidurian di Kecamatan Cicadas, akibat pertumbuhan penduduk yang berlebihan dan ketidak pedulian masyarakat terhadap kerusakan lingkungan.

Proses membesarnya kota-kota dengan jumlah penduduk puluhan juta jiwa, terutama berlangsung di negara-negara sedang berkembang yang daya dukung keuangannya lemah. Ini pernah dikemukakan oleh Lembaga Kependudukan A.S sebagai rekomendasi hasil studi berkenaan dengan perkembangan penduduk kota-kota di dunia. Kondisi tersebut merupakan sesuatu yang berbahaya dan belum begitu disadari oleh negara berkembang itu sendiri. Salah satu cara mengantisipasinya, sepeti yang dikemukakan oleh Rondenelly adalah dengan membangun fasilitas yang lebih baik dan lengkap ke kota-kota yang berstatus kota sedang dan kecil dalam struktur kota wilayah, agar arus urbanisasi dapat dibelokkan ke kota-kota sedang dan kecil tersebut. Namun dalam kenyataannya pembangunan kota tidak selalu berjalan sesuai dengan ketentuan ilmiah. Sebagai contoh, Menurut Henderson, adanya faktor favoritisme elit penguasa (eksekutif dan legislative) terhadap kota-kota tertentu dalam proses pembangunan.

Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa faktor–faktor yang menyebabkan membesarnya kota-kota yang relatif cepat meliputi faktor ekonomis dan non ekonomis. Faktor-faktor tersebut ada yang berfungsi sebagai Pole Factors dan Push Factors. Faktor ekonomis merupakan faktor yang dominan. Urbanisasi mempercepat pertumbuhan penduduk kota, mengingat tingkat pertumbuhan penduduk kota merupakan penjumlahan dari angka pertumbuhan alamiah dan angka pertumbuhan migrasi. Peningkatan jumlah penduduk kota berarti pertumbuhan kota. Karena, pertumbuhan kota ukurannya adalah pertumbuhan jumlah penduduk kota itu sendiri. Dibedakan dengan pertumbuhan ekonomi kota, yang berarti pertumbuhan output nyata kota, atau output nyata perkapita di wilayah kota, atau pertumbuhan output nyata per tenaga kerja di kota. Ukuran pertumbuhan kota dilihat pada tingkat kepadatan penduduk per satuan luas wilayah kota dan jumlah total penduduk kota itu sendiri. Ini menunjukkan adanya hubungan pertumbuhan kota dengan tingkat pertumbuhan urbanisasi.

4.12. Beberapa Model Observasi Lokasi Pemukiman Kota

Sebagaimana dijelaskan oleh H.W. Richardson (1969), bahwa kebanyakan ahli menganalisis struktur tata ruang kota bertolak dari analisis sosiologis dan analisis ekonomi. Pada umumnya mereka memusatkan perhatian pada teori nilai tanah dan pemukiman. Berikut ini di kemukakan beberapa model (hasil penelitian empiris):

4.12.1. Model Hawley

58

Page 69: e Book Regional

Menurut Hawley sebaran lokasi perumahan dipengaruhi oleh beberapa faktor: (a) Nilai tanah (tingkat sewa lahan); (b) Lokasi berbagai kegiatan penduduk; (c) Biaya dan waktu transportasi ke pusat kegiatan. Nilai sewa rumah ditentukan oleh faktor-faktor tersebut. Hawley menemukan sebuah paradoks yang menyangkut lokasi perumahan kota ini, yang disebut Paradok Hawley, yang berbunyi ”Keluarga-keluarga yang berpendapatan rendah bertempat tinggal di lokasi-lokasi yang memiliki nilai tanah yang tinggi, sebaliknya keluarga-keluarga yang berpendapatan tinggi tinggal di lokasi–lokasi yang memiliki nilai tanah yang rendah.”

Kaum buruh yang berpendapatan rendah menginginkan tinggal di sekitar lokasi tempat kerja mereka (di pusat-pusat kegiatan sosial dan ekonomi), mereka menghindari biaya transport yang tinggi. Bagi mereka biaya transport menjadi pertimbangan pokok dalam memilih tempat tinggal, pelayanan transport termasuk kebutuhan pokok, dan merupakan biaya tetap pada anggaran belanja keluarga. Motivasi mereka bertempat tinggal di sekitar lokasi tempat bekerja/kegiatan pelayanan adalah untuk menghindari pengeluaran biaya transport keluarga yang tinggi. Tanah disekitar pusat-pusat kegiatan cenderung menjadi objek spekulasi. Orang-orang kaya cenderung tidak memilih tinggal di lokasi tersebut. Sewa tanah menjadi pertimbangan pokok orang-orang kaya dalam memilih tempat tinggal. Mereka menginginkan lahan lokasi tempat tinggal yang relatif luas. Sewa tanah di sekitar lokasi aktivitas cenderung tinggi.

Kondisi perumahan/lingkungan pada lokasi sekitar pusat kegiatan biasanya menjadi kurang terawat, karena sewa yang mampu dibayar oleh golongan yang berpendapatan rendah relatif rendah pula. Oleh karena itu, kemampuan melakukan perawatan rendah. Rumah tangga orang-orang miskin cenderung padat atau berdesak-desakan. Sebaliknya dari apa yang terjadi di lokasi tempat tinggal orang-orang kaya, alternatif penggunaan lahannya di lokasi yang dipilih lebih terbatas. Oleh karena itu nilai lahan di lokasi tersebut rendah. Fasilitas-fasilitas lingkungan kehidupan orang-orang kaya relatif baik, penggunaan lokasi diatur dengan baik, sewa tempat tinggal dibayar tinggi, kebalikan dari sewa tanah. Tempat tinggal orang-orang kaya cenderung memilih lokasi di pinggiran kota.

4.12.2. Model Alonso

William Alonso tidak mendasarkan analisisnya pada dinamika pertumbuhan kota atau pada kebiasaan-kebiasaan spekulasi. Namun dia merinci beberapa faktor yang mempengaruhi lokasi perumahan kota, yaitu: (a) Kuatnya pengaruh nilai tanah pada pemilihan lokasi; (b) Permintaan lokasi bervariasi sesuai dengan besarnya pendapatan; (c) Lokasi perumahan orang-orang kaya relatif tidak dipengaruhi oleh faktor biaya pulang pergi ke kota (Commuter Cost); (d) Aksesibilitas berperan sebagai komoditi inferior. Aksesibilitas merupakan faktor waktu tempuh, faktor biaya transport, dan faktor kepadatan/intensitas penggunaan lahan. Aksesibilitas tinggi adalah waktu tempuh rendah biaya transport rendah intensitas pemakaian yang tinggi. Jadi elastisitas pendapatan (Income Elasticity) untuk tanah tinggi. Sebaliknya elastisitas pendapatan untuk aksessibilitas ke pusat kota negatif.

4.12.3. Model Becman

59

Page 70: e Book Regional

Becman mendasarkan asumsi pemilihan lokasi tempat tinggal kepada memaksimalkan ruang tinggal, pengeluaran rata-rata keluarga dan biaya commuting. Biaya-biaya tersebut merupakan fungsi pendapatan keluarga yang linier. Ini dipakai sebagai dasar penyebaran rumah (pasar perumahan). Rumah tangga orang-orang kaya cenderung berlokasi di luar kota.

4.12.4. Model Wendt

Model Wendt disebut juga model operasional. Menurut Wendt, lokasi perumahan ditentukan oleh “keseluruhan nilai, yang dipandang sebagai selisih nilai secara keseluruhan dari biaya-biaya yang diharapkan bagi amortisasi rate”

dimana: V = keseluruhan nilai tanah kota; Fx = ekspektasi; P = penduduk; Y = pendapatan rata-rata; S = penawaran tanah yang bersaing; Pu = pusat daya tarik yang bersaing; PI = investasi pemerintah; T = pajak daerah; = sigma atau jumlah keseluruhan; Oc = biaya operasi; Im = bunga modal yang diinvestasikan untuk pembangunannya; Dim = penyusutan pada proyek-proyek pembangunan; i = tingkat bunga; R = resiko investasi; Cg = kemungkinan kapital gains (hasil-hasil modal)

Wendt menentukan nilai-nilai teoritis diantara fakta-fakta yang mempengaruhi keseluruhan nilai tanah dan pengaruh-pengaruh tersebut menentukan lokasi. Unsur penerimaan dan biaya merupakan fungsi dari macam penggunaan. Pada pemakaian di sektor industri pelayanan akan mendasarkan unsur penerimaan pada volume penjualan yang diharapkan di lokasi alternatif yang dipilih dan biaya operasi pendistribusiannya. Industri akan membandingkan penjualan produk potensial dengan biaya produksi. Rumah tangga akan membandingkan nilai biaya dan manfaat, dibandingkan dengan berbagai lokasi alternatif. Membandingkan biaya Commuting, pajak, biaya pembangunan, dan sebagainya.

4.12.5. Model Stevens

Model Harbert Stevens (Linear Programming Model) ini memperlihatkan bagaimana lokasi perumahan disebarkan di suatu wilayah hunian dalam hubungannya dengan usaha memaksimalkan kepuasan dan jumlah sewa yang dikeluarkan rumah tangga. Dasar asumsi yang dibuat di sini adalah, bahwa setiap orang ingin mencoba memenuhi kebutuhannya dan dikaitkan dengan biaya-biaya yang diperlukan untuk berbagai kebutuhan pada lokasi tersebut, serta anggaran rumah tangga yang tersedia. Diasumsikan orang-orang memiliki pengetahuan yang cukup tentang disain lokasi yang optimal untuk rumah tangga berdasarkan kelompok pendapatan yang berbeda-beda. Diharapkan pula, bahwa disain (rencana) tersebut memperhitungkan daya tampung pada masing-masing lokasi. Harbert Stevens mendasarkan modelnya kepada 4 faktor, yaitu: (1) jenis rumah; (2) derajat kedekatan (Amenity); (3) Preferency aksesibilitas; dan (4) ukuran tempat tinggal.

Kesulitan yang kemudian timbul dalam penerapan model ini adalah: (a) bagaimana mengetahui secara sempurna sejumlah preferensi (keuntungan/kemudahan) untuk faktor-faktor lokasi tersebut. Faktor-faktor tersebut harus dihimpun dari berbagai

60

Page 71: e Book Regional

penelitian berdasarkan sampel-sampel dengan memperhitungkan tingkat pendapatan penduduk yang berbeda-beda, kedekatan, sarana-sarana yang berbeda, ukuran tempat tinggal yang berbeda dan sebagainya; (b) bila model ini digunakan untuk tujuan prediksi, diasumsikan pula tidak terjadi perubahan selera.

4.12.6. Model Lowrey

Asumsi pokok model Lowrey adalah bahwa lokasi kegiatan sudah given dan tingkat kegiatan eknomi ditentukan oleh faktor-faktor yang bersifat eksogen. Distribusi perumahan secara relatif ditentukan oleh pusat-pusat pekerjaan. Ukurannya adalah distribusi trayek yang ada (Trip Distribution Indicies), berdasarkan studi transportasi wilayah. Dia mengembangkan 13 zona kompleks perumahan, yang untuk setiap kelompok perumahan terdiri dari 11 cicin konsentrasi, dengan radius satu mil. Dihitung trayek asal ke tempat bekeja (Work Trip Originating) yang tiba di terminal sebelah luarnya (batas/lingkaran tetangga).

Di sini diasumsikan adanya keseimbangan kesempatan kerja antar zona yang digambarkan dalam bentuk lingkaran-lingkaran. Penelitian tentang kondisi yang ada untuk berbagai studi bertujuan untuk memperkirakan kesempatan kerja pada masing-masing lokasi kerja dan ini penting sekali. Lowrey juga membuat model kedua yaitu menghitung kamapanan terhadap padagang-padagang eceran sebagai dampak trayek yang ada tersebut. Jadi populasi terhadap pedagang eceran dapat diperkirakan dan juga terhadap jenis-jenis pelayanan lainnya.

4.12.7. Model Artle

Artle memperkenalkan dua model operasional untuk memperkirakan distribusi spasial, yaitu: (1) Model Pendapatan Potensial (Income Potential Model); (2) Model Regresi (Regression Model)

4.12.7.1 Model Pendapatan Potensial

Model ini bertujuan untuk memperkirakan tingkat kemampuan berbagai jenis pelayanan, misalnya toko-toko eceran di dalam sebuah kota. Mencoba membagi kota ke dalam bagian-bagian persegi empat (zona-zona) yang seimbang. Asumsi dasarnya adalah bahwa pendapatan keluarga pada setiap zona memiliki potensi pengaruh pada zona yang lain dan pengaruh tersebut menurun bila jaraknya bertambah.

Rumusnya:

dimana: Gij = sebuah konstanta ; Yj = pendapatan kelurga-keluarga segi empat i, j; dij = jarak antara segi empat i dan j, yaitu jarak antara pusat zona i dan zona j; n = jumlah segi empat

Artle meneliti kondisi yang ada dengan maksud dapat memperkirakan pengeluaran pada setiap pelayanan berdasarkan data input-output yang dikaitkan dengan potensi pendapatan agregatif (Income Potential Aggregate) masing-masing zona. Hasil perhitungan tersebut diunakan untuk memperkirakan penawaran pelayanan yang dipilih/ diberikan masing-masing zona, sehingga ada keterpaduan antara zona yang satu dengan

61

Page 72: e Book Regional

zona yang lain. Biaya variabel rata-rata (AVC) pelayanan tertentu sama di setiap zona. Lokasi perumahan dapat dipakai sebagai basis perhitungan potensi pendapatan. Perbedaan sewa yang tinggi di antara zona dapat diabaikan. Model ini memerlukan data yang banyak. Jika sulit memperoleh data, maka Artle mengusulkan model regresi sederhana.

4.12.7.2 Model Regresi Sederhana

Model Regresi Sederhana Artle bertolak dari ukuran rumah tangga, ukuran tempat tinggal, dan pekerjaan penduduk sebagai variabel bebas yang mempengaruhi jumlah bentukan pelayanan di setiap zona.

Rumusnya:N = a + bPr + cPw + Z

Dimana: N = jumlah pelayanan yang didirikan setiap zona; Pr = ukuran tempat tinggal penduduk setiap zona; Pw = ukuran pekerjaan penduduk tiap zona; a, b, c = konstanta-konstanta; z = besaran sisa

Model ini masih dapat dikembangkan lagi dengan memperhitungkan tingkat sewa pada masing-masing zona dan biaya transpornya. Implikasi kedua model tersebut sangat berbeda. Model pendapatan potensial mengasumsikan bahwa tidak ada batas antar zona. Sedangkan pada model regresi trayek antar zona dapat diabaikan.

4.13. Keterkaitan Wilayah

Keterkaitan wilayah dalam ajaran teori ekonomi regional merupakan faktor penting. Sebagai contoh, dalam kasus pembangunan Appalachia di Amerika Serikat, dimana 77% dari anggaran biaya pembangunan yang disediakan oleh pemerintah untuk wilayah tersebut digunakan untuk membangun jaringan jalan raya. Dalam hal keterkaitan wilayah ini berkaitan dengan keterkaitan wilayah tersebut ke luar (Interregional Connections) dan keterkaitan antar sub-subwilayah yang bersangkutan (Intraregional Connections). Melalui peningkatan keterkaitan tersebut diharapkan permasalahan surplus dan defisit produksi diantara wilayah-wilayah atau subwilayah menjadi terpecahkan.

Di dalam sejarah perkembangan ekonomi makro keterkaitan wilayah ini telah menjadi dasar bagi berkembangnya perdagangan yang saling menguntungkan baik antar wilayah maupun diantara sub-sub wilayah sendiri, baik yang disebabkan oleh adanya faktor perbedaan yang bersifat mutlak ataupun perbedaan yang bersifat relatif, seperti perbedaan sumberdaya, biaya dan keuntungan (Absolute Advantage maupun Comparative Advantage).

Perdagangan menumbuhsuburkan unit-unit usaha mencapai puncak-puncak spesialisasi, efisiensi dan manfaat ekonominya, dimana sumber daya serta teknologi yang digunakan diasumsikan tidak berubah. Semua pihak akan dapat mengambil manfaat, dapat mengkonsumsikan barang-barang dan jasa yang lebih meningkat. Dari aspek spasial, pada tahap pengembangan perdagangan, melahirkan kota-kota yang efisien. Melalui seleksi tumbuhnya industri barang dan jasa, wilayah perkotaan mendorong peningkatan efisien penggunaan sumber daya dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.

Sebagai contoh dapat dikemukan apa yang terjadi di Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Menurut Samuelson (1980), pada awal abad ke-20 kota-kota di Amerika

62

Page 73: e Book Regional

Serikat tumbuh dengan pesat dan urbanisasi dipandang sebagai suatu proses yang saling menguntungkan. Namun pada sekitar pertengahan abad ke-20 arus urbanisasi sudah dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya, terutama sekali dalam pandangan pemerintah-pemerintah kota. Tingkat penghidupan di wilayah perkotaan tidak lagi dapat mempertahankan lingkungan yang indah dan sehat. Biaya pengadaan perumahan-perumahan umum membengkak dan subsidinya menjadi membengkak pula. Pemerintah kemudian mencoba memecahkan masalah ini pada akar penyebabnya yaitu kurangnya perhatian pada kehidupan pedesaan di masa lalu. Pemerintah membuat kebijaksanaan untuk membangun sektor pertanian melalui Landreform dan Research pertanian oleh universitas-universitas. Kebijaksanaan itu berhasil meningkatkan produksi sektor pertanian tetapi belum berhasil memperbaiki taraf hidup di wilayah pedesaan. Oleh karena produksi yang melimpah, elastisitas permintaan produk yang inelastis, kesejahteraan petani justru merosot. Langkah lebih lanjut pemerintah mengembangkan sistem pemasaran produk-produk pertanian. Beban subsidi kepada kota-kota yang menjebak angaran pemerintah kemudian berhasil dikendalikan. Dalam pada itu pada sisi yang lain muncul pula gagasan untuk mengurangi arus urbanisasi ke kota-kota besar yang tidak efisien lagi, yang ditulis oleh Dennis A Rondenelly. Rondenelly menganjurkan agar di kota-kota sedang (sekunder) dibangun fasilitas-fasilitas yang lebih baik dan lokasi industri didorong ke kota-kota sekunder tersebut. Dengan demikian diperkirakan arus urbanisasi akan terbelokkan ke kota-kota yang berpenduduk antara 100.000 sampai 300.000 jiwa.

Hasil stusi di banyak negara berkembang menunjukkan bahwa pertumbuhan pusat-pusat metropolitan yang besar selalu menghasilkan Backwash Effect kepada wilayah sekelilingnya. Tricklingdown Effect yang diharapkan tidak terbukti, dan modernisasi kota gagal meningkatkan kesejahteraan golongan miskin, khususnya mereka yang berada di pedesaan. Keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi telah menyedot pendapatan wilayah pedesaan (Capital flight from rurals to urbans) terbukti sebagai suatu kenyataan.

Dikatakan pula bahwa rencana-rencana pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang, yang dimulai sekitar tahun 1970-an telah melupakan kebijakan-kebijakan yang bertujuan mengurangi kemiskinan melalui perencanaan tingkat pertumbuhan regional yang wajar dan tidak berusaha menghindari tumbuhnya wilayah-wilayah konsentrasi penduduk yang besar tersebut. Padahal sejak tahun 1950-an keseimbangan penduduk antara wilayah perkotaan dan pedesaan telah berada pada kondisi yang tidak menguntungkan bagi negara-negara yang sedang berkembang itu sendiri, dimana rata-rata pertumbuhan penduduk kota mereka mencapai 4% pertahun.

Pada tahun 1978 lembaga Demografi Amerika Serikat pernah mengadakan penelitian terhadap 116 negara yang kesimpulannya terbukti bahwa pada umumnya pemerintah negara-negara berkembang tidak puas dengan tata ruang penyebaran penduduknya (yaitu 68% menyatakan sangat tidak puas dan 42 % menyatakan setengah tidak puas).

Didorong oleh pernyataan tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia dan Amerika Serikat berusaha mendorong usaha-usaha peningkatan peranan kota-kota sekunder, karena diperkirakan bahwa negara-negara sedang berkembang akan memiliki lebih banyak kota-kota metropolitan dengan penduduknya jauh lebih besar dibandingkan penduduk kota metropolitan di negara-negara maju sendiri. Diperkirakan 61 kota metropolitan akan tumbuh di negara-negara sedang berkembang pada tahun

63

Page 74: e Book Regional

1990-an. Padahal di lain pihak negara-negara yang sedang berkembang sangat terbatas dalam kemapuannya untuk memelihara kondisi kota yang layak.

Untuk membantu memecahkan masalah tersebut ditawarkan empat gagasan kepada para perencana di negara-negara sedang berkembang, yaitu: (1) Mengurangi kesenjangan antar wilayah melalui rencana pengembangan kota sekunder, melalui penyebaran manfaat urbanisasi yang lebih kecil dan tersebar. (2) Mendorong perkembangan ekonomi pedesaan melalui rencana pengembangan kota sekunder dalam bentuk usaha memberikan pelayanan dan pemasaran barang-barang pertanian untuk mendorong penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak di sektor pertanian. (3) Mengusahakan peningkatan kapasitas administrasi untuk kota-kota sekunder. Dalam rangka mengorganisir pelayanan pertumbuhan produksi yang lebih efisien, dan menangani proses desentralisasi bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah. (4) Berbarengan dengan usaha-usaha tersebut dilakukan pula pengurangan tingkat kemiskinan di kota yang telah terlanjur membesar dengan cara meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui pengorganisasian masyarakat perkotaan.

Pada akhir uraian tersebut diakui pula bahwa perkembangan pembangunan regional di negara-negara yang sedang berkembang masih belum baik.

4.14. Pembangunan Wilayah di Negara-Negara ASEAN

Menurut Prantilla (1981), dari enam negara-negara ASEAN (pada waktu itu) empat diantaranya telah memasukkan pembangunan regional ke dalam rencana pembangunan nasionalnya, yaitu Malaysia, Thailand, Philipina dan Indonesia. Keempat negara ini memiliki bentuk dan bobot permasalahan yang berbeda, potensi sumber daya yang berbeda, kondisi geografis yang berbeda, posisi strategis yang tidak persis sama, dan kebijaksanaan yang berbeda termasuk dalam hal sistem perwilayahannya. Ternyata Malaysia relatif kecil permasalahan disparitas interregionalnya dan memiliki pendapatan perkapita yang paling tinggi diantara keempat negara tersebut. Malaysia tidak membuat perwilayahan pembangunan, mereka membagi wilayah-wilayahnya berdasarkan negara-negara bagian yang sembilan, perencanaan regional terkonsentrasi ke pusat. Thailand membagi wilayah nasionalnya kepada empat wilayah pembangunan, dengan main sektornya hanya pertanian, khususnya beras. Sedangkan Philipina membagi wilayah nasionalnya atas 12 regions, dan satu diantaranya adalah region metropolitan Manila. Regionalisasi di Philipina dibuat dengan jelas dimana pengorganisasiannya oleh lembaga-lembaga perencanaan disesuaikan dengan kebijaksanaan regionalisasi.

Di Indonesia, selama periode Repelita-I, belum begitu berdasar regionalisasinya, akan tetapi dinilai sangat menonjol pembangunannya karena ditunjang sumber daya pertambangan seperti minyak bumi, gas alam dan sebagainya. Telah diperkenalkan empat Wilayah Pembangunan Utama (WPU) pada Repelita II, dan berkembang mejadi lima WPU sejak Repelita III, yang menurut Prantilla regionalisasi di Indonesia tidak memiliki alasan-alasan ekonomi yang cukup kuat, hanya sekedar menentukan pusat pertumbuhan di samping Jakarta. Belum begitu terlihat adanya sifat-sifat (characteristics) dari masing–masing wilayah yang spesifik, baik dilihat dari kandungan sumber daya alam (Natural Resources) maupun dari segi penduduk (Human Resources) sehingga tidak mudah dipilih main sector alternatif untuk dikembangkan dan dikaitkan dengan pasar domestik dan dunia dalam suatu keterkaitan yang saling membutuhkan dan efisien, atau adanya manfaat Comparative Cost atau Cooperative Advantage.

64

Page 75: e Book Regional

Pembagian lima wilayah dan pusat pertumbuhan tersebut belum memperlihatkan adanya alasan-alasan teoritis maupun praktis yang dapat memberikan manfaat kepada pembangunan daerah ataupun nasional untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan pemerataan diantara daerah-daerah, untuk memperluas kesempatan kerja di wilayah-wilayah kekurangan lapangan pekerjaan, untuk memperkokoh kestabilan ekonomi nasional jangka panjang, dan untuk memeratakan kegiatan ekonomi ke seluruh pelosok tanah air.

65

Page 76: e Book Regional

BAB VSTRUKTUR TATA RUANG KOTA

5.1. Pendahuluan

Bab ini akan memusatkan perhatian kepada teori ekonomi di dalam struktur tata ruang kota. Bagaimana susunan tata ruang kota, baik kota besar ataupun kota kecil, ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi. Pengaruh kekuatan-kekuatan ekonomi tersebut jelas terlihat pada waktu mendiskusikan faktor-faktor minimalisasi biaya dan aksessibilitas. Masalah ini memang perlu didiskusikan, untuk mendapatkan pengertian konprehensif tentang struktur kota-kota modern, membatasi asumsi-asumsi pasar bebas, dan mengkaji berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah, berkenaan dengan perencanaan kota dan pelayanan umum. Sarjana ekonomi sendiri tidak mungkin mampu memberikan semua jawaban yang lenkap terhadap problema yang seperti itu, di sini diperlukan analisis yang bersifat lintas spesialisasi ilmu (Interdisipliner).

5.2. Minimalisasi Biaya Ruang

Bertolak dari prinsip-prinsip dan sifat-sifat dari bagian-bagian ruang kota yang berbeda, telah mendorong lahirnya usaha untuk mengendalikan struktur tata ruang kota, meminimalisasi biaya dari bagian-bagian kota tersebut, diterima secara umum, serta lazim dilakukan secara sistimatis oleh pemerintah. Pertama kali definisi ini dibuat oleh R.M. Haig (1920-an), kemudian dilanjutkan oleh Dorau dan Hinman, Ely dan Wehrwein, Roteliff, dan terakhir oleh Gutenberg dengan berbagai modifikasi. Bagian pokok dari teori tersebut adalah dimana “Organisasi kota menggambarkan apa yang dilakukan oleh rumahtangga - rumahtangga dan perusahaan-perusahaan, atau yang disebut “bagian-bagian ruang” (Friction of Space).

Biaya transportasi merupakan salah satu unsur biaya dari bagian-bagian ruang tersebut. Transportasi merupakan suatu alat pemecah bagi terbagi-baginya ruang kota, dan jaringan transportasi yang lebih efisien membuat biaya transpor lebih rendah dan ruang-ruang kota akan menjadi kurang terpecah-pecah kepada bagian-bagian kota, dan lebih mudah terintegrasi satu sama lain. Sewa lahan diperhitungkan ke dalam biaya masing-masing bagian ruang kota, dan dengan demikian dapat diperoleh manfaat dari biaya transpor (Transport Cost Saving). Haig melanjutkan pikiran-pikiran maju R.M.Hurd. Studi R.M.Hurd yang meliputi 50 kota di Amerika Serikat, dan memasukkan analisis von Thunen, yang dikenal dengan analisis model pertanian (Agricultural Model), sebagai awal dari perluasan model analisis nilai lahan untuk konteks perkotaan. Hurd menyimpulkan bahwa nilai lahan tergantung pada kedekatan (Proximity). Sedangkan von Thunen mengatakan bahwa sewa lahan akan semakin tinggi jika lahan tersebut semakin dekat dengan pusat kota, karena alat pemuas (fasilitas) yang paling banyak hanya dapat diperoleh di pusat kota, oleh karena dari bagian-bagian ruang kota (Friction of Space) pusat kota lebih menguntungkan dalam hal tenaga kerja dan waktu.

“Biaya dari bagian-bagian kota” meliputi: (a) biaya transpor, dan (b) sewa tempat (dalam hal ini merupakan pengurangan dari biaya transpor juga), artinya sewa (r)↑ maka biaya transpor (T). Sumbangan Haig dalam teori ekonomi tata ruang kota ini adalah menghubungkan kedua unsur biaya tersebut secara tegas. Bagaimanapun jumlah dari kedua unsur biaya tersebut tidak dilihat sebagai sesuatu yang tetap (Constant). Artinya, berbeda lokasi berbeda pula unsur-unsur biaya tersebut. Di dalam

66

Page 77: e Book Regional

teori lokasi optimal untuk suatu kegiatan, biaya dipengaruhi oleh tingkat aksessibilitas. Tata letak kota ditentukan oleh prinsip-prinsip di atas. Jadi, bertolak dari logika bebas tentang balas jasa, pasar tanah perkotaan merupakan pegangan di dalam cara mengelola ruang, atau biaya bagian-bagian ruang yang dihasilkan oleh keseluhan sewa tanah minimum dan biaya transpor kota. Bagaimana biaya-biaya harus diminimalkan, termasuk pengurangan faktot-faktor yang dapat mengurangi kegunaan (Disutility) perjalanan. Perbaikan-perbaikan ini menjadikan hipotesis lebih realistis, tetapi ada kelemahan dilihat dari sudut kemampuan pelaksanaan, dikarenakan sebagian besar masalah-masalah yang dimasukkan ke dalam penentuan nilai untuk suatu jangka waktu yang amat pendek (A Momentary Term) menjadi rendah kegunaannya.

Berdasarkan formulasi semula, teori tersebut mengandung sejumlah kelemahan. Haig tidak menjelaskan bagaimana meminimalisasi biaya bagian-bagian ruang kota oleh rumah tangga atau perusahaan untuk minimalisasi biaya-biaya agregat di seluruh kota. Apabila potensi penerimaan (Revenue) berbeda-beda di satu tempat dengan tempat yang lain, dan tujuan perusahaan memaksimalisasi laba, biaya dari bagian-bagian ruang kota akan merupakan salah satu dari sekian banyak unsur biaya yang harus dikalkulasi dalam pendekatan biaya dan penerimaan di setiap lokasi. Jadi hipotesis tersebut lebih mungkin diterapkan pada industri-industri pengolahan di dalam persaingan sempurna daripada sebuah toko eceran. Minimalisasi biaya dari bagian-bagian ruang kota hanya sebagai sebuah ukuran lokasi kerja di dalam kasus yang istimewa dimana penerimaan-penerimaan dan biaya-biaya yang lain semuanya konstan. Hipotesis tersebut juga kurang menjabarkan perilaku rumahtangga-rumahtangga dalam mencapai kepuasan. Biasanya rumahtangga memilih tempat untuk memaksimalkan kepuasan mereka dibandingkan dengan meminimalkan biaya bagian-bagian ruang kota. Sebuah rumahtangga dapat menekan unsur sewa dari biaya-biaya bagian ruang dengan memilih ukuran rumah yang lebih kecil. Apabila pilihan-pilihan untuk ukuran tempat tidak diikutsertakan, dan biaya-biaya bagian ruang kota menjadi satu-satunya penentu lokasi perumahan, maka perumahan akan cenderung berjarak sangat jauh dari pusat kota.

Menurut Haig prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan pada perencanaan kota. Fungsi perencana kota adalah menyeimbangi akibat-akibat dari ketidakbebasan pasar, yang dapat meningkatkan biaya dari bagian-bagian ruang kota, dengan merencanakan biaya bagian-bagian ruang tersebut menjadi minimum. Tetapi benarkah asumsi-asumsi pasar bebas dan informasi yang lengkap tersebut pasti terjadi, dimana hasil akhirnya biaya-biaya dari bagian wilayah tata ruang secara keseluruhan menjadi minimum?

Hanya sedikit contoh kasus yang memperlihatkan bahwa ini salah. Jika tuan tanah telah memiliki pengetahuan menyeluruh ia mungkin akan menetapkan sewa tanah yang lebih rendah daripada menetapkannya sesuai dengan prosedur pasar bebas, harga tanah menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditentukan dengan mekanisme pasar bebas. Ini karena para penawar cenderung berkurang dengan semakin jauh lokasi lahan dari pusat kota, dan ini diatur di dalam sistem pasar tersebut. Pada sisi lain, harga-harga akan cenderung diturunkan pada bagian-bagian ruang kota dimana zona tersebut tidak jadi diusahakan, atau dibatalkan pengusahaannya. Biaya keseluruhan bagian-bagian ruang kota dapat dinaikkan atau diturunkan tergantung pada elastisitas harga permintaannya. Suatu pengaturan lokasi yang maksimum di seluruh kota pasti akan menurunkan biaya dari bagian-bagian tata ruang kota. Akhirnya, akibat dari perbedaan-perbedaan pada tingkat penyesuaian dapat mengubah keadaan dan dapat juga memberi akibat pada biaya dari bagaian-bagian ruang kota.

67

Page 78: e Book Regional

Sebagai misal, apabila A adalah seorang penawar yang lebih tinggi untuk suatu lokasi tertentu, tetapi lokasi ini pernah ditingalkan B sebagai pengontrak lama, A mungkin membandingkannya dengan beberapa lokasi yang lain. Si A membuat pilihan diantara lokasi yang dekat atau yang jauh dari pusat kota, antara kapling kecil atau besar, dan pilihannya itu dipengaruhi oleh biaya-biaya pada bagian-bagian ruang masing-masing. Misalkan biaya dari bagian-bagian ruang yang dipilih A tersebut lebih besar dari lokasi yang dikuasai B. Kemudian biaya pemeliharaan bagian ruang si A tersebut lebih besar dari yang dikeluarkan si B. Apabila biaya bagian ruang A dikeluarkan lebih besar maka itu berarti menambah keuntungan (Saving) bagi si B. Si B membayar sewa lebih rendah dan si A akan berkeinginan untuk membayar lebih rendah dari nilai kontrak tersebut.

Biaya dari bagian-bagian ruang secara agregat biasanya cenderung turun dari pada naik. Apabila tekanan biaya tersebut sampai kepada batas minimumnya, hipotesis minimalisasi biaya-biaya dari bagian ruang tersebut akan diletakkan kepada situasi-situasi yang luar biasa. Sebagai contoh, seorang perencana kota menargetkan minimalisasi biaya tersebut sendiri seperti memadatkan rumah-rumah yang dibangun pada kepadatan fisik yang maksimum di sekitar pusat kota dan membuat peraturan-peraturan yang menakutkan semua industri konstruksi dan perdagangan, dengan demikian menurunkan biaya bagian-bagian ruang di sektor ini hingga nol. Akan tetapi akankah suatu bentuk ruang yang seperti ini sesuai dengan perilaku maksimalisasi kepuasan individual? Prinsip minimalisasi biaya bagian-bagian ruang mungkin merupakan suatu unsur penting di dalam penjelasan struktur tata ruang sebuah kota.

5.3 Lingkungan Kota

Lingkungan kota juga merupakan suatu pendekatan hipotesis dari biaya-biaya minimum suatu bagian ruang kota, disesuaikan untuk mengangkat biaya-biaya variabel non-ekonomi, seperti misalnya nilai tanah. Rumusan-rumusan distribusi ekologi dan unit-unit pasar cenderung menjadi sedemikian rupa, dimana biaya total dari perolehan-perolehan kepuasan maksimum diminimalisir. Biaya tersebut telah tertera dalam suatu daftar, termasuk semua jenis kehilangan kegunaan (Disutility) seperti halnya biaya ekonomi dan lain-lain bentuk biaya. Jelasnya, karena kehilangan kegunaan tidak dapat diukur dalam terminilogi moneter, maka hipotesis dalam bentuk ini tidak dapat diuji.

Suatu pembatasan kembali apa yang disebut terakhir dari teori minimalisasi biaya dari bagian-bagian ruang kota telah pernah dicoba oleh Guttenberg, tetapi dia menekankan pada pentingnya efisiensi transportasi di dalam penentuan struktur tata ruang sebuah kota, dan rumusan-rumusan model ini disajikan dalam terminilogi yang dinamis. Dia melihat prinsip pengorganisasian adalah “suatu upaya masyarakat dalam mengatasi jarak”. Guttenberg membagi kemungkinan lokasi kegiatan kota ke dalam dua bagian, yaitu: bagian yang fasilitasnya disebarkan ke seluruh kota “penyebaran fasilitas-fasilitas”, dan bagian yang fasilitasnya dipusatkan lebih banyak pada satu pusat tertentu “pemusatan fasilitas-fasilitas”. Tingkat campur tangan pemerintah pada disebarkan atau tidak disebarkannya fasilitas-fasilitas tersebut tergantung pada efisiensi sistem transportasi. Biaya transpor adalah penentu utama tingkat biaya bagian-bagian ruang kota, oleh karena itu suatu sistem transpor yang efisien sama dengan keberhasilan usaha masyarakat mengatasi jarak, dan memungkinkan suatu struktur kegiatan yang terpusat. Sebaliknya apabila transportasi terbatas, tempat-tempat kerja, pusat-pusat pelayanan,

68

Page 79: e Book Regional

lembaga-lembaga perdagangan dan pemerintah dapat diasumsikan mengikuti suatu pola yang tersebar. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam efisiensi tranportasi akan merubah pola struktur tata ruang oleh substitusi perizinan antara lokasi ruang pinggir (Periphery) dengan lokasi pusat (Centre).

5.4 Perilaku Konsumen Secara Spatial dan Lokasi Perdagangan Eceran

Menurut H.W Richardson, dengan berpedoman pada kegiatan toko eceran dapat diperluas generalisasi-generalisasi empiris tentang struktur tata ruang kota, khususnya di dalam konteks sebuah wilayah metropolitan. Penjualan perkapita lebih tinggi di pusat kota dibandingkan dengan di zona-zona (bagian-bagian) kota lainnya. Di luar sebuah radius dengan jarak 20 mil penjualan perkapita akan mulai meningkat lagi, sebagai refleksi dari pengaruh pusat perkotaan lainnya. Pola ini menggambarkan kekuatan kota besar yang cenderung menarik para pembeli dari zona-zona tetangga. Bagaimanapun jarak yang lebih besar memecah tata ruang kepada zona-zona yang lebih kecil, trayek-trayek yang lebih jauh ke pusat kota akan berfungsi sebagai penyekat untuk melindungi pusat-pusat lain dari persaingannya dengan pusat kota. Oleh karena itu faktor jarak memastikan penjualan yang lebih tinggi untuk zona-zona pinggiran kota, dan untuk kota-kota kecil yang tersebar, serta kota-kota besar dimana jarak trayek dari kota-kota besar tersebut ke pusat-pusat toko eceran hinterland-hinterland-nya masing-masing cukup jauh. Hasil-hasil penelitian juga memperlihatkan berbagai kejelasan tentang jenis-jenis jarak di dalam pengalaman individu. Pusat utama tersebut dikhususkan pada toko-toko secara umum dan kelengkapan informasi dari bagian-bagian pinggiran kota pada barang-barang tahan lama (Durable Goods) umumnya. Sedangkan pakaian, barang-barang perhiasan, makanan, surat kabar, tembakau dan sejenisnya, biasanya dijual lebih tersebar. Di dalam sebuah analisis konseptual, yang didasarkan pada faktor jarak, disebutkan bahwa jarak akan membantu menjabarkan pola spasial yang luas pada aktivitas perdagangan eceran.

Suatu pendekatan analisis untuk masalah yang seperti ini adalah apa yang dikenal dengan Gravity Potential Models, satu pendekatan yang paling tua digunakan, yang sekarang disebut model-model Gravity untuk trayek perdagangan eceran. Ini pula yang disebut hukum Rielly tentang gravitasi perdagangan eceran (Retail Gravitation), suatu bentuk trayek detil yang diperlihatkan oleh sebuah kota dari kebiasaan-kebiasaan individual lokasi kota dengan wilayah hinterland-nya dalam proporsi yang sebanding dengan ukurannya (jumlah penduduknya) dan pada inverse penduduk terhadap jarak yang memisahkan sebuah zona rival dari pusat kota. Cakupan jarak area pasar tersebut diantara dua pusat x dan y yang bersaing untuk penjualan di pusat-pusat perbelanjaan di sebuah hinterland, yaitu:

Px / dbx2 = Py / dby

2

dimana P adalah jumlah penduduk, dan dbx dan dby adalah jarak-jarak dari pusat area dalam bentuk segi enam dari subwilayah-subwilayah x dan y.

Hukum Reilly adalah sebuah model khusus dari model gravity yang umum. Model tersebut adalah suatu model yang digeneralisasi, yang dapat diekspresikan di dalam terminologi sebagai berikut:

Fit = K (Adα / dij

β)

dimana: Fij = frekuensi yang diharapkan dari interaksi antara titik asal dan titik tujuan; A= Atraksi dari zona tujuan j; dij = jarak antara zona i dan zona j; K = sebuah konstanta α dan β= parameter-parameter yang eksponensial, nilai yang diperkirakan.

69

Page 80: e Book Regional

Di dalam konteks perdagangan eceran, bentuk interaksi potensial diantara seorang konsumen dan sumber daya perdagangan eceran tersebut (toko secara individual, dan sebagainya), sebuah pusat perbelanjaan pada sebuah wilayah perkotaan secara langsung bervariasi dengan ukuran masing-masing sumber daya, berbanding terbalik dengan perbedaan jaraknya dari titik-titik asal para konsumen. Sebuah model gravity jenis ini dapat digunakan untuk menjelaskan kenyataan bahwa pusat pertokoan yang lebih luas menarik langganan lebih banyak dibandingkan dengan pusat pertokoan yang kecil, dan memperlihatkan bagaimana kekuatan tersebut digambarkan untuk masing-masing pusat pertokoan dikurangi dengan faktor kenaikan jarak.

Nilai masing-masing model ini akan tergantung pada prediksi kekuatannya, akan tergantung pada bagian umum model yang diterapkan, akan tergantung pada masalah empiris seperti bagaimana mengukur A dan d, dan bagaimana memperkirakan α dan β. Ini adalah pertanyaan untuk metodologi penelitian, oleh karena itu tidak didiskusikan lebih lanjut di sini. Meskipun, masalah metodelogi ini berpengaruh kepada semua bagian dan permasalahannya relatif sedikit, tetapi perlu sekali kejelasan terhadap pertanyaan empirisnya. Bagaimana akan diukur daya tarik dari pusat kota dan apa ukurannya? Di dalam banyak kasus digunakan ukuran penduduk, adakalanya besarnya arus barang dan jasa. Sebagai contoh sebuah penelitian tentang pola-pola perjalanan yang baik, seperti dijabarkan dalam bentuk koreksi jumlah penduduk suatu area (wilayah) dengan angka pelipatannya terhadap pendapatan perkapita wilayahnya. Di dalam mempertimbangkan daya tarik sebuah pusat pertokoan, dipergunakan volume penjualan pertokoan tersebut sebagai sebuah indikator yang jelas. Di dalam banyak kasus, kekuatan daya tarik dari sebuah pusat pertokoan dapat dihitung berdasarkan jarak tertentu yang dipilihnya. Suatu Indeks dibutuhkan untuk memungkinkan sejumlah pusat yang ada pada setiap kompleks pertokoan yang umum dibedakan dengan bobot-bobot daya tarik untuk jenis-jenis yang berhubungan, dengan bobot-bobot yang diberikan kepada setiap kelompok yang berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, mendasarkannya kepada faktor-faktor tertentu seperti halnya pengertian (Substansi) secara bebas yang dibutuhkan pada kedekatan tertentu dengan sumber daya dan perilaku berbelanja untuk jenis-jenis barang dan mutu barang pilihan konsumen pada setiap pengalokasian sumberdaya–sumberdaya. Ukuran d dapat menghasilkan peningkatan pada sembarang wilayah apabila pemajakan rendah, permasalahan-permasalahan relatif sedikit. Sebagai contoh, bagaimanakah jika dihubungkan dengan jarak fisik, atau waktu tempuh, atau dengan suatu ukuran jarak ekonomi (seperti biaya transpor ditambah dengan suatu nilai moneter waktu yang terbuang di dalam perjalanan dan dari ketidaknyamanan perjalanan)?

Umumnya yang sering mengganggu adalah pertanyaan tentang apakah nilai-nilai tersebut akan diperlukan untuk bagian-bagian pendukungnya itu. Pangkat untuk variabel jarak tersebut, sering sekali diasumsikan harus 1 atau 2 (seperti halnya dalam hukum Reilly); di sana tidak ada kesimpulan yang melekat atau yang menjadi sifatnya mengapa tersebut dipilih sebagai nilai dan pengujian-pengujian empiris yang diberikan di sini.

Sejumlah penelitian dilakukan untuk mengantisifasi linier atau square invers setiap bulannya yang telah dihasilkan para peneliti sebelumnya untuk fungsi jarak. Akhirnya, apakah suatu eksponen akan diterapkan kepada A juga perlu dasar pemikiran, yang didasarkan pada hasil-hasil penelitian. Pada kebanyakan model tidak menerapkan pangkat (Exponent) atau kadang-kadang merupakan suatu bagian dari asumsi bahwa nilai tersebut adalah satu kesatuan. Apapun tujuan penelitian, ekonomisasi aglomerasi (Aglomeration Economies) sangat penting, dimana variabel pangkat diterapkan untuk

70

Page 81: e Book Regional

menjadi sebuah fungsi A. Ini berarti bahwa pangkat-pangkat (Exsponents) yang berbeda-beda akan membuat ukuran A lebih dari nilai.

Nilai dari model-model Gravity sebagai suatu sumbangan terhadap pengertian perilaku konsumen secara spasial dan lokasi-lokasi pertokoan. Model ini pernah dikritik oleh Huff. Kritik tersebut terutama adalah, bahwa konsep gravity adalah sebuah dugaan Empiris yang isi (Content) teoritisnya sangat sedikit. Model Gravity memprediksi dan melukiskan suatu pola interaksi spasial, tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola tersebut dibangun. Kemungkinannya, bahwa sebelum teori gravity dapat diuraikan pada terminologi perilaku optimis, seperti pada percobaan-percobaan perorangan/masyarakat untuk meminimalkan biaya atau memaksimalkan kegunaan/kepuasan. Tetapi sedikit analist gravity yang mencoba menyelidiki keberadaan (existence) teori ini, seperti misalnya penggalian keterkaitannya dengan budaya (sifat alami) dari mana dasar teori tersebut, apabila ada pada model-model mereka. Kedua, Huff memiliki alasan bahwa model-model gravity memiliki kekuatan prediksi yang rendah, karena di dalam pandangannya, suatu model gravity akan menghasilkan kemungkinan yang lebih besar dari interaksi yang dapat dipilih kota.

5.3. Model Banneal Ide

Model ini merupakan sebuah model yang berbeda, yang pernah dikenalkan oleh Banneal dan Ide. Model tersebut bertolak dari anggapan bahwa seorang konsumen akan berbelanja pada suatu sumber lokasi apabila dia mempunyai fungsi permintaan sebagai berikut:

F (N,D) = w p (N) – v {(Cd…D+Cn √(N) + Ct)}

adalah positif.F (N,D) mengukur net benefit (manfaat netto) konsumsi yang diperkirakan dari

kepergian ke suatu pusat penjualan pada sebuah sumber tertentu. Keragamannya dengan suatu jarak tertentu dari pusat perbelanjaan dan N adalah jumlah item yang dijual pada pasar perbelanjaan tersebut.

Biaya-biaya yang diasumsikan = Cd adalah sejumlah biaya transpor yang dianggap proporsional terhadap jarak Cn. √(N) adalah biaya-biaya nyata yang diasumsikan untuk berbelanja, dan Ct adalah biaya opportunitas (Opportunity Cost ) perbelanjaan ke lokasi-lokasi lain yang mungkin dipilih sebagai alternatif. p √(N) = fungsi kepuasan yang mungkin. w, v = bobot-bobot subjektif yang dibutuhkan oleh konsumsi.

Implikasi-implikasi umum maupun khusus dapat ditarik dari model ini. Jumlah minimum dari item-item dibutuhkan untuk mempengaruhi seorang konsumen berbelanja pada pusat perbelanjaan, akan meningkat dengan meningkatnya D. Perbelanjaan yang memaksimalkan jarak adalah dimana perkiraan kegunaan netto konsumen dari berbelanja pada pusat perbelanjaan adalah given sama dengan nol. Ini dengan lokasi-lokasi kelengkapan F (N,D) = 0, dan pemecahan D, Alonso (1975)

Sampai 1950-an, orang hanya mengetahui bahwa perencanaan regional dimaksudkan sebagai pembangunan untuk pencapaian suatu pengembangan sumberdaya-sumberdaya alam sebuah wilayah. Pada masa itu pembangunan secara umum ditentukan oleh bendungan-bendungan, oleh pembangunan atau pengembangan sumberdaya air untuk tujuan ganda (yaitu: tenaga listrik, irigasi, pengendalian banjir, jalur transportasi, dan rekreasi), dan pembangunan tanah (yaitu: pengendalian pola

71

Page 82: e Book Regional

tanaman secara teratur, pengendalian erosi, dan membuat perkiraan-perkiraan untuk produk-produk pertanian dan peternakan).Pembangunan industri kota hanya bagian dari pembangunan ekonomi wilayah. Model ini untuk memperbaiki atau mengembangkan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah. Contoh, wilayah otoritas BendunganTennese di Amerika Serikat, atau yang dinamakan Tennessee Valley Authority. Di Columbia Bendungan Couca (Couca Valley), di Ghana Bendungan Sungai Volta (Volta River), di Swedia Bendungan Domodar (Domodar Valley), di Mesir Bendungan Aswan, dan di Indonesia Bendungan Jatiluhur, dengann daerah Otoritasnya mencakup pengairan yang meliputi Karawang, Subang, Indramayu. Luas sawah teknisnya meningkat, luas area tanamnya meningkat. Produksi padi di wilayah tersebut meningkat. Produksi perikanan darat meningkat. Jatiluhur juga sumber tenaga listrik, sumber air minum untuk sebagian DKI dan tempat rekreasi bagi penduduk yang memerlukan di sekitarnya.

Pembangunan seperti itu melibatkan banyak bidang keahlian (multi disiplin), seperti: sarjana teknik (Engineer), Sarjana Pertanian (Agronomist), Sarjana Ekonomi (Economist), dan sarjana-sarjana administrasi, sehingga memerlukan koordinasi terhadap berbagai aspek pembangunan yang ada di dalam satu proyek. Walter Isard menyumbang banyak ke dalam literatur ekonomi lokasi dan analisis spasial. Menurut Isard ada kaitan antara kegiatan ekonomi dan pemukiman di suatu wilayah spasial secara fisik. Wilayah-wilayah diintegrasikan dengan sarana/prasarana transportasi, sejajar, melintang dan diagonal. Wilayah merupakan lokasi pemukiman penduduk, lokasi sumber daya dan aktivitas. Tahun 1960, dengan diedit oleh John Friedmann dan Willian Alonso mulai mencoba meletakkan dasar-dasar bagi disiplin Regional Economics ini. Teori-teori ini berkembang dengan perhatian khusus untuk mencapai kemerataan. Teori-teori lokasi dan organisasi spasial diajarkan di perguruan-perguruan tinggi secara langsung atau tidak langsung. Pada awalnya ilmu ini dinilai sulit, tetapi sekarang itu tidak, berpuluh-puluh bidang dan kolom matrik dapat dipecahkan oleh komputer hanya dalam waktu sekitar 5 menit. Yang penting program apa, datanya benar, dan tentu saja orang di belakang komputer itu sendiri berkualitas.

5.4. Perkiraan Dampak Transportasi Pada Penggunaan Lahan 5.4.1. Introduction and Overview

Menurut Paul F. Wendt, para perencana Land Use, sarjana-sarjana transportasi, pengembang komplek perumahan (Real Estate), analis pasar perumahan, dan sebagainya, tertarik dengan perkiraan pertumbuhan wilayah pertokoan dan pedesaan di masa mendatang. Literatur menyajikan berbagai teori berbeda-beda dan canggih. Tinjauan singkat terhadap berbagai pikiran di bidang ini dan kritik-kritik terhadap kesimpulannya bahwa ditemukan sebagian model yang dikembangkan tidak operasional, tidak memiliki kemampuan memperkirakan tata kerja penduduk dan perkembangan peruntukan lahan yang cukup cepat pada luas geografis yang terbatas. Permasalahan menjadi lebih tidak mudah untuk wilayah pedesaan.

Tidak jarang, sebagai suatu kenyataan hidup bahwa perkiraan-perkiraan pertumbuhan yang berkembang di masa yang akan datang tidak hanya dibutuhkan dalam sekala besar di sektor pemerintah dan swasta, tetapi selalu dibutuhkan oleh orang-orang dan lembaga-lembaga pemerintah. Pada umumnya perkiraan-perkiraan pertumbuhan tersebut berdasarkan kepada kasus-kasus, proyeksi-proyeksi yang dibuat atas dasar kombinasi perasaan (Intuition) dan pendapat (Judgment).

72

Page 83: e Book Regional

5.4.2. Teori Pertumbuhan KotaSuatu kerangka kerja analisis yang ada di dalam sajian umum kebutuhan sektor

swasta pada pegangan pembangunan kompleks pemenuhan dan investasi memiliki prosedur tertentu di dalam penelitian land use perkotaan. Menurut R. M. Hurd, sebagai hasil studi akhir dari perkembangan nilai land use di lebih dari 50 kota di Amerika Serikat, menghasilkan deskripsi klasik tentang proses pertumbuhan perkotaan dan pengaruh-pengaruh studi Klasik R. M. Haig tentang kota New York (1927), menjangkau 2 hal pokok penting tentang transportasi. Dua prinsip kunci dari pengaruh transpor terhadap land use dan pertumbuhan wilayah metropolitan adalah: (a) Persaingan di antara para pemakai lahan dan peruntukan lahan pada pematangan lahan yang tertinggi aksesibilitasnya. (b) Akibat keuntungan relatif kepuasan transportasi pada pasar komplek perumahan oleh perusahaan-perusahaan dagang dan individu-individu.

Haig menyimpulkan proses pemilihan lokasi adalah sebagai berikut: “bahwa suatu aktivitas ekonomi pada pencarian suatu lokasi ditemukan pada kedekatan pusat pertumbuhan; jika sewa lokasi meningkat maka transpor menurun. Jika suatu lokasi menjauhi pusat pertumbuhan maka tingkat sewanya akan menurun dan biaya transpor naik, tambahan jumlah dari 2 pos biaya tersebut (bagian-bagian biayanya), tidak tetap. Homer Hoyt, di dalam suatu studi empiriknya, “The Structure and Growth of Residential Neighborhoods” untuk administrasi perumahan Federal (1939) telah memperluas prinsip Hurd tentang pertumbuhan kota yang diidentifikasikan sebagai Teori Sektor. (a) Wilayah dengan perkembangan besar-besaran untuk pemukiman cenderung dimulai dari titik given areal (Given Point) sepanjang garis yang dimapankan (terus berkembang) dari perjalanan pulang pergi ke inti (perdagangan). (b) Zona wilayah bersewa tinggi cenderung berproses kepada penurunan luas daerah yang bebas resiko banjir, dan menyebar sepanjang jalur (seperti pelabuhan, sungai dan pantai-pantai laut, dimana batas-batas air tidak digunakan untuk industri). (c) Distrik-distrik perumahan dengan sewa tinggi cederung mengalami penurunan dan memperluas bagian-bagian kota yang memiliki kebebasan pengembangan sebelum lokasi pembuangan limbah dan pekuburan, yang dibatasi oleh perbatasan alam atau perbatasan-perbatasan buatan terhadap perluasan. (d) Wilayah-wilayah pemukiman yang lebih tinggi harganya, cenderung menimbulkan penurunan perumahan para pemimpin masyarakat. (d) Perkembangan pergerakan gedung-gedung kantor, perbankan, dan pusat-pusat perbelanjaan menarik wilayah-wilayah pemukiman pada wilayah yang memiliki harga tinggi pada pengaruh-pengaruh umum yang sama secara langung.

Kecenderungan-kecenderungan perkembangan wilayah-wilayah pemukiman adalah: (a) Wilayah-wilayah pemukiman kelas tinggi cederung berkembang lebih cepat di sepanjang jalur-jalur transpor. (b) Pertumbuhan wilayah-wilayah pemukiman dengan dipengaruhi langsung oleh sewa tinggi dan dengan intensitas yang sama dan berlanjut sepanjang periode waktu. (c) Wilayah-wilayah perumahan mewah dengan sewa yang tinggi cenderung tumbuh berdekatan dengan pusat perdagangan dan wilayah-wilayah pemukiman lama. (d) Para pengembang komplek perumahan pengaruhnya dapat mencakup pertumbuhan pemukiman tingkat tinggi.

Teori basis ekonomi (Economic Base), dilahirkan bukan oleh ahli-ahli ekonomi geografi, pada awal-awal bekerjanya para ahli ekonomi geografi, lembaga-lembaga

73

Page 84: e Book Regional

pembangunan industri, dan para sarjana ekonomi perkotaan. Teori basis ekonomi ini dirumuskan sebagai sebuah teknik analisis oleh Weimer dan Hoyt pada tahun 1930-an. Langkah-langkah pada perkiraan wilayah kota dengan menggunakan metoda penduduk kota adalah: (a) Perkiraan pertumbuhan pada kesempatan kerja basis, yaitu kesempatan kerja pada sektor industri, pertanian, pertambangan dan industri pengolahan barang-barang dan jasa-jasa yang pada umumnya diekspor dari wilayah tersebut. (b) Perkiraan tersebut dihubungkan dengan pertumbuhan pada kesempatan kerja sektor bukan basis. (c) Memperhitungkan jumlah penduduk di masa yang akan datang yang didasarkan pada para pekerja tiap keluarga dan jumlah anggota keluarga.

Setelah Perang Dunia II terjadi gelombang pertumbuhan urbanisasi. Konsekwensinya adalah meningkatnya kebutuhan trasportasi, pelayanan umum, dan pelayanan lain-lainnya di wilayah perkotaan. Meningkatnya perhatian pada kebutuhan penerapan teknologi pembangunan untuk wilayah-wilayah perkotaan yang sebanding dengan perkembangan jumlah penduduknya. Pada awalnya, perhatian lembaga ilmu pengetahuan pengaruhnya relatif kurang efektif bagi pembangunan, terutama dalam teknik memprediksi kebutuhan-kebutuhan masa depan. Teori basis ekonomi dapat digunakan sebagai dasar memperkirakan kebutuhan masa di masa yang akan datang, dihubungkan dengan pertumbuhan kesempatan kerja di bidang pelayanan. Hasil prediksi dari kecenderungan-kecenderungan yang diidentifikasi tersebut digunakan untuk mengidentifikasi hal-hal yang bersifat umum yang menyangkut pertumbuhan perkotaan di masa yang akan datang. Teori-teori yang menyangkut pengembangan sektor perindustrian, perdagangan dan lokasi permukiman kota sarat dengan kebijakan, dan hasil sangat terbatas, dan kebijakan-kebijakan tersebut sama sekali tidak didasarkan pada hasil-hasil study yang bersifat empiris. Pada hal pengembangan teknologi, khususnya teknologi transportasi dan forcasting bagi perencanaan tata guna lahan (Land Use) sangat penting.

5.4.3. Model-model Land UseModel-model land use didisain untuk suatu jangka waktu yang sangat panjang,

untuk aplikasi-aplikasi formulasi kebijakan-kebijakan land use untuk penggunaan perorangan, swasta dan pemerintah. Formulasi kebijakan tersebut dapat ditentukan dalam bentuk angka-angka matematik, sebagai gambaran hubungan antara pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah di masa yang akan datang dengan variabel tertentu yang mempengaruhi aktivitas-aktivitas pembangunan dan alokasi lahan pada rencana tata guna lahan.

Suatu penelitian (1972), yang membahas tentang pemodelan secara umum, dan bahan dari penelitian aspek seni (Art observasi) dimana disain model kuantitatif pola-pola spasial pertumbuhan dan pengembangan kota menyisakan bagian-bagian yang diubah selama dekade sebelumnya. Terutama semua model tersebut didasarkan pada prestasi yang memuaskan dari empat tugas dasar yang saling berkaitan, yaitu: (1) proyeksi komposisi tenaga kerja industri wilayah, (2) jumlah angkatan kerja dan lain-lain input yang diperlukan, (3) alokasi spasial tenaga kerja di wilayah tersebut, dan (4) distribusi spasial penduduk dan rumah tangga di wilayah tersebut.

Masalah tersebut penting diteliti dimana perkembangan model tidak lagi sebagai hasil pengembangan teori basis ekonomi; pertumbuhan kota, atau pertumbuhan lokasi-lokasi perdagangan dan pemukiman. Tujuan tersebut dapat dilukiskan lebih tepat sebagai mencoba untuk mengintegrasikan pengetahuan yang sedang berlaku dan teknik dari sejumlah profesi untuk tujuan peramalan (forecasting) penduduk, kesempatan kerja,

74

Page 85: e Book Regional

pendapatan, struktur-struktur industri dan kebutuhan perumahan wilayah. Yang menarik bagi mereka yaitu bahwa model-model tersebut memerlukan input-input data komputer, yang menyangkut: perjalanan konsumen, perilaku pusat perbelanjaan, perindustrian, keputusan-keputusan pengalokasian perdangangan, semua asumsi penting yang menarik bagi kebijaksanaan pemerintah, perumahan, investasi pemerintah, transportasi, dan land use.

Tidak masuk akal, bahwa pemecahan masalah secara empiris dapat dilakukan tanpa bisa mengukur nilai dari variabel-variabel yang ada pada model teori yang digunakan. Tugas tersebut terlalu berat dan sulit dilaksanakan, karena kenyataannya pemakai-pemakai potensial dari hasil-hasil produksi pada awal masa pemodelan diperkirakan begitu banyak. Di dalam banyak kasus, dorongan dari lembaga-lembaga perencanaan pada fase-fase awal pemodelan tertarik pada perencanaan yang tepat, atau pada suatu alat perencanaan yang diasumsikan dapat dipergunakan untuk meramalkan dampak dari kebijakan transportasi yang bermacam-macam, dan kebijaksanaan-kebijakan pemerintah di sektor lainnya .

Lebih lanjut, para karyawan perencanaan ragu dengan hasil dari sebuah model yang dipakai sebagai dasar untuk meniru kekuatan-kekuatan pasar di dalam pembangunan tata guna lahan di masa yang akan datang, tanpa menyamakan masa berlakunya kerangka kebijaksanaan dengan masa mengoperasikan alat tersebut. Kotak hitam misterius terebut yang membuat ramalan-ramalan pertumbuhan ekonomi masa yang akan datang dan pengembangan komplek perumahan tanpa alasan-alasan yang kuat, telah meningkatkan keraguan. Meskipun dengan keterbatasan-keterbatasan seperti yang disebut di atas dan sebelum mesin itu diperkenalkan secara penuh, banyak proyek pemodelan tata guna lahan dalam sekala besar diajukan sebagai bagian biaya dan dengan tingkatan keberhasilan yang bermacam-macam.

Sebuah penelitian terbaru untuk Departemen Transportasi AS membanggakan lebih dari 60 judul buku atau artikel yang dipublikasikan pada dekade yang lalu yang melukiskan dan mengevaluasi model-model tata guna lahan perkotaan, dan lima volume kepustakaan, literatur dipublikasikan di lapangan sebagai Progres Sistem Lingkungan Wilayah di Oak Redge National Laboratory yang meliputi lebih dari 5000 bagian.

Perkembangbiakan usaha-usaha pemodelan dan literatur di dalam tahun-tahun terakhir tidak diletakkan pada pengupasan secara kritis dan mengevaluasi penilaian para ahli negara bagian. Suatu survei yang mensporsori usaha-usaha permodelan oleh pemerintah dilakukan oleh Panitia. Model-model peramalan untuk perencanaan tersebut juga dihasilkan oleh ahli-ahli di Universitas-universitas dan diseleksi Yayasan Ilmu Pengetahuan Nasional.

Douglas B. Lee Jr, dalam artikel yang terakhir dengan judul “Requien for Large-Scale Model’s” selanjutnya disebutkan sebagai tujuh model sain skala besar, yaitu: (1) 1). Hypercomprehensiveness, (2) Grossness, (3) Hungriness, (4) Wrongheadedness, (5) Complicatedness, (6) Mechanicalness, dan (7) Expensiveness. Kesimpulan Lee tentang gagasan suatu model Land Uses terkait dengan operasional perencanaan transportasi. Rekomendasinya: (a) Suatu keseimbangan perlu diperiksa di antara teori, keobyektifan dan lembaga, (b) Sebuah model memusatkan pada sebuah masalah kebijaksanaan dan tidak pada sebuah metodologi, (c) Sebuah model harus simpel, (d) Medel harus dapat dimengerti oleh setiap calon pemakai.

Kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan dari usaha-usaha pemodelan terdahulu didasarkan pada mengembangkan suatu kerangka kerja untuk suatu model tata guna lahan, perencanaan transportasi untuk dipergunakan di negara bagian Norwegia.

75

Page 86: e Book Regional

Pemilihan momen tersebut, metetapkan banyak kelemahan-kelemahan model-model tata guna lahan. Pertama, tidak ada teknik alternatif untuk menghadirkan model-model tata guna lahan untuk mengintegrasikan kekuatan-kekuatan permintaan yang komplek, pengaruh perkembangan permintaan dan penawaran lahan di masa yang akan datang, alasan-alasan dibatasi oleh kebijaksanaan pemerintah yang akan saling mempengaruhi satu sama lain, fleksibel, kerangka kerja berulang (Iteratif). Kedua, suatu model simulasi mesin hitung untuk perkembangan tata guna lahan di masa yang akan datang memerlukan asumsi-asumsi bagi setiap perhatian khusus untuk setiap variabel yang mungkin diidentifikasi berpengaruh pada perkembangan tata guna lahan. Ketiga, teknik-teknik programing mesin hitung dibangun untuk model simulasi tata guna lahan berdasarkan perkiraan efisiensi dari sensitivitas output dari model-model tersebut untuk perubahan-perubahan di dalam variabel lapangan kerja, seperti yang dilukiskan di dalam berbagai parameter pengaruh variabel-variabel. Keempat, disiplin intelektual diasosiasikan dengan penggunaan model simulasi tata guna lahan, dibutuhkan untuk penggunaan model, mencakup asumsi-asumsi kebijakan pemerintah, swasta dan perilaku.

Tugas lebih lanjut dari sebuah tim pembangunan model adalah melakukan segala usaha bagaimana membiayai keuntungan-keuntungan yang begitu substansial, dan bagaimana membantu himpunan-himpunan dengan membangun model perencanaan yang berorientasi kepada “mesin hitung”, apabila pada waktu yang sama memperlihatkan terhindar dari kerugian-kerugian jika dilakukan dengan “komputer”. Tim pembangunan pemodelan tata guna lahan pada Sekolah Tinggi Administrasi Perusahaan Universitas Georgia telah menyusun sebuah kerangka kerja untuk model tata guna lahan bagi rencana transportasi yang dicoba menemukan kriteria-kriterianya.

5.5. Beberapa Observasi Pada Model-Model Struktur Tata Ruang Kota

Terlepas dari cara perlakuan hipotesis minimalisasi biaya bagian-bagian tata ruang seperti yang telah didiskusikan di atas, dan analisis detil model-model tersebut (diantaranya untuk lokasi pemukiman, perusahaan perdagangan, dan hubungan tata ruang antara para konsumen dan lokasi-lokasi berbelanja), dihindarkan ruang lebih banyak dari yang terstruktur di dalam teori tersebut dan uraian model-model spasial yang disebarkan di dalam sebuah kota.

Kebanyakan ahli analisis, khususnya analisis pendekatan sosiologi, kemudian analisis pendekatan ekonomi, dikonsentrasikan pada teori nilai-nilai tanah permukiman. Hawley, sebagai contoh, memberikan alasan bahwa perumahan disebarkan berdasarkan kepada (1) nilai lahan, (2) lokasi kegiatan, dan (3) biaya dan waktu yang dikeluarkan untuk transportasi ke pusat kegiatan. Ketiga-tiga faktor tersebut dikombinasikan di dalam suatu ukuran tunggal, yaitu nilai sewa tempat tinggal (rumah).

Hawley menemukan sebuah paradox, yang disebut Paradoks Hawley, yang mengatakan bahwa keluarga-keluarga yang berpendapatan rendah hidup di lahan yang bernilai tinggi dan keluarga-keluarga kaya di lahan yang bernilai murah. Pemilikan tempat tinggal di lahan dengan nilai tinggi biasanya di sebuah kondisi yang rumah dan lingkungan yang buruk. Oleh karena sejak lahan-lahan tersebut diperuntukkan untuk area industri dan komersial lahan ini menjadi objek spekulasi di dalam mengambil posisi untuk dipergunakan bagi yang mengambil keuntungan lebih besar. Pemilik dari lahan-lahan tersebut tidak bersedia mengeluarkan biaya pemeliharaan sebab sewanya

76

Page 87: e Book Regional

rendah. Sewa yang rendah juga karena dekatnya lahan-lahan tersebut dengan objek-objek aktivitas yang jaraknya antar keluarga sangat dekat-dekat untuk mengimbangi perluasan dengan aksessibilitas. Rumah-rumah baru, dibangun pada lokasi yang nilai tanahnya rendah dengan alternatif penggunaan yang terbatas. Lahan-lahan tersebut memiliki sewa yang tinggi karena baru dan mutunya baik, dan dekat dengan fasilitas-fasilitas tetapi jauh dari penggunaan yang tidak mendapat izin, juga cenderung dilayani dengan aksesibilitas yang baik ke pusat kota dan ke tempat pekerjaan. Ini berarti bahwa pada saat nilai lahan pada fasilitas, grade-nya menurun, dengan jarak dari konsentrasi kesatuan-kesatuan yang terhimpun, nilai sewa bangunan-bangunan tempat tinggal meningkat. Itu adalah nilai-nilai sewa untuk tempat tinggal untuk orang-orang kaya, luas, mutu dan lingkungan tempat tinggal cenderung kebalikan dari nilai lahannya. Konsekuensi dari paradoks ini adalah pertumbuhan kota, yang nyata atau dikehendaki. Ini adalah pertumbuhan kota yang didasarkan kepada kegiatan-kegiatan spekulasi pada wilayah potensial yang memburuk, dan pertumbuhan penduduk di rumah-rumah pada lokasi dengan sewa lahan rendah, maka pembangunan rumah-rumah baru cenderung berlokasi di pinggiran kota.

Alonso merangsang suatu uraian alternatif yang tidak bertolak pada dinamika pertumbuhan kota atau pada hukum yang bertentangan dengan para spekulator. Dengan alasan-alasan bahwa pengaruh pada lahan adalah kuat dan sulit dipuaskan. Konsekuensinya, besarnya permintaan lokasi perumahan bervariasi sesuai dengan pendapatan. Orang-orang kaya relatif kurang dipengaruhi oleh biaya-biaya pulang pergi ke kota. Mereka berorientasi kepada harga lahan, sedangkan orang miskin kepada lokasi. Kalau aksesibilitas rendah dibeli oleh orang-orang berpendapatan tinggi, aksesibilitas berperilaku sebagai barang inferior. Jadi, income elasticity of demand untuk tanah adalah tinggi, tetapi untuk aksesibilitas ke pusat kota negatif, proposisi tersebut menjadi sangat signifikan kebenarannya untuk kelompok orang-orang kaya. Apabila hipotesis tersebut diperluas, flat-flat mewah dekat pusat kota akan memuaskan permintaan hanya untuk suatu proporsi kecil dari orang-orang kaya.

Sebuah model yang mirip diperkenalkan oleh Beckmann. Dasar asumsinya adalah di dalam hal peremajaan lokasi tempat tinggal, setiap tempat tinggal dimaksimalkan jumlah ruang tinggal dapat menghasilkan belanja perumahan, pengeluaran rata-rata pada perumahan dan komuter merupakan fungsi pendapatan; sebuah fungsi linier terhadap biaya komuter. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut Beckmann menghasilkan suatu solusi pasar untuk distribusi spasial rumah tangga, yang memperlihatkan susunan rumah tangga-rumah tangga orang-orang kaya berlokasi di bagian luar kota.

5.6. Model Operasional

Bagian-bagian perbincangan di atas di antaranya dihubungkan dengan penelitian tanah dan struktur tata ruang kota, atau dalam kasus Beckmann dihubungkan dengan suatu model matematik yang didasarkan pada asumsi-asumsi sederhana. Aliran lain dari analisis struktur tata ruang dari kota-kota dicoba untuk membangun model-model yang lebih realistis yang menghasilkan sejumlah usul operasional.

Wendt, misalnya, mengeritik asumsi-asumsi sederhana dari sarjana-sarjana ekonomi lahan, selanjutnya seperti memecah kota atas pusat inti kota tunggal dan meliputi cakupan wilayah yang dipengaruhi biaya transpor. Atas dasar itu, diformulasikan sebuah model umum, dimana keseluruhan nilai lahan ditentukan sebagai

77

Page 88: e Book Regional

selisih antara nilai keseluruhan dan biaya-biaya yang dibagi dengan amortization rate yang diharapkan. Model tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

V = fx (P1 Y1S1Pu, PI) – (T+ OcItm+Dtm)fx (i1 R1 Cg)

dimana: V adalah nilai keseluruhan dari lahan kota; fx adalah ekspektasi; P adalah jumlah penduduk; Y adalah pendapatan rata-rata; S adalah penawaran lahan bersaing; Pu adalah daya tarik yang competitive (keunggulan) dari suatu wilayah; PI adalah investasi pemerintah; T adalah jumlah pajak-pajak; Oc adalah biaya-biaya operasional; Itm adalah bunga modal yang diinvestasikan di dalam pengembangan; Dtm adalah nilai penyusutan pada proyek-proyek yang dibangun; i adalah tingkat bunga; R adalah resiko proyek pembangunan; Cg adalah kemungkinan untuk mendapatkan hasil modal.

Potensi operasional model ini bertolak dari kenyataan bahwa biasanya sasaran produksi tergantung pada perputaran dari keseluruhan hasil produksi, pada jumlah keseluruhan nilai lahan, yang kemudian dicoba menganalisis kondisi keseimbangan statisnya itu. Wendt membuat suatu perbedaan yang kritis antara faktor-faktor yang mempengaruhi keseluruhan nilai lahan di suatu lokasi tertentu. Dalam hal ini komponen revenue dan biaya merupakan fungsi jenis kegiatan produksi di atasnya, akan sangat tergantung perpindahan dari pemakai yang satu ke pemakai yang lain, para pemakai di lingkungan industri pelayanan (jasa) akan mendasarkan komponen penerimaannya pada volume penjualan yang diharapkan pada lokasi alternatif tersebut dan biaya operasi perdagangan pada lokasi tersebut, para pemakai di sektor industri akan membandingkan penjualan produksi potensial terhadap biaya produksi, untuk rumah tangga akan dilihat perbandingan antara nilai uang dari kemanfaatan lokasi-lokasi alternatif lain dan biaya yang diukur/ditentukan oleh biaya-biaya pulang dan pergi ke kota, pajak-pajak, biaya-biaya membangun, dan sebagainya.

Pendekatan lain adalah model linear programming dari Harbert Stevens tentang pembangunan tempat tinggal (perumahan). Model ini memperlihatkan bagaimana kemungkinan rumah tangga disebar ke lokasi-lokasi apabila mereka memaksimalkan kepuasan dari jumlah keseluruhan pembayaran sewa. Model ini mengasumsikan bahwa rumah tangga mencoba memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka terhadap perumahan dan keinginan-keinginan pada pasar, dan keputusan terhadap lokasi tersebut dibaca pada kesimpulan dari perbandingan biaya-biaya kebutuhan-kebutuhan perumahan dengan anggaran rumah tangga yang tersedia. Diasumsikan rumah tangga memiliki pengetahuan yang cukup, model tersebut didisain untuk lokasi-lokasi yang optimal untuk rumah tangga pada kelompok-kelompok pendapatan yang berbeda-beda, diharapkan meliputi batas daya tampung di masing-masing zona hunian dan jumlah rumah tangga yang tepat pada tiap-tiap kelompok. Model tersebut mengenal empat faktor lokasi, tingkat kenyamanan dan pelayanan (amenity), tingkat aksesibilitas (proximity) dan ukuran tempat tinggal (ukuran rumah). Kesulitan-kesulitan di dalam penerapan model ini timbul dari kebutuhan untuk mengetahui secara sempurna jumlah preferensi (kesenangan/kemudahan) sebagai faktor-faktor lokasi. Informasi tersebut dihimpun dari survey-survey yang berdasarkan pada tingkat pendapatan yang berbeda untuk jenis perumahan tertentu, tingkat kedekatan dengan sarana-sarana pemuas dan ukuran rumah. Kebanyakan, apabila model yang seperti itu digunakan untuk tujuan

78

Page 89: e Book Regional

prediksi, kita akan membutuhkan salah satu diantara dua asumsi, yaitu tidak terjadi perubahan selera atau membuat perkiraan preferensi masa depan.

Lowrey mencoba meramalkan struktur tata guna tanah yang luas dengan serangkaian model kredit pengaman yang terkait. Asumsi pokoknya adalah bahwa lokasi pusat-pusat pekerjaan yang basis adalah given dan tingkat efektivitas ekonomi adalah ditentukan oleh faktor-faktor yang bersifat eksogen. Model pertama dari Lowrey ini adalah distribusi rumah tangga secara relatif terhadap pusat-pusat pekerjaan, yang merupakan tujuan untuk membatasi keadaan seperti strategisnya lokasi lahan untuk pembangunan rumah, dan tingkat kepadatan maksimum. Kunci imbalan yang digunakan adalah indeks distribusi trayek (Trip Distribution Indices) yang berupa kepadatan lalu lintas yang memberi kemudahan bagi pembangunan sebuah wilayah perkotaan, atau studi transportasi regional. Lowrey membangun setiap 13 zona komplek perumahan sebagai suatu susunan/rangkaian 11 lingkaran (cincin) konsentrasi dari luas satu unit radius. Dia menghitung persentase dari seluruh trayek asal untuk pergi bekerja (Work Trips Originating) dari setiap zona yang dapat diharapkan mencapai terminal di setiap lingkaran di sebelah luar yang berturut-turut, dengan asumsi bahwa sebuah di setiap lingkaran pendistribusian kesempatan kerja. Penelitian indeks-indeks oleh metode ini diterapkan untuk memperkirakan kesempatan kerja pada masing-masing lokasi kerja (Work Places) jadi pendatang (penduduk) pada sebaran tempat tinggal sebanding dengan kesempatan kerja.

Model kedua yang didasarkan pada indeks trayek untuk empat jenis pembentukan kemapanan para pedagang dan lain-lain trayek pelayanan. Indeks-indeks yang dihitung yang kemudian diterapkan kepada distribusi yang didapatkan oleh model yang pertama agar memenuhi distribusi kegiatan para pengecer dan pelayanan di basis yang memberikan akses ke pasar-pasar, di dalam kasus rumah tangga-rumah tangga ini, hal yang pokok adalah pada keterbatasan ukuran minimum pasar yang dikhususkan.

Artle, memperkenalkan dua model operasional tersebut untuk memperkirakan distribusi spasial untuk pembangunan/pembentukan (Establishment) jasa pedagang eceran (pengecer) di dalam kota, sebuah model pendapatan potensial (Income Potential Model) dan sebuah model regresi (Regression Model). Pada model pendapatan potensial, Artle membagi kota ke dalam sejumlah segi-empat yang seimbang. Dengan dasar bahwa pendapatan di setiap zona tempat tinggal memiliki suatu pengaruh potensial pada semua zona lain, tetapi pengaruh tersebut akan meningkat dengan jarak yang menurun. Pendapatan potensial yang dihasilkan oleh setiap zona/pada zona e ditunjukkan:

i Vj = Gij Y / dij (j = 1, 2, … n)

dimana: Gij = sebuah konstanta; Yj = pendapatan dari lokasi tempat tinggal j; dij = jarak i dan j, diukur untuk tujuan-tujuan sederhana seperti pajak antara titik-titik pusat; n = jumlah total dari zona

Artle meneliti ramalan-ramalan tentang kondisi pengeluaran pada sembarang pelayanan dari data input output dan diterapkannya pada aggregate income potensial untuk setiap zona yang berbentuk segi empat, dan dari prosedur ini diperkirakan pendapatan di masa yang akan datang untuk pelayanan yang dipilih sebagai hubungan kepada zona-zona individual. Apabila pendapatan tiap zona di masa yang akan datang dapat diterima sebagai cadangan yang diperkirakan di masa yang akan datang, itu kemudian memungkinkan untuk dibagikan kepada bagian-bagian yang berbeda dari wilayah kota tersebut, suatu jumlah total dari pedagang eceran dan pelayanan dibangun dari jenis yang dipilih secara tepat. Prosedur tersebut menghasilkan asumsi-asumsi

79

Page 90: e Book Regional

sederhana tertentu, dimana biaya variabel rata-rata (AVC) pelayanan tertentu telah sama di setiap zona, bahwa lokasi-lokasi perumahan sendiri dapat dipergunakan sebagai titik tolak (basis) untuk perhitungan pendapatan potensial, kecenderungan pengabaian pengeluaran konsumsi untuk memperoleh pengaruh distribusi spasial dari pembentukan (establishment), pengabaian kemungkinan sewa yang tinggi di beberapa zona untuk menentukan lokasi.

Kebutuhan data untuk model ini sangat besar, apabila informasi yang diperlukan tidak ada maka mungkin tidak dapat diteliti. Artle menyarankan sebuah model alternatif yang disebut model regresi sederhana. Penggunaan ukuran tempat tinggal, jumlah penduduk, dan ukuran pekerjaan penduduk per zona merupakan variabel-variabel independen mempengaruhi jumlah pembentukan pelayanan di setiap zona. Formula model regresi sederhana tersebut sebagai berikut:

N = a + b Pr + c Pw + Z

dimana: N = jumlah pembentukan/kekuasaan-kekuasaan tiap zona; Pr = ukuran tempat tinggal penduduk per zona; Pw = ukuran pekerjaan penduduk per zona; a, b, c = konstanta-konstanta; z = residual (sisa)

Suatu model yang lebih canggih akan dapat disusun dari tingkat sewa-sewa sebagai suatu pengaruh pada lokasi yang umum pada setiap zona dan beberapa ukuran dari biaya transpor sebagai suatu pengaruh pada pusat-pusat lokasi dari pengecer dan lainnya yang sama. Ini penting untuk dicatat bahwa implikasi teoritis dari kedua model tersebut begitu berbeda; di dalam model income potential asumsinya tidak ada batas antar zona sesuai dengan kesimpulan pemilihan lokasi, tetapi model regresi menyatakan bahwa trayek antar zona dapat diabaikan.

5.7. Keseimbangan Lokal Sebuah Perushaan Yang Beroperasi Di Kota N

H.W. Richardson membuat pertanyaan, bagaimanakah sebuah perusahaan memilih lokasi di dalam sebuah kota dikaitkan dengan jaraknya dengan pusat kota? Model yang diperkenalkan tergantung pada penyederhanaan tertentu. Kota diasumsikan dipusatkan secara tepat, dan pusat yang lebih dipilih adalah yang memiliki akses kepada konsumen terbesar. Masalah-masalah interdependensi lokal akibat pilihan pada harga produk perusahaan mengabaikan, dianggap sudah tertentu (Given). Jadi, volume penjualan dan revenue dari penjualan lokal akan meningkat jika perusahaan dilokasikan lebih dekat ke pusat kota (Core). Diasumsikan lebih lanjut bahwa perubahan-perubahan diperlihatkan sesuai dengan struktur yang given berdasarkan keragaman dari harga-harga lahan yang merupakan kebalikan dengan arah dari pusat kota, dilukiskan oleh fungsi Pd, dimana Pd adalah harga lahan pada lokasi given, d adalah jarak dari pusat kota. Diasumsikan bahwa fungsi harga ini ditentukan oleh supply dan demand; seluruh lahan urban dianggap sebagai berkualitas aktual dan dapat dibeli dan dijual secara bebas berdasarkan ketentuan mekanisme sebuah pasar persaingan tanpa adanya pembatasan-pembatasan kelembagaan. Banyak faktor yang mungkin mempengaruhi sewa lahan lokasi kota diabaikan, seperti halnya jenis perdagangan diasumsikan bisa di sembarang lokasi, dan pengaruh-pengaruh ekonomisasi aglomerasi dan deglomerasi belum diperhitungkan. Diasumsikan bahwa tujuan perusahaan adalah memaksimalkan laba (Profit Maximizing).

Pada saat perusahaan bergerak menjauhi pusat kota maka penerimaannya cenderung menurun dan biaya operasinya meningkat (terutama karena meningkatnya biaya transpor pada lokasi yang aksesibilitasnya menurun), tetapi ini akan

80

Page 91: e Book Regional

dikompensasikan dengan biaya lokasi (sewa lahan lokasi kota) yang lebih rendah. Jadi, pada waktu perusahaan bergerak menjauhi pusat kota, diikuti oleh kenaikan biaya transpor dan biaya-biaya lainnya, penerimaan (Revenue) menurun, dan biaya sewa juga menurun. Apabila penerimaan perusahaan eksak yaitu harga dikalikan jumlah, laba tertentu yaitu penerimaan total dikurangi biaya total, maka untuk lokasi yang akan menghasilkan laba yang berbeda. Di semua lokasi diantara pusat dan perbatasan kota total revenue akan sama disyaratkan sama untuk sebuah tingkatan jarak dari pusat kota, laba tambah biaya-biaya operasi akan sama penerimaan dengan catatan akan ada sedikit biaya tambahan untuk membayar pengorbanan-pengorbanan tidak terduga yang berpengaruh terhadap terminologi laba.

Mungkin juga akan ada tambahan biaya dengan suatu jumlah yang relatif besar dari kesulitan lalu lintas (misalnya harus melewati jalan-jalan kecil) yang mungkin mengikuti fungsi-fungsi harga (sewa) yang diminta, yang semuanya dihubungkan dengan suatu tingkat laba tertentu. Diasumsikan bahwa fungsi harga nyata lahan (Pd) yang telah tertentu. Perusahaan akan dilokasikan pada titik dimana harga yang akan dibayar perusahaan menjamin pada kemungkinan laba yang tinggi.

Pilihan lokasi tersebut dapat diperlihatkan dengan lebih mudah dengan bantuan konsep kurva harga yang diminta dan ditawarkan (Bid Price Curve). Fungsi harga yang diminta tidak harus dihubungkan dengan harga aktual. Biasanya harga merupakan sebuah fungsi hipotesis yang diperlihatkan oleh bagaimana harga lahan yang dihubungkan dengan jarak dari perusahaan tersebut dari pusat kota. Untuk meperlihatkan laba yang diterima sama pada semua lokasi, digambarkan kurva isoprofit. Fungsi tersebut memungkinkan ditentukan oleh Pd (x) yang dibaca sebagai harga (P) yang diminta. Suatu perusahaan pada setiap lokasi yang berjarak d dari pusat kota, memiliki laba yang sama apabila ukuran lokasi dioptimalisasikan, perusahaan akan mencapai tingkat laba yang konstan (x). Pada saat perusahaan mencapai tingkat laba konstan, perusahaan mencapai kepuasan yang diinginkan terhadap lokasi yang dimilikinya keseimbangan lokasi). Harga yang diminta di lokasi-lokasi tersebut memungkinkan untuk mendefinisikan harga yang diminta (The Bid Price) P, pada terminologi harga dengan variabel tunggal yaitu jarak dari pusat kota adalah d.

Ketentuan-ketentuan tentang fungsi Bid Price lahan milik (Properties): (a) Fungsi bid price bernilai tunggal. Untuk setiap tingkatan laba (x) tertentu, di sana hanya ada satu nilai p yang memungkinkan untuk setiap d yang sudah tertentu. (b) Curve bid price, yang mewakili nilai yang berbeda dari laba yang sama, satu dengan yang lainnya tidak berpotongan. (c) Curve bid price yang lebih rendah mewakili tingkat laba tinggi, dan ini yang diharapkan oleh sebuah perusahaan. Bertolak dari laba sebagai selisih penerimaan setelah dikurangi biaya operasi, jika harga tanah yang murah maka labanya tinggi. Curve di atas yang menghasilkan laba nol (x = 0) dapat diabaikan, karena jika pun digunakan akan merugikan perusahaan. (d) Biasanya fungsi bid price memiliki kemiringan (Slope) yang menurun. Kemiringan tersebut seperti halnya tabungan pada sewa persis sama dengan kehilangan penerimaan tambah peningkatan biaya operasi.

Diagram bid price dapat digunakannya untuk memperlihatkan lokasi perusahaan yang seimbang. Gambar di atas memperlihatkan curve bid price sebuah keluarga. BPC1 adalah tingkat laba X1, BPC2 adalah tingkat X2 dan BPC3 adalah tingkat laba X3, dimana X1>X2>X3. Jadi lokasi perusahaan dengan laba BPC1 dilebihkan dari lokasi perusahaan dengan laba BPC2, dan lokasi perusahaan dengan laba BPC2 lebih baik dari lokasi perusahaan dengan laba BPC3. Pada Gambar diperlihatkan perusahaan dengan suatu struktur yang telah tertentu, dimana harga lahan Pd. Fungsi harga aktual tersebut

81

Page 92: e Book Regional

digambarkan dengan cara mengasumsikan bahwa harga lahan menurun dengan kenaikan jarak dari pusat kota; ini suatu syarat keseimbangan yang dialami kebanyakan kota. Di dalam gambar peta (Map) curve-curve bid price preferensi-preferensi perusahaan, dimana pada saat struktur harga Pd, diilustrasikan pada kemungkinan yang ada kepadanya. Perusahaan akan dilokasikan pada titik dimana fungsi harga merupakan nilai kemiringan (Tangensial) kepada kurva Bid Rent yang paling rendah yang mungkin dicapai. Pd tangensial pada BPC2, di dalam gambar, jadi dimana diwakili lokasi de

dimana laba-laba dimaksimalisasikan (X2).

unit sewa

BPC1(X1) BPC2(X2)

0

Gambar 5.1 Lokasi Optimal Perusahaan dalam Tata Ruang Kota

Slope Pd tersebut merupakan tangensial fungsi harga Pd dan sama dengan kemiringan profit maximizing kurva bid price BPC2, dan titik singgungnya adalah titik seimbang. Lokasi yang terdekat ke pusat kota untuk fungsi harga Pd adalah de, Pd adalah harga tertinggi untuk BPC2. Sebagaimana diketahui bahwa slope kurva Bid Price tersebut adalah suatu perubahan pada harga lahan yang dibutuhkan untuk menentukan penurunan penerimaan dan untuk biaya yang lebih tinggi, dimana Pd yang lebih tinggi maka tabungan (Saving) di lokasi dengan biaya yang berkurang, pengurangan pada penerimaan kenaikan pada biaya operasi. Sebaliknya sebelah kanan de BPC2 lebih tinggi dari Pd, berarti bahwa tabungan (Saving) dari lahan tidak cukup untuk mengatasi berkurangnya penerimaan dan meningkatnya biaya-biaya. Perusahaan akan bergerak mendekati pusat kota dan berlokasi di titik keseimbangan de.

5.8. Pemanfaatan Lahan

Setiap kegiatan manusia memerlukan ruang dan ruangan tersebut berada di atas lahan. Lahan sebagaimana halnya faktor-faktor produksi lain (tenaga kerja, modal dan skill) memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam pemanfaatannya. Balas jasa terhadap lahan adalah sewa (Rent). Lahan merupakan sumber dasar makanan (lahan pertanian), lokasi di mana berdirinya gedung-gedung, dan area konsesi pertambangan dan sebagainya. Pemanfaatan lahan sama dengan pemanfaatan lingkungan hidup

Jarak

BPC3 (x3)

Pe

d0

Pd

82

Page 93: e Book Regional

manusia, yang memerlukan pertimbangan bagi perkembangan mutu kehidupan yang lebih baik.

5.8.1.Persaingan dalam Pemanfaatan LahanDalam pemanfaatan lahan selalu ada persaingan. Lahan mempunyai kegunaan

ganda, analisis pemanfaatan lahan tidak hanya dapat bertolak dari konsep kegiatan individu, tetapi juga bertolak dari konsep kegiatan ganda suatu daerah (wilayah). Permintaan terhadap lahan ditentukan oleh faktor kegunaan lahan itu sendiri dan harganya. Faktor kegunaan ditentukan oleh letak lahan (peruntukan, strategis tidaknya lokasi/intensitas kegiatan/aksessibilitas). Harga lahan menentukan permintaan serta intensitas persaingan untuk mendapatkannya. Ada kegiatan yang membutuhkan lahan lebih luas dibandingkan untuk kegiatan lain. Contoh: industri kehutanan, pertanian membutuhkan lahan yang luas, sedangkan untuk kegiatan perkotaan relatif sempit. Maka terjadi transfer dari peruntukan kegiatan yang satu ke kegiatan yang lain, tergantung pada intensitas pemanfaatan dan nilai produktivitasnya. Terdapat persaingan untuk mendapatkan lahan, misalnya untuk tujuan perluasan kota. Lahan akan digunakan oleh mereka yang berani membayar sewa lebih mahal (pasar bebas). Suatu kenyataan bahwa perlu pengendalian atas pemanfaatan lahan. Akibatnya: (1) tidak diperoleh maksimalisasi keuntungan individu, (2) tidak diperoleh pola pemanfaatan yang optimum bagi masyarakat.

5.8.2. Permintaan terhadap Lahan

Gambar 5.2 Struktur Biaya-biaya TC, AC dan MC

Lahan ada yang lebih bernilai dan ada yang kurang bernilai, tergantung pada keberanian orang membayar harga atau sewanya. Jenis sewanya berbeda-beda, sesuai dengan jenis pemanfaatan. Perbedaan nilai lahan sesuai dengan tujuan pemanfaatan, diistilahkan dengan Rent Gradient. Tinggi rendahnya nilai lahan, atau bernilai kurang bernilainya lahan tersebut karena kondisi permukaan, yang disebut sewa permukaan (Surfaces Rent). Orientasi sewa lahan adalah kepada: (a) hasil produksi, (b) faktor-faktor produksi ad. a) hubungan tingkat hasil/ha dan biaya faktor produksi. Kurva biaya, tidak termasuk sewa untuk produksi pada setiap 1 ha lahan.

Biaya: FC = (F); VC=(a Qb) ; Biaya rata-rata (=AC) TC = F + a Qb Biaya marginal (=MC); b = 1

Untuk melihat hasil, penerimaan total dikurangi dengan biaya totalHubungan antara TC dengan berbagai kemungkinan penerimaan, pemakai lahan

dan akibat-akibat yang mungkin timbul yaitu B-C (Surplus); D dimana sewa = 0 dan HJ

TC

MC

AC

Hasil

Biaya

83

Page 94: e Book Regional

merupakan subsidi atau sewa negatif yang diperlukan agar pemanfaatan tanah itu dapat dipertanggungjawabkan.

Bila penerimaan = OL, 0L menggambarkan penerimaan hasil kegiatan yang dekat dengan pasar atau kegiatan lain yang pada hakekatnya menguntungkan. OM merupakan garis yang menunjukkan kegiatan batas. Hasil di bawah OE menyebabkan orang yang menggunakan lahan tak dapat menutup biaya-biaya dan sewa = 0.

Cost L Revenue M

B

I F N C

H D

E A R=revenue

G J

Gambar 5.3 Hubungan antara Penerimaan dan Biaya dan Laba

SewaRent gradien

0 Harga 100 0

Jarak dari pasar

Gambar 5.4 Kemiringan Kurva Sewa Lahan

Sewa akan meningkat lebih cepat jika lokasi semakin mendekati pasar dan berkurang lebih lambat bila lokasinya semakin menjauhi pasar.

Hasil perhektar relatif tinggi di lokasi-lokasi relatif dekat dengan pasar. Penerimaan dan sewa dapat diperoleh lebih sensitif terhadap biaya karena lebih banyak yang harus diangkut ke luar dari daerah tersebut. Oleh karena itu harga produk hanya turun perlahan dengan bertambahnya jarak. Biaya transpor lebih mahal bila mengangkut

Sewa

Rent gradient

TC

84

Page 95: e Book Regional

Kota Jarak Pinggir kota

Gambar 5.5 Kurva Sewa Bergelombang Pengaruh Pusat Yang Terstruktur

dari jarak yang lebih jauh. Semuanya merupakan fungsi jarak, sehingga bentuk curva rent gradient itu concave. Di dalam kenyataannya antara pusat pasar dengan jarak terjauh membentuk rent gradient yang memiliki berbagai faktor yang menguntungkan, sehingga mungkin kurva rent gradien bergelombang.

5.8.3. Teori Lokasi dan Pertumbuhan KotaFaktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya kegiatan ekonomi kota?

Perusahaan Pemerintah Penentuan lokasi terbaik

Rumah tangga Teori-teori lokasi (terutama teori von Thunen)

Sewa

Jarak Pusat Kota Lokasi tertentu Pinggir kota

Gambar 5.6 Kurva Sewa Gelombang Nail Pada Lokasi-lokasi Pusat kegiatan

Apa penyebab-penyebab pertumbuhan kota? Bagaimana komposisi kegiatan produktif yang ada di kota? Yang akan menentukan lokasi terbaik adalah perusahaan, pemerintah dan rumah tangga. Teori dasarnya adalah teori lokasi Van Thunen. Teori ini pernah dilupakan orang selama satu abad, tetapi kemudian dikembangkan kembali sehubungan dengan kemampuannya dalam menjelaskan lokasi perkotaan, yang sangat penting sehubungan dengan munculnya masalah perkotaan pada pertengahan abad ke-20 dan lahirnya ekonomi perkotaan (Urban Economics).

85

Page 96: e Book Regional

BAB VIKERANGKA WILAYAH

6.1. Wilayah Sebagai Sebuah Konsep

Apa yang dijadikan dasar hukum suatu wilayah dan bagaimana ekonomi nasional dipecah ke dalam suatu sitem ekonomi wilayah perlu diperjelas, sebagai prasyarat penting bagi analisis ekonomi wilayah. Dalam hal ini terdapat kesulitan, karena adanya dua konsepsi wilayah: Pertama: Wilayah berdasarkan administrasi pemerintahan. Data bagi penelitian empiris tidak begitu sulit, karena tersedia pada kantor-kantor pemerintah daerah dan lembaga-lembaga daerah. Kedua: Wilayah yang tidak didasarkan kepada batas-batas administrasi pemerintah Daerah, tetapi didasarkan kepada pengaruh-pengaruh lokasi dan keseimbangan-keseimbangan harga spasial. Adanya konsep yang kedua ini mempersulit perumusan definisi wilayah. Suatu wilayah mungkin dikaitkan dengan suatu pusat konsentrasi penduduk dari suatu wilayah besar di sekitarnya. Definisi wilayah dapat berbeda antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, tergantung kepada tujuan penelitian itu masing-masing.

Satu kesatuan ekonomi nasional yang dipecah menjadi beberapa wilayah ekonomi regional maka wilayah-wilayah ekonomi regional tersebut haruslah definitif. Jadi kesulitan pertama adalah kesulitan definisi. Kesulitan yang kedua adalah bagaimana memecah ekonomi nasional tersebut ke dalam ekonomi-ekonomi wilayah yang saling terkait, atau menjadi wilayah-wilayah ekonomi yang terintegrasi. Berdasarkan pendekatan definisi ini, maka wilayah dapat dibedakan dalam tiga kategori pokok: (1) Wilayah-wilayah Homogen (Homogenous Regions). (2) Wilayah-wilayah Modal (Modal Regions). (3) Wilayah-wilayah Perencanaan (Planning Regions).

6.1.1 Wilayah HomogenWilayah ini merupakan satu kesatuan tata ruang yang dibentuk oleh wilayah-

wilayah yang memiliki sifat-sifat (charateristics) sama atau mirip. Misalnya: struktur produksinya sama, struktur pekerjaan penduduk sama, faktor geografis, sumber daya alam yang menonjol, dan mungkin pula meliputi sifat-sifat (characteristic) yang non ekonomis seperti: kesamaan perilaku sosial, latar belakang sejarah dan budaya, pandangan politik, dan sebagainya.

Masalah yang ditemukan dalam kategori wilayah ini adalah, dimana beberapa wilayah di sekitarnya mungkin saling terkait dalam hal-hal tertentu dan tidak terkait dalam hal-hal yang lain. Kriteria homogen misalnya pendapatan perkapita. Kriteria ini mungkin berguna bila diterapkan secara dinamis dan saling berketergantungan di antara pendapatan wilayah dalam proses pembangunan. Pendapatan perkapita tiap wilayah tersebut dapat dipakai sebagai ukuran maju mundurnya suatu wilayah atau sub-wilayah dalam proses pembangunan.

D.C North memakai kesatuan daya tarik sebagai dasar kesatuan wilayah dan ekonomi wilayah diperlihatkan sebagai model ekonomi basis ekspor (Export Base). Perkembangan pada kegiatan ekspor base dilakukan untuk mencapai tingkat pendapatan wilayah yang lebih baik. Di dalam wilayah tersebut terjadi interaksi antara pusat aglomerasi (pusat pertumbuhan) dengan wilayah pinggiran/sekitarnya (Periphery). Hasil ekspor akan memperbesar pendapatan wilayah dengan adanya penguatan proses multiplier.

86

Page 97: e Book Regional

Dalam kasus seperti Indonesia, ekspor sumber daya alam dari daerah-daerah ada berbagai kemungkinan yang mungkin perlu dipertimbangkan, antara lain: Pertama: Sumber daya alam diekspor tetapi devisa tidak kembali langsung ke daerah pengekspor. Penguatan multiplier tidak terjadi secara langsung di daerah tersebut. Kedua: Sumber daya alam diekspor dan devisa masuk langsung ke daerah tersebut. Penguatan multiplier akan terjadi secara langsung di daerah tersebut. Ketiga: Sumber daya alam diekspor setelah di olah di daerah tersebut. Penguatan multiplier yang terjadi di daerah tersebut akan lebih besar. Kemungkinan yang ketiga ini adalah pilihan yang paling ideal.

L. Vining berpendapat bahwa wilayah dapat dibentuk sektor ekspornya, juga sector ekspor tersebut membentuk arus pemasukan modal (Capital Inflow). Perdagangan tersebut meliputi perdagangan di dalam wilayah dan perdagangan ke luar wilayah. Area pengaruh tersebut dikategorikan sebagai sebuah wilayah. Model ini menganalisis MPC rumahtangga terhadap produk lokal, MPC terhadap produk antar wilayah dan elastisitas permintaan kelompok masyarakat berpendapatan rendah terhadap barang impor.

Perhatian konsep analisis ini ditujukan terhadap wilayah terbatas, tetapi dapat meluas meliputi analisis makro ekonomi wilayah secara keseluruhan yang merupakan teori penentuan pendapatan wilayah, pertumbuhan ekonomi wilayah, dan siklus ekonomi wilayah. Secara langsung atau tidak langsung analisis ini mengandung pengertian akan adanya kesatuan tujuan jangka pendek dan jangka panjang di dalam aktifitas ekonomi wilayah, menyangkut gerak-gerik variabel-variabel parameter tertentu, seperti: MPC (Marginal Propensity to Consume), MPI (Marginal Propensity to Import), MCOR (Margimal Capital Output Ratio), dan ASIR (Average Saving Income Ratio). Variabel-variabel tersebut harus diasumsikan mendekati konstan meliputi wilayah besar guna memiliki kekuatan peramalan.

Di dalam kenyataannya perbedaan-perbedaan di dalam suatu wilayah tetap ada. Ini merupakan gejala ekonomi yang umum, misalnya perbedaan karakteristik antara wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan. Oleh karena itu pula di dalam sebuah wilayah terdapat perbedaan tingkat pendapatan dan selera penduduk di antara sub-subwilayah tersebut. Kepadatan penduduk sering tidak merata. Oleh karena itu pula konsep wilayah homogen banyak ditinggalkan oleh ahli-ahli ekonomi regional. Terkecuali untuk wilayah-wilayah yang sangat luas dan pusat-pusat pertumbuhan kota selalu diintrodusir sebagai homogen.

6.1.2 Wilayah Modal (Wilayah Polarisasi)Perbedaan kategori wilayah ini adalah pada adanya saling ketergantungan di

antara bagian-bagian wilayah yang berbeda. Hubungan di antara kesatuan-kesatuan wilayah di dalam batas (lingkupan) ruang berfungsi saling keterkaitan, dan tidak dimasukkan faktor jarak, sebagaimana halnya di dalam model grafiti potensial (Graffiti Potential Model).

Ahli-ahli geografi berpendapat bahwa wilayah nodal ini merupakan wilayah yang real, sedangkan wilayah Homogen bersifat subjektif. Fungsi saling terkait terlihat pada gejala arus penduduk, arus barang dan jasa, arus komunikasi, dan rute alat transportasi. Arus tersebut biasanya tidak merata, terpola, dimana pada pusat-pusat kegiatan (kota-kota besar) arus tersebut lebih padat. Struktur arus akan terstruktur sesuai dengan pusat-pusat kegiatan (kota-kota) dan pengendalian terhadap arus-arus tersebut dilakukan di pusat-pusat kegiatan yang menonjol tersebut. Yang dimaksudkan dengan saling ketergantungan dalam hal ini adalah ketergantungan antara inti (core) dengan

87

Page 98: e Book Regional

sub-sub wilayah sekitarnya. Ketergantungan in lebih ditekankan pada organisasi tata ruang wilayah, seperti struktur kota, wilayah metropolitan dan wilayah pengaruhnya. Harus disadari bahwa konsep wilayah nodes ini sulit menentukan batas-batas wilayahnya. Yang menjadi perhatian tidak hanya fungsi saling keterkaitan secara terstruktur ke dalam (intra regional connection/internal relationship) tetapi keterkaitan antara nodes dengan wilayah-wilayah lain (inter regional connection). Disamping itu, wilayah nodal juga mengungkapkan tentang sarana/prasarana yang terstruktur (jaringan transportasi, tenaga listrik, komunikasi, pipa air bersih, dan sebagainya). Demikian pula arus (flow) lainnya, seperti migrasi antar wilayah, bahan baku industri pengolahan, dan lain-lain sehingga terbentuk suatu kerangka tataruang yang luas.

Dalam perkembangan fungsi keterkaitan wilayah tersebut ternyata fungsi keterkaitan pelayanan lebih baik dibandingkan fungsi keterkaitan produksi, karena fungsi keterkaitan pelayanan mendorong tumbuhnya berbagai bentuk kegiatan ekonomi nasional pada tingkat wilayah dan subwilayah.

Tingkatan dan orientasi arus polarisasi dapat dilihat dalam banyak cara, seperti: Luas wilayah distribusi barang-barang eceran, distribusi barang-barang persediaan, persentase gerakan barang-barang pada masing-masing route transportasi, persentase arus penumpang pada masing-masing route transportasi, pola komuter (orang-orang yang hilir mudik antara rumah dan tempat kerja), kepadatan komunikasi telepon, kepadatan surat kabar, arus keuangan, konsentrasi mahasiswa/perguruan tinggi, sebaran fasilitas pelayanan sosial, sebaran fasilitas rekreasi, sebaran wilayah-wilayah konsentrasi buruh, dan lain sebaginaya.

Wilayah metropolitan secara umum sama dengan wilayah modal. Wilayah metropolitan memiliki lebih dari satu pusat wilayah. Kepadatan penduduk menyerupai sebuah cincin.

6.1.3 Wilayah Perencanaan (Planning Region)Wilayah perencanaan dibuat atas dasar: kedekatan, saling terkait secara logis,

dan merupakan kesatuan pengambilan keputusan ekonomi. Planning Region disebut juga Programming Region. Melalui perencanaan, pemerintah mencoba mengatur aktifitas dalam rangka meningkatkan manfaat bagi rakyat banyak. Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan, dan salah satu kebijakan itu adalah kebijakan perwilayahan. Rencana-rencana atau program-program pemerintah tersebut diimplementasikan. Melalui perencanaan-perencanaan yang cukup fleksibel pemerintah membuat pengaturan-pengaturan tersebut berbeda-beda. Di negara-negara sosialis lebih ketat, di mana regionalisasi berarti pembagian wilayah negara dalam proses perencanaan ke dalam bagian-bagian yang spesifik dan membuat dasar administrasinya. Status hukumnya kuat sekali.

Di Indonesia pada periode orde lama, status hokum perencanaan lebih kuat dibandingkan dengan pada periode orde baru. Rencana Pembangunan Semesta Berencana (1959-1967), periode orde lama, dibuat berdasarkan Undang Undang (produk legislatif), sedangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), sejak 1969, dibuat berdasrkan peraturan pemerintah. Repelita relatif lebih mudah dilakukan penyesuaian-penyesuaian oleh pemerintah (lebih fleksibel), sedangkan Rencana Pembangunan Semesta Berencana tidak mudah untuk dilakukan penyesuaian-penyesuaian (kaku).

Ketidakberhasilan Pembangunan Semesta Berencana 1959-1966 dinilai karena kurang realistis dan karena pada periode-periode tersebut bangsa Indonesia lebih banyak

88

Page 99: e Book Regional

memberikan perhatian kepada masalah-masalah politik, masalah-masalah konsolidasi ideologi nasional. Masalah efisiensi kurang mendapat perhatian. Pembangunan dilaksanakan dengan system anggaran defisit, yang kemudian mengundang inflasi mencapai sekitar 670% pertahun pada tahun 1965 dan terjadi kekacauan ekonomi.

Untuk suatu wilayah perencanaan perlu diketahui ruang lingkup (batas-batas) pengaruhnya, sebagai batas-batas pengaruh ekonominya. Dengan demikian ekonomi wilayah tersebut dapat didorong dengan suatu perencanaan yang didasarkan kepada batas-batasnya secara alamiah dan pengetahuan tentang sifat-sifat wilayah tersebut. Kalau perencanaan tidak memperhatikan fungsi-fungsi keterkaitan dari wilayah seperti itu maka besar kemungkinan keputusan-keputusan pemerintah yang dibuat untuk mendorong pembangunan wilayah tidak akan efektif. Untuk itu suatu perencanaan memerlukan data statistik dan monografi wilayah yang tidak terbatasi oleh batas-batas wilayah administrtasi.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, wilayah perencanaan dapat sama dengan wilayah modal. Wilayah perencanaan juga tidak berbeda dengan wilayah homogen. Kalau sifat-sifat homogen dipakai pada unit-unit wilayah perencanaan maka akan terjadi partisipasi, akan ada arus hubungan di antara pusat wilayah. Mengenai mana yang lebih penting apakah wilayah homogen dengan wilayah nodal, itu tergantung kepada maksud perencanaan. Apabila yang diinginkan adalah berkembangnya saling keterkaitan antar wilayah maka yang lebih penting adalah wilayah modal. Akan tetapi kalau interest perencanaan itu adalah untuk kesatuan wilayah, maka yang lebih penting adalah wilayah homogen, yaitu didasarkan kepada saling pengaruh-mempengaruhi antar sub-subwilayah.

Selain itu kategori suatu wilayah akan ditentukan oleh kedudukannya di dalam satu kesatuan struktur wilayah nasional. Apabila ekonomi nasional dipecah ke dalam sejumlah ekonomi wilayah dengan baik dan jelas struktur internalnya, maka ekonomi wilayah seperti itu merupakan sub-sub wilayah perekonomian nasional di atas wilayah-wilayah homogen yang baik.

Akan tetapi kalau sistem wilayah tersebut merupakan sistem ketidakseimbangan, membentuk wilayah-wilayah yang tidak sama, maka sistem wilayah seperti itu dinamakan sistem wilayah polarisasi. Misalnya di dalam suatu wilayah nasional terdapat dua wilayah yang besar-besar dan maju, dan selebihnya terdiri dari wilayah-wilayah yang kecil-kecil serta terbelakang, struktur ekonominya tidak tertata secara berencana, tidak jelas keterkaitannya satu sama lain secara geografis, tidak jelas keterkaitan wilayah yang satu dengan yang lainnya dengan spesifikasi masing-masing sebagai satu kesatuan dalam wilayah nasional. Wilayah tersebut lebih memperlihatkan keterkaitan fungsinya pada arus polarisasi wilayah kepada dua wilayah yang maju saja, bukan arus antar wilayah secara keseluruhan dengan pusat-pusat wilayah tersebut, yang memakai arus keterkaitan antar wilayah baik ke dalam maupun ke luar. Oleh karena itu pilihan ideal sebuah wilayah perencanaan tergantung kepada tujuan yang ingin dicapai. Didasarkan kepada tujuan tersebut sekelompok wilayah diteliti, bagaimana struktur umum yang dimilikinya, bagaimana system integrasinya secara umum.

Langkah selanjutnya adalah membuat kerangka sifat-sifat wilayah, akuntansi wilayah berdasarkan struktur umumnya, yang didasarkan kepada teori-teori, analisis pendapatan wilayah dan pertumbuhan pendapatan/ekonomi wilayah. Diasumsikan bahwa wilayah-wilayah itu homogen, atau wilayah-wilayah tersebut sama dengan wilayah perencanaan. Di dalam system akuntansi wilayah diakui (diterima) variabel-variabel: wilayah sebagai satu kesatuan produksi, pendapatan, konsumsi dan jarak, serta

89

Page 100: e Book Regional

keterkaitan wilayah ke dalam (keterkaitan akuntansi input-output industri) digunakan sebagai dasarnya.

6.2. Akuntansi Wilayah (Regional Account)

Uraian tentang akuntansi wilayah ini dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:1. Pendahuluan2. Pehitungan Pendapatan dan Produksi Wilayah3. Perhitungan Input-Output Wilayah

6.2.1. PendahuluanFungsi perhitungan pada tingkat wilayah sama saja dengan fungsi perhitungan

pada tingkat nasional, yang bertujuan untuk dapat melakukan analisis ekonomi pada tingkat wilayah, yaitu analisis ekonomi yang bersifat makro. Secara umum terdapat perbedaan antara analisis yang dilakukan untuk tujuan jangka pendek dan jangka pannjang. Banyak analisis yang lebih mengutamakan untuk menjawab masalah-masalah fluktuasi ekonomi jangka pendek, yaitu bagaimana dapat menjaga stabilisasi ekonomi jangka pendek dari gelombang fluktusi siklus bisnis.

Analisis ekonomi wilayah lebih ditujukan untuk maksud-maksud stabilitas ekonomi jangka panjang, misalnya untuk perubahan struktur ekonomi wilayah. Adanya fluktuasi ekonomi jangka pendek yang penyebabnya merupakan hasil interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lain tidak dibicarakan dalam analisis wilayah, tetapi yang lebih diutamakan adalah perhatian kepada pertumbuhan ekonomi wilayah, bagaimana masing-masing wilayah dapat menyesuaikan diri terhadap proses perkembangan jangka panjang yang berkaitan erat dengan perkembangan sumberdaya-sumberdaya produksi (Inputs), perubahan teknologi dan perubahan struktur ekonomi wilayah.

Kerangka akuntansi wilayah diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Sifat dan fungsi-fungsi akuntansi wilayah tidak melihat kepada lebih kompleks atau sederhananya di dalam struktur perhitungan tersebut. Variabel-variabel yang digunakan sama, walaupun ada juga perbedaan-perbedaan antara keterkaitan secara akuntansi dengan keterkaitan secara teoritis. Akuntansi wilayah diekspresikan dalam bentuk identitas neraca antar wilayah dan yang didefinisikan secara benar, yaitu berdasarkan fakta-fakta yang ada. Sedangkan keterkaitan secara teoritis antar wilayah didapatkan dari tujuan analisis, tidak persis benar, tetapi merupakan suatu generalisasi yang bersifat prediktif. Oleh karena itu pula akuntansi wilayah membimbing para teoritisi dapat mendefinisikan konsep-konsep wilayah secara jelas dan konsisten dengan data yang ada, baik data statistik maupun informasi-informasi lain. Dengan kata lain, sistem akuntansi wilayah membantu perkembangan teori ekonomi wilayah yang lebih memiliki nilai operasional.

Kedudukan akuntansi wilayah: Pertama, merupakan dukungan dasar sebelum dilakukan suatu evaluasi secara teoritis. Akuntansi wilayah dapat mengembangkan suatu kerangka untuk analisis kebijakan ekonomi wilayah. Kedua: memberikan informasi yang objektif dalam melihat dampak evolusi yang dikaitkan dengan sistem regional sebagai akibat dari kebijaksanaan nasional, atau perubahan-perubahan dalam kegiatan ekonomi pada semua tingkat (pusat maupun daerah, atau nasional maupun regional). Ketiga: menyoroti perbedaan penting di antara kerangka akuntansi wilayah dengan akuntansi nasional. Ini diperlukan dalam rangka membangun suatu akuntansi wilayah secara nasional dengan asumsi bahwa wilayah adalah sebagai wilayah yang

90

Page 101: e Book Regional

tertutup. Perdagangan antar wilayah dalam rangka saling mengembangkan di antara wilayah.

Akuntansi wilayah mengikuti prosedur pengembangan analisis wilayah. Ekonomi suatu wilayah dipandang sebagai suatu ekonomi terbuka dan akuntansi wilayah disyaratkan harus dengan metode yang memudahkan untuk melihat dampak pengaruh kekuatan eksternal pada produksi-produksi local daerah yang bersangkutan. Struktur pencatatan dari akuntansi wilayah harus memungkinkan mengakomodasikan elemen-elemen eksogenus maupun endogenus, dan memperlihatkan interaksi-interaksi antara kegiatan-kegiatan ekonomi nasional, wilayah, dan ekonomi antar wilayah. Dengan kata lain diperlukan disain akuntansi wilayah dalam rangka memahami sifat-sifat keseimbangan ekonomi wilayah secara umum. Dari sistem akuntansi wilayah tersebut juga harus terlihat perkembangan sektor pemerintahan, sektor swasta, wilayah secara individual, wilayah-wilayah terkebelakang, dan sebagainya. Juga lebih baik lagi, jika system akuntansi wilayah tersebut dapat memperlihatkan perkembangan sub-subwilayah secara parsial untuk dapat melakukan analisis terhadap kebijakan-kebijakan lokal.

Disusunnya akuntansi wilayah dimaksudkan agar dapat memberikan informasi tentang dampak dari keterkaitan ke dalam suatu wilayah secara individual, keterkaitan ke luar dengan wilayah-wilayah lain/internasional, dan dampak dari kebijakan pemerintah pusat. Data kuantitatif seperti itu diperlukan untuk memperkirakan impor-ekspor wilayah yang luas, dikaitkan dengan nilai Marginal Propensity to Import (MPI), perbedaan pendapatan regional yang bersifat geografis (perbedaan PDRB antar wilayah). Perbedaan itu mungkin karena penduduk suatu wilayah yang bekerja di wilayah lain, dan/atau modal suatu wilayah ditanamkan di wilayah lain. Tentu saja data ini cukup sulit dihimpun, karena banyak transaksi-transaksi antar wilayah yang tidak tercatat, mengingat hal itu bukan sasaran pengawasan administrasi. Pengambil-pengambil keputusan memerlukan perkiraan pendapatan wilayah untuk memperkirakan kapasitas pasar wilayah. Akuntansi ini menghasilkan perkiraan volume arus barang antar wilayah dan neraca pembayaran antar wilayah. Ini adalah kerangka akuntansi regional.

Sumbangan wilayah kepada pemerintah pusat tidak diperhitungkan. Anggaran pemerintah pusat akan memberikan dampak kepada pembangunan wilayah. Demikian pula kontribusi relatif dari wilayah-wilayah secara individual terhadap total penerimaan pajak pemerintah pusat, pengaruhnya besar dan luas. Berdasarkan hal-hal tersebut maka jelas bahwa struktur perhitungan nasional konvensional tetap dipakai pada akuntansi wilayah.

Masalah-masalah wilayah biasanya dibedakan dengan masalah-masalah yang ditonjolkan pada tingkat nasional, masalah-masalah wilayah tidak merupakan suatu kebutuhan lebih lanjut untuk kelengkapan perhitungan pendapatan/produksi nasional, sebagai kerangka dasar informasi ekonomi. Sebagai contoh di dalam studi-studi “dampak evolusi” terhadap latar belakang perindustrian suatu wilayah mungkin lebih banyak kegunaannya dibandingkan studi pembagian pusat-pusat tabungan dan investasi. Dari gambaran-gambaran tersebut di atas maka akan sulit diketahui kalau sistem akuntansi wilayah atas dasar geografi yang didasarkan kepada perkiraan-perkiraan imbal beli antar industri nasional yang tidak lengkap dari data arus pendapatan nasional.

Akhirnya, dengan memperhatikan konsepsi perhitungan (akuntansi) pada tingkat wilayah tidak sampai mengaburkan faktanya, di mana suatu perhitungan yang demikian itu merupakan kerangka perhitungan empiris. Akuntansi wilayah adalah penggabungan

91

Page 102: e Book Regional

data statistik dan bangun teori. Untuk mengefektifkan fungsi dari akuntansi wilayah haruslah dibangun berdasarkan apa adanya, dan yang paling pokok adalah tidak menyulitkan dalam pengumpulan datanya. Di beberapa negara, terkecuali negara-negara yang menganut system konstitusi federal, system administrasi wilayah yang digunakan secara operasional untuk akuntansi wilayah, seperti halnya Inggris, tidak kaku. Untuk memperoleh data tersebut sangat mahal, dan proporsi-proporsi bagiannya tidak mungkin diukur tanpa adanya lembaga-lembaga baru yang ditugaskan untuk menghitungnya.

Untuk mendukung kebijakan-kebijakan yang perlu dibuat maka data pendapatan wilayah penting sekali, tetapi kalau transaksi-transaksi antar wilayah dan transaksi wilayah dengan luar negeri tidak terliput oleh pengawasan administrasi tidak mungkin dilakukan akuntansi wilayah pada level yang lebih bawah. Perusahaan-perusahaan yang bersifat multiplant yang beroperasi di wilayah tersebut juga mungkin menambah masalah-masalah statistik. Sebagai perusahaan yang memproduksi barang-barang setengah jadi di satu wilayah dan digunakan sebagai bahan baku (mata rantai produksi industri) di wilayah yang lain, di mana nilai produksi masing-masing wilayah mungkin sulit diketahui (sulit dicatat). Laba yang diperoleh perusahaan di masing-masing wilayah sulit dibagi-bagi/dihitung. Alokasi proyek-proyek tidak langsung untuk wilayah-wilayah yang berbeda juga tidak mungkin dilakukan, terutama pajak yang dikenakan pada bahan baku/barang-barang setengah jadi di pelabuhan-pelabuhan sebelum diangkut ke lokasi-lokasi tujuan memprosesnya lebih lanjut. Untuk barang-barang produksi rumah tangga juga ada masalah, dimana barang-barang tersebut biasanya tidak dikenakan pajak pada level produksi, tetapi dikenakannya pada waktu dikonsumsi, dimana saja di dalam wilayah suatu negara. Semua masalah-masalah yang seperti itu merupakan tambahan-tambahan masalah yang perlu mendapat pengkajian kembali, dimana konsepsi kerangka akuntansi wilayah menjadi lebih lengkap.

6.2.2 Perhitungan Produk dan Pendapatan RegionalSebagai contoh diperkenalkan perhitungan Richard Stone, Departemen Ilmu

Ekonomi Terapan Universitas Cambridge. Model ini mengelompokkan kegiatan ekonomi wilayah (Daerah) ke dalam tiga kelompok utama, yaitu: (1) Produksi, (2) Konsumsi, dan (3) Investasi

Di dalam suatu sistem perekonomian terbuka, pengelompokan seperti ini juga diperlukan untuk menampung transaksi sisa perdagangan luar negeri. Sisa ekspor-impor ini di satu kelompokkan dengan transaksi antar wilayah. Akuntansi wilayah tersebut dilengkapi pula dengan kelompok transaksi pemerintah pusat. Transaksi pemerintah pusat dipisahkan dengan transaksi daerah (wilayah) untuk menghindari kesalahan-kesalahan di dalam pencatatan transaksi yang dilakukan oleh organisasi vertical pemerintah pusat, yang bila disatukan dengan transaksi wilayah dapat mempengaruhi neraca antarwilayah, menghilangkan signifikansi wilayah. Kegiatan-kegiatan produksi pemerintah daerah dan berbagai bentuk produksi lainnya disatukan ke dalam kelompok perhitungan produksi, pendapatan dan modal wilayah.

Susunan atau bentuk lengkap dari perhitungan (akuntansi) wilayah disajikan dalam bentuk matrik sebagaimana diperlihatkan dalam tabel 6.1. Baris pertama dan kolom-kolomnya meliputi tiga perhitungan. Impor semuanya dimasukkan ke dalam perhitungan produksi sebuah wilayah, diperlihatkan baris pertama, diimbangi dengan besaran-besaran yang diperlihatkan sebelumnya pada kolom pertama. Perkiraan pendapatan dan pengeluaran wilayah j disajikan di dalam baris dan kolom dua. Baris dan kolom tiga menyajikan perkiraan modal masuk dan modal ke luar wilayah j.

92

Page 103: e Book Regional

Tiga perkiraan tersebut meliputi 14 perhitungan masukan bagi setiap wilayah. Total ketiga perhitungan tersebut menghasilkan: (1) Perkiraan produksi (GDP) wilayah pada harga yang berlaku, (2) Perkiraan pendapatan (GRI) + transfer-transfer bersih tahun berjalan. Perkiraan modal, tambahan bersih kekayaan wilayah dalam bentuk persediaan-persediaan investasi dan asset tetap, atau tambahan tagihan terhadap wilayah-wilayah lainnya. Perkiraan-perkiraan pemerintah pusat diperlihatkan pada baris 4-6 kolom 5, yang merupakan aktifitas pendapatan dan pengeluaran pada tahun yang sedang berjalan. Baris 6 mewakili perkiraan modal pemerintah pusat. Perkiraan ini merupakan perpindahan dari lalu-lintas pemasukan modal baru, atau akibat dari neraca pengeluaran dan penerimaan pemerintah pusat, dikaitkan dengan arus modal wilayah yang bersangkutan ke luar (kolom 3). Baris dan kolom 7-9 mewakili perkiraan-perkiraan produksi, pendapatan/pengeluaran dan modal, yang menyangkut transaksi dengan wilayah-wilayah lain dan luar negeri.

Tabel 6.1 Tabel Perhitungan Produksi dan Pendapatan Wilayah Richard Stone

  Ke Wilayah Pemerintah Wilayah2 lain

        Pusat dan luar negeri

    1 2 3 4 5 6 7 8 9

Dari   P Y K P Y K P Y K

Wilayah                  

1 P 0 Cjj Vjj 0 Cjg 0 Xjr 0 0

2 Y Ydj 0 0 0 Gjg 0 Yjr Gjr 0

3 K 0 Sjj 0 0 0 Tjg 0 0 0

Pemerintah                  

Pusat            

4 P 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 Y Igj Dgj 0 0 0 -Sgg Ygr 0 0

6 K 0 0 Bgj 0 0 0 -Vgr 0 Bgr

Wilayah-wilayah lain                  

dan luar negeri            

7 P 0 0 0 0 Crg 0 0 0 0

8 Y 0 0 0 0 Grg 0 Mrr 0 0

9 K 0 0 Brj 0 0 Trg 0 Nrr 0

93

Page 104: e Book Regional

Keterangan:

Ydj

Igj

Cjj

Vjj

Cjg

Xjr

Sjj

Dgj

Gjg

Yjr

Gjr

Tjg

Bgj

Brj

Crg

Grg

-Sgg

Ygr

====

=

===

=

=

=

=

==

=

=

=

=

=

==

=

======

GDP pada harga berlaku wilayah j (termasuk apresiasi stock). Pajak tidak langsung kurang subsidi yang dibayar wilayah j.Konsumsi rumahtangga dan pemerintah daerah wilayah j. Investasi bruto wilayah j dalam bentuk asset tetap dan stocks, termasuk apresiasi stocks.Penjualan wilayah j kepada pemerintah pusat untuk tujuan konsumsi.Ekspor netto wilayah j ke semua wilayah lain dan luar negeri. Tabungan bruto wilayah j. Pajak langsung pendapatan wilayah yang dibayarkan kepada pemerintah pusat.Transfer-transfer lancar, hadiah-hadiah dan hibah-hibah yang diterima wilayah j dari pemerintah pusat.Penerimaan-penerimaan netto (faktor pendapatan) wilayah j dari semua wilayah dan luar negeri.Transfers lancar yang diterima wilayah j dari semua wilayah dan luar negeri.Transfers modal netto yang diterima wilayah j dari pemerintah pusat.Pinjaman bersih pemerintah pusat dari wilayah j.Pinjaman bersih seluruh wilayah lainnya dan luar negeri dari wilayah j.Pengeluaran lancar pemerintah pusat untuk luar negeri terhadap pembelian barang-barang dan jasa-jasa.Transfer lancar bersih luar negeri pemerintah pusat.Defisit tabungan pemerintah pusat.Pembayaran-pembayaran bersih (pendapatan factor) yang diterima pemerintah pusat dari semua wilayah lainnya dan luar negeri.Transfer-transfer modal bersih yang dibayar pemerintah pusat ke luar negeri.Investasi yang bernilai negatif di dalam asset-aset tetap dan stocks dari pemerintah pusat.Pinjaman bersih pemerintah pusat dari luar negeri.Transfer-transfer keseimbangan terhadap perkiraan-perkiraan pendapatan dan pengeluaran, misalnya penerimaan negara dari penjualan barang/jasa dalam bentuk pendapatan faktor.Transfer keseimbangan terhadap perhitungan transaksi modal, yaitu neraca luar negeri dalam perkiraan lancar dengan negara tersebut.Wilayah yang bersangkutan.Pemerintah pusat.Semua wilayah lainnya dan luar negeri.Perkiraan produksiPerkiraan pendapatan dan pengeluaran.Perkiraan modal.

94

Page 105: e Book Regional

Trg

-Vgr

Bgr

Mrr

Nrr

jgrPYK

.Perkiraan-perkiraan ini memberikan kemungkinan bagi diketahuinya beberapa

besaran ekonomi domestik dan nasional. Seperti Produk Domestik Bruto (GDP) pada harga yang berlaku + apresiasi stock = , yang merupakan produksi domestik wilayah j. Dapat pula diketahui total konsumsi, yaitu:

6.2.3 Perhitungan Input-Output Wilayah Pada perhitungan input-output willayah ini, industri (sektor-sektor ekonomi)

dilihat pada tingkat wilayah, untuk melihat berbagai pengaruh perubahan yang datang dari luar terhadap ekonomi suatu wilayah. Tujuan perhitungan input-output tersebut memiliki nilai yang lebih luas dari perhitungan-perhitungan produksi dan pendapatan wilayah. Atas dasar perhitungan ini maka kebutuhan-kebutuhan data untuk menyusun sebuah model input-output antar wilayah semakin banyak. Perhitungan input-output merupakan suatu perluasan dan modifikasi perhitungan-perhitungan produksi dan pendapatan wilayah.

Model input-output wilayah memasukkan asumsi-asumsi dasar model Leontief yang umum. Setiap komoditas yang di-supply oleh industri tunggal atau sektor produksi hanya digunakan satu metode, yaitu untuk pembuatan komoditi masing-masing dan sektor masing-masing hanya terdapat satu input primer, dan tidak terdapat input bersama. Pengembangan analisis ini menjadi suatu susunan analisis input-output antar wilayah. Adakalanya diperlukan asumsi-asumsi tambahan sebagai berikut:Pertama : Bahwa sistemnya tertutup, artinya tidak ada impor-ekspor (perdagangan luar

negeri). Asumsi ini tidak realistis, oleh karena itu impor-ekspor diasumsikan sebagai suatu wilayah di samping wilayah-wilayah yang lain yang melakukan transaksi (perdagangan) dengan wilayah yang bersangkutan.

95

Page 106: e Book Regional

Kedua: Analisis industri antar wilayah tersebut tidak hanya mengasumsikan koefisien produksinya tetap, tetapi koefisien perdaganganpun diasumsikan tidak berubah. Oleh karena itu, akibat dari perubahan tertentu tidak menyimpang dari perbedaan-perbedaan geografis di lokasi tersebut, yaitu yang menyangkut permintaan final atau sumber supply.

Terakhir: Bahwa seluruh impor dari suatu wilayah tercatat pada matrik antar industri.Susunan hipotesis perhitungan input-output antar wilayah (inter-regional input-

output) disajikan dalam tabel l6.2 berikut ini. Analisis ini, sebagai suatu ilustrasi, dibatasi hanya untuk dua wilayah (A dan B)

dan tiga jenis komoditas saja (1,2 dan 3), yaitu: (a) Perkiraan-perkiraan antar-industri diperlihatkan pada kuadran kiri atas tabel, (b) Kegiatan-kegiatan produksi bersama-sama dikelompokkan kedalam sejumlah sektor-sektor, dalam kasus ini ada tiga sektor. Setiap sektor diperlihatkan di dalam sistem perkiraan ganda, sebagai produsen output dan sebagai pemakai input, (c) Setiap unsur yang berhadapan memperlihatkan disposisi output dari sektor itu dalam setiap wilayah, dan dari sumber (impor atau domestik). Jumlah keseluruhan unsur-unsur tersebut menghasilkan total penggunaan intermediate oleh wilayah (Wi).

Tabel 6.2: Perhitungan Input-Output Inter-Regional (dua wilayah, tiga komoditas/sektor)

Dari Ke  

Pemakaian Intermediate Pembelian Final Total Supply

Sektor Pembelian

PemakaianFinalDomestik

Ekspor

TotalPemb.Final

Permintaan Total=TotalSupply

1 2 3 Total ImporProduk

siDomest

ikDari    Sektor Prod.                      

1 XAA11 XAA

12 XAA13 XAA

11 WA1 DA

1 YA1

 ZA

1 XBA1 XAA

1  XBA11 XBA

12 XBA13 XBA

11    XBB

11 XBB12 XBB

13 XBB11 WB

1 DB1 YB

ZB1 XAB

1 XBB1  XAB

11 XAB12 XAB

13 XAB11  

2 XAA21 XAA

22 XAA33 XAA

11 WA2 DA

2 YA2

 ZA

2 XBA2 XAA

2  XBA21 XBA

22 XBA23 XBA

21    XBB

21 XBB22 XBB

23 XBB21 WB

2 DB2 YB

ZB2 XAB

2 XBB2  XAB

21 XAB22 XAB

23 XAB21  

3 XAA31 XAA

32 XAA33 XAA

31 WA3 DA

3 YA3

 ZA

3 XBA3 XAA

3  XBA31 XBA

32 XBA33 XBA

31    XBB

31 XBB32 XBB

33 XBB31 WB

3 DB3 YB

ZB3 XAB

3 XBB3  XAB

31 XAB32 XAB

33 XAB31    

Pembelian

UA1 UA

2 UA3              

             

96

Page 107: e Book Regional

UB1 UB

2 UB3

             

             Nilai Tambah(input-inputprimer)

VA1 VA

2 VA3

 VA

D VABy VA

y VA         

VB1 VB

2 VB3

 VB

D VBAx VB

y VB   

     Totalproduksiinput-inputyg diimpor

XA1+

MA1

XA2+

MA2

XA3+

MA3

 DA XAB YA ZA XBA XAA

 

XB1+

MB1

XB2+

MB2

XB3+

MB3

 

DB XBA YB ZB XAB XBB

 

Penggunaan netto, seperti konsumsi, investasi, pemakaian pemerintah dan ekspor, digambarkan di dalam perkiraan-perkiraan pendapatan dan produksi, disatukan ke dalam pos penggunaan final (Yi). Di dalam tabel I-O, dipecah ke dalam dua pos, yaitu pemakaian domestik final dan ekspor, yang diperlihatkan di dalam kuadran atas,

yaitu:

Keterangan tabel:Simbol-simbol A dan B = Region-region (wilayah) A dan B, sedangkan angka

1,2 dan 3 = komoditas-komoditas (sektor-sektor) 1,2 dan 3. = Penawaran total komoditas 1 di wilayah A

= Produksi total komoditas 1 di wilayah A

= Impor total komoditas 1 oleh wilayah A dari wilayah B

= Ekspor total komoditas 1 wilayah A ke wilayah B

= Jumlah komoditas 1 produksi domestic yang digunakan di sektor 2 di wilayah A

= Jumlah komoditas 1 yang diimpor dari wilayah B untuk digunakan di sektor 2 di wilayah A.

= Pemakaian final komoditas 1 di wilayah A

= Penggunaan domestic final komoditas 1 di wilayah A

= Penggunaan intermediate total komoditas 1 di wilayah A

= Penggunaan total oleh sektor 2 di wilayah A dari input-input yang dibeli dari industri-industri lain

= Penggunaan total input-input primer (nilai tambah) di sektor 2 di wilayah A

= Produksi domestic komoditas 1 di wilayah A

=Penggunaan total oleh sektor 2 di wilayah A untuk input-input impor yang dibayar dari industri-industri di wilayah B.Kuadran kiri-atas tabel memperlihatkan prosedur sektor-sektor sebagai pembeli

input-input, yaitu input-input untuk wilayah yang bersangkutan yang diserap dari sektor-sektor produksi lainnya, di dalam wilayah itu sendiri atau di luar wilayah itu

97

Page 108: e Book Regional

sendiri. Jumlah keseluruhan input-input tersebut sama dengan total purchase of product inputs = Uj. Total produksi ditambah input-input yang diimpor untuk pemakaian sektor-i = (Xj + Mj), input-input primer ditambahkan kepada total pembelian. Yang dimaksud dengan input-input primer adalah belanja langsung kepada faktor-faktor primer (seperti: tanah, tenaga kerja dan modal) yang meliputi nilai tambah sektor, yang diperlihatkan pada kuadran kiri-bawah = Vj. Terakhir, pada kuadran kanan bawah didapatkan input langsung faktor-faktor primer untuk pemakaian final (contohnya yaitu: kesempatan kerja sektor pemerintah dan pelayanan dalam negeri.

Disain perhitungan input-output didasarkan kepada suatu pembagian pemakaian ke dalam dua kategori, yaitu: pemakaian intermediate (pemakaian barang setengah jadi) dan pemakaian final (pemakaian barang jadi). Demikian pula input itu sendiri dibagi kedalam dua kategori, yaitu: input yang diproduksi (input barang-barang setengah jadi) dan input primer.

Ciri penting analisis penentuan pendapatan wilayah ini adalah dibedakannya antara komponen-komponen input yang diproduksi (input setengah jadi) dan yang otonom (primer). Salah satu fungsi pokok perhitungan input-output adalah untuk memungkinkan para analist memisahkan gangguan efek-efek yang bersifat otonomus, misalnya perubahan pada permintaan final, perubahan pada transaksi-transaksi antar industri dan karenanya perubahan pada produksi total di setiap sektor ekonomi.

Simbol ZiA mewakili penawaran total komoditas i di wilayah A, dimana besaran

ini dipecah lagi ke dalam dua unsur, yaitu impor (X iBA) dan produksi domestik (Xi

AA). Bertolak dari persamaan yang harus seimbang, maka untuk setiap komoditas: Penawaran Total = Permintaan Total. Maka Zi

A dapat juga diseimbangkan dengan permintaan total wilayah A, yaitu sebesar permintaan final dikurangi impor, atau penggunaan intermediate total ditambah penggunaan domestik final, yaitu = Wi

A + DiA.

Untuk dapat menjelaskan besaran-besaran arus antar-industri pada tingkat industri antar sektor, perlu beberapa keterangan terhadap unit-unit wilayah individual dari matrik antar industri tersebut sebagai berikut: Permintaan (X ij

AA) masing-masing industri (jA) untuk setiap komoditas yang diproduksi secara domestik (i) dapat diperlihatkan sebagai sebuah fungsi produk sendiri pada tingkat tersebut. Dengan memasukkan elemen-elemen biaya tetap sama dengan nol, maka fungsi input menjadi:

…………………...………………(1)Keterangan: Xij

AA = permintaan sektor i dari sektor j yang digunakan di wilayah A diproduksi oleh wilayah A; aij

A = koefisien marginal input.mij

A = porsi (bagian) input komoditas i yang disupply secara domestik di wilayah A.

Permintaan industri (jA) untuk impor komoditas (i) dapat diperlihatkan dengan fungsi: ………………...……….…..…….(2)

Apabila mijBA dihubungkan secara tertutup marginal propensity industri di

wilayah A, untuk setiap mengimpor komoditi dari wilayah B, ternyata:

Diketahui: Dengan menggunakan koefisien yang tetap bagi keduanya, model input-output

dapat memperkirakan lemah atau kuatnya efek-efek secara kuantitatif tentang perubahan-perubahan pada permintaan output dan permintaan input, baik di dalam

98

Page 109: e Book Regional

maupun di luar wilayah yang bersangkutan, yaitu dengan menggunakan matrik antar-industri.

Hubungan-hubungan perhitungan input-output dapat diperlihatkan melalui sejumlah identitas, yang berdasarkan contoh di atas dapat disusun sebagai berikut:

………………………..………………..(3)

Keterangan: = Permintaan Total di Wilayah A; = Pendapatan Total di Wilayah A

Ini adalah persamaan keseimbangan (neraca) yang penting, dengan pengurangan impor dari permintaan final total dan juga dari produksi.

……………………….(4)Permintaan intermediate total untuk komoditas i di wilayah A.Juga:

………………………………………………..(5)Impor komoditas i oleh wilayah A.Kemudian subtitusikan persamaan (4) dan (5) ke (3), maka diperolehlah:

………………………………………...(6)

Produksi Total di Wilayah A = Penggunaan Intermediate Total + Permintaan Final Total – Impor.

………………………………………………...(7)Oleh karena itu, maka:

…………………………………………………..…(8)Ini dapat ditulis:

……………………..(9)

Dari kolom-kolom perkiraan (perhitungan) tersebut dapat diturunkan produksi total untuk keseluruhan produksi total untuk keseluruhan jumlah input matrik.

Jadi: …………………………………………..(10)

Karena, …..…….……..…(11)

Dan …………………………………………(12)

Kemudian, ………………………....(13)

Karena , maka persamaan (9) dan (13) dapat dijumlahkan untuk

setiap wilayah, dan selanjutnya diseimbangkan dengan setiap wilayah (region).

…….(14)

Perkiraan seluruh transaksi inter-industri bertolak dari identitas pendapatan nasional,

Dengan kata lain: Permintaan Final = faktor dari perubahan-perubahan total yang memiliki keterkaitan dengan identitas Produksi Nasional Bruto (PNB) dan Pendapatan Nasional Bruto (INB).

Terakhir, neraca eksternal (neraca pembayaran) wilayah B

……………………………….………………...……(15)

99

Page 110: e Book Regional

atau …………………….(16)

100

Page 111: e Book Regional

BAB VIIANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI WILAYAH

7.1. Pendahuluan

Salah satu sasaran pembangunan ekonomi jangka panjang adalah terjadinya perubahan pada struktur ekonomi wilayah. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu sasaran pembangunan, terutama bila dimulai dari kondisi keterbelakangan ke kondisi yang maju, akan disertai oleh proses perubahan pada struktur ekonomi wilayahnya. Tidak semua sektor dalam suatu perekonomian memiliki kemampuan tumbuh yang sama. Oleh karena itu perencana pembangunan ekonomi biasanya akan memanfaatkan sektor-sektor yang dapat tumbuh tinggi (sektor basis, atau sektor kunci, atau sektor unggulan) untuk mendorong pertumbuhan rata-rata yang relatif tinggi. Memang tidak selalu kebijakan yang seperti itu dapat dipilih begitu saja, karena hal itu dapat menghasilkan ketimpangan pendapatan antar sektor, antar kelompok dan antar wilayah, jika komposisi lapangan perkerjaan pada masing-masing sektor tidak diusahakan relatif proporsional dengan tingkat pertumbuhannya. Para perencana ekonomi biasanya mempertimbangkan pilihan pertumbuhan moderat untuk menghindari ketimpangan yang mencolok.

Pertanyaan penting yang perlu dijawab di sini adalah bagaimana kita mengetahui tentang proses perubahan struktur ekonomi itu terjadi di suatu wilayah? Ada beberapa model analisis yang lazim digunakan untuk menganalisis proses perubahan struktur ekonomi suatu wilayah. Model-model analisis tersebut dapat memberikan pengertian yang mendalam tentang proses perubahan struktur serta potensi ekonomi wilayah. Selanjutnya, hasil analisis ini dapat membantu memberikan dasar argumentasi yang kuat bagi suatu kebijakan yang diambil dalam perencanaan, ataupun untuk mengevaluasi apakah pelaksanaan pembangunan mencapai sasaran yang direncanakan atau tidak. Hasil evaluasi tersebut juga dapat digunakan sebagai argumentasi untuk memperbaiki perencanaan pembangunan lebih lanjut. Ada enam model analisis perubahan struktur ekonomi yang akan dijelaskan pada bab ini, yaitu: model Sektor Ekonomi Basis, Model Location Quotion (Model LQ), model Concentration Index (CI), model Specialization Index (SI), model Lacation Indeks (LI) dan model Shift and Share.

7.2. Analisis Indeks Konsentrasi

John Glasson mengatakan bahwa kemakmuran satu wilayah berbeda dengan wilayah yang lain. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan pada struktur ekonominya, dan faktor ini merupakan faktor utama. Gambaran dari perbedaan struktur ekonomi tersebut dapat tercermin pada data statistik, perkembangan neraca pembayaran antar wilayah, dan tabel input-output antar wilayah. Perubahan wilayah kepada kondisi yang lebih makmur tergantung kepada usaha-usaha di wilayah tersebut dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, serta usaha-usaha pembangaunnan yang diperlukan.

7.2.1 Sektor BasisDitinjau dari segi akademis, aktiviatas ekonomi wilayah dapat dibedakan atas

dua jenis sektor aktivitas, yaitu sektor aktivitas basis (Basic Sectors) dan sektor

101

Page 112: e Book Regional

aktiviatas bukan basis (Non-Basic Sectors). Aktivitas basis merupakan kegiatan yang mengekpor barang-barang dan pelayanan ke luar wilayah ekonominya atau memasarkan barang-barang dan pelayanan kepada orang-orang yang datang dari luar perbatasan wilayah ekonominya. Sedangkan aktivitas bukan basis adalah kegiatan yang menyediakan barang-barang dan pelayanan untuk keperluan penduduk yang tinggal di wilayah ekonomi sendiri. Aktivitas bukan basis tidak mengekspor barang/pelayanan ke luar wilayah.

Meningkatnya jumlah aktivitas ekonomi basis di suatu wilayah akan membentuk arus pendapatan ke wilayah tersebut. Dengan meningkatnya arus pendapatan tersebut akan meningkat pula permintaan akan barang-barang dan pelayanan di wilayah tersebut yang dihasilkan oleh sektor bukan basis. Sebaliknya, menurunnya aktivitas sektor basis di suatu wilayah akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir ke wilayah tersebut dan akan mengurangi permintaan terhadap sektor bukan basis. Oleh karena itu aktivitas sektor basis sewajarnya berperan sebagai penggerak utama bagi setiap perubahan dan berpengaruh ganda terhadap wilayah tersebut.

7.2.1.1Angka Pengganda Pemanfaatan Tenaga KerjaSektor basis akan memperluas kesempatan kerja, baik di sektor basis sendiri

maupun di sekktor bukan pasis sebagai pengaruh aktivitasnya. Seberapa besar perluasan kesempatan kerja yang diciptakan dapat dihitung. Dalam kaitan ini dikenal istilah apa yang disebut angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja (k).

Contoh, suatu wilayah memiliki 500.000 orang penduduk yang bekerja. Penduduk yang bekerja itu sebanyak 250.000 orang bekerja dalam aktivitas ekonomi sektor-sektor basis, dan 250.000 orang yang bekerja pada aktivitas ekonomi sektor-sektor bukan basis (1 : 1). Dengan demikian angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja (k) di wilayah tersebut:

Dengan memiliki data sektor basis dan prospeknya di masa yang akan datang, serta angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja perekonomian di wilayah tersebut dapat diperkirakan jumlah tenaga kerja yang akan terserap di masa yang akan datang. Misalnya, k = 2, tambahan tenaga kerja yang diserap sektor basis diperkirakan 20.000 orang, maka tenaga kerja yang akan diserap sektor bukan basis 20.000 orang juga. Total tenaga kerja yang akan dimanfaatkan perekonomian wilayah naik dari 500.000 orang menjadi 540.000 orang, yaitu:

Dimana: T adalah perubahan dalam jumlah tenaga kerja yang dimanfaatkan; B adalah perubahan jumlah tenaga kerja yang diperkirakan akan terjadi di sektor-sektor basis; k adalah angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja. Jika komposisi tenaga yang dimanfaatkan dalam perekonomian dengan jumlah penduduk adalah satu berbanding tiga (1 : 3) maka tambahan 40.000 yang diperkirakan akan dimanfaatkan pada aktivitas sektor-sektor basis dan bukan basis akan menambah jumlah penduduk menjadi 540 * 3 = 1.620.000 orang.

Menurut Glasson, teori sektor basis ini memiliki kelemahan, terutama adanya kesulitan dalam menilai sektor basis dan bukan basis di lapangan. Sebagai contoh yang

102

Page 113: e Book Regional

dikemukakannya, industri tambang batu bara yang menjual produknya terlebih dahulu kepada perusahaan dalam wilayah, kemudian sebagian menyalurkannya kepada pabrik-pabrik di dalam wilayah dan sebagian lagi mengekspornya ke luar wilayah. Hasil perhitungan angka pengganda industri pertambangan batu bara jelas menjadi bukan sektor basis, yang basis adalah sektor perdagangan. Kelemahan ini kemudian diatasi dengan analisis pendekatan hasil bagi lokasi (Analisis Location Quotion), analisis LQ.

7.2.2. Analisis Location Quotient (LQ)Menurut A. Bendavid (1991) LQ adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat

spesialisasi (relatif) suatu sektor atau subsektor ekonomi suatu wilayah tertentu. Pengertian relatif di sini diartikan sebagai tingkat perbandingan suatu wilayah dengan wilayah yang lebih luas (wilayah referensinya), dimana wilayah yang diamati merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas tersebut. Misalnya, ukuran konsentrasi satu sektor atau subsektor di suatu provinsi dibandingkan dengan sektor atau subsektor tersebut untuk tingkat nasionalnya. Demikian pula ukuran konsentrasi satu sektor atau subsektor pada tingkat kabupaten/kota dibandingkan dengan sektor atau subsektor tersebut untuk tingkat provinsinya. Sebagaimana halnya Glasson, Bendavid juga mengatakan bahwa LQ dapat dinyatakan dalam beragam ukuran (Terminilogy), namun yang sering digunakan adalah ukuran kesempatan kerja (Sector or Subsector Employment) dan ukuran nilai tambah produk (Sektor or Subsector Value Added).

Formula yang menggambarkan definisi indeks konsentrasi untuk terminologi kesempatan kerja adalah sebagai berikut:

………………………………………………..(1)

Dimana: LQ = Location Quotients; EiR = total angkatan kerja sektor i wilayah R; ER =

total angkatan kerja wilayah R; EiN = total angkatan kerja sektor i di negara N; EN =

total angkatan kerja di negara NSedangkan formula yang menggambarkan definisi indeks konsentrasi untuk

terminologi nilai tambah produksi sebagai berikut:

………………………………………………….(2)

Dimana: LQ = Location Quotionts; ViR = total nilai tambah produksi sektor i di daerah

R; VR = total nilai tambah produksi di daerah R; ViN = total nilai tambah produksi

sektor i di negara N; VN = total nilai tambah produksi negara N.Jika nilai LQ > 1 maka sektor tersebut relatif di atas representasinya (Over

Represented) di daerah studi tersebut. Jika nilai LQ = 1 maka sektor tersebut relatif proporsional (Proportional). Dan jika nilai LQ < 1 maka sektor tersebut relatif di bawah proporsional (Under Represented)

Menurut Bendavid, konsep LQ juga memiliki beberapa kelemahan, namun telah ditemukan jalan keluar untuk mengatasi kelemahan tersebut. Kelemahannya adalah: (1) jika daerah yang diamati merupakan bahagian yang menonjol, baik dalam hal luas ataupun besarnya nilai tambah sektor, nilai pembaginya (nominator, ) cenderung

103

Page 114: e Book Regional

mendekati nilai pembilangnya (denominatornya, ), sehingga nilai LQ-nya akan cenderung bias mendekati 1. Jalan keluarnya adalah menukar, atau merubah wilayah referensinya dengan yang lebih luas. (2) Perbedaan produktivitas antar sektor dapat mengganggu gambaran kesimpulan objek analisis. Suatu daerah dapat teroverspesialisasi dalam aktivitas tertentu, tetapi karena produktivitas tenaga kerjanya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain, maka hal tersebut tidak tercermin dalam belanja angkatan kerja. Jalan keluarnya adalah dengan merubah terminologi LQ-nya. Oleh karena itu, indeks LQ dapat merupakan alat yang sangat berguna kalau indeks tersebut tidak diterapkan secara otomatis, terlebih dulu mempertimbangkan kenyataan-kenyataan logis dari fenomena.

Contoh-1 (perhitungan LQ ukuran tenaga kerja): Jika diketahui bahwa di daerah j mempekerjakan tenaga kerja di sektor i sebanyak 40.000 orang. Sedangkan total kesempatan kerja di daerah j adalah 200.000 orang. Untuk wilayah referensinya jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan di sektor i adalah 120.000 orang dan total kesempatan kerja di seluruh sektor pada wilayah referensi 1.000.000 orang. Maka perhitungan LQ:

Contoh-2 (perhitungan LQ ukuran nilai tambah prosuksi): Bila diketahui sektor i di wilayah j menghasilkan nilai tambah produksi Rp 10 trilyun, total nilai tambah produksi semua sektor Rp 100 trilyun. Nilai tambah produksi sektor i pada tingkat wilayah referensi Rp 32 trilyun dan total nilai tambah produksinya Rp 640 trilyun. Perhitungan LQ sektor i di wilayah j adalah:

7.2.3. Analisis Concentration Indeks (CI)Model analisis ini mirip dengan model LQ. Tetapi model ini mengacu kepada

rasio angkatan kerja dengan jumlah penduduk.

dimana P adalah jumlah penduduk.Contoh-1 (Perhitungan CI ukuran tenaga kerja). Jika diketahui sektor i di

wilajah j memiliki kesempatan kerja 40.000 orang dengan jumlah penduduh 240.000. Sedangkan sektor i di wilayah referensinya memiliki kesempatan kerja 120.000 orang dengan jumlah penduduknya 1.200.000 orang. Perhitungan CI:

104

Page 115: e Book Regional

Perbedaan antara model LQ dengan model CI adalah, jika dijumlahkan LQ semua sektor dan dibagi dengan jumlah sektor maka hasilnya sama dengan 1. Tetapi tidak demikian untuk CI, karena total angkatan kerja jumlahnya tidak sama dengan jumlah penduduk. Atau komposisi angkatan kerja dimungkinkan sekali berbeda untuk wilayah yang berbeda.

Disamping nominator dengan ukuran (terminologi) jumlah penduduk juga dapat digunakan usia kerja, dan sebagainya. Baik model LQ maupun model CI dapat juga diterapkan untuk wilayah kota dengan wilayah referensinya. Hasil-hasil perhitungan dari data berurutan tahun (Time Series) akan memberikan makna yang lebih mendalam tentang kedua indeks tersebut. Tetapi intepretasinya hanya bisa dilakukan dengan latar belakang adanya pengertian kuantitatif tentang situasi perekonomian di daerah dan negara yang bersangkutan (perlu kehati-hatian).

7.2.4. Spesialisasi Indeks (SI)Analisis indeks ini merupakan salah satu cara untuk mengukur perilaku kegiatan

ekonomi secara keseluruhan. Misalnya, bagaimana tenaga kerja di suatu daerah tersebar ke berbagai sektor ekonomi, yang dibandingkan secara relatif dengan kondisi wilayah referensinya. Indeks ini juga bisa mengngunakan ukuran (Terminology) nilai tambah produksi, dan lain-lain. Perbedaannya dengan model LQ dan model CI, seperti yang telah dibicarakan terdahulu, yaitu jika indeks LQ dan CI memberikan undeks-indeks sektor untuk suatu wilayah yang bersifat relatif terhadap wilayah referensinya, maka indeks SI merupakan indeks wilayah yang bersifat relatif terhadap wilayah referensinya.

Prosedur perhitungannya memilikii empat langkah, yaitu: (1) menghitung besarnya persentase angkatan kerja masing-masing sektor terhadap total kesempatan kerja suatu daerah; (2) menghitung besarnya persentase angkatan kerja masing-masing sektor terhadap kesempatan kerja wilayah referensinya; (3) menghitung selisih persentase angkatan kerja wilayah referensi dengan persentase angkatan kerja daerah yang bersangkutan untuk masing-masing sektor; (4) Jumlahkan seluruh nilai yang positifnya dan bagi dengan 100. Itulah indeks SI. Nilainya akan berkisar antara 0 sampai dengan 1. Jika nilainya sama dengan 0 maka distribusi angkatan kerja suatu sektor di suatu daerah sama dengan wilaytah referensinya. Indeks SI juga dapat menggunakan ukuran (Terminology) nilai tambah.

Contoh perhitungannya:Sedtor (1)

AngkatanKerja

Daerah(orang)

(2)Angkatan

Kerja WilayahReferensi(orang)

(3)PersentaseAngkatan

KerjaDaerah

(%)

(4)PersentaseAngkatan

KerjaWilayahReferensi

(%)

(5)Selisih

Persentase(4) – (3)

(%)

12345678

4048241043

60020602030803227

505102,55

12,55

3,75

752,57,52,53,75104

3,43

+25-2,5-2,5

0-1,25-2,5-1

-0,32

105

Page 116: e Book Regional

9 5 31 6,25 3,88 -2,3780 800 100 100

Jadi: SI =

Semakin besar nilai SI semakin terkonsentrasinya berbagai sektor ekonomi di daerah yang diamati secara relatif terhadap wilayah referensi. Terkecuali sektor 1, dan sektor 4, sektor-sektor lainnya semua dengan kondisi under konsentrasi. Penerapan metode ini juga perlu kehati-hatian.

7.2.5. Location Indeks (LI)Indeks lain yang digunakan sebagai ukuran indeks konsentrasi adalah indeks

lokasi (LI). Walaupun demikian, LI tidak terfokus pada suatu daerah, tetapi pada suatu sektor dan persebarannya diantara daerah-daerah yang berbeda di dalam suatu negara. Di dalam indeks ini diperbandingkan distribuasi angkatan kerja suatu sektor daerah-daerah dengan variabel referensinya. Misalnya, total angkatan kerja sektor industri pengolahan dengan variabel referensinya. Keduanya dinyatakan dalam persen. Kemudian, untuk setiap daerah dihitung perbedaan selisihnya.

Contoh: persentase angkatan kerja sektor pertanian sebuah daerah dikurangi persentase angkatan kerja daerah tersebut. Total selisih positif harus sama dengan total selisih negatifnya. Jumlah selisih positif atau negatif dibagi 100. Besaran LI berkisar diantara 0 – 1. Jika LI = 0 berarti distribusi (sebaran) angkatan kerja di daerah itu sama dengan variabel referensinya. Jika LI = 1, distribusi angkatan kerja secara keseluruhan berbeda dengan variabel referensinya.

Contoh perhitungan:

WilayahPembangunan

(WP)

(1)Angkatan

KerjaSektorIndusti(orang)

(2)Total

Angkatan Kerja

(orang)

(3)% dari (1)terhadapNasional

(%)

(4)% dari (2)terhadapNasional

(%)

(4) – (3)

(%)WP 1WP 2WP 3WP 4

25201520

2000100030002000

31,2525,0018,7525,00

25,0012,5 037,5025,00

- 6,25-12,50+18,75- 0,00

80 8000 100,00 100,00

Jumlah seluruh selisih = 18,75Maka LI = 18,75 : 100 = 0,1875

LI bersifat cenderung sebagai alat analisis sektoral, menyangkut distribusi (sebaran) angkatan kerja wilayah. LI berguna untuk mengetahui sektor mana yang penting bagi sebuah daerah serta penyebarannya. LI juga dapat menggunakan ukuran nilai tambah produksi, jika ingin melihat lokalisasi sumbangan produksi sektoral.

7.3 Analisis Shift and Share

Menurut Bendavid, konsep ini memperbaiki konsep LQ dan konsep-konsep konsentrasi sektoral lainnya. Pada konsep ini dimasukkan unsur tingkat pertumbuhan.

106

Page 117: e Book Regional

Tingkat pertumbuhan dihitung secara berurutan tahun (Time Series). Oleh karena itu, analisis Shift and Share ini besifat dinamis, sehingga dinilai dapat memberikan informasi yang lebih bermanfaat dibandingkan dengan konsep LQ dan indeks konsentrasi lainnya. Namun demikian, masih diperlukan juga kehati-hatian dalam mengintepretasikan hasil-hasil perhitungan yang didapat. Bendavid (1991) mengatakan bahwa perubahan relatif kesempatan kerja wilayah terhadap kesempatan kerja nasional selama satu periode tertentu dapat digambarkan dalam tiga efek. Pertama, adalah dampak yang disebabkan oleh perubahan kesempatan kerja nasional pada wilayah yang bersangkuatan (National Growth Effect). Kedua, pengaruh dari berbagai sektor yang bersaing di dalam wilayah tersebut, ada sektor-sektror yang relatif tinggi dan ada yang relatif rendah dalam menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan kondisi yang ada pada tingkat nasional (Industrial Mix). Ketiga, suatu konsekwensi perubahan kesempatan kerja nasioanal dalam industri (sektor) yang sejenis (Regional Share), dalam arti persaingan dianrata industri yang sama antar wilayah.

Formulanya: R = N + M + S Dimana: R adalah perubahan pada kesempatan kerja regional; N unsur

perubahan dari pengaruh pertumbuhan kesempatan kerja nasioanl kepada wilayah; M unsur perubahan dari pengaruh perpaduan kesempatan kerja antar sektor dalam wilayah; S adalah unsur pengaruh persaingan industri (sektor) yang sama antar wilayh.

Ukuran (Terminology) kesempatan kerja (Sector or Subsector Employment), sepereti telah disebutkan di atas, dapat diganti dengan ukuran nilai tambah produk (Sektor or Subsector Value Added). Dengan bantuan model ini akan diperoleh suatu gambaran informasi yang lebih mendalam tentang pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dari ketiga unsur, atau unsur-unsur yang mempengaruhi pertumbuhan dan perubahan pada struktur ekonomi wilayah, yaitu: unsur pertumbuhan wilayah referensi (Regional Growth Component), unsur pertumbuhan karena perpaduan antar sektor di dalam wilayah (Sectoral, or Industrial Mix Component), dan unsur pertumbuahan karena persaingan antar sektor antar wilayah (Competitive Effect Component).

Latif Adam (1994) dan Tulus Tambunan (1994) menjabarkan ketiga unsur pertumbuhan tersebut sebagai berikut:

Regional Growth Component diformulasikan sebagai berikut:

, atau ……………………………………(1)

Persamaan (1) dapat diperluas menjadi:

……............…………(2)

Dimana: R = = pertumbuhan total selama periode t ; N = = unsur

pertumbuhan wilayah referensi = National Growth Component; M = =

unsur pertumbuhan sektoral (industrtial) = Industrial Mix Componet; S = unsur

pengaruh persaingan = = Competitive Effect Component.

Yang paling penting dalam analisis ini adalah gambaran tentang potensi pertumbuhan ekonomi wilayah (daerah) tergantung pada: (1) perpaduan sektoral (The

107

Page 118: e Book Regional

Sectoral Mix), yang meliputi sektor-sektor yang berbeda di dalam suatu wilayah, dan (2) kinerja masing-masing sektor. Di dalam perekonomian suatu wilayah terdapat sektor-sektor yang relatif baik dan relatif buruk. Pengertian relatif di sini dibandingkan di antara sektor satu dengan sektor lain. Pengertian baik atau buruk diartikan dalam terminologi yang ingin dilihat, misalnya dalam menyerap tenaga kerja melebihi porsi persentase wilayah referensi atau sebaliknya. Jika ya dinilai baik dan jika tidak dinilai buruk. Suatu wilayah objek studi diharapkan memiliki lebih banyak sektor yang memiliki perbedaan yang positif terhadap wilayah referensinya. Perbedaan itu disebut Mix-Effect. Suatu sektor kadang memiliki kinerja yang berbeda dengan wilayah referensinya. Perbedaan tersebut mungkin lebih besar atau lebih kecil dari yang diharapkan, dengan mempertimbangkan perpaduan (The Mix), hal itu disebut Shere Effect.

Untuk mendefinisikan kinerja sektor-sektor di suatu wilayah dihitung tingkat pertumbuhannya untuk beberapa tahun (yang disebut elemen dinamis). Berbeda dengan di dalam konsep LQ di mana elemen-elemen dinamis akan diperoleh jika dihitung berdasarkan seri waktu (dua kali pengamatan atau lebih). Sedangkan pada analisis Shift-Share unsur dinamis tersebut sudah tercermin langsung di dalam modelnya sendiri, dengan menggunakan tingkat pertumbuhan.

Selanjutnya, Mix-Effect diperoleh dengan cara: (1) menghitung besarnya angkatan kerja hipotetis jika angkatan kerja wilayah tahun terakhir tumbuh dengan tingkat yang sama dengan besarnya angkatan kerja wilayah referensi, dan (2) menghitung besarnya angkatan kerja hipotesis jika semua sektor di daerah yang diamati tumbuh dengan tingkat yang sama dengan semua sektor di dalam wilayah referensinya. Selisih tingkat pertumbuhan wilayah referensi dengan tingkat pertumbuhan wilayah yang diamati disebut Mix-Effect. Shere-Effect didapat dengan menghitung perbedaan antara besarnya angkatan kerja aktual dan besarnya angkatan kerja hipotetis (yang sudah dihitung sebelumnya) jika sektor-sektor di sebuah daerah tumbuh dengan tingkat yang sama dengan wilayah referensinya. Logika yang sama dapat diterapkan untuk terminologi nilai tambah.

108

Page 119: e Book Regional

BAB VIIITEORI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

8.1 Pendahuluan

Semua negara menginginkan adanya peningkatan standard hidup rakyatnya. Ini berarti semua negara akan senantiasa berusaha melakukan kegiatan pembangunan, yaitu dengan mencoba menginventarisir potensi-potensi sumberdaya ekonomi yang ada, menyusun rencana-rencana pembangunan dan melaksanakannya melalui partisipasi masyarakat untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Demikian pula halnya pada tingkat wilayah (daerah), setiap daerah ingin meningkatkan taraf hidup penduduk di daerahnya. Untuk itu pemerintah daerah akan berusaha mendorong pertumbuhan aktivitas ekonomi di daerahnya. Sebuah pertanyaan penting yang timbul di sini adalah: “faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi pertumbuhan ekonomi tersebut”.

Menurut John Glasson, analisis pertumbuhan ekonomi makro dapat digunakan sebagai model pertumbuhan ekonomi regional. Pertumbuhan ekonomi wilayah secara agregat ditentukan oleh faktor-faktor endogenous dan eksogenus. Faktor-faktor endogenous merujuk kepada teori pertumbuhan dari Clark dan Fischer, yang berpendapat bahwa adanya pertambahan pendapatan perkapita di suatu wilayah dilatarbelakangi oleh adanya transformasi tenaga kerja secara berangsur-angsur dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder (industri) dan sektor tersier (jasa). Adanya perubahan secara berangsur-angsur pada sektor-sektor di dalam suatu wilayah akan mengakibatkan terbentuknya spesialisasi (pembagian kerja), menciptakan unsur dinamis bagi pertumbuhan ekonomi wilayah secara agregat. Perubahan-perubahan pada sektor tersebut mengakibatkan meningkatnya pendapatan dan pengeluaran pekerja. Meningkatnya pendapatan akan mengakibatkan permintaan terhadap komoditi-komoditi yang dihasilkan sektor sekunder dan tersier yang lebih cepat dibandingkan dengan terhadap komoditi-komoditi yang dihasilkan sektor primer. Dengan demikian terjadilah peningkatan dalam output dan pendapatan wilayah.

Perkembangan ekonomi suatu wilayah ada fase-fasenya, atau peringkat-peringkat ekonominya. Teori peringkat ekonomi ini, menurut Dominick Salvatore, dikembangkan oleh Friedrich List, Bruno Hinderbrand, Karl Bucher, dan Walter W. Rostow. Namun E. Wayne Nafziger hanya menyebut Walter W. Rostow sebagai pengembangnya. Rostow membagi proses pengembangan ekonomi ke dalam lima peringkat: yaitu (1) the traditional society; (2) the preconditions for take off; (3) the take off; (4) the drive to maturity; (5) the age of high mass consumption. Sedangkan persyaratan untuk peringkat industrialisasi (precondition stage for industrialization) meliputi perubahan-perubahan yang radikal (radical changes) pada tiga sektor di luar sektor industri itu sendiri (three non-industrial sector), yaitu: (1) increased transport investment to enlarge the market and production specialization; (2) a revolution in agriculture, so that a growing urban population can be fed, and (3) an expansion of imports, including capital, financed perhaps by exporting some natural resources. These changes, including increased capital formation, require a political elit interested in economic development.

Menurut Glasson pembangunan wilayah pada dasarnya merupakan proses pengembangan lima strata ekonomi dengan urutannya sebagai berikut:

Peringkat pertama, yang disebut strata ekonomi subsistence, dimana keluarga-keluarga berproduksi cukup untuk kehidupan sendiri, investasi dan perdagangan relatif

109

Page 120: e Book Regional

kecil. Penduduk pada umumnya bekerja di sektor pertanian dan berorientasi pada lokasi sumberdaya alam.

Peringkat kedua, dimana sektor transportasi sudah berkembang, wilayah dapat mengembangkan perdagangan dan spesialisasi produksi. Pada strata ini perekonomian mengembangkan usaha-usaha industri pedesaan bagi petani. Bahan baku dan tenaga kerja disediakan pedesaan, oleh karena itu strata ini erat hubungannya dengan pengembangan dari strata satu.

Peringkat tiga, yaitu dengan berkembangnya peringkat dua (atau meningkatnya perdagangan), diikuti pula oleh meningkatnya permintaan dan produksi sektor pertanian. Sektor pertanian dikembangkan secara ekstensif (yaitu mengembangkan usaha-usaha produksi biji-bijian, peternakan, buah-buahan dan sebagainya).

Peringkat empat, dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkurangnya pengembalian sektor pertanian, wilayah terpaksa mengalihkan harapan kepada sektor perindustrian. Pengembangan sektor industri meliputi tiga tahap, yaitu (1) mengembangkan industri pengolahan hasil-hasil pertanian, (2) mengembangkan industri-industri lain yang spesifik. Kegagalan mengembangkan industri tahap (2) akan menghadapi tekanan penduduk, merosotnya taraf hidup penduduk, ekonomi wilayah, dan kemunduran ekonomi secara keseluruhan.

Peringkat terakhir, perekonomian melakukan pengembangan industri tahap 3 (ketiga), yaitu industri yang memproduksi barang-barang untuk tujuan ekspor. Wilayah yang mencapai ekonomi peringkat ini diberi predikat sebagai wilayah maju, wilayah yang sudah sampai pada tahap mengekspor modal, keahlian, ketrampilan/rekayasa dan dapat membantu manajemen pengelolaan wilayah-wilayah yang masih tertinggal.

Proses pertumbuhan dan usaha-usaha pengembangan di atas merupakan dasar bagi pengembangan struktur organisasi industri. Proses ini memberikan perubahan-perubahan, dimana terjadi pengurangan dalam jumlah perusahaan-perusahaan kecil dan bertambahnya jumlah perusahaan-perusahaan yang besar dan kukuh, serta terbentuknya pola lokasi usaha dalam wilayah, berpindahnya perusahaan-perusahaan ke pusat-pusat pertumbuhan.

Teori pase-fase perkembangan ini mendapat kritikan dari sejumlah ahli ekonomi pembangunan. Nafziger menyebut dua tokoh penting yang mengkritik teori Rostow ini, yaitu Ian Drummond, dan AK. Caincross. Glasson menyimpulkan kritikan-kritikan tersebut. Pertama, peringkat pertama, kedua dan ketiga terlalu ketat, atau lima peringkat yang secara tegas berpendapat tentang perlunya industrialisasi untuk setiap wilayah. Mungkin ini lebih cocok untuk wilayah yang berkembang dan potensial memenuhi permintaan pasar di luar wilayah. Kedua, teori ini kurang memberikan perhatian pada hubungan ekonomi ke luar wilayah. Ketiga, penggunaan faktor-faktor yang terlalu menyeluruh. Keempat, teori ini tidak memusatkan diri pada hal-hal yang kritis.

Faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sama saja dengan untuk pertumbuhan ekonomi nasional, sebagaimana yang terdefinisikan dalam “model-model ekonomi makro”. Model-model tersebut berorientasikan penawaran, menjelaskan hubungan fungsional output wilayah dengan faktor-faktor produksi wilayah, yang diekspresikan sebagai berikut:

On = fn (K, L, Q, Tr, T, So)…………………………………..(1)

dimana: On = output potensial wilayah n; K = modal; L = tenaga kerja; Q = lahan (sumber primer); Tr = transportasi; T = teknologi; So = sistem sosial politik

Samuelson (2001) menamakan model pertumbuhan ekonomi makro dengan “Aggregate Production Function (APF”). Model APF ini menganalisis kontribusi

110

Page 121: e Book Regional

relatif dari empat faktor (roda) pertumbuhan ekonomi: modal, tenaga kerja, teknologi, dan bahan baku terhadap pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan output nyata) suatu wilayah, yang diformulasikan sebagai berikut:

Q = AF (K, L, R)……………………………………………….(2)

F adalah simbol fungsi. Jika input-input modal (K), tenaga kerja (L) dan sumberdaya alam (R) meningkat maka dapat diharapkan output nyata (Q) akan meningkat. Begitu pula sebaliknya, output diperkirakan akan turun jika faktor produksi tersebut berkurang. Teknologi (A) berfungsi menambah meningkatkan produktivitas input-input. Kemajuan teknologi, dapat membawa kemajuan pada ekonomi wilayah, dalam pengertian dengan jumlah input yang sama dapat memproduksi output yang lebih banyak.

Sumber daya manusia (L) meliputi jumlah pekerja dan keahliannya. Banyak sarjana ekonomi percaya bahwa mutu input tenaga kerja (meliputi keahlian, ilmu pengetahuan dan disiplin) merupakan unsur yang lebih penting di dalam pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Sebagai contoh, barang-barang modal yang canggih hanya akan dapat dijalankan dan dipelihara oleh pekerja-pekerja yang ahli dan terlatih.

Sumber daya alam (R) meliputi tanah subur untuk bercocok tanam, air, mineral, minyak, gas alam, sumberdaya laut, hutan dan sebagainya. Banyak negara yang memiliki pendapatan yang tinggi karena memiliki basis sumberdaya alam yang melimpah. Namun keberhasilan ekonomi suatu negara ternyata tidak hanya tergantung kepada kekayaan sumber daya alamnya.

Modal (K) meliputi modal nyata (tangible) dan modal tidak nyata (intangible). Modal nyata meliputi bangunan-bangunan, jalan-jembatan-pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, peralatan-peralatan kerja, dan persediaan barang jadi/setengah jadi. Pembentukan modal memerlukan pengorbanan rakyat selama bertahun-tahun, dengan bersedia mengurangi konsumsinya dalam jangka waktu yang panjang untuk memupuk tabungan, yang selanjutnya dibelanjakan kepada barang-barang modal investasi. Pengalaman menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi lebih cepat adalah negara-negara yang cenderung menginvestasi lebih besar. Investasi dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan swasta. Investasi swasta biasanya mengalir setelah didahului oleh investasi-investasi pemerintah dalam bentuk proyek-proyek bersekala besar. Proyek-proyek tersebut berkaitan dengan eksternal ekonomis bagi investasi swasta. Proyek-proyek investasi pemerintah tersebut berupa pembangunan infrastruktur (social overhead capital), termasuk proyek-proyek pendidikan, kesehatan dan research & development (R&D) yang sifatnya intangible.

Perubahan teknologi dan inovasi (A) adalah faktor vital dan merupakan tambahan terhadap tiga faktor yang disebut terdahulu. Perubahan teknologi dan inovasi adalah sesuatu yang terjadi secara terus menerus. Penemuan-penemuan baru dan perbaikan-perbaikan di dalam teknik berproduksi bagaikan arus yang terus mengalir dan tidak pernah berhenti ke dalam kegiatan produksi. Temuan-temuan baru biasanya didahului oleh temuan-temuan dasar. Perubahan teknologi mencatat perubahan-perubahan di dalam proses produksi, diperkenalkannya produk-produk baru, pengetahuan baru, dan peningkatan produktivitas. Perkembangan teknologi dan inovasi mendorong pertumbuhan produksi, meningkatkan standar hidup penduduk.

Dari pendapat-pendapat H.W. Richardson (1969), Marion Temple (1994) dan Philip McCann (2001) disimpulkan: (1) pertumbuhan ekonomi wilayah umumnya akan selalu bervariasi antara suatu wilayah dengan wilayah yang lainnya; (2) suatu wilayah

111

Page 122: e Book Regional

yang tertinggal akan mengalami pertumbuhan yang relatif cepat bila dibuka perhubungannya dengan wilayah-wilayah yang relatif maju, atau dengan pusat-pusat perkembangan, (3) kota pusat-pusat pengembangan berperan sebagai penggerak perkembangan secara keseluruhan, (4) sedikit banyak pertumbuhan ekonomi pada level nasional berbeda dengan pada level ekonomi wilayah, sehubungan dengan tingkat kebebasan bergerak sumberdaya-sumberdaya ekonomi antar wilayah dibandingkan dengan antar negara, (5) pengembangan suatu wilayah akan mengakibatkan devergence dan convergence dalam jangka panjang dan (6) proses devergence dan convergence berkaitan erat dengan aglomerasi dan urbanisasi.

Phillip McCann mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses yang kompleks, dan terkait dengan permasalahan pasar tenaga kerja dan multiplier. Dia mengangkat dua perspektif analisis tentang pertumbuhan ekonomi wilayah, yaitu perspektif Neoklasik dan perspektif Keynesian.

8.2 Perpektif Neo Klasik

Teori pertumbuhan ini dikembangkan oleh Solow (1956) dan Swan (1956). Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi wilayah memiliki dua unsur penting, yaitu (1) unsur yang berkaitan dengan alokasi dan migrasi faktor-faktor produksi wilayah (yang didasarkan pada dua kerangka analisis pula, yaitu analisis “satu-sektor” dan analisis “dua-sektor”; (2) unsur yang berkaitan dengan sifat-sifat hubungan antar faktor-faktor produksi dan perubahan teknologi. Model ini mengasumsikan bahwa perekonomian dalam kondisi persaingan, permintaan terhadap faktor-faktor produksi ditentukan oleh produk marginalnya, yang teralokasikan berdasarkan mekanisme pasar dan digunakan pada produktivitas terbaiknya.

Model “Satu-Sektor”. Model ini dikaitkan dengan alokasi dan migrasi faktor-faktor produksi wilayah, dimana berlaku hukum penurunan tambahan hasil yang semakin menurun (the law of diminishing marginal return), yang menentukan komposisi faktor produksi variabel terhadap sejumlah faktor produksi tertentu. Prinsip dasar teori ini berkaitan erat dengan penurunan produktivitas faktor-faktor produksi. Pada kondisi jumlah modal tetap dan jumlah tenaga kerja yang terus meningkat maka produk marginal tenaga kerja akan terus menurun. Demikian pula sebaliknya jika jumlah tenaga kerja tetap dan modal yang terus bertambah maka produk marginal modal akan turun. Argumentasi hukum ini diperluas penerapannya untuk faktor produksi yang lebih dari dua macam. Misalnya, jika faktor produksi lahan tetap, jumlah modal dan tenaga kerja terus bertambah maka produk marginal modal dan tenaga kerja menjadi rendah. Begitu pula jika ratio modal tenaga kerja (K/L) tinggi maka produk marginal modal menjadi rendah, di lain pihak produk marginal tenaga kerja meningkat.

Contoh, sebuah negara terdiri dari dua wilayah (A dan B). Jika ratio modal/tenaga kerja di wilayah A lebih besar dari wilayah B ditulis:

KA / LA > KB / LB………………………………………(3)

Dengan demikian produk marginal modal di wilayah A relatif rendah dibandingkan dengan di wilayah B. Demikian pula produk marginal tenaga kerja di wilayah A lebih tinggi dibandingkan dengan di wilayah B. Dengan asumsi bahwa faktor produksi tenaga kerja dihargai sesuai dengan produktivitas marginalnya, maka laba marginal akan lebih besar di wilayah B, sedangkan upah lebih tinggi di wilayah A.

Dalam kondisi yang seperti itu faktor-faktor produksi bergerak (mobil factors) akan mengalir dari wilayah B ke A (misalnya: tenaga kerja dan modal). Pergerakan

112

Page 123: e Book Regional

tersebut akan terus berlanjut jika ratio K/L di wilayah A masih lebih besar dari di wilayah B, dan akan berakhir jika telah sama, atau jika persamaan (1) menjadi:

KA / LA = KB / LB……………………………..(4)

Gambar 8.1: Edgeworth-Bowley Box Antar Wilayah Model Satu-Sektor

Model “Dua-Sektor”. Model ini dikaitkan dengan alokasi faktor produksi dan arus faktor produksi yang tinggi langsung mengarah ke suatu wilayah yang disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi tertentu. Misalnya di dalam suatu negara terdapat dua wilayah (A dan B), dimana proses produksi di wilayah A relatif padat modal sedangkan di wilayah B padat karya. Kondisi tersebut menghasilkan Contract Curve Edgeworth-Bowley Box antar wilayah menjadi tidak lurus, seperti diperlihatkan pada Gambar 8.3.

Gambar 8-2: Batas Kemungkinan Produksi Antar Wilayah Untuk Model Satu Sektor

Misalnya, pada kasus kenaikan permintaan output wilayah A, dan meningkatnya permintaan ekspor output wilayah B (Gambar 8.4a). Peningkatan permintaan tersebut

KAC

LN

Output wilayah B

PPF

QB5

QB3 E

F

QA4 QA2

KBC

LBC

LAC

C

E

DQB6

QA1

G

QA6QA3

FQA2

QA4

A

113

Page 124: e Book Regional

mendorong kenaikan harga di wilayah A dari PA1 ke PA2 dan kenaikan output wilayah A dari QA1 ke QA2, serta faktor-faktor produksi yang dimanfaatkan menjadi lebih intensif. Penerimaan produk marginal modal adalah sama dengan produk fisik marginal modal dikalikan dengan harga output yang diproduksi (MPK = MPPK x Po). Demikian pula MPL

= MPPL x Po. Jika harga output di wilayah A (PA) relatif meningkat dibandingkan dengan di wilayah B (PB), ini berarti produk marginal modal yang digunakan di wilayah A relatif tinggi dibandingkan dengan di wilayah B. Demikian pula jika produk marginal tenaga kerja yang dipekerjakan di wilayah A lebih tinggi dibandingkan dengan di wilayah B. Dengan demikian dapat ditulis:

MPAK > MPB

K dan MPAL > MPB

L………………. (4)

Kondisi ini akan membentuk arus tenaga kerja dan modal dari wilayah B ke wilayah A, karena penerimaan dari faktor produksi di wilayah A relatif lebih tinggi. Akibatnya kurva supply wilayah A bergeser ke kanan, dari S1A ke S2A. Jumlah output yang ditawarkan bergeser dari Q2A menjadi Q3A. Dalam kondisi keseimbangan persamaan (2) tingkat upah dan laba marginal di kedua wilayah sama. Solusi Model Satu-Sektor ini dapat dianalisis berdasarkan perspektif efisiensi nominal dan kesejahteraan agregatif, dengan menggunakan “Edgeworth-Bowler Box” yang menggambarkan tingkat penggunaan faktor produksi dan output kedua wilayah

.

Gambar 8.3: Edgeworth-Bowley Box Antar Wilayah Untuk Model Dua Sektor

Peningkatan penawaran output cenderung menekan harga di wilayah A, dari PA2

ke PA1. Penurunan harga tersebut menurunkan penerimaan marginal baik modal maupun tenaga kerja di wilayah A. Pada waktu yang bersamaan, terjadi penurunan output di wilayah B, dari Q1B menjadi Q2B, maka harga output di wilayah B meningkat, seperti terlihat pada Gambar 8.5. Kurva penawaran output di wilayah B bergeser ke kiri.

Kenaikan harga output di wilayah B akan meningkatkan penerimaan marginal modal dan tenaga kerja di wilayah B. Pada waktu harga output di wilayah A turun dan di wilayah B naik produk marginal modal di wilayah A dan B mengalami konvergensi. Dengan logika yang sama, produk marginal tenaga kerja di wilayah A dan B juga mengalami proses konvergensi. Keadaan ini akan terus berlanjut sampai produk marginal kedua input produksi tersebut menjadi sama.

KN

KAT

KAU

KBU

KBT

Q1A

Q2A

Q1B

Q2B

U

T

LAT

KN

LBT

KBU

B

A

114

Page 125: e Book Regional

Gambar 8.4: Penyesuaian di Pasar Output pada Perluasan Wilayah

Gambar 8.5: Penyesuaian Pasar Output Wilayah yang Berkontraksi

Masalah lainnya pada model dua sector adalah masalah elastisitas permintaan dan penawaran. Tanpa informasi tentang masalah ini kasus-kasusnya tidak akan terpecahkan. Dengan mengasumsikan bahwa alokasi faktor-faktor produksi antar wilayah semula berada pada “Pareto Efficient”, atau di titik T pada Gambar 8.3. Dalam jangka panjang, akibat migrasi faktor-faktor produksi “Pareto Efficient” akan bergeser ke titik U, menghasilkan Contract Curve yang cembung. Harga modal relatif yang dipengaruhi tenaga kerja di kedua wilayah menjadi lebih rendah di titik U dibandingkan dengan di titik T. Pada Gambar 8.4 dapat dilihat bahwa perubahan relatif harga-harga faktor produksi akan merubah kemiringan MRS, yang tegak lurus terhadap Contract Curve, baik untuk modal maupun untuk tenaga kerja. Dengan demikian, produk marginal modal dan tenaga kerja di antara kedua wilayah tersebut akan berproses kepada kondisi yang sama.

Pada model dua-sektor, diasumsikan bahwa kedua wilayah memproduksi dua jenis produk yang berbeda dengan fungsi produksi yang berbeda pula. Perbedaannya, produksi di wilayah A padat modal sedangkan di wilayah B padat karya. Implikasinya, tingkat transformasi marginal produk di antara kedua wilayah tersebut berubah secara teratur sesuai dengan tingkat output di wilayah masing-masing. Keadaan tersebut diperlihatkan oleh kurva batas kemungkinan produksi (PPFC), dimana terjadi suatu

S1A

D2A

S2A

S1A

D1A

D2A

D1A

PA2

PA1

Q2A Q2AQ3A Q3A

P1B

P2B

D1B

Q1BQ2B

S1B

S2B

115

Page 126: e Book Regional

pergerakan sepanjang Contract Curve dari titik T ke titik U, suatu gerakan menurun sepanjang PPFC, seperti diperlihatkan pada Gambar 8.6.

Gambar 8.6: PPFC Antar Wilayah Dua Sektor

8.2.1 Hubungan Model Satu-Sektor dengan Model Dua-SektorKemiringan PPF menggambarkan Marginal Rate of Transformation di antara

dua output, dan diberikan oleh ratio biaya produksi marginal kedua barang pada berbagai kombinasi input. Pada model antar wilayah satu-sektor, pada Gambar 8.2, PPF antar wilayah merupakan sebuah garis lurus. Ini mengimplikasikan bahwa ratio biaya produksi marginal untuk produksi diantara kedua wilayah tetap dan tidak dipengaruhi oleh tingkat output di setiap wilayah. Dilihat dari pengaruhnya, kedua wilayah tersebut memperlihatkan fungsi produksi yang sama dalam ukuran faktor-faktor produksi mereka. Tetapi sangat berbeda untuk kasus model dua-sektor, dimana fungsi-fungsi produksi masing-masing wilayah berbeda, dilihat dari ukuran faktor-faktor produksinya. Ratio biaya marginal di antara kedua wilayah berubah secara konstan dan tergantung pada tingkat output di masing-masing wilayah. Bentuk-bentuk “Contract Curve” dan PPF model dua-sektor ini mirip dengan pada model keseimbangan umum perdagangan internasional yang didasarkan pada “Comparative Advantage”. Pada sisi lain, bentuk garis lurus “Contract Curve” dan PPF pada model satu-sektor berbeda dari model dua sektor, karena diantara kedua model tersebut ada perbedaan yang mendasar dalam proses relokasi faktor produksi wilayah.

Untuk menjawab pertanyaan model yang manakah yang lebih baik, disimpulkan beberapa sifat yang mendasar dari proses alokasi faktor-faktor produksi wilayah. Pertama, bahwa wilayah-wilayah yang berbeda di dalam sebuah negara diasumsikan lebih terbuka, dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang berbeda negara. Di dalam perekonomian wilayah pada sebuah negara diberlakukan satu rejim mata uang, satu sistem hukum, dan satu kerangka budaya. Sedangkan perdagangan antar wilayah antar negara memiliki rezim mata uang, kerangka hukum, dan kebiasaan yang berbeda. Alasan lain, wilayah-wilayah di dalam suatu negara relatif terbuka terhadap mobilitas faktor-faktor produksi. Kegiatan-kegiatan pada lokasi-lokasi spesifik suatu wilayah tidak dapat ditiru begitu saja oleh semua wilayah, terkait dengan sumber daya masing-masing. Distribusi-distribusi spasial di suatu wilayah dipengaruhi oleh pola pasar secara

Q1A

Q1B

Q2B

U

T

Q2A

Output Wilayah B

Output Wilayah A

116

Page 127: e Book Regional

spasial dan luas penawarannya. Fungsi-fungsi produksi diantara wilayah yang satu dengan yang lain bervariasi, namun diantara negara yang satu dengan yang lain lebih berbeda. Hal itu karena adanya perbedaan terminologi pada porsi faktor-faktor produksi antar negara, sedangkan pada antar wilayah mobilitas faktor produksi memungkinkan berproses secara maksimum. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, model ekonomi dua sektor lebih memungkinkan bagi perekonomian wilayah. Alokasi faktor-faktor produksi antar wilayah secara umum diperlihatkan oleh Gambar 8.1 dan 8.2, dibandingkan dengan Gambar 8.3 dan 8.6, terkecuali untuk output-output yang berbasis kesuburan tanah dan industri-industri primer.

Gambar 8.7: Kotak Edgeworth-Bowley Antar Wilayah dari Dua-Sektor ke Satu-Sektor

Sebagai contoh ilustrasi, misalnya, dua negara (A dan B) dibandingkan dengan dua wilayah di dalam sebuah negara. Pada periode awal negara A dan B terpisah, seperti diperlihatkan dalam Gambar 8.8. Hubungan produksi kedua negara yang bersangkutan diperlihatkan oleh titik V. Pada alokasi faktor produksinya memperlihatkan bahwa negara A berproduksi secara padat modal, menggunakan KAV unit modal dan LAV unit tenaga kerja. Sedangkan negara B padat karya, menggunakan KBV unit modal dan LBL

unit tenaga kerja. Kedua negara memproduksi barang yang berbeda dan melakukan perdagangan berdasarkan prinsip-prinsip Comparative Advantage Ricardo.

Di dalam periode berikutnya, kedua negara disatukan. Diharapkan terbentuknya arus faktor-faktor produksi di antara kedua wilayah (A dan B) untuk mendorong alokasi kepada kondisi yang lebih efisien. Kalau fungsi-fungsi produksi di antara kedua wilayah tetap berbeda maka berarti kegiatan-kegiatannya spesifik, “Contract Curve” antar wilayah berdasarkan model dua-sektor, seperti diperlihatkan oleh garis AB1. Pada sisi lain, kalau faktor-faktor produksi yang beraneka ragam itu umumnya faktor-faktor produksi bergerak (mobil factors), telah menjadi sifat model satu-sektor bahwa modal akan mengalir dari wilayah A ke wilayah B, dan tenaga kerja akan bermigrasi dari B ke A. Arus yang berdasarkan model satu-sektor tersebut akan membentuk “Contract Curve” antar wilayah yang cenderung berkurang kecembungannya, dan untuk jangka panjang akan menghasilkan sebuah kurva yang lurus, sebagaimana diperlihatkan oleh kurva AB2 pada Gambar 8.7. Pada umumnya analisis integrasi ekonomi antar wilayah mengasumsikan bahwa untuk jangka panjang, arus faktor produksi antar wilayah model satu-sektor akan menjadi model pilihan utama alokasi faktor produksi wilayah, dan mendominasi berbagai penyesuaian model dua sektor.

LN B1

B2

KAV

KBV

ΔKN

V

KN1

KN2

LBVLAV

117

Page 128: e Book Regional

Arus faktor-faktor produksi berfungsi sebagai pendorong realokasi faktor-faktor produksi yang ada, merupakan proses integrasi ekonomi wilayah yang juga diasumsikan untuk menambah keterkaitan perdagangan antar wilayah yang bersangkutan. Diasumsikan pula jumlah penduduk di kedua area kurang lebih tetap, maka kreasi perdagangan antar wilayah akan mempengaruhi penciptaan persediaan modal nasional. Di dalam analisis Edgeworth-Bowley Box diperlihatkan akibat perluasan modal ini dengan perluasan pada sumbu vertikal Box. Perluasan modal yang terjadi melalui proses integrasi ekonomi wilayah diperlihatkan Gambar 8.7, yaitu ΔKN = (KN2 – KN1), dan tingkat pertumbuhan modal sebagai akibat kreasi perdagangan (ΔKN/KN1).

Dua ciri utama proses transisi dan integrasi ekonomi wilayah, yaitu: (1) realokasi faktor-faktor produksi antar wilayah sesuai dengan prinsip-prinsip model satu-sektor, yang berperanan penting terhadap pelurusan “Contract Curve”, penyamaan ratio modal/tenaga kerja yang cenderung mengembalikan keseimbangan antar wilayah, (2) sehubungan dengan proses realokasi faktor produksi tersebut akan memperluas persediaan modal wilayah (pengaruh integrasi ekonomi wilayah). Kombinasi kedua efek integrasi wilayah tersebut diasumsikan akan menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah. Gambar 8.7 memperlihatkan terjadinya perubahan pada “Contract Curve” sehubungan dengan kombinasi efek-efek itu, sebagaimana diperlihatkan oleh perubahan dari AB1 kepada AB2. Efek perubahan pada “Contract Curve” tersebut dapat juga diperlihatkan oleh perubahan-perubahan pada bentuk dan posisi PPF antar wilayah yang lurus dan positif. Gambar 8.8 memperlihatkan bahwa proses integrasi ekonomi wilayah mendorong kurva PPF kedua wilayah ke kanan (ke arah luar) dari posisi semula (PPF1) dan menjadi lurus. Hasil proses ini dalam jangka panjang adalah dimana kurva PPF antar wilayah tersebut menjadi lurus (PPF2).

Gambar 8.8: PPF dari Model Dua-Sektor Disesuaikan kepada Model Satu-Sektor

Proses tersebut di atas terjadi tanpa pertumbuhan pada persediaan tenaga kerja, oleh karena itu pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut berasal dari dua sumber yang berbeda, yaitu dari realokasi persediaan tenaga kerja antar wilayah, dan pertumbuhan persediaan modal yang dikombinasikan dengan efek-efek kreasi perdagangan. Hasil jangka panjang dari proses integrasi ekonomi wilayah model satu sektor ini adalah adanya kecenderungan kembalinya wilayah-wilayah dengan fungsi produksi yang sama, ratio-ratio modal/tenaga kerja yang sama, yang dengan demikian tingkat pengembalian modal akan konvergen. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat upah wilayah. Karena

Output Wilayah B

PPF1

Output Wilayah B

PPF2

118

Page 129: e Book Regional

berlangsungnya proses mobilitas faktor-faktor produksi antar wilayah, dengan demikian “Comparative Advantage” cenderung menghilang.

Proses integrasi ekonomi wilayah model satu-sektor dan realokasi faktor-faktor produksi yang digambarkan di sini membentuk dasar-dasar dari sekian banyak asumsi tentang pertumbuhan ekonomi. Sebagai salah satu contoh, kasus ekonomi Uni Eropa. Pada kasus ini, ekonomi nasional masing-masing negara yang terpisah, yang kemudian ditingkatkan integrasi Uni Eropa, meliputi penurunan tarif bea masuk secara progresif, penghapusan pembatasan perdagangan dan migrasi faktor-faktor produksi.

Proses integrasi ini dipacu sejak 1990-an, dengan mulai diberlakukannya sistem Pasar Bersama Eropa, dimana diberlakukannya kebebasan bermigrasi bagi tenaga kerja antar negara yang bergabung ke dalam Uni Eropa, sebagai pelaksanaan realokasi faktor produksi. Penerepan model pertumbuhan Satu-sektor Uni Eropa, juga diwujudkan melalui efek-efek kreasi perdagangan dan aliran modal antar wilayah-wilayah yang potensial. Apabila alasan model satu-sektor ini benar-benar dilaksanakan dalam suatu periode waktu tertentu akan dapat disaksikan kecenderungan kembalinya konvergensi untuk seluruh wilayah Uni Eropa. Faktor-faktor yang mendukung alasan satu-sektor, suatu konsep yang pertama kali dikemukakan Barro dan Sala-i-Martin (1992, 1995). Mereka mendorong menurunnya tingkat kesenjangan pendapatan perkapita nyata diantara wilayah-wilayah Uni Eropa sepanjang periode, suatu proses yang disimbolkan dengan “σ-convergence”. Barro dan Sala-i-Martin menemukan juga faktor-faktor untuk mendorong hubungan negatif diantara tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita dan tingkat pendapatan perkapita semula, yaitu suatu proses yang disebut “β-convergence”.

8.2.2. Akuntansi Pertumbuhan Wilayah dan Analisis Fungsi ProduksiKelompok Neo Klasik berpendapat bahwa proses integrasi wilayah berperan

penting dalam realokasi faktor-faktor produksi lintas wilayah untuk model satu-sektor. Dengan berlangsungnya proses tersebut dalam jangka panjang, fungsi-fungsi produksi di semua wilayah (seperti: ratio modal/tenaga kerja, tingkat pengembalian modal dan tingkat upah wilayah) cenderung menjadi konvergen. Garis perluasan produksinya menjadi lurus. Pada tingkat alokasi faktor-faktor produksi yang lebih efisien pertumbuhan output akan meningkat. Proses ini dapat menciptakan pertumbuhan tambahan sebagai akibat pengaruh kreasi perdagangan. Model ini bertolak dari prinsip bahwa sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah didasarkan kepada kerangka kerja fungsi produksinya. Untuk ini digunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang didefinisikan sebagai berikut:

Qt = A Kα Lβ ……………………………… (5)

dimana: Qt = output wilayah dalam jangka waktu t; A = konstanta; K = persediaan modal wilayah; L = persediaan tenaga kerja wilayah; α = sumbangan modal di dalam perekonomian wilayah; β = sumbangan tenaga kerja di dalam perekonomian wilayah

Fungsi Cobb Douglas memiliki dua faktor peramalan. Pertama, mengasumsikan bahwa sumbangan faktor produksinya konstan, yang diperlihatkan oleh kontribusi relatif laba dan upah terhadap total belanja di dalam perekonomian. Sumbangan-sumbangan tetap itu diwakili oleh α dan β. Kalau sumbangan faktor-faktor produksi diasumsikan tetap konstan, ini mengandung arti bahwa ratio modal/tenaga kerja konstan. Kedua, konstan return to scale, yang berarti bahwa hubungan antara total output dan total input yang digunakan proporsional. Artinya, sejumlah tertentu modal

119

Page 130: e Book Regional

dan tenaga kerja akan menghasilkan sejumlah tertentu output, yang didefinisikan sebagai nilai pengganda konstan (A). Artinya, jika jumlah kedua faktor produksi yang digunakan dikali dua, maka total output akan menjadi dua kali (Ceteris Paribus). Dengan kata lain (α + β) = 1 atau β = (1- α).

Persamaan (3) dimodifikasi, untuk memperhatikan faktor waktu. Hubungan antara output total dan input (selama perjalanan waktu) tidak statis, dalam arti bahwa penerapan teknik produksi dan teknologi baru dilakukan secara terus menerus dalam rangka meningkatkan efisiensi. Adopsi dan implementasi teknik produksi dan inovasi berlangsung sepanjang waktu, yang berarti meningkatkan tingkat output dari sejumlah input yang sama (adanya peningkatan produktivitas). Penerapan teknologi diperlihatkan melalui rencana kerja (blueprint) produksi, organisasi, inovasi dan komunikasi yang diperlukan untuk semua perusahaan, dan yang menjadi media antara input-input yang digunakan dan output yang dihasilkan. Tingkat teknologi dinyatakan dengan indeks teknologi (f). Diasumsikan tingkat teknologi meningkat selama periode waktu, maka dimasukkan perubahan teknologi (eφt) ke dalam fungsi produksi Cobb Douglas periode t. Fungsi Produksi Cobb Douglas yang Constant Return to Scale menjadi:

Qt = A eφt Kα L 1-α ……………………………………..(6)

Pada alokasi faktor-faktor produksi antar wilayah model satu-sektor mengimplikasikan bahwa wilayah-wilayah tersebut akan kembali konvergen, mengembalikan fungsi produksi, ratio-ratio modal/tenaga kerja yang sama. Pada fungsi produksi Cobb-Douglas (4) ratio modal/tenaga kerja constant, yang diwakili oleh (α/1- α). Jadi dengan mengasumsikan bahwa pasar produk agregat wilayah dan industri sebagai persaingan sempurna, maka proses realokasi faktor produksi antar wilayah untuk semua wilayah mengarah kepada fungsi produksi Cobb-Douglas yang sama.

Metodologi fungsi produksi ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melihat bagaimana hubungan pertumbuhan output dengan perubahan-perubahan input pada proses produksi wilayah. Untuk tujuan tersebut fungsi produksi wilayah diubah menjadi sebuah model pertumbuhan wilayah, dengan cara merubah persamaan (6) menjadi persamaan logaritma natural dan diturunkan terhadap waktu (yang berguna untuk menghitung pertumbuhan wilayah), yaitu:

Qt = φ + αKt +(1- α) Lt ….. (7)

dimana Qt, Kt, Lt mewakili tingkat pertumbuhan output, modal dan tenaga kerja wilayah dalam jangka waktu penelitian t.

Perhitungan pertumbuhan persamaan (7) ini merumuskan, bahwa tingkat pertumbuhan output wilayah periode t merupakan penjumlahan dari tingkat pertumbuhan input-input produksi (modal dan tenaga kerja) yang sesuai dengan bobot kontribusi relatifnya ke dalam perekonomian, ditambah tingkat pertumbuhan teknologi (πμt). Di dalam terminologi perkiraan pertumbuhan itu, tingkat teknologi yang mewakili kontribusi pertumbuhan wilayah tidak dapat dihitung secara sederhana berdasarkan pada perubahan-perubahan kombinasi persediaan modal dan tenaga kerja wilayah yang optimal. Terminologi f dapat dirujuk kepada residu “pertumbuhan total produktivitas faktor produksi” (Solow). Pertumbuhan teknologi tergantung pertumbuhan ratio modal/tenaga kerja, sebagai alat prediksi umum. Kenaikan upah tergantung pada pertumbuhan ratio modal/tenaga kerja dan juga tingkat teknologi. Untuk jangka panjang, jika situasi mantap (steady state) memberikan tingkat keungtungan konstan, kenaikan upah tergantung pada tingkat teknologi.

120

Page 131: e Book Regional

8.2.3. Teknologi dan Pertumbuhan Endogenous WilayahBerdasarkan persamaan (5), maka menurut Neo Klasik, pertumbuhan wilayah

tergantung pada perubahan persediaan faktor-faktor produksi dan tingkat teknologi wilayah. Dengan asumsi bahwa faktor-faktor produksi bergerak bebas, maka perbedaan tingkat pertumbuhan yang bersumber dari faktor-faktor produksi menjadi tidak sistematis untuk jangka panjang. Dengan demikian perbedaan pertumbuhan yang disebabkan oleh perbedaan persediaan faktor produksi hanya mungkin terjadi untuk jangka pendek dan menengah, sebagai akibat dari suatu proses penyesuaian kepada efisiensi kepada Pareto Optimal dari alokasi faktor-faktor produksi. Pada sisi lain, pendekatan pertumbuhan ini perlu juga dipertimbangkan bahwa wilayah-wilayah yang berbeda dapat berbeda dalam tingkat teknologi, yang mengakibatkan pertumbuhannya mengikuti perbedaan yang sesuai dengan tingkat teknologi wilayah tersebut (f).

Gambar 8.9: Penyebaran Teknologi Sepanjang Waktu

Teknologi dapat didefinisikan sebagai sejumlah pedoman pelaksanaan kerja yang lengkap “cetak biru” bagi kegiatan produksi, organisasi dan komunikasi yang tersedia untuk semua perusahaan, dan merupakan mediasi yang menghubungkan faktor-faktor produksi (input) yang digunakan dengan output yang dihasilkan. Di sini ada kesepakatan umum, dimana dalam kenyataannya penerapan teknologi baru oleh semua perusahaan, industri dan wilayah bukanlah suatu proses yang terjadi secara tiba-tiba, seperti diasumsikan dalam model persaingan sempurna. Penyebaran teknologi secara kumulatif berlangsung sepanjang waktu yang cenderung memperlihatkan sebuah kurva yang berbentuk “huruf S” (Gomulka 1971, Dosi 1998), dimana teknologi terkait dengan waktu penyebaran yang diperlukan dalam proses investasi dan mendapatkan inovasi bagi seluruh perusahaan, sektor, atau wilayah. “Bentuk-S” kumulatif diperlihatkan oleh kurva OY pada Gambar 8.9, yang memperlihatkan bahwa tingkat penyebaran teknologi mula-mula sangat lambat, walau terus meningkat. Setelah melewati jangka waktu tertentu, penyebarannya mencapai maksimum (yang diperlihatkan oleh slope RR*) setelah itu kembali melambat. Akhirnya teknologi selesai tersebar di semua perusahaan, sektor, dan wilayah. Akhirnya tambahan penyebaran mendekati nol kembali.

Asumsi dasar model Neo Klasik “Satu-sektor” adalah perekonomian berada dalam persaingan sempurna, mobilitas faktor-faktor produksi berlangsung dengan

X

Y

Z

R

R*

Tingkat Penyebaran Teknologi

Waktu0

121

Page 132: e Book Regional

sendirinya, dan tingkat teknologi tersebar melalui perusahaan-perusahan, sektor-sektor, dan wilayah-wilayah. Kemungkinan penyebaran teknologi berada pada kondisi maksimum, menyeluruh, dan selalu cepat terbaca. Di dalam terminologi gambar 10 proses penyebaran teknologi cenderung seperti yang diperlihatkan oleh kurva OX.

Pada sisi lain, kesimpulan Neo Klasik tersebut dapat memperlihatkan sejumlah kontradiksi, dihubungkan dengan kesimpulan-kesimpulan yang berkaitan dengan aglomerasi sebelumnya, dimana pertumbuhannya didorong oleh lokalisasi yang dapat dilakukan untuk periode-periode yang panjang, karena adanya keunggulan teknologi tertentu yang cenderung mengecualikan lokasi-lokasi yang tertentu pula. Demikian pula tingkat upah dan migrasi tenaga kerja dapat merangsang pertumbuhan di wilayah-wilayah tertentu secara geografis. Di dalam terminologi gambar 8.9, kenyataan tersebut mengimplikasikan bahwa penyebaran teknologi cenderung memperlihatkan proses seperti yang diperlihatkan oleh kurva OZ, dimana adanya perbedaan-perbedaan di dalam teknologi. Oleh karena itu, alasan-alasan Model Neo Klasik “Satu-sektor” dapat memunculkan sedikit pertanyaan pada kesimpulan-kesimpulan untuk jangka panjang. Masalah perbedaan tersebut disatukan dalam model “New Growth Theory” (Endogenous Theory). Pertama kali “Endogenous Growth Theory” datang dari Romer (1986, 1987a) dan meliputi akuntansi pertumbuhan dalam sebuah kerangka kerja akuntansi pertumbuhan Neo Klasik Orthodox, dimana pada waktu yang bersamaan berkembang pendapat bahwa teknologi merupakan faktor sisa yang berada di luar sistem suatu perekonomian, atau “Exogenous Technology” (McCombie dan Thirwall 1994). Pendekatan yang mengasumsikan bahwa peningkatan spesialisasi akan meningkatkan output, yang didefinisikan sebagai sebuah fungsi dari jumlah unit barang-barang modal yang dispesialisasikan, yang disederhanakan sebagai persediaan modal agregat. Berdasarkan beberapa asumsi Romer tersebut dirumuskan fungsi produksi:

Qt = A Lβ K ….. (8)

dan dengan mentransformasikan persamaan (8) ke dalam bentuk logaritma dan mendeferensiasikannya dengan memperhatikan faktor waktu, diperoleh persamaan:

Qt = β Lt + Kt …..(9)

dimana β = (1- α). Alasan di sini adalah bahwa semua pertumbuhan dicatat di dalam ukuran pertumbuhan input-input, dengan permasalahan kunci mencapai tingkat spesialisasi input-input modal dan digabungkan dengan manfaat-manfaat spesialisasi tenaga kerja. Salah satu alasan yang mendasari model aglomerasi adalah bahwa peningkatan spesialisasi lokasi spesifik. Kalau yang dispesialisasikan sungguh-sungguh merupakan tempat spesifik, “Model Pertumbuhan Endogenous” mengimplikasikan bahwa manfaat pertumbuhan tersebut cenderung akan dilokalisasikan juga.

Romer (1987-b) mendiskusikan sumber-sumber potensial kedua dari “Endogenous Growth” yaitu persediaan ilmu pengetahuan. Untuk menghitungnya, dirumuskan fungsi produksi sebagai berikut:

Qt = f(K,L,E)g(N) …… (10)

dimana E adalah ilmu pengetahuan spesifik perusahaan, N ilmu pengetahuan umum, f dan g adalah hubungan-hubungan fungsional. Jika diasumsikan tingkat pertumbuhan N sama dengan tingkat pertumbuhan E, dimana pertumbuhan-pertumbuhan tersebut sendiri sama dengan tingkat pertumbuhan K, dan F adalah hubungan fungsional Cobb-Douglas maka perhitungan jumlah output totalnya dapat ditulis:

122

Page 133: e Book Regional

Qt = F(K,L)g(K) = (L1-α Kα)Kφ …… (11)

Pengembalian yang meningkat merupakan faktor eksternal bagi perusahaan, yang menjamin dipertahankannya keseimbangan yang bersaing (McCombie and Thirwall 1994). Di dalam terminologi tingkat pertumbuhan, persamaan (11) diubah menjadi:

Qt = (1- α)Lt + ( α+φ)Kt …… (12)

Kalau (α+φ) sama dengan satu, pertumbuhan akan menjadi konstan. Dengan demikian kalau (α+φ) < 1 output total akan terus menurun.

Dari kedua model Romer tersebut disimpulkan bahwa proporsi pertumbuhan output dijadikan dasar dalam menghitung residu yang mewakili pertumbuhan teknologi, menambahnya kepada proporsi modal. Sebelumnya, pertumbuhan output dari ilmu pengetahuan diasumsikan langsung menambah pada tingkat persediaan modal yang dispesialisasikan, sedangkan pada kasus yang terakhir diasumsikan bahwa peningkatan ilmu pengetahuan ditambahkan dengan tingkat pertumbuhan input modal.

Lukas (1988) juga mendiskusikan input ilmu pengetahuan, tetapi fokusnya pada tingkat modal SDM, berbeda dengan modal perusahaan yang dispesifikasikan. Pada pendekatan ini diasumsikan bahwa tenaga kerja mengeluarkan sebagian waktu mereka (u) untuk belajar guna meningkatkan mutu modal manusia (H). Diasumsikan bahwa dengan peningkatan mutu modal manusia akan meningkatkan produktivitasnya secara individual. Berdasarkan asumsi Lukas tersebut, pengaruh “internal” H juga memiliki pengaruh “eksternal” J yang akan memberikan manfaat kepada semua pekerja lainnya. Bertolak dari asumsi-asumsi tersebut fungsi produksi dirumuskan menjadi:

Qt = (uHL)1-α Kα Jφ …… (13)

Jika diasumsikan juga bahwa pengaruh eksternal modal manusia (J) sama dengan pengaruh internal (H), persamaan (11) dapat disederhanakan menjadi:

Qt = (uHθL)1-α Kα …… (14)

dimana θ = (1-α+γ)/(1-α). Untuk menciptakan pertumbuhan endogenous, model ini diperlukan untuk menentukan pertumbuhan modal manusia, yaitu:

dH / dt = Hρ v(1-u) …… (15)

dimana ρ dan v adalah konstanta-konstanta, dengan ketentuan bahwa ρ ≥ 1, yang berarti tidak ada penurunan hasil terhadap generasi modal manusia. Jika digunakan sebuah kasus sederhana dimana ρ = 1, tingkat pertumbuhan modal didefinisikan dengan persamaan (15), konstanta λ, maka persamaan (14) dapat dirubah menjadi:

Qt = (uLq eλt)1-α Kα …… (16)

dimana Lq adalah jumlah unit tenaga kerja pada tingkat efisiensi dan mutu yang ada dan diberikan oleh Lq = Hθ A. Sejumlah satuan tenaga kerja tertentu dari kenaikan modal manusia tertentu dapat sama dengan kenaikan sejumlah unit tenaga kerja pada tingkat efisiensi dan mutu yang tetap. Di dalam terminologi pertumbuhan persamaan (16) menjadi (McCombie dan Thirlwall, 1994):

Qt = (1-α)(λ+Lt) + αKt = (1-α)(Lq)t +α Kt …..(17)

123

Page 134: e Book Regional

Model ini menyimpulkan bahwa porsi pertumbuhan yang mendasari nilai sisa untuk teknologi (model Neo-Classic), berkenaan dengan tenaga kerja dapat disempurnakan dengan penambahan modal manusia.

Berbagai model “pertumbuhan endogenous” memberikan pengertian yang berbeda terhadap sumber-sumber yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan kuantitatif. Untuk itu dapat dikaitkan setiap sumber pertumbuhan potensial kumulatif terhadap alasan-alasan spasial (Nijkamp dan Poot 1998). Model-model Romer mengajarkan bahwa pertumbuhan endogenous dapat menimbulkan kenaikan yang bervariasi sehubungan dengan adanya pertumbuhan barang-barang modal yang dikhususkan, atau kenaikan pada ilmu pengetahuan dasar yang dikombinasikan dengan barang-barang modal tersebut, dan disatukan dengan pengaruh-pengaruh eksternal yang bersumber dari arus informasi. Sementara itu, model Lucas menganjurkan bahwa pertumbuhan endogenous dapat dibangun dari investasi-investasi swasta pada modal manusia, juga manfaat-manfaat yang datang dari atas kepada lingkungan sekitarnya. Bagaimanapun, mengindentifikasi secara empiris masalah delokalisasi, dan pengisolasian sumber-sumber pertumbuhan yang demikian, sangat sulit untuk menentukan pengaruh lingkungan yang positif. Untuk menghindari problema tersebut sejumlah metoda tidak langsung pernah digunakan untuk mendapat ukuran-ukuran empiris perbedaan pertumbuhan antar wilayah yang sistematis berdasarkan pengaruh-pengaruh tekonologi. Terhadap lokasi-lokasi khusus, dicoba menganalisis apakah terjadi perbedaan-perbedaan yang sistematis pada perluasan arus informasi spasial, dengan menguji keragaman distribusi spasial berdasarkan ketentuan-ketentuan patent (Jaffe et. Al. 1993), riset dan aktifitas pembangunan (Cantwell dan Lammarino, 2000), atau di dalam distribusi teknologi secara spasial yang dikaitkan dengan infrastruktur seperti Universitas (Acs et.al. 1992). Kebanyakan metoda tidak langsung yang memberikan penjelasan kepada alasan-alasan yang terkait dengan lingkungan aglomerasi, yang merupakan pengaruh lokalisasi teknologi, yang dibatasi penyebaran lintas ruang dengan cepat.

Suatu teori pertumbuhan endogenous spasial yang lemah, tanpa penurunan pengembalian terhadap modal dan akumulasi modal manusia, tidak mungkin tumbuh drastis. Jika logika ini diterapkan untuk pembangunan wilayah, akan berimplikasi bahwa semua aktivitas dan proses convergensi akan membentuk lokasi tunggal. Sifat-sifat alamiah ruang dari suatu perekonomian dapat memberikan pelambatan pada setiap proses yang drastis. Karena ini semuanya sesuai dengan sifat-sifatnya akan memberikan pengaruh terhadap pasar-pasar spasial, termasuk problema penerimaan secara tata ruang. Kemacetan selalu muncul akibat pengelompokan industri di suatu lokasi tertentu dalam suatu ruang, dan sebelum lingkungan sendiri memberikan dampak negatif dari pengelompokan kumulatif tersebut. Neraca keseimbangan efek-efek lingkungan yang positif dan negatif akan berperan penting terhadap realokasi faktor-faktor produksi di dalam pengembalian faktor-faktor produksi secara nyata lintas ruang di dalam jangka panjang yang cenderung mencari keseimbangannya. Meskipun model-model pertumbuhan endogenous aglomerasi tidak sesuai dengan pembangunan yang mengarah kepada lokalisasi pada lokasi tunggal, pada sisi lain sesuai dengan notasi inovasi baru, dimana proses produksi semakin baik dan berlanjut cenderung kepada kondisi semula, berorientasi pada beberapa lokasi, namun dalam lingkungan pasar persaingan yang semakin luas. Alasan ini berasal dari siklus produk model-model aglomerasi. Efek-efek lingkungan di area lokasi tersebut, dari mana inovasi bermula, akan menciptakan peningkatan harga-harga perumahan di rilestat-rilestat local untuk jangka panjang,

124

Page 135: e Book Regional

merupakan pengembalian nyata faktor produksi yang cenderung menjadi terintegrasi diantara wilayah. Pada sisi lain, pengembalian nominal faktor-faktor produksi cenderung seimbang secara permanen (tetap sama diantara berbagai wilayah). Wilayah-wilayah yang mengembangkan inovasi-inovasi tertentu senantiasa memperlihatkan harga nominal faktor-faktor produksi yang lebih tinggi. Area tersebut cenderung menjadi pusat-pusat kota yang dominan di dalam suatu wilayah perekonomian yang spasial, wilayah-wilayah pinggiran yang secara geografis lebih luas cenderung memperlihatkan harga nominal yang lebih rendah, namun jauh lebih seimbang dalam pengembalian faktor-faktor produksi secara nyata. Pengaruh lokalisasi pertumbuhan jangka pendek dan menengah terjadi di dalam satu ruang, sesuai dengan pendapat model “Satu Sektor” yang mendasarinya pada arus faktor produksi antar wilayah. Pertumbuhan yang dilokalisasi dalam jangka panjang tidak sesuai dengan pandangan model “Satu Sektor”. Karena biaya lokasi yang terlokalisai secara geografis begitu padat akan menjadi sangat mahal. Pada waktu yang sama, secara sistematis pusat-pusar periphery, perbedaan pengembalian nominal faktor-faktor produksinya sesuai dengan ketentuan alokasi faktor-faktor produksi Model Neo Classic “Satu Sektor”.

8.3 Pandangan Keynesian Tentang Pertumbuhan Wilayah

Pandangan-pandangan Keynesian untuk pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan pendekatan alternatif. Perekonomian suatu wilayah memiliki keterkaitan ke dalam dan ke luar. Permintaan suatu wilayah meliputi permintaan dari dalam dan dari luar wilayah, kedua-duanya akan membentuk arus pendapatan dan multiplier wilayah. Ada kaitan antara arus investasi local dan pendapatan wilayah. Sehubungan dengan pandangan tersebut mazhab Keynesian mengembangkan model multiplier pada tingkat wilayah (local). Sedikit banyaknya ada perbedaan antar pendapatan wilayah (local) dan tingkat nasional. Arus pengeluaran pemerintah lokal cenderung mengalir untuk mengimbangi pendapatan wilayah dan aliran tersebut relatif bebas dibandingkan dengan pada tingkat nasional.

Diasumsikan bahwa arus investasi sektor pemerintah lebih banyak mengalir ke wilayah-wilayah dimana dana-dana local wilayah tersebut memungkinkan terbentuknya modal investasi pada tahun berjalan dan tergantung pada tingkat pendapatan tahun berjalan. Tingkat pengeluaran investasi local biasanya lebih besar pada tahun berjalan, yang berimplikasi pada persediaan modal wilayah dapat ditingkatkan menjadi lebih efisien. Pertumbuhan ekonomi dari dalam wilayah bersumber dari jumlah dan mutu input-input local. Secara umum pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari dalam wilayah merupakan fungsi dari modal wilayah. Model-model pertumbuhan wilayah Keynesian dikaitkan pula dengan investasi-investasi sumber daya manusia (SDM). Persediaan modal local merupakan fungsi dari pendapatan local per tahun. Dengan demikian tingkat pertumbuhan local dibatasi oleh tingkat pendapatan lokal.

Tingkat pendapatan tahun berjalan akan dibatasi oleh permintaan terhadap output. Umumnya, diasumsikan bahwa banyak output wilayah yang dikonsumsi di luar wilayah. Pengeluaran wilayah juga tergantung pada pendapatan ekspornya. Pengertian ekspor di sini meliputi ekspor antar wilayah dan luar negeri. Arus pendapatan wilayah yang bersumber dari ekspor-impor wilayah (neraca pembayaran wilayah) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.

125

Page 136: e Book Regional

8.3.1 Pendekatan Neraca Pembayaran Untuk PertumbuhanLogika pendekatan pertumbuhan ini didasarkan pada logika model pendapatan/

pengeluaran sederhana, yaitu:……………………………………..(18)

Tiga unsur dalam kurung pertama sisi kanan persamaan (18) mewakili unsur-unsur permintaan agregat disatukan sebagai kegiatan domestik wilayah tersebut, yang disebut kelompok “penyerapan domestik wilayah” (Ar). Sedangkan dua unsur dalam kurung sisi kanan persamaan merupakan unsur-unsur agregatif permintaan wilayah dari sector perdagangan antar wilayah. Maka, untuk kondisi ekonomi wilayah yang seimbang dapat ditulis:

………………………………………………(19)

dimana (Yr-Ar) seimbang dengan sisi tambahan aset-aset dari wilayah-wilayah lain. Penggunaan model ini dianalogikan dengan neraca pembayaran tingkat nasional, yang disesuaikan untuk kasus wilayah. Model neraca pembayaran pada tingkat nasional yang sederhana adalah sebagai berikut:

……………………………………………..(20)

Dimana CAN neraca berjalan, KAN neraca modal dan BOFN neraca devisa. Apabila neraca tahun berjalan surplus, ini berarti mendorong pertumbuhan nilai-nilai saham domestik. Nilai tukar valuta sendiri naik secara relatif terhadap valuta asing. Neraca modal menggambarkan pertumbuhan asset luar negeri baik yang bersumber dari pinjaman maupun dari saldo positif pendapatan luar negeri, milik warga negara yang ditempatkan di luar negeri. Implikasi dari perkiraan modal yang surplus adalah adanya arus uang dari negara lain ke dalam negeri yang dapat digunakan untuk dibelanjakan kepada asset-aset domestik, atau aset-aset nasional di negara lain. Neraca devisa (finansial) menggambarkan jumlah kewajiban untuk mendapatkan pendapatan yang diterima dari dunia internasional, atau sisa permintaan dan penawaran valuta di pasar valuta asing. Dalam persamaan dapat ditulis:

……………………………………………….(21)

Jika sisi sebelah kiri persamaan (21) positif, negara yang bersangkutan mengalami neraca pembayaran yang surplus, dan jika negatif negara tersebut mengalami defisit. Jika sebuah negara mengalami neraca pembayaran yang surplus maka asset-aset luar negerinya bertambah, atau hutang luar negerinya berkurang. Sebaliknya jika sebuah Negara mengalami neraca pembayaran yang defisit terpaksa mengurangi asset-aset luar negerinya, atau menambah pinjaman luar negeri.

Pada kasus perdagangan antar wilayah, seluruh transaksi berlangsung dalam valuta sendiri dan tidak ada pembiayaan ofisial. Perdagangan antar wilayah tidak ada bea masuk atau pembatasan-pembatasan perdagangan. Neraca pembayaran antar wilayah diekspresikan sebagai berikut.

……………………………………………………….(22)

Dimana CAR adalah neraca berjalan antar wilayah dan KAR neraca modal antar wilayah. Dalam keadaan seimbang antara neraca berjalan dan neraca modal menjadi sebagai berikut:

………………………………………………………….(23)

126

Page 137: e Book Regional

Ini berarti surplus netto perdagangan sebuah wilayah dalam bentuk barang-barang dan jasa-jasa dengan wilayah lain (Xr-Mr) diimbangi oleh peningkatan netto asset wilayah tersebut dari wilayah-wilayah lain (Yr-Ar). Sebagai contoh, apabila industri sebuah wilayah dapat mengekspor produknya maka wilayah tersebut berhasil membentuk pendapatan dari sektor perdagangan antar wilayah dan pendapatan tersebut dapat digunakan untuk mengimpor barang-barang dan jasa-jasa dari wilayah lain dan juga dapat membeli asset-aset lebih banyak dari wilayah-wilayah lain (seperti: real estate di wilayah lain, asset-aset perusahaan yang ditempatkan di wilayah lain, dan sebagainya). Sebaliknya apabila sebuah wilayah mengalami neraca pembayaran antar wilayah yang defisit, maka defisit tersebut harus dibiayai dengan sisa penjualan keseluruhan asset-aset domestic mereka kepada pembeli-pembeli dari wilayah lain. Dan apabila sebuah wilayah mengalami neraca pembayaran yang seimbang itu berarti sisa peningkatan asset-aset yang bersumber dari perdagangan dengan wilayah-wilayah lain nol. Neraca pembayaran antar wilayah yang surplus atau defisit merupakan sebuah permasalahan yang tidak dapat berlangsung secara terus-menerus. Wilayah yang terus-menerus defisit neraca pembayarannya akan semakin terbatas persediaan asset-aset domestiknya, dan akan semakin terbatas kekayaan yang dapat dijual kepada pihak luar untuk membiayai defisitnya. Oleh karena itu sebuah wilayah tidak mungkin memelihara defisit neraca pembayaran untuk jangka waktu yang amat panjang. Implikasinya menyangkut daya serap wilayah secara domestik, tingkat pendapatan wilayah, dan ekspor wilayah.

Contoh: dua wilayah A dan B. A memiliki permintaan investasi yang relatif lemah sedangkan wilayah B relatif kuat. Wilayah-wilayah tersebut tidak memiliki kontrol terhadap variabel moneter, karena merupakan otoritas bank Sentral (pusat), oleh karena itu tingkat bunga yang berlaku di setiap wilayah sama. Dalam kondisi yang seperti itu dapat dipandang bahwa wilayah individual sebagai suatu perekonomian kecil yang terbuka dengan kurva LM mendatar. Sebagaimana diperlihatkan gambar-10, tingkat bunga di kedua wilayah berada pada r*. Pada tingkat bunga ini, unsur investasi di wilayah A hanya bersumber dari pasar local (dari penyerapan domestic), membentuk pendapatan wilayah pada tingkat YA. Jika pendapatan investasi lokal yang diperlukan untuk kesempatan kerja penuh wilayah adalah YFA, maka kekurangan permintaan pasar terhadap tenaga kerja lokal (dalam teminologi pendapatan) adalah (YFA-YA). Di wilayah B, tingkat investasi lokal cukup untuk membentuk tingkat pendapatan wilayah, sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja pada tingkat bunga yang berlaku. Oleh karena itu, dengan logika ini, permasalahan tenaga kerja di wilayah A akan dapat diatasi jika tingkat bunga di wilayah A diturunkan dari r* ke r1. Sedangkan untuk wilayah B, jika tingkat bunga turun di bawah r* akan mengalami kekurangan supply tenaga kerja lokal dan akan mendorong terjadinya inflasi secara lokal di wilayah B. Namun kita ketahui, bahwa wilayah tidak memiliki otoritas untuk menyesuaikan tingkat bunga secara lokal, karena penggunaan mata uang tidak bebas baginya. Apabila otoritas moneter mengetahui kedua wilayah menetapkan tingkat bunga untuk memelihara stabilitas harga, mereka akan menjaminnya pada tingkat bunga r*, akan memaksimalisasi tingkat kesempatan kerja lokal di kedua wilayah. Ini berarti bahwa wilayah yang bersangkutan memelihara tingkat kesempatan kerja penuh dimana wilayah tertinggal memperlihatkan adanya masalah permintaan lapangan kerja lokal jangka pendek.

Salah satu cara untuk mengurangi masalah pasar tenaga kerja yang tidak seimbang (pengangguran) di wilayah A adalah melalui arus migrasi ke wilayah B. Kondisi tersebut juga akan tidak efisien bila diatasi dengan penyesuaian tingkat bunga

127

Page 138: e Book Regional

lokal, serta tidak dapat mencapai investasi internal pada tingkat Ir* mekanisme lebih lanjut adalah mendapatkan perluasan ekspor.

Gambar 8.10: Tingkat Investasi Wilayah

Kuadran kanan atas Gambar 9.11 memuat diagram belanja pendapatan yang diketahui. Diasumsikan bahwa tingkat investasi domestik wilayah secara internal tertentu, adalah Ir*, sesuai dengan tingkat bunga yang ditentukan secara eksternal (r*). Jika dibaca dari kanan ke kiri, kuadran kiri atas adalah inverse dalam kaitan investasi domestik dengan tingkat bunga. Kuadran kanan bawah menggambarkan pasar tenaga dari investasi wilayah secara individual. Sebagaimana diperlihatkan pada model belanja pendapatan untuk kenaikan ekspor wilayah, dimana jumlah kenaikan ekspor ∆X. Kenaikan ekspor tersebut menghasilkan suatu kenaikan pada pendapatan wilayah, yaitu dari Y1 menjadi Y2, pada tingkat bunga yang berlaku, implikasinya investasi wilayah secara domestik meningkat dari IS1 ke IS2. Pada tingkat bunga yang berlaku akan mengalami kenaikan ekspor wilayah, karenanya akan meningkatkan investasi dan pendapatan wilayah. Kenaikan tersebut mendapat pengaruh multiplier.

Untuk melihat faktor-faktor penentu ekspor, investasi dan pendapatan wilayah ditulis sebuah fungsi impor wilayah jangka panjang dari Thirlwall (1980), McCombie dan Thirlwall (1974), yaitu sebagai berikut:

…………………………………………………...(24)

dimana M adalah impor wilayah, Y pendapatan wilayah dan elastisitas permintaan pendapatan untuk impor, Pf harga nominal barang-barang yang diproduksi wilayah lain. Pr harga nominal barang yang diproduksi wilayah domestik, e tingkat pertukaran (exchange rate) dan μ elastisitas permintaan impor.

Dengan cara yang sama dapat ditulis fungsi permintaan impor wilayah sebagai berikut:

……………………………………………………..(25)

dimana X adalah ekspor wilayah, Z pendapatan dunia yang menganggur, ε elastisitas pendapatan permintaan ekspor wilayah r dari pendapatan dunia yang menganggur.

...…………………………..(26)

Sedangkan tingkat pertumbuhan ekspornya:

r*

r1

YA YFA

LMA r*

YFB

ISBISA

Tingkat Bunga Tingkat Bunga

LMA

128

Page 139: e Book Regional

………………………….…..(27)

dimana tingkat pertumbuhan dalam jangka waktu t disimpulkan oleh huruf-huruf bertitik di atasnya.

Gambar 8.11 Ekspor Wilayah dan Investasi

Dalam jangka panjang, diketahui bahwa wilayah tidak dapat berjalan dengan neraca yang defisit. Oleh karena itu tingkat pertumbuhan ekspor wilayah jangka panjang yang berkelanjutan, tergantung pada tingkat pertumbuhan ekspor wilayah, perubahan relative harga-harga, biaya-biaya produksi dan lingkungan sebagai subyek perubahan-perubahan nilai tukar. Dengan kata lain:

……………………………………………...(28)

dengan memasukkan persamaan (26) ke persamaan (27) diperoleh:

…………………………………….(29)

Y

LM

Y

IR

IR*

ΔX

AD

r*

r

r* Y1 Y2

Y2

Y1

r*r*

129

Page 140: e Book Regional

Pada aplikasi model-model neraca pembayaran Keynesian (khususnya Post Keynesian) untuk kasus-kasus wilayah, diasumsikan bahwa pengaruh harga relatif ada pada kuadrat nominator yang berada di dalam tanda kurung besar persamaan (27), namun dianggap relatif tidak penting. Dalam kaitan ini ada tiga alasan utama, yaitu: pertama bahwa wilayah tidak memiliki kewenangan untuk menyesuaikan nilai mata uang, kedua diasumsikan bahwa harga-harga secara umum pada industri ditentukan berdasarkan struktur pasar oligopolistik, yang dapat menjamin harga-harga relatif stabil diantara para produsen yang bersaing, walaupun dari sisi biaya-biaya bisa berubah (Lavaie 1992, Davidson 1994), ketiga diasumsikan bahwa biaya transaksi secara geografis dan persaingan secara spasial berarti berbeda-beda pada harga-harga nominal di antara wilayah-wilayah, juga relatif stabil untuk jangka panjang. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, keseimbangan neraca pembayaran jangka panjang menjadi:

……………………………………………………….(30)

Dengan kata lain, neraca pembayaran membatasi tingkat pertumbuhan maksimum jangka panjang dari suatu wilayah, sama dengan tingkat pertumbuhan dunia jangka panjang dikalikan dengan ratio elastisitas permintaan pendapatan dunia untuk pendapatan ekspor wilayah dibagi dengan elastisitas pendapatan wilayah untuk impor. Pada gilirannya sama dengan tingkat pertumbuhan ekspor wilayah jangka panjang dibagi dengan elastisitas permintaan pendapatan impor wilayah jangka panjang. mengurangi pertumbuhan ekononmi wilayah yang elastisitas permintaan impornya tinggi. Jadi, adalah suatu kenyataan bahwa neraca pembayaran dapat menjadi kendala pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.

8.3.2 Hukum Verdoorn dan Pertumbuhan KumulatifUnsur terakhir teori pertumbuhan wilayah Keynesian atau Post-Keynesian

adalah menyangkut perhatian pada “skala ekonomis”. Dalam pendekatan analisis skala ekonomis ini perhatian dipusatkan kepada “Hukum Verdoorn” (Verdoom, 1949), yang menemukan hubungan positif antara tingkat pertumbuhan produktifitas tenaga kerja dan pertumbuhan output, yang dirumuskan sebagai berikut:

…………………………………………………………..(31)

dimana = tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja, dan = tingkat

pertumbuhan outputnya. Didasarkan pada hasil-hasil penelitian empiris, hokum Verdoorn mengasumsikan bahwa nilai α kira-kira 2%, dan nilai b (Coefisien Verdoorn) adalah 0.5. Nilai-nilai itu L sesuai dengan ketentuan produksi Neo Classic. yang mengindikasikan bahwa jumlah α + b = 1.33 (McCombie and Thirlwall 1994).

q

Q

1/

1X

b

h

s )(

130

Page 141: e Book Regional

Gambar 8.12: Pertumbuhan Mantap (Steady-State) Wilayah

Jika digunakan notasi yang dipakai pada ana1isis akuntansi pertumbuhan dan fungsi produksi wilayah” di atas, maka persamaan (29) dapat ditulis menjadi:

……………………………………………………...(32)

Penelitian awal dan persamaan (32) memberi kesan bahwa estimasi ekonometrika dari hubungan yang diberikan oleh persamaan (31) akan memperlihatkan suatu permasalahan yang berlangsung secara bersamaan, mengingat terminilogi tersebut mewakili tingkat pertumbuhan output yang terlihat pada kedua sisi persamaan. Permasalahan ini pernah menjadi perdebatan (Kaldor 1975), Rowthorn 1975; Scott 1988: McCombie dan Thirlwall 1994), karena asumsi dasar model-model Post-Keynesian yang langsung menyebabkan pertumbuhan secara eksplisit dari kanan ke kiri (Boulier 1984). Dengan kata lain, peningkatan pertumbuhan output dilihat sebagai sesuatu yang timbul dari dinamika ekonomi “skala produksi ekonomis” di dalam kegiatan produksi, melalui belajar sambil bekerja” pada sebagian tenaga kerja (Arrow 1962), dan juga meningkatkannya pengaruh pembentukan modal, dikombinasikan dengan penyediaan kredit yang mudah pada kondisi perluasan output. Kalau asumsi “dinamika skala produksi ekonomis” Verdoonr dimasukkan ke dalam perbincangan kendala pertumbuhan dan neraca pembayaran wilayah”, dengan pendekatan diagram Dixon dan Thirlwall (1975) selanjutnva dapat ditunjukkan bahwa pertumbuhan wilayah tertentu, sebagai jalan pintas yang memungkinkan menjadi penyebab pertumbuhan kumulatif periode tertentu.

Pada Gambar 8.11 diperlihatkan sejumlah kondisi yang menghasilkan tambahan pertumbuhan tingkat output wilayah yang konstan. Pada kuwadran kanan atas terlihat bahwa tingkat pentumbuhan ekspor wilayah adalah x, dan elastisitas permintaan pendapatan ekspor wilayah t, sebagai petunjuk tingkat pertumbuhan output q yang dibatasi oleh neraca pembayaran. Melalui efek Verdoorn. pada kuwadran kiri atas

131

Page 142: e Book Regional

diperlihatkan bahwa pertumbuhan output ini menimbulkan suatu pertumbuhan produktivitas tenaga kerja lokal (h). Pada kuwadran kiri bawah dapat dilihat petunjuk bagi penyesuaian kualitas harga-harga nyata output wilayah yang diproduksi, yang jatuh pada suatu tingkat s. Model-model mengasumsikan bahwa harga-harga relatif kurang-lebih sama diantara wilayah-wilayah. Untuk harga-harga output yang telah tertentu, peningkatan produktivitas tenaga kerja dapat diwujudkan dalam terminologi penerapan-penerapan mutu produk. Selain itu, penerapan mutu output wilayah akan diperluas ke dalam kuwadran kanan bawah untuk peningkatan pertumbuhan ekspor wilayah x, suatu perluasan yang akan tergantung pada elastisitas permintaan pendapatan ekspor wilayah

. Pada kasus-kasus yang nyata pertumbuhan ekspor akan ditentukan sendiri tingkat pertumbuhan output q yang mantap (Steady state). Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 8.12, merupakan fakta bahwa tingkat keseimbangan pertumbuhan mantap itu bukanlah pertumbuhan wilayah untuk kembali convergen.

Gambar 8.13: Pertumbuhan Kumulatif Wilayah

Di dalam model-model Keynesian, tidak ada penjelasan mengapa pertumbuhan ekonomi wilayah mantap harus otomatis. Sebagai contoh, kalau sebuah wilayah dicirikan oleh pengelompokan industri yang padat, memperlihatkan ekonomi aglomerasi, wilayah tersebut cenderung memproduksi output-output yang berinovasi tinggi dan juga akan membeli input-input yang dibutuhkan secara lokal. Ini akan berimplikasi bahwa elastisitas permintaan pendapatan terhadap output-output wilayah tersebut cenderung lebih besar dibandingkan pada kasus pertumbuhan mantap, dan juga elastisitas permintaan pendapatan wilayah untuk impor akan relatif rendah. Pada kasus

X

b

Q

1/

2

q

h

a

b

132

Page 143: e Book Regional

impor, situasi ini dapat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan mantap yang diperlihatkan Gambar 8.12, dengan menggeser garis di dalam kuwadran kanan atas ke atas seperti diperlihatkan Gambar 8.13, yang mewakili invers elastisitas permintaan pendapatan untuk impor, dari menjadi . Dengan cara yang sama pada kasus ekspor, garis tersebut dapat digeser ke luar seperti dalam kuwadran kanan bawah Gambar 8.12, yang mewakili elastisitas permintaan pendapatan untuk ekspor wilayah tersebut dari ke . Seperti yang terlihat pada sejumlah keadaan, kombinasi elastisitas pendapatan ekspor yang tinggi, elastisitas pendapatan impor yang rendah, dan “return to scale” yang meningkat, dapat menghasilkan pertumbuhan kumulatif. Tingkat pertumbuhan nyata wilayah tergantung pada kondisi nilai-nilai elastisitas impor dan ekspor wilayah yang bersangkutan.

Dengan cara yang sama, dapat digambarkan situasi yang sebaliknya, yaitu untuk sebuah wilayah yang didominasi oleh produk yang elastisitas pendapatan ekspornya relatif rendah, dan sangat tergantung impor. Sebagai contoh, kondisi pendapatan relatif rendah di wilayah periphery, industrinya menurun dan banyak perusahaan lokal mengalami kerugian, mengembangkan industri campuran untuk memberikan kesempatan kerja kepada penduduk. Pada kasus ini, tingkat pengeluaran di dalam perekonomian lokal oleh perusahaan-perusahaan baru dan lama cenderung sangat kecil. Selain itu, kalau perusahaan-perusahaan baru dan lama dikhususkan untuk produksi produk-produk jadi yang sifatnya standar, elastisitas pendapatan permintaan ekspornya sangat rendah. Situasi ini dapat dibandingkan dengan pertumbuhan mantap pada Gambar 8.12, dengan menggeser ke bawah garis pada kuwadran kanan atas Gambar 8.14. yang menggambarkan invers elastisitas permintaan pendapatan untuk impor, dari

menjadi . Dengan cara yang sama, untuk kasus ekspor, garis pada kuwadran kanan bawah Gambar 8.12 dapat digeser ke dalam, yang menggambarkan elastisitas permintaan pendapatan untuk ekspor wilayah. dan ke . Sebagaimana dapat dilihat pada sejumlah kuwadran, kombinasi elastisitas pendapatan ekspor rendah, suatu elastisitas pendapatan ekspor wilayah yang tinggi, dan “increasing return to scale”, dapat menghasilkan kenaikan terhadap penurunan kumulatif. Sebagai mana dikemukakan di atas, tingkat kemunduran aktual wilayah tergantung pada kondisi nilai-nilai elastisitas ekspor dan impor.

Pendekatan-pendekatan Keynesian dan Post-Keynesian untuk pertumbuhan wilayah memiliki asumsi-asumsi dasar yang sangat berbeda dengan model-model Neo-Classic. Di dalam kenyataannya, model-model tersebut tidak memerlukan asumsi bahwa faktor-faktor produksi dibayar sama dengan produk marginalnya. Walaupun tidak diperlukan asumsi, dimana produksi memperlihatkan “constant return to scale” dengan memperhatikan faktor-faktor input. Dengan cara yang sama, untuk model-model pertumbuhan endogenous mengimplikasikan bahwa tidak ada faktor-faktor pertumbuhan jangka panjang, dengan mana sebuah wilayah diperkirakan akan kembali konvergen. Tingkat pertumbuhan nyata wilayah akan tergantung pada perluasan ekonomisasi atau disekonomisasi aglomerasi yang ada.

1/

3

q

)(

a

b

Q

133

Page 144: e Book Regional

Gambar 8.14 Pertumbuhan Regional Kumulatif

8.4 Fungsi Cobb-Douglas dan Akuntansi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Pendekatan Classic maupun Neo-Classic kcduanya mengembangkan fungsi produksi Cobb-Douglass untuk menjelaskan teori pertumbuhan ekonomi makro. Demikian pula untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi wilayah,. fungsi produksi tersebut digunakan. Adapun fungsi produksi Cobb-Douglass dimaksud dirumuskan sebagai berikut:

………………………………………………………(1)

dalam bentuk logaritmanya menjadi:

………………………………...(2)

Persamaan (2) dideferensir dengan memperhatikan faktor waktu (t), maka diperoleh:

………………………………………..(3)

yang selanjutnya dapat ditulis:

…………………………………………….(4)

dimana adalah tingkat pertumbuhan output, tingkat pertumbuhan modal dan

tingkat pertumbuhan tenaga kerja selama periode t.

Sebagaimana diketahui bahwa upah tergantung pada produktivitas tenaga kerja dan pertumbuhan upah. Artinya, upah berkaitan erat dengan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja. Untuk dapat melihat sifat-sifat hubungan tersebut dapat diambil sisi kanan

X

134

Page 145: e Book Regional

unsur kedua (unsur tenaga kerja) yang ada pada persamaan (4). Dengan demikian produktivitas tenaga kerja dapat diekspresikan sebagai berikut:

………………………………………..(5)

atau

……………………………………………….(6)

Sisi kiri persamaan (6) mewakili tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja periode t, yang dihasilkan oleh tingkat pertumbuhan teknologi dan pertumbuhan ratio modal/tenaga kerja, disesuaikan dengan sumbangan faktor produksi modal. Sebagaimana diketahui bahwa tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja menggambarkan tingkat pertumbuhan upah, dan ini sesuai dengan ketentuan model Satu-Sektor, yang mendasarkannya kepada alasan alokasi faktor-faktor produksi.

Pendekatan yang sama dapat juga digunakan untuk meneliti sumber-sumber pertumbuhan laba. Digunakan tingkat pertumbuhan modal dan kedua sisi persamaan (4) untuk mendapatkan persamaan yang mengekspresikan pertumbuhan produktivitas modal.

…………………………………….(7)

dan disusun kembali menjadi:

……………………………………...(8)

Sisi kiri persamaan (8) mewakili tingkat pertumbuhan produktivitas modal pada periode 1, dan diperoleh dari penjumlahan tingkat teknologi dengan pertumbuhan ratio modal/tenaga kerja, yang dibatasi oleh sumbangan faktor produksi tenaga kerja. Tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja menggambarkan tingkat pertumbuhan keuntungan. Ini sesuai dengan argumentasi model Satu-Sektor yang dikaitkan dengan alokasi faktor-faktor produksi.

Berdasarkan sumber-sumber pertumbuhan dalam kondisi pertumbuhan mantap, yang dalam keadaan tersebut tingkat pertumbuhan keuntungan adalah nol, dapat diset pertumbuhan keuntungan menjadi nol pada waktu tingkat pertumbuhan ratio output/modal sama dengan nol. Dengan kata lain akan ditulis:

………………………………………………………………...(8)

yang bila dikaitkan dengan persamaan (8) menjadi:

…………………………………………….(10)

atau. ………………………………………….(11)

135

Page 146: e Book Regional

yang implikasinya: ………………………………………….(12)

Dengan kata lain, pada kondisi pertumbuhan mantap, dimana tingkat pertumbuhan keuntungan nol, tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja dan upah tergantung kepada tingkat teknologi dan sumbangan faktor produksi tenaga kerja di dalam perekonomian tersebut.

Catatan: hubungan antara pertumbuhan upah dan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di dalam kerangka fungsi produksi Cobb-Douglass adalah sebagai berikut: upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja (w) sama dengan produk marginal tenaga kerja (MPL), yang dihasilkan oleh produk fisik marginal tenaga kerja (MPPL) dikalikan dengan harga output (Px) yang diproduksi. Pada fungsi produksi Cobb-Douglass indeks tenaga kerja diberikan sebagai yang didefinisikan sebagai bagian dari elastisitas output terhadap input tenaga kcrja. Dengan kata lain:

……………………………...(a1)

Oleh karena dimana MPL adalah produk marginal tenaga kcrja. dan APL adalah produk rata-rata tenaga kerja, dimana w yang dihasilkan oleh MPL maka w diberikan oleh .

Dengan cara yang sama, tingkat laba yang dibayarkan kepada modal r sama dengan produk marginal modal (MPK), dan diberikan oleh produk fisik marginal modal (MPPK) dikalikan dengan harga output Px yang dihasilkan. Berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglass, indeks modal adalah , yang didefinisikan sebagai bagian dari elastisitas output terhadap input modal. Dengan kata lain:

………………………………..(a2)

Oleh karena dimana MPK adalah produk marginal modal, dan APk, produk rata-rata modal. Pada tingkat laba r, yang diberikan produk marginal modal.

Contoh Perhitungan Dengan Menggunakan model Neo-Classic:Samuelson (2001) memaparkan hasil penelitian terhadap kasus pertumbuhan

ekonomi Amerika Serikat selama periode satu abad terakhir, memberikan contoh bagaimana menentukan kontribusi tenaga kcrja, modal, dan faktor produksi lainnya, serta perkembangan teknologi pada pertumbuhan output nasional. Diketahui, untuk pertumbuhan ekonomi AS periode 1900 —1999, ¾ dari pendapatan nasional mengalir ke buruh dan ¼ ke modal. Dengan mengasumsikan fungsi produksi “constant return to scale”. Dengan memasukkan komposisi sumbangan masing-masing faktor produksi ke dalam persamaan, maka dapat diperoleh:

% pertumbuhan Q = (pertumbuhan L) + (pertumbuhan K)

% pertumbuhan Q = ¾ (pertumbuhan L) + ¼ (Pertumbuhan K)

atau untuk pertumbuhan per unit modal:

% pertumbuhan = % perubahan Q - % perubahan L + TC

136

Page 147: e Book Regional

= ¼ (% pertumbuhan ) + TC

dimana TC adalah perubahan teknologi (Technological Change).

Diketahui selama periode 1900 - 1999 jam kerja pekerja (L)di AS meningkat 1.3% per tahun. dan modal (K) tumbuh 2,5% per tahun. Pertumbuhan output riil (Q) 3.1% per tahun. Berdasarkan definisi di atas maka perubahan teknologi (TC) dapat dihitung setelah dihitung petumbuhan-pertumbuhan Q, K dan L, dengan persamaan:

TC = % perubahan Q - (perubahan L) - (perubahan K)

untuk contoh di atas:

TC = % perubahan Q – ¾ (perubahan L)-1/4 (perubahan K)

Untuk menentukan kontribusi buruh, modal dan faktor-faktor produksi lainnya terhadap pertumbuhan output nyata, disubtitusikan jumlah-jumlah representatif masing-masing faktor selama periode tersebut. Selama periode itu jam kerja buruh (L) tumbuh 1 .3% per tahun, modal (K) tumbuh 2.5% per tahun, dan output riil (Q) tumbuh 3.1% per tahun. Maka perubahan teknologi (TC):

TC = % perubahan Q/L – ¾ ( % pertunbuhan K.L)

= 1.8 – ¼ = 1.5

Dengan demikian 1.8% peningkatan output/tenaga kerja/tahun, 0.3% disebabkan oleh pertumbuhan modal per tenaga kerja dan 1.5% disebabkan oleh perubahan teknologi. Selanjutnya kontribusi unsur-unsur pertumbuhan secara rinci diperlihatkan melalui

tabel: 1.2. dimana = tingkat pertumbuhan produktifitas tenaga kerja, dan = tingkat

pertumbuhan outputnya. Didasarkan pada hasil-hasil penelitian empiris, hokum Verdoorn mengasumsikan bahwa nilai α kira-kira 2%, dan nilai b (Coefisien Verdoorn) adalah 0.5. Nilai-nilai itu L sesuai dengan ketentuan produksi Neo Classic. yang mengindikasikan bahwa jumlah α + b = 1.33 (McCombie and Thirlwall 1994).

Tabel 8.1: Kontribusi Unsur-unsur Pertumbuhan PDB riil AS, 1948 –1997Uraian % per tahun % total

137

Page 148: e Book Regional

Pertumbuhan PDB Riil (Sektor Bisnis Swasta)

Kontribusi Input-input:

Modal

Tenaga Kerja

Total pertumbuhan produktivitas faktor (Penelitian &

Pengembangan Pendidikan. Kemajuan ilmu Pengetahuan.

dan Sumber-sumber Lain).

3,55

2.22

0.66

1.56

1.33

100

63

19

44

37

138

Page 149: e Book Regional

BAB IXKEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH

9.1. Konsep Wilayah

Apa yang menjadi dasar dari konsep wilayah, atau konsep perwilayahan? Bagaimana perekonomian nasional dipecah ke dalam perekonomian wilayah (sub-subperekonomian nasional) sebagai suatu sistem ekonomi yang saling terkait dan terpadu? Dasar tersebut perlu diperjelas, agar apa yang dimaksudkan dengan wilayah itu sendiri terdefinisikan dengan jelas.

Ada dua pengertian wilayah yang sering digunakan, yaitu:1. Wilayah berdasarkan batas-batas administratif pemerintahan Daerah, dan 2. Wilayah yang tidak berdasarkan batas-batas administratif pemerintahan daerah. Konsep wilayah yang berdasarkan administratif pemerintahan daerah relatif lebih sederhana, dan jika ingin melakukan penelitian misalnya, batas-batas wilayahnya sudah jelas, dan datanya biasanya juga telah tersedia pada berbagai instansi di daerah tersebut, baik instansi pemerintah maupun non-pemerintah. Konsep wilayah yang tidak berdasarkan administrasi pemerintah yaitu wilayah yang didasarkan kepada pengaruh-pengaruh lokasi (kepada pengaruh daya tarik kota-kota tertentu) dan keseimbangan-keseimbangan harga secara spasial.

Sesuai dengan urgensinya, sebagai mana yang telah disebutkan di atas, maka dikenal ada tiga konsep wilayah secara umum, yaitu:

1. Wilayah Homogen (Homogenious Regions), 2. Wilayah Nodal (Nodal Regions)3. Wilayah Perencanaan (Planning Regions).Yang dimaksud dengan wilayah homogen adalah suatu kesatuan tata-ruang

wilayah yang memiliki sifat-sifat yang sama, misalnya: struktur produksinya sama, struktur pekerjaan penduduknya sama, faktor geografis, sumberdaya alam yang menonjol sama, dan mungkin pula meliputi sifat-sifat nonekonomis yang sama, seperti: kesamaan perilaku sosial, latarbelakang sejarah dan sosial budaya, latar belakang politik, dan sebagainya. Kriteria-kriteria tersebut lebih tepat jika diterapkan secara dinamis. Misalnya pendapatan perkapita, struktur ekonomi dan struktur pekerjaan penduduk bisa berubah dalam jangka panjang. Contoh wilayah homogen adalah Wilayah Basis Ekspor.

Wilayah nodal adalah suatu kesatuan tata-ruang wilayah yang saling tergantung di antara bagian-bagian wilayah yang berbeda-beda. Hubungan di antara kesatuan-kesatuan wilayah di dalam batas-batas cakupan ruang tertentu berfungsi saling keterkaitan, tidak termasuk faktor jarak seperti pada model grafiti potensial. Fungsi saling terkait terlihat pada berbagai gejala, seperti: arus manusia, arus barang dan jasa pada rute-rute transportasi, arus komunikasi, dan sebagainya. Struktur wilayah akan tercermin pada struktur arus manusia, barang dan jasa, dan sebagainya, yang akan terstruktur sesuai dengan struktur pusat-pusat kegiatan (kota-kota) wilayah secara terstruktur pula. Pengendalian terhadap arus-arus tersebut. Konsep wilayah ini sulit menentukan batas-batasnya, yang menjadi perhatian adalah fungsi saling keterkaitan secara terstruktur, baik ke dalam wilayah maupun ke luar wilayah. Struktur wilayah dapat mengungkapkan struktur sarana/prasarana wilayah (seperti: jaringan transportasi, tenaga listrik, komunikasi, pipa air bersih, pelayanan perbankan, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya). Demikian pula arus-arus lainnya (seperti:

139

Page 150: e Book Regional

migrasi antar wilayah, bahan baku industri pengolahan, dan sebagainya). Dengan semua itu telah terbentuk suatu kerangka tata-ruang wilayah yang luas.

Wilayah perencanaan adalah suatu kesatuan tata-ruang wilayah yang dibuat melalui suatu kebijakan perencanaan wilayah. Wilayah perencanaan dibuat atas dasar kedekatan, saling terkait secara logis, dan merupakan kesatuan pengambilan keputusan ekonomi. Melalui perencanaan tersebut pemerintah mencoba mengatur berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi, untuk meningkatkan manfaat bagi penduduk. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah, termasuk kebijakan perwilayahan, harus mampu meyakinkan masyarakat, dengan penuh alasan, bahwa kebijakan tersebut adalah pilihan yang paling bermanfaat bagi mereka.

Suatu wilayah perencanaan mungkin merupakan pengkombinasian sifat-sifat wilayah homogen yang subjektif dengan sifat-sifat wilayah nodal yang objektif. Sifat wilayah homogen yang subjektif akan lebih mendorong partisipasi, sedangkan sifat wilayah nodal yang objektif akan memperkuat integrasi wilayah itu sendiri. Wilayah perencanaan perlu mengetahui batas-batas pengaruhnya secara alamiah, termasuk batas-batas pengaruh ekonomi. Dengan demikian ekonomi wilayah tersebut dapat didorong dengan suatu perencanaan yang didasarkan kepada batas-batas wilayah secara alamiah dan pengetahuan tentang sifat-sifat wilayah masing-masing. Jika batas-batas alamiah dan sifat-sifat wilayah tersebut kurang mendapat perhatian di dalam perencanaan, maka besar kemungkinan perencanaan yang dibuat untuk mendorong pertumbuahan ekonomi tidak akan efektif. Untuk itu perencanaan memerlukan data statistik dan monografi wilayah yang tidak dibatasi oleh batas-batas administrasi pemerintahan, HW Richardson (1969)

Pengertian lain mengenai wilayah yang memiliki sifat objektif adalah wilayah yang dilihat berdasarkan fenomena awal, sedangkan wilayah subjektif adalah wilayah yang direka oleh pikiran saja (John Glasson, 1978). Pandangan subjektif melihat wilayah sebagai sesuatu yang diharapkan terjadi, sedangkan pandangan objektif melihat wilayah sebagai suatu yang nyata, sebagai suatu kenyataan menyeluruh, suatu bagian dari suatu sistem (organisme) yang dapat diidentifikasi dan digambarkan sebagai suatu kenyataan. Wilayah objektif lebih diterima secara umum sekarang ini, sebagai sesuatu yang telah berlangsung lama dalam sejarah.

9.2. Kebijakan Pembangunan Wilayah (Daerah)

Berbagai kebijakan nasional dan daerah perlu dibuat untuk digunakan sebagai dasar pembangunan wilayah (daerah). Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan peralatan (instruments) pembangunan daerah. Peralatan-peralatan pembanguan daerah tersebut berupa UU, Peraturan Pemerintah Pusat, Keputusan Mentri, Peraturan Daerah (Perda), Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, dan sebagainya. Instruments tersebut bertujuan untuk mengatur pembangunan daerah, meliputi ketentuan tentang otonomi (kekuasan) daerah, tentang keuangan daerah, tentang kelembagaan daerah, dan sebagainya. Sebagai contoh, sekarang ini, UU no. 32 tahun 2004 yang mengatur tentang otonomi daerah, UU no. 33 tahun 2004 yang mengatur tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Peraturan Pemerintah tentang Bappeda Provinsi Daerah Tingkat-I, Peraturan Pemerintah tentang Bappeda Kabupaten/Kota Daerah Tingkat–II, dan sebagainya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keekonomisan masyarakat adalah ekonomi internasional di dalam luasnya, dengan berbagai percabangan untuk seluruh ekonomi

140

Page 151: e Book Regional

nasional. Aktivitas Ekspor-Impor dapat menimbulkan dampak pada ekonomi nasional, apakah itu perkembangan tingkat inflasi, pengangguran, dan sebagainya. Dalam masalah ini akan menyatu dimensi-dimensi spasial dan psikologis, yang membuat pemerintah sangat sulit dalam mengambil keputusan. Mencoba menggunakan peralatan kebijakan nasional yang berlaku untuk memperlihatkan pengaruh buruk terhadap perekonomian nasional. Kondisi tersebut juga mempengaruhi perekonomian daerah, karena akan berpengaruh buruk kepada pelaksanaan program-program nasional di daerah. Dalam menghadapi masalah seperti itu, mungkin diberlakukan kebijakan strategis untuk memperbaiki kondisi umum, misalnya untuk mengatasi masalah krisis kesempatan kerja, dan sebagainya.

9.2.1 Perdebatan tentang Kebijakan Perindustrian Nasional - Tindakan Khusus. Dalam melanjutkan perekonomian nasional yang kondisinya lemah, beberapa

kebijakan dari hasil perdebatan diajukan sebagai bagian dari kebijakan industri nasional yang baru, yang bertujuan untuk memperbaiki perekonomian nasional. Dalam sejarah, dilakukannya pembangunan jalan kereta api, penemuan sistem sewa tanah yang lebih mendukung pembangunan, dan semua kebijakan perindustrian yang dilakukan pada masa depresi besar adalah contoh-contoh dari kebijakan tersebut. Memang banyak muncul orang-orang yang tidak setuju pada waktu gagasan dan kebijakan tersebut diajukan. Beberapa programnya, seperti New Deal, masih ada pandangan kritisnya dan pandangan-pandangan kritis tersebut berlanjut setelah target-target diintrodusir.

Alasan-alasan kebijakan industrialisasi cukup kuat. Di satu pihak pembaharu-pembaharu School of Economic Development ingin membangun kebijakan perindustrian yang baru, ingin meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu, ingin mewujutkan perencanaan ekonomi. Mereka ini adalah kelompok gerakan reindustrialisasi nasional. Kelompok ini ingin membangun kembali stock perindustrian nasional melalui membangun kebijakan-kebijakan insentif pajak, pengaturan perburuhan, dan menasionalisasikan infrastruktur pembiayaan. Kelompok yang lain ingin membangun kembali tradisi-tradisi perindustrian yang ada, seperti industri mobil, industri baja, dan industri-industri berat lainnya yang mungkin dikembangkan.

Di dalam pandangan-pandangan yang lain, beberapa perencana dan sarjana ekonomi terkesan dengan sistem ekonomi Eropa yang mengusulkan kebijakan perindustrian tidak meliputi pemecahan secara eksplisit melalui lokalisasi perusahaan-perusahaan dan modal. Kelompok ini mendorong kedua pandangan kebijakan di atas. Mereka memiliki premis: “ barang yang dibisniskan adalah barang untuk komunitas dan para pekerja”. Suatu pandangan maju yang lain sebagai alternatif adalah kebijakan perindustrian yang memiliki dimensi spasial, dan terlihat lebih manusiawi. Argumentasi-argumentasi spesifiknya adalah (1) kebijakan nasional dibutuhkan untuk meningkatkan kontrol sosial pada perubahan-perubahan ekonomi yang bersumber dari investasi-investasi perusahaan, (2) komunitas-komunitas membutuhkan sebuah prosedur yang lebih umum dalam menentukan stabilitas ekonomi dan mutu hidup, dan (3) para pekerja harus memiliki pengawasan yang lebih baik untuk kebutuhan hidup mereka.

9.2.2 Kebijakan Moneter dan Pajak. Kebijakan moneter merupakan kewenangan pemerintah pusat. Daerah tidak

memiliki mata uang sendiri, mata uang nasional berlaku untuk seluruh wilayah nasional. Dampak kebijakan moneter akan diterima semua daerah. Kebijakan moneter ada yang bersifat konservatif (ketat) ada yang fleksibel (longgar). Kebijakan yang konservatif

141

Page 152: e Book Regional

adalah kebijakan yang secara konsisten melaksanakan ketentuan-ketentuan teori ekonomi moneter, guna menjaga kestabilan nilai uang, dan tidak menggunakan kebijakan moneter untuk menyetir jalannya perekonomian. Sedangkan kebijakan yang fleksibel dimaksukan sebagai kebijakan moneter yang agak longgar, dan jika perlu dimanfaatkan untuk menyetir jalannya perekonomian. Buruk baiknya dampak kebijakan tersebut kepada daerah dapat berbeda-beda, tergantung kondisi daerah masing-masing. Misalnya, kebijakan moneter yang konservatif dapat menyulitkan para pengambil kredit dalam mengembalikan utang-utangnya. Sedangkan kebijakan moneter yang fleksibel dapat membuat masyarakat tidak percaya kepada nilai uang, mendorong spekulasi dan penduduk tidak termotivasi untuk menabung. Kebijakan moneter yang longgar (yang inflatur), dalam batas-batas tertentu, dapat mendorong investasi dan meningkatkan lapangan kerja. Situasi ekonomi yang dipengaruhi uang ketat akan menurunkan permintaan pasar terhadap barang-barang (hasil produksi). Permintaan terhadap barang-barang produk luar negeri meningkat, karena harganya menjadi relatif lebih murah dan mutunya lebih baik.

Kebijakan perpajakan sering digunakan sebagai salah satu unsur kebijakan pembangunan. Penyederhanaan sistem perpajakan nasional akan membatasi insentif-insentif untuk investasi yang tidak produktif. Perlindungan pajak, sama dengan usaha menyembunyikan pendapatan, dan jika dikombinasikan dengan tingkat pajak yang rendah, akan banyak mengalihkan kekayaan negara kembali ke perusahaan-perusahaan yang produktif. Investasi asing juga berpeluang untuk masuknya dolar yang belum dikenakan pajak. Pasar uang akan ditentukan oleh hasil-hasil dalam situasi tersebut. Ke arah manapun gerakan-gerakan modal mengalir masyarakat harus membantu perusahaan-perusahaan dengan perencanaan yang hati-hati dan agar membantu secara agresif hadirnya perusahaan-perusahaan baru, dan berkembangnya perusahaan-perusahaan lama.

9.2.3 Kebijakan Sosial dan Kesejahteraan Di AS tahun 1961 lebih dari 65% keluarga kulit hitam kondisi ekonominya di

bawah garis kemiskinan dan bekerja di dalam beberapa jenis pekerjaan. Tahun 1971, hanya 31% keluarga kulit hitam yang masih berada di bawah garis kemiskinan dan telah bekerja pada semua lapangan pekerjaan. Kebijakan nasional untuk kesejahteraan biasanya bersifat sementara. Pada saat kehidupan sudah mapan nanti, tidak perlu lagi ada kebijakan untuk mengatasi kondisi kesejahteraan dan adanya kebijakan bagi pekerja sosial. Masyarakat umum, termasuk rakyat miskin, akan merasa merendahkan darinya jika menerima santunan, dan kesan orang kepada orang-orang penerima utamanya sebagai orang-orang yang memiliki moral yang rendah dan penuh kelihaian. Satu cara yang bisa dipilih untuk memecahkannya adalah dengan menggabungkan isu welfare (kesejahteraan) dengan workfare (kerja keras). Tujuannya adalah untuk membuat penerima-penerima kesejahteraan meningkat keahlian dan kecakapannya dalam bekerja untuk beralih dari menerima derma kepada memberi derma. Versi yang lain dari usaha ini adalah perusahaan-perusahaan besar mulai melayani masyarakat dengan menggunakan penerima-penerima kesejahteraan sebagai tenaga kerja mereka. Dalam pendekatan ini, lembaga-lembaga non-profit mempekerjakan orang-orang miskin itu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang sejahtera. Para pekerja tersebut membayar kesejahteraan mereka dengan penghasilan mereka sendiri yang ditambah dengan premi yang diberikan perusahaan-perusahaan bagi pelayanan sosial yang mendapat giliran bekerja (pekerja yang disubsidi).

142

Page 153: e Book Regional

Kedua pendekatan berkembang menjadi pendekatan campuran. Meskipun demikian, pendekatan-pendekatan tersebut adalah sebuah alternatif, disangkutkan dengan perusahaan-perusahaan besar dan lembaga-lembaga non-profit kepada penduduk kelas bawah (kelompok miskin yang menganggur). Sebagai sasaran kebijakan ekonomi pembangunan. Konsep-konsep itu merupakan saran yang potensial untuk meningkatkan modal manusia diantara penduduk wilayah perkotaan, dengan menggunakan wilayah opportunitas untuk menarik atau menguasai ekonomi basis.

9.2.4 Pekerjaan dan Kebijakan Pelatihan.Wilayah yang paling inovatif bagi kebijakan ekonomi pembangunan untuk

tahun-tahun terakhir ini, yang telah terbukti di lapangan, adalah pekerjaan dan pelatihan. Adanya UU untuk Pekerjaan dan Pelatihan sebagai bagian dari kebijakan lapangangan kerja dijalankan oleh kebijakan pembangunan ekonomi. Semula pekerjaan dan pelatihan yang didisain untuk memperbaiki kecakapan para pekerja di pusat-pusat pengangguran yang penting, atau memperbaiki kemampuan untuk mengisi lapangan-lapangan kerja tertentu atau segment-segment penduduk untuk memasuki pasar kerja. Permasalahannya sekarang dan untuk masa yang akan datang yang dapat diramalkan adalah: tidak mencukupinya lapangan pekerjaan, atau tidak mencukupinya lapangan pekerjaan yang baik. Oleh karena itu perencana pembangunan untuk lapangan pekerjaan menjadi tertarik dengan pertumbuhan jumlah pekerjaan, dan memperkenalkan ekonomi regional yang dapat menyerap tenaga keja yang ada. Pembangunan ekonomi dan pembangunan lapangan pekerjaan harus sejalan. Bagaimana cara agar modal manusia dapat digunakan untuk membantu perusahaan-perusahaan yang penuh persaingan, baik perusahaan-perusahan yang sudah ada atau perusahaan-perusahaan yang dibangun baru. Pada dekade yang lampau pemerintah pusat mengatasi masalah kesempatan kerja ini melalui kebijakan perindustrian, kemudian melalui program-program kebijakan ekonomi, yang sengaja dibuat utuk membantu wilayah-wilayah pinggiran kota-kota, di dalam kota-kota, dan wilayah pedesaan, melalui pelaksanaan pembangunan fisik, atau mendorong pengembangan industri. Kebijakan-kebijakan tersebut telah berhasil mengurangi pengangguran secara drastis.

9.2.5 Kebijakan Perdagangan Apakah kondisi neraca pembayaran luar negeri surplus, defisit, atau seimbang.

Ini merupakan salah satu indikator perekonomian yang penting bagi sebuah negara. Begitu pula pada tingkat daerah, neraca pembayaran antar daerah/luar negeri merupakan salah satu indikator penting. Neraca pembayaran tersebut memberi gambaran tentang aktivitas ekspor impor, baik pada neraca perdagangan barang, jasa, modal, dan cadangan devisa. Bedanya pada neraca pembayaran antar daerah tidak ada biaya sektor moneter, karena hanya ada satu mata uang negara yang berlaku di semua daerah, yaitu mata uang nasional. Jika sebuah negara, atau daerah melakukan ekspor berarti negara/daerah itu memiliki sektor ekonomi basis di sektor tersebut. Ekspor akan memberikan pekerjaan bagi pertambahan penduduk, baik untuk sektor basis itu sendiri maupun untuk sektor non-basis. Surplus ekspor pada tingkat negara akan meningkatkan nilai tukar (kurs) mata uang negara tersebut. Namun devisa itu sendiri juga dapat menimbulkan tekanan inflasi di dalam negeri. Komoditi yang diproduksi dengan bersubsidi, seperti komoditi pertanian di negara-negara maju juga dapat mengancam ekspor komoditi pertanian dari negara berkembang. Penguasaan teknologi yang lebih

143

Page 154: e Book Regional

baik dalam memproduksi suatu komoditi juga berpeluang menguasai pasar, dengan catatan bahwa yang berlaku adalah sistem perdagangan bebas (tanpa kebijakan proteksi).

9.2.6 Kebijakan Pembangunan Regional/Lokal Kebijakan-kebijakan untuk wilayah tertinggal telah menjadi tonggak sejarah

bagi New Deal (konsep pembangunan sosial ekonomi dari Presiden Roosevelt). Pembangunan Otorita Waduk Tennessee, listrik pedesaan, perluasan toko-toko koperasi, program-program besar yang ditujukan untuk wilayah pedesaan tertinggal, telah menjadi bagian dari pola kehidupan di Amerika Serikat. Pada tahun 1960-an, Presiden Kennedy dan Presiden Johnson mengembangkan ide-ide cemerlang dengan menstimulir pembangunan-pembangunan dalam kota, wilayah-wilayah di sekitar kota, Central Business Districts (CBD), dan wilayah-wilayah pedesaan. Program-program yang pernah dikembangkan sebelumnya tersebut dikembangkan kembali.

Secara umum, hampir senua usaha pembangunan pemerintah pusat telah menjadi tonggak awal orientasi. Pemerintah pusat melihat prosedur tersebut sebagai sebuah pembangunan yang mengintervensi langsung sektor swasta. Beberapa bentuk intervensi terbatas telah sering dilakukan dengan program-program fisik, seperti pembangunan lokasi fasilitas-fasilitas tentara dan gedung-gedung pemerintah. Dilakukannya usaha-usaha oleh pemerintah federal (pemerintah pusat) untuk menstimulasi pembangunan ekonomi antar wilayah-wilayah dan kelompok-kelompok termiskin. Hal itu secara tidak langsung adalah sebagai suatu usaha bersama pemerintah nasional dengan pemerintah lokal, di dalam mengaplikasikan program-program mereka terhadap masalah-masalah komunitas.

Kedua pemerintah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, secara diam-diam menyepakati bahwa pemerintah pusat membatasi diri pada pembiayaan tetapi tidak menjadi pelaksana langsung program-program di daerah, yang bertujuan mendorong perubahan ekonomi. Pengkombinasian fungsi membiayai dan sekaligus mengintervensi dari pemerintah pusat telah mendatangkan banyak kesulitan, yaitu dengan nenurunnya keuangan federal yang tersedia untuk pembiayaan daerah. Pada saat sumbangan industri nasional terbatas, pemerintah lokal membutuhkan lebih banyak bimbingan (asistensi) pemerintah pusat, tetapi kenyataannya asistensi yang dapat diberikan juga berkurang. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat menekankan sekali komitmennya pada dua hal, yaitu: mengatasi pengangguran dan mendorong pembangunan. Dorongan-dorongan yang dilakukan di masa lampau adalah dengan pembebasan pajak untuk masa-masa tertentu, dan menyeimbangkan pengeluaran dan penerimaan daerah.

Respon pemerintah pusat terhadap problem ini telah dapat mengurangi defisit pembiayaan, dan mengaitkannya dengan ketat kepada kekurangan pembiayaan. Secara esensial, pemerintah nasional memberikan kepada pemerintah lokal lebih banyak kewenangan untuk memecahkan masalah-masalahnya dengan sumberdaya yang lebih sedikit. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah ini berpengaruh kepada pengambil kebijakan lokal, dimana pemerintah local menjadi memiliki lebih banyak kebijakan, memiliki dana yang melebihi dana-dana bantuan pemerintah federal (pemerintah pusat), dan memiliki lebih banyak opsi untuk mengatasi masalah-masalah lokal. Pemerintah lokal harus menggunakan dana-dana yang dimilikinya sebagai investasi untuk masa yang akan datang, dan sewaktu-waktu mereka akan dihadapkan kepada membuat pinjaman untuk memenuhi kewajiban-kewajiban darurat.

144

Page 155: e Book Regional

Pemerintah pusat merespon kebutuhan masyarakat dan individu-individu untuk kesinambungan kebijakan ekonomi yang berfluktuasi. Kebijakan pemerintah daerah harus mampu mengambil tindakan konstruktif untuk mendekatkan kebutuhan dengan penerimaan mereka, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

9.2.7 Kebijakan Nasional dan Pembangunan Ekonomi Regional Sebagaimana tujuan perbincangan ini semula, kebijakan-kebijakan nasional

untuk mendapatkan lapangan pekerjaan riil dengan konsekwensinya harus mendasari perbaikan kemampuan perusahaan-perusahaan untuk mampu bersaing, seperti peningkatan kapasitas masyarakat lokal untuk mengembangkan kesempatan kerja. Pemerintah nasional dapat memperlihatkan kebijakan-kebijakannya, mempertinggi kapasitas wilayah dan lokalitas untuk mengejar strategi pembangunan untuk memperkuat perolehan daya saing sendiri seirama dengan perkembangan ekonomi pada tingkat nasional. Adapun skema pengelompokan kebijakan adalah sebagaimana diperlihatkan pada tabel 9.1 berikut:

Tabel 9.1. Skema Pengelompokan KebijakanDimensi Ekonomi

SektoralDimensi Spasial Kebijakan

Tdk. Samasekali Implisit EksplisitBukan Kebijakan

Industri

Beberapa sektor didorong secara tidak langsung

(seperti: Pertanian, Baja)

Dorongan2

IndustriMenurut Sektor

Menurut Perusahaan/Pabrik

Kebijakan2

Ekonomi Umum

Kebijakan2

Sektoral

Kebijakan2

Struktural

Kebijakan2

Struktural

Kebijakan2

Ekonomi dg. Implikasi2 Regional

Kebijakan2 Struktural

Kebijan2Struktural Regional

Asistensi Usaha Lokal

Kebijakan2 Regional

Pembangunan Regional

Pembangunan Ekonomi Lokal

Perusahaan/Pabrik-khusus

Kebijakan2

Struktural

Tujuan pembangunan ekonomi regional/lokal yang didasarkan kepada rumusan The Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), tahun 1986 meliputi: (1) memperkuat posisi daya saing wilayah-wilayah dan lokasi-lokasi dalam wilayah-wilayah dengan mengembangkan potensinya, yang sumberdaya alam dan manusianya masih kurang termanfaatkan; (2) merealisasi kesempatan-kesempatan pertumbuhan ekonomi dari dalam (Endogeneous) melalui mengorganisasikan kembali kesempatan-kesempatan yang ada untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa secara lokal; (3) memperbaiki tingkat kesempatan kerja dan opsi-opsi pengembangan karir jangka panjang untuk penduduk lokal; (4) meningkatkan partisipasi perekonomian lokal dari keadaan yang merugikan dari kelompok-kelompok minoritas; dan (5)

145

Page 156: e Book Regional

memperbaiki lingkungan secara fisik sebagai suatu unsur kebutuhan memperbaiki iklim pembanguan bisnis dan mempertinggi mutu hidup penduduk sepempat.

9.2.8 Tantangan-tantangan Baru dan Kesempatan Lokal Jika pemerintahan dan komunitas local mendasari pengorganisasian yang

dihubungkan kepada institusi-institusi dengan mengangkat tantangan-tantangan yang dikaitkan kepada transformasi industri nasional yang didiskusikan di sini, mereka akan mengalami peningkatan yang dapat digambarkan ke dalam perdebatan sebagai jalan atau jalan-jalan keluar mengatasi ekonomi dari ekonomi lokal selanjutnya. Untuk mempertemukan tantangan ini, pemimpin-pemimpin negara perlu menguji pilihan-pilihan yang ada dalam bentuk sebuah gambaran nyata. Dia dapat memberikan kejelasan di mana industri, pertanian, dan sumberdaya lokal penyebab dislokasi ekonomi untuk komunitas setempat. Bagaimana pun, dia tidak jelas, pemimpin lokal memiliki kapasitas untuk merumuskan rencana-rencana memecahkan permasalahan-permasalahan ekonomi lokal secara jelas. Umumnya, penampilan-penampilan komunitas-komunitas berbeda-beda, tergantung pada keadaannya masing-masing.

Sebagian kecil komunitas lokal dapat mengantisipasi pertumbuhan ekonominya didasarkan kepada migrasi penduduk di dalam wilayah sendiri. Tingkat pertumbuhan penduduk nasional untuk wilayah pedesaan memiliki subtansi yang rendah. Karenanya, wilayah-wilayah pertumbuhan umumnya dari komunitas-komunitas pinggiran kota yang terletak di luar kota-kota metropolitan besar. Tidak mungkin setiap komunitas dapat meningkatkan secara signifikan kesempatan kerja lokal mereka dengan menarik perusahaan-perusahaan industri baru. Sebagai kesimpulan, komunitas-komunitas dengan keterbatasan atau penurunan basis-basis ekonominya harus mengembangkan strategi ekonomi yang lebih canggih kepada sisa lokasi yang dipengaruhi secara sosial dan ekonomi. Di sana akan meningkatkan tekanan-tekanan pada semua komunitas untuk mengembangkan program-program yang akan dipecahkan oleh orang-orang dewasa di masa yang akan datang. Perbandingan geografi atau keuntungan transpotasi akan sama sekali tidak begitu lama ditentukan pada basis-basis sumberdaya alam yang ada.

9.2.9 Jenis-jenis Kumunitas dan Kesesempatan2 Pembangunan Ekonomi Lokal.

Tabel 9.2. Ikhtiar Pembangunan dengan Jenis KomunitasJenis Komunitas Ikhtiar Pembangunan

Wilayah Pertumbuhan

Menstruturalkan Kembali Wilayah

Memundurkan (membangun) Komunitas dan Wilayah

Sekitar Kota

Mengelola Pertumbuhan Penduduk dan Alternatif Rencana Ekonomi

Memvariasikan Ekonomi yang Ada dan Basis Kesempatan Kerja

Mengelola Sumberdaya-sumberdaya Publik yang AdaMemelihara Menjaga Bisnis Lokal

Meneliti Alternatif-alternatif Kegiatan EkonomiSesuai dengan Kapasitas Pemerintah dan Persyaratan

Lapangan Kerja Komunitas.Komunitas dari berbagai ukuran menjadi sebuah ketentuan penting untuk

dimainkan di dalam membantu negara dan Departemen Pekerjaan Umum. Pemerintah

146

Page 157: e Book Regional

Pusat membantu membentuk, memperluas perusahaan-perusahaan baru untuk bersaing di pasar domestik dan internasional. Ada tiga jenis dasar komunitas yang merespon perubahan kondisi ekonomi, yaitu sebagaimana digambarkan tabel berikut:

147

Page 158: e Book Regional

BAB XANALISIS KEBIJAKAN EKONOMI

PERKOTAAN DAN REGIONAL

10.1 Pendahuluan

Kebijakan ekonomi perkotaan (Urban Economy Policy) dan Wilayah (Regional Economy Policy) merupakan bentuk lain dari kebijakan ekonomi publik, yang mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat geografis. Motivasi dan implementasi kebijakan ini memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang spesifik tata-ruang (Spacial). Tujuan kebijakan ini adalah mencari bentuk campurtangan pemerintah untuk mempengaruhi perkembangan kondisi ekonomi daerah (Local Economy). Persepsi ekonomi lokal akan ditentukan oleh sifat-sifat kebijakan, implementasi, dan evaluasinya. Definisi dan ruang lingkup ekonomi lokal dapat diperluas lebih dari ukuran sebuah ekonomi wilayah suburban secara individual sampai ekonomi sebuah wilayah perkotaan yang sangat besar (Metropolitan). Sejalan dengan perkembangan definisi dan ruang lingkupnya, dapat berupa sebuah perekonomian wilayah yang lebih luas lagi, yaitu perekonomian sebuah kota ditambah hinterlandnya (Regional Economy).

Indikator-indikator perekonomian regional terdiri dari kesempatan kerja rata-rata, tingkat pendapatan, harga rumah, dan sejumlah indikator sosial turunannya. Indikator-indikator tersebut dapat digunakan, atau dihitung untuk melihat kondisi wilayah atau subwilayah spasial yang dikaji, yang akan dijadikan dasar kebijakan perencanaan, implementasi dan evaluasi. Oleh karena itu pendekatan tentang kondisi “lingkungan ekonomi” juga akan tergantung pada ukuran spasial yang diambil, atau yang didefinisikan sebagai wilayah “lokal”. Dengan demikian yang dimaksud dengan kebijakan ekonomi lokal dan regional secara umum dibagi ke dalam dua kelompok prakarsa dan kebijakan. Pertama, di sana terdapat sejumlah prakarsa yang difokuskan secara spesifik kepada lingkungan ekonomi perkotaan dan dengan target ukuran urban dan sub-urban tertentu. Semuanya akan dikaitkan dengan judul sejumlah kebijakan umum, yaitu “kebijakan perkotaan” (Urban Policy). Kedua, di sana ada ukuran (Range) prakarsa yang ditargetkan pada sebuah ukuran spasial wilayah, dan segala sesuatunya akan dikaitkan kepada satu judul dari sejumlah kebijakan umum yaitu “kebijakan regional” (Regional Policy). Perbedaan umum diantara kebijakan ekonomi perkotaan dan ekonomi regional yang pertama yaitu pembatasan dalam luas wilayah spasial (luas ruang) yang menjadi fokus dan implentasi kebijakan, pada kebijakan ekonomi regional yang ditujukan untuk diaplikasikan pada ukuran spasial yang lebih luas dibandingkan pada kebijakan ekonomi perkotaan..

Ukuran ruang kebijakan tersebut sebenarnya tidak hanya berbeda dalam lebih luas atau kurang luasnya, atau dengan kata lain ruang kebijakan perkotaan kurang luas dibandingkan ruang kebijakan regional. Perbedaan kedua ada pada sifat-sifat kebijakan yang akan diimplementasikan. Kebijakan ekonomi perkotaan dan regional dimotivasi oleh pengaruh yang diperlukan untuk meningkatkan kondisi lingkungan ekonomi lokal. Perluasan kebijakan tertentu dapat didasarkan kepada bakal-bakal variabel yang mungkin untuk mengimplementasikan kebijakan, yang juga tergantung pada definisi spasial lingkungan local itu sendiri. Sebagai contoh, apakah kebijakan itu untuk pembangunan ekonomi urban atau suburban? Dengan demikian jelas, bahwa kebijakan yang dimaksudkan tidak untuk ekonomi sekala regional, karena dampak yang

148

Page 159: e Book Regional

diinginkan cenderung dibatasi untuk wilayah lokal tertentu yang terbatas. Selanjutnya kebijakan ekonomi regional yang lebih luas didasarkan pada sifat-sifat lingkungan dari suatu kegiatan relokasi industri. Sebagai kebijakan ekonomi pada sekala suburban selalu mencakup wilayah yang lebih luas meliputi sekala urban, karena dampak sebarannya yang akan meluas. Dengan kata lain pembenaran untuk kebijakan ekonomi spasial tertentu juga akan menjadi bagian dari kebijakan wilayah spasial yang lebih luas, tergantung pada wilayah spasial yang menjadi objek kebijakan.

Perbedaan ketiga antara kebijakan ekonomi perkotaan dan regional adalah menyangkut masalah kelembagaan. Perbedaan ini menyangkut kerangka administrasi dan pemerintahan, karenanya perlu dibedakan juga di dalam implementasinya. Ini karena area-area geografis yang menjadi fokus kebijakan spasial dapat melewati batas-batas administrasi pemerintahan daerah (Local Government) yang berbeda. Ini terutama sekali untuk kasus-kasus kebijakan spasial regional, yang biasanya mencakup wilayah-wilayah administrasi yang berbeda. Tetapi untuk kebijakan perkotaan umumnya menggunakan sekala lebih-kurang, biasanya diimplementasikan pada tingkat administrasi pemerintahan kotapraja yang tunggal.

Perbedaan keempat adalah pada masalah pusat-pusat kegiatan, yang dapat dianalisis dan dievaluasi dengan berbagai pendekatan analisis, untuk melihat pengaruh dari kebijakan-kebijakan tersebut. Dilihat sifat-sifat kebijakan perkotaan dan regional yang dijadikan sasaran tujuan kebijakan adalah sekala spasial yang umum untuk masing-masing. Banyak model spasial dapat didiskusikan untuk memperdalam pengertian tentang ukuran dan terminilogi spasial yang mungkin berbeda. Model Weber dan Moses utamanya mendiskusikan pada terminologi kerangka antar wilayah (Inter-Regional), fasilitas produksi, dan alokasi produksi yang optimal mencakup sekala spasial yang luas. Yang lainnya, model persaingan spasial dari Hottelling yang dapat dijadikan dasar suatu sekala regional antar wilayah dengan kebijakan bagi pengadaan fasilitas-fasilitas produksi yang lebih luas, atau pada sekala sub-urban dan urban jika ingin bertolak dari perusahaan-perusahaan pengecer kecil. Selanjutnya ada model pengelompokan dan aglomerasi industri pada sebuah kota individual. Model tersebut berbeda dengan model tempat sentral (Central Pleace Model) dari Christaller, dan Loch. Terakhir, model dari Krugman (1991), dan Fujita, dll. (1999) untuk sekala antar wilayah. Sementara itu ada pula model lokasi lahan kota (Urban Land Location) dan penentuan harga lahan, dimana model ini melihat kota secara individual. Kemudian dikenal pula model multiplier regional, uang diperuntukkan untuk sekala wilayah kota dan antar wilayah, seperti model kesempatan kerja dan migrasi tenaga kerja. Terakhir juga model-model alokasi faktor produksi, pertumbuhan, dan neraca pembayaran wilayah. Kenyataan dari semua model tersebut, dibangun pada sekala-sekala spasial yang berbeda-beda, dan disarankan untuk memilih model yang sesuai dengan objeknya dalam mengaplikasikannya (sesuai dengan sekala, ciri dan sifat ruang wilayah). Dengan kata lain, ketetapan teknik analisis, atau kombinasi-kombinasi teknik analisis yang digunakan tergantung pada objek kebijakan dan sekala spasial.

Pada sesi berikutnya akan didiskusikan kebijakan perkotaan (Urban Policy) terlebih dahulu. Jadi, pertama-tama akan didiskusikan kebijakan ekonomi spasial yang diimplementasikan pada sekala kota secara individual, atau pada sekala bagian kota (Suburban). Langkah berikutnya akan didiskusikan kebijakan-kebijakan regional, yang diimplementasikan sebagai kebijakan ekonomi spasial pada sekala ekonomi yang lebih luas. Dengan membuat perbedaan-perbedaan geografi yang seperti ini, diharapkan dapat membuat pilihan-pilihan dalam penggunaan model-model yang lebih cocok untuk

149

Page 160: e Book Regional

menganalisis dampak dari setiap rencana atau kebijakan yang berbeda yang melewati wilayah-wilayah spasial yang dijadikan objek kebijakan itu sendiri.

10.2 Kebijakan Perkotaan

Kebijakan ekonomi yang diimplentasikan pada tingkat perkotaan (Urban Level), pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan daya tarik wilayah perkotaan atau subwilayahnya (Suburban Level) sebagai lokasi investasi. Bagaimanapun, untuk berhasilnya sebuah kebijakan memerlukan target-target tertentu, memerlukan inisiatif-inisiatif untuk mendapatkan sektor-sektor atau jenis-jenis investasi tertentu yang dapat mempengaruhi ekonomi dan lingkungannya pada sekala perkotaan atau subperkotaan yang beraneka ragam sifatnya. Sektor-sektor yang umum dipandang paling peka terhadap wilayah-wilayah spasial sekala kecil (wilayah perkotaan atau subwilayah perkotaan) adalah sektor pengembangan komplek perumahan (Real Estate) dan pertanahan (Property). Oleh karena itu, kebijakan ekonomi perkotaan cenderung memfokuskan diri pada pengembangan komplek perumahan dan pengembangan lahan lokasi, dan lain-lain sektor ekonomi perkotaan lokal. Kebijakan-kebijakan ekonomi perkotaan biasanya, atau terutama sekali, mencoba meningkatkan daya tarik relatif dari area-area tertentu yang kurang terbangun via pengembangan sektor pertanahan dalam rangka meningkatkan daya tariknya. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan ekonomi perkotaan melibatkan semua pihak dalam rangka pembebasan lahan-lahan tidur, melakukan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga atau kerangka hukum yang memungkinkan terjadinya pembangunan ekonomi lokal tersebut. Ini diperlukan karena pengembangan sektor pertanahan dan komplek perumahan memerlukan infrastruktur pasar yang mendukung transaksi-transaksi bagi proses pembangunan setempat, yang biasanya memiliki kendala kelembagaan dan hukum yang kompleks, dan yang biasanya juga berbeda diantara daerah yang satu dengan yang lain, dan/atau di negara yang satu dengan di negara yang lain. Dengan adanya perubahan tersebut maka memungkinkan digunakan kebijakan publik untuk membimbing pengembangan pola tata ruang dan partisipasi investasi sektor swasta agar tercapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (sesuai dengan yang ditetapkan dalam perencanaan kota atau bagian dari kota). Dasar-dasar pemikiran kebijakan perkotaan terutama ditentukan oleh prioritas-prioritas politik, dan fokus dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang seperti itu cenderung ditujukan pada perubahan sifat-sifat lingkungan lokal.

Dari sudut pandang analisis ekonomi, setiap kebijakan perkotaan akan berimplikasi berbeda untuk kelompok-kelompok sosial yang berbeda secara individual (Micro), seperti halnya kebijakan perekonomian secara keseluruhan (Macro). Dampak kesejahteraan dari kebijakan yang seperti itu haruslah dievaluasi secara terus menerus apakah berhasil atau tidak kebijakan tersebut dikaitkan dengan tujuannya. Terkait dengan tujuan untuk dapat menilai hasil dari suatu kebijakan, pada dasarnya dibuat dua jenis kebijakan spasial, yang kedua-duanya untuk mengembangkan lingkungan kota yang semakin baik.

10.2.1 Kebijakan-kebijakan Zoning PerkotaanSalah satu kebijakan yang lazim digunakan para perencana tata-guna lahan kota

dan tata ruang regional pada umumnya negara adalah aktivitas zonasi (Zoning Activity) secara geografis. Pada jenis kebijakan ini, jenis kegiatan yang berbeda hanya diatur

150

Page 161: e Book Regional

melalui perizinan dalam memilih lokasi yang telah ditentukan oleh sebuah kota sesuai dengan rencananya. Dengan kata lain, sistem perencanaan tata – guna lahan kota didukung oleh sistem hukumnya, dan lembaga tersebut akan menentukan dalam penataan jenis investasi dan kegiatan pembangunan tertentu yang memungkinkan dipilih di dalam sebuah kota. Biasanya, jenis investasi dan aktivitas tersebut sekaligus ditentukan bersama ukuran luas zona dalam ruang dua demensi (peta tata guna lahan) sebuah kota, ini juga sekaligus memberi gambaran tentang jumlah penawaran lahan lokasi terhadap suatu jenis kegiatan. Kadang-kadang sistem zoning ini juga bisa tidak berhasil, karena bekerjanya sistem zoning tersebut mendapat pengawasan (Control) dari harga lahan. Harga lahan sendiri ditentukan oleh interaksi permintaan pada harga pasar lahan lokasi tertentu. Sedangkan jumlah penawaran lahan telah ditentukan oleh sistem zoning sendiri untuk masing-masing jenis investasi dan aktivitas. Oleh karena itu, untuk memahami pengaruh harga pada kebijakan adalah penting untuk mempelajari hasil akhir harga lahan yang bertolak dari berbagai sistem harga. Sistem pasar lahan ada yang bersaing, suatu system pasar yang berlawanan dengan sistem intervensi. Sistem zoning menganjurkan sistem pasar lahan yang bersaing.

Untuk mendasari pengaruh tata-guna lahan terhadap kebijakan zoning, dapat digunakan model penawaran-sewa (Bid-Rent). Model ini akan memungkinkan kita membandingkan kemiringan (Slope) harga lahan dengan memperhatikan jarak ke pusat kota dan jenis penggunaan lahan, dalam kondisi pasar lahan persaingan dengan skema-skema zoning dari lahan kota itu sendiri. Model penawaran-sewa lahan mengasumsikan bahwa sudah tertentu (M), maka harga lahan lokal akan ditentukan oleh aksessibilitasnya, dan didasari pada proporsi-proporsi faktor produksi. Sebagai contoh, untuk kasus sebuah kota yang umumnya terdiri dari tiga jenis aktivitas industri, yaitu: satu sektor pelayanan, satu sektor industri pengolahan, dan satu sektor distribusi dan perdagangan eceran. Dalam terminologi lahan dan fasilitas pembangunan lingkungan ketiga kelompok industri tersebut akan berbentuk kantor-kantor, faktor-faktor produksi, fasilitas perbengkelan, toko-toko dan fasilitas-fasilitas perdagangan secara berurutan. Ini berkaitan dengan masalah trade-off diantara aksessibilitas dan syarat-syarat ruang, dapat diasumsikan bahwa sektor jasa umumnya akan diorientasikan berlokasi di pusat kota, sektor industri pengolahan sesudah sektor jasa tersebut, dan sektor perdagangan eceran berlokasi pada pinggiran kota yang bersangkutan.

Berdasarkan kondisi-kondisi dari pengalaman teori tersebut, persaingan dalam mendapatkan lahan akan berimplikasi bahwa kantor-kantor sektor jasa akan berlokasi diantara pusat kota (M) dan jarak d0 dari pusat kota. Faktor produksi industri pengolahan dan perbengkelan akan dilokasikan di dalam cicin konsentrasi lahan untuk sektor jasa, yaitu pada suatu jarak d0 dan dm dari pusat kota. Terakhir, sektor distribusi dan perdagangan eceran akan dilokasikan diantara dm dan dr dari pusat kota. Kemiringan kurva penawaran-sewa lahan kota yang aktual diberikan oleh kurva yang menyerupai tutup amplop, kemiringan kurva penawaran-sewa lahan ABC yang merupakan tangensial kurva penawaran sewa lahan yang tertinggi pada masing-masing lokasi. Sebagaimana terlihat pada gambar tersebut, kemiringan kurva penawaran-sewa lahan kota akan merupakan fungsi dari kemiringan kurva yang menurun secara teratur dan cembung ke arah titik asal (M).

151

Page 162: e Book Regional

Gambar 10.1 Tingkat Kemiringan Sewa Lahan Industri Kota Berdasarkan Kondisi Pasar Lahan Persaingan

Lalu, dibandingkan hasil persaingan ini dengan suatu situasi dimana lahan kota yang dizonakan. Sebagai contoh, kita dapat membayangkan suatu situasi sebuah kota metropolitan dimana pemerintahan lokalnya yang melarang kegiatan-kegiatan industri mengambil lokasi di pusat kota sebagaimana mereka akan terdistribusi kepada tiga peruntukan yang bersaing. Sebuah keputusan dapat diambil untuk mempertahankan atau menyempurnakan keindahan pusat kota, atau sebagai alternatif untuk menghindari pengaruh negatif, seperti polusi terhadap lingkungan lokal. Dalam keadaan seperti ini, otoritas perencanaan kota lokal dapat menentukan dimana izin hanya dapat diberikan untuk lokasi toko bagi kegiatan perdagangan eceran, pada lokasi yang berdekatan dengan pusat kota dimana aktivitas sektor jasa mengambil tempat. Dalam kondisi yang seperti itu, kebijakan zoning diorganisasikan sebagai sebuah ketentuan bagi sebuah penyangga diantara pusat kota dan kegiatan industri pengolahan. Gambar 10.2 memperlihatkan dimana zona toko eceran ditentukan sebagai sebuah area diantara jarak d1 dan d2 dari pusat kota (M).

Pada waktu yang sama, otoritas perencanaan kota lokal dapat pula menentukan area-area subwilayah perkotaan lainnya, yang merupakan lokasi perumahan penduduk berpendapatan rendah, dan area-area perumahan untuk kelompok berpendapatan menengah dan tinggi yang tidak akan ditempati oleh aktivitas industri pengolahan. Industri pengolahan hanya akan ditempati di dalam salah satu area yang secara khusus dizonakan untuk kegiatan jenis industri tersebut. Untuk itu, otoritas perencanaan lokal

Sewa per m2

Jarak

A

B

C

M

d0

dm

dr

152

Page 163: e Book Regional

kota dapat mengkhususkan zona industri pengolahan tersebut tidak dapat diperluas lagi dari jarak d3 dari pusat kota. Sementara itu, untuk mengkompensasikan ruang yang dikurangi dari sektor jasa di dalam kota untuk kehadiran zona toko eceran di dalamnya, otoritas perencanaan lokal hanya dapat memberikan izin untuk aktivitas sektor jasa yang mengambil tempat berjarak antara d3 dan d4 dari pusat kota. Sebelum zona ini perencana dapat memberi izin untuk penggunaan campuran antara toko eceran dan kegiatan sektor jasa.

Gambar 10.2: Kemiringan Kurva Sewa Lahan Industri Perkotaan Berdasarkan Sebuah Kebijakan Zoning.

Di dalam situasi yang seperti ini, kemiringan kurva sewa lahan aktual akan bergerigi (Evans, 1985) menyerupai sebuah kurva permintaan yang menurun, seperti diperlihatkan garis tebal pada gambar 10.2. Untuk melihat pengaruh kebijakan perencanaan terhadap kesejahteraan dapat dibandingkan dengan area di bawah kurva rent-gradient kasus dengan kebijakan zoning dan pasar lahan bersaing (gambar 10. 2) dengan kurva Rent-gradien lahan perkotaan aktual, atau rent-gradien yang menyerupai tutup amplop (gambar 10. 1). Perbedaannya diwakili oleh jumlah area abce dan ghjk. Kedua area tersebut mewakili kerugian total dari penerimaan sewa lahan perkotaan pada lokasi-lokasi yang dizonakan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak membayar sewa lahan maksimum (sewa lahan berdasarkan sistem pasar lahan yang bersaing). Total penerimaan yang hilang tersebut mewakili biaya opportunitas kebijakan zoning, dan sebagai refleksi dari kerugian kesejahteraan ekonomi perkotaan dari adanya kebijakan perencanaan.

Sewa per m2

Jarak

a

k

M

d2

d4

d5

d1

d3

b

d

c g

h

j

153

Page 164: e Book Regional

Kata kunci dari argumentasi di atas adalah, bahwa kebijakan perencanaan perkotaan tidak terhindarkan, dan akan memiliki implikasi kesejahteraan. Taksiran implikasi kesejahteraan dari model analisis di atas diperlihatkan gambar 10.1 dan 10.2, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar memiliki efisiensi yang terbesar. Suatu taksiran yang benar dari implikasi kebijakan tersebut juga tergantung pada persepsi tentang efisiensi dari mekanisme pasar tentang harga-harga yang terkoreksi dengan baik serta kemudahan-kemudahannya. Situasi tersebut tergambarkan pada gambar 10. 1 dan 10.2. yang mengasumsikan bahwa untuk pasar lahan penghargaannya di tiap lingkungan tidak dikoreksi oleh mekanisme pasar. Berdasarkan fakta yang ada, aspek-aspek keindahan dari lingkungan pusat kota diasumsikan haruslah di bawah nilai dengan pertimbangan-pertimbangan biasa dari sektor swasta, sehingga keuntungan aktivitas industri pengolahan dilakukan sepanjang masih memberikan manfaat positif, yang digabungkan dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh pemerintah. Jika kemudahan-kemudahan yang diberikan, yang pertama atau yang kedua dari solusi terbaik tidak ada kemungkinan respon-respon terhadap kebijakan, tidak tepat menghindari kegagalan pasar di dalam konteks ini, otoritas pemerintah menyederhanakan responnya kepada sebuah mekanisme quota, dengan cara demikian sejumlah keterbatasan ditentukan pada jumlah lahan yang ada pada lokasi tertentu, dan lahan dialokasikan dengan proses penjatahan.

Dengan dipilihnya skema pembangunan tertentu, maka hal itu akan tergantung kepada pengembangan lahan yang berdasarkan izin perencanaan dari otoritas pemerintahan lokal. Dengan menggunakan skema perencanaan tertentu, otoritas-otoritas perencanaan berputar ke luar, karena dibandingkan langsung dengan bentuk yang dipresentasikan oleh pemerintah, bertolak dari gambar 10. 1 dan 10. 2, karena dia diasumsikan bahwa harga-harga lahan sektor swasta diberikan gambar 10. 1, tidak persis sama merefleksikan manfaat sosial marginalnya. Ini adalah pembenaran bagi kebijakan-kebijakan intervensi.

10.2.2 Kebijakan Regenerasi KotaKebijakan-kebijakan perencanaan tata-guna lahan untuk masa depan diberikan

oleh gambaran perubahan-perubahan lingkungan dan kelembagaan yang mempengaruhi bekerjanya pasar lahan kota. Pada umumnya, kebijakan-kebijakan yang seperti itu diimplementasikan dalam kondisi dimana otoritas-otoritas Pemerintah percaya bahwa mekanisme pasar itu akan mengarah pada hasil-hasil yang secara sosial tidak efisien karena adanya pengaruh ekternalitas. Bagaimanapun, di sana juga ada situasi-situasi dimana dengan implementasi kebijakan tertentu yang menghasilkan pengaruh yang tidak dapat mendukung peningkatan kesejahteraan. Sebagai contoh, kasus skema-skema regenerasi kota, sebagai inisiatif yang akhir-akhir ini sedang populer di Amerika Utara, seperti di kota-kota Philadelvia dan Boston, dan juga di Eropa seperti London, Manchaster, dan Rotterdam. Skema tersebut di disain secara spesifik untuk mendorong pembangunan area-area kota yang sedang mengalami kemunduran, untuk mencegah migrasi ke luar (Outmigration) dan pemukiman kembali penduduk dari area-area pusat kota. Pada umumnya wilayah perkotaan memiliki keterkaitan ke luar yang banyak, yang mempengaruhi penduduk dan aktivitasnya selama tiga sampai empat dekade, berubah menjadi penduduk dan kegiatan bisnis pusat-pusat perkotaan yang lebih kecil. Inilah yang disebut “Urban-Rural Shift”. Pertama, keterkaitan tersebut terjadi melalui pengenalan produksi, komunikasi, dan teknologi transportasi yang dapat mengurangi pentingnya lokasi pusat perkotaan bagi kegiatan-kegiatan perusahaan. Kedua, pada

154

Page 165: e Book Regional

kondisi meningkatnya pedapatan, terjadi perubahan pada pilihan rumah tangga pada ruang dan mutu lingkungan yang lebih baik mendorong terjadinya outmigration, banyak orang pindah ke lokasi-lokasi yang lebih ke pinggiran, tetapi dengan kondisi dimana lokasi-lokasi tersebut memiliki akses baik. Ketiga, persediaan modal perkotaan tetap dapat membatasi kemampuan perusahaan-perusahaan untuk membentuk dan memperluas kembali lahan lokasi di pusat-pusat kota yang mendekati jalur-jalur hijau. Secara rata-rata hasil akhir dari beragam pengaruh tersebut cederung mengurangi daya tarik wilayah pusat kota bagi kebanyakan orang dan aktivitas bisnis. Kombinasi dari kecenderungan tersebut sering mengarah pada penciptaan lokasi pembuangan sampah kota, dengan lahan yang biasanya disesuaikan pada pusat kota yang kurang terbangun dan terlantar. Bagaimanapun pada umumnya otoritas pemerintahan sipil, cenderung seperti itu, lebih dihargai dan juga lebih maju.

Untuk skedul meningkatkan keindahan wilayah dan kondisi kehidupan penduduk, pada umumnya pemerintah kota telah mengimplementasikan skema-skema regenerasi perkotaan. Di dalam skema-skema tersebut, lingkungan hukum dan kelembagaan yang berkaitan dengan pasar lahan yang diberlakukan, dan diubah untuk wilayah-wilayah yang diperkirakan tidak menghasilkan. Dengan cara yang sama otoritas kota umumnya tidak menghendaki kegiatan-kegiatan tersebut dilokasikan memusat. Oleh karena itu, skema-skema regenerasi perkotaan harus didiskusikan pada pasar-pasar komplek perumahan dari sektor hunian, dan sektor jasa yang umumnya sangat peka terhadap keragaman lingkungan kota. Dengan kata lain, skema tersebut biasanya memiliki target untuk mendapatkan pembangunan perumahan dan properti lokal.

Sehubungan dengan kasus tersebut didiskusikan kebijakan zonasi kota untuk dapat diadopsi model penawaran-sewa (Bid-rent), atau model alokasi lahan kota untuk menganalisis dampak kesejahteraan dari skema pengembangan kota. Untuk dapat melakukan ini kita memisalkan situasi di sebuah wilayah kota yang semula menggantikan sebuah kota yang mengalami kemunduran dimana wilayah menganggur berada di pusat kota. Di dalam lahan yang tidak berpenduduk harga real estate nol, karena tidak ada orang yang bersedia pindah ke sana dan juga tidak ada kegiatan bisnis yang ingin berlokasi ke sana, dan berlaku sistem ekonomi pasar dan kondisi lingkungan. Situasi awal ini dapat diwakili oleh gambar 10.3, dengan asumsi untuk penyederhanaan bahwa di sana hanya ada dua kelompok pendapatan, yang satu berpendapatan rendah dan yang satu lagi berpendapatan tinggi. Kelompok berpendapatan rendah tinggal di sekitar pusat kota dengan radius d1 dari pusat kota. Kelompok yang berpendapatan tinggi tinggal pada lokasi dengan jarak d2 dari pusat kota. Kelompok berpendapatan tinggi tidak tinggal di wilayah yang berdekatan dengan wilayah tinggal kelompok berpendapatan rendah, tetapi di sebuah wilayah yang terletak di antara d1 dan d2. Di dalam wilayah yang letaknya seperti itu, prospek ekonominya rendah dan biasanya dengan sewa lahan nol, dan kondisi investasi yang tidak menguntungkan.

Di dalam situasi yang seperti itu , dimana otoritas pemerintah lokal mencoba mengubah situasi yang digambarkan gambar 10.3, dengan memperbaiki keindahan lingkungan secara umum di sekitar pusat kota, mengajak otoritas perencanaan di dalam batas-batas kebijakannya untuk mempengaruhi perilaku pasar kompleks perumahan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat membuat pemerintah lokal tidak memilih di lingkungan tersebut, atau langsung dengan pengetatan peraturan zonasi real estate, atau dengan memberi subsidi pajak untuk para pengembang, atau dengan subsidi tidak

155

Page 166: e Book Regional

langsung dimana pemerintah membangun infrastruktur khusus untuk publik yang khusus, atau provisi untuk transportasi umum, atau dalam bentuk kerjasama-kerjasama usaha antara sektor pemerintah dan sektor swasta dalam bentuk-bentuk surat kesepakatan kerjasama yang tercantum di dalam skema-skema.

Gambar 10.3: Lahan tempat Tinggal (Lokasi Perumahan) Kota

Bagaimanapun, dasar logika semua skema-skema regenerasi kota adalah untuk mencoba melakukan perubahan pada bersama lingkungan investasi, yang dengan itu pasar real estate lokal akan bekerja, akan terjadinya perubahan-perubahan dalam lingkungan fisik wilayah lokal. Kesimpulannya, dimana perilaku wilayah tersebut cenderung bertentangan dengan perilaku kurva bid-rent curve yang terus meningkat dari wilayah hunian kelompok yang berpendapatan rendah, digabungkan dengan eksternalitas dengan persepsi-persepsi sosial. Karena itu, tujuan kebijakan perkotaan adalah untuk mengubah persepsi kelompok berpendapatan tinggi agar mendorong investasi real-estate oleh kelompok tersebut di pusat kota.

Sewa/m2

Jarak (d)M

d1

d2

Bid-rent curve untuk kelompok berpendapatan rendah

Bid-rent curve untuk kelompok berpendapatan tinggi

156

Page 167: e Book Regional

Gambar 10.4 Tata-guna Lahan Perumahan Sebagai Akibat Skema Peremajaan Pusat Kota.

Pengaruh-pengaruh kebijakan tertentu yang seperti itu dapat diperlihatkan seperti dalam gambar 7.4. Jika dilakukan pembangunan kembali wilayah lokal pusat kota diperkenankan berjalan terus, wilayah tersebut menjadi menarik untuk sebagian tertentu kelompok berpendapatan tinggi yang relatif memiliki kepentingan tinggi terhadap aksessibilitas ke pusat kota, yang sebelum pusat kota itu dikembangkan tidak ingin kembali kelingkungan miskin tersebut. Untuk tujuan penyederhanaan, akan dirinci sifat-sifat dari kelompok berpendapatan tinggi tersebut, khususnya untuk penduduk yang berusia muda, yang sebenarnya juga terdiri dari rumahtangga-rumahtangga kedua kelompok pendapatan. Kurva bid-rent dari kelompok ini cenderung sangat landai. Pada sisi lain, penduduk yang lebih tua, keluarga-keluarga yang memiliki bayi akan tetap pada bid-rent-nya masing-masing. Jadi, dengan pembangunan kembali pusat kota tersebut akan ada keluarga-keluarga miskin yang terdesak, yang kehilangan tempat tinggal. Dalam kondisi yang demikian, rumahtangga-rumahtangga yang terdesak itu, akan menjadi rumahahtangga-rumahtangga yang berpindah-pindah di daerah hunian pusat kota.

Kurva bid-rent untuk kelompok berpendapatan tinggi tua

Sewa/m2

Kurva bid-rent untuk kelompok berpendapatan rendah

Jarak (d)M

Kurva bid-rent untuk kelompok berpendapatan tinggi muda

dy

dh

157

Page 168: e Book Regional

Gambar 10.5: Efek Kesejahteraan dari Skema Peremajaan Kota.

Sebagai alternatif, penduduk kota yang berpendapatan rendah tetap stabil, karena kemampuannya untuk bermigrasi terbatas, setelah peremajaan pusat kota mereka akan tinggal di dalam wilayah hunian yang lebih jauh sedikit dari pusat kota. Kurva Bid-rent individual kelompok berpendapatan rendah mengindikasikan sewa per meter persegi yang berbeda yang harus mereka bayarkan, untuk memelihara tingkat kegunaan lahan, dimana kegunaan adalah fungsi dari total area lokasi yang dipakai. Jika pada masing-masing lokasi area lahan yang dipakai berkurang, pada kurva Bid-rent yang curam, maka kegunaan total dari perumahan individu akan berkurang. Dalam pengertian analisis Bid-rent menurunnya kegunaan ini diwakili oleh pergeseran yang meningkat di dalam kurva Bid-rent untuk kelompok yang berpendapatan rendah. Pergeseran di dalam kurva Bid-rent kelompok yang berpenghasilan rendah setelah adanya skema peremajaan kembali ini akan diwakili oleh suatu kenaikan sewa per meter persegi, yang dijual oleh kelompok berpenghasilan rendah pada masing-masing lokasi. Persaingan di pasar real-estate mengimplikasikan bahwa kelompok berpendapatan rendah menjadi meningkat area hunian mereka, yang mencakup area diantara berjarak dy dan dh ke jarak di’ dan di” dari pusat kota. Dengan demikian, kelompok berpendapatan rendah akan meluaskan wilayah lingkungan hunian mereka dengan mengambil lingkungan wilayah kedua kelompok yang berpendapatan tinggi. Bagaimanapun, meluasnya area lingkungan hunian kelompok berpendapatan rendah

Kurva Bid-rent kelompok berpendapatan tinggi sebelum skema

Kurva Bid-rent kelompok berpendapatan rendah setelah skema

Jarak (d)M

dy

dh

Jarak (d)M

dh

dI’’

dI”’

Kurva bid-rent untuk kelompok berpendapatan rendah

Kurva bid-rent untuk kelompok tinggiberpendapatan tinggi

Sewa/m2

158

Page 169: e Book Regional

yang dijual ini, yang menghasilkan perubahan jarak batas-batasnya, disimpulkan sebagai pergeseran fungsi Bid-rent kelompok tersebut. Kelompok berpenghasilan rendah tidak banyak kehilangan kesejahteraan sebagai akibat dari skema peremajaan pusat kota.

10.2.3 Pengelompokan (Centrification)Diskusi tentang skema-skema pembangunan kembali kota di sini adalah

mencoba dengan sebuah contoh ilustrasi membagi-bagi seluruh efek-efek kesejahteraan yang kompleks yang ada di dalam setiap gagasan kebijakan perkotaan. Di dalam kasus yang istimewa ini, kelompok yang berpenghasilan tinggi akan terdorong bergerak ke belakang, ke area-area di pinggiran kota melalui usaha perbaikan lingkungan fisik. Kelompok yang berpendapatan tinggi ini, dalam proses tersebut bergerak ke belakang dari area pusat kota, yang dikenal di dalam istilah pengelompokan (Gratification). Didalam beberapa kasus proses pengelompokan ini berlangsung secara alamiah. Biasanya, bagian-bagian kota yang sudah tua, seperti: London, New York, dan Paris yang memiliki pertumbuhan kesempatan kerja yang menyenangkan, setelah ada efek aglomerasi, setelah berkembangnya sektor-sektor tertentu seperti sektor keuangan, terbukti secara signifikan terjadinya pengelompokan-pengelompokan. Sungguhpun demikian, di kebanyakan kota-kota dan di dalam kota-kota tertentu ada yang sudah tidak menyenangkan, seperti halnya efek-efek aglomerasi, proses perkembangan pasar sendiri tidak bergerak ke pengelompokan. Di dalam situasi yang seperti itu, intervensi kebijakan publik menjadi wajib dilakukan bila diyakini bahwa hasil dari proses tersebut akan baik jika dilihat dari pandangan sosial. Bagaimanapun, sebagaimana yang telah disaksikan di sini, seperti halnya skema pembangunan kota mengandung konsekwensi yang tidak diinginkan, dimana yang diuntungkan oleh skema tersebut adalah kelompok yang berpendapatan tinggi, sedangkan kelompok yang berpendapatan rendah (orang-orang miskin) mendapatkan manfaat negatif dari skema tersebut. Sekarang, berbagai alasan dari gagasan-gagasan kebijakan yang seperti itu mencoba menghitung pengaruh-pengaruh dan manfaat-manfaat bagi semua golongan pendapatan, pada waktu terjadinya proses terpolanya wilayah-wilayah hunian masyarakat secara geografis. Para perencana juga tidak mempromosikan skema tersebut sebagai sesuatu yang akan memberikan manfaat hanya kepada kelompok yang berpendapatan tinggi. Kebijakan-kebijakan yang diambil secara umum dipercaya, bahwa dari pembangunan tersebut akan memberikan harapan bagi berkembangnya area-area kota yang mengalami kemunduran, melokalisasi manfaat-manfaat aglomerasi yang dapat direalisasi di dalam jangka panjang berdasarkan pengelompokan aktivitas tersier (usaha jasa) dan kelompok penduduk yang berpendapatan tinggi di pusat kota. Dengan kata lain, dengan target yang berhati-hati dari skema-skema tertentu, para perencana mengharapkan dengan menggunakan investasi publik secara selektif dapat mendorong pertumbuhan aktivitas ekonomi setempat. Pertumbuhan lokal tersebut diasumsikan akan memberikan manfaat kepada semua kelompok pendapatan secara lokal, seperti penciptaan kesempatan kerja lokal dan peningkatan kondisi lingkungan fisik lokal. Bagaimanapun, pengelompokan aktivitas dan manusia tidak cukup untuk mengembangkan ekonomisasi aglomerasi lokal. Karena itu, pengaruh aglomerasi yang lebih menguntungkan kelompok yang berpendapatan rendah, sebagai kompensasi hilangnya kesejahteraan, merupakan spekulasi semata. Pada sisi lain, setiap kehilangan pengaruh aglomerasi akan hilang pula kesejahteraan pada kelompok yang berpenghasilan rendah, jika tidak hati-hati,

159

Page 170: e Book Regional

mengingat kelompok yang berpendapatan tinggi akan menerima lebih banyak manfaat ekonomi selama berlangsungnya pembangunan kota.

10.2.4 Jalur Hijau (Greenbelts)Di beberapa negara yang kepadatan penduduknya secara spasial relatif tinggi,

seperti Negeri Belanda, Korea Selatan, dan Inggeris, tata-guna dan alokasi lahan pada kedua tingkat (nasional dan local), terutama yang diorganisasi di dalam suatu sistim jalur hijau. Jalur hijau adalah sebuah zona lahan di sekitar wilayah kota yang tidak akan diizinkan untuk dibangun di dalam skema pembangunan kota, dalam keadaan bagaimana pun. Dengan kata lain, jalur hijau adalah berbentuk sebuah cincin konsentrasi di sekitar kota, yang diberikan batasan yang jelas di sekitar pinggiran area kota. Dasar pemikiran jalur hijau adalah untuk membatasi perluasan area kota ke luar, agar dapat terpertahankan dan terlindunginya lahan pedesaan. Motif kebijakan yang bersifat membatasi tersebut adalah, bahwa di negeri-negeri atau wilayah-wilayah yang padat penduduk, perlindungan terhadap wilayah pedesaan merupakan prioritas nasional, mengingat lahan pedesaan relatif terbatas.

Rent-gradient sebelum pertumbuhan kota Rent-gradient setelah pertumbuhan kota

Gambar 10.6: Penggabungan antar kota ( Inter Urban Merging )

Bertolak dari perspektif ini, nilai area pedesaan ditentukan terlebih dahulu, dalam ukuran-ukuran keindahan dan alasan-alasan kepurbakalaan, daripada ukuran-ukuran ekonomi yang sederhana. Oleh karena itu, untuk terjaminnya semua orang mendapatkan akses yang relatif mudah ke area-area lokal pedesaan, perluasan area kota dibatasi secara tegas. Secara implisits, asumsi-asumsi kebijakan yang demikian maka mekanisme pasar lahan swasta tidak akan memasukkan nilai lahan perlindungan pedesaan sebagai ukuran biaya dan manfaat sosial, dan kegiatan pembangunan perkotaan akan dihargai hanya dengan ketertarikan kepada biaya dan manfaat swasta. Dengan demikian, rasionalitas jalur hijau adalah suatu permasalahan lingkungan hidup (eksternalitas). Pada sisi lain, sebagaimana halnya sebuah kebijakan, bersifat tidak dapat dihindari dan juga memiliki implikasi kesejahteraan

Sewa/m2 Sewa/m2

rj2

rj1

rA

rK2

rK1

rA

d1d2 d3 d4 d5 d6

KJ

160

Page 171: e Book Regional

Untuk dapat memahami logika dari sebuah jalur hijau kita dapat merujuk gambar 10.6, dimana sebuah wilayah diasumsikan terdiri dari dua pusat kota, dengan dua distrik pusat bisnis yang menarik kepada lokasi J dan lokasi K. Diasumsikan pula bahwa pendapatan upah yang diterima di lokasi J lebih tinggi dibandingkan dengan di lokasi K. Harga sewa lahan per m2 pasar persaingan adalah rj1 di lokasi J, yang lebih tinggi dari di lokasi K yaitu rk1. Kurva rent-gradient komveks untuk setiap area kota, yang terdiri dari fungsi-fungsi rent-gradient individual yang dibedakan untuk masing-masing kelompok pendapatan yang dipekerjakan pada setiap pusat kota. Sewa lahan pertanian diberikan pada tingkat rA pada semua lokasi, pasar untuk lahan diasumsikan bersaing, area kota yang dipusatkan pada J lebih luas dibandingkan dengan yang dipusatkan pada K. Area kota yang dipusatkan pada J seluas dari d2 ke d3 dan yang dipusatkan pada K seluas dari d4 ke d5. Area pertanian berada di sebelah kiri d2 dan di sebelah kanan d5 dan diantara d3 dan d4. Dengan kata lain, pendapatan yang berlaku rj1

dan rk1 diterima pada kegiatan di J dan K Ketertarikan dari kedua area kota dipisahkan oleh aktivitas pertanian. Land Rent-gradient aktual diwakili oleh garis tebal pada gambar 10.7.

Gambar 10.7 Efek-efek Harga Lahan dari sebuah Kebijakan Jalur Hijau.

Sebagai contoh, jika untuk ekonomisasi aglomerasi, pendapatan nominal yang dapat dibayarkan pada lokasi J dan lokasi K meningkat dalam jangka waktu tertentu sebesar 50% ke rJ2 dan rK2, kedua wilayah kota akan diperluas . Didalam kasus ini, land rent-gradient yang baru diperlihatkan oleh gambar 10.6, oleh garis-garis tebal. Jika diperhatikan, wilayah kota yang berpusat di J akan tidak membesar dari lokasi d1 ke kiri dan yang berpusat di K tidak akan meluas dari lokasi d6 ke kanan. Area diantara kota J dan kota K sekarang tidak akan meluas oleh pembangunan kota-kota dari d1 ke d6.

rA

rA

rj3

rj2

rj1

rK3

rK2

rK1

J K

d2 d3 d4 d5Lebih Besar Lebih Kecil

Sewa/m2Sewa/m2

161

Page 172: e Book Regional

Untuk menghindari menggabungnya pusat-pusat kota bersamaan dengan perjalanan waktu, maka otorita tata-guna lahan dapat menjalankan suatu kebijakan jalur hijau yang ketat untuk memelihara batas-batas kota. Pengaruh kebijakan yang seperti itu diperlihatkan pada gambar 10.6. Pada kasus ini, penerapan sistem perencanaan tata-guna lahan dengan jalur hijau di sekitar wilayah kota yang berpusat di J, begitu pula di sekitar kota yang berpusat di K benar-benar tidak akan diberikan izin membangun pada lokasi sebelah kiri d2 dan sebelah kanan d3 untuk kota yang berpusat di J, dan sebelah kiri d4 dan sebelah kanan d5 untuk kota yang berpusat di K. Di dalam situasi yang seperti itu kota-kota tumbuh sepanjang waktu sehubungan dengan ekonomisasi aglomerasi, jumlah lapangan kerja lokal akan meningkat, akan dibatasi perpindahan di dalam daerah kota-kota yang sama. Ini akan menurunkan luas tempat tinggal rata-rata untuk setiap rumah tangga. Konsekwensinya, kurva Bid-rent untuk setiap rumah tangga individual kota akan bergerak naik ke tingkat yang lebih tinggi, dibandingkan dengan kasus situasi pasar lahan bersaing tanpa kebijakan jalur hijau. Kesimpulannya adalah, bahwa Land Rent-gradient amplop akan bergerak ke kanan atas, dan harga pasar sewa lahan per meter persegi akan naik pada semua lokasi area kota ke tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada kasus tanpa kebijakan jalur hijau. Pada gambar 10.7, pada Land rent-Gradient aktual berdasarkan kondisi pertumbuhan kota dengan pembebanan kerugian kebijakan jalur hijau diperlihatkan oleh garis tebal gambar 10.7, dan Land Rent-gradient berdasarkan kondisi pertumbuhan kota tanpa kebijakan jalur hijau yang diberikan oleh garis tebal yang digambarkan terputus-putus. Pada kesimpulan ini batas-batas desa kota d2, d3, d4, dan d5 tidak bersambung, sewa lahan yang dapat dibayarkan juga berbeda secara signifikan, selama perbatasan jalur hijau tidak diubah. Dari gambaran kemungkinan biaya hidup masing-masing, semua penderitaan penduduk kota sehubungan dengan hilangnya kesejahteraan tertuju kepada pembebanan kebijakan jalur hijau.

Berdasarkan alasan-alasan tertentu juga dimungkinkan akan adanya pengaruh-pengaruh negatif dari kebijakan jalur hijau, yang mungkin lebih diperburuk oleh perkiraan bahwa lingkungan pinggir kota akan dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Kalau kemudahan-kemudahan lingkungan secara relatif dilokalisasi dan dilindungi dengan kebijakan pembangunan kota itu sendiri, kota akan terpelihara dalam jangka waktu yang panjang, akan mengimplikasikan bahwa orang-orang yang tinggal di pinggiran kota akan selalu menikmati kemudahan lingkungan yang lebih luas dibandingkan dengan orang yang tinggal di dalam area kota sampai ke pusat kota. Kalau kelompok orang-orang yang berpendapatan rendah dibatasi tetap tertutup menuju pusat kota, ini mengimplikasikan bahwa hanya kelompok yang berpendapatan tinggi yang bergerak ke pinggiran kota, dimana Urban Rent-gradient akan menyerupai tutup amplop. Sekarang menjadi menyerupai huruf U yang landai. Pada kondisi harga-harga lahan diantara kota dan pedesaan yang relatif rendah, maka lokasi di sekitar kota akan lebih banyak yang terjual. Sementara itu, umumnya manfaat jalur hijau akan mengalir ke rumahtangga-rumahtangga kelompok berpendapatan tinggi, yang dilahirkan di area kota.

10.3 Kebijakan Regional

Kebijakan-kebijakan ekonomi yang diimplementasikan pada tingkat regional sering dicoba, termasuk yang bertujuan untuk meningkatkan daya tarik wilayah-wilayah tertentu sebagai lokasi investasi. Didalam kenyataannya kebijakan-kebijakan regional

162

Page 173: e Book Regional

sering digunakan untuk meningkatkan daya tarik relatif wilayah-wilayah yang kurang terbangun. Dalam pengertian ini, kebijakan-kebijakan regional hampir sama dengan kebijakan peremajaan (Regeneration) perkotaan yang telah didiskusikan di atas. Bagaimanapun, kunci perbedaan diantara kebijakan regional dan kebijakan perkotaan terletak pada target untuk mengembalikan sektor-sektor industri, yang pada kebijakan regional cenderung sangat berbeda dibandingkan dengan kebijakan pada sekala kota. Sebagaimana diketahui, bahwa sektor-sektor industri dianggap sangat sensitif terhadap biaya sosial, dalam wilayah yang bersekala besar (regional), bukan pembangunan komplek-komplek perumahan dan properti seperti yang telah didiskusikan pada kebijakan pembangunan perkotaan. Sektor industri dimaksudkan meliputi sektor industri pengolahan dan sektor distribusi (perdagangan), beberapa sektor-sektor jasa komersial, sepanjang sektor-sektor tersebut cenderung menarik ke luar aktivitas ekonomi, jika tidak dikembangkan di dalam wilayah. Pada kebijakan regional dengan kebijakan perkotaan, untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan regional yang target-targetnya meliputi pengembangan institusi-institusi (kelembagaan) yang mengalami kemunduran-kemunduran, atau kebijakan yang menyangkut kerangka hukum untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal. Dampak-dampak pembangunan ekonomi lokal dari kebijakan regional dapat berbeda secara signifikan dengan dampak-dampak ekonomi dari kebijakan perkotaan pada perkembangan sektor-sektor dan wilayah-wilayah.

Gambar 10.8: Pengaruh-pengaruh Lingkungan Lokal dari Kebijakan Jalur Hijau (Greenbelt Policy)

Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam memilih ukuran (Size) dan pola ruang (Spacial Pattern) dari setiap pengaruh pembangunan yang bersifat lokal yang mungkin

rA

Sewa/m2Sewa/m2

rJ3 rK3

rA

J K

d2d4 d5d3

163

Page 174: e Book Regional

terjadi dari kebijakan regional. Pada waktu yang sama pada kebijakan regional meliputi pengadaan infrastruktur yang didanai publik (Pemerintah), yang terkait dengan biaya sosial marginal dari kebijakan regional, dibandingkan secara relatif dengan jika tidak diprakarsai kebijakan yang seperti itu. Oleh karena itu, dalam diskusi-diskusi berikut ini akan menggunakan dasar-dasar pendekatan analisis yang berbeda untuk menganalisis pengaruh-pengaruh kebijakan regional pada tingkat ekonomi mikro, kesejahteraan sosial, dan ekonomi makro.

10.3.1 Pengaruh Agregat Mikro Ekonomi dari Kebijakan Regional

Jenis-jenis kebijakan regional yang terbanyak dilakukan adalah kebijakan-kebijakan sisi penawaran, yaitu kebijakan-kebijakan yang mencoba meningkatkan kondisi lingkungan untuk investasi lokal, dengan cara meningkatkan mutu (kualitas) input-input produksi lokal. Berdasarkan fakta-fakta, kebijakan regional sisi penawaran cenderung memfokuskan perhatian pada input-input (faktor-faktor produksi) spesifik lokasi. Pada sebuah perekonomian antar wilayah yang spesifik, modal dan tenaga kerja merupakan faktor-faktor produksi bergerak, hanya faktor produksi bahan baku yang tidak dipengaruhi intervensi kebijakan, kebijakan regional difokuskan untuk meningkatkan mutu input-input dan berbagai macam infrastruktur, yang secara tidak langsung akan menurunkan biaya-biaya dari input-input lokal secara nyata. Alternatifnya, yang agak jarang dilakukan adalah kebijakan yang memfokuskan perhatian pada penurunan langsung biaya input-input lokal, seperti input lahan.

Didalam kasus kebijakan-kebijakan regional yang mencoba meningkatkan mutu input-input dan jenis infrastruktur lokal, fokus utamanya cenderung untuk meningkatkan infrastruktur transportasi lokal (Vickerman, 1991). Pengaruh yang diperkirakan diperoleh dari kebijakan tersebut yang utama adalah mengurangi biaya aksessibilitas ke wilayah yang menjadi objek penelitian. Oleh karena itu, peningkatan-peningkatan secara umum dilihat di dalam unsur-unsur strategis dari infrastruktur transportasi lokal, yang menghubungkan wilayah objek kajian tersebut ke bagian-bagian lain dari perekonomian antar wilayah. Ada dua kesimpulan dari pendekatan umum ini, yaitu: pertama adalah bahwa input-input transportasi dianggap sebagai input-input penting untuk hampir semua industri dan aktivitas-aktivitas komersial, baik barang maupun manusia yang memerlukan mobilitas. Dari prospektif fungsi produktif tersebut, peningkatan di dalam input-input infrastruktur transportasi tersebut akan dapat dipandang sebagai peningkatan teknologi regional. Oleh karena, peningkatan di dalam input-input transportasi tersebut akan meningkatkan total produktivitas faktor produksi dari hampir semua kegiatan industri lokal, yang memperdagangkan outputnya secara antar wilayah. Pertama-tama pengaruh yang diharapkan dari kebijakan regional yang seperti ini adalah untuk mendorong kegiatan industri-industri basis lokal yang sedang eksis, dengan peningkatan produktivitas lokal. Yang kedua, untuk industri-industri yang secara relatif bergerak, perbedaan-perbedaan biaya transpor secara spasial diyakini berpengaruh secara signifikan pada daya tarik menarik antar wilayah yang berbeda, dilihat dari lokasi-lokasi investasi. Jika dapat memperbaiki biaya-biaya transpor relatif dan aksessibilitas lokasi-lokasi, yang dapat mengurangi keterbelakangan wilayah, maka diperkirakan lebih lanjut akan mendapatkan migrasi investasi untuk mendorong perluasan industri-industri basis lokal melalui masuknya modal tambahan tersebut.

Kebijakan-kebijakan regional jenis ini diimplementasikan sebagian-sebagian atau keseluruhan wilayah melalui yang dibiayai dengan dana-dana sektor publik. Pendanaan dijamin untuk area-area yang dipilih sebagai calon-calon penerima pinjaman

164

Page 175: e Book Regional

keuangan regional. Bagaimanapun, apakah dengan atau tanpa kebijakan yang seperti itu tetap akan pengaruh lokal, yang pengaruhnya itu terkait dengan ketentuan-ketentuan, atau syarat-syarat infrastruktur transportasi di dalam dan antar wilayah, pada biaya transpor, pada harga dan penerimaan marginal dari perubahan-perubahan biaya transpor perusahaan-perusahaan domestik dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi antar wilayah. Sebagai contoh, program pembangunan yang diprakarsai di sebuah wilayah (daerah) tertentu secara umum akan mengurangi harga-harga dari semua output yang diproduksi di wilayah itu pada setiap lokasi. Kebijakan ini mengasumsikan berlakunya persaingan pasar yang luas, akan meningkatkan output-output wilayah secara keseluruhan, yang dijual di dua wilayah dan wilayah-wilayah lain. Peningkatan output pada sebagian perusahaan lokal yang sedang eksis dipengaruhi oleh: pertama kebijakan regional. Kedua, oleh pengaruh kebijakan regional yang ditujukan untuk mendorong immigrasi investasi perusahaan ke dalam wilayah. Ketiga, pengaruh yang menyebabkan terjadinya penurunan biaya transpor, yang memberikan kemungkinan meluasnya lokasi perumahan ke dalam sebuah wilayah, yang dilatarbelakangi oleh harga-harga lahan. Bagaimanapun, persaingan di pasar faktor produksi (pasar input) akan berimplikasi pada tabungan dari biaya transpor, yang akan segera diimbangi oleh harga-harga faktor produksi lokal, sebagai keuntungan tetap yang tidak dapat dipelihara oleh kebijakan ini. Apakah peningkatan infrastruktur transportasi akan mendorong perusahaan-perusahaan dari luar wilayah melakukan investasi di wilayah tersebut akan tergantung dalam hal apa perusahaan-perusahaan itu akan mendapatkan kemudahan input-input produksinya di wilayah itu.

Kita dapat menganalisis pengaruh-pengaruh potensial dari sebuah kebijakan tertentu, dengan membandingkan kesimpulan-kesimpulan argumentasinya. Seperti diketahui, pengaruh lokasi-lokasi perumahan pada biaya-biaya transpor di suatu wilayah tertentu tergantung pada kemungkinan perubahan lokasi produksi dari perusahaan-perusahaan tersebut. Kalau perusahaan-perusahaan memiliki kemungkinan subtitusi outputnya nol akan terbatas, penurunan-penurunan biaya transpor yang dilokalisasi akan diabsorbir keefisienannya ke dalam skedul-skedul biaya perusahaan, oleh pergerakan-pergerakan lebih lanjut area-area yang mampu menurunkan biaya transpornya secara relatif digabungkan dengan lokasi-lokasi yang lain. Kesimpulan ini adalah kesimpulan jenis kebijakan Klasik dari Weber. Dengan demikian, kebijakan regional akan berpengaruh nyata dan bertentangan dengan yang diharapkan. Sebagai alternatif, kalau perusahaan memiliki jarak yang jauh dari kemungkinan subtitusi, perusahaan-perusahaan akan sangat efisien dalam menyerap biaya transpor yang dilokalisasi dengan mensubtitusi antara kemudahan dan tingkat harga yang lebih rendah dari barang-barang yang dihasilkan di wilayah objek studi. Keadaan ini juga akan mendorong perusahaan bergerak ke area yang memiliki biaya transpor yang relatif rendah, dengan demikian kebijakan tersebut memiliki efek pengaruh dari peningkatan immigrasi perusahaan-perusahaan ke dalam area (wilayah) tersebut. Kesimpulan ini adalah kesimpulan jenis kebijakan regional yang klasik dari Moses, kesimpulan yang terus terpelihara dengan kebijakan regional yang objektif.

Berdasarkan diskusi di atas, bahwa pengaruh pembangunan regional lokal dari gagasan meningkatkan infrastruktur transpor regional juga agak berat dalam membuat prediksi-prediksi. Jika perusahaan-perusahaan dapat mensubtitusi diantara berbagai input dengan mudah dan adil secara nyata, maka penurunan biaya transpor akan mendorong persaingan pada semua wilayah sesuai dengan ketentuan model satu sektor. Tetapi jika subtitusi input tidak mudah, hasil prediksinya menjadi sangat kompleks.

165

Page 176: e Book Regional

Selanjutnya, peningkatan infrastruktur transportasi juga dapat me bertambah pengaruh-pengaruh regional yang dimiliki. Sebagaimana diketahui, biaya transpor yang over space di dalam bagian busur (bagian dari kurva permintaan) ada batas-batas tarifnya, akan melindungi perusahaan-perusahaan lokal yang rendah efisiensinya dari persaingan yang datang dari luar (Krugman, 1991). Pada biaya transpor yang direduksi oleh kebijakan peningkatan infrastruktur regional, ini berarti bahwa sebagian perusahaan lokal tidak akan bertahan lama. Krugman dan Venables (1990) memperlihatkan bahwa jika ekonomisasi aglomerasi dioperasikan di beberapa lokasi, efek negatif pada wilayah-wilayah tertinggal dapat menjadi target yang signifikan, sehubungan dengan merosotnya upah lokal dari persaingan secara umum. Dengan demikian, dampak spasial dari kebijakan pengembangan infrastruktur wilayah dan antar wilayah perlu dievaluasi dengan hati-hati.

10.3.2 Efek-efek Kesejahteraan dari Kebijakan RegionalDimana kebijakan regional didasarkan pada ketentuan investasi-investasi

transportasi lokal, kita dapat bertolak dari sebuah perspektif sosial, apakah sebuah skema pembangunan jalan dapat dipilih di perekonomian yang relatif peripheral (wilayah pedesaan di sekitar kota). Misalnya, sebuah kasus dimana ada sebuah wilayah pedesaan kecil di sekitar sebuah kota yang memiliki kepadatan penduduk dan terpencar-pencar. Di wilayah tersebut dibangun infrastruktur jalan bebas hambatan baru, yang secara signifikan akan mengurangi waktu perjalanan di antara wilayah pedesaan tersebut dengan kotanya. Berkurangnya waktu perjalanan tersebut akan menekan biaya transpor, dan dalam hubungannya dengan transportasi bisnis akan menyebabkan menurunnya biaya marginal (MC) semua output yang diproduksi dan dikonsumsi di wilayah tersebut. Bagaimanapun, penurunan MC terhadap semua output tersebut dibatasi oleh jumlah transaksi komersial yang terbatas, karena total jumlah penduduk wilayah (Region) tersebut relatif kecil. Pada sisi lain, jika infrastruktur jalan baru tersebut dibangun di sebuah wilayah yang luas dan padat penduduknya, yang infrastruktur jalannya telah relatif baik, penurunan waktu perjalanannya relatif kecil dari rata-rata waktu perjalanan antara wilayah pedesaan tersebut dengan kotanya, hanya akan menurunkan MC sedikit saja dari semua output yang diproduksi dan dikonsumsi di wilayah itu. Akibatnya adalah penurunan yang kecil saja pada MC tetapi pada sisi yang lain jumlah transaksi besar terhadap semua output yang diproduksi dan dikonsumsi di wilayah tersebut.

Untuk membandingkan dua kasus efek tersebut kita mengembangkan gambar 10.9, dengan cara itu efisiensi total dari perolehan kesejahteraan dari total jumlah transaksi wilayah padat penduduk TH dan wilayah jarang penduduk TL. Untuk tujuan penyederhanaan, diasumsikan bahwa biaya transpor semula yang dikombinasikan dengan jumlah transaksi di dalam wilayah C di kedua wilayah. Lalu, jika sekarang infrastruktur transportasi jalan baru dibangun di wilayah jarang penduduk akan terjadi penurunan yang besar pada MC, dikombinasikan dengan biaya transpor sekarang menjadi CL. Penurunan besar biaya transpor dan penurunan yang signifikan di dalam MC dari semua transaksi individual yang melampaui ruang wilayah, memiliki konsekwensi mendorong suatu peningkatan pada transaksi-transaksi bisnis lokal. Perolehan total kesejahteraan sosial ini dikombinasikan dengan kenaikan pada transaksi-transaksi bisnis diperlihatkan oleh kenaikan jumlah transaksi dari Q menjadi QL. Pada sisi lain, apabila infrastruktur trasportasi baru tidak dibangun di wilayah padat penduduk, penurunan MC dari transaksi-transaksi bisnis individual diperlihatkan oleh

166

Page 177: e Book Regional

penurunan C ke CH yang hanya kecil saja. Ini dikarenakan infrastruktur transportasi di wilayah tersebut sudah baik dan bersifat ektensif, karenanya potensi penurunan biaya transpor untuk setiap transaksi bisnis indiviaual diperoleh dari suatu jumlah transaksi yang besar. Karena itu, peningkatan di dalam total kesejahteraan sosial didorong oleh jatuhnya biaya transpor begitu luas, dan di dalam gambar 7.9 diperlihatkan oleh meningkatnya jumlah transaksi dari Q ke QH. Hasil ini merupakan manfaat dari penurunan MC dan pengembangan infrastruktur transportasi di suatu wilayah, yang di dalam kenyataan lebih tinggi di dalam wilayah yang luas dan kepadatan penduduknya tinggi (wilayah sentral) dari pada wilayah kecil dan penduduknya jarang.

Sebagai contoh indikasi-indikasi dari fenomena sebuah ekonomi masa depan bersama, di dalam buku-buku rujukan yang berpandangan ke bawah (kerakyatan), disebutkan bahwa dampak kesejahteraan dari campurtangan kebijakan publik tidak hanya di dalam aspek sosial, tetapi juga mencakup isu-isu tata-ruang yang akan menentukan ukuran dari dampak mutlaknya. Keberagaman dalam jarak, distribusi penduduk secara tata-ruang dan distribusi pasar-pasarnya akan menentukan dampak-dampak dari kesejahteraan dari prakarsa-prakarsa kebijakan publik yang berhati-hati itu. Perbedaan-perbedaan lokasi prakarsa-prakarsa kebijakan diantara ruang-ruang, akan menghasilkan distribusi kesejahteraan di antara ruang, dan juga perbedaan ukuran absolut dari dampak kesejahteraan.

Gambar 10.9: Efek-efek Efisiensi Kesejahteraan dari Infrastruktur Regional

Pola-pola yang melatarbelakangi kesejahteraan sosial, misalnya pembenaran terhadap sejumlah pertanyaan terhadap sebagian kebijakan regional, karena walaupun infrastruktur jalan raya secara signifikan meningkatkan kondisi kesejahteraan ekonomi perekonomian di daerah peripheral yang jarang penduduknya, jika program-program pembagunan di wilayah peripheral secara nyata telah dimulai, pembenaran terhadap kebijakan yang seperti itu hanya dapat diperoleh dari utamanya pada dasar-dasar politik dan sosial, biayanya pada ekonomi lapisan bawah. Pada sisi lain, kita dapat melihat bahwa biaya relatif dari ketentuan-ketentuan infrastruktur jalan jauh lebih rendah di dalam ekonomisasi wilayah peripheral sehubungan dengan kewajiban-kewajiban yang

TH

TL

CH

CL

Q QL QH

C

C (Biaya Transpor)

TLTH

QL (Jumlah Output)

167

Page 178: e Book Regional

lebih rendah, sewa lahan, dan upah yang lebih rendah. Dengan cara yang sama, pengaruh-pengaruh kemacetan di wilayah-wilayah yang padat penduduk dapat mengurangi manfaat potensial biaya sosial di wilayah padat penduduk dalam jangka panjang, dan manfaat-manfaat dari skema yang digunakan dapat mengindikasikan bahwa perolehan-perolehan kesejahteraan sosial lebih besar di peripheral dari pada di pusat wilayah. Sebagai tambahan, efek-efek pertumbuhan yang dilokalisasi diusahan didorong di wilayah-wilayah peripheral dengan ketentuan-ketentuan (sifat-sifat) yang ada pada infrastruktur publik, perolehan-perolehan kesejahteraan dikombinasikan dengan kebijakan regional mungkin sangat signifikan. Didalam situasi ini, kurva-kurva biaya kesejahteraan yang dilukiskan di gambar 10.9 akan dikembalikan, dengan kurva-kurva kesejahteraan sosial untuk wilayah peripheral menjadi amat terbatas, mengingat bahwa untuk wilayah peripheral relatif landai. Ini adalah evaluasi sosial analisis biaya manfaat dari seluruh potensi ekonomi dan dampak-dampak lingkungan dari kebijakan (Sossone dan Schaffer, 1978, Pearce dan Nash 1981, Layard dan Glaister 1994). Argumentasi yang sama dipegang untuk kebijakan regional yang didasarkan secara langsung atau tidak langsung pada mensubsidi investasi-investasi migrasi ke dalam wilayah melalui penurunan-penurunan harga lahan, atau potongan-potongan pajak lokal (Swales 1997). Geografi memainkan sebuah prosedur di dalam menentukan kedua ukuran absolut dan substitusi spasial dari dampak-dampak ekonomi dari prakarsa-prakarsa kebijakan publik . Oleh karena itu, dampak-dampak dari kebijakan-kebijakan regional perlu dievaluasi secara hati-hati dengan dasar spasial yang sifatnya abstrak (di dalam pikiran) secara tidak langsung.

10.3.3 Efek-efek Ekonomi Makro dari Kebijakan Regional.Sebagaimana halnya kita mendasarkan kebijakan regional masing-masing

kepada perpektif ekonomi mikro agregat dan kesejahteraan sosial, kita dapat juga mendasarkannya secara rasional kebijakan regional tersebut kepada perpektif ekonomi makro. Pada diskusi-diskusi sebelumnya telah meyakinkan kita bahwa pada tingkat bunga umum mungkin tingkat investasi regional tidak cukup untuk mengatasi semua pengangguran pada tingkat lokal. Untuk sebuah model analisis ekonomi makro yang tidak begitu terbuka, tingkat bunga di dalam bagian-bagian wilayah ditentukan oleh tekanan-tekanan permintaan di wilayah-wilayah yang netral. Di wilayah-wilayah yang berkesempatan kerja penuh, upah-upah dan sewa-sewa lahan nominal lokalnya tinggi. Persatuan buruh lokal dan kekurangan penawaran akan membuat kondisi tersebut berkelanjutan, menjadi sebuah sumber potensial bagi terbentuknya tekanan inflasi pada perekonomian regional lokal tersebut, dan tidak memungkinkan memperluas produksi sebelum tingkat kesempatan kerja penuh. Karenanya, untuk menghindari inflasi lokal permintaan regional lokal tidak boleh diperluas sebelum kesempatan kerja penuh. Ketentuan ini juga membatasi perluasan terhadap permintaan di dalam wilayah-wilayah lain yang dapat tumbuh dari aplikasi kebijakan regional, seperti yang diperlihatkan oleh gambar 10.10.

Di dalam gambar 10.10. kita membandingkan kasus dua wilayah A dan B, dimana wilayah A adalah wilayah yang relatif tidak bermasalah dengan kesempatan kerja penuh, dan wilayah B merupakan sebuah wilayah tertinggal dengan disertai pengangguran terpaksa. Kita dapat mendasarkan kasus wilayah A yang digambarkan di dalam empat kuadran sisi atas gambar 10.10. Di dalam kuadran kanan atas diperlihatkan bahwa tingkat pendapatan wilayah adalah YAI. Sebagaimana yang diperlihatkan di dalam kuadran kiri atas, tingkat permintaan agregat regional memerlukan input-input

168

Page 179: e Book Regional

Gambar 10.10 Efek-efek Ekonomi Makro Kebijakan Regional

YA

Willayah A

LB

ADA ADA

ADB ADB

ADA

2

ADB

3

P

PYB1 YB2YB3P*

YB1 YB3YB2

i* i*

LBF LB2 LB1

ISB1

ISB2ISB3

ADB

2ADB

1

i* i*

PP*

ISA2

ISA1

LMA

YA2YA1

YA2YA1LA1LAF

i i

ADA

1

ii

Willayah B

169

Page 180: e Book Regional

tenaga kerja, yang menjamin tingkat kesempatan kerja penuh pada LFA. Pada tingkat bunga tertentu i*, yang menjamin harga pada tingkat P*, tingkat permintaan tenaga kerja penuh wilayah adalah YAI, yang ditentukan oleh skedul investasi lokal regional ISA. Dengan kata lain, kesempatan kerja penuh dipertahankan di wilayah yang relatif tidak bermasalah, tanpa menimbulkan inflasi lokal. Pada sisi lain, pada tingkat bunga umum i*, di wilayah B, untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja penuh dan pendapatan lokal YB3 dan hanya mendapatkan tingkat pendapatan regional YB1. Tingkat pendapatan regional yang lebih rendah ini hanya memerlukan input-input buruh LB1, seperti halnya tingkat pengangguran lokal regional yang diperlihatkan oleh (LBF – LB1). Pengangguran di wilayah tertinggal B terus berlanjut karena pada tingkat bunga umum i*, tingkat investasi lokal tidak memungkinkan terjadinya arus migrasi investasi, untuk keseimbangan pasar buruh lokal, bila arus migrasi antar wilayah tidak cukup untuk menyeimbangkan pasar buruh lokal regional, dan tingkat bunga tidak dapat diturunkan di bawah i* keadaan tersebut akan bertahan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

Sampai dengan kesimpulan ini, kita harus mendasari tingkat bunga ditetapkan dan dipertahankan pada tingkat i*. Ini salah satu kekhususan saling terbuka dan terkaitnya perekonomian antar wilayah, bahwa meningkatnya harga di sebuah wilayah dapat merambat begitu cepat ke wilayah yang lain. Di dalam kasus sebuah perekonomian nasional dimana sebuah wilayah yang relatif tidak bermasalah (relatif maju) tidak mungkin terjadi kondisi kekurangan penawaran lokal, otoritas moneter nasional dapat menetapkan tingkat bunga nasional tertentu agar wilayah tersebut segera terhindar dari kelebihan tenaga kerja lokal dan harga lahan di wilayah maju. Kesimpulannya, bahwa otoritas moneter khawatir akan tingkat bunga yang rendah tersebut yang akan menyebabkan inflasi lokal di wilayah A, yang biasanya akan menjalar ke wilayah-wilayah nasional yang lain.

Walaupun tingkat kesempatan kerja yang meningkat akan memberikan manfaat kepada wilayah-wilayah tertinggal, di dalam investasi lokal dan tingkat bunga yang menurun. Selain itu, pada kasus yang tidak memperhitungkan gangguan siklus bisnis, yang kadang-kadang dialami perekonomian nasional. Karenanya, wilayah maju secara konsisten bertindak sebagai wilayah “botle neck” dan rendahnya tingkat pendapatan di wilayah-wilayah tertinggal. Di dalam sistem ekonomi regional tertentu, pengangguran di wilayah tertinggal memelihara stabilitas harga-harga di wilayah A yang tidak terganggu, dan tercapainya stabilitas harga-harga secara nasional. Dengan kata lain, akan tetap ada suatu kondisi yang tidak hanya berbeda dalam permintaan individual lokal regional dan kondisi perbedaan kesempatan kerja sebagai bagian dari hasil-hasil kebijakan ekonomi, tetapi pada waktu yang sama kebijakan ekonomi makro menghasilkan kondisi yang berbeda-beda di antara bagian-bagiannya, di dalam kondisi permintaan dan penawaran nasional.

Di dalam kondisi dimana tindakan-tindakan wilayah-wilayah maju merupakan botle neck regional, kebijakan regional memiliki prosedur yang dapat dimainkan untuk memberikan harapan bagi pertumbuhan dan kesempatan kerja di wilayah maju dan tertinggal, tanpa terjadinya tekanan-tekanan inflasi. Untuk memahami logika alasan-alasan di atas kita harus membandingkan kondisi tenaga kerja lokal di dalam dua wilayah. Seperti yang dilihat pada gambar 10.10, investasi lokal yang umum, dan kondisi-kondisi permintaan tenaga kerja di wilayah-wilayah tertinggal dikendalikan oleh keterbatasan-keterbatasan faktor penawaran dan tekanan inflasi di wilayah maju. Bagaimanapun, kebijakan regional sebagai sesuatu yang dapat memberikan harapan terhadap perbedaan-perbedaan permintaan pendapatan regional lokal dari YB1 ke YB2,

170

Page 181: e Book Regional

dan selanjutnya akan meningkatkan permintaan agregat wilayah tersebut dari ADB1 ke ADB2 akan mendorong peningkatan kesempatan kerja buruh lokal dari LB1 ke LB2. Menurunnya tingkat pengangguran lokal untuk jangka pendek disebabkan oleh penyebaran investasi ke wilayah maju, yang diperlihatkan oleh (LBF – LB2) dan dalam kenyataannya sama dengan penurunan kesempatan kerja lokal jangka pendek (LFA – LA2) di wilayah A. Wilayah B lebih banyak menerima dampak ketimbang ke wilayah A, dan dari ekspektasi perusahaan-perusahaan yang ada menyangkut fasilitas-pasilitas mereka akan lebih memilih wilayah B ketimbang wilayah A (wilayah maju) ke wilayah B (wilayah tertinggal). Manifestasi migrasi perusahaan-perusahaan ini, dimana perusahaan-perusahaan baru akan lebih memilih bermigrasi ke di wilayah maju A dari pada ke wilayah tertinggal B. Tujuan kebijakan regional tersebut, seperti halnya ketentuan-ketentuan tentang infrastruktur dan subsidi-subsidi Real Estate di wilayah tertinggal, yang dalam perluasannya kadang-kadang dapat diaplikasikan pada kedua-duanya di dalam aspek perencanaan tata-guna lahan di wilayah maju A, dapat memberikan pengaruh melalui ketentuan arus investasi yang mengalir dari wilayah A.

Efek penyebaran investasi ini dapat diperlihatkan melalui !0.10 dengan pengurangan pada arus investasi lokal di wilayah A pada tingkat bunga umum i* dari ISA1 ke ISA2 dan suatu perluasan pada arus investasi lokal di wilayah B pada tingkat bunga umum i* dari ISB1 ke ISB2. Penurunan investasi di wilayah A akan bergerak ke suatu penurunan pada pendapatan lokal regional yaitu dari YA1 Ke YA2, dan sebagai akibatnya akan terjadi penurunan selanjutnya pada permintaan agregat dari ADA1 ke ADA2 akan bergeser ke suatu penurunan kesempatan kerja lokal dari tingkat kesempatan kerja regional penuh LAF ke tingkat kesempatan kerja yang lebih rendah LA1. Kesempatan kerja lokal jangka pendek menurun yang disebabkan oleh penyebaran investasi jalan dari wilayah maju yang diperlihatkan oleh (LAF – LA2). Bagaimanapun, peningkatan investasi lokal di wilayah B, dikombinasikan dengan kebijakan regional, akan menyebarkan efek peningkatan. Dalam keadaan yang seperti itu, tingkat harga pasar lokal di wilayah A akan mengalami perubahan sehubungan dengan penurunan investasi di wilayah tersebut, atau adanya perluasan investasi di wilayah B. Selain itu, peningkatan permintaan agregat di kedua wilayah sekarang diperlukan untuk memperluas output agar tidak timbul inflasi di wilayah A. Di wilayah A permintaan regional agregat dimungkinkan untuk ditingkatkan ke tingkat ADA1, yang telah tercapai sebelum kebijakan regional diaplikasikan. Pada tingkat permintaan regional agregat ini wilayah A akan berada pada pendapatan full employment lokal LAF, dan tingkat bunga umum i*, serta menjamin stabilitas harga pada P*. Dengan cara yang sama, di wilayah B permintaan regional agregat dimungkinkan terjadinya perluasan dari ADB2 ke ADB3. Pada tingkat ini permintaan regional agregat wilayah B akan menghasilkan pendapatan pada kesempatan kerja penuh lokal, investasi, dan tingkat permintaan terhadap buruh masing-masing YB3, ISB3, dan IFB, pada tingkat bunga umum i*, yang menjamin stabilitas harga pada P di wilayah A.Peningkatan positif ekonomi makro ini berpengaruh kepada kedua wilayah melalui kompensasi penyebaran efek negatif di wilayah A yang maju, dan mula-mula kepada penyebaran efek positif di wilayah tertinggal B. Dengan kata lain, penyebaran investasi yang dikombinasikan dengan kebijakan regional, memberi kemungkinan bahwa pendapatan regional dan permintaan agregat di kedua wilayah dapat dipertahankan pada tingkat yang menjamin tingkat kesempatan kerja penuh lokal di kedua wilayah tanpa menimbulkan inflasi di wilayah bottle neck (wilayah maju). Karena itu, prosedur kebijakan regional juga dimaksudkan untuk meniadakan bottle neck di banyak wilayah,

171

Page 182: e Book Regional

dikombinasikan dengan perbedaan investasi regional dengan keadaan tingkat bunga bersama lintas wilayah (yang prosedurnya ditetapkan oleh otoritas moneter nasional) terutama untuk merespon kondisi permintaan di wilayah maju. Oleh karena itu, kalau maksud dari kebijakan regional untuk menyebarkan efek-efek sebagaimana yang dikemukan sebelumnya, termasuk efek bagi peningkatan ekonomi makro di masing-masing wilayah, yang memungkinkan peningkatan permintaan agregat, terjaminnya kesempatan kerja penuh di kedua jenis wilayah tersebut, haruslah dipelihara di bawah suatu regim moneter ekonomi makro yang stabil.

10.4 Kesimpulan

Di dalam bab ini kita telah mendiskusikan berbagai jenis gagasan kebijakan, sesuai dengan luasnya pengertian judul “kebijakan wilayah dan kota”. Kita telah melihat, perbedaan umum diantara kebijakan-kebijakan perkotaan (Urban Policy) dan kebijakan wilayah (Regional Policy) terletak pada sekala ruang (Spasial Scale), dimana dengan kebijakan-kebijakan tersebut ingin didapatkan efek-efek tertentu dari masing-masing jenis kebijakan yang sesuai dengan tujuan dan sekala ruang dari objek kebijakan itu sendiri. Dampak-dampak yang diharapkan dari kebijakan perkotaan diperhitungkan untuk mempengaruhi wilayah-wilayah perkotaan, atau sub-sub wilayah perkotaan, yang sekala ruangnya lebih kecil dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan regional. Perbedaan sekala ruang tersebut juga meliputi jenis dan kriteria kebijakan, dengan demikian pada waktu mengevaluasinya juga berbeda. Untuk kasus kebijakan perkotaan, maka isu dominan yang akan menentukan adalah sesuai tidaknya suatu kebijakan yang diimplementasikan itu dengan sifat-sifat lingkungan lokal pada tingkat sub-wilayah kota (Suburban). Catatan: yang dimaksud dengan lingkungan di sini dihubungkan dengan pembangunan lingkungan fisik dan sosial lokal, serta implementasi kebijakan umum, termasuk pengadaan dan perubahan-perubahan kerangka kerja kelembangaan untuk pasar real-estat lokal yang dioperasikan. Semua kebijakan perkotaan yang seperti itu memiliki dampak kesejahteraan yang dapat diwujudkan dari perubahan-perubahan berbagai dampak kesejahteraan yang dapat meningkat pada berbagai kelompok pendapatan. Oleh karena itu, kebijakan perkotaan memiliki efek yang dapat mendistribusikan kesejahteraan. Sarjana-sarjana ekonomi perkotaan dan wilayah dapat mengevaluasi sejauh mana manfaat kebijakan-kebijakan tersebut dapat diambil berdasarkan sebuah penaksiran efek distribusinya.

Kebijakan regional, pada sisi lain, secara simultan keduanya difokuskan pada harapan pertumbuhan investasi regional dari dalam dan juga pada daya tarik investasi migran baru dari luar wilayah. Sejauh ini pendekatan yang terakhir yang banyak menjadi perhatian, kebijakan-kebijakan tersebut cenderung dioperasikan melebihi batas-batas wilayah yang lebih luas, melebihi sekala ruang kebijakan perkotaan. Fokus kebijakan-kebijakan regional cederung kepada ingin memperoleh manfaat dari pembangunan infrastruktur lokal dan wilayah, serta dalam beberapa kasus juga cenderung mensubsidi input-input real-estate lokal. Sebagaimana halnya dengan kebijakan perkotaan, kebijakan regional juga akan memiliki dampak kesejateraan sosial, ukuran dan distribusi spasialnya akan tergantung pada ketertarikan perusahaan-perusahaan migran terhadap prakarsa kebijakan regional tersebut. Kebanyakan kebijakan regional dapat juga mendorong efisiensi, di dalam situasi dimana inflasi sangat peka terhadap penawaran lokal agregat di setiap wilayah. Kelayakan ekonomi bagi kebijakan tertentu, bagaimanapun, haruslah yang utama. Ketidakbebasan pasar

172

Page 183: e Book Regional

dirasakan sebagai ketidakkonsistenan, yang dapat mencegah efisiensi, menghalangi koreksi harga yang berdasarkan mekanisme pasar, membatasi mobilitas faktor-faktor produksi antar wilayah.

173

Page 184: e Book Regional

BAB XIKEBIJAKAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

DAERAH DI INDONESIA

11.1. Pendahuluan

Masalah keuangan daerah merupakan bagian yang penting dalam masalah Pembangunan Daerah. Di masa Orde Baru (Masa Repelita) masalah otonomi dan keuangan daerah diatur dengan UU Otonomi Daerah, yaitu UU No. 5 tahun 1974. UU ini mempunyai masa berlakunya yang relatif cukup lama, yaitu sekitar 26 tahun. Setelah memasuki periode Reformasi, dimana semangat desentralisisi dan dekonsentrasi mewarnai kehidupan politik di Indonesia, UU tersebut diganti dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang keuangan daerah, yang diberlakukan sejak tahun 2001. Kedua UU yang mengatur otonomi dan keuangan daerah ini tidak bertahan lama, karena tahun 2004 kedua UU ini diganti lagi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Keuangan Daerah. UU no. 5 tahun 1974 membedakan pengeluaran atas Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan, sedangakan pada UU NO. 32 tahun 2004 tidak dibedakan. Dari sisi penerimaan juga ada perbedaan diantara kedua UU tersebut, yaitu pada nama sebagian pos penerimaan. Jumlah pos penerimaan daerah juga menjadi lebih banyak, demikian pula dalam kewenangan pemungutan, dan dalam nilai penerimaan.

Dari sudut teori ekonomi memang tidak berbeda antara belanja rutin dengan belanja pembangunan, karena sama-sama pengeluaran tersebut akan menimbulkan penerimaan dan multiplier ekonomi di daerah. Walaupun dipisah, jika belanja tersebut tidak menimbulkan belanja dan penerimaan di daerah tidak akan menimbulkan kegiatan dan multiplier ekonomi di daerah.

Dari sudut perencanaan pembangunan daerah belanja pemerintah di daerah penting, terutama yang menyangkut pengembangan infrastruktur dan pelayanan di daerah. Infrastruktur dan pelayanan daerah merupakan langkah awal untuk menarik investasi sektor swasta ke suatu daerah. Inilah yang dimaksud dengan belanja pembangunan di dalam UU otonomi daerah pada masa orde baru (UU no.5 tahun 1974). Di dalam UU Otonomi yang berlaku sekarang ini belanja APBD diarahkan sesuai dengan kebijakan nasional, yaitu kepada peningkatan mutu pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Jika ingin mengetahui berapa % yang mengalir ke pembangunan infrastruktur dan meningkatkan pelayanan setiap tahun perlu dipilah dan dihitung terlebih dahulu. Tentu saja, mengalirnya investasi sektor swasta ke suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh kondisi infrastruktur dan pelayanan yang baik, juga oleh sejumlah faktor lain yang ikut menentukannya, misalnya sumberdaya alam, sumberdaya manusia, akses pasar, keterkaitan industri, dan lain sebagainya.

Sebagai gambarannya, pada paragraf kedua akan dijelaskan tentang system keuangan daerah yang berlaku saat ini, hanya pokok-pokoknya sebagaimana yang tercantum dalam UU no. 32/2004, sedangkan detilnya ada dalam UU no. 33 tahun 2004.

11.2. Keuangan Daerah

Perencanaan daerah akan mengikuti kebijakan perencanaan pusat. Demikian pula halnya keuangan daerah, akan mengikuti kebijakan keuangan pemerintah pusat. Kebijakan tersebut diwujudkan dalam bentuk alat-alat (instruments) kebijakan, yang

174

Page 185: e Book Regional

berbentuk UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan sebagainya. UU tentang keuangan daerah (UU no. 33 tahun 2004) mengikuti UU tentang Otonomi Daerah (UU no. 32 tahun 2004) yang berlaku sekarang ini. Undang-undang tersebut masih memisahkan antara administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dari administrasi pendanaan yang menjadi urusan pemerintah pusat di daerah.

Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan di daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya itu, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan daerah kepada pejabat perangkat daerah. Pelimpahan sebagian atau seluruh kewenangan tersebut didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima/mengeluarkan uang.

11.2.1 Pendapatan DaerahSumber-sumber pendapatan daerah terdiri atas:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi:hasil pajak daerah;hasil retribusi daerahhasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; danlain-lain PAD yang sah.

2. dana perimbangan; dan3. lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan UU, yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Daerah (Perda). Pemda dilarang melakukan pungutan di luar yang telah diatur UU.

2. Dana perimbangan terdiri atas:2.1 dana bagi hasil;2.2 dana alokasi umum (DAU), dan2.3 dana alokasi khusus (DAK)

Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari:

PBB sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan.Bea perolehan atas hak tanah dan bangunan (BPHTB) sektor pedesaan,

pertambangan, serta kehutanan.Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, pasal 25, dan pasal 29 wajib pajak orang

pribadi dalam negeri.Dana bagi hasil yang bersumber dari SDA berasal dari:Penerimaan kehutanan yang berasal dari hak pengusahaan hutan (IHPH), provisi

SDA hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan dari wilayah (daerah) yang bersangkutan;

Penerimaan pertambangan umum yang berasal dari penerimaan tetap (Landrent) dan penerimaan iuran eksploitasi (Royalty) yang dihasilkan dari wilayah atau daerah yang bersangkutan;

Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional yang dihasilkan dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan;

Penerimaan pertambangan minyak yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan;

175

Page 186: e Book Regional

Penerimaan pertambangan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan;

Penerimaan pertambangan panas bumi yang berasal dari penerimaan setoran bagian Pemerintah, iuran tetap dan iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan

Daerah penghasil SDA yang menerima Dana Bagi Hasil dari SDA ditetapkan oleh Mendagri. Dasar perhitungan bagian daerah penghasil ditetapkan menteri teknis terkait setelah memperoleh pertimbangan Mendagri. Pelaksanaan dana bagi hasil ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

11.2.2 DAU dan DAKDAU dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri

netto yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan penghitungannya ditetapkan sesuai dengan UU.

DAK dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk: (a) mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar prioritas nasional; (b) mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Penyusunan kegiatan khusus yang ditentukan oleh Pemerintah dikoordinasikan oleh Gubernur. Penyusunan kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu dilakukan setelah dikoordinasikan oleh daerah yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut DAK diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pedoman penggunaan, supervisi, monitoring, dan evaluasi atas dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil sumberdaya alam, DAU, dan DAK diatur peraturan Mendagri. Pengaturan lebih lanjut mengenai pembagian dana perimbangan ditetapkan dalam UU tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

11.2.3 Lain-lain Pendapatan Daerah Yang SahMerupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang

meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah. Hibah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri. Pendapatan dana darurat merupakan bantuan Pemerintah dari APBN kepada pemerintah daerah untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan peristiwa tertentu yang tidak dapat ditanggulangi APBD.

Keadaan yang dapat digolongkan sebagai peristiwa tertentu ditetapkan dengan peraturan Presiden. Besarnya alokasi dana darurat ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan Mendagri dan Menteri Teknis terkait. Tata cara pengelolaan dan pertanggungjawaban penggunaan dana darurat diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pemerintah dapat mengalokasikan dana darurat kepada daerah yang dinyatakan mengalami krisis keuangan daerah, yang tidak mampu diatasi sendiri, sehingga mengancam keberadaannya sebagai daerah otonom. Tata cara pengajuan permohonan, evaluasi oleh Pemerintah, dan pengalokasian dana darurat diatur dalam Peraturan Pemerintah.

176

Page 187: e Book Regional

11.3 Belanja Daerah

Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah, yaitu: melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan keamanan nasional, serta keutuhan NKRI;

1. meningkatkan kehidupan demokrasi;2. mengembangkan kualitas kehidupan masyarakat;3. mewujudkan keadilan dan pemerataan;4. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;5. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;6. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;7. mengembangkan sistem jaminan sosial;8. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;9. mengembangkan sumberdaya produktif di daerah;10. melestarikan lingkungan hidup;11. mengelola administrasi kependudukan;12. melestarikan nilai sosial budaya;13. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai

dengan kewenangannya; dan kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Belannja daerah mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolak ukur kinerja dan standard pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

11.3.1 Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala DaerahBelanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam Perda yang

berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Belanja Pimpinan dan Anggota DPRD diatur dalam Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat. Pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi daerah untuk membiayai investasi yang menghasilkan penerimaan daerah.

Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah setelah memperoleh pertimbangan Mendagri. Perjanjian penerusan pinjaman dilakukan, antara Menku dan Kepala Daerah.

11.3.2 Pinjaman DaerahKetentuan mengenai pinjaman daerah dan obligasi daerah diatur dengan

Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah sekurang-kurangnya mengatur tentang:1. persyaratan bagi pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman.2. penganggaran kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo dalam

APBD.

177

Page 188: e Book Regional

Pengenaan sanksi dalam hal pemerintah daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjaman kepada Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga perbankan, serta lembaga keuangan bukan bank dan masyarakat.

Tata cara pelaporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman setiap semester dalam tahun anggaran berjalan.

Persyaratan penerbitan obligasi daerah, pembayaran bunga dan pokok obligasi.Pengelolaan obligasi daerah yang mencakup pengendalian risiko, penjualan dan

pembelian obligasi, pelunasan dan penganggaran dalam APBD.Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna membiayai kebutuhan

tertentu yang dananya tidak dapat disediakan dalam satu tahun anggaran. Peraturan tentang dana cadangan daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah sekurang-kurangnya mengatur persyaratan pembentukan dana cadangan, serta pengelolaan dan pertanggungjawabannya.

Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu badan usaha milik Pemerintah dan/atau milik swasta. Penyertaan modal tersebut dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dialihkan kepada badan usaha milik daerah. Penyertaan modal tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

11.4 Surplus dan Defisit APBD

Dalam hal APBD diperkirakan surplus, penggunaannya ditetapkan dalam Perda tentang APBD. Surplus tersebut dapat digunakan untuk:

1. pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo;2. penyertaan modal (investasi daerah)3. transfer ke rekening dana cadangan.

Dalam hal APBD diperkirakan defisit, dapat didanai dari sumber pembiayaan daerah yang ditetapkan dalam Perda tentang APBD. Pembiayaan daerah tersebut bersumber dari:

1. sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu;2. transfer dari dana cadangan;3. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan4. pinjaman daerah.

Mendagri melakukan pengendalian defisit anggaran setiap daerah. Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi surplus/defisit APBD kepada Mendagri dan Menku setiap semester dalam tahun anggaran berjalan. Dalam hal pemerintah daerah tidak memenuhi kewajiban “wajib melaporkan” Pemerintah dapat melakukan penundaan atas penyaluran dana perimbangan.

11.5 Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi

Pemda dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat memberikan insentif/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam Perda dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

178

Page 189: e Book Regional

11.6 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Pemda dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan pemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

11.7 Pengelolaan Barang Daerah

Barang milik daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat dijual, diserahkan haknya kepada pihak lain, dijadikan tanggungan, atau digadaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Barang milik daerah dapat dihapus dari daftar inventaris untuk dijual, dihibahkan, dan/atau dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pengadaan barang dilaksanakan sesuai dengan kemampuan keuangan dan kebutuhan daerah berdasarkan prinsip efisiensi, efektivitas, dan transfaransi dengan mengutamakan produk dalam negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan penghapusan dilakukan berdasarkan kebutuhan daerah, mutu barang, usia pakai, dan nilai ekonomis yang dilakukan secara transfaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

11.8 APBD Dasar Pengelolaan Keuangan Daerah

APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah selama satu tahun anggaran, dihitung mulai 1 Januari s/d 31 Desember.

Kepala daerah dalam menyusun rencana APBD menetapkan prioritas dan plafon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah. Berdasarkan prioritas dan plafon anggaran, kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana kerja dan satuan kerja perangkat daerah dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah disampaikan kepada penjabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD tahun berikutnya.

Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Rancangan Perda dibahas Pemda bersama DPRD berdasarkan kebijakan umum APBD serta prioritas dalam plafon anggaran. Pengambilan keputusan DPRD untuk menyusun rancangan Perda dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Atas dasar persetujuan DPRD, kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD dan rancangan dokumen pelaksanaan anggran satuan kerja perangkat daerah.

Tata cara penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah serta tata cara penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah diatur dalam Perda yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

11.8.1 Perubahan APBD Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi:Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit

organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja; dan sebagainya.

179

Page 190: e Book Regional

Keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan.

Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perda tentang perubahan APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD. Pengambilan keputusan mengenai rancangan Perda tentang perubahan APBD dilakukan oleh DPRD paling lambat tiga bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.

11.8.2 Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDKepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan keuangan tersebut sekurang-kurangnya meliputi laporan realisasi APBD, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan badan usaha milik daerah. Laporan keuangan tersebut disusun dan disajikan sesuai dengan akuntansi pemerintahan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

11.8.3 Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Tentang APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD.

Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujuai bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat tiga hari disampaikan kepada Mendagri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan oleh Mendagri kepada Gubernur paling lambat 15 hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. Apabila Mendagri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur. Apabila Mendagri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancanagan Peraturan Gubernur, Mendagri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.

Rancangan Perda tentang Kabupaten/Kota mengenai APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama tiga hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lama 15 hari terhitung sejak diterimanya rancangan Perda tentang kabupaten/kota dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD tersebut. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sudah sesujai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

180

Page 191: e Book Regional

Bupati/Walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama tujuh hari sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota, Gubernur membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya. Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang peraturan APBD kepada Mendagri.

Apabila DPRD sampai dengan batas waktu tertentu tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala daerah melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan yang disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD. Rancangan kepala daerah tersebut dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Mendagri bagi provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota. Untuk memperoleh pengesahan tersebut, rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD beserta lampirannya disampaikan paling lambat 15 hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan Perda tentang APBD. Apabila dalam batas waktu 30 hari Mendagri dan Gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala daerah, kepala daerah menetapkan rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala daerah.

Proses penetapan rancangan Perda tentang Perubahan APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran Perubahan APBD menjadi Perda dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan tertentu. Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda, berlaku pasal yang berkenaan, dengan ketentuan untuk pajak daerah dan retribusi daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menkeu, dan untuk tata ruang dengan menteri yang membidangi tata ruang. Peraturan kepala daerah tentang Penjabaran APBD dan peraturan kepala daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD dijadikan dasar penetapan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah. Dalam rangka evaluasi pengelolaan keuangan daerah dikembangkan sistem informasi keuangan daerah yang menjadi satu kesatuan dengan sistem informasi pemerintah daerah.

11.9 Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah

Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah. Untuk setiap pengeluaran atas beban APBD, diterbitkan surat keputusan obligasi oleh kepala daerah atau surat keputusan lain yang berlaku sebagai surat keputusan otorisasi. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja daerah jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam APBD, Kepala daerah, wakil kepala daerah, pimpinan DPRD, dan pejabat daerah lainnya, dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.

Uang milik pemerintah daerah yang sementara waktu belum digunakan dapat didepositokan dan/atau diinvestasikan dalam investasi jangka pendek sepanjang tidak mengganggu likuiditas keuangan daerah. Bunga deposito, bunga atas penempatan uang

181

Page 192: e Book Regional

di bank, jasa giro, dan/atau bunga atas investasi jangka pendek merupakan pendapatan daerah. Kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan peraturan tentang:

1. penghapusan tagihan daerah, sebagian atau seluruhnya; dan2. penyelesaian masalah Perdata.

Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

11.10. Tidak Seluruh Pembiayaan Infrastruktur dan Pelayanan Harus Dibiayai Pemerintah Daerah

Sebenarnya tidak semua biaya pengembangan infrastruktur dan pelayanan harus dibiayai oleh pemerintah/pemerintah daerah sendiri. Jika harus oleh pemerintah daerah sendiri tentu akan besar sekali pajak yang harus dibebankan kepada masyarakat, atau DAU, DAK dan lain-lain sumber penerimaan yang bersumber dari Pemerintah Pusat.

Sebagian dari biaya infrastruktur dan pelayanan dapat dibebankan kepada konsumen sendiri dengan cara memasukkan biaya tersebut ke dalam komoditi yang dibeli oleh masyarakat melalui sistem hipotik. Sebagai contoh, jika orang membeli rumah maka infrastruktur dan pelayanan yang diperlukan oleh calon penghuni perumahan sudah termasuk kedalam harga rumah. Kebijakan dalam pengembangan lahan dan pembangunan kompleks-kompleks perumahan harus diatur dan diberlakukan secara pasti. Para developer real estat harus pula menaatinya. Banyak infrastruktur dan pelayanan yang dapat dibebankan pembiayaannya kepada konsumen tanpa banyak kesulitan. Persyaratannya Peraturan (Law Inforcement) harus diberlakukan secara tegas (tanpa ulur tarik). Pemerintah daerah dapat memilah-milah infrastruktur dan pelayanan yang memang harus dipikul, disubsidi, dan dibebankan seluruhnya kepada masyarakat.

Penghimpunan dana masyarakat lokal juga dimungkinkan melalui lembaga-lembaga keuangan lokal, baik bank maupun nonbank. Tentu saja persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Pusat adalah stabilitas nilai rupiah, sehingga masyarakat tertarik memanfaatkan sistem keuangan sebagai salah satu pilihan untuk mendapat pendapatan. Ibu-ibu rumahtangga, atau masyarakat akan bersedia membeli obligasi, saham-saham, dan menyimpan dananya di dalan sistem keuangan lokal. Tampaknya sistem tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan mengandalkan pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri kadang-kadang bila nilai tukar rupiah merosot terhadap US $ dan mata uang penting lainnya, secara tidak langsung nilai bunga riilnya justru berlipat ganda. Jadi, adalah penting sekali Pemerintah pusat mampu menjamin nilai Rp stabil, membangun sistem moneter yang dipercaya masyarakat. Dengan demikian nilai mata uang (Rp) sebagai cermin dari hasil produksi (keringat) rakyat didak digunakan sebagai alat kebijakan yang dapat mempengaruhi nilainya. Rupiah yang beredar diusahakan tetap proporsional dengan nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat. Pengeluaran pemerintah yang tidak didukung perencanaan sistem fiskal, dapat membuat masalah lebih komleks, karena Rp tidak terpercaya, dan sistem moneter menjadi tidak produktif. Tingkat bunga yang berlaku di daerah ditentukan oleh otoritas moneter pemerintah pusat. Tingkat bunga tersebut adalah tingkat bunga rata-rata nasional, yang kadang-kadang untuk sebagian daerah tidak mendukung perluasan kesempatan kerjanya. Namun nilai rupiah yang stabil akan mendapatkan kepercayaan yang luas dari masyarakat akan memungkinkan perencanaan pembangunan daerah jauh lebih sederhana.

182

Page 193: e Book Regional

10.11 Sumber Pembiayaan Sektor Swasta

Bersamaan dengan perencanaan pembangunan wilayah sudah harus dipikirkan kemungkinan dari mana sumber-sumber pembiayaan pembanguan (investasi) itu diperoleh. Pembiayaan pembangunan yang bersumber dari pemerintah biasanya relatif kecil (sekitar 20%), yang ditujukan untuk membangun infrastruktur dan pelayanan publik. Pada awal-awalnya mungkin relatif besar untuk membangun infrastruktur dan pelayanan yang mungkin harus bersekala besar, untuk memancing partisipasi sektor swasta dan peranserta masyarakat. Pembiayaan pembangunan yang bersumber dari sektor swasta merupakan komponen yang relatif besar dari total pembiayaan pembangunan yang diperlukan, kurang lebih 80%. Mengalirnya investasi sektor swasta ke suatu daerah/wilayah, disamping harus didukung oleh perencanaan pembangunan daerah yang jelas, yang merupakan bagian dari perencanaan pembangunan nasional, yang disesuaikan dengan visi/misi (Pola Dasar) pembangunan daerah dan potensi daerah, juga berbagai faktor lain yang mendukung, baik yang terkait dengan kondisi lingkungan pembangunan nasional maupun yang terkait dengan kondisi lingkungan pembangunan di daerah itu sendiri. Di masa Repelita, dikenal adanya PMA dan PMDN. Investasi PMA ada yang langsung (Direct Investment) ada yang tidak langsung (Indirect Investment).

Berbagai faktor (kondisi) perlu dipenuhi untuk mendukung pelaksanaan pembangunan pada tingkat wilayah/daerah. Dengan asumsi: untuk tingkat nasional semua telah terpenuhi. Faktor-faktor tersebut adalah:

Adanya alat-alat (Instruments) kebijakan pada tingkat daerah, yang merupakan dasar penyelenggaraan berbagai lembaga pembangunan di daerah (seperti: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Penanaman Modal Daerah, Lembaga Bantuan Hukum dan secara khusus membantu investor di daerah dalam hal Legal Aspect, Legal Aspect itu sendiri, dan sebagainya).

Adanya kemudahan/kejelasan dalam mendapatkan lahan lokasi. Aktivitas investasi memerlukan ruang/lahan lokasi. Prosedur untuk mendapatkan lahan (peralihan hak atas lahan) yang tidak sederhana, atau kurang ada kepastian hukum akan menghambat masuknya investasi.

Infrastruktur (seperti jaringan jalan, pelabuhan, lapangan udara, sarana telekomunikasi, dsb.) diperlukan dalam rangka kelancaran mobilitas input-output bagi perusahaan. Dalam perkembangannya sekarang ini pemerintah daerah mempersiapkan zona-zona industri yang sesuai dengan tata ruang wilayah/jaringan transportasi (laut, darat dan udara). Bahkan ada yang sudah siap dengan kompleks-kompleks industri dengan berbagai jenis industrinya. Para investor tinggal membelinya dalam bentuk perusahaan yang siap beroperasi. Ini semua dilakukan oleh investor.

Tenaga kerja (baik tenaga kerja terdidik, maupun yang siap dididik) perlu disiapkan. Aktivitas ekonomi memerlukan dukungan tenaga kerja. Aktivitas ekonomi memiliki banyak jenis dan spesifikasi. Oleh karena itu tenaga kerja yang dibutuhkan pun ada yang dengan kriteria umum dan khusus, ada yang dapat dipenuhi oleh lulusan pendidikan yang ada, ada yang memang perlu dididik/dilatih kembali secara khusus sebagai pendidikan tambahan.

Masalah lingkungan. Limbah industri dapat mencemarkan, dapat mengganggu lingkungan hidup, dapat menimbulkan sengketa/protes-protes dari masyarakat. Oleh karena itu perusahan-perusahan industri disamping wajib melakukan analisis dampak lingkungan (Amdal) sebelum mendapat izin, sebaiknya dihimpun dalam satu kompleks

183

Page 194: e Book Regional

industri agar mudah diawasi, dan lebih efisien dalam mengelola limbah untuk memenuhi perlindungan lingkungan yang aman dari kemungkinan pencemaran. Lokasi industri hendaknya tidak muncul secara sporadis, seperti yang telah terjadi di Daerah-daerah di Indonesia selama ini, termasuk di Jawa Barat. Munculnya lokasi industri yang sporadis disampaing karena tidak adanaya satu konsep zona/lokasi industri yang baku dan diberlakukan secara tegas (konsisten) juga karena sistem pengalihan atas lahan yang masih memungkinkan hal itu bisa terjadi (investor mencari lahan murah melalui calo).

Perlu diketahui pula bahwa masalah lingkungan tidak hanya terbatas pada tercemarnya lingkungan fisik dengan masuknya suatu industri ke suatu wilayah/daerah, juga lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan bahkan politik. Kebijakan harus mampu mengantisipasinya, sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah yang merugikan masyarakat lingkungannya dan komplek. Contoh: pencemaran air sumur, kekeringan air sumur, pencemaran air sungai, naiknya harga-harga bahan kebutuhan pokok sehari-hari di pasar lokal, perubahan yang drastis terhadap struktur sosial kemasyarakatan di daerah (menjadi tidak seimbang), dan sebagainya.

Oleh karena itu hadirnya perusahaan tertentu di suatu wilayah/lokasi memiliki tanggung jawab lingkungan, yang diatur dengan UU (instrumen kebijakan). Dengan pengaturan dampak lingkunan yang baik, bahkan dengan kebijakan perusahaan itu sendiri yang menyatu dengan kepentingan masyarakat, masyarakat akan merasa memilikinya dan menjaga keberadaan perusahaan tersebut di lingkungannya. Contoh: PT. Tambang Batu Bara Bukit Asam yang mendirikan Sekolah Teknik untuk anak-anak karyawannya dan anak-anak masyarakat di sekitar lokasi perusahaan (pada zaman kolonial Belanda), Perusahaan Penangkap Ikan Asing di India mempekerjakan pemuda-pemuda di sekitar lokasi perusahaan dalam aktivitas perusahaannya. Banyak lagi contoh usaha-usaha perusahaan dalam menyatukan diri dengan lingkungan sekitar, agar masyarakat merasa ikut memiliki, sererti: memiliki unit musik/kesenian, unit sepak bola dan lain-lain jenis olah raga, unit pemutaran film, dsb. yang dapat memberi hiburan kepada masyarakat (dengan mengutamakan kepentingan lingkungan usaha). Berbeda sekali dengan apa yang berlaku di tanah air kita akhir-akhir ini, yang jauh lebih buruk dari apa yang sudah ada di zaman kolonial sendiri. Hampir tidak pernah kita mendengar masyarakat merasa memiliki perusahaan-perusahaan yang hadir di lingkungannya selama ini. Semangat perusahaan-perusahaan banyak yang sudah salah, terposisikan sebagai berada di ruang fakum, tidak perlu tahu dengan lingkungannya (fisik, sosial, politik, ekonomi, dan budaya), sehingga menimbulkan masalah. Mungkin di suatu periode waktu, dimana kekuasaan otoriter bisa melindunginya, tidak terlihat masalah dengan jelas, tetapi akan datang momen-momen yang sangat berbahaya bagi mereka jika kehadiran mereka dianggap sebagai unsure asing yang mengganggu lingkungan.

Investasi sektor swasta (pembiayaan pembanguan oleh sektor swasta) biasanya masuk ke suatu negara sebagai hasil bersaing dalam daya tariknya dengan negara-negara lain. Begitu pula masuknya ke suatu wilayah/daerah. Daya tarik tersebut mungkin: faktor pajak yang relatif ringan, faktor prosedur pajak yang mudah, faktor infrastruktur yang baik, faktor kemudahan-kemudahan yang disediakan pemerintah pusat/lokal, faktor sumber daya alam yang berlimpah, faktor tenaga kerja yang berlimpah/murah, pasar yang luas, dan sebagainya. Seorang investor di dalam membuat keputusan investasi di suatu wilayah/daerah pasti memperhitungkan kemungkinan keuntungan dan risiko usaha yang akan dihadapi. Faktor keamanan dan kepastian hukum merupakan faktor penting untuk analisis ini. Faktor stabilitas pemerintah

184

Page 195: e Book Regional

(pemerintahan yang kuat) bagi mereka penting untuk menjamin hukum berjalan sebagaimana mestinya.

185

Page 196: e Book Regional

DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, Harvey & Jim Taylor (1993), Regional Economics & Policy, 2nd Ed., Harvester Wheatsheaf, New York

Anis Chaudhury and Colin Kirkbatrick (1994), Development Policy and Planning An Introduction to Models and Techniques, Routledgr

Blakely Edward J (1989), Planning Local Economic Development Theory and Practice, Sage Publication

Bendavid, Avron-Lal (1991), Regional and Local Economic Analysis for Practitioners, 4th Ed., Praeger, New York.

Bintoro Tjokroamidjoja (1983), Perencanaan Pembangunan, Gunung Agung, Bandung

C.S.T. Kansil (1985), Kitab Undang Undang Pemerintahan Daerah (KUPD), Bina Aksara, Jakarta.

Edel Matthew and Jerome Rotherberg, Ed. (1972), Reading in Urban Economics, The Macmillan Company, New York.

Friedmann, John and Michael Douglas (1976), Pengembangan Agropolitan Menuju Siasat Baru Perencanaan Regional di Asia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Friedmann, John and William Alonso (1975), Regional Policy: Reading and Application, MIT Press, Canbridge.

Fu Chen Lo and Kemal Sholih (1976), Kutup-kutup Pertumbuhan dan Kebijakan Ekonomi, Universitas Indonesia

Fujita, Masahisa (1989), Urban Economics Theory: Land Use and City Size, Cambridge University Press, New York.

Fujita, Masahisa, cs. (2000), The Spatial Economy: Cities, Regions, and International Trade, MIT Press, USA.

Glasson, John, terjemahan Aris Yakub (1990), Pengenalan Perencanaan Wilayah, Konsep Teori, dan Amalan, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur

Hansen, Niles M, Ed. (1972), Growth Centers In Regional Economic Development, The Free Press, New York.

Henderson, J. Vernon (1994), Community Choice of Revenue Instruments, Regional Science and Urban Economics 24 (1994) 159 – 183, North Holland

186

Page 197: e Book Regional

Henderson, Vernon (2002) How Urban Concentration Affects to Economic Growth, World Bank Working Paper.

Holland, Stuart (1976), Capital Versus Regions,The Macmillan Press, New York.

Hoover, Edgar M (1975), An Introduction to Regional Economics, 2ndEd., Alfred A. Knof, New York.

Isard, Walter (1971), Methods of Regional Analysis, An Introduction to Regional Science, MIT Press, London.

Iwan Jaya Azis (1994), Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Iwan Jaya Aziz (1997), Impacts of Economic Reform on Rural-Urban Welfare: A General Equilibrium Framework, Jurnal Urban and Regional Development Studies No. 9.

Kivell, Philip (1993), Land and The City: Pattern and Processes of Urban Change, Routlege, New York.

Latif Adam (1994), Aplikasi Model Shift-Shere Analisis, jurnal Ekonomi dan Pembangunan, Vol II No. 1Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan LIPI, Jakarta

Lewis, Blane D (1998), The Impact of Public Infrastructure on Municipal Economic Development: Empirical Result From Kenya, Regional Urban Development Stadies Vol 10 N0.2.

McCann, Philip (2001), Urban and Regional Economics, Oxford University Press, New York

Mudrajad Kuncoro (2002) Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia, Uniut Penerbitdan Percetakan AMP YPKN, Yogyakarta.

Nafzinger, E Wayne (1997), The Economics of Developing Countries, 3th Ed., Prentice Hall, New Jersey.

Portnov, Boris A and Evyatar Erel (1998), Clustering of The Urban Field as A Precondition for Sustainable Population Growth in Peripheral Areas: The Case of Israel, Regional Urban Development Studies Vol 10 No.2.

Prapto Yuwono (1999), Penentuan Sektor Unggulan Daerah Menghadapi Implementasi UU 22/1999 dan UU 25/1999 (studi Kasus Kotamadia Dati II Salatiga), Kritis Vol No. 2 1999.

Premert, Matthias and Uwe Wals (1994), Divergent Regional Development, Factor Mobility, and Nontrade Goods, Regional Science and Urban Economics 24 (1994) 707 – 722.

Richardson, H.W (1969), Regional Economics, Praeger Publisher, New York.

187

Page 198: e Book Regional

Samuelson, Paul A and William D Nordhaus (2001), Economics, 17th Ed., McGraw-Hill, New York.

Sukanto Reksohadiprodjo dan A R Karseno (1994), Ekonomi Perkotaan, Edisi 3, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Temple, Marion (1994), Regional Economics, St. Martins Press Inc., New York.

Todaro, Michael P (1994), Economic Development, 5th Ed, Longman Publishing, New York.

Undang Undang No. 5 Tahaun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah dan Undang Undang No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, PT Pradnya Pramita, Jakarta 1989.

Undang Undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, CV. Pustaka Mandiri, Jakarta

Undang Undang Republik Indonesia nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, CV. Pustaka Mandiri, Jakarta

Undang Undang Otonomi Daerah Tahun 2004, UU No.32 Thun 2004 Tedntang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 TentangPerimbangan Keuangan Antara Pemerintah Tusat dan Pemerintah Daerah, Cv Tamita Utama, Jakarta, 2004.

188

Page 199: e Book Regional

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Samalanga, Nanggroe Aceh Darussalam, tanggal 8 Agustus 1943 dari pasangan Teungku Peutua Ghalib – Hj. Cut Aman Fasisyah. Menammatkan Sekolah Dasar (SR) tiga tahun di Simpang Mamplam, Samalanga, Sekolah Dasar (SR) enam tahun pada SD Negeri 1 Samalanga, lulus tahun 1957. Melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) bagian B (Pasti Alam) pada SMP Negeri 1 Bireuen lulus tahun 1960, dan melanjutkan ke Selolah Menengah Atas (SMA) bagian B pada SMA Negeri Sigli lulus TAHUN 1963.

Penulis pernah memasuki Fakultas Kedokteran UKI Immanuel (UKI Maranatha) di Bandung tahun 1963 dan tahun 1964 pindah ke Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran di Bandung, namun tidak berhasil menyelesaikannya. Tahun 1969 penulis pindah ke Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (Umum) yang untuk tingkat persiapan sampai sarjana muda berstatus sebagai mahasiswa Program Ekstensi dan selesai tahun 1979. Tahun 1983 penulis melanjutkan program S2 (Magister) pada Fakultas Pascasarjana Institut Teknologi Bandung Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, pada waktu program ini masih berstatus kerjasama dengan Collage Univercity of London lulus tahun 1986. Tahun 1998 melanjutkan pendidikan ke Program Doktor (S3) pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjran lulus tahun 2005.

Penulis sudah mulai bekerja di bidang pendidikan sejak tahun 1964. Semula bekerja sebagai guru honorer pada sekolah-sekolah menengah Yayasan LPPM di Bandung tahun 1964 – 1979. Tahun 1979 diterima sebagai Asisten Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran dan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil tahun 1980 pada unit kerja Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran. Penulis pernah mendapat tugas dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) untuk ikut membina Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung dari tahun 1981 – 1996 bersama Drs. Mansur Muliakusumah, MA, dan Drs Soelaeman Bhaehaki dan diujung tugas di sana pernah menjadi dekan untuk periode 1992 -1996. Disamping itu penulis juga sebagai dosen non-organik Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung 1986 -2001.

Pengalaman berorganisasi, sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) 1957 -1963, anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 1964 - 1978, anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) 1979 – sekarang, Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Seluruh Indonesia (ICMI) 1992 – sekarang (ikut dalam perisntisan berdirinya ICMI Jawa Barat), Anggota Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAPI) 1986 – sekarang, anggota Korp Alumni HMI (KAHMI) 1979 – sekarang, dan Anggaota Indonesian Regional Science Association (IRSA) tahun 2003 - sekarang. Pengalaman memimpin organisasi sebagai Ketua Umum HMI Cabang Bandung 1972, Ketua Umum Badko HMI Jawa Barat 1974 – 1976, Wakil Ketua DPD KNPI Jawa Barat 1975 – 1978 (salah seorang deklarator berdirinya KNPI Jawa Barat). Ketua/anggota Presidium KAHMI Jawa Barat 1998 – 2002, Ketua Dewan Penasehat KAHMI Jawa Barat 2002 – sekarang, anggota Dewan Penasehat Majlis Nasional KAHMI 2004 – sekarang.

Bandung, 20 Oktober 2005Penulis

189

Page 200: e Book Regional

190