dwi sapri ramadhan

27
PENGARUH JUMLAH STARTER YANG DIGUNAKAN PADA PEMBUATAN PUPUK CAIR DARI URINE SAPI (Bison benasus L) TERHADAP BAU TUGAS AKHIR (TA) untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk kenaikan kelas XII di SMA Tunas Luhur PaitonDisusun oleh : DWI SAPRI RAMADHAN 090144 SMA TUNAS LUHUR (Full Day School) Paiton Jl. Raya Kotaanyar Telp/Fax (0335) 771666 Tahun Pelajaran 2010 2011

Upload: dwi-sapri-ramadhan

Post on 13-Jul-2015

281 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

PENGARUH JUMLAH STARTER YANG DIGUNAKAN PADA

PEMBUATAN PUPUK CAIR DARI URINE SAPI (Bison benasus L)

TERHADAP BAU

TUGAS AKHIR

(TA)

“untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk kenaikan kelas XII di SMA

Tunas Luhur Paiton”

Disusun oleh :

DWI SAPRI RAMADHAN

090144

SMA TUNAS LUHUR (Full Day School) Paiton

Jl. Raya Kotaanyar Telp/Fax (0335) 771666

Tahun Pelajaran 2010 – 2011

PENGARUH JUMLAH STARTER YANG DIGUNAKAN PADA

PEMBUATAN PUPUK CAIR DARI URINE SAPI (Bison benasus L)

TERHADAP BAU

NAMA : Dwi Sapri Ramadhan

PEMBIMBING : Pravitasari, S.T.

ABSTRAKSI

Sapi (Bison benasus L) merupakan ternak ruminansia besar yang

mempunyai banyak manfaat baik untuk manusia ataupun tumbuhan, seperti

daging, susu, kulit, tenaga dan kotoran. Selain itu urinenya juga bisa

dimanfaatkan. Urine sapi (Bison benasus L) bisa dibuat pupuk cair sebagai

pestisida untuk tanaman. Penulis mencoba memanfaatkan urine sapi (Bison

benasus L) untuk dijadikan pupuk cair. Peneliti juga mencoba mencari hasil yang

berbeda pada kualitas pupuk cair tersebut terutama pada bau dari pupuk cair.

Tahap pertama yang harus dilakukan untuk membuat pupuk cair dari urine

sapi ini adalah mangambil urine sapi (Bison benasus L) sebanyak 30 L dan

dimasukkan pada tiga drum plastik yang masing-masing drum berisi 10 L urine

sapi, kemudian ditambahkan bahan-bahan seperti lengkuas, kunyit, temu ireng,

jahe, kencur, brotowali, masing-masing sebanyak 2 ons ditumbuk sampai halus

kemudian dimasukkan ke tiap drum plastik. Selanjutnya tetes tebu dimasukkan ke

dalam drum plastik, sebanyak 0.5 liter, 1 liter, 1.5 liter tetes tebu tersebut

mengandung starter Sacharomyces cereviceae. Fermentasi urine didiamkan

selama 14 hari.

Dari hasil yang didapat, ternyata pemberian volume starter bakteri

Sacharomyces cereviceae yang berbeda pada fermentasi urine sapi (Bison benasus

L) dapat menghasilkan pupuk cair urine sapi yang berbeda baunya. Pada drum

yang ditambahkan starter Sacharomyces cereviceae sebanyak 1,5 liter tidak

berbau urine lagi sedangkan pada drum yang ditambahkan starter sebanyak 0.5

liter dan 1 liter masih berbau urine.

Paiton, 04 Maret 2011

Pembimbing Penulis

Pravitasari, S.T Dwi Sapri Ramadhan

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sapi (Bison benasus L) merupakan ternak ruminansia besar yang mempunyai

banyak manfaat baik untuk manusia ataupun tumbuhan, seperti daging, susu,

kulit, tenaga dan kotoran. Selain itu urinenya juga bisa dimanfaatkan. Urine sapi

(Bison benasus L) bisa dibuat pupuk cair sebagai pestisida untuk tanaman. Penulis

telah membuat pupuk cair dan hasilnya cukup baik

Pembuatan pupuk cair dari urine sapi (Bison benasus L) ini sangatlah mudah

dan tidak membutuhkan waktu lama serta baik untuk tanaman dibandingkan

dengan pupuk buatan pabrik. Bahan yang digunakan untuk membuat pupuk cair

ini juga mudah di dapat dan biayanya relatif murah. Dengan adanya pembuatan

pupuk cair ini masyarakat diharapkan mau mencoba membuat dan memakainya.

Produk yang dibuat ini mempunyai keunggulan tersendiri yaitu harganya

murah, pembuatannya mudah, bahan mudah didapat, dan tidak membutuhkan

waktu yang lama. Pupuk cair ini mengandung protein yang menyuburkan tanaman

dan tanah seperti padi, palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, bunga dan lain-lain.

Produk ini berfungsi sebagai pengusir hama tikus, wereng, walang sangit, dan

penggerek serta sebagai sumber pupuk organik.

Pembuatan pupuk cair dari urine sapi (Bison benasus L) ini membutuhkan

bahan tambahan lainnya agar urine berkomposisi kimia yang baik. Bahan

tambahan ini seperti lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, brotowali, dan

tetes tebu, yang berguna untuk menghilangkan bau urine ternak dan memberikan

rasa yang tidak disukai hama. Sedangkan tetes tebunya untuk fermentasi urine

sapi (Bison benasus L) dan menyuburkan mikroba yang ada di dalam tanah,

karena tetes ini mengandung bakteri Sacharomyces cereviceae. Berdasarkan

uraian tersebut penulis mengambil penelitian yang berjudul "PENGARUH

JUMLAH STARTER YANG DIGUNAKAN PADA PEMBUATAN PUPUK

CAIR DARI URINE SAPI (Bison benasus L) TERHADAP BAU ".

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan oleh peneliti, maka rumusan

masalah yang dapat ditemukan adalah sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaruh jumlah starter yang digunakan pada pembuatan

pupuk cair dari urine sapi (Bison benasus L) terhadap bau?

1.3 Batasan Penelitian

Pada penelitian ini, penulis memberi batasan-batasan penelitian agar

penelitian ini menjadi lebih fokus dan terarah. Batasan penelitiannya, antara lain :

1. Urine sapi yang digunakan berasal dari sapi (Bison benasus L) jantan

jawa, sebanyak 10 liter.

2. Bahan yang ditambahkan pada proses fermentasi adalah lengkuas,

kunyit, temu ireng, jahe, kencur, butrowali, masing-masing sebanyak 2

ons.

3. Starter yang dibuat dari tetes tebu dan bibit bakteri Sacharomyces

sereviceae yaitu sebanyak 0.5, 1, dan 1.5 L.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Penulisan karya ilmiah ini di buat atas dasar beberapa tujuan umum yang

ingin dicapai peneliti yaitu :

1. Tujuan membuat karya ilmiah ini untuk menambah pengalaman tentang

penulisan karya ilmiah sebagai bekal menghadapi tugas akhir di

perkuliahan.

2. Untuk memenuhi tugas sebagai syarat kenaikan kelas XII.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :

1. Memanfaatkan urine sapi (Bison benasus L) untuk dibuat pupuk cair.

2. Mengetahui pengaruh jumlah starter yang digunakan terhadap bau dari

pupuk cair tersebut.

1.5 Manfaat Penelitian

Penulis memilih penelitian ini karena memiliki beberapa manfaat, antara lain :

1. Memanfaatkan limbah peternakan khususnya urine sapi untuk di jadikan

pupuk cair.

2. Meningkatkan intensifikasi pertanian.

3. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berwirausaha sendiri.

4. Untuk perkembangan teknologi pertanian.

1.6 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan dan informasi yang diperoleh

peneliti, maka dugaan sementara dari permasalahan yang ditemui penulis yaitu,

“ada pengaruh jumlah starter yang digunakan pada pembuatan pupuk cair dari

urine sapi (Bison benasus L) terhadap bau” karena starter yang digunakan ini

mengandung bakteri Sacharomyces cereviceae sehingga semakin banyak starter

yang digunakan semakin cepat proses fermentasinya dan bahan-bahan yang

digunakan tidak terlalu lama terendam dan tidak membusuk.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian urine sapi (Bison benasus L)

Siapa bilang air kencing sapi merusak lingkungan. Buktinya, sapi di Sumatra

Barat (Sumbar), tepatnya di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Air

kencing dari satu ekor sapi mampu menyuburkan sekitar empat hektare sawah

yang setiap hektarenya bisa menghasilkan enam hingga delapan ton padi atau

gabah.Air kencing, ya tetap air kecing, yang keluar dari alat vital sapi,Kandungan

kimia urine sapi adalah N : 1,4 sampai 2,2 %, P: 0,6 sampai 0,7%, dan K 1,6

sampai 2,1. Namun sebelum keluar dari tubuh sapi itu, makanan sapi harus

direkayasa dulu. Awalnya, hasil penemuan yang disebut sistem pupuk organik

urine sapi (kosarin), semata-mata memang bukan untuk menyuburkan tanaman

atau tumbuhan. Melainkan untuk menyuburkan sapi. Cara menggemukkan sapi ini

dengan memberikan makanan jeram dicampur garam dan enzym Bossdext

(Setiono Hadi, 2004)

2.2 Kajian Bahan-bahan

2.2.1 Jahe

Peningkatan produksi jahe di Indonesia sangat

diperlukan, yang dapat dilakukan melalui perbaikan

tehnik budidaya terutama pada fase awal

pertumbuhan tanaman. Penggunaan pupuk kandang

dan urin sapi sebagai zat pengatur tumbuh

diharapkan mampu memperbaiki pertumbuhan

tanaman jahe sehingga produksinya meningkat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

beberapa jenis pupuk kandang, pengaruh konsentrasi

urin sapi dan interaksi antara penggunaan beberapa macam pupuk kandang dan

konsentrasi urine sapi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jahe muda ( Hary

Witriyono, 1993).

Tanaman jahe telah lama dikenal dan tumbuh baik di negara kita. Jahe

merupakan salah satu rempah-rempah penting. Rimpangnya sangat luas dipakai,

antara lain sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan seperti

roti, kue, biscuit, kembang gula dan berbagai minuman. Jahe juga digunakan

dalam industri obat, minyak wangi dan jamu tradisional. Jahe muda dimakan

sebagai lalaban, diolah menjadi asinan dan acar. Disamping itu, karene dapat

memberi efek rasa panas dalam perut, maka jahe juga digunakan sebagai bahan

minuman seperti bandrek, sekoteng dan sirup.

Jahe yang nama ilmiahnya Zingiber officinale sudah tak asing bagi kita, baik

sebagai bumbu dapur maupun obat-obatan. Begitu akrabnya kita, sehingga tiap

daerah di Indonesia mempunyai sebutan sendiri-sendiri bagi jahe. Nama-nama

daerah bagi jahe tersebut antara lain halia (Aceh), bahing (Batak karo), sipadeh

atau sipodeh (Sumatera Barat), Jahi (Lampung), jae (Jawa), Jahe (sunda), jhai

(Madura), pese (Bugis) lali (Irian)

Jahe tergolong tanaman herba, tegak, dapat mencapai ketinggian 40 – 100

cm dan dapat berumur tahunan. Batangnya berupa batang semu yang tersusun dari

helaian daun yang pipih memanjang dengan ujung lancip. Bunganya terdiri dari

tandan bunga yang berbentuk kerucut dengan kelopak berwarna putih kekuningan.

Akarnya sering disebut rimpang jahe berbau harum dan berasa pedas.

Rimpang bercabang tak teratur, berserat kasar, menjalar mendatar. Bagian dalam

berwarna kuning pucat.

2.2.2 Kencur

Kencur (Kaempferia galanga L.) adalah salah satu

jenis empon-empon/tanaman obat yang tergolong

dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae).

Rimpang atau rizoma tanaman ini mengandung

minyak atsiri dan alkaloid yang dimanfaatkan

sebagai stimulan. Nama lainnya adalah cekur

(Malaysia) dan pro hom (Thailand). Dalam

pustaka internasional (bahasa Inggris) kerap terjadi kekacauan dengan

menyebut kencur sebagai lesser galangal (Alpinia officinarum) maupun

zedoary (temu putih), yang sebetulnya spesies yang berbeda dan bukan

merupakan rempah pengganti. Terdapat pula kerabat dekat kencur yang biasa

ditanam di pekarangan sebagai tanaman obat, temu rapet (K. rotunda Jacq.),

namun mudah dibedakan dari daunnya. ( Rahmat Rukmana, 1994).

2.2.3 Brotowali

Nama Latin :

Tinospora tuberculata Beumee

Nama Daerah :

Antawali, bratawali, putrawali, daun gadel

(Jawa); Andawali (Sunda), Antawali (Bali);

Shen jin teng (China).

Habitat :

Tumbuh liar di hutan dan di ladang

Deskripsi :

Biasa ditanam sebagai tumbuhan obat. Menyukai tempat panas, termasuk perdu,

memanjat, tinggi batang sampai 2,5 m. Batang sebesar jari kelingking, berbintil-

bintil rapat rasanya pahit. Daun tunggal, bertangkai, berbentuk seperti jantung

atau agak budar telur berujung lancip, panjang 7 – 12 cm, lebar 5 – 10 cm. Bunga

kecil, warna hijau muda, berbentuk tandan semu. Diperbanyak dengan stek.

Brotowali mengandung : Antipiretikum; Tonikum; Antiperiodikum; Diuretikum;

Antidiabetik.

Khasiat Brotowali :

Khasiat Bratawali(brotowali) adalah sebagai penghilang sakit (Analgetik),

penurun panas (antipiretik), melancarkan meridian. KANDUNGAN KIMIA :

Alkaloid, damar lunak, pati, glikosida pikroretosid,zat pahit pikroretin, harsa,

berberin dan palmatin. Akar mengandung alkaloid berberin dan kolumbin.

(TOGA [Tanaman Obat keluarGA], kaskus,forum, 2009)

Brotowali adalah tanaman asli Asia Tenggara. Di balik rasanya yang

pahit,ternyatabrotowali mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit, ringan

dan berat, seperti diabetes mellitus, hepatitis, rematik, dan gatal-gatal.

Harapannya, dengan buku ini pembaca bisa mengaplikasikan atau meramu sendiri

resep-resep obat dari brotowali. Sebagai pelangkap, buku ini disertai juga dengan

pengalaman para penggunanya ( Budy Kresnady, 2003).

2.2.4 Kunyit

Klasifikasi

Divisio : Spermatophyta

Sub-diviso : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zungiberaceae

Genus : Curcuma

Species : Curcuma domestica Val.

Kunyit sudah lama dikenal sebagai tanaman untuk bumbu dapur. Selain itu, kunyit juga

sudah turun temurun digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Akhir-akhir ini,

kunyit juga sudah diolah secara modern dalam skla industri sebagai bahan baku obat,

kosmetik, dan pewarna tekstil. Ramuan obat berbahan kunyit dijelaskan dalam buku ini

dengan tujuan agar pembaca dapat mengolah sendiri resep-resep tersebut ( Winarto,

2004).

Deskripsi

Tanaman kunyit tumbuh bercabang dengan tinggi 40-100 cm. Batang merupakan

batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang dengan warna hijau kekuningan dan

tersusun dari pelepah daun (agak lunak). Daun tunggal, bentuk bulat telur (lanset)

memanjang hingga 10-40 cm, lebar 8-12,5 cm dan pertulangan menyirip dengan warna

hijau pucat. Berbunga majemuk yang berambut dan bersisik dari pucuk batang semu,

panjang 10-15 cm dengan mahkota sekitar 3 cm dan lebar 1,5 cm, berwarna

putih/kekuningan.

2.2.5 Temulawak

Masyarakat semakin menyukai cara pengobatan atau

pencegahan gangguan kesehatan dengan bahan-bahan

alami. Jahe, Kunyit, Kencur, dan Temulawak merupakan

bahan alami yang berkhasiat bagi kesehatan. Salah satu

bentuk penyajiannya adalah dengan dibuat menjadi

minuman yang cepat saji dan praktis, dengan kata lain dikemas dalam bentuk

bubuk. Buku ini memberikan informasi lengkap, mulai dari pengenalan

komoditasnya, peralatan, proses pembuatan, pengemasan, pemasaran, hingga

analisis usaha instan jahe, kunyit, kencur, dan temulawak ( Prastyo, 2003).

Temu-temuan dan empon-empon banyak dimanfaatkan untuk bumbu masak,

bahan minuman, bahan kosmetika, dan bahan obat/jamu tradisional. Komoditas

temu-temuan dan empon-empon saat ini tidak hanya dikenal di dalam negeri

melainkan juga di luar negeri. Dengan demikian, komoditas ini memiliki prospek

pasar yang sangat luas sehingga patut diperhitungkan oleh para petani ataupun

pemerintah karena dapat mendatangkan pendapatan tambahan bagi petani dan

devisa bagi negara. Buku ini menyajikan aneka temu-temuan dan empon-empon,

baik yang sudah dikenal oleh masyarakat maupun yang belum, mulai dari

pengenalan masing-masing komoditas, budidaya, manfaat, dan khasiatnya

(Fauzilah Muhlisin, 1999).

2.2.6 Lengkuas

Lengkuas merupakan sejenis rizom dengan

kegunaan masakan dan perubatan, dan

banyak digunakan di Asia Tenggara. Rupanya hampir sama dengan halia.

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Order : Zingiberales

Famili : Zingiberacea sp

( Wikipeda.Org, 2007)

Nama Lokal :

Greater galingale (Inggris), Lengkuas (Indonesia); Laos (Jawa), Laja (Sunda);

2.2.7 Temu Ireng

KLASIFIKASI

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiosperrnae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Curcuma

Jenis : Curcuma aeruginosa

Nama umum/dagang : Temu ireng

DESKRIPSI

Habitus : Semak, tinggi ± 1,5 m

Batang : Batang semu, terdiri dari pelepah daun, tegak,

membentuk rimpang, hijau muda

Daun : Tunggal, bulattelur, tepi rata, ujung runcing, pangkal

tumpul, panjang ± 40 cm, lebar + 20 cm, permukaan

licin, pertulangan menyirip, terdapal garis-garis

coklat membujur, hijau

Bunga : Majemuk, berambut, tangkai 20-35 cm, mahkota

panjang ± 2,5 cm, lebar 1,5 cm, kuning, keiopak

silindris, bercangap tiga, tipis, ungu, pangkal daun

pelindung putih, ujung daun pelindung ungu, ungu

kemerahan

Akar : Serabut, coklat muda

Infeksi cacing tidak selalu menimpa anak-anak. Siapa pun bisa terinfeksi bila pola

hidupnya kurang higienis. Untuk mengusir cacing dari saluran pencernaan kita itu

bisa digunakan bahan-bahan alami di sekitar kita. Di antaranya temu ireng (hitam)

atau temu giring ( Aliadi, 1996).

2.3 Kajian Tetes Tebu

Tetes atau ampas tebu adalah cairan kental sisa kristalisasi dari pabrik gula.

Badek adalah bibit fermentasi ciu yang diambil dari sisa penyulingan ciu

sebelumnya. Setelah diaduk, pada permukaan campuran bahan dasar ciu akan

keluar buih. Campuran bahan dibiarkan sampai tujuh hari sampai buih

menghilang, baru siap dimasak, Bagi pembuat ciu, kalau badek habis atau tak

sanggup menghasilkan buih pada campuran bahan ciu, berarti produksi mandek.

Hasil sulingan tetes tebu biasanya mengandung alkohol 30-45 persen. Produsen

ciu di Bekonang umumnya juga memproduksi alkohol 90 persen. “Alkohol itu

campuran tetes tebu yang disuling dua kali. Setelah jadi ciu, dimasak lagi,

ditambah zat kimia kostik. Jadinya alkohol 90 persen,.Dari 200 liter campuran

bahan akan menghasilkan 30 liter ciu setelah melewati tiga jam penyulingan.

Kalau tetesnya bagus uapnya keluar cepat. Kalau jelek bisa empat jam baru

selesai, Ciu paling jelek kandungan alkoholnya berkisar 25 persen. Hasil sulingan

ciu berwarna agak keruh ( Taman Kembang Pete, 2006)

2.4 Kajian Fermentasi

Wibowo (1989) menyatakan bahwa fermentasi sering didefinisikan sebagai

proses pemecahan karbohidrat dari asam amino secara anaerobik yaitu tanpa

memerlukan oksigen. Karbohidrat terlebih dahulu akan dipecah menjadi unit -

unit glukosa dengan bantuan enzim a amilase dan enzim glukosidose, dengan

adanya kedua enzim tersebut maka pati akan segera terdegradasi menjadi glukosa,

kemudian glukosa tersebut oleh khamir akan diubah menjadi alkhohol.

Buckel (1987) menyatakan bahwa fermentasi adalah perubahan kimia dalam

bahan pangan yang disebabkan oleh enzim. Enzim yang berperan dapat dihasilkan

oleh mikroorganisme dan interaksi yang terjadi diantara produk dari kegiatan –

kegiatan tersebut dan zat – zat yang merupakan pembentuk bahan pangan

tersebut.

Fermentasi merupakan aktivitas mikroorganisme baik aerob maupun anaerob

yang mampu mengubah atau mentranspormasikan senyawa kimia ke subtrat organik

(Rahman,1989). Selanjutnya Winarno (1990) mengemukan bahwa fermentasi dapat

terjadi karena ada aktivitas mikroorganisme penyebab fermentasi pada subtrat organik

yang sesuai, proses ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan tersebut.

Joo. Y.H (1990). Melaporkan bahwa teknologi fermentasi anaerob untuk skala

petani telah banyak dikembangkan, dimana hasilnya pupuk kandang dikonversikan tidak

hanya dalam bentuk pupuk organik cair yang bagus tetapi juga dalam bentuk biogas

yang berenergi tinggi.

Prinsip dari fermentasi anaerob ini adalah bahan limbah organik dihancurkan

oleh mikroba dalam kisaran temperatur dan kondisi tertentu yaitu fermentasi anaerob.

Studi tentang jenis bakteri yang respon untuk fermentasi anaerob telah dimulai

sejak tahun 1892 sampai sekarang. Ada dua tipe bakteri yang terlibat yaitu bakteri

fakultatif yang mengkonversi sellulola menjadi glukosa selama proses dekomposisi awal

dan bakteri obligate yang respon dalam proses dekomposisi akhir dari bahan organik

yang menghasilkan bahan yang sangat berguna dan alternatif energi pedesaaan.( Joo,

1990).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan adalah eksperimen. Dengan

membandingkan 3 proses fermentasi urine sapi yang masing-masing diberi

volume starter bakteri Sacharomyces cereviceae yang berbeda.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di rumah peneliti yaitu di Dusun Pande Rt.22

Rw.10, Desa Triwungan Kotaanyar-Probolinggo.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2011, yaitu dengan

menambahkan volume starter bakteri Sacharomyces cereviceae yang

berbeda pada fermentasi pupuk cair dari urine sapi.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau sekumpulan

individu yang memiliki karakteristik berbeda (Rahmat Rukmana, 2007).

Adapun menurut Sugiono Efendi (2004) populasi merupakan wilayah

generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang menjadi kuantitas dan

karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk di teliti dan

kemudian ditarik kesimpulannya. Obyek populasi dalam penelitian ini

adalah berbagai jenis pupuk cair.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan obyek yang

sebenarnya dari suatu penelitian (Nur Cahyadi, 1996). Sedangkan menurut

Arikunto (2003) sampel merupakan wakil populasi yang diteliti. Sedangkan

sampel dalam penelitian ini adalah pupuk cair dari urine sapi (Bison benasus

L) jawa.

3.4 Alat dan Bahan

3.4.1 Alat Penelitian

No Nama alat Jumlah

1 Ember 1 buah

2 Pengaduk 1 buah

3 Saringan 1 buah

4 Botol Bekas 5 buah

5 Bakcer Glass 1 buah

6 Drum Plastik 1 buah

3.4.2 Bahan Penelitian

No Nama Bahan Jumlah Satuan

1 Urine Sapi (Bison benasus L) 30 Liter

2 Lengkuas 2 Ons

3 Kunyit 2 Ons

4 Temu ireng 2 Ons

5 Jahe 2 Ons

6 Kencur 2 Ons

7 Brotowali 2 Ons

3.5 Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu :

1. Tahap persiapan.

2. Tahap pelaksanaan.

3. Tahap pengamatan.

3.5.1 Tahap Persiapan

Langkah pertama yaitu siapkan alat-alat yang akan digunakan pada

saat penelitian yang meliputi ember, pengaduk, saringan, botol bekas, backer

glass, dan drum plastik. Kemudian langkah kedua yaitu mempersiapkan

bahan-bahan penelitian seperti lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur,

brotowali, masing-masing sebanyak 2 ons, selanjutnya di lakukan tahap

pelaksanaan.

3.5.2 Tahap Pelaksanaan

1. Urine sapi (Bison benasus L) di tampung dan dimasukkan ke dalam 3

drum plastik yang masing-masing berisi 10 Liter.

2. Lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, brotowali, masing-masing

sebanyak 2 ons ditumbuk sampai halus kemudian dimasukkan ke tiap

drum plastik, maksud penambahan bahan-bahan ini untuk menghilangkan

bau urine ternak dan memberikan rasa yang tidak disukai hama.

3. Setelah itu tetes tebu dimasukkan kedalam drum plastik, sebanyak 0.5 liter,

1 liter, 1.5 liter, lalu dimasukkan starter Sacharomyces cereviceae. Tetes

tebu dan starter Sacharomyces cereviceae ini berguna untuk fermentasi

dan nantinya setelah jadi pupuk cair bisa menambah jumlah mikroba

menguntungkan yang ada didalam tanah.

4. Fermentasi urine didiamkan selama 14 hari dan diaduk setiap setiap hari.

5. Drum plastik ditutup dengan kain serbet atau kertas.

6. Setelah 14 hari pupuk cair sudah jadi kemudian disaring dan dikemas.

3.5.3 Prosedur pengamatan

Setelah dilakukannya tahap penelitian tahap selanjutnya adalah tahap

pengamatan. Pada tahap ini peneliti melihat perbedaan bau pupuk cair dari

fermentasi urine sapi yang diberi volume starter bakteri Sacharomyces

cereviceae yang berbeda, dan di catat pada tabel pengamatan.

3.5.4 Kerangka konsep

Tetes tebu ( starter ) bercampur dengan

urine sapi saat proses fermentasi

berlangsung

Starter Sacharomyces cereviceae

berfungsi mempercepat proses fermentasi

Urine sapi tidak berbau urine lagi karena

urine sapi tidak terlalu lama bercampur

dengan bahan-bahan yang digunakan,

karena proses fermentasi cepat

Tetes tebu mengandung starter

Sacharomyces cereviceae

3.6 Variabel Penelitian

3.6.1 Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang bisa mempengaruhi variabel lain.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Volume Starter (tetes tebu + bibit

bakteri) yaitu 1.5 liter, 1 liter, 0,5 liter.

3.6.2 Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang memberikan reaksi jika

dihubungkan dengan variabel bebas. Variabel terikat pada penelitian ini

adalah Bau urine sapi.

3.6.3 Variabel Kontrol

Variabel kontrol adalah variabel yang berpengaruh pada suatu

eksperimen tetapi dapat dikendalikan. Variabel kontrol pada penelitian ini

adalah Volume urine sapi (10 liter) dan massa (berat) dari bahan,(lengkuas,

kunyit, temu ireng, jahe, kencur, brotowali) yaitu masing-masing 2 ons.

3.7 Analisa Data

1. Setelah semua proses selesai, lakukan pengamatan.

2. Hasil pengamatan di catat pada tabel pengamatan.

3.7.1 Rancangan Tabulasi Data

Hasil dari percobaan setelah 7 Hari

Perlakuan

Fermentasi 7 Hari

Drum 1

(Starter 0,5 L)

Drum 2

(Starter 1 L)

Drum 3

(Starter 1,5 L)

Bau urine sapi

Warna urine

Gas CO2

Hasil dari percobaan setelah 14 Hari

Perlakuan

Fermentasi 14 Hari

Drum 1

(Starter 0,5 L)

Drum 2

(Starter 1 L)

S Drum 3

(Starter 1,5 L)

Bau urine sapi

Warna urine

Gas CO2

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Setelah dilakukan penelitian tentang pengaruh jumlah starter terhadap bau

pupuk cair dari urine sapi (Bison benasus L) di rumah peneliti yaitu di Dusun

Pande Rt.22 Rw.10, Desa Triwungan Kotaanyar-Probolinggo, didapatkan data

hasil penelitian pengaruh jumlah starter terhadap bau urine sapi (Bison benasus

L), warna urine, dan gas CO2 terlihat pada tebel dibawah ini.

4.1.1 Hasil dari percobaan setelah 7 Hari

Perlakuan

Fermentasi 7 Hari

Drum 1

(Starter 0,5 L)

Drum 2

(Starter 1 L)

Drum 3

(Starter 1,5 L)

Bau urine sapi Masih berbau

urine

Masih berbau

urine

Sudah tidak

berbau urine

Warna urine Coklat kekuning-

kuningan

Coklat kekuning-

kuningan

Coklat kehitam-

hitaman

Gas CO2 Banyak

gelembung

Banyak

gelembung

Sedikit

gelembung

4.1.2 Hasil dari percobaan setelah 14 Hari

Perlakuan

Fermentasi 14 Hari

Drum 1

(Starter 0,5 L)

Drum 2

(Starter 1 L)

Drum 3

(Starter 1,5 L)

Bau urine sapi Sedikit berbau

urine

Sudah tidak

berbau urine

Sudah tidak

berbau urine

Warna urine Agak coklat

kehitam-hitaman

Coklat kehitam-

hitaman

Coklat kehitam-

hitaman

Gas CO2 Timbul sedikit Tidak timbul Tidak timbul

4.2 Pembahasan

Pada penelitian ini peneliti melakukan pengamatan dengan membedakan

volume starter yang masing-masing 0.5, 1, 1.5 L yang digunakan pada fermentasi

urine sapi yang akan menjadi pupuk cair dan akan di teliti pengaruh perbedaan

volume tersebut terhadap bau. Peneliti menambahkan bahan-bahan seperti

lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, butrowali. Bahan-bahan tersebut

berfungsi untuk menghilangkan bau urine sapi. Sedangkan tetes tebu berfungsi

untuk proses fermentasi dan menyuburkan mikroorganisme yang ada didalam

tanah, tetes tebu ini sendiri mengandung bakteri Sacharomyces Sereviceae yang

berfungsi untuk fermentasi. Pada percobaan ini, fermentasi urine sapi (Bison

benasus L) membutuhkan waktu selama 14 hari sehingga tidak membutuhkan

waktu yang lama untuk melakukan percobaan ini.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, ternyata pemberian

volume starter bakteri Sacharomyces cereviceae yang berbeda pada fermentasi

urine sapi (Bison benasus L) dapat menghasilkan pupuk cair urine sapi yang

berbeda baunya.

Dalam penelitian ini, pada percobaan pertama, peneliti mengisi 10 L urine

sapi (Bison benasus L) ke dalam media drum 1 yang berisikan starter sebanyak

0.5 L dan dicampur dengan penambahan bahan-bahan seperti lengkuas, kunyit,

temu ireng, jahe, kencur, brotowali, masing-masing sebanyak 2 ons dan di

diamkan selama 2 minggu. Selanjutnya, pada percobaan kedua peneliti melakukan

hal yang sama yaitu mengisi 10 L urine sapi (Bison benasus L) dan bahan-bahan

tambahan seperti lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, brotowali, masing-

masing sebanyak 2 ons ke dalam drum 2 yang berisikan starter sebanyak 1 L, pada

percobaan ketiga peneliti mengisi 10 L urine sapi (Bison benasus L) dan bahan-

bahan tambahan seperti lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, brotowali,

masing-masing sebanyak 2 ons ke dalam drum 3 yang berisikan starter sebanyak

1.5 L dan terakhir ketiga drum tersebut didiamkan selama 14 hari.

Peneliti melakukan pengamatan selama 7 hari dan 14 hari. Pada pengamatan

setelah 7 hari hasilnya ternyata disemua drum proses fermentasi masih

berlangsung. Setelah peneliti melakukan pengamatan ternyata hasilnya berbeda

pada ketiga drum tersebut. Pada drum 1 yang berisi starter sebanyak 0.5 L, pupuk

cair masih berbau urine dan masih berwarna seperti awal yaitu berwarna coklat

kekuning-kuningan, dan suhu didalam drum terasa panas. Pada drum 2 yang

berisikan starter sebanyak 1 L hasilnya masih sama seperti drum 1 yaitu pupuk

cair masih berbau urine dan masih berwarna seperti awal yaitu berwarna coklat

kekuning-kuningan, dan suhu didalam drum terasa panas. Namun, ada sedikit

perbedaan pada drum 3 yaitu pupuk cair urine sapi (Bison benasus L) sudah tidak

berbau urine lagi dan sudah agak berwarna coklat kehitam-hitaman sedangkan

suhu hanya sedikit terasa panas. Hal tersebut berbeda dikarenakan oleh jumlah

starter yang berbeda pada ketiga drum tersebut yaitu 0.5, 1, dan 1.5 L. Hasil

fermentasi pada urine sapi ini akan menghasilkan pupuk cair yang sudah tidak

berbau urine karena telah bercampur dengan starter dan bahan-bahan tambahan

yaitu lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, brotowali jika fermentasi urine

sapi tersebut telah selesai. Namun jika proses fermentasi masih berlangsung maka,

pupuk cair tersebut belum mencapai hasil akhir, yaitu urine tersebut masih

berwarna coklat kekuning-kuningan dan masih berbau urine serta ditandai dengan

suhu yang panas didalam drum tersebut.

Peneliti melakukan pengamatan selanjutnya setelah 14 hari, ternyata

hasilnya pada drum 1 proses fermentasi masih berlangsung, hal tersebut ditandai

dengan timbulnya titik-titik gelembung kecil dari dasar drum 1 dan suhu panas

yang dirasakan peneliti ketika membuka tutup drum 1 tersebut, namun pupuk cair

pada drum 1 sudah sedikit tidak berbau urine dan sudah berwarna agak coklat

kehitam-hitaman. Pada drum 2 ketika peneliti membuka tutup drum 2 suhu tidak

terasa sepanas drum 1 namun hanya sedikit suhu terasa hangat dengan demikian

proses fermentasi pada drum 2 sudah hampir selesai, dan hasilnya pada drum 2

sudah tidak berbau urine lagi, dan sudah berwarna Coklat kehitam-hitaman. Pada

drum 3 proses fermentasi telah selesai, hal tersebut ditandai dengan tidak adanya

titik-titik gelembung yang muncul serta suhu yang sudah terasa dingin, pada drum

3 pupuk cair urine sapi (Bison benasus L) sudah tidak berbau urine lagi dan sudah

berwarna coklat kehitam-hitaman.

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat diperoleh hasil yaitu

pemberian starter dengan volume 0.5, 1, 1.5 L dapat mempercepat proses

fermentasi, semakin banyak starter yang di gunakan maka semakin cepat proses

fermentasi berlangsung. Jadi, jika proses fermentasi berlangsung cepat maka

bahan-bahan yang dicampurkan juga tidak terlalu lama terendam didalam urine

sehingga tidak sampai menimbulkan bau yang berlebihan.

Penggunaan starter selain berfungsi sebagai fermentasi, starter juga dapat

menghilangkan bau urine sapi dengan memperbanyak volume starter tersebut

sehingga proses fermentasi berlangsung cepat.

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan yang

dapat di ambil adalah :

1. Urine sapi bisa dibuat pupuk cair dengan menambahkan bahan - bahan

tambahan seperti lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, butrowali.

2. Starter dapat digunakan sebagai bakteri pengurai dalam proses

fermentasi urine sapi menjadi pupuk cair.

3. Tetes tebu berfungsi untuk fermentasi dan menyuburkan

mikroorganisme yang ada didalam tanah.

4. Starter yang terdapat di dalam tetes tebu dapat mempercepat proses

fermentasi sehingga pupuk cair yang dihasilkan tidak berbau urine.

5. Pemanfaatan limbah urine sapi dapat menjadi alternative bagi

masyarakat yang tidak mampu membeli pupuk cair lain yang harganya

jauh lebih mahal.

6. Pupuk cair ini juga dapat meningkatkan keuntungan pertanian serta

memberikan keuntungan bagi kita.

5.2 Saran

Urine sapi yang kita ketahui hanyalah kotoran yang dilihat

menjijikkan, dan tidak berguna. Namun disamping itu urine sapi (Bison

benasus L) bisa di manfaatkan sebagai pupuk cair yang bermanfaat bagi

tumbuhan dengan menambahkan bahan-bahan tambahan yaitu lengkuas,

kunyit, temu ireng, jahe, kencur, butrowali, dan tetes tebu. Bagi para

pembaca sebaiknya melakukan percobaan dengan mencampurkan starter

dengan volume yang berbeda yaitu 0.5, 1, 1.5 L. Begitu juga untuk

menangani masalah dalam proses pengambilan urine dan masalah bau dari

urine sendiri perlu dicarikan solusinya agar lebih bermanfaat untuk masa

mendatang dengan menggunakan alat penambahan lain sehingga penelitian

ini dapat dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Kotoran-sapi

http://anandagagan.blogspot.com/2010/03/tetestebu.html

http://ptp2007.wordpress.com/2007/10/08/fermentasi/

Aliadi. 1996. Tanaman Obat Peliharaan. Sidowayah. Jakarta

Buckle, 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia press

Hadi, Setiono. 2004. Urine Sapi Bangkitkan Harapan Petani, Bogor.

Kresnady, Budy. 2003. Si Pait Yang Menyembuhkan. Agromedia Pustaka. Jakarta

Rukmana Rahmat. 1994. Kencur. Kanisius. Yogyakarta

Winarto, Ir. 2004. Khasiat dan Manfaat Kunyit. Agromedia Pustaka. Jakarta

Witriyono Harry, 1993. Peningkatan Produksi Jae. Yogyakarta. 2007. Lengkuas.

Wikipeda, Org.